BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas motif birokrat dalam pemilihan kepala daerah,
mengingat kuatnya godaan untuk tidak berlaku netral.Meskipun secara resmi mereka
mengetahui larangan untuk tidak terlibat dalam pemilukada, namun intervensi
birokrat secara aktif kepada salah satu pasangan calon atau kandidat sangat mudah
ditemukan.Salah satunya keterlibatan birokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah
terjadi di Kota Pekanbaru tahun 2011.Studi ini mempersoalkan apakah penguasaan
masalah-masalah kebirokrasian menjadi salah satu energi yang membekali mereka
dengan keberanian untuk tidak netral, tepatnya ikut mensukseskan pemenangan
seorang calon kepala daerah dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah.
Penelitian tidak sekedar membaca proses interaksi politik yang terjadi antara politisi
dan birokrasi dalam konteks pilkada, melainkan yang melatarbelakangi keinginan
birokrat untuk terlibat secara aktif dalam pemilukada.
Weber menggambarkan tipe birokrasi yang ideal dalam nada positif yang
membuat birokrasi lebih berbentuk organisasi rasional dan efisien.Ia memandang
adanya penyimpangan wewenang dalam sebuah birokrasi ketika para birokrat tidak
dapat memisahkan kepentingan pribadi, golongan keluarga dan kepentingan Negara.
Dengan kata lain Weber menyatakan bahwa birokrasi haruslah netral dengan tidak
mencampuri urusan administrasi dengan politik karena telah memiliki bentuk yang
pasti dimana kedua hal tersebut dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Berbeda
dengan apa yang menjadi pemikiran Karl Marx mengenai birokrasi, Marx mengkritik
1
pemikiran dari Weber menyoal birokrasi yang ideal. Karl Marx dalam pemikirannya
menyatakan bahwa birokrasi merupakan instrument yang digunakan untuk
melaksanakan kekuasaan dominannya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata
lain keberadaan birokrasi pemerintah memihak pada kekuatan politik yang
memerintah.
Sejarah praktek kepemerintahan Indonesia pembahasan tentang netralitas
birokrasi pemerintah dalam ranah politik sudah ada sejak pasca pemilu 1955. Gejala
keheranan dan ketidakpuasan rakyat terhadap pengkaplingan birokrasi pemerintah
akibat kooptasi yang dilakukan partai politik. Birokrasi pemerintah pernah terjebak
dalam hegemoni kekuasaan dalam praktek pemerintahan orde baru, terjadi ambiguitas
dan tumpang tindih antara peran sebagai aparat birokrasi dan sebagai kader politik.
Pasca reformasi tuntutan netralitas semakin serius dan intensif ketika akan
dilaksanakannya pemilihan umum untuk menduduki jabatan pimpinan pemerintahan
(eksekutif) baik tingkat pusat maupun daerah (pilkada).
Berbicara birokrasi sepintas memunculkan pandangan yang mengganggap
bahwa birokrasi tidak lepas pada pengaruh suksesi pemenangan kepala daerah.
Birokrasi dan politik praktis selalu dikaitkan pada saat proses pemilihan maupun
sesudah pemenangan kepala daerah. Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari
pengaruh politik dan kekuasaan, kondisi ini telah melekat dalam tingkah laku maupun
perilaku birokrasi saat ini.Fungsi birokrasi tidak berjalan semestinya, seharusnya
menjadi pelayan masyarakat menjadi sebaliknya yaitu birokrasi cenderung mengabdi
kepada penguasa untuk kepentingan kekuasaan. Kenetralan tidak lagi menjadi value
(nilai) yang harus dipertahankan, banyaknya mesin-mesin pemerintah telah beralih
2
haluan yang lebih mementingkan kepentingan penguasa. Kehadiran birokrasi tidak
luput dari berbagai kegiatan yang ditumpangi dengan ketidaknetralan dari birokrasi
yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam
pesta demokrasi.
Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah, iklim politik semakin hangat
dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan
hasrat politik kandidat masing-masing, berbicara mesin politik posisi birokrasi sangat
rawan terpolitisasi oleh calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.Birokrasi
dapat menjadi suatu trouble maker dan penghambat perubahan serta kemajuan
masyarakat. Apabila birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan
instrumen kekuasaan bagi para politisi maka peranannya akan semakin tereduksi dari
tujuan semula dibentuknya birokrasi. Fenomena melibatkan birokrat dalam arena
pertarungan politik sering terjadi menjelang pesta demokrasi seperi pemilihan kepala
daerah langsung. Posisi strategis birokrasi memiliki keunggulan dalam memobilisasi
massa dan memanfaatkan setiap fasilitas dalam mendukung seorang pasangan calon
kepala daerah.
Potret perpolitikan yang terjadi di Kota Pekanbaru menjelang pemilihan
walikota di Kota Pekanbaru 2011 mengalami permasalahan dengan ditemukannya
berbagai kecurangan. Kecurangan terjadi diseluruh tempat pemungutan suara di
daerah pekanbaru, mulai dari Daftar Pemilih Tetap, keikutsertaan birokrat kecamatan
secara aktif dalam kampanye dan berpihak kepada masing-masing pasangan calon
kepala daerah.
3
Pemilihan kepala daerah di Kota Pekanbaru sejak otonomi daerah telah
dilakukan pada tahun 2006 dan 2011.Pemilihan Kepala daerah tahun 2011 diikuti
oleh dua pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Kota Pekanbaru. Pasangan
H.Firdaus,ST.MT dan Ayat Cahyadi (PAS) sebagai pasangan nomor urut satu dan
Dra.Hj.Septina Prinawati,M.Si dan H.Rizal Muluk (BERSERI) sebagai pasangan
nomor urut dua. Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan tanggal 18 Mei 2011
dimenangkan oleh pasangan pertama yaitu H.Firdaus dan Ayat Cahyadi dengan
perolehan suara 58,96% sedangkan pasangan BERSERI mendapatkan perolehan
suara 41,04%.
Kemenangan Firdaus-Ayat digugat oleh pasangan Septina-Erizal Muluk
karena terjadi pelanggaran ataupun kecurangan menjelang pemilukada. Gugatan
ditujukan kepada pasangan PAS dan disampaikan ke Mahkamah Konstitusi untuk
menindaklanjuti kebenaran atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasangan
PAS. Mahkamah Konstitusi kemudian memproses laporan yang diajukan oleh
pasangan BERSERI, dalam pertimbangan putusan delapan Hakim MK menyatakan
telah terjadi berbagai pelanggaran di antaranya pelibatan Pegawai Negeri Sipil (PNS),
terutama Camat, Lurah, RT dan RW secara terstruktur, sistematis dan massif untuk
memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pemilukada Kota Pekanbaru. Hasil
dari gugatan pasangan BERSERI pada pemilukada 18 Mei 2011 yaitu dibatalkannya
perolehan suara serta membatalkan kemenangan pasangan Firdaus-Ayat (PAS).
Keputusan ini dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan SK MK Nomor
63/PHPU.D-IX/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan memutuskan melakukan pemungutan
suara ulang di seluruh TPS di daerah Kota Pekanbaru.
4
Salah satu pelanggaran yang terjadi adanya rekaman suara mantan Walikota
Pekanbaru Herman Abdullah dalam video You Tobe tanggal 18 April 2011. Herman
Abdullah sebagai walikota yang masih menjabat melakukan pertemuan di rumah
dinas Walikota dengan seluruh Camat, Lurah. Pertemuan tersebut memberikan
pengarahan kepada jajarannya hingga RT/RW untuk mendukung pasangan nomor
urut satu yaitu Firdaus dan Ayat. Segala upaya dilakukan dalam mendukung
pasangan nomor satu melalui instruksi kepada birokrat untuk melakukan kampanye
terselubung dan pertemuan tertutup dengan jajarannya. Konsekuensi dari instruksi
adalah jajaran yang tidak patuh pada perintah Herman Abdullah akan dimutasi dari
jabatannya. Herman Abdullah sebagai walikota saat itu menyalahgunakan jabatannya
untuk menggerakkan struktur jajaran pemerintahan kota dalam mendukung pasangan
Firdaus dan Ayat. Pelanggaran yang terjadi pada pemilukada tahun 2011 dinilai
bersifat sistematis, terstruktur dan massif karena birokrat Kota Pekanbaru yang
memiliki jabatan strategis terlibat dalam politik praktis.
Menjelang pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU), masa pemerintahan
Herman Abdullah sebagai Walikota Pekanbaru telah berakhir pada Juli 2011. Posisi
Walikota digantikan oleh Syamsurizal yang merupakan Kepala Inspektorat Provinsi
Riau. Syamsurizal ditunjuk sebagai Plt.Walikota Pekanbaru oleh Gubernur Riau
Rusli Zainal. Pada pemerintahan Syamsurizal terjadi mutasi besar-besaran ditingkat
pemerintahan Kota Pekanbaru, mutasi yang dilakukan hingga Desember 2011
sebanyak 170 PNS. Tidak hanya mutasi yang dilakukan oleh Syamsurizal melainkan
rotasi, demosi hingga non job. Mutasi ini mendapat perlawanan dari 45 orang PNS
yang mengalami demosi dan non job. PNS sebanyak 45 orang tersebut terdiri dari
5
Kasi di Kelurahan, Lurah, Sekretaris Camat hingga Camat (Tribun Pekanbaru, 24
Desember 2011; 23). Mutasi dilakukan sebagai cara untuk mendukung pasangan
calon nomor dua (BERSERI) yang merupakan isteri Gubernur Riau Rusli Zainal.
Syamsurizal memanfaatkan jajaran birokrat untuk mendukung Septina dengan
konsekuensi yaitu kehilangan kedudukan atau jabatan.
