PERANGKAP DINASTI POLITIK DALAM KONSOLIDASI DEMOKRASI Alim Bathoro1 Absract Democracy is necessity in the political system in Indonesia. But a system is sometimes no always linear, but can also be conjuncture or even a trap. It is phenomenon of political dynasties. The phenomenon appeard in both national and local politics. May be, the phenomenon is beyond calculation so tends to cause conflict and interfere with consolidation of democracy. Threfore, in order not to disrupt the political system that is being built by existing legislation, it should be able to regulate this issue. Nevertheless, the possibility of politicians using th rules of the cracks weakness will always be there because it is typical of democracies that promote free competition. Thus, the emergence of an independent middle clas is needed in the transition of democracy so that democratic consolidationprocess can be run as the right direction. For exemple, the emergences of this group may facilitate the recruitment of members of political parties. If the process is going well and then simmering in party cadres are good then emergence of candidates qualified leaders will be a reality. This allows future leaders rely not only one source of the political dynasty, but also other sources. Key words : political dynasty, political party, middle class, consolidation of democracy A. PENDAHULUAN Setelah melewati sepuluh tahun demokrasi Indonesia berjalan , ternyata demokrasi di Indonesia mengalami ujian dengan munculnya fenomena political dinasty. Hal itu dimulai dengan munculnya clientilsm dalam pencalonan anggota legislatif dan pencalonan kepala daerah, dan isu yang belakangan muncul adalah clientislm dalam suksesi kepemimpinan nasional. 1 Sementara itu di tingkat politik lokal, di Provinsi Kepulauan Riau misalnya, kemunculan Maya Suryanti anak Walikota Suryatati A Manan dalam bursa Calon Walikota Tanjungpinang dan Aida Ismeth dalam pemilukada Kepulauan Riau Tahun 2010 yang lalu adalah bukti fenomena political dinasti. Di daerah lain seperti Provinsi Banten misalnya, jejak-jejaknya lebih kentara. Ratu Atut Choisyah Gubernur Banten 2007-2012 misalnya, keluarga Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji 116 besarnya memiliki setidaknya 9 orang yang memimpin di masing masing “kerajaannya”. Seperti dirinya sendiri yang memimpin Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri mejadi wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Ibu tirinya yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota Serang, dan adik iparnya Airin menjadi WalikotaTangerang Selatan. Di tingkat pusat, muncul isu bahwa Ani Yudhoyono, istri presiden Susilo Bambang Yudoyono kemungkinan akan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, pada tahun 2014. Meskipun SBY sejak jauh hari mengatakan tidak akan mengembangkan demokrasi clientilsm. Namun beberapa orang tidak percaya akan hal ini, karena sebagian orang justru percaya adanya skenario pencalonan kerabat dekat SBY adalah realitas Partai Demokrat yang tidak terbantahkan. Dan belakangan santer muncul nama adik ipar SBY yang kini menjadi KASAD Jend. TNI Pramono Edhi Wibowo dalam bursa Calon Presiden RI 2014. Dan bagaimanapun juga, hal ini mengemuka lantaran hingga saat ini, Partai Demokrat belum memiliki calon presiden yang sekelas SBY. Di dunia internasional, hal serupa juga terjadi. Mendiang mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto adalah politikus yang mewarisi bakat ayahnya, Ali Bhutto. Selanjutnya, Bilawal pun terjun ke dunia politik. Bahkan, suami Benazir, Asif Ali Zardari, kini menjadi Presiden Pakistan. Demikian juga di Philipina, Presiden Benigno Aquino jr adalah anak dari mendiang Corazon Aquino, Presiden Philipina selepas genggaman rezim Marcos. Kenyataan di atas adalah sebuah trend yang menarik untuk dikaji. Boleh jadi sebagian orang menganggap wajar hal tersebut muncul, namun sebagaian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik transparansi dari semua proses politik tertekan oleh dinasti politik. Oleh