gambaran nilai laju endap darah pada penderita tuberkulosis paru

advertisement
GAMBARAN NILAI LAJU ENDAP DARAH PADA
PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN BTA POSITIF
DI RSUD CIAMIS TAHUN 2016
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan
pada Program Studi D3 Analis Kesehatan
Oleh:
MELHAX RAHMALILAH
NIM. 13DA277027
PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
GAMBARAN NILAI LAJU ENDAP DARAH PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DENGAN BTA POSITIF
DI RSUD CIAMIS TAHUN 20161
Melhax Rahmalilah2 Minceu Sumirah3Atun Farihatun4
INTISARI
Laju Endap Darah (LED) adalah pemeriksaan untuk menentukan
kecepatan eritrosit dalam darah yang tidak membeku (darah berisi
antikoagulan) pada suatu tabung vertikal dalam waktu tertentu. Nilai Laju
Endap Darah digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai Laju Endap Darah
pada penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA Positif di RSUD Ciamis
tahun 2016.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode westergreen. Penelitian ini menggunakan data
primer dengan cara memeriksa langsung sample darah, dan hasil dari
penelitian disajikan dalam bentuk tabel. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap 15 sampel pemeriksaan Laju Endap Darah pada penderita
Tuberkulosis paru dengan BTA positif nilai Laju Endap Darah berbeda
karena perbedaan pada bulan pengobatan. Nilai tertinggi terdapat pada
pengobatan bulan ke 1 dengan hasil 76 mm/jam dengan hasil BTA positif
2 dan nilai terendah terdapat pada pengobatan bulan ke 6 dengan hasil 8
mm/jam dengan hasil BTA positif 1.
Kata kunci
: Laju Endap Darah, Tuberkulosis Paru, BTA.
Kepustakaan : 14 (2002-2016)
Keterangan : 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa, 3 Nama Pembimbing I, 4
Nama Pembimbing II
iv
THE VALUE REPRESENTATION BLOOD SEDIMENTATION RATE IN
PEOPLE WITH PULMONARY TUBERCULOSIS WITH BTA POSITIVE
IN RSUD CIAMIS YEAR 20161
Melhax Rahmalilah2 Minceu Sumirah3Atun Farihatun4
ABSTRACT
Blood Sedimentation Rate (BSR) is an examination to
determine the speed of the erythrocytes in the blood that is not frozen
(blood containing anticoagulant) at a certain time in a vertical tube. Blood
Sedimentation Rate value on Pulmonary Tuberculosis value used as an
indicator of a patient's healing.
This research was conducted to find out Blood Sedimentation
Rate value in people with Pulmonary Tuberculosis with SMEAR positive
RSUD Ciamis year 2016.
Method used in this research is a method westergreen. The
research of using primary data by way of check directly a blood sample,
and the results of the research are presented in the form of a table. Based
on the results of research on 15 sample examination Blood Sedimentation
Rate in people with pulmonary tuberculosis with BTApositive that Blood
Sedimentation Rate value different because of differences in treatment.
The highest value is present on the moon to the treatment of 1 with 76
mm/h results with the results of positive 2 BTA and the lowest value is
present on the 6th month of treatment with the results of the 8 mm/h with
result positive 1 BTA.
Keywords
Library
Information
: Blood Sedimentation Rate, Pulmonary Tuberculosis,
BTA
: 14 (2002-2016)
: 1 Title, 2 Student’s Name, 3 Supervisor’s Name 1,
4 Supervisor’s Name 2
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai
dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik,
darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat
menjalankan fungsinya sebagai : pembawa oksigen (oxygen carrier),
mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi, dan mekanisme
hemostasis (Bakta, 2012).
Darah tersusun diantaranya dari : sel-sel darah yang terdiri atas
eritrosit (sel darah merah) yang berfungsi untuk mengangkut oksigen
dan mengikat karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru, leukosit (sel
darah putih) yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
serangan penyakit dan berkaitan dengan sistem imunitas, trombosit
yaitu sel yang bergranula yang membentuk agregat di tempat cidera
pembuluh darah yang berfungsi sangat penting pada pembekuan
darah. Plasma darah, adalah suatu cairan yang berwarna kuning yang
membentuk sekitar 5% dari berat badan (Wiarto, 2014).
