BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Indonesia adalah negara kepualauan yang terdiri dari 34 provinsi dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa. Indonesia juga memiliki beribu pulau, bermacammacam suku dan budaya. Budaya adalah satu hal yang sulit untuk dipisahkan dengan manusia, karena manusialah yang menciptakan kebudayaan. Manusia berinteraksi dengan sesama manusia, binatang dan segala sesuatu yang ada di alam semesta, selain itu juga manusia berpikir, berkreasi, dan hal itulah yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Kebudayaan juga berciri “fungsional” yaitu untuk melangsungkan hidup, maka ukuran nilai sebuah kebudayaan bukan hanya fungsional dan efisien (misalkan rumah), tetapi juga pemerdekaan yaitu membuat orang lebih merasa menjadi orang, membuat orang menjadi lebih manusiawi. Dua dimensi dari kebudayaan adalah pemerdekaannya dan dimensi fungsionalnya. Berkesenian adalah kebudayaan, sama artinya seperti pakaian tidak hanya memiliki asas fungsional yaitu menutupi badan saja tetapi manusia juga melihat mode, mencocokkan warna yang lalu berkembang dalam “seni busana”. Berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan, maka berkesenian erat hubungannya dengan “pandangan jagat/dunia” orang-orang dari kebudayaan tersebut. Pandangan dunia tempat orang-orang mengartikan hidup, mengambil nilai dan mencari dasar untuk terus bisa hidup mencakup pula endapan-endapan tentang yang indah, yang baik, dan yang benar. Endapan-endapan itu adalah nilainilai (Sutrisno dan Verhaak, 1993: 6-7). Pada tiap kebudayaan intuisi dan penangkapan bahkan pemahaman yang telah menjadi kerangka pandangan tentang indah itu bisa dilihat dari hasil-hasil kebudayaan yang mencerminkan dimensi estetisnya yaitu pandangan, rasa tenang indah dan tidak indah, simbol estetika, dan lain sebagainya. Terciptanya dan terwujudnya suatu kebudayaan merupakan hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi dan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999: 36) sebagai daya manusia. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, dan intuisi yaitu perasaan dan emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Kebudayaan bukanlah merupakan barang yang bersifat umum melainkan spesifik hanya dalam khasanah eksistensi manusia, dan karena itu juga merupakan bagian substansial dalam khasanah pengetahuan dan ilmu tentang manusia. Jika kebudayaan itu bersifat universal, maka universalitasnya adalah sebatas eksistensi manusia semata yang tidak boleh mengklaim diri sebagai realitas alam semesta (Kusumohamidjojo, 2009: 24). Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baik. Oleh karena itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Keanekaragaman budaya menunjukkan arti penting bahwa adat sebagai perwujudan budaya lokal memiliki makna yang sangat luas, baik dari segi penafsiran maupun manifestasi yang berlainan. Keanekaragaman adat merupakan simbol perbedaan-perbedaan sebagai salah satu sumber identitas khas suatu adat (Budiwati, 2000: 47). Salah satu unsur kebudayaan daerah adalah pakaian adat tradisional. Unsur kebudayaan pakaian adat tradisional ini dalam kehidupan memiliki berbagai fungsi yang sesuai dengan pesan-pesan nilai budaya yang terkandung di dalamnya, yang berkaitan pula dengan aspek-aspek lain dari kebudayaan seperti ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Berkenaan dengan pesan nilai budaya, maka pemahaman dapat dilakukan melalui berbagai unsur-unsur dan simbolsimbol dalam ragam hias pakaian adat tradisional tersebut. Kebudayaan daerah merupakan unsur dari kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan dari setiap daerah di Indonesia kemudian menjadi satu yang yang dikenal dengan kebudayaan nasional. Batik misalnya merupakan kebudayaan yang berasal dari daerah Jawa yang merupakan unsur kebudayaan nasional dan dikenal sampai ke luar Indonesia sebagai kebudayaan Indonesia. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional dewasa ini memiliki kesenjangan makna. Kebudayaan nasional seakan hanya “mencaplok” kebudayaan daerah tanpa mengetahui makna yang ada di daerah asal kebudayaan tersebut lebih dalam. Batik misalnya, terdapat beberapa motif atau corak batik seperti motif batik parang yang hanya digunakan oleh keluarga keraton atau acara-acara sakral, kemudian diadopsi oleh kebudayaan nasional yang selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, diproduksi sesuai dengan keinginan pasar, digunakan oleh kalangan apa saja tanpa memahami makna dari motif tersebut, sehingga makna kesakralan dari motif itu-pun lambat laun hilang. Makna motif batik parang di daerah asalnya yaitu Jawa memiliki makna begitu sakral yang hanya bisa digunakan oleh keluarga kraton, tetapi memiliki kesenjangan makna dengan kebudayaan nasional di mana motif batik adalah sebuah kain sebagai hasil dari kebudayaan. Kebudayaan Indonesia akan bertahan apabila adanya perhatian dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kurangnya perhatian dari pemerintah maupun masyarakat untuk melestarikan kebudayaan akan menyebabkan kebudayaan tersebut lama kelamaan akan menghilang, selain itu ketidakpedulian pemerintah dengan hak paten dari hasil budaya masyarakat Indonesia, khususnya di daerah membuat hasil budaya Indonesia kemudian bisa dengan mudah diakui oleh negara lain di luar Indonesia. Generasi muda adalah orang-orang yang juga penting untuk melestarikan warisan budaya milik sendiri daripada mencintai budaya barat dan budaya luar yang sekarang sedang menjadi tren di Indonesia. Koentjaraningrat (1964: 79) berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universal, yaitu: peralatan dan perlengkapan manusia (pakaian, perumaham, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan lain sebagainya), mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi), sistem kemasyarakatan (sistem kekrabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan), bahasa (lisan atau tertulis), kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak), sistem pengetahuan dan religi. Salah satu wujud kebudayaan yang berasal dari daerah Palembang (Sumatera Selatan) adalah kain songket. Kain songket adalah kain khas masyarakat Palembang yang dalam sejarah dan kebudayaan Palembang menunjukkan kejayaan masa lampau kerajaan Sriwijaya yang menguasai perdagangan laut yang kemudian tercermin dalam unsur-unsur kebudayaan antara lain dalam pakaian adat, rumah adat, bentuk ukiran, dan lain sebagainya. Emas yang melimpah ruah pada masa itu, tercermin dari penggunaan emas dalam tenunan kain songket dan rumah adat limasan (Kartiwa, 1986: 32-33). Perjalanan sejarah perkembangan kain songket Palembang juga merupakan hasil dari akulturasi kebudayaan-kebudayaan lain yang masuk ke Palembang. Latar belakang sejarah kebudayaan dari masyarakat Sumatera pada umumnya, mewarnai corak kebudayaan masyarakatnya. Di samping unsur-unsur asli yang tumbuh dalam masyarakatnya juga mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan yang datang dari luar yang ditandai sekitar abad 15. Sumatera di samping Malaka, sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang membawa barang-barang impor seperti benang sutera, benang emas, dan benang perak serta kain patola yang dibawa oleh pedagang Cina dan Arab pada waktu itu. Perngaruh-pengaruh tersebut memperkaya kebudayaan yang sudah ada dikalangan masyarakatnya (Kartiwa, 1987: 25-26). Pada awalnya para penenun generasi terdahulu hanya mengenal benang kapas sebagai bahan utama atau bahan baku dari tenunannya, namun setelah adanya hubungan perdagangan dengan Cina, India, dan Eropa memengaruhi hasil tenunan bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat pula dilihat dari hasil-hasil tenunan sebelumnya yang terkesan sangat sederhana, kemudian berkembang menjadi tenunan yang kompleks, bervariasi, rumit, dan indah dengan kemilau benang emas dan warna-warni yang diperoleh dari benang sutra. Hal ini seakan memberikan warna baru baik dari segi teknik tenunan maupun warna dan ragam hiasnya. Tenunan yang awalnya menggunakan benang kapas, berwarna suram berkembang menjadi tenun yang berwarna, memiliki dinamika, dan agung (Effendi, 2010: 118). Seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi dengan kebudayaan luar corak dan bagian dari kain songket Palembang pun mengalami akulturasi. Akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama melalui proses yang panjang. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur lama, tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam suatu konsep yang utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas (Kherustika, 1999: 4-5 dalam Winarsih, 2013: 3). Apabila dicermati setiap ragam hias yang ada pada sehelai kain tenun, sebenarnya mengandung nilai-nilai yang bermakna luhur sebagai wujud dari budaya masyarakat Indonesia pada masa lampau. Pembuatannya yang rumit, baik teknik tenun, pewarnaan maupun ragam hias yang menggunakan peralatan dan bahan khusus telah memberikan nilai tambah pada karya seni tenun tersebut (Effendi, 2010: 118-119). Kain songket Palembang adalah sebuah kebudayaan yang memiliki nilainilai yang bermakna luhur. Warna merah dan warna terang sebagai motif menjadi ciri khas songket (pada perkembangan awal) adalah dua warna utama tradisi Cina. Dua warna ini jika ditinjau dari sudut pandang semiotik mengandung dua makna yaitu merah bermakna berani sedangkan kuning (emas) bermakna kekayaan, kejayaan, dan kemakmuran (Syarofie, 2009: 16). Kajian tentang kain songket Palembang yang begitu luas memberikan ruang kepada peneliti untuk mengkajinya secara mendalam. Melalui perspektif estetika khususnya: pertama, nilai estetis yang di dalamnya membicarakan nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, nilai objektif dan nilai subjektif tentang keindahan; kedua, unsurunsur estetika yang di dalamnya membicarakan tentang unsur keseimbangan, ketekunan, keharmonisan, titik, garis, bentuk, pola, warna, cahaya dan lain sebagainya; ketiga, simbol estetika yang di dalamnya membicarakan tentang sebuah karya seni sebagai sebuah simbol yang menurut Langer bahwa simbol tidak mewakili objeknya melainkan wahana bagi konsep tentang objek, simbol diskursif dan simbol presentatif. Mengacu pada persoalan di atas, bahwa kain songket Palembang memiliki nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Penelitian tentang “Dimensi Estetis Pada Kain Songket Palembang dan Relevansinya Dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia” yang penulis sajikan dan dideskripsikan berdasarkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan estetika, kemudian merelevansikannya dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa hal yang membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Kain songket Palembang yang merupakan salah satu peninggalan budaya Indonesia, pasti menimbulkan beberapa pertanyaan dan masalah yang membutuhkan penjelasan konkret. Peneliti memberikan batasan ruang lingkup penelitian karena luasnya kajian yang akan diteliti, yaitu kain songket yang berada di Palembang Sumatera Selatan. Penelitian ini sekalipun telah dispesifikasikan pada kain songket Palembang, namun tidak menutup kemungkinan munculnya permasalahan yang banyak dan bervariasi. Maka penelitian ini menggunakan suatu metode dan sudut pandang dalam penelitian dengan menitikberatkan pada beberapa persoalan pokok. Persoalan utama yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah: a. Apa makna kain songket Palembang? b. Apa saja dimensi estetis yang terkandung dalam kain songket Palembang? c. Bagaimana relevansi dimensi estetis kain songket Palembang dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia? 3. Keaslian Penelitian Tesis yang berjudul Dimensi Estetis pada Kain Songket Palembang dan Relevansinya dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia ini akan mengkaji nilai-nilai estetis yang terkandung dalam ragam hias kain songket. Penelitian akan dikaitkan dengan permasalahan aktual di Indonesia yaitu tentang perkembangan kebudayaan. Sejauh penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa tulisan yang memiliki kedekatan tema dengan tulisan ini, tetapi peneliti tidak menemukan tulisan yang sama sekali persis yaitu yang menggunakan objek material kain songket Palembang dan objek formal estetika untuk membedah. Pustaka lain yang memiliki kedekatan tema dengan tulisan ini adalah sebagai berikut: a. Kebijakan pemberdayaan usaha kecil menengah tenun songket di Kota Palembang Propinsi Sumatera Selatan, penulis Adi Yulius, tesis UGM 2002 b. Perlindungan hukum bagi pengrajin songket Palembang terhadap pendaftaran merek berdasarkan indikasi geografis, penulis Andriana Desmilia Eka, Tesis UGM 2003. c. Analisis Karakteristik dan Perilaku Konsumen tenun Songket Palembang, penulis Maria Merry Marianti dan Istiharini, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahayangan 2013. d. Kain Tapis Lampung Dalam Perspektif Estetika: Relevansinya dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia, penulis Winarsih, Tesis UGM 2013. 