ANALISIS TUTURAN DALAM PERIBAHASA JAWA

advertisement
ANALISIS TUTURAN DALAM PERIBAHASA JAWA
Kholifatul Nurosita¹
Imam Suyitno²
Sunoto²
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
e-mail: [email protected]
Abstract: This research had aim to describe speech meaning, speech function,
and perceptional contents in Javanese proverb vocabulary. This research used
descriptive qualitative research by using cultural approach. The result of this
research showed that there were eight subaspects for Javanese proverb speech
meaning, two indicators for instrumental subaspect, two indicators for
regulation, two indicators for representation in speech function aspect, and
three indicators for human category subaspect, five indicators for faunal
category subaspect, four indicators for floral category subaspect, two indicators
for object category subaspect, two indicators for terrestrial category subaspect,
there was no indicator in substantial, energy, and cosmos category subaspect,
also three indicators for being category subaspect in perceptional contents
aspect in Javanese proverb speech.
Key words : speech meaning, speech function, perceptional contents, and
Javanese proverb.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan makna tuturan, fungsi
tuturan, dan muatan persepsi dalam kosakata peribahasa Jawa. penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan
pendekatan budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat delapan
subaspek untuk aspek makna tuturan peribahasa Jawa, dua indikator untuk
subaspekinstrumental, dua indikator untuk regulasi, dua indikator untuk
representasi dalam aspekfungsi tuturan, dan tiga indikator untuk subaspek
kategori human, lima indikator untuk subaspek kategori fauna, empat indikator
untuk subaspek kategori flora, dua indikator untuk subaspek kategori
objek¸dua indikator untuk subaspek kategori terrestrial, tidak terdapat indikator
pada subaspek kategori subtstansi, energi, dan kosmos, serta tiga indikator
untuk subaspek kategori ke-ada-an dalam aspek muatan persepsi dalam tuturan
peribahasa Jawa.
Kata kunci : makna tuturan , fungsi tuturan, muatan persepsi, peribahasa Jawa.
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat Jawa mencerminkan budaya
Jawa.Sifat dan perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat melalui bahasa atau
kegiatan berbahasanya. Begitu juga perkembangan kebudayaan Jawaakan dapat
memperkaya bahasa Jawa. Peribahasa, ungkapan, bebasan, dan saloka sebagai
salah satu produk budaya dan sebagai bentuk penggunaan bahasa dapat
mencerminkan sifat dan kepribadian pemakainya.
¹Kholifatul Nurosita adalah mahasiswa Program Studi S1 Bahasa dan Sastra Indonesia
²Imam Suyitno dan Sunoto adalah dosen pembimbing; tenaga pendidik di Jurusan Sastra
Indonesia
1
Budaya Jawa dari dikenal sebagai budaya adiluhung yang memuat banyak
nilai yang sangat luhur mulai dari etika dan sopan santun di dalam rumah sampai
sopan santun di ranah publik (Rahyono, 2009:20). Salah satu warisan budaya
yang sangat kental dengan nilai dan norma budaya adalah ungkapan rakyat.
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1994:29) untuk dapat memahami
ungkapan rakyat, salah satunya adalah dengan mengkaji dan memahami ungkapan
rakyat seperti peribahasa yang terdapat dalam bahasa daerah dan budaya tersebut
seperti dalam bahasa dan budaya Jawa.Dalam hal ini, untuk memahami warisan
budaya yang memiliki nilai luhur salah satunya dengan mengkaji peribahasa Jawa.
Menurut Sutrisno (2009:361) peribahasa adalah adalah ungkapan kalimat
ringkas, padat, dan berisi perbandingan, perumpamaan, prinsip hidup, nasihat,
atau aturan tingkah laku. Sementara itu, menurut Rahyono (2009:142) peribahasa
adalah proposisi yang berisi deskripsi terhadap sebuah objek secara singkat, padat
dan tidak mengandung perumpamaan. Dengan demikian, peribahasa adalah salah
satu bentuk ungkapan Jawa yang mendeskripsikan sebuah objek secara singkat
dan padat yang mengandung prinsip berkehidupan.
Peribahasa dalam sastra Jawa ini banyak yang tidak dimengerti oleh
masyarakat generasi sekarang ini.Hal ini disebabkan adanya bahasa Jawa yang
kurang mendapat perhatian oleh pemiliknya. Selain itu, penggunaan kosakata
bahasa Jawa krama dalam peribahasa Jawa membuat masyarakat kurang
memahami arti dari peribahasa yang sarat nilai. Oleh sebab itu, penelitiakan
mengkaji tentang tuturan dalam peribahasa Jawa. Alasan peneliti mengkaji
tentang peribahasa Jawa karena peribahasa Jawa menggambarkan sikap hidup dan
pandangan hidup masyarakat Jawa agar dapat hidup secara berdampingan dan
harmonis. Selain itu, peribahasa Jawa merupakan ungkapan yang secara tidak
langsung yang berisi prinsip hidup orang Jawa agar berperilaku sesuai dengan
norma dan nilai masyarakat Jawa. Penelitian ini difokuskan pada analisis tuturan
peribahasa Jawa yang mencakup makna tuturan dalam peribahasa Jawa, fungsi
tuturan peribahasa Jawa, dan muatan persepsi dalam kosakata peribahasa Jawa.
Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi tentang makna, fungsi, dan muatan
persepsi yang terdapat dalam peribahasa Jawa.
