Efektifitas Rezim Non-proliferasi Nuklir Global

advertisement
Efektifitas Rezim Non-proliferasi Nuklir Global:
Teorisasi dan Implementasi
I Gede Wahyu Wicaksana7
Abstract
Expansion and proliferation of nuclear weapons have become an international
issue since World War II, with their serious implications to peace and security.
International efforts to restrict and eliminate nuclear weapons undergo ups and downs.
The Non-Proliferation Treaty, however, is widely considered to have worked out well in
decreasing the prospects for further nuclearization. This article looks in detail at what
the norm is effective in achieving the goal of global denuclearization. It presents
theoretical and case-based analysis to show determining factors ofstates’ decisions to
abandon nuclear weapon programs. Perspectif of strategic realism, liberal
institutionalism and constructivism are canvassed to search for policy explanation.
Keywords: denuclearization, NPT, nuclear weapons.
Pendahuluan
Seruan bagi pelucutan senjata nuklir telah terdengar sejak era nuklir
dimulai pada Perang Dunia ke-2. Kehancuran kota-kota Hiroshima dan Nagasaki
di Jepang akibat bom atom dengan segera mendorong masyarakat internasional
untuk mengupayakan penciptaan sebuah mekanisme global demi mencegah
perluasan senjata nuklir, dimana produksi energi atom dibatasi hanya untuk tujuan
damai (Alagappa, 2008:1). Resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Januari 1946 memuat
ajakan untuk membentuk Komisi Energi Atom Internasional yang akan
mengembangkan proposal bagi eliminasi senjata nuklir dan berbagai komponen
persenjataannasional lain yang dapat diadaptasi menjadi senjata pemusnah masal
(Hagold, 2009:24).
Selama Perang Dingin, usaha masyarakat internasional untuk pelucutan
senjata nuklir mengalami pasang surut yang terutama disebabkan oleh
ketidaksepakatan antara dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Uni
Soviet. Kedua negara mengajukan inisiatif pelucutan senjata nuklir dari perspektif
masing-masing. Baruch Plan didesain oleh Washington untuk menciptakan rezim
Penulis adalah dosen Politik dan Keamanan Internasional pada Departemen Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
165
nuklir internasional dengan kewenangan regulasi, inspeksi dan sanksi kepada
negara yang melanggar. Proposal ini ditolak oleh Soviet dengan alasan akan dapat
memunculkan hegemoni nuklir yang berbahaya bagi keamanan dunia. Moskow
ingin tetap mempertahankan Dewan Keamanan PBB serta hak veto sebagai
instrumen kontrol dan manajemen konflik senjata internasional (Johnson, 2009: 45; 7). Pada awal tahun 1961, Washington dan Moskow setuju untuk mengadakan
putaran negosiasi pelucutan senjata nuklir yang akan berlangsung dalam tiga
tahap. Kesepakatan ini dekenal sebagai “the McCloy-Zorin Plan”. Traktat nonproliferasi nuklir yang melegitimasi tujuan abolisi senjata nuklir yang sudah
dibuat sejak Perang Pasifik kemudian diadopsi pada 1968 (Alagappa, 2008: 17).
Sekalipun demikian, baik AS yang memimpin blok barat maupun Uni Soviet
sebagai pemimpin blok timur terus membangun fasilitas nuklir dengan kapasitas
persenjataan yang semakin mutakhir sehingga perlombaan senjata antara mereka
menjadi semakin sengit. Perang Dingin yang terjadi pada 1978-1985 merupakan
puncak ketegangan nuklir antara kedua blok. Hanya setelah Sekretaris Jenderal
Partai Komunis Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan Presiden AS Ronald Reagan
bersepakat untuk mengintensifkan diplomasi dan negosiasi eliminasi senjata
nuklir, angin segar perdamaian nuklir berhembus kembali. Walaupun kebijakan
AS dan Uni Soviet tidak berubah secara radikal, tiga perundingan sepanjang tahun
1986 hingga 1990 antara Moskow dan Washington cukup berhasil menurunkan
tensi rivalitas nuklir kedua pihak (Weber, 1990: 55-65).
Sejak Perang Dingin usai, urgensi politik untuk merevitalisasi rezim
pelucutan senjata nuklir global kembali menguat.Ini berjalan seiring dengan
transformasi fundamental dalam hal peran pollitik dan militer senjata nuklir bagi
kebijakan luar negeri negara besar –khususnya Amerika Serikat– untuk merespon
perubahan orde internasional (Nye, 1992: 1293-1296). Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi signifikansi advokasi untuk pemusnahan senjata nuklir. Pertama,
penyebaran senjata nuklir yang relatif kurang terkontrol sebagai implikasi
pelemahan tata kelola yang dimonopoli AS dan Rusia sebagai pengganti Uni
Soviet. Kedua, kemunculan negara-negara nuklir di luar orde non-proliferasi yang
semakin menunjukkan ketidakefektifan strategi deterrence (Cortright dan
Vayrynen, 2009: 15). Kedua faktor ini menjadikan tantangan keamanan dan
166
stabilitas yang diakibatkan oleh penyebaran kapabilitas dan penguasaan teknologi
senjata nuklir dewasa ini lebih kompleks.
Tulisan ini ditujukan untuk mengetengahkan tinjauan yang berkonsentrasi
pada dua pertanyaan yang saling berkaitan. Pertama, dengan semakin
meningkatnya atensi masyarakat internasional terhadap konsekuensi keamanan
dari perlombaan senjata nuklir, faktor-faktor apa sajakah yang menjadi
determinan efektifitas rezim pelucutan senjata nuklir global? Kedua, dalam situasi
bagaimanakah ambisi suatu negara untuk menguasai dan mengembangkan senjata
nuklir bisa dicegah atau paling tidak dikendalikanoleh institusi internasional?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, penulis akan berfokus pada teorisasi yang
dimaksudkan untuk menyelidiki kondisi obyektif di balik keputusan negara
tertentu untuk melakukan proses denuklirisasi. Spektrum teori yang dibahas di
sini mencakup elemen-elemen perdebatan perspektif mulai dari realisme strategis,
liberal institusionalisme hingga konstruktivisme atauteori normatif. Studi kasus
disajikan untuk memverifikasi teori yang dirujuk sekaligus menjawab pertanyaan
yang kedua.
