BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk dan Variabel Penelitian 2.1.1 Ukuran Perusahaan (Firm Size) Menurut Vintila et al. (2013), ukuran perusahaan adalah ukuran citra perusahaan dan merupakan skala yang digunakan dalam menentukan besar kecilnya suatu perusahaan. Begitu pula dengan Sudarmadji dan Sularto (2007) yang mengatakan bahwa ukuran perusahaan (firm size) menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan. Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva/aset, total penjualan, rata-rata tingkat penjualan, rata-rata total aktiva, jumlah tenaga kerja, kapitalisasi pasar dan nilai ekuitas. Pada penelitian ini ukuran perusahaan diukur dengan total aset dan jumlah penjualan. Semakin besar total aset maupun penjualan, maka semakin besar pula ukuran suatu perusahaan. Semakin besar aktiva, maka semakin besar modal yang ditanam. Semakin banyak penjualan, maka semakin banyak juga perputaran uang dalam perusahaan. Rumus sebagai berikut: UP = ln Total Aset UP = ln Jumlah Penjualan 9 10 Lebih lanjut, Vintila et al. (2013) menjelaskan bahwa total aset dipilih sebagai proksi dari variabel ukuran perusahaan karena lebih stabil dan representatif dalam menunjukkan ukuran perusahan dibanding kapitaliasi pasar yang sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Aset menunjukkan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Peningkatan aset yang diikuti peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan dan memungkinkan pihak kreditor tertarik menanamkan dananya keperusahaan. Lidia (2010) mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat. Secara umum kelompok perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada kelompok perusahaan kecil. Perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Ketersediaan sumber daya dan dana membuat perusahaan merasa perlu membiayai penyediaan informasi untuk pertanggungjawaban sosialnya. Reni (2006) berpendapat bahwa perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. 11 Semakin besar perolehan laba yang didapat perusahan, maka semakin luas informasi sosial yang diungkapkan perusahaan. Lidia (2010) mengemukakan hal yang berbeda, semakin besar ukuran perusahaan, besarnya tanggung jawab perusahaan untuk melakukan aksi sosial dan pengungkapannya semakin rendah. Sama halnya dengan Hussainey & Razik (2011) yang berpendapat bahwa belum tentu perusahaan besar akan melaporkan informasi CSR mereka lebih dari perusahaan kecil. 2.1.2 Profitabilitas Bambang (2008:35) menjelaskan bahwa profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama suatu periode tertentu. Profitabilitas juga merupakan hal yang penting untuk mengetahui perkembangan suatu perusahaan karena dengan profitabilitas manajemen, perusahaan dapat mengukur kemampuan dan kesuksesannya menggunakan aktiva. Profitabilitas menurut Hackston & Milne dalam Vintila et al. (2013) adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba/keuntungan/profit yang akan mempertahankan pertumbuhan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Sofyan (2008:304), profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya. Menurut Sutrisno (2009:222), profitabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan, dimana semakin 12 besar tingkat keuntungan menunjukkan semakin baik manajemen dalam mengelola perusahaan. Untuk mengetahui tingkat profitabilitas suatu perusahaan dapat di ukur dengan menggunakan dimensi dari profitabilitas, yaitu rasio keuangan. Beberapa rasio keuangan tersebut adalah, Profit Margin, Net income, Return on Asset (ROA), dan Return On Equity (ROE). Bambang (2008:329) juga mengemukakan beberapa rasio keuangan, yaitu Gross Profit Margin (GPM), Net Profit Margin (NPM), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), Earning Per Share (EPS), Payout Ratio (PR), Retention Ratio (RR), dan Prouctivity Ratio (PR). Penelitian ini menggunakan Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE) sebagai indikatornya. Rasio profitabilitas menurut Bambang (2008:331) yaitu rasio yang menunjukan hasil akhir dari sejumlah kebijaksanaan dan keputusan-keputusan (profit margin on sales, return on total assets, retutn on net worth, dan lain sebagainya). Menurut Hendra (2009:205), rasio profitabilitas berfungsi untuk mengukur kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan tingkat keuntungan baik dalam bentuk laba perusahaan maupun