pola pemidanaan tindak pidana korupsi

advertisement
POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pola Pemidanaan.
Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki
"sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup "pola
pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu acuan/pedoman
bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun peraturan perundang-undangan
yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut
"pedoman legislatif" atau "pedoman formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan"
adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim ("pedoman yudikatif” /
"pedoman aplikatif") Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini
seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan
sebelum KUHP nasional dibuat.
Memang sudah ada undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih
mengenai asas, proses/prosedur penyiapan, pembahasan, teknis penyusunan dan
pemberlakuannya. Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang
"pemidanaan", setidaknya hal-hal yang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort),
kriteria sedikit-lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus) .
Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, mantan Ketua
Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan, mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam
keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum
(substantive justice), tata cara penegakan hukum (procedural justice).
Meski Indonesia belum memiliki "pola pemidanaan" yang berkaitan dengan
kriteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus, namun bila
menyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk
kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan/atau melakukan
studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana Negara lain, yang sudah
mengatur hal itu adalah salah satu solusinya.
Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, delikdelik
tertentu yang dapat ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter
berikut :
1. delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan
masyarakat;
2. delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte
delikte). Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, belum ada bahan rujukan yang baku,
sehingga salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi
pidana "minimum khusus di beberapa KUHP negara lain.
Masalah pokoknya di Indonesia adalah bahwa sampai sekarang belum terjawab,
sejauhmana kewenangan kebebasan yang dimiliki oleh hakim (judicial discretion) untuk
"dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus
dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang
berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dan itu tidak lain
adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan
(straftoemetings regelistraftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing)
sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang
"dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas-limit pidana maksimum khususnya,
ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap
kejahatan terren recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Undang-undang
memang mewajibkan hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Dan perspektif masyarakat, agar dihukumnya para pelaku korupsi sebanyakbanyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana
yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat
menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil.
Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga)
faktor yang saling terkait, yaitu :
a. faktor perundang-undangan;
b. faktor aparat/badan penegak hukum;
c. faktor kesadaran hukum.
Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi
Hukum pidana materiel (hukum pidana substantif), hukum pidana formil meliputi acara
pidana maupun hukum pelaksanaan pidana. Untuk faktor perundang-undangan inipun
terkait dengan tahapantahapan kebijakan formulatif (legislatif), kebijakan aplikatif
(yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekutif). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap
kebijakan formulasi adalah merupakan penegakan hukum "in abstracto", yang pada
gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto:' (melalui tahap
kebijakan aplikasi dan eksekusi).
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan
“penal policy” atau “penal law enforcement” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya
melalui beberapa tahap, yaitu :
1) tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan
3) tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat
pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling
strategis dari “penal policy”. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan
sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan
landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana
pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila pada tahap kebijakan
formulatif ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka
eksesnya eksekusi pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi).
Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana "in abstracto" akan
membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum "in concreto”
Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia penggunaan pidana
sebagai bagian dari politik/kebijakan harus sudah dianggap sebagai hal yang wajar,
hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat
adalah hanya dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat
ataupun strafmodus pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di
Indonesia, dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihannya atau
penentuannya. Dari bermacam produk perundang-undangan pidana di Indonesia akhirakhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa
lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum
khusus dan pidana minimum khususnya, baik perumusan alternatif, atau kumulatif, atau
juga kumulatif-alternatif. Selanjutnya dalam tataran aplikasi, pada delik-delik tertentu
sebagaimana didakwakan Penuntut Umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa
hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah
batas/limit ancaman pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada hal
sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk
delik-delik tertentu tersebut adalah bukan tanpa maksud dan tujuan.
Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat
membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan
tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penjatuhan pidana,
di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga didalamnya terkait dengan aspek
sosiologis dan aspek filosofis. Akhirnya banyak timbul wacana diantara para pemerhati
hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus
lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah
kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan
antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan
pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan aksi dan sikap
kritis terhadap "beragamnya" strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan
terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan
tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana disparity of sentencing diantara delikdelik tertentu tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa dilihat dari sumbernya,
maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari Hakim (yang menjatuhkan
putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan
perundang-undangan), yang dilatarbelakangi oleh faktor :
a) pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang
secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan
b) kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki
adanya standar minimal objektif untuk delikdelik tertentu yang sangat dicela dan
merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta
c) ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general
prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan
meresahkan masyarakat, maka lembaga pembuat undang-undang kemudian
menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana
maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.
