PENERAPAN KONSELING REALITA UNTUK MENINGKATKAN

advertisement
PENERAPAN KONSELING REALITA UNTUK MENINGKATKAN HARGA
DIRI SISWA
Wida Sulistyowati*) dan Hadi Warsito**)
Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan skor harga diri
rendah siswa sebelum dan sesudah penerapan konseling realita pada siswn.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan
penelitian pre-test post test one group design. Subyek penelitian ini adalah 6 siswa
yang memunyai skor harga diri rendah. Pengumpulan data menggunakan
Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI) yang telah dihitung validitas dan
reliabilitas. Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji tanda. Dari hasil
analisis data berdasarkan analisis uji tanda dengan taraf signifikan 5 %, menunjukan
adanya perbedaan yang signifikan skor harga diri antara sebelum dan sesudah
penerapan konseling realita. Harga diri rendah siswa menjadi meningkat setelah
perlakuan, maka dapat disimpulkan bahwa konseling relaita dapat digunakan untuk
meningkatkan harga diri siswa.
Kata kunci : Konseling relita, Harga diri
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari – hari kita mengenal harga diri sebagi “gengsi”, pada
remaja harga diri sering dikaitkan dengan berbagai tingkah laku khas remaja seperti
tawuran, penyalahgunaan obat – obatan, pacaran sampai prestasi. Dari berbagai
macam permasalahan yang dihadapi remaja, pada masa remaja ini mereka berusaha
untuk mencari identitas dirinya dan berusaha mencari status sebagai seorang yang
berdiri sendiri tanpa bantuan orang tua. Prosese pembentukan identitas diri memiliki
kaitan erat dengan bagaimana remaja menilai atau mengevaluasi diri.
Dalam pembentukan identitas diri remaja yang memperoleh keberhasilan
secara sukses, maka remaja tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam hal
ini 1Glesser mengungkapkan bahwa sekolah mungkin mengarahkan anak pada
kegagalan karena sekolah lebih menunjukan wujud kurang perhatian secara pribadi
kepada individu, Glesser juga mengamati bahwa banyak anak – anak yang
membutuhkan cinta dan harga diri yang semula tidak ditemukan oleh remaja dirumah
dan tidak ditemukan juga di sekolah sehingga semakin meningkatkan identitas
kegagalan. Akibat identitas kegagalan maka kebutuhan remaja tersebut tidak
terpenuhi khusunya dalam hal ini kebutuhan harga diri, harga diri Menurut Branden
adalah merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk
belajar membuat pilihan dan keputusan yang layak serta merespon secara efektif
terhadap perubahan (Branden, 1994)
1
*Wida Sulistyowati, alumnus Prodi BK FIP UNESA
2.**Hadi Warsito, staf Pengajar Prodi BK FIP UNESA
Remaja dengan harga diri rendah akan lebih rentan berperilaku negatif dan
bermacam-macam bentuk prilaku negatif yang akan dilakukan siswa karena harga
diri dapat mempengaruhi prilaku seseorang (Clemes 1995 : 3), sehingga di sekolah
secara tidak langsung siswa akan menghadapi masalah – masalah karena prilaku
negatif akibat harga diri rendah. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Sellet dan
Littelfiel (Fitroni, 2009 : 4) kurangnya harga diri pada siswa dapat mengakibatkan
masalah akademik, penampilan sosial dan olah raga.
Dalam permasalahan mengenai penampilan sosial, masalah akademik dan
olah raga, terdapat siswa yang memiliki harga diri rendah yang ditunjukan dengan
adanya siswa yang tidak mudah menyesuaikan diri atau canggung dengan lingkungan
yang baru karena takut teman baru tidak dapat menerimanya. Permasalahan akademik
yaitu ditunjukan dengan kurang percaya diri (PD) dalam mengekspresikan pendapat
yang dimilikinya, beberapa siswa yang berfikir bahwa dia diasingkan temannya dan
merasa bahwa dia tidak berharga di depan teman – temannya, menghindari situasi
yang menimbulkan kecemasan seperti pada saat waktu mata pelajaran tertentu siswa
sering izin keluar kelas dan lama kembali kekelas lagi. Apabila siswa – siswa tersebut
memiliki harga diri yang tinggi maka ia akan dapat memahami realita yang ada pada
dirinya.
Setiap remaja memiliki harga diri yang berbeda – beda yang dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang dan harga diri rendah
dan itu tergantung bagaimana remaja tersebut menyikapi dan mengevaluasi tindakan
yang dilakukannya sendiri. Menurut pendapat Rosenberg (dalam Burn, 1993 : 87)
bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi maka akan dapat menghormati
dan menggap dirinya sebagai individu yang berguna, sebaliknya individu yang
memiliki harga diri rendah tidak dapat menerima dirinya dan menganggap bahwa
dirinya tidak berguna dan memiliki banyak kekurangan. Setiap remaja seharusnya
memiliki harga diri yang tinggi agar dapat memahami kelebihan serta kekurangan
pada dirinya.