nilai ekonomis atas penjualan, aset bersih perusahaan maupun modal sendiri (shareholders equity). Vintila et al. (2013) menjelaskan bahwa ROA adalah rasio keuangan yang digunakan oleh manajer bisnis untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari aset yang dimiliki perusahaan dan untuk menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan asetnya dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan. ROA merupakan rasio antara laba bersih dan total asset. Bambang (2008:336) menyatakan bahwa ROA adalah kemampuan dari modal yg 13 diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi semua investor (pemegang obligasi dan saham). ROA juga merupakan ukuran efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Rumus perhitungan ROA dapat ditulis sebagai berkut: ROA = Laba Bersih Setelah Pajak Total Aset Sutrisno (2009:223) berpendapat, Return On Equity (ROE) merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah pajak dengan total ekuitas. Return on equity merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen) atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan. Bambang (2008:337) juga berpendapat bahwa ROE adalah rasio yang memperlihatkan sejauh manakah perusahaan mengelola modal sendiri (net worth) secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan. ROE menunjukkan rentabilitas modal sendiri atau yang sering disebut rentabilitas usaha. Rumus perhitungan Return On Equity (ROE) dapat ditulis sebagai berkut: ROE = Laba Bersih Setelah Pajak Ekuitas 14 Penelitian ilmiah tentang pengaruh antara profitabilitas dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memperlihatkan hasil yang beragam. Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh antara profitabilitas dengan pengungkapan tanggung jawab sosial dilakukan oleh Chek & Mohamad (2013) yang menunjukkan bahwa perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi akan mengungkapkan lebih kegiatan sosial dan lingkungan karena mereka menghasilkan dana yang memadai untuk membiayai program CSR. Vintila et al. (2013) berpendapat bahwa manajemen akan berpikir bahwa kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan seperti kegiatan investasi yang akan memberikan timbal balik positif kepada perusahaan. Hasil penelitian Uwalomwa (2011) juga menunjukan adanya pengaruh positif antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan CSR. Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya tinggi cenderung untuk mengungkapkan masalah-masalah sosial yang lebih dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah, karena perusahaan lebih cenderung untuk mengungkapkan informasi CSR ketika laporan keuangan mereka menunjukkan kinerja keuangan yang baik. Sesuai dengan Nor (2011:158) bahwa perusahaan yang menerapkan CSR tetap akan mendapatkan keuntungan positif yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan dimasa yang akan datang. Sedangkan penelitian Eddy (2005) dan Agatha (2012) menunjukkan adanya pengaruh negatif antara profitabilitas dengan pengungkapan CSR. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang lebih rendah akan lebih transparan dalam pelaporan dan berkeyakinan bahwa investor akan tetap berinvestasi setelah membaca 15 informasi sosial tersebut. Perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi juga lebih tertarik untuk memfokuskan pengungkapan informasi keuangan saja. Sehingga perusahaan dengan profitabilitas yang rendah akan melaporkan informasi tanggung jawab sosialnya lebih luas dibandingkan dengan perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi. 2.1.3 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Berbagai definisi mengenai Corporate Social Responsibility yang dikutip Nor (2011:46-47), antara lain, Johnson and Johnson (2006), Lord Holme and Richard Watts (2006), dan Ghana (2006). Johnson and Johnson (2006) mendefinisikan Corporate Social Responsibility is about how companies manage the business processes to produce an overall positive impact on society. Definisi tersebut pada dasarnya berangkat dari filosofi bagaimana cara mengelola perusahaan baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki dampak positif bagi dirinya dan lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus mampu mengelola bisnis operasinya dengan menghasilkan produk yang berorientasi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Lord Holme and