1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena di atmosfer yang dapat dirasakan akibat adanya perubahan tutupan awan. Dikarenakan adanya fenomena itu, maka suhu permukaan dapat dijadikan suatu indikator untuk mengukur tingginya evapotranspirasi di wilayah tertentu. Pendugaan suhu permukaan dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh (penginderaan jauh), karena metode ini memiliki kemampuan deteksi yang tak terbatas ruang dan waktu. Untuk memperoleh nilai pendugaan evapotranspirasi yang baik pemanfaatan penginderaan jauh juga diintegrasikan dengan pendekatan termodinamika serta data curah hujan yang terdapat di beberapa stasiun cuaca yang mewakili daerah tersebut. Di dalam penelitian ini suhu permukaan dapat diperoleh dari citra satelit MODIS Terra / Aqua. Satelit ini digunakan karena memiliki 36 kanal dengan berbagai fungsi yang menjadi ciri khasnya, dan satelit ini juga memiliki jangkauan yang berbeda – beda, yaitu 250m, 500m, dan 1km. Citra satelit MODIS Terra / Aqua yang digunakan untuk menduga suhu permukaan beresolusi 1km x 1km. Penelitian untuk mengukur nilai evaporasi / evapotranspirasi di Indonesia belum dilakukan secara meluas dan seragam, serta masih tetap dikembangkan. Dikatakan bahwa pengukuran masih terbatas dilakukan di pulau Jawa, sedang diluar Jawa dengan areal 93% dari Indonesia, belum merata diukur dan hanya dilakukan pendugaan (Nasir, 1976 dalam Napitupulu, 1984). Di Indonesia hanya terdapat beberapa stasiun cuaca yang melakukan pengukuran evaporasi dan evapotranspirasi. Karena adanya keterbatasan jumlah stasiun – stasiun cuaca yang melakukan pengukuran mengenai evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia, maka diharapkan dengan metode penginderaan jauh ini dapat dilakukan pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi yang merupakan informasi penting dalam perkembangan bidang pertanian di Indonesia. Informasi mengenai evapotranspirasi sangat penting dalam pertanian. Karena evapotranspirasi merupakan salah satu unsur dalam kesetimbangan energi dan air. Evapotranspirasi merupakan unsur penting dalam keseimbangan air dan energi. Karena nilai evapotranspirasi bervariasi menurut ruang dan waktu, maka pemahaman mengenai distribusi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan mengoptimalkan model keseimbangan air dan pengaturan air irigasi pertanian (Yang, 1994 dalam Khomarudin, 2003). Penelitian ini akan menduga nilai evapotransiprasi dari nilai suhu permukaan darat (LST) citra Modis Terra / Aqua, dan untuk mempelajari adanya pengaruh evaporasi / evapotranspirasi terhadap kekeringan di Pulau Jawa tahun 2004. Dari hasil penelitian ini diharapkan metode penginderaan jauh dapat dijadikan salah satu referensi untuk mengatasi keterbatasan dari stasiun – stasiun cuaca dalam melakukan pengukuran serta pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia. 1. 2 Tujuan 1. Estimasi evapotranspirasi (ETp) spasial dengan suhu permukaan darat (LST) dari data MODIS Terra/Aqua. 2. Menganalisis hubungan antara evapotranspirasi dengan kekeringan. 1. 3 Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk menduga nilai evapotranspirasi (ETp) yang dihitung dengan input berupa nilai LST dan NDVI menggunakan metode penginderaan jauh. Serta mempelajari hubungan antara evapotranspirasi dengan kekeringan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pendugaan nilai evapotranspirasi di berbagai wilayah di Indonesia dengan menggunakan metode penginderaan jauh. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Penginderaan Jauh dan Karakteristik Satelit MODIS TERRA / AQUA Sistem penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang sedang dikaji. Prinsip utama dari sistem penginderaan jauh adalah 1 interaksi gelombang elektromagnetik dengan permukaan bumi. Energi elektromagnetik yang mengenai suatu objek, akan mengalami tiga bentuk energi. Interaksi ke-3 jenis energi ini dapat ditulis dengan : EI( λ ) = ER(λ ) + EA( λ ) + ET( λ ) ......