bio.unsoed.ac.id

advertisement
II. TELAAH PUSTAKA
Pemanasan global yang terjadi di bumi disebabkan karena konsentrasi gas rumah
kaca (GRK) yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Konsentrasi
GRK meningkat seiring dengan aktivitas yang dilakukan manusia, antara lain
penggunaan bahan bakar fosil, penebangan hutan, kegiatan produksi, pengelolaan lahan
yang kurang tepat, konversi hutan menjadi pemukiman, perkebunan dan pertanian, serta
kegiatan di sektor peternakan, industri maupun pertambangan. Selain itu, peningkatan
jumlah penduduk dan banyaknya kegiatan antropogenik yang dilakukan menyebabkan
terjadinya peningkatan konsentrasi GRK yang cukup drastis di atmosfer. Peningkatan
GRK yang cukup drastis, terutama karbon dioksida (CO2) akan berdampak langsung
terhadap perubahan suhu dan iklim di bumi (IPCC, 2007).
Intergovernmental Panel on Climate Change (2007) dan KLH (2007)
mengungkapkan bahwa bumi mengalami peningkatan suhu yang signifikan selama
beberapa tahun terakhir. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan
yang lebih tinggi apabila tidak ada upaya untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Menurut Houghton et al. (2001), dampak yang ditimbulkan akibat pemanasan global
dapat membahayakan seluruh kehidupan di bumi. Menurut Irawan (2011), pemanasan
global juga mengakibatkan cuaca ekstrim yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan
akibat gagal panen, munculnya wabah penyakit, dan kekeringan.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan bahwa salah satu ancaman
paling serius terhadap masa depan keberlanjutan ketahanan pangan adalah implikasi
perubahan iklim. Iklim dan cuaca merupakan faktor penentu utama bagi pertumbuhan
dan produktifitas tanaman pangan. Sistem produksi pertanian dunia saat ini
mendasarkan pada kebutuhan akan tanaman semusim. Perubahan cuaca dan iklim akan
berpengaruh terhadap hasil produksi pertanian (FAO, 2008). Menurut IPCC (2007) dan
Second National Communication (2009), upaya untuk mengurangi CO2 di atmosfer
bio.unsoed.ac.id
dengan memanfaatkan tanaman sebagai penyerap karbon.
Menurut Purwaningsih (2007), daya serap CO2 pada suatu tanaman dipengaruhi
oleh umur tanaman. Goldsworthy dan Fisher (1992), mengatakan bahwa luas daun
berpengaruh terhadap penyerapan CO2. Indeks luas daun merupakan salah satu cara
untuk menghitung kemampuan tumbuhan untuk fotosintesis. Menurut Lakitan (1993),
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya serap CO2 adalah faktor genetik dan
faktor lingkungan. Faktor genetik diantaranya adalah spesies tumbuhan, pengaruh umur
4
tanaman, dan pengaruh laju translokasi fotosintat, sedangkan faktor lingkungannya
adalah ketersedian air dan CO2 serta pengaruh suhu dan cahaya. Umur tanaman dapat
mempengaruhi laju fotosintesis. Kemampuan daun untuk fotosintesis meningkat pada
awal perkembangan daun dan mulai turun sebelum daun berkembang penuh. Selain itu,
tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi, menunjukkan laju translokasi fotosintat yang
tinggi pula. Translokasi fotosintat yang cepat akan memacu laju fiksasi CO2. Laju
fotosintesis dibatasi oleh ketersediaan air dan CO2. Jika kekurangan air, maka turgiditas
sel penjaga menurun dan menyebabkan stomata menutup. Penutupan stomata akan
menghambat serapan CO2 yang dibutuhkan untuk sintesis karbohidrat. Gas CO2
merupakan bahan baku sintesis karbohidrat. Kekurangan CO2 akan menyebabkan
penurunan laju fotosintesis. Laju fotosintesis juga dipengaruhi oleh cahaya dan suhu.
Cahaya sebagai sumber energi untuk fotosintesis jelas akan berpengaruh terhadap laju
fotosintesis. Suhu juga akan mempengaruhi laju fotosintesis, pengaruh suhu terhadap
fotosintesis tergantung spesies tumbuhan dan lingkungan tumbuhnya.