B. Disparitas Putusan Hakim
Disparitas pidana (disparity of sentencing) maksudnya adalah penerapan pidana
yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindaktindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable
seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan "correction
administration". Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa
menjadi korban "the judicial caprice", akan menjadi terpidana yang tidak menghargai
hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di
dalam tujuan pemidanaan. Tentunya akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab
akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk
mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Masalah disparitas pidana adalah salah satu subsistem dalam sistem
penyelenggaraan hukum pidana, sehingga disparitas pidana juga menjadi bagian dari
masalah pemidanaan, dan dapat dikatakan bahwa disparitas pidana yang bersumber dari
hukum positif/peraturan perundang-undangan, antara lain adalah karena belum diaturnya
pedoman penjatuhan pidana (statutory guidelines for sentencing atau
straftoemetingsheidraad), sedangkan yang bersumber dari Hakim, antara lain karena
adanya pemahaman idiologis yang beragam terhadap the philosophy of punishment,
setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik atau aliran modern) dan
selanjutnya dalam hukum pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang
sangat luas untuk memilih jenis pidana (stafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan
penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana didalam undang-undang .
Prof. Sudarto, S.H. menyatakan sebagai berikut:
"KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad), yang
umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat
asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada
hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels)".
Holmes, bekas Hakim Agung Amerika Serikat yang terkenal, pernah memberikan
perumusan tentang hakekat hukum yang kemudian menjadi terkenal, yaitu: " hukum itu
adalah apa yang menurut perkiraan orang diputuskan oleh pengadilan ". Jadi menurut
Holmes, hukum itu adalah bukannya yang tercantum di dalam perundang-undangan,
melainkan perkiraan orang mengenai apa yang nantinya akan diucapkan oleh Hakim
dalam putusannya. Pendapat Holmes ini berharga untuk diperhatikan dalam rangka
pembicaraan mengenai efektifitas peraturan hukum ini. Sebab, apa yang dikemukakan
oleh Holmes itu mengandung arti, bahwa ada hubungan antara tafsiran orang mengenai
apa yang merupakan hukum dengan keputusan-keputusan Hakim. Sekalipun misalnya
perbuatan itu diancam dengan pidana 10 (sepuluh) tahun, akan tetapi Hakim " hanya "
menjatuhkan pidana 5 (lima) bulan, maka hal ini akan mampu " membuat hukum baru di
dalam pemikiran orang-orang ", bahwa perbuatan atau kejahatan itu sebetulnya
pidananya adalah 5 bulan. Mereka akan memperhitungkan, bahwa batas ancaman
hukuman pidana 120 (seratus dua puluh) bulan itu pada akhirnya hanya dijatuhi
hukuman 5 (lima) bulan saja. Dengan menambahkan masalah konsistensi dalam
pelaksanaan hukum tersebut dalam hubungan dengan efektivitas peraturan hukum, maka
muncul pula peranan Hakim sebagai salah satu mata rantai yang penting dalam turut
membina efektifitas tersebut.
Perihal disparitas pidana yang bersumber dari Hakim, juga pernah dikemukan
oleh Roem Dhamdusdi, seorang Hakim senior pada Pengadilan Pidana Thailand, yang
mangatakan: " Sebaiknya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan atas tindak pidana
yang “serupa” haruslah sama, akan tetapi tampaknya dalam praktik hal ini sukar
dilaksanakan, disebabkan masing-masing hakim mempunyai “ide” sendiri dalam
penjatuhan pidana".
Loebby Luqman juga mengatakan, bahwa bagaimana " kualitas " putusan Hakim
atas suatu perkara yang di¬tanganinya adalah tidak terlepas dari "pribadi" Hakim dan
"lingkungan" yang membentuk pribadi Hakim yang bersangkutan.
Lebih jauh Muladi mengatakan, bahwa terhadap delik-delik berkarakter tersebut
di atas, utamanya yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan negara, maka
hukum pidana harus tampil sebagai premium remidium.
