Budi Yuwono..indd

advertisement
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
Budi Yuwono
Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Visi Indonesia
Abstract
Zakat urgency for the majority of Muslims in Indonesia is not optimally understood as
one of the pillars of Islam. This urgency of zakat would complement with rewards if they do
rightly, though in other side, there will be sin when they left giving zakat. Through this statement they should be pursued through visual communication media to build the awareness
of zakat. However, to communicate the importance of zakat for Muslims, need approaches
that better targeted. In this paper, the author tries to analyze the zakat advertisement dissemination using the approaches of; Islamic Aesthetic, Advertisement, Beauty, and Semiotic.
The author used those variety approaches, because visual communication and advertising
cannot be separated from the aesthetic term.
To study the issues, the author observed it from the physical aesthetic and the signs
meaning. Communication messages which delivered visually in zakat social advertisement
should be concern by two important factors; first is about the delivery of the messages (visually and verbally), and the second is about the aesthetic of the visual messages. With those
factors, there would be an optimal zakat advertisement. So that the audience could feel the
awareness and they thoroughly change their behavior to be a good Muslim.
Kata Kunci: Islamic Aesthetic, Advertisement, Zakat, Semiotic
95
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Pendahuluan
Kesadaran berzakat bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia khususnya,
belum dipahami secara benar. Sehingga
dampaknya bagi sesama, seperti yang disiratkan dalam Al-Qur’an dan Hadits belum bisa dirasakan. Zakat masih dipahami
sebatas pemotongan harta sebesar 2,5%,
tak ubahnya seperti pengertian pungutan
pajak oleh pihak pemerintah. Mengingat
kendala tersebut diperlukan sebuah upaya
yang sungguh-sungguh untuk mengedukasi kaum muslimin agar sadar, bahwa
zakat adalah wajib hukumnya. Sosialisasi
zakat mengalami banyak benturan, karena
bersinggungan langsung dengan kepemilikan harta. Sementara itu, pengaruh gaya
hidup yang materialistis dan individualistis telah menumbuhsuburkan sifat egoisme dan mengubur dalam-dalam kepekaan sosial (social responsibility) terhadap
kondisi orang lain.
Zakat adalah salah satu dari lima
rukun Islam yang harus ditegakkan sebagai tiang agama. Yaitu Syahadat, Shalat,
Zakat, Puasa dan Haji. Rukun Islam dibagi menjadi dua yakni; Rukun Pribadi dan
Rukun Masyarakat. Rukun Pribadi adalah
Syahadat, Shalat, Puasa dan Haji. Sedangkan Rukun masyarakat hanya satu yakni
Zakat (Sudewo, 2004: xxix).
Pada prakteknya Rukun Pribadi dikerjakan karena yang menikmati
96
langsung adalah yang bersangkutan. Maka
secara fungsional, Syahadat, Shalat, Puasa
dan Haji dilakukan oleh dan untuk dirinya
sendiri sehingga dikatakan Rukun Pribadi. Sementara Rukun Masyarakat adalah ditunaikan untuk orang lain. Dalam
pelaksanannya zakat ternyata melibatkan
kehadiran pihak lain; dari muzaki (yang
memberi zakat), olah amil dan untuk mustahik. Karena melibatkan pihak lain yakni amil sebagai pengelola dan mustahik
sebagai penerima zakat, maka rukun ini
dikatakan menjadi Rukun Masyarakat.
Sebagian masyarakat muslim masih
menganggap zakat sebagai masalah sepele.
Sifat zakat memang bantuan. Istilah bantuan membentuk paradigma keliru bahwa
bantuan adalah pekerjaan sosial semata.
Karena sosial tak perlu dipikirkan serius
seperti muzaki menggeluti pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan sosial karenanya bisa
dikerjakan sambil lalu, santai dan tidak
perlu waktu khusus. Namana juga bantuan sosial. Ada bantuan saja sudah harus
bersyukur. Tak ada bantuan, toh kalangan
fakir miskin juga tak bisa menuntut. Jadi
jika dibantu apalagi dikerjakan sendiri, itu
sesuatu hal yang mulia sekali.
Dalam persepsi sosial, di sisi muzaki,
mereka memandang zakat sangat tidak berarti, karena besarannya hanya 2,5% dari
hartanya. Sementara mustahik, terutama
kalangan fakir miskin merupakan kalan-
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
gan yang mati-matian bertahan hidup.
Mereka berharap besar pada zakat agar
bisa merubah nasib. Bagi mustahik, zakat
merupakan golden bridge untuk lepas dari
kesulitan hidup. Hubungan ini jadi tidak
seimbang. Muzaki menanggap zakat merupakan hal yang amat ringan, sedang mustahik sangat mendambakan zakat (Sudewo, 2004: 11).
Aktivitas sosialisasi zakat bukanlah
kerja ringan, karena bukan saja diakibatkan pemahaman masyarakat tentang eksistensi zakat yang masih minim, tetapi
juga bagi masyarakat yang sudah tahupun masih belum tergerak hatinya untuk
menunaikan kewajiban tersebut. Bahkan
akan terasa lebih susah memberi tahu
orang yang sudah tahu, dibanding orang
yang belum tahu. Upaya sosialisasi zakat
dengan hanya mengandalkan ceramah
para ustadz, kyai, atau para penyeru kebenaran lainnya yang sering dilakukan dari
atas mimbar, ternyata dewasa ini sudah
kurang relevan lagi. Karena biasanya hanya bersifat temporer, sadar zakat hanya
ketika berada dalam pengajian saja, tetapi
ketika kembali ke dalam aktivitas kesehariannya maka kesadaran tersebut sudah
hilang. Kesadaran tersebut baru berhenti dalam tahap nalar dan belum sampai
mengetuk pintu hati.