karena itu wajar bilamana munculnya dinasti politik dianggap membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia. B. PERMASALAHAN Konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. Munculnya fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi C. METODE PENELITIAN Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menganalisis fenomena perangkap dinasti politik dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. D. KERANGKA TEORI Dalam kajian akademik, demokrasi menurut Schumpeter (dalam Huntington 1991 : 5) adalah sebuah metode yang memiliki prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu. Sementara itu, konsolidasi demokrasi menurut Diamond (2000) adalah pembiasaan norma-norma , prosedur-prosedur dan harapan-harapan tentang demokrasi kedalam perilaku aktor-aktor politik. Proses tersebut dilalui dengan fase transisi demokrasi terlebih dahulu yang menandai beralihnya sistem politik di sebuah negara dari otoriter ke demokrasi. Namun, dalam kasus di Indonesia transisi demokrasi yang ada hingga saat ini relatif belum berhasil membawa masyarakat seperti yang dikategorikan oleh diamond. Pendek kata kekuataan konsolidasi demokrasi sangat ditentukan bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat memilih wakil rakyat dan kepala negara atau daerah terbebas dari tekanan. Berbeda dengan masa orde baru Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 yang tekanan itu berupa ancaman fisik dan mental. Saat ini tekanan pada masyarakat bisa berupa sebuah pencitraan yang penuh dengan kepura-puraan. Hal ini tampak dari munculnya para artis yang tiba-tiba menjadi tokoh politik tidak melalui rekrutmen yang sewajarnya, yakni berjenjang, bertahap dan melalui mekanisme penilaian, mereka tiba-tiba saja melampui proses tersebut dan langsung menjadi tokoh politik. Dengan demikian sejatinya popularitas di luar prestasi politik (keartisan) mendongkrak suara sehingga mereka melenggang dengan cepat ke parlemen atau jabatan politik yang lain. Fenomena yang sama terjadi dalam pada lingkungan keluarga besar seorang tokoh politik. Popularitas sang tokoh telah membawa sanak familinya menjadi orang yang dikenal ditengah masyarakat. Sepak terjangnya diikuti masyarakat, sehingga manakala sang tokoh tidak bisa lagi menjadi pejabat karena usia, masa jabatan, ataupun tutup usia. Maka sosok di lingkaran tokoh tersebut dianggap mumpuni menggantikannya. Studi yang dilakukan Agustino(2010)di Provinsi Banten, menurut Agustino proses transisi menuju demokrasi di Indonesia dengan studi Provinsi Banten ditemukan dinamika politik yang fluktuatif. Bahkan, atas kedinamikaan politik Banten tersebut tidak mengarah pada tumbuhnya sistem demokrasi yang modern, sebab logika politik kekeluargaan telah menjadi rasionalitas elit politik Banten yang pada akhirnya membawa pada tumbuh dan berkembannya dinasti politik di Banten. Menurut Marcus Mietzner (2009), dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi. Antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances, menjadi lemah. 117 Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi politik. Dalam konteks Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan atau berta-rung merperebutkan kekuasaan. Sebelum munculnya gejala dinasti politik, kelompok elit tersebut diasosiasikan elit partai politik, elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman atau mafia, elit artis, serta elit Aktifis. Menurut Pareto dalam Varma (2007 : 206) yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Sementara Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadangkadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan. Mosca dalam Varma (2007: 204) meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan 118 mengenali peran ‘kekuatan sosial’ tertentu. Mosca mengenalkan konsep ‘sub elite’ yang merupakan kelas menengah dari para pegawai negeri sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas menengah ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok menengah ini. Menurut Pareto, antara governing elitedan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis. Kekuasaan elite menurut Mosca adalah sebagai akibat sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri. Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite. Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya. Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik. Setelah berlangsung tiga kali pemilu dalam masa reformasi, ada fenomena yang menarik kalau di dalam teori politik kontemporer elit biasanya berdasar golongan, misalnya militer, partai, birokrasi dan sebagainya. Maka Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik belakangan muncul varian lain dari elit politik, dimana elit politik ini berbasis kekeluargaan. Kenyataan tersebut cenderung akan memupuk munculnya dinasti-dinasti politik di tingkat pusat atau lokal. Oleh karenanya, kedekatan politik keluarga inilah yang kemudian menguatkan jaringan politik. Menurut Turner ( dalam Fadhillah : 2007) suatu jaringan mempunyai pengaruh penting terhadap dinamika jaringan tersebut. Dan, hal tersebut berdampak terhadap tertutupnya rekrutmen politik. Akhirnya manakala hal itu terjadi, maka dikhawatirkan menjadi budaya politik di Indonesia sehingga dikhawatirkan akan menganggu demokratisasi secara keseluruhan. Karena menurut Chilcote (2003) budaya politik merupakan serangkaian keyakinan, simbol-simbol. Yang melatarbelakangi situasi di mana suatu peristiwa politik terjadi. Bila sudah begitu, persoalan konsolidasi demo-krasi di Indonesia boleh jadi hanya sekedar mimpi. E. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertanyaan mendasar adalah mengapa political dinasti tersebut muncul ditengah transisi demokrasi yang sedang berlangsung. Dan, seberapa besar dinasti politik menganggu konslidasi demokrasi. Dan bagaimana solusinya agar demokratisasi di Indonesia berlangsung wajar. Proses demokrasi yang wajar menurut Robert A Dahl (dalam Gaffar : 2000) dalam karyanya “Dilemma of Pluralist Democracy” mengemukakan beberapa kriteria yang mesti terwujud dalam suatu sistem demokratis yang terkonsolidasi. Pertama, pengontrolan terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan kepada para pejabat yang terpilih. Kedua, melalui pemilihan yang teliti dan jujur para pejabat dipilih tanpa paksaan. Ketiga, semua orang dewasa secara praktis mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat pemerintahan. Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 Keempat, semua orang dewasa secara praktis juga mempunyai juga hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan, meskipun pembatasan usia untuk menduduki jabatan politik mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukum yang berat mengenai berbagai persoalan politik pada tataran yang lebih luas, termasuk mengkritisi para pejabat, system pemerintahan, ideology yang berlaku dan tatanan sosio-ekonomi. Keenam, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumbersumber informasi alternative yang ada dan dilindungi oleh hukum. Ketujuh, dalam meningkatkan hak-hak rakyat, warga Negara mempunayi hak dan kebebasan untuk membentuk suatu lembaga atau organisasiorganisasi yang relatif independen, termasuk membentuk berbagai partai politik dan perkumpulan yang independen. Pemikran Robert A dahl ini menunjukkan tentang indikator sebuah democratic political order sebagai kerangka acuan dan tidaknya perwujudan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara. Seluruh proses demokrasi, yang dimaknai dengan demokrasi prosedural berupa pemilu , pemilu presiden, dan pemilukada. Awalnya diniatkan agar masyarakat dapat memilih sendiri pemimpin yang dia inginkan tanpa ada tekanan. Dengan demikian, seorang politisi yang duduk di parlemen, presiden, Gubernur, bupati dan walikota memiliki legitimasi yang kuat karena ia dipilih langsung. Dan, tentunya legitimasi ini adalah modal politik yang sangat besar yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Selain dari itu, terpilihnya seseorang melalui pemilu akan melahirkan pemerintah yang akuntabel karena