Richard Watts (2006) mendefinisikan Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large. Definisi tersebut menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan 16 komitmen berkelanjutan yang dilaksanakan oleh perusahaan untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat luas. Ghana (2006) mendefinisikan Corporate Social Responsibility is about capacity building for sustainable likelihoods. It respects cultural differences and finds the business opportunities in building the skills of employees, the community and the government. Corporate Social Responsibility (CSR) is about business giving back to society. Batasan yang diberikan Ghana tersebut memberikan penjelasan secara lebih dalam, bahwa sesungguhnya tanggung jawab sosial perusahaan memberikan kapasitas dalam membangun corporate buiding menuju terjaminnya going concern perusahaan yang di dalamnya, termasuk upaya peka (respect) terhadap adopsi sistemik berbagai budaya (kearifan lokal) ke dalam strategi bisnis perusahaan, termasuk keterampilan karyawan, masyarakat, dan pemerintah. Pradakso (2008:10) menyimpulkan bahwa CSR adalah suatu tindakan oleh perusahaan untuk bertanggung jawab atas dampak aktifitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham (shareholders) tetapi juga bertanggungjawab kepada pemangku kepentingan (stakeholders). Kepentingan bisnis jangka panjang dicapai tidak hanya melalui pertumbuhan dan laba, namun juga sejalan dengan kesejahteraaan masyarakat, kelestarian lingkungan dan perbaikan kualitas hidup alam dimana tindakan-tindakan tersebut mengandung unsur-unsur tertentu. Unsur yang pertama konsisten dengan 17 kebutuhan masyarakat dan sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Kedua, berdasarkan perilaku ber-etika, mematuhi hukum yang berlaku serta perangkat peraturan pemerintah lainnya. Ketiga, terintegrasi dengan aktifitas yang sedang berjalan dari perusahaan itu sendiri. Pradakso (2008:10) menjelaskan lebih lanjut, tujuan CSR yang pertama adalah, sebagai bagian dari strategi integral perusahaan untuk membantu menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan yang terjadi ditengah masyarakat. Kedua, menyebarluaskan program-program inovatif dan penerapan CSR terbaik oleh perusahaaan yang beroperasi di Indonesia. Ketiga, mengidentifikasikan isu-isu utama yang berhubungan dengan aspek sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan segala perusahaan. Keempat, membangun kegiatan public-private partnership untuk mengurangi kemiskinan dan pelestarian lingkungan. Nor (2011:61) mengemukakan tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari tiga dimensi, yaitu: 1. Economic Responsibility, keberadaan perusahaan ditujukan umtuk meningkatkan nilai bagi stakeholder, seperti: meningkatkan keuntungan (laba), harga saham, pembayaran dividen, dan jenis lainnya. 2. Legal Responsibility, sebagai bagian anggota masyarakat, perusahaan memiliki tanggung jawab mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Termasuk, ketika perusahaan sedang menjalankan aktivitas oprasi, maka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan perundangan. 18 3. Social Responsibility, merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan pemangku kepentingan. Social Responsibility menjadi satu tuntutan ketika operasional perusahaan mempengaruhi pihak eksternal yang memunculkan resistensi sosial dan dapat memunculkan konflik sosial. Marnelly (2012) menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan semakin majunya perindustrian (perusahaan), mengambil peran besar dalam munculnya faktor negatif eksternal, sebagai contoh pencemaran, radiasi, munculnya penyakit akibat infeksi bahan kimia, menipisnya lapisan ozon dan global warming. Menurut teori stakeholder, perusahaan tidak hanya sekedar bertanggungjawab terhadap pemilik (shareholder) saja, tetapi juga bertanggungjawab dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial terhadap stakeholder baik internal maupun eksternal. Stakeholder adalah pihak-pihak yg berpengaruh dan mempengaruhi perusaaan. Nor (2011:93-94) menjelaskan bahwa teori yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial adalah teori stakeholders, karena teori tersebut menjelaskan mengapa perusahaan cenderung mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Stakeholder meliputi, pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), 19 lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan. Sidharta (2010) juga berpendapat berdasarkan pandangan teori ini, perusahaan tidak akan melakukan pencemaran udara demi keuntungan semata karena perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar. Implikasi dari teori stakeholder adalah bahwa perusahaan secara sukarela akan melaksanakan CSR, karena pelaksanaan CSR adalah merupakan bagian dari peran perusahaan ke stakeholders. Perusahaan tidak hanya bertanggungjawab terhadap para pemilik (shareholder) dengan sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) namun bergeser menjadi lebih luas yaitu sampai pada ranah sosial kemasyarakatan (stakeholder) dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions), sehingga muncul istilah tanggung jawab sosial (social responsibility). Fenomena seperti itu terjadi karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negatif externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi. Sidharta (2010) lebih lanjut mengungkapkan bahwa perusahaan tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Sehingga perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan yang dapat mendukung dalam pencapaian tujuan perusahaan yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern. 20 2.1.3.1 Landasan Teori Tanggung Jawab Sosial 1. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Teori ini berpendapat bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun memberikan manfaat bagi stakeholders. CSR merupakan cara untuk mengelola hubungan organisasi dengan kelompok stakeholders yang berbeda. Tujuan utama dari perusahaan adalah menyeimbangkan konflik antara stakeholders (Nor, 2011:93). Teori stakeholder berpendapat bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun memberikan manfaat bagi stakeholders (Chariri, 2007:409). Di dalam perusahaan adanya pihak yang diutamakan yaitu stakeholders. Terdapat sejumlah stakeholders yang ada dimasyarakat, dengan adanya pengungkapan CSR merupakan cara untuk mengelola hubungan organisasi dengan kelompok stakeholders yang berbeda. Tujuan utama dari perusahaan adalah menyeimbangkan konflik antara stakeholders. Stakeholder juga didefinisikan oleh Freeman dalam Dwi (2009:8) sebagai setiap kelompok individu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan. Dwi (2009:9) menambahkan, tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (semata-mata dalam bentuk maksimasi laba untuk kemakmuran para pemegang saham/shareholder), kini harus 21 bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal. Contoh stakeholder internal dan eksternal, seperti: pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas, dan lain sebagainya. 2. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakkan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun nonfisik. Legitimasi dalam organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diberikan perusahaan dari masyarakat, dengan demikian legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern). Tingkat kinerja sosial perusahaan, menurut cara pandang teori legitimasi diukur dengan tingkat tanggung jawab perusahaan kepada stakeholder (Nor, 2011:87). Teori legitimasi menjelaskan perusahaan melakukan kegiataan usaha dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai sosial dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan (Chariri, 2007:411). Perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungkan untuk memberikan legitimasi aktivitas perusahaan dimata masyarakat (Chariri, 2007:409). Perusahaan yang menerapkan CSR tetap akan mendapatkan keuntungan positif yaitu 22 mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan dimasa yang akan datang (Nor, 2011:158). Legitimasi mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran masyarakat dan lingkungan, perusahaan harus dapat menyesuaikan perubahan tersebut baik produk, metode, dan tujuan. Legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan (Nor, 2011:89). Terdapat 2 dimensi agar perusahaan memperoleh dukungan legitimasi menurut Dowling dalam Nor (2011:91), yaitu: a) Aktivitas organisasi perusahaan harus sesuai dengan sistem nilai di masyarakat. b) Pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya mencerminkan nilai sosial. 