II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cuaca dan Iklim Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002), cuaca dan iklim adalah proses interaktif alami (kimia, biologis, dan fisis) di alam, khususnya di atmosfer. Hal ini terjadi karena adanya sumber energi, yaitu matahari dan gerakan rotasi bumi pada poros (kurang dari 24 jam) serta revolusi bumi mengelilingi matahari. Dalam peristiwa ini, pendekatan fisis lebih dominan daripada kimia dan biologis. Cuaca sebagai kondisi udara sesaat dan iklim sebagai kondisi udara rata-rata dalam kurun waktu tertentu yang merupakan hasil interaksi proses fisis. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Menurut Sutjahjo dan Susanta (2007), cuaca adalah rata-rata kondisi atmosfer di suatu tempat tertentu dengan waktu yang relatif singkat. Iklim adalah keadaaan rata-rata cuaca dari suatu wilayah yang luas dan diperhitungkan dalam jangka waktu yang lama. Cuaca dan iklim mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Temperatur atau suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara disuatu tempat pada waktu tertentu. 2. Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air yang terdapat di udara. 8 3. Curah hujan adalah titik-titik air hasil pengembunan uap air di udara yang jatuh ke bumi. 4. Angin adalah udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan udara maksimum ke daerah yang bertekanan udara minimum. 5. Tekanan udara adalah udara yang mempunyai massa atau tenaga yang menekan bumi. 6. Penyinaran matahari adalah penerimaan energi matahari oleh permukaan bumi dalam bentuk sinar-sinar gelombang pendek yang menerobos atmosfer. Banyak atau sedikitnya panas dari sinar matahari yang sampai ke bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a). Besarnya sudut datang sinar matahari. b). Lama penyinaran matahari. c). Jenis tanah atau benda yang disinari oleh matahari. d). Keadaan awan pada waktu penyinaran. 2.2 Perubahan Iklim dan Dampaknya Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002), perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Menurut Hardjawinata (1997), perubahan iklim (climate change) adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi. Proses perubahan iklim ditentukan oleh proses eksternal maupun internal dan kegiatan manusia. Proses eksternal tercakup antara lain variasi aktivitas matahari, variasi rotasi bumi, variasi dan proses kegiatan bumi. Dalam proses internal dapat bersifat global, regional maupun 9 lokal, yang kemudian lebih dikenal sebagai elemen iklim, yaitu suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, angin, radiasi matahari, dan penguapan. Sedangkan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah daya kehidupan, pembukaan dan pemakaian lahan, polusi, dan sebagainya. 2.2.1 Fenomena Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Dekimpraswil) (2002), pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5–40C pada akhir abad 21. Iklim bumi dipengaruhi oleh suhu global rata-rata dan peka terhadap perubahan suhu. Suhu bumi ditentukan oleh keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke luar angkasa. Radiasi inframerah dari permukaan bumi sebagian diserap oleh beberapa gas rumah kaca (khususnya CO2 dan uap air) diatmosfer dan sebagian diemisikan ke permukaan untuk memanasi permukaan bumi dan atmosfer bawah. Menurut Lembaga Penelitian Antariksa Nasional (2002), gas rumah kaca (GRK) merupakan gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan dalam menyerap gelombang radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah penyebab pemanasan global. Tanpa GRK suhu bumi akan lebih dingin 330C dibandingkan pada kondisi 10 sekarang. Akumulasi konsentrasi GRK yang cepat di atmosfer dapat mengakibatkan penyimpangan iklim. Menurut Koesmaryono (1999), perubahan iklim dan pemanasan global diduga akan meningkatkan kekerapan dan intensitas peristiwa El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Peristiwa ini sering dikaitkan dengan penghangatan atau pendinginan suhu