HUKUM KARMA DIPANDANG DARI SEGI ETIKA S. Reksosusilo STFT Widya Sasana, Malang Abstract : Karma is a law that sprung from the Hindu tradition centuries ago. Nevertheless, it is still actual; and as a law it can be useful to cope the present challenge of evil made by human conducts in the paradigm of “jungle law.” I believe that the karma law can even lead positively society to the moral and civilized one. Civil society of Indonesia needs the karma law. This article is my personal attempt to underline the important role of the karma law in building up Indonesian civil society especially in terms of lawful enforcement to prevent evil occurred daily. The theme shall be dealt with in the following scheme: 1) the karma law in Hinduism, 2) ethics of human conducts, 3) conscience and ethical reasoning, 4) the karma law and ethics, 5) some coclusive points. Keywords : karma, hukum, etika, perbuatan Indonesia merindukan suatu sistem hukum yang ampuh untuk mencegah aneka tindak kejahatan yang melanda demikian hebat akhir-akhir ini. Saya berpendapat bahwa hukum karma merupakan salah satu kemungkinan yang dapat digunakan sebagai semacam pembasmi kejahatan yang berpola hukum rimba, serta demi tercapainya masyarakat yang bermoral, beramal dan berbudaya sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Namun dari segi etika (ilmu tentang tingkah laku) beberapa hal sehubungan dengan hukum karma ini perlu diperjelas agar dapat digunakan sebagai suatu hukum yang dapat dipakai untuk mengatur tingkah laku. 1. HUKUM KARMA1 Karma berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata dasar kar artinya “berbuat”, “melakukan sesuatu”. Karma artinya “berbuat”, ”melakukan sesuatu”. Karma artinya “perbuatan”, ”kelakuan”. Pengertian hukum karma merupakan bagian dari pola 1 106 Mengenai hukum karma, lihat William K. Maloney, “Karman: Hindu and Indian Concepts”; Misuno Kögen, “Karman: Budhist Concepts”, in Mircea Eliade (chief ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 8, New York, 1987. Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 pikir bangsa Hindu yang sudah ada beribu-ribu tahun yang lalu, sebelum bangsa Arya memasuki daerah India (± 5.000 seb. M.) Sebagai hukum, hukum karma sering diartikan hukum sebab akibat. 1.1. Dasar pemikiran hukum karma Seluruh alam semesta, termasuk manusia berasal dari satu dasar yang disebut Brahman, karena semua timbul dari satu dasar ada berbudi dan penuh bahagia (Sat, Cit, Ananda), maka semua yang ada berada dalam keserasian yang berbahagia, dalam suatu keteraturan yang disebut rta. Semua serba teratur, tidak ada yang serba kebetulan, semua ada tempatnya, semua tindakan membawa akibatnya, semua kejadian ada sebabnya, semua sudah diatur. Dalam keteraturan rta, maka semua yang ada memiliki “keberadaan” sendiri-sendiri. Binatang berada dan bersikap, berlaku “keberadaan” secara binatang; manusia berada dan bersikap, berlaku sebagai manusia. Semua yang ada memiliki dharma-nya sendiri-sendiri. Sehubungan dengan ini maka karma manusia haruslah sesuai dengan dharma manusia. Jadi arti hukum karma pada titik tolak pertama ialah hukum yang berbunyi: “Manusia haruslah berbuat sesuai dharma-nya sebagai manusia.” 1.2. Manusia sebagai yang hidup di dunia Hidup manusia dari muda sampai tua dibagi dalam 4 tahap:2 1. Brahmacarya: tahap seorang belajar menuntut ilmu; 2. Grhastha: tahap seseorang berkeluarga, beranak istri; 3. Vanaprasttha: tahap hidup menyepi di hutan, mulai meninggalkan hal-hal dunia fana ini; 4. Samnyasa: tahap mencapai kesempuranaan hidup melalui yang tinggi. Tahap-tahap hidup ini mencerminkan filsafat hidup orang India kuno. Tujuan akhir hidup mereka bukanlah untuk menikmati hidup enak di hari tua atau di akhirat, tetapi untuk lepas dari putaran hidup (samsara) di dunia ini. Namun orang India kuno juga realistis. Mereka sadar bahwa sebagai manusia yang hidup di dunia ini. Manusia juga harus melakukan dharmanya, hidup sebagai manusia yang menggunakan benda-benda dunia ini. Karena itu tujuan hidup manusia diungkapkan dalam empat macam : 1. Mencapai artha (kekayaan); 2. Mencapai kenikmatan/ kesenangan (kama); 3. Mencapai puncak hidup baik dengan mencapai kesempurnaan dalam jabatan hidupnya (Dharma), dan 4. Mencapai kesempurnaan hidup yang mengatasi hal-hal duniawi (Moksha). 