ia dipilih oleh masyarakat. Dengan demikian, pemerintahan itu, mudah mewujudkan mekanisme checks and balances karena memiliki modal politik yang kuat sehingga kestabilan sebuah pemerintahan dengan sendirinya terjaga. Dan yang jelas ketika pemilihan langsung dilakukan 119 maka setiap masyarakat yang memilih telah memperoleh haknya berpartisipasi dalam demokrasi, yang pada akhirnya nanti partisipasi politik tersebut akan meningkatkan kesadaran politik. Studi yang dilakukan Nankyung Choi dari S. Rajaratnam Scholl of International Studies Nanyang Technological University, mengungkapkan ditengah liberalisasi politik, justru fenomena politik uang yang lebih menonjol ketimbang penguatan system politik. Lebih jauh Choi mengatakan : More specially, both within and outside the shell of formally democratic political instutions, we have observed the emergence of decentralized money politics. Money politics has emerged as a key issue in local politics in postsoeharto. Sekalipun, Choi hanya berkomentar ihwal politik lokal, namun sebagian pihak melihat politik uang adalah kecenderungan yang terjadi di level nasional. Politik uang adalah salah satu dampak dari eksisnya elit politik yang ada disebabkan mereka memiliki sumber daya ekonomi yang lebih. Dengan demikian sebuah dinasti politik akan menguatkan perannya dengan sumber daya ekonomi yang dimilikinya agar kepentingan-kepentingan keluarga yang telah dimiliki tidak beralih ke orang lain. Menurut Puskapol UI dalam penelitiannya Tahun 2010 menyimpulkan kinerja parpol terutama dalam rekrutmen politik masih di warnai oleh pola instan dan kedekatan politik. Selain itu menurut Direktur Eksekutif Puskapol UI, Sri Budi Eko Wardhani memaparkan kajian tentang caleg perempuan yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yakni 82 persen anggota keluarga terlibat di partai yang sama dengan calon perempuan terpilih tersebut. Secara umum anggota perempuan terpilih di DPRD provinsi tersebut memiliki suami yang terlibat di parpol yang sama [94 persen]. Sementara caleg perempuan tepilih lainnya memiliki orang tua [69 persen], saudara kandung [89 persen], dan anak [87 persen] yang 120 terlibat di partai yang sama. Menurut Ikrar Nusa Bakti dalam Kolom Seputar Indonesia 1 juni 2010, ada beberapa faktor penyebab munculnya fenomena adanya istri-istri bupati yang maju untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama, para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh masyarakat setempat, seperti dalam kasus di Kabupaten Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut tidak dapat ikut pilkada karena masa jabatannya sudah dua kali. Karena itu, masyarakat menginginkan agar istri bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila istri mantan bupati menang, berarti mantan bupati akan berada di belakang istrinya sebagai “sang penuntun”. Jika masa bakti lima tahun istrinya selesai, mantan bupati pun akan maju lagi karena tidak dilarang oleh undang-undang. Kedua, istri pertama dan istri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya.Motif politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi pertarungan tersebut. Ketiga, pembentukan dinasti politik baru di daerah.Pada tahap awal suami yang maju, tahap kedua istrinya,dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan tersebut. Bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai secara jujur Tabel 1 : Caleg dalam Pemilu 2009 dan Sumber : Tanuwidjaja (diolah) Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. Persoalan akan muncul jika ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan karena kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut. Dalam perpektif sosiologi, suatu hubungan karena kedekatan ini sering disamakan dengan patron-klien, yang biasanya akan diperkuat menjadi sebuah jaringan politik. Menurut Usman (dalam Fadhillah, 2007), suatu jaringan lazim dikonsepsikan sebagai suatu tipe hubungan antar aktor yang terjalin dalam masyarakat merupakan suatu bentuk jaringan atau the building block of network. Motivasi