Buletin Diplomasi Multilateral Vol. I No. 1 Tahun 2012

advertisement
REDAKSI
DAFTAR ISI
Penanggung Jawab
Direktur Jenderal Multilateral
Kata Sambutan .......................................................................3
Redaktur
Sesditjen Multilateral
Direktur HAM & Kemanusiaan
Direktur KIPS
Direktur PELH
Direktur PPIH
Direktur Sosbud OINB
Penyunting
Wakil-wakil dari:
Setditjen Multilateral
Direktorat HAM & Kemanusiaan
Direktorat KIPS
Direktorat PELH
Direktorat PPIH
Direktorat Sosbud OINB
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal
Multilateral
Kementerian Luar Negeri
Gedung Eks BP-7 Lt. 9
Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta
10110
Telp. +6221-3848464
Fax. +6221-3849411
Sampul:
Menteri Luar Negeri RI Marty
Natalegawa dan Sekretaris Jenderal
PBB Ban Ki-moon dalam Resepsi
Diplomatik di Gedung Pancasila,
Kemlu, 20 Maret 2012.
(Foto: Direktorat Infomed, Kemlu).
Artikel:
Kunjungan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
ke Indonesia, 19-21 Maret 2012 .................................................. 2
Capitalizing on the United Nations Secretary General’s Visit
to the Indonesian Peace and Security Centre for the Advancement of Indonesian Peacekeeping ...................................... 5
Indonesia in the Aftermath of Nuclear Security Summit 2012 .... 7
Optimalisasi Keunggulan Komparatif Kapasitas Sipil Indonesia dalam Pembangunan Perdamaian ....................................... 10
Sustainable Development Goals (SDGs): Usulan Norma Baru
Pembangunan Global.................................................................. 17
Indonesia and the G20 ................................................................ 21
Diplomasi Multilateral Indonesia dan Upaya ke depan di
Bidang Ketahanan Pangan ......................................................... 26
OKI Serius Garap Isu HAM, Indonesia Berperan Signifikan........ 32
Peran Indonesia pada Kerja Sama Developing Eight (D8) ......... 34
Lampiran:
UN Secretary General’s Lecture at the Indonesia Peace and
Security Centre, 20 March 2012 ................................................. 37
Sekilas Info Multilateral ........................................................ 43
Agenda Multilateral ..............................................................47
Isi tulisan dapat saja merupakan pendapat pribadi dan
tidak selalu mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber
dengan jelas. Tujuan lain harus dengan izin.
Diplomasi MULTILATERAL
K ATA S AMBUTAN
Para pembaca yang budiman,
Dengan perasaan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kami mempersembahkan kembali
Buletin Ditjen Multilateral dengan nama baru “Diplomasi Multilateral.” Dimunculkannya nama baru
tersebut lebih dimaksudkan untuk menunjukkan pertaliannya yang khas dengan karakteristik dari
Ditjen Multilateral yang dalam kesehariannya menangani isu-isu multilateral. Semangat dan warna
yang dibawa Buletin ini tidak jauh beda dengan edisi-edisi sebelumnya. Jika ada yang ingin lebih
dikedepankan, maka itu adalah aktualitas dari segi penyajiannya. Buletin ini ingin mengajak pembaca
berbincang tentang isu-isu global terkini yang disajikan dalam bentuk tulisan-tulisan yang mudah
dicerna.
Memasuki tahun 2012, komunitas internasional dihadapkan pada berbagai tantangan yang
semakin beragam dan kompleks, yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari problematika tahuntahun sebelumnya. Isu-isu yang mengemuka antara lain pembangunan demokrasi dan perlindungan
HAM, penanggulangan bencana alam, ancaman senjata pemusnah massal, perompakan, terorisme,
kejahatan lintas negara, perubahan iklim, pencapaian MDGs, pemerataan pembangunan, perdagangan
internasional dan investasi, perlindungan HKI, dan peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.
Menghadapi berbagai persoalan global tersebut, Indonesia berkomitmen untuk aktif menjadi
bagian dari solusi. Hal ini sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia.
