implementasi kurikulum eecs - SAFINA : Jurnal Pendidikan Agama

advertisement
IMPLEMENTASI KURIKULUM EECS
(ENTERTAINMENT, ENTREPRENEUR,
CONCEPTUALIZER AND SPIRITUALITY)
DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN
INTERPERSONAL SISWA
Eva Fitriati
Dosen tetap STAI Madinatul Ilmi Depok dan Dosen tidak tetap FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]
Sri Khasanah
ABSTRAK
Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia diharapkan berperan
penting dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik sebagai
individu sosial dan generasi penerus. Namun, faktanya hal tersebut masih
jauh dari harapan. Bahkan, dikatakan pendidikan di Indonesia ini belum
menyentuh pentingnya kecerdasan interpersonal dalam membangun
kesuksesan. Keadaan tersebut menggerakkan SMP Gelora Depok untuk
melakukan inovasi dan gebrakan baru, yaitu mengimplementasikan
Kurikulum EECS guna mendukung upaya sekolah dalam mempersiapkan
siswa menjadi generasi pemimpin yang cerdas dalam segala aspek, salah
satunya adalah cerdas dalam interpersonal. Dalam implementasinya,
kurikulum EECS di SMP Gelora Depok diintegrasikan pada setiap mata
pelajaran dan menginternalisasikannya ke dalam perilaku siswa melalui
leadership dan budaya sekolah. Dengan demikian, hal ini juga berimplikasi
pada peningkatan kecerdasan interpersonal siswa.
Kata-kata kunci: Kurikulum, kecerdasan interpersonal.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup
sendiri dan memisahkan diri dari yang lainnya. Mereka memiliki
kecenderungan untuk hidup berkelompok, saling berinteraksi,
berkomunikasi dan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mengharuskan agar
setiap individu sebagai makhluk sosial dapat menjalin hubungan baik
dengan orang lain dan juga mampu mempertahankannya, karena banyak
kegiatan di dalam hidupnya yang akan selalu terkait dengan orang lain.
Namun, dalam kenyataannya tidak semua individu mampu
mem­bangun relasi yang baik dengan orang lain sebagaimana yang
diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
karena seseorang tidak memiliki keterampilan dalam berkomunikasi,
sikap toleransi, kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri dan
bersosialisasi dengan baik di dalam kehidupannya. Tentu keadaan
seperti ini akan menghambat seorang individu dalam mencapai
kesuksesan di kehidupan sosialnya tersebut, karena mengingat kembali
bahwa faktanya di setiap situasi apa pun seorang individu pasti dan
akan selalu dituntut untuk melakukan hubungan dan komunikasi
dengan pihak lain.
Karena itu, beberapa aspek keterampilan dan kemampuan yang
di­se­butkan di atas yang pada dasarnya telah terhimpun dalam satu
aspek kecerdasan manusia yang sering disebut dengan kecerdasan sosial
atau kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini menjadi sangat penting
untuk dibangun, diasah dan dikembangkan pada setiap diri individu
guna mendukung dirinya untuk dapat membangun dan menciptakan
hubungan yang harmonis dengan orang-orang di sekitarnya, serta
untuk menunjang kesuksesan di dalam kehidupannya.
Kecerdasan interpersonal ini tidak hanya akan memudahkan
individu dalam membangun relasi dengan orang lain, tetapi juga
memberikan kemudahan individu dalam mempertahankan relasinya.
Dengan kata lain, kecerdasan interpersonal akan menjadikan individu
mampu mempererat hubungan antara dirinya dengan orang lain,
memudahkannya untuk dapat diterima dan mempertahankan
keberadaan dirinya di lingkungan sekitar kehidupannya.
Sehubungan dengan uraian-uraian tersebut, menjadi sangat perlu
adanya pendidikan bagi individu-individu bahwa sebagai makhluk
24
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
sosial mereka harus menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
interpersonal dalam diri mereka sedini mungkin, agar mereka mampu
bersosialisasi secara nyata dengan lingkungan sosial serta mampu
mempertahankan eksistensi mereka di manapun mereka berada. Selain
itu, mengingat bahwa kecerdasan interpersonal tidak secara otomatis
dibawa oleh individu sejak lahir, maka untuk membangun, mengasah
dan mengembangkannya membutuhkan proses pembelajaran yang
berkesinambungan.
Salah satu sarana dan langkah yang dianggap tepat untuk
mengem­bangkan kemampuan interpersonal adalah melalui lembaga
pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dengan sistem yang
sudah tertata sedemikian rupa, struktur yang jelas, visi dan misi yang
mantap sangat diharapkan mampu mencetak individu-individu yang
tidak hanya menge­
depankan kecerdasan pengetahuannya, tetapi
juga mengembangkan potensi-potensi lainnya, seperti kecerdasan
interpersonal. Hal itu disebab­kan karena yang mendukung keberhasilan
seseorang tidak hanya kecer­dasan kognitifnya, tetapi juga bagaimana
seseorang dapat diterima dalam kehidupan sosialnya.
Namun faktanya, selama ini telah muncul banyak asumsi yang
menya­
takan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di negara kita,
Indonesia, yang diharapkan berperan penting dalam membentuk
karakter dan kepribadian peserta didik sebagai individu sosial
dan generasi penerus ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan
dikatakan pendidikan kita belum menyentuh pentingnya kecerdasan
interpersonal dalam membangun kesuksesan.
Begitu pula dengan kurikulum dan proses pembelajarannya,
banyak anggapan pada saat sebelum diberlakukan Kurikulum 2013
seringkali hanya menekankan pada upaya peningkatan prestasi
akademik tanpa mempertimbangkan kecerdasan emosionalnya, baik
yang disebabkan karena isi kurikulumnya sendiri, maupun sistem
sekolah atau tenaga kependidikannya yang tidak profesional. Akibatnya,
meskipun anak ber­pres­tasi akademik yang mengagumkan, akan tetapi
mereka memiliki hambatan dalam proses bersosialisasi.
Berkaitan dengan hal itu, sangat menarik jika mengamati salah
satu sekolah yang memiliki langkah berbeda dengan sekolah-sekolah
lainnya. SMP Gelora Depok kini telah menempuh langkah berbeda
dengan mengadakan konsep Kelas Leader sebagai salah satu bentuk
perhatian dan jawaban terhadap asumsi-asumsi yang pernah muncul
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
25
tersebut. Melalui konsep Kelas Leader SMP Gelora Depok berinovasi
dengan mengimplementasikan Kurikulum EECS (Entertainment,
Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality), yaitu kurikulum resmi
dari GDS (GHAMA D’Leader School) yang dipadukan dengan Kurikulum
2013. Dengan Kurikulum EECS inilah SMP Gelora Depok berupaya
tampil sebagai lembaga pendidikan yang benar-benar tidak hanya
menitikberatkan pada nilai akademik, kecerdasan otak atau intelligensi
quotient (IQ) saja. Akan tetapi lebih dari itu, tujuan utamanya adalah
untuk membangun potensi leadership anak yang diimbangi dengan
nilai-nilai lainnya. Hal tersebut telah dipertegas dalam visi, misi dan
tujuan sekolah bahwa pada intinya sekolah ingin “Mempersiapkan siswa
menjadi generasi pemimpin masa depan yang berwawasan global”, cerdas,
kreatif, inovatif dan berkarakter mulia.