Berdasarkan Surat Keputusan MK maka KPU Kota Pekanbaru sebagai
penyelenggara pemilihan umum kepala daerah menetapkan jadwal pemungutan suara
ulang. Pelaksanaan pemungutan suara ulang dilakukan diseluruh TPS Pekanbaru
tanggal 21 Desember 2011. Hasil rekapitulasi pada pemungutan suara ulang tetap
dimenangkan oleh pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi dengan perolehan suara 61,82 %
sedangkan Septina-Erizal Muluk memperoleh 38,28%. Perolehan suara ini juga
mengalami permasalahan karena tim saksi pasangan Septina Primawati-Erizal Muluk
(BERSERI) tidak bersedia menanda tangani hasil pleno tersebut. Sesuai surat
Keputusan MK 13 januari 2012 memerintahkan KPU Kota Pekanbaru untuk
menetapkan pasangan nomor urut satu yakni PAS sebagai calon terpilih sebagai
Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru periode 2012-2017.
Pelanggaran yang dilakukan Herman Abdullah dan Plt.Syamsurizal
menujukkan bahwa birokrat merupakan alat yang cukup baik untuk memenangkan
kandidat pasangan calon. Melihat fenomena yang terjadi di Pekanbaru, birokrasi di
daerah belum mampu mensejahterakan rakyat, peran dan fungsinya sebagai pelayan
masyarakat yang netral dan professional masih jauh dari harapan. Birokrasi tidak
jarang dijadikan sebagai kendaraan oleh oknum-oknum elit daerah untuk
mewujudkan agenda kekuasaannya.
6
Keinginan birokrat untuk masuk kedalam arena politik dalam pemilukada
diasumsikan bahwa itu dilakukan untuk kepentingan pribadinya serta menginginkan
jabatan dalam pekerjaannya atau mempertahankan kekuasaan yang dimiliki.Birokrasi
juga membuka diri ke dalam arena politik untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi
dalam jabatan strategis birokrasi. Keadaan ini yang menjadikan adanya politisasi
birokrasi yaitu gejala melibatkan birokrasi secara langsung dan terang-terangan untuk
menjadi pendukung dan anggota organisasi peserta pemilu demi kepentingan pribadi.
Peran birokrasi sebagai pemegang kekuasaan sentral membuat birokrasi
dihadapkan dengan situasi dilematis antara sebagai alat politik atau sebagai
administrator publik yang berorientasi pada professional dan efisiensi pelayanan
publik. Perebutan kekuasaan dikarenakan tidak adanya aturan main secara jelas
sehingga pada akhirnya menjadi persoalan bagi demokrasi. Kontradiksi dalam
ambiguitas dari peran birokrasi dalam banyak hal menyebabkan perselisihan politik
antara birokrat senior dan politisi senior. Perselisihan konflik politik acap kali juga
disebabkan oleh peran birokrasi yang tidak pernah didefenisikan secara jelas baik
dalam ranah politik maupun dalam ranah non politik.
Birokrasi dalam setting electoral hampir bisa dipastikan tidak mungkin netral,
ketidaknetralan dapat dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Peluang
dan resiko selalu menjadi pertimbangan birokrat untuk masuk kedalam politik praktis
khusunya pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Selain adanya peluang
yang didapat birokrat saat masuk ke dalam politik praktis, birokrat juga mengalami
resiko yang akan dihadapi ketika memilih untuk netral atau tidak berpihak. Resiko
yang dihadapi adalah; Birokrat akan kehilangan kewenangan yang telah dimiliki;
7
Jabatan yang telah dimiliki akan mengalami kemunduran (pemindahan) ke bagian
bawah jabatan yang sebelumnya; Kehilangan jabatan yang dimiliki dalam birokrasi.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah menjadikan kenetralan birokrasi semakin
dipertanyakan. Birokrat tidak jarang memasuki ranah politik praktis secara terangterangan mendukung salah satu kandidat yang bertarung. Selain itu banyak birokrat
yang langsung dan naik jabatannya dari hasil suksesi tersebut, namun hal ini tidak
menjadi sebuah perhatian pemerintah untuk dijadikan evaluasi dari keberhasilan atau
kegagalan otonomi daerah. Setara dengan hal ini menunjukkan betapa proses
liberalisasi atau pemberlakuan demokrasi liberal yang sedang berlangsung
belakangan ini memiliki daya goda yang sangat tinggi. Kenyataannya bahwa cukup
banyak birokrat memilih untuk terlibat secara aktif atau ikut terjun kedalam dunia
politik dengan melanggar azaz kenetralan. Asumsi banyaknya prasyarat bagi
tegaknya kaidah netralitas birokrasi yang tidak tersedia sehingga melanggar kaidah
itu adalah hal yang sangat rasional. Konteks Pemilukada secara langsung jika
dikaitkan dengan demokratisasi birokrasi di Indonesia maka keterlibatan birokrasi
dalam penyelenggaraan pemilukada akan sangat sulit dihindari. Blau dan Meyer
(1987) dalam buku Suhendra (2006.h.30) menyatakan bahwa birokrasi adalah
organisasi besar yang merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang memiliki
kemampuan yang besar untuk berbuat kebaikan ataupun keburukan.
Meskipun telah ada aturan yang membahas mengenai bagaimana seharusnya
sikap seorang birokrat yang tertuang dalam Undang-Undang No 43 Tahun 1995 yaitu
tentang Pegawai negeri, Peraturan Pemerintah No 15 dan 12 Tahun 1999 tentang
Netralitas Birokrasi dan Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
8
Pegawai Negeri Sipil, tetapi sampai saat ini masih banyak birokrat dalam birokrasi
yang melanggar hal tersebut. Aturan tersebut mengungkapkan apabila masuk menjadi
anggota dan atau pengurus partai politik, yang bersangkutan harus mengundurkan diri
dari statusnya sebagai pegawai negeri sipil, tetapi pada implementasinya hal ini
sangat sulit terwujud. Aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidak
menjamin netralitas dari birokrasi pemerintah (PNS) tetapi kenyataan yang terjadi
justru semakin banyak keberpihakan aparat birokrasi dalam pemilukada.
Pengalaman sejarah birokrasi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
kelompok ini paling mudah untuk dijadikan kendaraan politik (political vehicles)
mencapai kekuasaan. Keterlibatan birokrasi juga tidak terlepas dari adanya
kemungkinan mereka terlibat atau dilibatkan dalam agenda politik praktis para
politisi. Kemungkinan adanya tekanan (pressure) politik, intimidatif dan kondisi yang
memaksa birokrasi melakukan hal tersebut dalam mengakomodasi birokrat untuk
mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Banyak kasus yang terjadi secara terangterangan atau melalui berbagai kegiatan yang bersifat sosial dengan dalil untuk
memberikan bantuan. Kegiatan yang secara terang-terangan dilakukan mulai dari
mark-up data wajib pemilih, kertas suara dan berbagai gerakan mobilisasi suara baik
melalui aparat RT hingga desa, kelurahan dan kecamatan.
Menjelaskan tentang studi birokrasi telah banyak dilakukan oleh peneliti
sebelumnya tetapi penelitian ini berbeda dengan yang lain. Studi ini fokus mengkaji
motif seorang birokrat untuk tidak netral dalam proses pemilukada didaerahnya. Studi
sebelumnya mengkaji birokrasi dijadikan sebagai arena,kepentingan dan kontestasi
politik, dimana penelitian tersebut mengeksplorasi bentuk-bentuk serta faktor yang
9
mempengaruhi birokrasi dimobilisasi oleh incumbent dan berujung pada kemenangan
seorang kandidat tersebut (Syaiful,2007. h.24). Kedua, kajian yang mengidentifikasi
pola relasi antar elite birokrasai dan elite partai politik dalam Pilkada mulai dari awal
agenda pilkada sampai dengan tahap perhitungan suara terjadi. Adanya dukungandukungan tertentu oleh elite birokrasi seperti konsultasi, fasilitasi, dan informalisasi
pelayanan formal. Elit partai politik juga memberikan respon baik yang berupa
adanya kompensasi-kompensasi tertentu atas dukungan yang diterimanya baik
jaminan keamanan, akomodasi, karir dan jabatan, sampai dengan kompensasi
ekonomis (Murdi 2006, h.20). Studi ketiga mengkaji birokrat digunakan untuk
menggiring masyarakat memilih salah satu pasangan, kemudian memanfaatkan
tahapan kerja Pemerintah Daerah berupa perencanaan pembangunan, promosi serta
mutasi dan memanfaatkan pertemuan-pertemuan (Siddha 2007, h.23).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan maka perumusan masalah
yang menjadi fokus adalah: “Mengapa birokrat terlibat dalam pemilihan kepala
daerah di Kota Pekanbaru pada Tahun 2011?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarakan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengetahui motif para birokrat terlibat
dalam proses pemilukada di daerah Kota Pekanbaru tahun 2011.
10
D. Kerangka Teori
1. Birokrasi
Pendefenisian umum birokrasi berasal dari kata bureaucracy, dalam bahasa
Inggris bureau dan cracy, yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki
rantai komando dengan bentuk pirammida, dimana lebih banyak orang berada di
tingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya
administratif maupun militer. Birokrasi dipandang dalam multi paradigma, birokrasi
dapat dikaji dari sisi aindividu (aktor-aktor) dan sisi organisasi (kelompok atau
interest group). Birokrat adalah pelaksana birokrasi, birokrat tidak terpisahkan dari
birokrasi yang pada dasarnya merupakan institusi sebagai pelayan masyarakat yang
fungsinya melayani kepentingan masyarakat. Hal ini seperti dikatakan oleh Mill
dalam Consideration On Representatif Government yang mengungkapkan bahwa
pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara
professional merupakan esensi birokrasi (Albrow 1996, h.8). Pernyataan tersebut
menyatakan bahwa birokrasi dalam peran dan fungsinya adalah makhluk yang
bertugas menjalankan tugas-tugas negara yang merepresentasikan kepentingan
publik.
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca
dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua
tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah.Dalam
sistem pemerintahan feodal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana
yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah
11
masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu
sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat
yang digaji (Albrow, 1996, h.22).