Pada saat yang sama, diplomasi dan politik luar negeri Indonesia senantiasa diabdikan untuk
mengamankan dan mencapai kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
Dengan demikian, bagi Indonesia, upaya pencarian solusi atas berbagai persoalan global tersebut
harus sejalan dengan upaya untuk mencapai kepentingan nasional. Dalam hal ini, diplomasi total yang
melibatkan seluruh aktor dalam negeri telah menemukan relevansinya. Kompleksitas persoalan yang
dihadapi masyarakat dunia menuntut keterlibatan semua kalangan masyarakat untuk
menyelesaikannya.
Dalam konteks diplomasi total semacam itu, Buletin Diplomasi Multilateral mengemban
kepercayaan akan pentingnya diseminasi informasi dalam rangka menopang tugas-tugas diplomasi.
Buletin ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi dan diskusi bagi para akademisi, aktivis,
pelaku bisnis, dan masyarakat umum yang bergerak dan memiliki concern tehadap isu-su multilateral.
Pengayaan wacana semacam itu, kami percaya, akan memberikan sumbangan yang berarti bagi
diplomasi Indonesia masa kini. Dalam konteks pembuatan kebijakan publik, Buletin ini juga
merupakan bentuk pertanggungjawaban sekaligus sosialisasi kepada khalayak menyangkut tugastugas yang dilaksanakan oleh Ditjen Multilateral.
Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Semoga Buletin ini memperkaya pemahaman dan
meningkatkan kepedulian kita dalam menjawab tantangan-tantangan diplomasi ke depan.
Jakarta, April 2012
Hasan Kleib
Direktur Jenderal Multilateral
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 1
Diplomasi MULTILATERAL
KUNJUNGAN
SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
KE INDONESIA, 19-21 MARET 2012
Oleh: Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata
Atas Undangan Presiden RI, Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa
(Sekjen PBB), Ban Ki-Moon melakukan
kunjungan kerja ke Jakarta pada tanggal
19-21 Maret 2012. Dalam lawatanya ke
Indonesia, Sekjen PBB didampingi oleh Ny.
Ban Soon-Taek, Wakil Sekjen PBB untuk
Peacekeeping Operations Herve Ladsous,
Wakil Sekjen PBB dan UNESCAP Executive
Secretary Noeleen Heyzer, serta sejumlah
pejabat PBB lainnya. Selama berada di
Indonesia, rangkaian kegiatan Sekjen PBB
diisi dengan pertemuan bilateral dengan
Presiden RI, kunjungan ke Indonesian Peace
and Security Center (IPSC) di Sentul, menghadiri resepsi diplomatik di Kementerian
Luar Negeri, serta memberikan paparan
kunci dalam Jakarta International Defence
Dialogue (JIDD).
Dalam kunjungan kerja tersebut, Sekjen PBB menyampaikan apresiasi atas peran
Indonesia dalam misi penggelaran pasukan
pemeliharaan perdamaian, dan mengharapkan agar jumlah kontribusi pasukan
Indonesia dapat terus ditingkatkan. Lebih
lanjut Sekjen PBB juga menyampaikan
penghargaan atas peran sentral Indonesia
dalam isu perubahan iklim, sebagaimana
dibuktikan dengan dihasilkannya Bali Road
2
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Map, dan kepemimpinan dalam kerjasama
ASEAN.
Pertemuan Sekjen PBB dengan Presiden RI
Pada pertemuan bilateral dengan Sekjen PBB tanggal 21 Maret 2012 di Istana
Bogor, Presiden RI menyampaikan pentingnya penguatan kemitraan dan kerja sama
antara Indonesia dengan PBB, khususnya
UNDP; penghargaan atas peran PBB dalam
memfasilitasi upaya internasional untuk
menangani perubahan iklim; pentingnya
Dewan Keamanan PBB mendorong gencatan
senjata dan dialog di Suriah dan pengedepanan penyelesaian damai terkait isu Palestina; keprihatinan atas dampak kemungkinan penutupan selat Hormuz terhadap
melonjaknya harga minyak dunia; perhatian
terhadap isu regional seperti Laut China
Selatan dan Semenanjung Korea serta peran
Indonesia dalam kerangka ASEAN terkait isu
Myanmar dan krisis perbatasan ThailandKamboja; dan komitmen Pemri dalam
mendukung Timor Leste serta upaya PBB di
negara tersebut. Disamping itu, Presiden RI
juga menerangkan mengenai upaya-upaya
yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia
dalam merealisasikan percepatan pembangunan serta penegakan hukum di Papua.