Harga diri merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi demi memperoleh
keberhasilan hidup dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebagai contoh remaja
yang memiliki harga diri rendah, remaja tersebut memiliki badan yang gemuk dan
remaja tersebut berfikir bahwa dia tidak menarik dengan badan yang gemuk sehingga
dia tidak dapat berprestasi dibidang olah raga, remaja tersebut tidak percaya diri dan
malu dalam bergaul, sedangkan remaja yang memiliki harga diri tinggi meskipun ia
memiliki kekurangan tetapi dia tetap optimis dan semangat memperbaiki kekurangan
melalui hal yang lain misalnya, dalam hal prestasi yang lain selain olah raga ia dapat
cakap dalam berbahasa inggris dll dan memperbaiki penampilan fisiknya serta
mampu memahami bahwa setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan
yang dapat dibanggakan. Siswa yang memiliki harga diri rendah pada dasarnya siswa
tersebut tidak dapat memahami realita yang ada pada dirinya.
Dalam membantu siswa yang memiliki harga diri rendah , bimbingan dan
konseling memiliki banyak pendekatan – pendekatan salah satu pendekatan yang
dapat digunakan untuk membantu siswa yang memiliki harga diri rendah adalah
pendekatan Konseling Realita, Glesser (dalam Corey, 2005: 263) mengemukakan
bahwa konseling realita adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang, terapi ini berfungsi untuk membantu klien menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain.
Dalam konseling realita dijelaskan bahwa prilaku yang bermasalah
disebabkan karena individu yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya salah satunya
dalam hal ini adalah kebutuhan akan harga diri. Glesser juga mengungkapkan bahwa
banyak anak – anak di sekolah yang membutuhkan cinta dan harga diri yang semula
tidak ditemukannya dirumah (Suwandi, 1997 : 40)
Berdasarkan fenomena di atas, maka keberadaan konseling realita
berpengaruh dapat meningkatkan harga diri rendah yang dialami oleh siswa. Oleh
karena itu peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang penerapan konseling
realita untuk mneingkatkan harga diri siswa.
Metode
Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian yaitu : siswa kelas VIII-B
SMP Negeri 1 Kedungpring Lamongan yang memiliki harga diri rendah. terdapat 6
responden yang memiliki rasa rendah diri kategori tinggi.
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mengadopsi inventori harga
diri dari coopersmith yaitu Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI) format
sekolah, yang diberikan kepada siswa kelas VIII-B SMP Negeri 1 Kedungpring
Lamongan. CSEI dirancang untuk mengukur sikap evaluasi diri yang berhubungan
dengan minat pribadi, sosial, akademis, dan keluarga. CSEI dikembangkan oleh
Stanley Coopersmith berdasarkan definisi yang diungkapkan mengenai harga diri
(self esteem) yakni format ini memiliki 58 item.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji
tanda. Menurut Siegel (1990 : 83-84) menyatakan “Sign Test dilakukan berdasarkan
tanda (+) dan (-) yang didapat dari selisih pengamatan, selain itu diterapkan jika
pembuat eksperimen ingin menetapakan dua kondisi yang berlainan”. Dalam hal ini
kondisi yang berlainan adalah skor CSEI sebelum dan sesudah perlakuan pendekatan
konseling realita.
Pembahasan
A. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga Diri yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Berne, 2002 : 17)
adalah penilaian yang dibuat oleh seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya;
hal itu menyatakan sikap menyetujui dan tidak menyetujui; dan menunjukan
sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga.
Rosenberg (dalam Burn, 1993 : 69) mengemukakan harga diri adalah
perasaan harga diri didalam nada yang serupa sehingga suatu sikap positif atau
negative terhadap obyek khusus yaitu diri.
Branden menyatakan bahwa Self-esteem is the disposition to experience
oneself as being competent to cope with the basic challenges of life, and as being
worthy of happiness (Branden, 1994).
Menurut (Branden, 1994) harga diri adalah merupakan keyakinan individu
terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk belajar membuat pilihan dan
keputusan yang layak serta merespon secara efektif terhadap perubahan
Harga diri adalah komponen evaluatif dari diri berupa perasaan yang
ternyatakan dalam cara seseorang bertindak (Clemes & Bean, 2001 : 2).
Harga diri yang dikemukakan oleh Muhammad adalah harga yang
diberikan oleh masing – masing dari kita terhadap karakteristik, kemampuan dan
prilaku kita sendiri (Muhammad, 1999 : 34).
