GAMBARAN NILAI LAJU ENDAP DARAH PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN BTA POSITIF DI RSUD CIAMIS TAHUN 2016 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan pada Program Studi D3 Analis Kesehatan Oleh: MELHAX RAHMALILAH NIM. 13DA277027 PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN NILAI LAJU ENDAP DARAH PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN BTA POSITIF DI RSUD CIAMIS TAHUN 20161 Melhax Rahmalilah2 Minceu Sumirah3Atun Farihatun4 INTISARI Laju Endap Darah (LED) adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit dalam darah yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu tabung vertikal dalam waktu tertentu. Nilai Laju Endap Darah digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA Positif di RSUD Ciamis tahun 2016. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode westergreen. Penelitian ini menggunakan data primer dengan cara memeriksa langsung sample darah, dan hasil dari penelitian disajikan dalam bentuk tabel. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 15 sampel pemeriksaan Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis paru dengan BTA positif nilai Laju Endap Darah berbeda karena perbedaan pada bulan pengobatan. Nilai tertinggi terdapat pada pengobatan bulan ke 1 dengan hasil 76 mm/jam dengan hasil BTA positif 2 dan nilai terendah terdapat pada pengobatan bulan ke 6 dengan hasil 8 mm/jam dengan hasil BTA positif 1. Kata kunci : Laju Endap Darah, Tuberkulosis Paru, BTA. Kepustakaan : 14 (2002-2016) Keterangan : 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II iv THE VALUE REPRESENTATION BLOOD SEDIMENTATION RATE IN PEOPLE WITH PULMONARY TUBERCULOSIS WITH BTA POSITIVE IN RSUD CIAMIS YEAR 20161 Melhax Rahmalilah2 Minceu Sumirah3Atun Farihatun4 ABSTRACT Blood Sedimentation Rate (BSR) is an examination to determine the speed of the erythrocytes in the blood that is not frozen (blood containing anticoagulant) at a certain time in a vertical tube. Blood Sedimentation Rate value on Pulmonary Tuberculosis value used as an indicator of a patient's healing. This research was conducted to find out Blood Sedimentation Rate value in people with Pulmonary Tuberculosis with SMEAR positive RSUD Ciamis year 2016. Method used in this research is a method westergreen. The research of using primary data by way of check directly a blood sample, and the results of the research are presented in the form of a table. Based on the results of research on 15 sample examination Blood Sedimentation Rate in people with pulmonary tuberculosis with BTApositive that Blood Sedimentation Rate value different because of differences in treatment. The highest value is present on the moon to the treatment of 1 with 76 mm/h results with the results of positive 2 BTA and the lowest value is present on the 6th month of treatment with the results of the 8 mm/h with result positive 1 BTA. Keywords Library Information : Blood Sedimentation Rate, Pulmonary Tuberculosis, BTA : 14 (2002-2016) : 1 Title, 2 Student’s Name, 3 Supervisor’s Name 1, 4 Supervisor’s Name 2 v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : pembawa oksigen (oxygen carrier), mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi, dan mekanisme hemostasis (Bakta, 2012). Darah tersusun diantaranya dari : sel-sel darah yang terdiri atas eritrosit (sel darah merah) yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dan mengikat karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru, leukosit (sel darah putih) yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan berkaitan dengan sistem imunitas, trombosit yaitu sel yang bergranula yang membentuk agregat di tempat cidera pembuluh darah yang berfungsi sangat penting pada pembekuan darah. Plasma darah, adalah suatu cairan yang berwarna kuning yang membentuk sekitar 5% dari berat badan (Wiarto, 2014). Laju Endap Darah (LED), dalam bahasa Inggris disebut Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) atau Blood Sedimentation Rate (BSR) adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit dalam darah yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu tabung vertikal dalam waktu tertentu. LED pada umumnya digunakan untuk mendeteksi atau memantau adanya kerusakan jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya penyakit (bukan tingkat keparahan) baik akut maupun kronis, sehingga pemeriksaan LED bersifat tidak spesifik tetapi beberapa dokter masih menggunakan pemeriksaan LED untuk membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit sebagai pemeriksaan skrinning (penyaring) dan memantau berbagai macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan 1 2 dan berbagai penyakit yang berdampak pada protein plasma (Nugraha, 2015). Nilai LED dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien, LED sering meningkat pada pasien aktif, tetapi LED yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Tuberkulosis paru ialah suatu infeksi kronik jaringan paru, yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung stadium penyakitnya. Infeksi primer pada penderita muda atau anak-anak ditandai dengan fokus kecil pada salah satu paru (disebut focus primer = primary focus). Diagnosa dapat dilakukan dengan melakukan foto toraks untuk mengetahui kelainan yang terjadi dalam paru sehingga dapat diketahui upaya pengobatannya (Sibuea, 2005). Seperti yang tercantum dalam Surat Yunus: 57 Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yunus : 57). Pemeriksaan laboratorium ditemukan Basil Tahan Asam (BTA). Laju Endap Darah (LED) meninggi, pada kasus yang lebih berat kadang-kadang dalam darah perifer terlihat sel leukosit bentuk batang dan proses pembentukan granuloma ditandai oleh monositisis (Sibuea, 2005). Pada tahun 2016, Indonesia merupakan negara ke dua di dunia dengan jumlah penderita Tuberkulosis Paru diperkirakan 1 juta kasus/tahun (Bimantara, 2016). Pada tahun 2010 di Kabupaten Ciamis jumlah total kasus Tuberkulosis Paru yang di temukan 3 sebanyak 1.069, pada tahun 2011 jumlah total kasus Tuberkulosis Paru mengalami peningkatan sebanyak 1.306, pada tahun 2012 jumlah total kasus Tuberkulosis Paru sebanyak 1.463, pada tahun 2013 jumlah total kasus Tuberkulosis Paru mengalami peningkatan sebanyak 1.601, pada tahun 2014 jumlah total kasus mengalami penurunan sebanyak 1.189, dan pada tahun 2015 sampai dengan triwulan III sebanyak 845 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, 2015). Dengan adanya data tersebut peneliti ingin mengetahui Gambaran nilai LED pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA Positif di RSUD Ciamis tahun 2016. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut “ Bagaimanakah Gambaran nilai Laju Endap Darah (LED) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif di RSUD Ciamis tahun 2016? “ C. Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran nilai LED pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA Positif di RSUD Ciamis tahun 2016. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang keterampilan dalam melakukan pemeriksaan Laju Endap Darah. 2. Bagi Tenaga Laboratorium Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA Positif. 4 3. Bagi masyarakat Memberi informasi kepada masyarakat mengenai gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian Nurfitri Q. M (2014) yang berjudul “Gambaran nilai Laju Endap Darah pada penderita Tuberkulosis Paru pengobatan bulan ke enam di RSUD Kabupaten Ciamis”, perbedaannya terletak pada variabel yang di periksa yaitu pada penderita TB Paru pada hasil pemeriksaan dahak BTA positif, dan letak persamaannya pada pemeriksaan LED. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar 1. Darah Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu : bahan intraseluler atau plasma dan didalamnya terdapat unsur- unsur padat atau sel darah. Volume darah secara keseluruhan yaitu satu per dua belas berat badan atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55% nya adalah cairan, sedangkan 45% sisanya terdiri atas sel darah (Pearce, 2011). Susunan darah terdiri dari plasma darah dan sel-sel darah (Eritrosit atau sel darah merah, leukosit atau sel darah putih, dan trombosit atau keping darah). a. Plasma Darah Plasma darah merupakan bagian penyusun darah yang terbesar. Kira-kira 90% dari plasma darah manusia adalah air dan 10% sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sampah metabolisme, nutrien, vitamin, dan kolesterol (Corwin, 2009). Plasma darah bekerja sebagai medium atau perantara untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa, dan asam amino ke jaringan. Juga sebagai medium untuk mengangkut bahan buangan seperti urea, asam urat, dan sebagian dari karbondioksida (Pearce, 2011). b. Sel-sel darah. Sel-sel darah terdiri dari tiga jenis : sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah. 1) Sel Darah Merah Sel darah merah disebut juga eritrosit. Eritrosit berbentuk bundar, pipih, agak cekung pada kedua 5 6 permukaannya dan tidak memiliki inti sel, mitokondria, atau ribosom dengan diameter 8,6 µm. Sel darah merah berwarna merah karena didalamnya terdapat hemoglobin yaitu protein yang mengandung unsur besi (Corwin, 2009). Setiap mm³ darah manusia mengandung sekitar 46 juta sel darah merah atau 25 miliar sel darah merah didalam darah orang dewasa. Bagian tubuh yang membentuk sel darah merah adalah hati, kelenjar limfe, dan sumsum tulang yang berbentuk pipa. Umur eritrosit selama 74-154 hari (Gibson, 2003; Surtiretna, 2007). 