KONSEP CIVIL SOCIETY NURCHOLISH MADJID DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI MASYARAKAT INDONESIA KONTEMPORER Nur Fazillah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan [email protected] Abstract Civil society is the political ideals of Islam, that is to create a civilized society and independent. This study as a purpose to determine the relevance of the concept civil society Nurcholish Madjid and condition of Indonesian society contemporary. The result of this research indicates that concept of civil society Nurcholish is a virtuous society or public morality (civilized society). There are three formulas civil society of Nurcholish, that is: democracy, civil society (civil society), and civility (civility). Civil society of Nurcholish has characteristics: egalitarianism, openness, rule of law and justice, tolerance and diversity, as well as the deliberations. Rationale Nurcholish on civil society, that is: the Koran and the Hadith, the classical Islamic history (time of the Prophet), the principle of democracy, and the figures that influence it. By paying attention to the potential of the Indonesian people, especially the noble values derived from religious teachings, and given the Indonesian society is a religious, then according to Nurcholish Indonesian people have all the equipment and the potential to enforce the civil society (civil society). Idea of Nurcholish to realize civil society in Indonesia is very relevant to Indonesia today, because civil society is the concept of democracy, pluralism, freedom, tolerance, the principle of consultation, egalitarian, and openness, as well as applying the principle of fairness. Ideals of Nurcholish for Indonesia is a democratic process, because democracy is the home for civil society. Nurcholish aspires open democratic process monitoring and balancing dynamics (check and balance) community. Keywords: Nurcholish Madjid, civil society, democracy, egalitarian, and tolerance. Abstrak Masyarakat madani (civil society) merupakan cita-cita dari politik Islam, yaitu untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban dan mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui relevansi konsep Nurcholish Madjid tentang civil society dengan kondisi masyarakat Indonesia kontemporer. Konsep civil society menurut Nurcholish yaitu masyarakat yang berbudi luhur atau masyarakat berakhlak mulia (masyarakat berperadaban). Ada tiga rumusan masyarakat madani menurut Nurcholish, yaitu: demokrasi, masyarakat madani (civil society), dan civility (keadaban). Masyarakat madani menurut Nurcholish mempunyai ciri-ciri: egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan kemajemukan, serta musyawarah. Landasan pemikiran Nurcholish tentang civil society yaitu: Alquran dan Hadis, sejarah Islam klasik (masa Nabi Saw), prinsip demokrasi, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya. 207 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Dengan memperhatikan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, terutama nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, dan mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, maka menurut Nurcholish bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan dan potensi untuk menegakkan masyarakat madani (civil society). Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani di Indonesia dianggap sangat relevan untuk Indonesia sekarang, karena masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme, kebebasan manusia, toleransi, prinsip musyawarah, egaliter, dan keterbukaan, serta menerapkan prinsip keadilan. Cita-cita Nurcholish bagi Indonesia adalah proses demokrasi, karena demokrasi merupakan rumah bagi masyarakat madani. Nurcholish mencita-citakan proses demokrasi yang membuka dinamika pengawasan dan penyeimbangan (chek and balance) masyarakat. Kata Kunci: Nurcholish Madjid, civil society, demokrasi, egalitarianisme, dan toleransi. Pendahuluan Islam mencita-citakan terciptanya masyarakat ideal, yaitu masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr (negerimu adalah negeri yang baik, dan Tuhanmu adalah Tuhan maha pengampun).1 Untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan itu, maka harus disusun rangkaian pola yang bertendensi dan berdimensi umat yang satu dan umat yang bertakwa. Masyarakat yang dicitakan oleh Islam sebagai masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr ialah karena masyarakat tersebut dibangun dan dibina oleh dan dalam struktur yang berpolakan hukum-hukum Allah Swt. dengan Alquran dan Sunnah sebagai sumbernya. Masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr bercirikan antara lain: umat yang satu, tegaknya musyawarah dalam berbagai urusan, tegaknya keadilan, tumbuhnya persatuan dan kejama’ahan, adanya kepemimpinan yang berwibawa dan taat kepada Allah Swt. dan tidak saling menghina antara sesama.2 (lihat Q.S. Al-Baqarah: 213) Namun pada kenyataannya, yang terjadi dalam masyarakat modern di Indonesia adalah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicita-citakan Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan, egaliter, musyawarah, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang sering didapati di Indonesia sekarang, yaitu: adanya ketidak harmonisan antar sesama masyarakat, antara satu golongan atau aliran