v. perubahan karakteristik tanah dan air

advertisement
 V. PERUBAHAN KARAKTERISTIK TANAH DAN AIR 5.1. Perubahan Karakteristik Tanah 5.1.1. Ketebalan Bahan Organik Reklamasi lahan pasang surut di delta Berbak Jambi menyebabkan perubahan terhadap karakteristik tanah terutama terhadap ketebalan bahan organik. Ketebalan bahan organik pada awal pembukaan tahun 1973 di lokasi 1 di desa Rantau Rasau II parit 4 adalah 65 cm dan pada tahun 1984 menjadi 25 cm (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa setelah 10 tahun reklamasi terjadi penurunan bahan organik sebesar 40 cm. Penurunan rata-rata bahan organik adalah 4 cm per tahun. Pada periode 1984–2008 tidak terjadi penurunan ketebalan bahan organik di lokasi 1. Tingginya penurunan ketebalan bahan organik pada lokasi 1 pada periode awal disebabkan adanya reklamasi lahan pasang surut. Reklamasi yang dilakukan adalah dengan dibuatnya saluran air sehingga muka air tanah turun. Selain itu, adanya sistem pertanian yang dilakukan oleh petani yaitu dengan membakar lahan pada waktu persiapan lahan untuk penanaman padi. Namun menurut informasi dari masyarakat pada musim kemarau pernah terjadi kebakaran di lahan gambut. Kebakaran gambut tahun 1982 pada lokasi 1 parit 4 Rantau Rasau II merupakan salah satu faktor yang mempercepat habisnya lapisan bahan organik. Kebakaran di lahan gambut menyebabkan permukaan tanah semakin dekat dengan permukaan air tanah. Kondisi ini memberikan dampak terhadap gambut selalu dalam kondisi lembab. Kondisi lembab dengan kandungan air yang tinggi mampu menekan penurunan bahan organik pada periode berikutnya. Kebakaran gambut tersebut menyebabkan para petani meninggalkan lokasi 1 Rantau Rasau II menjadi semak belukar dalam beberapa tahun. Selama rentang waktu tersebut tidak terdapat aktifitas persiapan lahan, seperti pembakaran gambut. Lokasi 2 di sungai Dusun SK 21 selama 10 tahun pertama reklamasi ketebalan bahan organik berkurang sebanyak 3 cm. Penurunan rata-rata ketebalan adalah 0,3 cm/tahun. Sementara untuk periode tahun 1984 ke tahun 2008 (14 tahun) bahan organik berkurang sebanyak 19 cm. Lokasi 2 sungai Dusun SK 21 pada periode awal reklamasi merupakan cekungan yang terisi lapisan bahan organik (gambut) sehingga akan sulit terjadinya penurunan lapisan. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut selalu dalam kondisi lembab dan basah. Namun, setelah Tahun 1984 terjadinya penurunan ketebalan bahan organik yang
62 cukup tinggi yaitu 19 cm. Penurunan ketebalan bahan organik ini disebabkan oleh adanya pendalaman saluran sekunder (SK 21), sehingga air tanah turun dan menyebabkan lapisan bahan organik kering dan mudah terbakar dan mempercepat laju oksidasi bahan organik terutama pada musim kemarau. Tabel 13 Ketebalan bahan organik pada lokasi 1, 2 dan 3 Ketebalan bahan organik (cm) No Lokasi Tahun 1973 Tahun 1984 Tahun 2008 1. Lokasi 1 Rantau Rasau II 65 25 25 2 Lokasi 2 Sungai Dusun SK 21 50 47 28 3 Lokasi 3 Harapan Makmur SK 12 79 66 55 Lokasi 3 Harapan Makmur SK 12 berada pada areal lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Penurunan ketebalan bahan organik sebanyak 13 cm selama 10 tahun pertama reklamasi, kemudian penurunan selanjutnya adalah 11 cm pada periode berikutnya. Penurunan ketebalan bahan organik pada lahan pasang surut setelah reklamasi sangat dipengaruhi oleh posisi ketinggian lahan dan terjangkau atau tidaknya oleh air pasang. Sebagian besar daerah pengamatan lokasi 3 berada pada posisi relatif lebih tinggi dari lokasi sekitarnya. Pada awal reklamasi di lokasi 3 merupakan lahan sawah, namun setelah dilakukan pembangunan saluran menyebabkan lahan tersebut tidak terluapi oleh air pasang sehingga petani mengalihkan sebagian besar penggunaan lahan menjadi kebun campuran dan sebagian dibiarkan menjadi semak belukar. Hal ini menyebabkan lahan tidak terbuka dan dengan tidak adanya usaha penanaman padi, sehingga tidak adanya usaha persiapan lahan yang dilakukan oleh petani dengan pembakaran. Pada seluruh lokasi pengamatan menunjukkan penurunan ketebalan bahan organik. Faktor penyebabnya adalah penurunan muka air tanah dan sistem persiapan lahan dengan pembakaran lahan. Turunnya muka air tanah akibat pembangunan infrastruktur saluran dan jalan menyebabkan lapisan bahan organik kehilangan air hingga kering. Keringnya lapisan bahan organik terutama pada musim kemarau mempercepat proses dekomposisi.