2) Sel Darah Putih Sel darah putih disebut juga leukosit. Leukosit berbentuk tidak tetap dan berinti. Ukuran leukosit jauh lebih besar daripada eritrosit. Didalam 1 mm³ darah terdapat sekitar 4-10 ribu sel darah putih. Sel darah putih umurnya lebih pendek dari eritrosit yaitu 12-13 hari (Surtiretna, 2007). Ada 3 tipe utama sel darah putih yaitu : granulosit, monosit dan limfosit. Granulosit, monosit berasal dari sumsum tulang dan limfosit berasal dari kelenjar limfe. Persentase masing-masing sel adalah 70%, 10%, dan 20% dari semua sel darah putih (Surtiretna, 2007). 3) Keping Darah Keping darah disebut juga trombosit. Trombosit berbentuk tidak teratur dan berukuran lebih kecil daripada sel darah merah. Trombosit berperan dalam proses hemostasis. Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui aliran darah tanpa menempel di sel-sel endovaskular. sel Trombosit merupakan fragmen sumsum tulang berperan penting dalam proses 7 pengendalian perdarahan. Selain itu, sel-sel ini sering bekerja sama dengan sel darah putih dalam proses peradangan dan penyembuhan (Corwin, 2009). Darah merupakan faktor penting dalam tubuh manusia karena manusia berasal dari segumpal darah sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Al-Alaq: 2 Artinya : “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (Q.S. Al-Alaq : 2). Fungsi darah secara umum adalah mengangkut sari-sari makanan dari usus ke jaringan tubuh, darah bekerja sebagai system pengangkutan (sirkulasi, distribusi, dan transportasi) dan mengantarkan semua bahan kimia, pengantar energy panas dari tempat aktif untuk menjaga suhu tubuh atau sebagai respons pengaktifan system imunitas, mengedar air ke seluruh tubuh dan menjaga stabilitasnya, mengedarkan hormon (dari kelenjar endokrin), enzim, dan zat aktif ke seluruh tubuh, trombosit berperan dalam pembekuan darah, melindungi dari pendarahan massif yang diakibatkan luka atau trauma (Hiru, 2013). 2. Laju Endap Darah a. Pengertian Laju Endap Darah Laju Endap Darah (LED), dalam bahasa Inggris disebut Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) atau Blood Sedimentation Rate (BSR) adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit mengendap dalam darah yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu tabung vertikal dalam waktu tertentu. LED pada umumnya digunakan untuk mendeteksi atau memantau adanya kerusakan jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya 8 penyakit (bukan tingkat keparahan) baik akut maupun kronis, sehingga pemeriksaan LED bersifat tidak spesifik tetapi beberapa dokter masih menggunakan pemeriksaan LED untuk membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit sebagai pemeriksaan skrinning (penyaring) dan memantau berbagai macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan dan berbagai penyakit yang berdampak pada protein plasma (Nugraha, 2015). LED atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi (Kemenkes, 2011). b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Laju Endap Darah 1) Faktor Eritrosit a) Jumlah eritrosit kurang dari normal. b) Ukuran eritrosit yang lebih besar dari ukuran normal, sehingga lebih mudah atau cepat membentuk rouleax. 2) Faktor Plasma a) Peningkatan kadar fibrinogen dalam darah akan mempercepat pembentukan rouleax. b) Peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih) biasanya terjadi pada proses infeksi akut maupun kronis. 3) Faktor Teknik Pemeriksaan a) Tabung pemeriksaan digoyang atau bergetar akan mempercepat pengendapan. b) Suhu saat pemeriksaan lebih tinggi dari suhu ideal (˃20oC) akan mempercepat pengendapan. 9 Pemeriksaan LED sering dilakukan untuk membantu menetapkan adanya TB dan mengevaluasi hasil pengobatan atau proses penyembuhan selama dan setelah pengobatan. Pemeriksaan LED dilakukan dengan mengukur kecepatan mengendap sel darah dalam pipet khusus (pipet westergren), pada orang normal nilai LED dibawah 20 mm/jam. Pada penderita TB nilai LED biasanya meningkat, pada proses penyembuhan nilai LED akan turun. Penilaian hasil LED harus hati-hati, karena hasil LED juga dapat meningkat pada penyakit infeksi bukan TBC (Labbiomed-Tuberkulosis, 2015). c. Proses pengendapan darah Darah dengan antikoagulan dalam tabung LED yang dibiarkan tegak lurus dalam waktu tertentu akan mengalami pemisahan sehingga menjadi dua lapisan, lapisan atas berupa plasma dan lapisan bawah berupa eritrosit. Pemisahan tersebut ditentukan oleh masa jenis eritrosit yang dipengaruhi oleh komposisi plasma. Proses pengendapan darah tersebut terjadi dalam tiga tahap: 1) Tahap pertama pembentukan rouleaux, sel-sel eritrosit mengalami agregasi dan membentuk tumpukan dengan kecepatan pengendapan darah lambat yang berlangsung dalam waktu 10 menit. 