tinjauan pustaka

advertisement
3
biomassa biofilm yang terbentuk yang ditandai dengan penurunan nilai Optical
Density (OD) (Honda 2005). Dengan diketahuinya komposisi senyawa volatil dari
komponen flavor yang digunakan pada cajuputs candy non sukrosa dan aktivitas
S. mutans mengekspresikan mRNA gtfB dan gtfC untuk pembentukan biofilm
maka dapat ditentukan potensi cajuputs candy non sukrosa sebagai penghambat
aktivitas S. mutans dalam pembentukan biofilm.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi cajuputs candy non
sukrosa terhadap penghambatan aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans
sebagai salah satu faktor penyebab karies gigi dengan pendekatan analisis
senyawa volatil, viabilitas massa biofilm, dan kuantifikasi mRNA gtfB-gtfC.
Hipotesis
Cajuputs candy non sukrosa memiliki kemampuan untuk menghambat
aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Kayu Putih (Cajuput Oil)
Kayu putih atau gelam (Melaleuca cajuputi Roxb.) merupakan tanaman
perdu dengan batang pohon kecil dan anak cabang yang banyak menggantung ke
bawah. Tanaman ini dapat tumbuh liar di daerah berhawa panas. Kayu putih tidak
memiliki syarat tumbuh yang spesifik karena memiliki toleransi yang cukup baik
untuk berkembang. Kayu putih biasa dimanfaatkan sebagai sumber minyak kayu
putih (cajuputs oil) yang merupakan hasil ekstraksi terutama dari daun dan
ranting tanamannya yang biasanya menggunakan cara penyulingan dengan uap
(Lutony 1994). Daun pohon kayu putih sangat aromatik sehingga paling banyak
disuling untuk menghasilkan minyak kayu putih yang biasanya beraroma seperti
kamper (camphor), rosemary atau biji kapulaga (cardamom seeds), serta memiliki
rasa yang pahit (Grieve 1995). Minyak atsiri hasil penyulingan daun kayu putih
berwarna kekuning-kuningan hingga kehijau-hijauan (Ipteknet 2005).
FDA (Food and Drug Administration), JECFA (Join Expert FAO/WHO
Committee on Food Aditives) seta FEMA (Flavor Extract Manufacturer’s
Association) mengizinkan penggunaan minyak kayu putih sebagai flavoring agent
pada bahan pangan karena tergolong bahan flavor yang alami (Burdock 2010).
FEMA melaporkan bahwa Possible Average Daily Intake (PADI) minyak kayu
putih sebesar 0,831 mg dengan penggunaannya dalam soft candy secara umum
adalah sebesar 6,80 ppm dan maksimal 9,5 ppm (Burdock 2010).
Minyak kayu putih dapat digunakan sebagai obat dalam (internal) dengan
dosis yang sangat kecil, yang berkhasiat untuk mengobati rhinitis (radang selaput
lendir), efektif mengobati demam, sebagai ekspektoran dalam kasus laryngitis dan
4
bronchitis, serta jika diteteskan ke dalam gigi dapat mengurangi rasa sakit gigi
(Lutony 1994). Minyak kayu putih telah lama digunakan sebagai obat tradisional
untuk mengobati berbagai penyakit karena diyakini memiliki sifat sebagai
antiseptik. Jedlickova (1994) dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa
senyawa volatil (1,8-sineol, linalool, terpineol, dan terpinen-4-ol) yang diisolasi
dari minyak kayu putih Vietnam memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
23 strain Staphylococcus aureus, 11 strain Escherichia coli, dan Pseudomonas
aeruginosa. Efek penghambatan komponen-komponen fitokimia minyak kayu
putih Vietnam paling baik adalah terhadap bakteri Candida albicans,
Streptococcus spp. A, B, C, dan G, Enterobacter spp., Salmonella spp., dan
Klebsiella pneumonia.
Aktivitas antimikroba minyak atsiri diperoleh dari komponen terpen dan
fenol yang terdapat secara alami di dalam minyak atsiri. Aktivitas terpen dan
fenol berhubungan dengan karakter lipofiliknya, kedua senyawa ini terakumulasi
di membran kemudian terjadi asosiasi dengan membran sehingga terjadi
penurunan energi pada mikroba (Conner 1993). Selain itu, Moreira et al. (2005)
dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa komponen fenolik dalam minyak
atsiri mensintesis fosfolipid bi-layer pada membran sel yang dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan kebocoran penyusun intraseluler penting atau
gangguan sistem enzim mikroba.