2 Empat tahap kehidupan (Ashraman) mulai diajarkan oleh para Brahman ketika posisi mereka mulai menanjak. Lihat M. Winternitz, History of Indian Litterature, New Delhi, 1972, 232-233. S. Reksosusilo, Hukum Karma 107 Hidup manusia ditengah masyarakat ditentukan oleh dharmanya sendiri (Sva Dharma)3 , manusia yang ditentukan dalam tata aturan tugas manusia sebagai Brahmana: Pembina kebudayaan, agama dan kesusilaan atau sebagai Ksatrya: para prajurit dan para pejabat pemerintahan atau sebagai Vaisya yaitu para pedagang para petani, para pengrajin dan sebagai Sudra yaitu para buruh dan pekerja. Dalam pengertian filsafat hidup manusia India kuno, empat macam bidang hidup ini bukan mengkotak-kotakkan manusia dalam lapisan yang terpisah-pisah namun merupakan suatu pembagian tugas demi keteraturan hidup manusia. Apa artinya seorang Ksatrya tanpa bimbingan para Brahmana? Apa artinya seorang ahli bangunan tanpa buruh kasar yang mengerjakan bangunan? Masing-masing tugas jabatan memiliki sifat dan sikap tertentu: Seorang brahmana harus bersikap tenang, memiliki pengendalian diri yang tinggi, tidak keburu nafsu, hidup murni, sederhana, jujur, penuh pengetahuan dan kebijaksanaan, ia seorang yang beriman dan penuh takwa. Seorang ksatrya ialah pelindung rakyat dan masyarakat, ia harus bersifat tegas, berani, penuh tekad dan akal dalam menghadapi persoalan, murah hati dan penuh wibawa. Seorang vaisya ialah seorang yang mengatur hal-hal kebendaan, ia harus tekun, rajin, jujur, hemat. Seorang sudra ialah seorang pekerja, ia harus rajin, tekun, taat. Selanjutnya perlu kita ungkap sedikit mengenai pandangan hidup tentang jiwa manusia. Kebanyakan pemikiran Hindu berpendapat bahwa jiwa ialah: suatu rohani yang kekal, yang masuk dalam kurungan badan jiwa masih terikat oleh ikatan badani. Apakah lain selama jiwa masih terikat oleh ikatan badani? Apakah yang membuat ikatan badani itu? Yang membuat ikatan badani ialah karma manusia. Dalam seluruh konteks ajaran Hindu Kuno mengenai manusia, hukum karma dapat dijelaskan sebagai berikut: Hukum Karma menetapkan agar manusia berbuat dengan dharma-nya, sesuai jabatan (varna) yang didudukinya. Setiap perbuatan membawa “buahnya”, buah itu berbentuk keadaan konkret, dan juga keadaan yang membekas pada jiwa manusia yang menentukan karakter manusia, yang menentukan kemana jiwa berpindah setelah manusia itu mati. Setiap perbuatan manusia meninggalkan “bekasnya” dan membawa “buahnya”, buah baik yang dinikmati manusia maupun buah-buah buruk yang harus dideritanya. Pada saat manusia mati jiwa itu masih penuh dengan “buah-buah perbuatan manusia itu, dan manusia itu lahir kembali, reinkarnasi, dalam keadaan lain yang baru. Kalau “buah baik” yang dominan maka manusia lahir dalam tingkat yang lebih baik dari hidup sebelumnya; kalau “buah buruk” yang dominan maka manusia lahir dalam keadaan yang lebik buruk, bahkan dapat lahir kembali sebagai binatang. Dengan demikian manusia akan hidup terus berganti keadaan sesuai karmanya, Inilah hukum karma. Dalam alam pikiran Hindu Kuno dan juga dalam alam pikiran Buddhisme hidup terus begitu itu dirasakan sebagai beban, karena bagaimanapun nikmatnya 3 108 Empat kasta sudah dikenal pada masa Atharva Veda. Waktu itu kasta merupakan pembagian tugas, bukan pemisahan eksklusif soal martabat. Lihat, M. Winternitz, Ibid., 123. Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 hidup di dunia ini selalu penuh dengan kedukaan. Kedukaan yang adalah akibat dari alam yang serba berubah ini; kedukaan yang berasal dari kodrat alam ini.Sebab itu manusia India Kuno dan manusia Buddha ingin lepas dari putaran karma, putaran perbuatan, putaran hidup yang disebut samsara, mereka ingin mencapai Moksha, atau pada orang Buddha mencapai Nirvana. Pada situasi alam pikiran seperti ini hukum karma tidak memiliki daya tarik apa-apa bagi orang Hindu Kuno maupun bagi orang Buddha. Pengertian yang mengatur perbuatan mereka ialah pengertian “hukuman” yang dapat diterapkan oleh pengusaha melalui hukum-hukum yang sudah tertulis dalam kitab agama maupun kitab hukum negara. Hukumanlah yang menjadi pengatur tingkah laku. Orang berbuat baik karena takut dihukum, orang meninggalkan perbuatan jahat karena takut dihukum. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam Buddhisme ada pergeseran pemikiran mengenai tujuan hidup. Kalau dulu Nirvana diartikan keadaan “lepas” dari segala yang “dunia ini”, maka mulai timbul pemikiran bahwa Nirvana ialah keadaan menikmati kenikmatan. Bagaimana kenikmatan itu dapat diperoleh? Kenikmatan dapat diperoleh melalui “pahala” dari perbuatan (karma). Perbuatan itu adalah baik karena membawa pahala, dan dengan pahala manusia dapat mengecap kenikmatan. Sebaliknya perbuatan itu jahat karena membawa “yang tak berpahala” dan “yang tak berpahala” membuat orang mengalami penderitaan.4 1.3. Antara “perbuatan” dan “buahnya” Pandangan pertama mengajarkan karma ialah perbuatan itu sendiri; perbuatan itu membawa “pahala”, maka perbuatan itu membawa akibat kenikmatan; kalau perbuatan itu membawa “yang tak berpahala”, maka perbuatan itu membawa akibat penderitaan. Disini karma adalah