1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu universal yang memiliki peranan penting
dalam berbagai ilmu serta berperan dalam mengembangkan daya pikir manusia.
Sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran, matematika
mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Matematika merupakan salah satu
bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Sundayana, 2013:2). Besarnya peran matematika dalam kehidupan menjadikan
matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang diberikan di seluruh
jenjang pendidikan. Beberapa alasan pentingnya belajar matematika menurut
pernyataan Cornelius (Abdurrahman, 2012:204) matematika merupakan salah satu
ilmu yang digunakan sebagai sarana berpikir yang jelas dan logis, sarana untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta sarana untuk
mengembangkan kreativitas. Selain itu, manfaat lain yang menonjol dari
matematika menurut Karso, dkk (2009:1.4) matematika dapat membentuk pola
pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir matematis yang sistematis,
logis, kritis, dengan penuh kecermatan.
Pembelajaran matematika khususnya di sekolah dasar (SD) memiliki
tujuan agar siswa dapat menguasai konsep matematika, menggunakan penalaran
pada pola matematika, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain serta memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika (Aisyah, dkk, 2007). Pembelajaran matematika di sekolah
dasar merupakan pembelajaran yang mendasar bagi siswa. Heruman (2008:1)
menyatakan bahwa konsep-konsep pada kurikulum matematika di SD dimulai dari
penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Pada tahap
pembinaan keterampilan inilah yang merupakan tujuan utama pembelajaran
matematika di sekolah dasar, yakni agar siswa terampil dalam menggunakan
berbagai konsep untuk memecahkan permasalahan matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Mengenai pemecahan masalah, Runtukahu dan Kandou (2014:193)
berpendapat, “Kemampuan memecahkan masalah matematika seyogyanya
1
2
ditanamkan dari SD sehingga di kemudian hari mereka dapat menggunakannya
sebagai dasar memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.” Jadi, tujuan
pembelajaran matematika di SD tidak hanya berpegang pada penguasaan materi,
tetapi untuk membekali siswa agar mampu memecahkan dan menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan
berbagai
konsep
matematika
untuk
menyelesaikan
permasalahan kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran biasanya dikemas dalam
bentuk soal cerita. Sesuai dengan pendapat Raharjo, Ekawati, dan Rudianto,
(2009) permasalahan matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata
biasanya dituangkan melalui soal-soal berbentuk cerita (verbal). Lebih lanjut lagi
Raharjo dan Waluyati (2011:9) menyatakan bahwa soal cerita penting sekali
diberikan kepada siswa SD, karena umumnya soal cerita tersebut dapat digunakan
untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan terlatihnya siswa
dalam menyelesaikan soal cerita ketika pembelajaran di sekolah dapat menjadikan
bekal bagi siswa memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada
kenyataannya
soal
cerita
dalam
matematika
merupakan
permasalahan yang dianggap sulit bagi siswa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Nafi’an (2011) masalah yang sering dirasakan sulit oleh siswa dalam
pembelajaran matematika adalah menyelesaikan soal cerita. Mayoritas siswa
masih merasa bingung ketika dihadapkan dengan soal cerita dan kurang
memahami isi soal cerita, sehingga tidak mampu mengubah soal cerita ke dalam
bentuk matematika. Padahal hampir semua penyampaian materi dalam
matematika selalu berujung pada soal yang berbentuk soal cerita sebagai aplikasi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sub pokok bahasan yang
memuat soal cerita sebagai aplikasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
adalah tentang soal cerita tentang bangun datar dan bangun ruang. Soal cerita ini
terkait dengan penerapan sifat-sifat, kaidah-kaidah atau rumus pada bangun datar
dan bangun ruang. Misalnya soal cerita yang tujuannya untuk mencari luas,
keliling, volume, dan luas permukaan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada siswa kelas V SD
Negeri Kerten II Surakarta ditemui permasalahan tentang rendahnya keterampilan
3
siswa dalam menyelesaikan soal cerita khususnya tentang bangun datar dan
bangun ruang. Fakta rendahnya keterampilan menyelesaikan soal cerita pada
siswa kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta juga dibuktikan dengan hasil tes
pratindakan tentang menyelesaikan soal cerita bangun datar dan bangun ruang
