BAB II DIALOG DAN KERJA SAMA ANTARUMAT

advertisement
BAB II
DIALOG DAN KERJA SAMA ANTARUMAT BERAGAMA
Seperti halnya keberagaman suku, bahasa dan golongan yang menjadi kekayaan
Indonesia, keberagaman agama juga menjadi warna-warni yang semakin memperindah
Indonesia tercinta ini. Di satu pihak keberagaman itu merupakan sesuatu yang sangat indah
apabila para pihak yang berbeda itu berani untuk saling terbuka, memahami serta
menghormati atau menghargai perbedaan itu. Dari perbedaan itu kita dapat belajar saling
mengenal untuk mengetahui segala sesuatu yang bukan menjadi milik kita sehingga kita
semakin diperkaya oleh perbedaan tersebut. Selain itu, dengan mengenal perbedaan yang ada,
kita dapat belajar untuk menerima kenyataan bahwa manusia itu unik tidak ada yang sama,
sekalipun berasal dari rahim yang sama. Perbedaan hendaknya dipandang sebagai peluang
untuk mencapai kemajuan bersama. Jika perbedaan itu dilihat sebagai suatu ancaman akan
melahirkan rasa curiga satu terhadap yang lain yang kemudian akan berkembang menjadi
perselisihan antarkelompok yang berbeda ini, baik secara tertutup maupun terbuka.
Umat Katolik sedah seharusnya bersikap terbuka (inklusif) terhadap keberagaman.
Sikap terbuka ditandai dengan antara lain keberanian untuk mengenal dan memahami
kekhasan agama-agama lain terutama yang ada di Indonesia. Setelah mengenal dan
memahami agama-agama lain diharapkan kita mau mengembangkan sikap untuk berdialog
dengan umat beragama dan berkepercayaan lain. Dalam dialog kita bukan hanya diajak basabasi dan sekedar menghindari perselisihan melainkan harus sampai pada kesamaan sikap
untuk saling memahami dan menghargai perbedaan maupun persamaan yang ada. Dialog
dimaksudkan untuk membangun komitmen bersama khususnya dalam menangani
permasalahan hidup bersama
A.Memahami Kekhasan Agama-Agama di Indonesia
Memahami dan mengenal agama lain membutuhkan ketulusan, kearifan dan
keterbukaan hati yang tinggi. Mengenal dan memahami tidak dapat dilakukan ketika
tujuannya adalah membandingkan antara agama yang dianut dengan agama lain. Tujuan
mengenal agama lain harus ditempatkan dalam kerangka untuk mengenal dan memperkaya
diri. Dengan mengenal dan memahami agama lain secara tulus dan arif dalam suasana
ketebukaan, diharapkan orang tidak lagi mencari pembenaran diri dan berusaha untuk
menangkis pertanyaan informatif yang dianggap sebagai suatu serangan bahkan penodaan.
Pengenalan dan pemahaman yang tulus memungkinkan tumbuhnya keterbukaan dan sikap
apresiatif satu sama lain.
1. Berbagai agama di Indonesia dan kekhasannya
Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta “agama” yang berarti antara lain:
“peraturan tradisional”, “ajaran”. Kata “agama” sering diartikan sebagai “kumpulan
peraturan-peraturan atau ajaran”. Kata lain untuk menyatakan konsep tersebut adalah religi.
Kata “ religi” berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare (lat.) yang
berarti mengikat kembali, maksudnya ikatan manusia dengan Tuhan.
1
Enam agama besar yanag paling banyak pengautnya di Indonesia yaitu; agama Islam, Kristen
dan Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Di masa yang lalu pemerintah Indonesia pernah
melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun melalui
keppres No. 6/2000, presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Penetapan
Presiden (Penpres) no.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan penodaan agama dijelaskan bahwa agama-agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu Buddha dan
Konghucu. Meskipun demikian, bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak
boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong
dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi atau
tidak resmi di Indonesia. Kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan)
menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yanag
hanya menyatakan kelima agama tersebut. Namun surat keputusan tersebut telah dianulir
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan pasal 29
Undang-undang Dasar 1945 tentang kebebasan beragama dan Hak asasi manusia. Di samping
pengakuan akan keberadaan kelima agama tersebut pada masa orde baaru juga dikenal
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang ditujukan kepada sebagian orang yang
percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Berikut ini agama-agama yang berkembang di Indonesia;
a. Agama Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab Aslama yaitu bermaksud untuk menerima
menyerah atau tunduk. Dari segi kata itu, Islam diturunkan dari akar kata yang sama dengan
kata salam yang berarti “damai”, kata Muslim (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga
berhubungan dengan kata Islam, kata tersebut berarti orang yang berserah diri kepada
Allah. Kepercayaan dasar Isalam dapat ditemukan pada dua kalimat persaksian yaitu “Laa
ilaha illalla, Muhammadur Rasulullah” yang berarti: “tiada Tuhan selain Allah, Muhammad
adalah utusan Allah”.
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan
untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai
sebuah komunitas. Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah
 Mengucap dua kalimat syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak
ditaati dan disembah dengsn benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasul Allah
 Mendirikan shalat wajib lima kali sehari
 Berpuasa pada bulan Ramadhan
 Membayar zakat
 Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu.
Kitab suci agama Islam disebut Al-Qur’an diwahyukan Allah kepada Muhammad
melalui perantaraan Malaikat Jibril. Nabi dalam agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW.
Dia adalah nabi terakhir dalam ajaran Islam. Dalam Islam, dikenal istilah hadits, yakni
kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad. Hadits
adalah teks utama (sumber hukum) kedua Islam setelah Al’Quran.
2
b. Agama Hindhu
Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Pada awalnya kata Hindhu
merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindhu sering kali dianggap
sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak dewa, namun tidak
sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindhu, dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat
Hindhu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindhu, Adwaita
Weddanta, ditegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang
ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam agama Hindhu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan
pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindhu yang meliputi:
 widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dan segala aspeknya.
 Atma tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk.
 Karmaphala tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab akibat dalam setiap
perbuatan.
 Punarbhawa tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkanasi).
 Moksa tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir
manusia.
Ajaran agama dalam Hindhu didasarkan pada Kitab Suci atau susastra suci
keagamaan yang memuat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan tuntunan dalam kehidupan di
jalan dharma. Susastra Suci tersebut di antaranya adalah Weda, Upanishad, Tantra, Agama
dan purana serta kedua Itihasa (epos), Ramayana dan Mahabharata.
c. Agama Buddha
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis mereka adalah Buddha Siddharta Gautama.
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, Raja
Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada Kerajaan Magadha), Siddharta melihat
kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya kehidupan
nyata adalah kesengsaraan yang tidak dapat dihindari. Kemudian Siddharta meninggalkan
kehidupan mewahnya yang tidak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Ia berpendapat
bahwa bertapa juga tidak ada artinya dan lalu mencari jalan tengah yaitu sebuah kompromi
antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa
yang terlalu menyiksa diri. Pada usia 35 tahun dia mencapai pencerahan. Pada saat itu dia
dikenal sebagai Gautama Buddha sebuah kata sansekerta yang berarti “ia yang sadar”. Inti
ajaran Buddha mengenai hidup manusia tercantum dalam Catur Arya Satya yang berarti
Empat Kasunyataan atau Kebenaran Mulia yaitu;
1. Dukha-Satya
: hidup dalam segala bentuk adalah penderitaan
2. Samudaya- Satya
: penderitaan itu disebabkan karena manusia memiliki
keinginan dan nafsu.