Ketika mengaitkan ranah seni dengan ranah religi, ada satu ungkapan yang
sangat menarik. Bahwa ”seni bukan untuk
dimengerti, tapi untuk dirasakan”. Dalam
pengertian lain, karya seni akan banyak
bersinggungan dengan ’hati’ dibanding
dengan ’otak’. Statemen di atas dapat dikatakan menarik karena sebenarnya seorang seniman dalam menciptakan karyanya juga melibatkan aktifitas otak dan
pikirannya. Namun, memang jika ditilik
prosentasenya bisa jadi peran rasa (baca:
hati) lebih dominan. Dalam sebuah hadits yang cukup populer disebutkan: ”Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia
terdapat segumpal daging. Jika ia baik,
maka baik pula seluruh jasadnya dan jika
ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu
adalah hati” (Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim). Di sinilah peran disainer grafis
untuk dapat menegur dan mengingatkan
manusia tentang pentingnya kedermawanan (filantropi) dengan bahasa ’hati’ dan
bukan dengan bahasa ’otak’.
Sosialisai zakat yang merupakan wujud kepedulian terhadap sesama, perlu
dikemas dalam bahasa verbal dan visual
yang mampu menjangkau ke lubuk hati
yang paling dalam. Sehingga ketika seseorang menunaikan zakat, tidak lagi dengan
perasaan terpaksa karena sifatnya yang
wajib. Tapi sudah menjadi suatu kebutuhan, karena dorongan endapan kesadaran
yang paling dasar. Iklan adalah sarana yang
97
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
paling memungkinkan untuk melakukan tugas mulia tersebut. Karena saat ini
iklan diyakini mampu menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, khususnya untuk
produk-produk konsumtif. Akan tetapi
kebebasan berkreasi dalam iklan untuk
membujuk sasaran bukanlah kebebasan
yang absolut. Karena banyak faktor yang
mempengaruhi efektifitas sebuah iklan.
Hal paling mendasar yang harus diketahui
oleh pengiklan adalah karakteristik target
sasaran. Salah mendefinisikan sasaran,
maka akan menuai akibat yang fatal.
Mengingat sosialisasi zakat ditujukan
pada umat Islam yang terkena syarat wajib,
maka wajib pula hukumnya untuk mengetahui karakternya. Di dalam agama Islam
dan agama-agama lainpun ada etika-etika dan norma-norma yang harus dianut.
Ketika kita menyinggungkan antara seni
dan religi, maka etika dan norma tersebut
masih harus ditambah dengan estetika.
Karena kedua kubu tersebut sama-sama
menyangkut soal “hati” dan “rasa”. Zakat
adalah rukun Islam, sehingga dalam program sosialisainyapun akan lebih mengena jika dilakukan dengan menggunakan
konsep estetika dan rasa keindahan yang
Islami.
Rasa keindahan itu juga seharusnya sejalan dengan tuntutan dan perintah
syariat dengan menunaikan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan-
98
Nya. Umat Islam juga diperintahkan agar
menunjukkan segala perbuatan dan amar
makruf yang baik dan terpuji sesuai dengan ajaran Al-Quran. Ini dapat melahirkan
desainer Islam yang bertanggungjawab
terhadap karya-karya mereka dan tidak
terbawa oleh arus teori-teori Barat tanpa
menyaring dan mengkajinya terlebih dulu.
Bagaimanakah tanggungjawab seorang desainer terhadap karya-karya
mereka? Apakah desainer Islam yang
memaparkan kebobrokan moral dan kejelekan sikap dan nilai hidup dapat dipertanggungjawabkan? Apakah nilai yang
akan dibawa oleh penikmat karya-karyanya? Apakah karya-karya mereka akan
menambah nilai positif, murni dan baik
dalam kehidupan bermasyarakat atau semakin menambah parah keadaan sosial
dan akhlak masyarakat? Inilah persoalan
yang seharusnya dipikirkan terlebih dahulu oleh seorang seniman ketika menerapkan konsep Estetika Islam sebelum mereka melahirkan sesebuah karya agar sesuai
dengan tuntutan Islam. Konsep estetika
Islam seharusnya senantiasa menjadi koridor dan rule of the game dalam membuat
karya-karyanya (http://sifoo.com).
Tinjauan Teoritik
1. Estetika Islam
Mengkaji estetika berarti mengkaji
rasa dikaitkan dengan keindahan. Sesuatu
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
bisa dikatakan memliki nilai estetis, ketika sesuatu tersebut dirasa (bukan hanya
dilihat) indah. Namun demikian, konsep
keindahan bukanlah harga mati, karena
subjektifitas setiap orang dalam menilai
keindahan berbeda-beda. Artinya, indah
di sini sifatnya sangat relatif, bahkan dengan objek yang sama tapi diamati dalam
waktu yang berbeda, bisa jadi keindahanyapun bisa berbeda pula.