Brecht (dalam Sulistyawati, 2002 : 10) mengungkapkan bahwa harga diri
adalah sikap menerima diri sendiri apa adanya, kapanpun dalam hidup kita,
dimana kita memfokuskan diri apa adanya yang telah kita lakukan dan apa yang
dapat kita lakukan, Brecht menambahkan bahwa harga diri dapat dikenali melalui
cara kita bertindak dan berprilaku melalui sikap dan keyakinan serta cara kita
memandang diri kita.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Harga Diri
adalah suatu sikap penilaian yang dibuat oleh seseorang terhadap kemampuan
dirinya dan dinyatakan oleh seseorang dengan bertindak, berkeyakinan serta
sajauh mana menilai dirinya secara positif maupun negatif.
2. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri
Harga diri yang dimiliki oleh seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar individu menurut
Muhammad “Harga diri seseorang dipengaruhi oleh penampilan fisik dan
penerimaan sosial teman sebaya” (Muhammad, 1999 : 52).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri (self-esteem) individu
menurut pendapat beberapa ahli, diantaranya adalah:
a. Pola asuh Orangtua
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua memiliki
kaitan erat dengan harga diri individu. Adapun beberapa ciri pola asuh
orangtua yang dapat meningkatkan harga diri individu menurut Santrock
(2004 : 336) adalah 1) ekspresi akan rasa kasih sayang, 2) perhatian terhadap
masalah yang dihadapi anak, 3) keharmonisan keluarga, 4) partisipasi dalam
aktivitas bersama keluarga, 5) kesediaan dalam memberi pertolongan yang
kompeten dan terarah, 6) menerapkan peraturan yang jelas dan adil, 7)
mematuhi peraturan-peraturan tersebut, dan 8) memberikan kebebasan pada
anak.
b. Kelas sosial
Kelas sosial remaja yang ditandai oleh status sosial orangtua merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi dari harga diri individu. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Goldstein (dalam Burn, 1993 : 265) bahwa:
“Anak laki-laki dan anak perempuan dari kelas pekerja memperlihatkan
wilayah karakteristik kepribadian yang dikaitkan dengan perasaan harga
diri yang rendah, seperti depresi, menarik diri dan agresi kepada taraf
yang jauh lebih luas dibandingkan dengan anak-anak dari kelas
menengah.”
Davie (dalam Burn, 1993 : 266) juga memaparkan bahwa:
“Di dalam kompetensi akademis tertentu anak-anak dari kelas pekerja
berprestasi lebih jelek dibandingkan anak-anak dari kelas menengah.
Jadi anak-anak dari kelas pekerja tampaknya terhalangi didalam
pencarian mereka terhadap pencarian harga diri karena tiadanya
prestasi”
c. Teman sebaya
Menurut Santrock (2004:338) terdapat suatu penelitian yang menunjukkan
bahwa pengaruh teman sebaya lebih tinggi pada individu, meskipun orangtua
juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi harga diri
individu. Terdapat dua jenis dukungan teman sebaya yang diteliti, yaitu teman
sekelas dan teman akrab. Ternyata teman sekelas memiliki pengaruh yang
lebih besar terhadap harga diri remaja. Hal ini bisa terjadi mengingat teman
akrab selalu memberikan dukungan yang dibutuhkan, sehingga dukungan
tersebut tidak dianggap oleh remaja sebagai suatu yang meningkatkan harga
diri karena remaja pada saat-saat tertentu membutuhkan sumber dukungan
yang lebih obyektif untuk membenarkan harga dirinya.
Menurut Brecht (dalam Sulistyawati, 2002:11) harga diri seseorang di
pengaruhi oleh 4 hal, yaitu :
a. Orang tua
Sikap, perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya dapat
mempengaruhi tingkat harga diri anaknya. Misal : orang tua yang gemar
mengkritik cenderung memiliki anak yang berharga diri rendah.
b. Teman Sebaya
Tingkat peneriamaan teman sebaya sangat menentukan tingkat harga diri
seseorang. Misal : anak yang kurang disukai teman sebayanya cenderung
memiliki harga diri yang rendah.
c. Prestasi
Kemampuan atau prestasi yang dimiliki seseorang dalam sejumlah bidang
cenderung menimbulkan sikap menyukai diri sendiri. Misal : seseorang
anak yang selalu juara I dikelasnya, merasa bangga terhadap dirinya
karena setiap orang tahu kalau dia seorang yang pandai.
d. Diri Sendiri
Tinggi rendahnya harga diri seseorang bergantung pada kemampuannya
menerima kekurangan dan keadaan dirinya apa adanya : seseorang siswa
yang kurang pandai disekolah bersikap menerima hal itu sebagai
kekurangannya dan berusaha untuk menutupi kelemahannya itu dengan
berprestasi di bidang lain (Brecht, 2000:14 - 19)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri
seseorang dipengarurhi oleh beberapa faktor, seperti :
1. Faktor internal individu (dari dalam diri individu)
Meliputi : diri sendiri, status sosial, penampilan fisik, prestasi
2. Faktor eksternal individu (dari luar diri individu)
Meliputi : teman sebaya, kelas sosial, orang tua
3. Karakteristik Harga Diri
Menurut Maslow dalam buku psikologi kepribadian (Maslow, 2004 :
260) mengukapkan bahwa kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan
perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan
berguna dan penting didunia. Sebaliknya kebutuhan harga diri tidak
terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inferior, canggung, lemah,
pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan rendah
diri dalam bergaul.