3. Nirodha- Satya
: penderitaan dapat dilenyapkan (moksha) dan orang
Mencapai nirvana (kebahagiaan) dengan membuang
segala keinginan dan nafsu
3
4. Marga- Satya
: jalan untuk mencapai pelenyapan penderitaan sehingga
dapat masuk ke dalam nirwana adalah delapan jalan
utama asta- arya-marga yaitu keyakinan yang benar
pikiran yang benar, perkataan yang benar, perbuatan
yang benar, penghidupan yang benar, daya upaya yang
benar, perhatian yang benar
dan semadi yang benar.
d. Agama Kristen
Protestan adalah sebuah aliran dalam agama Kristen. Muncul setelah protes Matin
Luter pada tahun 1517. Kata “protestan” sendiri diaplikasikan kepada umat Kristen yang
menolak ajaran maupun otoritas Gereja Katolik yang berarti anggota Gereja yang melakukan
protes. Proterstantisme mempunyai ciri sebagai berikut:
 Gereja diadakan oleh rahmat Tuhan, oleh pilihan, sabda, sakramen dan anugerah
iman. Gereja yang benar ini tidak kelihatan dan tidak identik dengan Gereja-Gereja
yang kita ketahui anggota dan susunannya (yang disebut Gereja yang dikelihatan).
Gereja yang kudus adalah persekutuan orang yang benar-benar beriman. Gereja
memberitakan sabda Allah’ “secara murni” dan melayani Sakramen pembaptisan dan
perjamuan Tuhan “dengan tepat” yakni “sesuai dengan Alkitab”.
 Kitab Suci adalah satu-satunya sumber ajaran dan susunan Gereja. Oleh karena itu,
Sola scriptura (diselamatkan karena Kitab Suci) adalah prinsip formal protestantisme.
Alkitab menerangkan sendiri artinya kepada setiap orang yang membacanya sehingga
Gereja tidak berwenang memberi tafsiran otentik.
 Pembenaran orang dari semula sampai selesai semata-mata rahmat ilahi (sola gratia).
Tuhan menyatakan orang beriman benar bukan karena ia benar, melainkan karena ia
kebenaran Kristus yang dikenakan padanya. Keselamatan diharapkan hanya dari
sabda ilahi saja.
 Sabda Ilahi adalah satu-satunya sarana rahmat yang dapat berbentuk Alkitab, kotbah,
sakramen dan pembicaraan rohani. Sakramen tidak lain daripada Sabda ilahi dalam
bentuk kelihatan. Artinya yang dialami dan bukan hanya didengar. Oleh karena itu
Ibadat liturgi tidak begitu mendapat perhatian. Selain Pembaptisan dirayakan juga
Perjamuan Tuhan yang tidak dianggap kurban dan tidak mengenal perubahan
(transsubstantiatio) roti dan anggur ke dalam Tubuh dan Darah Kristus. Sebagian
besar jemaat protestan mengimani bahwa Kristus hadir dalam Perjamuan Tuhan.
Berkat iman, orang bertemu dengan Kristus waktu menerima komuni.
 Imamat umum semua orang beriman saja yang diakui sehingga pendeta dan orang
awam hanya berbeda menurut fungsi saja tanpa perbedaan rohani secara eksistensial.
Ciri-ciri tersebut di atas membedakan protestantisme dari katolisisme. Di
Protestantisme masih terdapat perbedaan pandangan yang luas sekali karena kurangnya
instansi yang mengambil keputusan yang mengikat. Oleh karena itu timbul banyak Gereja
Kristen protestan. Persamaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan jelas sangat
banyak dan menyangkut hal-hal yang sangat fundamental karena berasal dari Yesus
Kristus yang diakui keduanya sebagai Dasar Gereja. Keduanya mengakui Allah yang
4
sama, para nabi, Kitab Suci dan Syahadat yang sama. Hanya ada sejumlah perbedaan
penafsiran dan penekanan. Perbedaan itu antara lain sebagai berikut;
KATOLIK
PROTESTAN
TEKANAN ADA PADA Sakramen dan pada segi
sakramen (tanda kelihatan) dari karya Allah.
Kultis, yang mementingkan kurban (Ekaristi)
Hubungan dengan Gereja menentukan hubungan
dengan Kristus.
Gereja secara hakiki bersifat hierarkis
Kitab suci dibaca dan dipahami di bawah pimpinan
hierarki.
Jumlah Kitab Suci 73, termasuk Deuterokanonika
yaitu 1-2 Makabe, Sirakh, kebijaksanaan, Tobit,
Yudith dan Barukh
Ada 7 Sakramen
Tekanan pada Sabda/pewartaan dan pada segi misteri
karya keselamatan Allah.
Profetis yang terpusat pada Sabda (pewartaan)
Hubungan dengan Kristus menentukan hubungan
dengan Gereja.
Segala pelayanan gerejawi adalah ciptaan manusia.
Setiap orang membaca dan mengartikan Kitan Suci.
Jumlah
Kitab
Deuterokanonika
Suci
66,
tidak
termasuk
Ada dua Sakramen: sakramen Baptis
Ekaristi/Perjamuan
Tidak menerima devosi kepada para kudus
Ada devosi kepada para kudus
dan
Gereja Katolik maupun Gereja Kristen lainnya memiliki sejumlah perbedaan seperti tersebut
di atas namun masih ada kemungkinan untuk melakukan kegiatan bersama untuk
membangun persaudaraan diantara jemaat yaitu melalui ibadat bersama yang sebut
Ekumene
e. Agama Konghucu
Agama Konghucu adalah agama yang mengambil nama Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong
Fuzi). Intisari ajaran Khong Hu Cu adalah sebagai berikut:
*. Delapan pengakuan iman yaitu: 1. Sepenuh hati percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2.
Sepenuh iman menjunjung kebajikan. 3. Sepenuh iman menegakan Firman Gemilang. 4.
Sepenuh iman percaya adanya Nyawa dan Roh. 5. Sepenuh iman memupuk Cita berbakti. 6.
Sepenuh iman mengikuti Genta Rohani nabi Kongzi. 7. Sepenuh iman memuliakan Kitab Si
Shu dan Wu Jing. 8. Sepenuh iman menempuh jalan suci.
*.
lima sifat kekekalan yaitu: 1. cinta kasih. 2. Kebenaran, keadilan, kewajiban.
Kesusialaan, kepantasan. 4. Bijaksana. 5. Dapat dipercaya.
3.
*. lima hubungan sosial yaitu hubungan antara: 1.
isteri.