Diplomasi MULTILATERAL
Sementara, Sekjen PBB menyampaikan
pengakuan atas peran penting Indonesia
dalam konteks regional dan global, penghargaan atas komitmen kuat Indonesia
dalam pencapaian MDGs, serta pentingnya
pertemuan Rio+20 yang akan berlangsung
pada bulan Juni 2012. Sekjen PBB juga
menggarisbawahi pentingnya perluasan dan
pendalaman
implementasi
ASEAN-UN
Comprehensive Partnership dan peran
penting ASEAN terkait isu Myanmar, krisis
perbatasan Thailand-Kamboja, serta semenanjung Korea dalam konteks ASEAN
Regional Forum (ARF).
Berkenaan dengan isu pemeliharaan
perdamaian, Sekjen PBB mendorong agar
Indonesia dapat meningkatkan kontribusi
women peacekeepers dan agar Indonesia
dapat
mempertimbangkan
pemberian
bantuan helikopter yang akan dimanfaatkan
dalam sejumlah misi pemeliharaan perdamaian PBB. Terkait hal ini, Presiden Susilo
Bambang
Yudhoyono
menyampaikan
kesediaan Pemerintah Indonesia untuk
mengkontribusikan 4 (empat) utility helicopters beserta awak kepada misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB yang membutuhkan. Dalam perkembangannya, Presiden RI
telah menyetujui permintaan PBB agar
kontribusi keempat helikopter asal Indonesia dialamatkan kepada Misi Pemeliharaan
Perdamaian PBB di Republik Demokratik
Kongo (MONUSCO).
Kunjungan ke Indonesia Peace and Security
Center
Setelah pertemuan bilateral di Istana
Bogor, Presiden RI dan Sekjen PBB berkunjung ke Indonesia Peace and Security Center
(IPSC) di Sentul. IPSC merupakan pusat
pelatihan pemeliharaan perdamaian terbesar
di Asia Tenggara (261 hektar) yang diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 19
Desember 2011. IPSC juga dipersiapkan
sebagai pusat pelatihan untuk bidangbidang lain, seperti penanggulangan terorisme dan bencana, dan pelatihan bahasa.
Selain itu, IPSC juga dirancang sebagai
markas standby force Markas Besar TNI,
lokasi Universitas Pertahanan, dan pusat
olah raga militer.
Dalam pidato sambutannya di hadapan
para pejabat tinggi Pemerintah RI, Duta
Besar Asing di Jakarta, dan mantan pasukan
penjaga perdamaian Indonesia yang turut
hadir di IPSC, Presiden RI menyampaikan
mengenai pentingnya peacekeepers yang
handal guna menjamin keberhasilan implementasi mandat misi pemeliharaan perdamaian PBB. Dalam kaitan ini, Presiden
menyampaikan bahwa tujuan tersebut
merupakan salah satu alasan utama mengapa IPSC didirikan. Lebih lanjut, Presiden
RI juga menyampaikan bahwa di masa
mendatang, IPSC juga direncanakan sebagai
pusat pelatihan pakar sipil (civilian experts)
yang juga akan dilibatkan dalam pelaksanaan diplomasi preventif, mediasi, dan postconflict peacebuilding. Presiden juga mene-
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 3
Diplomasi MULTILATERAL
kankan pentingnya penyiapan komponen
polisi guna mendukung misi peacebuilding
PBB. Presiden RI menugaskan IPSC untuk
bekerja sama dengan UN Departement of
Peacekeeping Operations (UNDPKO) untuk
meningkatkan kegiatan pelatihan bersama.