saling menjelek-jelekkan, saling bermusuhan, pelecehan terhadap agama, dan bahkan sering dijumpai sikap arogansi dari penguasa terhadap masyarakat, dan juga sebaliknya. Seharusnya, Indonesia dapat menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat paling ideal di Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 208 dunia, karena Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, jadi sudah sepantasnya Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai, prinsipprinsip, maupun ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ketiadaan tatanan sosial politik yang mapan di Indonesia dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, demokrasi, serta menghilangkan keadilan dan kemerdekaan, tidak ada lagi yang namanya persamaan hak asasi manusia, dan juga keselamatan jiwa manusia tidak terjamin di Indonesia. Ketiadaan yang seperti demikian telah menjadi pengalaman perjalanan sejarah bangsa selama lebih dari setengah abad di Indonesia. Karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan secara mendasar perlu dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan dapat menjamin akan tegaknya demokrasi, adanya keadilan, HAM ditegakkan, dan juga adanya sikap toleransi dikalangan masyarakat Indonesia.3 Jaminan seperti ini hanya dapat dilihat dalam konsep masyarakat madani yang mempunyai ciri-ciri: kemandirian, toleransi, keswadayaan, saling tolong menolong, dan menjunjung tinggi norma dan etika. Masyarakat madani (civil society) merupakan cita-cita politik Islam, untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban dan mandiri. Konsep civil society diartikan sama dengan konsep masyarakat madani, dimana sistem sosial yang ada dalam masyarakat madani diambil dari sejarah Nabi Muhammad Saw., sebagai pemimpin ketika itu yang membangun peradaban tinggi dengan mendirikan Negara-Kota Madinah dan meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan menggariskan ketentuan untuk hidup bersama dalam suatu dokumen yang di kenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madînah).4 Istilah masyarakat madani di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim, tokoh terkemuka kedua di Malaysia setelah Mahathir Muhammad saat berceramah dalam acara Festival Istiqlal pada tahun 1995. Namun, menurut M. Dawan Rahardjo, istilah masyarakat madani pertama diperkenalkan oleh M. Amien Rais, meskipun yang punya peran besar mensosialisasikannya adalah Aswab Mahasin melalui pengantarnya terhadap buku Masyarakat Madani karya Ernest Gellner (1999). Tidak hanya tokoh-tokoh yang telah disebutkan itu, Nurcholish Madjid (kemudian disebut Nurcholish) yang merupakan tokoh intelektual Muslim Indonesia juga ikut andil dalam mengembangkan konsep civil society di Indonesia.5 209 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Menurut Nurcholish, masyarakat madani sebenarnya adalah merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun oleh Nabi Saw di negeri Madinah. Masyarakat madani tersebut bertujuan untuk mendirikan dan membangun masyarakat yang berperadaban berlandaskan ajaran Islam dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah Swt. Dasar-dasar masyarakat madani ini tertuang dalam Piagam Madinah.6 Nurcholish menyatakan bahwa masyarakat madani diperlukan dalam membangun tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, karena masyarakat madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, civility (berkeadaban), keadilan, egaliter, dan juga prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, komponen rakyat yang disebut masyarakat madani harus memperoleh peran yang utama. Ini didasari pada kenyataan bahwa dalam sistem yang demokratis, kekuasaan tidak hanya ditangan penguasa melainkan ditangan rakyat.7 Masyarakat yang seperti inilah kiranya yang diwacanakan oleh Nurcholish dan tentunya yang diinginkan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang bersatu dan diikat oleh rasa persatuan nasional, tujuannya adalah untuk membangun negara yang majemuk, tidak membeda-bedakan ras, suku, agama, golongan, etnis, dan bahkan kepentingan. Jadi, konsep yang sangat sesuai dan cocok untuk Indonesia adalah masyarakat madani (civil society). Biografi Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 19398 dan meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 (usia 66 tahun). Ayah Nurcholish bernama KH. Abdul Madjid bin Ali Syukur, yang dikenal sebagai pendukung Masyumi, sedangkan ibunya bernama Fatonah adalah putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri, Nurcholish mempunyai tiga orang adik.9 Nurcholish memulai pendidikannya ketika ia memasuki Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah, kemudian Nurcholish melanjutkan ke pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso di Jombang.10 Kemudian Nurcholish melanjutkan ke KMI (Kuliyyatul Mu’allimin) Pondok Modern Gontor. Pondok Modern Gontor ini merupakan pondok yang sangat modern pada waktu itu. Setelah menamatkan sekolah di Gontor, Nurcholish melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah11 pada Fakultas Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 210 Sastra dan Kebudayaan (1968). Nurcholish meraih gelar doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1984) dengan disertasi Ibn Taimiyya On Kalam And Falasifa di bawah bimbingan Fazlur Rahman.12 Pengembangan