Keterkaitan antara Islam, seni dan estetika adalah sangat erat. Sifat dinamik ajaran Islam membolehkan penganut-penganutnya menghayati keindahan dalam
pelbagai bidang; tidak tertumpu hanya dalam bidang seni saja. Islam adalah agama
yang diwahyukan Allah s.w.t semenjak
Nabi Adam a.s hingga ke nabi dan Rasul
terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. Rukun
Iman bagi seorang adalah beriman kepada Allah s.w.t., mengimani para Nabi dan
Rasul, para Malaikat, hari akhirat, qadha
dan qadar dan kitab-kitab yang diwahyukan Allah s.w.t. Manusia diberi amanah
melalui Islam bahwa mereka dan para jin
dijadikan semata-mata untuk menyembah
Allah s.w.t. Islam juga adalah penyerahan
secara mutlak melalui hati, pengucapan
lisan dan tingkah laku melalui refleksi
amalan dan ibadat.
Seni juga bisa ditafsirkan dan didefinisikan dalam berbagai makna. Namun secara umum seni adalah suatu manifestasi
dan pancaran rasa keindahan, pemikiran,
kesenangan dan perasaan yang lahir dari
seniman dalam karyanya. Kebanyakan aktivitas seni lebih menekankan pada keinginan manusia untuk menghasilkan kepuasan dan aktualisasi diri. Estetika adalah
kajian tentang keindahan (science of beauty) yaitu pemahaman tentang persepsi
atau pengamatan tentang bidang seni.
Di sinilah dapat dilihat hubungan
yang erat antara Islam sebagai petunjuk
dan wahyu dengan seni yang memaparkan
rasa. Hal ini sangat tepat dengan hadits
Rasulullah s.a.w bahwa “Allah itu indah
dan sukakan keindahan.” Pertanyaannya
adalah, bagaimanakah seseorang seniman
dapat mengaitkan rasa kesenian dan estetika keindahan dengan cara hidup Islam?
Persoalan ini teramat penting karena sebagai seorang muslim, selain menunaikan
kewajiban dan amanah Allah s.w.t dan Rasul-Nya s.a.w, umat Islam turut bertanggungjawab memaparkan rasa keindahan
tersebut agar kehidupan di dunia ini dapat
dilestarikan sehingga ke akhirat.
Pembahasan tentang estetika dalam
khazanah pengetahuan Islam agaknya
jauh tertinggal daripada bidang kajian Islam lainnya seperti tafsir, teologi, fikih, dan
tasawuf. Perhatian kaum Muslim terhadap
nilai estetika Islam tampaknya juga tidak
begitu antusias. Buktinya masyarakat Indonesia, sebagai pemeluk mayoritas Islam,
99
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
boleh dikata masih minim pengetahuannya tentang aspek-aspek estetika Islam
yang pernah tercipta saat peradaban Islam berkembang. Sehingga jika kita ingin
menggali tentang esensi Islam, akan lebih
mudah mengidentifikasi estetika Islam
terlebih dahulu (Oliver Leaman, 2005: 9).
Tampaknya, pendapat Leaman ini
sangat beralasan karena ketika berbicara
tentang Islam, kita tengah membicarakan sebuah agama yang berbeda dengan
agama-agama lain. Begitupun ketika berbicara tentang estetika Islam, kita pun tengah membicarakan estetika yang berbeda
dengan bentuk-bentuk estetika lainnya.
Dengan demikian, apabila dapat mengidentifikasi sifat-sifat khas ini, kita akan
mengetahui dengan tepat apa itu estetika
Islam.
Memang, perdebatan dalam memahami estetika Islam berlangsung dari
waktu ke waktu, seperti perdebatan antara kepalsuan (takalluf) dan kemurnian
(thab) yang cenderung dikembangkan dalam ungkapan-ungkapan seperti apa yang
lebih menarik, apa yang lebih cocok dengan bahan ini, atau apa harapan-harapan
para penikmat seni terhadap sesuatu yang
didengar dan yang dibacanya?
Dari sini dapat dikatakan bahwa ketika seseorang meneliti aneka ragam hal
yang menyangkut Islam, baik sekarang
maupun pada masa lampau, ternyata tidak
100
mudah baginya untuk mengetahui karakter Islam yang permanen dan abadi. Tentu
ada sesuatu yang khas berkenaan dengan
agama Islam yang membuatnya berbeda,
dan ciri khas ini harus menjadi sesuatu
yang tidak berubah.
Lantas, adakah sesuatu yang khas
dari estetika Islam? Menurut Leaman, tidak ada yang khas dari seni Islam. Islam,
sebagai sebuah pandangan dunia, tidak
memainkan peran kunci dalam penilaian
estetis orang atas objek-objek seni yang
dikreasikan di dunia Islam. Tidak ada sejenis kesadaran tertentu yang dibutuhkan
untuk mengapresiasi seni Islam. Seni Islam
tidak berbeda dengan seni-seni yang lain.
Dengan kata lain, kriteria penilaian yang
diberlakukan atas seni Islam adalah persis sama dengan yang diterapkan atas seni
pada umumnya. Bahkan, memperlakukan
seni Islam sebagai kategori khusus adalah
sebentuk praktik orientalisme!
