15 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal

advertisement
BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui
kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan
bahwa tanaman tersebut adalah Zea mays L. Hasil determinasi terdapat pada Lampiran A.
Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada
Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Rambut jagung.
Ciri rambut jagung yang digunakan sesuai dengan morfologi rambut jagung seperti yang
terdapat pada bab tinjauan pustaka, yakni berupa benang-benang ramping, lemas, agak
mengkilat, panjang 10 cm sampai 25 cm, dan garis tengah lebih kurang 0,4 mm (Ditjen
POM, 1995).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia. Simplisia
rambut jagung memiliki beberapa fragmen yang banyak ditemui seperti yang terdapat pada
Gambar 4.2.
15
16
a
b
c
Gambar 4.2. Ciri mikroskopik serbuk simplisia rambut jagung.
Keterangan : a. Fragmen rambut penutup (dengan kloral hidrat)
b. Fragmen parenkim dengan epidermis rambut penutup dan trakea (dengan
kloral hidrat)
c. Fragmen parenkim dengan trakea (dengan kloral hidrat)
Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia menunjukkan adanya fragmen-fragmen
yang sesuai dengan monografi simplisia rambut jagung yang terdapat dalam Materia
Medika Indonesia (Ditjen POM, 1995).
Pemeriksaan mutu simplisia meliputi kadar air, kadar abu total, kadar sari larut air, dan
kadar sari larut etanol. Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan untuk menjamin bahwa
simplisia yang digunakan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Materia Medika
Indonesia (Ditjen POM, 1995). Hasil pemeriksaan mutu simplisia dapat dilihat pada Tabel
4.1.
17
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Mutu Simplisia
Pemeriksaan
Hasil (b/b)
Kadar air
6,75 % *
Kadar abu total
5,07 %
Kadar sari larut etanol
6,91 %
Kadar sari larut air
19,18 %
Keterangan : * = persentase dalam v/b
Pemeriksaan kadar air dilakukan dalam kaitan dengan kemungkinan pertumbuhan jamur
atau kapang dan reaksi degradasi oleh enzim terhadap kandungan aktif dalam simplisia.
Biasanya, kadar air simplisia yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10 %.
Abu adalah sisa pembakaran sempurna bahan organik (residu tidak menguap bila bahan
dibakar dengan cara tertentu), biasanya berupa oksida logam dan bahan lain yang tidak
dapat dibakar dan merupakan indikator derajat kebersihan penanganan simplisia. Kadar
abu total ditetapkan untuk menentukan kandungan mineral dan unsur anorganik dalam
simplisia.
Pemeriksaan kadar sari dilakukan untuk mengetahui jumlah zat dalam simplisia yang dapat
terekstraksi dalam pelarut tertentu. Pemeriksaan kadar sari larut air bertujuan untuk
mengetahui jumlah zat yang terkandung dalam simplisia yang dapat larut dalam air,
sedangkan pemeriksaan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui jumlah zat yang
terkandung dalam simplisia yang dapat larut dalam etanol. Dari penelitian, diperoleh nilai
kadar sari larut air simplisia lebih besar daripada kadar sari larut etanol. Hal ini
menunjukkan bahwa zat yang terlarut dalam air lebih besar daripada zat yang terlarut
dalam etanol.
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan golongan-golongan senyawa
yang terdapat pada simplisia. Hasil penapisan fitokimia dapat dilihat pada Tabel 4.2.
18
Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk Simplisia
Golongan
Hasil
Alkaloid
-
Flavonoid
+
Tanin
-
Kuinon
-
Steroid/triterpenoid
+
Saponin
-
Keterangan : + = simplisia bereaksi positif terhadap pereaksi yang diujikan
– = simplisia bereaksi negatif terhadap pereaksi yang diujikan
Penapisan fitokimia terhadap simplisia rambut jagung menunjukkan hasil yang positif
untuk golongan senyawa flavonoid, ditandai dengan terbentuknya warna jingga pada
lapisan amil alkohol, dan positif untuk golongan senyawa steroid/triterpenoid, ditandai
dengan terbentuknya warna hijau pada pengerjaan penapisan sesuai dengan prosedur.
Ekstraksi simplisia dilakukan dengan ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet. Metode
ekstraksi secara sinambung lebih efektif dan efisien dibanding metode lain karena proses
penarikan senyawanya yang maksimal karena serbuk simplisia disari oleh cairan penyari
yang murni sehingga dapat menyari zat aktif lebih banyak, penyarian dapat diteruskan
sesuai dengan keperluan tanpa menambah volume cairan penyari, cairan penyari yang
diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut dengan kepolaran meningkat secara berturut-turut yaitu nheksana, etil asetat, dan etanol. Pada awal ekstraksi digunakan pelarut n-heksana. Ampas
simplisia diekstraksi menggunakan etil asetat. Selanjutnya diekstraksi menggunakan
etanol. Ketiga macam ekstrak pekat yang dihasilkan kemudian ditimbang. Hasil
penimbangan ekstrak pekat menunjukkan bahwa rendemen ekstrak n-heksana adalah
1,18 %, rendemen ekstrak etil asetat adalah 2,61 %, dan rendemen ekstrak etanol adalah
9,61 %.