Tabel 1 Senyawa volatil dalam minyak kayu putih
No.
Senyawa volatil
1
1,8-sineol
2
α-terpineol
3
E-kariofilena
4
β-pinena
5
α-humulena
6
β-selinena
7
β-mirsena
8
α-selinena
9
α-terpenil asetat
Sumber: Muchtaridi et al. (2004).
Kadar (%)
22,45
12,45
6,9
5,74
4,70
3,82
3,58
2,9
2,74
Aktivitas antimikroba minyak kayu putih diharapkan juga terdapat pada
cajuputs candy dalam penelitian ini guna membuktikan khasiat permen tersebut
untuk mencegah karies gigi. Untuk itu, perlu dilakukan verifikasi komponen
volatil minyak kayu putih dan permen minyak kayu putih dengan menggunakan
GC-MS.
Minyak Peppermint (Peppermint Oil)
Minyak peppermint biasa digunakan secara luas dalam produk kesehatan,
permen karet, dan permen keras. Kandungan mentol yang memberikan sensasi
dingin dalam minyak peppermint berkisar antara 50-60% (De Rovira 1999).
Ma’mun dan Suhirman (2008) melaporkan bahwa penggunaan minyak
5
peppermint maksimum dalam permen adalah sebesar 0,104%. Senyawa volatil
dalam minyak peppermint secara umum ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2 Senyawa volatil dalam minyak peppermint
No.
Senyawa volatil
1.
Mentol
2.
Menton
3.
Mentofuran
4.
Mentil asetat
Sumber: Leung (1980).
Kadar (%)
29-48
20-31
6,8
3-10
Selain senyawa volatil seperti pada Tabel 2, masih terdapat komponen
lainnya seperti flavonoid (12%), polimer polifenol (19%), karoten, tokoferol,
betain, kolin, dan tannin. Dengan komponen volatil tersebut, minyak peppermint
efektif sebagai antibakteri, terutama terhadap bakteri gram positif yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dibandingkan dengan bakteri
gram negatif yaitu Escherichia coli dan Klebsiella pnumoniae (Singh et al. 2011).
Dari hasil analisis minyak peppermint dengan GC-MS yang dilakukan oleh
Aflatuni (2005), diketahui bahwa minyak peppermint mengandung 16 senyawa
volatil, yaitu α-pinen, sabinen, β-pinen, mirsen, limonen, 1,8-sineol, cis-p-menth2-en-1-ol, mentofuran, menton, mentol, pulegon, piperiton, mentil asetat,
β-borbonen, γ-kadinen, dan β-karyofilen.
Cajuputs Candy
Produk konfeksioneri merupakan produk pangan dengan gula sebagai
kandungan utamanya (Lawrence 1991). Permen sebagai salah satu produk
konfeksioneri dibagi atas dua kelas yaitu permen kristalin dan non kristalin. Hard
candy merupakan permen non kristalin yang memiliki tekstur keras, penampakan
mengkilat, dan bening (Jackson 1995). Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka
cajuputs candy tergolong pada hard candy.
Komposisi Cajuputs candy sebagai pelega tenggorokan telah dipatenkan
(ID 0 000 385 S) oleh Wijaya et al. (2002) dengan nama produk cajuputs candy
original. Cajuputs candy yang berkhasiat melegakan tenggorokan ini dapat
dijadikan sebagai produk konfeksioneri fungsional khas Indonesia.
Pengembangan cajuputs candy sebagai produk konfeksioneri fungsional terus
dilakukan agar dapat memiliki khasiat yang lebih baik daripada sebelumnya.
Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah dengan mengganti penggunaan
sukrosa dan glukosa pada cajuputs candy menjadi isomalt (Christie 2012).
Isomalt diketahui merupakan gula yang tidak menyebabkan karies pada gigi
(Mitchell 2006).
Suhu dan waktu pemanasan sangat menentukan rasa, tekstur, dan flavor
produk konfeksioneri (Lawrence 1991). Christie, (2012) dalam penelitiannya
telah mendapatkan formulasi, suhu dan waktu pemasakan terbaik untuk cajuputs
candy non sukrosa dengan bahan utama isomalt sehingga dapat diterima secara
organoleptik. Formulasi dan kondisi pemasakan yang dilaporkan oleh Christie
6
(2012) diterapkan dalam pembuatan cajuputs sugarfree candy sebagai model uji
dalam penelitian ini.