jaringan keluarga dalam politik menurut Hajrianto Yassin Thohari dalam Kolom Gatra 19 Januari 2011 karena secara psikopolitik, keluarga penguasa selalu memiliki selfconfident yang tinggi. Pasalnya, mereka terlahir dari keluarga kerajaan atau penguasa. Sehingga pastilah merasa menjadi putra dan putri yang sebenar-benarnya. Istri dan anakanak raja hidup di istana . Mereka merasa dilahirkan sebagai orang istimewa dan diistimewakan kerana kedudukan ayahnya. Maka, mereka kemudian ingin mengulang dan melangenggkan keistimewaan itu untuk selama-lamanya Hubugan dengan Tokoh Politik Nasional Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 Dengan demikian, dapat dipastikan dinasti politik akan berpeluang menutup sirkulasi kekuasaan, dan justru menjadikan kekuasaan hanya bergilir dalam satu lingkungan keluarga besar. Yang jelas akan menekan proses transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi, lantaran mendorong munculnya (1) local strongmen, roving bandit dan pemerintah bayangan, (2) melemahnya kinerja parlemen, (3) menurunnya partispasi politik masyarakat. E.1. LAHIRNYA LOCAL STRONGMEN, ROVING BANDITS, DAN PEMERINTAH BAYANGAN Menurut Agustino (2010), di tingkat politik lokal di Indonesia masih ditawan oleh pengaruh local strongmen dan roving bandits sehingga walaupun telah berlaku transformasi politik lebih satu dekade, namun demokrasi di tingkat lokal masih terpenjara oleh kepentingan elit politik lokal.Selanjutnya, Agustino menambahkan, bahwa kehidupan warga menjadi sangat suram. Dalam lima tahun menjabat, kepala daerah mesti mengembalikan dana pinjamannya beserta bunga (yang telah ditetapkan sebelumnya). Tidak hanya itu, keinginan kepala daerah untuk memperkaya diri (sendiri) pun menjadi motivasi lain yang dapat dipastikan akan semakin menyengsarakan rakyat. Langkah yang kerap kali dilakukan, antaranya adalah: (i) intensifikasi dan ekstensifikasi pajak serta retribusi, (ii) manipulasi anggaran proyek, (iii) penjualan asset(milik) daerah, sampai dengan (iv) penjualan sumber daya alam milik daerah dan negara. Dengan demikian, perilaku semacam itu tidak ubahnya seperti pelaku politik masa Orde Baru, yang dalam kategori Agustino dianggap sebagai bandit baru di daerah, karena mereka berperan secara langsung malakukan perampokan dan perampasan kebebasan dan hak politik masyarakat umum. Pertanyaan mengapa mereka dianggap sebagai bandit? Pada umumnya, ketika seorang terpilih menjadi ia harus mengembalikan seluruh 121 modal yang dikeluarkan dalam kampanye. Oleh karenanya, para pemberi pinjaman diatur sedemikian rupa mendapat konsesi berupa proyek, sementara penguasaha lain, meskipun secara kualitas dan kemampuan mampu mengerjakan proyek, tapi karena ia tidak mendukung kepala daerah terpilih ketika kampanye, maka jangan berharap mendapat proyek. Inilah yang dikatakan oleh Hidayat (dalam Agustino : 2010) sebagai tindakan curang dan parahnya lagi masyarakat tidak dapat mengkritik perilaku ini, karena kepala daerah tidak akan mendengar kritikan masyarakat tersebut. Yang terpenting bagi kepala daerah selekas mungkin melunasi hutang yang dipinjam dengan pelbagai proyek yang dijalankan pemerintah daerah. Dan jika kemudian hari, hutangnya sudah lunas, maka sisa proyek yang ada dipersiapkan sebagai modal mengikuti pemilukada berikutnya. Selain itu, Agustino dalam studinya juga menemukan pemerintah bayangan. Pemerintah bayangan di Indonesia setelah pilkada berbeda dengan kategori Reno yang mengungkapkan bahwa pemerintah bayangan lahir karena lapuknya pemerintah formal. Pemerintah bayangan menurut Agustino lahir ketika muncul kerjasama antara calon kepala daerah, local strongmen, dan pengusaha. Aliansi ini semakin kuat bila sang calon kepala daerah menang. Akibatnya proyek dijalankan oleh pemerintah bukan ditetapkan oleh dinas terkait, tetapi oleh aliansi tersebut. Oleh karena itu, aliansi tersebut disebut dengan pemerintah bayangan. Merekalah yang menetapkan proyek dan besaran biaya sebagai bentuk kerjasama yang telah ditentukan sebelumnya. E.2. LEMAHNYA