Rosalia Dewi Nawantara

advertisement
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
PENANAMAN NILAI ECO (EMPATHY AND COOPERATION)
DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA DIRI SISWA
Rosalia Dewi Nawantara
Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected]
ABSTRAK
Perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain dan mencakup
sikap altruistik. Tindakan altruistik yang dimaksud adalah tindakan yang tidak
mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih, sampai tindakan menolong yang
sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Karakteristik tingkah laku altruistik
yang dimaksud adalah tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa
mengharapkan rewards eksternal, tindakan yang dilakukan dengan sukarela, dan tindakan
yang menghasilkan sesuatu yang baik.
Selain mengembangkan kemampuan akademik, siswa juga sangat penting
memiliki sikap atau attitude yang baik. Sikap yang dimaksudkan disini adalah faktor non
kognitif yang berperan membentuk karakter. Ditengah maraknya kasus antisosial, sangat
penting untuk memiliki perilaku prososial termasuk siswa di sekolah. Terdapat beberapa
cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Salah satu cara meningkatkan perilaku
prososial adalah dengan menanamkan nilai atau norma perilaku prososial itu sendiri.
Nilai tersebut dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, atau melalui media massa.
Beberapa nilai dari perilaku prososial yang perlu ditanamkan adalah nilai ECO (Empathy
& Cooperation). Melalui penanaman kedua nilai tersebut diharapkan perilaku prososial
dapat ditumbuhkan pada diri siswa.
Kata kunci: empathy, cooperation, perilaku prososial
Pendahuluan
Remaja merupakan fase dimana individu mencakup kematangan mental,
emosional, dan sosial (Ali&Asrori, 2004). Masa remaja juga disebut masa sosial karena
sepanjang masa remaja, hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan.
Terkait dengan hubungan sosial, remaja telah mulai mengembangkan kehidupan
bermasyarakat dimana remaja mempelajari pola sosial yang sesuai dengan
kepribadiannya.
Pola sosial yang perlu dikembangkan dalam kehidupan remaja salah satunya
adalah perilaku prososial. Perilaku prososial adalah setiap tindakan membantu atau
dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Sears, et.al.,
2009). Perilaku prososial sangat dibutuhkan remaja untuk dapat memenuhi tugas
perkembangan dan memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Hal tersebut dikuatkan
oleh Edison (dalam Wulandari, 2012) yang menyatakan bahwa bila perilaku generasi
bangsa tidak mengarah pada perilaku prososial, maka tidak akan ada rasa peduli di
masyarakat.
Seiring berkembangnya modernisasi, perilaku prososial mulai terkikis. Tidak
hanya diperkotaan saja, akan tetapi diseluruh lapisan masyarakat termasuk lingkungan
pendidikan yaitu sekolah. Kebalikan dari perilaku prososial adalah perilaku antisosial
(Nucci&Narvaes (2009). Salah satu bentuk perilaku antisosial adalah agresi yang
membahayakan (intimidasi).
Penelitian Kusumaningrum (2014), didapatkan bahwa perilaku prososial siswa
masih rendah terlihat dari observasi dan wawancara yang dilakukan pada konselor di
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
salah satu SMP Negeri di Kota Semarang. Indikator perilaku prososial pada penelitian
tersebut meliputi menolong orang lain, berbagi, kerjasama, empati dan kejujuran kepada
orang lain dinilai masih kurang. Contohnya jika ada teman yang sakit di dalam kelas
mereka bersikap acuk tak acuh, ketika ada teman yang tidak membawa buku paket,
bolpoint atau penghapus mereka tidak mau meminjamkannya dengan alasan takut hilang
atau takut rusak, dan perilaku lain yang menunjukkan perilaku antisosial. Dalam beberapa
eksperimen sosial baik di televisi maupun di media sosial juga menunjukkan masih
rendahnya perilaku prososial.
Saat ini nilai-nilai kesetiakawanan, pengabdian, dan tolong menolong pada diri
siswa mengalami penurunan yang berdampak pada perwujudan kepentingan diri sendiri
atau egois dan rasa individualis. Rasa egois dan individualis akan membuat siswa
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam setiap tindakan menolong orang lain
serta memungkinkan individu tidak lagi mempedulikan orang lain yang dalam kesusahan,
sehingga individu enggan melakukan tindakan menolong. Sesuai pendapat Dovidio, et. al.