intelektualnya telah membuat Nurcholish dipercaya duduk sebagai aktivis pada organisasi ekstra mahasiswa yaitu sebagai Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sampai dua periode pada tahun 1966-1969 dan tahun 1969-1972. Nurcholish juga pernah menjabat sebagai Presiden Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara, dan pernah menjadi Asisten Sekretaris Jendral International Islamic Federation of Students Organization (IFFSO). Disebabkan oleh pengalamannya itulah ide-ide segar Nurcholish muncul, Nurcholish tidak segan-segan mengemukakan gagasannya baik dalam forum resmi intern mahasiswa maupun dalam pertemuan umum.13 Nurcholish dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan pemikiran Islam Indonesia pada dekade tahun 1970-an, bahkan beliaulah yang dinyatakan sebagai pencetus pembaharuan pemikiran Islam. Itu dikarenakan pada pidatonya tanggal 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi HMI, PII (Pelajar Islam Indonesia), GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), dan PERSAMI (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), pada waktu itu Cak Nur membawakan makalah yang berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, itulah momentum yang dianggap sebagai pembaharuan pemikiran Islam Indonesia.14 Pujian dan gelar terhadap Nurcholish tidak sedikit diberikan kepadanya. K.H. Hamam Ja’far menyebut Nurcholish sebagai perpustakaan berjalan. Media massa Barat menyebutnya sebagai Voice of Reason (suara kebenaran) atau Heart of His Nation (nurani bangsa). Pada tahun 1970-an, Nurcholish digelari sebagai Natsir Muda. Menjelang pemilihan presiden, Nurcholish dijuluki sebagai Guru Bangsa. Tidak hanya itu, Dawam Raharjo di harian Republika tanggal 8 Februari 2003 dalam artikelnya yang berjudul Di Sekitar Cara Mendiskusikan Pemikiran Keagamaan Akhir-akhir ini, Dawam menyatakan: sebagai seorang yang mempunyai rasa tanggung jawab ilmiah yang tinggi, Nurcholish menyertakan catatan kaki yang lengkap.15 Komaruddin Hidayat yang mengenal Nurcholish lebih dekat menyatakan bahwa Nurcholish sangat mengesankan ketika bicara, tanpa emosi, dan tanpa semangat menggurui, kaya dengan ilustrasi dan rujukan kepustakaan serta kemampuan mengartikulasikan gagasan dengan jernih. Bagi 211 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 mereka yang akrab dengan tradisi intelektual Islam abad pertengahan, tidak kaget dengan berbagai pikiran Nurcholish, karena Nurcholish selalu merujuk pada sumber Kitab Kuning yang klasik.16 Pada 1986, Nurcholish bersama beberapa pemikir Muslim modernis mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Bagi Nurcholish, Paramadina merupakan media untuk membangun suatu tatanan masyarakat madani yang mengacu ke masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Di Paramadina, orang-orang (Islam) menengah kota berdiskusi tentang masalahmasalah keagamaan dan kekinian. Nurcholish menjadikan Paramadina sebagai tempat untuk mensosialisasikan agama dan pemikiran pembaharuannya. Pembentukan Paramadina sejalan dengan cita-cita Nurcholish yang ingin menghadirkan Islam yang bersifat spiritual dan menjadikannya sebagai spiritualitas universal untuk mempertemukan dimensi transendental agama-agama (kalimah sawa’) di tengah-tengah masyarakat plural. Nurcholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Nurcholish juga aktif di LIPI sebagai anggota staf peneliti, dan menjadi penulis tetap harian Pelita Jakarta tahun 1988.17 Sejak tahun 1990-an, Nurcholish menduduki jabatan penting, antara lain: Anggota MPR-RI periode 1987-1992, dan periode 1992-1997, Anggota Dewan Pers Nasional, tahun 19901998,18 dan Ketua Dewan Pakar ICMI. Pada tahun 2003, Nurcholish pernah menjadi kandidat Presiden berpasangan dengan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung.19 Sebagai meninggalkan salah satu karya-karya cendekiawan di antaranya: Muslim ternama, Cendekiawan dan Nurcholish Religiusitas Masyarakat, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Islam Agama Peradaban, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, dan masih banyak lagi karya-karya Nurcholish yang lainnya. Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Civil Society Istilah masyarakat madani pertama kali dikemukakan oleh kelompok Nurcholish dan beberapa tokoh ICMI yang berarti masyarakat yang beradab, berakhlak mutlak, dan berbudi pekerti luhur.20 Nurcholish menyatakan bahwa Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 212 masyarakat madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.21 Nurcholish memberikan pengertian tentang masyarakat madani yakni masyarakat yang berbudi luhur atau masyarakat berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban. Dalam bahasa Arab, kata madani juga berarti civil, seperti kata-kata al-ahkam al-madaniyyah (civil law) atau al-qanūn al-madanî (civil code).22 Dalam konteks masyarakat Islam, istilah masyarakat madani merujuk kepada masyarakat secara keseluruhan, baik itu individu, keluarga, maupun negara, yang semuanya memiliki sifat dan budaya teras, yaitu berperadaban. Keseluruhan komponen masyarakat madani bergerak bersama-sama untuk mewujudkan suatu masyarakat yang menegakkan nilai-nilai kebaikan (ma’rūf) demi terbentuknya masyarakat yang beradab (tamaddūn). Model masyarakat ideal yang pertama dan menjadi contoh dalam sejarah