Coopersmith (dalam Rahmawati, 2006) menegemukakan bahwa harga
diri dibedakan menjadi tiga jenis jika dilihat dari karakteristik individu, yakni
harga diri rendah, harga diri sedang dan harga diri tinggi.
a. Individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem)
Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki karakteristik 1)
aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, 2) berhasil dalam
bidang akademik, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, 3) dapat
menerima kritik dengan baik, 4) percaya terhadap persepsi dan dirinya
sendiri, 5) tidak terpaku pada dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan
kesulitannya sendiri, 6) keyakinan akan dirinya tidak berdasarkan pada
fantasinya, karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial
dan kualitas diri yang tinggi, 7) tidak terpengaruh pada penilaian diri dari
orang lain tantang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun
negatif, 8) akan menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan
yang belum jelas, dan 9) akan lebih banyak menghasilkan suasana yang
berhubungan dengan kesukaan sehingga tercipta tingkat kecemasan dan
perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki daya pertahanan yang
seimbang.
b. Individu dengan harga diri sedang (medium self-esteem)
Karakteristik individu dengan harga diri yang sedang hampir sama
dengan karakteristik individu yang memiliki harga diri tinggi, terutama
dalam kualitas, perilaku dan sikap. Pernyataan diri mereka memang
positif, namun cenderung kurang moderat/ kurang menghindari sikap atau
tindakan yang ekstreem.
c. Individu dengan harga diri rendah (low self-esteem)
Individu yang memiliki harga diri rendah memiliki karakteristik
meliputi 1) memiliki perasaan inferior, 2) takut dan mengalami kegagalan
dalam mengadakan hubungan sosial, 3) terlihat sebagai orang yang putus
asa dan depresi, 4) merasa diasingkan dan tidak diperhatikan, 5) kurang
dapat mengekspresikan diri, 6) sangat tergantung pada lingkungan, 7)
tidak konsisten, 8) secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di
lingkungannya, 9) menggunakan banyak taktik pertahanan diri, dan 10)
mudah mengakui kesalahan.
Kebutuhan untuk diperhatikan diperolehnya perhatian dari orang lain
yang merupakan pengakuan terhadap harga diri, apabila kebutuhan gagal
terpenuhi maka akan tumbul prilaku mala suai seperti minum–minum,
mencuri, membolos, menghisap ganja dan lain sebagainya (Mudjijo, 2001 :
12 – 13)
Karakteristik individu dengan harga diri tinggi dan rendah menurut
Clemes & Bean (1995 : 11-14) adalah sebagai berikut:
Anak remaja dengan harga diri tinggi akan, 1) bertindak mandiri, 2)
menerima sesuatu dengan tanggung jawab, 3) merasa bangga akan
prestasinya, 4) mendekati tantangan baru dengan penuh antusias, 5)
mentolerir frustasi dengan baik. Anak remaja dengan harga diri rendah akan,
1) meremehkan bakatnya sendiri, 2) merasa bahwa orang lain tidak
menghargainya, 3) merasa tidak berdaya, 4) mudah dipengaruhi orang lain,
5) menunjukan deretan emosi dan perasaa yang sempit, 6) menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan, 7) mudah frustasi.
H. J Eysenck dalam buku mengenal diri prbadi yang
diterjemakan oleh D.H Gulo (dalam Sulistyawati, 2002 : 13)
mengemukakan bahwa :
“ seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung percaya diri,
percaya pada kemampuan diri, merasa berguna, merasa berharga, dan
percaya kalau mereka disukai orang lain, sedangkan mereka yang
mempunyai pendapat yang rendah tentang dirinya cenderung merasa rendah
diri, merasa gagal, dan tidak menarik”.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa :
1.Karakteristik seseorang yang mempunyai harga diri tinggi
Meliputi :
Percaya Diri, Merasa berharga, aktif dan mampu meekspresikan diri dengan
baik, dapat menerima kritik dengan baik, tidak terpengaruh pada penilaian
orang lain, mudah mnyesuaikan diri pada lingkungan yang baru, Percaya pada
kemampuan diri, Merasa berguna, Merasa diri mampu, disukai orang lain,
bertindak mandiri, menerima sesuatu dengan tanggung jawab, mendekati
tantangan baru dengan penuh antusias.
2. Karakteristik seseorang dengan harga diri sedang
Meliputi :
Hampir sama dengan karakteristik harga diri tinggi, terutama dalam kualitas,
perilaku dan sikap. Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung
kurang moderat/ kurang menghindari sikap atau tindakan yang ekstreem.
