Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PENANAMAN NILAI ECO (EMPATHY AND COOPERATION) DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA DIRI SISWA Rosalia Dewi Nawantara Universitas Nusantara PGRI Kediri [email protected] ABSTRAK Perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain dan mencakup sikap altruistik. Tindakan altruistik yang dimaksud adalah tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih, sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Karakteristik tingkah laku altruistik yang dimaksud adalah tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan rewards eksternal, tindakan yang dilakukan dengan sukarela, dan tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baik. Selain mengembangkan kemampuan akademik, siswa juga sangat penting memiliki sikap atau attitude yang baik. Sikap yang dimaksudkan disini adalah faktor non kognitif yang berperan membentuk karakter. Ditengah maraknya kasus antisosial, sangat penting untuk memiliki perilaku prososial termasuk siswa di sekolah. Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Salah satu cara meningkatkan perilaku prososial adalah dengan menanamkan nilai atau norma perilaku prososial itu sendiri. Nilai tersebut dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, atau melalui media massa. Beberapa nilai dari perilaku prososial yang perlu ditanamkan adalah nilai ECO (Empathy & Cooperation). Melalui penanaman kedua nilai tersebut diharapkan perilaku prososial dapat ditumbuhkan pada diri siswa. Kata kunci: empathy, cooperation, perilaku prososial Pendahuluan Remaja merupakan fase dimana individu mencakup kematangan mental, emosional, dan sosial (Ali&Asrori, 2004). Masa remaja juga disebut masa sosial karena sepanjang masa remaja, hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Terkait dengan hubungan sosial, remaja telah mulai mengembangkan kehidupan bermasyarakat dimana remaja mempelajari pola sosial yang sesuai dengan kepribadiannya. Pola sosial yang perlu dikembangkan dalam kehidupan remaja salah satunya adalah perilaku prososial. Perilaku prososial adalah setiap tindakan membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Sears, et.al., 2009). Perilaku prososial sangat dibutuhkan remaja untuk dapat memenuhi tugas perkembangan dan memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Hal tersebut dikuatkan oleh Edison (dalam Wulandari, 2012) yang menyatakan bahwa bila perilaku generasi bangsa tidak mengarah pada perilaku prososial, maka tidak akan ada rasa peduli di masyarakat. Seiring berkembangnya modernisasi, perilaku prososial mulai terkikis. Tidak hanya diperkotaan saja, akan tetapi diseluruh lapisan masyarakat termasuk lingkungan pendidikan yaitu sekolah. Kebalikan dari perilaku prososial adalah perilaku antisosial (Nucci&Narvaes (2009). Salah satu bentuk perilaku antisosial adalah agresi yang membahayakan (intimidasi). Penelitian Kusumaningrum (2014), didapatkan bahwa perilaku prososial siswa masih rendah terlihat dari observasi dan wawancara yang dilakukan pada konselor di Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” salah satu SMP Negeri di Kota Semarang. Indikator perilaku prososial pada penelitian tersebut meliputi menolong orang lain, berbagi, kerjasama, empati dan kejujuran kepada orang lain dinilai masih kurang. Contohnya jika ada teman yang sakit di dalam kelas mereka bersikap acuk tak acuh, ketika ada teman yang tidak membawa buku paket, bolpoint atau penghapus mereka tidak mau meminjamkannya dengan alasan takut hilang atau takut rusak, dan perilaku lain yang menunjukkan perilaku antisosial. Dalam beberapa eksperimen sosial baik di televisi maupun di media sosial juga menunjukkan masih rendahnya perilaku prososial. Saat ini nilai-nilai kesetiakawanan, pengabdian, dan tolong menolong pada diri siswa mengalami penurunan yang berdampak pada perwujudan kepentingan diri sendiri atau egois dan rasa individualis. Rasa egois dan individualis akan membuat siswa mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam setiap tindakan menolong orang lain serta memungkinkan individu tidak lagi mempedulikan orang lain yang dalam kesusahan, sehingga individu enggan melakukan tindakan