Laju Endap Darah (LED), dalam bahasa Inggris disebut
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) atau Blood Sedimentation Rate
(BSR) adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit
dalam darah yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada
suatu tabung vertikal dalam waktu tertentu. LED pada umumnya
digunakan untuk mendeteksi atau memantau adanya kerusakan
jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya penyakit (bukan tingkat
keparahan) baik akut maupun kronis, sehingga pemeriksaan LED
bersifat tidak spesifik tetapi beberapa dokter masih menggunakan
pemeriksaan LED untuk membuat perhitungan kasar mengenai
proses penyakit sebagai pemeriksaan skrinning (penyaring) dan
memantau berbagai macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan
1
2
dan berbagai penyakit yang berdampak pada protein plasma
(Nugraha, 2015).
Nilai LED dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan
pasien, LED sering meningkat pada pasien aktif, tetapi LED yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).
Tuberkulosis paru ialah suatu infeksi kronik jaringan paru, yang
disebabkan
Mycobacterium
tuberculosis.
Gejala-gejala
yang
ditimbulkan tergantung stadium penyakitnya. Infeksi primer pada
penderita muda atau anak-anak ditandai dengan fokus kecil pada
salah satu paru (disebut focus primer = primary focus). Diagnosa
dapat dilakukan dengan melakukan foto toraks untuk mengetahui
kelainan yang terjadi dalam paru sehingga dapat diketahui upaya
pengobatannya (Sibuea, 2005). Seperti yang tercantum dalam Surat
Yunus: 57
Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Yunus : 57).
Pemeriksaan laboratorium ditemukan Basil Tahan Asam (BTA).
Laju Endap Darah (LED) meninggi, pada kasus yang lebih berat
kadang-kadang dalam darah perifer terlihat sel leukosit bentuk batang
dan proses pembentukan granuloma ditandai oleh monositisis
(Sibuea, 2005).
Pada tahun 2016, Indonesia merupakan negara ke dua di dunia
dengan jumlah penderita Tuberkulosis Paru diperkirakan 1 juta
kasus/tahun (Bimantara, 2016). Pada tahun 2010 di Kabupaten
Ciamis jumlah total kasus Tuberkulosis Paru yang di temukan
3
sebanyak 1.069, pada tahun 2011 jumlah total kasus Tuberkulosis
Paru mengalami peningkatan sebanyak 1.306, pada tahun 2012
jumlah total kasus Tuberkulosis Paru sebanyak 1.463, pada tahun
2013 jumlah total kasus Tuberkulosis Paru mengalami peningkatan
sebanyak 1.601, pada tahun 2014 jumlah total kasus mengalami
penurunan sebanyak 1.189, dan pada tahun 2015 sampai dengan
triwulan III sebanyak 845 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis,
2015).
Dengan adanya data tersebut peneliti ingin mengetahui
Gambaran nilai LED pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA
Positif di RSUD Ciamis tahun 2016.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu
masalah sebagai berikut “ Bagaimanakah Gambaran nilai Laju Endap
Darah (LED) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif di
RSUD Ciamis tahun 2016? “
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran nilai LED pada Penderita Tuberkulosis
Paru dengan BTA Positif di RSUD Ciamis tahun 2016.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang
keterampilan dalam melakukan pemeriksaan Laju Endap Darah.
2. Bagi Tenaga Laboratorium
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai
gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis
Paru dengan BTA Positif.