63 Gambar 15 Perubahan ketebalan bahan organik pada lokasi 1 (Parit 4 Rantau Rasau II), lokasi 2 (SK 21 Sungai Dusun) dan lokasi 3 (SK 12 Harapan Makmur) . Berkurangnya lapisan bahan organik pada lahan gambut mengakibatkan semakin dekatnya permukaan tanah mineral ke permukaan tanah gambut. Berdasarkan beberapa titik pengamatan, dibawah permukaan tanah gambut terdapat bahan sulfidik. Hal ini dapat menyebabkan kemasaman yang tinggi bila tanah yang mengandung bahan sulfidik teroksidasi. Kenyataan yang didapat pada lokasi pengamatan tersebut pengaruh tata saluran dan pengusahaan tanah menyebabkan beberapa perubahan pada tanah yaitu ; (1) menipisnya lapisan bahan organik oleh proses dekomposisi atau oksidasi, dan (2) semakin dekatnya bahan sulfidik ke permukaan tanah. 5.1.2. Tingkat Kemasaman Tanah (pH) Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tersedianya unsur hara bagi tanaman adalah kemasaman tanah. Saluran drainase yang dibuat mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan dapat mengakibatkan terjadinya kontak oksigen dengan bahan sulfidik dalam tanah yang menyumbangkan kemasaman tanah. Terjadinya oksidasi pirit menyebabkan turunnya pH tanah dan pH air tanah. Rendahnya pH tanah menyebabkan kelarutan Al+3 meningkat (Golez, 1995). Kemasaman yang berbahaya dan menyebabkan pH tanah dan pH air menjadi sangat masam adalah kemasaman yang disebabkan oleh proses oksidasi pirit (FeS2). Proses oksidasi pirit menjadi FeSO4 dengan melepas H+ yang mempunyai pengaruh sangat
64 merusak terhadap pertumbuhan tanaman. Jumlah H+ yang dilepaskan cukup besar yaitu 4 mol setiap terjadi oksidasi 1 mol FeS2. Penambahan pelepasan H+ akan jauh lebih besar lagi yaitu 16 mol H+ setiap terjadinya reaksi 1 mol FeS2 dengan 1 mol Fe+3 (Moses & Hermann, 1991). FeS2(s) + 15/4 O2 + 7/2 H2O(I) → Fe(OH)3(s) + 2SO4-2 + 4H+(aq) FeS2(s) + Fe+3 + 8H2O(I) → 2Fe+2(aq) + 16H+(aq) + 2SO4-2(aq) Perubahan pH (H2O) pada tahun 1973, 1984 dan 2008 di tiga lokasi pengamatan menunjukkan bahwa pH tanah semakin turun dengan semakin lama setelah reklamasi (Gambar 16). Kemasaman tanah (pH) pada awal reklamasi tahun 1973 berkisar 3,7 sampai 4,9 dan tidak menunjukkan penurunan pH pada lapisan tanah yang lebih dalam. Sementara untuk 10 dan 35 tahun setelah reklamasi yaitu tahun 1984 dan 2008 menunjukkan pH tanah lebih rendah. Kemasaman tanah (pH) pada tahun 1984 lokasi 1 berkisar 3,8-4,1 ; lokasi 2 berkisar 3,9-4,4 dan lokasi 3 berkisar berkisar 3,4-4,1. Kemasaman tanah (pH) tahun 2008 setelah 35 tahun reklamasi menunjukkan terjadinya penurunan pH untuk lokasi 1 berkisar 2,8-3,8 ; lokasi 2 berkisar 3,0–4,0 tapi pada lokasi 3 terjadi sedikit peningkatan pH berkisar 3,7-4,2. Hasil pengukuran pH tanah pada kondisi basah di lapang untuk tahun 2008 menunjukkan nilai pH yang cukup tinggi untuk semua lokasi yaitu pH > 5. pH Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Gambar 16 pH (kemasaman tanah) tahun 1973, 1984 dan tahun 2008.
