universitas indonesia kedudukan seimbang suami isteri dalam

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM
KASUS VASEKTOMI
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan
Oleh:
ADINDA PERMATASARI
N.P.M: 6503110048
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK, 2006
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
UNIVERSITAS INDONESIA
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM
KASUS VASEKTOMI
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan
Oleh:
ADINDA PERMATASARI
N.P.M: 6503110048
Pembimbing
Farida Prihatini, S.H, M.H, C.N
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK, 2006
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
UNIVERSITAS INDONESIA
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM
KASUS VASEKTOMI
TESIS
Diajukan dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji pada
Tanggal 12 Januari 2006
Pembimbing Tesis
Farida Prihatini,S.H.,M.H., C.N
Ketua Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Farida Prihatini,S.H.,M.H., C.N
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
KATA PENGANTAR
Bissmillahhirahmannirahim,
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT.,
karena
Berkat
serta
Rahmat-Nya
lah
penulis
dapat
menyelesaikan karya akhir ini sebagai salah satu syarat
dalam mencapai gelar S-2 di program Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia.
Dalam Penyusunan Karya akhir yang berjudul “Kedudukan
Seimbang Suami Isteri Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam
Dan Hukum Nasional Dalam Kasus Vaksetomi”.
Pada Kesempatan ini, penulis degan segala kerendahan
hati hendak menghaturkan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada
1. Ibu Farida Prihartini, S.H., M.H., C.N, selaku dosen
Pembimbing yang selalu memberikan masukan dan bantuan
ketika penulis mengalami kesulitan di masa penulisan.
2. Staf
pengajar
Kenotariatan
di
Lingkungan
Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
3. Bapak
Dian
sekretariat
Puji
Simatupang,
Notariat
di
S.H.,
Lingkungan
Universitas Indonesia.
ii
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
M.H
dan
Fakultas
staf
Hukum
4. Mama, Papa dan kakak-kakakku yang mendo’a kan serta
memberikan dorongan bantuan baik berupa moril maupun
materiil
kepada
penulis
dalam
menyelesaikan
karya
akhir ini. Kepada kalian semualah karya akhir ini
saya persembahkan.
5. Teman-teman penulis: Lenggogeni, Huma, Pungky, Dita,
Fatin, Ike, Yurni, Adis, Mbak Dini, Mira. Terimakasih
telah
penulis
menjadi
kelompok
menjalani
masa
yang
kuliah
menyenangkan
di
program
selama
Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia.
6. dan terakhir, kepada rekan-rekan penulis yang tidak
dapat di sebutkan disini. Penulis banyak menghaturkan
terimakasih
Jakarta, 12 Januari 2006
Penulis
iii
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
ABSTRAK
Keseimbangan kedudukan antar suami isteri diartikan
sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berumah tangga harus
di rundingkan dan di putuskan bersama oleh suami isteri
yang bersangkutan. Dalam rumah tangga walaupun secara fisik
laki-laki memang pada umumnya lebih kuat di badingkan
dengan perempuan, namun mereka adalah sama. Kedudukan
mereka adalah sama, dalam pengertian bahwa masing-masing
sama-sama mempunyai kewajiban yang harus di tunaikan, dan
sama-sama mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan.
Kelalaian di suatu pihak berarti menelantarkan hak dari
pihak
lain
yang
pada
gilirannya
akan
mengakibatkan
keretakan dalam rumah tangga dan terjadi perceraian.
Permasalahan yang akan diuraikan dalam tesis ini berkenaan
dengan masalah (1) Apakah Hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional menganut prinsip keadilan bagi kedudukan isteri
dalam perkawinan. (2) Kedudukan seimbang suami isteri
bagaimanakah yang diterapkan dalam Hukum Islam dan Hukum
Perkawinan Nasional bagi isteri dalam kasus vasektomi.
Metode penelitian yang di gunakan dalam penulisan tesis ini
adalah dengan melakukan metode kepustakaan atau metode
literatur
(Library
Research)
yang
bersifat
yuridis
normatif. Kedudukan seimbang suami isteri dan prinsip
keadilan dalam perkawinan, pengaturannaya dan penerapanya
telah diterapkan secara seimbang dalam Hukum Islam,
Kompilasi Hukum Islam serta Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974, khususnya dalam penyelesaian kasus vaksetomi
yang akan dibahas pada bab II tesis ini.
i
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Pokok Permasalahan
10
C. Metode Penelitian
10
D. Sistematika Penulisan
11
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI
DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL
13
A. Tinjauan Hukum Tentang Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
13
1. Pengertian Perkawinan
15
2. Tujuan Perkawinan
17
3. Syarat dan sahnya Perkawinan
18
4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
26
iv
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
Menurut Hukum Islam
31
1. Pengertian Perkawinan
32
2. Tujuan Perkawinan
36
3. Syarat dan Sahnya Perkawinan
37
4. Hak dan Kewajiban Suami dan
Isteri
45
C. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
Menurut Kompilasi Hukum Islam
53
1. Pengertian Perkawinan
54
2. Tujuan Perkawinan
54
3. Syarat dan Sahnya Perkawinan
55
4. Hak dan Kewajiban Suami dan
Isteri
59
D. Prinsip Keadilan Yang DiTerapkan
Dalam Hukum Islam Dan Hukum Nasional
Bagi Isteri Dalam Perkawinan
61
E. Kedudukan Seimbang Suami Isteri
Dalam Perkawinan Menurut Hukum
Islam Dan Hukum Perkawinan nasional
Dalam Kasus Vaksetomi
v
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
70
BAB III
PENUTUP
78
A. Kesimpulan
78
B. Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
80
vi
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga merupakan basis sosial pertama setiap orang,
oleh karena itu dalam lingkup suatu keluarga perlu dibangun
konsep dan perilaku yang mendasar. Konsep dasar keluarga
ini
dalam
Alquran
disebut
dengan
sakinah,
mawaddah
dan
rahmah.1 Sakinah bermakna dalam merangkai bahtera kehidupan
beruamah tangga, baik dalam suka maupun duka senantiasa
dijalani
dengan
ketenangan
hati,
ketentraman
jiwa
dan
kejernihan jiwa, ketika dalam suka tidak berlebihan dan
ketika
dalam
duka
itu
sedih
yang
berlebihan.
Semua
kehidupan dihadapai dan dijalani sesuai dengan ajaran agama
yang
terkandung
dalam
ayat-ayat
Al-Quran,
sedangkan
mawaddah dan rahmah adalah saling mencintai dan memberikan
kasih sayang satu sama lain antara suami isteri.
Membangun
keluarga
yang
harmonis,
sakinah,
mawaddah
dan rahmah merupakan tujuan utama sebuah keluarga. Untuk
tercapainya
tujuan
tersebut,
perlu
adanya
keseimbangan
1
Hj. Zahunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah Seri Pemberdayaan
Perempuan, Cet 1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).
1
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
antara
suami
mengedepankan
dan
isteri
serta
dan
menanam
kemauan
yang
nilai-nilai
tinggi
untuk
keadilan
dan
kesetaraan dalam keluarga. Keharmonisan akan tercapai dalam
kehidupan
keluarga
bila
di
antara
anggotanya
saling
menyadari bahwa masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dilakukan
dengan
selaras,
diwujudkan
serasi
dengan
dan
sikap
seimbang.
dan
perilaku
Hubungan
antara
tersebut
suami
dan
isteri yang saling menghormati, saling menghargai, saling
membantu, saling mengisi, saling mencintai dan mnyayangi
sehingga antara suami dan isteri dapat bekerjasama sebagai
mitra yang sejajar.
Keadilan
menurut
Ulpianus
adalah
honeste
vivere,
alterum non leadere, suum cuique tribuere yang bermakna:2
1.
Sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan kesusilaan.
2.
Tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang.
3.
Memberikan pada semua orang bagiannya masing-masing.
Rumusan
keadilan
hubungan
antara
suami
dan
Ulpianus
suami
isteri
dan
ini
isteri
diperlukan
2
Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan
Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 57.
2
sesuai
untuk
karena
sikap
landasan
dalam
saling
Jender,
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Cet
1
hubungan
hormat
(Jakarta:
menghormati.
sedangkan
Keadilan
keadilan
menurut
tanpa
hukum
hukum
bersifat
adalah
judisial,
kepastian
ciri
administrasi. Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan
keadilan.
Oleh
diterjemahkan
karena
bahwa
itu,
hukum
tuntutan
harus
sesuai
keadilan
dengan
dapat
cita-cita
keadilan masyarakat yang bersangkutan.
Kepastian
hukum
akan
keadilan
tercermin
juga
dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28d ayat (1), yang berbunyi:
“Setiap
orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.3
Hak
memperoleh
keadilan
dinyatakan
dalam
Pasal
17
Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999, Tentang
Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Kehidupan berumah tangga atau bersuami isteri diawali
dengan
suatu
perkawinan.
Perkawinan
mengandung
makna
spiritual yang suci dan agung, dan merupakan suatu hal yang
3
Indonesia, (a) Undang-Undang Dasar 1945, ps. 28.
3
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
sangat
penting
dalam
kehidupan
manusia.
Karena
dengan
perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan seorang
perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai mahkluk termulia.
Islam
mengajarkan
agar
perkawinan
dilakukan
dengan
niat yang luhur, mengikuti sunah Rasul sehingga benar-benar
bernilai ibadah. Allah berfirman dalam kitab suci Al-Quran
bahwa nikah itu sangat dianjurkan bagi manusia, sebagaimana
dalam surat An-Nur (2) ayat 32:
“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, sesungguhnya Allah Maha Luas Pengetahuan-Nya”.
Dalam
hadist,
Rasulullah
juga
sangat
menganjurkan
pernikahan, beliau bersabda:4
“Nikah adalah sunahku, barang siapa membenci sunahku,
maka ia tidak termasuk golonganku”.
“Kawinlah kalian sebab aku akan menjadi bangga karena
kalian”.
Perkawinan
yaitu
akad
yang
menurut
sangat
hukum
kuat
Islam
atau
adalah
pernikahan,
mitsaqaan
ghaliizhaan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
4
Ibnu Majjah I: 559
4
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
ibadah
yang
bertujuan
untuk
mewujudkan
kehidupan
rumah
tangga sakinah, mawaddah dan rahmah.5
Pengerian
perkawinan
disebutkan
juga
dalam
Pasal
1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan
ini mendefinisikan perkawinan sebagai suatu ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai
suami
isteri
dengan
tujuan
membentuk
keluarga
(rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang
Esa.6
Maha
Atas
disimpulkan
perkawinan
dasar
keluarga
yang
sah,
pengertian
yang
mampu
tersebut,
dibina
harus
memenuhi
hajat
dapat
berdasarkan
hidup
lahir
batin, spiritual dan materiil yang layak, mampu menciptakan
suasana saling hormat menghormati, selaras, seimbang dan
serasi
serta
ketakwaan
dan
mampu
akhlak
menanamkan
mulia
dalam
nilai-nilai
lingkup
keimanan,
keluarga
dan
masyarakat lingkungannya, sesuai dengan nilai-nilai luhur
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta selaras dengan
ajaran agama Islam.
5
Indoneisa, (b) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, ps.2.
6
Indonesia, (c) Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1, LN
No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, ps.1.
5
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga mengatur perihal
perkawianan yaitu pada Pasal 28b yang menyatakan:
“Setiap
orang
berhak
membentuk
keluarga
dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah suatu perjanjian
yang sangat kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,
tentram dan bahagia.7
Keutuhan
dan
kerukunan
aman,
tentram
dan
damai
dalam
berumah
tangga.
rumah
merupakan
Negara
tangga
dambaan
Republik
yang
bahagia,
setiap
Indonesia
orang
adalah
Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin
oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun
1945.
Dengan
demikian
setiap
orang
dalam
lingkup
rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus
didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan
dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk
menjaga
keutuhan
dan
kerukunan
hidup
berumah
tangga, diperlukan keseimbangan hubungan antara suami dan
7
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta:
Penerbit IndHilco, 1990), hal. 1.
6
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
isteri.
Salah
satu
di
antaranya
ialah
dipenuhinya
hak
masing-masing dari suami dan isteri serta dilaksanakannya
kewajibannya,
baik
oleh
suami
maupun
isteri.
Tanpa
dipenuhinya hak, dan tanpa dilaksanakannya kewajiban, rumah
tangga tidak akan behagia dan kekal.
Hak
dan
kewajiban
dua
hal
yang
mempunyai
hubungan
timbal balik antara yang satu dengan yang lain. Kewajiban
suami merupakan hak isteri, dan sebaliknya apa yang menjadi
kewajiban isteri merupakan hak suami. Keduanya tidak hanya
saling
memberi,
tetapi
juga
saling
menerima,
sehingga
masing-masing menjalani kedudukannya sesuai dengan hak dan
kewajibannya. Keadaan yang saling membutuhkan antara suami
dan isteri ini, dilukiskan dalam Alquran surat Al-Baqarah
(2) ayat 187:
“Mereka itu (isteri-isteri kalian) adalah pakaian bagi
kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka”.
Dalam menafsirkan ayat ini, Allamah Thabathaba’i
menulis:
“Kata ‘busana’ (libas) secara umum berarti apapun yang
dapat menutupi tubuh seseorang. Dua kalimat ini
digunakan
secara
metaforis,
karena
masing-masing
wanita dan pria dapat mengekang satu sama lain dari
melakukan perbuatan jahat, serta masing-masing mereka
merupakan busana satu sama lain dengan menutupi aibaibnya dan melindungi bagian-bagian pribadinya”.8
8
Al-mizan fi Tafsir al-quran, jilid 11, hal. 44.
7
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999
Tentang
Hak
Asasi
Manusia,
diatur
juga
mengenai
kedudukan isteri dalam perkawinan yaitu dalam Pasal 51,
yang berbunyi:
“Bahwa seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan
suaminya
atas
semua
hal
yang
berkenaan
dengan
kehidupan perkawinan, hubungan dengan anak-anak dan
hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama”.9
Dari rumusan tersebut dapat jelas suami dan isteri memikul
kewajiban yang sama untuk menegakkan rumah tangga. Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
Tugas
pertama
dan
terutama
suami
dan
isteri
dalam
rangka menjalani kehidupan rumah tangganya adalah dengan
memahami
dan
mempraktekkan
hak
dan
kewajiban
sesuai
kedudukannya masing-masing. Hak dan kewajiban yang dimaksud
tidak hanya bersifat prosedural. Misalnya, suami mencari
nafkah, isteri mengatur rumah, tetapi lebih bersifat moral
ketuhanan.
9
Indonesia, (d) Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No.
39, LN No. 39 Tahun 1999, TLN No. 3886, pasal. 51.
8
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Kepatuhan isteri terhadap suami, bukan didorong sikap
inferior atau rendah diri. Begitu pula, sikap hormat suami
terhadap
tetapi,
isteri
semata
bukan
berkat
disebabkan
dorongan
dirinya
semangat
takut.
dan
Akan
pemahaman
religius masing-masing; kepatuhan terhadap suami atau sikap
hormat
terhadap
positif.
isteri
Dengan
merupakan
mendasarkan
teladan
dan
pemahaman
berakibat
secara
moral
ketuhanan, suami maupun isteri dengan sendirinya dan penuh
sadar akan memenuhi hak dan kewajiban yang bersifat timbal
balik.
Tidak
diragukan
mempunyai
kedudukan
lagi
baik
yang
tidak
isteri
kalah
maupun
suami
penting
dalam
kehidupan berumah tangga. Untuk memahami kedudukan isteri
dalam
rumah
tangungjawab
merupakan
tangga
suami
perbuatan
dan
perlu
diketahui
isteri.
hukum
yang
Oleh
juga
karena
menimbulkan
hak
dan
perkawinan
akibat
hukum
berupa hak-hak dan kewajiban bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan.
Dalam rangka pemahaman kedudukan isteri tentu tidak
terlepas dari penerapan ketentuan hukum perkawinan menurut
hukum Islam yang terdapat dalam beberapa ayat-ayat surat
Alquran,
as-sunah
dan
Ijtihad
9
Ulil
Amri,
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Undang-undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawainan
jo
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam.
