BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah daratan dan perairan yang besar. Kawasan daratan dan perairan di Indonesia dibatasi oleh garis pantai yang menempati urutan ketiga terpanjang di dunia setelah Kanada dan Uni-Eropa dengan total panjang berkisar 95.181 km (Kemenko Maritim, 2016) dan 99.093 km (BIG, 2015). Kondisi ini menyebabkan cukup banyak masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal dan beraktivitas di kawasan pesisir dan pantai. Laju pertumbuhan masyarakat yang terus meningkat mendorong tata ruang kawasan pantai untuk mengikuti perkembangan kehidupan penduduk sekitar. Hal tersebut seringkali berimbas kepada rusaknya kestabilan kawasan pantai. Secara alami garis pantai selalu berubah dengan dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan garis pantai ditandai melalui berbagai proses baik pengikisan (erosi) maupun penambahan sedimen (akresi). Perubahan garis pantai yang cenderung merugikan dan kerap kali terjadi di kawasan pantai adalah mundurnya garis pantai (erosi pantai). Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik karena pengaruh alam atau karena aktivitas manusia. Erosi pantai terbentuk seiring fenomena alam: gelombang, pasang surut, angin, arus, dan perubahan musim yang terjadi secara bersaamaan dan terus menerus. Namun peningkatan intensitas erosi pantai yang tinggi pada beberapa dekade belakangan ini adalah dampak dari aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan proses-proses hidrodinamik di kawasan pantai. Sebagai contoh yaitu kegiatan penambangan pasir di daerah pantai, alih fungsi lahan bakau menjadi kolam tambak dan pembangunan struktur pantai yang tidak berwawasan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membuat kecenderungan garis pantai semakin mundur ke daratan dari tahun ke tahun. Perlindungan garis pantai telah lama menjadi topik yang dikaji oleh peneliti lingkungan pesisir dan pantai serta pemerintah. Berbagai alternatif solusi teknis dan pendekatan ekosistem telah diupayakan. Alternatif sistem perlindungan garis pantai 1 yang diaplikasikan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. Aspekaspek yang mempengaruhi pemilihan tersebut yaitu fungsi bangunan pantai, kemudahan pelaksanaannya, material yang tersedia di daerah tersebut serta kondisi morfologi pantai (Bramudya dan Sasmito, 2008). Salah satu struktur yang beberapa tahun terakhir mulai banyak dipertimbangkan sebagai struktur pelindung garis pantai adalah pemecah gelombang ambang rendah (PEGAR). PEGAR adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya diletakkan sejajar garis pantai dengan puncak di bawah muka air (MSL) atau sedikit muncul di atas permukaan (Buccino dan Calabrese, 2007). PEGAR berfungsi untuk meredam kekuatan gelombang, sehingga energi gelombang yang sampai ke pantai menjadi lebih rendah dan menimbulkan kerusakan minimum. Struktur PEGAR dapat terbuat dari berbagai material, salah satunya yang berbahan dasar material geotextile, disebut sebagai geotextile tube atau geotube. Geotube adalah produk serba guna yang dapat diaplikasikan berbagai kondisi seperti perlindungan garis pantai, penahan sedimen dan pemecah gelombang (Howard, 2012). Geotube sebagai PEGAR memiliki bentuk tubular dengan ukuran sangat bervariasi. Panjang geotube berkisar antara 10 - 150 meter dengan diameter rata-rata 1 - 5 meter dengan kondisi bulat sempurna (Suhendra dan Dwiarso, 2011). Beberapa keunggulan dari penggunaan geotube sebagai PEGAR yaitu pelaksanaannya yang mudah, hemat (bahan murah dan mudah ditemukan), tidak membutuhkan banyak alat berat, serta ramah lingkungan dan dapat menyatu dengan ekosistem pantai. Gambar 1.1 Proses Pengisian Konstruksi Geotube (Suhendro dan Dwiarso, 2011) 2 Salah satu contoh keberhasilan penggunakan PEGAR geotube di Indonesia telah dibuktikan dengan penanganan permasalahan erosi pantai dan banjir rob yang mengancam Kota Pekalongan dari tahun ketahun. Sebelumnya, pada periode tahun 2004-2011 telah dibangun revetmen dari susunan batu belah sepanjang 2 kilometer namun hasilnya belum mampu menghentikan erosi pantai dan banjir rob yang berulang setiap bulannya. Pembangunan PEGAR geotube dimulai pada tahun 2011 dan dalam kurun waktu empat tahun sebanyak 145 buah geotube telah terpasang melindungi kawasan pantai dengan total panjang 2,9 kilometer (Ahmad dkk., 2015). Perubahan garis pantai dapat dilihat secara visual dengan bertambahnya timbunan sedimen di belakang PEGAR geotube. Majunya garis pantai dan melebarnya pantai ke arah laut telah membentuk daerah pantai baru yang luas. Gambar 1.2 Pantai Sari Pekalongan Setelah Dipasang PEGAR Geotube (Ahmad dkk., 2015) Terbentuknya timbunan pasir di depan revetment secara perlahan menutup celah dan rongga di antara batu belah. Proses penutupan celah oleh timbunan pasir