menolong. Sesuai pendapat Dovidio, et. al. (dalam Sears et. al., 2009) bahwa pertimbangan untung dan rugi jelas memengaruhi tindakan membantu, setidaknya dalam beberapa situasi tertentu. Pernyataan tersebut didukung oleh Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) yang menyatakan bahwa makin besar biaya yang dikeluarkan untuk menolong, maka makin kecil kemungkinan orang akan melakukan perilaku menolong, apabila dengan pengukuhan yang rendah. Sebaliknya bila biaya rendah pengukuhan kuat, orang akan lebih siap menolong. Analisis A. Perilaku Prososial Menurut Sears (dalam Desmita, 2014), perilaku prososial adalah tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Perilaku prososial menurut Sears mencakup kategori yang luas, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan dan direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif si penolong. Dengan kata lain perilaku prososial adalah tindakan tanpa pamrih yang dilakukan seseorang untuk menolong orang lain. Sears, et.al. (2009) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu bukanlah semata mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial. Menurut Penner, et.al. (2004), perilaku prososial merupakan suatu istilah yang luas yang berasal dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu yang bertujuan memberikan manfaat bagi orang lain. Pengertian oleh Sears, et.al. (2009) dipertegas oleh Rushton (dalam Desmita, 2014) bahwa perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Karakteristik tingkah laku altruistik yang dimaksud adalah tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan rewards eksternal, tindakan yang dilakukan denga sukarela, dan tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baik. Terdapat dua sumber perilaku prososial yaitu sumber endosentris dan sumber eksosentris. Sumber endosentris adalah sumber yang berasal dari dalam diri. Sumber endosentris adalah keinginan untuk mengubah diri yaitu memajukan self image. Sedangkan sumber eksosentris adalah sumber yang berasal dari dunia eksternal yaitu memajukan, membuat kondisi lebih baik, dan menolong orang lain dari kondisi buruk yang dialami. Yang dimaksud dengan memajukan orang lain adalah kesadaran bahwa orang lain membutuhkan bantuan dan hal tersebut didukung oleh hubungan sosial. Pada prinsipnya perilaku prososial terjadi karena “ada yang memberi dan ada yang menerima” pertolongan. Dalam situasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara yang menolong dengan yang ditolong. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor situasional dan personal. Menurut Piliavin ( dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), terdapat tiga faktor yang memengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku prososial, yaitu: 1. Karakteristik situasional (seperti: situasi yang kabur atau sama-samar dan jumlah orang yang melihat kejadian). 2. Karakteristik orang yang melihat kejadian (seperti: usia, gender, ras, kemampuan untuk menolong), dan 3. Karakteristik korban (seperti: jenis kelamin, ras, daya tarik). B. Perilaku Prososial Dari Berbagai Perspektif Menurut Sears, et.al. (2009), perilaku prososial dapat ditinjau dari berbagai perspektif teoretis yaitu: 1. Perspektif Evolusi Menurut evolusi, kecenderungan seseorang untuk membantu orang lain adalah bagian dari warisan evolusi genetik kita. Ahli sosiobiologi Robert Triver menyatakan bahwa kemungkinan adanya basis biologis dari altruisme mutual atau resiprokal. Menurutnya biaya/resiko potensial bagi individual dalam memberi pertolongan kepada pihak lain akan diimbangi oleh kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan dari pihak lain. 2. Perspektif Sosiokultural Kritik terhadap perspektif evolusi menyatakan bahwa faktor-faktor sosial adalah lebih penting ketimbang faktor biologi dalam menentukan perilaku prososial di kalangan manusia. Campbell (dalam Seasrs, et.al., 2009:460) menyatakan bahwa evolusi genetik mungkin membantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti pengasuhan orang tua, namun hal tersebut tidak berlaku untuk contoh ekstrem seperti aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan. Menurut Sears, et. al. (2009) dan Desmita (2014) terdapat tiga norma yang paling penting dalam perilaku prososial adalah norma tanggung jawab sosial (social responisbility norm), norma timbal balik (resiprocity norm), dan norma keadilan sosial (equity norm social justice). Norma tanggung jawab sosial adalah norma yang menentukan bahwa kita seharusnya membantu orang lain yang bergantung pada kita seperti halnya aturan agama dan moral di masyarakat yang menekankan kewajiban untuk menolong orang lain. Norma timbal balik adalah norma yang menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang menolong kita. Norma Keadilan sosial adalah norma yang berdasarkan prinsip keadilan yaitu kesamaan, dimana dua orang yang memberikan andil yang sama maka harus menerima ganjaran yang sama pula. 3. Perspektif Belajar Perspektif ketiga menekankan pentingnya proses belajar untuk membantu orang lain (Batson dalam Sears, et.al., 2009: 463). Saat anak-anak tumbuh, mereka diajari untuk berbagi dan saling menolong. Dua prinsip belajar umum yaitu orang menolong melalui penguatan atau efek imbalan dan hukuman karena membantu. Selain itu orang juga belajar melalui modelling atau mengamati orang lain yang memberi pertolongan. C. Proses Pengambilan Keputusan Perilaku Prososial Menurut Sears, et.al. (2009) dalam situasi tertentu, pengambilan keputusan untuk menolong seseorang melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional. Terdapat empat tahap proses pengambilan keputusan perilaku prososial. Empat tahap tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 1. PERCEIVING A NEED: Does someone need help? No. There is no problem. Yes 2. TAKING PERSONAL RESPONSIBILITY: Am I Responssible? No. It’s not my responsibility Yes 3. WEIGHING THE COST AND BENEFITS: Is helping worthwhile? Yes No. It’s too risky, time consuming, unpleasant, etc. 4. DECIDING HOW TO HELP: What Should I do? No. I can’t figure out what to do. HELP IS GIVEN Gambar: Empat tahapan proses pengambilan keputusan untuk menolong seseorang yang perlu pertolongan, diadaptasi dari Sears, et.al. (2009). Pada empat tahapan diatas menunjukan bahwa setiap poin dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang berbeda dan memengaruhi jadi atau tidaknya kita dalam memberikan bantuan. Uraian empat tahapan diatas adalah sebagai berikut: 1. Pertama : Memerhatikan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan menentukan bahwa ada yang memerlukan bantuan. 2. Kedua : Jika pertolongan dibutuhkan, mungkin orang itu masih mempertimbangkan sejauh mana tanggung jawabnya untuk bertindak. 3. Ketiga : Orang tersebut mungkin menilai ganjaran dan kerugian bila membantu atau tidak. 4. Keempat : Orang itu harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan dan bagaimana memberikannya. Menurut Darley & Latane (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009) bahwa proses keputusan yang paling memungkinkan orang yang melihat suatu kejadian darurat itu mengurungkan tindakan menolong atau tidak menuju pada fase berikutnya adalah pada saat memasuki fase kedua atau ketiga. Kedua fase tersebut yaitu ketika individu menginterpretasikan situasi darurat atau tidak, atau dalam memutuskan apakah ia bertanggung jawab secara pribadi untuk memberikan pertolongan atau tidak. D. Tahapan Perkembangan Perilaku Prososial Seiring dengan perkembangan manusia, perilaku prososial juga berubah dan mengalami perkembangan. Terdapat enam tahapan perkembangan perilaku prososial, yaitu: 1. Compliance & Concrete, Defined Reinforcement Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2. 3. 4. 5. 6. Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena permintaan atau perintah yang disertai terlebih dahulu dengan reward atau punishment. Tingkah laku menolong pada tahap ini dituntun oleh pengalaman menyedihkan atau menyenangkan tanpa rasa tanggung jawab, tugas, atau patuh terhadap otoritas. Compliance Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena tunduk pada otoritas. Individu tidak berinisiatif melakukan pertolongan, tapi tunduk pada permintaan dan perintah dari orang lain yang lebih berkuasa. Internal Inititative & Concrete Reward Pada tahap ini individu menolong karena tergantung pada penerimaan reward yang diterima. Individu