Menjelaskan mengenai birokrasi tidak terlepas dari Max Weber, birokrasi
weberian menekankan bagaimana seharusnya birokrasi itu secara professional dan
rasional dijalankan. Konsep birokrasi oleh Weber masih menjadi acuan sampai
sekarang ini walaupun mendapat kritikan dari ilmuan lainnya. Pemaknaan terhadap
birokrasi sebagai organ pelayan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan
yang bersifat idealis. Pernyataan ini tidak salah ketika Max Weber memandang
birokrasi sebagai organisasi yang rasional dan sebagai mekanisme sosial yang
memaksimumkan efisiensi dan juga bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri
khas.(Tjokrowinoto 2001, h.112). Menurut Weber dalam buku Miftah Thoha,
Birokrasi dan Politik Indonesia, tipe ideal birokrasi weberian yang identik dengan
sebutan birokrasi rasional dengan ciri sebagai berikut: 1) Individu pejabat secara
personal yang bebas namun tidak bebas dalam penggunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi, 2) Hierarkis, 3) Penugasan berbeda tiap jenjang hierarki, 4)
Adanya uraian tugas untuk setiap pejabat, 5) Rekrutmen dengan ujian berdasar
kualitas, 6) Hak gaji untuk pejabat/pegawai, 7) Adanya promosi jabatan, 8) Adanya
sistem kontrol yang ketat (Thoha 2003, h.17).
Birokrasi dari tipe Weber banyak diartikan sebagai officialdom atau kerajaan
pejabat, dimana kekuasaan terpusat ditangan para pejabat dan birokrasi terjebak pada
tatanan pola hirarki otoritas dan kekuasaan. Posisi birokrasi dengan kekuasaannya
pada hirarki teratas masyarakat pada hirarki paling bawah atau dengan kata lain
12
kekuasaan itu ada pada setiap hirarki jabatan. Birokrasi merupakan instrument yang
sangat penting dalam tubuh pemerintahan untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Meehan melihat birokrasi sebagai sekelompok orang yang terorganisir menjalankan
tugas menurut aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan
jabatan dan bukan orang (Deny 1999, h.34). Selain itu Bealey memandang ada
beberapa konsep yang dapat dilihat dalam memaknai aktor yang bekerja dalam
birokrasi, seperti konsep tentang nilai, sikap, kepercayaan dan tingkah laku dari para
aktor pendukung insitusi, hal inilah yang dimaksudkan dengan birokrasi (Afadlal
2003, h.7). Kelebihan organisasi birokrasi yang dimaksudkan oleh Weber dengan
ciri-cirinya yang dipandang superior dibandingkan dengan organisasi lain dalam
masyarakat terletak pada hal berikut ini yaitu ketepatan, kecepatan, kejelasan dan
pengetahuan tentang kearsipan, kontinuitas, penyimpangan, kesatuan, subordinasi
yang ketat, pengurangan friksi dan biaya material serta personal. Semuanya
merupakan prinsip-prinsip optimum yang menjadi pegangan administrasi birokratis
dibandingkan dengan semua bentuk administrasi organisasi kehormatan dan
organisasi sukarela. Birokrasi terlatih memiliki kelebihan berkat prinsip-prinsip
tersebut (Albrow 1989, h.21). Weber juga menyatakan birokrasi pemerintah bukanlah
kekuatan politik melainkan berbagai instrument politik. Artinya birokrasi itu harus
berfungsi sebagai agent bukannya sebagai master. Birokrasi lebih banyak
menekankan pada aspek teknis administratif dan teknik operasional dari politik.
Birokrasi yang netral diartikan dimana kekuatan politik itu seharusnya dibebaskan
dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik yang
sewaktu-waktu bisa masuk ke birokrasi (Thoha 1992,h.156).
13
Berbicara mengenai birokrasi Hegel juga berpendapat bahwa birokrasi
sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara antara negara (pemerintah)
dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu sendiri terdiri dari kelompokkelompok profesional, usahawan dan kelompok lain yang mewakili bermacammacam kepentingan partikular (khusus). Diantara keduanya, birokrasi pemerintah
merupakan medium yang dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan patikular
dengan kepentingan general (Thoha 2008, h.22). Keberadaan birokrasi pemerintahan
dijadikan sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general
(pemerintah) dan partikural (kekuatan politik dalam masyarakat). Dengan kata lain
birokrasi Hegelian menekankan posisi birokrasi adalah posisi yang netral terhadap
kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Analisis Hegelian menggambarkan bahwa
administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan
masyarakat rakyatnya (the civil Society). Masyarakat rakyat terdiri atas para
profesional dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus,
sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan umum. Di antara kedua hal ini,
birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesanpesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum.
Dalam buku Dr.Ahmad Sumargono, SE, MM, Affandi beranggapan bahwa
birokrat diibaratkan sebagai mesin dari kendaraan birokrasi pemerintah yang pada
dasarnya sebuah mesin haruslah loyal terhadap institusinya dan netral dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Netral yang dimaksud tidak dipengaruhi oleh politik
yang dominan dan tidak ikut serta dalam platfom partai politik, tetapi mempunyai
sikap dan prilaku melayani rakyat sepuh hati (Sumargono 2009, h.13).
14
Menurut Tjokrowinoto, ada empat fungsi birokrasi, yaitu;
a.
Fungsi Instrumental yaitu menjabarkan perundang-undangan dan
kebijaksanaan publik dalam kegiatan rutin untuk memproduksi jasa,
pelayanan, komoditi atau mewujudkan situasi tertentu.
b.
Fungsi Politik yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi dan
profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
c.
Fungsi Katalis Public Interest yaitu mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya
dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah.
d.
Fungsi Enterpreneurial yaitu member inspirasi bagi kegiatan-kegiatan
inovatif dan non rutin serta mengaktifkan sumber-sumber daya potensial
untuk mencapai tujuan yang optimal(Tjokrowinoto 2004, h.54).
Lebih lanjut Joko Widodo dalam bukunya menyebutkan ciri lain yang terjadi
saat ini khususnya di Indonesia, yaitu sentralisme yang tinggi, artinya lebih banyak
mendominasi masyarakat, bersifat tidak netral dan menjadi korban ketika dihadapkan
pada kalangan bisnis yang dekat dengan lingkaran kekuasaan (Joko Widodo 2008,
h.32). Idealnya birokrasi merupakan suatu sistem rasional yang strukturnya
terorganisir untuk pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien, selain itu
terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggungjawab setiap
bagian-bagiannya mengalir dari atas ke bawah.
Dari berbagai macam pengertian yang muncul dalam term birokrasi, dapat
disistematiskan dalam tiga kategori, yaitu 1) Birokrasi dalam pengertian baik dan
15
rasional (bureau-rationality) seperti yang terkandung dalam pengertian birokrasi oleh
Hegel dan Weber; 2) Birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau
pathology); dan 3) Birokrasi dalam pengertian netral (value free), artinya tidak terkait
dengan pengertian baik ataupun buruk (Budi Santoso 1997, h.14).
1.1 Netralitas Birokrasi
Netralitas birokrasi merupakan birokrasi pemerintah yang tidak memihak
terhadap kekuatan politik dan golongan dominan dengan istilah politiknya apolitic.
Sikap apolitic diperlukan agar pelayanan serta pengabdiannya kepada pemerintah dan
kepada seluruh masyarakat atau sebagai abdi negara dan abdi rakyat (Thoha 1990).
Salah satu kategori disampaikan diatas mengenai kategori dari birokrasi yang
diungkapkan oleh Budi Santoso yaitu birokrasi dalam pengertian netral.Dalam
pengertian netral ini birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara
dibawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau
birokrasi juga bisa diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (Budi
Santoso 1997).
Terdapat dua aliran besar dalam ilmu politik tentang netralitas birokrasi
menurut Teguh Yuwono, yaitu:
a. Aliran yang dimotori oleh para ahli administrasi klasik seperti W.Wilson
yang menyatakan bahwa birokrasi harus netral dan steril dari kehidupan
politik, birokrasi bersifat admnistratif, mekanistik yaitu hanya sebagai
pelaksana kebijakan. Birokrasi tidak boleh masuk dalam konteks pengambilan
kebijakan apalagi bertarung memperebutkan jabatan politik, jika birokrasi
masuk ke dalam politik maka birokrasi akan rusak dan mengalami krisis
kepercayaan.
16
b. Aliran yang menolak pemikiran aliran pertama yang dimotori oleh James
Svara dan George Edward II. Pemikiran ini menyatakan persoalan netralitas
birokrasi bukan lagi pertanyaan yang utama, tetapi pertanyaan apakah
birokrasi harus netral ketika mafas kehidupan dan lingkungan yang
digelutinya adalah politik? Aliran ini mengatakan bahwa birokrasi tidak bisa
tidak harus terlibat dalam politik karena ikut menentukan masa depan
organisasi dan kehidupan politiknya. (Suara Merdeka 1996-2004).
Jalan tengah untuk kedua aliran ini adalah kesungguhan para birokrat untuk
tetap melaksanakan tugas pokoknya dan menjaga netralitasnya. Netralitas birokrasi
akan dapat terjamin tidak hanya dengan cara melepaskan keanggotaan PNS dalam
partai politik, professional dan bersikap imparsial terhadap partai politik dan pemilu
(Kumontoro 2005, h.71). Netralitas hakekatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi
tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari partai
politik dan pejabat politik yang memerintah) walaupun masternya berganti. Wilson
mengatakan faktor yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu kepentingan umum,
kepentingan masyarakat serta birokrasi itu sendiri (Thoha 2008, h.168). Perspektif
lain yang dikemukakan oleh Francis Rourke bahwa netralitas birokrasi dari politik
hampir tidak mungkin terjadi sebab partai politik tidak mampu memberikan alternatif
program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan
tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik diluar partai politik yang bisa
membantunya dalam merumuskan kebijakan politik (Thoha 2008, h.181).