perbuatan itu sendiri yang membawa “pahala” atau membawa “yang tak berpahala”. Kenikmatan dan penderitaan dapat dikatakan hasil kelanjutan dari perbuatan itu sendiri. Pandangan kedua ialah perbuatan kita membawa “pahala” atau “yang tak berpahala”, pahala itu mengakibatkan karma baik dan karma mengakibatkan/ membawa kenikmatan; sedangkan perbuatan lain membawa “yang tak berpahala”, hal itu mengakibatkan karma buruk yang lalu membawa penderitaan. Dalam pandangan kedua ini karma berlainan dari perbuatan itu sendiri namun karma baik, atau membawa pahala dan kenikmatan; karma buruk, “yang tak berpahala” dan penderitaan tetap berhubungan dengan perbuatan. Bagaimana hubungan antara perbuatan dengan kenikmatan dan penderitaan? Dalam hal ini lagi ada dua pendapat. Pendapat yang satu mengatakan hukum karma 4 Lihat Misuno Kögen, Op.Cit., 266-268. S. Reksosusilo, Hukum Karma 109 berarti setiap perbuatan membawa akibatnya sendiri-sendiri yang tidak dapat dielakkan dan harus ditanggung sendiri secara penuh. Pendapat yang lain mengajarkan akibat dari perbuatan dapat dihitung secara kumulatif, sehingga suatu penderitaan akibat perbuatan yang membawa “yang tak berpahala” dapat dikurangi atau dihilangkan oleh kumpulan kenikmatan dari “pahala” perbuatan-perbuatan lainnya. Perbuatan mana yang “berpahala” dan mana yang “tidak berpahala”, dengan cermat ditetapkan dalam kitab-kitab agama mereka yang mengandung ajaran mengenai “nilai” dan “harga” dari perbuatan. Bagaimanakah penilaian dari ajaran hukum karma menurut pemikiran Hindu dan Buddha ini dari segi Etika? 2. KAIDAH-KAIDAH ETIKA TENTANG PERBUATAN5 Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perbuatan / tingkah laku manusia dari segi penilaian baik dan jahat. Etika bertitik tolak dari suatu kaidah dasar: manusia harus melakukan yang baik dan menghindari / tidak melakukan yang jahat. Persoalan pokok etika ialah kapankah perbuatan dapat masuk penilaian etis, faktor-faktor apa yang menentukan nilai etis, dan bagaimana menentukan nilai etis? Apakah yang dimaksud “baik”, apa yang dimaksud perbuatan “jahat”? Bagaimana menentukan “baik” dan “jahat”? Dalam bagian ini saya akan menguraikan tentang soal kapan suatu perbuatan masuk penilaian etis, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bagaimana menentukan nilai etis. Dalam etika ditegaskan bahwa manusia mempunyai kodrat kemanusiaan, tingkah lakunya berbeda dari binatang. Namun sebaliknya sebagai makhluk berbadan, badannya bertindak sesuai kaidah hukum alam mekanisme gerakan tubuh, jantungnya berdegup memompa darah, dadanya naik turun menghembuskan dan menghirup udara dalam bernafas. Anggota tubuh melakukan gerakan refleks dan sebagainya. Semua tingkah laku badan manusia sebagai mekanisme gerak tubuh tidak termasuk penilaian etis. Dada yang naik turun karena bernafas tidak bisa dihitung masuk perbuatan baik atau perbuatan jahat. Memicingkan mata karena silau tidak masuk penilaian baik atau perbuatan jahat. Dalam etika yang masuk penilaian etis ialah perbuatan yang dilakukan dengan tahu dan mau. Keduanya, tahu dan mau merupakan syarat untuk suatu perbuatan yang bebas dan karenanya bisa dipertanggungjawabkan. Tahu berarti akal budi manusia mengerti penuh bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu perbuatan baik atau perbuatan jahat. Mau memaksudkan setelah tahu, 5 110 Austin Fagothey, Right and Reason, Mosby Company, New York 1972, 13-34. Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 manusia menimbang-nimbang mengenai perbuatan itu lalu memutuskan melakukan perbuatan itu, dan menjalankan berdasarkan keputusan ini. Tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Ketidak-tahuan. Kalau orang tidak tahu bahwa suatu perbuatan itu jahat dan kalau dia melakukan itu, secara etis perbuatannya tidak dapat dinilai jahat. Dia bukan orang jahat. Meskipun secara obyektif dia melakukan perbuatan yang jahat. Perbuatan jahat yang dilakukan karena tidak tahu menjadi kurang jahat dari pada perbuatan jahat yang dilakukan dengan pengetahuan penuh. Nafsu. Nafsu ialah gelora emosi yang membuat manusia kurang jernih penalarannya dan bertidak emosional. Suatu nafsu yang mengaburkan kejernihan akal budi kita, sebelum kita melakukan perbuatan itu, mengurangi nilai etis perbuatan kita. Namun suatu nafsu yang sengaja dikobarkan-kobarkan jika menyeret seseorang ke suatu perbuatan, maka perbuatan itu akan mendapat penilaian etis yang lebih. Kebiasaan. Oleh kebiasaan orang melakukan perbuatan tanpa berpikir panjang; oleh karena kebiasaan sesuatu perbuatan menjadi “biasa”, “tidak apa-apa”. Bagaimana penilaian etisnya? Jika perbuatan dimulai agar nanti menjadi terbiasa maka kebiasaan menjadi tanggung jawab penuh si pelaku. Kalau