4
3. Bagi masyarakat
Memberi
informasi
kepada
masyarakat
mengenai
gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis
Paru dengan BTA positif.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Nurfitri Q. M (2014)
yang berjudul “Gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita
Tuberkulosis Paru pengobatan bulan ke enam di RSUD Kabupaten
Ciamis”, perbedaannya terletak pada variabel yang di periksa yaitu
pada penderita TB Paru pada hasil pemeriksaan dahak BTA positif,
dan letak persamaannya pada pemeriksaan LED.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. Darah
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian
yaitu : bahan intraseluler atau plasma dan didalamnya terdapat
unsur- unsur padat atau sel darah. Volume darah secara
keseluruhan yaitu satu per dua belas berat badan atau kira-kira
5 liter. Sekitar 55% nya adalah cairan, sedangkan 45% sisanya
terdiri atas sel darah (Pearce, 2011).
Susunan darah terdiri dari plasma darah dan sel-sel darah
(Eritrosit atau sel darah merah, leukosit atau sel darah putih, dan
trombosit atau keping darah).
a. Plasma Darah
Plasma darah merupakan bagian penyusun darah yang
terbesar. Kira-kira 90% dari plasma darah manusia adalah air
dan 10% sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut,
berbagai produk sampah metabolisme, nutrien, vitamin, dan
kolesterol (Corwin, 2009).
Plasma darah bekerja sebagai medium atau perantara
untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa, dan
asam amino ke jaringan. Juga sebagai medium untuk
mengangkut bahan buangan seperti urea, asam urat, dan
sebagian dari karbondioksida (Pearce, 2011).
b. Sel-sel darah.
Sel-sel darah terdiri dari tiga jenis : sel darah merah, sel
darah putih, dan keping darah.
1) Sel Darah Merah
Sel darah merah disebut juga eritrosit. Eritrosit
berbentuk bundar, pipih, agak cekung pada kedua
5
6
permukaannya dan tidak memiliki inti sel, mitokondria,
atau ribosom dengan diameter 8,6 µm. Sel darah merah
berwarna merah karena didalamnya terdapat hemoglobin
yaitu protein yang mengandung unsur besi (Corwin,
2009).
Setiap mm³ darah manusia mengandung sekitar 46 juta sel darah merah atau 25 miliar sel darah merah
didalam darah orang dewasa. Bagian tubuh yang
membentuk sel darah merah adalah hati, kelenjar limfe,
dan sumsum tulang yang berbentuk pipa. Umur eritrosit
selama 74-154 hari (Gibson, 2003; Surtiretna, 2007).
2) Sel Darah Putih
Sel darah putih disebut juga leukosit. Leukosit
berbentuk tidak tetap dan berinti. Ukuran leukosit jauh
lebih besar daripada eritrosit. Didalam 1 mm³ darah
terdapat sekitar 4-10 ribu sel darah putih. Sel darah putih
umurnya lebih pendek dari eritrosit yaitu 12-13 hari
(Surtiretna, 2007).
Ada 3 tipe utama sel darah putih yaitu : granulosit,
monosit dan limfosit. Granulosit, monosit berasal dari
sumsum tulang dan limfosit berasal dari kelenjar limfe.
Persentase masing-masing sel adalah 70%, 10%, dan
20% dari semua sel darah putih (Surtiretna, 2007).
3) Keping Darah
Keping darah disebut juga trombosit. Trombosit
berbentuk tidak teratur dan berukuran lebih kecil daripada
sel darah merah. Trombosit berperan dalam proses
hemostasis. Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi
ke seluruh tubuh melalui aliran darah tanpa menempel di
sel-sel endovaskular.
sel
Trombosit merupakan fragmen
sumsum tulang berperan penting dalam proses
7
pengendalian perdarahan. Selain itu, sel-sel ini sering
bekerja sama dengan sel darah putih dalam proses
peradangan dan penyembuhan (Corwin, 2009).
Darah merupakan faktor penting dalam tubuh manusia
karena manusia berasal dari segumpal darah sesuai dengan yang
tercantum dalam Surat Al-Alaq: 2
Artinya : “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah” (Q.S. Al-Alaq : 2).