4. Manfaat Penelitian Secara keseluruhan peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat memberii manfaat kepada beberapa pihak. Beberapa manfaat yang diharapkan tersebut antara lain, yaitu a. Bagi ilmu pengetahuan: Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang estetika dan bidang ilmu lain, misalnya filsafat seni serta mengembangkan kemampuan secara kritis dan sistematik atas persoalan filsafat terutama dalam bidang estetika. b. Bagi filsafat a) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan memperkaya kepustakaan dalam bidang filsafat khususnya kajian tentang permasalahan filsafat keindahan (estetika). b) Penelitian ini diharapkan mampu menggali dan mengembangkan fisafat seni kain songket, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi terwujudnya nilai budaya dan kerpribadian luhur. c) Penelitian ini merupakan sarana untuk mengaktualisasikan pemikiran filsafat dalam mengkaji nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam kebudayaan di Indonesia. c. Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang estetika dan kain songket khususnya di Palembang. Penelitian ini dapat diharapkan memberikan pemahaman terhadap masyarakat Indonesia bahwa Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang memiliki banyak nilai-nilai di dalamnya seperti halnya kain songket yang ada di Palembang. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kebudayaan nasional. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan kain songket khususnya yang ada di Palembang 2. Merumuskan pemahaman tentang estetika, khususnya unsur estetika, simbol estetika dan fungsi estetika. 3. Menganalisis secara efektif tentang estetika kain songket Palembang kemudian merelevansikannya bagi perkembangan kebudayaan Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Kain songket merupakan salah satu identitas etnis masyarakat Palembang yang menghasilkanberbagaijenis tekstil. Sebelum menjadi songket, kain khas Palembang disebut tenun. Tenun menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra, dsb) dengan cara memasuk-masukan pakan secara melintang pada lungsin. Pakan adalah memasukan benang dengan posisi horizontal (melintang), sedangkan lungsin adalah benang yang terbentang dengan posisi vertikal. Benang lungsin langsung terbentang seukuran lebar kain, sedangkan benang pakan dimasukan satu demi satu helai sehingga sampai sepanjang ukuran kain yang diinginkan. Benang yang digunakan dewasa ini ada yang menggunakan benang sutra sebagai daging kain dan benang emas sebagai pembentuk motif. Oleh karena adanya pemakaian benang emas untuk motif maka kain tenun yang dihasilkan dinamakan kain tenun songket. Arti songket secara resmi hingga saat ini masih belum ada, namun beberapa sumber memberikan penjelasan yang mengarahkan kepada pengertian ketatabahasa (Effendi, 2010: 121). Songket menurut JL. Sevenhoven 1822 (dalam Yudhi Syarofie, 2009: 32) berasal dari kata disongsong dan di- teket. Kata teket dalam bahasa Palembang lama berarti sulam. Kata ini mengacu kepada proses penenunan yang pemasukan benang dan peralatan pendukung lainnya ke dalam longsen/lungsin yang dilakukan dengan cara disongsong atau diterima. Oleh karena itu, songket diartikan sebagai kain yang (pembuatannya) disongsong atau disulam. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa songket Palembang konon berasal dari kata songko yaitu kain penutup kepala yang dihias dengan benang emas. Sumber lain mengatakan bahwa kain songket itu sendiri berasal dari kata “tusuk” dan “cukit” yang diakronimkan menjadi “sukit” dan kemudian menjadi “sungkit” selanjutnya menjadi “songket”. Istilah songket baru dikenal sejak awal abad ke-19, sedangkan dahulu dikenal masyarakat dengan sebutan kain benang emas karena terbuat dari benang emas, bukan kain songket. Awalnya kain tenun songket hanya berupa kain tenun polos, tetapi dalam perkembangan selanjutnya terus disempurnakan sehingga disertai dengan benang emas sebagai hiasannya. Penempatan benang emas sebagai motif diatur sedemikian rupa sehingga menempati posisi tertentu seperti pada pinggir kain, badan kain, dan kepala kain. Penempatan benang emas sebagai pembentuk motif menjadikan kain tenun tampil lebih anggun dan menawan. Pembuatan motif itu juga sejalan dengan proses menenun dasar kain. Kain tenun yang diberi motif dari benang emas atau benang perak itulah yang secara umum dikenal masyarakat dengan kain songket (Effendi, 2010: 122). Kain tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang sudah dikenal dari zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian penutup badan setelah rumput-rumputan dan kulit kayu. Kain tenun ikat