perbuatan dimulai tanpa maksud menimbulkan kebiasaan, dan perbuatan itu sendiri tidak bersifat menimbulkan kebiasaan, maka kebiasaan yang terjadi mengurangi tanggung jawab. Kalau perbuatan yang dimulai pada hakekatnya diketahui akan menimbulkan kebiasaan melalui rasa “ketagihan”, maka meskipun perbuatan itu dimulai tanpa maksud menimbulkan kebiasaan , tetap kebiasaan yang timbul menjadi tanggung jawab kita. Faktor berikut yang dipengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang dalam melakukan perbuatan ialah rasa takut yang dikaitkan dengan intimidasi, ancaman, paksaan. Bagaimana kita menilai perbuatan yang dilakukan karena takut dan karena paksaan? Rasa takut pada prinsipnya hanya mengurangi nilai etis serta tanggung jawab kita. Berbuat baik karena takut dimarahi ibu tetap bernilai perbuatan baik, hanya saja nilainya kurang. Perbuatan jahat yang dilakukan karena takut merupakan perbuatan jahat, dan tetap tanggung jawab kita meskipun faktor “karena takut” dapat sedikit meringkankan tanggung jawab kita. 3. HATI NURANI DAN PENALARAN ETIS6 Darimana kita tahu bahwa suatu perbuatan itu baik atau jahat, jawabannya ialah dari hati nurani. Apakah hati nurani itu? Hati nurani sebetulnya akal budi kita yang sebelum kita melakukan suatu perbuatan menyatakan suatu prinsip mengenai perbuatan lalu juga menunjukkan apakah perbuatan konkret yang akan dilakukan itu termasuk prinsip itu atau tidak; selanjutnya hati nurani itu merupakan akal budi 6 Austin Fagothey, Ibid., 40-41. S. Reksosusilo, Hukum Karma 111 yang mengajak dan membolehkan kita melakukan perbuatan itu karena telah ditunjukkan bahwa perbuatan itu baik atau melarang kita melakukan perbuatan itu karena telah ditunjukkan bahwa perbuatan itu pada prinsipnya jahat. Setelah melakukan perbuatan, akal budi kita atau memuji kita karena telah melakukan perbuatan baik atau mencela diri kita karena telah melakukan perbuatan jahat. Suara hati nurani ialah suara akal budi kita sendiri. Namun kita dapat bertanya : dari mana akal budi kita tahu perbuatan mana masuk perbuatan baik, perbuatan mana masuk perbuatan jahat? Para ahli keagamaan sering secara umum sekali menyatakan bahwa “Prinsip-prinsip perbuatan baik dan jahat telah dimasukkan oleh Tuhan ke dalam batin manusia.” Ungkapan ini kalau dimengerti secara benar memang dapat diterima, namun kalau dimengerti secara harafiah dapat menyesatkan. Dari segi ilmu keagamaan kita dapat mengetahui bahwa semua agama yang ada di dunia ini pada dasarnya dan pada garis besarnya mengajarkan kaidah perbuatan yang sama: Semua agama mengatakan mengambil milik orang lain itu jahat, memberi derma itu baik. Berkata yang tidak benar itu jahat, berkata jujur itu baik. Perselisihan dan peperangan itu tidak baik, perdamaian dan ketentraman itu baik. Membunuh dan menganiaya seseorang tanpa alasan itu jahat, berbelas kasihan kepada sesama itu baik. Semua agama juga menganjurkan agar manusia memuja Tuhan. Dalam kenyataannya nanti tiap agama mengembangkan dasar-dasar umum itu secara lebih terinci, sehingga masing-masing agama berbeda satu sama lain. Kesamaan kaidah dasar mengenai apa yang baik dan apa yang jahat yang diketemukan dalam setiap agama itulah yang menyebabkan timbul pemikiran bahwa “Tuhanlah yang menanamkan kaidah-kaidah dasar itu”. 3.1. Beberapa teori etis7 Teori teleologi. Teori mengatakan manusia dalam bernalar mengenai perbuatannya akan didorong oleh tujuan (telos) atau akibat dari perbuatannya. Lalu menurut teori ini perbuatannya yang berakibat kegunaan, kebahagiaan dan kenikmatan akan membuat perbuatan itu baik nilainya, akibat yang merupakan kesengsaraan dan penderitaan akan membuat perbuatan itu jahat nilainya. Tetapi semua pengikut teori ini toh tetap mengakui kaidah dasar bahwa dalam mencari kegunaan, kenikmatan orang itu boleh sewenang-wenang mengikuti nafsu. Teori deontologi (wajib). Teori ini mengatakan bahwa manusia menilai suatu baik atau buruk bukan dari akibatnya tetapi dari keyakinan dasar bahwa perbuatan itu adalah WAJIB. Suatu perbuatan adalah baik karena itu baik dan manusia wajib melakukan yang baik. Namun bagaimana wajib itu ditentukan? Wajib ini ditentukan oleh prinsip dasar nalar manusia yang mengatakan: a) Sesuatu yang seyogyanya ditaati seluruh manusia yang bernalar, menjadi wajib; b) Manusia harus 7 112 Peter Singer (ed.), A Companion to Ethics, Oxford 1993, 161-205. Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 dihargai sebagai manusia dan bukan dianggap suatu alat belaka; c) Nalar manusia menolak perbuatan yang sewenang-wenang dan menarima suatu peraturan yang adil. Teori etika kodrat manusia. Teori ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa semua yang ada ini berada dan “berlaku” menurut kodrat dan hakekat benda itu : Hakekatnya dan kodratnya air itu basah dan mengalir. Karena itu air itu basah dan mengalir. Binatang buas itu kodratnya makan daging sebab itu dia makan daging. Manusia itu kodratnya ialah makhluk berbudi, karena itu perbuatannya harus sesuai dengan kodratnya itu. Disamping itu kodrat setiap makhluk ialah mencapai kesempurnaan kodratnya, maka juga manusia mengarah kepada perkembangan dirinya sebagai manusia makhluk berbudi. Teori Hukuman dan Pahala. Teori ini mengatakan bahwa manusia cenderung melakukan sesuatu kalau mendapat pahala dan tidak melakukan sesuatu karena hukumnya. Kebanyakan agama mengikuti teori ini sebab itu dalam setiap agama suatu perbuatan yang diajarkan sebagai perbuatan baik disertai dengan pahala yang akan diterima dan perbuatan jahat yang diajarkan disertai pula dengan hukuman yang akan diterimanya, agar manusia tidak melakukan perbuatan jahat itu. Teori ini membuat etika terkait dengan agama dan dengan hukum (baik hukum agama mau pun hukum profan (non agama). Sehubungan dengan agama: Dalam hal ini agama yang mengajarkan perbuatan mana yang baik, perbuatan mana yang terlarang; disertai dengan pahala serta hukumnya. Pengikut agama akan mengikuti perbuatan baik, karena ingin mendapat pahala sedangkan mereka tidak melakukan perbuatan yang terlarang karena takut kena hukumannya. Sehubungan dengan negara: Setiap negara ingin bahwa negaranya tertib, rakyatnya patuh, sehingga negara manjadi aman dan dapat mencapai tujuannya. Untuk mencapai ketertiban ini negara atau pemerintah membuat aturan-aturan atau hukum. Melalui teori diatas bahwa manusia didorong melakukan sesuatu karena ingin pahala atau takut hukuman, maka hukum negara melekatkan hukuman dan sanksi–sanksi pada peraturan-peraturan mereka, serta memberi pahala kepada warga negara yang setia patuh pada aturan negara. Dalam teori ini suatu perbuatan yang sesuai dengan yang diajarkan itu baik dan akan mendapat pahala; sedangkan perbuatan yang melanggar larangan itu jahat dan akan mendapat hukuman. Perlu dikatakan bahwa teori ini kurang berkenan kepada para pemikir ilmu etika, karena hukuman dan pahala merupakan motif yang kurang kuat untuk mendasarkan “kebaikan” ataupun “kejahatan” suatu perbuatan. 3.2. Pandangan Meta-Etis8 Dalam prakteknya ada banyak teori dan ajaran yang mencoba mendasari tingkah laku manusia. Banyak pemikir ilmu etika sekarang sadar bahwa tidak mudah 8 Ibid., 421-442. S. Reksosusilo, Hukum Karma 113 menemukan satu teori etika tentang perbuatan yang berlaku di seluruh dunia. Ada perbuatan yang dalam masyarakat tertentu dianggap baik oleh masyarakat lain dianggap kurang baik. Dan masing-masing masyarakat mempunyai penalaran masing-masing. Dari semua kenyataan itu para pemikir etika mengemukakan pandangan atas teori-teori etika yang ada dan merangkum dalam satu pandangan. Pandangan yang merangkum ini disebut pandangan meta-etis. Ada beberapa meta-etis : a) Relativisme Etis. Mengingat bagitu banyaknya padangan tentang perbuatan mana yang baik, perbuatan mana yang buruk, maka dapat disimpulkan bahwa etika itu relatif. Karena itu dalam berbuat kita harus melihat situasi dan kondisi setempat. Kalau di suatu tempat suatu perbuatan dinilai baik maka kita lakukan. Kalau suatu perbuatan dianggap jahat ya tidak kita lakukan. b) Pandangan Relativisme Etis ditentang oleh pandangan meta-etis yang menganut absolutisme etis. Dunia akan kacau kalau masing-masing dibiarkan mengikuti patokan etis bagi perbuatan sesuai pandangan masing-masing. Juga relativisme etis tidak dapat memberi jalan keluar kepada orang yang bingung. Dalam masyarakat A umpamanya : memberi uang pelicin itu baik, tanda tahu terima kasih, dalam masyarakat B memberi pelicin itu tidak baik, tidak jujur. Nah, bagaimana seorang yang terdidik dalam pola masyarakat B harus bertindak menghadapi kasus uang pelicin yang adalah biasa dalam masyarakat A? Haruskah ia menyesuaikan begitu saja, meskipun hatinya mengatakan bahwa memberi pelicin itu tidak baik? Sebab itu pandangan absolutisme etis mengatakan harus ada patokan perbuatan baik yang berlaku universal di seluruh dunia, sehingga apa yang menurut patokan itu jahat bagi orang Amerika harus juga diakui jahat bagi orang Indonesia, bagi orang Rusia, dan sebagainya. Dewasa ini memang umat manusia berusaha mencapai suatu patokan yang universal ini, dan rupanya sudah ada patokan dasar dalam “Declaration of Human Rights” yang ditandatangani oleh bangsa-bangsa di dunia pada tahun 1948. Memang dalam penerapannya banyak hal masih dipengaruhi oleh situasi sejarah, budaya, agama dari masing-masing negara, namun sebagai garis besar “Declaration of Human Rights” itu cukup diterima sebagai patokan