Birokrasi sesuai aturannya harus netral dalam sisi politiknya sehingga dapat
dikatakan netralitas politik pada birokrasi. Netralitas politik diartikan sebagai upaya
dan sekaligus pengkondisian untuk menjaga ketidakberpihakan institusi birokrasi dan
17
individu birokrat pada proses kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Aturan yang menjelaskan mengenai birokrasi harus netral dan tidak boleh
berpartisipasi secara aktif didalam politik telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010. Aturan ini sebagai aturan yang melaksanakan UndangUndang No 43 Tahun 1991 tentang pokok-pokok kepegawaian dan pengganti dari
Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil. Aturan Peraturan Pemerintah tersebut secara tegas menjelaskan larangan
kepada pegawai negeri sipil sebagai birokrat pemerintahan yaitu pada Pasal 4 ayat 14
dan 15 mengenai larangan kepada Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan tersebut pada ayat 14 menjelaskan larangan “memberikan dukungan
kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu
Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; pada ayat 15 menjelaskan larangan “memberikan dukungan kepada calon
Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait
dengan abatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama kampanye; d.
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon
yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Aturan tersebut
memberikan larangan kepada para birokrat untuk terlibat secara aktif dalam
18
memberikan dukungan kepada calon kepala daerah dengan menggunakan fasilitas
negara baik jabatan maupun fasilitas lainnya. Hal inilah yang menjadi bentuk
ketidaknetralan dari birokrasi yang ada di Indonesia pada khususnya.
Pengertian birokrasi netral bukan berarti birokrat mengisolasi diri dengan
tutup mata, tutup telinga dari dunia politik. Birokrat sebagai bagian dari birokrasi
dituntut mengikuti perkembangan politik sehingga memperoleh informasi cukup
untuk menjatuhkan pilihan secara tepat terhadap partai politi atau calon dalam
pemilihan kepala daerah. Netralitas mengharuskan birokrasi tidak menyatakan
mampu memberikan dukungan secara terang-terangan didepan publik, tidak
melibatkan diri, tidak berpihak serta tidak membantu salah satu partai atau kandidat.
Dalam konstalasi politik peran birokrasi memiliki dua pilihan, Carino
menyatakan bahwa hubungan birokrasi dengan pejabat politik (political leadership)
merupakan sesuatu hubungan yang konstan antara fungsi control dan dominasi serta
terdapat dua bentuk alternative solusi yang utama yakni apakan birokrasi sebagai
subordinasi dari politik (executive ascendary) atau birokrasi sejajar dengan politik
(bureaucracy sublation) (Thoha 2005, h.153). Persoalan yang penting yang menjadi
perdebatan dalam netralitas birokrasi adalah boleh tidaknya pejabat pemerintah baik
pejabat tinggi maupun tingkat bawah ikut dalam kampanye kandidat tertentu. Sofyan
Efendi meyatakan bahwa harus adanya pemisahan yang jelas antara jabatan seorang
birokrat (PNS) dan jabatan menteri yang merupakan jabatan politik (Kumontoro
2005, h.72).
19
1.2 Birokrasi dan Politik
Birokrasi dan politik merupakan suatu yang krusial untuk dipahami karena
secara prinsip keduanya selalu menghadirkan karakter yang berbeda. Birokrasi
bukanlah entitas homogeny, netral dan terisolasi dari dinamika politik terutama pada
pesta demokrasi. Studi tentang perpolitikan birokrasi (bureacratic politic) sebenarnya
multi dimensional, multi paradigama. Kajian tersebut bisa meliputi aras individual
(aktor-aktor) atau kelompok (interest group) aras organisasi. Weber menginginkan
adanya pemisahan antara birokrasi dan politik sebagai penopang dalam mewujudkan
netralitas birokrasi. Realitasnya birokrasi dan politik merupakan dua hal yang berada
dalam satu atap namun karena masing-masing memiliki logika yang berbeda sering
kali memunculkan sebuah dilemma khususnya bagi birokrasi dalam hal ini adalah
birokrat sebagai perangkat didalam birokrasi.Hubungan yang terjadi antara birokrasi
dan politik dalam teori Weber merupakan birokrasi ideal dan rasional yang muncul
atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum.(Thoha 2008, h.32).
Weber dalam tulisannya mengenai relasi antara birokrasi dan politik
menempatkan birokrasi dalam posisi netral, yang berarti birokrasi tidak terlibat dalam
kegiatan politik praktis dan hanya bekerja berdasarkan profesionalitasnya dalam
melayani kepentingan masyarakat. Sisi lain Weber menyatakan bahwa birokrasi akan
tunduk pada pemegang kekuasaan politik, yaitu dari para politisi yang diangkat lewat
pemilu dalam sistem demokrasi. Hal ini diungkapkan Weber dari model birokrasi
Jerman dan Inggris yang memiliki karakteristik bahwa birokrasi seringkali dikepalai
oleh orang bukan dari birokrasi (orang yang dipilih melalui pemilu).(Etzioni-Eva
1983, h.50).
20
Teorisasi tentang kehadiran birokrasi dalam konteks masyarakat modern
begitu dibutuhkan bagi kelangsungan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikatakan
Robert Michel dalam Bambang Purwoko, “the modern state need a large
bureaucracy because through in politically dominant classer secure their
domination”, dalam hal ini birokrasi menjadi alat yang dipakai penguasa untuk
mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya (Purwoko 2006, h.29). Birokrasi pada
realitasnya tidaklah pasif dan diam namun birokrasi juga aktif dalam berpolitik. Oleh
karena itu birokrasi dalam hal ini memiliki kepentingan terhadap kepentingan politik
dengan diperhadapkan dengan situasi yang dilematis. Beberapa hal yang menjadikan
birokrasi sangat kuat dalam politik yaitu: 1) Kepemilikan asset sumber kekuasaan: 2)
Peran Birokrasi yang istimewa ditengah masyarakat; 3) Posisi birokrat yang strategis
dalam hubungan penguasa dan rakyat (Budi Setioyo 2002, h.51).
Berdasarkan realitas yang terjadi antara birokrasi dan politik memiliki logika
yang berbeda menimbulkan dilemma. Menurut Etzioni-Halevy dilemma tersebut
diidentifikasikan sebagai berikut:
a.
Birokrasi sebagai ancaman bagi politik, hal tersebut dikarenakan birokrasi
dengan kemajuan teknologi memonopoli keahlian dan informasi serta
tidak jelasnya aturan yang membatasi kompetensi birokrasi.
b.
Politik sebagai dilema birokrasi, birokrasi bekerja dan diatur oleh para
politisi tapi sekaligus juga dibebankan dari kontrol tersebut (setidaknya
dalam proses pengambilan kebijakan); birokrasi bertugas menerapkan
peraturan yang ditetapkan oleh para politisi, tetapi pada saat yang sama
21
juga bertugas dalam formulasi kebijakan serta pada saat yang sama juga
harus netral secara politik. (Etzioni-Halevy 1983, h.90)
Etzioni-Halevy mengemukakan bahwa dilematika yang dihadapi birokrasi
menjadi sumber hambatan, friksi dan konflik dalam arena politik (the bureaucracy
dilemma and political friction). Selama arena politik dipandang sebagai perebutan
kekuasaan maka aktifitas birokrat sesungguhnya sudah menempati area yang sangat
mudah untuk masuk ke dalam politik. Pernyataan serupa berkaitan dengan yang
dijelaskan oleh Eva-Havely kekuasaan birokrasi menjadi dilemma bagi demokrasi
dan sebaliknya demokrasi sebagai dilemma bagi birokrasi, yaitu:
a.
Birokrasi Sebagai Dilema Bagi Demokrasi
- Birokrasi merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi, sebab birokrasi
dapat bertindak sebagai alat untuk perluasan dominasi negara dan
represi negara; Peningkatan kapasitas birokrasi dan monopoli
informasi dapat menembus domain individu yang akan memberikan
otonomi dan kebebasan lebih luas kepada birokrasi.
- Kekuatan monopoli birokrasi dalam hal keahlian dan informasi dapat
membebaskan mereka dari control politik dan melindungi lingkup
penugasan birokrasi.
b.
Demokrasi sebagai Dilema Bagi Birokrasi
- Birokrasi diharapkan menjadi subjek dari pertanggungjawaban
kementrian, tetapi juga diminta untuk bertanggungjawab pada
22
tingkatan yang mereka ambil; birokrasi diharapkan dapat dikontrol
politisi tetapi juga diminta bebas dari intervensi
- Birokrasi diharapkan menjadi pelaksana kebijakan yang diambil para
politisi, tetapi juga diminta untuk terlibat dalam formulasi kebijakan;
birokrasi diharapkan terlibat dalam formulasi kebijakan tetapi juga
diminta untuk netral secara politik. ( Eva-Halevy 2011, h.140)
Berdasarkan pernyataan mengenai dilemma birokrasi dan demokrasi dapat
dijelaskan juga oleh Eva Etzioni bahwa adanya kontradiksi dan ketidakjelasan yang
ada dalam defenisi peran dari birokrasi dalam negara-negara demokratis tampaknya
menjadi sumber dari perselisihan dan konflik antara birokrat senior dan politisi
senior.Karena peran birokrasi yang tidak didefenisikan secara jelas, maka para
birokrat senior mampu dan bahkan kadang merasa wajib untuk masuk kedalam
wilayah yang tidak memiliki batasan jelas yang terletak di antara wilayah birokrasi
dengan wilayah politik (Etzioni 2001, h.155).
Tulisan Randhall B.Ripley setidaknya dapat digunakan sebagai konsep untuk
melihat kepentingan-kepentingan aktor, khususnya kepentingan birokrat itu sendiri
yaitu:
1. Memaksimalkan/memperbesar wilayah kewenangan instansi/unit kerja (to
maximized the size of their agencies).
2. Mencari peluang jabatan yang lebih tinggi (seeking more opportunity to high
level).