65 Kemasaman tanah (pH) H2O2 pada tanah lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3 menunjukkan pH yang sangat masam yaitu 2,7. Nilai yang rendah ini terutama pada lapisan dibawah 50 cm dari permukaan tanah. Rendahnya nilai pH tanah pada kedalaman > 50 cm pada ke 3 lokasi tersebut menunjukkan adanya kandungan pirit yang cukup tinggi. Hal ini terlihat pada waktu pengamatan di lapang dengan memberikan H2O2 30 % menghasilkan gelembung udara dan bau belerang. Besarnya kandungan pirit pada lokasi 1 sebesar 1,34% pada kedalaman 50 cm, pada lokasi 2 sebesar 0,76% pada kedalaman 50 cm. Kandungan pirit pada lokasi 3 lebih rendah yaitu paling tinggi 0,29 %pada kedalaman 35 cm. Secara keseluruhan pada tiga lokasi pengamatan menunjukkan pH tanah analisis laboratorium dengan metode perlakuan kering udara menunjukkan pH tanah semakin rendah setelah reklamasi. Analisis tanah dengan perlakuan kering udara terhadap tanah yang mengandung pirit akan menyebabkan teroksidasinya pirit dan akan menghasilkan pH yang lebih rendah. 5.1.3. Kapasitas Tukar Kation (me/100 g) Kapasitas tukar kation (KTK) mencerminkan kemampuan tanah mengabsorpsi kation dan mempertahankannya terhadap proses pencucian. KTK tergantung dari tekstur tanah, bahan organik , tingkat pelapukan dan reaksi tanah. Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa KTK mengalami kenaikan pada lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3 pada tahun 1984 dibandingkan dengan KTK tahun 1973 pada awal reklamasi. Peningkatan KTK terlihat lebih besar pada lapisan tanah permukaan atas dibandingkan dengan tanah lapisan bawah. Hal ini dapat dikarenakan bahwa pada awal reklamasi terjadi proses dekomposisi bahan organik (gambut) dari fibrik menjadi hemik atau saprik. Proses dekompisisi gambut dipercepat oleh kondisi oksidatif akibat adanya pembangunan saluran dan pengalihan penggunaan lahan dari hutan menjadi sawah sehingga menurunkan muka air tanah. Dekomposisi bahan organik dari fibrik menjadi hemik dan saprik tersebut dapat memperluas tapak jerapan sehingga KTK tanah meningkat. KTK tanah pada awal reklamasi pada Lokasi 1 sebesar 77,3 me/100 g pada lapisan atas dan semakin menurun ke lapisan bawah yaitu 20,2 me/100 g dan pada tahun 1984 KTK tanah meningkat menjadi 137 me/100 g pada lapisan atas dan menurun sampai 24 me/100 g. KTK pada tahun 2008 setelah 35 tahun reklamasi turun yaitu 20,41 me/100 g lapisan tanah atas dan semakin rendah pada lapisan tanah bawah yaitu 11,17 me/100 g.