B.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka
terdapat beberapa masalah pokok yang akan dibahas yaitu:
1.
Apakah
Hukum
Islam
dan
Hukum
Perkawinan
Nasional
menganut prinsip keadilan bagi kedudukan isteri dalam
perkawinan.
2.
Kedudukan
seimbang
diterapkan
dalam
suami
Hukum
isteri
Islam
dan
bagaimanakah
Hukum
yang
Perkawinan
Nasional bagi isteri dalam kasus vasektomi?
C.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis
ini adalah dengan melakukan metode kepustakaan atau metode
literatur
(Library
Research)
yang
bersifat
yuridis
normatif. Alat pengumpulan data dokumen terhadap data yang
digunakan adalah studi sekunder.
Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer
berupa
Alquran
Undang-Undang
dan
Nomor
peraturan
1
tahun
10
perundang-undangan,
1974,
Peraturan
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
yaitu
Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Sementara itu, untuk bahan hukum sekunder berupa bahan
hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti
buku-buku yang berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban
suami
dan
isteri,
jurnal
serta
makalah
yang
berkaitan
dengan kedudukan isteri dalam perkawinan untuk mendukung
penulisan dengan metode analisis data kualitatif.
Dengan
demikian,
hasil
penelitian
adalah
bersifat
evaluatif-analisis.
D.
Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab, yang
dibagi sebagai berikut.
BAB I
PENDAHULUAN
Mengemukakan apa yang menjadi latar belakang masalah
dengan
menguraikan
keadaan
yang
menjadi
sebab
timbulnya
masalah yang akan diteliti, pokok permasalahan yang akan
dibahas
dan
metode
penelitian
yang
digunakan
sistematika penulisan.
11
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
serta
BAB II
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN
MENURUT
HUKUM
ISLAM
DAN
HUKUM
PERKAWIANAN
NASIONAL
Pembahasan dalam Bab II dibagi dalam dua bagian, yaitu
bagian
pertama
menguraikan
dan
menjelaskan
mengenai
tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi pengertian
dan tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan dan hak
kewajiban suami isteri dalam perkawinan ditinjau dari Hukum
Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam. Pada bagian kedua akan dibahas mengenai pembahasan
analisa
terhadap
permasalahan
yang
diangkat
berdasarkan
teori dan peraturan yang telah diuraikan terlebih dahulu
pada awal Bab II.
BAB III
PENUTUP
Sebagai
yang
bab
diperoleh
penutup
dari
yang
hasil
berisi
tentang
penelitian
dan
diberikan dalam menghadapi permasalahan.
12
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kesimpulan
saran
yang
BAB II
KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL
A. TINJAUAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah
mutlak
adanya
Undan-Undang
Perkawinan
Nasional
yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan
hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi golongan masyarakat.
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila
pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan
mempunyai
hubungan
yang
erat
sekali
dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani. Untuk
itu
Undang-Undang
Perkawinan
harus
dapat
mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 serta dapat menampung segala kenyataan
hidup yang ada dalam masyarakat dewasa ini.
Dalam
Undang-Undang
Perkawinan
terkandung
beberapa
prinsip atau asas-asas perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, adapun asas-asas dan prinsip
tersebut adalah sebagai berikut10:
a. Tujuan Perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia
dan
kekal.
membantu
Untuk
dan
itu
suami
melengkapi
dan
agar
isteri
perlu
saling
masing-masing
dapat
10
Indonesia, (e) Penjelasan Atas Undang – Undang Republik Indonesia No 1
Tahun 1974, hal. 153
13
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
mengembangkan
kepribadiannya,
membantu
dan
mencapai
kesejahteraan spirituil dan materil.
b.
Sahnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya
masing-masing
calon suami dan calon isteri (Pasala 2 ayat 1 UUP).
Disamping itu tiap-tiap perkawina harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat
2). Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
dengan
pencatatn
peristiwa-peristiwa
penting
dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan
dalam
surat-surat
keterangan
yaitu
suatu
akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
c.
Asas Monogami
Undang-Undang
Perkawinan
menganut
asas
monogami.
Artinya seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya
boleh mempunyai seorang isteri atau seorang suami dalam
waktu yang tertentu. Namun demikian perkawinan seorang
suami
dengan
lebih
dari
seorang
isteri
hanya
dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyarat tertentu
dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon
suami dan isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan
tujuan
perkawinan
perceraian
perkawinan
dan
secara
baik
mendapat
mempunyai
tanpa
berakhir
keturunan.
hubungan
dengan
Selain
dengan
itu
masalah
kependudukan, yaitu bahwa umur yang lebih rendah bagi
seorang
perempuan
untuk
14
kawin
mengakibatkan
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
laju
kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
batas umur yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu,
maka
Undang-Undang
ini
menentukan
batas
umur
untuk
kawin baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, ialah
19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam
belas) tahun untuk perempuan.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka UndangUndang
menganut
prinsip
untuk
mempersulit
terjadinya
perceraian. Perceraian hanya dimungkinkan apabila ada
alasan-alasan
tertentu
serta
harus
dilakukan
didepan
sidang pengadilan.
f.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan
suami
maupun
dalam
segala
sesuatu
baik
dalam
pergaulan
yang
kehidupan
masyarakat,
berhubungan
rumah
dengan
dengan
tangga
demikian
urusan
rumah
tangga harus dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami isteri.
1. Pengertian Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan secara tegas mengatur mengenai
apa yang dimaksud Perkawinan, hal tersebut diatur dalam
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan
sebagai
suami
isteri
dengan
tujuan
membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhahan Yang Maha Esa. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 telah memberikan kepastian mengenai apa yang
dimaksud
dengan
perkawinan,
dimana
perkawinan
diartikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
15
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
wanita.
Pengaturan
perkawinan
dalam
demikian
Kitab
berbeda
dengan
Undang-Undang
Hukum
pengaturan
Perdata
yang
tidak memberikan definisi mengenai perkawinan.
Dari perumusan Pasal 1 UUP tersebut dapat disimpulkan
bahwa
pada
unsur-unsur:
hakekatnya
suatu
perkawinan
harus
mengandung
112
a. Merupakan ikatan lahir batin yang artinya bahwa para
pihak secara formal (lahir) merupakan suami isteri dan
keduanya betul-betul mempunyai niat (batin) untuk hidup
bersama sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal.
b.
Merupakan
ikatan
antara
seorang
pria
dengan
seorang
wanita sebagai suami isteri yang berarti UUP menganut
asas monogami (seperti terlihat dalam Pasal 3 ayat 1),
meskipun dengan pengecualian bahwa dalam beberapa hal
polIgami masih diperbolehkan (lihal Pasal 3 ayat 2).
c. Persetujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal
dan
bahagia,
ini
berarti
bahwa
pada
prinsipnya
perkawinan hendaknya berlangsung seumur hidup, sehingga
perceraian harus dihindarkan. Namun demikian UUP juga
tidak
menutup
kemungkinan
terjadi
perceraian,
hanya
dipersukar dengan syarat/alasan yang cukup berat (lihat
Pasal 39).
d. Berlandasakan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa
norma-norma agama dan kepercayaan harus tercermin dan
menjiwai
keseluruhan
peraturan
yang
menyangkut
perkawinan bahkan norma agama/kepercayaan itu menetukan
sah-tidaknya suatu perkawinan.
11
Fadjar A. Mukhtie, Tentang Dan Sekitar Hukum Perkawinan Di Indonesia,
Cet 1, Penerbit: Universitas Brawijaya, Jakarta: 1994
16
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Salah
satu
unsur
dari
perumusan
Undang-Undang
Perkawinan adalah memperhatikan aspek biologis dalam suatu
perkawinan,
berkaitan
dengan
ketidakmampuan
memperoleh
keturunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa ketidakmampuan
isteri
alasan
untuk
melahirkan
keturunan
merupakan
salah
satu
bagi suami untuk beristeri lebih dari satu orang.
Ketentuan ini dirasakan kurang adil, karena dalam hal suami
yang tidak mampu memberikan keturunan tidak diatur sama
seperti isteri. Isteri dalam keadaan demikian diberi hak
untuk menuntut perceraian dari suami, hal ini merupakan
cerminan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, yang menentukan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
berumah
tangga
dan
pergaulan
bersama
dalam
masyarakat.
Pengertian seimbang disini bukanlah berarti sama.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan
Perkawinan
adalah
membentuk
keluarga
yang
bahagia dan kekal. Membentuk keluarga yang bahagia erat
hubungannya
dengan
keturunan
yang
merupakan
pula
tujuan
perkawinan. Menurut Yahya Harahap, kriteria keluarga yang
bahagia dan kekal adalah:123
a.Suami dan isteri dapat membantu serta saling melengkapi.
b.Masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
dan
untuk pengembangan kepribadian itu suami isteri harus
saling bantu membantu.
12
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974, (Medan: Penerbit C.V. Zahi Trading, 1975), hal. 7.
17
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
c.Dan tujuan terakhir yang dikejar oleh keluarga bangsa
Indonesia
ialah
keluarga
bahagia
yang
sejahtera
spiritual dan material.
Agar
tujuan
keseimbangan
perkawinan
kedudukan
tercapai,
antara
suami
dan
harus
isteri,
ada
dengan
begitu segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga merupakan
hasil keputusan bersama antara suami dan isteri berdasarkan
hasil perundingan yang didasari oleh musyawarah mufakat.
3. Syarat Dan Sahnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diatur
persyaratan
sahnya
syarat-syarat
suatu
perkawinan.
perkawinan
tersebut
Tidak
dipenuhinya
dapat
menyebabkan
perkawinan tidak dapat dilangsungkan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan. Perkawinan dapat dilangsungkan
bila seseorang telah memenuhi syarat baik materil maupun
syarat
formil.
Menurut
Undang
Perkawinan
Prof.
mengenal
H.R.Sardjono,
dua
macam
SH,
syarat
Undang-
perkawinan
yaitu_:
a. Syarat Materiil: yaitu syarat yang menyangkut pribadi
calon suami dan calon isteri. Syarat materil ini dibagi
pula
yaitu
pada
hanya
atas
dua
syarat
umumnya,
berlaku
buah,
yaitu
materiil
yang
sedangkan
untuk
(1)
berlaku
(2)
suatu
syarat
materiil
untuk
syarat
perkawinan
materiil
perkawinan
umum
tertentu
khusus
yaitu
perkawinan yang dilarang.
b. Syarat formil: yaitu syarat yang menyangkut formalitas
yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan
dan pada saat dilangsungkanya perkawinan.
A. Syarat materiil terdiri dari:
1. Syarat Materiil Umum
18
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
a.
Pasal
6
ayat
tahun
1
Undang-Undang
Perkawinan
Nomor
1
1974 menetukan bahwa dalam suatu perkawinan
harus
ada
laki-laki
persetujuan
dan
dari
perempuan
kedua
atau
calon
kedua
mempelai
calon
suami
isteri. Perkawinan yang disetujui oleh kedua belah
pihak harus disetujui tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.
Oleh
karena
perkawinan
bertujuan
agar
suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia dan
kekal
dan
sesuai
sesuai
dengan
dengan
hak
asasi
Undang-Undang
manusia
Perkawinan
serta
Nomor
1
Tahun 1974 Pasal 1.
b. Dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974, ditentukan bahwa usia minimal seorang
perempuan
untuk
dapat
sedangkan
seorang
menikah
laki-laki
adalah
19
16
tahun.
tahun
Maksud
pembatasan minimal usia untuk dapat melangsungkan
perkawinan
adalah
untuk
menjaga
kesehatan
suami
isteri dan keturunan. Agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan
secara
baik
tanpa
berakhir
pada
perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan
baik.
c. Calon suami atau calon isteri tidak terikat tali
perkawinan dengan orang lain. Pasal 9 Undang-Undang
Perkawinan
Nomor
1
Tahun
1974,
menyatakan
bahwa
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal
yang
tersebut
pada
Pasal
3
ayat
2
dan
Pasal
4
Undang-Undang Perkawinan kecuali agama membolehkan.
Syarat
yang
ditentukan
Pasal
9
ini
berhubungan
dengan asas monogami yang dianut oleh Undang-Undang
19
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Perkawinan. Dalam Pasal 3 ayat 1 dikatakan seorang
suami hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu
pula seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang
suami.
Asas
Perkawinan
suami
monogami
yang
bersifat
boleh
dianut
terbuka,
mempunyai
lebih
Undang-Undang
maksudnya
dari
seorang
seorang
isteri
pada waktu yang sama kalau memang dikehendaki olah
pihak-pihak
ketentuan
yang
bersangkutan
agama
yang
dan
sesuai
bersangkutan
dan
dengan
memenuhi
syarat tertentu, seperti yang diatur dalam Pasal 4
dan Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974.
d. Seorang wanita yang berstatus janda karena ditinggal
mati
suaminya
waktu
tertentu
atau
karena
untuk
bisa
cerai
harus
menikah
menunggu
lagi.
Waktu
tunggu yang dikenal dengan masa iddah diatur dalam
Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974.
Jangka waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Jika perkawinan putus karena perceraian, maka waktu
tunggu adalah 130 hari sejak tanggal meninggalnya
sang suami.
b. Jika perkawinan putus karena perceraian, maka waktu
tungga
adalah
(1)
bagi
wanita
yang
masih
datang
bulan yaitu 3 kali suci atau minimal 90 hari (2)
bagi
wanita
yang
sudah
tidak
datang
bulan
lagi
yaitu 90 ari (3) jika wanita itu sedang hamil maka
waktu
tunggu
itu
adalah
sampai
wanita
itu
melahirkan (4) tidak ada waktu tunggu bagi janda
20
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
yang putus perkawinan karena perceraian yang belum
perah terjadi hubungan suami isteri.
Dalam Pasal 39 ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975 ditentukan,
bagi
janda
yang
selama
perkawinannya
tidak
pernah
berhubungan kelamin dengan suaminya tidak ada waktu iddah
untuk kawin lagi. Sedangkan dalam Pasal 39 ayat 3 PP Nomor
1975 ditentukan bahwa bagi perkawinan yang putus karena
perceraian
maka
tenggang
waktu
itu
dihitung
sejak
hari
jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Apabila tidak dipenuhinya empat syarat tersebut di atas
maka
calon
pasangan
suami
isteri
tidak
berwenang
untuk
melangsungkan perkawinan.
B. Syarat Materiil Khusus
1.
Bagi
calon
suami
dan
calon
isteri
yang
belum
mencapai usia 21 tahun diperlukan ijin dari kedua
orang tuanya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Jika
salah
satu
dari
kedua
orang
tuanya
telah
meninggal terlebih dahulu atau jika dalam hal salah
seorang
dari
kedua
orang
tuanya
tidak
mampu
menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih
mampu menyatakan kehendak. Bila kedua orang tuanya
telah
meninggal
dunia
atau
dalam
keadaan
tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh
dari
wali,
sedarah
orang
garis
yang
memelihara
keturunan
lurus
atau
keatas
keluarga
yang
masih
hidup atau masih mampu menyatakan kehendaknya. Ijin
kawin tersebut diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Perkawinan
Nomor
1
Tahun
21
1974.
Dalam
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
penjelasan
umum
maupun
penjelasan
Pasal
demi
Pasal
tidak
menentukan apakah pengadilan juga berwenang memberi
ijin kepada seseorang yang belum berumur 21 tahun
untuk
menikah,
jika
kedua
orang
tuanya
menolak
memberi ijin yang dibutuhkan atau dalam hal wali,
orang yang memelihara atau keluarga sedarah garis
keturunan lurus keatas yang masih hidup atau masih
mampu menyatakan kehendaknya menolak memberi ijin.
Ketentuan
ini
hanya
hukum/kepercayaan
berlaku
yang
sepanjang
bersangkutan
tidak
menentukan lain.
2.
Dicantumkan
dalam
Pasal
8
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun 1974 mengenai larangan perkawinan. Perkawinan
dilarang
dilakukan
atau
dilaksanakan
oleh
mereka
yang:
a. Berhubungan dalam garis keturunan lurus kebawah
atau
keatas,
dengan
anak
misalnya
atau
perkawinan
seorang
kakek
antara
dengan
ibu
cucu
perempuannya.
b.
Berhubungan
dalam
garis
lurus
keturunan
menyamping, misalnya antara kakak dan adik atau
paman dengan keponakan.
c.
Berhubungan
dengan
keluarga
semenda,
misalnya
mertua dengan menantu atau bapak/ibu dengan anak
tirinya.
d.
Berhubungan
dengan
hubungan
susuan,
misalnya
antara orang tua susuan dengan anak susuan atau
saudara susuan dengan bibi atau paman susuan.
e.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai
bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal suami
22
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
beristeri
pada
lebih
saat
dari
bersamaan
satu;
dua
artinya
orang
mengawini
wanita
yang
bersaudara (adik kakak) atau dengan bibi dari
isteri
atau
kemenakan
dari
isteri
pada
waktu
bersamaan.
f.
Berdasarkan larangan agama atau peraturan lain
yang
berlaku,
agamanya
yaitu
atau
bagi
peraturan
mereka
lain
yang
oleh
dilarang.
Atas
dasar ketentuan Pasal 8f Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, yang menetukan larangan perkawinan
bagi mereka yang mempunyai hubungan yang oleh
hukum agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang
kawin.
Alasan
perkawinan
dalam
pemerintah
pada
Pasal
30
diadakannya
8,
menurut
Agustus
1973
larangan
keterangan
adalah
tidak
lain berdasarkan norma dan nilai-nilai keagamaan
serta kewajaran menurut moral.
3.
Dalam
Pasal
10
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
ditetapkan bahwa suami isteri yang telah bercerai
dan kawin kembali dan setelah itu bercerai lagi,
maka
mantan
suami
dan
mantan
isteri
tidak
boleh
kawin kembali lagi. Hal ini mencegah perbuatan yang
tidak pantas yaitu melecehkan lembaga perkawinan.
C.
Syarat Formil
Syarat formil perkawinan adalah yang berkaitan dengan
tata
cara
pelangsungan
perkawinan.
Syarat
formil
suatu
perkawinan merupakan syarat yang mendahului serta menyertai
pelangsungan
suatu
perkawinan.
Tata
cara
pelangsungan
perkawinan yang dimaksud lebih lanjut diatur dalam Pasal
3,4,5,6,7,8 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
23
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
formalitas
yang
mendahului
perkawinan
adalah
sebagai
berikut:
1.
Pemberitahuan
a.
Setiap
orang
wajib
memberitahukan
Pencatatan
yang
akan
melangsungkan
niatnya
perkawinan
di
perkawinan
kepada
tempat
Pegawai
perkawinan
itu
akan dilangsungkan (Pasal 3 ayat 1 PP No.9 1975).
b.
Pemberitahuan
itu
dilakukan
secara
lisan
atau
tulisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua
atau
wakilnya
(Pasal
4
PP
No.9
1975).
Dalam
penjelasan Pasal 4 dikatakan bahwa pada prinsipnya
pemberitahuan dilakukan secara lisan kecuali bila
tidak mungkin dapat dilakukan secara tertulis dan
bila
dilakukan
oleh
orang
yag
mewakili
atau
walinya maka ada surat kuasa khusus.
c.
Pemberitahuan tersebut dilakukan minimal dalam 10
hari
kerja
sebelum
perkawinan
dilangsungkan
(Pasal 3 ayat 2 PP No.9 1975). Penyimpangan atas
jangka waktu itu dapat diajukan dispensasi kepada
camat
terkait
atas
nama
Bupati
Kepala
daerah
(Pasal 3 ayat3 PP No.9 1975).
d.
Pemberitahuan
harus
memuat
agama/kepercayaan,
pekerjaan,
calon
keduanya
mempelai
dan
berstatus
janda
disebutkan
suami
atau
atau
duda
nama,
tempat
atau
isterinya
kediaman
salah
maka
yang
umur,
seorang
agar
juga
sebelumnya
(Pasal 5 PP No.9 1975), bagi calon isteri dalam
perkawinan secara Islam agar juga disebutkan nama
wali nikahnya.
24
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
2.
Penelitian (Pasal 6 dan 7 PP No.9 1975)
a. Setelah menerima pemberitahuan yang dimaksud maka
Pegawai
Pencatat
perkawinan
meneliti
telah
apakah
dipenuhi
dan
syarat-syarat
apakah
tidak
terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang
(Pasal
6
harus
ayat
pula
1).
Selain
meneliti
itu
tentang
Pegawai
kelengkapan
Pencatat
dokumen
atau surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
2.
b.
Hasil
penelitian
tersebut
oleh
Pegawai
Pencatat
ditulis dalam daftar yang diperuntukan untuk itu
(Pasal 7 ayat 1).
c.
Apabila
penelitian
perkawinan
Undang
menunjukkan
sebagaimana
Perkawinan
adanya
dimaksud
atau
halangan
dalam
belum
Undang-
dipenuhinya
persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 PP
No.9 Tahun 1975, maka hal itu segera diberitahukan
kepada calon mempelai atau orang tua atau wakilnya
mempelai (Pasal 7 ayat 2).
3.
Pengumuman (Pasal 8 dan 9 PP No.9 Tahun 1975)
Dalam hal penelitian tersebut tidak menunjukkan adanya
halangan
perkawinan
atau
kekurangan-kekurangan
lain
maka Pegawai Pencatat membuat suatu pengumuman tentang
pemberitahuan
perkawinan
kehendak
dengan
cara
akan
dilangsungkannya
menempelkan
surat
pengumuman
pada kantor Pencatatan perkawinan pada suatu tempat
yang
sudah
(Pasal
8).
pengumuman
ditentukan
Dalam
dan
memori
tersebut
mudah
dibaca
penjelasan
dimaksudkan
oleh
dikatakan
untuk
umum
bahwa
memberi
kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
25
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
keberatan-keberatan
bagi
dilangsungkan
perkawinan
apabila hal itu diketahui adalah bertentangan dengan
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya
yang
bersangkutan
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pengumuman
tersebut
ditandatangani
oleh
Pegawai
Pencatat dan memuat identitas dari calon mempelai yang
akan melangsungkan perkawinan serta hari, tanggal, jam
dan tempat dimana perkawinan akan dilangsungkan (Pasal
9).
Dengan
demikian
sah
tidaknya
perkawinan
menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diukur dari ketentuan
agama
dan
kepercayaan
melangsungkan
perkawinan
masing-masing
perkawinan,
yang
dilakukan
orang
sehingga
bertentangan
yang
apabila
dengan
akan
setiap
ketentuan
agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya tidak sah dan
tidak mempunyai akibat hukum.
4.
Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan yang dilaksanakan antara suami isteri akan
mengakibatkan timbulnya akibat hukum bagi kedua belah
pihak, karena dengan terjadinya suatu perkawinan akan
menciptakan
hubungan
hukum
diantara
masing-masing
pihak yaitu berupa hak dan kewajiban. Dalam UndangUndang
Nomor
1
Tahun
isteri
pengaturannya
1974
hak
terdapat
dan
pada
kewajiban
Pasal
30
suami
sampai
dengan Pasal 34.
Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
26
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
“Suami
isteri
memikul
kewajiban
yang
luhur
untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat”.
Menegakkan rumah tangga artinya berusaha agar rumah
tangga
tetap
Kewajiban
ini
utuh
dan
tidak
berhubungan
bubar
dengan
karena
tujuan
perceraian.
perkawinan
yang
disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Kewajiban
suami isteri dalam Pasal 30 tersebut diatas lebih lanjut
ditegaskan lagi dalam Pasal 33, yang menyatakan bahwa:
“Suami
isteri
saling
cinta
mencintai,
hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain”.
Dengan
adanya
sikap
saling
mencintai,
saling
menghormati, saling membantu lahir batin dan saling setia
serta
saling
memberi
diantara
suami
isteri,
maka
terpenuhilah kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah
tangga mereka. Akan terwujudlah suasana aman dan saling
pengertian yang merupakan mutlak bagi tegaknya suatu rumah
tangga.
saling
Pengertian
membantu
akan
harus
kewajiban
diakui
oleh
saling
mencintai
masing-masing
dan
suami
isteri dan masing-masing mengakui diantara mereka mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Hal itu ditegaskan dengan jelas
dalam penjelasan umum Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada
butir 4a; suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
27
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Pasal
31
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
ayat
1,
menyatakan bahwa; hak dan kedudukan iseri adalah seimbang
dengan
hak
dan
tangga
dan
kedudukan
pergaulan
Artinya
Undang-Undang
wewenang
tertentu
atau
hidup
dalam
dalam
kepada
memungkinkan
sendiri
kehidupan
bersama
memberikan
yang
masing-masing
suami
berumah
masyarakat.
suami
mereka
melaksanakan
isteri
bersama-sama
tugas
membina
keluarga bahagia dan sejahtera atas dasar tanggung jawab
bersama.
Undang-Undang
kekuasaan
maritaal
Perkawinan
dari
suami
ini
tidak
sebagaimana
menyetujui
diatur
dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana kekuasaan dalam
perkawinan ada ditangan suami.
Pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa:
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum”.
Masing-masing pihak yang dimaksud tidak lain adalah
suami
isteri
perbuatan
itu
hukum
sendiri,
adalah
sedangkan
setiap
yang
perbuatan
dimaksudkan
yang
dapat
menimbulkan atau mempunyai akibat hukum tertentu14. Walaupun
dikatakan
yang
masing-masing
berarti
berhak
tidak
melakukan
ada
mempertanggungjawabkan
perbuatanya
isteri,
lebih
namun
demikian
baik
perbuatan
kewajiban
kepada
apabila
suami
hukum
untuk
atau
masing-masing
suami isteri tetap saling memberikan informasi kepada suami
atau isteri atas apa yang telah mereka lakukan sehari-hari
dalam melakukan perbuatan hukum demi tercapainya keluarga
bahagia dan kekal.
14
Rusdi Malik, op.cit., Hal. 47.
28
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Pasal 31 ayat 3 berbunyi:
“Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah
ibu rumah tangga”.
Ketentuan
ketentuan
bahwa
tersebut
agama,
khususnya
laki-laki
sehingga
dalam
sangat
itu
erat
agama
adalah
pembentukan
kaitannya
Islam
pemimpin
Undang-Undang
dengan
yang
mengatakan
kaum
perempuan,
diterapkan
juga
pada kehidupan rumah tangga, dimana dikatakan bahwa suami
adalah kepala rumah tangga dan isteri ditetapkan sebagai
ibu rumah tangga dalam pembentukan Undang-Undang Perkawinan
ini.
Pembagian
tugas
tersebut
adalah
sekedar
penyebutan
pembagian tugas dalam rangka menjalankan kehidupan berumah
tangga,
masing-masing
kedudukann
yang
berdasarkan
suami
sama,
kodrat
isteri
yang
dari
mempunyai
pembagian
seorang
tugas
kekuasaan
laki-laki
dan
dan
itu
kodrat
seorang perempuan.
Selanjutnya
Pasal
32
ayat
1
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun 1974, menyatakan bahwa suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap. Maksudnya adalah agar suami
isteri dapat melaksanakan tugas mereka secara bersama yang
berupa kewajiban fungsional secara kooperatif, oleh karena
kewajiban yang kooperatif ini hanya dapat dijalankan jika
suami
isteri
bertempat
tinggal
yang
sama
dan
tidak
terpisah.
Dan Pasal 32 ayat 2 menentukan bahwa; rumah tempat
kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini ditentukan
oleh
suami
isteri
bersama.
Kewajiban
tersebut
merupakan
kewajiban utama dari suami isteri, sebab dengan memenuhi
kewajiban
yang
dimaksud
akan
29
dapat
dijamin
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
keberhasilan
dari
kehidupan
perkawinan,
artinya
terbuka
kesempatan
seluas-luasnya bagi suami isteri untuk membina kehidupan
berkeluarga yang bahagia, sejahtera spirituil dan materiil
yang menjadi tujuan dari perkawinan.
Dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan bahwa:
“suami
wajib
melindungi
isterinya
dan
memberikan
segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya”.
Kewajiban suami tersebut adalah dalam kaitannya dengan
kedudukan sebagai kepala rumah tangga, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan isteri dan keluarga, memberi nafkah dan tempat
kediaman
serta
pakaian
sesuai
dengan
kemampuan
standar
sosial ekonomi suami.
Sedangkan dalam ayat 2 dikatakan bahwa; isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kewajiban ini
tidak dibebankan kepada suami, hal mana dapat dimengerti
karena adalah tugas isteri untuk mengurus rumah tangga dan
kewajiban
isteri
dilimpahkan
kepadanya
dalam
kedudukanya
sebagai ibu rumah tangga.
Selanjutnya ayat 3 mengatakan bahwa; jika suami isteri
melalaikan
gugatan
kewajibannya
kepengadilan.
masing-masing
Alasan
pengajuan
dapat
mengajukan
gugatan
tersebut
adalah bila tidak dipenuhinya atau tidak dilaksanakannya
apa yang menjadi kewajiban masing-masing. Tujuan pengajuan
gugatan
adalah
kewajibannya
itu
agar
dapat
pihak
yang
dipaksa
tidak
oleh
melaksanakan
pengadilan
untuk
melaksanakan kewajibannya demi keutuhan rumah tangga yang
dibentuk sesuai dengan tujuan perkawinan.
30
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
B.
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM
Perkawinan atau pernikahan merupakan kodrat hidup guna
mencapai
kehidupan
damai,
tentram
dan
menumbuhkan
rasa
saling menyayangi antara suami dan isteri, anak-anak dan
cucu dan seterusnya. Islam menganjurkan perkawinan, agar
terwujud keluarga yang besar yang mampu mengatur kehidupan
mereka
diatas
bumi
ini
dan
dapat
menikmati
serta
memanfaatkan segala yang telah disediakan oleh Tuhan.
Allah SWT menjadikan perkawinan sebagai faktor yang
kuat untuk membina kerjasama antara laki-laki dan perempuan
sebagai
berbagai
pasangan
ayat
suami
bahwa
isteri.
kehidupan
Allah
manusia
berfirman
adalah
dalam
berpasang-
pasangan merupakan pembawaaan kodrat hidup, misalnya dalam
surat An-Nahl (16:72):
“Allah menjadikan bagian-bagianmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, dan menjadikan bagianmu dari isteriisterimu itu anak-anak dan cucu”
Rasulullah
Saw
menganjurkan
perkawinan
bagi
mereka
yang telah memenuhi syarat-syarat fisik dan materil yang di
perlukan sebab manfaatnya perkawinan adalah untuk menjaga
jangan
terjerumus
dan
melanggar
larangan
Allah,
yaitu
melakukan zina yang sangat dimurkai Allah yang akibatnya
sangat
merusak
kepada
dirinya
keluarganya
dan
masyarakatnya.
Rasulullah
menjelaskan
arti
pentingnya
perkawinan
dengan sabdanya :
“Bila seorang hamba Allah menikah berarti dia telah
menyempurnakan separuh kewajiban agamanya dan dia
harus bertakwa kepada Allah untuk menyempurnakan yang
separuhnya lagi”.
31
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
1.
Pengertian Perkawinan
Menurut H.Sulaiman Rasyid perkawinan adalah akad yang
menghalalkan
serta
pergaulan
bertolong
dan
menolong
membatasi
antara
hak
dan
seorang
kewajiban
laki-laki
dan
perkawinan
ini
15
seorang perempuan yang antara keduanya .
Sedangkan
secara
pendek
pengertian
ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara laki-laki
dengan seorang perempuan16. Unsur perjanjian disini untuk
memperlihatkan
segi
kesengajaan
dari
perkawinan
serta
menampakannya pada masyarakat ramai. Untuk pernyataan suci,
dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.
Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab, sedangkan
menurut istilah bahasa Indonesia adalah perkawinan17. Nikah
menurut
syara,
bahasa
nikah
melakukan
berarti
berarti
persetubuhan
berkumpul
suatu
aqad
dengan
menjadi
yang
satu.
berisi
menggunakan
Menurut
pembolehan
lafaz
inkahin
(menikahkan) atau tazwizin (mengawinkan). Kata nikah itu
sendiri secara hakiki menurut syaikh Zainuddin bin Abdul
Aziz Al malibrary, berarti akad dan secara majazi berarti
bersenggama18.
Perkawinan dapat dilihat dari 3 segi pandang, yaitu19:
a. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang
dari
segi
hukum,
perkawinan
itu
merupakan
suatu perjanjian, dinyatakan dalam Q.S.4:21, perkawinan
adalah perjanjian yang sangat kuat di sebut dengan kata15
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet 1, (Penerbit:PT Rineka
Cipta, Jakarta: 1991), hal 36.
16
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku Bagi Umat Islam,
Cet 5, (Penerbit: Jakarta: 1986), hal 47.
17
Sudarson, op. cit., hal 36.
18
Neng Djubaedah, Farida Pihartini, Sulaikin Lubis, Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Fakltas Hukum Universitas Indonesia,
2005), hal 33.
19
Sajuti Thalib, op. cit., hal 47-48.
32
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kata
“Mitsaaqaan
Ghalizhaan”.
Perjanjian
dalam
perkawinan ini mempunyai atau mengandung tiga karakter
yang khusus, yaitu:(1) perkawinan tidak dapat dilakukan
tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak. (2) kedua
belah
pihak
laki-laki
dan
perempuan
yang
mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memutuskan
ada
perjanjian
hukum-hukumnya.
tersebut
(3)
berdasarkan
perjanjian
yang
sudah
perkawinan
itu
mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
b. Perkawinan dilihat dari segi sosial.
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian
yang
umum
pernah
ialah,
bahwa
berkeluarga
orang
yang
mempunyai
berkeluarga
kedudukan
yang
atau
lebih
dihargai dari mereka yang tidak kawin.
c. Perkawinan dilihat dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama adalah suatu
segi
yang
dianggap
amat
suatu
penting.
lembaga
Dalam
yang
agama,
suci.
perkawinan
Upacara
itu
perkawinan
adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi
pasangan
hidupnya
dengan
menggunakan
nama
Allah,
sebagaimana di ingatkan oleh Q.S.4:1.2010
Dalam Islam perkawinan adalah sangat di anjurkan karena
menikah
itu
melindungi
menjaga
syahwat.
pandangan
Sebagaimana
mata
yang
yang
di
salah
dan
sunnahkan
oleh
Rasul dari hadist beliau yaitu, Hadist riwayat Jam’ah ahli
hadist:
20
Ibid, hal. 48.
33
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
“Hai pemuda-pemuda barang siapa diantara kamu mampu
dan berkeinginan menikah, hendaklah ia menikah karena
sesungguhnya
pernikahan
itu
dapat
menundukkan
pandangan mata terhadap orang yang tidak halal
dilihatnya dan memelihara dari godaan syahwat. Dan
barang
siapa
tidak
mampu
menikah
hendaklah
ia
berpuasa, karena dengan puasa terhadap perempuan akan
berkurang”.2111
Hadist riwayat Hakim Abu daud dari Aisyah:
“Nikahilah seorang perempuan, maka sesungguhnya mereka
akan mendatangkan harta bagimu”.2212
Hadist riwayat Muslim:
“Takutlah
pada
Allah
dalam
urusan
perempuan.
Sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan
Allah dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan
kalimat Allah”.2313
Hukum
melakukan
perkawinan
menurut
para
sarjana
Islam
asalnya adalah Ibahah atau kebolehan atau halal, hal ini
didasarkan kepada :
Q.S.4:1
a.
Berbaktilah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu
saling meminta untuk menjadi pasangan hidup.
Q.S.4:3
a.
Seyogyanyalah kamu kawin dengan seorang perempuan saja,
perbuatan itulah yang lebih mendekati untuk kamu tidak
berbuat aniaya.
Q.S.4:24
a.
Jangan
kamu
berpoliandri
(mengawini
perempuan
yang
bersuami).
21
Sulaiman Rayid, Fiqh Islam, Hukum Islam Lengkap, Cetakan 29, (Bandung : Sinar Baru Al
genasindo, 1996), hal. 374-375.
22
Ibid.
23
Ibid.
34
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
b. Dihalalkan bagi kamu mengawini perempuan
selain yang
telah nyata-nyata dilarang tersebut. (pada ayat 22, 23
dan awal ayat 24).
Berdasarkan pada perubahan Illahnya (sebab-sebab yang
khusus), maka dari Ibahah atau kebolehan hukum melakukan
perkawinan dapat beralih menjadi sunah, wajib, makruh dan
haram.
Hukumnya
beralih
menjadi
sunah,
apabila
seseorang
dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan
cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada
maka baginya, menjadi sunahlah untuk melakukan perkawinan.
Kalau dia kawin dia mendapat pahala dan kalau dia tidak
atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa dan juga tidak
mendapat pahala.
Hukumnya
beralih
menjadi
wajib,
apabila
seseorang
dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan
dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat
mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin dia akan
terjerumus
kepada
penyelewengan,
maka
menjadi
wajiblah
baginya untuk kawin. Jika dia tidak kawin dia akan mendapat
dosa dan jika dia kawin dia akan mendapat pahala, baik dia
laki-laki atau perempuan.
Beralihnya
hukum
menjadi
makruh,
apabila
seseorang
dipandang dari sudut pandang pertumbuhan jasmaninya telah
wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, dan belum
ada biaya untuk hidup sehingga jika dia kawin hanya akan
membawa
maka
kesengsaraan
makruhlah
hidup
baginya
bagi
untuk
istri
kawin.
dan
Jika
tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala.
35
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
anak-anaknya,
dia
kawin
dia
Sedangkan hukum akan beralih menjadi haram, apabila
seseorang
laki-laki
hendak
mengawini
seorang
perempuan
dengan maksud menganiayanya atau memperolok-olokannya maka
haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan yang
bersangkutan,
sebagaimana
ditegaskan
dalam
Q.S.4:23-24,
jika dia kawin untuk maksud yang terlarang itu dia berdosa
walaupun perkawinan itu tetap sah asal memenuhi ketentuan
formil yang telah yang digariskan.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi
tuntutan
hajat tabiat kemanusian, berhubungan dengan laki-
laki dan perempuan
yang
bahagia
memperoleh
mengikuti
syari’ah.
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga
dengan
dasar
keturunan
yang
cinta,
sah
ketentuan-ketentuan
kasih
dalam
yang
sayang
masyarakat
telah
diatur
untuk,
yang
oleh
2414
Ada pendapat yang mengatakan tujuan perkawinan dalam
Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan
rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan
memelihara
serta
meneruskan
hidupnya
didunia
tercipta
ketenangan
bersangkutan,
ini,
juga
dan
ketentraman
keturunan
mencegah
ketentraman
keluarga
dalam
menjalani
perzinahan
jiwa
dan
bagi
agar
yang
masyarakat.2515
Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai
berikut Menghalalkan hubungan kelamin untuk tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan, Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar
cinta kasih. Memperoleh keturunan yang sah.
24
M.Ramulyo, op cit., hal 26.
Masdar Helmy, Islam dan Keluarga Berencana, Cet. 2 (Semarang: CV Thoha Saputra, 1969),
25
hal.12.
36
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Dari rumusan diatas filosof Islam Imam Ghazali membagi
tujuan dan faedah perkawinan pada lima hal yaitu:2616
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan
serta
memperkembangkan
suku-suku
bangsa
manusia.
b.
Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia.
c.
Memelihara
manusia
dari
kejahatan
dan
kerusakan.
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis
pertama
dari
masyarakat
yang
besar
diatas
dasar
kecintaan dan kasih sayang.
d.
Menumbuhkan
kesungguhan
berusaha
mencari
rejeki
penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung
jawab.
Tujuan
anak-anak
ini
dan
dapat
seluruh
dicapai
anggota
apabila
suami
keluarga
dan
dapat
isteri,
memahami,
menghayati dan menunaikan hak dan kewajiban masing-masing.
3.
Syarat dan Sahnya Perkawinan
Perkawinan yang sah mempunyai nilai keagamaan sebagai
ibadah kepada Allah Swt, yaitu mengikuti sunah Rasul-Nya.
Menurut hukum Islam perkawinan baru dapat dikatakan sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun
ialah unsur pokok atau tiang sedangkan syarat merupakan
unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Rukun nikah
merupakan
bagian
dari
hakikat
perkawinan,
artinya
bila
salah satu rukun nikah tidak dipenuhi maka tidak terjadi
suatu perkawinan.
Sehingga menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah
adalah:
26
M.Ramulyo, op cit., hal 27.
37
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
a. Syarat Khusus
1. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Calon
mempelai
persetujuannya,
harus
tidak
bebas
dalam
dipaksa
menyatakan
oleh
pihak
lain.
Persetujuan ini dapat dilakukan oleh orang yang sudah
mampu berpikir, dewasa atau akil baligh. Dengan dasar
ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani
dalam
ada
melangsungkan
syarat-syarat
perkawinan.
yang
harus
Bagi
calon
dipenuhi,
mempelai
bagi
calon
mempelai laki-laki harus; beragama Islam, terang lakilakinya (bukan banci), tidak dipaksa (dengan kemauan
sendiri),
tidak
beristeri
mahramnya
bakal
isteri,
lebih
tidak
dari
empat,
mempunyai
istri
bukan
yang
haram dimadu dengan bakal istrinya, mengetahui bakal
istrinya tidak haram dinikahinya, tidak sedang dalam
ikhram haji atau umroh.
Sedangkan syarat bagi calon mempelai perempuan yaitu;
beragama Islam, terang perempuan (bukan banci), telah
memberi
ijin
kepada
wali
untuk
menikahinya,
tidak
bersuami, tidak dalam masa iddah, bukan mahram bakal
suami, belum pernah dili’an oleh bakal suaminya, tidak
sedang dalam ikhram haji atau umroh.
2. Ada Wali Nikah
Wali adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan
ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan
perempuan.
Wali
nikah
hanya
ditetapkan
bagi
pihak
perempuan. Menurut mazhab Syafi’i berdasarkan hadist
Rasul yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Siti
Aisyah,
Rasul
pernah
menyatakan
38
tidak
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kawin
tanpa
wali.
Sedangkan
menurut
Maliki
dan
Hambali,
wali
penting dan menjadi sahnya perkawinan.
Seorang
Islam,
wali
harus
baligh,
memenuhi
berakal,
syarat
merdeka,
tertentu
yaitu:
laki-laki,
adil,
sedang tidak ihram atau umroh, syarat ini didasarkan
Al-Quran surat Al-Imron ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil mengambil
orang kafir menjadi wali dengan meningalkan
orang-orang
mukmin,
Barang
siapa
berbuat
demikian, niscaya lepaslah Ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali mu”.
Menurut hukum perkawinan Islam wali ada empat, yaitu
(1) Wali Nasab. (2) Wali Hakim.(3) Hakam. (4) Muhakam.
Wali
nasab
mempelai
adalah
anggota
keluarga
laki-laki
calon
perempuan
yang
memiliki
hubungan
darah
patrilineal dengan calon mempelai perempuan, seperti
bapak, datuk, saudara laki-laki bapak, saudara lakilakinya sendiri. Wali nasab ini terbagi menjadi dua.
Pertama, wali nasab yang berhak memaksa disebut wali
nasab
yang
mujbir
dipendekkan
dengan
sebutan
wali
mujbir. Wali mujbir adalah wali nikah yang mempunyai
hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang lakilaki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini
adalah mereka yang mempunyai garis keturunan keatas
dengan
perempuan
yang
akan
menikah.
Mereka
yang
termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya
keatas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat
mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya
apabila
hal
tersebut
dipandang
39
demi
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kebaikan
bagi
putrinya.
Meskipun
memaksakan
wali
putrinya
mujbir
untuk
diperbolehkan
menikah,
tetapi
untuk
sangat
dianjurkan untuk meminta persetujuan putrinya terlebih
dahulu
sebab,
Kekuasaan
langkah-langkah
wali
mujbir
ini
ini
lebih
menjadi
hilang
baik.
apabila
putrinya telah menjanda. Kedua, wali nasab yang tidak
mempunyai
yaitu
kekuasaan
saudara
memaksa
laki-laki
atau
kandung
wali
atau
nasab
biasa,
sepaba,
paman
yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa dari bapa,
dan
seterusnya
anggota
keluarga
laki-laki
menurut
garis keturunan patrilinial.
Wali
hakim
adalah
wali
yang
di
tunjuk
dengan
kesepakatan kedua belah pihak calon suami istri atau
penguasa atau wakil penguasa yang berhubungan dalam
bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain
dari
Departemen
masih
termasuk
perempuan
Agama.
Hakam
anggota
namun
bukan
adalah
keluarga
wali
seseorang
yang
calon
mempelai
dan
mempunyai
nasab
pengetahuan agama sebagai wali yang cukup.
Sedangkan
Muhakam
ialah
seorang
laki-laki
bukan
keluarga dari perempuan dan bukan dari pihak penguasa,
tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik dan
dapat menjadi wali dalam perkawinan.
3. Ada Saksi
Ketentuan saksi dalam perkawinan yaitu harus ada dua
orang laki-laki yang beragama Islam dengan beberapa
syarat yang harus di penuhi secara komulatif yaitu
Baligh, Berakal, merdeka, laki-laki, adil, mendengar
dan
melihat,
mengerti
maksud
ijab
dan
Kabul,
kuat
ingatannya, berakhlak baik, tidak sedang menjadi wali.
40
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Apabila
dapat
tidak
ada
digantikan
laki-laki
dengan
maka
dua
seorang
orang
laki-laki
perempuan
untuk
menjadi saksi.
4. Ada Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian sesuatu dari
pihak
laki-laki
sesuai
dengan
permintaan
pihak
perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Ma’ruf yaitu
sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat
diperkirakan
oleh
istri.
Pemberian
mahar
hukumnya
adalah wajib, biasanya diberikan pada waktu akad nikah
dilangsungkan sebagai pelambang suami dengan sukarela
mengorbankan
hartanya
untuk
menafkahi
istrinya,
seperti firman Allah dalam Q.S.4:4 dan 25.
Apabila ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus
dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar,
yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar
yang
besarnya
ditentukan
atau
disepakati
kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara
tunai
bisa
juga
ditangguhkan
sesuai
dengan
persetujuan suami. Jika isteri menghendaki tunai,
maka suami harus membayar setelah akad pernikahan
dilaksanakan
tetapi
jika
ditangguhkan
maka
mahar
harus dibayar ketika perceraian terjadi. Dalam hal
mahar yang jumlahnya ditetapkan dan pembayarannya
ditangguhkan,
mengandung
terjadi
perceraian
terjadi
sebelum
suami
hanya
yaitu:
suami
wajib
beberapa
(1)
menggauli
membayar
akibat
Jika
perceraian
istrinya,
separuh
jika
dari
maka
jumlah
mahar yang ditetapkan sebelumnya dengan ketentuan
41
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
bahwa perceraian tersebut adalah perceraian hidup.
Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 237:
“Jika kamu mentalaq perempuan, sebelum kamu
bersetubuh dengan dia, sedangkan kamu telah
menentukan mas kawinnya, maka untuk perempuan itu
seperdua dari yang kamu tentukan itu………”.
(2) Jika terjadi cerai mati sebelum suami menggauli
istrinya
diambil
mahar
dari
tetap
harta
harus
dibayar
kekayaan
suami
penuh,
serta
yang
mahar
tersebut menjadi utang si suami yang meninggal itu.
(3) Jika perceraian, baik perceraian hidup maupun
perceraian
mati
terjadi
setelah
isteri
digauli
suami, maka mahar harus dibayar penuh sesuai jumlah
yang ditetapkan semula.
b. Mahar Mitsil
Mahar
mitsil
ditentukan,
adalah
tetapi
mahar
dibayar
yang
besarnya
secara
pantas
tidak
sesuai
dengan kedudukan isteri dan kemampuan suami.
5. Ada Ijab Kabul
Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam
bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan
ditujukan
Kabul,
kepada
yaitu
laki-laki
penegasan
calon
suami,
penerimaan
sedangkan
mengikatkan
diri
sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki.
Pelaksanaan
antara
pengucapan
ijab
dan
Kabul
tidak
boleh ada antara waktu harus segera dijawab.
b. Syarat Umum
Perkawinan
Perkawinan
larangan
yang
yang
sah
harus
sah
perkawinan,
memenuhi
harus
larangan
rukun
dan
memperhatikan
itu
berupa
syarat.
laranganlarangan
berlainan agama, larangan kawin hubungan darah, larangan
42
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kawin karena hubungan sesusuan, karena hubungan semenda,
larangan poliandri, larangan kawin terhadap wanita yang
dili’an, larangan menikah wanita/pria pejina, larangan
perkawinan bekas suami terhadap isteri yang ditalaq tiga
dan
larangan
kawin
bagi
suami
yang
telah
beristeri
empat.
Larangan
perkawinan
karena
berlainan
agama
didasarkan
pada hukum Al-Qur’an Q.S.2: 221, yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman, janganlah kamu kawinkan laki-laki
musyrik sebelum dia beriman;orang musyrik itu membawa
kepada neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada
kebaikan dan kemampuan”.
Hubungan darah yang sangat dekat menjadi sebab pula bagi
larangan
perkawinan sesamanya. Larangan itu tercantum
dalam Q.S.4:23, yang berbunyi:
“Diharamkan bagi kamu mengawini ibu kamu, anak
perempuan kamu, saudara perempuan kamu, saudara
perempuan ibu kamu, saudara perempuan bapak kamu, anak
perempuan saudara laki-laki kamu, anak perempuan
saudara perempuan kamu”.
Sedangkan
tentang
larangan
perkawinan
karena
hubungan
susuan dan hubungan semenda diatur juga dalam Q.S.4:23.
hubungan sesusuan maksudnya ialah bahwa seseorang lakilaki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah,
tetapi
pernah
mempunyai
larangan
Q.S.4:23.h
menyusu
hubungan
dengan
sesusuan.
ibu
yang
Oleh
sama
dianggap
karenanya
timbul
menikah antara keduanya, hal ini diatur dalam:
;
Dilarang
kamu
menikahi
perempuan
kamu pernah menyusu.
43
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dimana
Q.S.4:23.i ; Dilarang
kamu
menikahi
perempuan
sesama
susuan, yaitu anak dari perempuan yang kamu
pernah menyusu kepada ibunya.
Untuk
yang
hubungan
semenda
terdahulu,
merupakan
halangan
hubungan
perkawinan
perkawinan
dalam
hubungan
perkawinan yang telah ada atau semenda ini diatur dalam:
Q.S.4:23.j ; Dilarang
kamu
menikahi
ibu
istri
kamu
(mertua kamu yang perempuan).
Q.S.4:23.k ; Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang
perempuan, yang ada dalam pemeliharaan kamu
dari
isteri
yang
telah
kamu
campuri
dan
apabila isteri itu belum kamu campuri maka
tidak mengapa kamu menikahi anak tiri itu.
Q.S.4:23.l ; Dilarang
kamu
menikahi
isteri
anak
shulbi
kamu (menantu kamu yang perempuan).
Q.S.4:23.m ; Jangan
kamu
yang
menikahi
perempuan,
saudara
kecuali
isteri
apabila
kamu
kamu
ceraikan yang lain (dilarang kamu nikahi dua
orang perempuan bersaudara sekaligus).
Larangan perkawinan karena hubungan semenda ini diatur
juga dalam Q.S.4:22; jangan kamu nikahi perempuan yang
dinikahi oleh bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan
yang keji. Larangan perkawinan poliandri adalah larangan
bagi laki-laki menikahi seorang perempuan yang bersuami.
Larangan
dalam
sedang
mengawini
Q.S.4:24;
bersuami.
perempuan
diharamkan
Larangan
yang
kamu
bersuami
mengawini
perkawinan
terdapat
perempuan
terhadap
isteri
yang telah di lian adalah bagi mereka bercerai untuk
selama-lamanya, dan tidak dapat baik rujuk lagi maupun
menikah lagi antara bekas suami isteri. Hal ini diatur
44
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dalam
Q.S.24:4
pezinah
dan
maupun
6.
Larangan
laki-laki
menikah
pezinah.
bagi
wanita
Laki-laki
yang
berzinah tidak dapat menikahi perempuan baik-baik, ia
hanya hanya dapat menikahi wanita pezinah atau wanita
musyrik.
Dan
perempuan
pezinah
tidak
dapat
dikawini
laki-laki baik, ia hanya dapat dinikahi dengan laki-laki
pezinah pula atau laki-laki yang musyrik. Demikianlah
ditetapkan oleh Allah dan diharamkan orang-orang mukmin
melakukan
diluar
ketentuan
Allah
tersebut,
hal
ini
dijelaskan dalam Q.S.24:3.
Larangan
tiga
suami
kecuali
dinikahi
menikahi
bekas
isterinya
perempuan
bekas
isteri
lebih
dahulu
oleh
laki-laki
yang
ditalaq
tersebut
lain
telah
secara
sah
kemudian tertalaq lagi serta habis tenggang waktu iddah,
larangan ini diatur dalam Q.S.2:230. Larangan menikah
bagi laki-laki yang telah mempunyai empat orang isteri.
Dikatakan bahwa prinsip perkawinan menurut hukum Islam
itu adalah monogami, tetapi untuk melindungi atau untuk
kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan
dan
pemeliharaan,
yatim
tersebut
kamu
dua,
boleh
tiga
menikahi
atau
ibu
maksimal
dari
empat
anak
orang;
berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi
dibatasi
sampai
dengan
empat
orang
isteri.
Apabila
seseorang sudah mempunyai empat orang isteri haramlah
baginya untuk menikah lagi, dinyatakan dalam Q.S.4:3 dan
Q.S.4:127.
4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Akad yang sah, akan menimbulkan akibat-akibat hukum
baik
bagi
menimbulkan
suami
hak
maupun
dan
bagi
kewajiban
45
isteri,
suami
yang
demikian
kepada
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
isteri
akan
atau
isteri kepada suami secara timbal balik antara keduanya
selain itu akad nikah yang sah juga akan menimbulkan hak
bersama antara suami dan isteri.
Dalam
hal
hak
isteri,
ada
kewajiban
atas
suami
maknanya adalah suami berkewajiban memenuhi segala sesuatu
yang
menjadi
hak
isterinya.
Demikian
pula
mengenai
hak
suami atas isteri, berarti merupakan hal-hal yang menjadi
kewajiban
isteri
untuk
memenuhi
dan
melaksanakan
hak
suaminya, sedangkan hak bersama adalah hak yang dimiliki
oleh suami isteri secara bersama-sama dan kewajibannya pun
dipenuhi secara bersama-sama juga.
Hak dan kewajiban suami isteri ini ditegaskan dalam
Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah Rasul pembagian tersebut
adalah:
a.
Hak dan kewajiban suami isteri bersama.
1. Halal saling bergaul dan mengadakan cucu, begitu
pula
suami
perempuan
haram
dan
menikahi
cucu
ibu
(Q.S.4:23).
isterinya,
anak
Perbuatan
yang
dihalalkan ini berarti suami isteri timbal balik,
yakni suami halal berbuat demikian kepada isteri
dan isteri juga halal berbuat yang sama terhadap
suami. Firman Allah Swt dalam Q.S.2:223:
“Isterimu adalah seperti tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok
tanamu
itu
bagaimana
saja
kamu
kehendaki”.
2.
Hak saling Mewaris.
Suami dan isteri saling mempunyai hak antara yang
satu kepada yang lain untuk mendapatkan harta waris
sebagai akibat dari ikatan perkawinannya yang sah,
jika
salah
seorang
meninggal
46
dunia.
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Jadi
suami
berhak mendapat harta waris dari isteri jika isteri
meninggal dunia, dan isteri juga berhak memperoleh
harta waris dari suami jika suami meninggal dunia.
Firman
Allah
Swt
ini
tentang
hak
saling
mewaris
diatur dalam surat Q.S.4:12 berbunyi:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau dan sesudah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu”.
3.
Pergaulan Suami dan Isteri yang baik
Suami isteri mempunyai hak antara yang satu dengan
yang
lain
untuk
mendapat
perlakuan
yang
baik,
artinya suami berhak mendapat perlakuan yang baik
dari
isteri
perlakuan
dan
dari
isteri
suami.
juga
Ini
berhak
berarti
mendapat
suami
wajib
bergaul dengan baik dengan isterinya dan sebaliknya
isteri
juga
wajib
bergaul
dengan
baik
kepada
suaminya, wajibnya suami bergaul dengan baik kepada
isterinya,
tidak
saja
disebutkan
dalam
Al-Qur’an
tetapi juga dalam Hadist Nabi.
Firman Allah Swt dalam Q.S. 4:19:
“Dan pergaulilah mereka (Isteri-isteri) dengan
baik. Kemudian jika kamu tidakl menyukai mereka
maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak
menyukai
sesuatu,
padahal
Allah
menjadikan
padanya kebaikan yang banyak”.
47
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Dalam makna yang hampir sama Rasulullah bersabda:
“Janganlah
seorang
mukmin
membenci
seorang
mukminah, karena jika ia membenci salah satu
sifatnya tentu akan senang kepada sifatnya”.
Bagi suami, sesungguhnya isteri adalah amanat dari
Allah, suami berkewajiban menggaulinya dengan baik
dan memenuhi semua yang menjadi hak-haknya, sabda
Rasulullah mengenai hal ini:
“Bertakwalah kamu kepada Allah dalam perkara
wanita,
karena
sesungguhnya
kamu
menjadikan
mereka
sebagai
isteri
berdasarkan
amanat
Allah, dan kamu
halalkan
bergaul
dengan
mereka itu berdasarkan
kalimat Allah”.(Riwayat
muslim).
Pergaulan suami isteri juga harus saling membawa
rasa aman dan tentram serta saling mencintai dan
santun
menyantuni
sehingga
rumah
tangga
dapat
berjalan dengan baik, bahagia dan kekal.
Firman Allah dalam Q.S.30:21:
4.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia
menciptakan
kamu
isteri-isteri
dari
jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
Menjaga rahasia masing-masing
Artinya suami isteri harus menjaga rahasia masingmasing
pihak.
Haram
hukumnya
bagi
suami
membuka
rahasia isteri, demikian pula haram hukumnya isteri
membuka rahasia suaminya. Dan apabila masing-masing
pihak dapat saling menjaga rahasia, maka tindakan
ini tindakan yang mulia sebagaimana dikatakan bahwa
isteri yang baik ialah isteri yang tunduk kepada
48
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Tuhan
dan
memelihara
rumahtangganya
dan
rahasia
suami serta rahasia keluarga Q.S.4:34.
Rasulullah menjelaskan mengenai menjaga rahasia ini
dengan sabdanya:
“Bahwa sesungguhnya yang paling dimurkai Tuhan
nanti di hari kiamat, ialah seorang suami yang
diberitahu
oleh
isterinya
tentang
rahasia
isterinya
itu,sedangkan
oleh
suami
tadi
rahasiaitu disiarkan;begitupun seorang isteri
yang diberitahu oleh suaminya tentang rahasia
suami itu sedang oleh isteri itu rahasia tadi
disiarkan”.(Hadist Riwayat
Muslim).
b.
Hak Isteri dan Kewajiban Suami.
Segala sesuatu yang menjadi hak isteri adalah menjadi
kewajiban suami untuk memenuhinya.
1. Hak isteri yang bersifat kebendaaan adalah.
a.
Hak
menerima
Indonesia
mahar;
disebut
mahar
yang
maskawin,
dalam
dalam
bahasa
Al-Qur’an
disebut dalam beberapa istilah: ujur, dari kata
ajrun
yang
(Q.S.4:25),
yang
artinya
shaduqat,
artinya
faridlah,
ganjaran
yang
jamak
atau
dari
pemberian
yang
artinya
sesuatu
kata
hadiah
shaduqah
tulus
(Q.S.4:4),
yang
diwajibkan
atau suatu bagian yang ditetapkan (Q.S.2:236).
b.
Hak atas Nafkah; nafkah merupakan segala sesuatu
yang
menjadi
kebutuhan
isteri
yaitu
pakaian
makanan, tempat kediaman dan lain-lain, kebutuhan
rumah tangga pada umumnya. Mengenai kadar nafkah
yang harus diberikan suami tidak boleh berlebihan
sehingga
memberatkan
suami,
tidak
pula
terlalu
sedikit artinya yang wajar saja dan sesuai dengan
kesanggupan suami. Wajibnya suami memberi nafkah
49
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kepada
isteri
disebutkan
dalam
firman
Allah
Q.S.2:234:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari
Aisyah:
saya
Rasulullah,apakah
pernah
hak
bertanya,
seorang
isteri
wahai
terhadap
suami?” sabdanya:
“Ialah engkau memberi makan kepadanya bila
engkau makan, engkau memberi pakaian bila
engkau berpakaian dan jangan engkau memukul
mukanya, jangan pula engkau melukainya dan
jangan engkau mengucilkannya, kecuali hanya
dalam rumah”. (HR.Abu dawud)
c. Hak atas tempat kediaman; suami wajib menyediakan
rumah
kediaman
tinggal
bagi
bagi
keduanya
isterinya
menurut
dan
bertempat
kesanggupan
suami
sebagaimana, difirmankan dalam Q.S.56:6 :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka………”.
2.
Hak isteri yang bersifat bukan kebendaan
a.
Seorang
suami
hendaknya
memperlakukan
isterinya
dengan baik (Q.S. 4:19). Demikian pula dalam hadist
Rasul:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah
yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu
adalah yang paling baik kepada isterinya”. ”Iman
seorang mukmin yang paling sempurna adalah yang
sebaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kalian
adalah yang paling baik perlakuannya terhadap
keluarganya”.(HR. Tirmidzi)
b. Agar
suami
menjaga
dan
memelihara
isterinya;
diantara
tanggung
jawab
seorang
suami
adalah
menjaga isterinya dari segala sesuatu yang dapat
50
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
merusak
kehormatan,
menganiaya,
meremehkan,
kemuliannya sebagai manusia, merusak nama baik dan
perasaan, tidak menyia-nyiakannya dan menjaga agar
selalu
bertakwa
kepada
Allah
Swt.
Sebagaimana
firman-Nya dalam Q.s.66:6):
“Wahai orang-orang yang beriman, perihalah dirimu
dan keluarga dari api neraka”.
c. Apabila Suami mempunyai isteri lebih dari seorang
maka hendaklah dia berlaku adil terhadap isterinya.
Firman Allah Swt dalam Q.S.4:3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap hak-hak perempuan yatim bila mana
kamu mengawininya, maka kawinilah wanita lain
yang kamu senangi: dua, tiga, empat, kemudian
jika kamu takut
tidak
akan
dapat
berlaku
adil, maka kawinilah seorang saja………”.
Yang dimaksud berlaku adil dalam surat ini adalah
adil
dalam
pemberian
giliran hari
antara
nafkah,
tempat
tinggal,
isteri-isteri
sebagainya. Namun adil dalam
cinta
dan
dan
kasih
sayang sulit dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena
itu
janganlah
isteri
hendaknya
seorang,
karena
membiarkan
kecintaan
isteri
kepada
yang
lain
terkatung-katung hidupnya.(Q.S.4:129)
c.
Hak suami dan kewajiban Isteri
Mengenai hak-hak suami terhadap isterinya adalah:
1. Taat dan patuh; isteri diperintahkan taat kepada
suaminya
selama
bukan
dalam
hal
kemaksiatan,
disinggung dalam firman Allah Swt Q.S.4:34 :
“Laki-laki
perempuan”.
itu
51
adalah
pemimpin
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
bagi
Sabda Rasulullah:
“Isteri yang meninggal dunia dalam keridhaan
suaminya
maka
dia
akan
masuk
surga”.(HR.Tirmidzi)
Dan
isteri
hendaklah
taat
dan
patuh
kepada
suaminya dalam melaksanakan urusan rumah tangga,
selama suaminya itu masih melaksanakan ketentuanketentuan
suami
Allah
dan
durhaka
berkaitan
isteri.
kewajibannya
isteri
yang
untuk
nusyuz.
kehidupan
yang
melanggar
Isteri
taat
kepada
Nusyuz
kepada
dengan
suami
artinya
suami.
disebut
durhaka
Isteri
yang
yaitu
durhaka
dikenakan sangsi yang cukup keras, tetapi isteri
yang taat amatlah besar juga keutamaan yang akan
di
perolehnya,
salah
satu
keutamaan
itu
ialah
ketaatan isteri kepada suami dan mengakui hak-hak
suami
disejajarkan
dengan
jihad
atau
perang
dijalan Allah.
2. Mengurus dan mengatur rumah tangga; selain taat
kepada suami isteri wajib menyelenggarakan urusan
rumah
tangga
pengertian
sebaik-baiknya.
untuk
Termasuk
melaksanakan
kedalam
tugas-tugas
kerumahtanggaan seperti menyelenggarakan keperluan
sehari-hari,
membuat
suasana
rumah
tangga
menyenangkan dan penuh ketentraman baik bagi suami
maupun anak-anak, mengasuh anak dan mendidik anak
(Q.S.4:34).
sebagai
Secara
pengurus
bertanggung
jawab
garis
besar
rumah
tangga
terhadap
isteri
suaminya
tugasnya
mengurus rumah tangga secara professional.
52
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
berperan
dan
termasuk
3. Menjaga harta suami; isteri wajib menjaga harta
suami
dengan
tidak
melakukan
sikap
pemborosan.
Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik
isteri
ialah
jika
kamu
memandangnya, maka kamu akan terhibur, jika
kamu suruh ia akan patuh dan jika
kamu
berpergian dijaganya dirinya dan harta benda
suaminya”. (HR. Nasa’i)
C.
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
PERKAWINAN
MENURUT
KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan Hukum Islam yang
diundangkan
negara
pada
berdasarkan
keputusan
zaman
bersama
Orde
Baru.
Ketua
KHI
Mahkamah
disusun
Agung
dan
Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985. KHI dikukuhkan sebagai
pedoman
dalam
bidang
hukum
materiil
bagi
para
hakim
dilingkungan Peradilan Agama diseluruh Indonesia, menangani
tiga bidang hukum Islam yang terumuskan ke dalam 229 Pasal,
yakni
hukum
perkawinan
(munakahat),
hukum
kewarisan
(mawaris), dan hukum perwakafan (waqf).
Kehadiran
pemerintah
Kompilasi
terhadap
Hukum
Islam
timbulnya
merupakan
berbagai
respon
keresahan
dimasyarakat akibat beragamnya Keputusan Pengadilan Agama
untuk
kasus
yang
sama.
Keberagaman
ini
merupakan
konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan hukum
berupa
fiqih
yang
dipakai
oleh
para
hakim
agama
dalam
memutuskan suatu perkara. Karena itu, muncul suatu gagasan
mengenai
perlunya
suatu
hukum
positif
yang
dirumuskan
secara sistematis sebagai landasan rujukan bagi para hakim
agama
sekaligus
sebagai
langkah
awal
untuk
kodifikasi Hukum Nasional.
53
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
mewujudkan
Oleh karena itu, kehadiran KHI dipandang sangat efektif
digunakan oleh para hakim agama, pejabat KUA dan masyarakat
sebagai sumber dan landasan hukum dalam berbagai keputusan
Peradilan Agama.
1.
Pengertian Perkawinan
Menurut
Kompilasi
Hukum
Islam
Pasal
2,
perkawinan
adalah sebagai pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqaan
gholidzan
melaksanakannya
untuk
merupakan
mentaati
perintah
ibadah.
Mitsaaqan
Allah
dan
gholidzan
adalah perjanjian yang teguh.2717
Pengertian
perkawinan
ini
banyak
perbedaan
pendapat
antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini bukan untuk
memperlihatkan
dengan
yang
perumus
lain,
untuk
banyaknya
pertentangan
dalam
antara
melainkan
memasukkan
perumusan
hanya
pendapat
yang
satu
keinginan
dari
para
unsur-unsur
pengertian
yang
sebanyak-
perkawinan.
Namun
demikian dari seluruh rumusan pengertian perkawinan yang
berbeda-beda terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan,
yaitu, nikah merupakan perjanjian antara seorang laki-laki
dan
perempuan.
untuk
membentuk
Perjanjian
disini
adalah
keluarga
antara
seorang
perjanjian
suci
laki-laki
dan
seorang perempuan, disini dilihat dari segi keagamaan suatu
perkawinan.
2.
Tujuan Perkawinan
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sehingga terwujud
kehidupan berumah tangga yang aman dan tentram serta saling
27
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 10.
54
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
mencintai
dan
menyantuni
satu
sama
lain
antara
suami
isteri.
Sementara
perkawinan
itu
sebagai
perspektif
tuntutan
Islam
hajat
mengartikan
tabiat
tujuan
manusia
dengan
maksud memperoleh keturunan yang sah, mewujudkan keluarga
yang
berdasarkan
basis
pertama
cinta
kasih,
masyarakat
yang
karena
keluarga
merupakan
besar,
memelihara
manusia
dari kejahatan dan kerusakan dan menumbuhkan kesungguhan
berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa
tanggungjawab
suami
kepada
keluarga
dan
isteri
mengatur
kehidupan rumah tangga.
3.
Syarat Dan Syahnya Perkawinan
Ketentuan
akan
sahnya
perkawinan
diatur
dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan,
dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 7.
Menurut Pasal 4 KHI perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang
Perkawinan.
Agar
terjamin
ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat.
Pencatatan
perkawinan
tersebut
dilakukan
oleh
Pegawai Pencatat Nikah dan perkawinan harus dilangsungkan
di
hadapan
Nikah.
dan
Apabila
di
bawah
pengawasan
perkawinan
tersebut
Pegawai
Pencatatat
dilakukan
diluar
pengawasan Pegawai Pencatat perkawinan yang dilakukan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah
yang
dibuat
perkawinan
oleh
tersebut
Pegawai
tidak
Pencatat
dapat
Nikah.
dibuktikan
Jika
dalam
dengan
akta
nikah dapat diajukan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama.
55
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Itsbat
nikah
yang
hendak
diajukan
ke
pengadilan
agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:2818
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
Hilangnya akta nikah.
Adanya keraguan tentang sahnya atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan
perkawinan
menurut
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974.
Selanjutnya rukun dan syarat perkawinan, diatur pada
bagian kesatu sampai dengan kelima Pasal 14 sampai dengan
Pasal 19. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan
itu sendiri, sedangkan syarat perkawinan merupakan sesuatu
yang
harus
ada
dalam
perkawinan
tetapi
tidak
termasuk
hakekat dari perkawinan itu sendiri.2919
Untuk melaksanakan perkawinan pertama harus ada calon
suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan
kabul.
Demi
kemaslahatan
keluarga
dan
rumah
tangga
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun.
Bagi
calon
mempelai
yang
belum
mencapai
umur
21
tahun harus izin orang tua atau wali.
Perkawinan yang akan dilaksanakan harus didasari atas
persetujuan
calon
mempelai.
Bentuk
persetujun
28
calon
Muhamad Zain, Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial, cet 1 (Jakarta : Penerbit Graha Cipta, 2005), hal. 149.
29
M. Idris Pramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet.2 (Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 1996),
hal. 30.
56
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
mempelai perempuan berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan,
lisan
atau
isyarat
dan
dapat
juga
berupa
diam
dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Sebelum
berlangsungnya
perkawinan
harus
ditanyakan
terlebih dahulu persetujuan dari calon mempelai dihadapan
dua
saksi
nikah.
Dan
apabila
perkawinan
terebut
tidak
disetujui oleh salah satu calon mempelai maka perkawinan
itu tidak dapat dilangsungkan.
Dalam perkawinan wali nikah merupakan rukun yang harus
dipenuhi
bagi
calon
mempelai
perempuan,
yang
bertindak
sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baliqh (Pasal 20
ayat 1). Wali nikah terdiri dari wali nasab dan Wali hakim
(Pasal 20 ayat 2). Wali Nasab terdiri dari empat kelompok
dalam urutan kedudukan. Kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan
dengan calon mempelai perempuan:3020
a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas
yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
b. Kedua, kelompok kerabat saudara lai-laki kandung atau
saudara laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka.
d.
Keempat,
kelompok
saudara
laki-laki
kandung
kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan mereka.
30
Muhamad Zain, op.cit. hal 154-155.
57
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Sedangkan wali nikah hakim adalah wali yang baru bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin untuk hadir.
Setiap
perkawinan
harus
disaksikan
oleh
dua
orang
saksi. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah. Yang dapat menjadi saksi adalah seorang lakilaki, muslim, adil, aqil, baliqh, tidak terganggu ingatan
dan
tidak
tuna
rungu
atau
tuli.
Dan
harus
hadir
serta
menyaksikan langsung perkawinan tersebut. Ijab dan kabul
antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak terselang waktu.
Terdapat halangan nikah atau larangan nikah seperti
yang diatur dalam Bab VI, Pasal 39 sampai dengan Pasal 44
Kompilasi
Hukum
Islam.
Seorang
pria
dan
seorang
wanita
dilarang melangsungkan perkawinan disebabkan karena:
a.
Pertalian
nasab,
yakni
dengan
seorang
wanita
yang
melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dengan
seorang wanita saudara yang melahirkannya.
b. Pertalian kerabat semenda, dengan seorang wanita yang
melahirkan
isterinya
atau
bekas
isterinya;
dengan
seorang wanita bekas isteri oran yang menurunkannya;
dengan
seorang
wanita
keturunan
isteri
atau
bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan
bekas isterinya itu qoblal al-dukhul; dengan seorang
wanita bekas isteri keturunannya.
c. Pertalian susuan, dengan seorang wanita yang menyusui
dan
seterusnya
menurut
garis
lurus
keatas;
dengan
seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus kebawah; dengan seorang wanita saudara sesusuan
58
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dan kemenakan sesusuan kebawah; dengan seorang wanita
bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; dengan
anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Dalam
keadaan
tertentu
seorang
pria
dan
seorang
wanita
dilarang melaksanakan perkawinan, hal ini disebabkan yaitu,
karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan
dengan pria lain; masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain dan wanita itu tidak beragama Islam.
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang
wanita
yang
mempunyai
hubungan
pertalian
nasab
atau
sesusuan dengan isterinya, larangan tersebut tetap berlaku
meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’i tetapi masih
dalam masa iddah. Seorang pria juga dilarang melangsungkan
perkawinan
sedang
dengan
mempunyai
seorang
4(empat)
wanita
orang
apabila
isteri
pria
yang
tersebut
berempatnya
masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak
raj’i ataupun salah saeorang diantara mereka masih terikat
tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak
raj’i.
Dan
dilarang
melangsungkan
perkawinan
seorang
pria
dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga
kali
serta
dengan
seorang
wanita
bekas
isterinya
yang
dili’an. Terakhir larangan untuk melangsungkan perkawinan
seorang
wanita
Islam
dengan
seorang
pria
yang
tidak
beragama Islam.
4.
Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam KHI diatur dalam,
bagian kesatu sampai dengan bagian keenam, Pasal 77 sampai
dengan Pasal 84.
59
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Suami isteri dikatakan memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat,
wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Suami
isteri
memelihara
jasmani
memikul
anak-anak
rohani
kewajiban
mereka
maupun
untuk
baik,
mengasuh
mengenai
kecerdasannya
dan
pertumbuhan
dan
pendidikan
agamanya. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya. Jika
suami
atau
isteri
melalaikan
kewajibannya,
masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Suami
isteri
harus
mempunyai
tempat
kediaman
yang
tetap dan rumah tinggal yang dimaksud ditentukan oleh suami
dan isteri bersama.
Suami
adalah
kepala
keluarga
dan
isteri
ibu
rumah
tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan
kedudukan
suami
dalam
kehidupan
rumah
tangga
dan
pergaulan bersama dalam masyarakat dan masing-masing berhak
untuk melakukan perbuatan hukum.
Kewajiban
suami
adalah
menjadi
pembimbing
terhadap
isterinya dan rumah tangganya, akan tetapi untuk hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami isteri bersama. Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikannya segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya dan memberikan pendidikan agama
kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna serta bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
Suami dalam kehidupan rumah tangga menanggung; nafkah, dan
tempat
kediaman
bagi
isteri;
biaya
rumah
tangga,
biaya
perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; biaya
60
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
pendidikan
Kewajiban
apabila
kediaman
bagi
suami
anak,
sesuai
sebagaimana
isteri
nusyuz.
yang
layak
yang
Suami
bagi
dengan
penghasilanya.
disebut
wajib
isteri
diatas
menyediakan
selama
dalam
gugur
tempat
ikatan
perkawinan dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih
dalam masa iddah atau iddah wafat. Untuk melindungi isteri
dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa
aman
dan
tentram
dan
berfungsi
sebagai
tempat
menyimpan harta kekayaan serta sebagai tempat menata dan
mengatur
isteri
alat-alat
lebih
rumah
dari
tangga.
seorang
Jika
maka
suami
suami
mempunyai
berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masingmasing
isteri
secara
jumlah
keluarga
yang
berimbang
menurut
ditanggung
besar
masing-masing
kecilnya
isteri,
kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
Seorang isteri berkewajiban untuk berbakti lahir dan
batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum
Islam.
Isteri
juga
mengatur
dan
menyelenggarakan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
D.
PRINSIP KEADILAN YANG DITERAPKAN DALAM HUKUM ISLAM DAN
HUKUM NASIONAL BAGI ISTERI DALAM PERKAWINAN
Kata
adil
atau
keadilan
merupakan
tujuan
dan
inti
daripada hukum. Adil mengandung pengertian yakni meletakan
sesuatu pada tempatnya. Perkataan hukum berasal dari bahasa
Arab, yakni dari pokok kata “Hakama”, yang berarti meninjau
dan menetapkan sesuatu hal yang adil dengan tidak berat
sebelah.
61
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Landasan keadilan dalam Islam di landasi oleh beberapa
faktor yaitu:3121
a. Kemerdekaan secara mutlak.
b. Persamaan kedudukan bagi setiap manusia.
c. Saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika keadilan dilihat dari kacamata “Rahman dan Rahim”
dengan
Distributiva
dan
Commutativa,
maka
“Commutativa-
Rahman yaitu Tuhan Yang Maha Esa itu memandang dan menilai
manusia didunia ini adalah sama. Tuhan tidak membedakan
hamba-hambanya didunia fana ini satu sama lainnya, tidak
mengenal
perbedaan
suku
bangsa,
perbedaan
warna
kulit,
perbedaan status sosial, perempuan dan laki-laki semuanya
adalah sama.
Sedangkan “Rohim-Distributiva”, yaitu Tuhan memberikan
keadilan-Nya
pada
perbuatannya.
Amal
setiap
manusia
sesuai
shaleh
manusia
itu
dengan
akan
amal
menentukan
Keadilan Tuhan pada diri manusia di alam Akherat.
Distrbutiva dan Commutativa adalah teori Aristoteles
dalam
pembagian
keadilan.
Keadilan
Distributiva
adalah
keadilan yang memberikan pada setiap orang jatah menurut
jasanya,
sedangkan
keadilan
Commutativa
adalah
keadilan
yang memberikan sama banyaknya dengan tidak mengingat jasajasa perorangan.3222
Aristoteles dalam bukunya Rhetorica mengatakan bahwa
hukum
bertugas
membuat
berkata
bahwa
seseorang
apabila
orang
itu
31
adanya
keadilan
dikatakan
mengambil
lebih
dan
berlaku
dari
Ia
pernah
tidak
adil
bagian
yang
Sayed Kotb, Social Justice in Islam, (New York: American Council Learned Sociaties, 1968),
page. 30.
32
Abdullah Sani, Hakim dan Keadilan Hukum, cet 1, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1977),
hal. 76.
62
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak
adil
karena
dianggap
semua
sebagai
hal
yang
adil.
didasarkan
Keadilan
pada
adalah
hukum
penilaian
dapat
dengan
memberikan siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya,
yakni
dengan
dengan
melanggar hukum.
Menurut
bertindak
proporsional
dan
tidak
3323
Rawls,
prinsip
fundamental
bagi
pembentukan
masyarakat adil adalah: (1) Prinsip kesamaan artinya tiaptiap
individu
mempunyai
kebebasan-kebebasan
hak
dasar
akan
yang
suatu
sebesar
sistem
mungkin,
total
sejauh
sistem kebebasan dapat disesuaikan dengan sistem kebebasan
yang sama besar bagi orang lain; (2) Prinsip ketidaksamaan
artinya
situasi
sedemikian
ketidaksamaan
rupa
sehingga
harus
paling
diberikan
menguntungkan
aturan
golongan
masyarakat yang paling lemah.
Hasil
penggunaan
prinsip
keadilan
tersebut
adalah
kebebasan yang sama termasuk kebebasan batin yang tidak
boleh dipermainkan; pengakuan hak-hak politik bagi semua
orang;
berlakunya
pengendalian
semua
dengan
peraturan
memberikan
hukum
sebagai
sangsi-sangsi.
sistem
Dari
dua
prinsip tersebut Rawls hendak mengatakan bahwa perlu ada
keseimbangan
antara
pribadi
pemberian
dan
kepentingan
proritas
bersama
bagi
dan
mereka
kepentingan
yang
lemah
supaya tidak menjadi korban.
Persamaan yang dikaitkan dengan keadilan disini adalah
persamaan
hak,
persamaan
hak
tidak
berarti
sama
persis
tetapi setara dan sederajat atau sejajar. Sedangkan adil
menurut quran adalah adanya perlakuan yang sama dalam hal
33
Jimly Asshidiqie, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, cet 2, (Jakarta : Penerbit Watampone Press,
2003), hal 41.
63
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
makanan,
pakaian,
tempat
tinggal
serta
adanya
perlakuan
yang sama dalam hal cinta dan kasih.
Prinsip keadilan yang digambarkan dalam Islam adalah
dari konsep perkawinan Islam yang menganut monogami, yang
tidak
mengharamkan
poligami.
Poligami
adalah
keinginan
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang. Namun
dalam
berpoligami
ketentuan
dan
Islam
memberikan
syarat-syarat
pengecualian
tertentu
bagi
suami
dengan
yang
berkeinginan beristeri lebih dari seorang.
Syarat
dan
ketentuan
yang
dimaksud
adalah
diharuskannya berlaku adil, sebagaimana firman Allah dalam
Q.S.4:3 yang berbunyi:
“Jika kamu takut tidak akan berlaku adil diantara
isteri-isterimu kamu, seyogyanya kamu mengawini
seorang wanita saja, sebab kawin dengan seorang
wanita saja lebih baik bagimu agar kamu tidak
berbuat aniaya…”
syarat adil yang dimaksud Q.S.4:3 yaitu adil dalam
menafkahi isteri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran
dan
lain-lain
yang
bersifat
lahiriyah,
keadilan
disini
bukanlah seperti sebagaimana firman Allh dalam Q.S.4:129
yang berbunyi:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil diantara isterimu, walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian…”
Anjuran Allah SWT, untuk beristeri satu adalah untuk
menghindarkan seseorang untuk sewenang-wenang dan membuat
orang lain menderita atau teraniaya apabila orang beristeri
lebih
dari
satu.
Oleh
karena
itu
meskipun
suami
diperbolehkan mengawini isteri lebih dari seorang tetapi
64
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
bila tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan,
sebaiknya menikahi seorang isteri saja.
Gambaran
tentang
keadiln
dalam
berpoligami
menurut
Islam, dijelaskan secara lebih rinci dalam Q.S.4:3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
lain yang kamu senangi: dua, tiga, empat,
kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
maka kawinilah seorang saja atau budak-budak lain
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
kepada yang berbuat aniaya”.
Ayat
ini
menjelaskan
bahwa
seorang
laki-laki
tidak
begitu saja bisa mengawini siapa saja yang diinginkannya
tetapi ada aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan dan
dipahami,
ketentuan
itu
meliputi,
pertama;
menikahi anak yatim bila takut tidak akan
larangan
berlaku adil
dalam mahar, yakni tidak dapat memberikan mahar minimal
sama besarnya dengan mahar perempuan-perempuan lain, kedua;
seorang laki-laki dihalalkan menikahi lebih dari satu orang
perempuan bahkan sampai empat jika sanggup untuk memenuhi
ketentuan yang ditetapkan, ketiga; seorang laki-laki hanya
boleh menikahi satu orang perempuan saja jika ia takut akan
berbuat durhaka kalau menikahi lebih dari satu orang.
Allah
membolehkan
poligami
dengan
batasan
empat
orang
isteri, tentu dibarengi dengan kewajiban suami berlaku adil
diantara
isteri-isterinya
dalam
berbagai
urusan
seperti
makan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya tanpa
membedakan-bedakan
antara
satu
dengan
yang
lainnya.
Dan
bila suami takut tidak akan berlaku adil dan berbuat dzalim
terhadap hak-hak isteri-isterinya, maka diharamkan baginya
untuk berpoligami.
65
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Rasulullah
memberikan
peringatan
kepada
suami
yang
hendak berpoligami apabila tidak bisa berlaku adil maka
akan
ada
azab
yang
akan
dijatuhi
kepadanya,
dengan
sabdanya:
“barang
siapa
yang
mengawini
dua
wanita,
sedangkan dia tidak bisa berbuat adil kepada
keduanya pada hari akhir nanti separuh tubuhnya
akan lepas dan terputus”. ( Jami’ al ushul, juz
XII, 168, nomor hadist: 9049).
Mustafa
al-Maraghy
menolak
poligami
dalam
yang
kitab
tafsirnya
menyalahi
dengan
ketentuan
dan
tegas
tujuan
pernikahan yakni pernikahan yang tidak kesesuaian dengan
pencapaian kehidupan kebahagian dan keluarga sakinah (yang
dapat
mewujudkan
mawaddah
dan
keluarga
adalah
pada
kasih
ketentraman
sayang
rukun
serta
atau
jiwa
isteri).
ketentraman
prasyarat
jiwa
utama
Sebab
dalam
pencapaian
kebahagian kehidupan keluarga. Seorang muslim tidak boleh
berpoligami,
memenuhi
kecuali
ketentuan
dalam
Allah
keadaan
swt,
yaitu
darurat
mampu
dan
berlaku
dapat
adil
terhadap isteri-isterinya. Jika tidak, maka poligami tiada
lain
kecuali
seseorang
sebagai
terhadap
bentuk
dirinya
penindasan
sendiri,
(kezaliman)
isterinya
termasuk
kepada anak-anaknya.3424
Rasulullah sendiri sangat tegas menolak poligami Ali bin
Abi
Thalib,
disebutkan
dalam
hadist
riwayat
Bukhari,
Muslim, Tirmidzi dan Ibn Majah:
“Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau,
Fatimah binti Muhammad saw akan dipoligami Ali Bin Abi
Thalib, ketika mendengar rencana itu Nabi langsung
masuk mesjid dan naik mimbar, lalu berseru “beberapa
keluarganya Bani Hasyim Bin Al-Mughirah minta izin
34
Muhhaman Zain, op cit., hal. 51.
66
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali Bin
Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan ,
sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak
mengizinkan, kecuali Ali Bin Abi Thalib menceraikan
putriku,
kupersilakan
mengawini
putri
mereka.
Ketahuilah putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasannya adalah menggangguku juga, apa
yang
menyakiti
hatinya
adalah
menyakiti
hatiku
juga”.(Jami’
al-Ushul,
juz
XII,
162,
nomor
hadist:9026).
Dari
hadist
diatas
tergambar
jelas,
poligami
akan
menyakiti hati seorang isteri tidak terkecuali keluarganya
dan tentunya jauh dari maksud tujuan perkawinan yaitu untuk
mewujudkan
suatu
keluarga
yang
bahagia
dengan
didasari
cinta kasih dan sayang.
Pinsip keadilan dalam berpologami diatur juga dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dalam Pasal 3 ayat
2 dan Pasal 5 ayat 1. Pasal-Pasal tersebut merupakan Pasal
yang berisi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan
dan
harus
dipenuhi
oleh
suami
bila
berkeinginan
untuk
beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang Perkawinan ini
bermaksud
menegakkan
prinsip
monogami
dengan
mempersulit
poligami. Dalam hal ini pengadilan memegang peranan agar
tidak terjadi penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan satu
pihak terhadap pihak yang lainnya.
Dalam hal suami akan beristeri lebih dari satu orang,
pertama-tama harus diperhatikan syarat dan prosedur yang
ditentukan Undang-Undang. Suami tidak dapat beristeri lebih
dari satu orang jika tidak memenuhi syarat, adanya alasanalasan, dan sesuai dengan prosedur yang telah di tentukan
oleh
Undang-Undang.
agama,
artinya
Kedua,
apakah
harus
agama
memperhatikan
yang
dianut
ketentuan
suami
isteri
memungkinkan bagi suami untuk beristeri lebih dari satu
67
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
orang.
Ketiga,
karena
hak
harus
untuk
juga
diperhatikan
beristeri
lebih
ketentuan
dari
satu
moral,
orang
hanya
diberikan kepada pihak suami, maka suami dalam melaksanakan
haknya
harus
sedemikian
sewenang-wenang
penyelundupan
makna
terhadap
hukum
yang
rupa,
isteri
atau
terkandung
sehingga
dan
melakukan
dalam
tidak
tidak
hal-hal
Pasal
33
berlaku
melakukan
mengingkari
Undang-Undang
perkawinan.
Dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dikatakan bahwa seorang suami yang akan beristeri lebih
dari satu orang harus ada izin dari pengadilan agama dan
pengadilan
akan
memberikan
izin
tersebut
apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan juga apabila hukum
dan agama yang bersangkutan mengizinkan.
Selanjutnya Pasal 5 ayat 1, menambahkan bahwa suami
yang berkeinginan mempunyai isteri lebih dari satu juga
harus
memenuhi
syarat
yaitu;
adanya
persetujuan
dari
isteri-isteri terdahulu, adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Jaminan
suami
dan
ketika
kepastian
akan
tersebut
mengajukan
harus
permohonan
dipenuhi
izin
oleh
untuk
beristeri lebih dari satu orang. Kepastian dan jaminan yang
harus
dipenuhi
suami
kelangsungan hidup
yaitu
jaminan
dan
kepastian
untuk
isteri dan anak berupa nafkah lahir dan
batin dan tempat tinggal yang layak.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam prinsip keadilan
dalam berpoligami diatur Pasal 55 dan Pasal 56 jo Pasal 82.
Hal ini berkaitan keinginan suami untuk beristeri lebih
68
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dari
seorang.
dibatasi
Dalam
dengan
Kompilasi
adanya
HukuM
Islam
syarat-syarat
hal
tertentu
tersebut
dan
tidak
lepas dari tanggung jawab suami untuk berlaku adil.
Pasal 55 ayat 2 dan 3, menyatakan bahwa suami yang
hendak beristeri lebih dari dua syarat utamanya harus mampu
berlaku
suami
adil
terhadap
tidak
mampu
isteri
berlaku
dan
anak-anaknya,
adil
maka
suami
apabila
dilarang
beristeri lebih dari satu.
Kehendak suami untuk beristeri lebih dari satu ini
harus
mendapat
izin
dari
Pengadilan
Agama
dan
apabila
perkawinannya dengan isteri kedua, tiga dan empat tidak
mendapat
izin
dari
pengadilan
maka
perkawinan
tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini diatur dalam Pasal
56 ayat 1 dan 3.
Penegasan harus adilnya seorang suami terhadap isteriisterinya mengenai nafkah yang harus diberikan, tersirat
dalam Pasal 82 ayat 1, yang menyatakan bahwa suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan
tempat tinggal dan biaya kepada masing-masing isteri secara
berimbang
menurut
besar
kecilnya
jumlah
keluarga
yang
ditanggung masing-masing.
Dari
apa
yang
telah
dijabarkan
diatas,
maka
dapat
disimpulkan pada dasarnya hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional
serta
Kompilasi
Hukum
Islam,
jelas
memberikan
pengecualin dan batasan-batasan tertentu untuk suami yang
hendak beristeri lebih dari seorang. Pembatasan tersebut
dimaksudkan
terhadap
agar
isteri
suami
dan
tidak
bertindak
memperhatikan
sewenang-wenang
hak-hak
menjadi tanggung jawabnya.
69
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
isteri
yang
Pembatasan juga dimasudkan memberikan perlindungan dan
jaminan serta kepastian hukum bagi isteri agar diperlakukan
secara adil oleh suami. Adil dalam hal ini yaitu adanya
persamaaan hak dan persamaan hukum. Persamaan tidak berarti
sama
persis
tetapi
setara
dan
sejajar
dalam
kehidupan
berkeluarga antara suami dan isteri. Pembatasan ini juga
dimaksudkan
mempersulit
keinginan
suami
untuk
beristeri
lebih dari satu.
Oleh karena itu agar poligami dipahami secara benar,
hendaklah seorang suami memahami dengan jelas dan benar
ketentuan dan aturan-aturannya sehingga seorang suami yang
berkeinginan
mempunyai
isteri
lebih
dari
satu
mempertimbangkanya secara matang, karena adanya ketentuan
harus berlaku adil dan adil bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan disebabkan adanya tanggung jawab yang besar tidak
hanya kepada isteri tetapi juga kepada tuhan.
Dengan
demikian
prinsip
keadilan
dimaksudkan
untuk
membangun hubungan suami isteri yang harmonis, setara dan
adil sehingga yang satu tidak mendominasi yang lainnya.
Dalam
istilah
Islam
disebut
hubungan
suami
isteri
yang
mu’asyarah bil ma’ruf.3525
E.
KEDUDUKAN
SEIMBANG
SUAMI
ISTERI
DALAM
PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM
KASUS VASEKTOMI
Keseimbangan kedudukan antara suami isteri diartikan
sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berumah tangga harus
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri yang
35
Muhhaman Zain, op cit., hal. 28.
70
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
bersangkutan.
mengembangkan
Dimaksudkan
agar
kepribadian
masing-masing
mereka
dalam
dapat
membantu
dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Dalam
memang
rumah
pada
perempuan,
tangga
umumnya
namun
walaupun
lebih
mereka
secara
kuat
adalah
fisik
laki-laki
dibandingkan
sama.
Kedudukan
dengan
mereka
adalah sama, dalam pengertian bahwa masing-masing sama-sama
mempunyai kewajiban
yang harus ditunaikan, dan sama-sama
mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan. Kelalaian
satu
pihak
dalam
menelantarkan
mengakibatkan
hak
menunaikan
pihak
lain
keretakan
kewajibannya
yang
rumah
pada
tangga
berarti
giliranya
dan
di
akan
memungkinkan
terjadinya perceraian.
Penerapan
keseimbangan
kedudukan
isteri
dalam
perkawinan ini, akan penulis bahas berdasarkan sebuah kasus
gugatan perceraian seorang isteri, yang disebabkan suami
tidak mampu memberikan keturunan karena telah divaksetomi.
Dalam
pembahasan
kasus
ini,
penulis
memfokuskan
pembahasannya kepada hak isteri dalam keabsahan tindakan
isteri menggugat cerai suami disebabkan suami tidak mampu
memberikan keturunan. Yang biasanya isteri yang tidak bisa
memberikan keturunan sering dijadikan alasan suami untuk
menceraikan isteri dan berpoligami.
Kasus ini berawal dari gugatan isteri Nyonya E. Syam
terhadap suaminya Tuan T. Rab, disebabkan setelah selama 12
tahun
terikat
suaminya
perkawinan
tersebut
tidak
dengan
Tuan
mampu
T.
Rab,
memberikan
ternyata
keturunan
kepadanya. Ketidakmampuan Tuan T. Rab memberikan keturunan
disebabkan
pihak
vaksetomi
isteri
tidak
yang
bisa
dilakukan
menerima
71
suaminya.
suami
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dalam
Sementara
kondisi
tersebut
setelah
selama
12
tahun
bersabar
menunggu
keturunan.
Gugatan
Tinggi
Nyonya
E.
Agama
Syam
dikabulkan
Pekanbaru
oleh
dalam
Pengadilan
putusan
No.
09/Pdt/1992/PTA.PBR dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah
Agung RI No. 127K/AG/1992.
Berdasarkan kasus ini, ternyata
didalam hukum Islam
perbuatan vasektomi sangat bertentangan dengan tujuan utama
dilaksanankannya
perkawinan,
yaitu
untuk
memperbanyak
keturunan dimuka bumi, yang merupakan salah satu tujuan
syariat
Islam.
Vaksetomi
yang
dilakukan
suami
tersebut
dalam Islam dianggap sebagai cacat tubuh dan bisa dijadikan
alasan
bagi
isteri
adanya
cacat
atau
suami
atau
untuk
menuntut
kekurangan
isteri
bisa
cerai.
pada
menjadi
diri
Karena
dari
penghalang
dengan
salah
satu
tercapainya
tujuan utama dari dilaksanakanya perkawinan dalam syariat
Islam.
Sehingga
perkawinanya
Pernyataan
isteri
diakhiri,
ini
berhak
karena
dikuatkan
juga
perbuatan
dengan
Wahbah
untuk
menuntut
vaksetomi
suami.
az-Zuhaili
dalam
bukunya al-Figh al-Islami Wa Adillatuhu, yang mengatakan
cacat tubuh atau kelemahan dilihat dari tiga kategori:3626
1. Cacat yang khusus bagi laki-laki yang berhubungan dengan
alat kelamin (cacat kelamin, seperti zakar terpotong,
impoten,
dikebiri
memberikan
buah
keturunan,
zakarnya
atau
sehingga
tidak
mampu
36
tidak
bisa
melakukan
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, cet 1, (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group,
2004), hal 129-130.
72
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
hubungan seksual baik disebabkan mengidap suatu penyakit
atau karena lanjut usia.
2. Kelemahan
atau
berhubungan
cacat
dengan
yang
khusus
faraj
(cacat
bagi
wanita
kelamin),
yang
seperti
keadaan faraj tersumbat sama sekali dengan daging atau
tersumbat tulang.
3. Kelemahan
atau
cacat
yang
laki-laki
atau
wanita,
mungkin
seperti
terdapat
penyakit
baik
gila,
pada
kusta,
sifilis, terus menerus buang air seni, wasir, keadaan
salah satu dari suami isteri khunsa (banci).
Hal yang sama juga disyahkan oleh mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali, mereka sepakat bahwa impotensi dan
zakar laki-laki yang terpotong bisa dijadikan alasan untuk
menuntut cerai. Karena dengan cacat seperti itu seorang
laki-laki tidak mampu lagi memenuhi maksud dari perkawinan,
baik maksud utama untuk keturunan ataupun untuk mengadakan
hubungan seksual.
Sedangkan dalam mazhab Imam az-Zuhri, Qadi Syureih, Abu
Saur
dan
Ibn
Qayyim,
walaupun
tidak
membatasi
macam
penyakit tetapi yang terpenting diperhatikan menurut mazhab
ini
adalah
dengan
penyakit
seperti
itu,
kesempurnaan
perkawinan tidak bisa dicapai sehingga peluang terjadinya
percekcokan
dan
berkepanjangan.
sakinah,
rumah
pertengkaran
Dan
mawaddah
tangga
yang
prinsip
dan
warahmah
sakinah
dalam
rumah
tangga
akan
rumah
tangga
Islam
yang
tidak
dalam
terpenuhi.
perkawinan
Prinsip
dipertegas
dengan pernyatan Alquran surah Annisa ayat 21 (Q.S.30:21),
yang menyatakan :
“Diantara tanda-tanda kebesaraan Tuhan adalah bahwa
dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan
73
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
yang sama agar kamu menjadi tentram bersamanya. Dia
menjadikan
kamu
berdua
saling
menjalin
cinta
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah)”.
surah ini mengandung pesan bahwa perkawinan, bukan akad
yang hanya memberikan hak secara sepihak tetapi, sebagai
akad yang memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara
suami isteri serta membangun peradaban manusia yang adil
dan beradab.
Berdasarkan
perbuatan
Undang-Undang
vaksetomi
suami
Nomor
tersebut
1
Tahun
diatas,
1974,
juga
tidak
sesuai dengan tujuan perkawinan yang dimaksud, yaitu untuk
membentuk
keluarga
yang
bahagia
dan
kekal.
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia erat kaitanya
dengan
keturunan,
yang
juga
merupakan
tujuan
utama
dilaksanankannya suatu perkawinan.
Berkaitan dengan kasus, maka kedudukan seimbang antara
suami isteri yang dimaksud adalah berhubungan dengan hak
isteri yang tidak terpenuhi untuk mendapatkan keturunan,
sedangkan tuntutan cerai isteri merupakan hak isteri untuk
melakukan perbuatan hukum. Hal ini dipertegas dalam Pasal
31 ayat 1 dan
ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
berbunyi, bahwa hak dan kedudukan isteri seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan
pergaulan
hidup
bersama
dalam
masyarakat
serta
masing-
masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Pernyataan Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2, didukung dengan
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39 ayat
2e, yang menyatakan bahwa, salah satu alasan yang dapat
dijadikan
dasar
untuk
mengajukan
74
perceraian
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
adalah
jika
pihak suami atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang
mengakibatkan
suami
atau
isteri
tidak
dapat
menjalankan kewajibannya. Dengan demikian Vasektomi dapat
dijadikan
dasar
pengajuan
cerai
dari
pihak
isteri.
Dikarenakan suami isteri tidak dapat lagi saling melangkapi
dan mengisi demi mempertahankan kelangsungan
rumah tangga
yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Vaksetomi
dalam
Kompilasi
Hukum
Islam,
bertentangan
juga dengan ketentuan Pasal 3 mengenai tujuan perkawinan,
yaitu
bahwa
perkawinan
bertujuan
mewujudkan
kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pernyataan
yang sama ditegaskan dalam Pasal 77 ayat 1, bahwa suami
isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi
dasar dan susunan
masyarakat.
Pernyataan diatas didukung dengan ketentuan Pasal 116e
Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan, bahwa salah satu
yang
dapat menjadi alasan terjadinya perceraian adalah
apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau isteri. Oleh karena hak dan kedudukan isteri
adalah
seimbang
dengan
hak
dan
kedudukan
suami
dalam
kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam
masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum, dinyatakan dalam Pasal 79 ayat 2 dan 3
Kompilasi Hukum Islam.
Vaksetomi oleh Majelis Ulama Indonesia diputuskan juga
haram
hukumnya.
Dengan
pertimbangan,
pemandulan
agama dan vasektomi dapat dikategorikan sebagai
usaha pemandulan.
75
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dilarang
salah satu
Vaksetomi tidak akan merugikan salah satu pihak suami
maupun
isteri,
jika
dilakukan
atas
dasar
persetujuan
masing-masing pihak. Dalam kasus ini, vaksetomi dilakukan
suami secara sepihak. Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa
vaksetomi
sangat
merugikan
pihak
isteri
yang
mendambakan kehadiran keturunan dalam perkawinanya.
untuk
pengajuan
itu
penulis
sangat
gugatan
cerai
tersebut.
setuju
atas
Mengingat
tindakan
tidak
hanya
suami yang berhak untuk menuntut haknya, tetapi isteri juga
mempunyai
hak
memperoleh
yang
sama
keturunan.
dalam
Karena
menuntut
untuk
haknya
untuk
tercapainya
suatu
perkawinan yang bahagia dan kekal, baik suami maupun isteri
sama-sama bertanggungjawab atas keutuhan, kelangsungan dan
kelestarian rumah tangga serta sama-sama mempunyai hak dan
kewajiban yang setara dalam rumah tangga yaitu menciptakan
keluarga
yang
sakinah,
mawaddah
dan
rahmah
tanpa
ada
superioritas diantara mereka.
Gugatan
perceraian
tersebut
terkabul
karena
adanya
payung hukum yang melindungan dan menjamin secara hukum
bagi isteri selaku subyek hukum, untuk mencari perlindungan
hukum dari negara agar haknya dapat dilindungi dan dibela.
Perlindungan dan jaminan hukum yang dimaksud, telah
diatur dan diterapkan dengan baik dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 pasal 1, pasal 31 ayat 2 dan 3 serta dari
penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat
2e. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal3, pasal 77 ayat 1,
pasal 79 ayat 2 dan 3 dan pasal 116e. Tidak terkecuali,
Hukum
Islam
bertentangan
juga
melarang
dengan
perbuatan
tujuan
vaksetomi
perkawinan.
karena
Walaupun
pengaturanya tidak secara eksplisit diatur seperti Undang-
76
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Undang,
hanya
melalui
Ijtihad
(pendapat
ulama)
yang
merupakan salah satu sumber hukum Islam selain Alquran dan
as-Sunah.
Dengan demikian Kedudukan seimbang suami isteri dalam
perkawinan, khususnya dalam kasus ini, pengaturannya telah
diterapkan dan terakomodir dengan baik berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, yang
masing-masing
saling
melengkapi
dalam
pengaturan
dan
penerapannya.
Oleh
karena
itu
dalam
hal
ini
diperlukan
peran
pemerintah untuk mengatur secara benar, terang dan jelas,
tentang
klasifikasi
vaksetomi.
Dan
diperlukan
untuk
cacat
tubuh
tentunya
peran
memberikan
khususnya
serta
saran
mengenai
dokter
mengenai
sangat
vaksetomi
dilihat dari kesehatan dan ilmu kedokteran. Sehingga jika
dikemudian hari terjadi kasus yang sama seperti ini, sudah
ada peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang jelas dan
dapat
memberikan
perlindungan
dan
kepastian
hukum
yang
lebih baik lagi bagi masyarakat, khususnya pihak isteri
sebagai pihak yang dirugikan.
77
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada BAB II, maka kesimpulan yang
dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip keadilan jelas telah diatur dalam Hukum Islam,
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Tentang
Perkawinan,
yaitu
dengan
memberikan
batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu bagi suami
yang hendak beristeri lebih dari seorang. Seperti yang
diatur dalam Q.S.4:3 dan Q.S.4:129 serta Pasal 3 ayat
2, Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dalam Pasal 55 ayat 2,3, Pasal 56
ayat 1, 3 dan Pasal 82 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
2.
Pembatasan dan pengecualian yang dimaksud dalam Hukum
Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah untuk memberikan
perlindungan dan jaminan hukum bagi isteri agar dapat
diperlakukan
secara
adil
oleh
suami
yang
hendak
berpoligami serta dimaksudkan untuk mempersulit suami
yang berkeinginan beristeri lebih dari satu.
79
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
3.
Kedudukan
seimbang
isteri
dalam
perkawinan
telah
ditetapkan secara seimbang dalam Hukum Islam, Kompilasi
Hukum
Islam
serta
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
Tentang Perkawianan, sesuai dengan kedudukannya masingmasing dalam rumah tangga.
B.
1.
Saran
Diperlukannya
pertimbangan
yang
matang
dan
bijaksana
serta pemahaman dengan jelas dan benar bagi suami yang
hendak berpolgami.
2.
Hendaknya suami yang sudah berpoligami dapat bersikap
adil terhadap isteri-isterinya, sebagaimana di jelaskan
dalam Hukum Islam serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
3.
Diperlukan
pengaturan
pemerintah
mengenai
yang
cacat
jelas
tubuh,
dan
terang
khususnya
oleh
mengenai
vasektomi. Dan diperlukan juga peran serta dokter untuk
memberikan
lihat
dari
dampak
yang
masukan
tentang
kacamata
dapat
klasifikasi
kesehatan
ditimbulkan
dan
kedokteran
akibat
bagi suami isteri yang melakukannya.
79
vasektomi
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
dari
di
serta
vasektomi
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Al-Buchori, Jefri, Ada Apa dengan Wanita, Penerbit: AlMawadrdi, Jakarta: 2005.
Alshodiq, Mukhtar, Muhammad Zain, Membangun Keluarga
Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
yang Kontroversial itu), Penerbit Grahacipta, Jakarta:
2005.
Amini, Ibrahim, Hak-Hak Suami
Penerbit:Cahaya, Jakarta: 2005.
dan
Isteri,
cet
ke
3
Ananda, Faisar Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis,
Cet 1, Penerbit: Pustaka Firdaus, Jakarta: 2004.
Chaudaori, Muhammad Sharif, Hak-hak Wanita
Penerbit: Mujahid: Press, Bandung: 2005.
Dalam
Islam,
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjahrif, Hukum
Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Penerbit:
Rizkita, Jakarta: 2002.
Djubaedah, Neng, Hj Sulaika Lubis, Farida Prihatini, Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta: 2005.
Effendi, Satria M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyah, Cet 1, Penerbit Kencana Perdana Media
Group, Jakarta: 2004.
Harjono, Anwar, Hukum Islam Keluasan dan
Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta 1968
Keadilannya,
Jones, Jamilah, Monogami dan Poligami Dalam Kesetaraan,
Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1996.
82
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Kotb, Sayed, Social Justice In Islam, New York: American
Council of Learned Societies, 1968
Lemu, Aisha, Heeren Fatima, Sarka,
dalam Pandangan Islam, Cet 2,
Press, Jakarta 2002.
Wanita dan Keluarga
Penerbit: Bina Mita
Mahrizi, Mahdi, Wanita Ideal Menurut
Pustaka Zahra, Jakarta: 2004.
Islam,
Malik,
Rusdi,
Undang-Undang
Perkawinan,
Universitas Trisakti, Jakarta : 2001.
Penerbit:
Penerbit
Mukhtie, A. Fadjar, Tentang Dan Sekitar Hukum Perkawinan Di
Indonesia, Cet 1, Penerbit: Universitas Brawijaya, Jakarta:
1994.
Ramulyo, Mohd Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam,
Cet II, Penerbit: Ind-Hill-Co, Jakarta 1990..
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Cet 2, Penerbit:
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997.
Sani, Abdullah, Hakim dan Keadilan Hukum, Cet 1,Penerbit:
PT. Bulan Bintang, Jakarta: 1977.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 7, Penerbit: PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet 1, Penerbit:PT
Rineka Cipta, Jakarta: 1991.
Sumiarni, Endang, Kedudukan Suami Istri Dalam Hukum
Perkawinan
(Kajian
Kesetaraan
Jender
Melalui
Perjanjian Kawin), Penerbit: Wonderfull Publishing
Company, Yokyakarta: 2004.
Sumiarni, Endang, Kajian Hukum Perkawinan Yang Berkeadilan
Jender,
Penerbit:
Wonderfull
Publishing
Company,
Yokyakarta: 2004.
82
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 7, Penerbit: PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003.
Syahatah, Husain, Tanggung Jawab Suami Dalam Rumah Tangga
Antara Kewajiban Dan Realitas, Cet 1, Penerbit: Amzah,
Jakarta: 2005.
Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku Bagi
Umat Islam, Cet 5, Penerbit: Jakarta: 1986.
Tatapangarsa, Humaidi, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Menurut Islam, Cet 4, Penerbit: Kalam Mulia, Jakarta:
2003.
Widanti, Agnes, Hukum Keadilan Jender, Cet 1, Penerbit:
Buku Kompas, Jakarta: 2005.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek,
diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan
ke 8, Pratnya Paramita, Jakarta: 1576.S
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1
Tahun 1974 LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019
Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9
Tahun 1975 LN No.12 Tahun 1975, TLN No. 3050.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU
No.39 Tahun 1999 LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886.
Indonesia. Inpres Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi
Hukum Islam.
82
Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006
Download