BAB II DIALOG DAN KERJA SAMA ANTARUMAT BERAGAMA Seperti halnya keberagaman suku, bahasa dan golongan yang menjadi kekayaan Indonesia, keberagaman agama juga menjadi warna-warni yang semakin memperindah Indonesia tercinta ini. Di satu pihak keberagaman itu merupakan sesuatu yang sangat indah apabila para pihak yang berbeda itu berani untuk saling terbuka, memahami serta menghormati atau menghargai perbedaan itu. Dari perbedaan itu kita dapat belajar saling mengenal untuk mengetahui segala sesuatu yang bukan menjadi milik kita sehingga kita semakin diperkaya oleh perbedaan tersebut. Selain itu, dengan mengenal perbedaan yang ada, kita dapat belajar untuk menerima kenyataan bahwa manusia itu unik tidak ada yang sama, sekalipun berasal dari rahim yang sama. Perbedaan hendaknya dipandang sebagai peluang untuk mencapai kemajuan bersama. Jika perbedaan itu dilihat sebagai suatu ancaman akan melahirkan rasa curiga satu terhadap yang lain yang kemudian akan berkembang menjadi perselisihan antarkelompok yang berbeda ini, baik secara tertutup maupun terbuka. Umat Katolik sedah seharusnya bersikap terbuka (inklusif) terhadap keberagaman. Sikap terbuka ditandai dengan antara lain keberanian untuk mengenal dan memahami kekhasan agama-agama lain terutama yang ada di Indonesia. Setelah mengenal dan memahami agama-agama lain diharapkan kita mau mengembangkan sikap untuk berdialog dengan umat beragama dan berkepercayaan lain. Dalam dialog kita bukan hanya diajak basabasi dan sekedar menghindari perselisihan melainkan harus sampai pada kesamaan sikap untuk saling memahami dan menghargai perbedaan maupun persamaan yang ada. Dialog dimaksudkan untuk membangun komitmen bersama khususnya dalam menangani permasalahan hidup bersama A.Memahami Kekhasan Agama-Agama di Indonesia Memahami dan mengenal agama lain membutuhkan ketulusan, kearifan dan keterbukaan hati yang tinggi. Mengenal dan memahami tidak dapat dilakukan ketika tujuannya adalah membandingkan antara agama yang dianut dengan agama lain. Tujuan mengenal agama lain harus ditempatkan dalam kerangka untuk mengenal dan memperkaya diri. Dengan mengenal dan memahami agama lain secara tulus dan arif dalam suasana ketebukaan, diharapkan orang tidak lagi mencari pembenaran diri dan berusaha untuk menangkis pertanyaan informatif yang dianggap sebagai suatu serangan bahkan penodaan. Pengenalan dan pemahaman yang tulus memungkinkan tumbuhnya keterbukaan dan sikap apresiatif satu sama lain. 1. Berbagai agama di Indonesia dan kekhasannya Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta “agama” yang berarti antara lain: “peraturan tradisional”, “ajaran”. Kata “agama” sering diartikan sebagai “kumpulan peraturan-peraturan atau ajaran”. Kata lain untuk menyatakan konsep tersebut adalah religi. Kata “ religi” berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare (lat.) yang berarti mengikat kembali, maksudnya ikatan manusia dengan Tuhan. 1 Enam agama besar yanag paling banyak pengautnya di Indonesia yaitu; agama Islam, Kristen dan Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Di masa yang lalu pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun melalui keppres No. 6/2000, presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Penetapan Presiden (Penpres) no.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama dijelaskan bahwa agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu Buddha dan Konghucu. Meskipun demikian, bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi atau tidak resmi di Indonesia. Kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yanag hanya menyatakan kelima agama tersebut. Namun surat keputusan tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang kebebasan beragama dan Hak asasi manusia. Di samping pengakuan akan keberadaan kelima agama tersebut pada masa orde baaru juga dikenal kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas. Berikut ini agama-agama yang berkembang di Indonesia; a. Agama Islam Kata Islam berasal dari bahasa Arab Aslama yaitu bermaksud untuk menerima menyerah atau tunduk. Dari segi kata itu, Islam diturunkan dari akar kata yang sama dengan kata salam yang berarti “damai”, kata Muslim (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islam, kata tersebut berarti orang yang berserah diri kepada Allah. Kepercayaan dasar Isalam dapat ditemukan pada dua kalimat persaksian yaitu “Laa ilaha illalla, Muhammadur Rasulullah” yang berarti: “tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”. Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas. Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah Mengucap dua kalimat syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengsn benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah Mendirikan shalat wajib lima kali sehari Berpuasa pada bulan Ramadhan Membayar zakat Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu. Kitab suci agama Islam disebut Al-Qur’an diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril. Nabi dalam agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW. Dia adalah nabi terakhir dalam ajaran Islam. Dalam Islam, dikenal istilah hadits, yakni kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad. Hadits adalah teks utama (sumber hukum) kedua Islam setelah Al’Quran. 2 b. Agama Hindhu Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Pada awalnya kata Hindhu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindhu sering kali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak dewa, namun tidak sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindhu, dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindhu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindhu, Adwaita Weddanta, ditegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam agama Hindhu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindhu yang meliputi: widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dan segala aspeknya. Atma tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk. Karmaphala tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab akibat dalam setiap perbuatan. Punarbhawa tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkanasi). Moksa tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia. Ajaran agama dalam Hindhu didasarkan pada Kitab Suci atau susastra suci keagamaan yang memuat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Susastra Suci tersebut di antaranya adalah Weda, Upanishad, Tantra, Agama dan purana serta kedua Itihasa (epos), Ramayana dan Mahabharata. c. Agama Buddha Menurut tradisi Buddha, tokoh historis mereka adalah Buddha Siddharta Gautama. Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, Raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada Kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya kehidupan nyata adalah kesengsaraan yang tidak dapat dihindari. Kemudian Siddharta meninggalkan kehidupan mewahnya yang tidak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Ia berpendapat bahwa bertapa juga tidak ada artinya dan lalu mencari jalan tengah yaitu sebuah kompromi antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri. Pada usia 35 tahun dia mencapai pencerahan. Pada saat itu dia dikenal sebagai Gautama Buddha sebuah kata sansekerta yang berarti “ia yang sadar”. Inti ajaran Buddha mengenai hidup manusia tercantum dalam Catur Arya Satya yang berarti Empat Kasunyataan atau Kebenaran Mulia yaitu; 1. Dukha-Satya : hidup dalam segala bentuk adalah penderitaan 2. Samudaya- Satya : penderitaan itu disebabkan karena manusia memiliki keinginan dan nafsu. 3. Nirodha- Satya : penderitaan dapat dilenyapkan (moksha) dan orang Mencapai nirvana (kebahagiaan) dengan membuang segala keinginan dan nafsu 3 4. Marga- Satya : jalan untuk mencapai pelenyapan penderitaan sehingga dapat masuk ke dalam nirwana adalah delapan jalan utama asta- arya-marga yaitu keyakinan yang benar pikiran yang benar, perkataan yang benar, perbuatan yang benar, penghidupan yang benar, daya upaya yang benar, perhatian yang benar dan semadi yang benar. d. Agama Kristen Protestan adalah sebuah aliran dalam agama Kristen. Muncul setelah protes Matin Luter pada tahun 1517. Kata “protestan” sendiri diaplikasikan kepada umat Kristen yang menolak ajaran maupun otoritas Gereja Katolik yang berarti anggota Gereja yang melakukan protes. Proterstantisme mempunyai ciri sebagai berikut: Gereja diadakan oleh rahmat Tuhan, oleh pilihan, sabda, sakramen dan anugerah iman. Gereja yang benar ini tidak kelihatan dan tidak identik dengan Gereja-Gereja yang kita ketahui anggota dan susunannya (yang disebut Gereja yang dikelihatan). Gereja yang kudus adalah persekutuan orang yang benar-benar beriman. Gereja memberitakan sabda Allah’ “secara murni” dan melayani Sakramen pembaptisan dan perjamuan Tuhan “dengan tepat” yakni “sesuai dengan Alkitab”. Kitab Suci adalah satu-satunya sumber ajaran dan susunan Gereja. Oleh karena itu, Sola scriptura (diselamatkan karena Kitab Suci) adalah prinsip formal protestantisme. Alkitab menerangkan sendiri artinya kepada setiap orang yang membacanya sehingga Gereja tidak berwenang memberi tafsiran otentik. Pembenaran orang dari semula sampai selesai semata-mata rahmat ilahi (sola gratia). Tuhan menyatakan orang beriman benar bukan karena ia benar, melainkan karena ia kebenaran Kristus yang dikenakan padanya. Keselamatan diharapkan hanya dari sabda ilahi saja. Sabda Ilahi adalah satu-satunya sarana rahmat yang dapat berbentuk Alkitab, kotbah, sakramen dan pembicaraan rohani. Sakramen tidak lain daripada Sabda ilahi dalam bentuk kelihatan. Artinya yang dialami dan bukan hanya didengar. Oleh karena itu Ibadat liturgi tidak begitu mendapat perhatian. Selain Pembaptisan dirayakan juga Perjamuan Tuhan yang tidak dianggap kurban dan tidak mengenal perubahan (transsubstantiatio) roti dan anggur ke dalam Tubuh dan Darah Kristus. Sebagian besar jemaat protestan mengimani bahwa Kristus hadir dalam Perjamuan Tuhan. Berkat iman, orang bertemu dengan Kristus waktu menerima komuni. Imamat umum semua orang beriman saja yang diakui sehingga pendeta dan orang awam hanya berbeda menurut fungsi saja tanpa perbedaan rohani secara eksistensial. Ciri-ciri tersebut di atas membedakan protestantisme dari katolisisme. Di Protestantisme masih terdapat perbedaan pandangan yang luas sekali karena kurangnya instansi yang mengambil keputusan yang mengikat. Oleh karena itu timbul banyak Gereja Kristen protestan. Persamaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan jelas sangat banyak dan menyangkut hal-hal yang sangat fundamental karena berasal dari Yesus Kristus yang diakui keduanya sebagai Dasar Gereja. Keduanya mengakui Allah yang 4 sama, para nabi, Kitab Suci dan Syahadat yang sama. Hanya ada sejumlah perbedaan penafsiran dan penekanan. Perbedaan itu antara lain sebagai berikut; KATOLIK PROTESTAN TEKANAN ADA PADA Sakramen dan pada segi sakramen (tanda kelihatan) dari karya Allah. Kultis, yang mementingkan kurban (Ekaristi) Hubungan dengan Gereja menentukan hubungan dengan Kristus. Gereja secara hakiki bersifat hierarkis Kitab suci dibaca dan dipahami di bawah pimpinan hierarki. Jumlah Kitab Suci 73, termasuk Deuterokanonika yaitu 1-2 Makabe, Sirakh, kebijaksanaan, Tobit, Yudith dan Barukh Ada 7 Sakramen Tekanan pada Sabda/pewartaan dan pada segi misteri karya keselamatan Allah. Profetis yang terpusat pada Sabda (pewartaan) Hubungan dengan Kristus menentukan hubungan dengan Gereja. Segala pelayanan gerejawi adalah ciptaan manusia. Setiap orang membaca dan mengartikan Kitan Suci. Jumlah Kitab Deuterokanonika Suci 66, tidak termasuk Ada dua Sakramen: sakramen Baptis Ekaristi/Perjamuan Tidak menerima devosi kepada para kudus Ada devosi kepada para kudus dan Gereja Katolik maupun Gereja Kristen lainnya memiliki sejumlah perbedaan seperti tersebut di atas namun masih ada kemungkinan untuk melakukan kegiatan bersama untuk membangun persaudaraan diantara jemaat yaitu melalui ibadat bersama yang sebut Ekumene e. Agama Konghucu Agama Konghucu adalah agama yang mengambil nama Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong Fuzi). Intisari ajaran Khong Hu Cu adalah sebagai berikut: *. Delapan pengakuan iman yaitu: 1. Sepenuh hati percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Sepenuh iman menjunjung kebajikan. 3. Sepenuh iman menegakan Firman Gemilang. 4. Sepenuh iman percaya adanya Nyawa dan Roh. 5. Sepenuh iman memupuk Cita berbakti. 6. Sepenuh iman mengikuti Genta Rohani nabi Kongzi. 7. Sepenuh iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing. 8. Sepenuh iman menempuh jalan suci. *. lima sifat kekekalan yaitu: 1. cinta kasih. 