etis untuk menentukan apakah suatu perbuatan baik dan jahat. Dalam ilmu etika rupanya manusia memilih jalan tengah antara absolutisme etis dan relativisme etis dalam arti sebagai berikut: memang harus ada patokan yang pada garis besarnya manusia menyetujui sebagai patokan menentukan baik dan jahat (Absolutisme), namun penerapannya di masing-masing masyarakat dapat menunjukkan tekanan dan nuansa yang berbeda. Pada umumnya dari segi agama manusia cenderung ke pola pemikiran absolutisme. Apa yang sudah ditetapkan oleh ajaran agama sebagai perbuatan baik harus dijalankan, apa yang sudah ditetapkan sebagai larangan harus secara universal tidak boleh dilanggar, dan hal itu harus berlaku untuk seluruh umat manusia. 114 Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 4. ETIKA DAN HUKUM KARMA Beberapa pokok pikiran mengenai etika hukum karma: Titik tolak ajaran hukum karma ialah pemikiran yang timbul dari kepercayaan keagamaan yang bertitik tolak bahwa alam semesta ini berasal dari makhluk tertinggi yang menempatkan semuanya dalam tempatnya yang teratur. Tidak ada kejadian yang tanpa sebab, tidak ada kejadian yang tanpa akibat. Selanjutnya hukum karma berlandaskan pemikiran bahwa ada jiwa yang akan hidup terus setelah manusia meninggalkan dunia ini. Perbuatan manusia dalam hukum karma dihitung dalam lingkup sebab akibat dari kejadian fisik baik organik maupun anorganik. Keadilan dalam hukum karma ialah keadilan “keseimbangan yang muncul dalam prinsip” seperti “gigi dibalas dengan gigi, mata dibalas dengan mata”. Hukum karma prinsipnya hukum sebab akibat yang mutlak, sehingga kalau akibat suatu perbuatan tidak segara tampak dipastikan perbuatan itu akan mendapat akibatnya (pahala atau hukuman). Entah nanti di kemudian hari, entah nanti di akhirat. Bagi perbuatan manusia pelaksanaan hukum sebab akibat menimpa manusia itu sendiri dan di-laksanakan oleh makhluk tertinggi (Tuhan). Pelaksanaan hukum sebab akibat oleh Tuhan tidak diketahui oleh manusia (hukum karma tingkat tinggi). Manusia tidak tahu kapan, siapa yang menjadi pembalas, balasan apa yang akan mengenai dirinya, dimana balasan itu akan tiba, dan bagaimana balasan itu akan menimpa. Hukum Negara dikaitkan dengan pelaksanaan hukum karma tingkat rendah dimana pelaksanaanya masih dapat diperkirakan dan manusia mampu mempengaruhi. Dalam ilmu etika, hukum didefinisikan peraturan dari akal budi yang nalar, diumumkan oleh pihak yang berhak dan berkuasa untuk kepentingan umum. Sebagai peraturan, hukum memerintah dan mewajibkan. Peraturan dari akal budi yang nalar artinya hukum bukan peraturan yang emosional, sewenang-wenang tetapi hasil pemikiran akal budi. Hukum menjadi sah apabila diberlakukan oleh pihak yang punya kuasa. Hukum bukan urusan setiap orang tetapi urusan orang yang berhak mengatur. Aturan itu harus diumumkan dan dapat diketahui oleh yang bersangkutan. Hukum dimaksudkan untuk kepentingan umum. Hukum adalah peraturan untuk kepentingan umum. Perintah seorang penguasa kepada seorang bawahannya untuk kepentingan pribadi penguasa bukanlah hukum. Ada beberapa macam hukum: Hukum Fisik / Hukum Alam. Aturan yang mengarahkan makhluk tak berakal budi untuk mencapai tujuannya. Aturan ini ditetapkan oleh Tuhan pencipta semesta alam; dilaksanakan dalam keteraturan oleh kodrat masing-masing makhluk alam; hukum ini dapat diketahui dan dirumuskan oleh akal budi manusia. Hukum Moral Natural. Hukum yang mengatur tingkah laku manusia melalui kodratnya sebagai manusia yang berakal budi, bersandar pada kehendak yang bebas S. Reksosusilo, Hukum Karma 115 yang membuat tingkah lakunya mempunyai nilai baik dan buruk dan si pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban. Hukum ini diberikan oleh Tuhan penguasa atas umat manusia melalui kodrat manusia yang adalah makhluk berakal budi, dapat diketahui penggunaan akal budi yang nalar dengan tujuan kesempurnaan dan kebahagiaan umat manusia. Hukum Manusia. Peraturan dibuat oleh manusia untuk mengatur tingkah laku manusia (bawahan) demi kepentingan bersama/kepentingan umum. Dari segi hukum, termasuk hukum yang mana hukum karma itu? Titik tolak hukum karma ialah hukum fisik sebab akibat dan masuk dalam manusia secara analogi dalam kepercayaan dan agama, dimana hukum sebab akibat diterapkan pada perbuatan manusia. Dari segi etika murni: hukum karma bukanlah moral karena tidak mengatur tingkah laku manusia, tetapi hanya mengajarkan bahwa semua perbuatan akan mendapat balasannya. Artinya manusianya sendiri masih harus mengatur tingkah laku sesuai hukum etika (dan penalaran etis). Dia hanya diberitahu oleh hukum karma bahwa perbuatannya akan mendapat balasan atau hukuman. Mengenai harapan bahwa hukum karma dapat dipakai untuk