(dalam Sears et. al., 2009) bahwa pertimbangan untung dan rugi jelas memengaruhi
tindakan membantu, setidaknya dalam beberapa situasi tertentu. Pernyataan tersebut
didukung oleh Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) yang menyatakan bahwa
makin besar biaya yang dikeluarkan untuk menolong, maka makin kecil kemungkinan
orang akan melakukan perilaku menolong, apabila dengan pengukuhan yang rendah.
Sebaliknya bila biaya rendah pengukuhan kuat, orang akan lebih siap menolong.
Analisis
A. Perilaku Prososial
Menurut Sears (dalam Desmita, 2014), perilaku prososial adalah tingkah laku
yang menguntungkan orang lain. Perilaku prososial menurut Sears mencakup kategori
yang luas, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan dan direncanakan untuk
menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif si penolong. Dengan kata lain perilaku
prososial adalah tindakan tanpa pamrih yang dilakukan seseorang untuk menolong orang
lain. Sears, et.al. (2009) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing
individu bukanlah semata mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan
sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain,
individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial.
Menurut Penner, et.al. (2004), perilaku prososial merupakan suatu istilah yang luas yang
berasal dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu yang bertujuan memberikan
manfaat bagi orang lain.
Pengertian oleh Sears, et.al. (2009) dipertegas oleh Rushton (dalam Desmita,
2014) bahwa perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak
mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang
sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Karakteristik tingkah laku altruistik
yang dimaksud adalah tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa
mengharapkan rewards eksternal, tindakan yang dilakukan denga sukarela, dan tindakan
yang menghasilkan sesuatu yang baik.
Terdapat dua sumber perilaku prososial yaitu sumber endosentris dan sumber
eksosentris. Sumber endosentris adalah sumber yang berasal dari dalam diri. Sumber
endosentris adalah keinginan untuk mengubah diri yaitu memajukan self image.
Sedangkan sumber eksosentris adalah sumber yang berasal dari dunia eksternal yaitu
memajukan, membuat kondisi lebih baik, dan menolong orang lain dari kondisi buruk
yang dialami. Yang dimaksud dengan memajukan orang lain adalah kesadaran bahwa
orang lain membutuhkan bantuan dan hal tersebut didukung oleh hubungan sosial. Pada
prinsipnya perilaku prososial terjadi karena “ada yang memberi dan ada yang menerima”
pertolongan. Dalam situasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara yang menolong
dengan yang ditolong.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor situasional
dan personal. Menurut Piliavin ( dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), terdapat tiga faktor
yang memengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku prososial, yaitu:
1. Karakteristik situasional (seperti: situasi yang kabur atau sama-samar dan jumlah
orang yang melihat kejadian).
2. Karakteristik orang yang melihat kejadian (seperti: usia, gender, ras, kemampuan
untuk menolong), dan
3. Karakteristik korban (seperti: jenis kelamin, ras, daya tarik).
B. Perilaku Prososial Dari Berbagai Perspektif
Menurut Sears, et.al. (2009), perilaku prososial dapat ditinjau dari berbagai
perspektif teoretis yaitu:
1. Perspektif Evolusi
Menurut evolusi, kecenderungan seseorang untuk membantu orang lain adalah bagian
dari warisan evolusi genetik kita. Ahli sosiobiologi Robert Triver menyatakan bahwa
kemungkinan adanya basis biologis dari altruisme mutual atau resiprokal.
Menurutnya biaya/resiko potensial bagi individual dalam memberi pertolongan
kepada pihak lain akan diimbangi oleh kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan
dari pihak lain.
2. Perspektif Sosiokultural
Kritik terhadap perspektif evolusi menyatakan bahwa faktor-faktor sosial adalah lebih
penting ketimbang faktor biologi dalam menentukan perilaku prososial di kalangan
manusia. Campbell (dalam Seasrs, et.al., 2009:460) menyatakan bahwa evolusi
genetik mungkin membantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti
pengasuhan orang tua, namun hal tersebut tidak berlaku untuk contoh ekstrem seperti
aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan. Menurut Sears, et. al. (2009) dan
Desmita (2014) terdapat tiga norma yang paling penting dalam perilaku prososial
adalah norma tanggung jawab sosial (social responisbility norm), norma timbal balik
(resiprocity norm), dan norma keadilan sosial (equity norm social justice). Norma
tanggung jawab sosial adalah norma yang menentukan bahwa kita seharusnya
membantu orang lain yang bergantung pada kita seperti halnya aturan agama dan
moral di masyarakat yang menekankan kewajiban untuk menolong orang lain. Norma
timbal balik adalah norma yang menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang
menolong kita. Norma Keadilan sosial adalah norma yang berdasarkan prinsip
keadilan yaitu kesamaan, dimana dua orang yang memberikan andil yang sama maka
harus menerima ganjaran yang sama pula.