Tujuan dilaksanakannya penelitian tersebut adalah untuk
menge­
ta­
hui implementasi Kurikulum EECS dalam mengembangkan
kecerdasan interpersonal peserta didik di SMP Gelora Depok. Adapun
pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, sedangkan jenis penelitian ini adalah studi
kasus, yaitu uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai
aspek seorang individu, suatu organisasi (komunitas), suatu program,
atau situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak
mungkin data mengenai subyek (Mulyana 2006, 201). Metode studi
kasus dipilih karena suatu penelitian atau suatu keadaan akan terlihat
keasliannya ketika diamati dan dijelaskan atau dideskripsikan. Selain
itu, dengan studi kasus akan mendorong para peneliti lain untuk dapat
menelaah data sebanyak mungkin mengenai subjek dan memahami
situasi sosial secara mendalam serta mampu mengungkapkan
gambaran secara nyata.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kurikulum
Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata “curir” yang
artinya pelari dan “curere”, artinya tempat berpacu. Kedua istilah
tersebut pada awalnya hanya digunakan dalam dunia olahraga.
Berkenaan dengan itu curriculum diartikan sebagai jarak yang harus
ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk
26
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
memperoleh medali/penghargaan (Sudjana 2008, 4). Kemudian,
pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan, sehingga
kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program pelajaran
untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah (Nasution 2011,
2).
Namun, pengertian kurikulum sebagaimana yang telah disebutkan
tersebut terlalu klasik dan sederhana. Kurikulum hanya dibatasi pada
dua kandungan pokok di dalamnya, yaitu: (1) adanya mata pelajaran
yang harus ditempuh oleh siswa dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk
memperoleh ijazah (Sudjana 2008, 4). Sehingga, dari kedua kandungan
pokok tersebut implikasi kurikulum terhadap praktik pembelajaran
hanya menekankan bahwa setiap siswa harus menguasai seluruh
mata pelajaran yang diberikan. Tentunya keadaan seperti itu akan
mendukung adanya anggapan bahwa guru memiliki posisi dan peran
yang sangat menentukan (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan
Pembelajaran 2011, 2), karena yang bertanggung jawab menyampaikan
mata pelajaran adalah guru itu sendiri. Bahkan sistem penyampaian
yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan (imposisi).
Akibatnya, dalam kegiatan belajar gurulah yang lebih bersikap aktif,
sedangkan siswa hanya akan bersikap pasif (Hamalik 2007, 4). Selain
itu, keberhasilan siswa juga hanya ditentukan oleh seberapa jauh mata
pelajaran tersebut dikuasai yang diukur dengan skor atau nilai setelah
mengikuti tes atau ujian (Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan
Pembelajaran 2011, 2).
Oleh karena itu, perlu dipelajari dan dipahami pengertian
kurikulum secara lebih luas dan sesuai dengan perkembangan praktik
pendidikan sekarang. Kurikulum itu tidak hanya terbatas pada
sejumlah mata pelajaran saja, tetapi juga mencakup semua pengalaman
belajar yang dialami siswa. Sebagaimana dikatakan dalam buku DasarDasar Pengembangan Kurikulum Oemar Hamalik, bahwa Romine
mengatakan kurikulum adalah semua kegiatan yang terorganisir,
aktivitas dan pengalaman yang dimiliki oleh siswa di bawah arahan
sekolah, baik di dalam kelas atau tidak.
Pengertian kurikulum menurut Romine tersebut memiliki
implikasi bahwa tafsiran tentang kurikulum bersifat luas, karena
kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran, tetapi meliputi
semua kegiatan dan pengalaman belajar yang menjadi tanggung jawab
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
27
sekolah. Sesuai dengan pandangan ini pula berbagai kegiatan di luar
kelas yang dikenal dengan ekstrakurikuler sudah tercakup dalam
pengetian kurikulum. Selain itu, kurikulum tidak hanya dibatasi di
dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas yang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai. Sistem penyampaian yang digunakan oleh
guru pun disesuaikan dengan kegiatan atau pengalaman yang akan
disampaikan, dan tujuan pendidikan bukanlah untuk menyampaikan
mata pelajaran atau bidang pengetahuan yang tersusun, melainkan
pembentukan pribadi anak dan belajar cara hidup di dalam masyarakat
(Hamalik 2007, 4-5)
Pendapat tersebut selanjutnya didukung oleh beberapa ahli
lainnya seperti Harold B. Alberty, Saylor, Alexander dan Lewis.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam karya S. Nasution yang
berjudul Asas-Asas Kurikulum, Harold B. Alberty mengatakan bahwa
kurikulum merupakan semua kegiatan yang diberikan kepada siswa
di bawah tanggung jawab sekolah, sehingga kurikulum itu tidak hanya
dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja, tetapi juga mencakup
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar kelas. Pendapat
senada dengan pengertian tersebut Saylor, Alexander dan Lewis juga
mengatakan bahwa kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk
memengaruhi siswa supaya belajar, baik di dalam kelas, di halaman
sekolah, maupun di luar sekolah (Nasution 2011, 4-5). Kurikulum
berupaya menggabungkan ruang lingkup, rangkaian, interpretasi,
keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar dan hal lain yang dapat
direncanakan sebelumnya. Di satu pihak, Beauchamp memandang
kurikulum sebagai suatu dokumen tertulis (Hamalik 2007, 5).
Beauchamp lebih memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu
rencana pendidikan atau pembelajaran. Pengertian tersebut selaras
dengan pandangan Mac Donald yang mengatakan, bahwa kurikulum
merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan
dalam proses kegiatan belajar-mengajar (Sukmadinata 2010, 5). Namun,
di pihak lain Taylor memandang kurikulum sebagai rencana tidak
tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik (Hamalik 2007, 5).
Pengertian kurikulum secara lebih sempurna dan komprehensif
dikemukakan oleh Said Hamid Hasan. Ia mengatakan bahwa kurikulum
memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan
dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum
tersebut, yaitu:
28
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
Kurikulum sebagai suatu ide/gagasan, berarti kurikulum meru­
pakan sekumpulan ide yang dijadikan pedoman dalam pengem­bangan
kurikulum selanjutnya.
Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, yaitu perwujudan dari
kurikulum sebagai ide. Makna ini mengungkapkan bahwa kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan cara mengadministrasikan
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk pedo­
man penyelenggaraan kegiatan pembelajaran guna mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Kurikulum adalah implementasi atau aktivitas pembelajaran, di­
paha­mi sebagai segala aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajar­
an di sekolah.
Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi
dari kurikulum sebagai suatu kegiatan. Dalam definisi ini kurikulum
dipandang sangat memerhatikan hasil yang akan dicapai oleh siswa
agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan yang menjadi
tujuan dari kurikulum tersebut (Arifin 2011, 8-10).
Kurikulum memang memiliki banyak definisi yang berbeda-beda
dalam pandangan para ahli sebagaimana yang telah dikemukakan
tersebut. Namun, dari sekian definisi/pengertian mengenai kurikulum,
pengertian yang lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan dan
persekolahan di negara kita, Indonesia adalah pengertian kurikulum
yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” (Tim Pengembang MKDP
Kurikulum dan Pembelajaran 2011, 6-8)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud kurikulum adalah seperangkat rencana kegiatan
pendidikan tertulis (nampak jelas bentuk dokumennya) yang di
dalamnya mencakup tujuan, isi, bahan pelajaran dan rancangan lainnya
yang berhubungan dengan perencanaan pendidikan. Perencanaanperencanaan yang tertulis dalam kurikulum tersebut merupakan bentuk
perwujudan dari sekumpulan ide/gagasan, yang kemudian digunakan
sebagai panduan bagi sekolah dan guru dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
29
B.
Model-Model Kurikulum
1.
Kurikulum Akademik
Kurikulum akademik adalah model kurikulum yang sangat
meng­
utamakan pengetahuan, sehingga pendidikannya lebih bersifat
intelektual. Pada kurikulum ini, orang yang dianggap berhasil dalam
belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi
pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Tentunya dalam
hal ini, guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan penting.
Guru sangat dituntut untuk menguasai materi pendidikan, selain ia
berlaku sebagai model bagi para siswanya (Sukmadinata 2010, 81-84).
2.
Kurikulum Humanistik
Kurikulum humanistik berdasar pada konsep aliran pendidikan
pribadi (personalized education), yaitu John Dewey dan J.J. Rousseau
(Sukmadinata 2010, 86). Aliran ini menempatkan siswa sebagai subjek
utama yang menjadi pusat kegiatan pendidikan (Nasution 2011, 48-49).
Aliran ini mengakui bahwa siswa mempunyai potensi, kemampuan
dan kekuatan untuk berkembang. Karena itu, pendidikan humanistik
menekankan pada peranan siswa dan diarahkan kepada membina
manusia yang utuh, tidak hanya segi fisik dan intelektual, tetapi juga
segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai dan lain-lain)
(Sukmadinata 2010, 86-87).
Menurut humanis, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman
yang berharga untuk membantu memperlancar perkembangan
pribadi siswa. Selain itu, bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses
perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan,
integritas, otonomi kepribadian, sikap yang sehat, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain dan belajar (Sukmadinata 2010, 90).
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik
antara guru dan siswa. Guru harus mampu menjadi sumber sekaligus
dapat menciptakan hubungan yang hangat dengan siswa, mampu
memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan situasi
yang memperlancar proses belajar. Oleh karena itu, yang diharapkan
dalam hal ini adalah terciptanya suatu proses pembelajaran dengan
komunikasi dua arah, bukan semata-mata guru mengajar dan siswa
harus belajar.
30
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
Selain itu, model kurikulum humanistik lebih mengutamakan
proses daripada hasil. Karena, sasaran dari kurikulum ini adalah
perkem­bangan anak agar menjadi manusia yang lebih terbuka dan
berdiri sendiri. Sehingga, kegiatan belajar yang dianggap baik adalah
yang dapat memberikan pengalaman yang akan membantu anak
memperluas kesadaran akan dirinya dan dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya (Hamalik 2007, 144-145).
3.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut aliran ini, pendidikan bukan upaya sendiri,
melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerja sama. Kerja sama dan
interaksi yang terjadi pun tidak hanya antara guru dengan siswa, tetapi
juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan
sekitarnya dan dengan sumber belajar lainnya (Sukmadinata 2010,
91). Melalui interaksi dan kerja sama siswa diharapkan dapat berusaha
memecahkan problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat
menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik (Nasution 2011, 47-48).
Pada intinya, tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah
untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan (Hamalik 2007, 146) atau masalah-masalah
sosial, seperti tantangan, ancaman atau hambatan-hambatan yang
dihadapi dalam kehidupan (Sukmadinata 2010, 92). Sehingga, bentuk
evaluasi dalam kurikulum ini mencakup spektrum yang sangat luas,
yaitu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan permasalahan,
kemungkinan pemecahan masalah, pendefinisian kembali pandangan
mereka tentang dunia dan kemauan mengambil tindakan atas suatu
ide (Hamalik 2007, 147).
4.
Kurikulum Teknologi
Kurikulum teknologi adalah serangkaian rencana pembelajaran
yang disusun dengan mempertimbangkan penggunaan teknologi
sebagai alat atau media pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara efektif dan efisien (Hamalik 2007, 147-148).
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan ada dua bentuk,
yaitu:
1)
Perangkat lunak (software) atau disebut juga teknologi sistem
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
31
(system technology). Pada bentuk ini, teknologi pendidikan
menekankan kepada penyusunan program pembelajaran
atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan
sistem.
2) Perangkat keras (hardware) atau sering disebut juga
teknologi alat (tools technology). Pada bentuk ini, teknologi
pendidikan lebih menekankan kepada penggunaan alatalat teknologis yang menunjang efisiensi dan efektivitas
pendidikan. Kurikulum dalam hal ini berisi rencanarencana penggunaan berbagai alat dan media serta modelmodel pembelajaran yang banyak melibatkan penggunaan
alat (Sukmadinata 2010, 96).