Fungsi darah secara umum adalah mengangkut sari-sari
makanan dari usus ke jaringan tubuh, darah bekerja sebagai
system pengangkutan (sirkulasi, distribusi, dan transportasi) dan
mengantarkan semua bahan kimia, pengantar energy panas dari
tempat aktif untuk menjaga suhu tubuh atau sebagai respons
pengaktifan system imunitas, mengedar air ke seluruh tubuh dan
menjaga stabilitasnya, mengedarkan hormon (dari kelenjar
endokrin), enzim, dan zat aktif ke seluruh tubuh, trombosit
berperan dalam pembekuan darah, melindungi dari pendarahan
massif yang diakibatkan luka atau trauma (Hiru, 2013).
2. Laju Endap Darah
a. Pengertian Laju Endap Darah
Laju Endap Darah (LED), dalam bahasa Inggris
disebut Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) atau Blood
Sedimentation
Rate
(BSR)
adalah
pemeriksaan
untuk
menentukan kecepatan eritrosit mengendap dalam darah
yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu
tabung vertikal dalam waktu tertentu. LED pada umumnya
digunakan
untuk
mendeteksi
atau
memantau
adanya
kerusakan jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya
8
penyakit (bukan tingkat keparahan) baik akut maupun kronis,
sehingga pemeriksaan LED bersifat tidak spesifik tetapi
beberapa dokter masih menggunakan pemeriksaan LED
untuk membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit
sebagai pemeriksaan skrinning (penyaring) dan memantau
berbagai macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan dan
berbagai penyakit yang berdampak pada protein plasma
(Nugraha, 2015).
LED
atau
juga
biasa
disebut
Erithrocyte
Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan endap
eritrosit,
menggambarkan
komposisi
plasma
serta
perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh
berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi
(Kemenkes, 2011).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Laju Endap Darah
1) Faktor Eritrosit
a) Jumlah eritrosit kurang dari normal.
b) Ukuran eritrosit yang lebih besar dari ukuran normal,
sehingga lebih mudah atau cepat membentuk rouleax.
2) Faktor Plasma
a) Peningkatan kadar fibrinogen dalam darah akan
mempercepat pembentukan rouleax.
b) Peningkatan
jumlah
leukosit
(sel
darah
putih)
biasanya terjadi pada proses infeksi akut maupun
kronis.
3) Faktor Teknik Pemeriksaan
a) Tabung pemeriksaan digoyang atau bergetar akan
mempercepat pengendapan.
b) Suhu saat pemeriksaan lebih tinggi dari suhu ideal
(˃20oC) akan mempercepat pengendapan.
9
Pemeriksaan LED sering dilakukan untuk membantu
menetapkan adanya TB dan mengevaluasi hasil pengobatan
atau proses penyembuhan selama dan setelah pengobatan.
Pemeriksaan LED dilakukan dengan mengukur kecepatan
mengendap sel darah dalam pipet khusus (pipet westergren),
pada orang normal nilai LED dibawah 20 mm/jam. Pada
penderita TB nilai LED biasanya meningkat, pada proses
penyembuhan nilai LED akan turun. Penilaian hasil LED harus
hati-hati, karena hasil LED juga dapat meningkat pada
penyakit infeksi bukan TBC (Labbiomed-Tuberkulosis, 2015).
c. Proses pengendapan darah
Darah dengan antikoagulan dalam tabung LED yang
dibiarkan tegak lurus dalam waktu tertentu akan mengalami
pemisahan sehingga menjadi dua lapisan, lapisan atas berupa
plasma dan lapisan bawah berupa eritrosit. Pemisahan
tersebut ditentukan oleh masa jenis eritrosit yang dipengaruhi
oleh komposisi plasma. Proses pengendapan darah tersebut
terjadi dalam tiga tahap:
1) Tahap pertama pembentukan rouleaux, sel-sel eritrosit
mengalami agregasi dan membentuk tumpukan dengan
kecepatan pengendapan darah lambat yang berlangsung
dalam waktu 10 menit.
2) Tahap kedua proses sedimentasi, eritrosit akan mengalami
pengendapan lebih cepat dan konstan yang berlangsung
selama 40 menit, kecepatan sedimentasi tergantung pada
tahap agregasi, semakin besar pembentukan rouleaux
maka semakin tinggi kecepatan sedimentasi.