2
Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian
Nugroho (2011) yang berjudulAnalisis Peribahasa Mengenai Kerukunan dalam
Penelitian Semantik.Penelitian ini mengkaji tentang muatan semantik dalam
peribahasa yang mengandung nilai-nilai tentang kerukunan.Dalam hal ini, peneliti
menganalisis muatan budaya dalam peribahasa Jawa yang mengandung nilai
kerukunan serta menunjukkan penanda semantikyang digunakan untuk menandai
unsur-unsur kerukunan dalam peribahasa Jawa. Peneliti menggunakan teori
segitiga makna dari C. K. Ogden dan I. A. Richards yang digunakan untuk
menemukan makna kata-kata yang terdapat dalam objek. Hasil dari penelitian ini
adalah mendeskripsikan makna peribahasa Jawa yang mengandung nilai
kerukunan, menjabarkan komponen kerukunan yang terkandung dalam peribahasa
Jawa, dan memaparkan pesan budaya dalam peribahasa Jawa dengan
menggunakan analisi komponen makna.
Selain itu, penelitian sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Zahrois (2014) yang berjudulNilai Moral dalam Ungkapan
Tradisional Masyarakat Jawa di Desa Sumberdadap Kecamatan Pucanglaban
Kabupaten Tulungagung. Penelitian ini mengkaji tentang nilai-nilai moral yang
terdapat dalam Ungkapan Rakyat di Desa Sumberdadap.Dalam penelitian ini,
peneliti mengkaji nilai moral ketuhanan, individu dan sosial yang terdapat dalam
ungkapan rakyat masyarakat Desa Sumberdadap.
Penelitian tentang Analisis Tuturan dalam Peribahasa Jawa ini sengaja
dilakukan dengan pertimbangan (1) peribahasamerupakan bentuk ungkapan Jawa
yang mengandung makna kiasan dan perumpamaan, (2) terdapat pesan budaya
dalam peribahasa Jawa, (3) peribahasa Jawa mengandung makna dan fungsi, dan
(4) belum pernah dilakukan penelitian ini sebelumnya. Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, peneliti menganggap bahwa perlu dilakukan penelitian mengenai analisis
tuturan dalam peribahasa Jawa.
METODE
Penelitianinitermasukjenispenelitiankualitatifdenganmenggunakanpendeka
tanbudaya.Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini menitikberatkan pada
pendeskripsian temuan-temuan mengenai makna tuturan, fungsi tuturan, dan
3
muatan tuturan dalam kosakata peribahasa Jawa. Dalam hal ini, hasil dari
penelitian ini berupa teks deskriptif atau gambaran tentang temuan-temuan
penelitian. Pada penelitian ini, peneliti merupakan instrumen kunci yang
merencanakan penelitian, mengumpulkan data, menentukan fokus penelitian,
membuat instrumen, menganalisis data, dan melaporkan penelitian.
Data dalam penelitian ini berupa kalimat maupun kata-kata dalam
peribahasa Jawa. Sumber data dalam penelitian ini berupaperibahasa Jawa yang
diperoleh dari kamus peribahasa Jawa dan didukung oleh sumber data lain yang
berupa aspek kelisanan yang diperoleh dari beberapa informan, yaitu Bapak
Suyanto (46) dan Ibu Kalimah (45) dari Desa Datengan, Ibu Sundarsih (59) dan
Ibu Tinem (61) dari Desa Kalipang. Dalam pengumpulan data peneliti sebagai
instrumen kunci menggunakan alat bantu yaitu analisis teks dan pedoman
wawancara.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara (1) mereduksi
data yaitu menyaring data yang digunakan dalam analisis data. Pada tahap ini,
peneliti juga melakukan identifikasi data sesuai dengan fokus yang diteliti. (2)
klasifikasidata yaitu mengklasifikasikan data sesuai dengan indikator penelitian.
Pada tahap ini, dilakukan pengodean data untuk memudahkan memasukkan data
dalam analisis data, (3) penyajian data yaitu penyajian hasil analisis data yang
berupa bentuk teks deskriptif yang menjabarkan dan mendeskripsikan data
berdasarkan fokus penelitian, (4) penafsiran data yaitu menjelaskan dan
menguraikan data berdasarkan fokus penelitian, dan (5) penarikan kesimpulan
yaitu deskripsi tentang makna tuturan, fungsi tuturan, dan muatan persepsi dalam
kosakata peribahasa Jawa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan fokus penelitian, hasil dan pembahasan ini yaitu (1) makna
tuturan dalam peribahasa Jawa yang meliputi kerukunan, gotong royong, kerja
keras, kebijaksanaan, keharmonisan, redah hati, peduli, dan nasihat agar tidak
sombong, (2) fungsi tuturan yang meliputi fungsi instrumental, fungsi
regulasi/regulatory,dan fungsirepresentasi. (3) muatan persepsi dalam tuturan
peribahasa Jawa yang meliputi kategori human, flora, fauna, objek, substansi,
4
terrestrial, kosmos, energi, dan ke-ada-an. Hasil dan pembahasan akan dijelaskan
sebagai berikut.
Kerukunan
Kerukunan merupakan keadaan dalam harmoni atau sebagai tentram dan
damai, seperti persahabatan ideal, tanpa pertengkaran dan perselisihan, bersahabat
dan terpadu dalam tujuan dan saling membantu satu sama lain (Mulder, 1983:42).
Kerukunan dapat disejajarkan dengan keadaan antar anggota masyarakat saling
menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya. Sikap saling menghargai
dan menghormati ini menciptakan keselarasan dan keserasian hidup dalam
bermasyarakat. Keselarasan dan keserasian ini memungkinkan masyarat untuk
hidup damai dan tentram dalam menjalin interaksi dengan lingkungan sosial.
Dalam data peribahasa Jawa, terdapat tiga tuturan yang mengandung makna dan
nilai kerukunan. Berikut adalah beberapa contoh makna kerukunan yang terdapat
dalam tuturan peribahasa Jawa.