Selanjutnya, Sekjen PBB menyampaikan paparan mengenai “UN Peacekeeping:
Challenges and Opportunities for Indonesia,
the Region and Beyond”. Sekjen PBB
menyampaikan penghargaan atas visi
Presiden RI, sebagai satu-satunya pemimpin
dunia yang pernah menjadi anggota pasukan pemeliharaan perdamaian PBB, dalam
membangun IPSC. Sekjen PBB juga menyampaikan penghargaan atas kontribusi
Indonesia dalam berbagai misi perdamaian
PBB, dan atas prestasi dan reputasi positif
pasukan perdamaian
Indonesia dalam
memenangkan hati dan pikiran penduduk di
wilayah tugas.
Jakarta International Defense Dialogue
Pada hari kedua kunjungannya (22 Maret 2012), Sekjen PBB menghadiri Pembukaan Jakarta International Defense Dialogue
(JIDD) 2012 di Jakarta International Convention Center. Acara tersebut juga dihadiri
Presiden SBY, Perdana Menteri Timor Leste
Xanana Gusmao dan mantan Presiden
Filipina, Fidel Ramos.
Dalam kesempatan ini, Sekjen PBB
menyampaikan paparan mengenai “The
United Nations and Global Security: Collaboration and Partnership” yang menggarisba-
4
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
wahi pentingnya kerja sama dalam menghadapi tantangan keamanan dan perdamaian
abad ke-21, khususnya terkait dengan
fenomena Arab Spring.
Dalam keynote speech-nya, Sekjen
PBB menyampaikan bahwa tema JIDD, yakni
“Military Operations Other Than War“ dipandang sejalan dengan upaya misi pemeliharaan perdamaian PBB. Sekjen PBB kembali
berharap agar Indonesia dapat membantu
mengatasi
permasalahan
kekurangan
sarana transportasi (helikopter), yang saat
ini menghambat misi-misi pemeliharaan
perdamaian PBB. Sekjen PBB menegaskan
pentingnya peningkatan perhatian PBB pada
masalah peacebuilding serta pencegahan
konflik melalui penanganan isu pembangunan berkelanjutan. Di samping itu, Sekjen
PBB juga menekankan pentingnya kerjasama penanggulangan terorisme dan perlucutan senjata, serta pentingnya kerja sama
PBB dengan organisasi regional.
Dalam sambutan pembukanya, Presiden RI menyampaikan pentingnya confidence building measures, pelatihan militer
bersama, dan kemitraan guna meminimalisasi potensi konflik, serta penguatan arsitektur keamanan regional (e.g. melalui ARF).
Selain itu, Presiden juga menyampaikan
pentingnya kerja sama geopolitik dalam
menghadapi berbagai tantangan baru,
seperti yang terkait dengan peristiwaperistiwa transisi politik yang pada saat ini
sedang berlangsung di beberapa negara di
Timur Tengah.
****
Diplomasi MULTILATERAL
CAPITALIZING
ON THE UNITED NATIONS SECRETARY GENERAL'S VISIT
TO THE INDONESIA PEACE AND SECURITY CENTER
FOR THE ADVANCEMENT OF INDONESIAN PEACEKEEPING
By: Otto R. Gani*
The visit of the United Nations Secretary General last March to the Indonesia
Peace and Security Center (IPSC) in Sentul
is a clear signal that Indonesia is to be accounted for among United Nations troop
contributing countries (TCC). Not only is
Indonesia currently one of the top TCCs but
it has also received wide recognition for its
able and highly professional personnel, be it
military or police. Ban Ki-moon's first ever
visit to the IPSC should serve as a momentous occasion to further boost Indonesia's
participation to UN Peace Missions around
the world.
Indonesia has an impressive track
record in peacekeeping missions under the
auspices of the UN, dating as far back as
1957, joining its first mission in United
Nations Emergency Fund (UNEF) in Sinai.
Since then, Indonesia has consistently been
among the top 20 TCCs and is currently
contributing 1900+ peacekeepers, placing it
as the 15th largest contributor to the various
UN Peace Missions.