2. Kebenaran, keadilan, kewajiban. Kesusialaan, kepantasan. 4. Bijaksana. 5. Dapat dipercaya. 3. *. lima hubungan sosial yaitu hubungan antara: 1. isteri. 3. Orangtua dan anak. Pimpinan dan bawahan. 2. Suami dan 4. Kakak dan adik. 5. Kawan dan sahabat. *. Delapan kebajikan yaitu: 1. laku bakti. 2. Rendah hati. 3. Zhong- Satya. 4. Dapat dipercaya. 5. Susila. 6. Bijaksana. 7. Suci hati. 8. Tahu malu. f. Agama Asli Nusantara Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam, Kristen, Katolik, Kristen protestan, Hindu, Buddha Konghucu masuk Indonesia. Agama Asli Nusantara yang dimaksud antara lain yaitu; Sunda Wiwitan yang dipeluk masyarakat Sunda, Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 5 Parmalim agama asli Batak, Kaharingan di Kalimantan, Tonaas Waliam di Minahasa (Sulawesi Utara), tolottang di Sulawesi selatan, Wetu telu di Lombok dan Naurus di pulau Seram di Propinsi Maluku. Hingga kini, tak satupun dari agama Asli Nusantara di atas diakui di Repulik Indonesia sebagai agama dengan hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di kantor Catatan Sipil dsb. 2. Orang Kristiani Menempatkan Diri terhadap Umat Beragama Lain Yang menjadi dasar bagi orang Kristiani dalam upaya menempatkan diri terhadap Umat beragama lain adalah: Pertama, hanya Allah-lah Sumber Cinta Kasih dalam kehidupan. Surat Paulus kepada umat di Roma (Rm. 2:1-16) sebagai dasar bagi orang kristiani menempatkan diri di hadapan Allah dalam kebersamaan dengan sesama. Dalam suratnya, Paulus menegaskan bahwa di hadapan Allah semua manusia itu beroleh cinta kasih Allah yang tulus agar setiap orang senantiasa berjalan menuju kepada Allah. Alah yang menarik manusia ke dalam kehidupan-Nya sehingga manusia terarah kepada Allah. Bukan karena predikat dan prestasinya manusia mampu berjalan menuju Allah. Oleh karena itu, setiap manusia dipanggil untuk menjadi saudara bagi sesamanya dalam perjalanan menuju kepada Allah di dunia ini sehingga terhadap sesamanya setiap orang yang dibaptis harus menjadi sesama yang sepadan yang berjalan bersama yang lain menuju Allah berkat cinta kasih Allah. Tindakan menghakimi orang lain dengan menyatakan bahwa keyakinan yang dimilikinya tidak membawa keselamatan berarti mereduksi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya ke dalam ukuran yang sangat manusiawi yang dibuat untuk orang lain. Cinta kasih Allah tidak terbatas. Semenatara itu, cinta kasih manusiawi terbatas dan tak jarang memberi syarat yang mustahil dilakukan. Menurut Paulus dalam pergaulannya dengan sesama, misteri cinta kasih yang tak terbatas memang diungkapkan dalam cinta kasih manusia yang terbatas. Dalam keterbatasanya, manusia dipanggil untuk mengungkapkan cinta kasih Allah yang tak terbatas. Kedua, Kristus mengutus Gereja untuk hidup di dunia. Sejak konsili Vatikan II, terhadap umat beragama lain, Gereja katolik menempatkan dirinya sebagai rekan seperjalanan menuju kepada Allah sang Sumber Kehidupan. Dalam kebersamaan sebagai rekan seperjalanan menuju kepada Allah itu Gereja diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa (AG 10). Perutusan itu hanya dapat dilakukan Gereja dengan tetap berada dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat untuk menyampaikan kesaksiannya akan cinta kasih Allah kepada manusia. Melalui hidupnya setiap orang kristiani diutus untuk menghadirkan Allah yang menganugerahkan hidup kepada manusia sebagai manusia baru dengan baptis dan krisma. Kesaksian hidup dilakukan agar orang lain yang menyaksikan mampu mengucap syukur atas hidupnya kepada Allah dan berkat kesaksian itu setiap orang digerakkan untuk mengembangkan hidupnya dalam persekutuan dengan segenap umat manusia. Dengan dasar itulah, berikut ini cara Gereja menghayati dirinya sebagai sahabat seperjalanan bagi umat manusia. 6 a. Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat. Kebersamaan dengan semua orang, gereja dipanggil Allah untuk ambil bagian dalam pembangunan dan pelestarian hidup di bumi dalam perjalanan menuju kepada Allah. Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah yang penyelenggaraan-Nya meliputi semua orang (NA art.1) b. Gereja membuka dirinya untuk mengenal dengan tulus cara hidup dan ajaran-ajaran agama lain karena ajaran-ajaran itu memancarkan sinar kebaikan Allah yang menyinari hidup semua orang. Kebaikan Allah yang dipancarkan oleh orang yang beragama lain menunjukkan bahwa Allah menerangi kehidupan mereka. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidahkaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menyinari semua orang (NA art.2). c. Gereja membuka diri untuk berbagi dalam kesadaran akan perutusan Allah di dunia. Seraya membangun persaudaraan dengan para penganut agama lain, Gereja melaksanakan tugas perutusannya dan sekaligus membangun imannya secara mendalam. Namun Gereja Katolik tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus yakni jalan, kebenaran dan hidup (Yoh.14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (NA. art. 2). d. Gereja berdialog untuk membangun dan memaknai kehidupan bersama. Dalam ketulusan yang mendalam, bersama penganut agama lain, Gereja membangun hidup yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan yang baik. Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya yang terdapat pada mereka (NA.art.2) e. Gereja belajar dari sejarah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Gereja sadar bahwa di masa lalu, Gereja dan kaum muslim pernah menglami hubungan yang tidak baik. Namun dengan kesadaran untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik, Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakaat yang berkeinginan untuk membangun kehidupan bersama yang yang berasaskan nilai-nilai kehidupan yang universal yaitu ketulusan hati untuk saling memahami, keadilan sosial bagi semua orang, perdamain dan kebebasan. Memang benar di sepanjanag zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat kristiani dan kaum muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua supaya melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilainilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA art.3). 