(1) Rukun agawe santoso
Bersatu kita teguh
(3) Mangan ora mangan ngumpul
Tetap menjalin hubungan meskipun tidak bersama
Tuturan peribahasa (1) dan (3) mempunyai makna tentang pentingnya
hidup rukun dalam sebuah keluarga. Tuturan peribahasa tersebut digunakan dalam
konteks pemakaian di dalam sebuah keluarga yang menginginkan kehidupan
sebuah keluarga yang harmonis. Tuturan peribahasa tersebut biasanya digunakan
ketika suatu keluarga sedang berkumpul, bergurau, tidak ada pertengaran, dan
saling berbagi kasih sayang. Dalam hal ini, tuturan peribahasa (1) dan (3)
menggambarkan bahwa hendaknya meluangkan waktu untuk berkumpul bersama
keluarga, kerabat, saudara, dan teman untuk mempererat tali silaturahmi.
Gotong Royong
Gotong royong merupakan kerjasama antara anggota-anggota suatu
komuniti dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati
hasil tersebut dengan adil, atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa
pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya
5
masing-masing (Koentjaraningrat, 1984:139). Dalam data peribahasa Jawa,
terdapat empat tuturan yang mengandung makna gotong royong. Berikut adalah
beberapa contoh makna gotong royong yang terdapat dalam tuturan peribahasa
Jawa.
(4) Gugur gunung
Kerja sosial yang harus dilakukan bersama-sama guna menyelesaikan
pekerjaan yang berat
(6) Saiyeg saeka praya
Semangat gotong royong
Tuturan peribahasa (4) dan (6) mempunyai makna tentang pentingnya
gotong royong. Tuturan peribahasa tersebut digunakan dalam konteks pemakaian
di dalam sebuah masyarakat yang melakukan pekerjaan bersama dan tindakan
mengesampingkan
kepentingan
pribadi.
Tuturan
peribahasa
tersebut
memperlihatkan sikap dan tindakan masyarakat dalam bekerja, selalu didasari atas
dasar ketulusan dan keikhlasan dalam menjalankannya. Tuturan peribahasa
tersebut menunjukkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersamasama dan tanpa pamrih akan menciptakan suatu masyarakat yang peduli serta
mempererat persatuan dan persaudaraan.
Kerja Keras
Kerja keras merupakan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
tujuan atau prestasi. Kerja keras adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan giat
dan bersungguh-sungguh tanpa mengenal lelah (Multahin, 2007:15). Dalam data
peribahasa Jawa terdapat lima tuturan tentang makna kerja keras. Berikut adalah
beberapa contoh makna kerja keras yang terdapat dalam tuturan peribahasa Jawa.
(7) Adus kringet
Orang yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya agar
bisa hidup layak
(8) Golek upo
Mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan
Tuturan peribahasa (7) dan (8) mempunyai makna tentang pentingnya
kerja keras dalam mencari nafkah. Tuturan peribahasa tersebut digunakan di
lingkungan masyarakat dalam konteks pemakaian ketika seseorang berusaha
untuk bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, tuturan
6
peribahasa tersebut hanya digunakan ketika seseorang giat untuk bekerja agar
mendapatkan kehidupan yang layak. Tuturan peribahasa (7) dan (8) menunjukkan
bahwa dengan bekerja keras, segala sesuatu yang
diinginkan akan dapat
terlaksanakan.
Keharmonisan
Keharmonisan adalah keserasian, kecocokan, dan keselarasan (Fajri dan
Senja, 2008:305). Keharmonisan merupakan keadaan suatu masyarakat maupun
keluarga berada dalam kecocokan dan keserasian serta tidak ada perselisihan.
Keharmonisan di dalam masyarakat maupun keluarga dapat terwujud apabila
maisng-masing unsur dalam masyarakat maupun keluarga tersebut dapat
berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada
nilai dan norma budaya (Hawari, 2006:67). Dalam data peribahasa Jawa terdapat
terdapat tiga tuturan yang mempunyai makna tentang keharmonisan. Berikut
adalah beberapa contoh makna keharmonisan yang terdapat dalam tuturan
peribahasa Jawa.
(12) Among asih
Suami istri yang menjalani hidup dengan saling mencintai
(13) Gendhon rukun
Suami istri yang selalu romantis, kemana-mana selalu berdua
Tuturan peribahasa (12) dan (13) mempunyai makna tentang pentingnya
kehidupan keluarga yang harmonis. Tuturan peribahasa tersebut digunakan dalam
konteks pemakaian ketika suatu keluarga selalu bersama-sama, saling berbagi
kasih sayang, serta tidak adanya perpecahan. Tuturan peribahasa tersebut biasanya
digunakan pada saat sebuah keluarga hidup saling berdampingan, saling terbuka,
dan tidak ada pertikaian. Tuturan peribahasa tersebut memperlihatkan sikap
anggota keluarga yang hidup rukun, damai, penuh kasih sayang, dan saling
terbuka.
Kebijaksanaan
Bijaksana merupakan bertindak sesuai dengan pikiran dan akal sehat
sehingga menghasilkan perilaku yang tepat dan sesuai. Sikap bijaksana adalah
sikap tepat dalam menyikapi setiap keadaan dan peristiwa sehingga dapat
7
menyelesaikan permasalahan dengan adil, tidak berat sebelah, dan tanpa adanya
keraguan (Jeniarto, 2013:125). Dalam data tuturan peribahasa Jawa terdapat tiga
tuturan yang mempunyai makna tentang pentingnya sikap bijaksana. Berikut
adalah beberapa contoh makna kebijaksanaan yang terdapat dalam tuturan
peribahasa Jawa.
(15) Alihan gung
Seseorang yang sangat
menyombongkan diri
(16) Berbudi bawa leksana
Orang yang berjiwa besar
pandai
dan
bijaksana,
sehingga
tidak
Tuturan peribahasa (15) dan (16) mempunyai makna tentang pentingnya
sikap bijaksana. Tuturan peribahasa tersebut digunakan di lingkungan masyarakat
dalam konteks pemakaian ketika seorang rakyat membutuhkan seorang pemimpin
yang dapat mengayomi rakyatnya. Tuturan peribahasa tersebut biasanya
digunakan ketika seorang pemimpin dapat bersikap bijak dalam menyelesaikan
permasalahan politik, ekonomi, maupun sosial. Tuturan peribahasa tersebut juga
memperlihatkan bahwa untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang bijaksana
harus dapat mengayomi rakyat dan memberi dorongan kepada rakyat
Rendah Hati
Rendah hati adalah sifat individu yang bijak pada seseorang, dapat
memposisikan sama antara dirinya dengan orang lain, merasa tidak lebih pintar,
serta tidak merasa lebih tinggi, dan juga dapat menghargai orang lain. Rendah hati
adalah hal atau sifat tidak sombong atau tidak angkuh (Musthofa, 2011). Dalam
data tuturan peribahasa Jawa terdapat satu tuturan yang mempunyai makna
tentang pentingnya sifat rendah hati. Berikut adalah contoh makna rendah hati
yang terdapat dalam tuturan peribahasa Jawa.
(18) Bumi pinendhem
Orang yang rendah hati
Tuturan peribahasa (18) mempunyai makna tentang pentingnya sifat
rendah hati. Tuturan peribahasa tersebut digunakan dalam konteks pemakaian
ketika di dalam sebuah masyarakat, seseorang bersikap saling menghargai,
menghormati, dan ikhlas menolong orang lain. Tuturan peribahasa tersebut
8
digunakan ketika seseorang merasa tidak sombong, tidak merasa pintar, saling
menolong, dan tidak membeda-bedakan orang lain. Tuturan peribahasa tersebut
memperlihatkan bahwa sikap rendah hati sangat diperlukan masyarakat untuk
menciptakan suasana yang harmonis dan saling menghargai.
Peduli
Peduli adalah memperlakukan orang lain dengan sopan, bertindak santun,
toleran terhadap perbedaan, tidak menyakiti orang lain, tidak merendahkan orang
lain, saling berbagi, saling bekerja sama, serta memiliki sifat cinta damai dalam
menghadapi persoalan (Samani dan Hariyanto, 2012:51). Dalam data peribahasa
Jawa, terdapat tiga tuturan yang mengandung makna tentang sikap peduli. Berikut
adalah beberapa contoh makna kepedulian yang terdapat dalam tuturan peribahasa
Jawa.
(19) Dijuju kaya manuk
Orang yang dipelihara, diasuh, dirawat, dan diberi makan dengan
sekenyang-kenyangnya
(20) Dikempit kaya wade
Orang yang dipelihara, diasuh, dididik, dan diberi makan sebaik-baiknya
Tuturan peribahasa (19) dan (20) mempunyai makna tentang pentingnya
sifat peduli. Tuturan peribahasa tersebut digunakan di dalam lingkungan
masyarakat dalam konteks pemakaian ketika seseorang merawat orang lain seperti
keluarganya sendiri. Tuturan peribahasa tersebut biasanya digunakan ketika
seseorang membantu orang lain dengan cara mengasuh dan merawat orang lain
dengan rasa tulus dan penuh kasih sayang. Tuturan peribahasa tersebut
memperlihatkan bahwa kepedulian yang dimiliki oleh masyarakat menunjukkan
bahwa masyarakat memiliki rasa belas kasih terhadap anggota masyarakat lain.
Nasihat agar tidak Sombong
Sombong adalah tingkah laku dan sifat yang cenderung memuji,
mengagungkan, membesarkan, dan memandang diri sendiri sebagai makhluk yang
paling di atas sebaga-galanya (Ghazali, 1994:7). Sifat tersebut sangat merugikan
diri sendiri maupun orang lain, karena sifat tersebut dapat merusak hubungan
persaudaraan di dalam lingkungan masyarakat. Dalam data peribahasa Jawa,
terdapat tiga tuturan yang menggambarkan nasihat agat tidak sombong. Berikut
9
adalah beberapa contoh nasihat agar tidak sombong yang terdapat dalam tuturan
peribahasa Jawa.
(22) Aja adigang, adigung, adiguna
Jangan menyombongkan kekuasaan, kedudukan, dan kecerdikan
(23) Aja kegedhen endhas kurang utek
Jangan sombong, congak, dan tinggi hati
Tuturan peribahasa (22) dan (23) mempunyai makna yaitu nasihat agar
tidak sombong. Tuturan peribahasa tersebut digunakan dalam konteks pemakaian
di dalam masyarakat ketika seseorang merasa dirinya paling benar dan paling
berkuasa. Tuturan peribahasa tersebut biasanya digunakan untuk menasehati
seseorang pada saat seseorang mengandalkan jabatan, kedudukan, dan kepandaian
untuk merendahkan orang lain. Tuturan peribahasa tersebut juga menunjukkan
bahwa sifat sombong dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, karena sifat
tersebut dapat membuat orang lain merasa tidak suka terhadap perilaku dan
perbuatan orang yang bersifat sombong tersebut.
Instrumental
Menurut Halliday (dalam Alwasilah, 1985:27) fungsi instrumental adalah
bahasa atau tuturan berfungsi sebagai alat untuk menggetarkan serta
memanipulasi lingkungan atau menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Terdapat dua
indikator dalam fungsi instrumental yaitu memberi perintah dan larangan.
Masing-masing indikator terdapat dua tuturan yang mempunyai fungsi memberi
perintah dan melarang. Berikut adalah beberapa contoh fungsi instrumental dalam
tuturan peribahasa Jawa.