Islam ialah masyarakat dan negara Madinah. jika dalam masyarakat Barat, civil society akhirnya adalah demokrasi yang lahir setelah proses sekularisasi, maka dalam masyarakat Islam tidak demikian adanya. Dalam masyarakat Islam, civil society (masyarakat madani) dibentuk dengan landasan, motivasi, dan etos keagamaan. Maka dari itu, agama merupakan kriteria paling utama mayarakat madani (masyarakat berperadaban) tersebut.23 Ada tiga term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish membicarakan rumusan masyarakat madani, pertama: demokrasi, kedua: masyarakat madani (civil society), dan ketiga: civility. Menurutnya, jika demokrasi harus punya rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat madani (civil society), dimana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat, federasi, persatuan, partai dan kelompok bergabung untuk menjadi perisai antara negara dan warga negara.24 Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, seperti toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang betanggung jawab. Nurcholish menyatakan bahwa masyarakat madani sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas civility tersebut dimiliki warganya. Civility mengandung makna toleransi, yang mempunyai arti kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, juga kesediaan untuk menerima pandangan bahwa tidak selalu ada jawaban yang benar atas suatu masalah.25 213 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Nurcholish menegaskan bahwa civil society adalah tidak hanya sekedar campuran berbagai bentuk asosiasi, tetapi pengertian civil society juga mengacu pada kualitas civility, tanpa civility lingkungan hidup sosial hanya terdiri dari faksi-faksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, bersedia untuk menerima pandangan penting bahwa tidak ada jawaban yang selalu benar atas suatu permasalahan.26 Civil society adalah musuh dari otrokrasi, kediktatoran dan bentuk-bentuk lain dari kekuasaan arbitrer. Civil society merupakan bagian organik dari demokrasi, dan dia musuh atau lawan dari rezim-rezim absolutis. Mencemaskan civil society akan menumbangkan pemerintahan adalah suatu pemikiran yang salah dan merupakan sikap yang naif. Bahkan antara pemerintahan dan civil society sebenarnya mempunyai hubungan yang lebih sering didefinisikan dalam kerangka kerjasama dari pada konflik. Dalam suatu pemerintahan, civil society harus diberi ruang untuk bernafas lega melalui pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen akan kebebasan-kebebasan asasi, yaitu kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat.27 Mengingat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, maka Nurcholish mengajak bangsa ini bersama-sama mengembalikan Indonesia ke khiththah-nya, yaitu negara bangsa, dengan menggunakan referensi masyarakat Madinah yang pernah dibangun Nabi Saw di Yatsrib yang segera diubahnya menjadi Madinah. Dengan mengutip pemikiran Robert N. Bellah (sosiolog Amerika), Nurcholish menegaskan bahwa sistem politik yang dirintis Nabi Saw di Madinah dan juga yang dikembangkan oleh Khalifah ar-Rasyidah adalah contoh bangunan masyarakat nasional modern dalam sejarah umat manusia, dan merupakan suatu wujud nyata nasionalisme egaliter partisipatoris.28 Menurut pandangan Nurcholish, dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan konsekuensi berbuat baik kepada sesama manusia, dan juga dibutuhkan adanya keterlibatan dan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Nabi Saw telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani, yaitu: egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi, kemajemukan, dan musyawarah. Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 214 Berikut penjelasan mengenai ciri-ciri masyarakat madani yang diwacanakan Cak Nur: a. Egalitarianisme Cak Nur menyatakan bahwa faktor yang sangat fundamental dan dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme, semua anggota keimanan, tidak peduli warna kulit, ras, maupun status sosial atau ekonominya adalah partisipan yang sama dalam komunitas. Selain tercermin pada berbagai peristilahan seperti bahasa, egalitarianisme adalah sebagai aspek paling dinamis dari ajaran sosial-politik Islam, itu tercermin juga dalam pilihan bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa nasional.29 Nurcholish melanjutkan bahwa egalitarianisme Islam menyangkut rasa keadilan, keberadaan, kerakyatan dan persamaan, prinsip musyawarah (demokrasi partisipatif), hikmat (wisdom), dan rasa perwakilan (representativeness). Dalam setiap masyarakat selalu diperlukan adanya kelompok yang teguh dan tegar memiliki komitmen kepada nilai-nilai itu dan memperjuangkannya. Egalitarianisme ini dapat dipahami dengan kuat menyangkut rasa dan kesadaran hukum, dan kesadaran bahwa tidak seorangpun dibenarkan berada di atas hukum. Egalitarianisme diwujudkan oleh Nabi Saw. dalam rintisannya untuk membentuk komunitas negara yang berkonstitusi. Setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat, dan harus ditaati dan dipatuhi dengan konsekuen sesuai dengan perintah agama untuk menaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama.30 b. Keterbukaan Keterbukaan yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) yang mengandung kebenaran. Perintah Alquran bagi kaum Muslim untuk mendengarkan ide-ide (pikiran-pikiran) dan mengikuti mana yang paling baik, menurut Nurcholish agaknya berbenturan dengan keadaan umat Islam sekarang ini. Umat Islam sekarang lebih cenderung dan bersifat tertutup, Nurcholish mengibaratkannya sebagai berdada sempit dan sesak seperti orang yang terbang ke langit, dan itu merupakan salah satu tanda kesesatan. Sedangkan sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah Swt.31 Sikap terbuka akan menumbuhkan kesadaran sebagai sesama manusia dan sesama makhluk akan menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati pada diri seseorang, berbentuk hubungan sosial yang saling mengingatkan tentang apa yang benar, tanpa memaksakan kehendak pribadi. 