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan
pada kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat media pem­
belajaran tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi juga bersatu dengan
program pembelajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi
tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami kembali bahwa
terdapat banyak model kurikulum yang dapat digunakan dalam pengem­
bangan kurikulum, di antaranya yaitu model kurikulum akademik,
huma­nistik, rekonstruksi sosial dan teknologi. Pengembangan kuriku­
lum dapat didasarkan pada satu model kurikulum atau gabungan dari
setiap model kurikulum yang tercermin dari landasan filosofis, tujuan,
materi, kegiatan pembelajaran dan evaluasinya.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum itu mengarahkan
kurikulum ke tujuan pendidikan yang diharapkan. Oleh sebab itu,
dalam pemilihan suatu model pengembangan kurikulum tidak bisa jika
hanya didasarkan pada sisi kelebihan-kelebihannya saja. Akan tetapi,
pemilihan suatu model kurikulum juga perlu disesuaikan dengan
sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta konsep pendidikan
yang digunakan. Karena itu pula, pengembangan kurikulum hendak­
nya bersifat adaptif dan dinamis. Penggunaan kurikulum harus
disesuaikan dan dipertimbangkan dengan karakteristik dari setiap
jenjang pendidikan, karakter perkembangan peserta didik dan kenya­
taan kebutuhan masyarakat masa kini.
32
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
C.
Kurikulum EECS (Entertainment, Enterpreneur,
Conceptualizer and Spirituality)
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep EECS
(Enter­tainment, Enterpreneur, Conceptualizer and Spirituality) secara
lebih luas, perlu adanya penjelasan yang mengupas satu persatu makna
dari keempat konsep tersebut, yaitu entertainment, enterpreneur,
conceptualizer dan spirituality.
1.
Entertainment
Entertainment dalam Kamus Inggris Indonesia memiliki arti
hibur­an, dan atau pertunjukan. Jika merujuk pada kata dasarnya, kata
“entertainment” berasal dari kata keterangan, yaitu “entertain” yang
artinya menghibur. Sedangkan, kata “entertain” dalam kata sifat menjadi
“entertaining”, artinya yang dapat memikat perhatian orang, yang
menyenangkan orang dan yang menghibur (Echols dan Sadzily 1995, 215).
Berbicara mengenai entertainment, Dryer mengatakan bahwa
setiap orang mengetahui secara jelas apa itu entertainment/hiburan.
Hiburan merupakan bagian kebutuhan yang masuk akal dalam
kehidupan manusia, namun sulit untuk didefinisikan (Hobart & Fox
2008).
Sementara itu, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Torkildsen George, telah tercatat beragam definisi mengenai entertain­
ment/hiburan, yaitu:
a.
Hiburan sebagai waktu
Hiburan sebagai waktu digambarkan sebagai waktu senggang sete­
lah segala kebutuhan yang mudah dilakukan telah dilakukan, sehingga
memberikan waktu tambahan yang diinginkan. Pernyataan tersebut di­
du­kung oleh Brightbill yang beranggapan, bahwa waktu luang sangat
berkaitan dengan waktu yang masuk dalam discretionary time, yaitu
waktu yang digunakan menurut penilaian dan pilihan sendiri.
b.
Hiburan sebagai aktivitas
Menurut Neumeyers, hiburan adalah sebuah kesempatan untuk
ter­libat dalam aktivitas-aktivitas, baik secara aktif maupun secara pasif
yang tidak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
33
c.
Hiburan sebagai sikap mental yang positif
Yang dimaksud hiburan sebagai sikap mental yang positif, yaitu
hiburan yang berisikan berbagai macam kegiatan, di mana seseorang
akan mengikuti keinginannya sendiri, baik untuk beristirahat,
menghibur diri sendiri, menambah pengetahuan atau mengembangkan
keterampilannya secara objektif atau untuk meningkatkan kesertaan
dalam bermasyarakat setelah ia melepaskan diri dari pekerjaannya,
keluarga dan kegiatan sosial.
d.
Hiburan sebagai sebuah gaya hidup
Hiburan adalah suatu kehidupan yang bebas dari tekanan-tekanan
yang berasal dari luar kebudayaan seseorang dan lingkungannya,
sehingga mampu untuk bertindak sesuai rasa kasih yang bersifat
menyenangkan, pantas dan menyediakan sebuah dasar keyakinan.
e.
Hiburan sebagai sesuatu yang memiliki arti luas
Torkildsen George mengatakan, bahwa dengan hiburan orang akan
pulih dengan rasa bosan dan merasakan kebebasan dari apa yang biasa
dilakukannya sehari-hari. Hiburan merupakan bentuk ekspresi dari
aspirasi-aspirasi yang dimiliki oleh manusia dalam pencariannya akan
kebahagiaan, terkait dengan kewajiban, etika, aturan dan budaya baru
(George 1992, 26-28).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
enter­tainment adalah segala sesuatu, baik yang berbentuk kata-kata,
tempat, benda maupun perilaku yang dapat menjadi penghibur atau
pelipur hati yang susah atau sedih.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami pula bahwa
hiburan mencakup banyak hal, baik hiburan yang pasif maupun yang
aktif. Hiburan yang pasif, seperti mendengarkan musik, menonton
opera, film atau drama. Sedangkan, hiburan yang aktif misalnya
bermain, olahraga, rekreasi, berwisata, membaca buku dan lain
sebagainya. Mengingat hiburan bagi setiap orang berbeda-beda,
karenanya hiburan yang dicari atau dilakukan disesuaikan dengan
kecenderungan dan keinginan hati masing-masing individu.
Pada dasarnya, secara sadar atau pun tidak hiburan menjadi
sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia dan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Terjadinya
34
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
ketergantungan segala aspek kehidupan antara satu dengan yang lain
mendorong sebuah perputaran di dalam ekonomi, sosial dan yang
lainnya. Pada masa seperti ini, setiap orang terkadang merasa jenuh
atau stres atas kegiatannya masing-masing. Berdasarkan keinginan
hati dan pikiran, mereka yang menginginkan sebuah ketenangan atau
sesuatu yang bisa membuat pikiran menjadi lebih fresh/segar serta
membuat hati menjadi senang. Oleh karena itu, hiburan menjadi salah
satu jalan keluar bagi manusia untuk menghilangkan rasa bosan,
kepenatan, kesedihan atau untuk melupakan segala masalah yang
menimpanya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Entrepreneur
Untuk menjelaskan pengertian entrepreneur secara lebih luas,
ada beberapa istilah yang akan selalu disinggung dalam pembahasan
ini. Beberapa istilah tersebut, di antaranya: kewirausahaan, wirausaha/
wirausahawan dan karakteristik wirausaha/wirausahawan yang memiliki
arti berbeda-beda, baik di antara pendapat para ahli maupun dari
sumber acuan karena berbeda pula dalam titik berat dan penekanannya.