3. Teori Agensi (Agency Theory) Ahmad (2009) memaparkan bahwa teori agensi (agency theory) berkaitan dengan hubungan antara anggota dalam suatu perusahaan yaitu manajer sebagai agen dengan stakeholder dan shareholder sebagai prinsipal. Dalam hubungan keagenan dimungkinkan terjadinya konflik antara prinsipal dan agen. Konflik dapat disebabkan karena agen tidak bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal sehingga hal ini dapat memicu timbulnya biaya keagenan. Menurut Chariri (2007:206), teori agensi menjelaskan ada konflik kepentingan antara manajer (agen) dan principal (pemilik). Pemilik ingin mengetahui semua 23 informasi di perusahaan termasuk aktifitas manajemen dan sesuatu yang terkait investasi/dananya dalam perusahaan, hal ini dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban atas kinerja manajer. Terdapat tiga masalah utama dalam hubungan agensi menurut Ahmad (2009), yaitu: a) Kontrol pemegang saham kepada manajer. b) Biaya yang menyertai hubungan agensi. c) Menghindari dan meminimalisasi biaya agensi. Ahmad (2009) mengungkapkan cara untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik tersebut. Beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya: a) Penyusunan standar yang jelas b) Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan terbuka. c) Akuntabilitas dan transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan monitoring dari setiap pihak. Ahmad (2009) menambahkan bahwa teori ini memotivasi setiap individu untuk memperoleh sasaran yang harmonis, dan menjaga kepentingan masing-masing antara agen dan prinsipal. Hubungan keagenan ini merupakan hubungan timbal balik dalam mencapai tujuan dan kepentingan msing-masing pihak yang secara eksplisit dan sadar memasukkan penekanan seperti: 24 a) Kebutuhan prinsipal akan memberikan kepercayaan kepada manajer dengan imbalan atau kompensasi keuangan. b) Budaya organisasi yang berlaku dalam perusahaan. c) Faktor luar seperti karakteristik industri pesaing, praktek kompensasi, pasar tenaga kerja manajerial dan isu-isu legal. d) Strategi yang dijalankan perusahaan dalam memenangkan kompetisi global. 2.1.3.2 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility Disclosure) Sofyan (2008:267) mengungkapkan kata pengungkapan atau disclosure memiliki arti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan. Apabila dikaitkan dengan laporan keuangan, disclosure mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktifitas suatu unit usaha. Untuk dapat lebih bersaing, perusahaan dihadapkan pada kondisi untuk dapat lebih transparan dalam mengungkapkan informasi perusahaannya, sehingga akan lebih membantu para pengambil keputusan dalam mengantisipasi kondisi yang semakin berubah. Ada tiga konsep pengungkapan yang dipaparkan oleh Sofyan (2008:268), yaitu (1) pengungkapan yang cukup (adequate), (2) wajar (fair), (3) dan lengkap (full). Yang paling umum digunakan dari tiga konsep yang ada adalah pengungkapan cukup (adequate). Pengungkapan ini mencakup pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan keungan tidak menyesatkan. Wajar dan lengkap merupakan 25 konsep yang lebih positif. Pengungkapan secara wajar menujukkan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan. Berpegang pada peraturan atau regulasi primer yaitu surat keputusan ketua BAPEPAM No.38/PM/1996, terdapat dua jenis pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan, yakni: 1. Mandatory disclosure Dalam UU No. 8/PM/1995 mandatory disclosure yaitu pengungkapan yang diwajibkan oleh peraturan pemerintah. Bagi emiten setelah go public pengungkapan wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkanoleh standar akuntansi yang berlaku. Pengungkapan wajib setelah go public dapat terjadi selama perusahaan masih merupakan perseroan terbuka. 2. Voluntary disclosure Voluntary disclosure atau pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan perusahaan diluar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas. Penelitian ini mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban sosial sesuai dengan GRI (Global Report Initiative) versi 3.1. Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan 26 dan penerapan di seluruh dunia (www.globalreporting.org). GRI digagas oleh PBB melalui Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan UNEP pada tahun 1997 (GRI, 2011). Reni (2006) mengungkapkan indikator pengungkapan tanggung jawab sosial menurut GRI terdiri dari tiga indikator, yaitu indikator kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Aspek kinerja ekonomi meliputi aspek kinerja ekonomi, aspek kehadiran pasar dan aspek dampak tidak langsung. Dalam indikator kinerja lingkungan, terdapat aspek material, energi, air, biodiversitas, emisi, efluen dan limbah, aspek produk dan jasa, aspek kepatuhan, aspek transportasi dan aspek keseluruhan. Indikator sosial berhubungan dengan ketenagakerjaan, hak asasi manusia, masyarakat dan tanggung jawab produk. Aspek yang dinilai dalam hal ketenagakerjaan yaitu pekerjaan tenaga kerja/hubungan manajemen, kesehatan dan keselamatan jabatan, pelatihan dan pendidikan, keberagaman dan kesempatan setara. Lebih lanjut Reni (2006) menjelaskan aspek dalam hak asasi manusia meliputi aspek praktek investasi dan pengadaan, aspek nondiskriminasi, aspek kebebasan berserikat, berunding dan berkumpul bersama, aspek pekerja anak, aspek kerja paksa dan kerja wajib, aspek praktik/tindakan pengamanan dan aspek hak penduduk asli. Sedangkan masyarakat terdiri dari aspek komunitas, korupsi, kebijakan publik, kelakuan tidak bersaing dan aspek kepatuhan. Dalam hal tanggung jawab produk, aspek yang dinilai yaitu aspek kesehatan dan keamanan pelanggan, aspek pemasangan label bagi produk dan jasa, aspek komunikasi pemasaran, aspek 27 keleluasaan pribadi pelanggan dan aspek kepatuhan. Rumus mengukur CSRD menurut Eddy (2005) sebagai berikut: CSRD = V M Keterangan: CSRD = Indeks pengungkapan perusahaan V = Jumlah item yang diungkapkan perusahaan M = Jumlah item yang diharapkan diungkapkan oleh perusahaan 2.1.3.3 Laporan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility Report) Sebagai bentuk perhatian terhadap lingkungan dan masalah sosial, pemerintah negara maju dan berkembang ambil bagian dalam menciptakan regulasi/peraturan pemeliharaan dan aktivitas ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia membuat peraturan tentang tanggung jawab sosial melalui pasal 74 ayat 1 UU No.40 tahun 2007 yang berisi bahwa Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam dan bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib elaksanakan tanggun jawab sosial dan ingkungan. Undang-undang tersebut juga mewajibkan melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial, buka hanya sekedar kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Marnelly, 2012). Laporan keuangan merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik. Laporan keuangan 28 merupakan media komunikasi untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan serta menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (Belkaoui, 2006:210). Laporan tanggung jawab sosial merupakan laporan aktivitas tanggung jawab sosial yang telah dilakukan perusahaan baik berkaitan dengan perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan laporan tahunan (annual report). Laporan ini berisi laporan program-program sosial dan lingkungan perseroan yang telah dilaksanakan selama tahun buku berakhir (Nor, 2011:206). SFAC No.1 mengemukakan tujuan dari pelaporan keuangan yaitu menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat untuk membantu pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi (Irham, 2011). Dalam paragraf 8 PSAK 1 (Revisi 2009) laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini: 1. Laporan posisi keuangan pada akhir periode 2. Laporan laba rugi komprehensif selama periode 3. Laporan perubahan ekuitas selama periode 4. Laporan arus kas selama periode 5. Catatan atas laporan keuangan 6. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif Marnelly (2012) menegaskan pada pasal 74 ayat 1 UU No. 40 tahun 2007 menyebutkan tidak hanya sekedar kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, tetapi perusahaan juga diwajibkan melaporkan pelaksanakan tanggung jawab sosial. Laporan tanggung jawab tersebut harus dilaporkan dalam 29 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Laporan tersebut wajib (mandatory) bagi perusahaan berbasis BUMN dan perusahaan lain yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam serta perusahaan yang usahanya bersinggungan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Menurut Nor (2011:171-172), mengacu pada Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP.04/MBU/2007 pelaksanaan tanggung jawab sosial dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Kemitraan dan Bina Lingkungan. Annual report yang tergolong dalam Bina Lingkungan ditujukan untuk membantu