215 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Korelasi pandangan hidup yang seperti ini merupakan sikap terbuka kepada sesama manusia dalam bentuk kesediaan untuk mengikuti mana yang terbaik. Tidak hanya itu, sikap terbuka sesama manusia dalam arti saling menghargai dan tidak lepas dari sikap kritis adalah indikasi dari adanya petunjuk dari Tuhan, karena rasa itu sejalan dengan rasa ketaqwaan.32 c. Penegakan hukum dan keadilan Menurut Nurcholish, Keadilan dalam Alquran dinyatakan dengan istilahistilah ‘adl dan qisth. Pengertian adil dalam Alquran juga terkait dengan sikap seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat moderniasasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan). Dengan sikap berkeseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan dengan adil, karena dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan. Seorang saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang tepat mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan keadilan.33 (lihat Q.S. AnNisa: 135) Mendalamnya makna keadilan juga terlihat dari tugas Nabi Saw yang utama, yaitu menegakkan keadilan dan tugas ini sebenarnya juga merupakan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat dan badan-badan pemerintahan.34 Nurcholish menjelaskan bahwa dalam penegakan hukum dan keadilan, Nabi tidak pernah membedakan antara orang kaya dengan orang miskin, orang atas dengan orang bawah. Nabi menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa pada zaman dahulu itu karena jika orang atas berbuat kejahatan dibiarkan begitu saja, tetapi jika orang bawah yang berbuat kesalahan maka akan dan pasti dihukum.35 Berikut hadis Nabi mengenai keadilan: ْ َاط َمةَ بِ ْىتَ ُم َح َّم ٍد َس َسق ُ ت لَقَطَع .ْت يَ َدٌَا ِ ََوإِوِّي َوالَّ ِري وَ ْف ِسي بِيَ ِد ِي لَوْ أَ َّن ف Artinya: Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. (HR. Bukhari)36 d. Toleransi dan kemajemukan Toleransi adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang dicita-citakan oleh semua orang. Di Indonesia, Sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, dan itu bisa disebut sebagai dukungan terhadap paham toleransi, karena Islam memiliki pengalaman melaksanakan toleransi dan pluralisme yang Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 216 unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih masih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, yakni di mana agama Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan berarti. Tapi sebaliknya, di mana agama mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di negara-negara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka.37 Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, AlQuran mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut kitab suci (Ahl al-Kitâb).38 (Lihat dalam Q. S. Al-Maidah: 82). Maka dari itu, Nabi Saw yang ditegaskan sebagai suri tauladan umat manusia adalah seorang pribadi yang sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para sahabat karena adanya rahmat Allah Swt.39 Pola hidup manusia menganut hukum Sunnatullāh tentang kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah Swt menetapkan jalan dan pedoman hidup (syir’ah dan minhāj) yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan kearah kebaikan (alkhayrāt).40 e. Musyawarah Musyawarah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syurā. Menurut Nurcholish, konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam setiap pembicaraan tentang politik demokrasi, dan tidak dapat dipisahkan dari konsep politik Islam. Bagi Nurcholish, musyawarah yang secara kebahasaan berarti saling memberi isyarat, yaitu isyarat tentang apa yang baik dan benar mempunyai kesamaan dasar dengan ajaran saling berpesan tentang kebenaran sebagai syarat ketiga keselamatan manusia, setelah syarat-syarat iman dan amal shaleh. Musyawarah merupakan perintah Allah Swt yang langsung diberikan kepada Nabi Saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama. Mufakat (muwāfaqah atau muwāfaqat) adalah terjadinya persetujuan atas suatu keputusan yang diambil melalui musyawarah.41 Dalam musyawarah terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya akan ditemukan berkaitan dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah 217 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 dijalankan tanpa kehadiran dari ketiga elemen tersebut. Tidak mungkin juga mengadakan musyawarah tanpa adanya kehadiran, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression. Dan dalam pengambilan keputusan dalam musyawarah dilandasi oleh kebebasan dan haruslah didasari oleh semangat persamaan atau equality.42 Banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi Saw yang menyatakan tentang musyawarah, di antaranya lihat Q.S. Ali Imran:159. Berikut Hadis Nabi Saw. tentang musyawarah: )ً (زواي ابه ماج.