7 f. Gereja membangun persaudaraan semesta tanpa diskriminasi. Gereja meyakini bahwa kehidupan di dalam Allah senantiasa berlandaskan cinta kasih Allah dan kesamaan martabat manusia di hadapan Allah. Cinta kasih Allah itu melampaui batas-batas maupun sekat-sekat sebab cinta kasih Allah adalah pemberian tulus Allah dan bukan balas budi Allah atas ketaatan manusia. Juga dalam hal martabat, setiap manusia beroleh martabaat yang sama dari Allah. Karena itu, persaudaraan manusia yaitu persaudaraan di antara ciptaan Allah yang senantiasa didasarkan atas cinta kasih Allah yang tidak mengenal batasan-batasan manusiawi melainkan atas dasar kesamaan martabat di hadapan Allah. Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah “ (1Yoh 4:8). Jadi tidak ada dasar bagi setiap teori atau praktek yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa. Maka Gereja mengecam setiap tindak diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturuanan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus. (NA art.5) Pernyataan dan pandangan Gereja katolik ini inklusif tanpa melukai atau merugikan kepentingan lain. Gereja Katolik juga tidak menjadi kehilangan identitasnya sebagai pengikut Kristus ketika menjalin kerja sama dengan penganut agama lain dalam menggapai perdamaian dan kebebasan serta kebaikan bersama. 3. Umat Katolik Menghargai dan Menghormati Kekhasan Agama-agama Konsili suci sudah secara tegas dan jelas menyatakan sikapnya terhadap agama-agama lain. Dengan tulus, Gereja menghargai dan menghormati kekhasan masing-masing agama memiliki sebagai keyakinan yang memantulkan sinar kebenaran dan membimbing para penganutnya menuju kepada Allah. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajaarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan Kristus yakni jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja mendorong para Puternya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agamaagama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA art.2). Pernyataan tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain, yakni bahwa rasa hormat Gereja adalah Gereja tidak menolak segala sesuatu dari agama-agama bukan kristiani yang serba benar dan suci meskipun di beberapa segi terdapat perbedaan. Namun demikian, tidak jarang bahwa apa yang berbeda dengan ajaran Gereja dapat dan dimungkinkan memantulkan sinar kebenaran yang juga dapat menerangi semua orang. 8 Sikap hormat dan menghargai itu tidak berarti menerima begitu saja apa yang benar dan suci dari agama-agama bukan kristiani untuk menggantikan yang diyakini sebagai kebenaran oleh Gereja. Bahkan Gereja tetap mempunyai kewajiban untuk mewartakan Kristus yang adalah jalan, kebenaran dan hidup sebab dalam Kristus manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan. Sikap demikian ini dijadikan dasar dalam membangun dialog dan kerja sama dengan para penganut agama lain. Dalam dialog dan kerja sama dengan agama lain para bapa Konsili Suci berpesan agar di satu pihak Gereja tetap memberi kesaksian tentang iman dan perihidup kristiani dan di lain pihak berani mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosiobudaya yang menjadi kekhasan agama-agama bukan kristiani tersebut. Sikap Gereja Katolik dan juga setiap anggota Gereja terhadap orang lain adalah sama seperti sikap Kristus terhadap orang lain yaitu kasih dan pengampunan. Sikap kasih inilah yang dituntut dari setiap anggota Gereja sehingga masing-masing menjadi saksi yang hidup. Tanpa kesaksian yang baik maka semua kebenaran hanyalah menjadi teori belaka tanpa ada realitasnya. Gereja harus tetap mewartakan kebenaran seperti yang diwartakan oleh Kristus, walaupun berbeda dengan apa yang dipercayai oleh agama atau kepercayaan lain. Mewartakan kebenaran adalah salah satu bentuk dari kasih. B. Dialog Antarumat Beragama dan Berkepercayaan Sikap Gereja sudah jelas dan tegas yaitu menghargai dan menghormati umat beragama dan kepercayaan lain. Namun toleransi pasif bukanlah sikap yang mampu menjembatani perbedaan. Sikap toleransi yang dikembangkan haruslah mengarah menuju terjadinya keberanian dan keterbukaan untuk memahami agama dan kepercayaan lain, melalui dialog. Kepentingan dialog perlu dipahami dan ditempatkan dalam rangka mengupayakan kerukunan dan kerja sama antarwarga demi terciptanya persaudaraan nasional. Berikut ini berbagai makna dan bentuk dialog yang dapat dilakukan oleh penganut agama yang berbeda. Dialog antarumat beragama dapat mendorong orang untuk lebih memahami agamanya secara tepat dan jernih. Dialog antarumat beragama menuntut orang mau mendengarkan, mau mempertimbangkan dan mau menghormati pandangan pihak lain Dialog antarumat beragama bukan bermaksud untuk mempertobatkan pihak lain ke dalam kepercayaan kita sendiri. Sementara itu, wujud-wujud dialog antarumat beragama adalah sebagai berikut: Dialog kehidupan sehari-hari yakni interaksi dengan anggota masyarakat yang berbeda agama dalam aneka kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dialog formal: interaksi dengan saudara/i berbeda agama dalam pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat formal pengeloaan masyarakat, RT/RW/Kelurahan/Kecamatan/Kota Madya/Provinsi dll. 9 Dialog teologis: interaksi dengan saudara/i berbeda agama untuk menemukan kejelasan-kejelasan masalah keagamaan atau iman kepercayaan (misalnya soal Trinitas, Monotheisme, keselamatan hidup dll) Dialog doa: kegiatan doa-berdoa dengan saudara/i berbeda agama untuk memperoleh rahmat-rahmat kasih Allah dll. Keempat wujud dialog ini dapat kita bedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Perwujudan dialog yang satu senantiasa mengandaikan tiga perwujudan dialog yang lain. Dialog antarumat beragama dan berkepercayaan hanyalah akan menjadi retorika belaka jika tidak ditingkatkan dalam bentuk kerja sama yang nyata dalam tindakan. 