(24) Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandhang kasangsaran. Pujinen yen
sira lagi nampak anugrahing Gusti
Mohonlah kepada Tuhan jikalau engkau sedang menderita sengsara. Dan
bersyukurlah kepada Tuhan jikalau engkau diberi anugerah-Nya
(26) Aja pijer mangan nendra
Jangan mengutamakan tidur
Tuturan peribahasa (24) berfungsi untuk menyampaikan perintah kepada
masyarakat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan dalam
tuturan tersebut yaitu menyembah Tuhan. Perintah dalam tuturan peribahasa
tersebut berfungsi agar masyarakat lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
10
Tuturan peribahasa (26) berfungsi untuk melarang seseorang untuk
bersikap malas. Dalam hal ini, tuturan peribahasa tersebut melarang untuk
bermalas-malasan terutama dalam hal bekerja dan mencari ilmu.
Regulatori/regulasi
Menurut Halliday (dalam Alwasilah, 1885:30), fungsi regulatori/regulasi
mengacu kepada pemakaian bahasa atau tuturan untuk mengatur tingkah laku
orang lain. Bahasa atau tuturan berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan
pengatur peristiwa terhadap orang lain. Terdapat dua indikator dalam fungsi
regulatori yaitu membuat aturan dan memberi himbauan. Masing-masing
indikator terdapat dua tuturan yang mempunyai fungsi membuat aturan dan
memberi himbauan. Berikut adalah beberapa contoh fungsi regulatori/regulasi
dalam tuturan peribahasa Jawa.
(28) Alon-alon waton kelakon
Berhati-hati dan teliti dalam melakukan sesuatu agar tercapai tujuan.
(31) Ojo dumeh
Siapa pun tidak boleh mengandalkan jabatan, kedudukan, atau
kepandaiannya untuk menekan orang lain karena manusia sama di
hadapan Sang Khalik
Tuturan peribahasa (28) berfungsi untuk membuat aturan agar teliti dalam
melakukan sesuatu. Suatu pekerjaan yang dikerjakan secara tergesa-gesa dan
berfikir untuk cepat selesai mengakibatkan hasil pekerjaan tersebut tidak maksimal
dan tidak sesuai yang diharapkan. Oleh sebab itu, pekerjaan yang dikerjakan
dengan tekun dan teliti akan memberikan hasil yang baik pula.
Tuturan peribahasa (31) berfungsi untuk menghimbau seseorang maupun
masyarakat agar tidak bermalas-malasan. Sikap malas yang dimiliki oleh individu
dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. oleh sebab itu tuturan peribahasa
tersebut mengajarkan kepada masyarakat untuk bekerja demi mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Representasi
Menurut Halliday (dalam Alwasilah, 1885:28), fungsi representasi
mengacu pada bahasa atau tuturan sebagai alat untuk membicarakan objek atau
peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau dalam kebudayaan pada umumnya.
11
Terdapat dua indikator tentang representasi yaitu pandangan hidup dan sikap
hidup. Masing-masing indikator terdapat tiga tuturan yang berfungsi sebagai
pandangan hidup dan sikap hidup. Berikut adalah beberapa contoh tentang
representasi dalam tuturan peribahasa Jawa.
(32) Ana dina, ana upa
Ada hari ada rezeki
(33) Adus kringet.
Orang yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya agar
bisa hidup layak.
Tuturan peribahasa (32) dan (33) menggambarkan tentang pandangan
hidup seseorang yang menginginkan kesuksesan dan keberhasilan. Pandangan
hidup tentang kesuksesan dan keberhasilan yang diinginkan setiap individu
merupakan suatu hal yang diimpikan individu sebagai tujuan hidupnya.
Tuturan peribahasa (32) dan (33) berfungsi untuk menggambarkan sikap
hidup seseorang yaitu bekerja keras. Cara yang dilakukan seseorang untuk
mencapai kesuksesan dan keberhasialan tersebut adalah dengan bekerja keras.
Sikap hidup yang ditunjukkan
oleh peribahasa tersebut adalah ketika ingin
mencapai kesuksesan, maka dilakukan dengan cara bekerja keras.
Kosakata Kategori Human
Kosakata kategori humanadalah kosakata yang mengacu pada manusia itu
sendiri dengan segala macam tingkah lakunya, karena manusia mempunyai
kemampuan untuk berpikir sehingga manusia dapat melakukan berbagai macam
perbuatan yang tidak mungkin dapat dikerjakan oleh makhluk lain (Wahab,
1991:81). Terdapat tiga indikator dalam kategori human, yaitu (1) kata ganti diri,
(2) hubungan kekerabatan, dan (3) tradisi kesenian. Masing-masing indikator
terdapat lima tuturan untuk indikator kata ganti diri, satu tuturan untuk indikator
hubungan
kekerabatan,
dan
satu
tuturan
untuk
indikator
kesenian.Berikut adalah beberapa contoh kosakata kategori human.
(38) Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira
Ibu Bapakmulah yang telah melahirkanmu
(43) Iso nembang, raiso nyuling, Iso nyawang raiso nyanding
Hanya bisa mengagumi seseorang tapi tidak bisa bersama
(44) Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan
Bukan anggota keluarga, tetapi ketika meninggal merasa kehilangan
12
tradisi
dan
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
kata ganti orang, hubungan kekerabatan, dan tradisi kesenian. Kata ganti orang
ditunjukkan dengan kosakata sira, ira, bapa, dan biyung. Hubungan kekerabatan
ditunjukkan dengan kosakata sanakdan kadang. Tradisi kesenian ditunjukkan
dengan kosakata nembang dan nyuling.