Isomalt
Pemanis golongan poliol diketahui bersifat toothfriendly sehingga sering
digunakan oleh industri konfeksioneri untuk menggantikan sukrosa atau gula
glukosa untuk menghasilkan produk yang aman bagi kesehatan gigi. Secara
umum, pemanis dari golongan poliol memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan sukrosa, diantaranya aman bagi gigi, rendah kalori dan
indeks glikemik atau dapat menurunkan nilai keduanya, merupakan pemanis
bebas gula (sugar free) yang dapat memberikan kesan bulky pada produk, stabil
secara kimia dan enzimatis, stabil terhadap mikroba, nonkariogenik, dan beberapa
diantaranya dapat memberikan sensasi dingin di mulut (Wijaya dan Mulyono
2010).
Pemanis dari golongan poliol yang digunakan dalam penelitian ini adalah
isomalt. Isomalt merupakan pemanis bebas gula yang dapat memberikan kesan
bulky pada produk, berbentuk kristal yang bersifat non higroskopis dan tidak
berbau (odorless), stabil terhadap hidrolisis kimiawi maupun enzimatis, serta
tidak dapat difermentasi oleh mikroorganisme. Tingkat kemanisan isomalt adalah
0,45 hingga 0,6 kali dibandingkan dengan sukrosa (=1,0). Kemanisan isomalt
sangat mirip dengan sukrosa, dan tidak menimbulkan aftertaste. Kristal isomalt
tidak memberikan efek dingin seperti yang dimiliki oleh pemanis poliol lainnya.
Sifat isomalt yang non higroskopis memudahkan penyimpanan karena kadar
airnya cenderung tidak berubah pada suhu 25°C dengan RH 85% sehingga umur
simpannya panjang. Sifatnya yang tidak higroskopis ini memberikan keuntungan
jika digunakan dalam permen keras, yaitu tidak mudah lengket (sticky) meskipun
disimpan lama. Isomalt memiliki kelarutan yang lebih rendah daripada sukrosa.
Kelarutan isomalt semakin meningkat dengan meningkatnya suhu. Viskositas
isomalt yang dipanaskan bergantung pada kecepatan pengadukan, pada
pembuatan permen, viskositas isomalt yang dipanaskan menunjukkan viskositas
yang lebih rendah daripada sirop sukrosa pada suhu yang sama. Pada pembuatan
permen keras menggunakan isomalt, dibutuhkan pemanasan pada suhu yang lebih
tinggi daripada pembuatan permen keras dengan sukrosa, hal ini bertujuan untuk
memperoleh kadar air akhir permen yang lebih rendah (Sentko dan Bernard
2012). Dengan sifat fisik maupun kimia isomalt seperti yang telah disebutkan,
isomalt merupakan pengganti gula yang ideal untuk industri pangan maupun
farmasi. Isomalt sangat tepat digunakan dalam industri konfeksioneri berbasis
sugar free, dengan aplikasi terbaik pada permen keras (Sentko dan Ettle 2006).
Karies gigi terjadi karena mikroba patogen dalam mulut, terutama
Streptococcus mutans menghasilkan asam dari hasil fermentasi karbohidrat.
Penurunan pH mulut di bawah 5,7 dapat menyebabkan Ca pada enamel gigi larut
dan terjadi karies gigi. Konsumsi isomalt ataupun produk yang menggunakan
isomalt sebagai pemanis tidak menyebabkan penurunan pH mulut hingga 5,7 atau
lebih rendah. Hal ini disebabkan isomalt tidak dapat dimanfaatkan mikroflora
patogen dalam mulut untuk metabolismenya (Sentko dan Bernard 2012).
7
Karies Gigi
Karies gigi merupakan masalah gigi penyebab utama gigi berlubang, yang
dapat menimbulkan rasa nyeri dan infeksi. Di dalam mulut terdapat banyak
bakteri patogen oportunis yang hidup dengan memanfaatkan sisa-sisa makanan
yang tertinggal sebagai bahan baku metabolismenya. Bakteri-bakteri ini dapat
mengubah gula yang tersisa pada gigi menjadi asam laktat. Karies gigi terjadi
ketika asam laktat hasil fermentasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob ini lebih
banyak jumlahnya daripada kecepatan remineralisasi kalsium dan fosfat oleh
saliva. Asam laktat yang dihasilkan dapat menurunkan pH mulut, sehingga bakteri
yang mendominasi rongga mulut hanya bakteri yang asidofilik, terutama
Streptococcus mutans (Marsh 1994).
Kondisi demineralisasi yang dilaporkan oleh Marsh (1994), merupakan
tahap awal terjadinya karies pada gigi yang kemudian membentuk plak. Segera
setelah gigi dibersihkan, protein saliva yang terdiri dari glikoprotein, sisa-sisa sel
bakteri, dan asam akan tereabsorsi ke permukaan enamel gigi. Gigi kemudian
membentuk lapisan yang disebut pelikel, yang mengawali terbentuknya biofilm
pada permukaan gigi (Davey dan O’toole 2000).
Pelikel dan matriks plak merupakan hasil dari host dan produk bakteri yang
terdiri dari beberapa komponen meliputi albumin, lisozim, amilase,
imunoglobulin A, prolin, dan mucins. Lapisan pelikel pada permukaan gigi
dikolonisasi oleh bakteri gram positif seperti S. mutans (Haake dan Kinder 2009).
Glukosiltransferase dan glukan yang berperan dalam perlekatan bakteri juga
terdapat dalam pelikel (Marsh dan Martin 2009).
Sukrosa yang sering ditambahkan dalam makanan dan minuman
disimpulkan sebagai penyebab utama karies gigi (Colby dan Russel 1997).
Sukrosa merupakan karbohidrat dengan berat molekul rendah sehingga dapat
cepat digunakan oleh mikroflora mulut sebagai substrat untuk sintesis
polisakarida ekstraseluler (EPS) dan intraseluler (IPS). EPS berperan dalam
akumulasi bakteri ke permukaan gigi dan menyebabkan perubahan biokimia dan
struktur dalam matriks biofilm, sedangkan IPS merupakan sumber endogen
karbohidrat yang dapat dimetabolisme untuk menghasilkan asam selama nutrien
terbatas (Leme et al. 2006).
Streptococcus mutans
Di dalam mulut terdapat jutaan bakteri patogen oportunis, namun tidak
semua bakteri tersebut mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan mulut
yang asam akibat dihasilkannya asam laktat oleh bakteri fermentatif dalam mulut.
Loesche (1986) melaporkan bahwa S. mutans merupakan satu-satunya bakteri
dominan yang terdapat dalam jumlah besar dalam mulut seseorang yang
menderita karies gigi. S. mutans merupakan bakteri gram positif yang berbentuk
bulat dan oval dengan diameter sekitar 2 mµ. S. mutans memerlukan CO 2 untuk
pertumbuhannya, jika diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Bakteri ini
hidup dalam rongga mulut pada permukaan yang keras seperti gigi. Jumlah
populasi S. mutans dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah diet
sukrosa dan keadaan higiena oral (Marsh dan Martin 2009).
8
S. mutans memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan gigi dengan
membentuk glukan yang tidak larut. Lapisan polisakarida ini kemudian
membentuk plak pada gigi. S.mutans yang menjadi penyebab utama karies gigi
dapat melekat pada enamel karena adanya pelikel saliva ataupun plak yang telah
lebih dulu dibentuk oleh bakteri lain (Lamont et al. 1991). S. mutans memiliki
reseptor dekstran pada permukaan dinding selnya sehingga memudahkan bakteri
ini untuk melekat pada permukaan gigi untuk memetabolisme sukrosa menjadi
dekstran ekstraseluler sehingga terjadi agregasi bakteri dan peningkatan koloni
(Roeslan 2002).
Metabolisme dekstran atau glukan ekstraseluler oleh S. mutans dilakukan
dengan mensekresikan enzim glucosyltransferase (GTF). Kemampuan S. mutans
memetabolisme sukrosa menjadi asam lebih cepat dibandingkan dengan bakteri
lain dalam agregasi. Glukan tidak larut yang kaya ikatan α-1,3-glukosidik yang
terutama dihasilkan oleh S. mutans ini dapat juga bertindak sebagai mediator
agregasi bakteri pada permukaan gigi. Oleh sebab itu, glukan tidak larut yang
pembentukannya dikatalisis oleh GTF merupakan ekspresi esensial dari virulensi
S. mutans (Roeslan 2002).
Biofilm Oral
Biofilm di dalam mulut merupakan komunitas mikroorganisme yang
melekat pada permukaan gigi dan dilapisi oleh matriks ekstraselular
(polisakarida), yang disekresikan oleh bakteri itu sendiri maupun diperoleh dari
lingkungan di sekitar mikroorganisme itu tumbuh (Marsh dan Martin 2009).