1. Pengalaman Berdialog Antarumat Beragama Sampai sekarang dialog antarumat beragama masih merupakan pro dan kontra bagi masyarakat kita. Ada dua komunitas yang menerima dan menjalankan dengan penuh ketulusan hati, ada yang menolak dengn berbagai alasan teologis. Keduanya pantas untuk dihormati dengan tulus pula sehingga persaudaraan dalam suasana yang serba plural semakin terwujud. Para pemuka agama yang tergabung dalam forum-forum dialog bahkan menganjurkan terjadinya perjumpaan yang intens di antara umat berbagai agama dalam rangka membangun kehidupan bersama yang baik. Mengenai tujuan dialog, bertitik tolak dari pengalaman para tokoh menyatakan; “…….dialog antarumat beragama harus mampu memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia…………. Peran agama belum sepenuhnya berfungsi untuk mengubah kondisi Indonesia. Keberagaman yang selama ini menjadi kekayaan bangsa disinyalir belum dapat memberi kontribusi terhadap kemajuan bangsa. Dialog agama harus bersifat komprehensif membahas berbagai permasalahan yang sedang dialami bangsa…………….. musuh utama kita adalah kemiskinan, kebodohan dan krisis global yang sedang menghantui bangsa kita” (Ketua Umum Muhammadiyah). “Apa yang harus kita cari adalah kesamaan agar tumbuh kebersamaan. Para penganut agama sangat mungkin bekerja sama memerangi kemiskinan secara lintas agama” (pdt. Andreas Ewangoe). Dialog haruslah menjadi kegiatan bermakna bagi kehidupan. Dalam dialog, orang tidak bisa hanya diundang untuk membagikan pengalaman hidupnya sendiri. Setiap orang yang terlibat bertitik tolak dari pengalaman beriman, menatap kehidupannya dan bertindak bersama orang lain. 2. Hambatan-hambatan dalam Membangun Dialog Antarumat beragama Tradisional yaitu cara beragama berdasarkan tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Biasanya orang yang kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaannya. 10 Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungnnya/masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Berdasarkan cara ini orang mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamanya apalagi kalau menguntungkan dirinya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai halhal yang mudah dan tampak dalam lingkungan masyarakatnya. Rasional yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio.untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengalamannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisonal atau formal bahkan orang yang tidak beragama sekalipun. Metode pendahulu yaitu cara beragama seseorang berdasarkan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu, ia selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran. Ia selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama, sebelum mereka mengamalkan dan mendakwahkan. Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah keyakinan pihak lain juga bukan untuk membuktikan bahwa agamanya paling benar sementara yang lain salah. Setiap dialog harus didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai bersama. Setiap agama memiliki esensi, substansi atau keutamaannya sendiri yang terlepas dari aksiden sejarah. Sebuah gerakan pembaharuan pada dasarnya adalah sebuah gerakan kembali kepada esensi tersebut setelah ia dikacaukan dengan aksiden sejarahnya, termasuk hasrat manusia dan kepentingan sosial. Setiap agama dimulai dengan pencerahannya sendiri yang disebut pewahyuan yang serupa dengan pemahaman manusia dan kesempurnaan alam yaitu kesamaan antara wahyu, akal dan alam. Kesamaan ini dapat dianggap sebagai konsep yang esensial sementara komponen-komponen agama lainnya seperti dogma, ritual, institusi, hukum, sejarah dan symbol adalah konsep-konsep yang sekunder. Setiap agama memiliki dua kecenderungan: Bersifat tradisional , dogmatis, ritualistik, istitusioanal dan legal. Agama bertipe ini merupakan hasil sejarah, hasil interaksi sosial manusia. Filsuf Bergson menyebutnya sebagai agama statis. Biasanya versi agama ini dipelajari oleh para sosiologi agama, antropologi dan sejarawan, terutama apabila mereka mengadopsi pendekatan positivistik terhadap agama. Bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan manusiawi, hasil dari pengalaman religius yang mendalam yang datang dari kedalaman hati manusia. Bergson menyebutnya sebagai agama yang dinamis. Paham agama seperti ini adalah yang membuat orang-orang terkemuka dan para pemikir bebas dekat dengan agama, melindungi agama rasional dan alamiah. Hambatan yang biasanya muncul dalam mengadakan dialog antarumat beragama serta cara mengatasinya; Hambatan-hambatan Cara mengatasi hambatan a. Aspek tokoh historis a. Aspek tokoh historis 11 Fanatisme pemeluk agama yang kurang setia terhadap tokoh historis yang diikutinya sehingga beranggapan bahwa tokoh yang satu lebih unggul daripada tokoh yang lain seolaholah mereka ini berasal dari Allah yang berbeda. Proses pembodohan yang terjadi dalam kaderisasi dan “propaganda” dari pemuka agama kepada para kader dan pemeluk agama sehingga mereka tidak memperoleh informasi yang benar dan utuh tentang tokoh historis dan ajaran-ajarannya. b. Aspek harta milik Kekayaan tidak jarang digunakan untuk menindas orang kecil. Kekayaan tidak jarang digunakan untuk provokasi agama yang seringkali disertai kekerasan. Kekayaan sering kali diperlukan sebagai status symbol. c. Aspek pesan Universal Persepsi yang berbeda-beda dari masingmasing agama dan pemuka agama (bahkan dalam satu agama yang sama) tentang pesan agamanya. Ketertutupan dan eksklusivitas para pemeluk agama. d. Aspek tujuan hidup Solidarisme yang dikembangkan hanya bersifat eksklusif. Ada persaingan yang tidak sehat dalam mencapai tujuan hidup. Buntunya dialog dan komunikasi. e. Aspek pandangan terhadap martabat kaum miskin Masih ada bahkan semakin lebar kesenjangan sosial. Masih suburnya materialisme, konsumerisme, hedonisme bahkan darwinisme. Pendiskreditan elite terhadap kaum miskin sebagai pemalas dan sampah masyarakat. f. Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci Beriman kepada Tuhan yang sama, tetapi perbedaan tradisi dan ajaran dibesarbesarkan. Ada persaingan dalam pembangunan tempat ibadah beserta sarana pendukungnya. Ada rasa alergi untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci, terutama Kitab Suci dari agama lain. Meningkatkan dialog interaktif antarpemeluk agama mengenai visi dan misi yang dibawah oleh tokoh historisnya. Dialog ini dimulai dari para pemuka agama. Para pemuka agama lebih jujur dalam memperkenalkan figur, visi dan misi tokoh historisnya sehingga pemeluk agama memiliki pemahaman dan penghayatan yang utuh tentang tokoh historisnya. Dialog ini juga dimaksudkan untuk membangun sikap inklusif di antara umat beragama. b. Aspek harta milik Kekayaan digunakan untuk melayani orang lain, terutama yang terpinggirkan Mengagendakan “dakwah” dengan topik peranan harta bagi manusia c. Aspek pesan Universal Mengungkapkan niali-nilai universal yang terdapat dalam ajaran masing-masing agama. Membangun komunikasi bersama baik secara formal maupun non formal sehingga tidak salah persepsi terhadap pesan keselamatan universal d. Aspek tujuan hidup Membuka dialog dan komunikasi yang manusiawi demi kehidupan bersama yang lebih baik. Membangun solidaritas yang lebih luas (inklusif). Merintis kerja sama untuk mencapai tujuan hidup bersama. e. Aspek pandangan terhadap martabat kaum miskin Penjajagan kemungkinan untuk membina kerja sama melalui program peduli kaum miskin dan pengentasan kemiskinan Membuka dialog terbuka dengan semua pihak yang berkehendak baik. f. Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci Dialog antar umat beriman untuk memahami tradisi dan dinamika hidup beriman pihak lain. Dialog dan kerja sama untuk studi Kitab Suci yang dilaksanakan dengan dasar kehendak baik. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat utama dalam dialog antarumat beragama adalah eksklusivisme. Hal ini sering tidak begitu disadari akan menjadi penghambat dialog antarumat beragama dan kepercayaan. Penghambat dialog dapat berupa sikap tradisional orang katolik yang eksklusif di mana orang beragama lain menjadi sasaran 12 penginjilan dan motivasi yang sama orang beragama lain untuk mempertobatkan orang lain. Sikap tradisional orang Katolik di dasarkan pada: Keprihatinan akan “nasib” mereka (berdasarkan penafsiran eksklusif atas ayat-ayat Alkitab, misalnya Yohanes 14:6). Nafsu ekspansionis. Ketaatan legalistik dan literalistik terhadap perintah Alkitab (Mat 28). Sementara itu, agama lain juga mengambil sikap dan mempunyai motivasi serupa yang mengakibatkan sikap-sikap sbb; Saling mencurigai dan memagari diri (saling tidak percaya). Saling mengintip strategi dan metode ekspansi “etika pemasaran” cenderung diabaikan. Bertumbuhnya kelompok-kelompok ekspansionis yang radikal dan intoleran dalam agama-agama. Konflik dan perang saudara yang sering diumumkan bukan karena agama tetapi tetap terkait dengan sentiment keagamaan. Dalam upaya mengatasi hambatan yang disebabkan oleh sikap eksklusif umat beragama dapat ditawarkan opsi sebagai berikut; Menggali dan menghayati kembali sumber-sumber agama (Kitab Suci), tradisi pengajaran dan etos/karakter) yang membentuk sikap kondusif bagi masyarakat majemuk yang damai Memperkaya referensi kitab suci bagi penolakan terhadap sikap eksklusif internal, misalnya Mat 7:1-5, Mat 23:15 dsb. Opsi yang kemungkinan dipilih oleh orang kristiani dalam membongkar eksklusivitas perlu membangun inklusivitas atau pluralitas dalam penghayatan hidup beriman. a. Sikap inklusif 1. Sikap inklusif mempertahankan keunikan Kristus tetapi membedakan antara Kristus dengan agama Kristen atau Gereja. Mengutip pandangan Karl Raner, orang-orang yang beragama lain adalah orang “Kristen anonim”. Artinya orang yang dianggap Kristen karena perbuatan dan cara hidupnya, meskipun tidak formal menjadi penganut agama Kristen. Refrensi alkitabiah yang mendukung antara lain Mat 7:21; 12:50; Luk 9:49-50). 2. Dari pihak Islam: “Kelompok Paramadina memahami orang Muslim sebagai orang yang berserah kepada Tuhan” sehingga tidak terbatas pada orang-orang yang secara resmi mengucapkan syahadat agama Islam”. 3. Sikap inklusif mampu membedakan antara yang mutlak (Injil, Kristus) dari yang relative (institusi agama dan perangkatnya) dan dengan demikian mampu bersikap positif terhadap agama lain tanpa meromabak terlalu banyak warisan teologi 4. Sikap inklusif kurang memperhitungkan aspek relasi dan komunitas. b. Sikap pluralis indiferen 1. Model ini menggunakan titik tolak bahwa semua agama lain diterima dan dihormati sebagai sesama jalan menuju kepada keselamatan. Bagi orang Katolik yang menggunakan gaya bersikap ini, keunikan Yesus Kristus hanya bagi yang percaya kepada-Nya. Bagi yang tidak percaya diberi jalan yang lain sesuai dengan 13 kepercayaannya yaitu; Al-Quran bagi orang Muslim, Taurat bagi orang Yahudi, Buddha bagi kaum Buddhis dsb. Refrensi Alkibiahnya: Rm. 11:25-36. 2. Pluralisme indiferen bersikap sangat terbuka dan simpatik terhadap agama lain, menyadari kebesaran Allah di atas kebesaran agama. Juga bersifat rendah hati, menyadari keterbatasan agama sendiri. 3. Pluralisme Indeferen cenderung mealakukan generalisasi, kurang sensitif terhadap perbedaan Visi, orientasi dan etika di antara agama-agama. c. Pluralisme dialogis 1. Pluralisme dialogis mengakui dan menghargai agama-agama lain sebagai sesama upaya manusia untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya. 2. Pluralism dialogis menegaskan keyakinan terhadap keunikan iman sendiri berdasarkan pengalaman pribadi maupun bersama sebagai komunitas beriman. 3. Pluralisme dialogis mengakui kelemahan, dosa dan keterbatasan iman sendiri (dan semua iman yang lain). Implikasinya: 1. Yakin punya sesuatu (keutamaan Imani) untuk dibagikan dan disaksikan. 2. Sadar bahwa kemampuannya untuk menyaksikan Injil tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan. 3. Bersaksi bukan untuk menaklukkan tetapi untuk membagikan. 4. Bersaksi bukan menghakimi tetapi membukakan kebenaran dengan membedakan antara yang kompatibel dengan Injil dan yang bertentangan (secara moral, spiritual, sosial) 5. Bersaksi bukan tindakan satu arah, tetapi interaktif: artinya siap juga menerima kesaksian pihak lain. Referensi alkitabiah, antara lain: Yoh 4:21-24), Mat 8:10-12; Luk 10:25-37; 2Kor 4:6-7; Gal 1:6-10; Yak 4:12. Seruan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Royal Aal-Bayt Institute for Islamic Throught, Yordania. Pada tanggal 13 Oktober 2007, 138 pemimpin Muslim dunia menulis surat kepada pimpinan gereja-gereja sedunia, mengajak menjalin kerja sama untuk menciptakan perdamaian duania berdasarkan pijakan bersama yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. 4. Teladan Yesus dalam Membangun Dialog dengan berbagai pihak Sikap Yesus sendiri terhadap orang bukan Kristen dan bukan Yahudi a. Yesus mengasihi semua orang, baik yang memilih Dia maupun tidak memilih Dia sebab kasih itu tidak memilih apalagi mengecualikan orang lain. Kasih yang sejati adalah kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabatnya. Artinya kasih yang tidaklah untuk menguasai orang lain atau membiarkan diri dikuasai oleh orang lain. Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu supaya pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku 14 diberikan-Nya kepadamu.Inilah perintah- Ku kepadamu: kasihilah seorang akan yang lain (Yo. 15:12-17) b. Yesus menerima orang-orang berdosa yang selama ini dipandang sebagai pihak yang harus dikucilkan dari pergaulan. Dalam perumpamaan mengenai orang Farisi dengan pemungut cukai. Orang Farisi dalam kalangan Yahudi merupakan golongan terpandang dan boleh dikatakan sebagai tokoh-tokoh agama Yahudi, orang-orang yang berpengaruh, memerintah, terpandang dan dihormati orang. Mereka itu umumnya menganggap dirinya sebagai ahli waris dari agama Yahudi, memandang dirinya sebagai orang yang saleh, benar dan mengikuti peraturan agama dengan tepat. Dalam perumpamaan ini diperlihatkan bahwa orang farisi tersebut mengikuti hukum dan tidak sama dengan orang lain. Dia berkata bahwa dia tidak pernah merampok, mencuri berbuat salah seperti orang lain, berpuasa dua kali seminggu, membayar persepuluhan dan dia juga tidak seperti pemungut cukai yang memeras orang lain.Kita lihat dalam diri orang farisi tersebut. Ia adalah seorang tokoh yang begitu yakin akan dirinya karena ia merasa telah memenuhi peraturan agamanya dengan baik. Ia memandang dirinya hebat dan memandang rendah orang lain, menuduh dan menghakiminya. Tukang pajak di kalangan orang Yahudi sering kali juga merupakan pemeras. Mereka memeras dari orang Yahudi sendiri dan bekerja bagi penjajah yaitu orang-orang Roma. Orang Roma memberi target kepada tukang pajak yaitu mereka harus memasukan sejumlah uang yang ditentukan untuk pajak. Dalam pemenuhan targrt itu mereka bisa memeras dari rakyat kecil sebanyak dua kali lipat. Karena mereka memeras rakyat maka mereka dibenci sekali oleh rakyat. Mereka dianggap oleh orang-orang Yahudi sebagai sampah masyarakat, pengkianat, dan pengemis. Mereka dianggap orang tidak bermoral dan berperikemanusiaan lagi oleh masyarakat dan juga bertentangan dengan hukum. Demikianlah keadaan para pemungut cukai. Melalui perumpamaan ini, Tuhan mengungkapkan suatu kebenaran yang seringkali bisa membingungkan hati kita karena kita juga sering kali berpikir seperti orang farisi. Dari situlah, timbul segala macam sikap mudah memfitnah dan membicarkan kejelekan orang lain. c. Yesus menerima orang-orang yang hidup dalam kekerasan, bahkan dijanjikan akan bersama Dia masuk ke taman Firdaus. Kita bisa bayangkan kehidupan perampok itu yang selama hidupnya ia hanya tahu kekerasan. Mungkin ia tidak pernah mengalami kasih maka ia juga tidak bisa memberikan kasih. Yang ada padanya hanyalah kekerasan dan kekejaman: ia membunuh, merampok, tidak peduli nyawa orang lain, tidak lagi bisa berbelaskasihan dan melakukan berbagai macam kejahatan, sampai akhirnya ia tertangkap. Dia disalibkan bersama Tuhan Yesus dan saat itulah dia sempat mengamat-amati sikap Yesus yang lembut dan penuh kesucian. Ia melihat keagungan Tuhan Yesus, kebesaran jiwa Yesus dan ia mulai tergerak hatinya lalu dia berkata. “Yesus ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Kata Yesus kepadanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:42-43). Yesus tidak mengatakan engkau harus bertobaat dan lain-lain, tetapi Yesus tahu kejujuran dan kepolosannya yaitu bahwa orang ini telah mulai berbalik. d. Yesus juga menerima orang yang dipandang sangat hina oleh masyarakat bahkan sikap Yesus itu menimbulkan banyak pertentangan. Dalam Injil Lukas (Luk 7:36-50), juga diceritakan tentang seorang perempuan pendosa. Ia seorang pelacur. Ia begitu terkenal di kota itu. Kemudian ia tersentuh dan tergerak oleh khotbah-khotbah Yesus. Ia datang kepada Yesus 15 ketika Yesus sedang makan di suatu perjamuan pesta. Ia tidak peduli akan orang-orang yang ada di sana, tetapi ia masuk, menangis dan kemudian meminyaki kaki Yesus. Dapat kita bayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang ada di dalam rumah itu. Misalnya pada waktu perempuan itu masuk pasti mata semua orang tertuju kepadanya dan pasti perasaan malu ada pada orang itu akan tetapi ia tahu bahwa ia datang kepada Yesus yang Mahamurah, Maharahim dan Maha belas kasih sehingga ia tidak peduli dengan orang di sekitanya. Ia melakukan perbuatan yang tidak biasa. Tiba-tiba ia mendekati kaki Yesus, mulai menangis dan mencium kaki Yesus serta meminyakinya dan menyekanya dengan rambutnya. Orang farisi yag mengundang Yesus makan mempuyai sikap yang berseberangan dengan Yesus dalam memandang dan memperlakukan seorang pelacur. Terhadap sikap Yesus itu orang farisi berpikir tentang Yesus dan berkata dalam hatinya, “jika Ia ini nabi, tentu ia tahu siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamahnya itu. tentu Ia tahu bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa. ”kalau Ia ini nabi, mengapa Ia membiarkan diri-Nya dipegang oleh seorang yang najis, seorang pendosa dan pelacur? Akan tetapi Tuhan Yesus berkata: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni sebab ia telah banyak berbuat kasih.” (luk. 7:47) e. Yesus melalui perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-32), memberi pelajaran bahwa kesalahan seberat apapun, kita harus menerimanya sebagai manusia dengan penuh kasih seperti Allah sendiri Mahabaik dan penuh kasih. Penerimaan yang disertai sikap penuh kasih itu justru yang memungkinkan orang berdosa kembali ke jalan yang benar. Dalam perumpamaan tersebut bapa itu sebetulnya tahu bahwa anaknya telah menyakiti hatinya begitu rupa, yaitu dengan foya-foya, main pelacur, berjudi dan membuat hidupnya tidak karuan. Namun bapa tersebut senantiasa merindukan anakanya kembali. Ia tidak mau memaksa anakanya, walaupun ia merindukan anakanya pulang kembali ke rumahnya. Ketika anak itu datang dari jauh, bapa itu sudah tahu karena tiap hari bapa itu keluar, menunggu dan memandang dari jauh dan berpikir “barangkali anakku datang”. Anaknya pergi dari rumah bapanya sebagai hartawan besar, tetapi kembali ke rumah dengan pakaian compang camping, seperti seorang pengemis. Ketika anaknya mengatakan “bapa aku telah berdosa…..”, bapanya tidak membiarkan anaknya itu meneruskan kata-katanya, namun ia merangkul, menciumya dan menyuruh para pelayannya mengambil pakaian yang paling baik. Ayah itu berkata, “Mari kita bersukaria karena anakku telah kembali dia telah mati sekarang hidup kembali. f. Yesus tidak menghakimi dan menjatuhkan hukuman