ًاز أَ َح ُد ُك ْم أخاي فليس ُس علي َ إذا إِسْت َش Artinya: Apabila salah seorang di antara kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah. (HR. Ibnu Majjah) Nurcholish menyatakan bahwa dalam masyarakat yang diatur oleh prinsipprinsip musyawarah, tidak ada kebenaran mutlak ataupun dalil-dalil mati (artinya yang tidak dapat ditawar-tawar) yang menentukan tingkah laku manusia. Dalam musyawarah, yang harus dicoba dengan tulus dan serius oleh setiap peserta adalah mendengarkan, memahami dan menghargai pendapat orang lain, dan pada urutannya memberi pendapat dengan penuh ketulusan dan rasa hormat kepada para pendengar. Jika terdapat perbedaan, maka yang harus dilakukan adalah menunjukkan sikap hormat dan respek kepada sesama. Ini tidak hanya menyangkut persoalan etika dan sopan santun, tetapi lebih dari itu adalah sikap saling menghormati dan penuh pengertian antar sesama, untuk menciptakan mekanisme berpikir yang baik, maka dengan begitu musyawarah akan mencapai tujuan yang sebaik-baiknya.43 Landasan Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Civil Society 1. Alquran Dan Hadis, Nurcholish melandaskan pemikirannya pada Alquran dan Hadis, itu terlihat ketika Nurcholish berbicara tentang asas pluralisme dan toleransi sebagai pilar utama terbangunnya masyarakat madinah. Nurcholish mengutip surat alMaidah ayat 48 untuk menjelaskan tentang kemajemukan, dan juga surat-surat lain dari Alquran, seperti: surah al-Hujurat: 13, al-Baqarah: 251, 256, 62, & 148, al-Maidah: 44-50, al-Kafirun: 1-6, al-Ankabut: 46, dan surah Ali-Imran: 113-115. Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 218 Selain dari Alquran, Nurcholish juga merujuk kepada hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dalam mengembangkan pemikirannya. 2. Sejarah Islam Klasik (Masa Nabi Saw), Nurcholish menyatakan bahwa adalah Nabi Saw sendiri yang telah memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat berperadaban, yaitu ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan kemudian Nabi Saw mengubah nama Yatsrib menjadi al-Madînah (kota), atau sering pula disebut sebagai kota Nabi (Madînat al-Nabi). Menurut Nurcholish, semenjak Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib sampai saat ini, Islam telah menampilkan dirinya secara sangat terkait dengan masalah politik, khususnya hubungan antara agama dan negara. 3. Prinsip Demokrasi, Menurut Nurcholish, demokrasi mempunyai nilai-nilai yang merupakan implikasi masyarakat demokratis, seperti: hak-hak asasi manusia, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, tertib dan keadilan hukum, perwujudan dan kesempatan yang merata, dan seterusnya. Karena itu, demokrasi dikatakan sebagai hasil perkembangan masyarakat yang bertahap. Akan tetapi, pencepatan proses demokratisasi sangat tergantung kepada kemauan dan keputusan politik pemimpin negara dan kaum terpelajar masyarakat. 4. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Nurcholish seperti: Mukti Ali, Deliar Noer, Harun Nasution, dan sosok Haji Abdul Madjid (ayahnya Nurcholish). Di Universitas Chicago Nurcholish belajar di bawah bimbingan Fazlur Rahman, Nurcholish juga mengagumi Mohammad Natsir. Pemikiran Nurcholish mengenai civil society terinspirasi dari cendekiawan Barat, yaitu: Robert N. Bellah, Marshall G.S. Hodgson, Ernest Gellner, dan Enrich Fromm. Nurcholish juga terinspirasi dari sosok filsuf Muslim ternama, yaitu Ibn Taimiyah tentang politik Islam. Relevansi Konsep Nurcholish Madjid tentang Civil Society dengan Kondisi Masyarakat Indonesia Kontemporer Pembukaan UUD 1945 adalah menjadi faktor pendukung bagi negara Indonesia yang sedang mengalami saat-saat yang demokratis seperti sekarang ini untuk mewujudkan masyarakat madani. Namun sangat disayangkan, yang terjadi 219 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 sekarang ini adalah dapat dikatakan jauh dari harapan (UUD 1945). Pada kenyataannya, Indonesia yang merupakan negeri yang didirikan oleh pejuangpejuang yang religius sekarang dikuasai oleh pejabat-pejabat yang rakus dan korup yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada memperjuangkan kepentingan rakyat, hukum seolah-olah tergadaikan demi kepentingan politis, antara pemimpin dan rakyat tidak seiring jalan. Para koruptor semakin merajalela dan ada yang lepas dari hukum begitu saja, penista agama tidak dapat diadili dengan semestinya, belum lagi masalah kemorosotan akhlak dikalangan remaja. Melihat kenyataan tersebut, maka sudah sepantasnya rakyat Indonesia kembali berkaca pada konsepnya Nurcholish yang menawarkan solusi untuk Indonesia. Rakyat Indonesia harus sadar betul akan tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 alinea keempat. Dengan memperhatikan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, terutama nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, dan mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, maka menurut Nurcholish bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan dan potensi untuk menegakkan dan mewujudkan masyarakat madani (civil society). Tidaklah berlebihan rasanya jika berharap bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. Nurcholish menghimbau kepada masyarakat Indonesia agar tidak terjatuh lagi dalam kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya, caranya adalah dengan menjunjung tinggi mekanisme pengawasan dan pengimbangan. Karena pengawasan dan pengimbangan yang dilakukan secara mantap dan terbuka akan dapat menghindari Indonesia dari bencana.44 Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani di Indonesia dianggap masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang, karena memang masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme, kebebasan manusia, toleransi, menerapkan prinsip musyawarah, egaliter, dan keterbukaan, serta menerapkan prinsip keadilan. Di kaitkan dengan keadaan Indonesia saat ini, hampir setiap hari diberitakan adanya tindakan kekerasan dan kekejaman manusia, baik itu melalui TV, radio, koran, media sosial seperti facebook, twitter, instagram, maupun berita online. Seakan nyawa seseorang sangatlah murah harganya, dari kasus-kasus seperti demikian, maka sudah seharusnya masyarakat Indonesia kembali memperhatikan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 220 tinggi nilai-nilai itu, karena menurut Nurcholish, perikemanusiaan itu adalah prinsip dalam hidup berbangsa, dan bangsa yang melanggar prinsip-prinsipnya maka bangsa tersebut tidak akan bertahan lama, dia akan hancur secara perlahan. Nurcholish yakin bahwa konsep masyarakat madani sangat sesuai untuk Indonesia adalah karena Indonesia merupakan suatu bangsa yang sedang berkembang menuju ke arah kedewasaan. Berdasarkan pernyataan yang penuh harapan ini didasarkan pada keberhasilan gerakan reformasi yang telah membuahkan hasil berupa kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan beribadah adalah menjadi karakteristik yang mendasar bagi masyarakat demokratis. Kebebasan ini adalah aset yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam tahap perkembangannya. Inilah harapan paling mendasar bahwa bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam bingkai negara kebangsaan yang berdaulat. Dengan kebebasan-kebebasan tersebut, maka proses-proses dalam masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan umum akan berlangsung transparan, accountable, dan auditable.45 Alasan lain mengapa masyarakat madani sangat relevan untuk diwujudkan di Indonesia adalah karena adanya keinginan di kalangan masyarakat Indonesia untuk membangun masyarakat yang mampu berkreasi, dan mandiri. Konsep civil society (masyarakat madani) diperlukan di Indonesia karena cita-cita untuk membangun demokrasi adalah nilai-nilai yang terdapat di dalam civil society, dan juga karena masyarakat madani sangat identik dengan masyarakat modern. Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia, sudah seharusnya masyarakat Indonesia meninggalkan praktek-praktek kejahatan, kekerasan, adanya sikap yang tidak saling menghargai antar sesama, tidak terbuka, dan tindakan-tindakan yang tidak bermoral lainnya. Dengan modal kebebasan, maka masyarakat Indonesia bisa memulai hidup baru untuk menjadi lebih baik, yang menuntut semua lapisan masyarakat untuk hidup saling prihatin dan saling menyayangi. Untuk menciptakan masyarakat yang seperti demikian, maka bangsa Indonesia membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk membangun masyarakat yang adil, terbuka, bebas, dan egaliter, sehingga kemudian dapat menciptakan negara Indonesia sebagai salah satu negara demokratis didunia. 221 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Itulah nilai-nilai masyarakat Madinah yang sudah seharusnya dijunjung bersama, masyarakat madani (civil society). Penutup Konsep Civil Society menurut Nurcholish yakni masyarakat yang berbudi luhur atau masyarakat berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban. Ada tiga term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish membicarakan rumusan masyarakat madani, pertama: demokrasi, kedua: masyarakat madani (civil society), dan ketiga: civility. Menurutnya, jika demokrasi harus punya rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat madani (civil society). Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, seperti toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang betanggung jawab. Masyarakat madani menurut Nurcholish mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan kemajemukan, serta musyawarah. Landasan pemikiran Nurcholish Madjid tentang civil society yaitu: Alquran dan Hadis, sejarah Islam klasik (Masa Nabi Saw), prinsip demokrasi, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya. Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani di Indonesia adalah masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang. Karena memang masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme, kebebasan manusia, toleransi, menerapkan prinsip musyawarah, egaliter, dan keterbukaan, serta menerapkan prinsip keadilan. Cita-cita Nurcholish bagi Indonesia adalah proses demokrasi, alasannya adalah karena demokrasi merupakan rumah bagi masyarakat madani. Nurcholish mencita-citakan proses demokrasi yang membuka dinamika pengawasan dan penyeimbangan (chek and balance) masyarakat. Catatan 1 Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 165. 2 Ibid., h. 166. 