Estetika Islam yang hanya diwujudkan dalam bentuk kaligrafi arab, lukisan
atau gambar, musik, dan seterusnya bukanlah satu-satunya ekspresi seni Islam,
melainkan bisa ditampilkan secara modern sesuai dengan konteks zamannya. Kritik Leaman terhadap ekspresi seni yang selama ini ditampilkan adalah tidak adanya
corak dan kekhasan yang dimiliki seni Islam. Lalu apa yang menjadi titik beda dari
seni yang lain?
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
Di sinilah pentingnya melacak kembali akar-akar seni Islam. Relasi estetika
Islam dan sejarah sosial harus dipahami
secara utuh dan komprehensif. Dulu, seni
Islam diciptakan dari multiaspek, yakni
menyiratkan aspek sosial, moral, dan spiritual (teologis) yang memiliki pesan-pesan
tersirat sangat tinggi. Namun, belakangan
ini, seni Islam cenderung menampilkan
diri sebagai “nilai seni”, tidak lagi mengemban nilai positif (Leaman, 2005: 27).
Menurut Leaman, salah satu konsep
kunci estetika adalah sama dengan salah
satu konsep kunci agama. Yaitu, cara memandang sesuatu sebagai sesuatu yang
lain. Sesuatu itu tidak sekadar sesuatu,
tetapi juga menyimpulkan atau berkaitan
dengan yang lain, yang lebih besar atau
lebih kecil, yang lebih luas dan mendalam.
Dan sebenarnya estetika sendiri termasuk
dalam wilayah pembahasan falsafah dan
tasawuf; karena itu, mencari bentuk dan
corak estetika Islam adalah menelusuri
falsafah yang berkembang dalam Islam.
Sebagian pengamat seni berpandangan bahwa seni Islam tidaklah identik
dengan kesucian agama. Melainkan sebuah kerja kreatif dari perpaduan seni dan
religiusitas agama. Yang penting di sini,
menurutnya, adalah seni tersebut memiliki manifestasi etika dan estetika Islam. Estetika semacam ini bisa saja muncul dalam
bentuk seni-seni populer seperti lukisan,
musik, teater, tari, maupun sastra bahkan
disain grafis. Pemahaman yang kuat bahwa Islam bersifat universal dan menjadi
rahmat bagi alam semesta. Oleh sebab itu,
di tengah masyarakat yang multi etnik dan
multi kebudayaan memungkinkan lahirnya berbagai bentuk kreativitas seni yang
sesuai dengan lanskap pemikiran etnik,
namun masing-masing memiliki ketahanan religiusitas dan konsep Islami.
2.
Pengertian Iklan
Sejarah periklanan sebenarnya sudah
diawali sejak jama Yunani dan Romawi
Kuno. Pada awalnya iklan adalah dalam
bentuk pesan berantai atau the word of
mouth. Pesan berantai ini biasanya digunakan untuk kelancaran proses barter,
karena pada waktu itu belum ada sistem
jual-beli. Setelah ditemukannya sarana tulisan, maka orangpun menggunakannya
untuk beriklan, dengan cara memahatkannya di batu atau kayu (Novianti, 2002:
2).
Saat ini kita sudah sedemikian sulitnya untuk bisa terhindar dari iklan. Sejak
dari bangun tidur, hinga menjelang tidur lagi, atau bahkan saat tidur kita bisa
bermimpi karena adanya pengaruh dari
iklan. Seorang anak kecil sudah sedemikian akrab dengan jingle “aku dan kau suka
Dancow” atau “susu saya susu Bendera”.
Bahkan ketika melihat kedua orangtuan-
101
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
nya bertengkar terus, dengan segala keluguannnya anak tersebut menganjurkan
orangtuanya minum “Ramuan Madura”
seperti iklannya di televisi biar tidak bertengkar lagi.
Banyak orang menduga bahwa iklan
memiliki kekuatan untuk membentuk
persepsi audiens yang tak terkendali oleh
kesadarannya (subliminal persuasion).
Iklan diduga mampu mendorong lahirnya perilaku pemborosan, konsumtif dan
fantasi-fantasi konsumsi yang menyesatkan. Sayangnya, semua dugaan itu tidak
pernah mampu dibuktikan secara ilmiah
(scientific) sehingga tetap menjadi kontroversi dalam bahasan periklanan. Beberapa
pengiklan bahkan dengan sinis menyebut
tuduhan itu sebagai mitos (Syafrizal, 2003:
3).
Pandangan dari left wing kepada dunia iklan memang cukup menyakitkan.
Iklan menurut mereka adalah desiring
machine. Sebuah mesin berputar, mengajak orang untuk selalu mengkonsumsi
produk secara impulsif tanpa kesadaran.
Konsumsi dalam benak kaum kiri adalah
sebuah kegairahan atau ekstase. Ia menentukan status, prestise sosial dan identitas kultural. Sementara hasrat atau hawa
nafsu untuk mengkonsumsi tidak akan
pernah terpenuhi, karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi, lebih menarik dan lebih merangsang,
102
melalui sebuah sistem dalam desiring machine. Dalam logika mereka – advertising
hidup di dalamnya (Arijanto, 2003: 3).