membasmi hukum rimba, bagaimana hal ini dipandang dari sudut kajian etis? Seperti diuraikan di atas, manusia mendapatkan norma-norma etis atau moral dari pendidikan atau kepercayaan serta agama yang dianutnya. Hukum karma itu termasuk penalaran etis yang berdasarkan hukuman dan pahala. Bagi mereka yang menganut penalaran ini memang lalu memandang hukum karma sebagai sesuatu yang perlu diperhitungkan. Namun harus diperhatikan bahwa ada penalaran etis yang lain. Juga perlu diperhatikan bahwa di kalangan pemikir etika berpendapat bahwa melakukan suatu perbuatan karena ada pahalanya atau takut mendapat hukumannya itu dari segi etika bukanlah suatu sikap yang terpuji. Ilmu Etika memang cenderung kearah sikap tanggung jawab akal budi, dimana akal budi mengatakan sesuatu perbuatan itu baik, dan manusia mengikuti perbuatan yang baik itu karena “kebaikannya yang instrinsik” bukan karena pahala atau karena hukuman, inilah ideal manusia beretika atau bermoral. Memang mengingat kelemahan budi dan kehendak manusia, kadang-kadang perlu ada dorongan lahir dari hukum manusia yang diungkapkan antara lain melalui hukum negara. Dalam hubungannya ini apakah tidak dapat dikatakan: Jadi hukum karma kan lalu dapat membasmi perbuatan jahat setara dengan hukum negara? Dalam menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan: Seseorang kalau penalaran etisnya sudah menjurus ke arah melakukan perbuatan kalau ada hadiahnya, atau takut hukuman biasanya hanya betul-betul patuh kalau hadiahnya konkret dan hukumannya itu konkret. Orang akan cenderung mencari akal untuk dapat tidak patuh tetapi dapat menghindari hukuman. Kekurangan hukum karma dari segi ini ialah justru keberlakuan hukum karma ini (terutama yang tingkat tinggi) tidak bisa diketahui secara konkret. Hanya keberlakuan yang tingkat rendah, dalam hukum negara dapat diketahui. Atas dasar inilah dapat dirasakan bahwa hukum karma tidak ampuh untuk membasmi perbuatan jahat. Kalau berlakunya melalui hukum negara orang mencari akal untuk menghindari hukuman, kalau berlakunya dalam tingkat tinggi, setelah Tuhan Yang Maha Kuasa orang justru tidak bisa tahu 116 Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 kapan, bagaimana dan sebagainya. Hal ini membuat orang tidak takut. Bukankah terjadi para koruptor justru tambah kaya dan jaya ? Secara konkret sering tampak hukum karma tidak adil. Pencuri ayam dihukum 1 bulan, koruptor 100 juta dihukum 24 bulan. Padahal kalau mau adil betul, kalau harga ayam Rp. 10.000,- mencuri ayam dihukum 1 bulan. Maka koruptor 100 juta rupiah harus dihukum 10.000 x bulan. Inilah sebabnya orang tidak terlalu takut pada hukum karma. Memang penganut hukum karma akan meningkatkan daya persuasi hukum karma perbuatannya. Itu dengan menyatakan “manusia tidak dapat lolos dari pahala atau hukuman perbuatannya”, “Tuhan Maha Adil Dan Mahakuasa”. Namun dasarnya tetap manusia tidak tahu kapan, bagaimana, di mana, karena itu sejauh manusia dapat melihat konkretnya di dunia ini orang tidak akan terpukau oleh hukum karma. Orang mulai peduli terhadap hukum karma, kalau manusia berpikir ke arah dunia akhirat, namun “ dunia akhirat sebagai konkret” itu lalu masuk jajaran agama. Agama dalam pemikiran etika, termasuk meta etis yang mengarah ke pemikiran absolutisme etis agama. Karena hukum karma termasuk meta etis, maka keampuhan harus dilandasi dulu oleh pengetahuan moral / etika baik melalui pendidikan etika, pendidikan agama maupun melalui pendidikan moral Pancasila. Dalam pendidikan agama dan moral Pancasila diajarkan, ditunjukkan dan dilatihkan perbuatan mana yang baik dan yang buruk. Dalam etika manusia diberi pandangan bagaimana berpikir menghadapi manusia lemah yang cenderung ke arah yang jahat dengan memakai persuasi pahala dan hukuman. Untuk memperkuat persuasi pahala dan hukuman orang dapat memakai iman kepada keadilan Tuhan, orang dapat memakai hukum karma. Tetapi harus diingat bahwa memotivasi perbuatan melalui rasa takut hukuman dan demi pahala dari segi etika merupakan suatu yang kurang nilainya. Orang yang kesadaran etiknya tinggi berbuat sesuatu karena melihat “kebaikan intrinsik”, bukan demi pahala atau takut hukuman. Pada kenyataannya di banyak buku keagamaan yang mengajarkan hukum karma dan dalam uraian tentang hukum karma selalu juga disinggung tentang perbuatan baik dan buruk yang juga dijabarkan dalam ajaran etika. Juga di banyak buku keagamaan ada petunjuk yang konkret mengenai pahala dan hukuman perbuatan manusia. Misalnya: Seorang Ulama Islam pernah saya dengar mengajarkan: “Perbuatan amal dalam bulan Ramadhan, akan mendapat pahala 700 kali lipat” (Renungan di suatu bulan Ramadhan di TV). Dalam Injil dikatakan “Siapa meninggalkan harta untuk