yang merupakan bentuk perkembangan dari bentuk kain tenun yang diberi ragam hias ikat, diciptakan untuk melengkapi kebutuhan manusia seperti juga makanan, minuman, dan tempat tinggal (Kartiwa, 1987: 15). Selain sebagai salah satu perlengkapan manusia, kain tenun mempunyai fungsi dalam beberpa aspek kehidupan masyarakat pembuatnya, baik aspek sosial, ekonomi, religi, estetika, dan lain sebagainya. Kain tenun merupakan salah satu kebutuhan masyarakat menyangkut segala keperluan sehari-hari, secara keseluruhan. Kain songket Palembang berbeda dengan di lain-lain daerah yang menghasilkan tenun ikat lungsin, banyak kain tenunnya dianggap bertalian dengan keagamaan tertentu. Fungsi kain tenun ikat dan songket ini mempunyai arti yang khusus antara lain menyangkut gengsi bagi mereka yang memiliki sejumlah tenun songket yang muncul di pertunjukan pada berbagai upacara dan acara di tengahtengah masyarakat. Pemakaian kain songket antara lain pada acara cukuran anak atau bayi yang disebut dengan upacara marhaba, songket digunakan untuk menggendong bayi yang berumur 40 hari untuk dimarhabakan atau dilakukan pencukuran. Pada upacara sunatan kain songket Palembang digunakan sebagai sarung dan pada saat itu juga bertepatan dengan upacara khataman Al-Quran. Pada upacara perkawinan songket dipergunakan mulai dari upacara mutus kato atau pertunangan, upacara menjelang hari perkawinan, upacara turun mandi, sampai upacara perkawinananya/munggah (Kartiwa, 1987: 27-28). Songket Palembang di dalam motifnya ada sebuah motif khas yaitu bentuk lar atau sayap garuda yang tidak asing lagi motif ini dengan banyak variasinya terdapat dalam batik. Ada motif ceplok bunga kecil-kecil seperti ragam hias ceplok bunga dalam teknik songket. Kedua jenis motif ini biasanya mengisi bagian tengah, ada juga jalur-jalur kecil yang diisi dengan motif ikat pakan dalam bentuk belah ketupat dan macam-macam bentuk flora daun-daunan. Warna yang dipergunakan untuk kombinasi songket ini berlatar warna merah anggur atau hijau daun serta ada bagian-bagian yang diisi warna kuning selain pada songketnya semua dari benang emas. Kombinasi songket ini khususnya dibuat pada kain selendang atau sarung yang digunakan dalam upacara adat dan perkawinan (Kartiwa, 1987: 27). Dalam warna serta bentuk desain songket dapat mencerminkan status sosial dari pemakainya. Kain songket dengan warna hijau, merah, dan kuning digunakan oleh janda, sedangkan jika mereka menggunakan warna yang cerah berarti melambangkan bahwa mereka ingin menikah lagi. Bagi wanita janda tidak memakai desain ikat di bagian tengahnya (Akib dalam Kartiwa, 1986: 35). Namanama songket yang dihubungkan dengan status wanita itu seperti antara lain songket benang emas “jando beraes”, songket janda pengantin dan lain sebagainya. Pada songket “jando beraes”, kedua ujung kainnya diberi desain bunga tabur, sedangkan di bidang tengah warna polos. Nama songket selain menunjukkan hal yang khusus, nama-nama kain songket lebih banyak menunjukkan corak desain yang diterapkan. Untuk jenis lepus setiap coraknya mempunyai namanya masing-masing, seperti songket lepus berakam, lepus bintang, lepus naga bersaung, lepus bunga jatuh, lepus berantai, lepus limar (Akib dalam Kartiwa, 1986: 35). Motif-motif yang menghias kain songket ini diantaranya motif belah belimbing, bunga manggis, naga gendong anak, dan lain sebagainya. Pada limar ada kombinasi songket dengan desain ikat pakan, biasanya desain ikat pakan tersebut terletak pada bagian tengah bidang kain yang dikelilingi maupun kedua ujung kainnya dihias dengan desain songket. Bentuk motif ikatnya antara lain menyerupai sayap burung garuda atau lebih dikenal dalam batik dinamakan motif lar. Kombinasi desain songket dan desain ikat selain terdapat pada kain atau selendang, juga dibuat pada sebuah kain segi empat untuk ikat kepala pada laki-laki atau di kenal dengan sebutan tanjak. Di Palembang seperti juga halnya di Minangkabau, kain songket dibedakan antara songket dengan desain benang emas yang penuh disebut songket lepus dan songket dengan desain benang emas yang tersebar disebut dengan songket bukan lepus atau tabur yang berarti bertabur. Perbedaan ini penting, di mana songket yang melambangkan kebesaran dan keagungan adat Palembang dan salah satu syarat yang harus ada dalam pemberian sebagai emas kawin adat Palembang. Berbeda dengan adat dari daerah lain, kain tenun adat merupakan pemberian dari pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki, namun kain songket dalam adat Palembang merupakan bagian dari emas kawin/mahar yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Adat Palembang mengharuskan seorang suami menyiapkan pakaian adat untuk istri yang akan digunakann untuk menghadiri pertemuan keluarga, upacara adat, atau upacara resmi lainnya (Kartiwa, 1986: 34). D. Landasan Teori Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Sachari, 2002: 3) Estetika dirumuskan sebagai cabang filsafat yang behubungan dengan keindahan. Salah satu alasan pokok dalam keindahan adalah tentang sifat dasar dari keindahan: apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut? Penjelasan terhadap problem ini menimbulkan dua kelompok yang terkenal sebagai teori objektif dan teori subjektif tentang keindahan (The Liang Gie, 1996: 49). Kelompok teori objektif dianut oleh Plato, Hegel, dan Bernard Basanquet. Kelompok objektif ini berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis adalah sifat yang memang telah melekat pada benda indah bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanya menangkap sifat-sifat yang sudah ada pada suatu benda. Teori subjektif dianut oleh Henry Home, Earl of Shaftesbury (Lord Ashley), dan Edmund Burke yang menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada suatu benda tidak ada. Hal yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu benda mempunyai nilai estetis, maka hal itu diartikan bahwa seorang pengamat memperoleh suatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda tersebut (The Liang Gie, 1996: 49-50). Kusmiati (2004: 5) mengatakan bahwa estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, tetapi rasa keindahan tersebut baru akan dirasakana apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen-elemen keindahan yang terkandung dari pada suatu objek. Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas tertentu yang terdapat pada suatu hal, yaitu: kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast). Patut diikuti penjelasan dari teori empati (teori Einfuhlung) yang menyatakan bahwa benda estetis yang memenuhi asas-asas pertimbangan (balance) dan ketesangkupan (symmetry) umumnya disukai orang kakrena dianggap indah. Filsuf lain menyatakan bahwa keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan (harmony) dan perlawanan (contrast) dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata (Pasha, 2000: 74). Baumgarten (dalam Kusmiati, 2004: 1) mengatakan bahwa unsur-unsur keindahan tersusun secara teratur dalam kesatuan (beauty is the world order). Dimensi keindahan dalam arsitektur dan desain tersusun dari unsur-unsur titik, garis, bidang, massa, komposisi, warna, dan lain sebagainya. Keindahan suatu bentuk pada dasarnya adalah alamiah yang berarti wajar, tidak berlebihan, dan didukung oleh susunan besar seperti titik, garis, bidang, dan seterusnya sehingga mampu mendatangkan rasa senang bagi mereka yang menatapnya, bahkan membangkitkan rasa puas secara emosional ataupun spiritual. Persepsi manusia tentang keindahan tidaklah sama karena tergantung pada kedalaman rasa, pengalaman pendidikan, dan kebudayaan masing-masing. Keindahan tidak terikat ruang dan waktu, melainkan menjelajah keseluruh segi kehidupan sebagai sumbangan manusia terhadap kebudayaan. Pembicaraan penting estetika dalam dunia kesenirupaan dan budaya adalah mengupas tentang simbol-simbol. Manusia bukan hanya sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasabahasa visual (Sachari, 2002: 14). Langer mendefinisikan bahwa manusia sebagai “makhluk simbolik”, membuat perbedaan antara simbol diskursif atau makna perkamusan dan simbol presentasional atau simbol tidak utuh dari seni (Bagus, 2000: 1008). Cassirer (1987: 41-48) mengatakan bahwa pemikir simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan menusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu, tidaklah dapat ditolak dan simbol adalah designator. Pada tingkah laku binatang sistem yang digunakan adalah tanda, yaitu fakta yang kurang lebih sudah bisa dipastikan, bagian dari dunia fisik, dan merupakan operator. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Teori estetika selalu bertolak pada asumsi, bahwa manusia pada hakikatnya akan selalu tanggap terhadap bentuk luar suatu objek yang bisa menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Perasaan atas hubungan yang menyenangkan itu adalah rasa indah. Dengan kata lain, rasa keindahan merupakan jalinan elemen bentuk yang tersusun secara sempurna, sehingga bisa menyentuh kesadaran persepsi setiap orang. Berbicara tentang teori seni akan selalu dikaitkan dengan unsur estetika yang menjangkau seluruh ekspresi manusia yang hidup pada zaman apapun dan di manapun. Karya seni pada zaman primitif ataupun zaman modern akan sama dalam daya tarik, karena kelahirannya sama-sama didasarkan pada nilai kemanusiaan yang berlaku pada zamannya. Benda budaya termasuk di dalamnya benda-benda seni masa lampau diproduksi masyarakatnya karena mempunyai fungsi dalam kehidupan mereka. Fungsi seni bagi mereka mungkin sama sekali berbeda dengan seni untuk kehidupan kita di masa sekarang. Karena itu, manusia harus memahami benda yang disebut “seni” itu bagi masyarakat-masyarakat masa lampau. Fungsi seni itu masih kita dapatkan hidup di tengah-tengah kita sekarang ini, karena masyarakat pendukungnya masi ada. Apa yang kita sebut dengan “seni tradisional” itu masih difungsikan sebagai bagian dari upacara dan kadang seni itu merupakan upacara itu sendiri, karena fungisnya ritual maka simbol-simbol seni yang ada di dalamnya tentu berhubungan dengan sistem religi atau kepercayaan mereka (Sumardjo, 2000: 2-3). E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Metode penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari penelitian lapangan dan data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini diperoleh melalui observasi, pengamatan langsung, wawancara, dan penelusuran pustaka yaitu buku-buku, artikel, arsip, dan bahan lainnya yang berkaitan dengan kain songket Palembang dan estetika. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. Kepustakaan primer merupakan sumber utama dari bahan dan objek material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Observasi dan pengamatan secara langsung ke pembuat kain songket di Palembang. b. Wawancara dengan beberapa tokoh budaya Palembang dan atau pembuat kain songket di Palembang. c. Buku Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi, karya Yudhi Syahrofie, 2009, Penerbit Depdiknas, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan. d. Buku Kain Songket Indonensia, karya Dra. Suwarti Kartiwa, M.Sc, 1986, Penerbit Djambatan. e. Buku Tenun Ikat, karya Dra. Suwarti, M.Sc, 1987, Penerbit Djambatan. f. Buku Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Selatan, karya Dra. Tatiek Kartikasari, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. g. Buku Bunga Rampai Budaya: Rumah Tradisional, Sistem Pewarisan, Songket Palembang dan Adat Minangkabau, karya Nursyirwan Effendi, 2010, Penerbit BPSNT Padangpress. Pustaka sekunder berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Pustaka sekunder yang digunakan a antara lain: a. Buku Pengantar Estetika, karya Dharsono Sony Kartika dan Nanang ganda Perwira, 2004, Penerbit Rekayasa Sains. b. Buku Dimensi Estetika Pada Karya Arsitektur dan Desain, karya Dra. Artini Kusmiati, 2004, Penerbit Djambatan. c. Buku Filsafat Keindahan, karya The Liang Gie, 1996, Pusat Belajar Ilmu Berguna. d. Buku Pengantar Estetika dalam Seni Rupa, karya Ganda Prawira Dharsono, 2003, Penerbit Depdiknas, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. e. Buku Estetika Seni Rupa Nusantara, karya Dharsono (Sony Kartika) dan Sunarmi, 2007, Penerbit ISI Press Solo. f. Buku Filsafat Seni, karya Jakob Sumardjo, 2000, Penerbit ITB. g. Buku FIlsafat Keindahan, karya Mudji Sutrisno dan Chirst Verhaak, 1993, Penerbit Kanisius. 2. Jalannya Penelitian Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun konseptual, kemudian penulis akan menganalisanya menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut: a. Tahap persiapan, diawali dengan mengumpulkan data yang berhubungan dengan kajian penelitian, data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian dipisahkan dan diklasifikasi berdasarkan kesesuaian dengan objek material dan objek formal. b. Tahap pembahasan, mencakup penguraian masalah sesuai dengan objek material dan objek formal kemudian dideskripsikan. c. Tahap akhir, merupakan penelitian yang dilakukan secara sistematis dan koreksi penelitian. 