Hal inilah yang dijadikan alasan sebagian
masyarakat yang menuduh iklan sebagai
pemicu budaya konsumtif. Tuduhan tersebut sebenarnya tidak terlalu salah. Namun
perlu diingat, masyarakat yang konsumtif
itulah yang akan mampu menggerakan
dan membangkitkan laju pertumbuhan
ekonomi.
Pada saat sekarang, dimana teknologi komunikasi berkembang sangat cepat,
informasi menjadi barang yang berdaya
jual tinggi. Untuk berbagai macam bentuk
bisnis - baik barang maupun jasa – komunikasi menjadi sangat penting untuk menyampaikan informasi kepad akhalayak/
sasaran. Salah satu langkah yang diambil
adalah dengan mmanfaatkan periklanan.
Sepanjang uraian di atas pembahasan
lebih terfokus pada periklanan komersial yang berjalan dengan prinsip-prinsip
ekonomi dan profit oriented. Namun sebenarnya masih ada iklan yang bersifat
non komesial atau iklan layanan sosial dan
layanan masyarakat. Iklan semacam ini
bukan semata-mata menyampaikan pesan
bisnis yang menyangkut usaha mencari
keuntungan sepihak. Karena iklan juga
mempunyai peran penting untuk berbagai kegiatan non bisnis. Di negara-negara maju, iklan telah dirasakan manfaatnya
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
dalam menggerakkan solidaritas masyarakat manakala menghadapi suatu masalah sosial. Dalam iklan tersebut disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksudkan
untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang
harus dihaapi. Iklan seperti ini disebut
iklan layanan masyarakat atau PSA (public service advertisment) (Rhenald Kasali,
1995: 201). Mengingat sifat iklan seperti
ini yang non komersial dan biasanya hasil kerjasama dengan pihak media, maka
kemunculannya tidak sesering iklaniklan komersial. Namun demikian, iklan
layanan masyarakat atau iklan sosial tetap
merupakan bagian tak terpisahkan dari
dunia periklanan.
3.
Keindahan
Pada dasarnya setiap manusia menyukai keindahan, bahkan Tuhan-pun sesuai
hadits di atas adalah Maha Indah dan
menyukai keindahan. Pada masa Yunani
kuno keindahan memiliki arti yang sama
dengan pengertian kebaikan dan kebenaran. Seperti halnya kata Beau dalam
bahasa Itali, Bello dalam bahasa Spanyol
dan Beauty dalam bahasa Inggris yang
semuanya berasal dari bahasa Latin, Bonum yang berarti kebaikan. Sehingga dalam pengertian ini, keindahan memiliki
citra yang sangat luhur dan bersifat universal. Bahkan Plato mengatakan adanya
watak yang indah dan hukum yang indah.
Plotinos mengatakan adanya ilmu yang
indah dan kebajikan yang indah. Pengertian keindahan dalam tradisi Yunani tidak
hanya dikhususkan pada pengamatan inderawi semata, tetapi lebih jauh ke dalam
mencakup pikiran dan perilaku. Bahkan
tidak hanya berhenti di situ, keindahan
juga dipahami memiliki dimensi spiritual
ketika manusia menemukan keharmonisan jiwanya dalam ‘pertemuan’ dengan sesuatu yang transenden.
Dalam kehidupan ini, keindahan bisa
berada dimanapun. Manusia menyenangi
keindahan alam, seperti pegunungan yang
hijau, ombak laut yang membiru, juga
karya-karya manusia yang berupa lukisan,
patung, ukiran, arsitektur, dan lain-lain
yang bisa dinikmati keindahannya dengan
penuh rasa kagum. Begitu banyak benda-benda yang bisa ditangkap dan dimaknai sebagai memiliki keindahan. Keindahan yang melekat pada alam, disebut
keindahan alam, sedangkan keindahan
yang melekat pada benda-benda buatan
manusia disebut keindahan seni.
Keindahan alam adalah keindahan
yang terpisah dan tidak dipengaruhi oleh
manusia, merupakan bentuk pengungkapan dari Sang Pencipta. Sedangkan
keindahan seni adalah sifat indah yang diungkapkan oleh budi manusia melalui media benda-benda alamiah untuk kepentin-
103
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
gan rohaninya.
Keindahan, sesuai sifat aslinya yang
berarti kebenaran seharusnya bersifat universal. Artinya, sesutau yang dikatakan indah oleh seseorang, maka akan dipandang
indah juga oleh orang lain. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Keindahan
ternyata bukanlah ilmu eksak, karena nilai
keindahan bagi seseorang dipengaruhi
banyak faktor. Bahkan di era globalisasi yang sarat dengan muatan kapitalisme
ini, keindahan bisa di’beli’ sesuai keinginan pemodal. Sehingga makna keindahan
dewasa ini sudah mengalami pergeseran
nilai, tidak lagi se-luhur masa Yunani dulu.
4.
Semiotika
Menurut Arthur Asa Beger dalam Afifi (1999: 62), semiotika atau semiologi adalah ilmu yang mengkaji tanda (the science
of sign). Sejarah panjang kajian tentang
tanda telah dimulai dari Jhon Locke, tetapi
analisis semiotik modern dikembangkan
pertama kali oleh pakar linguistik Swiss,
Ferdinand de Sausure (1857-1913) dan
filosof Amerika, Charles Saunders Pierce
(1839-1914). Fenomena karya seni jelas
fenomena semiotik, karena melibatkan
tanda-tanda baik verbal atau linguistik
maupun tanda-tanda visual atau ilustrasi.
Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai manusia dalam upaya mencari jalan di
dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
104
bersama-sama manusia. Semiotika atau
semiologi pada dasarnya mempelajari
manusia (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal
ini tidak dapat dicampuradukan dengan
mengkomunkasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2003:
15).
Tanda atau lambang yang dipertukarkan dalam komunikasi, mulai mendapat
perhatian yang serius ketika Ferdinand
de Sausure menerbitakan karyanya yang
berjudul “Course in General Linguistic”
pada tahun 1951. Menurut Sausure, lambang (sign) terdiri atas dua komponen: (1)
Signifier (sound, image) petanda dan (2)
signified (concept) penanda, dan hubungan
keduanya bersifat arbitary – dalam arti tidak selalu ada hubungan yang logis.
Charles Saunders Pierce mengemukakan lebih lanjut, bahwa lambang memiliki
tiga dimensi, yaitu: (1) ikon, (2) indeks dan
(3) simbol.
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata
lain, ikon adalah hubungan antara tanda
dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret atau peta.
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau
hubungan sebab akibat, atau benda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Contoh paling jelas adalah asap sebagai tanda
adanya api. Tanda dapat juga mengacu
pada denotatum melalui konvensi. Tanda seperti ini adalah tanda konvensional
yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol
adalah tanda yang menunjukan hubungan
alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan diantaranya bersifat arbiter
atau semena, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat (Sobur, 2003: 41).
Nilai Estetik Iklan Sosialisasi Zakat Versi Jaguar
1. Nilai Kebentukan (artistik)
Secara visual, iklan ini cukup menarik. Dimana pembagian komposisi yang
ideal atau golden mean (1/3 banding 2/3)
telah diterapkan. Sehingga visualisasi
simbol Jaguar menempati titik optis pada
persilangan 1/3 bagian atas dan 2/3 bagian
bawah, juga 1/3 bagian kiri dan 2/3 bagian
kanan. Di titik itulah ditempatkan simbol
jaguar yang patah, dan di titik tersebut
juga sebagai guiding dimana pesan “2,5%
milik kita adalah hak mereka” ditempatkan. Komposisi tersebut menjadi semakin
dinamis, dengan penempatan ornamen
mobil jaguar yang diagonal sehingga men-
ciptakan kesan asymetrical balance. Lighting, diperhatikan betul sehingga efek gelap
di bagian bawah membuat brand BAZNAS
menjadi sangat kontras, dan efek terang di
bagian atas semakin mendramatisir visualisasi ‘tragedi’ patahnya simbol kejayaan
mobil Jaguar tersebut.
Mengkaji sebuah iklan dengan konsep
estetika Islam, berarti melihat sisi keindahan sebuah iklan dari kacamata Islam. Ketika sebuah disain iklan dianggap sebagai
buah karya seni, maka hukum-hukum
seni berlaku di sana. Termasuk di dalamnya prinsip-prinsip dasar tata rupa seperti;
Irama/ritme/keselarasan, Kesatuan, Dominasi/ kelainan, Keseimbangan, Proporsi/
perbandingan/ keserasian, Kesederhanaan, Kejelasan. Karena prinsip-prinsip
dasar inilah yang mampu membimbing
penikmat – dalam hal ini target audeins,
untuk bisa merasakan pengalaman estetisnya. Namun demikian, pekerjaan seorang disainer grafis yang merancang sebuah iklan belum berhenti sampai di situ,
seperti laiknya seorang fine artist. Masih
ada satu prinsip lagi yang harus terpenuhi,
yaitu aspek komunikasinya.
Jika sebuah disain iklan sudah
di-placement di media massa, berarti ‘ujian’ yang nyata baru dimulai. Ada tahapan
yang harus dilalui, ketika sebuah disain
iklan sudah dikomunikasikan ke publik.
Apalagi sebuah iklan sosial yang memili-
105
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
ki tujuan mulia, merubah sikap (attitude)
sasaran agar menjadi lebih care terhadap
sesama. Tahapan tersebut dapat dirumuskan dalam konsep AIDA; Attention, Interest, Desire, dan Action. Jika komunikasi
tersebut hanya berhenti pada tahap membangkitkan hasrat (desire) untuk berzakat,
maka iklan tersebut belum bisa dikatakan
berhasil. Apalagi kalo hanya berhenti pada
tahap-tahap sebelumnya. Tujuan iklan sosialisasi zakat adalah sampai pada tindakan (action) berupa penuaian kewajiban
zakat tersebut.
Masalahnya menjadi semakin kompleks, ketika disain komunikasi visual
tersebut menggunakan konsep Estetika Islam. Karena, iklan yang sudah di-publish
di media massa maka otomatis akan diapresiasi oleh berjuta orang dengan ideologi yang berbeda-beda, walaupun sama-sama umat Islam. Dari aspek penggunaan
pesan verbal (teks), harus dipertimbangkan betul agar pesan verbal tersebut mengena sasaran. Iklan sosialisasi zakat adalah
iklan teguran atau sindiran halus, sehingga diharapkan sasaran tidak merasa digurui atau diperintah. Mengingat target audiens-nya adalah kalangan menengah ke
atas yang sangat riskan dengan pendekatan commanding.