(1) Keterangan : EI (λ) = Energi EM yang diterima ER (λ) = Energi EM yang direfleksikan EA (λ) = Energi EM yang absorbsi ET (λ) = Energi EM yang ditransmisikan Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air (Lillesand and Kiefer, 1993) Modis adalah salah satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Satelit Terra diluncurkan pada Desember 1999 dan telah disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002. MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. lebar cakupan yang pada permukaan bumi setiap putarannya 2330 km. pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 kanal (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0.405 µm – 14.385 µm (1 µm = 1/1,000,000 meter). Untuk mengetahui karakteristik kanal – kanal satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 1. 2. 2 Suhu Permukaan Suhu permukaan didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu permukaan suatu objek tidak sama tergantung pada sifat fisik permukaan objek. Sifat fisik objek tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas thermalnya rendah maka suhu permukaannya akan menurun, contohnya pada permukaan tubuh air. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah dan konduktivitas thermalnya tinggi maka suhu permukaan akan meningkat, contohnya pada permukaan darat (Sutanto, 1994). Selanjutnya oleh Stefan-Boltzmann hubungan radiasi dengan suhu permukaan dinyatakan dalam rumus : F = ε σ T s 4 ......................................(2) Keterangan : F : Limpahan radiasi (MJ / m2 / hari) ε : Emisivitas permukaan (ε =1, pada benda hitam) σ : Tetapan Stefan-Boltzmann (5.67*10-8 W/m2/K4) Ts : Suhu permukaan (K) 2. 3 NDVI NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) atau indeks vegetasi adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. nilai ini menggambarkan bahwa semakin tinggi nilainya maka kondisi tanaman tampak subur dan rapat, sebaliknya jika nilainya semakin rendah maka kondisi tanaman kurang subur atau terjadi pembukaan lahan hutan maupun persawahan. NDVI merupakan indeks yang dibuat dengan berbagai asumsi dan tengantung pada ekstrasi nilai digital kanal dari citra satelit. Banyak faktor yang menyebabkan korelasi yang lemah antara NDVI dan vegetasi, seperti sudut radiasi surya, sudut pemantauan satelit, faktor-faktor atmosfer seperti debu (aerosol) dan uap air maupun faktor vegetasi itu sendiri seperti struktur kanopi (Asner, 2000). 2. 4 Evapotranspirasi Evaporasi adalah suatu jumlah maksimum dari air yang berhasil diubah ke dalam fase uap air, berlangsung pada suatu permukaan rata, datar dan basah yang dapat dicapai secara bebas oleh seluruh faktor – faktor iklim (Robertson, 1955). Evapotranspirasi adalah kombinasi dari dua proses yaitu proses kehilangan air pada permukaan tanah yang disebut evaporasi dan proses kehilangan air dari tanaman (Allen, et al., 1998). Pada daerah bervegetasi, air diuapkan dari permukaan tanaman melalui jaringan 2 tanaman dengan proses fisiologi yang disebut transpirasi. Di alam proses evaporasi dan transpirasi terjadi bersama – sama sehingga menimbulkan istilah yang disebut evapotranspirasi. Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal – kanal satelit MODIS Kanal Reflektan (nm) Emisivitas (µm) Kegunaan 1 620 - 670 - Transformasi absolut penutupan lahan, vegetasi, klorofil vegetasi 2 841 - 846 - Jumlah awan, transformasi penutupan lahan 3 459 - 479 - Perbedaan tanah/vegetasi 4 545 - 565 - Vegetasi hijau 5 1230 - 1250 - Perbedaan kanopi/daun 6 1628 - 1652 - Perbedaan awan/salju 7 2105 - 2155 - Sifat awan, sifat permukaan 8 405 - 420 - Klorofil 9 438 - 448 - Klorofil 10 483 - 493 - Klorofil 11 526 - 536 - Klorofil 12 546 - 556 - Sedimen 13h 662 - 672 - Atmosfer, sedimen 13l 662 - 672 - Atmosfer, sedimen 14h 673 - 683 - Sebaran klorofil 14l 673 - 683 - Sebaran klorofil 15 743 - 753 - Sifat aerosol 16 862 - 877 - Sifat aerosol, sifat atmosfer 17 890 - 920 - Sifat atmosfer, sifat awan 18 931 - 941 - Sifat atmosfer, sifat awan 19 915 - 965 - 20 - 3.660 - 3.840 Suhu permukaan awan Sifat atmosfer, sifat awan 21 - 3.929 - 3.989 Kebakaran hutan dan gunung berapi 22 - 3.929 - 3.989 Suhu awan, suhu permukaan 23 - 4.020 - 4.080 Suhu awan, suhu permukaan 24 - 4.433 - 4.498 Fraksi awan, suhu troposfer 25 - 4.482 - 4.549 26 1.360 - 1.390 - 27 - 6.535 - 6.895 Kelembaban troposfer bagian tengah 28 - 7.175 - 7.475 Kelembaban troposfer bagian atas 29 - 8.400 - 8.700 Suhu permukaan 30 - 