3. Menjalin hubungan saling menguntungkan (mutual benefit relationship with
client group). (Randall 1987, h.270)
23
Kehadiran politik ataupun partai politik dalam tatanan birokrasi pemerintah
sulit dihindari untuk menjadikan birokasi itu netral. Setiap saat partai politik yang
memimpin birokrasi pemerintah berinteraksi dengan pejabat karier birokrasi, interaksi
yang seperti ini membangun sistem birokrasi pemerintah yang rentan terhadap
intervensi politik.
2. Perilaku Birokrat
Pemahaman konsep perilaku birokrasi dapat ditelusuri dari berbagaiperspektif.
Hal ini mengandung makna bahwa untuk memahami konsep perilaku birokrasi, setiap
orang bisa melihatnya dari berbagai sudut pandang dan sangat tergantung pada
latarbelakang, persepsi, motivasi, bahkan kepentingan dalam menterjemahkan istilah
perilakubirokrasi tersebut. Oleh sebab itu, munculnya berbagai pandangan tentang
konsep perilaku birokrasi hendaknya dimaknai sebagai pengayaan dalam mengkaji
konsep perilaku birokrasi. Menurut Thoha, perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya
merupakan
hasil
interaksi
birokrasi
sebagai
kumpulan
individu
dengan
lingkungannya (Thoha 1995, h.138).
Lebih
lanjut
Thoha mengemukakan
bahwa
perilaku
birokrasi terkait
dengandua karakteristik, yakni karakteristik individu dan karakteritik birokrasi.
Manakala kedua karakteristik tersebut berinteraksi dan berjalan secara sinergis, maka
timbulah apa yang disebut dengan “perilaku birokrasi”. Pandangan tersebut
mengisyaratkan adanya dua faktor pentingyang memiliki karakteristik berbeda-beda,
tetapi secara kelembagaan kemudianmembangun perilaku organisasi, yang dalam
perspektif birokrasi pemerintahan dapat diterjemahkan sebagai perilaku birokrasi
24
(Thoha 2002, h.187). Kedua karakter yang dapat menjelaskan perilaku birokrasi
tersebut dibagi menjadi Karakter Individu yaitu terdiri dari kemampuan, kebutuhan,
kepercayaan, pengalaman dan pengharapan; Karakter Birokrasi yaitu terdiri dari
hirarki, wewenang, tugas-tugas, tanggungjawab, sistem reward, sistem control. Kedua
hal ini yang dianggap dapat membentuk sebuah perilaku birokrasi (Thoha 2002, h.
185).
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang
dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan
yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Seperti yang diungkapkan
Santoso dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif
Kultural dan Struktural sebagai menyatakan bahwa sosok birokrasi di Indonesia
masih menampilkan corak patrimonial. Budaya patrimonial adalah merupakan
benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Karakteristik birokrasi di
Indonesia mengantarkan perilaku birokrasi pemerintahan yang sangat dipengaruhi
oleh budaya patrimonialisme dan patron-client, yang menguasai hubungan-hubungan
antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen lain.
Pengertian patron klien menurut birokrasi pemerintahan ialah: “patron”
adalah seorang pimpinan (atasan) dan “client” adalah anak buah (bawahan).
Keduanya berjalan karena ada hubungan yang disebut “Petronage”. Hubungan
patron- klien yang melandasi sistem birokrasi patrimonial bukanlah hubungan patronklien yang tunggal namun hubungan patron-klien yang kompleks, dimana diantara
klien yang berbentuk faksi satu sama lain memperebutkan perhatian atasan
(M.Mas’oed Said 2007, h.70). Patron-klien adalah kesanggupan seorang patron
25
(atasan) untuk menyediakan atau memberikan kursi, jabatan serta pekerjaan bagi
kliennya dengan imbal jasa bawahan harus memberikan loyalitas serta dedikasinya
pada pemberian jabatan/pekerjaan melalui bentuk upeti, amplop, kesenangan dan
lainnya. Dalam konteks kontemporer Syukur dalam bukunya Budaya Birokrasi di
Indonesia, memandang bahwa Birokrasi pada masa Orde Baru menampilkan neopatrimonialisme, yaitu sebuah rezim modern yang berbasiskan kewibawaan
tradisional. Rezim ini pemimpin eksekutif mempertahankan otoritas lewat ideologi
dan hukum ditandai dengan pertukaran loyalitas aparatur birokrasi dengan imbalan
material dari pengusaha, dan fenomena demikianlah sampai saat ini masih merambah
politik formal dan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan menifestasi
dari hubungan patron-client dalam wujudnya yang lebih modern.
Birokrasi di Indonesia sering terjadi beberapa kekurangan atau penyimpangan
yang menyebabkan citra birokrasi dimata masyarakat menjadi kurang baik. Kaitannya
dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak
dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi,
nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan
tangung jawab sosial.Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek
birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan
kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Model birokrasi
kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent sampai sekarang ini,
seperti word view birokrat yang seringkali memanifestasikan warisan budaya
aristokratis, orientasi vertikal (keatas) yang lebih mendominasi referensi birokrat,
loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, kesadaran prestise dan status yang
26
masih kuat, budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan
sentralisasi yang amat kuat, dan sebagainya (Santoso 1997, h.143).
Keterkaitan birokrasi dengan politik memang tidak dapat dihindari.
Kenyataannya birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ”ruang hampa politik” dan
bukan aktor netral. Di samping itu birokrasi pada negara berkembang tidak bisa lepas
dari pengaruh sistem internasional. Hal ini menempatkan birokrasi tidak bisa hanya
sebagai alat penerapan kebijaksanaan publik yang netral. Perilaku seperti itulah yang
kemudian mengantarkan birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring
kepentingan politik praktis. Perilaku birokrat untuk bersikap netral sangat jarang
ditemukan dalam sebuah pemerintahan terutama menjelang pelaksanaan pemilihan
umum maupun pemilukada di setiap daerah.Perilaku birokrat seperti ini dapat
dipandang karena adanya budaya patron klien serta terjadi birokrasi patronase.
Dimana birokrasi patronase lebih berorientasi pada faktor kekuasaan dan kedekatan
dengan para klien (bawahan) yang menjurus pada kekeluargaan.
Prakteknya seringkali lingkungan birokrasi menjadi arena untuk memperkuat
kekuasaan pejabat eksekutif (kepala daerah) yang memimpin dengan menempatkan
orang-orang terdekat pada jabatan strategis dalam birokrasi tanpa memperhatikan
kompetensi yang dimiliki. Berkaitan dengan jabatan dalam lingkungan birokrasi
semakin kental dengan aspek politis, terlebih ketika dihadapkan pada suatu sistem
politik formal dalam memilih pejabat eksekutif (kepala daerah) melalui sistem
pemilihan langsung. Sistem pemilihan langsung birokrasi seringkali dijadikan
kekuatan untuk mendapatkan dukungan, hal ini secara tidak langsung akan
menimbulkan alasan bagi birokrat untuk terlibat dalam politik praktis karena karir
27
birokrat (PNS) sangat ditentukan oleh pejabat diatasnya yaitu kepala daerah. Disisi
lain pegawai pemerintah harus netral dari keterpengaruhan dan kepemihakan partai
politik dan kelompok kepentingan tersebut kecuali kelompok kepentingan birokrasi
pemerintah sendiri (Thoha, 2010, h.175).
Pembahasan mengenai model-model hubungan patron klien bertolak belakang
dari yang diungkapkan oleh Scoot ialah “suatu masalah dari kasus dari hubungan
antara dua individu yang mempunyai keterlibatan dan mengikat kuat dengan
menggunakan alam dan pengaruh dirinya untuk memberikan perlindungan atau
keuntungan dari keduanya bagi seorang dari status yang rendah (klien) karena
baginya membalas budi dengan menawarkan potongan dan dukungan termasuk
pelayanan secara perseorangan atau sang pelindung(Scoot1985,h.123).
3. Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada)
Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali dilaksanakan di
Indonesia dimulai sejak tahun 2005. Pemilihan saat itu berbeda karena dahulunya
pemilihan kepala daerah dipilih oleh legislatif di daerah telah berubah. Pelaksanaan
pemilihan kepala daerah saat ini, rakyat tidak lagi menjadi penonton tetapi sebagai
penentu kemenangan seorang pemimpin daerah. Pemilukada langsung merupakan
proses demokrasi bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bertanggungjawab atas
keberhasilan roda pemerintahan. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum
28
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah secara langsung telah diatur dalam
UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 jo pasal 119 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2005 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 yang
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil.
Elemen terpenting dari demokrasi dalam konteks lokal adalah partisipasi
masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban mayarakat tehadap pemerintahnya.
Pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dilakukan dengan persyaratan
dan tata cara yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini
menjadi penting bagi daerah karena pemilukada merupakan salah satu unsur penting
otonomi daerah dan merupakan terobosan politik yang fundamental bagi
perkembangan politik lokal dan demokratisasi lokal. Namun demikian pemilukada
langsung sangat tergantung pada mekanisme pelaksanaan pemilukada itu sendiri,
salah satunya sikap netral yang ditunjukkan oleh aparatur pemerintah dalam proses
pelaksanaan pemilukada. Pemilukada secara langsung memberikan nuansa perubahan
dalam pemerintahan daerah yaitu sistem pemerintahan daerah (birokrasi) oleh karena
adanya pertumbuhan demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik
(Hidayaturahmi, LAN,h.133).
Kumorotomo mengatakan pemilihan kepala daerah langsung merupakan suatu
mekanisme politik untuk menentukan suatu proses yang lebih dapat mengakomodasi
suara setiap individu(Kumorotomo 2005, h.137-138). Dwiyanto mendefenisikan
29
pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai suatu inovasi yang bermakna dalam
proses konsolidasi demokrasi diaras lokal yang memiliki sejumlah keunggulan
dibandingkan sistem rekruitmen politik secara sentralistik yang mencerminkan suara
rakyat (Agus Dwiyanto 2001, h.3). Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk
menentukan pemimpin daerah yang demokratis sesuai dengan tuntutan dan kehendak
rakyat yang tergantung pada kritisme dan rasionalitas masyarakat sendiri (Prihatmoko
2005, h.2). Selain itu Prihatmoko juga menjelaskan bahwa pilkada secara langsung
dapat dijadikan sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik di daerah karena dapat
mengeleminasi atau mengikis politik uang (money politic). Dengan kata lain pilkada
secara langsung memberikan proses pengembalian hak-hak dasar masyarakat di
daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutment politik
lokal secara demokrasi (Prihatmoko 2005, h.10).