3. Orangtua dan anak.
Pimpinan dan bawahan. 2. Suami dan
4. Kakak dan adik. 5. Kawan dan sahabat.
*. Delapan kebajikan yaitu: 1. laku bakti.
2. Rendah hati. 3. Zhong- Satya. 4. Dapat
dipercaya. 5. Susila. 6. Bijaksana. 7. Suci hati. 8. Tahu malu.
f. Agama Asli Nusantara
Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum
agama Islam, Kristen, Katolik, Kristen protestan, Hindu, Buddha Konghucu masuk
Indonesia. Agama Asli Nusantara yang dimaksud antara lain yaitu; Sunda Wiwitan yang
dipeluk masyarakat Sunda, Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
5
Parmalim agama asli Batak, Kaharingan di Kalimantan, Tonaas Waliam di Minahasa
(Sulawesi Utara), tolottang di Sulawesi selatan, Wetu telu di Lombok dan Naurus di pulau
Seram di Propinsi Maluku. Hingga kini, tak satupun dari agama Asli Nusantara di atas diakui
di Repulik Indonesia sebagai agama dengan hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran,
pencatatan perkawinan di kantor Catatan Sipil dsb.
2. Orang Kristiani Menempatkan Diri terhadap Umat Beragama Lain
Yang menjadi dasar bagi orang Kristiani dalam upaya menempatkan diri terhadap Umat
beragama lain adalah:
Pertama, hanya Allah-lah Sumber Cinta Kasih dalam kehidupan. Surat Paulus
kepada umat di Roma (Rm. 2:1-16) sebagai dasar bagi orang kristiani menempatkan diri di
hadapan Allah dalam kebersamaan dengan sesama. Dalam suratnya, Paulus menegaskan
bahwa di hadapan Allah semua manusia itu beroleh cinta kasih Allah yang tulus agar setiap
orang senantiasa berjalan menuju kepada Allah. Alah yang menarik manusia ke dalam
kehidupan-Nya sehingga manusia terarah kepada Allah. Bukan karena predikat dan
prestasinya manusia mampu berjalan menuju Allah. Oleh karena itu, setiap manusia
dipanggil untuk menjadi saudara bagi sesamanya dalam perjalanan menuju kepada Allah di
dunia ini sehingga terhadap sesamanya setiap orang yang dibaptis harus menjadi sesama yang
sepadan yang berjalan bersama yang lain menuju Allah berkat cinta kasih Allah.
Tindakan menghakimi orang lain dengan menyatakan bahwa keyakinan yang
dimilikinya tidak membawa keselamatan berarti mereduksi kekayaan kemurahan-Nya,
kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya ke dalam ukuran yang sangat manusiawi yang
dibuat untuk orang lain. Cinta kasih Allah tidak terbatas. Semenatara itu, cinta kasih
manusiawi terbatas dan tak jarang memberi syarat yang mustahil dilakukan. Menurut Paulus
dalam pergaulannya dengan sesama, misteri cinta kasih yang tak terbatas memang
diungkapkan dalam cinta kasih manusia yang terbatas. Dalam keterbatasanya,
manusia dipanggil untuk mengungkapkan cinta kasih Allah yang tak terbatas.
Kedua, Kristus mengutus Gereja untuk hidup di dunia. Sejak konsili Vatikan II,
terhadap umat beragama lain, Gereja katolik menempatkan dirinya sebagai rekan
seperjalanan menuju kepada Allah sang Sumber Kehidupan. Dalam kebersamaan sebagai
rekan seperjalanan menuju kepada Allah itu Gereja diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan
dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa (AG 10).
Perutusan itu hanya dapat dilakukan Gereja dengan tetap berada dan menjadi bagian dalam
kehidupan masyarakat untuk menyampaikan kesaksiannya akan cinta kasih Allah kepada
manusia. Melalui hidupnya setiap orang kristiani diutus untuk menghadirkan Allah yang
menganugerahkan hidup kepada manusia sebagai manusia baru dengan baptis dan krisma.
Kesaksian hidup dilakukan agar orang lain yang menyaksikan mampu mengucap syukur atas
hidupnya kepada Allah dan berkat kesaksian itu setiap orang digerakkan untuk
mengembangkan hidupnya dalam persekutuan dengan segenap umat manusia.
Dengan dasar itulah, berikut ini cara Gereja menghayati dirinya sebagai sahabat seperjalanan
bagi umat manusia.
6
a. Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat. Kebersamaan dengan semua
orang, gereja dipanggil Allah untuk ambil bagian dalam pembangunan dan pelestarian hidup
di bumi dalam perjalanan menuju kepada Allah.
Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal sebab Allah menghendaki
segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan
terakhir yakni Allah yang penyelenggaraan-Nya meliputi semua orang (NA art.1)
b. Gereja membuka dirinya untuk mengenal dengan tulus cara hidup dan ajaran-ajaran agama
lain karena ajaran-ajaran itu memancarkan sinar kebaikan Allah yang menyinari hidup semua
orang. Kebaikan Allah yang dipancarkan oleh orang yang beragama lain menunjukkan bahwa
Allah menerangi kehidupan mereka.
Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidahkaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menyinari
semua orang (NA art.2).
c. Gereja membuka diri untuk berbagi dalam kesadaran akan perutusan Allah di dunia.
Seraya membangun persaudaraan dengan para penganut agama lain, Gereja melaksanakan
tugas perutusannya dan sekaligus membangun imannya secara mendalam.
Namun Gereja Katolik tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus yakni jalan,
kebenaran dan hidup (Yoh.14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan
dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (NA. art. 2).
d. Gereja berdialog untuk membangun dan memaknai kehidupan bersama. Dalam ketulusan
yang mendalam, bersama penganut agama lain, Gereja membangun hidup yang berlandaskan
nilai-nilai kehidupan yang baik.
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui
dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain sambil memberi kesaksian
tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya yang terdapat pada mereka (NA.art.2)
e. Gereja belajar dari sejarah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Gereja sadar
bahwa di masa lalu, Gereja dan kaum muslim pernah menglami hubungan yang tidak baik.
Namun dengan kesadaran untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik, Gereja
menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakaat yang berkeinginan untuk membangun
kehidupan bersama yang yang berasaskan nilai-nilai kehidupan yang universal yaitu
ketulusan hati untuk saling memahami, keadilan sosial bagi semua orang, perdamain dan
kebebasan.
Memang benar di sepanjanag zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan
antara umat kristiani dan kaum muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua supaya
melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami dan
supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilainilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA art.3).
7
f. Gereja membangun persaudaraan semesta tanpa diskriminasi. Gereja meyakini
bahwa kehidupan di dalam Allah senantiasa berlandaskan cinta kasih Allah dan kesamaan
martabat manusia di hadapan Allah. Cinta kasih Allah itu melampaui batas-batas maupun
sekat-sekat sebab cinta kasih Allah adalah pemberian tulus Allah dan bukan balas budi
Allah atas ketaatan manusia. Juga dalam hal martabat, setiap manusia beroleh martabaat
yang sama dari Allah. Karena itu, persaudaraan manusia yaitu persaudaraan di antara ciptaan
Allah yang senantiasa didasarkan atas cinta kasih Allah yang tidak mengenal batasan-batasan
manusiawi melainkan atas dasar kesamaan martabat di hadapan Allah.
Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah “ (1Yoh 4:8). Jadi tidak ada dasar bagi
setiap teori atau praktek yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak
yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa. Maka Gereja
mengecam setiap tindak diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan
keturuanan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat
Kristus. (NA art.5)
Pernyataan dan pandangan Gereja katolik ini inklusif tanpa melukai atau merugikan
kepentingan lain. Gereja Katolik juga tidak menjadi kehilangan identitasnya sebagai pengikut
Kristus ketika menjalin kerja sama dengan penganut agama lain dalam menggapai
perdamaian dan kebebasan serta kebaikan bersama.
3. Umat Katolik Menghargai dan Menghormati Kekhasan Agama-agama
Konsili suci sudah secara tegas dan jelas menyatakan sikapnya terhadap agama-agama lain.
Dengan tulus, Gereja menghargai dan menghormati kekhasan masing-masing agama
memiliki sebagai keyakinan yang memantulkan sinar kebenaran dan membimbing para
penganutnya menuju kepada Allah.
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan
sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajaarkannya
sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.
Namun Gereja tiada hentinya mewartakan Kristus yakni jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6);
dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah
mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja mendorong para Puternya supaya
dengan bijaksana dan penuh kasih melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agamaagama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui,
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya
yang terdapat pada mereka (NA art.2).
Pernyataan tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain, yakni bahwa rasa
hormat Gereja adalah Gereja tidak menolak segala sesuatu dari agama-agama bukan kristiani
yang serba benar dan suci meskipun di beberapa segi terdapat perbedaan. Namun demikian,
tidak jarang bahwa apa yang berbeda dengan ajaran Gereja dapat dan dimungkinkan
memantulkan sinar kebenaran yang juga dapat menerangi semua orang.
8
Sikap hormat dan menghargai itu tidak berarti menerima begitu saja apa yang benar
dan suci dari agama-agama bukan kristiani untuk menggantikan yang diyakini sebagai
kebenaran oleh Gereja. Bahkan Gereja tetap mempunyai kewajiban untuk mewartakan
Kristus yang adalah jalan, kebenaran dan hidup sebab dalam Kristus manusia menemukan
kepenuhan hidup keagamaan. Sikap demikian ini dijadikan dasar dalam membangun dialog
dan kerja sama dengan para penganut agama lain.
Dalam dialog dan kerja sama dengan agama lain para bapa Konsili Suci berpesan
agar di satu pihak Gereja tetap memberi kesaksian tentang iman dan perihidup kristiani dan di
lain pihak berani mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan
moral serta nilai-nilai sosiobudaya yang menjadi kekhasan agama-agama bukan kristiani
tersebut.
Sikap Gereja Katolik dan juga setiap anggota Gereja terhadap orang lain adalah sama
seperti sikap Kristus terhadap orang lain yaitu kasih dan pengampunan. Sikap kasih inilah
yang dituntut dari setiap anggota Gereja sehingga masing-masing menjadi saksi yang hidup.
Tanpa kesaksian yang baik maka semua kebenaran hanyalah menjadi teori belaka tanpa ada
realitasnya. Gereja harus tetap mewartakan kebenaran seperti yang diwartakan oleh Kristus,
walaupun berbeda dengan apa yang dipercayai oleh agama atau kepercayaan lain.
Mewartakan kebenaran adalah salah satu bentuk dari kasih.
B. Dialog Antarumat Beragama dan Berkepercayaan
Sikap Gereja sudah jelas dan tegas yaitu menghargai dan menghormati umat
beragama dan kepercayaan lain. Namun toleransi pasif bukanlah sikap yang mampu
menjembatani perbedaan. Sikap toleransi yang dikembangkan haruslah mengarah menuju
terjadinya keberanian dan keterbukaan untuk memahami agama dan kepercayaan lain,
melalui dialog.
Kepentingan dialog perlu dipahami dan ditempatkan dalam rangka mengupayakan
kerukunan dan kerja sama antarwarga demi terciptanya persaudaraan nasional. Berikut ini
berbagai makna dan bentuk dialog yang dapat dilakukan oleh penganut agama yang berbeda.
 Dialog antarumat beragama dapat mendorong orang untuk lebih memahami
agamanya secara tepat dan jernih.
 Dialog antarumat beragama menuntut orang mau mendengarkan, mau
mempertimbangkan dan mau menghormati pandangan pihak lain
 Dialog antarumat beragama bukan bermaksud untuk mempertobatkan pihak lain ke
dalam kepercayaan kita sendiri.
Sementara itu, wujud-wujud dialog antarumat beragama adalah sebagai berikut:
 Dialog kehidupan sehari-hari yakni interaksi dengan anggota masyarakat yang
berbeda agama dalam aneka kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Dialog formal: interaksi dengan saudara/i berbeda agama dalam pertemuan-pertemuan
atau rapat-rapat formal pengeloaan masyarakat, RT/RW/Kelurahan/Kecamatan/Kota
Madya/Provinsi dll.
9
 Dialog teologis: interaksi dengan saudara/i berbeda agama untuk menemukan
kejelasan-kejelasan masalah keagamaan atau iman kepercayaan (misalnya soal
Trinitas, Monotheisme, keselamatan hidup dll)
 Dialog doa: kegiatan doa-berdoa dengan saudara/i berbeda agama untuk memperoleh
rahmat-rahmat kasih Allah dll.
Keempat wujud dialog ini dapat kita bedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Perwujudan dialog yang satu senantiasa mengandaikan tiga perwujudan
dialog yang lain. Dialog antarumat beragama dan berkepercayaan hanyalah akan menjadi
retorika belaka jika tidak ditingkatkan dalam bentuk kerja sama yang nyata dalam tindakan.
1. Pengalaman Berdialog Antarumat Beragama
Sampai sekarang dialog antarumat beragama masih merupakan pro dan kontra bagi
masyarakat kita. Ada dua komunitas yang menerima dan menjalankan dengan penuh
ketulusan hati, ada yang menolak dengn berbagai alasan teologis. Keduanya pantas untuk
dihormati dengan tulus pula sehingga persaudaraan dalam suasana yang serba plural semakin
terwujud. Para pemuka agama yang tergabung dalam forum-forum dialog bahkan
menganjurkan terjadinya perjumpaan yang intens di antara umat berbagai agama dalam
rangka membangun kehidupan bersama yang baik.
Mengenai tujuan dialog, bertitik tolak dari pengalaman para tokoh menyatakan;
 “…….dialog antarumat beragama harus mampu memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia…………. Peran agama
belum sepenuhnya berfungsi untuk mengubah kondisi Indonesia. Keberagaman yang
selama ini menjadi kekayaan bangsa disinyalir belum dapat memberi kontribusi
terhadap kemajuan bangsa. Dialog agama harus bersifat komprehensif membahas
berbagai permasalahan yang sedang dialami bangsa…………….. musuh utama kita
adalah kemiskinan, kebodohan dan krisis global yang sedang menghantui bangsa
kita” (Ketua Umum Muhammadiyah).