3. Analisis Data Penelitian ini meneliti pandangan hidup yang kebanyakkan masih bersifat implisit, sehingga penelitian ini menggunakan metode hermeneutika (Bakker dan Zubair, 1990: 93-94) dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: a. Deskripsi Penulis mencoba menjelaskan data yang sudah terkumpul, kemudian data tersebut dipahami secara lengkap dan utuh. Metode ini digunakan untuk memahami dimensi estetis dalam kain songket Palembang menurut berbagai sumber. b. Analisis Metode analisis yaitu penangkapan tentang suatu hal dengan jalan memilahmilah antara pengertian yang satu yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kain songket sebagai bahan yang ditelaah, dengan pengertian yang lain yaitu dimensi estetis sebagai “pisau analisis” untuk menelaah, sehingga nantinya penulis akan memperoleh suatu kejelasan tentang hal yang dimaksud dan pemahaman yang mendalam. c. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran berguna bagi penulis untuk memahami nilainilai yang terkandung dalam kain songket Palembang yang kemudian ditelaah dari sudut pandang filsafat keindahan (estetika), sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan menemukan dimensi estetis pada kain songket Palembang. d. Refleksi Penelitian ini menghasilkan pemahaman atau konsepsi baru yang lebih lengkap dari sebelumnya. Dalam tahap refleksi ini, penulis mencoba menganalisis kain songket menggunakan filsafat keindahan (estetika) kemudian dihubungkan dengan makna nilai yang terkandung dalam kain songket, menemukan dimensi estetisnya dan merelevansikannya dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia dan kehidupan manusia di masa sekarang. e. Heuristika Proses selanjutnya adalah analisis heuristika untuk menemukan makna esensial dengan melakukan penafsiran terhadap dimesi estetis kain songket Palembang sehingga esensi di dalamnya dapat dipahami sesuai dengan waktu dan konteks keadaan sekarang. F. Hasil Yang Dicapai Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan pemahaman secara deskriptif tentang kain songket Palembang. 2. Mendapatkan penjelasan analisis tentang dimensi estetis, khususnya unsur estetis, simbol estetis, dan fungsi estetis. 3. Mendapatkan penjelasan tantang kain songket Palembang dan estetika, serta merelevansikannya dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia. G. Sistematika Penulisan Agar dapat suatu pemahaman yang mudah, runtut, dan integrasi pada penelitian yang berjudul “Dimensi Estetis pada Kain Songket Palembang dan Relevansinya dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia”, maka peneliti membagi dalam enam bab dengan rincian sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dari penelitian ini, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian , tujuan penelitian , tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan sistematika penelitian . Bab II merupakan uraian tentang ruang lingkup estetika yang berisi a) pengertian nilai b) nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, c) nilai objektif dan nilai subjektif, d) pengertian estetika, unsur-unsur estetika, e) pengertian simbol, fungsi simbol, simbol diskursif dan simbol presentasional. Bab III merupakan pemahaman dasar tentang kain songket Palembang antara lain, a) sejarah dan perkembangan kain songket, b) bahan dasar dan peralatan pembuatan kain songket, d) proses dan teknik pembuatan songket Palembang, e) jenis songket Palembang menurut asal dan pemakaiannya, f) fungsi songket Palembang. Bab IV merupakan uraian dimensi estetis kain songket Palembang yang meliputi a) nilai estetis pada kain songket Palembang, , b) unsur-unsur estetis dalam kain songket Palembang, c) simbol estetis yang terkandung dalam kain songket Palembang, d) keindahan yang terkandung dalam kain songket Palembang, e) evaluasi kritis. Bab V merupakan uraian tentang relevansi dimensi estetis kain songket Palembang dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia yang meliputi, a) arti dan makna kebudayaan nasional, b) Arti istilah Pancasila, asal mula, dan makna nilai dalam Pancasila, c) Pancasila sebagai sistem nilai dalam kehidupan budaya, d) problem-problem kebudayaan di Indonesia, e) peran nilai estetis kain songket Palembang dalam kebudayaan Indonesia, f) nilai estetis kain songket Palembang dan akulturasi budaya di Indonesia. Bab VI berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban analisis atas konsep dimensi estetika pada kain songket Palembang yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan ditemukan kesesuaian antara rumusan masalah, tujuan, analisis, pembahasan dan hasilnya serta saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN