UNIVERSITAS INDONESIA KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM KASUS VASEKTOMI TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Oleh: ADINDA PERMATASARI N.P.M: 6503110048 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK, 2006 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 UNIVERSITAS INDONESIA KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM KASUS VASEKTOMI TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Oleh: ADINDA PERMATASARI N.P.M: 6503110048 Pembimbing Farida Prihatini, S.H, M.H, C.N FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK, 2006 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 UNIVERSITAS INDONESIA KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM KASUS VASEKTOMI TESIS Diajukan dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji pada Tanggal 12 Januari 2006 Pembimbing Tesis Farida Prihatini,S.H.,M.H., C.N Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Farida Prihatini,S.H.,M.H., C.N Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 KATA PENGANTAR Bissmillahhirahmannirahim, Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena Berkat serta Rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar S-2 di program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Dalam Penyusunan Karya akhir yang berjudul “Kedudukan Seimbang Suami Isteri Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Nasional Dalam Kasus Vaksetomi”. Pada Kesempatan ini, penulis degan segala kerendahan hati hendak menghaturkan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada 1. Ibu Farida Prihartini, S.H., M.H., C.N, selaku dosen Pembimbing yang selalu memberikan masukan dan bantuan ketika penulis mengalami kesulitan di masa penulisan. 2. Staf pengajar Kenotariatan di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3. Bapak Dian sekretariat Puji Simatupang, Notariat di S.H., Lingkungan Universitas Indonesia. ii Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 M.H dan Fakultas staf Hukum 4. Mama, Papa dan kakak-kakakku yang mendo’a kan serta memberikan dorongan bantuan baik berupa moril maupun materiil kepada penulis dalam menyelesaikan karya akhir ini. Kepada kalian semualah karya akhir ini saya persembahkan. 5. Teman-teman penulis: Lenggogeni, Huma, Pungky, Dita, Fatin, Ike, Yurni, Adis, Mbak Dini, Mira. Terimakasih telah penulis menjadi kelompok menjalani masa yang kuliah menyenangkan di program selama Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. 6. dan terakhir, kepada rekan-rekan penulis yang tidak dapat di sebutkan disini. Penulis banyak menghaturkan terimakasih Jakarta, 12 Januari 2006 Penulis iii Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 ABSTRAK Keseimbangan kedudukan antar suami isteri diartikan sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berumah tangga harus di rundingkan dan di putuskan bersama oleh suami isteri yang bersangkutan. Dalam rumah tangga walaupun secara fisik laki-laki memang pada umumnya lebih kuat di badingkan dengan perempuan, namun mereka adalah sama. Kedudukan mereka adalah sama, dalam pengertian bahwa masing-masing sama-sama mempunyai kewajiban yang harus di tunaikan, dan sama-sama mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan. Kelalaian di suatu pihak berarti menelantarkan hak dari pihak lain yang pada gilirannya akan mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga dan terjadi perceraian. Permasalahan yang akan diuraikan dalam tesis ini berkenaan dengan masalah (1) Apakah Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional menganut prinsip keadilan bagi kedudukan isteri dalam perkawinan. (2) Kedudukan seimbang suami isteri bagaimanakah yang diterapkan dalam Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional bagi isteri dalam kasus vasektomi. Metode penelitian yang di gunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan melakukan metode kepustakaan atau metode literatur (Library Research) yang bersifat yuridis normatif. Kedudukan seimbang suami isteri dan prinsip keadilan dalam perkawinan, pengaturannaya dan penerapanya telah diterapkan secara seimbang dalam Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam serta Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, khususnya dalam penyelesaian kasus vaksetomi yang akan dibahas pada bab II tesis ini. i Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 DAFTAR ISI ABSTRAK i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iv BAB I. BAB II. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Pokok Permasalahan 10 C. Metode Penelitian 10 D. Sistematika Penulisan 11 KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL 13 A. Tinjauan Hukum Tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 13 1. Pengertian Perkawinan 15 2. Tujuan Perkawinan 17 3. Syarat dan sahnya Perkawinan 18 4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri 26 iv Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Hukum Islam 31 1. Pengertian Perkawinan 32 2. Tujuan Perkawinan 36 3. Syarat dan Sahnya Perkawinan 37 4. Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri 45 C. Tinjauan Umum tentang Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam 53 1. Pengertian Perkawinan 54 2. Tujuan Perkawinan 54 3. Syarat dan Sahnya Perkawinan 55 4. Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri 59 D. Prinsip Keadilan Yang DiTerapkan Dalam Hukum Islam Dan Hukum Nasional Bagi Isteri Dalam Perkawinan 61 E. Kedudukan Seimbang Suami Isteri Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan nasional Dalam Kasus Vaksetomi v Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 70 BAB III PENUTUP 78 A. Kesimpulan 78 B. Saran 79 DAFTAR PUSTAKA 80 vi Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan basis sosial pertama setiap orang, oleh karena itu dalam lingkup suatu keluarga perlu dibangun konsep dan perilaku yang mendasar. Konsep dasar keluarga ini dalam Alquran disebut dengan sakinah, mawaddah dan rahmah.1 Sakinah bermakna dalam merangkai bahtera kehidupan beruamah tangga, baik dalam suka maupun duka senantiasa dijalani dengan ketenangan hati, ketentraman jiwa dan kejernihan jiwa, ketika dalam suka tidak berlebihan dan ketika dalam duka itu sedih yang berlebihan. Semua kehidupan dihadapai dan dijalani sesuai dengan ajaran agama yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, sedangkan mawaddah dan rahmah adalah saling mencintai dan memberikan kasih sayang satu sama lain antara suami isteri. Membangun keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan tujuan utama sebuah keluarga. Untuk tercapainya tujuan tersebut, perlu adanya keseimbangan 1 Hj. Zahunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah Seri Pemberdayaan Perempuan, Cet 1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004). 1 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 antara suami mengedepankan dan isteri serta dan menanam kemauan yang nilai-nilai tinggi untuk keadilan dan kesetaraan dalam keluarga. Keharmonisan akan tercapai dalam kehidupan keluarga bila di antara anggotanya saling menyadari bahwa masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dilakukan dengan selaras, diwujudkan serasi dengan dan sikap seimbang. dan perilaku Hubungan antara tersebut suami dan isteri yang saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, saling mengisi, saling mencintai dan mnyayangi sehingga antara suami dan isteri dapat bekerjasama sebagai mitra yang sejajar. Keadilan menurut Ulpianus adalah honeste vivere, alterum non leadere, suum cuique tribuere yang bermakna:2 1. Sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan kesusilaan. 2. Tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang. 3. Memberikan pada semua orang bagiannya masing-masing. Rumusan keadilan hubungan antara suami dan Ulpianus suami isteri dan ini isteri diperlukan 2 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 57. 2 sesuai untuk karena sikap landasan dalam saling Jender, Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Cet 1 hubungan hormat (Jakarta: menghormati. sedangkan Keadilan keadilan menurut tanpa hukum hukum bersifat adalah judisial, kepastian ciri administrasi. Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan keadilan. Oleh diterjemahkan karena bahwa itu, hukum tuntutan harus sesuai keadilan dengan dapat cita-cita keadilan masyarakat yang bersangkutan. Kepastian hukum akan keadilan tercermin juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28d ayat (1), yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.3 Hak memperoleh keadilan dinyatakan dalam Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. Kehidupan berumah tangga atau bersuami isteri diawali dengan suatu perkawinan. Perkawinan mengandung makna spiritual yang suci dan agung, dan merupakan suatu hal yang 3 Indonesia, (a) Undang-Undang Dasar 1945, ps. 28. 3 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena dengan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan seorang perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk termulia. Islam mengajarkan agar perkawinan dilakukan dengan niat yang luhur, mengikuti sunah Rasul sehingga benar-benar bernilai ibadah. Allah berfirman dalam kitab suci Al-Quran bahwa nikah itu sangat dianjurkan bagi manusia, sebagaimana dalam surat An-Nur (2) ayat 32: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, sesungguhnya Allah Maha Luas Pengetahuan-Nya”. Dalam hadist, Rasulullah juga sangat menganjurkan pernikahan, beliau bersabda:4 “Nikah adalah sunahku, barang siapa membenci sunahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. “Kawinlah kalian sebab aku akan menjadi bangga karena kalian”. Perkawinan yaitu akad yang menurut sangat hukum kuat Islam atau adalah pernikahan, mitsaqaan ghaliizhaan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan 4 Ibnu Majjah I: 559 4 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah.5 Pengerian perkawinan disebutkan juga dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan ini mendefinisikan perkawinan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Esa.6 Maha Atas disimpulkan perkawinan dasar keluarga yang sah, pengertian yang mampu tersebut, dibina harus memenuhi hajat dapat berdasarkan hidup lahir batin, spiritual dan materiil yang layak, mampu menciptakan suasana saling hormat menghormati, selaras, seimbang dan serasi serta ketakwaan dan mampu akhlak menanamkan mulia dalam nilai-nilai lingkup keimanan, keluarga dan masyarakat lingkungannya, sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta selaras dengan ajaran agama Islam. 5 Indoneisa, (b) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, ps.2. 6 Indonesia, (c) Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, ps.1. 5 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga mengatur perihal perkawianan yaitu pada Pasal 28b yang menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah suatu perjanjian yang sangat kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.7 Keutuhan dan kerukunan aman, tentram dan damai dalam berumah tangga. rumah merupakan Negara tangga dambaan Republik yang bahagia, setiap Indonesia orang adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk menjaga keutuhan dan kerukunan hidup berumah tangga, diperlukan keseimbangan hubungan antara suami dan 7 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Penerbit IndHilco, 1990), hal. 1. 6 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 isteri. Salah satu di antaranya ialah dipenuhinya hak masing-masing dari suami dan isteri serta dilaksanakannya kewajibannya, baik oleh suami maupun isteri. Tanpa dipenuhinya hak, dan tanpa dilaksanakannya kewajiban, rumah tangga tidak akan behagia dan kekal. Hak dan kewajiban dua hal yang mempunyai hubungan timbal balik antara yang satu dengan yang lain. Kewajiban suami merupakan hak isteri, dan sebaliknya apa yang menjadi kewajiban isteri merupakan hak suami. Keduanya tidak hanya saling memberi, tetapi juga saling menerima, sehingga masing-masing menjalani kedudukannya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keadaan yang saling membutuhkan antara suami dan isteri ini, dilukiskan dalam Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 187: “Mereka itu (isteri-isteri kalian) adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka”. Dalam menafsirkan ayat ini, Allamah Thabathaba’i menulis: “Kata ‘busana’ (libas) secara umum berarti apapun yang dapat menutupi tubuh seseorang. Dua kalimat ini digunakan secara metaforis, karena masing-masing wanita dan pria dapat mengekang satu sama lain dari melakukan perbuatan jahat, serta masing-masing mereka merupakan busana satu sama lain dengan menutupi aibaibnya dan melindungi bagian-bagian pribadinya”.8 8 Al-mizan fi Tafsir al-quran, jilid 11, hal. 44. 7 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, diatur juga mengenai kedudukan isteri dalam perkawinan yaitu dalam Pasal 51, yang berbunyi: “Bahwa seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinan, hubungan dengan anak-anak dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama”.9 Dari rumusan tersebut dapat jelas suami dan isteri memikul kewajiban yang sama untuk menegakkan rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Tugas pertama dan terutama suami dan isteri dalam rangka menjalani kehidupan rumah tangganya adalah dengan memahami dan mempraktekkan hak dan kewajiban sesuai kedudukannya masing-masing. Hak dan kewajiban yang dimaksud tidak hanya bersifat prosedural. Misalnya, suami mencari nafkah, isteri mengatur rumah, tetapi lebih bersifat moral ketuhanan. 9 Indonesia, (d) Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, LN No. 39 Tahun 1999, TLN No. 3886, pasal. 51. 8 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Kepatuhan isteri terhadap suami, bukan didorong sikap inferior atau rendah diri. Begitu pula, sikap hormat suami terhadap tetapi, isteri semata bukan berkat disebabkan dorongan dirinya semangat takut. dan Akan pemahaman religius masing-masing; kepatuhan terhadap suami atau sikap hormat terhadap positif. isteri Dengan merupakan mendasarkan teladan dan pemahaman berakibat secara moral ketuhanan, suami maupun isteri dengan sendirinya dan penuh sadar akan memenuhi hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik. Tidak diragukan mempunyai kedudukan lagi baik yang tidak isteri kalah maupun suami penting dalam kehidupan berumah tangga. Untuk memahami kedudukan isteri dalam rumah tangungjawab merupakan tangga suami perbuatan dan perlu diketahui isteri. hukum yang Oleh juga karena menimbulkan hak dan perkawinan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan. Dalam rangka pemahaman kedudukan isteri tentu tidak terlepas dari penerapan ketentuan hukum perkawinan menurut hukum Islam yang terdapat dalam beberapa ayat-ayat surat Alquran, as-sunah dan Ijtihad 9 Ulil Amri, Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawainan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam. B. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka terdapat beberapa masalah pokok yang akan dibahas yaitu: 1. Apakah Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional menganut prinsip keadilan bagi kedudukan isteri dalam perkawinan. 2. Kedudukan seimbang diterapkan dalam suami Hukum isteri Islam dan bagaimanakah Hukum yang Perkawinan Nasional bagi isteri dalam kasus vasektomi? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan melakukan metode kepustakaan atau metode literatur (Library Research) yang bersifat yuridis normatif. Alat pengumpulan data dokumen terhadap data yang digunakan adalah studi sekunder. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer berupa Alquran Undang-Undang dan Nomor peraturan 1 tahun 10 perundang-undangan, 1974, Peraturan Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 yaitu Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Sementara itu, untuk bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban suami dan isteri, jurnal serta makalah yang berkaitan dengan kedudukan isteri dalam perkawinan untuk mendukung penulisan dengan metode analisis data kualitatif. Dengan demikian, hasil penelitian adalah bersifat evaluatif-analisis. D. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab, yang dibagi sebagai berikut. BAB I PENDAHULUAN Mengemukakan apa yang menjadi latar belakang masalah dengan menguraikan keadaan yang menjadi sebab timbulnya masalah yang akan diteliti, pokok permasalahan yang akan dibahas dan metode penelitian yang digunakan sistematika penulisan. 11 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 serta BAB II KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWIANAN NASIONAL Pembahasan dalam Bab II dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama menguraikan dan menjelaskan mengenai tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi pengertian dan tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan dan hak kewajiban suami isteri dalam perkawinan ditinjau dari Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pada bagian kedua akan dibahas mengenai pembahasan analisa terhadap permasalahan yang diangkat berdasarkan teori dan peraturan yang telah diuraikan terlebih dahulu pada awal Bab II. BAB III PENUTUP Sebagai yang bab diperoleh penutup dari yang hasil berisi tentang penelitian dan diberikan dalam menghadapi permasalahan. 12 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kesimpulan saran yang BAB II KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL A. TINJAUAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undan-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi golongan masyarakat. Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani. Untuk itu Undang-Undang Perkawinan harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 serta dapat menampung segala kenyataan hidup yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Dalam Undang-Undang Perkawinan terkandung beberapa prinsip atau asas-asas perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, adapun asas-asas dan prinsip tersebut adalah sebagai berikut10: a. Tujuan Perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. membantu Untuk dan itu suami melengkapi dan agar isteri perlu saling masing-masing dapat 10 Indonesia, (e) Penjelasan Atas Undang – Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974, hal. 153 13 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materil. b. Sahnya Perkawinan Dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya masing-masing calon suami dan calon isteri (Pasala 2 ayat 1 UUP). Disamping itu tiap-tiap perkawina harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2). Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatn peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan yaitu suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. c. Asas Monogami Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami. Artinya seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang isteri atau seorang suami dalam waktu yang tertentu. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami dan isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan perceraian perkawinan dan secara baik mendapat mempunyai tanpa berakhir keturunan. hubungan dengan Selain dengan itu masalah kependudukan, yaitu bahwa umur yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk 14 kawin mengakibatkan Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, ialah 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk perempuan. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka UndangUndang menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dimungkinkan apabila ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami maupun dalam segala sesuatu baik dalam pergaulan yang kehidupan masyarakat, berhubungan rumah dengan dengan tangga demikian urusan rumah tangga harus dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. 1. Pengertian Perkawinan Undang-Undang Perkawinan secara tegas mengatur mengenai apa yang dimaksud Perkawinan, hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah memberikan kepastian mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan, dimana perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang 15 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 wanita. Pengaturan perkawinan dalam demikian Kitab berbeda dengan Undang-Undang Hukum pengaturan Perdata yang tidak memberikan definisi mengenai perkawinan. Dari perumusan Pasal 1 UUP tersebut dapat disimpulkan bahwa pada unsur-unsur: hakekatnya suatu perkawinan harus mengandung 112 a. Merupakan ikatan lahir batin yang artinya bahwa para pihak secara formal (lahir) merupakan suami isteri dan keduanya betul-betul mempunyai niat (batin) untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Merupakan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang berarti UUP menganut asas monogami (seperti terlihat dalam Pasal 3 ayat 1), meskipun dengan pengecualian bahwa dalam beberapa hal polIgami masih diperbolehkan (lihal Pasal 3 ayat 2). c. Persetujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia, ini berarti bahwa pada prinsipnya perkawinan hendaknya berlangsung seumur hidup, sehingga perceraian harus dihindarkan. Namun demikian UUP juga tidak menutup kemungkinan terjadi perceraian, hanya dipersukar dengan syarat/alasan yang cukup berat (lihat Pasal 39). d. Berlandasakan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa norma-norma agama dan kepercayaan harus tercermin dan menjiwai keseluruhan peraturan yang menyangkut perkawinan bahkan norma agama/kepercayaan itu menetukan sah-tidaknya suatu perkawinan. 11 Fadjar A. Mukhtie, Tentang Dan Sekitar Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cet 1, Penerbit: Universitas Brawijaya, Jakarta: 1994 16 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Salah satu unsur dari perumusan Undang-Undang Perkawinan adalah memperhatikan aspek biologis dalam suatu perkawinan, berkaitan dengan ketidakmampuan memperoleh keturunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa ketidakmampuan isteri alasan untuk melahirkan keturunan merupakan salah satu bagi suami untuk beristeri lebih dari satu orang. Ketentuan ini dirasakan kurang adil, karena dalam hal suami yang tidak mampu memberikan keturunan tidak diatur sama seperti isteri. Isteri dalam keadaan demikian diberi hak untuk menuntut perceraian dari suami, hal ini merupakan cerminan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan bersama dalam masyarakat. Pengertian seimbang disini bukanlah berarti sama. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan. Menurut Yahya Harahap, kriteria keluarga yang bahagia dan kekal adalah:123 a.Suami dan isteri dapat membantu serta saling melengkapi. b.Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami isteri harus saling bantu membantu. 12 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, (Medan: Penerbit C.V. Zahi Trading, 1975), hal. 7. 17 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 c.Dan tujuan terakhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material. Agar tujuan keseimbangan perkawinan kedudukan tercapai, antara suami dan harus isteri, ada dengan begitu segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga merupakan hasil keputusan bersama antara suami dan isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh musyawarah mufakat. 3. Syarat Dan Sahnya Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diatur persyaratan sahnya syarat-syarat suatu perkawinan. perkawinan tersebut Tidak dipenuhinya dapat menyebabkan perkawinan tidak dapat dilangsungkan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan. Perkawinan dapat dilangsungkan bila seseorang telah memenuhi syarat baik materil maupun syarat formil. Menurut Undang Perkawinan Prof. mengenal H.R.Sardjono, dua macam SH, syarat Undang- perkawinan yaitu_: a. Syarat Materiil: yaitu syarat yang menyangkut pribadi calon suami dan calon isteri. Syarat materil ini dibagi pula yaitu pada hanya atas dua syarat umumnya, berlaku buah, yaitu materiil yang sedangkan untuk (1) berlaku (2) suatu syarat materiil untuk syarat perkawinan materiil perkawinan umum tertentu khusus yaitu perkawinan yang dilarang. b. Syarat formil: yaitu syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat dilangsungkanya perkawinan. A. Syarat materiil terdiri dari: 1. Syarat Materiil Umum 18 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 a. Pasal 6 ayat tahun 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 1974 menetukan bahwa dalam suatu perkawinan harus ada laki-laki persetujuan dan dari perempuan kedua atau calon kedua mempelai calon suami isteri. Perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak harus disetujui tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Oleh karena perkawinan bertujuan agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia dan kekal dan sesuai sesuai dengan dengan hak asasi Undang-Undang manusia Perkawinan serta Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1. b. Dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa usia minimal seorang perempuan untuk dapat sedangkan seorang menikah laki-laki adalah 19 16 tahun. tahun Maksud pembatasan minimal usia untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan. Agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan baik. c. Calon suami atau calon isteri tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan kecuali agama membolehkan. Syarat yang ditentukan Pasal 9 ini berhubungan dengan asas monogami yang dianut oleh Undang-Undang 19 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Perkawinan. Dalam Pasal 3 ayat 1 dikatakan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu pula seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Asas Perkawinan suami monogami yang bersifat boleh dianut terbuka, mempunyai lebih Undang-Undang maksudnya dari seorang seorang isteri pada waktu yang sama kalau memang dikehendaki olah pihak-pihak ketentuan yang bersangkutan agama yang dan sesuai bersangkutan dan dengan memenuhi syarat tertentu, seperti yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. d. Seorang wanita yang berstatus janda karena ditinggal mati suaminya waktu tertentu atau karena untuk bisa cerai harus menikah menunggu lagi. Waktu tunggu yang dikenal dengan masa iddah diatur dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jangka waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Jika perkawinan putus karena perceraian, maka waktu tunggu adalah 130 hari sejak tanggal meninggalnya sang suami. b. Jika perkawinan putus karena perceraian, maka waktu tungga adalah (1) bagi wanita yang masih datang bulan yaitu 3 kali suci atau minimal 90 hari (2) bagi wanita yang sudah tidak datang bulan lagi yaitu 90 ari (3) jika wanita itu sedang hamil maka waktu tunggu itu adalah sampai wanita itu melahirkan (4) tidak ada waktu tunggu bagi janda 20 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 yang putus perkawinan karena perceraian yang belum perah terjadi hubungan suami isteri. Dalam Pasal 39 ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975 ditentukan, bagi janda yang selama perkawinannya tidak pernah berhubungan kelamin dengan suaminya tidak ada waktu iddah untuk kawin lagi. Sedangkan dalam Pasal 39 ayat 3 PP Nomor 1975 ditentukan bahwa bagi perkawinan yang putus karena perceraian maka tenggang waktu itu dihitung sejak hari jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila tidak dipenuhinya empat syarat tersebut di atas maka calon pasangan suami isteri tidak berwenang untuk melangsungkan perkawinan. B. Syarat Materiil Khusus 1. Bagi calon suami dan calon isteri yang belum mencapai usia 21 tahun diperlukan ijin dari kedua orang tuanya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Jika salah satu dari kedua orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu atau jika dalam hal salah seorang dari kedua orang tuanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendak. Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, sedarah orang garis yang memelihara keturunan lurus atau keatas keluarga yang masih hidup atau masih mampu menyatakan kehendaknya. Ijin kawin tersebut diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 21 1974. Dalam Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 penjelasan umum maupun penjelasan Pasal demi Pasal tidak menentukan apakah pengadilan juga berwenang memberi ijin kepada seseorang yang belum berumur 21 tahun untuk menikah, jika kedua orang tuanya menolak memberi ijin yang dibutuhkan atau dalam hal wali, orang yang memelihara atau keluarga sedarah garis keturunan lurus keatas yang masih hidup atau masih mampu menyatakan kehendaknya menolak memberi ijin. Ketentuan ini hanya hukum/kepercayaan berlaku yang sepanjang bersangkutan tidak menentukan lain. 2. Dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai larangan perkawinan. Perkawinan dilarang dilakukan atau dilaksanakan oleh mereka yang: a. Berhubungan dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas, dengan anak misalnya atau perkawinan seorang kakek antara dengan ibu cucu perempuannya. b. Berhubungan dalam garis lurus keturunan menyamping, misalnya antara kakak dan adik atau paman dengan keponakan. c. Berhubungan dengan keluarga semenda, misalnya mertua dengan menantu atau bapak/ibu dengan anak tirinya. d. Berhubungan dengan hubungan susuan, misalnya antara orang tua susuan dengan anak susuan atau saudara susuan dengan bibi atau paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal suami 22 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 beristeri pada lebih saat dari bersamaan satu; dua artinya orang mengawini wanita yang bersaudara (adik kakak) atau dengan bibi dari isteri atau kemenakan dari isteri pada waktu bersamaan. f. Berdasarkan larangan agama atau peraturan lain yang berlaku, agamanya yaitu atau bagi peraturan mereka lain yang oleh dilarang. Atas dasar ketentuan Pasal 8f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menetukan larangan perkawinan bagi mereka yang mempunyai hubungan yang oleh hukum agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Alasan perkawinan dalam pemerintah pada Pasal 30 diadakannya 8, menurut Agustus 1973 larangan keterangan adalah tidak lain berdasarkan norma dan nilai-nilai keagamaan serta kewajaran menurut moral. 3. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa suami isteri yang telah bercerai dan kawin kembali dan setelah itu bercerai lagi, maka mantan suami dan mantan isteri tidak boleh kawin kembali lagi. Hal ini mencegah perbuatan yang tidak pantas yaitu melecehkan lembaga perkawinan. C. Syarat Formil Syarat formil perkawinan adalah yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan. Syarat formil suatu perkawinan merupakan syarat yang mendahului serta menyertai pelangsungan suatu perkawinan. Tata cara pelangsungan perkawinan yang dimaksud lebih lanjut diatur dalam Pasal 3,4,5,6,7,8 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 23 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 formalitas yang mendahului perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Pemberitahuan a. Setiap orang wajib memberitahukan Pencatatan yang akan melangsungkan niatnya perkawinan di perkawinan kepada tempat Pegawai perkawinan itu akan dilangsungkan (Pasal 3 ayat 1 PP No.9 1975). b. Pemberitahuan itu dilakukan secara lisan atau tulisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4 PP No.9 1975). Dalam penjelasan Pasal 4 dikatakan bahwa pada prinsipnya pemberitahuan dilakukan secara lisan kecuali bila tidak mungkin dapat dilakukan secara tertulis dan bila dilakukan oleh orang yag mewakili atau walinya maka ada surat kuasa khusus. c. Pemberitahuan tersebut dilakukan minimal dalam 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 ayat 2 PP No.9 1975). Penyimpangan atas jangka waktu itu dapat diajukan dispensasi kepada camat terkait atas nama Bupati Kepala daerah (Pasal 3 ayat3 PP No.9 1975). d. Pemberitahuan harus memuat agama/kepercayaan, pekerjaan, calon keduanya mempelai dan berstatus janda disebutkan suami atau atau duda nama, tempat atau isterinya kediaman salah maka yang umur, seorang agar juga sebelumnya (Pasal 5 PP No.9 1975), bagi calon isteri dalam perkawinan secara Islam agar juga disebutkan nama wali nikahnya. 24 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 2. Penelitian (Pasal 6 dan 7 PP No.9 1975) a. Setelah menerima pemberitahuan yang dimaksud maka Pegawai Pencatat perkawinan meneliti telah apakah dipenuhi dan syarat-syarat apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang (Pasal 6 harus ayat pula 1). Selain meneliti itu tentang Pegawai kelengkapan Pencatat dokumen atau surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat 2. b. Hasil penelitian tersebut oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam daftar yang diperuntukan untuk itu (Pasal 7 ayat 1). c. Apabila penelitian perkawinan Undang menunjukkan sebagaimana Perkawinan adanya dimaksud atau halangan dalam belum Undang- dipenuhinya persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 PP No.9 Tahun 1975, maka hal itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau orang tua atau wakilnya mempelai (Pasal 7 ayat 2). 3. Pengumuman (Pasal 8 dan 9 PP No.9 Tahun 1975) Dalam hal penelitian tersebut tidak menunjukkan adanya halangan perkawinan atau kekurangan-kekurangan lain maka Pegawai Pencatat membuat suatu pengumuman tentang pemberitahuan perkawinan kehendak dengan cara akan dilangsungkannya menempelkan surat pengumuman pada kantor Pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah (Pasal 8). pengumuman ditentukan Dalam dan memori tersebut mudah dibaca penjelasan dimaksudkan oleh dikatakan untuk umum bahwa memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan 25 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 keberatan-keberatan bagi dilangsungkan perkawinan apabila hal itu diketahui adalah bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat identitas dari calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan serta hari, tanggal, jam dan tempat dimana perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 9). Dengan demikian sah tidaknya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diukur dari ketentuan agama dan kepercayaan melangsungkan perkawinan masing-masing perkawinan, yang dilakukan orang sehingga bertentangan yang apabila dengan akan setiap ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. 4. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Perkawinan yang dilaksanakan antara suami isteri akan mengakibatkan timbulnya akibat hukum bagi kedua belah pihak, karena dengan terjadinya suatu perkawinan akan menciptakan hubungan hukum diantara masing-masing pihak yaitu berupa hak dan kewajiban. Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun isteri pengaturannya 1974 hak terdapat dan pada kewajiban Pasal 30 suami sampai dengan Pasal 34. Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 26 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Menegakkan rumah tangga artinya berusaha agar rumah tangga tetap Kewajiban ini utuh dan tidak berhubungan bubar dengan karena tujuan perceraian. perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Kewajiban suami isteri dalam Pasal 30 tersebut diatas lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 33, yang menyatakan bahwa: “Suami isteri saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Dengan adanya sikap saling mencintai, saling menghormati, saling membantu lahir batin dan saling setia serta saling memberi diantara suami isteri, maka terpenuhilah kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah tangga mereka. Akan terwujudlah suasana aman dan saling pengertian yang merupakan mutlak bagi tegaknya suatu rumah tangga. saling Pengertian membantu akan harus kewajiban diakui oleh saling mencintai masing-masing dan suami isteri dan masing-masing mengakui diantara mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal itu ditegaskan dengan jelas dalam penjelasan umum Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada butir 4a; suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil. 27 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat 1, menyatakan bahwa; hak dan kedudukan iseri adalah seimbang dengan hak dan tangga dan kedudukan pergaulan Artinya Undang-Undang wewenang tertentu atau hidup dalam dalam kepada memungkinkan sendiri kehidupan bersama memberikan yang masing-masing suami berumah masyarakat. suami mereka melaksanakan isteri bersama-sama tugas membina keluarga bahagia dan sejahtera atas dasar tanggung jawab bersama. Undang-Undang kekuasaan maritaal Perkawinan dari suami ini tidak sebagaimana menyetujui diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana kekuasaan dalam perkawinan ada ditangan suami. Pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa: “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. Masing-masing pihak yang dimaksud tidak lain adalah suami isteri perbuatan itu hukum sendiri, adalah sedangkan setiap yang perbuatan dimaksudkan yang dapat menimbulkan atau mempunyai akibat hukum tertentu14. Walaupun dikatakan yang masing-masing berarti berhak tidak melakukan ada mempertanggungjawabkan perbuatanya isteri, lebih namun demikian baik perbuatan kewajiban kepada apabila suami hukum untuk atau masing-masing suami isteri tetap saling memberikan informasi kepada suami atau isteri atas apa yang telah mereka lakukan sehari-hari dalam melakukan perbuatan hukum demi tercapainya keluarga bahagia dan kekal. 14 Rusdi Malik, op.cit., Hal. 47. 28 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Pasal 31 ayat 3 berbunyi: “Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga”. Ketentuan ketentuan bahwa tersebut agama, khususnya laki-laki sehingga dalam sangat itu erat agama adalah pembentukan kaitannya Islam pemimpin Undang-Undang dengan yang mengatakan kaum perempuan, diterapkan juga pada kehidupan rumah tangga, dimana dikatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ditetapkan sebagai ibu rumah tangga dalam pembentukan Undang-Undang Perkawinan ini. Pembagian tugas tersebut adalah sekedar penyebutan pembagian tugas dalam rangka menjalankan kehidupan berumah tangga, masing-masing kedudukann yang berdasarkan suami sama, kodrat isteri yang dari mempunyai pembagian seorang tugas kekuasaan laki-laki dan dan itu kodrat seorang perempuan. Selanjutnya Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Maksudnya adalah agar suami isteri dapat melaksanakan tugas mereka secara bersama yang berupa kewajiban fungsional secara kooperatif, oleh karena kewajiban yang kooperatif ini hanya dapat dijalankan jika suami isteri bertempat tinggal yang sama dan tidak terpisah. Dan Pasal 32 ayat 2 menentukan bahwa; rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Kewajiban tersebut merupakan kewajiban utama dari suami isteri, sebab dengan memenuhi kewajiban yang dimaksud akan 29 dapat dijamin Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 keberhasilan dari kehidupan perkawinan, artinya terbuka kesempatan seluas-luasnya bagi suami isteri untuk membina kehidupan berkeluarga yang bahagia, sejahtera spirituil dan materiil yang menjadi tujuan dari perkawinan. Dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Kewajiban suami tersebut adalah dalam kaitannya dengan kedudukan sebagai kepala rumah tangga, yaitu untuk memenuhi kebutuhan isteri dan keluarga, memberi nafkah dan tempat kediaman serta pakaian sesuai dengan kemampuan standar sosial ekonomi suami. Sedangkan dalam ayat 2 dikatakan bahwa; isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kewajiban ini tidak dibebankan kepada suami, hal mana dapat dimengerti karena adalah tugas isteri untuk mengurus rumah tangga dan kewajiban isteri dilimpahkan kepadanya dalam kedudukanya sebagai ibu rumah tangga. Selanjutnya ayat 3 mengatakan bahwa; jika suami isteri melalaikan gugatan kewajibannya kepengadilan. masing-masing Alasan pengajuan dapat mengajukan gugatan tersebut adalah bila tidak dipenuhinya atau tidak dilaksanakannya apa yang menjadi kewajiban masing-masing. Tujuan pengajuan gugatan adalah kewajibannya itu agar dapat pihak yang dipaksa tidak oleh melaksanakan pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya demi keutuhan rumah tangga yang dibentuk sesuai dengan tujuan perkawinan. 30 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 B. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM Perkawinan atau pernikahan merupakan kodrat hidup guna mencapai kehidupan damai, tentram dan menumbuhkan rasa saling menyayangi antara suami dan isteri, anak-anak dan cucu dan seterusnya. Islam menganjurkan perkawinan, agar terwujud keluarga yang besar yang mampu mengatur kehidupan mereka diatas bumi ini dan dapat menikmati serta memanfaatkan segala yang telah disediakan oleh Tuhan. Allah SWT menjadikan perkawinan sebagai faktor yang kuat untuk membina kerjasama antara laki-laki dan perempuan sebagai berbagai pasangan ayat suami bahwa isteri. kehidupan Allah manusia berfirman adalah dalam berpasang- pasangan merupakan pembawaaan kodrat hidup, misalnya dalam surat An-Nahl (16:72): “Allah menjadikan bagian-bagianmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, dan menjadikan bagianmu dari isteriisterimu itu anak-anak dan cucu” Rasulullah Saw menganjurkan perkawinan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat fisik dan materil yang di perlukan sebab manfaatnya perkawinan adalah untuk menjaga jangan terjerumus dan melanggar larangan Allah, yaitu melakukan zina yang sangat dimurkai Allah yang akibatnya sangat merusak kepada dirinya keluarganya dan masyarakatnya. Rasulullah menjelaskan arti pentingnya perkawinan dengan sabdanya : “Bila seorang hamba Allah menikah berarti dia telah menyempurnakan separuh kewajiban agamanya dan dia harus bertakwa kepada Allah untuk menyempurnakan yang separuhnya lagi”. 31 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 1. Pengertian Perkawinan Menurut H.Sulaiman Rasyid perkawinan adalah akad yang menghalalkan serta pergaulan bertolong dan menolong membatasi antara hak dan seorang kewajiban laki-laki dan perkawinan ini 15 seorang perempuan yang antara keduanya . Sedangkan secara pendek pengertian ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara laki-laki dengan seorang perempuan16. Unsur perjanjian disini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari perkawinan serta menampakannya pada masyarakat ramai. Untuk pernyataan suci, dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia adalah perkawinan17. Nikah menurut syara, bahasa nikah melakukan berarti berarti persetubuhan berkumpul suatu aqad dengan menjadi yang satu. berisi menggunakan Menurut pembolehan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwizin (mengawinkan). Kata nikah itu sendiri secara hakiki menurut syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al malibrary, berarti akad dan secara majazi berarti bersenggama18. Perkawinan dapat dilihat dari 3 segi pandang, yaitu19: a. Perkawinan dilihat dari segi hukum. Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, dinyatakan dalam Q.S.4:21, perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat di sebut dengan kata15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet 1, (Penerbit:PT Rineka Cipta, Jakarta: 1991), hal 36. 16 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku Bagi Umat Islam, Cet 5, (Penerbit: Jakarta: 1986), hal 47. 17 Sudarson, op. cit., hal 36. 18 Neng Djubaedah, Farida Pihartini, Sulaikin Lubis, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Fakltas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal 33. 19 Sajuti Thalib, op. cit., hal 47-48. 32 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kata “Mitsaaqaan Ghalizhaan”. Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai atau mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu:(1) perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak. (2) kedua belah pihak laki-laki dan perempuan yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan ada perjanjian hukum-hukumnya. tersebut (3) berdasarkan perjanjian yang sudah perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. b. Perkawinan dilihat dari segi sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum pernah ialah, bahwa berkeluarga orang yang mempunyai berkeluarga kedudukan yang atau lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. c. Perkawinan dilihat dari segi agama Pandangan suatu perkawinan dari segi agama adalah suatu segi yang dianggap amat suatu penting. lembaga Dalam yang agama, suci. perkawinan Upacara itu perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah, sebagaimana di ingatkan oleh Q.S.4:1.2010 Dalam Islam perkawinan adalah sangat di anjurkan karena menikah itu melindungi menjaga syahwat. pandangan Sebagaimana mata yang yang di salah dan sunnahkan oleh Rasul dari hadist beliau yaitu, Hadist riwayat Jam’ah ahli hadist: 20 Ibid, hal. 48. 33 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 “Hai pemuda-pemuda barang siapa diantara kamu mampu dan berkeinginan menikah, hendaklah ia menikah karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan memelihara dari godaan syahwat. Dan barang siapa tidak mampu menikah hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa terhadap perempuan akan berkurang”.2111 Hadist riwayat Hakim Abu daud dari Aisyah: “Nikahilah seorang perempuan, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”.2212 Hadist riwayat Muslim: “Takutlah pada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah”.2313 Hukum melakukan perkawinan menurut para sarjana Islam asalnya adalah Ibahah atau kebolehan atau halal, hal ini didasarkan kepada : Q.S.4:1 a. Berbaktilah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup. Q.S.4:3 a. Seyogyanyalah kamu kawin dengan seorang perempuan saja, perbuatan itulah yang lebih mendekati untuk kamu tidak berbuat aniaya. Q.S.4:24 a. Jangan kamu berpoliandri (mengawini perempuan yang bersuami). 21 Sulaiman Rayid, Fiqh Islam, Hukum Islam Lengkap, Cetakan 29, (Bandung : Sinar Baru Al genasindo, 1996), hal. 374-375. 22 Ibid. 23 Ibid. 34 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 b. Dihalalkan bagi kamu mengawini perempuan selain yang telah nyata-nyata dilarang tersebut. (pada ayat 22, 23 dan awal ayat 24). Berdasarkan pada perubahan Illahnya (sebab-sebab yang khusus), maka dari Ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunah, wajib, makruh dan haram. Hukumnya beralih menjadi sunah, apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada maka baginya, menjadi sunahlah untuk melakukan perkawinan. Kalau dia kawin dia mendapat pahala dan kalau dia tidak atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa dan juga tidak mendapat pahala. Hukumnya beralih menjadi wajib, apabila seseorang dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. Jika dia tidak kawin dia akan mendapat dosa dan jika dia kawin dia akan mendapat pahala, baik dia laki-laki atau perempuan. Beralihnya hukum menjadi makruh, apabila seseorang dipandang dari sudut pandang pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, dan belum ada biaya untuk hidup sehingga jika dia kawin hanya akan membawa maka kesengsaraan makruhlah hidup baginya bagi untuk istri kawin. dan Jika tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. 35 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 anak-anaknya, dia kawin dia Sedangkan hukum akan beralih menjadi haram, apabila seseorang laki-laki hendak mengawini seorang perempuan dengan maksud menganiayanya atau memperolok-olokannya maka haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan yang bersangkutan, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.4:23-24, jika dia kawin untuk maksud yang terlarang itu dia berdosa walaupun perkawinan itu tetap sah asal memenuhi ketentuan formil yang telah yang digariskan. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusian, berhubungan dengan laki- laki dan perempuan yang bahagia memperoleh mengikuti syari’ah. dalam rangka mewujudkan suatu keluarga dengan dasar keturunan yang cinta, sah ketentuan-ketentuan kasih dalam yang sayang masyarakat telah diatur untuk, yang oleh 2414 Ada pendapat yang mengatakan tujuan perkawinan dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan hidupnya didunia tercipta ketenangan bersangkutan, ini, juga dan ketentraman keturunan mencegah ketentraman keluarga dalam menjalani perzinahan jiwa dan bagi agar yang masyarakat.2515 Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai berikut Menghalalkan hubungan kelamin untuk tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. Memperoleh keturunan yang sah. 24 M.Ramulyo, op cit., hal 26. Masdar Helmy, Islam dan Keluarga Berencana, Cet. 2 (Semarang: CV Thoha Saputra, 1969), 25 hal.12. 36 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Dari rumusan diatas filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan pada lima hal yaitu:2616 a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia. c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang. d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rejeki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Tujuan anak-anak ini dan dapat seluruh dicapai anggota apabila suami keluarga dan dapat isteri, memahami, menghayati dan menunaikan hak dan kewajiban masing-masing. 3. Syarat dan Sahnya Perkawinan Perkawinan yang sah mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah Swt, yaitu mengikuti sunah Rasul-Nya. Menurut hukum Islam perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun ialah unsur pokok atau tiang sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Rukun nikah merupakan bagian dari hakikat perkawinan, artinya bila salah satu rukun nikah tidak dipenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan. Sehingga menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah: 26 M.Ramulyo, op cit., hal 27. 37 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 a. Syarat Khusus 1. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan. Calon mempelai persetujuannya, harus tidak bebas dalam dipaksa menyatakan oleh pihak lain. Persetujuan ini dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa atau akil baligh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam ada melangsungkan syarat-syarat perkawinan. yang harus Bagi calon dipenuhi, mempelai bagi calon mempelai laki-laki harus; beragama Islam, terang lakilakinya (bukan banci), tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri), tidak beristeri mahramnya bakal isteri, lebih tidak dari empat, mempunyai istri bukan yang haram dimadu dengan bakal istrinya, mengetahui bakal istrinya tidak haram dinikahinya, tidak sedang dalam ikhram haji atau umroh. Sedangkan syarat bagi calon mempelai perempuan yaitu; beragama Islam, terang perempuan (bukan banci), telah memberi ijin kepada wali untuk menikahinya, tidak bersuami, tidak dalam masa iddah, bukan mahram bakal suami, belum pernah dili’an oleh bakal suaminya, tidak sedang dalam ikhram haji atau umroh. 2. Ada Wali Nikah Wali adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan. Menurut mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul pernah menyatakan 38 tidak Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kawin tanpa wali. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali, wali penting dan menjadi sahnya perkawinan. Seorang Islam, wali harus baligh, memenuhi berakal, syarat merdeka, tertentu yaitu: laki-laki, adil, sedang tidak ihram atau umroh, syarat ini didasarkan Al-Quran surat Al-Imron ayat 28: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil mengambil orang kafir menjadi wali dengan meningalkan orang-orang mukmin, Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah Ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali mu”. Menurut hukum perkawinan Islam wali ada empat, yaitu (1) Wali Nasab. (2) Wali Hakim.(3) Hakam. (4) Muhakam. Wali nasab mempelai adalah anggota keluarga laki-laki calon perempuan yang memiliki hubungan darah patrilineal dengan calon mempelai perempuan, seperti bapak, datuk, saudara laki-laki bapak, saudara lakilakinya sendiri. Wali nasab ini terbagi menjadi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa disebut wali nasab yang mujbir dipendekkan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir adalah wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang lakilaki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan keatas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya keatas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang 39 demi Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kebaikan bagi putrinya. Meskipun memaksakan wali putrinya mujbir untuk diperbolehkan menikah, tetapi untuk sangat dianjurkan untuk meminta persetujuan putrinya terlebih dahulu sebab, Kekuasaan langkah-langkah wali mujbir ini ini lebih menjadi hilang baik. apabila putrinya telah menjanda. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai yaitu kekuasaan saudara memaksa laki-laki atau kandung wali atau nasab biasa, sepaba, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa dari bapa, dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial. Wali hakim adalah wali yang di tunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak calon suami istri atau penguasa atau wakil penguasa yang berhubungan dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen masih termasuk perempuan Agama. Hakam anggota namun bukan adalah keluarga wali seseorang yang calon mempelai dan mempunyai nasab pengetahuan agama sebagai wali yang cukup. Sedangkan Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan dan bukan dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan. 3. Ada Saksi Ketentuan saksi dalam perkawinan yaitu harus ada dua orang laki-laki yang beragama Islam dengan beberapa syarat yang harus di penuhi secara komulatif yaitu Baligh, Berakal, merdeka, laki-laki, adil, mendengar dan melihat, mengerti maksud ijab dan Kabul, kuat ingatannya, berakhlak baik, tidak sedang menjadi wali. 40 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Apabila dapat tidak ada digantikan laki-laki dengan maka dua seorang orang laki-laki perempuan untuk menjadi saksi. 4. Ada Mahar Mahar atau mas kawin adalah pemberian sesuatu dari pihak laki-laki sesuai dengan permintaan pihak perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Ma’ruf yaitu sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh istri. Pemberian mahar hukumnya adalah wajib, biasanya diberikan pada waktu akad nikah dilangsungkan sebagai pelambang suami dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk menafkahi istrinya, seperti firman Allah dalam Q.S.4:4 dan 25. Apabila ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu: a. Mahar Musamma Mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai dengan persetujuan suami. Jika isteri menghendaki tunai, maka suami harus membayar setelah akad pernikahan dilaksanakan tetapi jika ditangguhkan maka mahar harus dibayar ketika perceraian terjadi. Dalam hal mahar yang jumlahnya ditetapkan dan pembayarannya ditangguhkan, mengandung terjadi perceraian terjadi sebelum suami hanya yaitu: suami wajib beberapa (1) menggauli membayar akibat Jika perceraian istrinya, separuh jika dari maka jumlah mahar yang ditetapkan sebelumnya dengan ketentuan 41 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 bahwa perceraian tersebut adalah perceraian hidup. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 237: “Jika kamu mentalaq perempuan, sebelum kamu bersetubuh dengan dia, sedangkan kamu telah menentukan mas kawinnya, maka untuk perempuan itu seperdua dari yang kamu tentukan itu………”. (2) Jika terjadi cerai mati sebelum suami menggauli istrinya diambil mahar dari tetap harta harus dibayar kekayaan suami penuh, serta yang mahar tersebut menjadi utang si suami yang meninggal itu. (3) Jika perceraian, baik perceraian hidup maupun perceraian mati terjadi setelah isteri digauli suami, maka mahar harus dibayar penuh sesuai jumlah yang ditetapkan semula. b. Mahar Mitsil Mahar mitsil ditentukan, adalah tetapi mahar dibayar yang besarnya secara pantas tidak sesuai dengan kedudukan isteri dan kemampuan suami. 5. Ada Ijab Kabul Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan Kabul, kepada yaitu laki-laki penegasan calon suami, penerimaan sedangkan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki. Pelaksanaan antara pengucapan ijab dan Kabul tidak boleh ada antara waktu harus segera dijawab. b. Syarat Umum Perkawinan Perkawinan larangan yang yang sah harus sah perkawinan, memenuhi harus larangan rukun dan memperhatikan itu berupa syarat. laranganlarangan berlainan agama, larangan kawin hubungan darah, larangan 42 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kawin karena hubungan sesusuan, karena hubungan semenda, larangan poliandri, larangan kawin terhadap wanita yang dili’an, larangan menikah wanita/pria pejina, larangan perkawinan bekas suami terhadap isteri yang ditalaq tiga dan larangan kawin bagi suami yang telah beristeri empat. Larangan perkawinan karena berlainan agama didasarkan pada hukum Al-Qur’an Q.S.2: 221, yang berbunyi: “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, janganlah kamu kawinkan laki-laki musyrik sebelum dia beriman;orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada kebaikan dan kemampuan”. Hubungan darah yang sangat dekat menjadi sebab pula bagi larangan perkawinan sesamanya. Larangan itu tercantum dalam Q.S.4:23, yang berbunyi: “Diharamkan bagi kamu mengawini ibu kamu, anak perempuan kamu, saudara perempuan kamu, saudara perempuan ibu kamu, saudara perempuan bapak kamu, anak perempuan saudara laki-laki kamu, anak perempuan saudara perempuan kamu”. Sedangkan tentang larangan perkawinan karena hubungan susuan dan hubungan semenda diatur juga dalam Q.S.4:23. hubungan sesusuan maksudnya ialah bahwa seseorang lakilaki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pernah mempunyai larangan Q.S.4:23.h menyusu hubungan dengan sesusuan. ibu yang Oleh sama dianggap karenanya timbul menikah antara keduanya, hal ini diatur dalam: ; Dilarang kamu menikahi perempuan kamu pernah menyusu. 43 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dimana Q.S.4:23.i ; Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan, yaitu anak dari perempuan yang kamu pernah menyusu kepada ibunya. Untuk yang hubungan semenda terdahulu, merupakan halangan hubungan perkawinan perkawinan dalam hubungan perkawinan yang telah ada atau semenda ini diatur dalam: Q.S.4:23.j ; Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan). Q.S.4:23.k ; Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan, yang ada dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang telah kamu campuri dan apabila isteri itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak tiri itu. Q.S.4:23.l ; Dilarang kamu menikahi isteri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan). Q.S.4:23.m ; Jangan kamu yang menikahi perempuan, saudara kecuali isteri apabila kamu kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu nikahi dua orang perempuan bersaudara sekaligus). Larangan perkawinan karena hubungan semenda ini diatur juga dalam Q.S.4:22; jangan kamu nikahi perempuan yang dinikahi oleh bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan yang keji. Larangan perkawinan poliandri adalah larangan bagi laki-laki menikahi seorang perempuan yang bersuami. Larangan dalam sedang mengawini Q.S.4:24; bersuami. perempuan diharamkan Larangan yang kamu bersuami mengawini perkawinan terdapat perempuan terhadap isteri yang telah di lian adalah bagi mereka bercerai untuk selama-lamanya, dan tidak dapat baik rujuk lagi maupun menikah lagi antara bekas suami isteri. Hal ini diatur 44 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dalam Q.S.24:4 pezinah dan maupun 6. Larangan laki-laki menikah pezinah. bagi wanita Laki-laki yang berzinah tidak dapat menikahi perempuan baik-baik, ia hanya hanya dapat menikahi wanita pezinah atau wanita musyrik. Dan perempuan pezinah tidak dapat dikawini laki-laki baik, ia hanya dapat dinikahi dengan laki-laki pezinah pula atau laki-laki yang musyrik. Demikianlah ditetapkan oleh Allah dan diharamkan orang-orang mukmin melakukan diluar ketentuan Allah tersebut, hal ini dijelaskan dalam Q.S.24:3. Larangan tiga suami kecuali dinikahi menikahi bekas isterinya perempuan bekas isteri lebih dahulu oleh laki-laki yang ditalaq tersebut lain telah secara sah kemudian tertalaq lagi serta habis tenggang waktu iddah, larangan ini diatur dalam Q.S.2:230. Larangan menikah bagi laki-laki yang telah mempunyai empat orang isteri. Dikatakan bahwa prinsip perkawinan menurut hukum Islam itu adalah monogami, tetapi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan, yatim tersebut kamu dua, boleh tiga menikahi atau ibu maksimal dari empat anak orang; berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi sampai dengan empat orang isteri. Apabila seseorang sudah mempunyai empat orang isteri haramlah baginya untuk menikah lagi, dinyatakan dalam Q.S.4:3 dan Q.S.4:127. 4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akad yang sah, akan menimbulkan akibat-akibat hukum baik bagi menimbulkan suami hak maupun dan bagi kewajiban 45 isteri, suami yang demikian kepada Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 isteri akan atau isteri kepada suami secara timbal balik antara keduanya selain itu akad nikah yang sah juga akan menimbulkan hak bersama antara suami dan isteri. Dalam hal hak isteri, ada kewajiban atas suami maknanya adalah suami berkewajiban memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak isterinya. Demikian pula mengenai hak suami atas isteri, berarti merupakan hal-hal yang menjadi kewajiban isteri untuk memenuhi dan melaksanakan hak suaminya, sedangkan hak bersama adalah hak yang dimiliki oleh suami isteri secara bersama-sama dan kewajibannya pun dipenuhi secara bersama-sama juga. Hak dan kewajiban suami isteri ini ditegaskan dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah Rasul pembagian tersebut adalah: a. Hak dan kewajiban suami isteri bersama. 1. Halal saling bergaul dan mengadakan cucu, begitu pula suami perempuan haram dan menikahi cucu ibu (Q.S.4:23). isterinya, anak Perbuatan yang dihalalkan ini berarti suami isteri timbal balik, yakni suami halal berbuat demikian kepada isteri dan isteri juga halal berbuat yang sama terhadap suami. Firman Allah Swt dalam Q.S.2:223: “Isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanamu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. 2. Hak saling Mewaris. Suami dan isteri saling mempunyai hak antara yang satu kepada yang lain untuk mendapatkan harta waris sebagai akibat dari ikatan perkawinannya yang sah, jika salah seorang meninggal 46 dunia. Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Jadi suami berhak mendapat harta waris dari isteri jika isteri meninggal dunia, dan isteri juga berhak memperoleh harta waris dari suami jika suami meninggal dunia. Firman Allah Swt ini tentang hak saling mewaris diatur dalam surat Q.S.4:12 berbunyi: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu”. 3. Pergaulan Suami dan Isteri yang baik Suami isteri mempunyai hak antara yang satu dengan yang lain untuk mendapat perlakuan yang baik, artinya suami berhak mendapat perlakuan yang baik dari isteri perlakuan dan dari isteri suami. juga Ini berhak berarti mendapat suami wajib bergaul dengan baik dengan isterinya dan sebaliknya isteri juga wajib bergaul dengan baik kepada suaminya, wajibnya suami bergaul dengan baik kepada isterinya, tidak saja disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi juga dalam Hadist Nabi. Firman Allah Swt dalam Q.S. 4:19: “Dan pergaulilah mereka (Isteri-isteri) dengan baik. Kemudian jika kamu tidakl menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. 47 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Dalam makna yang hampir sama Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, karena jika ia membenci salah satu sifatnya tentu akan senang kepada sifatnya”. Bagi suami, sesungguhnya isteri adalah amanat dari Allah, suami berkewajiban menggaulinya dengan baik dan memenuhi semua yang menjadi hak-haknya, sabda Rasulullah mengenai hal ini: “Bertakwalah kamu kepada Allah dalam perkara wanita, karena sesungguhnya kamu menjadikan mereka sebagai isteri berdasarkan amanat Allah, dan kamu halalkan bergaul dengan mereka itu berdasarkan kalimat Allah”.(Riwayat muslim). Pergaulan suami isteri juga harus saling membawa rasa aman dan tentram serta saling mencintai dan santun menyantuni sehingga rumah tangga dapat berjalan dengan baik, bahagia dan kekal. Firman Allah dalam Q.S.30:21: 4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia menciptakan kamu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Menjaga rahasia masing-masing Artinya suami isteri harus menjaga rahasia masingmasing pihak. Haram hukumnya bagi suami membuka rahasia isteri, demikian pula haram hukumnya isteri membuka rahasia suaminya. Dan apabila masing-masing pihak dapat saling menjaga rahasia, maka tindakan ini tindakan yang mulia sebagaimana dikatakan bahwa isteri yang baik ialah isteri yang tunduk kepada 48 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Tuhan dan memelihara rumahtangganya dan rahasia suami serta rahasia keluarga Q.S.4:34. Rasulullah menjelaskan mengenai menjaga rahasia ini dengan sabdanya: “Bahwa sesungguhnya yang paling dimurkai Tuhan nanti di hari kiamat, ialah seorang suami yang diberitahu oleh isterinya tentang rahasia isterinya itu,sedangkan oleh suami tadi rahasiaitu disiarkan;begitupun seorang isteri yang diberitahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu sedang oleh isteri itu rahasia tadi disiarkan”.(Hadist Riwayat Muslim). b. Hak Isteri dan Kewajiban Suami. Segala sesuatu yang menjadi hak isteri adalah menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya. 1. Hak isteri yang bersifat kebendaaan adalah. a. Hak menerima Indonesia mahar; disebut mahar yang maskawin, dalam dalam bahasa Al-Qur’an disebut dalam beberapa istilah: ujur, dari kata ajrun yang (Q.S.4:25), yang artinya shaduqat, artinya faridlah, ganjaran yang jamak atau dari pemberian yang artinya sesuatu kata hadiah shaduqah tulus (Q.S.4:4), yang diwajibkan atau suatu bagian yang ditetapkan (Q.S.2:236). b. Hak atas Nafkah; nafkah merupakan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan isteri yaitu pakaian makanan, tempat kediaman dan lain-lain, kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Mengenai kadar nafkah yang harus diberikan suami tidak boleh berlebihan sehingga memberatkan suami, tidak pula terlalu sedikit artinya yang wajar saja dan sesuai dengan kesanggupan suami. Wajibnya suami memberi nafkah 49 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kepada isteri disebutkan dalam firman Allah Q.S.2:234: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. Dari Aisyah: saya Rasulullah,apakah pernah hak bertanya, seorang isteri wahai terhadap suami?” sabdanya: “Ialah engkau memberi makan kepadanya bila engkau makan, engkau memberi pakaian bila engkau berpakaian dan jangan engkau memukul mukanya, jangan pula engkau melukainya dan jangan engkau mengucilkannya, kecuali hanya dalam rumah”. (HR.Abu dawud) c. Hak atas tempat kediaman; suami wajib menyediakan rumah kediaman tinggal bagi bagi keduanya isterinya menurut dan bertempat kesanggupan suami sebagaimana, difirmankan dalam Q.S.56:6 : “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka………”. 2. Hak isteri yang bersifat bukan kebendaan a. Seorang suami hendaknya memperlakukan isterinya dengan baik (Q.S. 4:19). Demikian pula dalam hadist Rasul: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada isterinya”. ”Iman seorang mukmin yang paling sempurna adalah yang sebaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya”.(HR. Tirmidzi) b. Agar suami menjaga dan memelihara isterinya; diantara tanggung jawab seorang suami adalah menjaga isterinya dari segala sesuatu yang dapat 50 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 merusak kehormatan, menganiaya, meremehkan, kemuliannya sebagai manusia, merusak nama baik dan perasaan, tidak menyia-nyiakannya dan menjaga agar selalu bertakwa kepada Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.s.66:6): “Wahai orang-orang yang beriman, perihalah dirimu dan keluarga dari api neraka”. c. Apabila Suami mempunyai isteri lebih dari seorang maka hendaklah dia berlaku adil terhadap isterinya. Firman Allah Swt dalam Q.S.4:3: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim bila mana kamu mengawininya, maka kawinilah wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja………”. Yang dimaksud berlaku adil dalam surat ini adalah adil dalam pemberian giliran hari antara nafkah, tempat tinggal, isteri-isteri sebagainya. Namun adil dalam cinta dan dan kasih sayang sulit dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu janganlah isteri hendaknya seorang, karena membiarkan kecintaan isteri kepada yang lain terkatung-katung hidupnya.(Q.S.4:129) c. Hak suami dan kewajiban Isteri Mengenai hak-hak suami terhadap isterinya adalah: 1. Taat dan patuh; isteri diperintahkan taat kepada suaminya selama bukan dalam hal kemaksiatan, disinggung dalam firman Allah Swt Q.S.4:34 : “Laki-laki perempuan”. itu 51 adalah pemimpin Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 bagi Sabda Rasulullah: “Isteri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya maka dia akan masuk surga”.(HR.Tirmidzi) Dan isteri hendaklah taat dan patuh kepada suaminya dalam melaksanakan urusan rumah tangga, selama suaminya itu masih melaksanakan ketentuanketentuan suami Allah dan durhaka berkaitan isteri. kewajibannya isteri yang untuk nusyuz. kehidupan yang melanggar Isteri taat kepada Nusyuz kepada dengan suami artinya suami. disebut durhaka Isteri yang yaitu durhaka dikenakan sangsi yang cukup keras, tetapi isteri yang taat amatlah besar juga keutamaan yang akan di perolehnya, salah satu keutamaan itu ialah ketaatan isteri kepada suami dan mengakui hak-hak suami disejajarkan dengan jihad atau perang dijalan Allah. 2. Mengurus dan mengatur rumah tangga; selain taat kepada suami isteri wajib menyelenggarakan urusan rumah tangga pengertian sebaik-baiknya. untuk Termasuk melaksanakan kedalam tugas-tugas kerumahtanggaan seperti menyelenggarakan keperluan sehari-hari, membuat suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh ketentraman baik bagi suami maupun anak-anak, mengasuh anak dan mendidik anak (Q.S.4:34). sebagai Secara pengurus bertanggung jawab garis besar rumah tangga terhadap isteri suaminya tugasnya mengurus rumah tangga secara professional. 52 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 berperan dan termasuk 3. Menjaga harta suami; isteri wajib menjaga harta suami dengan tidak melakukan sikap pemborosan. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik isteri ialah jika kamu memandangnya, maka kamu akan terhibur, jika kamu suruh ia akan patuh dan jika kamu berpergian dijaganya dirinya dan harta benda suaminya”. (HR. Nasa’i) C. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan Hukum Islam yang diundangkan negara pada berdasarkan keputusan zaman bersama Orde Baru. Ketua KHI Mahkamah disusun Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985. KHI dikukuhkan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama diseluruh Indonesia, menangani tiga bidang hukum Islam yang terumuskan ke dalam 229 Pasal, yakni hukum perkawinan (munakahat), hukum kewarisan (mawaris), dan hukum perwakafan (waqf). Kehadiran pemerintah Kompilasi terhadap Hukum Islam timbulnya merupakan berbagai respon keresahan dimasyarakat akibat beragamnya Keputusan Pengadilan Agama untuk kasus yang sama. Keberagaman ini merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan hukum berupa fiqih yang dipakai oleh para hakim agama dalam memutuskan suatu perkara. Karena itu, muncul suatu gagasan mengenai perlunya suatu hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan bagi para hakim agama sekaligus sebagai langkah awal untuk kodifikasi Hukum Nasional. 53 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 mewujudkan Oleh karena itu, kehadiran KHI dipandang sangat efektif digunakan oleh para hakim agama, pejabat KUA dan masyarakat sebagai sumber dan landasan hukum dalam berbagai keputusan Peradilan Agama. 1. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2, perkawinan adalah sebagai pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqaan gholidzan melaksanakannya untuk merupakan mentaati perintah ibadah. Mitsaaqan Allah dan gholidzan adalah perjanjian yang teguh.2717 Pengertian perkawinan ini banyak perbedaan pendapat antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini bukan untuk memperlihatkan dengan yang perumus lain, untuk banyaknya pertentangan dalam antara melainkan memasukkan perumusan hanya pendapat yang satu keinginan dari para unsur-unsur pengertian yang sebanyak- perkawinan. Namun demikian dari seluruh rumusan pengertian perkawinan yang berbeda-beda terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan, yaitu, nikah merupakan perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan. untuk membentuk Perjanjian disini adalah keluarga antara seorang perjanjian suci laki-laki dan seorang perempuan, disini dilihat dari segi keagamaan suatu perkawinan. 2. Tujuan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sehingga terwujud kehidupan berumah tangga yang aman dan tentram serta saling 27 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 10. 54 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 mencintai dan menyantuni satu sama lain antara suami isteri. Sementara perkawinan itu sebagai perspektif tuntutan Islam hajat mengartikan tabiat tujuan manusia dengan maksud memperoleh keturunan yang sah, mewujudkan keluarga yang berdasarkan basis pertama cinta kasih, masyarakat yang karena keluarga merupakan besar, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan dan menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggungjawab suami kepada keluarga dan isteri mengatur kehidupan rumah tangga. 3. Syarat Dan Syahnya Perkawinan Ketentuan akan sahnya perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan, dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 7. Menurut Pasal 4 KHI perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Nikah. dan Apabila di bawah pengawasan perkawinan tersebut Pegawai Pencatatat dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat perkawinan oleh tersebut Pegawai tidak Pencatat dapat Nikah. dibuktikan Jika dalam dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama. 55 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Itsbat nikah yang hendak diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:2818 Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Hilangnya akta nikah. Adanya keraguan tentang sahnya atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya rukun dan syarat perkawinan, diatur pada bagian kesatu sampai dengan kelima Pasal 14 sampai dengan Pasal 19. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, sedangkan syarat perkawinan merupakan sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri.2919 Untuk melaksanakan perkawinan pertama harus ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus izin orang tua atau wali. Perkawinan yang akan dilaksanakan harus didasari atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujun 28 calon Muhamad Zain, Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial, cet 1 (Jakarta : Penerbit Graha Cipta, 2005), hal. 149. 29 M. Idris Pramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet.2 (Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 1996), hal. 30. 56 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 mempelai perempuan berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat dan dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sebelum berlangsungnya perkawinan harus ditanyakan terlebih dahulu persetujuan dari calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. Dan apabila perkawinan terebut tidak disetujui oleh salah satu calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Dalam perkawinan wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan, yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baliqh (Pasal 20 ayat 1). Wali nikah terdiri dari wali nasab dan Wali hakim (Pasal 20 ayat 2). Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan. Kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan:3020 a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. b. Kedua, kelompok kerabat saudara lai-laki kandung atau saudara laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. d. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan mereka. 30 Muhamad Zain, op.cit. hal 154-155. 57 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Sedangkan wali nikah hakim adalah wali yang baru bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin untuk hadir. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Yang dapat menjadi saksi adalah seorang lakilaki, muslim, adil, aqil, baliqh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Dan harus hadir serta menyaksikan langsung perkawinan tersebut. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak terselang waktu. Terdapat halangan nikah atau larangan nikah seperti yang diatur dalam Bab VI, Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Seorang pria dan seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan disebabkan karena: a. Pertalian nasab, yakni dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Pertalian kerabat semenda, dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; dengan seorang wanita bekas isteri oran yang menurunkannya; dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qoblal al-dukhul; dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. c. Pertalian susuan, dengan seorang wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus keatas; dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah; dengan seorang wanita saudara sesusuan 58 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dan kemenakan sesusuan kebawah; dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Dalam keadaan tertentu seorang pria dan seorang wanita dilarang melaksanakan perkawinan, hal ini disebabkan yaitu, karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain; masih berada dalam masa iddah dengan pria lain dan wanita itu tidak beragama Islam. Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya, larangan tersebut tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’i tetapi masih dalam masa iddah. Seorang pria juga dilarang melangsungkan perkawinan sedang dengan mempunyai seorang 4(empat) wanita orang apabila isteri pria yang tersebut berempatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah saeorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i. Dan dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali serta dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an. Terakhir larangan untuk melangsungkan perkawinan seorang wanita Islam dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 4. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam KHI diatur dalam, bagian kesatu sampai dengan bagian keenam, Pasal 77 sampai dengan Pasal 84. 59 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Suami isteri dikatakan memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat, wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Suami isteri memelihara jasmani memikul anak-anak rohani kewajiban mereka maupun untuk baik, mengasuh mengenai kecerdasannya dan pertumbuhan dan pendidikan agamanya. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tinggal yang dimaksud ditentukan oleh suami dan isteri bersama. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan bersama dalam masyarakat dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Kewajiban suami adalah menjadi pembimbing terhadap isterinya dan rumah tangganya, akan tetapi untuk hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikannya segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna serta bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Suami dalam kehidupan rumah tangga menanggung; nafkah, dan tempat kediaman bagi isteri; biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; biaya 60 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 pendidikan Kewajiban apabila kediaman bagi suami anak, sesuai sebagaimana isteri nusyuz. yang layak yang Suami bagi dengan penghasilanya. disebut wajib isteri diatas menyediakan selama dalam gugur tempat ikatan perkawinan dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah atau iddah wafat. Untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram dan berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan serta sebagai tempat menata dan mengatur isteri alat-alat lebih rumah dari tangga. seorang Jika maka suami suami mempunyai berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masingmasing isteri secara jumlah keluarga yang berimbang menurut ditanggung besar masing-masing kecilnya isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. Seorang isteri berkewajiban untuk berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Isteri juga mengatur dan menyelenggarakan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. D. PRINSIP KEADILAN YANG DITERAPKAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM NASIONAL BAGI ISTERI DALAM PERKAWINAN Kata adil atau keadilan merupakan tujuan dan inti daripada hukum. Adil mengandung pengertian yakni meletakan sesuatu pada tempatnya. Perkataan hukum berasal dari bahasa Arab, yakni dari pokok kata “Hakama”, yang berarti meninjau dan menetapkan sesuatu hal yang adil dengan tidak berat sebelah. 61 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Landasan keadilan dalam Islam di landasi oleh beberapa faktor yaitu:3121 a. Kemerdekaan secara mutlak. b. Persamaan kedudukan bagi setiap manusia. c. Saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Jika keadilan dilihat dari kacamata “Rahman dan Rahim” dengan Distributiva dan Commutativa, maka “Commutativa- Rahman yaitu Tuhan Yang Maha Esa itu memandang dan menilai manusia didunia ini adalah sama. Tuhan tidak membedakan hamba-hambanya didunia fana ini satu sama lainnya, tidak mengenal perbedaan suku bangsa, perbedaan warna kulit, perbedaan status sosial, perempuan dan laki-laki semuanya adalah sama. Sedangkan “Rohim-Distributiva”, yaitu Tuhan memberikan keadilan-Nya pada perbuatannya. Amal setiap manusia sesuai shaleh manusia itu dengan akan amal menentukan Keadilan Tuhan pada diri manusia di alam Akherat. Distrbutiva dan Commutativa adalah teori Aristoteles dalam pembagian keadilan. Keadilan Distributiva adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang jatah menurut jasanya, sedangkan keadilan Commutativa adalah keadilan yang memberikan sama banyaknya dengan tidak mengingat jasajasa perorangan.3222 Aristoteles dalam bukunya Rhetorica mengatakan bahwa hukum bertugas membuat berkata bahwa seseorang apabila orang itu 31 adanya keadilan dikatakan mengambil lebih dan berlaku dari Ia pernah tidak adil bagian yang Sayed Kotb, Social Justice in Islam, (New York: American Council Learned Sociaties, 1968), page. 30. 32 Abdullah Sani, Hakim dan Keadilan Hukum, cet 1, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1977), hal. 76. 62 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil karena dianggap semua sebagai hal yang adil. didasarkan Keadilan pada adalah hukum penilaian dapat dengan memberikan siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan dengan melanggar hukum. Menurut bertindak proporsional dan tidak 3323 Rawls, prinsip fundamental bagi pembentukan masyarakat adil adalah: (1) Prinsip kesamaan artinya tiaptiap individu mempunyai kebebasan-kebebasan hak dasar akan yang suatu sebesar sistem mungkin, total sejauh sistem kebebasan dapat disesuaikan dengan sistem kebebasan yang sama besar bagi orang lain; (2) Prinsip ketidaksamaan artinya situasi sedemikian ketidaksamaan rupa sehingga harus paling diberikan menguntungkan aturan golongan masyarakat yang paling lemah. Hasil penggunaan prinsip keadilan tersebut adalah kebebasan yang sama termasuk kebebasan batin yang tidak boleh dipermainkan; pengakuan hak-hak politik bagi semua orang; berlakunya pengendalian semua dengan peraturan memberikan hukum sebagai sangsi-sangsi. sistem Dari dua prinsip tersebut Rawls hendak mengatakan bahwa perlu ada keseimbangan antara pribadi pemberian dan kepentingan proritas bersama bagi dan mereka kepentingan yang lemah supaya tidak menjadi korban. Persamaan yang dikaitkan dengan keadilan disini adalah persamaan hak, persamaan hak tidak berarti sama persis tetapi setara dan sederajat atau sejajar. Sedangkan adil menurut quran adalah adanya perlakuan yang sama dalam hal 33 Jimly Asshidiqie, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, cet 2, (Jakarta : Penerbit Watampone Press, 2003), hal 41. 63 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 makanan, pakaian, tempat tinggal serta adanya perlakuan yang sama dalam hal cinta dan kasih. Prinsip keadilan yang digambarkan dalam Islam adalah dari konsep perkawinan Islam yang menganut monogami, yang tidak mengharamkan poligami. Poligami adalah keinginan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang. Namun dalam berpoligami ketentuan dan Islam memberikan syarat-syarat pengecualian tertentu bagi suami dengan yang berkeinginan beristeri lebih dari seorang. Syarat dan ketentuan yang dimaksud adalah diharuskannya berlaku adil, sebagaimana firman Allah dalam Q.S.4:3 yang berbunyi: “Jika kamu takut tidak akan berlaku adil diantara isteri-isterimu kamu, seyogyanya kamu mengawini seorang wanita saja, sebab kawin dengan seorang wanita saja lebih baik bagimu agar kamu tidak berbuat aniaya…” syarat adil yang dimaksud Q.S.4:3 yaitu adil dalam menafkahi isteri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah, keadilan disini bukanlah seperti sebagaimana firman Allh dalam Q.S.4:129 yang berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” Anjuran Allah SWT, untuk beristeri satu adalah untuk menghindarkan seseorang untuk sewenang-wenang dan membuat orang lain menderita atau teraniaya apabila orang beristeri lebih dari satu. Oleh karena itu meskipun suami diperbolehkan mengawini isteri lebih dari seorang tetapi 64 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 bila tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, sebaiknya menikahi seorang isteri saja. Gambaran tentang keadiln dalam berpoligami menurut Islam, dijelaskan secara lebih rinci dalam Q.S.4:3: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, empat, kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada yang berbuat aniaya”. Ayat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki tidak begitu saja bisa mengawini siapa saja yang diinginkannya tetapi ada aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan dan dipahami, ketentuan itu meliputi, pertama; menikahi anak yatim bila takut tidak akan larangan berlaku adil dalam mahar, yakni tidak dapat memberikan mahar minimal sama besarnya dengan mahar perempuan-perempuan lain, kedua; seorang laki-laki dihalalkan menikahi lebih dari satu orang perempuan bahkan sampai empat jika sanggup untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan, ketiga; seorang laki-laki hanya boleh menikahi satu orang perempuan saja jika ia takut akan berbuat durhaka kalau menikahi lebih dari satu orang. Allah membolehkan poligami dengan batasan empat orang isteri, tentu dibarengi dengan kewajiban suami berlaku adil diantara isteri-isterinya dalam berbagai urusan seperti makan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya tanpa membedakan-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan bila suami takut tidak akan berlaku adil dan berbuat dzalim terhadap hak-hak isteri-isterinya, maka diharamkan baginya untuk berpoligami. 65 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Rasulullah memberikan peringatan kepada suami yang hendak berpoligami apabila tidak bisa berlaku adil maka akan ada azab yang akan dijatuhi kepadanya, dengan sabdanya: “barang siapa yang mengawini dua wanita, sedangkan dia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya pada hari akhir nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus”. ( Jami’ al ushul, juz XII, 168, nomor hadist: 9049). Mustafa al-Maraghy menolak poligami dalam yang kitab tafsirnya menyalahi dengan ketentuan dan tegas tujuan pernikahan yakni pernikahan yang tidak kesesuaian dengan pencapaian kehidupan kebahagian dan keluarga sakinah (yang dapat mewujudkan mawaddah dan keluarga adalah pada kasih ketentraman sayang rukun serta atau jiwa isteri). ketentraman prasyarat jiwa utama Sebab dalam pencapaian kebahagian kehidupan keluarga. Seorang muslim tidak boleh berpoligami, memenuhi kecuali ketentuan dalam Allah keadaan swt, yaitu darurat mampu dan berlaku dapat adil terhadap isteri-isterinya. Jika tidak, maka poligami tiada lain kecuali seseorang sebagai terhadap bentuk dirinya penindasan sendiri, (kezaliman) isterinya termasuk kepada anak-anaknya.3424 Rasulullah sendiri sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib, disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibn Majah: “Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad saw akan dipoligami Ali Bin Abi Thalib, ketika mendengar rencana itu Nabi langsung masuk mesjid dan naik mimbar, lalu berseru “beberapa keluarganya Bani Hasyim Bin Al-Mughirah minta izin 34 Muhhaman Zain, op cit., hal. 51. 66 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan , sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak mengizinkan, kecuali Ali Bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”.(Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadist:9026). Dari hadist diatas tergambar jelas, poligami akan menyakiti hati seorang isteri tidak terkecuali keluarganya dan tentunya jauh dari maksud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan didasari cinta kasih dan sayang. Pinsip keadilan dalam berpologami diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dalam Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 1. Pasal-Pasal tersebut merupakan Pasal yang berisi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dan harus dipenuhi oleh suami bila berkeinginan untuk beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang Perkawinan ini bermaksud menegakkan prinsip monogami dengan mempersulit poligami. Dalam hal ini pengadilan memegang peranan agar tidak terjadi penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Dalam hal suami akan beristeri lebih dari satu orang, pertama-tama harus diperhatikan syarat dan prosedur yang ditentukan Undang-Undang. Suami tidak dapat beristeri lebih dari satu orang jika tidak memenuhi syarat, adanya alasanalasan, dan sesuai dengan prosedur yang telah di tentukan oleh Undang-Undang. agama, artinya Kedua, apakah harus agama memperhatikan yang dianut ketentuan suami isteri memungkinkan bagi suami untuk beristeri lebih dari satu 67 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 orang. Ketiga, karena hak harus untuk juga diperhatikan beristeri lebih ketentuan dari satu moral, orang hanya diberikan kepada pihak suami, maka suami dalam melaksanakan haknya harus sedemikian sewenang-wenang penyelundupan makna terhadap hukum yang rupa, isteri atau terkandung sehingga dan melakukan dalam tidak tidak hal-hal Pasal 33 berlaku melakukan mengingkari Undang-Undang perkawinan. Dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa seorang suami yang akan beristeri lebih dari satu orang harus ada izin dari pengadilan agama dan pengadilan akan memberikan izin tersebut apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan juga apabila hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan. Selanjutnya Pasal 5 ayat 1, menambahkan bahwa suami yang berkeinginan mempunyai isteri lebih dari satu juga harus memenuhi syarat yaitu; adanya persetujuan dari isteri-isteri terdahulu, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Jaminan suami dan ketika kepastian akan tersebut mengajukan harus permohonan dipenuhi izin oleh untuk beristeri lebih dari satu orang. Kepastian dan jaminan yang harus dipenuhi suami kelangsungan hidup yaitu jaminan dan kepastian untuk isteri dan anak berupa nafkah lahir dan batin dan tempat tinggal yang layak. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam prinsip keadilan dalam berpoligami diatur Pasal 55 dan Pasal 56 jo Pasal 82. Hal ini berkaitan keinginan suami untuk beristeri lebih 68 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dari seorang. dibatasi Dalam dengan Kompilasi adanya HukuM Islam syarat-syarat hal tertentu tersebut dan tidak lepas dari tanggung jawab suami untuk berlaku adil. Pasal 55 ayat 2 dan 3, menyatakan bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari dua syarat utamanya harus mampu berlaku suami adil terhadap tidak mampu isteri berlaku dan anak-anaknya, adil maka suami apabila dilarang beristeri lebih dari satu. Kehendak suami untuk beristeri lebih dari satu ini harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dan apabila perkawinannya dengan isteri kedua, tiga dan empat tidak mendapat izin dari pengadilan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat 1 dan 3. Penegasan harus adilnya seorang suami terhadap isteriisterinya mengenai nafkah yang harus diberikan, tersirat dalam Pasal 82 ayat 1, yang menyatakan bahwa suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing. Dari apa yang telah dijabarkan diatas, maka dapat disimpulkan pada dasarnya hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional serta Kompilasi Hukum Islam, jelas memberikan pengecualin dan batasan-batasan tertentu untuk suami yang hendak beristeri lebih dari seorang. Pembatasan tersebut dimaksudkan terhadap agar isteri suami dan tidak bertindak memperhatikan sewenang-wenang hak-hak menjadi tanggung jawabnya. 69 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 isteri yang Pembatasan juga dimasudkan memberikan perlindungan dan jaminan serta kepastian hukum bagi isteri agar diperlakukan secara adil oleh suami. Adil dalam hal ini yaitu adanya persamaaan hak dan persamaan hukum. Persamaan tidak berarti sama persis tetapi setara dan sejajar dalam kehidupan berkeluarga antara suami dan isteri. Pembatasan ini juga dimaksudkan mempersulit keinginan suami untuk beristeri lebih dari satu. Oleh karena itu agar poligami dipahami secara benar, hendaklah seorang suami memahami dengan jelas dan benar ketentuan dan aturan-aturannya sehingga seorang suami yang berkeinginan mempunyai isteri lebih dari satu mempertimbangkanya secara matang, karena adanya ketentuan harus berlaku adil dan adil bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan disebabkan adanya tanggung jawab yang besar tidak hanya kepada isteri tetapi juga kepada tuhan. Dengan demikian prinsip keadilan dimaksudkan untuk membangun hubungan suami isteri yang harmonis, setara dan adil sehingga yang satu tidak mendominasi yang lainnya. Dalam istilah Islam disebut hubungan suami isteri yang mu’asyarah bil ma’ruf.3525 E. KEDUDUKAN SEIMBANG SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL DALAM KASUS VASEKTOMI Keseimbangan kedudukan antara suami isteri diartikan sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berumah tangga harus dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri yang 35 Muhhaman Zain, op cit., hal. 28. 70 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 bersangkutan. mengembangkan Dimaksudkan agar kepribadian masing-masing mereka dalam dapat membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dalam memang rumah pada perempuan, tangga umumnya namun walaupun lebih mereka secara kuat adalah fisik laki-laki dibandingkan sama. Kedudukan dengan mereka adalah sama, dalam pengertian bahwa masing-masing sama-sama mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan, dan sama-sama mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan. Kelalaian satu pihak dalam menelantarkan mengakibatkan hak menunaikan pihak lain keretakan kewajibannya yang rumah pada tangga berarti giliranya dan di akan memungkinkan terjadinya perceraian. Penerapan keseimbangan kedudukan isteri dalam perkawinan ini, akan penulis bahas berdasarkan sebuah kasus gugatan perceraian seorang isteri, yang disebabkan suami tidak mampu memberikan keturunan karena telah divaksetomi. Dalam pembahasan kasus ini, penulis memfokuskan pembahasannya kepada hak isteri dalam keabsahan tindakan isteri menggugat cerai suami disebabkan suami tidak mampu memberikan keturunan. Yang biasanya isteri yang tidak bisa memberikan keturunan sering dijadikan alasan suami untuk menceraikan isteri dan berpoligami. Kasus ini berawal dari gugatan isteri Nyonya E. Syam terhadap suaminya Tuan T. Rab, disebabkan setelah selama 12 tahun terikat suaminya perkawinan tersebut tidak dengan Tuan mampu T. Rab, memberikan ternyata keturunan kepadanya. Ketidakmampuan Tuan T. Rab memberikan keturunan disebabkan pihak vaksetomi isteri tidak yang bisa dilakukan menerima 71 suaminya. suami Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dalam Sementara kondisi tersebut setelah selama 12 tahun bersabar menunggu keturunan. Gugatan Tinggi Nyonya E. Agama Syam dikabulkan Pekanbaru oleh dalam Pengadilan putusan No. 09/Pdt/1992/PTA.PBR dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 127K/AG/1992. Berdasarkan kasus ini, ternyata didalam hukum Islam perbuatan vasektomi sangat bertentangan dengan tujuan utama dilaksanankannya perkawinan, yaitu untuk memperbanyak keturunan dimuka bumi, yang merupakan salah satu tujuan syariat Islam. Vaksetomi yang dilakukan suami tersebut dalam Islam dianggap sebagai cacat tubuh dan bisa dijadikan alasan bagi isteri adanya cacat atau suami atau untuk menuntut kekurangan isteri bisa cerai. pada menjadi diri Karena dari penghalang dengan salah satu tercapainya tujuan utama dari dilaksanakanya perkawinan dalam syariat Islam. Sehingga perkawinanya Pernyataan isteri diakhiri, ini berhak karena dikuatkan juga perbuatan dengan Wahbah untuk menuntut vaksetomi suami. az-Zuhaili dalam bukunya al-Figh al-Islami Wa Adillatuhu, yang mengatakan cacat tubuh atau kelemahan dilihat dari tiga kategori:3626 1. Cacat yang khusus bagi laki-laki yang berhubungan dengan alat kelamin (cacat kelamin, seperti zakar terpotong, impoten, dikebiri memberikan buah keturunan, zakarnya atau sehingga tidak mampu 36 tidak bisa melakukan Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, cet 1, (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2004), hal 129-130. 72 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 hubungan seksual baik disebabkan mengidap suatu penyakit atau karena lanjut usia. 2. Kelemahan atau berhubungan cacat dengan yang khusus faraj (cacat bagi wanita kelamin), yang seperti keadaan faraj tersumbat sama sekali dengan daging atau tersumbat tulang. 3. Kelemahan atau cacat yang laki-laki atau wanita, mungkin seperti terdapat penyakit baik gila, pada kusta, sifilis, terus menerus buang air seni, wasir, keadaan salah satu dari suami isteri khunsa (banci). Hal yang sama juga disyahkan oleh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, mereka sepakat bahwa impotensi dan zakar laki-laki yang terpotong bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai. Karena dengan cacat seperti itu seorang laki-laki tidak mampu lagi memenuhi maksud dari perkawinan, baik maksud utama untuk keturunan ataupun untuk mengadakan hubungan seksual. Sedangkan dalam mazhab Imam az-Zuhri, Qadi Syureih, Abu Saur dan Ibn Qayyim, walaupun tidak membatasi macam penyakit tetapi yang terpenting diperhatikan menurut mazhab ini adalah dengan penyakit seperti itu, kesempurnaan perkawinan tidak bisa dicapai sehingga peluang terjadinya percekcokan dan berkepanjangan. sakinah, rumah pertengkaran Dan mawaddah tangga yang prinsip dan warahmah sakinah dalam rumah tangga akan rumah tangga Islam yang tidak dalam terpenuhi. perkawinan Prinsip dipertegas dengan pernyatan Alquran surah Annisa ayat 21 (Q.S.30:21), yang menyatakan : “Diantara tanda-tanda kebesaraan Tuhan adalah bahwa dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan 73 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 yang sama agar kamu menjadi tentram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah)”. surah ini mengandung pesan bahwa perkawinan, bukan akad yang hanya memberikan hak secara sepihak tetapi, sebagai akad yang memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami isteri serta membangun peradaban manusia yang adil dan beradab. Berdasarkan perbuatan Undang-Undang vaksetomi suami Nomor tersebut 1 Tahun diatas, 1974, juga tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang dimaksud, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia erat kaitanya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan utama dilaksanankannya suatu perkawinan. Berkaitan dengan kasus, maka kedudukan seimbang antara suami isteri yang dimaksud adalah berhubungan dengan hak isteri yang tidak terpenuhi untuk mendapatkan keturunan, sedangkan tuntutan cerai isteri merupakan hak isteri untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini dipertegas dalam Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi, bahwa hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat serta masing- masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Pernyataan Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2, didukung dengan Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39 ayat 2e, yang menyatakan bahwa, salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan 74 perceraian Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 adalah jika pihak suami atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan suami atau isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya. Dengan demikian Vasektomi dapat dijadikan dasar pengajuan cerai dari pihak isteri. Dikarenakan suami isteri tidak dapat lagi saling melangkapi dan mengisi demi mempertahankan kelangsungan rumah tangga yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Vaksetomi dalam Kompilasi Hukum Islam, bertentangan juga dengan ketentuan Pasal 3 mengenai tujuan perkawinan, yaitu bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pernyataan yang sama ditegaskan dalam Pasal 77 ayat 1, bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. Pernyataan diatas didukung dengan ketentuan Pasal 116e Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan, bahwa salah satu yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian adalah apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. Oleh karena hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, dinyatakan dalam Pasal 79 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam. Vaksetomi oleh Majelis Ulama Indonesia diputuskan juga haram hukumnya. Dengan pertimbangan, pemandulan agama dan vasektomi dapat dikategorikan sebagai usaha pemandulan. 75 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dilarang salah satu Vaksetomi tidak akan merugikan salah satu pihak suami maupun isteri, jika dilakukan atas dasar persetujuan masing-masing pihak. Dalam kasus ini, vaksetomi dilakukan suami secara sepihak. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa vaksetomi sangat merugikan pihak isteri yang mendambakan kehadiran keturunan dalam perkawinanya. untuk pengajuan itu penulis sangat gugatan cerai tersebut. setuju atas Mengingat tindakan tidak hanya suami yang berhak untuk menuntut haknya, tetapi isteri juga mempunyai hak memperoleh yang sama keturunan. dalam Karena menuntut untuk haknya untuk tercapainya suatu perkawinan yang bahagia dan kekal, baik suami maupun isteri sama-sama bertanggungjawab atas keutuhan, kelangsungan dan kelestarian rumah tangga serta sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang setara dalam rumah tangga yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tanpa ada superioritas diantara mereka. Gugatan perceraian tersebut terkabul karena adanya payung hukum yang melindungan dan menjamin secara hukum bagi isteri selaku subyek hukum, untuk mencari perlindungan hukum dari negara agar haknya dapat dilindungi dan dibela. Perlindungan dan jaminan hukum yang dimaksud, telah diatur dan diterapkan dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, pasal 31 ayat 2 dan 3 serta dari penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2e. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal3, pasal 77 ayat 1, pasal 79 ayat 2 dan 3 dan pasal 116e. Tidak terkecuali, Hukum Islam bertentangan juga melarang dengan perbuatan tujuan vaksetomi perkawinan. karena Walaupun pengaturanya tidak secara eksplisit diatur seperti Undang- 76 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Undang, hanya melalui Ijtihad (pendapat ulama) yang merupakan salah satu sumber hukum Islam selain Alquran dan as-Sunah. Dengan demikian Kedudukan seimbang suami isteri dalam perkawinan, khususnya dalam kasus ini, pengaturannya telah diterapkan dan terakomodir dengan baik berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, yang masing-masing saling melengkapi dalam pengaturan dan penerapannya. Oleh karena itu dalam hal ini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur secara benar, terang dan jelas, tentang klasifikasi vaksetomi. Dan diperlukan untuk cacat tubuh tentunya peran memberikan khususnya serta saran mengenai dokter mengenai sangat vaksetomi dilihat dari kesehatan dan ilmu kedokteran. Sehingga jika dikemudian hari terjadi kasus yang sama seperti ini, sudah ada peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang jelas dan dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik lagi bagi masyarakat, khususnya pihak isteri sebagai pihak yang dirugikan. 77 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada BAB II, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1. Prinsip keadilan jelas telah diatur dalam Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu dengan memberikan batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang. Seperti yang diatur dalam Q.S.4:3 dan Q.S.4:129 serta Pasal 3 ayat 2, Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 55 ayat 2,3, Pasal 56 ayat 1, 3 dan Pasal 82 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. 2. Pembatasan dan pengecualian yang dimaksud dalam Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan hukum bagi isteri agar dapat diperlakukan secara adil oleh suami yang hendak berpoligami serta dimaksudkan untuk mempersulit suami yang berkeinginan beristeri lebih dari satu. 79 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 3. Kedudukan seimbang isteri dalam perkawinan telah ditetapkan secara seimbang dalam Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan, sesuai dengan kedudukannya masingmasing dalam rumah tangga. B. 1. Saran Diperlukannya pertimbangan yang matang dan bijaksana serta pemahaman dengan jelas dan benar bagi suami yang hendak berpolgami. 2. Hendaknya suami yang sudah berpoligami dapat bersikap adil terhadap isteri-isterinya, sebagaimana di jelaskan dalam Hukum Islam serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 3. Diperlukan pengaturan pemerintah mengenai yang cacat jelas tubuh, dan terang khususnya oleh mengenai vasektomi. Dan diperlukan juga peran serta dokter untuk memberikan lihat dari dampak yang masukan tentang kacamata dapat klasifikasi kesehatan ditimbulkan dan kedokteran akibat bagi suami isteri yang melakukannya. 79 vasektomi Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 dari di serta vasektomi DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Al-Buchori, Jefri, Ada Apa dengan Wanita, Penerbit: AlMawadrdi, Jakarta: 2005. Alshodiq, Mukhtar, Muhammad Zain, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), Penerbit Grahacipta, Jakarta: 2005. Amini, Ibrahim, Hak-Hak Suami Penerbit:Cahaya, Jakarta: 2005. dan Isteri, cet ke 3 Ananda, Faisar Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, Cet 1, Penerbit: Pustaka Firdaus, Jakarta: 2004. Chaudaori, Muhammad Sharif, Hak-hak Wanita Penerbit: Mujahid: Press, Bandung: 2005. Dalam Islam, Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjahrif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Penerbit: Rizkita, Jakarta: 2002. Djubaedah, Neng, Hj Sulaika Lubis, Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: 2005. Effendi, Satria M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet 1, Penerbit Kencana Perdana Media Group, Jakarta: 2004. Harjono, Anwar, Hukum Islam Keluasan dan Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta 1968 Keadilannya, Jones, Jamilah, Monogami dan Poligami Dalam Kesetaraan, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1996. 82 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Kotb, Sayed, Social Justice In Islam, New York: American Council of Learned Societies, 1968 Lemu, Aisha, Heeren Fatima, Sarka, dalam Pandangan Islam, Cet 2, Press, Jakarta 2002. Wanita dan Keluarga Penerbit: Bina Mita Mahrizi, Mahdi, Wanita Ideal Menurut Pustaka Zahra, Jakarta: 2004. Islam, Malik, Rusdi, Undang-Undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta : 2001. Penerbit: Penerbit Mukhtie, A. Fadjar, Tentang Dan Sekitar Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cet 1, Penerbit: Universitas Brawijaya, Jakarta: 1994. Ramulyo, Mohd Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cet II, Penerbit: Ind-Hill-Co, Jakarta 1990.. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Cet 2, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997. Sani, Abdullah, Hakim dan Keadilan Hukum, Cet 1,Penerbit: PT. Bulan Bintang, Jakarta: 1977. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 7, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet 1, Penerbit:PT Rineka Cipta, Jakarta: 1991. Sumiarni, Endang, Kedudukan Suami Istri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Penerbit: Wonderfull Publishing Company, Yokyakarta: 2004. Sumiarni, Endang, Kajian Hukum Perkawinan Yang Berkeadilan Jender, Penerbit: Wonderfull Publishing Company, Yokyakarta: 2004. 82 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 7, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003. Syahatah, Husain, Tanggung Jawab Suami Dalam Rumah Tangga Antara Kewajiban Dan Realitas, Cet 1, Penerbit: Amzah, Jakarta: 2005. Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku Bagi Umat Islam, Cet 5, Penerbit: Jakarta: 1986. Tatapangarsa, Humaidi, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Islam, Cet 4, Penerbit: Kalam Mulia, Jakarta: 2003. Widanti, Agnes, Hukum Keadilan Jender, Cet 1, Penerbit: Buku Kompas, Jakarta: 2005. B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan ke 8, Pratnya Paramita, Jakarta: 1576.S Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019 Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975 LN No.12 Tahun 1975, TLN No. 3050. Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No.39 Tahun 1999 LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886. Indonesia. Inpres Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 82 Kedudukan Seimbang..., Adinda Permatsari, FH UI, 2006