66 KTK tanah awal reklamasi tahun 1973 pada lokasi 2 sebesar 55,9 me/100 g pada lapisan tanah atas dan pada lapisan tanah bawah sebesar 20,1 me/100 g, sedangkan pada tahun 1984 KTK tanah meningkat menjadi 101,3 me/100g untuk lapisan tanah atas dan 34,6 me/100 g untuk lapisan tanah bawah. KTK untuk tahun 2008 sebesar 20,41 me/100 g untuk lapisan tanah atas dan 9,63 me/100 g pada lapisan kedalaman 30 cm. KTK (me/100g) Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Gambar 17 Perubahan KTK (Kapasitas Tukar kation) me/100 g tahun 1973, 1984 dan 2008. KTK tanah pada tahun 1973 pada lokasi 3 sebesar 55,1 me/100 g pada lapisan tanah atas meningkat menjadi 103,1 me/100 g pada tahun 1984 dan turun menjadi 11,55 me/100 g setelah 35 tahun reklamasi. Untuk KTK tanah lapisan bawah pada awal reklamasi sebesar 47,7 me/100 g turun menjadi 31,10 me/100 g dan pada tahun 2008, KTK pada lapisan 50 cm sebesar 14,37 me/100 g. Fenomena perubahan KTK awal reklamasi, 10 tahun setelah reklamasi dan 35 tahun setelah reklamasi dapat dipahami bahwa pada awal pembukaan sebagian besar lokasi lahan pasang surut delta Berbak Jambi memiliki lapisan bahan organik yang cukup tebal mengalami dekomposisi sehingga akan meningkatkan tapak jerapan. Kecenderungan setelah reklamasi KTK meningkat dan turun kembali setelah habisnya atau berkurangnya bahan organik. Pada bahan tanah mineral diduga ada perubahan liat 2:1 menjadi liat 1:1 karena collapse oleh H+ dan melepaskan kation-kation basa sehingga KTK didominasi oleh kation asam ( Al+ dan H+) (Golez,1995; Shamshuddin et al., 1986). Jumlah kation-kation basa (K+, Na+, Ca+2 dan Mg+2) menunjukkan semakin menurun pada semua lokasi pengamatan mulai dari awal reklamasi. Pada awal reklamasi tahun 1973 kandungan K+ (4,01-11,92 me/100 g), Na+ (3,5-9,78 me/100 g), Ca+2 (29,97-57,41 me/100
67 g), dan Mg+2 (21,23-73 me/100 g) (IPB 1973). Adapun jumlah kation basa setelah 10 tahun reklamasi pada tahun 1984 turun yaitu K+ (0,23-0,96 me/100 g, Na+ (0,73-3,19 me/100 g), Ca+2 (1,64-18,53 me/100 g), dan Mg+2 (3,8-15,70 me/100 g) (IPB 1984). Kandungan kation basa pada semua lokasi pengamatan semakin rendah setelah 35 tahun reklamasi. Untuk tahun 2008 jumlah kation basa K+ (0,03-0,15 me/100 g), Na+ (0,22-0,73 me/100 g), Ca+2 (0,03-0,25 me/100 g), dan Mg+2 (0,04-0,87 me/100 g). Penurunan kation-kation basa K+, Na+, Ca+2 dan Mg+2 disebabkan oleh pencucian bersama air hujan dan air pasang yang dimulai pada saat reklamasi. Semakin intensif pencucian baik oleh air hujan maupun air pasang menyebabkan semakin banyak kation basa yang hilang. Pencucian ini akan semakin dipercepat dengan semakin dominannya kation Al+3 dan H+ . Hilangnya kation basa bersama air limpasan dan hujan ditunjukkan oleh tingginya kandungan kation basa pada air saluran waktu surut dibandingkan jumlah kation basa dalam air saluran waktu pasang. 5.1.4. Aluminium Al-dd (me/100 g) Perubahan karakteristik tanah setelah 35 tahun reklamasi menunjukkan terjadinya perubahan Al-dd yang berbeda pada ke tiga lokasi pengamatan. Secara keseluruhan Al-dd meningkat dibandingkan dengan awal reklamasi dan pada tahun 2008 Al-dd berkisar 3,74 me/100 g sampai 17,78 me/100 g. Fenomena ini menujukkan pola yang berbeda di ke tiga lokasi pengamatan (Gambar 18). Hal ini dapat dipahami setelah tiga puluh lima tahun reklamasi lahan pasang surut menyebabkan tercucinya sebagian aluminium yang dilepaskan menyebabkan pH meningkat namun kation basa K, Ca dan Mg ikut tercuci sehingga larutan tanah lebih didominasi oleh aluminium. Namun akibat proses adanya pH tanah yang rendah akibat oksidasi pirit yang melepaskan SO4-2 maka akan meningkatkan kelarutan Al+ di dalam tanah. Dominannya aluminium dalam larutan tanah terlihat dari kejenuhan aluminium yang meningkat di semua lokasi. Akibat teroksidasinya pirit akan menghasilkan Fe+2, SO4+2 dan kemasaman serta berdampak pada tingginya kelarutan Al+3. Al-dd pada kedalaman 45 cm di lokasi 1 berkisar 11,91 me/100 g dan pada kedalaman 65 cm jumlah Al-dd sebesar 14,36 me/100 g. Tingginya Al-dd pada kedalaman tersebut berkaitan dengan jumlah pirit pada lapisan tersebut yaitu 1,34% dan 1,40%.