 “Apa yang harus kita cari adalah kesamaan agar tumbuh kebersamaan. Para penganut
agama sangat mungkin bekerja sama memerangi kemiskinan secara lintas agama”
(pdt. Andreas Ewangoe).
Dialog haruslah menjadi kegiatan bermakna bagi kehidupan. Dalam dialog, orang tidak bisa
hanya diundang untuk membagikan pengalaman hidupnya sendiri. Setiap orang yang terlibat
bertitik tolak dari pengalaman beriman, menatap kehidupannya dan bertindak bersama orang
lain.
2. Hambatan-hambatan dalam Membangun Dialog Antarumat beragama
 Tradisional yaitu cara beragama berdasarkan tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya.
Biasanya orang yang kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang
baru atau pembaharuan. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal
keagamaannya.
10
 Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungnnya/masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Berdasarkan cara ini orang mudah
mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang
berbeda dengan cara beragamanya apalagi kalau menguntungkan dirinya. Mereka ada
minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai halhal yang mudah dan tampak dalam lingkungan masyarakatnya.
 Rasional yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio.untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengalamannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisonal atau
formal bahkan orang yang tidak beragama sekalipun.
 Metode pendahulu yaitu cara beragama seseorang berdasarkan akal dan hati
(perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu, ia selalu berusaha memahami dan menghayati
ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran. Ia selalu mencari ilmu
dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama, sebelum mereka
mengamalkan dan mendakwahkan.
Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah keyakinan pihak lain juga bukan untuk
membuktikan bahwa agamanya paling benar sementara yang lain salah. Setiap dialog harus
didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai bersama. Setiap agama memiliki esensi,
substansi atau keutamaannya sendiri yang terlepas dari aksiden sejarah. Sebuah gerakan
pembaharuan pada dasarnya adalah sebuah gerakan kembali kepada esensi tersebut setelah ia
dikacaukan dengan aksiden sejarahnya, termasuk hasrat manusia dan kepentingan sosial.
Setiap agama dimulai dengan pencerahannya sendiri yang disebut pewahyuan yang
serupa dengan pemahaman manusia dan kesempurnaan alam yaitu kesamaan antara wahyu,
akal dan alam. Kesamaan ini dapat dianggap sebagai konsep yang esensial sementara
komponen-komponen agama lainnya seperti dogma, ritual, institusi, hukum, sejarah dan
symbol adalah konsep-konsep yang sekunder.
Setiap agama memiliki dua kecenderungan:


Bersifat tradisional , dogmatis, ritualistik, istitusioanal dan legal. Agama bertipe ini
merupakan hasil sejarah, hasil interaksi sosial manusia. Filsuf Bergson menyebutnya
sebagai agama statis. Biasanya versi agama ini dipelajari oleh para sosiologi agama,
antropologi dan sejarawan, terutama apabila mereka mengadopsi pendekatan
positivistik terhadap agama.
Bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan manusiawi, hasil
dari pengalaman religius yang mendalam yang datang dari kedalaman hati manusia.
Bergson menyebutnya sebagai agama yang dinamis. Paham agama seperti ini adalah
yang membuat orang-orang terkemuka dan para pemikir bebas dekat dengan agama,
melindungi agama rasional dan alamiah.
Hambatan yang biasanya muncul dalam mengadakan dialog antarumat beragama serta cara
mengatasinya;
Hambatan-hambatan
Cara mengatasi hambatan
a. Aspek tokoh historis
a. Aspek tokoh historis
11

Fanatisme pemeluk agama yang kurang setia
terhadap tokoh historis yang diikutinya
sehingga beranggapan bahwa tokoh yang satu
lebih unggul daripada tokoh yang lain seolaholah mereka ini berasal dari Allah yang
berbeda.
 Proses pembodohan yang terjadi dalam
kaderisasi dan “propaganda” dari pemuka
agama kepada para kader dan pemeluk agama
sehingga mereka tidak memperoleh informasi
yang benar dan utuh tentang tokoh historis
dan ajaran-ajarannya.
b. Aspek harta milik
 Kekayaan tidak jarang digunakan untuk
menindas orang kecil.
 Kekayaan tidak jarang digunakan untuk
provokasi agama yang seringkali disertai
kekerasan.
 Kekayaan sering kali diperlukan sebagai
status symbol.
c. Aspek pesan Universal
 Persepsi yang berbeda-beda dari masingmasing agama dan pemuka agama (bahkan
dalam satu agama yang sama) tentang pesan
agamanya.
 Ketertutupan dan eksklusivitas para pemeluk
agama.
d. Aspek tujuan hidup
 Solidarisme yang dikembangkan hanya
bersifat eksklusif.
 Ada persaingan yang tidak sehat dalam
mencapai tujuan hidup.
 Buntunya dialog dan komunikasi.
e. Aspek pandangan terhadap martabat kaum miskin
 Masih ada bahkan semakin lebar kesenjangan
sosial.
 Masih suburnya materialisme, konsumerisme,
hedonisme bahkan darwinisme.
 Pendiskreditan elite terhadap kaum miskin
sebagai pemalas dan sampah masyarakat.
f. Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci
 Beriman kepada Tuhan yang sama, tetapi
perbedaan tradisi dan ajaran dibesarbesarkan.
 Ada persaingan dalam pembangunan tempat
ibadah beserta sarana pendukungnya.
 Ada rasa alergi untuk membaca dan
mempelajari Kitab Suci, terutama Kitab Suci
dari agama lain.

Meningkatkan dialog interaktif antarpemeluk
agama mengenai visi dan misi yang dibawah
oleh tokoh historisnya. Dialog ini dimulai
dari para pemuka agama.
 Para pemuka agama lebih jujur dalam
memperkenalkan figur, visi dan misi tokoh
historisnya sehingga pemeluk agama
memiliki pemahaman dan penghayatan yang
utuh tentang tokoh historisnya.
 Dialog ini juga dimaksudkan untuk
membangun sikap inklusif di antara umat
beragama.
b. Aspek harta milik
 Kekayaan digunakan untuk melayani orang
lain, terutama yang terpinggirkan
 Mengagendakan “dakwah” dengan topik
peranan harta bagi manusia
c. Aspek pesan Universal
 Mengungkapkan niali-nilai universal yang
terdapat dalam ajaran masing-masing agama.
 Membangun komunikasi bersama baik secara
formal maupun non formal sehingga tidak
salah persepsi terhadap pesan keselamatan
universal
d. Aspek tujuan hidup
 Membuka dialog dan komunikasi yang
manusiawi demi kehidupan bersama yang
lebih baik.
 Membangun solidaritas yang lebih luas
(inklusif).
 Merintis kerja sama untuk mencapai tujuan
hidup bersama.
e. Aspek pandangan terhadap martabat kaum miskin
 Penjajagan kemungkinan untuk membina
kerja sama melalui program peduli kaum
miskin dan pengentasan kemiskinan
 Membuka dialog terbuka dengan semua
pihak yang berkehendak baik.
f. Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci
 Dialog antar umat beriman untuk memahami
tradisi dan dinamika hidup beriman pihak
lain.