3.Karakteristik seseorang yang mempunyai harga diri rendah
Meliputi :
Sikap Inferior, Canggung, Lemah, rendah diri dalan bergaul, Pasif,
menghindari situasi yang menimbulakn kecemasan, Merasa tidak mampu dan
tidak berharga, merasa gagal, merasa tidak menarik, mudah frustasi, kurang
dapat mengekspresikan diri, menggunakan banyak taktik pertahanan diri, mudah
dipengaruhi orang lain.
B. Konseling Realita
1. Pengartian Konseling Realita
Corey (2005 : 263) mengatakan konseling realita sebagai berikut : suatu
sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang, terapi ini berfungsi untuk
membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan – kebutuhan
dasar tanpa merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Latipun (2006 : 155) menyebutkan bahwa konseling realita adalah suatu
pendekatan yang didasarkan pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan
psikologis pada seluruh kehidupanya, kebutuhan akan identitas diri yaitu
kebutuhan untuk merasa unik terpisah dan berbeda dengan orang lain.
Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling realita
adalah suatu pendekatan yang difokuskan pada tingkah laku sekarang yang
berfungsi untuk membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan psikologis serta kebutuhan akan identitas diri yaitu merasa unik tanpa
merugikan diri sendiri dan orang lain.
Konseling realita yang merupakan suatu sistem yang difokuskan pada
tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta
mengkonfrontasikan klien dengan cara – cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan - kebutuhan dasar tanpa
merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti dari konseling realita adalah
penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.
Bagi Glasser bermental sehat adalah menunjukan rasa tanggung jawab dalam
semua prilaku (Corey, 2005 : 263).
Konseling realita bertitik tolak pada paham dasar bahwa manusia memilih
prilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab, bukan hanya terhadap apa
yang dilakukan juga terhadap apa yang dia pikirkan (Gunarsa, 1992 : 291).
Dari uraian- uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan konseling
realita, siswa dapat terbantu dalam meningkatkan harga dirinya, memahami
dirinya dalam meningkatkan harga dirinya, memahami dirinya dalam menemukan
jalan yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan–kebutuhannya, siswa dapat
dibantu untuk melakukan sesuatu yang kebih baik dalam menghadapi tugas dan
tantangan dalam hidup serta lebih bertanggung jawab dalam kehidupannya
.
2. Konsep Utama Konseling Realita
Konsep utama menurut pandangan Glesser (dalam Fauzan & Flurentin,
1994) yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
a. Manusia adalah makhluk rasional (Rasional Being)
Manusia pada dasarnya adalah makhluk rasional, oleh karena itu maka pola
tingkah laku individu dipengaruhi oleh pola-pola pikir dan bukan oleh aspek
kepribadian yang lain.
b. Manusia memiliki potensi dan dorongan untuk belajar dan tumbuh (growth force)
Sebagai makhluk yang memiliki potensi dan kekuatan, manusia dipandang
mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri yang biasa disebut self
determining.
c. Manusia memiliki kebutuhan dasar (basic needs)
Glessser lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan psikologis dasar yang
penting yaitu kebutuhan cinta mencintai dan kebutuhan akan kebergunaan diri,
merasa dirinya berguna atau berharga.
d. Manusia memerlukan hubungan dengan orang lain
Pemenuhan kebutuhan dasar memerlukan keterlibatan orang lain, oleh
karena itu hubungan langsung dengan orang lain sangatlah penting bagi
perkembangan diri seseorang.
e. Manusia mempunyai motivasi dasar untuk mendapatkan identitas diri yang sukses
(succses identity)
Konsep kebutuhan dasar oleh Glesser digabungkan sebagai motivasi dasar
untuk mendapatkan identitas diri. Hal tersebut menunjuk pada penentuan diri
sebagaiman diri kita, yang kita pandang yang mencakup keunikan, keterpisahan
dan kebermaknaan diri.
f. Manusia selalu menilai tingkah lakunya
Terkait dengan konsep sebelumnya bahwa manusia pada dasarnya selalu
mengadakan penilaian terhadap tingkah lakunya. Penilaian diri itu mungkin
positif dan mungkin pula negatif.
g. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia terikat pada 3 R (responsibility, reality,
dan right)
Responsibility meupakan tanggung jawab atas perilakunya. Reality yakni
perilaku yang nempak saat sekarang adalah bagian dari realitas dimana suatu
fenomena dapat diamati. Sedangkan Right yakni manusia bertingkah laku sesuai
dengan keputusan nilai baik buruk, dan benar salah.
Adapun menurut Latipun (2006) yang mengutip dari Glesser bahwa hakikat
manusia pendekatan realita adalah sebagai berikut:
a. Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya
baik fisiologis.
b. Jika individu frustasi karena gagal memperoleh kepuasan atau tidak terpenuhi
kebutuhan – kebutuhanya dia akan mengembangkan identitas kegagalan,
sebaliknya jika dia berhasil maka akan mengembangkan identitas keberhasilan.
c. Individu pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk mengubah identitasnya
dari identitas kegagalan ke idetitas keberhasilan
d. Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia
e. Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan
apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep utama
konseling realita adalah manusia adalah makhluk rasional, memilki kebutuhan
dasar, kemampuan untuk mengubah identitas kegagalan menjadi identitas
kesuksesan, selalu menilai tingkah lakunya, serta memiliki faktor tanggung
jawab, realitas dan kebenaran dalam memenuhi kebutuhanya.