3. Perspektif Belajar
Perspektif ketiga menekankan pentingnya proses belajar untuk membantu orang lain
(Batson dalam Sears, et.al., 2009: 463). Saat anak-anak tumbuh, mereka diajari untuk
berbagi dan saling menolong. Dua prinsip belajar umum yaitu orang menolong
melalui penguatan atau efek imbalan dan hukuman karena membantu. Selain itu
orang juga belajar melalui modelling atau mengamati orang lain yang memberi
pertolongan.
C. Proses Pengambilan Keputusan Perilaku Prososial
Menurut Sears, et.al. (2009) dalam situasi tertentu, pengambilan keputusan untuk
menolong seseorang melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan pengambilan
keputusan yang rasional.
Terdapat empat tahap proses pengambilan keputusan perilaku prososial. Empat
tahap tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
1. PERCEIVING A NEED:
Does someone need help?
No. There is no problem.
Yes
2. TAKING PERSONAL RESPONSIBILITY:
Am I Responssible?
No. It’s not my responsibility
Yes
3. WEIGHING THE COST AND BENEFITS:
Is helping worthwhile?
Yes
No. It’s too risky, time
consuming, unpleasant, etc.
4. DECIDING HOW TO HELP:
What Should I do?
No. I can’t figure out what to do.
HELP IS GIVEN
Gambar: Empat tahapan proses pengambilan keputusan untuk menolong seseorang yang
perlu pertolongan, diadaptasi dari Sears, et.al. (2009).
Pada empat tahapan diatas menunjukan bahwa setiap poin dapat menyebabkan
pengambilan keputusan yang berbeda dan memengaruhi jadi atau tidaknya kita dalam
memberikan bantuan. Uraian empat tahapan diatas adalah sebagai berikut:
1. Pertama
: Memerhatikan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan menentukan
bahwa ada yang memerlukan bantuan.
2. Kedua
: Jika pertolongan dibutuhkan, mungkin orang itu masih
mempertimbangkan sejauh mana tanggung jawabnya untuk bertindak.
3. Ketiga
: Orang tersebut mungkin menilai ganjaran dan kerugian bila membantu
atau tidak.
4. Keempat : Orang itu harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan
dan bagaimana memberikannya.
Menurut Darley & Latane (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009) bahwa proses
keputusan yang paling memungkinkan orang yang melihat suatu kejadian darurat itu
mengurungkan tindakan menolong atau tidak menuju pada fase berikutnya adalah pada
saat memasuki fase kedua atau ketiga. Kedua fase tersebut yaitu ketika individu
menginterpretasikan situasi darurat atau tidak, atau dalam memutuskan apakah ia
bertanggung jawab secara pribadi untuk memberikan pertolongan atau tidak.
D. Tahapan Perkembangan Perilaku Prososial
Seiring dengan perkembangan manusia, perilaku prososial juga berubah dan
mengalami perkembangan. Terdapat enam tahapan perkembangan perilaku prososial,
yaitu:
1. Compliance & Concrete, Defined Reinforcement
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2.
3.
4.
5.
6.
Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena permintaan atau
perintah yang disertai terlebih dahulu dengan reward atau punishment. Tingkah laku
menolong pada tahap ini dituntun oleh pengalaman menyedihkan atau menyenangkan
tanpa rasa tanggung jawab, tugas, atau patuh terhadap otoritas.
Compliance
Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena tunduk pada
otoritas. Individu tidak berinisiatif melakukan pertolongan, tapi tunduk pada
permintaan dan perintah dari orang lain yang lebih berkuasa.
Internal Inititative & Concrete Reward
Pada tahap ini individu menolong karena tergantung pada penerimaan reward yang
diterima. Individu mampu memutuskan kebutuhannya, orientasinya egoistis, dan
tindakannya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan keuntungan atau hadiah untuk
memuaskan kebutuhannya.
Normative Behavior
Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
Tingkah laku menolong dilakukan karena diharapkan menjadi orang baik di mata
orang lain.Orientasinya mencakup keinginan untuk menerima persetujuan dan
menyenangkan orang lain. Harapan reward untuk menolong tidak konkrit namun
berarti.
Generalized Reciprocity
Pada tahap ini tingkah laku menolong didasari oleh prinsip-prinsip universal dari
pertukaran. Seseorang memberikan pertolongan karena percaya ia kelak apabila
membutuhkan bantuan akan mendapat pertolongan.
Altruistic Behavior
Pada tahap ini individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Tindakannya
semata-mata hanya bertujuan menolong dan menguntungkan orang lain tanpa
mengharapkan hadiah dari luar. Tindakan menolong dilakukan karena pilihannya
sendiri dan didasarkan pada prinsip-prinsip moral.
E. Menumbuhkan Perilaku Prososial Siswa Melalui Penanaman Nilai ECO
(Empathy & Cooperation)
Menurut Brigham (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), bahwa terdapat beberapa
cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Salah satu cara meningkatkan perilaku
prososial adalah menanamkan nilai atau norma perilaku prososial itu sendiri. Nilai
tersebut dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, atau melalui media massa. Beberapa nilai
dari perilaku prososial yang perlu ditanamkan adalah nilai ECO (Empathy &
Cooperation) (Dayakisni&Hudaniah, 2009; Kusumaningrum, 2012). Kedua nilai tersebut
melatar belakangi meningkatnya perilaku prososial dalam beberapa studi dan literatur
(Dayakisni&Hudaniah, 2009; Sears, et. al., 2009; Nucci&Narvaes, 2009).
1. Empathy (Empati)
Empati dapat diartikan sebagai suatu sikap yang memposisikan diri pada posisi
orang lain. Menurut Hurlock (1999), empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan
diri sendiri di tempat orang lain. Menurut Sears, et. al.(2009), empati diartikan sebagai
perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman
atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Dengan empati maka
individu akan memiliki keterikatan emosional dengan orang lain yang membutuhkan
bantuan. Empati juga merupakan suatu usaha untuk mereduksi perasaan sedih diri sendiri
Menurut Batson (2008), empati menjadi pengaruh besar bagi terwujudnya
perilaku prososial. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Pujiyanti (2012) & Dovidio, et.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
al. (dalam Dayakisni&Hudaniah, 2009), bahwa empati memiliki hubungan positif dengan
perilaku prososial. Subyek yang diminta menghayati apa yang dialami dan dirasakan
korban lebih bertindak prososial daripada subyek yang diminta menilai secara obyektif
dan mengabaikan perasaan korban. Selain itu, sejumlah studi yang menyelidiki hubungan
antara karakteristik kepribadian dan kesukarelaan (volunteerism), telah menunjukkan
bahwa individu yang memiliki empati akan lebih menunjukkan perilaku menolong.
Individu yang memiliki skor tinggi pada orientasi empati terhadap orang lain
menunjukkan lebih simpati dan menaruh perhatian pada orang lain yang sedang dalam
kesusahan/kesulitan.
Dalam beberapa literatur, empati merupakan motif mengapa seseorang
memberikan pertolongan (Sears, et.al., 2009; Dayaksini&Hudaniah, 2009). Empati pada
diri individu, akan dapat menggerakkan hati dan perilakunya untuk membantu orang lain
karena memahami posisi orang tersebut yang membutuhkan bantuan. Inidividu lebih
mungkin berempati kepada seseorang yang memiliki kemiripan atau kesamaan. Individu
juga berempati kepada orang yang penderitaannya berasal dari faktor yang tidak dapat
dikontrol atau tidak terduga seperti sakit atau kecelakaan ketimbang karena faktor malas
(Sears, et.al., 2009).
Empati juga dipengaruhi oleh faktor usia. Bertambahnya usia seorang anak, maka
empatinya terhadap orang lain juga akan semakin berkembang. Kemampuan untuk
berempati mulai dapat dikembangkan ketika akhir masa kanak-kanak awal yaitu pada
usia enam tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki
dasar kemampuan untuk berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara
mengaktualisasikannya. Empati juga dapat ditingkatkan dengan fokus pada perasaan
seseorang yang membutuhkan, bukan pada objektif dari situasi.