3) Tahap ketiga adalah tahap pemadatan, eritrosit yang
mengendap akan mengisi celah-celah atau ruang kosong
pada tumpukan eritosit lain dibawah tabung hingga eritrosit
10
benar-benar
memadat
dan
terakumulasi,
tahap
ini
berlangsung selama 10 menit dengan kecepatan lambat.
d. Nilai normal LED
Nilai normal untuk Bayi baru lahir, anak-anak, dan
dewasa berbeda-beda, diantaranya:
1) Bayi Baru Lahir
: 0 – 2 mm/jam
2) Anak
: 0 – 10 mm/jam
3) Orang dewasa Metode Westergreen
:
a) Pria dewasa <50 thn
: 0 – 15 mm/jam
b) Pria dewasa >50thn
: 0 – 20 mm/jam
c) Wanita dewasa <50 thn
: 0 – 20 mm/jam
d) Wanita dewasa ˃50 thn
: 0 – 30 mm/jam
4) Orang dewasa Metode Wintrobe
:
a) Pria dewasa <50 thn
: 0 – 9 mm/jam
b) Pria dewasa ˃50 thn
: 0 – 9 mm/jam
c) Wanita dewasa <50 thn
: 0 – 15 mm/jam
d) Wanita dewasa ˃50 thn
: 0 – 15 mm/jam
(Nugraha, 2015)
e. Metode pemeriksaan LED
1) Metode Westergreen
Tabung Westergreen memiliki panjang kurang
lebih 300 mm dengan diameter dalam tabung kurang lebih
2,6 mm dengan kedua ujung tabung berlubang dan
memiliki skala 0-200 mm dengan interval skala 0,2 mm.
2) Metode Wintrobe
Tabung wintrobe memiliki bentuk hampir sama
dengan tabung sahli dengan panjang kurang lebih 110
mm dan diameter 2,5 mm dan berskala 0-10 mm dengan
interval skala 1 mm (Nugraha, 2015).
11
f.
Antikoagulan Na Sitrat 3,8 %
Natrium sitrat atau trisodium citrate dihidrat
memiliki
rumus kimia Na3C6H5O7.2H2O yang merupakan salah satu
antikoagulan tidak toksik. Natrium sitrat digunakan dalam
bentuk
larutan
pada
konsentrasi
3,8%.
Natrium
sitrat
menghambat koagulasi dengan cara mengendapkan ion
kalsium, sehingga menjadi bentuk yang tidak aktif. Natrium
sitrat 3,8% digunakan dalam pemeriksaan Laju Endap Darah
(LED) metode westergreen, penggunaanya adalah 1 bagian
natrium sitrat 3,8% dimasukkan ke dalam 4 bagian darah.
Darah
yang
didapat
harus
segera
dilakukan
pencampuran dengan antikoagulan natrium sitrat untuk
mencegah terjadinya koagulasi dan bekuan darah dalam
spesimen
yang
memberikan
hasil
invalid
terhadap
pemeriksaan koagulasi. Pencampuran dilakukan dengan cara
inversi sebanyak 4 sampai 5 kali secara lembut dan perlahan,
pencampuran yang dilakukan secara berulang-ulang dan
terlalu kuat menyebabkan trombosit akan saling menggumpal
dan mempersingkat waktu pembekuan (Nugraha, 2015).
3. Tuberkulosis Paru (TB Paru)
a. Pengertian
Tuberkulosis Paru ialah suatu infeksi kronik jaringan
paru, yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Gejalagejala yang ditimbulkan tergantung stadium penyakitnya.
Infeksi primer pada penderita muda atau anak-anak ditandai
dengan fokus kecil pada salah satu paru (disebut fokus primer
= primary focus), yang hanya dapat dilihat dengan foto toraks
akan tetapi tidak menyebabkan kelainan pada pemeriksaan
jasmani baik perkusi maupun askultasi (Sibuea, 2005).
12
b. Etiologi
Kuman penyebab penyakit Tuberkulosis ditemukan
pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1822. M.
tuberculosis, M. africanum, dan M. bovis menyebabkan
penyakit Tuberkulosis pada manusia. M. tuberculosis dan M.
africanum berasal dari manusia sedangkan M. bovis berasal
dari lembu/sapi (Misnadiarly, 2006 ).
Bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab
penyakit Tuberkulosis paru. Kuman tersebut mempunyai
ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang
tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak
mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat)
(Widoyono, 2008).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan
alkohol, sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman Tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan
dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri Tuberkulosis ini
mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60oC selama 30 menit,dan dengan alkohol 7095% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di
udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa
berbulan-bulan),namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran
udara (Widoyono, 2008).
c. Penularan Penyakit
Penularan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis melalui udara (droplet nuclei) saat
seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang
mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat
13
berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur
dan terhisap ke dalam paru orang sehat, dan masa
inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008). Sehingga
kita
harus
menggunakan
etika
ketika
bersin
untuk
meminimalisir terjadinya penularan penyakit Tuberkulosis
Paru, hal tersebut sesuai dengan Hadits Rasulullah yang
artinya : “Tatkala Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan
mengecilkan suaranya” (H.R Abu Dawud).
Bila penderita baru pertama kali ketularan kuman
Tuberkulosis ini, terjadilah suatu proses didalam tubuhnya
(paru-paru) yang disebut Primary Complex of Tuberculosis
(PCT). PCT ini terdiri dari fokus di paru-paru dimana terjadi
eksudasi
dari
sel
karena
proses
dimakannya
kuman
Tuberkulosis oleh sel makropag (Misnadiarly, 2006).
Lesi dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang
disebabkan karena lepasnya kuman pada saluran lymphe.
Proses pemusnahan kuman TB oleh makropag ini akhirnya
akan menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman
Tuberkulosis (Misnadiarly, 2006).
Setiap satu BTA Positif akan menularkan kepada 1015 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk
tertular
Tuberkulosis
adalah
17%.
Hasil
studi
lainnya
melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga
serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak
biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2008).
d. Gejala Tuberkulosis
1) Gejala Utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga)
minggu atau lebih.
14
2) Gejala Tambahan, yang sering dijumpai:
a) Dahak bercampur darah
b) Batuk darah
c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada
d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang
lebih dari sebulan (Departemen Kesehatan, 2002).
Gejala-gejala tersebut berlangsung dalam beberapa
minggu, berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang (terutama pada
usia lanjut) tak terdapat keluhan sama sekali walaupun
dahaknya menular (Sibuea, 2005).
e. Patogenesis
1) Tuberkulosis Primer
Kuman Tuberkulosis yang masuk melalui saluran
nafas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan
terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut primer
atau efek primer. Kompleks primer ini akan mengalami
sebagai berikut:
a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama
sekali.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas.
c) Menyebar dengan cara:
(1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.
(2) Penyebaran
secara
bronkogen,
baik
diparu
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan.
(3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh,
jumlah
dan
virulensi
kuman.
Sarang
yang
ditimbulkan spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
15
imuniti yang adekuat, penyebaran ini menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier,
meningitis tuberculosis, thypobacillosis landouzy.
Penyebaran
ini
juga
dapat
menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia, dsb.
d) Komplikasi dan penyebaran ini mungkin akan berakhir
dengan:
(1) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan
terbelakang
pada
anak
setelah
mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma)
(2) Meninggal.
Semua
kejadian
diatas
adalah
perjalanan Tuberkulosis primer
2) Tuberkulosis Post primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian setelah tuberkulosis primer. Tuberkulosis post
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak disegmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior (Perhimpunan dokter paru Indonesia, 2006).
f.
Klasifikasi Penyakit
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a) Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru
dibagi dalam:
(1) Tuberkulosis Paru BTA Positif, yaitu :
(a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA Positif.
(b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan
foto
rontgen
dada
gambaran tuberkulosis aktif.
menunjukkan
16
(2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan
3
spesimen
dahak
SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB
Paru
BTA
negatif
rontgen
positif
dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya
proses “far advanced” atau milier), dan atau
keadaan umum penderita buruk.
b) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung
(pericardium),
kelenjar
lymfe,
tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin,
dll.