Pelaksanaan pemilukada langsung sejalan dengan semangat otonomi daerah
dan upaya menciptakan pemerintahan demokratis dimana kedaulatan dan kekuasaan
berada di tangan rakyat yang difasilitasi lewat UU No 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah.Pasal 56 ayat 1 menyebutkan Kepala daerah dan Wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung,jujur,bebas,umum,rahasia dan adil.
1. Langsung berarti dalam pemilukada secara langsung, rakyat sebagai
pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan hati nuraninya dan tanpa perantara.
2. Umum, pada dasarnya semua warga negara yang berada di Propinsi,
Kabupaten/Kota yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan sesuai
30
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Asas
ini
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku bagi semua
warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin,kedaerahan dan status sosial.
3. Bebas, berarti dalam pemilukada secara langsung setiap warga negara
yang berada di propinsi,Kabupaten/Kota serta bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan
haknya, warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilik
sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia, dalam memberikan suaranya pemilih dijamin dan pilihannya
tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun.
5. Jujur, dalam pelaksanaan pemilukada setiap penyelenggara pemilukada
secara langsung, aparat pemerintah, calon atau peserta pemilukada,
pengawas pemilukada, pemantau serta pemilih dan semua pihak yang
terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Adil, dalam penyelenggaraan Pemilukada secara langsung setiap pemilih
dan calon atau peserta pemilukada secara langsung mendapat perlakuan
yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Sistem pemilukada langsung dilaksanakan oleh lembaga yang independen,
mandiri dan non-partisan sehingga obyektifitas, transparansi dan keadilan bagi
pemilih dan peserta pemilukada dapat dioptimalkan.Lembaga yang berwewenang
sebagai penyelenggara pilkada langsung adalah DPRD, KPUD dan Pemerintah
31
daerah sesuai dengan UU No 32 tahun 2004. DPRD yang berkedudukan sebagai
pemegang otoritas politik karena merupakan representasi rakyat yang memiliki
mandat penyelenggaraan pilkada langsung. KPUD berfungsi sebagai pemegang
mandat penyelenggaraan pilkada dan merupakan pelaksana teknis dalan setiap
tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran pemilih sampai pada penetapan calon
terpilih. Pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pelaksanaan
pilkada yaitu anggaran, personalia, kebijakan sebagai eksekutif serta tugas teknis lain
yang menunjang pelaksanaan pilkada.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung juga memiliki tujuan. Tujuan dari
dilaksanakannya pemilukada adalah: 1) Mendekatkan negara kepada masyarakat; 2)
Mengembalikan kedaulatan dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat; 3)
Memberikan pelajaran politik kepada rakyat; 4) Secara psikologis meningkatkan rasa
harga diri dan otonomi masing-masing daerah; 5) Memberika legitimasi yang kuat
kepada daerah untuk memerintah; 6) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan
demokrasi di tingkat lokal. Model pemilihan kepala daerah secara langsung
memberikan kesempatan terhadap semua kekuatan politik yang ada untuk terlibat dan
berpartisipasi dalam pilkada langsung, seperti kekuatan politik formal dan kekuatan
politik non formal. Kekuatan politik formal: pejabat politik eksekutif,ABRI,birokrasi
pemerintah,partai politik,pers. Kekuatan non formal: NGO, Ormas, kelompok Ulama,
kelompok intelektual, kelompok bisnis dan organisasi masyarakat lokal. (Riswanda
Imawan, diklat Depdagri RI 1997 h. 102).
Netralitas birokrasi sangat dibutuhkan dalam pemilihan kepala daerah.
Netralitas birokrasi dalam pemilukada merupakan sikap tidak memihak atau
32
diskriminatif dalam memilih calon kepala daerah tertentu dan ditunjukkan dengan
keberpihakannya kepada calon kepala daerah yang dinilai masyarakat sebagai pilihan
yang terbaik. Hak pilih birokrasi terhadap calon kepala daerah tertentu tidak
didasarkan atas kepentingan pribadi atau pihak calon kepala daerah yang
dipilih.Netralitas birokrasi dalam konsep demokrasi tidak hanya dilihat atau dicapai
dengan peran serta masyarakat untuk mengontrol birokrasi, tetapi juga dicapai dengan
sistem pemilukada (election) yang dilakukan rakyat terhadap pejabat-pejabat
pemerintah.
Pemilukada yang dilakukan oleh rakyat merupakan inti dari pelaksanaan
demokrasi dalam suatu negara. Nyoman Yasa menyatakan bahwa netralitas birokrasi
merupakan hal yang sangat penting karena paradigm pembangunan saat ini menuntut
adanya sistem yang tidak hanya bekerja efisien, efektifitas juga pertisipatif.Hal ini
juga dapat membantu terpilihnya seorang kepala daerah yang mampu membawa
perubahan kea rah yang lebih baik (Nyoman Yasa 2005, h.9).
Menurut Soebhan netralitas politik birokrasi dapat dilihat dari:
a. Tidak menggunakan program dan anggaran pembangunan APBD/APBN
atau sumber milik negara yang lain untuk kepentingan salah satu kandidat
calon kepala daerah.
b. Tidak menggunakan waktu kerja/jam dinas, fasilitas kantor dan anggaran
kantor untuk kepentingan kandidat calon kepala daerah tertentu.
c. Tidak memasang satu atau lebih atribut kandidat calon kepala daerah pada
kantor, gedung, dan kendaraan milik negara.
33
d. Tidak memberikan pernyataan secara terbuka kepada umum tentang
kandidat calon kepala daerah berupa dukungan atau kritik diluar
bidangnya.
e. Tidak memberikan keistimewaan atau melakukan diskriminasi terhadap
kandidat kepala daerah tertentu dalam pemberian izin, pelayanan
administrative, pemberian informasi kepada kandidat calon kepala daerah
tertentu. (Soebhan 2000, h.34)
Kemungkinan ada dua alasan bagi birokrat yang masih terlibat dalam aktivitas
pemilukada
pasca
diundangkannya
Undang-Undang
mengenai
pokok-pokok
kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil. Undang-Undang dan Peraturan pemerintah tersebut mengamatkan agar
birokrat senantiasa netral, professional dan berdiri diatas semua golongan sehingga
fungsi dan peran birokrat sebagai pelayan masyarakat dapat dilaksanakan secara
optimal. Dua kemungkinan tersebut adalah pertama; disebabkan adanya situasi
birokrat tidak bisa menghindar dari pressure (tekanan) politik yang begitu kuat oleh
kelompok kepentingan politik tertentu. Birokrat terpaksa melakukan keberpihakan
karena tidak ada pilihan kecuali mengikuti mainstream politik yang menghegemoni
pada saat itu. Kedua; disebabkan karena personality birokrat itu sendiri yang sengaja
melibatkan diri pada aktivitas politik praktis. Tujuannya agar memperoleh patronase
dalam politik dan nantinya bisa membantu memperlancar jenjang karier birokrasinya
(Sjahrazad M, 2005, h.156).
34
Berbagai alasasan yang diungkapkan diatas dapat dikaitkan dengan keinginan
birokrat untuk terlibat dalam proses pemilukada, adanya berbagai motif yang ingin
dicapai. Motif keterlibatan birokrasi dalam tim sukses pilkada demi meraih jabatan
menjadikannya sebagai aktor. Birokrasi secara sadar menjadi bagian dari koalisi
pemenangan kandidat, birokrat rela bila program dan kegiatannya didompleng
kepentingan politik yang berpotensi mengakumulasi dukungan publik terhadap
kandidat kepala daerah. Kenyataannya, birokrasi sekaligus merupakan korban
ketidaknetralan dalam pilkada, birokrasi dipaksa untuk tidak netral karena dipaksa
ikut oleh atasannya untuk mendukung salah satu kandidat. Tidak hanya birokrat yang
tidak netral yang menjadi korban dalam pemilukada, korban lainnya adalah birokrat
netral. Karena konsistensinya, jabatan mereka pada dinas, badan, dan kantor daerah
tergusur, kemudian digantikan oleh birokrat yang masuk dalam koalisi pemenangan
kandidat terpilih.
Birokrasi yang professional dan netral diharapkan memberikan pengaruh
positif bagi terwujudnya pilkada yang demokratis. Pemilihan kepala Daerah menjadi
sangat penting bagi daerah karena dua hal, Pertama; pemilukada merupakan salah
satu unsur penting otonomi daerah dan merupakan terobosan politik yang
fundamental bagi perkembangan politik lokal dan demokratisasi lokal. Kedua;
birokrasi yang selama ini hanya mengalami pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung pada tahun 2004, tetapi sejak berlakunya otonomi daerah dimana
kepala daerah juga dipilih secara langsung menjadi pengalaman yang penting karena
berlangsung pada level yang berbeda (Masdar, 2005, h.47). Netralitas Birokrasi
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bertujuan untuk menjamin
35
efektivitasnya pemerintahan berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Hal ini sehubungan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
wujud penerapan demokrasi sehingga netralitas birokrasi merupakan hal yang mutlak
dipertahankan agar dapat terhindar dari masalah yang tidak diinginkan segenap
komponen bangsa.