Selanjutnya menurut H. G. De Biint, hukum pidana berperan sebagai premium
remidium, apabila :
1. korban sangat besar;
2. terdakwa residivis; dan
3. kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).
Menurut Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana sebagai premium
remidium hanya diterapkan pada delik-delik tertentu yang memerlukan cara yang luar
biasa untuk mencegah dan mengatasinya.
Menurut Loebby Loqman, tujuan penjatuhan pidana in concrete tersebut adalah
untuk norm-handhaving, yakni merealisasikan/menerapkan ancaman hukuman (sanksi
pidana) yang ada dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana kaidah hukum, maka suatu putusan pidana, idealnya juga harus
memenuhi ketiga macam unsur yaitu, secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Hakim
akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum
dari perkara yang ditanganinya . Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama,
yaitu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pendekatan filosofis, yaitu
berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis, yaitu
sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat.
Perihal pentingnya suatu putusan pidana harus memenuhi tiga unsur, yaitu :
yuridis, sosiologis, dan filosofis sebagaimana Soerjono Soekamto mengemukakan
alasannya sebagai berikut:
1) apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak
hidup,
2) apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana
pemaksa dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya
menjadi tidak realistik.
Menurut Cheang, disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan
disini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (the
same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat
diperbandingkan
(offence comparable
seriousness) tanpa disertai
dasar
pertimbangan/penalaran yang sahih (valid reason). Selanjutnya Jackson menambahkan,
bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua
orang atau lebih terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama
(co’defendant).
Faktor yang menimbulkan variasi / disparitas putusan pidana, antara lain:
a) Pertama-tama faktor yang mungkin menonjol, adalah masalah kepribadian Hakim,
(termasuk di dalamnya adalah masalah mentalitas). Memang perlu diakui, bahwa
banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi kepribadian seorang Hakim. Faktor
faktor tersebut mungkin merupakan “raw-input”, “instrumental-input” dan
“environmental-input”. Kalau masalahnya dibatasi pada “raw-input” saja, maka
persoalannya tidaklah sesederhana yang diduga. Agama, suku bangsa, pendidikan
informal dan lain- lain faktor mungkin berpengaruh secara terpisah atau secara
simultan.
b) Yang kedua adalah masalah lingkungan, yang terutama menyangkut lingkungan
sosial. Faktor ini tidak hanya mempengaruhi kepribadian Hakim, akan tetapi juga
terhadap penjatuhan hukuman. Dalam arti yang sangat luas, maka lingkungan sosial
dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Lingkungan sosial mungkin
mencakup faktor politik, ekonomi, dan seterusnya. Seorang Hakim sangat sulit untuk
secara sempurna menutup diri terhadap pengaruh faktor-faktor tersebut. Kadang
kadang, bahkan faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang sangat dominan di
dalam penjatuhan hukuman.
c) Kecuali dari hal yang dijelaskan diatas, maka faktor ketiga adalah unsur-unsur yang
berkaitan langsung dengan proses peradilan. Masing-masing unsur mempunyai
kepribadian tersendiri dan mungkin ada pengaruh yang kuat dari atasan yang sangat
menentukan pelaksanaan peranannya dalam proses peradilan tersebut. Kenyataan
tersebut sulit untuk disangkal, dan harus dipertimbangkan secara saksama, oleh
karena merupakan salah satu penyebab terjadinya variasi dalam penjatuhan hukuman.
Dalam tahapan aplikasi sedemikian, permasalahan disparitas pidana ini telah
menjadi keprihatinan dikalangan para Hakim, setidaknya hal ini pernah mengemuka
dalam:
a) Munas VII IKAHI ( Ikatan Hakim Indonesia) di Pandaaan, Jawa Timur tahun 1975;
b) Munas VIII IKAHI di Jakarta tahun 1984.
c) Rapat Kerja Teknis Gabungan tahun 1985 tentang Patokan Pemidanaan (sentencing
standard);
d) Simposium terbatas pemidanaan oleh Hakim Pengadilan Negeri danPengadilan
Tinggi Jakarta tahun 1992.