Determinan Denuklirisasi
Studi yang dilakukan antara lain oleh Tagma (2010), Utgoff (2000) dan
Zagare (1996) menyimpulkan ada beragam faktor yang mendorong permerintah
suatu negara memutuskan untuk menghentikan program senjata pemusnah masal
yang sudah dimiliki ataupun diwarisi. Terdapat tiga faktor determinan pokok yang
muncul dalam ketiga studi tentang denuklirisasi yang mengindikasikan gagasan
realisme strategis. Pertama, faktor yang sangat mendasar, yaitu peningkatan
situasi keamanan nasional yang secara langsung berdampak pada pengurangan
relevansi senjata nuklir. Denuklirisasi dianggap paling potensial terjadi dalam
kondisi internasional yang stabil. Kedua, faktor yang berkenaan dengan
pergeseran kebijakan domestik, semisal orientasi yang lebih kuat pada demokrasi,
good governance, dan liberalisasi pasar dalam integrasi internasional. Ketiga,
faktor eksternal, khususnya yang berupa insentif dari negara lain, seperti Amerika
Serikat yang membuat daya tarik nuklir menjadi berkurang. Insentif biasanya
dalam bentuk bantuan ekonomi dan komitmen keamanan bersama. Ketiga faktor
167
ini bekerja saling menunjang dalam menentukan keputusan suatu negara untuk
melakukan denuklirisasi.
Bowen dll (2012) dan Wilson (2005) mengadakan studi kuantitatif yang
bercorak liberal institusionalis terhadap 37 negara sejak tahun 1945untuk menguji
korelasi antara faktor-faktor domestik dan internasional dalam kebijakan
denuklirisasi. Mereka memetakan empat variabel tambahan yang mempengaruhi
keputusan suatu negara untuk melanjutkan atau sebaliknya menghentikan program
senjata nuklir, yaitu karakteristik rezim, imperatif teknologi,jaminan keamanan
aliansi, dan peran norma denuklirisasi internasional. Hasilnya, sama dengan studistudi sebelumnya, aspek isu keamanan nasional merupakan faktor penentu yang
dominan mempengaruhi pilihan kebijakan nuklir suatu pemerintah. Tipe rezim
dan norma internasional diyakini sebagai faktor pengontrol yang signifikan.
Argumen mereka bertentangan dengan asumsi realis yang menekankan pada
jaminan keamanan aliansi sebagai faktor yang krusial. Selain itu, para liberal
institusionalis –misalkan Evan dan Hays (2006)– menemukan tidak ada bukti
bahwa kemampuan ekonomi dan teknologi berhubungan secara langsung dengan
keputusan untuk membangun persenjataan nuklir.
Mario Carranza (2006) mengklaim bahwa tidak ada korelasi langsung
antara jaminan keamanan aliansi militer dan kebijakan non-proliferasi nuklir.
Banyak akademisi dan praktisi nuklir percaya jika jaminan keamanan yang
diberikan oleh Amerika Serikat dalam “payung keamanan regional” maupun
‘strategi global deterrence’ efektif mencegah negara sekutu untuk memproduksi
bom nuklir (Bertsch dll, 1997; Fitzpatrick 2008). Fakta memperlihatkan bahwa
negara seperti Pakistan dan Israel sama sekali tidak peduli pada komitmen aliansi
keamanan yang dibimbing oleh AS. Mereka justru lebih yakin pada kebijakan
internal untuk memperkuat instalasi nuklir dalam negeri (Asada, 2011:9). Negaranegara di luar sistem aliansi keamanan Washington di Asia Timur dan Timur
Tengah bahkan tidak berusaha untuk menjadi kekuatan nuklir (Asada, 2011: 11).
Anomali yang diungkapkan dalam studi Asada merupakan kritik tajam terhadap
realisme strategis yang sangat meyakini keandalan keamanan kolektif sebagai
preventive measure proliferasi nuklir.
168
Perlu dicatat bahwa kerangka analisis liberal institusionalis tidak sama
sekali menafikan adanya koneksi antara jaminan keamanan aliansi dan kebijakan
denuklirisasi. Sebagaimana disampaikan oleh Boulden dll (2009: Bab 2 dan Bab
3), negara-negara seperti Jepang dan Jerman yang menjadi sekutu dekat AS tidak
mengembangkan senjata nuklir. Menurut Boulden dll (2009: 71-75) terdapat dua
hal yang menjadi faktor penyebab situasi ini. Pertama, nilai strategis anggota
aliansi bagi AS di satu sisi yang mempengaruhi besar kecilnya insentif keamanan
yang diberikan oleh Washington, dan di sisi yang lain derajat dependensi anggota
aliansi yang berkaitan dengan pilihan-pilihan kebijakan strategis alternatif di luar
formula keamanan bersama dalam aliansi. Kedua, strategi deterrence yang tidak
relevan, bukan arti penting aliansi secara politik maupun militer yang lebih luas.
Jepang dan Jerman, menurut Boulden dll (2009: 82), tidak memutuskan untuk
menjadi negara bersenjata nuklir karena Washington telah menjamin keamanan
mereka dalam bidang politik dan militer secara penuh. Sehingga, dari penjelasan
ini, kesimpulan yang bisa ditarik ialah jaminan aliansi memainkan peran dalam
konteks yang lebih spesifik terhadap pilihan kebijakan non-proliferasi nuklir.