LIPI pernah merilis hasil studi tentang netralitas birokrasi dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) langsung 2005. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga daerah
pada saat pelaksanaan pemilukada, yaitu daerah Gowo, Malang dan Kutai
Kartanegara. Penelitian itu menyebutkan sejumlah faktor yang mendorong birokrasi
berpolitik dalam pilkada. Di antaranya, kepentingan pegawai negeri sipil (PNS) untuk
memobilisasi karirnya secara cepat, kuatnya hubungan patron-client, dan adanya
peran birokrasi bayangan (shadow bureaucracy). Keinginan untuk memperoleh
jabatan membuat PNS mau berspekulasi menjadi bagian dari tim sukses. Dengan
harapan, seandainya kandidat yang didukung menang, para birokrat tersebut
mendapatkan keuntungan perolehan jabatan. Demi balas budi, biasanya kenaikan
pangkat tersebut bisa menabrak aturan kepangkatan.Birokrasi bayangan terdiri atas
pengusaha, kontraktor, ormas, dan LSM yang menjadi kelompok pemenangan
kandidat. Menurut peneliti LIPI, dalam praktiknya, kelompok bayangan bertindak
sebagai penyandang dana dan pendukung kampanye. Sebagai imbalan, mereka
memperoleh ''perlindungan politik'', pasokan dana, serta lisensi atau tender proyek
pascapilkada.Dua faktor ini kemudian mendorong terciptanya hubungan patronclient. Sebagai patron, kandidat terpilih memberikan kemudahan akses terhadap
sumber daya finansial dan nonfinansial. Giliran client yang sebelumnya menjadi
36
pendukung berubah menjadi penerima manfaat dari pilihan-pilihan kebijakan
kandidat terpilih selama menjabat.(LIPI 2005).
Ada dua bentuk keterlibatan birokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, pilres
dan pilkada. Bentuk keterlibatan yang pertama bersifat langsung, yakni dalam proses
electoral governance yaitu ada birokrasi penyelenggaran pemilu yang harus
dikembangkan agar pemilihan berkualitas terselenggara dan menghasilkan pemimpin
yang berkualitas unutk memimpin jalannya birokrasi itu sendiri. Bentuk keterlibatan
yang kedua yaitu bersifat tidak langsung, yakni bentuk keterlibatan yang memiliki
dampak yang besar bagi peningkatan kualitas demokrasi.(Purwo Santoso h.8).
Rangkaian pilkada 2005 sejumlah studi mengidentifikasi fakta-fakta
keterlibatan politik birokrasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Salah satunya studi
Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan kerja di empat daerah (Jakarta,
Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta), ICW menemukan 54 indikasi pelanggaran
ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009.Pelibatan birokrasi terjadi
dalam bentuk mobilisasi pengawai negeri sipil (PNS). Modus inilah yang paling
sering ditemukan menjelang pelaksanaan pemilukada di setiap daerah. Modus lain
berupa penggunaan kendaraan dinas, pelibatan pejabat daerah, penggunaan rumah
ibadah, penggunaan rumah dinas, dan penggunaan program populer pemerintah
(raskin).Lebih dramatis lagi merujuk pada temuan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) hingga awal Mei, lembaga pengawas tersebut menemukan 1.599
pelanggaran pilkada 2010. Semua dihimpun berdasar temuan pada 16 pilkada yang
telah dilangsungkan. Di antara sekian banyak kasus tersebut, ditemukan keterlibatan
birokrasi yakni, berupa penyalahgunaan fasilitas negara dan mobilisasi PNS. Berarti,
37
masih akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaknetralan birokrasi pada 228 pilkada
lainnya sepanjang 2010.
Keterlibatkan PNS dalam pilkada langsung sangat mungkin terjadi jika kita
hubungkan dengan kondisi daerah pemilihan. Untuk daerah pemilihan tertentu,
misalnya perkotaan, keterlibatan PNS dapat dibatasi, tetapi untuk daerah pinggiran
yang manusianya terbatas, PNS dapat membantu menjadi panitia penyelenggara
Pilkada. Ketentuan ini sangat penting agar tidakterjadi keraguan baik untuk PNS
maupun untuk lembaga lain, seperti Panwas yang selalu mencatat setiap pelanggaran.
Sebenarnya, yang harus mendapat titik tekan pelarangan PNS terlibat dalam
penyelenggaraan Pilkada langsung adalah dalam konteks sebagai peserta, baik
sebagai calon kepala daerah maupun tim kampanye pendukung kepala daerah.Oleh
karena itu jika birokrat terlibat dalam panitia penyelenggara pemilu itu sah-sah
saja.(Leo Agustino 2009, h.174).
4. Teori Motif
Sebelum memahami motif dari birokrat untuk terlibat dalam berpolitik dalam
hal ini pemilukada, ada pendapat para pakar psikologi sosial dalam menjelaskan arti
dari motif. Menurut Atkinson (1958) motif sebagai sesuatu disposisi laten yang
berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa
prestasi, afikasi ataupun kekuasaan. Sedangkan Walgito, Bimo (2005) mengartikan
motif sebagai kekuatan yang terdapat di dalam diri yang mendorong untuk berbuat
atau merupakan driving force. Dari pengertian tersebut motif berarti suatu dorongan
yang ada didalam diri seseorang untuk berusaha mendapatkan tujuan tertentu sesuai
38
dengan apa yang diharapkan. Motif bukanlah sesuatu yang kelihatan, tetapi
tersembunyi. Motif dapat diketahui, di antaranya dari pengakuan seseorang terhadap
alasannya melakukan suatu tindakan. Dalam dunia politik, mendapatkan kekuasaan
adalah tujuan bagi para aktor politik. Kekuasaan bukan keperkasaan dan gagahgagahan, tapi wadah dan amanah untuk memperbaiki kondisi masyarakat.
Motif politik seseorang untuk berpolitik menurut Beck dan Sorauf(1994:115126) terdiri dari tiga motif diantara pertama,motif insentif material ini terdiri dari
tiga bagian yakni:
a.
Seseorang berpartisipasi berpolitik (dalam hal ini birokrat) yaitu untuk
mencari perlindungan (patronage). Perlindungan yang dimaksud disini
lebih mengejar kepentingan individu untuk mendapatkan imbalan uang
atau berlindung di pemerintahan. Hal ini mencakup antara lain
keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
Keterlibatan untuk mendapatkan posisi tertentu loyalitas sangat
dibutuhkan sehingga tetap mendapatkan perlindungan.
b.
Untuk menjadi pejabat yang dipilih (elected office). Jalan pintas yang
terbaik adalah mendekatkan diri dengan sang penguasa pemerintah
maupun partai jika ingin melanggengkan kekuasaan.Kekuasaan dan
jabatan adalah sesuatu yang didamba-dambakan setiap orang, karena
dengan jabatan dan kekuasaan itulah orang akan mendapatkan suatu
kebanggaan dan keuntungan. Karena jabatan di sini harus memiliki
struktur maka sebuah jabatan adalah sebuah kekuasaan dengan embelembel kesenangan maka pejabat tak mau kehilangan itu semua. Jabatan
39
harus dipertahankan, bagaimana pun caranya karena jabatan adalah
sebuah pencapaian sebuah karir, harus diraih karena menentukan hidup
kita, kini dan kelak dikatakan ada di mana seorang agen bisa
mengharapkan beberapa bentuk imbalan material terutama uang sebagai
imbalan untuk bertindak dengan cara tertentu.
c.
Untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (Preferment). Menjadi
pejabat publik memiliki status sosial yang sangat tinggi. Mereka
dihormati dan dihargai sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan
derajat seseorang. Kenikmatan peran sebagai mendapat status sosial yang
tinggi inilah yang membuat status sebagai pejabat publik menjadi impian
Kedua, Insentif Solidaritas ( Solidarity/Sosial Incentives) yaitu motif untuk
mencari kehidupan sosial baru dari selama ini mereka miliki. Mendapatkan status
sosial yang tinggi inilah yang membuat status sebagai pejabat publik menjadi impian
selain itu mendapatkan jaringan yang baru. Untuk mengidentifikasi isentif solidaritas
hal tersebut menimbulkan kesulitan
disebabkan bersifat non materi hanya bisa
dirasakan. Keterlibatan dalam organisasi lebih penting dibandingkan dengan isentif
material. Asumsi yang muncul selalu mengandalkan hubungan persahabatan yang
terjalin untuk mendapatkan posisi dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Insentif
solidaritas atau sosial lebih akankebutuhan penghargaandalam hal ini semua orang
dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap
dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan
rasa hormat diri atau harga diri. Mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan
40
diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan
kebebasan (kemerdekaan). Menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise,
pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau
nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri, dengan
demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang
akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta
perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini
adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat
perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau
sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
Ketiga, insentif idealisme (Purposive/Issued Based Insentives) yaitu
keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang bersifat ideal.Memperjuangkan
kepentingan rakyat lebih utama ketimbang kepentingan pribadi. Sebagai aktivis partai
harus memiliki kemampuan manajemen strategis meliputi, salah satunya kemampuan
menerjemahkan ideologi menjadi visi, misi, platform parpol ke dalam programprogram kerja yang kemudian dapat menarik minat calon pemilih mereka lantaran
dianggap mewakili dan identik dengan kepentingan mereka. Jika seorang aktivis
memiliki motif idealisme maka arah parlemen bergerak secara progresif. Parlemen
terasa semakin berarti untuk rakyat yang notabene sebagai wakil rakyat seyogianya
memperjuangkan kepentingan rakyat.Komitmen aktivis untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat merupakan tanggung jawab dan kewajiban sebagai warga negara.
Tetapi sangat disesalkan bahwa komitmen aktivis hadir sebagai abdi masyarakat
sangat sulit didapatkan.
41
Keempat, Insentif campuran (Mix Incentives)yaitu pembauran beberapa
insentif yang telah disebutkan sebelumnya menjadi saling bertautan. Motif untuk
terlibat dalam kegiatan politik tidak bersifat tunggal.Terkadang isentif material,
isentif solidarity dan isentif purposive dicampur adukkan. Masyarakat kultur
politiknya masih bersifat tradisonal keterlibatan aktivis lebih disebabkan untuk
mencari materi atau penghargaan. Sedangkan masyarakat kultur politiknya yang
sudah maju lebih berorientasi isentif purvosive.