Tuberkulosis
ekstra
paru
dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
(1) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
(2) TB Ekstra Paru Berat
Misalnya:
meningitis,
millier,
perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang
belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin (Depkes, 2002).
2) Berdasarkan tipe pasien
a) Kasus Baru, adalah pasien yang belum mendapat
pengobatan dengan OAT kurang dari satu bulan.
17
b) Kasus kambuh, adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya
pernah
mendapat
pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif
tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan:
(1) Lesi
non
tuberkulosis
(pneumonia,
jamur,
keganasan dll).
(2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter
spesialis yang berkompeten menangani kasus
tuberkulosis.
(3) Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang
mengalami pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya gagal.
(4) Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih
tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau akhir pengobatan.
(5) Kasus
kronik,
adalah
pasien
dengan
hasil
pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik.
(6) Kasus bekas TB:
(a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga
negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap.
18
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
(b) Pada
kasus
dengan
gambaran
radiologi
meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak
ada perubahan gambaran radiologi.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
g. Pemeriksaan BTA
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis,
menilai
keberhasilan
pengobatan
dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-PagiSewaktu (SPS):
a) S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga
pasien TB datang berkunjung pertama kali ke
fasyankes.
Pada
saat
pulang,
terduga
pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung
dahak pagi pada hari kedua.
b) P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
c) S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
2) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan
Mycobacterium
biakan
tuberculosis
untuk
identifikasi
dimaksudkan
untuk
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal:
19
a)
Pasien TB ekstra paru.
b)
Pasien TB anak.
c)
Pasien
TB
dengan
hasil
pemeriksaan
dahak
mikroskopis langsung BTA negatif
Pemeriksaan
laboratorium
tersebut
yang
dilakukan
terpantau
di
mutunya.
sarana
Apabila
dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes
cepat
yang
direkomendasikan
WHO
maka
untuk
memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan
tes cepat tersebut (Kemenkes, 2014).
h. Pembacaan BTA:
1) Cari lebih dahulu lapang pandang dengan objektif 10x.
2) Teteskan satu tetes minyak emersi diatas hapusan dahak.
3) Periksa dengan menggunakan lensa okuler 10x dan
objektif 100x.
4) Carilah
Basil Tahan
Asam
(BTA) yang
berbentuk
berwarna merah.
5) Periksa paling sedikit 100 lapang pandang atau dalam
waktu kurang lebih 10 menit, dengan cara menggeserkan
sediaan menurut arah.
6) Sediaan dahak yang telah diperiksa kemudian direndam
dalam xylol selama 15-30 menit untuk membersihkan
minyak imersi, lalu disimpan dalam kotak sediaan
(Depkes, 2002).
20
i.
Interpretasi hasil BTA
Tabel 2.1 Interpretasi hasil pemeriksaan BTA
skala IUATLD
Hasil Pemeriksaan Mikroskopis
Hasil
Tidak ditemukan BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang
pandang
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang
pandang
Negatif
Ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
+ (+1)
++ (+2)
+++ (+3)
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006)
j.
Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA
positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan
pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan
hasilnya lama (Widoyono, 2008).
Sementara diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada
organ yang terkena Misalnya nyeri dada terdapat pada TB
pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang pada
Sponsdilitis
TB.
Seorang
penderita
TB
ekstra
paru
kemungkinan besar juga menderita TB paru, oleh karena itu
perlu dilakukan pemeriksaan dahak dan foto rontgen dada.
k. Pemeriksaan penunjang
1) Uji Tuberkulin
Uji
ini
dilakukan
dengan
cara
Mantoux
(penyuntikan dengan cara intra kutan) dengan jarum
tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai
adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Diukur
21
diameter transversal dari indurasi yang terjadi, ukuran
dinyatakan dalam millimeter. Pembacaan dilakukan 48-72
jam setelah penyuntikan (Departemen Kesehatan, 2002).