Spektrum perspektif ketiga, yakni konstruktivisme atauteori normatif,
seperti diulas oleh Bergner (2012), Karp (2012), Lettow (2010), Marks (2009) dan
Olav (2010), menghubungkan fenomena non-proliferasi dengan upaya mencegah
diversifikasi senjata pemusnah masal seperti senjata kimia dan biologi melalui
mekanisme kelembagaan dan sosialisasi internasional. Realis dan liberalis
memang berhasil mengobservasi faktor-faktor kunci penyebab kepatuhan atau
ketidakpatuhan negara pada agenda denuklirisasi. Kedua pendekatan utama ini
menjelaskan interplay faktor domestik dan faktor eksternal yang bekerja dalam
proses pembuatan keputusan. Namun, mereka tidak menyediakan jawaban yang
memuaskan untuk pertanyaan mengapa setelah Perang Dingin terjadi penurunan
drastis dalam produksi senjata pemusnah masal negara-negara nuklir utama
seperti Rusia dan Amerika Serikat, padahal sebelumnya terjadi peningkatan
produksi besar-besaran sepanjang tahun 1980-an. Fenomena yang berkebalikan
ditemui di negara-negara nuklir seperti India, Pakistan, dan Korea Utara yang
setelah Perang Dingin berakhir justrusemakin menguatkan kapabilitas militer
mereka (Potter, 2010: 80). Konstruktivis seperti Gregory Schulte (2010) dan
169
Jacqueline Reich (2011) berargumen bahwa faktor yang mendorong kemunculan
paradoks tersebut ialah efektifitas sosialisasi dan akomodasi yang mendorong
“changes in the international institutional and normative environment encourage
reductions in military capabilities and discourage the acquisition of new weapon
system”. Dengan menuruti argumen ini, berarti norma dan sosialisasi internasional
hanya bisa diterapkan dengan baik untuk negara-negara nuklir utama, sedangkan
negara-negara nuklir seperti India, Pakistan, dan Korea Utara bebas untuk tidak
taat. Pemaknaan ini muncul –sebagai contoh dikemukakan oleh realis seperti
Simpson dan Howlett (1994) serta Steinberg (1994)–karena aspek normatif
konstruktivisme sulit dijelaskan secara faktual.
Kritik lain diarahkan pada asumsi liberal institusionalis yang mengaitkan
demokrasi dengan kebijakan non-proliferasi. Liberalis berpandangan bahwa
terdapat korelasi positif antara perubahan jenis rezim dan pilihan kebijakan nuklir
yang diambil. Rezim yang beralih dari otoritarianisme menuju demokrasi dan
mengadopsi ekonomi pasar akan condong pada kebijakan non-proliferasi,
sementara bila rezim yang memerintah tidak demokratis, kebijakan yang ia buat
ialah mengembangkan senjata pemusnah masal. Argumen ini berdasar pada teori
perdamaian demokratis ala Kantian dalam studi hubungan internasional (Boulden
dll, 2009: Bab 4). Kritik dibuktikan oleh survei yang kontras, khususnya di
negara-negara demokrasi Dunia Ketiga, dimana tidak ditemukan relevansi positif
antara tipologi rezim dengan luaran kebijakan nuklir, apalagi antara pilihan
ekonomi pasar dengan preferensi non-proliferasi.China, India, Israel, dan Pakistan
adalah empat sampel dalam kritik yang memfalsifikasi argumen perdamaian
demokratis pemikir liberalis. Di luar negara Dunia Ketiga, demokrasi mapan
seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis mempertahankan program nuklir
mereka untuk waktu yang lama (Sur, 2010: Bab 5). George Perkovich (2011)
menganalisis kegagalan demokrasi sebagai resep efektif denuklirisasi dengan
menyebutkan kehadiran variabel nasionalisme dan patriotisme dalam demokrasi
yang cenderung mengarahkan kebijakan nasional pada urgensi kepemilikan
senjata nuklir demi kepentingan nasional.
170
Norma Non-proliferasi Global
Norma non-proliferasi nuklir global telah berhasil mengurangi tendensi
perluasan dan pengembangan senjata pemusnah masal dengan cara persuasif
untuk mengajak negara-negara nuklir menghentikan program senjata nuklir
mereka. Non-Proliferation Treaty (NPT) mulai diberlakukan pada tahun 1970.
Sebelum itu, sekitar 40% negara yang mempunyai kemampuan ekonomi dan
teknologi untuk memproduksi senjata nuklir memilih kebijakan pengembangan
nuklir dalam rangka pertahanan nasional.Setelah NPT diterapkan, terjadi
penurunan jumlah aktor nuklir internasional secara signifikan, walaupun muncul
beberapa pemain baru (Thakur, 2006: 104). Negara-negara yang bersedia
menghentikan program senjata nuklir mengaku bahwa motivasi mereka ialah
kepatuhan pada norma internasional yang sah. Sementara itu, negara yang belum
sepenuhnya mengikuti NPT dan negara nuklir yang baru muncul mengemukakan
alasan yang bervariasi. Studi konstruktivis seperti dilakukan oleh Jane Boulden dll
(2009: 207) dan Nick Wilson dll(2005: 274-282) menyebut demokrasi sebagai
faktor adaptif kebijakan nasional terhadap norma internasional. Negara yang
mempraktikan sistem politik demokrasi dan ekonomi pasar terbuka dinilai lebih
mudah menerima pengaruh transformatif rezim non-proliferasi nuklir global
dibandingkan dengan negara dengan sistem politik dan ekonomi tertutup. Karena
jumlah negara demokrasi terus bertambah, maka akseptabilitas norma nonproliferasi nuklir yang didukung oleh masyarakat internasional pun semakin
tinggi.
Survei yang dilansir oleh Wilson dll (2005: 275) memperlihatkan
efektifitas NPT untuk membujuk negara-negara bekas Uni Soviet agar
meninggalkan program senjata nuklir.Selain itu, NPT berhasil mencegah
Argentina dan Brazil untuk mengembangkan senjata nuklir.Bagi negara-negara
yang baru demokratis, terdapat satu alasan yang sangat mendasar di balik
keputusan mengakhiri percobaan pengayaan senjata pemusnah masal, yakni
keinginan untuk mendapatkan kemudahan diplomatik –dengan legitimasi
internasional yang lebih kuat– sehingga bisa memperoleh keuntungan seperti
insentif perdagangan dan finansial. Jadi, adaptasi demokrasi terhadap efek
normapelucutan nuklir global berbanding lurus dengan motivasi memperoleh
171
legitimasi, yang pada gilirannya akan dapat membantu usaha perbaikan hubungan
politik, keamanan dan ekonomi perdagangan sebuah negara dengan masyarakat
internasional.