3 Achmad Jainuri, “Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama, dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III, Tahun ke 2: Juli-Desember 2000, h. 21. 4 Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani, 1999) h. 108. Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 222 5 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 7. 6 Ibid., h. 193. 7 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Cet. III (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), h. 223. 8 Kuntowijoyo, dkk. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 18. 9 Ibid. 10 Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), h. 3. 11 Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 151. 12 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1999), halaman biografi. 13 Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, h. 152. 14 Ibid. 15 Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 66-67. 16 Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. II (Jakarta: Paramadina, 2000), h. xiv-xv. 17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 104. 18 Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 60. 19 Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 300. 20 Ibid., h. 75. 21 Ibid., h. 217. 22 Jalaluddin Rakhmat, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 371. 23 Nurcholish Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon Transpormasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 318. 24 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 145. 25 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 15. 26 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148. 27 Ibid., h. 150. 28 Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014), h. 296. 223 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 29 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet-XI (Bandung: Mizan, 1998), h. 71. 30 Ibid., h. 73-74. 31 Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), h. 98. 32 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 117. 33 Ibid., h. 116. 34 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 240. 35 Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996, h. 51-55. 36 M. Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim, terj. Elly Lathifah, Ringkasan Shahih Muslim, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 502. 37 Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 4 (Jakarta: Mizan, 2011), h. 3447. 38 Ibid., h. 3448. 39 Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 44. 40 Ibid., h. 43. 41 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 8. 42 Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 350. 43 Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214. 44 Nurcholish Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, h. 322. 45 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, dalam Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 1, No. 2, Januari-Juni 2009, h. 27. Daftar Pustaka Alquran & Hadits Al-Albani, M. Nashiruddin, Mukhtashar Shahih Muslim, terj. Elly Lathifah, Ringkasan Shahih Muslim, Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia, 2008. Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999. Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 224 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-11, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003. Gaus AF, Ahmad, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, Jakarta: Gramedia, 2010. Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah Press, 2007. HD. Kaelany, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Hidayat, Komaruddin, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995. Kuntowijoyo, dkk. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana, Jakarta: Paramadina, 2003. Madjid, Nurcholish, Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996. Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1994. Madjid, Nurcholish, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respons Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Mediacita, 2000. Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2000. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet. Ke-XI, Bandung: Mizan, 1998. Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, Cet. IV, 2000. Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. III, Jakarta: Paramadina, 2004. Nafis, Muhammad Wahyuni, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2014. Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid I & 4, Jakarta: Mizan, 2011. 225 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225 Rakhmat, Jalaluddin, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Saridjo, Marwan, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005. Taufik, Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Cet. III, Jakarta: Prenadamedia Group, 2013. Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Cet. I, Jakarta: Gema Insani, 1999. Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Jurnal Jainuri, Achmad, “Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama, dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III, Tahun ke 2: Juli-Desember 2000. Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996. Madjid, Nurcholish, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, dalam Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 1, No. 2, Januari-Juni 2009.