3. Tujuan Konseling Realita
Tujuan konseling realita adalah untuk memberikan kemungkinan dan
kesempatan kepada klien, agar ia dapat mengembangkan kekuatan – kekuatan
psikis yang dimilikinya untuk menilai prilaku sekarang dan apabila prilakunya tidak
dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhannya, maka memperoleh prilaku baru yang
lebih efektif (Gunarsa, 1992 : 212).
Kualitas pribadi sebagai tujuan konseling realita adalah individu yang
memahami dunia riilnya dan harus memenuhi kebutuhanya dalam kerangka
kerangka kerja (Framework) meskipun memandang dunia realitasnya antara
individu yang satu dengan yang lain dapat berbeda, tetapi realita itu dapat berbeda
dengan cara membandingkan dengan orang lain (Latipun, 2005 : 155)
Secara umum tujuan konseling realita sama dengan tujuan hidup, yaitu
individu memcapai kehidupan dengan success identity (kehidupan dengan sekses).
Untuk itu dia harus bertanggung jawab yaitu memiliki kemampuan mencapai
kepuasan terhadap kebutuhan personalnya (Latipun, 2005 : 155)
Tujuan umum terapi realita adalah membantu seseorang untuk mencapai
otonomi, pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi
kemapuan sesorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal, kematangan ini menyiratkan bahwa orang – orang mampu bertanggung
jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan
rencana–rencana yang bertanggung jawab dan realita guna mencapai tujuan –
tujuan mereka. Terapis membantu klien menemukan alternatif – alternatif dalam
mencapai tujuan, tetapi klien sendiri yang menetapkan tujuan terapi (Corey, 2005 :
269 - 270).
Dari uraian – uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan
konseling realita adalah membantu klien dalam mengembangkan kekuatan–
kekuatan psikis dan dapat memecahkan masalahnya, dan menilai tingkah lakunya
secara bertanggung jawab sehingga klien dapat memahami dirinya dan dapat
memenuhi kebutuhan dengan maksud menjadi individu yang berhasil, serta
memperoleh perilaku yang lebih efektif.
4. Ciri – Ciri Konseling Realita
Dalam buku konseling dan psikoterapi, William Glasser (Corey, 2005 :
265) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh E. Koeswara mengemukan
ciri – ciri konseling realita adalah sebagai berikut :
a. Konseling realita menolak tentang konsep penyakit mental, yang berasumsi
bahwa bentuk – bentuk gangguan tingkah laku yang sepesifik adalah akibat dari
ketidakbertanggung jawaban.
b. Terapi realita berfokus pada tingkah laku sekarang alih – alih pada perasaan –
perasaan dan sikap – sikap. Terapi realita juga tidak tergantung pada
pemahaman untuk merubah sikap – sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan
sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
c. Terapi realita berfokus pada saat sekarang bukan kepada masa lampau, karena
masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak dapat di rubah, maka yang bisa
diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
d. Konseling realita menekankan pertimbangan – pertimbangan nilai, konseling
realita menempatkan pokok kepentinganya pada peran klien dalam menilai
kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu
kegagalan yang dialaminya.
e. Terapi realita tidak menekankan transferinsi, yang memandang transferensi
sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi
realita menghimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati
yakni bahwa mereka menjadi diri, tidak memainkann peran sebagai ayah atau
ibu klien.
f. Terapi realitas menekankan aspek – aspek kesadaran. Terapi realita
menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien sekarang sehingga dia tidak
mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana dia bisa terlibat suatu
rencana bagi tingkah laku berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang
bertanggung jawab dan realistis.
g. Terapi realita menghapus hukuman. Glasser mengigatkan bahwa pemberian
hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk
kegagalan melaksanakan rencana – rencana melibatkan perkuatan identitas
kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapiutik.
h. Terapi realitas menenkankan tanggung jawab, yang oleh Glasser (dalam Corey,
1965 : 13) didefenisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
sediri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain
dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan mereka”. Menurut Glasser, orang
yang bertanggung jawab melakukan apa – apa yang memberikan kepada dirinya
perasaan diri berguna dan perasaan bahwa dirinya berguna bagi orang lain”.
5. Prosedur Konseling Rrealita
Latipun (2005 : 156) mengutip pendapat Glasser untuk mencapai tujuan –
tujuan konseling ada 8 prosedur yang harus diperhatikan oleh konselor realitas.