Aside from contributing troops to UN
Missions, Indonesia is among the few
developing countries which have contributed
a vessel as part of the UN Maritime Task
Force in Lebanon. It is therefore no coincidence that the UNSG's visit to the IPSC was
in part utilized by the UN to ask for other
vitally important military equipment such as
Helicopters from Indonesia; a request which
has been graciously accepted by President
SBY, the only world leader who has served
as a peacekeeper.
This mutually beneficial relationship
between Indonesia and the UN must not
stop here but should be further enhanced
and explored. While the UN has ample
expertise and influence related to peacekeeping, Indonesia has innate capacities to
deliver highly capable personnel, military
equipment and first hand experience and
knowledge of internal conflicts.
These capacities will only be further
reinforced and developed by the newly
established Indonesia Peace and Security
Center. After all, the 260 hectare complex is
designed to train future military, police as
well as civilian personnel to various UN
Peace Missions around the world. What's
more, in the future the IPSC could also be
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 5
Diplomasi MULTILATERAL
used for joint training for ASEAN personnel
or even beyond.
This outward looking policy is reflected
in Indonesia’s constitution which mandates
it to play an active role in making the world
more peaceful, just and prosperous. A
mandate which Indonesia has come to fully
embrace, not least in the form of UN peacekeeping.
In the near future, Indonesia hopes to
realize its vision of sending 4000+ UN
peacekeepers and be among the top 10
TCC's. And Ban Ki-moon's recent visit to the
IPSC should serve as a significant leap
forward toward realizing that noble vision.
However, in order for Indonesia to realize such a vision, several key aspects related
to the legal basis, administrative, financial
and training procedures of UN peacekeeping
in Indonesia should be capitalized upon.
Firstly, there should be an overarching
legal basis to which the Indonesian government can send its troops in a timely and
responsive matter to meet the increasing
demands of the UN.
Secondly, extensive administrative
procedures in the lead up to troop deployment must be eliminated or significantly reduced.
Thirdly, the financial aspects of peacekeeping, specifically its funding must be
integrated and synergized with other relevant ministerial and state budgets.
And lastly, training materials and modules for our peacekeepers must be developed and regularly updated to meet the ever
changing landscape of multidimensional UN
peacekeeping.
Through optimizing these key aspects
of peacekeeping, Indonesia will not only
capitalize on the UN Secretary General's
Visit to the IPSC but more importantly
contribute to the overall advancement of
Indonesian Peacekeeping as well as making
the world more peaceful, just and prosperous.
-----* Head of Section for United Nations Peacekeeping Operations, Directorate for International Security and Disarmament
“The peacekeepers needed trust – but they could not demand or request it –
they had to earn the trust of the people by leading by example.”
UN Secretary General Ban Ki-Moon,
Indonesia Peace Security Center (IPSC), Sentul, 20 March 2011
6
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Diplomasi MULTILATERAL
INDONESIA IN THE AFTERMATH OF
NUCLEAR SECURITY SUMMIT 2012
Oleh: Danurdoro K.M Parnohadiningrat*
NSS in a Nutshell
Following President Obama’s speech in
Prague, mid 2008, in which he expressed his
vision of a world free of nuclear weapons,
the US Administration took the initiative
of pushing global effort to secure nuclear
material from being misused beyond the
control of the existing international nuclear
legal regimes. The first Nuclear Security
Summit was held in Washington DC back in
2010. World leaders from 46 countries
attended the event and agreed on a nonlegally binding agreement in the form of a
Communiqué. Thereby those leaders shared
a common recognition on the urgency and
mutual exigency on the threat of nuclear
terrorism and to consecutively rally for the
pledge to address this issue.
The 1st Nuclear Security Summit served
to provide political groundwork for the
2nd Nuclear Security Summit (NSS), which
was held in Seoul, South Korea, on the
26th – 27th of March 2012. This summit was
attended by 54 heads of states and governments representing 78% of the world’s
population and roughly 89% of the world
GDP.