Pada Munas Ikahi ke VII yang berlangsung pada bulan Juli 1975 di Pandaan,
Jawa Timur telah diadakan simposium terbatas yang membicarakan soal
"penghukuman”, mencari suatu pemikiran yang tidak teoretis, akan tetapi sasarannya
adalah suatu hasil yang bisa diterapkan dalam praktek, sedangkan tujuannya adalah agar
dapat dicapai "keseragaman pemidanaan terhadap tindak pidana yang sejenis". Hasil dari
Lokakarya ini menurut Pengurus Pusat IKAHI akan diserahkan kepada Mahkamah
Agung, dengan maksud agar benar-benar dapat digunakan oleh para Hakim di seluruh
Indonesia dalam tugasnya mengadili perkara-perkara pidana. Masalah pemidanaan
adalah merupakan "masalah yang sangat pribadi bagi seorang Hakim" sehingga
ditemukan kesulitan untuk menarik garis yang "seragam" antara Hakim yang satu dengan
Hakim yang lainnya mengenai berat-ringannya hukuman, meski hal itu menyangkut
suatu perkara yang sejenis. Kendala yang terjadi bukan semata-mata tergantung pada
Hakim yang menjatuhkan pidana, akan tetapi juga pada terpidananya yang masingmasing berbeda-beda dalam menerima pidana itu, sehingga dalam menjatuhkan pidana
Hakim harus selalu memperhatikan kepribadian, kedudukan sosial, dan lain sebagainya
dari terpidana.
Menurut H.Adi Andojo Soetjipto (mantan Hakim Agung), mengatakan dalam hal
demikian maka tidak bisa kita berbicara soal "keseragaman" pemidanaan, yang bisa kita
pikirkan untuk dibahas dalam Lokakarya ini hanyalah : “bagaimana kita bisa mencarikan
jalan bagi para Hakim kita agar dalam menjatuhkan pidana yang bergerak dalam batas
minimum dan maksimum ancaman pidana, bisa dicapai suatu "keserasian dalam
pertimbangan" (consonant of consideration) yang menghasilkan suatu "kesamaan dalam
pemidanaan" (parity in sentence)”. Selanjutnya yang perlu dipahami, bahwa arti kata
"sama" adalah berbeda dengan arti kata "seragam". "Keseragaman" pemidanaan
cenderung membuat seorang Hakim menjadi tumpul rasa keadilannya dan perannya bisa
berubah menjadi seorang "tukang hukum profesional". Sedangkan " kesamaan "
pemidanaan masih tetap didasarkan pada pertimbangan yang serasi, dalam arti serasi
dengan putusan-putusan terdahulu yang sudah pernah ada, serasi dengan putusan-putusan
Hakim lain mengenai tindak pidana yang sama/sejenis, serasi dengan rasa keadilan
masyarakat dan serasi pula dengan rasa keadilan si terpidana. Di sini masih ada
"kebebasan" yang dimiliki Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan
Hakim Pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang
sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman
yang tepat dan serasi (consistency of sentences). Akan tetapi, bukanlah uniformitas
mutlak yang dimaksudkan karena dapat bertentangan dengan prinsip kebebasan Hakim,
aturan batas maksima dan minima dari hukuman dan bertentangan dengan rasa keadilan
maupun " keyakinan Hakim“. Faktor yang diperlukan adalah keserasian pemidanaan
dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan
mempertimbangkan pula rasa keadilan si-terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan
suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan "checking points". yang disusun
setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun
nasional dengan mengikut sertakan ahli-ahli yang disebut "behaviour scientist". Istilah
uniformitas pemidanaan dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh
karenanya diusulkan istilah lain yakni "ketepatan dan keserasian pemidanaan".
Harus diakui bahwa diparitas yang menyolok dalam pemidanaan selain menimbulkan
rasa ketidak-puasan di kalangan masyarakat, juga menimbulkan, masalah yang serius
dalam administrasi pemasyarakatan. Narapidana yang mendapatkan pemidanaan yang
relatif lebih lama dari nara¬pidana yang lain yang melakukan tindak pidana yang sejenis,
akan merasa telah diperlakukan tidak adil. Akibatnya dia akan bersikap memusuhi
pejabat-pejabat penegak hukum, sehingga sangat menyulitkan bagi rencana
pembinaannya oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan.
C. Pemikiran Untuk Mengurangi Terjadinya Disparitas Pemidanaan di Indonesia.
Bertolak dari tujuan pemidanaan yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang
KUHP Nasional kita yang akan datang, masih akan mengalami kesulitan usaha untuk
mengurangi timbulnya disparitas pemidanaan, di pengadilan. Misalnya mengenai
penggunaan standar pemidanaan yang dibagi menjadi "base term", "mitigated term" dan
"aggravated term ".
Kesulitan di Indonesia yaitu untuk menentukan standar pemidanaan itu, misalnya
saja untuk tindak pidana "korupsi" berapa standar pemidana¬an yang dirasa "baik" bagi
seorang pelaku korupsi yang telah merugikan keuangan negara. Mengingat bahwa tujuan
pemidanaan adalah "bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia".
Apakah standar 1 tahun (mitigated term), 4 tahun (base term), dan 7 tahun
(aggravated term) dapat dikatakan "baik"? Artinya "baik" ini adalah dalam hubungannya
dengan apakah sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan, apakah sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat, apakah sesuai dengan ke¬bebasan Hakim dan apakah sesuai
dengan Pancasila, Undang¬undang Dasar 1945, GBHN dan dapat menunjang
pembangunan bangsa di segala bidang ?
Untuk mengatasi disparitas yang menyolok ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja,
dalam bukunya yang berjudul "Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan
Narapidana" menguraikan beberapa tehnik untuk mengurangi disparitas tersebut, yaitu
antara lain:
1. dengan menggunakan data-data pemidanaan,
2. dengan menggunakan "Checking List" atau "tabel pemidanaan",
3. dengan menggunakan "prediction table" atau "tabel peramal" ataupun
4. dengan menggunakan "patokan pidana".
Tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk hukuman yang setimpal dengan
beratnya kejahatan yang dilakukan terdakwa yang harus seragam dengan hukuman yang
dijatuhkan terhadap terdakwa lain yang melakukan kejahatan yang sejenis dengan ihwal
yang sama. Perundang-undangan selanjutnya juga berpendapat dan menyatakan bahwa
untuk menghilangkan disparitas dan memberikan keseragaman dalam penghukuman
dapat dicapai dengan cara menetapkannya dalam undang-undang jumlah hukuman yang
pasti/fixed, yang harus diterapkan oleh pengadilan sesuai dengan beratnya kejahatan
yang ditetapkan dalam undang-undang itu pula. Maka oleh karena itu Ketua Pengadilan
dalam menentukan standar pemidanaan itu tidak dapat melakukannya sepihak saja.
Pertama-tama dia harus mengumpulkan data-data mengenai hukuman yang pemah
dijatuhkan untuk satu jenis tindak pidana itu yang pernah dijatuhkan oleh Hakim-Hakim
dalam wilayah hukumnya dalam jangka ("kurun") waktu tertentu. Kemudian data-data
yang sudah terkumpul itu diajukan dalam suatu rapat majelis dengan seluruh HakimHakim dalam wilayah hukum pengadilan itu. Dalam rapat majelis itu harus satu persatu
Hakim tersebut didengar pendapatnya me¬ngenai segi-segi yang berhubungan dengan
tujuan pemidanaan, rasa keadilan, dan sebagainya yang kesemuanya harus di "uji "kan
terhadap data-data yang sudah dikumpulkan tadi. Kalau sudah dapat dicapai kata sepakat
mengenai standar pemidanaan itu, maka standar pemidanaan yang akan ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan tersebut merupakan keputusan bersama antara seluruh Hakim-Hakim
dalam wilayah hukum pengadilan tersebut. Di sini berarti bahwa apa yang dinamakan
kebebasan Hakim itu, apabila standard pemidanaan sudah menjadi keputusan, menjadi
agak sedikit dibatasi, dalam arti Hakim itu hanya dapat bergerak di antara mitigated
term, base term dan aggravated term saja. Kebebasan Hakim yang sebenarnya adalah
pada waktu masing-masing Hakim itu mengutarakan pendapat serta rasa keadilannya
dalam rapat majelis ketika membicarakan penetapan standar pemidanaan ber¬dasarkan
data-data hukuman yang sudah dikumpulkan di atas.