masyarakat sekitar yang tidak memiliki kontraprestasi langsung secara ekonomi, contoh: bantuan bencana alam, bantuan kesehatan dan lain sebagainya. Sementara annual report yang tergolong dalam Kemitraan dimaksudkan sebagai bantuan dana bergulir dalam rangka pengembangan usaha, seperti: bantuan pemasaran, bantuan manajemen, bantuan teknis, dan lain sebagainya. Berdasarkan Marnelly (2012), kementerian Negara BUMN merumuskan Pedoman Akuntansi untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dapat dijadikan dasar pijakan untuk penyusunan laporan keuangan PKBL bagi BUMN dan/atau perusahaan swasta yang bermaksud secara sukarela melakukan pengungkapan dan melaporkan PKBL yang telah dilakukan. Peraturan Meneg BUMN No. Per-05/MBU/2007, mengharuskan setiap BUMN melakukan penyisihan masingmasing 3% dari laba bersih setelah pajak untuk PKBL. Nor (2011:206) berpendapat laporan tanggung jawab sosial merupakan laporan aktivitas tanggung jawab sosial yang telah dilakukan perusahaan baik berkaitan 30 dengan perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan laporan tahunan (annual report). Laporan ini berisi laporan program-program sosial dan lingkungan perseroan yang telah dilaksanakan selama tahun buku berakhir. 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia banyak perusahaan yang telah menjalankan CSR, tapi sangat sedikit yang mengungkapkannya dalam sebuah laporan, hal ini terjadi karena kita belum mempunyai sarana pendukung seperti; standar pelaporan, tenaga terampil (baik penyusun laporan maupun auditornya), dan institusi atau lembaga pendidikan dan pelatihan untuk kompetensi yang diperlukan. Promosi dan kesadaran akan arti penting laporan CSR, juga dirasakan masih kurang (Ali, 2008:57). Ada pula perusahaan yang melakukan tanggung jawab sosialnya dengan setengah hati. Perusahaan seharusnya menempatkan tanggung jawab sosial dalam kerangka etis, sukarela, dan tanpa pamrih. Perusahaan perlu meningkatkan kesadaran bahwa CSR merupakan bagian tanggung jawab sosial yang harus dilakukan perusahaan kepada stakeholder, karena sebagai bagian dari masyarakat, perusahaan tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial sekitarnya. Faktor negatif eksternal yang muncul dari aktivitas perusahaan cenderung berbeda-beda meskipun perusahaan memiliki jenis usaha yang sama. Setiap perusahaan memiliki karakteristik 31 yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial (Nor, 2011:94). Penelitian ini menggunakan karakteristik perusahaan sebagai variabel independen yang diproksikan dengan ukuran perusahaan (firm size) dan profitabilitas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility Disclosure). Menurut Lidia (2010) ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat, dengan cara mengelompokkan perusahaan ke dalam beberapa kelompok ukuran sesuai pengukurnya. Secara umum kelompok perusahaan besar akan lebih luas mengungkapkan informasinya dibandingkan dengan kelompok perusahaan kecil, hal ini karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial dilakukan oleh Uwalomwa (2011) bahwa semakin besar ukuran perusahaan, perusahaan akan semakin bersedia untuk berinvestasi pada sumber daya dan teknologi lingkungan perusahaan yang ramah lingkungan. Perusahaan besar juga akan lebih peduli dengan reputasi lingkungan perusahaan, karena adanya stakeholder yang terus-menerus menuntut untuk kinerja lingkungan sosial perusahaan yang lebih. Berdasarkan Riga Adiwoso dalam Dwi (2009:39-40), CSR seharusnya sebanding dengan ukuran bisnis perusahaan. Karena pada hakikatnya perusahaan 32 yang berukuran kecil harus dibebani tanggung jawab yang kecil pula, sementara tanggung jawab besar harus dibebankan kepada perusahaan yang berukuran besar. Dwi (2009:141) juga berpendapat, ukuran perusahaan mungkin sangat berpengaruh terhadap CSR, karena perusahaan berskala kecil dan sedang tentu saja dampaknya juga berbeda dibandingkan dengan perusahaan yang besar. Sejalan dengan Jurica et al. (2012) yang menjelaskan bahwa perusahaan besar yang mempunyai lebih banyak aktivitas dapat menyebabkan dampak yang lebih besar terhadap lingkungan, sehingga akan mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial yang lebih luas. Chek et al. (2013) juga berpendapat bahwa perusahaan besar terlibat dalam kegiatan sosial sebagai bagian dari latihan membangun citra mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Agatha (2012) menunjukkan adanya pengaruh antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan CSR. Berdasarkan teori stakeholder, semakin besar ukuran perusahaan maka semakin meningkat pula jumlah stakeholder yang terlibat di dalamnya. Dalam kondisi demikian perusahaan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk memperoleh legitimasi stakeholder dalam rangka menciptakan keselarasan nilai-nilai sosial dari kegiatannya dengan norma perilaku yang ada dalam masyarakat, hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosialnya lebih luas. Penelitian Eddy (2005) menjelaskan bahwa perusahaan yang lebih besar akan memiliki pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan dalam laporan tahunan, yang merupakan media untuk menyebarkan informasi tentang tanggung jawab sosial keuangan perusahaan. Dikaitkan dengan 33 teori agensi, dimana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. 2.2.2 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Sofyan (2008:304), profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya. Profitabilitas juga adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama suatu periode tertentu. Menurut Sutrisno (2009:222) profitabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan, dimana semakin besar tingkat keuntungan menunjukkan semakin baik manajemen dalam mengelola perusahaan. Beberapa rasio profitabilitas antara lain, Profit Margin, Net income, Return on Asset (ROA), dan Return On Equity (ROE). Steiner dalam Nor (2011:113) mengatakan, perusahaan perlu membangun nilai kedekatan (intimacy) dengan stakeholder, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan berbagai aktivitas strategi legitimasi, salah satunya adalah memegang etika bisnis. Tanggung jawab sosial sebagai salah satu bentuk etika bisnis mengandung konsekuensi atau risiko bagi perusahaan. Harahap dalam Nor (2008:158) mengungkapkan, salah satu faktor risiko dalam melakukan pengungkapan sosial 34 adalah mengganggu profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan. CSR dipandang sebagai suatu kewajiban yang disetujui antara perusahaan dengan masyarakat, dimana masyarakat memberikan ijin kepada perusahaan untuk mengelola sumber daya alam dan manusianya dalam mnjalankan operasinya. Perusahaan yang menerapkan CSR tetap, walaupun beresiko akan mendapatkan keuntungan positif yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan dimasa yang akan datang. Penelitian Chek & Mohamad (2013) menunjukkan bahwa perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi akan mengungkapkan lebih kegiatan sosial dan lingkungan karena mereka menghasilkan dana yang memadai untuk membiayai program CSR. Vintila et al. (2013) berpendapat bahwa manajemen akan berpikir bahwa kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan seperti kegiatan investasi yang akan memberikan timbal balik positif kepada perusahaan. Sejalan dengan penelitian Fitria (2014) dan Uwalomwa (2011) yang membuktikan bahwa CSR berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas perusahaan yang diproksikan dengan ROA dan ROE. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak pengungkapan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan akan semakin meningkatkan profitabilitas perusahaan. Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya tinggi cenderung untuk mengungkapkan masalah-masalah sosial yang lebih dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah, karena perusahaan lebih cenderung untuk mengungkapkan informasi CSR ketika laporan keuangan mereka menunjukkan kinerja keuangan yang baik. 35 Berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan sebelumnya oleh penulis, maka dapat digambarkan suatu kerangka pemikiran dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Gambar 2.1 Hubungan antara Variabel Independen (Profitabilitas dan Ukuran Perusahaan) dengan Variabel Dependen (Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial) 2.3 Hipotesis Penelitian Sugiyono (2012:93) menyatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pernyataan. Dikatakan sementara karena 36 jawaban atau kesimpulan yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dipaparkan diatas penulis dapat mengambil hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. H2: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. H3: Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.