tersebut memberi dampak pada berkurangnya aliran air dan rembesan ke belakang revetmen sehingga mengurangi genangan air di dataran rendah dan pemukiman di kawasan pesisir. Selain upaya penanganan secara struktur, penanaman vegetasi pantai seperti cemara laut dan mangrove juga menjadi bagian dari rencana penanganan erosi pantai dan banjir rob secara terpadu di Pekalongan, khususnya di Pantai Sari. 3 Gambar 1.3 Penanganan Erosi dan Banjir Rob Terpadu di Pekalongan (Ahmad dkk, 2015) Penggunaan struktur PEGAR sebagai usaha perlindungan garis pantai tentunya berpengaruh pada perubahan hidrodinamika lingkungan di sekitarnya. Beberapa aspek yang perlu ditinjau yaitu gelombang refleksi dan transmisi serta tinggi pilingup yang terbentuk di daerah proteksi. Refleksi energi yang terbentuk dari pemantulan gelombang datang berpotensi menimbulkan gerusan lokal di dasar struktur PEGAR. Di samping itu, tinggi gelombang refleksi berperan dalam permbentukan gelombang yang lebih tinggi di kawasan perairan tersebut. Perubahan hidrodinamika lainnya yaitu terjadinya piling-up pada daerah di belakang struktur PEGAR. Piling-up adalah kondisi quasi-ekilibrium muka air di belakang dan di depan PEGAR akibat aliran air ke area terlindung dan gelombang pecah di atas PEGAR. Fenomena piling-up menyebabkan kenaikan elevasi muka air laut di belakang PEGAR dibandingkan daerah laut di depannya. Kenaikan elevasi muka air laut akan berdampak pada tingi rayapan air laut (run-up) dan daerah genangan air laut. Pada area di belakang PEGAR tinggi rayapan akan menjadi lebih tinggi dan menyebabkan daerah genangan yang lebih luas ke arah daratan terlebih jika sedang terjadi pasang naik dan badai. Potensi lain yang timbul yaitu transmisi gelombang di belakang struktur PEGAR. Struktur PEGAR dirancang untuk meneruskan gelombang dengan daya rusak seminimal mungkin. Gelombang transmisi adalah aspek yang perlu diperhatikan jika kawasan pantai merupakan daerah konservasi biota laut, sebagai contoh hutan 4 bakau. Tanaman bakau (Rhizopora) banyak ditemukan berkembang di zona pasang-surut di sepanjang garis pantai. Hutan bakau biasanya berada pada daerah pantai yang berlumpur serta terlindung dari angin dan gelombang besar serta arus. Sistem perlindungan terhadap gelombang dan arus menggunakan PEGAR geotube dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari perencanaan area konservasi tanaman bakau. Melalui perlindungan buatan, daerah yang semula tidak dapat ditumbuhi menjadi dapat dikondisikan sesuai dengan kriteria habitat tanaman bakau. Penggunaan struktur PEGAR menjadi salah satu alternatif upaya untuk menangani kemunduran garis pantai. Struktur PEGAR jenis geotube khususnya, dapat diaplikasikan pada wilayah pantai tererosi berat yang memerlukan tindakan penanganan dengan proses konstruksi yang cepat. Meskipun tidak meredam keseluruhan energi gelombang, melalui perencanaan yang akurat struktur PEGAR dapat mengurangi daya rusak akibar gelombang sekaligus melindungi dan menahan timbunan sedimen yang berada di belakangnya. Untuk mengetahui kinerja struktur, perlu dilakukan analisis hubungan antara kondisi lingkungan dengan aspek hidrodinamika di sekelilingnya. Setelah pengaruh seluruh parameter di atas diestimasi, maka perancangan geotube dapat dilakukan dan efisiensi struktur dalam melindungi kawasan pantai terhadap erosi dapat ditentukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kecuraman gelombang, tinggi struktur, serta kemiringan dasar laut terhadap karakteristik dan respon gelombang yang timbul sebagai bentuk efisiensi penggunaan struktur PEGAR geotube pada perairan di kawasan pantai. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecuraman gelombang, tinggi struktur, serta kemiringan dasar laut terhadap karakteristik gelombang: posisi gelombang pecah, gelombang refleksi, gelombang transmisi, dan piling-up di 5 belakang pemecah gelombang ambang rendah (PEGAR) berjenis geotube dan membandingkannya dengan hasil eksperimen dan teori terdahulu. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian permodelan fisik 2D ini diharap dapat diketahui karakteristik dan respon gelombang yang dihasilkan oleh struktur PEGAR geotube. Laporan ini diharap dapat melengkapi rangkaian penelitian yang dapat menjadi bahan pertimbangan perancangan PEGAR geotube, yang pada akhirnya akan mendukung berkembangnya pemakaian PEGAR geotube agar semakin aplikatif dan dikenal oleh masyarakat di masa mendatang. 1.5 Batasan Penelitian Untuk memperjelas lingkup penelitian diterapkan pembatasan penelitian sebagai berikut: Permodelan dilakukan di dalam flume 2D. Gelombang yang digunakan adalah gelombang reguler. Sudut datang gelombang tegak lurus terhadap model Dasar saluran berupa movable bed dengan sedimen yang digunakan adalah sedimen non-kohesif (pasir). 6