Kosakata kategori tradisi dan kesenian pada tuturan peribahasa Jawa
menggambarkan salah satu macam tradisi dan kesenian masyarakat Jawa yang
berupa nembang dan nyuling. Penggunaan kosakata yang menyatakan hubungan
kekerabatan pada peribahasa Jawa menggambarkan bahwa masyarakat Jawa
menjaga hubungan kekerabatan antar anggota keluarga
Kosakata Kategori Fauna
Kosakata kategori fauna mengacu pada penggunaan nama-nama binatang
dalam bahasa Jawa (Wahab, 1991:81).Penggunaan kosakata kategori fauna dalam
bahasa
Jawa
menggambarkan
bahwa
masyarakat
mengenal
beragam
fauna.Terdapat lima indikator dalam kategori fauna, yaitu (1) binatang darat
berkaki empat, (2) unggas, (3) binatang merayap, (4) binatang melata, (5)
binatang hidup di air. Masing-masing indikator terdapat delapan tuturan untuk
indikator binatang darat berkaki empat, dua tuturan untuk indikator unggas, dua
tutran untuk indikator binatang merayap, dua tuturan untuk indikator binatang
melata, dan dua tuturan untuk indikator binatang hidup di air. Berikut adalah
beberapa contoh kosakata kategori fauna.
(47) Kaya kucing karo asu
Orang yang selalu bertengkar dan tidak pernah hidup rukun
(53) Nyolong pethek
Sama sekali diluar dugaan orang banyak
(55) Cecak nguntal cagak
Suatu keinginan yang tidak seimbang dengan kekuatan
(57) Cacing kepidak ngolet
Selemah-lemahnya orang, jika ditindas akan melakukan perlawanan sebisanya
(59) Iwak klebu ing wuwu
Orang yang dengan mudah terperangkap tipu daya musuh
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
binatang darat berkaki empat, unggas, binatang merayap, binatang melata, dan
binatang yang hidup di air. Binatang darat berkaki empat ditunjukkan dengan
kosakata kucing dan asu. Binatang unggas ditunjukkan dengan kosakata pethek.
13
Binatang merayap ditunjukkan dengan kosakata cecak. Binatang melata
ditunjukkan dengan kosakata cacing. Binatang hidup di air ditunjukkan dengan
kosakata iwak.
Penggunaan kosakata binatang pada tuturan peribahasa Jawa merupakan
persepsi masyarakat terhadap binatang. Dalam hal ini, masyarakat mengetahui
bermacam-macam binatang baik yang menguntungkan maupun merugikan.
Binatang yang menguntungkan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk membajak
sawah, menjaga rumah, mengusir hama tanaman, dan dapat diolah menjadi
makanan.
Kosakata Kategori Flora
Flora dapat diartikan sebagai sekelompok tanaman (Steenis, 1975:05).
Pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan (flora) dapat diketahui melalui
pengalaman masyarakat dalam mengelolah tumbuh-tumbuhan. Terdapat empat
indikator dalam kategori flora, yaitu (1) tanaman pangan, (2) buah-buahan, (3)
rempah-rempah, dan (4) rumput. Masing-masing indikator terdapat lima tuturan
untuk indikator tanaman pangan, satu tuturan untuk indikator buah-buahan, tiga
tuturan untuk indikator rempah-rempah, dan satu tuturan untuk indikator rumput.
Berikut adalah beberapa contoh kosakata kategori flora.
(61) Milih-milih tebu oleh boleng
Terlalu banyak memilih akhirnya justru mendapat yang jelek
(66) Timun mungsuh duren
Orang kecil dan lemah bermusuhan dengan penguasa
(67) Pupuk bawang
Masih disamakan dengan anak kecil, belum masuk hitungan
(70) Gajah alingan suket teki
Orang yang berpura-pura, akhirnya ketahuan maksudnya
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
tanaman pangan, buah-buahan, rempah-rempah, dan rumput. Tanaman pangan
ditunjukkan dengan kosakata tebu. Buah-buahan ditunjukkan dengan kosakat
timun dan duren. Rempah-rempah ditunjukkan dengan kosakata bawang. Rumput
ditunjukkan dengan kosakata suket teki.
Penggunaan kosakata kategori fauna menunjukkan persepsi masyarakat
Jawa tentang tumbuhan. Flora atau tumbuh-tumbuhan dimanfaatkan masyarakat
14
Jawa dari segi ekonomi, budaya dan lingkungan.Dalam hal ini, kosakata tersebut
menggambarkan bahwa masyarakat Jawa mengenal berbagai macam tumbuhan.
Kosakata Kategori Objek
Kosakata kategori objek mempunyai sifat terikat oleh dimensi ruang, dapat
dipersepsi dan memiliki bentuk yang pasti (Wahab, 1991:106). Kosakata kategori
objek mengacu pada segala macam benda yang memiliki bentuk yang pasti.
Terdapat dua indikator tentang kosakata kategori objek, yaitu (1) makanan dan (2)
peralatan dapur. Masing-masing indikator terdapat empat tuturan untuk indikator
makanan dan dua tuturan untuk indikator peralatan dapur. Berikut adalah beberapa
contoh kosakata kategori objek.
(74) Ana gula ana semut
Di mana banyak sumber penghasilan, di situ banyak yang mendatangi
(75) Ora mambu enthong irus
Tidak ada hubungan saudara sama sekali
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
makanan dan peralatan dapur. Persepsi terhadap makanan ditunjukkan dengan
kosakatagula. Persepsi tentang peralatan dapur ditunjukkan dengan enthong dan
irus.
Penggunaan kosakata kategori objek pada tuturan peribahasa Jawa
menggambarkan persepsi masyarakat terhadap. Dalam hal ini, objek yang
digunakan masyarakat Jawa adalah benda yang sering digunakan masyarakat
untuk kebutuhan sehari-hari. Benda-benda yang sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari adalah makanan dan peralatan dapur.