 Dialog dan kerja sama untuk studi Kitab Suci
yang dilaksanakan dengan dasar kehendak
baik.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat utama dalam dialog antarumat
beragama adalah eksklusivisme. Hal ini sering tidak begitu disadari akan menjadi
penghambat dialog antarumat beragama dan kepercayaan. Penghambat dialog dapat berupa
sikap tradisional orang katolik yang eksklusif di mana orang beragama lain menjadi sasaran
12
penginjilan dan motivasi yang sama orang beragama lain untuk mempertobatkan orang lain.
Sikap tradisional orang Katolik di dasarkan pada:
 Keprihatinan akan “nasib” mereka (berdasarkan penafsiran eksklusif atas ayat-ayat
Alkitab, misalnya Yohanes 14:6).
 Nafsu ekspansionis.
 Ketaatan legalistik dan literalistik terhadap perintah Alkitab (Mat 28).
Sementara itu, agama lain juga mengambil sikap dan mempunyai motivasi serupa yang
mengakibatkan sikap-sikap sbb;
 Saling mencurigai dan memagari diri (saling tidak percaya).
 Saling mengintip strategi dan metode ekspansi “etika pemasaran” cenderung
diabaikan.
 Bertumbuhnya kelompok-kelompok ekspansionis yang radikal dan intoleran dalam
agama-agama. Konflik dan perang saudara yang sering diumumkan bukan karena
agama tetapi tetap terkait dengan sentiment keagamaan.
Dalam upaya mengatasi hambatan yang disebabkan oleh sikap eksklusif umat beragama
dapat ditawarkan opsi sebagai berikut;
 Menggali dan menghayati kembali sumber-sumber agama (Kitab Suci), tradisi
pengajaran dan etos/karakter) yang membentuk sikap kondusif bagi masyarakat
majemuk yang damai
 Memperkaya referensi kitab suci bagi penolakan terhadap sikap eksklusif internal,
misalnya Mat 7:1-5, Mat 23:15 dsb.
Opsi yang kemungkinan dipilih oleh orang kristiani dalam membongkar eksklusivitas perlu
membangun inklusivitas atau pluralitas dalam penghayatan hidup beriman.
a. Sikap inklusif
1. Sikap inklusif mempertahankan keunikan Kristus tetapi membedakan antara
Kristus dengan agama Kristen atau Gereja. Mengutip pandangan Karl Raner,
orang-orang yang beragama lain adalah orang “Kristen anonim”. Artinya orang
yang dianggap Kristen karena perbuatan dan cara hidupnya, meskipun tidak
formal menjadi penganut agama Kristen. Refrensi alkitabiah yang mendukung
antara lain Mat 7:21; 12:50; Luk 9:49-50).
2. Dari pihak Islam: “Kelompok Paramadina memahami orang Muslim sebagai
orang yang berserah kepada Tuhan” sehingga tidak terbatas pada orang-orang
yang secara resmi mengucapkan syahadat agama Islam”.
3. Sikap inklusif mampu membedakan antara yang mutlak (Injil, Kristus) dari yang
relative (institusi agama dan perangkatnya) dan dengan demikian mampu bersikap
positif terhadap agama lain tanpa meromabak terlalu banyak warisan teologi
4. Sikap inklusif kurang memperhitungkan aspek relasi dan komunitas.
b. Sikap pluralis indiferen
1. Model ini menggunakan titik tolak bahwa semua agama lain diterima dan
dihormati sebagai sesama jalan menuju kepada keselamatan. Bagi orang Katolik
yang menggunakan gaya bersikap ini, keunikan Yesus Kristus hanya bagi yang
percaya kepada-Nya. Bagi yang tidak percaya diberi jalan yang lain sesuai dengan
13
kepercayaannya yaitu; Al-Quran bagi orang Muslim, Taurat bagi orang Yahudi,
Buddha bagi kaum Buddhis dsb. Refrensi Alkibiahnya: Rm. 11:25-36.
2. Pluralisme indiferen bersikap sangat terbuka dan simpatik terhadap agama lain,
menyadari kebesaran Allah di atas kebesaran agama. Juga bersifat rendah hati,
menyadari keterbatasan agama sendiri.
3. Pluralisme Indeferen cenderung mealakukan generalisasi, kurang sensitif terhadap
perbedaan Visi, orientasi dan etika di antara agama-agama.
c. Pluralisme dialogis
1. Pluralisme dialogis mengakui dan menghargai agama-agama lain sebagai sesama
upaya manusia untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya.
2. Pluralism dialogis menegaskan keyakinan terhadap keunikan iman sendiri
berdasarkan pengalaman pribadi maupun bersama sebagai komunitas beriman.
3. Pluralisme dialogis mengakui kelemahan, dosa dan keterbatasan iman sendiri
(dan semua iman yang lain).
Implikasinya:
1. Yakin punya sesuatu (keutamaan Imani) untuk dibagikan dan disaksikan.
2. Sadar bahwa kemampuannya untuk menyaksikan Injil tidak luput dari kekurangan
dan keterbatasan.
3. Bersaksi bukan untuk menaklukkan tetapi untuk membagikan.
4. Bersaksi bukan menghakimi tetapi membukakan kebenaran dengan membedakan
antara yang kompatibel dengan Injil dan yang bertentangan (secara moral, spiritual,
sosial)
5. Bersaksi bukan tindakan satu arah, tetapi interaktif: artinya siap juga menerima
kesaksian pihak lain.
 Referensi alkitabiah, antara lain: Yoh 4:21-24), Mat 8:10-12; Luk 10:25-37;
2Kor 4:6-7; Gal 1:6-10; Yak 4:12.
 Seruan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Royal Aal-Bayt Institute for
Islamic Throught, Yordania. Pada tanggal 13 Oktober 2007, 138 pemimpin
Muslim dunia menulis surat kepada pimpinan gereja-gereja sedunia, mengajak
menjalin kerja sama untuk menciptakan perdamaian duania berdasarkan
pijakan bersama yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
4. Teladan Yesus dalam Membangun Dialog dengan berbagai pihak
Sikap Yesus sendiri terhadap orang bukan Kristen dan bukan Yahudi
a. Yesus mengasihi semua orang, baik yang memilih Dia maupun tidak memilih Dia
sebab kasih itu tidak memilih apalagi mengecualikan orang lain. Kasih yang sejati
adalah kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabatnya. Artinya kasih yang
tidaklah untuk menguasai orang lain atau membiarkan diri dikuasai oleh orang lain.
Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan
kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat
oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat karena Aku telah memberitahukan kepada
kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku tetapi
Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu supaya pergi dan menghasilkan
buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku
14
diberikan-Nya kepadamu.Inilah perintah- Ku kepadamu: kasihilah seorang akan yang lain (Yo.