Dari ketiga ekstrak, dipilih ekstrak etil asetat untuk difraksinasi lebih lanjut karena hasil
pemantauan ekstrak menggunakan KLT dengan beberapa fase gerak dan fase diam silika
gel GF254 serta penampak bercak universal asam sulfat 10 % dalam metanol menunjukkan
19
pemisahan yang lebih baik dan jelas dibandingkan dengan esktrak n-heksana dan ekstrak
etanol. Kromatogram ekstrak dengan pengembang n-heksana – etil asetat (7:3) dapat
dilihat pada Gambar 4.3.
1
2 3
a
1
2 3
b
1
2 3
c
Gambar 4.3. Kromatogram hasil pemantauan ekstrak dengan fase gerak n-heksana – etil
asetat (7:3) dan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam metanol.
Keterangan : a = pada sinar tampak, b = pada sinar UV λ 254 nm, c = pada sinar UV λ 366
nm, 1 = ekstrak n-heksana, 2 = ekstrak etil asetat, 3 = ekstrak etanol
Ekstrak etil asetat difraksinasi dengan metode kromatografi cair vakum (KCV) sebanyak
empat kali masing-masing dengan bobot ekstrak lebih kurang 3,5 gram dengan fase diam
silika gel 60 H dan 21 macam fase gerak yang terdiri dari kombinasi n-heksana – etil asetat
– metanol secara landaian dengan kepolaran meningkat. Hal ini dimaksudkan agar
senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak dapat terdistribusi lebih selektif
berdasarkan kepolarannya, sehingga akan lebih mudah diisolasi. Fraksi yang sudah
dipekatkan, dipantau dengan KLT dengan fase diam silika gel GF254 menggunakan fase
gerak kloroform dan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam metanol. Setelah dilakukan
pemantauan, maka fraksi ke-4 dari tiap-tiap KCV dan fraksi ke-5 dari KCV pertama
digabungkan karena mempunyai pola kromatogram yang mirip dan terdapat bercak yang
akan diisolasi. Hasil pemantauan fraksi dapat dilihat pada Gambar 4.4.
20
E 1 2 3 4 5 6
E 1 2 3 4 5 6
E 1 2 3 4 5 6
a
b
c
Gambar 4.4.
Kromatogram hasil pemantauan fraksi dengan fase gerak kloroform dan
penampak bercak asam sulfat 10 % dalam metanol.
Keterangan : a = pada sinar tampak, b = pada sinar UV λ 254 nm, c = pada sinar UV λ 366
nm, E = ekstrak etil asetat, 1 = Fraksi ke-4 KCV I, 2 = Fraksi ke-5 KCV I,
3 = Fraksi ke-6 KCV I, 4 = Fraksi ke-4 KCV II, 5 = Fraksi ke-5 KCV II,
6 = Fraksi ke-4 KCV III
Terhadap gabungan fraksi, kemudian dilakukan KLT preparatif dengan fase diam silika gel
GF254 dan fase gerak kloroform. Hasil pemantauan dibawah sinar UV λ 254 nm dan sinar
UV λ 366 nm menunjukkan enam pita, dan diambil pita yang dominan yang terlihat
sebagai pita berwarna gelap pada pengamatan di bawah sinar UV λ 254 nm.
Pita yang dipilih kemudian dikerok dan diekstraksi dengan pelarut etil asetat, kemudian
disaring dengan kertas saring dan kapas bebas lemak sampai tidak terdapat silika gel di
dalam filtrat.
Kromatogram hasil KLT preparatif pada pengamatan dengan sinar UV λ 254 nm terdapat
pada Gambar 4.5.
21
Pita yang akan diisolasi
Gambar 4.5. Kromatogram hasil KLT preparatif dilihat pada sinar UV λ 254 nm.
Setelah filtrat tersebut dipekatkan, dilakukan uji kemurnian dengan KLT pengembangan
tunggal dengan fase diam silika gel GF254 dan menggunakan fase gerak n-heksana – etil
asetat (7:3) serta penampak bercak asam sulfat 10 % dalam metanol dan diperoleh enam
bercak. Selanjutnya dilakukan KLT preparatif yang kedua dengan fase diam silika gel
GF254 dan fase gerak n-heksana – etil asetat (7:3) untuk memurnikan kembali pita yang
diinginkan. Pita yang diinginkan dikerok dan diekstraksi dengan etil asetat dan diuji
kemurniannya dengan KLT pengembangan tunggal dengan fase diam silika gel GF254 dan
menggunakan tiga fase gerak dengan kepolaran berbeda, yaitu n-heksana – etil asetat (7:3),
kloroform, dan etil asetat – metanol (8:2) serta digunakan penampak bercak asam sulfat 10
% dalam metanol dan diperoleh satu bercak. Uji kemurnian selanjutnya dilakukan dengan
KLT dua dimensi dengan fase diam silika gel GF254 dan menggunakan fase gerak berturutturut n-heksana – etil asetat (24:1) dan etil asetat – metanol (9:1) dan penampak bercak
asam sulfat 10 % dalam metanol dan diperoleh satu bercak.
Dari uji kemurnian dengan KLT tiga pengembangan tunggal dan KLT dua dimensi
menggunakan fase gerak bermacam-macam dengan kepolaran yang berbeda dan
menggunakan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam metanol, diperoleh bercak tunggal
berwarna coklat jika dilihat pada sinar tampak, berwarna gelap jika dilihat di bawah sinar
UV λ 254 nm, dan berwarna kuning terang jika dilihat di bawah sinar UV λ 366. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa isolat, yang selanjutnya disebut isolat A, adalah murni.
Hasil pengamatan KLT pengembangan tunggal dan KLT dua dimensi dapat dilihat pada
Gambar 4.6 dan Gambar 4.7.
22
1
2
3
1
a
Gambar 4.6.
2 3
b
1
2 3
c
Kromatogram hasil uji kemurnian isolat A dengan KLT tiga
pengembangan tunggal dan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam
metanol.
Keterangan : 1 = pada sinar tampak, 2 = pada sinar UV λ 254 nm, 3 = pada sinar UV λ 366
nm, a = dengan fase gerak n-heksana – etil asetat (7:3), b = dengan fase gerak
kloroform, c = dengan fase gerak etil asetat – metanol (8:2)
a
Gambar 4.7.
b
c
Kromatogram hasil uji kemurnian isolat A dengan KLT dua dimensi
menggunakan fase gerak berturut-turut n-heksana – etil asetat (24:1) dan
etil asetat – methanol (9:1) dan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam
metanol.
Keterangan : a = pada sinar tampak, b = pada sinar UV λ 254 nm, c = pada sinar UV λ 366
nm
Isolat A dikarakterisasi dengan KLT fase diam silika gel GF254 menggunakan penampak
bercak khusus, spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometri inframerah.
23
Karakterisasi isolat A menggunakan KLT fase diam silika gel GF254 dilakukan
menggunakan fase gerak n-heksana – etil asetat (9:1) dan penampak bercak khusus AlCl3
5 % untuk senyawa flavonoid, FeCl3 4,5 % untuk senyawa fenol, dan LiebermannBurchard untuk senyawa steroid/triterpenoid. Dari hasil karakterisasi dengan ketiga
penampak bercak khusus tersebut tidak menunjukkan perubahan warna bercak pada pelat
KLT dilihat pada sinar tampak. Namun, pada karakterisasi isolat A menggunakan KLT
fase diam silika gel GF254 sebelum menggunakan penampak bercak, menunjukkan bercak
tunggal berwarna gelap dilihat pada sinar UV λ 254 nm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat
A adalah senyawa yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi. Hasil pengamatan pada
KLT menggunakan penampak bercak khusus dapat dilihat pada Gambar 4.8.
a
b
c
Gambar 4.8.
Kromatogram hasil karakterisasi isolat A dengan KLT menggunakan fase
gerak n-heksana – etil asetat (9:1) dilihat pada sinar tampak.
Keterangan :
a = dengan penampak bercak khusus AlCl3 5 %, b = dengan penampak
bercak khusus FeCl3 4,5 %, c = dengan penampak bercak khusus
Liebermann-Burchard
Karakterisasi isolat A selanjutnya dilakukan dengan spektrofotometri ultraviolet-sinar
tampak untuk mengetahui pola spektrum dan puncak yang diberikan oleh isolat A tersebut.
Spektrum ultraviolet-sinar tampak isolat A menunjukkan pola spektrum khas flavonoid,
yaitu terdiri dari dua buah puncak pada 290 nm (pita II) dan 367 nm (pita I). Dengan
membandingkan pola spektrum ultraviolet-sinar tampak isolat A dengan golongan
flavonoid di literatur, maka isolat A diduga sebagai senyawa flavonoid golongan flavanon.
Spektrum ultraviolet-sinar tampak isolat A dapat dilihat pada Gambar 4.9.
24
Gambar 4.9. Spektrum ultraviolet-sinar tampak isolat A dalam pelarut metanol.
Spektrum inframerah isolat A menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang
3451,96 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus –OH, bilangan gelombang 2927,41 cm-1
dan 2857,99 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C–H alifatik, bilangan gelombang
1739,48 cm-1 dan 1677,77 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C=O dan C=C aromatik
(Creswell, et al., 1982). Spektrum inframerah isolat A dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10. Spektrum inframerah isolat A dalam cakram KBr.
25
Pada karakterisasi menggunakan KLT dengan penampak bercak khusus AlCl3 5 % tidak
terjadi perubahan warna pada pelat KLT. Hal ini disebabkan AlCl3 hanya bereaksi terhadap
senyawa flavonoid yang mempunyai gugus –OH pada posisi atom C nomor 5 dan atau 3´,
4´. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isolat A adalah senyawa flavonoid
golongan flavanon, dengan gugus –OH pada posisi atom C nomor 5 dan atau 3´, 4´
tersubstitusi.
Download