apa pun kepada seorang yang tertangkap telah berbuat zinah. Pada zaman Yesus, masyarakat cenderung dipisahkan menurut golongannya. Orang farisi adalah salah satu contohnya. Golongan ini memisahkan diri dari rakyat kebanyakan atas nama hidup keagamaan. Mereka memosisikan diri sebagai orang-orang yang setia menjaga warisan tradisi dan lebih berhak mengajarkannya. Mereka juga cenderung melihat dan mengajarkan bahwa dosa sebagai kutukan/hukuman dari Allah. Dosa seperti virus yang menjalar, maka setiap pendosa harus dijauhkan/dikucilkan, bahkan dibinasakan. Akan tetapi ketika Yesus tampil semua pandangan macam itu dijungkirbalikan. Ada konflik tetapi, sikap Yesus jelas: Allah Bapa adalah pengasih dan penyayang. Tuhan merindukan pertobatan bagi kaum berdosa. Dalam kerangka pikir inilah kita coba memahami kisah Injil tentang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang membawa kepada Yesus seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Secara hukum memang orang ini harus dirajam, tetapi kata Yesus, “barangsiapa yang tidak berdosa hendaklah dia yang pertama melemparkan batu ke perempuan ini”. Tetapi tak ada satu pun yang melakukan; malah ketika 16 Yesus membungkuk dan menulis di tanah, mereka pergi meninggalkan perempuan itu satu persatu mulai dari yang paling tua. g. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati, Yesus memberikan contoh kepada para murid-Nya bahwa untuk berbuat baik kepada orang lain itu janganlah memandang latar belakangnya, apalagi imbalan (lihat Injil Lukas 10:25-37). C. Kerja Sama Antarumat Beragama dan Kepercayaan Setelah berusaha dengan segala kejujuran dan keterbukaan hati untuk berdialog dengan umat beragama dan berkepercayaan lain, kita akan menjadi terbuka untuk memahami keyakinan umat beragama dan berkepercayaan lain. Dengan demikian kita akan mampu memahami titik temu dari kesamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada. Keterbukaan dan pemahaman ini sudah semestinya dikembangkan ke arah tindakan nyata bersama sebagai perwujudan iman dalam bentuk kerja sama antarumat beragama. 1. Berbagai Bentuk Kerja sama Antarumat Beragama Untuk menemukan bentuk-bentuk kerja sama antarumat beragama, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana sikap beragama. Ada 5 sikap beragama yang dapat dijadikan titik pemikiran yaitu; Eksklusivitas. Sikap ini akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dianutnya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis atau pemeluknya dikonversi sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Inklusivitas. Sikap ini berpandangan bahwa di luar agama yang dianutnya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Pluralitas atau paralelisitas. Sikap teologis paralelisitas bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan. Misalnya agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran. Eklektivitas. Yakni sikap keberagaman yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan semacam mozaik yang bersifat eklektis. Universalitas. Sukap ini beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural. Dari lima sikap beragama ini, tentu saja eksklusivitas merupakan sikap yang akan menghambat segala bentuk kerja sama lintas agama. Oleh sebab itu, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengikis eksklusivitas dalam diri masing-masing umat beragama. Setelah itu, baru dimungkinkan untuk menentukan bentuk-bentuk kerja sama lintas agama seperti berikut: Membangun hubungan sosial yang tidak dibatasi oleh doktrin-doktrin agama, misalnya: olah raga, pagelaran seni dan budaya, bakti sosial, gotong royong, dsb. 17 Meningkatkan perekonomian masyarakat, misalnya; mendirikan koperasi, credit union (CU), kelompok tani dsb Meningkatkan mutu pendidikan masyarakat misalnya: merenovasi sekolah, melengkapi sarana-prasarana belajar, membentuk kelompok-kelompok diskusi dan kelompok ilmiah remaja. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa bentuk kerja sama yang dilakukan lintas agama dan yang dimungkinkan akan mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup bersama jika dapat dibebaskan dari segala konflik kepentingan. 2.Usaha-Usaha Umat Beriman untuk Mewujudkan Terjadinya Kerja sama Antarumat beragama Membentuk Forum Persaudaraan Antarumat Beriman (FPUB). Forum ini merupakan ajang komunikasi, dialog dan bekerja sama antarumat beragama yang bersemangatkan iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang satu dan samalah yang menyatukan dan menggerakkan kebersamaan penuh persaudaraan antarumat beragama ini. Bersama-sama antarpemeluk agama meningkatkan inklusivitas keberagaman, sebab dengan meningkatnya sikap inklusivitas masyarakaat akan meningkat pula kerja samanya. Oleh sebab itu diharapkan materi ajaran agama yang disampaikan kepada masyarakat merupakan ajaran agama yang bersifat inklusif. Mengingat bahwa tingkat kepercayaan yang berdimensi hubungan sosial mempunyai pengaruh terbesar dalam hal kerja sama maka perlu dipikirkan bersama pengadaan sarana dan prasarana sosial seperti tempat olahraga, gedung kesenian balai pertemuan yang memungkinkan masyarakat berbeda agama dapat bertemu, berinteraksi dan berdialog sehingga dapat meningkatkan hubungan sosial di antara mereka. Mengingat faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap kerja sama maka meningkatnya ekonomi masyarakat sangat berpengaruh dalam meningkatkan kerja sama antarumat beragama. Oleh karena itu, gerakan pemberdayaan ekonomi yang berbasis kerakyatan perlu dikembangkan. Mengingat tingkat pendidikan mempunyai korelasi terhadap kerja sama antarumat beragama maka di daerah-daerah yang masih rendah tingkat pendidikannya, perlu ditingkatkan tingkat pendidikannya dengan mendirikan sekolah-sekolah lanjutan atas (SMA-SMK) dan menyediakan tenaga gurunya. Atau memberdayakan sekolahsekolah yang sudah ada, sehingga menjadi lebih bermutu dan memungkinkan peserta didiknya berkembang dalam cara berpikirnya. Mengingat bahwa kebudayaan dapat menjadi media pertemuan lintas agama, maka membangun budaya yang mampu menciptakan keharmonisan hidup perlu terus menerus dibangun. Mengingat bahwa sistem dan iklim politik yang berhembus saat ini cenderung sektarian, maka perlu dibangun sistem politik yang bebas dari segala bentuk konflik kepentingan antargolongan atau agama. 18 19