Prosedur yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
b. Berfokus pada klien
Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada
klien. Perhatian itu ditandai oleh hubungan hangat dan pemahamannya ini
merupakan kunci keberhasilan konseling. Glasser beranggapan perlunya
keterlibatan (involement) yang maknannya sama dengan empati dalam
pengertian yang dikemukaakn Rogers. Keterlibatan yang dicapai konselor
dapat menjadi fungsi kebebasan, tanggung jawab dan otonomi pada klien.
c. Berfokus pada prilaku
Konseling realitas berfokus pada prilaku tidak pada perasaan dan sikap.
Hal ini menurut Glasser karena prilaku dapat dirubah dan dapat mudah
dikendalikan jika dibandingkan dengan perasaan dan sikap. Konselor dapat
meminta klien “melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan “bukan meminta
klien merasa yang lebih baik” dan bukan meminta klien “merasa yang lebih
baik”. Melakukan yang lebih pada akhirnya akan dapat merasakan yang lebih
baik. Antara perasaan (feeling) dengan prilaku pada dasarnya memiliki
hubungan.
d. Berfokus pada saat ini
Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lampau dia. Masa
lalu tidak dapat diubah dan membuat klien tidak bertanggung jawab terhadap
keadaannya. Konselor tidak perlu melakukan eksplorasi terhadap pengalaman –
pengalaman yang irasional dimasa lalunya, hal ini sejalan dengan tujuan
konseling menurut Glasser ada tiga tahap, yaitu membantu klien (1) melihat
prilakunya (yang terakhir) adalah yang tidak realistis,
(2) menolak prilaku klien yang tidak bertanggung jawab, dan (3) mengajarkan
cara yang terbaik menemukan kebutuhannya dalam dunia riil.
d. Pertimbangan nilai
Konseling relita menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai.
Klien perlu menilai kulitas prilakunya sendiri apakah prilakunya itu
bertanggung jawab, rasional, realistis dan benar atau justru sebaliknnya.
Penilaian prilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang
dirinya untuk melakukan hal – hal yang positif atau mencapai identitas
keberhasilan.
e. Pentingnya perencanaan
Kesadaran klien tentang perilakunya yang tidak bertanggung jawab harus
dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi prilaku yang
bertanggung jawab. Konseling realitas beranggapan konseling harus mampu
menyusun rencana – rencana yang realistik sehingga tingkah lakunya menjadi
lebih baik. Menjadi orang yang memiliki identitas keberhasilan. Untuk
mencapai hal itu konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh
pengalaman yang berhasil pada tingkat – tingkat yang progresif.
f. Komitmen
Perencanaan saja tidak cukup, Perencanaan tidak akan mampu mengubah
keadaan prilaku yang tidak bertanggung jawab klien harus memiliki
komitmen atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen
ditujukan kepada kesediaan klien sekaligus secara riil melaksanakan apa yang
direncanakan. Konselor terus meyakinkan klien bahwa kepuasan atau
kebahagiaannya sangat ditentukan oleh komitmen palaksanaan rencana –
rencananya.
g. Tidak menerima dalih
Adakalanya rencana yang telah disusun dan telah ada komitmen klien,
tetapi tidak dapat dilaksanakan atau mengalami kegagalan. Ketika klien
melaporkan alasan – alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor menolak dan
tidak menerima dari atau alasan – alasan yang dikemukakan oleh klien. Justru
saat itu konselor perlu membuat rencana dan membuat komitmen baru untuk
melaksanakan upaya lebih lanjut. Konselor tidak perlu menanyakan alasan–
alasan mengapa tidak dilaksanakan atau mengapa kegagalan itu terjadi. Yang
lebih penting bagi konselor adalah menanyakan apa rencana lebih lanjut dan
kapan mulai melaksanakannya.
h. Menghilangkan hukuman
Hukuman harus ditiadakan. Konseling realitas tidak memperlakukan
hukuman sebagai tehnik perubahan prilaku. Hukuman menurut Glasser tidak
efektif dan justru memperburuk hubungan konseling. Hukuman yang biasanya
dilakukan dengan kata – kata yang mencela dan menyakiti hati klien dan harus
dihilangkan setidaknya dalam hubungan konseling. Glasser menganjurkan agar
klien tidak dihukum dalam bentuk apapun dan biarkan belajar mendapat
konsekuensi secara wajar dari prilakunya sendiri.
6. Langkah-Langkah Penerapan Konseling Realita.
Konseling realita digunakan dalam terapi individual maupun kelompok.