Sedangkan pada aspek visual, juga
harus mempertimbangkan banyak hal,
mengingat sasaran adalah umat Islam
106
yang ideologinya heterogen. Ada ‘rambu-rambu visual’ yang harus dihindari,
misalnya visualisai lukisan makhluk hidup, patung, atau gambar-gambar yang bisa
mengundang syahwat. Sehingga kreator
iklan sosialisasi zakat dengan konsep Estetika Islam, seperti berjalan pada titian
yang sangat kecil. Dibutuhkan kehati-hatian dan kewaspadaan yang cukup besar,
jika tergelincir sedikit, bisa menuai protes.
Pada iklan versi ‘jaguar’ sebenarnya ada visualisasi patung. Yaitu maskot jaguar yang
terpasang pada kap depan mobil mewah
tersebut. Namun dalam hal ini, patung
kecil Jaguar masih bisa diterima audiens,
karena dibaca sebagai ‘ikon’.
2. Makna Tanda
Idealnya, karya seni tidak hanya mengungkapkan unsur-unsur yang bertujuan
untuk mencapai keindahan yang hanya berada dalam wilayah duniawi. Seni juga mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan
yang paling penting, melewati batas-batas
etnis, ras, agama dan kebudayaan. Seni harus merupakan ekspresi dari jiwa atas realitas kehidupan yang diamati, dimengerti,
digeluti dan dirasakan. Seni bisa menjadi
media kritik dalam bentuk lain. Perkembangan pemikiran yang melihat dunia
dengan perspektif lain dengan segala metodologinya memberikan kontribusi besar
bagi pemahaman dan ekspresi atas seni
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
Gambar 1. Iklam Sosialisasi Zakat Versi Jaguar
Sumber: BAZNAS.
Dokumentasi Pemulis
dengan segala manifestasinya.
Jika dilihat dengan pendekatan semiotika, iklan sosialisasi zakat versi ‘Jaguar’ ini memuat beberapa hal yang bisa
diamati. Dalam teori Pierce, semiotika
melibatkan tiga unsur, yaitu ikon, indeks
dan simbol. Deskripsi visual dalam iklan
sosialisasi zakat tersebut adalah tampak
close up bagian depan sebuah mobil mewah dengan ikon Jaguar kecil sebagai
identitas brand-nya. Visualisasi dengan
teknik fotografi mobil jaguar ini, bisa dibaca sebagai ikon dari mobil jaguar yang
sesungguhnya. Didukung dengan ikon patung Jaguar kecil, untuk merujuk pada binatang buas sejenis kucing hutan. Ikon ini
juga merupakan representasi dari brand/
merek mobil tersebut.
Tampilan mobil jaguar juga bisa dibaca sebagai indeks, dimana mobil bermerek
Jaguar adalah menjelaskan bahwa mobil
tersebut termasuk dalam kategori ‘mobil
berkelas’, artinya harga mobil tersebut cukup mahal. Indeks tersebut juga bisa menjelaskan bahwa hanya kalangan orangorang kaya atau golongan ekonomi ‘atas’
yang mampu membeli dan memiliknya.
Sudah menjadi kesepakatan umum,
bahwa binatang Jaguar adalah sosok yang
dinamis, lincah dan gesit. Sehingga visualisasi patung Jaguar dibagian kap depan
mobil tersebut bisa disebut simbol.
Visualisasi sebagian dari bentuk keseluruhan mobil jaguar ini, disebut sebagai
metonimia (parte prototo). Dengan hanya
melihat bagian depan yang di close up ini,
sasaran sudah bisa membayangkan wujud
utuh dari mobil tersebut. Baik kemulusan
catnya, rodanya, interiornya atau bahkan
sampai tahun pembuatannya.
Jika kita telaah iklan tersebut dengan
pandangan Ferdinand de Sausure, mobil
jaguar adalah “penanda/signifier” untuk
merujuk pada “petanda/signified” tentang status sosial kelas atas. Hal seperti
ini menjadi cukup penting, mengingat
107
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
iklan adalah media komunikasi. Sehingga unsur-unsur visual yang digunakan,
haruslah benda-benda yang dekat dengan
kehidupan sasaran. Harapannya, iklan
‘moral’ versi jaguar menjadi begitu dekat
dengan mereka, dan merasakan betul teguran/himbauan tersebut memang ditujukan kepadanya (orang kaya) sebagai target
audience.
Iklan sosialisasi zakat versi ‘jaguar’
ini menjadi tidak biasa, karena ikon yang
berupa patung Jaguar sebagai lambang
kelincahan, kegesitan binatang tersebut
dan lambang kemegahan brand Jaguar,
ternyata rusak/patah. Pada posisi patahan tersebut juga diperkuat dengan sebuah
teks “2,5%-nya bukan milik kita”. Iklan ini
kental sekali unsur ke-Islam-annya. Karena dalam hukum Islam, seorang muslim
yang memiliki kekayaan sampai batas tertentu, berkewajiban mengeluarkan sebagian kecil (2,5%) hartanya berupa zakat
untuk kesejahteraan orang lain yang kurang mampu.