Berikut ini pembahasan lebih lanjutnya mengenai beberapa hal penting
yang berkaitan erat dengan pembahasan entrepreneur.
a.Kewirausahaan
Definisi kewirausahaan sebagai disiplin ilmu, yaitu suatu ilmu yang
mengkaji tentang pengembangan dan pembangunan semangat kreativitas
serta berani menanggung risiko terhadap pekerjaan yang dilakukan demi
mewujudkan hasil karya (Fahmi 2013, 1). Kewirausahaan merupakan
suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan dan
perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup serta cara
memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya
(Suryana 2013, 2).
Kewirausahaan dalam definisi kerja, yaitu proses kemanusiaan
yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi dalam memahami
peluang, mengorganisasi sumber-sumber, mengelola sehingga
peluang itu terwujud menjadi suatu usaha yang mampu menghasilkan
laba atau nilai untuk jangka waktu yang lama (Basrowi 2014, 2).
Kewirausahaan merupakan suatu proses menganalisis, membangun
dan mengembangkan suatu keinginan untuk mencapai tujuan melalui
ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
35
keinginan sampai penciptaan usaha baru pada kondisi yang penuh
risiko (Tando 2013, 2).
Selanjutnya, definisi kewirausahaan menurut beberapa ahli
juga berbeda-beda. Penrose mendefinisikan kewirausahaan adalah
kegiatan yang mencakup cara mengidentifikasi peluang-peluang di
dalam sistem ekonomi (Tando 2013, 3). John J. Kao mendefinisikan
berkewirausahaan adalah usaha untuk menciptakan nilai melalui
pengenalan kesempatan bisnis, manajemen pengambilan resiko yang
tepat dan melalui keteram­
pilan komunikasi dan manajemen untuk
memobilisasi manusia, uang dan bahan-bahan baku atau sumber daya
lain yang diperlukan untuk meng­hasilkan proyek supaya terlaksana
sengan baik (Basrowi 2014, 1).
Pengertian kewirausahaan menurut Instruksi Presiden RI No.
4 Tahun 1995: “Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan
kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan
yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara
kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh
keuntungan yang lebih besar (Basrowi 2014, 2).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan lebih menunjuk
kepada mental yang dimiliki seorang wirausahawan dalam melak­
sanakan usaha. Kewirausahaan merupakan sikap, semangat dan
kemam­­puan sese­orang dalam menemukan peluang sampai mewujud­
kan peluang tersebut menjadi usaha yang menghasilkan.
b.
Entrepreneur
Setelah membahas kewirausahaan barulah sampai pada pembahas­
an utama, yaitu entrepreneur (wirausahawan). Secara etimologis
entrepreneur berasal dari kata Perancis, yaitu “entre”, yang artinya antara
dan “pendre”, artinya mengambil. Kedua istilah tersebut dipakai untuk
menggambarkan orang yang berani mengambil resiko dan memulai yang
baru. Secara sederhana arti entrepreneur (wirausahawan) adalah orang
yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam
berbagai kesem­patan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental
mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas
sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Suyogi 2013, 62-63).
Wirausahawan dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “wira”
dan “usaha”. Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan,
36
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha berarti per­
buatan amal, bekerja dan berbuat sesuatu. Jadi, wirausahawan adalah
manusia yang berani berbuat sesuatu (Basrowi 2014, 1).
Dalam lampiran Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Peng­
usahaan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995, dicantumkan “wirausahawan
adalah orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan
kewirausahaan” (Basrowi 2014, 1).
Menurut Thomas W. Zimmer dan Norman M. Scarbrough, wira­
usahawan adalah orang yang menciptakan bisnis baru dengan me­ngam­bil
resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan per­tumbuhan
dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber daya
yang diperlukan untuk mendirikannya (Fahmi 2013, 2).
Menurut pandangan seorang pemodal, wirausahawan adalah se­
orang yang menciptakan kesejahteraan untuk orang lain dengan mene­
mukan cara-cara baru dalam menggunakan sumber daya-sumber daya,
mengurangi pemborosan dan membuka lapangan kerja yang disenangi
oleh masyarakat (Basrowi 2014, 3-4).
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wira­
usaha­wan adalah orang yang melakukan usaha atau pelaku kewira­
usahaan dengan segala kemampuan, kreativitas dan inovatif yang
dimilikinya, se­hingga mampu menggali dan menemukan peluang serta
mewu­judkannya menjadi usaha yang menghasilkan nilai.
c.
Conceptualizer
Secara bahasa kata “conceptualizer” berasal dari kata “conceptualize”.
Kata “conceptualize” dalam bentuk kata kerja memiliki arti di antaranya
(1) to form a concept or idea (menyusun sebuah konsep atau gagasan),
(2) conceive (menyusun) (Sons 2010), dan (3) menyusun konsep dan
mengartikan dengan cara konseptual. Sedangkan, “conceptualize” dalam
bentuk kata benda menjadi “conceptualization” dan “conceptualizer”
(Morris 2013).
Dengan mengetahui arti kata dasar dari “conceptualizer”, yaitu
“conceptualize” dengan pengertian yang telah disebutkan, dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan kata “conceptualizer” adalah
conciever, yaitu seorang konseptor. Konseptor adalah orang yang men­
cetuskan atau mula-mula memiliki gagasan dan penyusun konsep
(Bahasa 1995, 520). Sebagai konseptor, seseorang sangat dituntut untuk
memiliki keterampilan konseptual.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
37
Benton mengatakan, keterampilan konseptual adalah kemam­
puan yang berkaitan dengan gagasan dan menjabarkannya untuk
mendapatkan pendekatan baru dalam menjalankan departemendepartemen atau perusahaan. Pendapat yang hampir sama dikemu­
kakan oleh Kadarman dan Yusuf Udaya, keduanya mengatakan
bahwa keterampilan konseptual merupakan kemampuan mental
mengkoordinasi, memecahkan masalah, membuat keputusan dan
pembuatan rencana (Wahyudi 2012, 69).
Selanjutnya, Stroner, J. A. F. dan Freeman R. E. mendefinisikan
keteram­pilan konseptual sebagai kemampuan untuk mengkoordinasi,
memadukan semua kepentingan dan kegiatan organisasi. Hal ini
mencakup kemampuan manajer untuk melihat organisasi sebagai
keseluruhan, memahami unsur-unsur organisasi saling berkaitan dan
mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada tiap
bagian yang dapat memengaruhi kinerja organisasi. Tidak berbeda
dengan pendapat tersebut, Pidarta menjelaskan bahwa keterampilan
konseptual adalah kemampuan manajer dalam menentukan strategi,
kebijakan, mengkreasikan atau merencanakan suatu yang baru dan
mengambil keputusan (Wahyudi 2012, 69-70).