Kosakata Kategori Terrestrial
Kosakata kategori terestrial adalah kosakata yang mengacu pada kategori
tempat yang bercirikan hamparan (Wahab, 1991:105). Terdapat dua indikator
yang tentang kosakata kategori terrestrial, yaitu (1) hamparan daratan dan (2)
hamparan perairan. Masing-masing indikator terdapat satu tuturan untuk indikator
hamparan daratan dan hamparan perairan.Berikut adalah beberapa contoh
kosakata kategori terrestrial.
15
(77) Nguyahi banyu segara
Melakukan hal yang sia-sia
(78) Gugur gunung
Kerja sosial yang harus dilakukan bersama-sama guna menyelesaikan
pekerjaan yang berat
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
hamparan perairan dan hamparan daratan. Hamparan perairan ditunjukan dengan
kosakata segara. Hamparan daratan ditunjukkan dengan kosakata gunung.
Penggunaan
kosakata
kategori
terrestrial
menunjukkan
persepsi
masyarakat terhadap tempat lapang baik daratan maupun perairan. Masyakat Jawa
mengenal daratan perairan atau laut sebagai sumber kehidupan dan mengenal
daratan gunung sebagai tempat yang tinggi biasanya untuk bercocok tanam.
Kosakata Kategori Substansi
Kosakata kategori substansi adalah kosakata yang mengacu pada suatu
benda yang mempunyai ciri dapat bergerak, menempati ruang, ada, tak bernyawa,
dan tak berbentuk serta mempunyai sifat lembam (Wahab, 1991:105). Dalam data
tuturan peribahasa Jawa, terdapat satu tuturan yang menggunakan kosakata
kategori substansi. Berikut adalah contoh tentang kosakata kategori substansi.
(79) Ora ana banyu mili mendhuwur
Sifat atau tabiat anak tidak jauh berbeda dengan orang tuanya
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat Jawa terhadap
benda yang mempunyai ciri dapat bergerak, menempati ruang, ada, tak bernyawa,
dan tak berbentuk serta mempunyai sifat lembam (Wahab, 1991:105). Kategori
substansi ditunjukkan dengan kosakata banyu.
Penggunaan
kosakata
kategori
substansi
menunjukkan
persepsi
masyarakat tentang substansi yaitu banyu. Kosakata banyu ‘air’ dalam tuturan
peribahasa Jawa melambangkan kehidupan dan kesejukan. Air adalah sumber
kehidupan manusia. Tanpa air, manusia, hewan, dan binatang tidak dapat bertahan
hidup.
16
Kosakata Kategori Energi
Kosakata kategori energi adalah kosakata yang mengacu pada sesuatu
yang menempati ruang dan bergerak (Wahab, 1991:104). Energi adalah
kemampuan untuk melakukan usaha (Agustina dan Tika, 93:2013). Dalam tuturan
peribahasa Jawa, terdapat dua tuturan yang menggunakan kosakata energi. Berikut
adalah contoh tentang kosakata kategori energi.
(80) Geni munggeng kayu
Orang yang berbuat buruk mendapat dukungan, maka akan semakin menjadijadi
Penggunaan kosakata kategori energi pada tuturan peribahasa tersebut
menunjukkan persepsi masyarakat terhadap energi, yaitu api. Api dimanfaatkan
masyarakat untuk membakar benda dan memanaskan benda.
Kosakata kategori Kosmos
Kosakata kategori kosmos adalah kosakata yang mengacu pada bendabenda kosmos yang bersifat semesta (Wahab, 1991:103). Benda kosmos adalah
semua yang atau selalu pernah atau selalu akan ada (Sagan, 1997:02). Dalam data
tuturan peribahasa Jawa, terdapat empat tuturan yang menggunakan kosakata
kategori kosmos. Berikut adalah contoh tentang kosakata kategori kosmos.
(82) Bisa njara langit
Orang yang sangat pandai dan bijaksana, sehingga mampu menyelesaikan
banyak masalah yang sulit
Penggunaan kosakata kategori kosmos pada tuturan peribahasa tersebut
menunjukkan persepsi masyarakat terhadap kosmos atau benda langit yaitu langit,
lintang, mega, dan srengenge. Benda-benda kosmos tersebut sangat bermanfaat
bagi masyarakat digunakan untuk mengetahui pergantian waktu.
Kosakata Kategori Ke-ada-an
Kosakata kategori ke-ada-an merupakan kosakata yang mengacu pada hal
ada dan bersifat abstrak.Hal yang ada dan bersifat abstrak ini adalah kata sifat dan
kata benda abstrak (Wahab, 1991:103). Terdapat tiga indikator tentang kosakata
kategori ke-ada-an, yaitu (1) penggunaan waktu, (2) etika budaya, dan (3) suasana
17
perasaan. Masing-masing indikator terdapat dua tuturan untuk indikator
penggunaan waktu, tiga tuturan untuk indikator etika budaya, dan dua tuturan
untuk indikator suasana dan perasaan. Berikut adalah beberapa contoh kosakata
kategori ke-ada-an.
(86) Kari senin-kamis
Orang yang sakit parah, sehingga nafasnya kembang kempis dan tidak
lama lagi sampai ajalnya
(89) Gugur gunung
Kerja sosial yang harus dilakukan bersama-sama guna menyelesaikan
pekerjaan yang berat
(92) Tega larane ora tega patine
Meskipun hati tega melihat orang lain sengsara tetapi masih mau memberi
pertolongan
Tuturan peribahasa di atas merupakan persepsi masyarakat terhadap
penggunaan waktu, suanana atau perasaan, dan etika budaya. Penggunaan waktu
ditunjukkan dengan kosakata senin-kamis. Suasana perasaan ditunjukkan dengan
kosakata
tega.