Biofilm adalah lapisan yang terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat
pada permukaan substrat, berada dalam keadaan diam, berlendir, dan tidak mudah
terlepas (Madigan et al. 2006).
S. mutans memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan gigi dengan
membentuk glukan yang tidak larut air. Lapisan polisakarida ini kemudian
membentuk plak pada gigi. Terbentuknya plak gigi memberikan lingkungan yang
ideal bagi pertumbuhan bakteri patogen dalam mulut. S. mutans merupakan jenis
bakteri patogen oportunis dalam mulut yang merupakan penyebab utama karies
gigi. Pembentukan plak gigi adalah tahap awal terjadinya karies gigi, kondisi
lingkungan mulut seperti ini dapat mempermudah komunitas mikroorganisme
yang melekat pada gigi untuk membentuk biofilm (Simon 2007).
Aparna dan Yadav (2008) menyatakan bahwa pembentukan biofilm secara
umum terdiri atas lima tahap, yang diilustrasikan pada Gambar 1. Tahap pertama
terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel mikroba pada permukaan
substrat. Pada tahap ini, sel-sel mikroba tidak melekat dengan kuat karena hanya
mengandalkan kekuatan ikatan van der Waals. Selama tahap ini, sel bakteri
mengalami pertumbuhan logaritmik.
Tahap kedua merupakan tahap perlekatan irreversible, dimana mikroba
memperbanyak diri sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk berkomunikasi
secara internal. Substansi Extracellular Polymeric Substance (EPS) mulai
dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. EPS yang terbentuk selanjutnya akan
memerangkap nutrisi dan mikroba lain di sekitarnya. Dengan demikian, agregat
sel terbentuk sedangkan motalitas sel menurun sejalan dengan semakin
progresifnya lapisan agregat (Aparna dan Yadav 2008).
9
Tahap ketiga adalah tahap maturasi. Pada tahap ini, biofilm terus tumbuh
yang sejalan dengan pertumbuhan koloni di dalamnya. Ketebalan lapisan biofilm
pada tahap ini dapat mencapai lebih dari 10 μm. Tahap keempat merupakan tahap
maturasi II, dimana biofilm yang dibentuk semakin tebal dan semakin melekat
kuat (Aparna danYadav 2008).
Gambar 1 Tahap pembentukan biofilm
Pada tahap kelima, terjadi dispersi sel-sel mikroba yaitu terlepasnya sel-sel
mikroba penyusun koloni baik dalam keadaan sendiri ataupun bersama dengan
sebagian komponen matriks penyusun biofilm untuk berkembang kembali
menjadi sel mikroba seperti pada keadaan awal (Aparna dan Yadav 2008).
Pembentukan biofilm merupakan tanda adanya proses lanjutan yang
mengkarakterisasi perubahan aktivitas gen dan regulasinya yang diperlukan pada
berbagai langkah pembentukan biofilm (Shemesh 2007).
Keberadaan sukrosa, yang dimediasi oleh enzim glukosiltransferase (GTF)
diketahui memiliki peran terhadap virulensi S.mutans (Kuramitsu 1993). Shemesh
(2007) membuktikan bahwa penambahan sukrosa pada media pertumbuhan TY
(Tryptone Yeast) dapat meningkatkan populasi sel S. mutans secara signifikan,
dengan ketebalan biofilm mencapai 380 μm melalui analisa dengan Confocal
Laser Scanning Microscopy (CLSM).
Glukosiltransferase
Glukosiltransferase (GTF) merupakan enzim yang bertanggung jawab
menghasilkan glukan larut dan glukan tidak larut dengan menggunakan sukrosa
sebagai substrat. GTF sangat penting dalam proses kolonisasi bakteri S. mutans
(Hamada dan Slade 1980). Glukan yang dihasilkan menempel pada permukaan
gigi merupakan tanda awal terjadinya karies pada gigi (Colby dan Russell 1997).
GTF yang disekresikan oleh S. mutans terdapat dalam pelikel pada permukaan
gigi dan berperan penting dalam proses perlekatan bakteri (Marsh dan Martin
2009).
S. mutans menghasilkan tiga enzim GTF, yaitu GTFB, GTFC dan GTFD
yang diperlukan untuk pembentukan plak gigi (Colby dan Russel 1997). Glukan
yang larut air dihasilkan oleh GTFD yang didominasi oleh α-1,6-glukosidik.
(Kuramitsu 1993). Glukan tidak larut dihasilkan oleh S. mutans dengan bantuan
GTFB dan GTFC (Aoki et al. 1986).