2) Tahap kedua proses sedimentasi, eritrosit akan mengalami pengendapan lebih cepat dan konstan yang berlangsung selama 40 menit, kecepatan sedimentasi tergantung pada tahap agregasi, semakin besar pembentukan rouleaux maka semakin tinggi kecepatan sedimentasi. 3) Tahap ketiga adalah tahap pemadatan, eritrosit yang mengendap akan mengisi celah-celah atau ruang kosong pada tumpukan eritosit lain dibawah tabung hingga eritrosit 10 benar-benar memadat dan terakumulasi, tahap ini berlangsung selama 10 menit dengan kecepatan lambat. d. Nilai normal LED Nilai normal untuk Bayi baru lahir, anak-anak, dan dewasa berbeda-beda, diantaranya: 1) Bayi Baru Lahir : 0 – 2 mm/jam 2) Anak : 0 – 10 mm/jam 3) Orang dewasa Metode Westergreen : a) Pria dewasa <50 thn : 0 – 15 mm/jam b) Pria dewasa >50thn : 0 – 20 mm/jam c) Wanita dewasa <50 thn : 0 – 20 mm/jam d) Wanita dewasa ˃50 thn : 0 – 30 mm/jam 4) Orang dewasa Metode Wintrobe : a) Pria dewasa <50 thn : 0 – 9 mm/jam b) Pria dewasa ˃50 thn : 0 – 9 mm/jam c) Wanita dewasa <50 thn : 0 – 15 mm/jam d) Wanita dewasa ˃50 thn : 0 – 15 mm/jam (Nugraha, 2015) e. Metode pemeriksaan LED 1) Metode Westergreen Tabung Westergreen memiliki panjang kurang lebih 300 mm dengan diameter dalam tabung kurang lebih 2,6 mm dengan kedua ujung tabung berlubang dan memiliki skala 0-200 mm dengan interval skala 0,2 mm. 2) Metode Wintrobe Tabung wintrobe memiliki bentuk hampir sama dengan tabung sahli dengan panjang kurang lebih 110 mm dan diameter 2,5 mm dan berskala 0-10 mm dengan interval skala 1 mm (Nugraha, 2015). 11 f. Antikoagulan Na Sitrat 3,8 % Natrium sitrat atau trisodium citrate dihidrat memiliki rumus kimia Na3C6H5O7.2H2O yang merupakan salah satu antikoagulan tidak toksik. Natrium sitrat digunakan dalam bentuk larutan pada konsentrasi 3,8%. Natrium sitrat menghambat koagulasi dengan cara mengendapkan ion kalsium, sehingga menjadi bentuk yang tidak aktif. Natrium sitrat 3,8% digunakan dalam pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) metode westergreen, penggunaanya adalah 1 bagian natrium sitrat 3,8% dimasukkan ke dalam 4 bagian darah. Darah yang didapat harus segera dilakukan pencampuran dengan antikoagulan natrium sitrat untuk mencegah terjadinya koagulasi dan bekuan darah dalam spesimen yang memberikan hasil invalid terhadap pemeriksaan koagulasi. Pencampuran dilakukan dengan cara inversi sebanyak 4 sampai 5 kali secara lembut dan perlahan, pencampuran yang dilakukan secara berulang-ulang dan terlalu kuat menyebabkan trombosit akan saling menggumpal dan mempersingkat waktu pembekuan (Nugraha, 2015). 3. Tuberkulosis Paru (TB Paru) a. Pengertian Tuberkulosis Paru ialah suatu infeksi kronik jaringan paru, yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Gejalagejala yang ditimbulkan tergantung stadium penyakitnya. Infeksi primer pada penderita muda atau anak-anak ditandai dengan fokus kecil pada salah satu paru (disebut fokus primer = primary focus), yang hanya dapat dilihat dengan foto toraks akan tetapi tidak menyebabkan kelainan pada pemeriksaan jasmani baik perkusi maupun askultasi (Sibuea, 2005). 12 b. Etiologi Kuman penyebab penyakit Tuberkulosis ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1822. M. tuberculosis, M. africanum, dan M. bovis menyebabkan penyakit Tuberkulosis pada manusia. M. tuberculosis dan M. africanum berasal dari manusia sedangkan M. bovis berasal dari lembu/sapi (Misnadiarly, 2006 ). Bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab penyakit Tuberkulosis paru. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat) (Widoyono, 2008). Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri Tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit,dan dengan alkohol 7095% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan),namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara (Widoyono, 2008). c. Penularan Penyakit Penularan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat 13 berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat, dan masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008). Sehingga kita harus menggunakan etika ketika bersin untuk meminimalisir terjadinya penularan penyakit Tuberkulosis Paru, hal tersebut sesuai dengan Hadits Rasulullah yang artinya : “Tatkala Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan suaranya” (H.R Abu Dawud). Bila penderita baru pertama kali ketularan kuman Tuberkulosis ini, terjadilah suatu proses didalam tubuhnya (paru-paru) yang disebut Primary Complex of Tuberculosis (PCT). PCT ini terdiri dari fokus di paru-paru dimana terjadi eksudasi dari sel karena proses dimakannya kuman Tuberkulosis oleh sel makropag (Misnadiarly, 2006). Lesi dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang disebabkan karena lepasnya kuman pada saluran lymphe. Proses pemusnahan kuman TB oleh makropag ini akhirnya akan menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman Tuberkulosis (Misnadiarly, 2006). Setiap satu BTA Positif akan menularkan kepada 1015 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tuberkulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2008). d. Gejala Tuberkulosis 1) Gejala Utama Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. 