Menurut Lakitan (1993), sifat dan kemampuan tumbuhan dalam menyerap CO2
dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu tumbuhan C3, C4, dan CAM. Tumbuhan C3
memfiksasi CO2 melalui daur Calvin, C4 memfiksasi CO2 melalui daur C4 asam
dikarboksilat, sedangkan CAM memfiksasi CO2 menjadi asam malat. Tumbuhan C4
memiliki laju fotosintesis paling tinggi dibandingkan tumbuhan C3 dan CAM.
Tumbuhan CAM merupakan yang paling lambat laju fotosintesisnya dan tumbuhan C3
berada di antara kedua ekstrim tersebut.
Gardner et al. (1991), mengatakan bahwa jagung merupakan tanaman C4 yang
mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang kering dan panas.
Tumbuhan C4 memiliki kisaran suhu optimum untuk fotosintesis yaitu 30-47oC.
Menurut Goldsworthy dan Fisher (1980), tumbuhan C4 mempunyai laju fotosintesis
yang tinggi, fotorespirasi dan transpirasi rendah. Menurut Salisbury dan Ross (1995),
tumbuhan C4 mampu menghasilkan produksi bahan kering yang lebih besar
bio.unsoed.ac.id
dibandingkan tumbuhan C3 yaitu sebesar 39±1,7 ton.ha-1.tahun-1, sedangkan tumbuhan
C3 hanya menghasilkan sebesar 22±0,3 ton.ha-1.tahun-1.
Menurut Basir et al. (2004), jagung merupakan tanaman pangan semusim yang
banyak dibudidayakan di Indonesia dan termasuk komoditas pangan yang penting.
Jagung memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, dan kalori yang hampir
sama dengan nasi. Permintaan produksi jagung terus meningkat setiap tahunnya karena
hampir seluruh bagian tanamannya dapat dimanfaatkan, misalnya sebagai bahan
5
pangan, bahan baku industri, pakan ternak, pupuk, dan bioetanol. Departemen Pertanian
(2013), mengatakan bahwa jagung hibrida varietas pioneer 21 dapat tumbuh pada
ketinggian antara 10-100 m dpl, sedangkan ketinggian optimum yang dikehendaki
adalah 50-600 meter dpl, suhu 23-27ºC dengan suhu optimal 25ºC, memerlukan
kelembaban udara sedang sampai tinggi (50%-80%), dan akan tumbuh dengan baik
pada tanah yang gembur dan kaya akan humus dengan pH tanah antara 5,5-7,5.
Hasil penelitan Purwanto (2012) mengenai budidaya tanaman pangan semusim
yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia, contohnya jagung. Jagung
merupakan tanaman berotasi pendek yang waktu panennya relatif singkat ± 100 hari.
Tanaman jagung berperan dalam penyerapan GRK di atmosfer melalui serangkaian
fotosintesis yang dilakukannya pada daun. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan
bahwa semakin luas daun tanaman jagung, maka pengikatan CO2 untuk fotosintesis
semakin meningkat. Kemampuan tanaman jagung dalam menerima cahaya dipengaruhi
oleh kerapatan populasi tanaman. Dalam populasi yang optimal, cahaya yang diterima
tanaman akan optimal sehingga menghasilkan daun dengan permukaan yang lebih luas.
Brown (1997), mengasumsikan bahwa 50% dari biomassa tumbuhan merupakan
karbon (C) yang tersimpan pada tumbuhan. Menurut Hairiah et al. (2011), penentuan
kemampuan serapan CO2 pada tanaman dapat ditaksir dengan mengukur CO2 yang
digunakan dalam fotosintesis karena jumlah C dalam CO2 berbanding lurus dengan
jumlah C yang terikat dalam glukosa selama fotosintesis. Metode karbohidrat adalah
suatu metode untuk mengukur karbohidrat total pada daun. Persentase karbohidrat yang
dihasilkan selama fotosintesis dapat digunakan untuk menentukan massa CO2 yang
diserap oleh tumbuhan. Dengan demikian, mengukur biomassa suatu tanaman dapat
menggambarkan banyaknya CO2 yang mampu diserap oleh tanaman.
bio.unsoed.ac.id
6
Download