68 Al-dd (me/100g) Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Gambar 18 Perubahan Al-dd (me/100 g) tahun 1973, 1984 dan tahun 2008. Jumlah Al-dd pada lokasi 2 cukup tinggi pada lapisan 40 cm yaitu 13,04 me/100 g sementara jumlah pirit pada lapisan tersebut hanya 0,1%. Hal ini dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah cekungan dan proses pencucian tidak berjalan dengan baik sehingga ada kemungkinan akumulasi dari daerah sekitar. Pada Lokasi 3 jumlah Al-dd lebih rendah yaitu 4,56 me/100 g pada lapisan tanah atas pada awal reklamasi dan meningkat menjadi 11,54 me/100 g pada tahun 1984 serta turun kembali pada tahun 2008 yaitu 3,74 me/100 g. Fenomena ini dapat dipahami bahwa pada lokasi 3 yang memiliki ketinggian lahan relatif lebih tinggi dan proses oksidasi berjalan lebih cepat dan pencucian oleh air hujan sehingga Al+3 yang terbentuk sudah banyak tercuci. 5.1.5. Sulfat SO42- (me/100 g) Pirit (FeS2) dalam keadaan anaerobik diakumulasikan sebagai hasil reduksi besi dan sulfat. Akumulasi FeS2 memerlukan banyak SO4-2 yang banyak dikandung di air laut (pustaka). Dengan demikian akumulasai FeS2 terjadi pada tempat-tempat yang banyak dipengaruhi air laut. Tanah yang mengandung FeS2 mempunyai pH di sekitar netral, selama tanah tersebut berada dalam keadaan anaerob atau tergenang air. Apabila pirit (FeS2) kontak dengan udara akan teroksidasi menjadi sulfat. Pada Lokasi 1 parit 4 Rantau Rasau II, jumlah SO4-2 meningkat pada lapisan atas tanah dari tahun 1973 ke tahun 1984 dan 2008. Sementara pada lapisan bawah tanah (> 40 cm) jumlah sulfat tahun 1984 dan 2008 hampir sama (Gambar 19). Pada lapisan atas tahun 2008 terdapat SO4-2 sebanyak 8,28 me/100 g (Lampiran 8)
69 -2
SO4 (me/100 g) Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Gambar 19 Perubahan Jumlah SO42- tahun 1973, 1984 dan tahun 2008. Pada lokasi 2 Sungai Dusun SK 21 jumlah SO4-2 meningkat dari tahun 1973 awal reklamasi ke tahun 2008. Lokasi 3 jumlah SO4-2 pada lapisan tanah meningkat dari awal reklamasi 1973 ke 1984 dan turun kembali tahun 2008. Perbedaan kandungan SO4-2 antara lokasi 2 dan lokasi 3 dapat dijelaskan pada lokasi 2 yang memiliki kondisi lebih rendah dan tergenang pada musim hujan dan air tanahnya dangkal pada musim kemarau. Sedangkan lokasi 3 Harapan Makmur SK 12 berada pada lokasi yang lebih tinggi dan air tanah lebih dalam sehingga oksidasi pirit melepaskan SO42- dan H+ . Kandungan SO4-2 pada tahun 2008 menunjukkan pada semua lokasi mengandung sulfat lebih tinggi mulai kedalaman 40 cm. Hal ini berkaitan dengan keberadaan pirit terutama pada lokasi 1 dengan kandungan pirit 1,34% , pada lokasi 20,1% dan lokasi 3 0,28%. Walaupun potensi sulfat masam didasarkan pada kandungan pirit 1,2% namun kadar pirit di bawah batas tersebut tetap diperhatikan karena dapat membahayakan bagi pertumbuhan tanaman. 5.2. Kualitas Air Kualitas air pada awal reklamasi pada tahun 1973 menunjukkan nilai pH air sungai Batanghari 6,36 dan Sungai Batang Berbak 6,39 sedangkan pH air parit Rantau Rasau II 4,48, air tanah Harapan Makmur 3,92 EC, air Sungai Batanghari 49 uS/ cm dan air lahan Harapan Makmur 155 uS/ cm. Sungai Batanghari mengandung SO4-2 sebesar 10,4 ppm. Sedangkan pada tahun 1984 kualitas air di daerah delta Berbak tercatat pH air sungai dan air parit 6,0 dan mengandung 6,66 ppm SO4-2 (IPB 1973 & IPB 1984).