mampu memutuskan kebutuhannya, orientasinya egoistis, dan tindakannya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan keuntungan atau hadiah untuk memuaskan kebutuhannya. Normative Behavior Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Tingkah laku menolong dilakukan karena diharapkan menjadi orang baik di mata orang lain.Orientasinya mencakup keinginan untuk menerima persetujuan dan menyenangkan orang lain. Harapan reward untuk menolong tidak konkrit namun berarti. Generalized Reciprocity Pada tahap ini tingkah laku menolong didasari oleh prinsip-prinsip universal dari pertukaran. Seseorang memberikan pertolongan karena percaya ia kelak apabila membutuhkan bantuan akan mendapat pertolongan. Altruistic Behavior Pada tahap ini individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Tindakannya semata-mata hanya bertujuan menolong dan menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan hadiah dari luar. Tindakan menolong dilakukan karena pilihannya sendiri dan didasarkan pada prinsip-prinsip moral. E. Menumbuhkan Perilaku Prososial Siswa Melalui Penanaman Nilai ECO (Empathy & Cooperation) Menurut Brigham (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), bahwa terdapat beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Salah satu cara meningkatkan perilaku prososial adalah menanamkan nilai atau norma perilaku prososial itu sendiri. Nilai tersebut dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, atau melalui media massa. Beberapa nilai dari perilaku prososial yang perlu ditanamkan adalah nilai ECO (Empathy & Cooperation) (Dayakisni&Hudaniah, 2009; Kusumaningrum, 2012). Kedua nilai tersebut melatar belakangi meningkatnya perilaku prososial dalam beberapa studi dan literatur (Dayakisni&Hudaniah, 2009; Sears, et. al., 2009; Nucci&Narvaes, 2009). 1. Empathy (Empati) Empati dapat diartikan sebagai suatu sikap yang memposisikan diri pada posisi orang lain. Menurut Hurlock (1999), empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Menurut Sears, et. al.(2009), empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Dengan empati maka individu akan memiliki keterikatan emosional dengan orang lain yang membutuhkan bantuan. Empati juga merupakan suatu usaha untuk mereduksi perasaan sedih diri sendiri Menurut Batson (2008), empati menjadi pengaruh besar bagi terwujudnya perilaku prososial. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Pujiyanti (2012) & Dovidio, et. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” al. (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), bahwa empati memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial. Subyek yang diminta menghayati apa yang dialami dan dirasakan korban lebih bertindak prososial daripada subyek yang diminta menilai secara obyektif dan mengabaikan perasaan korban. Selain itu, sejumlah studi yang menyelidiki hubungan antara karakteristik kepribadian dan kesukarelaan (volunteerism), telah menunjukkan bahwa individu yang memiliki empati akan lebih menunjukkan perilaku menolong. Individu yang memiliki skor tinggi pada orientasi empati terhadap orang lain menunjukkan lebih simpati dan menaruh perhatian pada orang lain yang sedang dalam kesusahan/kesulitan. Dalam beberapa literatur, empati merupakan motif mengapa seseorang memberikan pertolongan (Sears, et.al., 2009; Dayaksini&Hudaniah, 2009). Empati pada diri individu, akan dapat menggerakkan hati dan perilakunya untuk membantu orang lain karena memahami posisi orang tersebut yang membutuhkan bantuan. Inidividu lebih mungkin berempati kepada seseorang yang memiliki kemiripan atau kesamaan. Individu juga berempati kepada orang yang penderitaannya berasal dari faktor yang tidak dapat dikontrol atau tidak terduga seperti sakit atau kecelakaan ketimbang karena faktor malas (Sears, et.al., 2009). Empati juga dipengaruhi oleh faktor usia. Bertambahnya usia seorang anak, maka empatinya terhadap orang lain juga akan semakin berkembang. Kemampuan untuk berempati mulai dapat dikembangkan ketika akhir masa kanak-kanak awal yaitu pada usia enam tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan untuk berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati juga dapat ditingkatkan dengan fokus pada perasaan seseorang yang membutuhkan, bukan pada objektif dari situasi. 