muka laut yang menyimpang dari normal yang berakibat pada cuaca atau sering disebut dengan El-Nino dan La-Nina. Kejadian kekeringan akibat El-Nino telah menyebabkan meningkatnya luas daerah tanam yang terkena kekeringan sampai 8-10 kali lipat dan sebaliknya La-Nina menyebabkan meningkatnya luas tanaman yang terkena banjir sempai 4-5 kali lipat dari kondisi normal. Studi yang dilakukan Ratag et al. (1998) dalam laporan akhir Kementerian Lingkungan Hidup (2001), menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 meningkat dua kali lipat dari konsentrasi CO2 saat ini, maka diperkirakan konsentrasi kejadian ENSO yang saat ini terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan meningkat menjadi 2-5 tahun. Dengan demikian, perubahan iklim akan mengarah pada terjadinya penurunan atau peningkatan curah hujan yang berlebihan pada suatu lokasi tertentu. 2.2.2 Perubahan Iklim di Indonesia Kenaikan atau peningkatan GRK berpengaruh dalam kenaikan suhu di lintang sedang atau tinggi. Indonesia menurut Boer et al. (2003), berdasarkan data hujan historis yang dibagi dua periode, yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan dimusim penghujan wilayah selatan Indonesia dan sebagian kawasan Indonesia Timur akan semakin basah dan musim 11 kemarau akan semakin kering. Sedangkan pada Indonesia bagian utara, curah musim penghujan akan semakin berkurang dan musim kemarau akan semakin bertambah. Dengan demikian, sebenarnya Indonesia sudah mengalami perubahan iklim. Menurut Tjahyono (1997) dalam laporan akhir Kementerian Lingkungan Hidup (2001), menyebutkan bahwa pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monsoon, lemah pada daerah sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Menurut Koesmaryono (1999), gejala kebalikan dari El-Nino adalah La-Nina, yaitu mendinginnya permukaan laut Pasifik Timur sehingga pusat konvergensi udara pasifik tropis akan berada di wilayah Indonesia dimana udara panas cenderung membentuk awan dan hujan serta memungkinkan terjadinya banjir. Frekuensi kejadian La-Nina dalam kurun waktu 100 tahun terakhir sekitar separuh jumlah kejadian El-Nino dan 16 kali peristiwa La-Nina, sekitar 87% terjadi berdampingan dengan El-Nino, serta umumnya La-Nina mendahului El-Nino. 2.2.3 Dampak Perubahan Iklim Menurut Sutjahjo dan Susanta (2007), efek pemanasan global yang akan terjadi di daerah tropis adalah kelembaban yang tinggi yang akan berdampak antara lain sebagai berikut: a). Curah hujan akan meningkat. Kondisi saat ini, curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1% dalam seratus tahun terakhir. Hal ini dikarenakan untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan akan mengakibatkan kenaikan curah hujan sebesar 1%. b). Badai akan menjadi lebih sering terjadi. 12 c). Air tanah akan lebih cepat menguap. d). Beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. e). Angin akan bertiup lebih kencang dengan pola yang berbeda-beda. f). Terjadinya badai topan akan menjadi lebih besar. g). Beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. h). Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan berpengaruh kepada sektor pertanian dan perikanan Indonesia antara lain menurunkan produktivitas pertanian dan perikanan khususnya pada wilayah pantai akibat naiknya temperatur bumi; terjadinya iklim ekstrim yang meningkat sehingga sektor pertanian dan perikanan akan kehilangan produksi akibat bencana kering dan banjir yang silih berganti; kerawanan pangan akan meningkat di wilayah yang rawan bencana kering dan banjir; dan tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan hama dan penyakit yang lebih beragam dan lebih hebat. Menurut Handoko et al (2008), konsekuensi perubahan iklim bagi Indonesia adalah: 1. Perubahan Musim dan Curah Hujan Petani di Jawa dan Sumatera telah mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal dalam beberapa tahun terakhir. Permulaan musim hujan bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kering sekitar 10-60 hari lebih cepat. Daerah-daerah Indonesia yang berada di selatan garis khatulistiwa akan mengalami musim kering yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek namun lebih intensif. Selain itu cuaca menjadi lebih bervariasi dengan variabilitas curah hujan menjadi lebih tinggi. 