70 Air sungai Batanghari dan Batang Berbak merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air di delta Berbak. Kemasaman tanah kedua air sungai tersebut 6,9 -7,1 dengan EC 42 uS/cm sampai 46 uS/cm baik waktu pasang maupun waktu surut (Tabel 14). Kualitas air sungai Batanghari memenuhi persyaratan untuk dijadikan air bagi pertanian. Kualitas air pada tahun 2008 pada beberapa lokasi memiliki pH sangat masam yaitu 3,05 di Bangun Karya dan 3,27 di Sungai Dusun. Sementara pada lokasi dan daerah yang mendapat limpasan air segar dari sungai Batanghari dan Batang Berbak masih memiliki pH di atas 6,0 seperti di desa Harapan Makmur. Tabel 14 Kualitas air sungai tahun 2008 pH EC-uS/cm
Al mg/L
Tanggal No ps srt
ps
srt
ps
srt
A Batanghari 6.96 6.93
45.00
44.00 0.05
0.35
1 10/14/2008 2 11/12/2008 6.90 6.98
44.00
43.00
B Batang Berbak 1 10/14/2008 7.05 6.97
42.00
46.00 0.40
2 11/12/2008 6.80 6.76
42.00
43.00
A : sungai Batanghari (lokasi Puding) B : sungai Batang Berbak (lokasi Kuala Pelita) ps : pasang srt : surut SO4-2ppm
Fe-ppm ps
srt
ps srt 2.58
2.58
0.28 0.30 9.50
2.09
0.73 0.64 2.42
3.44
0.65 0.48 6.44
14.34
1.18 1.04 Kualitas air pada lokasi 1 SK 4 Rantau Rasau II memiliki pH air saluran pada waktu surut lebih rendah dari waktu pasang sementara nilai EC lebih tinggi (Gambar 20 dan 21). Pada saat waktu pasang pH tanah berkisar antara 4,2-6,7 dan waktu surut 2,88–6,48 dengan nilai EC 45–97 uS/cm dan 68-398 uS/cm. rendahnya nilai pH pada waktu surut dibandingkan dengan pH air saluran pada waktu pasang dapat dipahami pada saat surut air saluran mengandung ion sulfat lebih tinggi. Pada saat surut air membawa hasil oksidasi pirit pada musim kemarau dan ikut bersama air keluar menuju saluran.
71 pH Gambar 20 Nilai pH air saluran di lokasi 1. EC Gambar 21 Nilai EC (uS/cm) air saluran di lokasi 1. Kualitas air pada lokasi 2 Sungai Dusun SK 21 (Gambar 22 dan 23) memiliki pH air saluran pada waktu pasang dan surut hampir sama yaitu berkisar 2,89-3,8 sementara EC pada saat pasang mencapai 460 uS/cm dan surut 470 uS/cm. Kandungan sulfat pada waktu surut lebih tinggi dibandingkan pada saat pasang. Kondisi di lokasi 2 ini lebih disebabkan tidak lancarnya siklus keluar masuknya air ke saluran sekunder dari lahan. pH Gambar 22 Nilai pH air saluran di lokasi 2.
72 EC Gambar 23 Nilai EC (uS/cm) air saluran di lokasi 2. Kualitas air pada lokasi 3 Harapan Makmur SK 12 memiliki pH yang cukup tinggi yaitu lebih dari 6 dengan nilai EC tertinggi 110 uS/cm (Gambar 24 dan 25). Kemasaman air saluran pada tanggal 25 januari 2009 rendah yaitu 3,86. Hal ini diduga adanya aliran dari saluran lain yang melimpas dengan kandungan sulfat yang tinggi. Dari tiga lokasi menunjukkan bahwa kualitas air yang lebih baik terdapat pada lokasi yang lebih dekat dengan sungai Batanghari atau Batang Berbak. Proses pencucian akan lebih lancar akibat adanya limpasan dari sungai besar. Proses pencucian tidak hanya melewati permukaan lahan tapi diduga dapat juga terjadi melalui aliran dalam tanah (seepage) pada daerah tersebut banyak ditemukan lubang bekas sisa pelapukan kayu yang ada di dalam tanah. pH Gambar 24 Nilai pH air saluran di lokasi 3.