15:12-17)
b. Yesus menerima orang-orang berdosa yang selama ini dipandang sebagai pihak yang harus
dikucilkan dari pergaulan. Dalam perumpamaan mengenai orang Farisi dengan pemungut
cukai. Orang Farisi dalam kalangan Yahudi merupakan golongan terpandang dan boleh
dikatakan sebagai tokoh-tokoh agama Yahudi, orang-orang yang berpengaruh, memerintah,
terpandang dan dihormati orang. Mereka itu umumnya menganggap dirinya sebagai ahli
waris dari agama Yahudi, memandang dirinya sebagai orang yang saleh, benar dan
mengikuti peraturan agama dengan tepat. Dalam perumpamaan ini diperlihatkan bahwa orang
farisi tersebut mengikuti hukum dan tidak sama dengan orang lain. Dia berkata bahwa dia
tidak pernah merampok, mencuri berbuat salah seperti orang lain, berpuasa dua kali
seminggu, membayar persepuluhan dan dia juga tidak seperti pemungut cukai yang memeras
orang lain.Kita lihat dalam diri orang farisi tersebut. Ia adalah seorang tokoh yang begitu
yakin akan dirinya karena ia merasa telah memenuhi peraturan agamanya dengan baik. Ia
memandang dirinya hebat dan memandang rendah orang lain, menuduh dan menghakiminya.
Tukang pajak di kalangan orang Yahudi sering kali juga merupakan pemeras.
Mereka memeras dari orang Yahudi sendiri dan bekerja bagi penjajah yaitu orang-orang
Roma. Orang Roma memberi target kepada tukang pajak yaitu mereka harus memasukan
sejumlah uang yang ditentukan untuk pajak. Dalam pemenuhan targrt itu mereka bisa
memeras dari rakyat kecil sebanyak dua kali lipat. Karena mereka memeras rakyat maka
mereka dibenci sekali oleh rakyat. Mereka dianggap oleh orang-orang Yahudi sebagai
sampah masyarakat, pengkianat, dan pengemis. Mereka dianggap orang tidak bermoral dan
berperikemanusiaan lagi oleh masyarakat dan juga bertentangan dengan hukum. Demikianlah
keadaan para pemungut cukai. Melalui perumpamaan ini, Tuhan mengungkapkan suatu
kebenaran yang seringkali bisa membingungkan hati kita karena kita juga sering kali berpikir
seperti orang farisi. Dari situlah, timbul segala macam sikap mudah memfitnah dan
membicarkan kejelekan orang lain.
c. Yesus menerima orang-orang yang hidup dalam kekerasan, bahkan dijanjikan akan
bersama Dia masuk ke taman Firdaus. Kita bisa bayangkan kehidupan perampok itu yang
selama hidupnya ia hanya tahu kekerasan. Mungkin ia tidak pernah mengalami kasih maka ia
juga tidak bisa memberikan kasih. Yang ada padanya hanyalah kekerasan dan kekejaman: ia
membunuh, merampok, tidak peduli nyawa orang lain, tidak lagi bisa berbelaskasihan dan
melakukan berbagai macam kejahatan, sampai akhirnya ia tertangkap. Dia disalibkan
bersama Tuhan Yesus dan saat itulah dia sempat mengamat-amati sikap Yesus yang lembut
dan penuh kesucian. Ia melihat keagungan Tuhan Yesus, kebesaran jiwa Yesus dan ia mulai
tergerak hatinya lalu dia berkata. “Yesus ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.”
Kata Yesus kepadanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:42-43). Yesus tidak mengatakan
engkau harus bertobaat dan lain-lain, tetapi Yesus tahu kejujuran dan kepolosannya yaitu
bahwa orang ini telah mulai berbalik.
d. Yesus juga menerima orang yang dipandang sangat hina oleh masyarakat bahkan sikap
Yesus itu menimbulkan banyak pertentangan. Dalam Injil Lukas (Luk 7:36-50), juga
diceritakan tentang seorang perempuan pendosa. Ia seorang pelacur. Ia begitu terkenal di kota
itu. Kemudian ia tersentuh dan tergerak oleh khotbah-khotbah Yesus. Ia datang kepada Yesus
15
ketika Yesus sedang makan di suatu perjamuan pesta. Ia tidak peduli akan orang-orang yang
ada di sana, tetapi ia masuk, menangis dan kemudian meminyaki kaki Yesus. Dapat kita
bayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang ada di dalam rumah itu. Misalnya pada waktu
perempuan itu masuk pasti mata semua orang tertuju kepadanya dan pasti perasaan malu ada
pada orang itu akan tetapi ia tahu bahwa ia datang kepada Yesus yang Mahamurah,
Maharahim dan Maha belas kasih sehingga ia tidak peduli dengan orang di sekitanya. Ia
melakukan perbuatan yang tidak biasa. Tiba-tiba ia mendekati kaki Yesus, mulai menangis
dan mencium kaki Yesus serta meminyakinya dan menyekanya dengan rambutnya.
Orang farisi yag mengundang Yesus makan mempuyai sikap yang berseberangan dengan
Yesus dalam memandang dan memperlakukan seorang pelacur. Terhadap sikap Yesus itu
orang farisi berpikir tentang Yesus dan berkata dalam hatinya, “jika Ia ini nabi, tentu ia tahu
siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamahnya itu. tentu Ia tahu bahwa
perempuan itu adalah seorang berdosa. ”kalau Ia ini nabi, mengapa Ia membiarkan diri-Nya
dipegang oleh seorang yang najis, seorang pendosa dan pelacur? Akan tetapi Tuhan Yesus
berkata: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni sebab ia telah banyak berbuat kasih.” (luk.
7:47)
e. Yesus melalui perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-32), memberi pelajaran
bahwa kesalahan seberat apapun, kita harus menerimanya sebagai manusia dengan penuh
kasih seperti Allah sendiri Mahabaik dan penuh kasih. Penerimaan yang disertai sikap penuh
kasih itu justru yang memungkinkan orang berdosa kembali ke jalan yang benar. Dalam
perumpamaan tersebut bapa itu sebetulnya tahu bahwa anaknya telah menyakiti hatinya
begitu rupa, yaitu dengan foya-foya, main pelacur, berjudi dan membuat hidupnya tidak
karuan. Namun bapa tersebut senantiasa merindukan anakanya kembali. Ia tidak mau
memaksa anakanya, walaupun ia merindukan anakanya pulang kembali ke rumahnya. Ketika
anak itu datang dari jauh, bapa itu sudah tahu karena tiap hari bapa itu keluar, menunggu dan
memandang dari jauh dan berpikir “barangkali anakku datang”. Anaknya pergi dari rumah
bapanya sebagai hartawan besar, tetapi kembali ke rumah dengan pakaian compang camping,
seperti seorang pengemis. Ketika anaknya mengatakan “bapa aku telah berdosa…..”, bapanya
tidak membiarkan anaknya itu meneruskan kata-katanya, namun ia merangkul, menciumya
dan menyuruh para pelayannya mengambil pakaian yang paling baik. Ayah itu berkata, “Mari
kita bersukaria karena anakku telah kembali dia telah mati sekarang hidup kembali.
f. Yesus tidak menghakimi dan menjatuhkan hukuman apa pun kepada seorang yang
tertangkap telah berbuat zinah. Pada zaman Yesus, masyarakat cenderung dipisahkan
menurut golongannya. Orang farisi adalah salah satu contohnya. Golongan ini memisahkan
diri dari rakyat kebanyakan atas nama hidup keagamaan. Mereka memosisikan diri sebagai
orang-orang yang setia menjaga warisan tradisi dan lebih berhak mengajarkannya. Mereka
juga cenderung melihat dan mengajarkan bahwa dosa sebagai kutukan/hukuman dari Allah.