Patahnya ikon Jaguar ini merupakan metafora tentang suatu bencana, kecelakaan atau kondisi yang merugikan.
Akan berbeda maknanya, ketika yang rusak pada bagian spion, roda, pintu atau bagian mobil yang lain. Karena ikon Jaguar
dalam mobil tersebut, memiliki makna
yang sangat istimewa, yaitu citra, prestise
dan kemegahan.
108
Patahan kecil pada ikon Jaguar,
memiliki hubungan yang relevan dengan
bilangan 2,5%. Dengan pendekatan metafora ini, iklan tersebut ingin megatakan
bahwa 2,5% dari hartanya adalah sedikit/
kecil. Tapi jika kewajiban tersebut tidak
ditunaikan maka akan membawa dampak
yang cuku besar, yaitu hilangnya jati diri
mobil Jaguar, yang bisa direpresentasikan
juga sebagai jati diri / citra pemiliknya. Pada sisi yang lain, iklan ini juga bisa
dimaknai sebagai indeks. Dimana ada
hubungan sebab-akibat. Artinya, iklan ini
memvisualkan ’akibat’ patahnya ikon Jaguar, ’sebab’ kewajiban 2.5% hartanya tidak
dizakatkan. Atau dengan kata lain, zakat
yang 2,5% jika dibayarkan, mampu menjaga hartanya.
Konsep estetika Islam di sini tidak hanya dipahami dalam wujud visualnya saja,
tetapi sarat akan pesan-pesan moral untuk
menggugah jiwa kedermawanan (filantropi). Anjuran untuk saling menasehati dan
menetapi kebenaran dalam Al-Qur’an surat Al ‘Ashyr diperhitungkan betul, agar
nasihat atau teguran tersebut tidak menyinggung perasaan target audiens.
Untuk memvisualkan konsep estetika Islam, tidak harus menggunakan unsur-unsur visual yang islami. Tapi bisa
juga dilakukan dengan gaya bertutur iklan
tersebut sebagai media sosialisasi zakat,
yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai
Budi Yuwono.
Semiotika Estetika Islam Dalam Iklan Zakat
ajaran Islam. Ketatnya konsep estetis yang
harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits
tidak dianggap sebagai jeruji besi yang memenjarakan dan membatasi gerak kreativitas berseni, tapi justru dianggap sebagai
tantangan.
Penutup
Penggunaan Konsep Estetika Islam
dalam iklan sosialisasi zakat adalah sesuatu yang selayaknya dilakukan. Karena
sifat iklan sebagai output dari disain komunikasi visual harus mengetahui betul karakter sasaran komunikasinya. Elemen-elemen estetis yang digunakan – baik
verbal maupun visual-nya, harus senantiasa mengacu pada koridor syariat Islam.
Pemahaman terhadap seni dan keindahan
harus berlandaskan pada apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, keduanya adalah suatu pegangan yang tidak bisa ditolerir. Adanya beberapa hadits yang kesannya
memberikan sikap negatif pada seni, diartikan bahwa tak ada kebebasan mutlak
dalam Islam. Termasuk kebebasan berkreasi dalam iklan. Sebab kebebasan yang
kebablasan bisa mendorong manusia pada
jurang kenistaan dan kehancuran moral.
Dengan estetika Islam dalam iklan
sosialisasi zakat, hendaknya mampu
menjadi cara ungkap dan cara tegur dengan bahasa ‘hati’. Sehingga ketika sasaran
menunaikan kewajiban berzakatnya, bu-
kan karena tekanan kewajiban, atau ada
pamrih supaya terlihat dermawan. Tapi
betul-betul murni keikhlasan yang tumbuh dari hati yang bening hingga mampu
menatap fakir miskin di sekelilingnya adalah juga tanggungjawabnya. Pada akhirnya mampu merubah ‘kewajiban’ menjadi
semacam ‘kebutuhan’. Begitulah hendaknya peran ‘agung’ estetika Islam. Kreativitas yang berjalan dengan rule of the game
konsep estetika Islam dalam iklan sosialisasi zakat versi ‘jaguar’ yang dibuat oleh
Syafa’at Advertising Yogyakarta ini sempat
memenangkan piala Bronze pada Pinasthika Ads Festival (Penghargaan Lomba
Iklan) 2006.
Daftar Pustaka
Afifi, Subhan. 1999. “Semiotika dan
Pengembangan Penelitian Komunikasi
Kontemporer” Jurnal PARADIGMA,
Edisi 10 Vol. III. UPN “Veteran” Yogyakarta.
Arijanto, Janoe. 2003. “Menyentuh Sisi
Kiri Iklan dan Menyelusuri Manfaatnya” Makalah. Pada seminar All About
Advertising, UGM, Yogyakarta http://
sifoo.com/artikel/seni/Seni Islam dan
Estetika (1)
Leaman, Oliver. 2005. Estetika Islam;
Menafsirkan Seni dan Keindahan. Alih
Bahasa: Irfan Abubakar, Bandung: Mizan
109
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Novianti, Ratna. 2002. Jalan Tengah memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudewo, Eri. 2004. Manajemen Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat
Syafrizal. 2003. “Posisi Tawar Khalayak dalam Kampanye Periklanan.” Makalah.
Pada seminar All About Advertising,
UGM, Yogyakarta
110
Download