Handoko juga menguatkan dengan pendapatnya, bahwa
keterampilan konseptual adalah kemampuan mental untuk mengkoor­
dinasikan dan mengintergrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan
organisasi. Hal tersebut mencakup kemampuan seseorang untuk
melihat organisasi sebagai suatu keseluruhan dan memahami hubu­
ngan antara bagian yang saling bergantung, serta menganalisis dan
menginterpretasikan informasi yang diterima dari bermacam-macam
sumber. Dengan kemampuan konseptual, memungkinkan seseorang
bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh
daripada hanya atas dasar tujuan dan kebutuhan kelompok sendiri
(Bahasa 1995, 68).
Berdasarkan pengertian mengenai konseptor secara sederhana
dan beberapa definisi mengenai keterampilan konseptual yang dijelas­
kan oleh beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud conceptualizer (konseptor) adalah seseorang yang memiliki
kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan gagasan
atau menyusun konsep, serta memiliki kemampuan dalam membuat
perencanaan, membuat kebijaksanaan, mengkoordinasi, menentukan
keputusan, menyusun strategi dan memecahkan masalah.
38
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
d.
Spirituality
Secara etimologi, kata spiritualitas berasal dari kata “spirit”
yang berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” dan kata kerja
“spirare” (Hasan 2006, 288), yang memiliki arti, di antaranya adalah:
roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, napas hidup dan
nyawa hidup. Kemudian, secara psikologik, ”spirit” diartikan sebagai
soul (ruh), suatu makhluk yang bersifat nir-bendawi dan cenderung
“timeless dan spaceless” (Kurniasih 2010, 10-11).
Dalam perkembangannya, kata “spirit” diartikan secara lebih
luas. Para filsuf mengkonotasikan “spirit” dengan (1) kekuatan
yang mengaminasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran
yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan dan intelegensi, (3)
makhluk immaterial, dan (4) wujud ideal dari pikiran (intelektualitas,
rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian) (Kurniasih 2010, 11).
Dalam pandangan Islam, spiritual memiliki makna yang sama
dengan ruh. Ruh merupakan hal tidak dapat diketahui keberadaannya
(gaib). Ruh selalu berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi atau
ketuhanan. Ruh mampu mengenal dirinya sendiri dan penciptanya, ia
juga mampu melihat apa yang masuk akal. Ruh merupakan esensi dari
hidup manusia, ia memiliki hasrat dan keinginan untuk kembali kepada
Tuhan saat masih berada dan menyatu dengan tubuh manusia (Mujib
dan Mudzakir 2001, 329-330).
Sejalan dengan pandangan tersebut, Ary Ginanjar mengatakan
bahwa spiritual adalah “spirit” atau murni. Spiritual berkaitan dengan
sebuah upaya menyaring jiwa agar jernih seperti “spirit” dan roh yang
suci. Untuk menuju pusat spiritual dapat dilakukan dengan upaya dan
sikap, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggung
jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan dan sosial),
awareness (kepedulian sosial) (Agustian 2003, 51).
Memiliki spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal
yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat
fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan
diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan
bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang
(Hasan 2006, 288).
Martsolf dan Mickey menunjukkan berbagai kata kunci yang
dapat menggambarkan spritualitas, yaitu meaning (makna), values
(nilai-nilai), transcendence (transedensi), connecting (bersambungan)
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
39
dan becoming (menjadi). Makna merupakan sesuatu yang signifikan
dalam kehidupan, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada
suatu tujuan. Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang
dihargai. Transedensi merupakan pengalaman, kesadaran diri, peng­
hargaan terhadap dimensi transedensi terhadap kehidupan di atas
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan dan alam. Menjadi
adalah membuka kehidupan yang menurut refleksi dan pengalaman,
termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang mengetahui
(Hasan 2006, 288-289).
Spiritualitas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit.
Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi, dibandingkan
dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Di dalamnya
terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam
agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi.
Spiritualitas dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang diper­
sepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintregasi dalam
pandangan hidup seseorang, serta lebih daripada hal yang bersifat
indrawi.
Salah satu aspek menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan
yang secara terus-menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan
berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat
dengan ketuhanan dan alam semesta, serta menghilangkan ilusi dari
gagasan salah yang berasal dari alat indra, perasaan dan pikiran (Hasan
2006, 289).
Pihak lain mengatakan, bahwa spiritualitas memiliki dua proses.
Pertama, proses ke atas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal
yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses
ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang
akibat perubahan internal. Konotasi lain, perubahan akan timbul pada
diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, di mana nilai-nilai
ketuhanan di dalam akan termanifestasi ke luar melalui pengalaman
dan kemajuan diri (Hasan 2006, 289-290).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan spirituality atau spiritualitas adalah upaya dan
semangat jiwa untuk berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi dari
duniawi (ketuhanan) dan untuk mencapai kedekatan kepada-Nya, agar
jiwa menjadi suci, dapat mencapai tujuan, makna serta kesejahteraan
yang abadi. Untuk mencapai mencapai pusat spiritual dapat dilakukan,
40
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
tidak hanya dengan melakukan hal-hal yang berhubungan langsung
dengan Tuhan, tetapi juga dapat dilakukan melalui perbuatan-perbuatan
positif dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan uraian terperinci mengenai EECS (Entertainment,
Entrepreneur,
Conceptualizer
and
Spirituality)
sebagaimana
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa EECS merupakan
nilai-nilai kehidupan yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap
manusia secara umum. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
EECS mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana seseorang
harus bersikap sebagai seorang pemimpin, baik pemimpin bagi diri
sendiri maupun pemimpin bagi orang lain. Dengan menerapkan nilainilai EECS seseorang dapat mencapai kesuksesan di dalam kehidupan
sosialnya.
Terlebih lagi, jika di dalam kehidupan sosial seseorang memiliki
posisi dan peran sebagai seorang pemimpin bagi yang lainnya, baik
di dalam sebuah lembaga, komunitas atau organisasi tertentu, maka
nilai-nilai penting kehidupan (EECS/Entertainment, Entrepreneur,
Conceptualizer and Spirituality) akan menjadi komponen pokok yang
tidak boleh terpisah dari dalam dirinya. Dengan menumbuhkan dan
menerapkan nilai-nilai EECS di dalam kehidupan sosial sehari-hari, hal
tersebut akan membantu seorang individu sebagai pemimpin untuk
dapat mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya
dan tujuan yang diinginkan.
D.
Definisi Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal dikatakan oleh Thorndike dengan istilah
kecerdasan sosial pada tahun 1920, diartikan sebagai kemampuan untuk
berperilaku bijaksana dalam berhubungan dengan sesama manusia
(Mubayidh 2006, 5). Lebih lanjut Thorndike mengatakan kecerdasan
sosial merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang dalam
menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi
sosialnya, sehing­ga kedua belah pihak berada dalam situasi menangmenang saling menguntungkan (Safaria 2005, 23). Istilah kecerdasan
sosial tersebut kemudian dikaji lebih mendalam oleh Howard Gardner
(Mubayidh 2006, 5).
Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) dikemu­
kakan oleh Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
41
Multiple intelligences sebagai kemampuan untuk mengamati dan
mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada
ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu
memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan
ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia
orang lain, mengerti pandangan, sikap kepribadian dan karakter orang
lain (Gunawan 2003, 237) dan umumnya dapat memimpin kelompok.
Individu yang cerdas secara interpersonal memiliki kemampuan
untuk mempersepsikan dan menangkap perbedaan atau perubahan
mood, mengenali emosi, suasana hati, temperamen, tujuan, motivasi
dan keinginan orang lain (Gardner 2013, 29).
Howard Gardner juga mengatakan bahwa kecerdasan interpersonal
berkaitan dengan hubungan antarpribadi dan sosial (Jasmine 2007,
14). Kecerdasan interpersonal biasa dicirikan dengan mudah bergaul,
dapat berperan sebagai mediator dan pandai berkomunikasi (Gunawan
2003, 231). Karena itu, kecerdasan interpersonal dapat diartikan
sebagai kemampuan individu dalam menjalin relasi dengan orang
lain. Kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang melibatkan
kemampuan untuk memahami orang lain, bekerjasama, berempati dan
bahkan memimpin sekelompok besar orang untuk menuju suatu tujuan
bersama (Syurfah 2009, vii). Kecenderungan individu untuk memahami
dan berinteraksi dengan orang lain sebagaimana penjelasan yang telah
dipaparkan, maka akan memudahkannya mampu bersosialisasi dengan
lingkungan di sekelilingnya.
Karakteristik anak atau seseorang yang memiliki kecerdasan
interpersonal tinggi dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini:
a.
b.
c.
d.
e.
42
Mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial
baru secara efektif.
Mampu berempati dengan orang lain atau memahami
orang lain secara total.
Mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif,
sehingga tidak musnah dimakan waktu dan senantiasa
berkembang semakin intim, mendalam dan penuh makna.
Mampu menyadari komunikasi verbal maupun non verbal
yang dimunculkan orang lain, atau dengan kata lain sensitif
terhadap perubahan sosial dan tuntutan-tuntutannya.
Mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam relasi
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
f.
sosialnya dengan pendekatan win-win solution, serta yang
paling penting adalah mencegah munculnya masalah dalam
relasi sosialnya.
Memiliki keterampilan komunikasi yang mencakup kete­
ram­
pilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan
menulis secara efektif. Termasuk di dalamnya mampu
menampilkan penampilan fisik yang sesuai dengan tuntutan
lingkungan sosialnya (Safaria 2005, 25-26).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan temuan penelitian, dapat dipahami bahwa kecerdasan
interpersonal siswa kelas VIII Leader 1 dikembangkan dan ditingkatkan
melalui internalisasi nilai-nilai karakter yang termuat dalam konsep EECS
ke dalam pembelajaran dan kegiatan leadership, sekaligus diperkuat
melalui budaya sehari-hari sekolah.
Adapun nilai-nilai karakter yang terkandung dalam konsep EECS
yang sangat berkaitan dengan nilai sosial/interpersonal yang dapat
dikembangkan untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa,
yaitu sopan, ramah, humanis, berperilaku aktif dan humoris, cakap
dalam berbicara dan berbahasa, apresiatif, percaya diri, kepemimpinan,
disiplin, bekerjasama, bersosialisasi dan suka menolong. Lebih jelasnya,
sopan, ramah dan humanis, berperilaku aktif dan humoris, cakap
dalam berbicara dan berbahasa, serta apresiatif merupakan nilai-nilai
karakter dari konsep entertainment. Percaya diri adalah nilai karakter
dari konsep entrepenenur. Kepemimpinan dan disiplin merupakan
nilai karakter dari konsep conceptualizer. Bekerjasama, bersosialisasi
dan suka menolong merupakan nilai karakter dari konsep spirituality.
Pertama, nilai-nilai karakter tersebut diinternalisasikan dan
dibiasakan ke dalam diri siswa melalui pembelajaran. Dalam hal ini,
menjadi tugas setiap guru bidang studi untuk selalu menyisipkan
nilai-nilai karakter EECS ke dalam pembelajaran yang dilaksanakan.
Dengan pembelajaran, memungkinkan nilai-nilai karakter EECS dapat
diinternalisasikan dan dikembangkan ke dalam perilaku siswa secara
lebih kontinu, sehingga menjadi lebih bermakna.
Proses internalisasi dan pengembangan nilai-nilai karakter EECS
di Kelas Leader tersebut, sama halnya seperti pelaksanaan pendidikan
karakter yang terpadu dalam pembelajaran. Di dalam penyelenggaraan
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
43
pendidikan karakter dilakukan pengenalan nilai-nilai, diperoleh
kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, internalisasi nilai-nilai ke dalam
tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran,
baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua
mata pelajaran (Asmani 2012, 58-59).
Adapun keefektifan penanaman nilai-nilai EECS dalam mengasah
dan mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa ditentukan
pula oleh kreativitas guru dalam mengelola proses pembelajaran.
Sebagaimana dalam temuan penelitian telah disebutkan beberapa
contoh metode dan strategi pembelajaran yang sering digunakan guru
Kelas Leader SMP Gelora Depok dalam rangka mengembangkan dan
mengasah kecerdasan interpersonal siswa, di antaranya dengan diskusi
dan kerja kelompok, presentasi, tanya-jawab, praktik dan problem
solving, atau metode pembelajaran lainnya yang sering disebut dengan
aktive learning. Hal tersebut, sesuai dengan pendapat Thomas R. Hoerr,
yang menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru
ketika mengajar dalam membantu siswa mengembangkan kecerdasan
interpersonalnya, yakni mengelola pembelajaran dengan menggunakan
cooperative learning, memberikan tugas kelompok, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan tutor sebaya, brainstorm
solutions dan menciptakan situasi yang memungkinkan siswa untuk
memerhatikan dan memberikan umpan balik kepada yang lainnya
(Hoerr 2000, 7). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sally Boggeman dan
Christine Wallach mengatakan, bahwa kecerdasan interpersonal harus
secara sadar diajarkan dan dikuatkan pada diri siswa. Upaya yang
dapat dilakukan guru dalam menguatkan kecerdasan interpersonal
kepada siswa, misalnya dengan membentuk tim-kerja yang akan
menginstruksikan dan mengharuskan siswa untuk bekerjasama di
dalam kelompoknya, sekaligus memberikan arahan dan penjelasan
langkah-langkah yang harus ditempuh siswa, agar proses pembelajaran
interaktif tersebut dapat berhasil (Thomas r. Hoerr, Sally Boggeman,
Christine Wallach & The Faculty of the New City School 2010).