2. Cooperation (Kerja sama) Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, maka akan saling membutuhkan dan menjalin hubungan sosial. Merujuk dari hakikat tersebut maka sangat penting bagi manusia untuk dapat berinteraksi dan menjalin hubungan yang baik melalui kerja sama atau cooperation. Cooperation atau kerjasama secara harfiah adalah kesediaan untuk bekerja bersama dengan orang lain demi tercapainya tujuan. Tujuan dari penanaman nilai kerja sama adalah mengembangkan kesadaran sosial dan sikap toleransi terhadap perbedaan individu. Kesadaran sosial dan sikap toleransi berkaitan erat dengan perilaku prososial. Brigham (dalam Desmita, 2014) menjelaskan bahwa kerja sama merupakan salah satu nilai dalam mewujudkan perilaku prososial. Dengan adanya kerjasama, diharapkan motif seseorang menolong juga didasarkan pada kesadaran sosial bahwa sesama manusia memang sudah seharusnya saling membantu. Menurut Nucci&Narvaes (2009) pengalaman kerjasama cenderung meningkatkan frekuensi keterlibatan peserta dalam perilaku prososial. Choi, Johnson, & Johnson (dalam Nucci&Narvaes, 2009) dalam penelitian yang melibatkan 217 siswa kelas empat dan lima, menemukan bahwa pengalaman pembelajaran yang kooperatif dan kecenderungan yang kooperatif meningkatkan frekuensi keterlibatan siswa dalam perilaku prososial. Persaingan dan individualisme, di sisi lain, tidak mendukung perilaku prososial. Sikap saling menanggapi dan berbagi rasa yang biasanya ditemukan dalam situasi kooperatif, tampaknya menjadi elemen kunci dalam perkembangan perilaku prososial (Kochanska dalam Nucci&Narvaes, 2009). Lebih lanjut Asher&Rose (dalam Nucci&Narvaes, 2009) mengemukakan bahwa dengan kerjasama , anak cenderung membangun hubungan positif dengan teman sebaya dan dengan sendirinya termotivasi untuk membangun hubungan yang postif, bernilai, dan menikmati keberhasilan yang positif. Choi, Johnson, & Johnson (dalam Nucci&Narvaes, 2009) menemukan bahwa semakin kooperatif siswa, semakin kecil kemungkinan untuk Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” terlibat dalam agresi yang membahayakan. Pengganggu cenderung mengasingkan teman disekitar mereka dan mengalami keberhasilan yang kecil dan cenderung lebih banyak mengalami kesepian, kesedihan, dan kecemasan dibanding sebagian besar siswa yang memiliki nilai kerjasama. DAFTAR RUJUKAN Ali, M. & Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Asih, G. Y. & Patiwi, M. M. S. 2010. Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, (Online), 1 (1): 33-42, tersedia: http://eprints.umk.ac.id/268/1/33_-_42.PDF, diunduh 25 April 2016. Batson, C. D. 2008. Empathy-Induced Altruistic Motivation. Kansas: Department Of Psychology. Dayakisni, T. & Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press. Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kusumaningrum, I. 2014. Meningkatkan Perilaku Prososial Rendah Melalui Layanan Penguasaan Konten Dengan Teknik Sosiodrama Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 21 Semarang Tahun Ajaran 2013/2014. Skripsi Tidak Diterbitkan: Universitas Negeri Semarang. Nucci, L. P. & Narvaez, D. 2014. Handbook: Pendidikan Moral dan Karakter. Bandung: Penerbit Nusa Media. Penner, et.al. 2004. Prosocial Behavior: Multilevel Perspectives. Annu. Rev. Psychol, (Online), 56 (14): 1-14.28, tersedia: http://www3.psych.purdue.edu/~willia55/392F-'06/Prosocial%20AR.pdf, diunduh 25 April 2016. Piff, P. K., et.al. 2010. Having Less, Giving More: The Influence of Social Class on Prosocial Behavior. Journal Of Personality and Social Psychology, (Online), 99 (5): 771-784, tersedia: , diunduh 25 April 2016. Pujiyanti, A. 2012. Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi. E-Journal Psikologi, (Online), tersedia: http://hdl.handle.net/123456789/1921, diunduh 28 April 2016. Sears, D.O. , et.al. 2009. Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wulandari, Y. W. H. 2012. Peran Empati Dan Pola Asuh Demokratis Sebagai Prediktor Perilaku Sosial Remaja PPA (Pusat Pengembangan Anak) Solo. Skripsi Tidak Diterbitkan: Universitas Kristen Satya Satya Wacana.