Mengingat sangat kompleksnya segi-segi yang harus dipertimbangkan dalam
menetapkan standar pemidanaan ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja berpendapat,
sebagai langkah pertama kita terpaksa harus mulai per- Pengadilan Negeri dahulu.
Apabila standar pe¬midanaan yang ditetapkan di masing-masing pengadilan negeri
tersebut sudah berjalan beberapa tahun, baru kita bisa menetap-kan standar pemidanaan
untuk satu wilayah pengadilan tinggi. Apabila standar pemidanaan itu sudah mulai dapat
ditetapkan per-Pengadilan Tinggi, di sinilah sistem yang dipergunakan di Jepang dapat
diikuti dalam rangka menetapkan standar pemidanaan untuk seluruh Indonesia. Yakni
melaksanakan mutasi Hakim secara teratur dan secara tepat, sehingga pengalamanpengalaman di tempat-tempat yang lama dapat di terapkan di tempat-tempat yang baru
(khusus mengenai penghukuman ini), mengadakan latihan-latihan bagi para Hakim, dan
sebagainya. Untuk menetapkan alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat
hukuman, tentunya tidak sesulit pada waktu ia harus menetapkan standar pemidanaan.
Oleh karena itu untuk menetapkan alasan-alasan ini tidak perlu ditempuh cara-cara
seperti pada waktu akan menetapkan standar pemidanaan tersebut, akan tetapi dapat
ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Penegakan hukum menurut Hikmahanto Juwana, merupakan faktor penting
dalam kehidupan hukum Indonesia, tanpa penegakan hukum yang kuat, hukum tidak
akan dipersepsikan sebagai ada oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak dapat bahwa
tanpa penegakan hukum yang kuat, maka hukum tidak akan dapat menjalankan fungsi
yang diharapkan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan ekonomi tanpa penegakan
hukum dan institusinya tidak akan dapat menjamin pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi.
D. Sistem Pidana Minimum Khusus
Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya)
ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana
minimum khusus. Ini berarti, pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu
undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus
di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan
kuantitatif sistem pidana minimum khusus.
Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya
yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka tampak hal-hal berikut:
1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana
(penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum
khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun
hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan bulan. Demikian juga untuk
pidana kurungan, ada yang menggunakan tahun dan ada pula yang menggunakan
ukuran bulan. Untuk pidana denda ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan
ada pula yang menggunakan ukuran miliaran rupiah.
2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum, pidana
kurungan minimum khusus, dan pidana denda minimum. Selanjutnya dari kisaran
terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda, dengan
menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan, bahwa
delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan
masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya
(erfolgsqualijizierte delikte).
3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan
minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana
denda.
4. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana
minimum khusus, adalah bersumber pada belum adanya "pola pemidanaan" yang
dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat
dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada
beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini
pada gilirannya berpotensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di
tingkat kebijakan aplikasi.
Apabila ketika faktor-faktor yang memperingan pidana demikian dominan, maka
kepada Hakim juga dituntut untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan.
Namun demikian yang dapat menimbulkan permasalahan adalah seberapa jauh memberi
peluang kebebasan kepada Hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas
tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundangundangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada
dalam koridor kepastian hukum. Dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan
membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad, atau
statutory guidelines for sentencing-sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola
pidana maksimum khusus yang juga "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas bataslimit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat
pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan recidive terhadap kejahatan tertentu
yang sejenis.
Sebagaimana menurut rencana dalam KUHP Nasional yang akan datang juga
akan ada ketentuan yang mengatur soal "straftoemetingsregel" yang memuat hal-hal
yang memperingan dan memperberat pidana. Penetapan mengenai alasan-alasan yang
dapat memperingan dan memperberat hukuman ini adalah sangat penting dalam rangka
keserasian dalam pertimbangan putus¬an Hakim. Dengan berpedoman pada penetapan
ini maka antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lain dalam mempertimbangkan
berat-ringannya pidana yang dijatuhkan akan terdapat keserasian, sehingga pidana yang
akan dijatuhkannya pun akan sama satu sama lain.
By : Dominggus silaban, SH.MH
Download