2) Pemeriksaan Darah
a) Leukosit sedikit meninggi
Bertambahnya
dengan
fungsinya
jumlah
sebagai
leukosit
berkaitan
pertahanan
tubuh
(Kemenkes, 2009).
b) LED meningkat
Nilai LED dapat digunakan sebagia indikator
penyembuhan pasien, LED sering meningkat pada
pasien
aktif,
menyingkirkan
tetapi
LED
tuberkulosis
yang
normal
(Perhimpunan
tidak
Dokter
Paru Indonesia, 2006).
3) Pemeriksaan Mikrobiologi dan Serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lagsung
dilakukan dari bilasan lambung. Pemeriksaan BTA secara
biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru
untuk mendeteksi kuman TB dengan cara PCR (Polymery
Chain Reaction) atau Bactec masih belum dapat dipakai
dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis
seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian
dalam klinis praktis (Depkes RI, 2002).
4) Analisis Cairan Pleura
Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu
pemeriksaan analisis cairan pleura dan Uji Rivalta cairan
pleura pada pasien efusi pleura. Interpretasi hasil
menunjukkan uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,
serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah.
22
5) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks. Pada kasus
dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif foto toraks
tidak diperlukan lagi.
l.
Pengobatan Tuberkulosis
Obat
Anti
Tuberkulosis
(OAT)
digunakan
untuk
pengobatan tuberkulosis dengan metode directly observed
treatment shortcouse (DOTS).
1) Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TB baru.
2) Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien
ulangan (pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal
atau pasien yang kambuh).
3) Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan
BTA (-), Ro (+).
4) Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada
pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan
kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+)
Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan
pagi (Widoyono, 2008).
23
B. Kerangka Konsep
Pasien Terdiagnosa
Tuberkulosis Paru
Pemeriksaan Dahak BTA
Positif
Pemeriksaan Laju Endap
Darah
Normal
Laki-laki
: 0-15 mm/jam
Perempuan : 0-20 mm/jam
Tinggi
Laki-laki
Perempuan : > 20 mm/jam
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
la
la
: > 15 mm/jam
DAFTAR PUSTAKA
Al Hikmah. (2010) Al Qur’an terjemahan. Bandung : CV Penerbit
Dipenogoro.
Anonim.
(2015)
Tuberkulosis.
Available
from
:
http://www.labbiomed.co.id/index.php/article/24-tuberkulosis.
[accessed 28 Desember 2015].
Bakta I Made. (2012) Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Bimantara, Galuh. (2016) Tuberkulosis di Indonesia Terbanyak Kedua di
Dunia.
Available
from
:
http://print.kompas.com/baca/2016/03/24/Tuberkulosis-diIndonesia-Terbanyak-Kedua-di-Dunia.
[accessed
02
Agustus
2016].
Corwin, Elizabeth J. (2009) Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Depkes. (2002) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gandasoebrata, R. (2010) Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta Timur :
Dian Rakyat Nugraha.
H.R Abu Dawud dalam Muawiah. (2010) Adab-adab ketika bersin.
Available
from
:
http://al-atsariyyah.com/adab-adab-ketika-
bersin.html. [accessed 28 Desember 2015].
Hiru, D. (2013) Live Blood Analysis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kemenkes. (2009) NO. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulan Tuberkulosis (TB).
Kemenkes. (2011) Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementerian
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan.
Kemenkes. (2014) Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
34
35
Misnadiarly.
(2006)
Pemeriksaan
Laboratorium
Tuberkulosis
dan
Mikrobakterium Atipik. Jakarta : Dian Rakyat.
Nugraha Gilang. (2015) Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Dasar. Jakarta : Trans Info Media.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006) Tuberkulosis, Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
[accessed
28
Desember 2015].
Sibuea Herdin. (2005) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Rineka Cipta.
Surtiretna. (2007) Mengenal Sistem Peredarah Darah. Bandung :
Wahana IPTEK.
Wiarto. Giri (2014) Mengenal Fungsi Tubuh Manusia. Yogyakarta :
Gosyen Publishing.
Widoyono. (2008) Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya. Surabaya : Erlangga.
Download