KINERJA LEMBAGA LEGISLATIF Munculnya pemerintah bayangan jelas akan melemahkan kinerja pemerintah, karena mekanisme anggaran sejatinya hanya untuk kepentingan penguasa. Padahal seharusnya hal tersebut, juga menjadi wilayah kerja 122 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik parlemen. Manakala parleman diwarnai oleh dinasti politik maka keadaan akan semakin suram. Pengaruh dinasti politik sangat relevan dalam rekrutmen anggota legislatif, sebagian tokoh politik nasional dan daerah memiliki keinginan untuk menguatkan pengaruhnya di parlemen. Tabel 2 berikut akan menjelaskan hubungan tersebut. Tabel 2. Prediksi Kerabat Birokrat sebagai Anggota DPR & DPD RI per 2009-2014 Sumber : Soebagio (2009) Data tersebut adalah data menjelang pemilu 2009, dari data tersebut maka kita bisa melihat bagaimana upaya dinasti politik berupaya mempengaruhi parlemen. Dalam periode yang telah lalu saja produktivitas DPR RI dalam membuat Undang Undang tidak terlalu mengembirakan, dalam tabel berikut akan menjelaskan. Tabel 3: Realisasi UU Produksi DPR RI Sumber : Soebagio (2009) 123 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 Bila dalam periode sebelumnya kinerjanya seperti diatas, maka bisa jadi pada periode sekarang akan menurun. Lantaran dimungkinkan munculnya kerabat para birokrat di parlemen seperti yang digambarkan pada tabel 2. Dampak lain, dari dinasti politik di parlemen, boleh jadi terlihat dari hasil survei Global Corruption Barometer yang diterbitkan oleh Transparency Indonesia yang menjelaskan bahwa dari 2005 sd 2007, secara berturut-turut parlemen di Indonesia dan partai politik secara variatif masuk dalam lembaga terkorup. Sedangkan menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), dari 1421 terdakwa kasus korupsi, 700 orang diantaranya adalah kader parpol yang duduk di parlemen pusat, daerah dan pemerintah daerah. E.3. TURUNNYA PARTISIPASI POLITIK Dampak dari hal-hal tersebut diatas, tampaknya telah berkontribusi terhadap menurunnya partisipasi politik masyarakat. Tabel berikut akan mengilustrasikan. Tabel 4: Partisipasi Politik Masyarakat Sumber : KPU, BPS, Kompas 10 Mei 2009 (diolah) Dari tabel 3 diatas jelas terlihat menurunnya partisipasi masyarakat ketika pemilu di masa reformasi. Menurut Soebagio (2009), penurunan partisipasi politik dari tahun ke tahun di masa reformasi, salah satunya disebabkan kuatnya pengaruh elit politik di parlemen. Sehingga kebijakan yang dilahirkan, lebih mengedepankan kepentingan elit politik daripada kepentingan masyarakat. Yang pasti, jika dengan elit politik saja pengaruhnya demikian kuat terhadap menurunnya partisipasi politik. Apalagi, bila elit politik tersebut dikuasai oleh dinasti-dinasti politik, maka boleh jadi penurunanya lebih dahsyat. Dengan demikian, fenomena dinasti politik harus segera mungkin dicegah, baik dengan pendidikan politik kepada masyarakat ataupun melalui perundang-undangan F. KESIMPULAN Sekalipun demokrasi mengedepankan kesamaan hak, sejatinya demokrasi memang dirancang oleh para pengagasnya simultan dengan ekonomi liberal. Artinya, di negara- 124 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik negara perintis demokrasi di barat, kesejahteraan sudah terasa, sehingga muncullah klas menengah yang independen, yang pada gilirannya mendukung demokrasi dengan sendirinya. Dan, resikonya apabila kesiapan klas menengah belum merata, maka terjadi deviasi, seperti munculnya fenomena dinasti politik. Dinasti Politik muncul lantaran belum adanya klas menengah yang mumpuni. Oleh karenanya, memunculkan klas menengah yang independen adalah tugas yang segera dituntaskan oleh sistem politik Indonesia. Baik, itu dari segi rekrutmen partai politik, pendidikan politik masyarakat, dan perundang-undangan. Agar dimasa datang, keberadaan dinasti politik dapat dikritisi oleh kelompok yang secara politik memiliki kesadaran yang tinggi, sekaligus dari segi ekonomi mereka tidak mudah dipengaruhi. Apapun, demokrasi adalah pilihan yang mungkin, agar masyarakat mendapat hak-hak