(Lampiran 11 halaman 157) yang telah dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 17
Desember 2015 menunjukkan bahwa terdapat 16 siswa atau 76,19% dari 21 siswa
nilainya masih di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 65. Sedangkan
jumlah siswa yang lulus atau melebihi kriteria ketuntasan minimal yaitu terdapat 5
siswa atau 23,81%, dengan nilai rata-rata kelas sebesar 46,6. Berdasarkan data
tersebut membuktikan bahwa keterampilan dalam menyelesaikan soal cerita siswa
kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta masih rendah.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara terhadap Ibu Ary Endah
Purwaningsih guru kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta pada tanggal 14
Nopember 2015 (lampiran 4 halaman 140) dan hasil wawancara terhadap siswa
(lampiran 6 halaman 144), dapat dirangkum bahwa rendahnya keterampilan
menyelesaikan soal cerita disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1)matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit bagi siswa,
khususnya jika bentuk perhitungan matematika diubah ke kalimat narasi/cerita
dalam kehidupan sehari-hari; 2) siswa sering mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan
soal
cerita,
dikarenakan
siswa
kurang
terampil
dalam
menyelesaikan soal cerita; 3) mayoritas siswa langsung menjawab soal tersebut
tanpa diidentifikasi terlebih dahulu permasalahan dalam soal cerita, sehingga
banyak siswa yang kurang tepat dalam menyelesaikan soal cerita, baik dalam hal
urutan langkah pengerjaan maupun jawaban akhir; 4) siswa mengalami kesulitan
memahami soal cerita yang berbelit-belit dan tidak langsung pada intinya; dan
5)kesulitan melakukan operasi hitung bagi siswa-siswa tertentu.
Selain itu, rendahnya keterampilan menyelesaikan soal cerita khususnya
tentang bangun datar dan bangun ruang juga disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: 1) pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama ini masih
bersifat konvensional; 2) pembelajaran masih berpusat pada guru, belum
menggunakan model yang variatif dan inovatif; 3) siswa kurang aktif dalam
4
kegiatan pembelajaran; 4) pembelajaran belum mengoptimalkan siswa untuk
berpikir kritis dan sistematis dalam menyelesaikan soal cerita, sehingga
berpengaruh terhadap keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal cerita; dan
5)pembelajaran hanya disampaikan dengan dominasi ceramah dan penugasan
latihan soal.
Fakta di atas menunjukkan kualitas proses dan hasil pembelajaran yang
dilaksanakan masih kurang optimal. Hal tersebut mengakibatkan keterampilan
siswa dalam menyelesaikan soal cerita khususnya tentang bangun datar dan
bangun ruang masih rendah. Soal cerita tidak hanya menuntut siswa untuk
terampil berhitung, tetapi juga agar siswa dapat berfikir kritis dan sistematis untuk
memecahkan/menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan rendahnya keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal
cerita bangun datar dan bangun ruang menjadi pertimbangan untuk memperbaiki
proses pembelajaran matematika. Oleh karena itu, peneliti berkolaborasi dengan
guru kelas berusaha untuk memperbaikinya, yakni dengan merancang kegiatan
pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa serta mampu menuntun siswa
untuk berpikir kritis dan sistematis dalam menyelesaikan soal cerita. Mendesain
interaksi
belajar
mengajar
yang berorientasi
pada
ketercapaian
tujuan
pembelajaran sesuai dengan materi pembelajaran. Salah satu hal yang
berpengaruh
terhadap
kualitas
pembelajaran
adalah
penggunaan
model
pembelajaran.
Untuk membiasakan siswa berpikir kritis dalam pembelajaran, sebaiknya
menggunakan model pembelajaran yang menuntun siswa berpikir kritis, sehingga
dengan kebiasaan tersebut dapat membentuk keterampilan siswa memecahkan
masalah dalam soal cerita. Salah satu model pembelajaran pemecahan masalah
yang mampu menuntun siswa untuk aktif, berpikir kritis dan sistematis adalah
model Problem Posing tipe pre-solution posing. Model pembelajaran problem
posing merupakan salah satu model pembelajaran berbasis masalah. Problem
posing merupakan model pembelajaran yang lebih dikenal dengan pengajuan
masalah atau pengajuan soal. Menurut Thobroni dan Mustofa (2012) problem
posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun
5
pertanyaan sendiri atau memecahkan soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang
lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Sedangkan
menurut Shoimin (2014 : 90) perumusan dan jawaban yang dibuat oleh setiap
siswa akan merangsang siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang
dibuat oleh dirinya sendiri maupun siswa lain. Pada kegiatan pengajuan soal ini
siswa dituntut untuk berpikir kritis dan kreatif.
Problem posing sebagai salah satu model pembelajaran berbasis masalah
memiliki beberapa tipe kognitif antara lain Post-solution posing, pre-solution
posing, dan within-solution posing. (Thobroni dan Mustofa, 2012) Problem posing
tipe pre-solution posing merupakan tipe model pembelajaran problem posing
yang menekankan pada pengajuan soal dari situasi atau informasi yang diadakan
oleh guru. Siswa juga harus mampu menyelesaikan sendiri soal yang telah
dibuatnya. Problem posing tipe pre-solution posing merupakan model yang
mengonsep pembelajaran yang berpusat pada siswa. Menurut Astra, Umiatin, &
Jannah (2012) model pembelajaran ini mewajibkan siswa membuat pertanyaan
dan jawaban sendiri berdasarkan soal yang diberikan guru. Pengajuan soal
dilakukan dengan cara guru memberikan situasi/kondisi yang mampu merangsang
siswa untuk menyampaikan pertanyaan atau mengajukan soal.
Keunggulan model ini dapat menuntun siswa dalam berpikir kritis, selain
untuk menyelesaikan permasalahan siswa juga dilatih untuk menyusun
permasalahan atau soal berdasarkan dari situasi yang diciptakan oleh guru. Siswa
membuat soal cerita serta membuat penyelesaiannya dengan menggunakan bahasa
sendiri sesuai dengan pemahamannya. Model ini memberikan kebebasan kepada
siswa untuk membuat soal secara lebih bervariasi oleh informasi atau situasi yang
diberikan oleh guru.
Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan oleh Yoga Setyagama pada
tahun 2011 dengan judul Penggunaan Model Pembelajaran Problem Posing tipe
Pre-Solution Posing untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Siswa
Kelas V SD Negeri Cepokosawit II Tahun Ajaran 2011/2012. Pada kondisi awal
sebelum dilaksanakan tindakan diperoleh persentase ketuntasan 56,25%. Setelah
diterapkannya tindakan pada siklus I persentase ketuntasan meningkat sebesar
6
68,75%, dan pada siklus II persentase ketuntasan meningkat sebesar 81,25%.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini penggunaan model pembelajaran problem
posing tipe pre-solution posing dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada
siswa kelas V SD Negeri Cepokosawit II tahun ajaran 2011/2012.
Bedasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti tentang
penerapan model pembelajaran Problem Posing Tipe Pre-Solution Posing untuk
meningkatkan keterampilan menyelesaikan soal cerita tentang bangun datar dan
bangun ruang pada siswa kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta Tahun Ajaran
2015/2016.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : Apakah penerapan model
pembelajaran Problem Posing Tipe Pre Solution Posing dapat meningkatkan
Keterampilan Menyelesaikan Soal Cerita tentang Bangun Datar dan Bangun
Ruang pada siswa kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta Tahun Ajaran
2015/2016?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu
“untuk meningkatkan keterampilan menyelesaikan soal cerita tentang bangun
datar dan bangun ruang menggunakan model pembelajaran Problem Posing Tipe
Pre Solution Posing pada siswa kelas V SD Negeri Kerten II Surakarta Tahun
Ajaran 2015/2016.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai dua manfaat yaitu manfaat teoretis
dan manfaat praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
a. Menambah
khasanah
pengembangan
ilmu
pengetahuan
tentang
pembelajaran Matematika khususnya di Sekolah Dasar
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan penelitian
yang lain, serta sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
7
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Meningkatnya keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
tentang bangun datar dan bangun ruang dalam pembelajaran
Matematika melalui penerapan model pembelajaran Problem Posing
tipe Pre-Solution Posing
2) Memberikan pengalaman belajar yang inovatif bagi siswa yang
menuntun siswa untuk berpikir kritis, kratif, dan sistematis dalam
pembelajaran Matematika dengan penerapan model pembelajaran
Problem Posing tipe Pre-Solution Posing
b. Bagi Guru
1) Memberikan alternatif pada kegiatan pembelajaran Matematika agar
menggunakan model yang inovatif yakni model pembelajaran
problem posing tipe pre-solution posing
2) Timbulnya motivasi agar menerapkan model pembelajaran yang
inovatif yakni model pembelajaran problem posing tipe pre-solution
posing yang mampu meningkatkan keterampilan menyelesaikan soal
cerita tentang bangun datar dan bangun ruang pada siswa.
c. Bagi Sekolah
Memberikan masukan bagi sekolah dalam upaya mengembangkan
proses pembelajaran siswa, serta mampu mendorong untuk selalu
mengadakan pembaharuan dalam proses pembelajaran ke arah kualitas
yang lebih baik guna meningkatkan kualitas pendidikan sekolah.
Download