73 EC Gambar 25 Nilai EC (uS/cm) air saluran di lokasi 3. Perubahan kualitas air dari awal reklamasi tahun 1973, 1984 dan 2008 menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kualitas air terutama pada saluran yang tidak lancar mendapat limpasan air pasang. 5.3. Tinggi Muka Air Sungai dan Air Saluran Daerah delta Berbak dipengaruhi oleh pasang surut berganda. Selama sekitar 25 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Perbedaan waktu kedua pasang kurang lebih 12,5 jam, sehingga pasang besar terjadi sekali dalam 25 jam, dengan pergeseran waktu mundur 57 menit setiap hari. Pergerakan air pasang di saluran delta Berbak sangat dipengaruhi langsung oleh pasang air laut, sungai Batanghari dan sungai Batang Berbak. Kedua sungai tersebut mempunyai pengaruh langsung karena ada saluran utama (primer) yaitu SK 16 yang secara tidak langsumg terhubung. Saluran SK 16 ini merupakan saluran yang tembus ke Batang Berbak. Selain itu, sungai Batanghari juga memiliki saluran primer ke Delta Berbak yaitu Parit Keladi FC1 (Teluk Keladi) dan FC 0 (Puding). Semetara itu, untuk daerah Rantau Makmur terdapat dua saluran yang mempengaruhi ke daerah Delta Berbak yaitu Rantau Makmur SK 7 dan SK 1. Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan skala peilskal yang dipasang di Sungai Batanghari, SK 16 Rantau Rasau II, Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3 diperoleh tinggi air pada waktu pasang dan tinggi air pada waktu surut baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Pola ketinggian muka air sungai Batanghari, SK 16 Rantau Rasau, Lokasi 1 Parit 4 Rantau Rasau II, Lokasi 2 SK 21 sungai Dusun dan Lokasi 3 SK 12 Harapan Makmur dapat dilihat pada Gambar 26, 27, 28 dan 29. Perbedaan tinggi muka air
74 sungai Batang Berbak pada pasang tertinggi sampai surut terendah di Kuala Pelita paling Tinggimukaair(cm) Tinggimukaair(cm) rendah pada musim kemarau 160 cm dan pada musim hujan 51 cm. Gambar 26 Tinggi muka air pasang dan surut sungai Batanghari. Gambar 27 Tinggi muka air pasang dan surut SK 16 Rantau Rasau II.
Tinggimukaair(cm) Tinggimukaair(cm) Gambar 28 Tinggi muka air pasang dan surut pada lokasi 1 Parit 4 Rantau Rasau II. Gambar 29 Tinggi muka air pasang dan surut pada saluran lokasi 2 SK 21 sungai Dusun
75 Tinggimukaair(cm) 76 Gambar 30 Tinggi muka air pasang dan surut lokasi 3 SK 12 Harapan Makmur. Sungai Batanghari memiliki selisih pasang tertinggi pada musim hujan dengan surut terendah pada musim kemarau adalah sebesar 218 cm, SK 16 sebesar 116 cm , Lokasi 1 sebesar 78,07 cm, Lokasi 2 sebesar 94,55 cm dan lokasi 3 sebesar 113,41 cm. Selisih pasang tertinggi dan surut terendah secara berurutan dari tertinggi ke terendah adalah pada sungai Batanghari , SK 16 , Lokasi 3 Harapan Makmur, Lokasi 2 sungai Dusun dan Lokasi 1 Rantau Rasau II SK 4. Adapun rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan surut yang paling rendah adalah Lokasi 2 sungai Dusun SK 21. Hal ini dapat dipahami bahwa lokasi 2 merupakan lokasi yang paling kecil dipengaruhi oleh air pasang dibandingkan dengan lokasi lain. Jarak sungai Batanghari dengan Lokasi 2 mencapai 10,5 km sehingga air pasang tidak mencapai lokasi tersebut. Selain itu, Lokasi tersebut merupakan daerah cekungan sehingga pada musim hujan air berlebih terutama pada bulan Januari dan Februari akan terakumulasi sehingga tergenang. Lokasi 3 lebih besar mendapat pengaruh pasang dibandingkan dengan Lokasi 1 dan Lokasi 2 karena mendapat pengaruh air pasang dari FC 1 dan FC 0 dari sungai Batanghari. Rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan surut sungai Batanghari adalah 139,85 cm; Sk 16 sebesar 51,61 cm; Lokasi 1 sebesar 26,19 cm; Lokasi 3 sebesar 37,47 cm dan Lokasi 2 sebesar 15,61 cm. Secara sederhana angka tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan surut menunjukkan semakin kecilnya pengaruh air pasang terhadap lokasi tersebut.
Download