Dalam kasus keputusan denuklirisasi oleh negara-negara bekas Uni Soviet,
seperti Ukraina, Belarusia dan Kazakhstan, peluru kendali berkepala nuklir yang
berada di wilayah mereka dikembalikan kepada Rusia dengan alasan mereka ingin
menjadi negara yang berdaulat penuh dan menjadi bagian utuh dari sistem
internasional (Wilson dll, 2005: 276). Selain itu terdapat alasan-alasan yang
bersifat lebih pragmatis. Keahlian untuk pemeliharaan senjata nuklir bekas Uni
Soviet hanya dimiliki oleh teknisi dari angkatan bersenjata Rusia, sehingga
mereka akan tergantung pada bantuan teknis Rusia, suatu hal yang tentu saja akan
berimplikasi secara ekonomi dan politik. Eksistensi senjata nuklir mengingatkan
masyarakat di ketiga negara tentang imperialisme Uni Soviet.Atas dasar ini, maka
sebagai bagian dari usaha rekonsiliasi nasional senjata nuklir bekas Uni Soviet
lebih baik dipulangkan. Pertimbangan keamanan regional dan global juga menjadi
alasan. Pemerintah Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan menganggap bahwa
mereka bisa berkontribusi dalam mencegah perluasan senjata nuklir, dalam hal ini
potensi jatuhnya teknologi rudal balistik dengan hulu ledak nuklir ke tangan
teroris, apabila senjata yang diwarisi dari Uni Soviet tidak dikembalikan ke
pemilik yang sah, yaitu Rusia (Taubes, 1995: 1096-1097).
Para konstruktivis percaya bahwa negara-negara nuklir harus didekati
dengan cara persuasif untuk melakukan pelucutan senjata. Pengalaman sejarah
program denuklirisasi internasional dalam wadah NPT mengajarkan bila
masyarakat internasional hendak mencegah suatu rezim mengembangkan senjata
nuklir, maka metode terbaik ialah menghindari koersi. Bentuk-bentuk tekanan
kekerasan hanya akan berakhir dalam ketegangan dan kontroversi berlarut-larut
(Blair, 2011: 173). Para pemimpin politik harus diberi pemahaman mengenai
senjata nuklir sebagai instrumen yang kontraproduktif dalam diplomasi
internasional, terutama karena program nuklirisasi militer tidak dilegitimasi oleh
masyarakat internasional. Denuklirisasi secara negatif melalui sanksi ekonomi dan
tekanan politik secara fisik hanya berhasil dalam satu kasus, yakni di Irakpasca
Perang Teluk ke-2. Hal itu pun lebih banyak dipengaruhi oleh keberhasilan
172
pasukan multinasional melucuti persenjataan tentara nasional pengawal Saddam
Hussein (Pilat, 1992: 1224). Dalam kasus-kasus lain, pendekatan yang
mengandalkan pada penggunaan ancaman kekerasan secara eksesif biasanya tidak
efektif. Oleh karena itu, di samping faktor norma non-proliferasi nuklir dan
metode persuasi, faktor kalkulasi domestik memainkan peran penting di balik
kebijakan denuklirisasi. Aktor-aktor pengusung agenda denuklirisasi global perlu
meyakinkan elite pembuat kebijakan di tingkat lokal/nasional mengenai
biayayang harus dikeluarkan jika mereka ingin menjadi negara nuklir (Boulden
dll, 2009: 119).
Sekalipun demikian, para konstruktivis tidak mengecilkan arti penting
sanksi internasional untuk menyukseskan program denuklirisasi di suatu negara.
Lindsay dan Takeyh (2010: 33) mengungkapkan bahwa sanksi ekonomi yang
dijatuhkan kepada negara yang dituduh oleh pihak Barat memiliki senjata nuklir
seperti Iran berdampak kepada semakin mahal biaya yang harus dibayarkan oleh
pemerintah Iran untuk program nuklir, sekaligus memperlambat kemajuan
program nuklir sipil mereka. Sanksi juga berfungsi untuk menambah tingkat
efektifitas insentif yang dijanjikan. Dalam konteks ini, sanksi dan insentif
merupakan taktik yang dapat dipadukan secara positif. Komitmen pemberian
insentif setelah sanksi dicabut menjadi bagian tawar-menawar diplomatik yang
terbukti berhasil memperlancar proses mencapai kesepakatan yang saling
menguntungkan. Seni berdiplomasi menggabungkan kemampuan membujuk dan
mengancam demi melakukan pendekatan persuasif dan memberi imbalan kepada
negara yang bersedia mengadakan perubahan kebijakan menuju denuklirisasi.
Studi
empiris
mengkonfirmasi
efektifitas
kombinasi
pendekatan
diplomatis yang disertai dengan instrumen sanksi. Seperti diungkapkan oleh
Bamaby (1993: 44), insentif tidak datang begitu saja dari negara penekan. Insentif
adalah bagian dari formula proposal yang juga mencakup ancaman sanksi, dengan
target untuk mempengaruhi kalkulasi kebijakan nuklir negara yang sedang
didekati. Oleh karena itu, dalam satu paket usulan terdapat dua jenis tawaran,
yakni yang berupa iming-iming bantuan, biasanya dalam bentuk finansial, dan
ancaman berupa sanksi (bisa politik, ekonomi dan militer) agar negara nuklir
mengurungkan niat mengembangkan senjata pemusnah masal.Para analis
173
kebijakan denuklirisasi, misalnya Serge Sur (2010: 77-88), berpendapat bahwa
terdapat korelasi yang sangat kuat antara metode pendekatan nirkekerasan dengan
perubahan sikap negara nuklir. Bukti empiris mengindikasikan bahwa persuasi
lebih efektif daripada sanksi. Kombinasi antara sanksi dan insentif lebih ampuh
daripada insentif semata. Perlu dicatat bahwa dalam praktik sulit untuk
membedakan dengan tegas antara insentif dan sanksi.Komitmen untuk mencabut
sanksi ekonomi bisa menjadi wujud insentif, sedangkan keengganan untuk
memberikan kemudahan akses ekonomi dan diplomasi dapat berarti sanksi.
Dalam beberapa kasus –seperti isu Nuklir Korea Utara– paket insentif
untuk program denuklirisasi ekuivalen dengan “diplomasi dollar.” Imbalan
keuangan dan komersial diberikan ketika negara target bersedia mengubah
perilaku kebijakan nuklirnya. Amerika Serikat telah menjadi negara utama yang
memakai bantuan ekonomi sebagai pengganti program nuklir suatu negara (Tilleli
dan Snyder, 2010). Jepang, Jerman, dan Rusia juga menggunakan pendekatan
serupa, sekalipun terbatas pada asistensi teknis dan insentif finansial tertentu.
Biasanya, ketiga negara ini memilih jenis insentif dengan sangat hati-hati, dengan
faktor keamanan nasional masing-masing menjadi pertimbangan yang paling
penting. Mereka membantu promosi agenda non-proliferasi nuklir hanya jika
urusan keamanan prinsipilterganggu (Hughes 2007). Dalam kasus senjata
pemusnah massal yang diduga dimiliki dan sedang diperkuat oleh Iran, Jerman
mengambil inisiatif penuh menggiatkan diplomasi, sementara Jepang dan Rusia
aktif mendekati Washington agar bersedia berunding. Konsiderasi mereka
berhubungan erat dengan potensi ancaman regional dan global dari krisis nuklir
Timur Tengah (Hymans, 2010: 165).
Fokus memajukan aktifitas non-proliferasi nuklir juga mencakup upaya
penangkalan, yang meliputi pengawasan lalu lintas material uranium, kontrol
terhadap ekspor bahan baku nuklir, serta pengendalian teknologi senjata yang kini
dipunyai oleh semua negara yang bergabung dalam Nuclear Suppliers
Group(NSG). Ward Wilson (2007: 168), seorang pakar keamanan regional Asia
Timur dan Pasifik, mengatakan bahwa upaya penangkalan saja tidak cukup,
apalagi bila tidak dilengkapi dengan mekanisme sanksi dan insentif. Bagi Wilson
(2007: 170), negara yang mencoba membuat bom nuklir sedang mengalami
174
kondisi, atau paling tidak memiliki persepsiakan keamanan nasional yang sangat
terancam dalam bentuk agresi eksternal. Dalam kondisi demikian, intervensi asing
demi non-proliferasi harus dilakukan dalam bentuk diplomasi yang mampu
meyakinkan negara nuklir bahwa kebijakan nuklir akan berdampak lebih
merugikan, sekaligus mengajak untuk kerja sama keamanan. Isolasi dan sanksi
hanya akan memperkeruh situasi, dan pada titik ekstrim membuat negara nuklir
hanya mengetahui satu pilihan, yakni menciptakan bom nuklir. Untuk kasus nuklir
Korea Utara, menurut Wilson (2007: 177) dan didukung pula oleh Tilleli dan
Snyder (2010: 99-100), solusi terbaik adalah strategi diplomasi give-and-takeyang
mencakup reassurance dan kerja samayang saling menguntungkan. Sanksi,
koersi, dan pengucilan akan berakibat kontra produktif terhadap upaya pelucutan
senjata nuklir.
Demokratisasi dan Denuklirisasi
Pengaruh faktor domestik dalam penentuan kebijakan suatu negara untuk
melakukan pelucutan senjata nuklir diilustrasikan oleh kasus Argentina dan
Brazil. Pemerintahan sipil yang menggantikan rezim militer di Argentina sejak
1983 dan Brazil sejak 1985 berketetapan untuk mengakhiri proyek senjata
pemusnah masal berkepala nuklir yang diwariskan oleh rezim militer sebelumnya.
Mereka beralasan senjata nuklir berbahaya bagi keamanan dan stabilitas kawasan.
Era demokratisasi membawa perubahan fundamental pada arah politik luar negeri
Argentina dan Brazil yang menjadi lebih kooperatif. Di bawah rezim militer,
Argentina dan Brazil memang telah memulai proses trust-building, namun baru
ketika pemerintahan sipil berkuasa proses tersebut diakselerasi melalui pembuatan
keputusan yang lebih demokratis (Ricupera, 1992: 20). Kebijakan Washington
memberlakukan pembatasan perdagangan material nuklir di benua Amerika,
dalam konteks tertentu, memainkan peran penting untuk menghambat
pembangunan instalasi nuklir Argentina dan Brazil, khususnya di bawah rezim
militer. Paling tidak, Amerika Serikat berhasil mengalangi kesepakatan kerja
sama antara Argentina dan Brazil dengan mitra nuklir mereka di Eropa dan
NATO, seperti Jerman dan Perancis. Washington memblokade akses Argentina
dan Brazil untuk memperoleh teknologi tingkat tinggi sebagai penunjang reaktor
175
nuklir mereka. Akses kedua negara untuk mendapat bantuan ekonomi dan
keuangan lembaga-lembaga donor internasional juga dipersempit. Amerika
Serikat berhasil mencegah Argentina dan Brazil menguasai sumber daya yang
dibutuhkan untuk membangun kapabilitas nuklir (Albright, 1989).
Para realis seperti Mitchell Reiss dan Robert Litwak (1994: 35)
berargumen bahwa kasus kontrol ekspor nuklir yang diterapkan Washington
terhadap Argentina dan Brazil membuktikan keefektifan mekanisme penangkalan
fisik yang bertujuan untuk mengurangi laju konstruksi fasilitas nuklir negara yang
berambisi memiliki proyek pengembangan nuklir. Secara sistematis, menurut
Verdier (2008: 442), hambatan luar yang berasal dari kekuatan regional maupun
global efektif guna menurunkan kompetensi nuklir suatu negara. Strategi restriksi
nuklir secara spesifik berhasil memperlambat perkembangan program nuklir pada
tahap awal. Baik Brazil maupun Argentina tidak dikenaisanksi sama sekali,
pendekatan persuasi melalui janji insentif pun belum dicoba oleh Washington.
Karena energi yang harus dikerahkan guna mengakses teknologi dan material
nuklir eksternal semakin besar, biaya semakin banyak, dengan prediksi hasil yang
belum bisa dipastikan, maka elite politik domestik memutuskan untuk
meninggalkan program pengembangan senjata nuklir (The Economist,14 Maret
1992: 47). Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa keputusan menjalankan
denuklirisasi lebih dilatarbelakangi oleh konsiderasi matematis domestik daripada
respon positif terhadap tekanan asing.
Pemimpin sipil di Argentina dan Brazil bisa menyamakan visi untuk
memperbaiki hubungan bilateral. Mereka membangun momentum agar kerja
sama antara kedua negara bertetangga kembali normal. Penyesuaian terhadap
norma non-proliferasi dipandang penting demi meraih legitimasi yang berkaitan
erat dengan akses diplomasi politik dan finansial dari masyarakat internasional.
Mobilisasi sumber daya dari luar, bukannya kejayaan nasional di bidang
militer,merupakan kepentingan nasional yang utama. Mantan Menteri Sains dan
Teknologi Argentina Jose Goldemberg (dalam Marx, 1992: 10) menuturkan kisah
di balik sukses kedua negara mengakhiri isolasi akibat proyek nuklir mereka.
Kisah itu berawal dari keinginan kuat pemerintah Argentina untuk meyakinkan
Brazil bahwa musuh utama mereka adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang
176
tidak perlu dihadapi dengan bom nuklir. Gagasan Argentina diterima oleh
Presiden Brazil Fernando Collor de Mello. Kedua pihak lantas setuju melakukan
pengurangan
senjatanuklir
dalam
beberapa
tahap,
yang
secara
formal
dirampungkan pada tahun 1991.Treaty of Tlatelolco mengesahkan pembentukan
Brazilian-Argentine Accounting and Controls for Nuclear Materials yang
bertugas sebagai lembaga inspeksi gabungan untuk menegakkan kepatuhan
masing-masing pada agenda non-proliferasi bilateral (Schwab, 1989: 1400).
Pengalaman Argentina dan Brazil menunjukkan bahwa resolusi atau
setidaknya ameliorasi perbedaan politik dan kepentingan yang mendasar perlu
dilakukan sebelum kerja sama denuklirisasi bisa berjalan. Para pengamat program
non-proliferasi nuklir internasional seperti Michael Mazarr (1995) serta James
Wirtz dan Peter Lavoy (2012) menggarisbawahi bahwa kasus Argentina dan
Brazil memberi preseden untuk lingkup yang lebih luas, yakni sengketa nuklir di
belahan lain dunia, termasuk antara India dan Pakistan, Israel dan negara-negara
Teluk, serta Korea Utara hanya akan dapat diselesaikan melalui negosiasi apabila
telah didahului dengan manajemen dan resolusi persoalan-persoalan fundamental
yang menyangkut tujuan nasional setiap pihak yang terlibat. Dengan kata lain,
resolusi konflik nuklir adalah implikasi positif dari resolusi konflik yang lebih
menyeluruh.
Perubahan Lingkungan Keamanan dan Denuklirisasi
Berbeda dengan kasus Argentina dan Brazil yang memutuskan untuk
meninggalkan program senjatanuklir setelah era pemerintahan sipil demokratis
mulai berkuasa, denuklirisasi militer di Afrika Selatan didorong oleh perubahan
persepsi elite mengenai lingkungan keamanan eksternal dan pengaruh pergeseran
kecenderungan politik dalam negeri menuju demokrasi. Faktor eksternal lebih
berperan dalam kasus Afrika Selatan.Sejak 1990, terjadi perombakan konstelasi
politik regional menyusul memudarnya pengaruh Uni Soviet terhadap kekuatankekuatan komunis di Afrika bagian selatan yang semula menjadi ancaman
eksternal utama bagi Afrika Selatan (Cock dll, 1998). Para akademisi politik
nuklir global bersepakat bahwa kasus denuklirisasi di Afrika Selatan didorong
oleh faktor ketiadaan justifikasi yang kuat untuk membangun persenjataan nuklir
177
setelah Perang Dingin usai (Olu, 2002). Isolasi internasional akibat praktik
apartheid berimplikasi negatif terhadap keinginan elite Afrikaner untuk memiliki
senjata penghancur masal. Isolasi internasional meningkatkan sentimen parokial
dalam pandangan dunia para pemimpin kulit putih Afrika Selatan, yang kemudian
merasa perlu untuk memiliki bom nuklir demi melindungi diri (Van Wyk, 2010:
57).
Persepsi elite Afrika Selatan berubah drastis ketika Tembok Berlin runtuh,
yang diikuti dengan kejatuhan rezim komunis di Afrika. Momentum yang sangat
signifikan terjadi tahun 1989 saat Afrika Selatan, Angola, dan Kuba menyepakati
perjanjian trilateral. Salah satu poin terpenting perjanjian yang merupakan
kepentingan strategis Afrika Selatan ialah penarikan pasukan Kuba dari Angola
dan kemerdekaan Namibia. Halini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran
kekuatan kawasan dari semula pro melawan kontra komunis, menjadi tinggal
yang antikomunis. Presiden Afrika Selatan F. W. De Klerk mengakui bahwa
keputusan pemerintahnya untuk menghentikan produksi senjata berhulu ledak
atom didorong oleh situasi keamanan yang baru berupa lingkungan tanpa
ancaman komunisme. Dengan demikian, Afrika Selatan tidak perlu lagi
mengembangkan senjata nuklir untuk menghadapi Kuba (dalam Goodson, 2012:
210). Terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa de Klerk termotivasi oleh
semangat rasial yang terus melekat dalam kepribadian dan politik luar negeri
apartheid, di mana rezim kulit putih Afrika Selatan tidak mau mewariskan
kekuatan nuklir kepada Partai Kongres Nasional yang dipimpin Nelson Mandela
(Van Wyk, 2010: 62).
Perubahan signifikan dalam politik administrasi juga berpengaruh dalam
memuluskan jalan bagi denuklirisasi. Memasuki era rekonsiliasi nasional yang
ditandai dengan pembebasan Mandela, negosiasi antara pemimpin kulit putih di
bawah de Klerk dan Partai Kongres pun membicarakan soal pelucutan enam
instalasi senjata nuklir Afrika Selatan. Mandela memutuskan untuk berkonsultasi
dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) serta masuk ke dalam NPT
pada tahun 1991 (Van Wyk, 2010: 70).Faksi di dalam pemerintah apartheid
sendiri tidak solid mendukung nuklirisasi. Golongan teknokrat dan bisnis yang
dominan sejak awal 1980-an telah resisten terhadap program senjata nuklir,
178
dengan alasan program nuklir Afrika Selatan memperburuk hubungan dengan
Washington dan Eropa. Usaha Afrika Selatan untuk menjadi bagian komunitas
negara-negara Barat pun dipersulit akibat sentimen negatif terhadap persenjataan
nuklirnya (Goodson, 2012: 212). Walaupun Afrika Selatan telah membina kerja
sama nuklir dengan Israel, dampak pengembangan senjata nuklir lebih merugikan
bagi kepentingan nasional Afrika Selatan secara keseluruhan. Senjata nuklir
menimbulkan
stigma
bahwa
rezim
apartheid
agresif,
disamping
label
diskriminatif dan rasis yang selalu inheren dengan rezim tersebut. Persepsi yang
buruk dari masyarakat internasional membuat Afrika Selatan mengalami kesulitan
dalam mengakses teknologi nuklir dan penunjangnya yang bersifat sipil dan
damai. Kerja sama dengan negara mitra seperti Israel tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan modernisasi teknologi nuklir Afrika Selatan (Goodson,
2012: 213). Di sini, faktor legitimasi internasional yang dibawa oleh norma global
seperti NPT dan the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT) memegang
peran penting dalam kasus denuklirisasi.
Presiden De Klerk (dalam de Villiers dll, 1993: 100) memberikan
pengakuan pribadi soal tekanan Barat terhadap Pretoria yang ingin menjadi
kekuatan nuklir Afrika. Pada akhir dekade 1970-an, persiapan telah dilakukan
untuk uji coba bom nuklir Afrika Selatan di Gurun Kalahari. Namun, rencana itu
bocor karena tertangkap satelit Soviet. Datanglah tekanan bertubi-tubi dari
Amerika Serikat dan masyarakat Eropa agar Afrika Selatan menyudahi program
senjata nuklirnya. De Klerk pun membela kebijakan nuklir negaranya atas dasar
kehendak untuk memperkuat masyarakat Afrika di panggung politik internasional.
Tetapi, tindakan tersebut menyebabkan Pretoria dianggap sebagai negara agresif
di kawasan dan dalam lingkungan global (dalam de Villiers dll, 1993: 101).
Seorang pengamat politik Afrika Donald Goodson (2012: 230) mengatakan
bahwa Afrika Selatan yang akhirnya menghentikan program pengayaan senjata
nuklir bisa mengkritik negara-negara lain yang tidak mengambil kebijakan
sejenis. Afrika Selatan memiliki legitimasi moral yang ditegaskan dalam NPT
maupun CTBT.
179
Kesimpulan
Penjelasan diatas mengindikasikan tiga hal utama untuk dicatat mengenai
agenda global untuk menghentikan perlombaan senjata nuklir. Pertama, dalam
konteks akademik berbagai pendekatan teoritis yang menjelaskan faktor-faktor
pendorong
pemerintah
suatu
negara
untuk
mengembangkan
ataupun
meninggalkan program persenjataan nuklir sebenarnya bisa dipadukan secara
eklektis demi memperoleh perspektif berfikir yang komprehensif. Semua faktor,
baik yang mencakup situasi dalam negeri maupun lingkungan internasional,
memainkan peran yang penting. Elemen strategis dan normatif seperti legitimasi
menjadi determinan kebijakan denuklirisasi yang efektif. Metode yang dianjurkan
pun bervariasi, mulai dari persuasi, sanksi hingga koersi, tergantung
perhitunganuntung-rugi yang dibuat oleh pihak luar dalam rangka menyukseskan
agenda denuklirisasi negara nuklir tertentu. Di sini, masing-masing sudut pandang
teori dan praksis mempunyai kelebihan. Komponen-komponen kelebihan tersebut
dapat digabungkan secara sinergis demi tujuan perubahan kebijakan negara nuklir
menjadi non-nuklir.
Kedua,
arti
penting
denuklirisasi
bagi
perwujudan
masyarakat
internasional yang tertib dan aman sudah diakui sejak masa awal Perang Dingin.
Dinamika kekuatan rezim non-proliferasi nuklir global paralel dengan perubahan
tata dunia yang dikonstruksi oleh negara nuklir besar/utama (major nuclear
powers), negara nuklir menengah (middle-range nuclear powers), dan negara
yang aktif mengusahakan diri menjadi kekuatan nuklir/negara nuklir baru (new
nuclear
powers).
Berbagai
kebijakan
denuklirisasi
di
Dunia
Ketiga
mengilustrasikan peran kekuatan nuklir besar yang lebih berpengaruh, khususnya
dalam mendiktekan resolusi bagi kebijakan nuklir negara nuklir baru. Keefektifan
rezim NPT dan CTBT di Dunia Ketiga berkorelasi dengan kemampuan negara
nuklir utama untuk memainkan instrumen-instrumen pendekatan, persuasi dan
sanksi kepada negara nuklir baru. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa politik
nuklir internasional bersifat hierarkis, sentralistik dan asimetris. Dalam kondisi
demikian, pertanyaan yang relevan bukanlah bagaimana menciptakan institusi
global yang adil demi mencegah proliferasi senjata nuklir, tetapi apakah dengan
segala mekanisme yang ada masyarakat internasional akandapat mengontrol
180
perilaku negara nuklir yang melanggar kesepakatan bersama. Ketiga, dalam
tataran praktis isu nuklir menggabungkan empat elemen kebijakan luar negeri,
yakni kepentingan nasional, persepsi pembuat keputusan, moralitas dan legitimasi
internasional, serta diplomasi. Norma internasional seperti NPT dan CTBT
didesain untuk menjalankan fungsi yang unik sebagai pencipta ketertiban di
tengah anarki. Perjanjian antarnegara merupakan alat kontrol tindakan politik luar
negeri yang tidak berorientasi pada nilai seperti kerelaan maupun kebajikan.
Ketertiban diupayakan dengan cara-cara yang rasional dan untuk situasi spesifik
bersifat pragmatis. Terdapat evaluasi untung rugi yang menjadi landasan
kepatuhan negara nuklir pada agenda denuklirisasi global. Dapat disimpulkan
bahwa substansi ketertiban melalui proses diplomasi NPT maupun CTBT berada
di level yang lebih tinggi dari pada individualisme realpolitik dan politik moral
utopis.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alagappa, Muthiah. 2008. The long shadow: nuclear weapons and security in 21st
century Asia. Stanford: Stanford University Press.
Bamaby, Frank. 1993. How nuclear weapons spread: nuclear weapons proliferation in
the 1990s. London: Routledge.
Bergner, Jonathan D. 2012. “Going nuclear: does the non-proliferation treaty
matter?”Comparative Strategy.31(1): 84-102.
Boulden, Jane dll. 2009. United Nations and nuclear orders. Tokyo: United Nations
University.
Cock, Jacklyn dll. 1998. From defence to development: redirecting military resources in
South Africa. Ottawa:International Development Research Centre.
Hagold, Mathew. 2011. International law in a multipolar world. Hoboken: Taylor &
Francis.
Johnson, Rebecca. 2009. Unfinished business: the negotiation of the CTBT and the end of
nuclear testing. New York & Geneva: United Nations.
Lettow, Paul. 2010. Strengthening the nuclear non-proliferation regime. New York:
Council on Foreign Relations.
Olav, Njelstad. 2010. Nuclear non-proliferation and international order: challenges to
non-proliferation treaty. Hoboken: Taylor & Francis.
181
Olu, Adeniji. 2002. The treaty of Pelindaba on the African nuclear weapon free zone.
Geneva: UNIDIR.
Reiss, Mitchell dan Robert Litwak. 1994. Nuclear proliferation after the Cold War.
Washington, D.C.: Woodrow Wilson Center Press.
Thakur, Ramesh C.,dll. 2006. Arms control after Iraq: normative and operational
challenge. Tokyo: United Nations University Press.
Tilleli, John M. dan Scott Snyder. 2010. U.S. policy toward the Korean Peninsula. New
York: Council on Foreign Relations.
Utgoff, Victor A. 2000. The coming crisis nuclear proliferation: U.S. interests and world
order. Cambridge: MIT Press.
Wirtz, James dan Peter Lavoy. 2012. Over the horizon proliferation threats. Pallo Alto:
Stanford University Press.
..... 010. International law, power, security and justice. Oxford: Hart Publishing.
Jurnal
Albright, David. 1989. “Bomb potential for South America.”Bulletin of the Atomic
Scientists.45(4): 16-20.
Asada, Masahiko. 2011. “The treaty of the non-proliferation of nuclear weapons and the
universalization of additional protocol.”Journal of Conflict and Security
Law.19(1): 3-34.
Bertsch, Garyk dll. 1997. “Trade, export control and non-proliferation in the Asia Pacific
region.”The Pacific Review.10(3): 407-425.
Blair, Bruce. 2011. “Can disarmament work? debating the benefits of nuclear
weapons.”Foreign Affairs.90(4): 173.
Bowen, Wyn C., dll. 2012. “Multilateral cooperation and the prevention of nuclear
terrorism.”International Affairs.88(2): 349-368.
Carranza, Mario E. 2006. “Can the NPT survive? theory and practice of the U.S. nuclear
non-proliferation policy after September 11.”Contemporary Security Policy.27(3):
489-525.
Cortright, David dan Raimo Vayrynen. 2009. “Chapter one: why disarmement? why
now?”The Adelphi Papers.49(410): 13-32.
De Villiers, J. W. dll. 1993, “Why South Africa gave up the bomb.”Foreign Affairs.72(5):
98-109.
Evan, William M. dan Bretb Hays. 2006. “Dual use technology in the context of nonproliferation regime.”History and Technology.21(4): 105-113.
Fitzpatrick, Mark. 2008. “Non-proliferation and counter proliferation: what is the
difference?”Defense & Security Analysis.24(1): 73-79.
Goodson, Donald I. 2012. “Catalytic deterrence: apartheid South Africa’s nuclear weapon
strategy.”Politikon.10(1): 309-330.
Hughes, Llewelyn. 2007. “Why Japan will not go nuclear (yet): international and
domestic constraints to nuclearization of Japan.”International Security.31(4): 6796.
182
Hymans, Jacquese C. 2010. “When does state become a nuclear weapon state? an
exercise in measurement validation.”The Nonproliferation Review.17(1): 161-180.
Karp, Regina. 2012. “Nuclear disarmament: should America lead?”Political Science
Quarterly.127(1): 47-71.
Lindsay, James M dan Ray Takeyh. 2010. “After Iran gets the bomb: containment and its
complications.”Foreign Affairs.89(2): 33.
Marks, Joel. 2009. “Nuclear prudence or nuclear psychosis?: structural realism and
proliferation of nuclear weapons.”Global Change, Peace and Security.21(3): 325340.
Marx, Gary. 1992. “Latin American nuclear proliferation dims as nations stress
trade.”Journal of Commerce and Commercial.392(27720): 10.
Mazarr, Michael. 1995. “Going just a little nuclear: non-proliferation lessons from North
Korea.”International Security.20(2): 92-122.
Nye
Jr., Joseph S. 1992.“New approaches
policy.”Science.256(5061): 1293-1297.
to
nuclear
non-proliferation
Pilat, Joseph F. 1992. “Iraq and the future of non-proliferation: the roles of inspections
and treaties.”Science.255(5049): 1224-1229.
Potter, William C. 2010. “The NPT; the sources of nuclear restraint.”Daedalus.139(1):
68-81.
Reich, Jacqueline C. 2011. “Achieving the vision of NPT: can we get there step by
step?”The Nonproliferation Review.18(2): 369-384.
Ricupero, Rubens. 1992. “No bombs for Brazil.”The Christian Science.84(64): 20.
Schulte, Gregory. 2010. “Stopping proliferation before it starts: how to prevent nuclear
wave.”Foreign affairs.89(4): 85.
Schwab, Carol M. 1989. “Treaty for the prohibition of nuclear weapons in Latin
America.”International Legal Materials.28(6): 1400-1423.
Simpson, John dan Darryl Howlett. 1994. “The NPT renewal conference: stumbling
toward 1995.”International Security.19(1): 41-71.
Steinberg, Gerald. 1994. “Non-proliferation: time for regional approaches?”ORBIS.38(3):
409-424.
Sur, Serge. 2005. “Non-proliferation and the NPT review.”The International
Spectator.40(3): 7-18.
Tagma, Mustafa. 2010. “Realism at the limits: post-cold war realism and nuclear
rollback.”Contemporary Security Policy.31(1): 165-188.
Taubes, Gary. 1995. “The defence initiative of the 1990s.”Science.267(5201): 1096-1099.
“The Latin safety network: growth of democratic governments and nuclear nonproliferation in Latin America.”The Economist, 14 March 1992. 322(7750): 47.
Van Wyk, Martha. 2010. “Sunset ver atomic apartheid: United States-South African
nuclear weapon relations, 1981-1993.”Cold War History.10(1): 51-79.
Verdier, Daniel. 2008. “Multilateralism, bilateralism, and exclusion in the nuclear
proliferation regime.”International Organization.62(3): 439-476.
Weber, Steve. 1990. “Realism,
Organization.44(1): 55-82.
detente,
and
nuclear
weapons.”International
183
Wilson, Nick dll. 2005. “Lessons from the unsuccessful 2005 nuclear non-proliferation
treaty.”Medicine, Conflict and Survival.21(4): 274-282.
Wilson, Ward. 2007. “The winning weapon: rethinking nuclear weapon in light of
Hiroshima.”International Security.31(4): 162-179.
Zagare, Franks. 1996. “Classical deterrence theory: a critical assessment.”International
Interactions.21(4): 365-387.
184
Download