Kedua, nilai-nilai karakter EECS ditanamkan dan diaplikasikan
melalui kegiatan leadership. Kegiatan leadership menjadi wadah yang
sangat tepat untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa,
karena di dalam kegiatan leadership setiap siswa diharuskan dapat
berperan sebagai pemimpin bagi yang lainnya. Menjadi seorang
pemimpin mengharuskan seseorang untuk berinteraksi dan menjalin
44
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
hubungan dengan orang lain. Seorang pemimpin dituntut mampu
menyesuaikan diri dengan kepribadian anggotanya, mampu mengatur,
mengorganisasi dan bekerjasama dengan anggotanya dengan baik,
memiliki kepercayaan diri dan disiplin yang tinggi. Oleh karena itu,
melalui kegiatan leadership ini siswa dilatih untuk melaksanakan
tugas kepemimpinan, sekaligus dibekali dengan nilai-nilai EECS, serta
diasah, diajarkan dan dikembangkan sikap sosial/interpersonalnya,
agar nantinya dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif dan sukses
dalam memimpin. Karena untuk menjadi seorang pemimpin yang
sesungguhnya, sangat membutuhkan kecerdasan interpesonal yang
tinggi untuk mendukung keberhasilannya dalam memimpin.
Sebagaimana, beberapa ahli menyebutkan mengenai beberapa
peran yang membutuhkan kecerdasan interpersonal, yaitu pengor­
ga­
nisasi komunitas, konselor, pemimpin, pendidik dan konsultan
manajemen (Baum, Viens & Slatin 2005). Hal tersebut juga selaras dengan
pandangan Amstrong, ia mengkategorikan beberapa pekerjaan atau
peran yang dapat menujukkan kecerdasan interpersonal seseorang, di
antaranya yaitu kepala sekolah dan direktur (Armstrong 2009, 179).
Ketiga, nilai-nilai karakter EECS yang telah diinternalisasikan
kepada peserta didik, diperkuat melalui kegiatan-kegiatan atau
budaya sekolah sehari-hari. Hal tersebut, menjadi langkah yang efektif
untuk mengembangkan dan mempertajam kecerdasan interpersonal
siswa, karena membentuk sikap atau perilaku seseorang dengan cara
diaplikasikan secara nyata dan dibiasakan secara terus menerus dapat
memberikan pengaruh yang jauh lebih bermakna.
KESIMPULAN
Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia diharapkan berperan
penting dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik
sebagai individu sosial dan generasi penerus. Namun, faktanya hal
tersebut masih jauh dari harapan. Bahkan, dikatakan pendidikan di
Indonesia ini belum menyentuh pentingnya kecerdasan interpersonal
dalam membangun kesuksesan. Keadaan tersebut menggerakkan
SMP Gelora Depok untuk melakukan inovasi dan gebrakan baru, yaitu
mengimplementasikan Kurikulum EECS guna mendukung upaya sekolah
dalam mempersiapkan siswa menjadi generasi pemimpin yang cerdas
dalam segala aspek, salah satunya adalah cerdas dalam interpersonal.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
45
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kuriku­
lum EECS dalam mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa di
SMP Gelora Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi
nonpartisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi. Data yang ter­
kumpul dianalisis melalui organisasi data, reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data menggunakan
credibility, transferability, dependability dan confirmability.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Implementasi Kurikulum EECS
di SMP Gelora Depok adalah mengintegrasikan nilai-nilai EECS pada
setiap mata pelajaran dan mengiternalisasikannya ke dalam perilaku
siswa melalui leadership dan budaya sekolah. Selain itu, diketahui
pula bahwa keadaan kecerdasan interpersonal siswanya dinilai baik
sehingga implementasi Kurikulum EECS berhasil mengembangkan
kecerdasan interpersonal siswa SMP Gelora Depok.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Powe:
Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. 1. Arga, 2003.
Armstrong, Thomas. Multiple Intelligence in the Classroom. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Development, 2009.
Asmani, Jamal Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter
di Sekolah. 5. Yogyakarta: DIVA Press, 2012.
Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Basrowi. Kewirausahaan untuk Perguruan Tinggi. 1. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2014.
Fahmi, Irham. Kewirausahaan: Teori, Kasus, dan Solusi. 1. Bandung:
Alfabeta, 2013.
Gardner, Howard. Multiple Intelligence. 1. Jakarta: Daras Books, 2013.
Gunawan, Adi W. Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk
Menerapkan Accelerated Learning. 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
46
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Hoerr, Thomas R. Becoming A Mutiple Intelligences School. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Department, 2000.
Jasmine, Julia. Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences.
1. Bandung: Nuansa Cendekia, 2007.
Kurniasih, Imas. Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW.
Yogyakarta: Pustaka Mawar, 2010.
Morris, William, ed. The American Heritage Dictionary. Boston:
Houghton Mifflin Company, 2013.
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak:
Referensi Penting Bagi Para Pendidik dan Orang Tua. 1. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Mudzakir, Abdul Mujib dan Jusuf. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam.
Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Safaria, T. Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan
Interpersonal Anak. 1. Yogyakarta: Amara Books, 2005.
Sons, John Wiley and. Webster’s New World College Dictionary. Ohio:
Webster’s New World, 2010.
Suryana. Kewirausahaan: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta:
Salemba Empat, 2013.
Susan Baum, Julie Viens & Barbara Slatin. Multiple Intelligences in the
Elementary Classroom: A Teacher’s Toolkit. New York: Teachers
College Press, 2005.
Suyogi, Priyo. Jadi Pengusaha Tangguh Jangan Mudah Mengeluh. 1.
Yogyakarta: Soulmate Book, 2013.
Syurfah, Aryany. Multiple Intelligences for Islamic Teaching. Bandung:
Sygma Publishing, 2009.
Tando, Naomy Marie. Kewirausahaan. Jakarta: In Media, 2013.
Thomas r. Hoerr, Sally Boggeman, Christine Wallach & The Faculty of
the New City School. Celebrating Every Learner: Activities and
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
47
Strategies for Creating A Multiple Intelligences Classromm. San
Francisco: Jossey Bass, 2010.
Wahyudi. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar
(Learning Organization). 3. Pontianak: Alfabeta, 2012.
Mulyana, Dedi. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. 11. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Sudjana, Nana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. 6.
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
48
Implementasi Kurikulum EECS (Entertainment, Entrepreneur, Conceptualizer and Spirituality)
dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Siswa
Download