Etika
budaya
ditunjukkan
dengan
kosakata
gugur
gunung.Penggunaan kosakata kategori ke-ada-an dalam tuturan peribahasa Jawa
menggambarkan
bahwa
masyarakat
Jawa
sangat
memanfaatkan
waktu,
mempunyai budaya hidup rukun, dan mempunyai perasaan belas kasih.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemaknaan tuturan dalam peribahasa Jawa dapat dilihat dari konteks
pemakaian tuturan peribahasa Jawa yang meliputi tempat dan suasana tutur,
peserta, tujuan, dan pokok/isi tuturan. Dalam hal ini, makna yang terdapat dalam
tuturan peribahasa Jawa adalah kerukunan, gotong royong, kerja keras,
kepedulian, keharmonisan, kebijaksanaan, rendah hati, dan nasihat agar tidak
sombong. Dari hasil penjabaran makna dalam tuturan peribahasa Jawa tersebut
dapat disimpulkan bahwa dalam tuturan peribahasa Jawa banyak mengandung
makna yang mengajarkan untuk kebaikan.
Tuturan peribahasa Jawa yang memuat budaya masyarakat jawa berfungsi
sebagai alat pengawas, pengotrol, pengendali, dan pengatur tingkah laku
masyarakat Jawa dalam hal bersosialisasi. Fungsi tuturan yang terdapat dalam
tuturan peribahasa Jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu, instrumental,
18
regulasi/regulatori,dan representasi. Fungsi instrumental berfungsi untuk
mengajak atau menggerakkan mitra tutur. Fungsi tersebut dapat dilihat dari
penggunaan tuturan peribahasa Jawa yaitu untuk memberi perintah dan membuat
larangan. Fungsi regulatori/regulasi berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan
perilaku. Fungsi tersebut dapat dilihat dari membuat atau memberikan aturan dan
memberi himbauan. Fungsi representasi dalam peribahasa Jawa bertujuan untuk
membuat pernyataan. Fungsi tersebut dapat dilihat dari representasi tentang sikap
hidup dan pandangan hidup. Sikap hidup dan pandangan hidup yang tertuang
dalam peribahasa Jawa merupakan cermin perilaku yang harus dilakukan untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan. Dalam tuturan peribahasa Jawa, banyak
memuat tentang regulatori/regulasi. Hal tersebut dikarenakan tuturan peribahasa
Jawa merupakan sebuah nasihat yang disampaikan secara tidak langsung sebagai
prinsip hidup masyarakat Jawa.
Penggunaan kosakata dalam tuturan peribahasa Jawa mencerminkan bahasa
dan budaya masyarakat Jawa.Kosakata yang digunakan dalam tuturan peribahasa
Jawa dapat dikategorikan menjadi sembilan yaitu manusia, hewan, tumbuhan,
objek, terestrial, substansi, kosmos, energi, dan ke-ada-an.Kosakata dalam tuturan
peribahasa Jawa banyak menggunakan kosakata kategori fauna. Kosakata kategori
fauna digunakan untuk menggambarkan sifat dan perilaku masyarakat Jawa yang
diumpamakan seperti binatang. Keberagaman kosakata tersebut menggambarkan
kekayaan pengetahuan dan khasanah budaya masyarakat penutur bahasa tersebut.
Saran
Penelitian ini menghasilkan temuan yang berkaitan dengan makna tuturan,
fungsi tuturan, dan muatan persepsi dalam kosakata peribahasa Jawa. Ketiga
temuan penelitian tersebut menunjukkan adanya kompleksitas budaya dalam
peribahasa tersebut. Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat agar
memahami budaya dalam peribahasa tersebut sehingga dapat menjaga dan
melestarikan keberadaan peribahasasebagai sarana pendidikan dan pembudayaan.
Demikian juga bagi orang tua, temuan tentang analisis dalam tuturan peribahasa
Jawa dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mendidik anaknya. Bagi pengajar
19
Bahasa Daerah, temuan tentang analisis tuturan dalam peribahasa Jawa ini dapat
digunakan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
Daftar Rujukan
Agustina, Ayu Tri dan Tika, I Nyoman. 2013. Konsep dasar IPA (Aspek Fisika
dan Kimia). Yogyakarta: Ombak
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ghazali, Abu Hamid Al. 1994. Tentang Bahaya Takabbur (Kholifa Marhijanto,
Ed). Surabaya: Tiga Dua
Hawari, D. 2006. Marriage Conseling (Konsultan Perkawinan). Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran UI
Jeniarto, Jimmy. 2013. Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalanpersoalan, 1 (2): hlm.124-148, (online), dalam Jurnal Ultima Humaniora
(http://aifis.org/wp-content/uploads/2013/11/Jurnal-Humaniora-Vol-1-No2-September-2013.pdf), diakses 02 Mei 2016.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1984. Masalah-masalah Pembangunan. Jakarta: Temprint
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta:
Gramedia
Multahin. 2007. Pendidikan Agama Islam Penuntun Akhlak. Jakarta: Yudhistira
Musthofa, Sy. 2011. Membentuh Hakim berperilaku Rendah Hati. (online),
(http://pa-girimenang.go.id/wp-content/uploads/2010/10/Artikel-HakimNan-Rendah-Hati-Oleh-Musthofa-Sy.-PA-Giri-Menang.pdf), diakses 02
Mei 2016.
Rahyono, F. X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama
Widyasastra
Saqan, Carl. Tanpa tahun. Kosmos. Terjemahan Bambang, dkk. 1997. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Steenis, Dr. C G G J Van. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:
Airlangga University Press
20
Download