Dosa seperti virus yang menjalar, maka setiap pendosa harus dijauhkan/dikucilkan, bahkan
dibinasakan. Akan tetapi ketika Yesus tampil semua pandangan macam itu dijungkirbalikan.
Ada konflik tetapi, sikap Yesus jelas: Allah Bapa adalah pengasih dan penyayang. Tuhan
merindukan pertobatan bagi kaum berdosa. Dalam kerangka pikir inilah kita coba memahami
kisah Injil tentang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang membawa kepada Yesus
seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Secara hukum memang orang ini harus
dirajam, tetapi kata Yesus, “barangsiapa yang tidak berdosa hendaklah dia yang pertama
melemparkan batu ke perempuan ini”. Tetapi tak ada satu pun yang melakukan; malah ketika
16
Yesus membungkuk dan menulis di tanah, mereka pergi meninggalkan perempuan itu satu
persatu mulai dari yang paling tua.
g. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati, Yesus memberikan contoh
kepada para murid-Nya bahwa untuk berbuat baik kepada orang lain itu janganlah
memandang latar belakangnya, apalagi imbalan (lihat Injil Lukas 10:25-37).
C. Kerja Sama Antarumat Beragama dan Kepercayaan
Setelah berusaha dengan segala kejujuran dan keterbukaan hati untuk berdialog
dengan umat beragama dan berkepercayaan lain, kita akan menjadi terbuka untuk memahami
keyakinan umat beragama dan berkepercayaan lain. Dengan demikian kita akan mampu
memahami titik temu dari kesamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada.
Keterbukaan dan pemahaman ini sudah semestinya dikembangkan ke arah tindakan nyata
bersama sebagai perwujudan iman dalam bentuk kerja sama antarumat beragama.
1. Berbagai Bentuk Kerja sama Antarumat Beragama
Untuk menemukan bentuk-bentuk kerja sama antarumat beragama, perlu dipahami
terlebih dahulu bagaimana sikap beragama. Ada 5 sikap beragama yang dapat
dijadikan titik pemikiran yaitu;
 Eksklusivitas. Sikap ini akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling
benar hanyalah agama yang dianutnya, sedangkan agama lain sesat dan wajib
dikikis atau pemeluknya dikonversi sebab agama dan penganutnya terkutuk
dalam pandangan Tuhan.
 Inklusivitas. Sikap ini berpandangan bahwa di luar agama yang dianutnya juga
terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang
dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman.
 Pluralitas atau paralelisitas. Sikap teologis paralelisitas bisa terekspresi
dalam macam-macam rumusan. Misalnya agama-agama lain adalah jalan yang
sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, agama-agama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama
sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.
 Eklektivitas. Yakni sikap keberagaman yang berusaha memilih dan
mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan
semacam mozaik yang bersifat eklektis.
 Universalitas. Sukap ini beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama
adalah satu dan sama. Hanya saja karena faktor historis-antropologis, agama
lalu tampil dalam format plural.
Dari lima sikap beragama ini, tentu saja eksklusivitas merupakan sikap yang akan
menghambat segala bentuk kerja sama lintas agama. Oleh sebab itu, yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengikis eksklusivitas dalam diri masing-masing umat beragama. Setelah
itu, baru dimungkinkan untuk menentukan bentuk-bentuk kerja sama lintas agama seperti
berikut:
 Membangun hubungan sosial yang tidak dibatasi oleh doktrin-doktrin agama,
misalnya: olah raga, pagelaran seni dan budaya, bakti sosial, gotong royong, dsb.
17
 Meningkatkan perekonomian masyarakat, misalnya; mendirikan koperasi, credit
union (CU), kelompok tani dsb
 Meningkatkan mutu pendidikan masyarakat misalnya: merenovasi sekolah,
melengkapi sarana-prasarana belajar, membentuk kelompok-kelompok diskusi dan
kelompok ilmiah remaja.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa bentuk kerja sama yang dilakukan lintas agama
dan yang dimungkinkan akan mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup bersama jika
dapat dibebaskan dari segala konflik kepentingan.
2.Usaha-Usaha Umat Beriman untuk Mewujudkan Terjadinya Kerja sama Antarumat
beragama
 Membentuk Forum Persaudaraan Antarumat Beriman (FPUB). Forum ini merupakan
ajang komunikasi, dialog dan bekerja sama antarumat beragama yang bersemangatkan
iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang satu dan samalah yang
menyatukan dan menggerakkan kebersamaan penuh persaudaraan antarumat
beragama ini.
 Bersama-sama antarpemeluk agama meningkatkan inklusivitas keberagaman, sebab
dengan meningkatnya sikap inklusivitas masyarakaat akan meningkat pula kerja
samanya. Oleh sebab itu diharapkan materi ajaran agama yang disampaikan kepada
masyarakat merupakan ajaran agama yang bersifat inklusif.
 Mengingat bahwa tingkat kepercayaan yang berdimensi hubungan sosial mempunyai
pengaruh terbesar dalam hal kerja sama maka perlu dipikirkan bersama pengadaan
sarana dan prasarana sosial seperti tempat olahraga, gedung kesenian balai pertemuan
yang memungkinkan masyarakat berbeda agama dapat bertemu, berinteraksi dan
berdialog sehingga dapat meningkatkan hubungan sosial di antara mereka.
 Mengingat faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap kerja sama
maka meningkatnya ekonomi masyarakat sangat berpengaruh dalam meningkatkan
kerja sama antarumat beragama. Oleh karena itu, gerakan pemberdayaan ekonomi
yang berbasis kerakyatan perlu dikembangkan.
 Mengingat tingkat pendidikan mempunyai korelasi terhadap kerja sama antarumat
beragama maka di daerah-daerah yang masih rendah tingkat pendidikannya, perlu
ditingkatkan tingkat pendidikannya dengan mendirikan sekolah-sekolah lanjutan atas
(SMA-SMK) dan menyediakan tenaga gurunya. Atau memberdayakan sekolahsekolah yang sudah ada, sehingga menjadi lebih bermutu dan memungkinkan peserta
didiknya berkembang dalam cara berpikirnya.
 Mengingat bahwa kebudayaan dapat menjadi media pertemuan lintas agama, maka
membangun budaya yang mampu menciptakan keharmonisan hidup perlu terus
menerus dibangun.
 Mengingat bahwa sistem dan iklim politik yang berhembus saat ini cenderung
sektarian, maka perlu dibangun sistem politik yang bebas dari segala bentuk konflik
kepentingan antargolongan atau agama.
18
19
Download