14 2) Gejala Tambahan, yang sering dijumpai: a) Dahak bercampur darah b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Departemen Kesehatan, 2002). Gejala-gejala tersebut berlangsung dalam beberapa minggu, berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang (terutama pada usia lanjut) tak terdapat keluhan sama sekali walaupun dahaknya menular (Sibuea, 2005). e. Patogenesis 1) Tuberkulosis Primer Kuman Tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut primer atau efek primer. Kompleks primer ini akan mengalami sebagai berikut: a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali. b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas. c) Menyebar dengan cara: (1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. (2) Penyebaran secara bronkogen, baik diparu bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. (3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan spontan, akan tetapi bila tidak terdapat 15 imuniti yang adekuat, penyebaran ini menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis tuberculosis, thypobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia, dsb. d) Komplikasi dan penyebaran ini mungkin akan berakhir dengan: (1) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) (2) Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan Tuberkulosis primer 2) Tuberkulosis Post primer Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak disegmen apikal lobus superior maupun lobus inferior (Perhimpunan dokter paru Indonesia, 2006). f. Klasifikasi Penyakit 1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a) Tuberkulosis Paru Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam: (1) Tuberkulosis Paru BTA Positif, yaitu : (a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif. (b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada gambaran tuberkulosis aktif. menunjukkan 16 (2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau milier), dan atau keadaan umum penderita buruk. b) Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Tuberkulosis ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: (1) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. (2) TB Ekstra Paru Berat Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin (Depkes, 2002). 2) Berdasarkan tipe pasien a) Kasus Baru, adalah pasien yang belum mendapat pengobatan dengan OAT kurang dari satu bulan. 17 b) Kasus kambuh, adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan: (1) Lesi non tuberkulosis (pneumonia, jamur, keganasan dll). (2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis. (3) Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang mengalami pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya gagal. (4) Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. (5) Kasus kronik, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (6) Kasus bekas TB: (a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. 18 Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. (b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). g. Pemeriksaan BTA 1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-PagiSewaktu (SPS): a) S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. b) P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. c) S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. 2) Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan Mycobacterium biakan tuberculosis untuk identifikasi dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal: 19 a) Pasien TB ekstra paru. b) Pasien TB anak. c) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif Pemeriksaan laboratorium tersebut yang dilakukan terpantau di mutunya. sarana Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut (Kemenkes, 2014). h. Pembacaan BTA: 1) Cari lebih dahulu lapang pandang dengan objektif 10x. 2) Teteskan satu tetes minyak emersi diatas hapusan dahak. 3) Periksa dengan menggunakan lensa okuler 10x dan objektif 100x. 4) Carilah Basil Tahan Asam (BTA) yang berbentuk berwarna merah. 5) Periksa paling sedikit 100 lapang pandang atau dalam waktu kurang lebih 10 menit, dengan cara menggeserkan sediaan menurut arah. 6) Sediaan dahak yang telah diperiksa kemudian direndam dalam xylol selama 15-30 menit untuk membersihkan minyak imersi, lalu disimpan dalam kotak sediaan (Depkes, 2002). 