TTIIN NJJA AU UA AN N PPU USSTTA AK KA A KO-INFEKSI HIV/AIDS DAN TB Rahayu Lubis Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No. 21 Medan, 20155 ABSTRACT The dramatic spread of the Human Immunodeficiency Virus (HIV) epidemic throughout sub-saharan Africa in the pas decades has been accompanied by up to a fourfold increase in the number of TB cases registered by national TB programmes. The incidence of TB is also increasing in other HIV epidemic countries, where populations with HIV infection and TB overlap. Eventhose few countries with well organized national TB programmes have an increase in TB cases. This suggest that TB control wioll not make much headway in HIV prevalent setting unless HIV control is also achieved. TB is a common treatable HIV related disease and a leading killer of people living with HIV or AIDS. As a consequence of all these issues, there is a strong need for close collaboration between HIV/AIDS programmes and TB programmes. This is necessary to implement the World Health Organization recommended DOTS strategy for TB control and to improve care for people with HIV and TB. Keywords: HIV-TB, ko-infeksi PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global. Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB. HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun. Sekitar 60% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Purified Protein Derivative (PPD) positif berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya, sedangkan pada PPD positif dan HIV negatif adalah sekitar 10%. (lihat Gambar 1). HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS. TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru. 76 Universitas Sumatera Utara PPD = purified protein derivative Gambar 1. TB dan AIDS TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru. Program nasional TB di negaranegara dengan beban HIV yang tinggi melaporkan terjadinya peningkatan casefatality rate (CFR) sampai 25% pada pasien dengan BTA positif dan 40 – 50% pada pasien TB paru dengan BTA negatif. Di seluruh dunia terdapat 350.000 kematian akibat HIV dengan TB pada tahun 2000. Hal ini dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB. Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia. Namun berbeda dengan negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama penyebaran TB. Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004 terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara kelompok berisiko tinggi di beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV. Pada akhir tahun 2005 kematian akibat AIDS mencapai 5500 jiwa. Survei yang dilakukan oleh Puslitbangkes DepKes RI tahun 2003 menemukan pasien-pasien dengan ko-infeksi HIV-TB di rumah sakit dan penjara di beberapa propinsi. Survei ini juga menemukan bahwa TB merupakan salah satu penyebab utama Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB (76–81) Rahayu Lubis terjadinya infeksi oportunistik di antara pasienpasien AIDS di rumah sakit di Indonesia. Melihat kecederungan epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia sebagaimana diuraiakan di atas, muncul kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics) yang telah melanda beberapa negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan memperparah epidemi TB karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih rentan akan infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB. Risiko untuk terkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka yang tidak terinfeksi HIV. Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia mempunyai koinfeksi dengan TB. PEMBAHASAN Interaksi antara HIV dan TB Serta Pengertiannya Asia Tenggara menanggung beban TB global sebesar 40 persen dengan estimasi jumlah ODHA menduduki peringkat kedua setelah Afrika Sub-Sahara. Besarnya pengaruh HIV terhadap epidemi TB tergantung kepada besarnya derajat populasi yang terinfeksi MTB yang juga terinfeksi HIV (lihat Gambar 2a dan 2b). Gambar 2a. Derajat tumpang tindih antara populasi terinfeksi HIV dan MTB di Afrika Sub-Sahara Gambar 2b. Derajat tumpang tindih antara populasi terinfeksi HIV dan MTB di Regional Asia Tenggara 77 Universitas Sumatera Utara Afrika mempunyai derajat tumpang tindih yang tinggi antara populasi terinfeksi HIV dan terinfeksi MTB pada kelompok umur 15 – 49 tahun, sedangkan di Asia Tenggara derajat tumpang tindihnya lebih kecil karena prevalensi HIVnya rendah, sehingga jumlah ko-infeksi HIV/TB juga lebih rendah. Sehingga besarnya pengaruh HIV terhadap epidemi TB lebih rendah daripada di Afrika sub-Sahara. Pada tahun 2000, beban HIV/TB global menunjukkan bahwa 9% dari 8,3 juta kasus TB pada orang dewasa (15 – 49 tahun) diakibatkan oleh infeksi HIV. Sekitar 1.8 juta kematian akibat TB, 12% diakibatkan oleh HIV. TB merupakan penyebab kematian dari 11% pasien AIDS orang dewasa. Hampir 6 juta orang dewasa dengan HIV di Asia Tenggara, 40 – 50% terinfeksi TB. Angka ko-infeksi tertinggi terdapat di Afrika subSahara, dan di Asia Tenggara yang juga tinggi misalnya, Myanmar dan Thailand. Peningkatan kasus TB di banyak negara di Afrika sub-Sahara sebagian besar dipengaruhi oleh epidemi HIV. Sejak pertengahan 1980an, di banyak negara di Afrika, termasuk yang pelaksanaan programnya terorganisasi dengan baik, kasus TB tahunan yang tercatat telah meningkat empat kali lipat, dan mencapai puncaknya dengan lebih dari 400 kasus/ 100.000 penduduk. Pada beberapa negara, sampai 70% pasien dengan TB paru BTA positif adalah HIV positif. Negara-negara yang terkena dampak HIV/TB paling besar adalah negara-negara dengan prevalensi HIV tertinggi.(lihat Gambar 3). Di Region Asia Tenggara, dampak HIV terhadap TB telah diamati pada propinsi-propinsi yang prevalensi HIVnya tinggi dibandingkan dengan prevalensi ratarata negara tersebut. Contohnya di Chiang Rai, salah satu propinsi di Thailand Utara, angka seropositif HIV pada pasien TB meningkat dari sekitar 1 per 100.000 pada tahun 1990 menjadi lebih dari 50 per 100.000 penduduk pada tahun 2000 (lihat Gambar 4). Pada saat yang sama, kasus TB yang tercatat meningkat dari sekitar 50/ 100.000 pada tahun 1991 menjadi sekitar 130/ 100.000 pada tahun 2000. Peningkatan terjadi pada semua kategori TB, TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif, TB ekstra paru. Gambar 3. Hubungan Linier – Hubungan antara estimasi insidens TB (semua bentuk) dan prevalensi HIV pada orang dewasa di 18 negara Afrika pada 1999 (Sumber: Global TB Report, WHO HQ Geneva 2001) 78 Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB (76–81) Rahayu Lubis Universitas Sumatera Utara Gambar 4. Angka kasus baru TB menurut status HIV per 100.000 orang di Chiang Rai, Thailand (1987-2000). (Sumber: TB/HIV Research Project, RIT-JATA, Provincial Health Office Chiang Rai, Ministry of Public Health, Thailand) Gambar 5. Model insidens TB BTA positif per 100.000 orang dari tiga skenario HIV dan dua tingkat pengendalian TB. (Sumber: Model oleh Williams B untuk RNTCP India, disajikan pada 2nd Global TB/HIV Working Group Meeting) Keterangan: Hijau = Tanpa HIV; Merah = Dengan HIV. Baris atas memperlihatkan dampak dari perluasan cepat Program DOTS TB pada skenario prevalensi HIV rendah, sedang dan tinggi, baris bawah pada perluasan lambat. Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB (76–81) Rahayu Lubis 79 Universitas Sumatera Utara Sejumlah publikasi dari beberapa tempat tertentu di Thailand dan India melaporkan bahwa proporsi TB dengan HIV seropositif meningkat tajam setelah tahun 1991. Dari register TB di Rumah Sakit Propinsi Chiang Rai, yang mulai melaksanakan tes HIV secara sukarela dan rahasia pada Oktober 1989, menunjukkan peningkatan jumlah dan proporsi yang cepat dan konsisten dari pasien TB dengan HIV seropositif dari 1,5% pada tahun 1990 menjadi 45,5% pada tahun 1994 serta 72,0% pada pasien laki-laki dan 65,8% pada pasien perempuan pada tahun 1998. Data periode10-tahun yang serupa diperoleh dari Pune, India – angka HIV seropositif pada pasien TB yang baru didiagnosis meningkat secara konsisten dari 4% pada tahun1991 menjadi 20% pada tahun 1996. Meluasnya epidemi HIV/TB di Asia Tenggara tergantung epidemi HIV dimasa mendatang dan upaya pengendalian TB. Model matematika memprediksi pengaruh HIV terhadap epidemi TB dalam skenario berbeda, contohnya di India (lihat Gambar 5). Meskipun ada perluasan yang cepat dari strategi Directly Observed Treatment-Short Course (DOTS) di regional ini, pada keadaan prevalensi HIV yang sedang dan tinggi insidens TB tetap tinggi. Model ini menunjukkan bahwa walaupun strategi DOTS dilaksanakan sepenuhnya, akan tetap gagal untuk menanggulangi HIV terinfeksi TB dalam tahapan perluasan epidemi HIV. Sangat penting melaksanakan intervensi efektif pada tahap awal epidemi HIV di Region Asia Tenggara, di mana program TB dari banyak negara memperlihatkan hasil yang baik jika strategi DOTS dilaksanakan. Keenam grafik pada Gambar 5 memperlihatkan akibat dari tiaptiap kombinasi skenario HIV dan TB untuk epidemi TB. Pertama-tama, epidemi HIV mempunyai efek dramatis terhadap insidensi TB dan penting untuk menghindari setiap peningkatan prevalensi HIV. Tetapi, untuk ketiga jenis epidemi HIV, pengembangan program yang 'cepat’ program DOTS di bandingkan dengan pengembangan ‘lambat’ akan menurunkan peningkatan kasus BTA positif akibat HIV kurang lebih 20% dalam waktu 20 tahun mendatang. Pada pengembangan DOTS yang cepat dengan 80 HIV rendah (terbaik), insidens TB pada tahun 2020 adalah sekitar 25 per 100.000, dibandingkan 15 per 100.000 jika tidak ada HIV. Insidens akan menurun secara konsisten walaupun lebih lambat, sehingga target dapat dicapai dalam waktu lima tahun. KESIMPULAN DAN SARAN Epidemi HIV/TB memperlihatkan dampak negatif terhadap program AIDS dan TB, melalui beberapa cara yaitu: Dampak HIV pada program TB • Meningkatkan beban kasus TB aktif yang diakibatkan oleh HIV • Meningkatkan morbiditas dan mortalitas HIV pada pasien TB • Angka putus berobat lebih tinggi dan angka penyembuhan lebih rendah • Meningkatnya reaksi efek samping obat selama pengobatan TB • Meningkatkan risiko penularan TB (termasuk penularan nosokomial) • Meningkatkan beban pelayanan TB • Memperlambat akses suspek TB kepada layanan kesehatan akibat stigma HIV/AIDS Dampak TB pada program HIV • Meningkatkan beban kasus TB aktif pada ODHA • TB dapat mempercepat terjadinya proses supresi imunitas terkait HIV • Meningkatkan morbiditas dan mortalitas TB pada ODHA • Kesulitan mendiagnosis TB pada ODHA di mana terjadi gambaran klinis TB terkait HIV yang berbeda • Meningkatkan beban pada layanan HIV Saran Perlu dilakukan kajian untuk mengukur besarnya masalah ko-infeksi HIVTB ini di Indonesia. Sebuah studi prevalensi HIV di antara pasien TB akan sangat membantu para pembuat kebijakan di Indonesia dengan menghasilkan data-data diperlukan untuk merumuskan yang kebijakan yang rasional dalam upaya mengantisipasi ancaman epidemi ganda TB dan HIV/AIDS. Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB (76–81) Rahayu Lubis Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Corbett EL, Watts CJ, Walker N, et al. The growing burden to tuberculosis. Global trends and interactions with the HIV epidemic. Arch Intern Med. 2003: 163: 1009-1021. Depkes RI, UGM, Asia Link, KNCV, 2006. Protokol Surveilans HIV diantara pasien TB di Indonesia. Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB (76–81) Rahayu Lubis Global Tuberculosis Control. Surveillance, planning, financing. WHO Report 2002. WHO/CDS/TB/2002.295. Yanai H, Uthaivoravit W, Panich V, et al. Rapid increase in HIV-related tuberculosis, Chiang Rai, Thailand, 1990-1994. AIDS 1996; 10:527-31. 81 Universitas Sumatera Utara