mengikuti Kristus, akan mendapat pahala 100 kali ganda”. Sebaliknya juga diberi gambaran hukuman bagi mereka yang melakukan perbuatan terlarang. Namun semua macam ajaran dan uraian itu termasuk dalam suasana lain dari ajaran etika murni. Semua ajaran itu masuk suasana iman, suasana ajaran “dari Tuhan” suatu suasana meta etis. Sedangkan etika murni adalah ajaran petunjuk dari nalar dan akal budi. Dalam Etika dicoba diberi alasan–alasan yang lalu memberi “kebaikan intrinsik” dari suatu perbuatan. Dalam agama ajaran itu sudah masuk absolutisme S. Reksosusilo, Hukum Karma 117 moral. Ajaran ini baik, karena sudah diajarkan Tuhan, manusia tinggal harus menerimanya (dan memang manusia yang beriman menerimanya). Dalam ajaran mengenai perbuatan dalam hukum karma tidak diteliti secara nalar sendi dan dasar perbuatan, karena itu uraiannya kurang mendalam mengenai tingkah laku sendiri. Justru akal budi manusia dalam etikalah yang lalu menggarap liku-liku tingkah laku itu dengan lebih luas dan terinci. Tadi disinggung bahwa dalam ajaran keagamaan hukum karma juga diberi ukuran konkret pahala dan hukuman perbuatan tetapi juga konkretnya hukuman dan pahala itu masih berupa, kalau boleh pakai istilah saya “konkret akhirat” bukan “konkret dunia ini” Karena itu dampaknya dapat menciptakan suasana batin yang tegang. Jelasnya begini : saya berbuat baik karena yakin akan pahalanya, jadi saya hitung-hitung terus, menunggu terus mana pahalanya. Kalau pahala belum datang, saya lalu berkata : yaah, tunggu nanti di akhirat. Sementara itu harus terus berbuat baik yang kadangkadang sukar. Nah, menunggu begini ini membawa ketegangan. Juga ketakutan akan hukuman akhirat merupakan “ketakutan” yang menegangkan, karena saya tak pernah tahu apakah perbuatan jahat saya sudah dihukum dan “karma”-nya sudah dihapus, lalu saya dapat mulai hidup baru yang bersih. Hukum karma hukum yang menegangkan. “Menunggu pahala dan ketakutan hukuman” yang tak pernah nyata inilah yang menyebabkan orang mudah tergiur untuk memilih harta benda yang nyata di dunia ini dan nekad saja melakukan perbuatan jahat yang dilarang agama. Kalaupun manusia berbuat baik dan meninggalkan yang jahat karena hukum karma, sifatnya selalu “tegang terpaksa” tidak berdasar tanggung jawab yang sadar, yang menjadi ideal manusia yang beretika tinggi. 5. KESIMPULAN Setelah segala uraian di atas, maka kami tarik kesimpulan: 1) Hukum karma adalah ungkapan hukum sebab akibat dalam segi perbuatan manusia, dalam arti ini hukum karma ialah universal, namun tidak masuk secara hakiki dalam etika yang intinya ialah menelusuri hakekat dan norma perbuatan manusia melalui akal budi. 2) Hukum karma memasuki hanya sebagian dari penalaran etis, yaitu penalaran etis yang mendasarkan buruk baik pada hukuman dan pahala. 3) Hukum karma sebagai pola pikir meta etis cenderung ke arah absolutisme etika agama, lalu kurang dapat dipakai menghadapi bermacam-macam pandangan etis dari bermacam-macam masyarakat manusia. 4) Hukum karma karena secara “konkret dunia” kurang (tidak dapat diketahui) secara kejiwaan hanya membawa keadaan jiwa yang tegang; karenanya orang cenderung tidak mengakuinya atau berusaha mengabaikannya. 118 Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 5) Sebagai sarana menggalakkan hidup baik, membasmi kejahatan memang dapat berguna selama dikaitkan dengan iman dan absolutisme moral agama. Bahkan banyak agama di dalam ajarannya mencari usaha untuk tidak hanya menekankan hukum karma. Agama Hindu mencoba menekankan teori moksha. Agama Buddha yang mulai dari nirvana, memang menjurus ke arah hukum karma, namun akhirnya juga mencari bentuk pelepasan karma. Agama Islam dalam aliran sufi juga menekankan ketenangan mistik dari pada mencari pahala amal. Agama Kristen lebih menekankan Tuhan yang berbelas kasih dari pada Tuhan yang adil, Tuhan yang menghukum dan memberi pahala. Etika moral kristen menekankan cinta kasih dari pada ingat pahala dan hukuman. 6) Sebagai kesimpulan akhir yang juga merupakan saran, hukum karma dapat berguna mendorong manusia berbuat baik dan meninggalkan kejahatan. Namun dari segi etika perlu sekali dilandasi dengan sikap etis yang bertanggung jawab. Karena itu perlu ditekankan pendidikan dan penghayatan serta pengalaman norma-norma etika melalui pendidikan etika, moral Pancasila serta akhlak keagamaan. BIBLIOGRAFI Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 8, New York: Macmillan Publishers 1987. Fagothey, Austin, Right and Reason, New York: Mosby Company 1972. Singer, Peter (ed.), A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell 1993. Winternit, Maurice, History of Indian Litterature, vol. 1, New Delhi: Oriental Book 1972. S. Reksosusilo, Hukum Karma 119