kemanusiaannya. Akan tetapi kita perlu menata ulang konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung, dan itu mau tak mau kita harus berupaya menumbuhkan klas menengah yang cukup banyak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya, perlu dicermati juga peraturan yang ada sehingga mampu mengurangi kemunculan politik dinasti, berikutnya perlunya rekrutmen kepemimpinan nasional dan yang kokoh, dan hal itu dapat terjadi manakala ada kaderisasi yang kuat di dalam partai-partai sehingga muncul calon-calon pemimpin untuk sanggup berkompetisi dalam segala pertarungan politik. Untuk mendapat-kan kader yang baik mutlak adanya rekrutmen partai yang terbuka dan plural, oleh karena itu disinilah dibutuhkan pendidikan politik dan sosialisasi politik yang mumpuni sehingga anggota masyarakat tertarik menjadi anggota partai politik. Apabila, dinasti politik tidak mampu dicegah, maka kejadian di Philipina bisa jadi muncul di Indonesia, yakni munculnya dinasti politik yang berasal dari tuan-tuan tanah atau orang-orang kaya lama. Di Philipina seperti yang dituturkan Ikrar (2010) demokrasi justru menguatkan orang-orang kaya lama. Dan apabila bangsa ini tidak waspada, maka bisa jadi hal tersebut terjadi di negeri kita. Oleh karena itu, kemunculan klas menengah yang kritis adalah sarana ampuh menguatkan demokratisasi. Hanya saja, klas menengah hanya dapat muncul manakala pendidikan dan lapangan kerja relative tersedia. Dan, ini adalah pekerjaan rumah semua elemen masyarakat yang menginginkan klas menengah kritis menjadi the ruling class di negeri ini. Tapi, apabila hal ini tidak dipedulikan maka, boleh jadi the ruling class adalah golongan status quo yang dapat memunculkan konflik sosial setiap saat. Yang pasti, jauh lebih berbahaya lagi manakala dinasti politik menjadi budaya politik. Yang mana justru akan menguatkan sebagian kecil warga masyarakat dan menjadikan sebagian besar yang lain menjadi kaum marjinal dikarenakan tidak memiliki bargaining position dalam pengambilan keputusan politik. DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo & Mohammad Agus Yusoff, 2010, Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia : Local Strongmen dan Roving Bandits, Jurnal Jebat: Malaysian Journal of History, politics & Strategic Studies Volume 37 th 2010, p 86-104 Chilcote, Ronald H, 2003. Teori Perbandingan Politik : Penelusuran Paradigma, terjemahan dari buku Theories of Comperatives Politics The Search for a Freedom oleh Haris Munandar, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Choi, Nankyung, 2007. Local Elections and Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 Democracy in Indonesia : The Riau Archipelago, dalam Journal of Contemporary Asia Volume 37 No 3 August 2007 , p 326-345 Diamond, L & Plattner MF, 2000, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada Fadhilah, Amir, 2007. Budaya Politik: Studi Kasus Kyai Pesantran di Kabupaten Pekalongan, Jurnal Al Qalam, Vol. 24. No 1 Januari-April 2007, hal 38-54. Gaffar, Afan, 2000. Politik Indonesia Menuju Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Huntington, SP, 1991, Gelombang Demokratisasi ketiga, Jakarta, PT Intermasa Soebagio, 2009, Distorsi dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Jurnal Makara, Sosial Humaniora Vol 13 No 2 Desember 2009 p 111-116 125 Sundhaussen, Ulf, 1986, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES Surbakti, Ramlan,2010. Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia. Varma, SP, 2007, Teori Politik Modern, Jakarta, Rajawali Press Majalah, surat kabar, dan berita online Puskapol UI, Kantor Berita Antara, 16 Desember 2010 Ikrar Nusa Bhakti, Polemik Istri Pejabat Maju Pilkada, Seputar Indonesia, 1 juni 2010 Thohari, Hajrianto Yassin, Politik Dinasti atau Dinasti politik, Gatra, 19 Januari 2011. Tanuwidjaja, Sunny, Politik dan Keluarga, www.csis.or.id, 28 Sep 2011, 20: 22 wib Supriyanto, Bagus, www.beritasatu.com, Kamis, 16 Desember 2010 | 17:06 WIB Taufik,Politik Dinasti, Pojok Jurnalisme, 25/07/ 2010 at 7:14 pm