13 2. Kondisi cuaca yang semakin ekstrem Indonesia akan mengalami potensi bencana kekeringan dan banjir yang lebih sering dengan magnitude yang lebih tinggi karena cuaca yang ekstrim. Curah hujan yang tinggi juga berpotensi mengakibatkan bencana longsor pada berbagai daerah di Indonesia. 3. Kenaikan tinggi muka air laut Peningkatan suhu global mengakibatkan pencairan salju dan gleicer di kutub utara dan selatan yang menyebabkan kenaikan tinggi muka laut antara 9 hingga 100 cm. Hal ini akan mempercepat erosi pantai, intrusi air laut ke dalam air tanah, merusak lahan-lahan basah di pantai dan menenggelamkan pulau-pulau kecil. 2. Suhu Lautan yang menghangat Air laut yang menghangat dapat menurunkan perkembangan plankton dan membatasi pasokan nutrisi bagi ikan, sehingga ikan akan bermigrasi ke daerahdaerah yang lebih dingin dan memiliki cukup pakan. Air laut yang menghangat juga menyebabkan kerusakan koral (coral). 3. Suhu udara semakin meningkat Kondisi ini akan mengubah pola vegetasi serta distribusi serangga termasuk nyamuk, sehingga mampu bertahan pada daerah-daerah yang sebelumnya terlalu dingin. 14 Secara skematis, dampak-dampak perubahan iklim dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. 1. 2. 3. 4. 5. Dampak Positif: Meningkatkan potensi hasil tanaman pada beberapa daerah lintang tengah akibat naiknya suhu. Meningkatnya suplai kayu global dari hutan produksi. Meningkatnya ketersediaan air untuk manusia pada daerah kurang air ~ misalnya sebagian wilayah Asia Tenggara. Menurunnya tingkat kematian pada musim dingin di daerah lintang tinggi. Menurunnya konsumsi energi untuk pemanasan karena naiknya suhu pada musim dingin. 1. 2. Dampak Perubahan Iklim 3. 4. 5. Dampak negatif: Menurunnya produksi potensial pertanian di daerah tropik dan sub tropik akibat naiknya suhu. Menurunnya ketersediaan air khususnya pada daerah subtropik. Meningkatnya jumlah manusia yang terekspose terhadap penyakit menular (seperti malaria dan kolera) dan kematian karena panas. Meluasnya wilayah beresiko banjir di daerah permukiman akibat meningkatnya curah hujan dan naiknya muka air laut. Meningkatnya konsumsi energi untuk AC atau terganggunya suplai energi dari pembangkit listrik tenaga air. Sumber: IPCC (2001) dalam Boer et al, 2003 Gambar 1 . Proyeksi Dampak Perubahan Iklim Berdasarkan Hasil Studi dan Model Menurut UNDP (2007), sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut dalam Tabel 2. 15 Tabel 2. Sektor-Sektor yang Akan Terkena Dampak Perubahan Iklim dan Upaya Adaptasi yang Dapat Dilakukan Sektor Dampak Adaptasi 1. Kendala suplai irigasi dan 1. Perencanaan, pembagian air, air minum, dan dan komersialisasi. Pengairan peningkatan salinitas. 2. Suplai air alternatif dan 2. Intrusi air asin ke daratan mundur. dan aquifer pantai. Ekosistem 1. Peningkatan salinitas di Perubahan praktek penggunaan Darat lahan pertanian dan aliran lahan, pengelolaan pertamanan, air. pengelolaan lahan, dan 2. Kepunahan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati. kebakaran. 3. Peningkatan resiko kebakaran. 4. Invasi gulma. Ekosistem 1. Salinisasi lahan sawah di 1. Intervensi fisik. Air wilayah pantai. 2. Perubahan alokasi air. 2. Perubahan ekosistem 3. Perubahan alokasi air dan sungai dan sawah. mengurangi aliran masuk 3. Eutropikasi. hara. Ekosistem 1. Perusakan terumbu karang. Penyemaian terumbu karang. Pantai 2. Limbah beracun. 1. Penurunan produktivitas, 1. Perubahan pengelolaan dan resiko banjir dan kebijakan, perlindungan kekeringan, dan resiko terhadap kebakaran, dan kebakaran hutan. peramalan musim. 2. Perubahan pada pasar 2. Pemasaran, perencanaan, dan Pertanian global. perdagangan karbon. dan 3. Peningkatan serangan 3. Pengendalian terpadu dan Kehutanan hama dan penyakit. penyemprotan. 4. Peningkatan produksi oleh 4. Merubah teknik usaha tani peningkatan CO2 diikuti dan industri. dengan penurunan produksi oleh perubahan iklim. Dampak campuran dan Relokasi Hortikultura tergantung spesies dan lokasi. Perikanan Perubahan tangkapan. Monitoring dan pengelolaan Perumahan Peningkatan dampak banjir, Pewilayahan dan perencanaan dan badai, dan kenaikan muka air bencana. Industri laut. Kesehatan 1. Ekspansi dan perluasan 1. Karantina, eradikasi atau vektor penyakit. pengendalian penyakit. 2. Peningkatan polusi 2. Pengendalian emisi. fotokimia udara. Sumber: United Nations Development Program–Indonesia, 2007 16 2.3 Dampak Terhadap Perikanan Budidaya Kegiatan perikanan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena lokasinya yang berada pada dataran rendah (low lying area). Untuk kegiatan budidaya, dampak utama berupa penggenangan kawasan budidaya, kehilangan aset ekonomi dan infrastruktur perikanan, meningkatnya erosi dan rusaknya lahan budidaya di wilayah pesisir serta keanekaragaman hayati pesisir dan pulau-pulau kecil. Kerugian akan diderita oleh masyarakat pesisir, nelayan tangkap, dan pembudidaya dalam bentuk: a). Menurunnya kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat erosi pantai, intrusi air laut, dan pencemaran. b). Berkurangnya produktifitas perikanan karena rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang akibat kenaikan suhu permukaan air laut dan perubahan rezim air tanah. c). Kerusakan lahan budidaya perikanan akibat penggenangan oleh air laut maupun banjir yang disebabkan kenaikan muka air laut. d). Kerusakan rumah dan potensi kehilangan jiwa akibat kejadian ekstrim seperti badai tropis dan gelombang tinggi. Untuk menghitung kerugian secara ekonomis masih memerlukan kajian lebih detail terkait dengan nilai ekonomi sumberdaya, lahan produktif, kegiatan ekonomi, dan infrastruktur di wilayah pesisir. Sebagai gambaran umum, saat ini Indonesia telah memiliki ± 400.000 ha lahan budidaya tambak dan berbagai infrastruktur perikanan. Penggenangan lahan tersebut tentu saja akan mengganggu produksi terutama udang yang merupakan komoditas ekspor strategis. Selain itu, 17 dampak perubahan iklim juga akan memperburuk kondisi sosial ekonomi dari sekitar 8.000 desa pesisir dengan populasi sekitar 16.000.000 jiwa dengan indeks kemiskinan mencapai 32% (Dekimpraswil, 2002). Pada sektor pertambakan, perubahan iklim membuat udang menjadi lebih rentan dengan perubahan cuaca. Daya tahan udang menurun sehingga mudah terserang penyakit. Selain itu, perubahan cuaca dan suhu perairan dapat memicu stress pada udang. Menurut Muralidhar et al (2010), menyatakan bahwa curah hujan dan jumlah hari hujan yang tinggi mengakibatkan terjadinya penurunan salinitas, fluktuasi tingkat keasaman (PH), dan mengurangi Dissolved Oxygen (DO) air tambak. Dampak yang akan ditimbulkan adalah daya tahan tubuh udang akan turun, molting, udang terkena penyakit, dan biaya produksi yang keluarkan menjadi besar. Suhu yang tinggi mengakibatkan salinitas meningkat, tingkat keasaman (PH) meningkat, dan kekeringan sehingga menyebabkan tingkat pertumbuhan udang rendah, periode budidaya meningkat, dan meningkatnya biaya produksi. Menurut Sutanto (2009)1, peralihan dari musim hujan ke kemarau dan perubahan cuaca yang ekstrem menurunkan daya tahan udang sehingga di beberapa daerah mulai merebak penyakit virus pada udang. Di Jawa Timur, penyakit Infectious Myo Necrosis Virus (IMVN) menyebar pada beberapa areal tambak di Banyuwangi, Situbondo, dan Malang. Adapun di Lampung terjadi serangan penyakit bintik putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). Serangan virus telah menyebabkan produksi udang turun 30-40 persen. Gangguan penyakit 1. Harian Kompas Selasa 5 Mei 2009. Perubahan Cuaca Ekstrem, Penyakit Udang Merebak. Http://koralonline.com/artikel/12. Diakses tanggal 1 Oktober 2010. 18 pada udang memang setiap tahun terjadi. Biasanya terjadi pada periode Desember-Februari, yang dipicu oleh perubahan cuaca dan suhu perairan. Menurut Subiyakto (2009)2, budidaya udang juga terpengaruh dampak peralihan musim hujan ke musim kemarau yang berkepanjangan. Selain itu, dampak perubahan iklim yang tercermin dari pergantian cuaca harian yang ekstrem, yakni panas dan hujan datang bergantian sehingga membuat suhu perairan di tambak berfluktuasi 280–310C. Gejolak perubahan cuaca dan suhu perairan telah memicu stress pada udang dan melemahnya daya tahan tubuh benih udang (benur). Menurunnya daya tahan tubuh mengakibatkan udang lebih mudah terjangkit penyakit. Perubahan suhu perairan juga memacu meletupnya pertumbuhan plankton di perairan, hal ini dapat menggangu sirkulasi oksigen di tambak yang akhirnya berdampak pada udang. Selain udang dewasa, perubahan cuaca yang ekstrem juga berpengaruh pada benur. Angka kehidupan benur yang biasanya 75-80% kini turun menjadi sekitar 50%. Beberapa item yang perlu diwaspadai pada saat musim hujan terkait dengan teknis budidaya antara lain: 1. Tingkat kestabilan kualitas air tambak. Pada saat musim hujan, kualitas air tambak cenderung tidak stabil dan berfluktuasi serta pada kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairan secara drastis. Kualitas perairan erat sekali dengan aktivitas plankthon (phytoplankthon) dalam berfotosintesa untuk menghasilkan cholorophyl (zat hijau daun) yang sangat berguna dalam menjaga keseimbangan ekosistem perairan tersebut. Kegiatan fotosintesa oleh plankthon (phytoplankthon) tersebut sangat tergantung oleh 2. Harian Kompas Selasa 5 Mei 2009. Perubahan Cuaca Ekstrem, Penyakit Udang Merebak. Http://koralonline.com/artikel/12. Diakses tanggal 1 Oktober 2010. 19 adanya sinar matahari, sedangkan pada musim hujan intensitas sinar matahari di dalam perairan tambak relatif minim sehingga kualitas air tambak cenderung tidak stabil. Pada saat curah hujan sangat tinggi, bahkan sering dijumpai fenomena “plankthon collaps”, yaitu plankthon yang ada di dalam perairan tambak mengalami “kematian secara massal”. Pada kondisi kualitas air tambak tidak stabil, udang akan sangat mudah mengalami stress dan sangat rentan terhadap berbagai ancaman penyakit. 2. Sumber pemasukan air (inlet). Di Indonesia secara umum sumber pemasukan air (inlet) yang digunakan untuk sirkulasi air tambak adalah air yang diambil secara langsung dari laut atau sungai besar. Pada saat musim hujan sumber pemasukan air ini relatif keruh dan kotor karena erosi dan kotoran yang terbawa oleh aliran air laut atau sungai. Kondisi air seperti ini jika digunakan secara langsung dalam proses sirkulasi air tambak akan berpengaruh terhadap kualitas air yaitu adanya partikel-partikel di dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan penyakit insang merah pada udang. 3. Program pemberian pakan. Pada saat musim hujan, program pemberian pakan (terutama yang terkait dengan pakan harian) biasanya terganggu baik itu frekuensi yang diberikan maupun tingkat rataan sebaran pakan dalam petakan. Kondisi seperti ini lebih terkait dengan sikap dan kedisiplinan dari petugas pemberi pakan, karena biasanya seseorang cenderung malas dan seenaknya dalam memberikan pakan dalam kondisi hujan. Perubahan frekuensi pakan dan sebaran pakan yang tidak merata secara tidak langsung 20 dapat mengakibatkan ukuran udang atau tingkat variasi udang akan beragam dan pada kondisi ekstrim dapat memperburuk kondisi udang. Menurut Marindro (2008), faktor musim memiliki pengaruh yang nyata terhadap proses budidaya udang terutama terkait dengan pengelolaan kualitas air tambak dan kondisi serta kualitas udang. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang masingmasing memiliki karakteristik yang berbeda terhadap proses budidaya udang. Karakteristik tersebut terkait dengan intensitas sinar matahari dan intensitas air hujan pada perairan tambak. Mengacu pada perbedaan karakteristik tersebut maka sudah selayaknya jika sistem pengelolaan budidaya udang pada kedua musim tersebut juga berbeda agar tidak terjadi treatment error yang dapat merugikan usaha budidaya udang pada periode tersebut. Pengetahuan dasar tentang karakteristik musim kemarau dan musim hujan bagi proses budidaya udang sudah sewajarnya dipahami oleh para pelaku budidaya udang, karena bagaimanapun juga pada umumnya proses budidaya udang di Indonesia dilakukan pada dua periode musim tersebut dalam satu tahun secara bergantian. Tabulasi di bawah ini merupakan matriks perbedaan antara musim kemarau dan musim hujan serta pengaruhnya terhadap kualitas air dan kondisi atau kualitas udang. 