20 i. Interpretasi hasil BTA Tabel 2.1 Interpretasi hasil pemeriksaan BTA skala IUATLD Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Hasil Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang Negatif Ditulis jumlah kuman yang ditemukan + (+1) ++ (+2) +++ (+3) Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) j. Diagnosa Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama (Widoyono, 2008). Sementara diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada organ yang terkena Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra paru kemungkinan besar juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak dan foto rontgen dada. k. Pemeriksaan penunjang 1) Uji Tuberkulin Uji ini dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan) dengan jarum tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Diukur 21 diameter transversal dari indurasi yang terjadi, ukuran dinyatakan dalam millimeter. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan (Departemen Kesehatan, 2002). 2) Pemeriksaan Darah a) Leukosit sedikit meninggi Bertambahnya dengan fungsinya jumlah sebagai leukosit berkaitan pertahanan tubuh (Kemenkes, 2009). b) LED meningkat Nilai LED dapat digunakan sebagia indikator penyembuhan pasien, LED sering meningkat pada pasien aktif, menyingkirkan tetapi LED tuberkulosis yang normal (Perhimpunan tidak Dokter Paru Indonesia, 2006). 3) Pemeriksaan Mikrobiologi dan Serologi Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lagsung dilakukan dari bilasan lambung. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TB dengan cara PCR (Polymery Chain Reaction) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2002). 4) Analisis Cairan Pleura Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu pemeriksaan analisis cairan pleura dan Uji Rivalta cairan pleura pada pasien efusi pleura. Interpretasi hasil menunjukkan uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 22 5) Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan standar adalah foto toraks. Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif foto toraks tidak diperlukan lagi. l. Pengobatan Tuberkulosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digunakan untuk pengobatan tuberkulosis dengan metode directly observed treatment shortcouse (DOTS). 1) Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TB baru. 2) Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh). 3) Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+). 4) Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+) Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan pagi (Widoyono, 2008). 23 B. Kerangka Konsep Pasien Terdiagnosa Tuberkulosis Paru Pemeriksaan Dahak BTA Positif Pemeriksaan Laju Endap Darah Normal Laki-laki : 0-15 mm/jam Perempuan : 0-20 mm/jam Tinggi Laki-laki Perempuan : > 20 mm/jam Gambar 2.2 Kerangka Konsep la la : > 15 mm/jam DAFTAR PUSTAKA Al Hikmah. (2010) Al Qur’an terjemahan. Bandung : CV Penerbit Dipenogoro. Anonim. (2015) Tuberkulosis. Available from : http://www.labbiomed.co.id/index.php/article/24-tuberkulosis. [accessed 28 Desember 2015]. Bakta I Made. (2012) Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC. Bimantara, Galuh. (2016) Tuberkulosis di Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia. Available from : http://print.kompas.com/baca/2016/03/24/Tuberkulosis-diIndonesia-Terbanyak-Kedua-di-Dunia. [accessed 02 Agustus 2016]. Corwin, Elizabeth J. (2009) Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC. Depkes. (2002) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Gandasoebrata, R. (2010) Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta Timur : Dian Rakyat Nugraha. H.R Abu Dawud dalam Muawiah. (2010) Adab-adab ketika bersin. Available from : http://al-atsariyyah.com/adab-adab-ketika- bersin.html. [accessed 28 Desember 2015]. Hiru, D. (2013) Live Blood Analysis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Kemenkes. (2009) NO. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulan Tuberkulosis (TB). Kemenkes. (2011) Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Kemenkes. (2014) Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 34 35 Misnadiarly. (2006) Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikrobakterium Atipik. Jakarta : Dian Rakyat. Nugraha Gilang. (2015) Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta : Trans Info Media. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006) Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from : http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html [accessed 28 Desember 2015]. Sibuea Herdin. (2005) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Rineka Cipta. Surtiretna. (2007) Mengenal Sistem Peredarah Darah. Bandung : Wahana IPTEK. Wiarto. Giri (2014) Mengenal Fungsi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Gosyen Publishing. Widoyono. (2008) Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Surabaya : Erlangga.