Dalam terapi individual terapis biasanya menemui klien sakali dalam seminggu
selama 45 menit. Pada pemulaan terapi, terapis bisa memberikan konsultasi
kepada klien mengenai lamanya terapi (Corey 2005 : 279)
Glasser (dalam Corey, 2008 : 280) percaya bahwa pendidikan bisa
menjadi kunci bagi pergaulan manusia yang efektif, sebuah program untuk
menghapus kegagalan, berfokus pada pikiran dari pada kerja mengingat,
memperkenalkan revalansi kedalam kurikulum, menghanti hukuman dengan
disiplin, menciptakan suatu lingkungan belajar dimana anak-anak bisa
memaksimalkan pengalaman - pengalaman yang berhasil yang akan menuju
kepada identitas keberhasilan, menciptakan motivasi dan ketertiban, membantu
para siswa dalam mengembangkan tingkah laku yang bertanggung jawab dan
membentuk cara - cara untuk melibatkan para orang tua dan masyarakat dengan
sekolah
Penutup
Berdasarkan hasil analisis data yang menggunakan statistik non parametik
yaitu uji tanda dapat diketahui terdapat perbedaan skor harga diri (self-esteem) siswa
antara sebelum dan sesudah diberi perlakuan konseling realita. Hal ini berarti bahwa
penerapan konseling realita dapat meningkatkan harga diri siswa. Dengan demikian
hipotesis penelitian berbunyi “penerapan konseling realita dapat meningkatkan harga
diri siswa” dapat diterima.
Daftar Rujukan
Afriliyah., Ristiningtyas, I. 2009. Mengurangi Kebiasaan Mencontek Pada Siswa
Dengan Menggunakan Konseling Kelompok Realita Di Kelas VIII SMP
Negeri 1 Ngoro Mojokerto. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JPPB FIP
Unesa.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Asdi Mahastya.
Azwar, Saifudin. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Berne, Basca, B. 2002. Literature Review Of Youth Development/Asset Tools
(online), (www.emt.org/userfiles/YouthLit_Final.pdf, diakses 20 November
2008)
Branden, Nathaniel. 2008. Nurturing Self-Esteem in Young People,
http://nathanielbranden.wordpress.com/, diakses 8 Februari 2008)
Burn., R, B. 1993. Konsep Diri: Pengukuran dan Perkembangan Prilaku. Jakarta:
Archan.
Clemes, Harris dan Reynold Bean. 1995. Bagaimana Kita Meningkatkan Harga Diri
Anak. Bandung: Bina Rupa Aksara.
Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek: Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Rafika PAditama.
CSEI
Manual.
2008.
Coopersmith
Self-Esteem
Inventory.
(http://www.coe.iup.edu/rjl/instruction/cm150/selfinterpretation/csei.htm,
diakses 27 November 2008)
Darminto, Eko. 2007. Teori-teori Konseling. Surabaya: Unesa University Press
Faristya, Eni. 2007. Pengaruh Konseling Realita Terhadap Kurangnya Pemahaman
Diri Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 2 Sukorejo pasuruan. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JPPB FIP Unesa.
Fitroni, Alimah. 2008. Penggunaan Teknik Kerja Kelompok Dalam Bimbingan
Kelompok Untuk Meningkatkan Harga Diri (Self Esteem) Siswa kelas X-5
SMA Kemala Bhayangkari Surabaya.Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya:
JPPB FIP Unesa.
Gunarsa, Singgih D. 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia.
Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset.
Handayani, Rizka W. 2009. Penerapan Koseling Kelompok Pendekatan Realita
dalam Mengurangi Tingkah Laku Membolos di Kelas XI IPS 3 SMP GIKI 1
Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JPPB FIP Unesa.
Hasanah, Uswatun. 2009. Penerapan Konseling Realita Untuk Menurunkan Tingkat
Prilaku Menarik Diri (withdrawl) Pada Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 4
Sidoarjo. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JPPB FIP Unesa.
Iannucci, L. A. 2005. An Evaluation of KidSingers’ After School Program (Online),
(http://www.psychology.uiowa.edu/Students/, diakses September 2008)
Latipun. 2006. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press
Muhammad, Nur. 1999. Perkembangan Selama Masa Anak-anak dan Remaja.
Surabaya: University Press.
Muhidin, Ali Sambar dan Maman Abdurrahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi
dan Jalur dalam Penelitian. Bandung:Pustaka Setia.
Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi. 2004. Metodologi Penelitan. Jakarta: Buni Aksara
Patricia H. dan Louis M Savary. 1988. Membangun Harga Diri Anak. Bandung:
Kanisius Anggota IKAPI.
Rahmawati, A, S. Harga Diri pada Remaja Obesitas. Tesis,
(http://www.psikologi-unas.com, diakses 6 November 2008)
(Online)
Santrock. J. W. 2004 Adolesdence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Siegel, S. 1997. Statistik Non Parametrik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyawati. 2002. Pengaruh Latihan Asertif dalam Meningkatkan Harga Diri Siswa
Kelas I SLTP Negeri 1 Bojonegoro Tahun Ajaran 2001/2002. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JPPB FIP Unesa.
Suwandi, Ikhsan. 1991. Reality Therapy Sebagai Pendekatan Rasional Dalam
Konseling Kelompok. Malang: IKIP Malang.
Tim Penyusun,2006. Panduan Penulisan dan Penilaian Skripsi. Surabaya: Unesa
University
Download