2. Cooperation (Kerja sama)
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, maka akan saling membutuhkan
dan menjalin hubungan sosial. Merujuk dari hakikat tersebut maka sangat penting bagi
manusia untuk dapat berinteraksi dan menjalin hubungan yang baik melalui kerja sama
atau cooperation. Cooperation atau kerjasama secara harfiah adalah kesediaan untuk
bekerja bersama dengan orang lain demi tercapainya tujuan. Tujuan dari penanaman nilai
kerja sama adalah mengembangkan kesadaran sosial dan sikap toleransi terhadap
perbedaan individu. Kesadaran sosial dan sikap toleransi berkaitan erat dengan perilaku
prososial.
Brigham (dalam Desmita, 2014) menjelaskan bahwa kerja sama merupakan salah
satu nilai dalam mewujudkan perilaku prososial. Dengan adanya kerjasama, diharapkan
motif seseorang menolong juga didasarkan pada kesadaran sosial bahwa sesama manusia
memang sudah seharusnya saling membantu.
Menurut Nucci&Narvaes (2009) pengalaman kerjasama cenderung meningkatkan
frekuensi keterlibatan peserta dalam perilaku prososial. Choi, Johnson, & Johnson (dalam
Nucci&Narvaes, 2009) dalam penelitian yang melibatkan 217 siswa kelas empat dan
lima, menemukan bahwa pengalaman pembelajaran yang kooperatif dan kecenderungan
yang kooperatif meningkatkan frekuensi keterlibatan siswa dalam perilaku prososial.
Persaingan dan individualisme, di sisi lain, tidak mendukung perilaku prososial. Sikap
saling menanggapi dan berbagi rasa yang biasanya ditemukan dalam situasi kooperatif,
tampaknya menjadi elemen kunci dalam perkembangan perilaku prososial (Kochanska
dalam Nucci&Narvaes, 2009).
Lebih lanjut Asher&Rose (dalam Nucci&Narvaes, 2009) mengemukakan bahwa
dengan kerjasama , anak cenderung membangun hubungan positif dengan teman sebaya
dan dengan sendirinya termotivasi untuk membangun hubungan yang postif, bernilai, dan
menikmati keberhasilan yang positif. Choi, Johnson, & Johnson (dalam Nucci&Narvaes,
2009) menemukan bahwa semakin kooperatif siswa, semakin kecil kemungkinan untuk
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
terlibat dalam agresi yang membahayakan. Pengganggu cenderung mengasingkan teman
disekitar mereka dan mengalami keberhasilan yang kecil dan cenderung lebih banyak
mengalami kesepian, kesedihan, dan kecemasan dibanding sebagian besar siswa yang
memiliki nilai kerjasama.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, M. & Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik). Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Asih, G. Y. & Patiwi, M. M. S. 2010. Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, (Online), 1 (1):
33-42, tersedia: http://eprints.umk.ac.id/268/1/33_-_42.PDF, diunduh 25 April
2016.
Batson, C. D. 2008. Empathy-Induced Altruistic Motivation. Kansas: Department Of
Psychology.
Dayakisni, T. & Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Kusumaningrum, I. 2014. Meningkatkan Perilaku Prososial Rendah Melalui Layanan
Penguasaan Konten Dengan Teknik Sosiodrama Pada Siswa Kelas VII SMP
Negeri 21 Semarang Tahun Ajaran 2013/2014. Skripsi Tidak Diterbitkan:
Universitas Negeri Semarang.
Nucci, L. P. & Narvaez, D. 2014. Handbook: Pendidikan Moral dan Karakter. Bandung:
Penerbit Nusa Media.
Penner, et.al. 2004. Prosocial Behavior: Multilevel Perspectives. Annu. Rev. Psychol,
(Online), 56 (14): 1-14.28, tersedia:
http://www3.psych.purdue.edu/~willia55/392F-'06/Prosocial%20AR.pdf,
diunduh 25 April 2016.
Piff, P. K., et.al. 2010. Having Less, Giving More: The Influence of Social Class on
Prosocial Behavior. Journal Of Personality and Social Psychology, (Online), 99
(5): 771-784, tersedia: , diunduh 25 April 2016.
Pujiyanti, A. 2012. Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi
SMA Negeri 1 Setu Bekasi. E-Journal Psikologi, (Online), tersedia:
http://hdl.handle.net/123456789/1921, diunduh 28 April 2016.
Sears, D.O. , et.al. 2009. Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Wulandari, Y. W. H. 2012. Peran Empati Dan Pola Asuh Demokratis Sebagai Prediktor
Perilaku Sosial Remaja PPA (Pusat Pengembangan Anak) Solo. Skripsi Tidak
Diterbitkan: Universitas Kristen Satya Satya Wacana.
Download