Keterlibatan birokrasi dalam pemilukada disebabkan adanya motivasi dari
dalam untuk melanggengkan kekuasaan serta adanya vested interest berupa
kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir atau jabatan (Agustino 2009
,h.182). Kuatnya desakan dari luar yakni dari partai yang senantiasa menaruh harapan
yang besar supaya birokrasi bisa dirangkul dan dijadikan sebagai mesin politik dalam
peristiwa pesta demokrasi. Ketertarikan birokrat untuk terlibat secara aktif dalam
Pilkada langsung di motivasi oleh sebuah pemahaman bahwa seorang birokrat akan
mendapatkan imbalan baik jabatan ataupun kedudukan. Selain itu incumbent sebagai
calon kepala daerah tersebut bisa memobilisasi birokrat lainnya yang berada dibawah
kepemimpinannya beserta anggota keluarganya dalam usaha mendapatkan dukungan
suara dalam Pilkada tersebut.
Permasalahan yang sering terjadi pada pelaksanaan pemilukada langsung di
berbagai daerah, hampir seluruh birokrasi berperilaku terlibat dalam pemilukada
terutama yang memiliki posisi strategis. Motif idealisme yang menjadi motif seorang
birokrat masuk kedalam politik tidak ditemukan dalam pelaksanaan pemilukada.
Adanya motif material yaitu ekonomi serta non material yaitu status sosial dan
42
adanya balas jasa itulah yang membangkitkan hasrat birokrat untuk terlibat dalam
pelaksanaan pemilukada langsung dengan berperilaku tidak netral.
E. Kerangka Berpikir
Kerangka pikir adalah dasar pemikiran dari penelitian yang disitesiskan dari
fakta-fakta, observasi dan telaah kepustakaan. Kerangka piker memuat teori, dalil
atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian. Uraian dalam
kerangka
pikiri
menjelaskan
hubungan
dan
keterkaitan
antara
variable
penelitian.Variable penelitian dijelaskan secara mendalam dan relevan dengan
permasalahan yang diteliti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menjawab
permasalahan penelitian (Ridwan 2004, h.25).
MOTIF:
BIROKRAT
TERLIBAT
DALAM
PEMILUKADA
- Mencari perlindungan
- Material(Jabatan /
kekuasaan)
- Kehidupan Sosial
- Balas jasa
F. Defenisi Konsep
Untuk dapat lebih memberikan arahan pada fokus penelitian, perlu dilakukan
generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Oleh karena itu
untuk lebih mudah dipahami maka penulis membuat pembatasan dan penegasan
defenisi konsep sebagai berikut:
1. Pemilukada merupakan suatu mekanisme politik untuk memilih pemimpin
daerah dimana proses pemilukada dilakukan secara langsung sehingga
menjadikan suatu proses yang lebih mengakomodasikan suara setiap individu.
43
2. Birokrat merupakan keseluruhan aparat pemerintah yang beraktifitas
menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada warga negara dalam
penyediaan layanan publik sesuai dengan tugas dan fungsi serta levelnya
masing-masing.
3. Netralitas birokrasi merupakan suatu sikap ataupun perilaku yang
menyadatakan tidak adanya keberpihakan atau pengaruh dari semua golongan
dari partai politik terhadap birokrasi.
4. Motif adalah dorongan atau keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu
dalam rangka mendapatkan keuntungan material dan non material.
G. Defenisi Operasional
Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka defenisi konsep
yang
ada
dioperasionalkan
ke
dalam
indikator-indikator
agar
mampu
menggambarkan dan mejelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya.
Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung berkaitan dengan pelaksanaan
Pemilukada Kota Pekanbaru Tahun 2011, dalam hal ini dapat dilihat dari:
-
Proses pelaksanaan pemilukada di Kota Pekanbaru Tahun 2011
-
Keterlibatan birokrasi sebagai kekuatan politik pada pemilukada di Kota
Pekanbaru
-
Motif Birokrat terlibat dalam pemilukada Kota Pekanbaru
44
2. Birokrat adalah aparat kecamatan yaitu camat yang ada di setiap kecamatan
yang ada di Kota Pekbanbaru dan beberapa SKPD di pemerintahan Kota
Pekanbaru
3. Bentuk dan Tahap keterlibatan birokrat dalam pemilihan langsung kepala
daerah (Pemilukada) di Kota pekanbaru.
4. Motif Keterlibatan Birokrat untuk menjelaskan faktor yang membuat birokrat
terlibat dalam politik, yaitu:
-
Mencari perlindungan atau rasa aman
-
Motif Material/ekonomi atau mendapatkan jabatan (melanggengkan
kekuasaan)
-
Mencari kehidupan sosial baru (jaringan baru)
-
Balas Jasa
H. Metode Penelitian
1.
Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui motif birokrat terlibat aktif dalam
pemilukada, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pengertian kualitatif
dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai katakata lisan maupun tertulis serta tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang atau
objek yang diteliti. Penelitian kualitatif memberikan hasil laporan dengan deskripsi
secara lengkap, detail-detail yang jelas, serta bersifat netral dari statistik. Penelitian
tersebut memberikan kepada para pembacanya rasa keterlibatan dalam setting
penelitian (Neuman,W.&Lawrence,1997).
45
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan penelitian
eksploratif.Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, teliti dan
mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu (Suharmisi 2002,
h.120). Kasus dalam penelitian ini adalah motif birokrat di Kota Pekanbaru terlibat
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Oleh karena itu peneliti berusaha
mengembangkan konsep dan menghimpun data dilapangan dan menggali pendapat
dari pihak yang dianggap bekompeten dengan masalah yang diteliti.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Pemilihan lokasi
ini dikarenakan adanya relevansi dengan permasalahan yang ingin dilteliti. Selain itu
karena adanya keterlibatan birokrat sehingga dilakukan pemungutan suara ulang di
seluruh TPS. Pemilukada yang dimenangkan oleh calon terpilih melibatkan birokrat
yang seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, selain itu
lawanpasangan calon juga melakukan pelibatan birokrat dalam pemenangan
pemilukada Kota Pekanbaru 2011.
3. Jenis dan Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara langsung dari subyek atau
informan yang dipilih. Informan terdiri dari kalangan birokrat mulai dari jabatan
teratas hingga staff. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
arsip-arsip atau dokumentasi yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data ini
dapat diperoleh melalui penyelenggara pemilukada pemerintah daerah serta laporan
dari media massa yang terkait dengan issue penelitian.
46
4.
Teknik pengumpulan data
a. Observasi
Observasi merupakan suatu pengamatan yang sistematis yang bersifat fisik
maupun non fisik dengan menggunakan indera atau nalar, terutama dalam mengalami
dan menafsirkan gejala-gejala yang akan berhubungan dengan objek penelitian.
b. Wawancara mendalam (indepth interview)
Wawancara langsung dilakukan secara mendalam (in depth interview) dengan
bertatap muka langsung antara penulis dengan sumber informasi.Wawancara
dilakukan dengan kerangka pertanyaan tetapi penyajiannya tidak terikat oleh
kerangka yang telah disiapkan.Artinya peneliti dapat memperdalam suatu informasi
spesifik yang muncul dari informan tetapi tidak ada muncul dalam pedoman
wawancara. Wawancara mendalam terhadap informan dilakukan untuk menjawab
fokus permasalahan yang diteliti yaitu, menjelaskan motif dari keterlibatan birokrat
dalam pemilukada di kota pekanbaru.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan
topik penelitiaan seperti: birokrat jajaran Camat se-Kota Pekanbaru, Lurah, Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah kota Pekanbaru (Panwaslu), Komisioner
KPU Kota Pekanbaru, anggota KPU Kota Pekanbaru, mantan tim sukses dari masingmasing kandidat calon kepala daerah, beberapa masyarakat Kota Pekanbaru serta
wartawan media Tribun Pekanbaru.
c. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini terkait dengan data-data sekunder berupa
dokumen, koran, literatur-literatur yang relevan dan arsip-arsip lain yang terkait
47
dengan motif keterlibatan birokrat. Dokumen yang terkait dengan topik penelitian
seperti: hasil perolehan suara pada pemilukada pertama hingga pemungutan suara
ulang, arsip-arsip (Koran,hasil putusan MK).
5.
Analisis data
Analisis data dalam penelitian ini adalah suatu proses penyederhanaan data,
sehingga data menjadi lebih mudah dibaca dan diiterpretasikan. Dengan demikian
data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis, yaitu proses
mengubah data menjadi sesuatu yang lebih bermakna atau berarti. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menelaah seuruh data.
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif:
a.
Data yang diperoleh dilapangan dirangkap dan memilih hal yang penting
serta mencari tema dan polanya. Hasil wawancara terhadap informan
disaring sesuai kebutuhan dan dilakukan analisis untuk menjelaskan
kecenderungan yang diperoleh dari hasil analisis kualitatif.
b.
Data yang direduksi disajikan dalam bentuk naratif, hubungan antar
kategori dan sejenisnya kemudian disusun dalam pola hubungan sehingga
mudah dipahami.
c.
Setelah menganalisis kemudian menarik kesimpulan yang merupakan
jawaban dari rumusan maslah yang dikemukakan.
48
6.
Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam lima bab, yaitu:
BAB I Pendahuluan, bab ini mendeskripsikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, kerangka teori, kerangka pikir dan metode penelitian serta
sistematika penulisan yang akan digunakan dalam menganalisis permasalahan.
BAB II, bab ini akan menguraikan tentang pemilihan kepala daerah secara umum
dan Pemilihan kepala daerah yang terjadi kota pekanbaru pada tahun 2011.
BAB III, akan mendeskripsikan birokrasi dalam pemilukada serta keterlibatan
birokrat dalam politik.
BAB IV akan menguraikan motif dari birokrat untuk secara langsung dan aktif
terlibat dalam pemenangan calon kepala daerah Kota Pekanbaru.
BAB V akan berisi kesimpulan dari motif birokrat terlibat aktif dalam pilkada
serta implikasi teoritik untuk dijadikan acuan serta menjadi landasan penting bagi
penulisan yang lebih konstruktif kedepannya.
49
Download