9.580 - 9.880 Ozon Fraksi awan, suhu troposfer Fraksi awan (Cirrus tipis), suhu troposfer 31 - 10.780 - 11.280 Suhu awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan 32 - 11.770 - 12.270 Tinggi awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan 33 - 13.185 - 13.785 Fraksi awan, tinggi awan 34 - 13.485 - 13.785 Fraksi awan, tinggi awan 35 - 13.785 - 14.085 Fraksi awan, tinggi awan 36 14.085 - 14.385 Fraksi awan, tinggi awan (Sumber : http:// LPDAAC.usgs.gov/modis/table2.asp) Laju evapotranspirasi suatu area ditentukan oleh dua kendali utama yaitu ketersediaan kelengasan pada permukaan dan kemampuan atmosfer untuk menguapkan dan memindahkan uap air ke atmosfer. Jika kelengasan selalu tersedia, kemudian evapotranspirasi akan terjadi pada laju maksimum yang memungkinkan pada lingkungannya dikenal dengan konsep evapotranspirasi potensial (ETp). Menurut Handoko (1994) hubungan antara ETp dengan evapotranspirasi standar yang 3 terukur dengan lysimeter (ETo) adalah ETp ≈ ETo. Evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor – faktor cuaca, jenis dan tingkat pertumbuhan vegetasi, serta kelengasan dan sifat fisik tanah. Faktor – faktor cuaca yang menentukan ETp adalah radiasi matahari, suhu dan kelembaban udara dan angin, yang secara umum berkorelasi positif dengan ETp, kecuali kelembaban udara (Ward, 1975). Menurut De Vries dan Van Duin (1953) (dalam Ward, 1975), kecepatan angin dikatakan sebagai faktor sekunder untuk menentukan ETp. Jackson (1977) mengemukakan bahwa evaporasi dipengaruhi oleh faktor meteorologi, termasuk didalamnya radiasi surya, suhu permukaan, evaporasi, selisih tekanan uap, kecepatan angin dan turbulensi udara. Radiasi surya merupakan sumber energi utama. Sedangkan Nieuwolt (1977) (dalam Sarvina, 2005) menyatakan bahwa evapotranspirasi dikendalikan oleh tiga kondisi, yaitu kapasitas udara untuk menampung lebih banyak uap air, jumlah energi yang tersedia dan digunakan dalam proses evaporasi dan transpirasi sebagai bahan laten, dan derajat turbulensi atmosfer bagian bawah yang dibutuhkan untuk memindahkan lapisan udara yang telah jenuh dengan uap air dekat permukaan dan menggantinya dengan udara yang belum jenuh. Data evapotranspirasi di lapang pada stasiun klimatologi tidak semuanya tersedia. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perhitungan evapotranspirasi dilakukan menggunakan persamaan empirik dari peneliti berdasarkan penelitian di lapang yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi diduga dari unsur – unsur iklim. Beberapa contoh model evapotranspirasi yang telah dikembangkan adalah persamaan Thornhtwaite (1984) hanya menggunakan suhu udara, persamaan Blaney Criddle (1950) menggunakan input suhu rata – rata dan kecepatan angin bulanan, persamaan Penman (1948) menggunakan input suhu udara, radiasi surya, kecepatan angin dan kelembaban udara (Usman, 1996). 2. 5 Kekeringan Kekeringan memiliki beragam definisi, hal ini bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Kekeringan merupakan peristiwa meteorologi dan lingkungan yang ditunjukkan oleh ketiadaan hujan dalam periode waktu yang cukup lama, yang menyebabkan penurunan kelembaban tanah dan merusak tanaman. Periode waktu itu sendiri bergantung pada jenis tanaman, daya pegang air dan kondisi atmosfer yang mempengaruhi laju evaporasi dan transpirasi (Kramer, 1980 dalam Turyanti, 1995). Menurut Ventskevich (1961) (dalam Turyanti, 1995) yang menyatakan bahwa keadaan tersebut diikuti oleh suhu udara tinggi, kelembaban udara rendah dan kurangnya pasokkan air untuk kebutuhan tanaman. 2. 6 Hubungan antara Evapotranspirasi (ETp) dengan Suhu Permukaan (Ts) Suhu merupakan salah satu parameter fisika lingkungan yang dipastikan akan mengalami perubahan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim karena kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca. Suhu udara dan suhu permukaan yang berevaporasi mempunyai pengaruh nyata pada evapotranspirasi. Secara umum semakin tinggi suhu, seperti suhu udara maupun suhu permukaan, laju penguapan akan semakin besar. Karena besarnya ketergantungan evaporasi potensial terhadap suhu, karena suhu merupakan pengintegrasi beberapa variable lingkungan, suhu digunakan sebagai masukan utama sejumlah model untuk pendugaan evapotranspirasi. Suhu mempengaruhi evapotranspirasi melalui empat cara (Rosenberg et al, 1983 dalam Usman, 1996) yaitu 1) jumlah uap air yang dapat dikandung udara (atmosfer) meningkat secara eksponensial dengan naiknya suhu udara. Dengan begitu, peningkatan suhu menyebabkan naiknya tekanan uap permukaan yang berevaporasi, mengakibatkan bertambahnya defisit tekanan uap antara permukaan dengan udara sekitar. Keadaan demikian bertahan sepanjang suplai air mencukupi untuk tercapainya kejenuhan udara dekat permukaan evaporasi. Karena udara dapat menampung dan membawa uap air lebih banyak dengan naiknya suhu maka menyebabkan semakin besar defisit tekanan uap antara udara dengan permukaan, dan permintaan evaporasi udara bertambah (meningkat) dengan bertambah panasnya udara. 2) Udara yang panas dan kering dapat mensuplai energi ke permukaan. Laju penguapan bergantung pada jumlah energi 4 bahang yang dipindahkan, karena itu semakin panas udara semakin besar gradient suhu dan semakin tinggi laju penguapan. Di sisi lain, bila permukaan evaporasi yang lebih panas, akan lebih sedikit bahang terasa (sensible) yang diekstrak dari udara dan penguapan akan menurun. 3) Pengaruh lainnya suhu udara terhadap penguapan muncul dari kenyataan bahwa akan dibutuhkan lebih sedikit energi untuk menguapkan air yang lebih hangat. Jadi untuk masukan energi yang sama akan lebih banyak uap air yang dapat diuapkan pada air yang lebih hangat. 4) Suhu juga dapat mempengaruhi penguapan melalui pengaruhnya pada celah (lubang) stomata daun. Berkaitan dengan pengaruh suhu pada evapotranspirasi, Monteith dan Usman, 1996) Unsworth (dalam menerangkan bahwa penguapan akan meningkat atau menurun dengan suhu tergantung pada nilai awalnya, apakah lebih besar atau lebih kecil dari radiasi bersih, yaitu pada apakah permukaan lebih panas atau lebih dingin dari udara. 3. METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, pada bulan Mei 2006 sampai Januari 2007. 3. 2 Bahan dan Alat Daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa. Dan alat yang digunakan pada penelitian ini ialah sebagai berikut : • Citra MODIS Terra / Aqua Pulau Jawa hari ke 153 - 249 (2004). (sumber : LAPAN, NASA) • Data pengukuran NDVI Pulau Jawa hari ke 153 – 249 (2004). (sumber : LAPAN, NASA) • • Data luas kekeringan daerah Bogor, Indramayu dan Malang tahun 2001 – 2004. (sumber : DepTan) Data curah hujan dan suhu bulanan dari 4 stasiun meteorologi di Pulau Jawa tahun 2004 (Baranangsiang – Bogor, Indramayu – Indramayu, Pujon – Malang, dan Perak 1 – Surabaya). • • Hardware : PC (personal computer) dan Printer Software : ER Mapper, ArcView 3.3, Corel Draw 12 dan MS. Office. 3. 3 Metode Penelitian 3. 3. 1 Pengolahan Awal Data Satelit Untuk menduga kisaran suhu permukaan menggunakan data citra satelit dengan teknologi penginderaan jauh meliputi langkah–langkah sebagai berikut : Ë Koreksi Geometrik Koreksi geometrik merupakan tahapan pengolahan awal. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kerusakan atau pergeseran posisi piksel dan perbedaan ukuran piksel pada citra, karena ketidaksesuaian posisi lintang dan bujur yang sebenarnya. Setelah citra terkoreksi maka dapat dilakukan croping (pemotongan) pada daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan citra yang komposit atau bebas dari awan agar didapat nilai suhu permukaan yang baik. Ë Kalibrasi Radiometrik Kalibrasi ini dilakukan untuk mengubah nilai digital (digital number) piksel menjadi albedo. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi radiometrik karena citra MODIS yang digunakan sudah terkoreksi secara radiometrik. 3. 3. 2 Pengolahan Lanjutan Data Satelit • Ekstraksi Suhu Permukaan Menghitung suhu permukaan hanya dilakukan pada piksel yang bebas awan. Selanjutnya, perhitungan suhu permukaan pada piksel-piksel yang bebas awan. Dapat menggunakan algorithma sebagai berikut : Tlst1 =T31 +a1 +a2 (T31 −T32) +a3(T31 −T32) + 2 (a4 +a5W)(1−ε) +(a6 +a7W)Δε ....(3) (sumber : Sobrino dan El Kharraz, 2003) Keterangan : ai = koefisien untuk LST MODIS (Tabel 2) W = total uap air di atmosfer ε = (ε31 + ε32 ) 2, Δε =ε 31−ε 32 Tlst = suhu permukaan (sumber : BMG, Dept. GFM) 5