21 Tabel 3. Matriks Perbedaan Antara Musim Kemarau dan Musim Hujan Serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas Air dan Kondisi/Kualitas Udang No. Items Musim Kemarau Musim Hujan 1. Intensitas sinar matahari Tinggi Rendah 2. Salinitas air tambak Tinggi Rendah – sedang 3. Kestabilan plankton Stabil – booming Tidak stabil – collaps 4. Pertumbuhan udang Lambat – kuntet Normal 5. Kecerahan air Cenderung rendah (pada Cenderung tinggi kecerahan tinggi berpotensi menumbuhkan lumut di dasar tambak) 6. Warna air Dominan hijau, hijau Dominan coklat pupus, dan hijau dan coklat kekuningan, Pada malam kehijauan. hari terkadang dijumpai fenomena air menyala Sumber: Marindro, 20083 Berdasarkan Tabel 3 di atas terlihat bahwa intensitas sinar matahari sangat berpengaruh terhadap kualitas air tambak yang pada akhirnya ikut berpengaruh pula pada pertumbuhan udang. Meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, proses budidaya udang pada kedua musim tersebut sama-sama memerlukan penanganan yang cermat terutama dalam pengelolaan kualitas air tambak. Kecermatan penanganan dibutuhkan sebagai upaya mencegah kecenderungan perubahan kualitas air secara drastis yang disebabkan oleh karakteristik kedua musim tersebut. Pengetahuan dasar tentang karakteristik musim kemarau dan musim hujan bagi proses budidaya udang sudah sewajarnya dipahami oleh para pelaku budidaya udang, karena bagaimanapun juga pada umumnya proses budidaya udang di Indonesia dilakukan pada dua periode musim tersebut dalam satu tahun secara bergantian. 3. Marindro, I. 2008. Waspada Terhadap Musim Hujan. Dalam Http://marindro-ina.blogspot.com//. Diakses pada tanggal 30 September 2010. 22 2.4 Pengertian Adaptasi Perubahan Iklim Menurut Bennett (1978) dalam Mulyadi (2005), menyatakan bahwa adaptasi merupakan tingkah laku penyesuain (behavioral adaptation) yang menunjuk pada tindakan. Menurut Vayda dan Rappaport (1968) dalam Mulyadi (2005), adaptasi manusia dapat dilihat secara fungsional dan prosesual. Adaptasi fungsional merupakan respon suatu organisme atau sistem yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi stabil. Adaptasi prosesual merupakan sistem tingkah laku yang dibentuk sebagai akibat dari proses penyesuaian manusia terhadap berbagai perubahan lingkungan di sekitarnya. Proses adaptasi merupakan satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap sistem adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang mengancam terhadap kelangsungan hidup organisme termasuk manusia. Dalam menghadapi perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk polapola tingkah laku yang salah satunya adalah perubahan strategi mata pencaharian (Mulyadi, 2005). Adaptasi perubahan iklim adalah upaya antisipasi untuk menyesuaikan diri yang harus dilakukan berbagai sektor pembangunan dengan terjadinya perubahan iklim global yang akan menimbulkan berbagai dampak terhadap seluruh aktivitas manusia (Tim Peneliti LPPM-IPB, 2010). Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang 23 dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau yang sudah terjadi. Persepsi petambak yang tidak akurat mengenai perubahan iklim akibat dari rendahnya kesadaran dan pemahaman. Hal ini akan menyebabkan perbedaan cara adaptasi yang dilakukan oleh petambak udang. Menurut Natawijaya et al. (2009), faktor penghambat utama adaptasi adalah kurangnya akses terhadap informasi yang relevan. Akibatnya informasi dan pengetahuan terkait perubahan iklim menjadi rendah. Sedangkan faktor yang membantu adaptasi adalah pengalaman dan mengikuti petambak lain. 24