Sekresi GTFC dapat membantu S. mutans untuk menghasilkan sekaligus
polimer glukan tidak larut dan sedikit glukan larut air (Hanada dan Kuramitsu
10
1988). GTFB dan GTC bersifat patogen karena polimer glukosa yang dihasilkan
oleh kedua enzim ini merupakan mediator agregasi bagi bakteri pada permukaan
gigi (Yamashita et al. 1992). Glukan tidak larut didominasi oleh α-1,3-glukosidik.
Polimer glukosa yang dihasilkan berkontribusi terhadap intensitas ketebalan dan
intensitas struktur plak gigi yang nantinya akan berkembang dan dapat menjadi
karies (Chia et al. 1995).
Kelarutan glukan atau dekstran dalam air berpengaruh terhadap
pembentukan koloni S. mutans pada permukaan gigi (Marsh dan Martin 2009).
Metabolisme sukrosa ekstraselular oleh S. mutans yang memproduksi dekstran
yang tidak larut dalam air dengan rantai α-(1,3) sangat mempengaruhi
pembentukan plak dan peningkatan kolonisasi dari bakteri pada plak, semakin
tidak larut air maka pembentukan plak akan semakin baik (Roeslan 2002).
GTFB dan GTFC yang terabsorpsi menyediakan sisi pengikatan spesifik
untuk kolonisasi bakteri pada permukaan gigi dan bakteri satu sama lain,
mengatur pembentukan biofilm yang sangat erat (Kuramitsu 1993). Menurut
Ooshima et al. (2001), GTFC memiliki peran yang lebih besar terhadap
pembentukan glukan tidak larut yang melekat sangat kuat daripada GTFB.
S. mutans secara konstitutif akan mensekresikan enzim GTF yang dikode
oleh gen gtf. Gen gtf utama yang berperan dalam pembentukan karies adalah gtfB
dan gtfC, adanya kedua gen ini menunjukkan bahwa bakteri S. mutans tersebut
berpotensi menyebabkan karies gigi (Soemantadireja 2005).
Ekspresi suatu gen secara molekuler dapat dideteksi pada tahap transkripsi
(mRNA) maupun translasi (protein). Deteksi ekspresi gen pada tingkat mRNA
lebih sulit dibandingkan pada tahap protein karena memerlukan tahapan isolasi
mRNA pada fase atau bagian yang mengekspresikan gen tersebut dan
memerlukan alat yang sensitif (Litbang 2010). Keberadaan GTFB dan GTFC
pada S. mutans diekspresikan oleh gen gtfB dan gtfC yang mengkode kedua enzim
tersebut. Ekspresi mRNA gtfB dan gtfC dapat diamplifikasi dengan teknik PCR
menggunakan primer mRNA gtfB dan gtfC.
Hudson dan Curtiss (1990) menyelidiki peran gtf promoter dengan
menggunakan chloramphenicol dengan berdasarkan hipotesis bahwa gtfB dan
gtfC merupakan bagian dari operon tunggal, dan mendapatkan bahwa
asetiltransferase mengkode gen dari berbagai strain S. mutans. Kemudian
Smorawinska dan Kuramitsu (1995) dan Fujiwara et al. (1996) melaporkan
bahwa gtfB dan gtfC diekspresikan terpisah oleh S. mutans. Belakangan, dengan
menggunakan plasmid based luciferase reporter assay, Goodman dan Gao,
(2000) membuktikan bahwa promoter gtfB dan gtfC adalah berbeda.
Fujiwara et al. (2002) melakukan penelitian untuk mengetahui intensitas
ekspresi mRNA gtfB, gtfC, dan gtfD pada awal, pertengahan, dan akhir fase
eksponensial pertumbuhan S. mutans. Hasil penelitian yang dilakukan Fujiwara et
al. (2002), menunjukkan bahwa ekspresi mRNA gtfB menurun pada pertengahan
dan meningkat dua kali lipat pada akhir fase eksponensial dibandingkan dengan
awal fase eksponensial, sedangkan ekspresi mRNA gtfC cenderung menurun pada
fase pertengahan hingga akhir. Fujiwara, et al., (2002) menyimpulkan bahwa
adanya perbedaan ekspresi mRNA gen gtfB dan gtfC disebabkan karena
perbedaan promoter yang mengendalikan aktivitas gtfB dan gtfC.
Real-Time PCR merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi dan
menkuantifikasi ekspresi mRNA. Prinsip RT-PCR adalah mendeteksi dan
Download