In contrast to the Washington DC
summit, the 2nd one focused on propagating
NSS to discuss on how to create concrete
measures to realize the goals outlined in
Washington DC. The shared common goal
set at the 2nd NSS is by far to, 1).draw up an
international instrument for the reduction of
the probability of nuclear materials falling
into the hands of terrorist, 2). pave the way
toward a world free of nuclear weapons by
reducing the amount of nuclear materials in
circulation and, 3). have state parties to
different international nuclear regimes to
remain committed to the legal obligation
under the regimes exercising control over
nuclear materials.
The 2nd Nuclear Security Summit pushes for further enhancement of international
cooperation towards a world free of nuclear
weapon. Thus far, NSS has positively served
as a high level forum that is able to show
common purpose in addressing global
concerns, and engage states to congregate
political pledge to deal with global issues.
Indonesia’s Mandate
Indonesia’s involvement in international affairs is mandated by its constitution.
The 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia, particularly its Preamble, stipulates that any future government should
take an active part in such affairs with a
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 7
Diplomasi MULTILATERAL
view to establishing world peace. As the
fundamental legal and political instrument
that had given birth and established the
country, the Preamble is a non-amendable
document. It remains as it is eternally or
otherwise the present Republic ceases and
changed to be another state.
Indonesia has suffered from several
terrorist attacks in the past. It understands
too well the devastation consequences if
nuclear materials fall into the hands of
terrorist. With its staggering posture on
adjuring international security, and addressing such an eminent threat, Indonesia
continuously striving for the creation a world
free of nuclear weapons.
Alongside with participants to the NSS,
Indonesia by way of building blocks in
achieving the goal, shared its commitment
to uphold the principles of safety first in all
of its nuclear activities. Much has been done
since the first summit. The entire national
nuclear apparatus resolutely implement the
2010 communiqué nationally and internationally contributing to the enhancement of
various existing and newly created nuclear
safety regimes. Indonesia has also substantiated important steps by its success in
converting Highly Enriched Uranium (HEU)
to Low Enriched Uranium (LEU) in the form
of Radioisotope. The furtherance of conversion of HEU to LEU has been one of the
internationally shared goals at the present
time. There are currently 1.600 tons of HEU
and 500 tons of Plutonium worldwide
8
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
available for extraction to produce around
100.000 nuclear warhead.
In the 2012 NSS, Indonesia once again
demonstrated its commitment in incrementing concrete steps toward the achievement
of the goal of a world free of nuclear weapons by way of addressing the nuclear
security and safety aspect of such a global
challenge. For that reason Indonesia presented a “House Gift” to the host country in
the form of proposing a “National Implementation Kit”, which draws upon the need
for countries to promulgate a national
legislation for nuclear safety. To enable
summit participants comprehending this
“House Gift”, Indonesia has moved to work
closely with the International Atomic Energy
Agency (IAEA), to engage constructively and
draw up on a concrete, readable and unified
National Implementation Kit on nuclear
security based on the convention and
documents stated in the NSS Communiqué.
Key to this initiative is the creation of a
practical reference of legislation in the field
of nuclear safety and security, and harmonization simultaneously regulations applicable
to relevant international organizations
(UNODC, IMO, ICAO, etc) to work dynamically with the international community toward a
safer and more secure world. Indonesia’s
intention is to provide a reference for countries to start developing a national legislation in accordance with the circumstances
and the needs of each individual country.
The initiation of this kit has gained support
from 26 states parties of the NSS. Further-
Diplomasi MULTILATERAL
more, Indonesia has filed a joint statement
to the IAEA to guide stakeholders and to
coordinate international organization to
work hand in hand closely with IAEA. Under
the IAEA, relevant international organizations are expected to work accordingly in
preparing a draft of the “National Implementation Kit” and to hand the proposed draft to
Indonesia as the initiator, to be discussed
further. The IAEA has expressed its full
support and willingness to implement such
initiative within the framework of the IAEA
Legislative Assistance Program.
The NSS emphasized further the importance to strengthen the safety measures
of nuclear materials. States parties have
also underlines the importance to create
concrete steps in creating a condition for
achieving a world free of nuclear weapons,
nuclear disarmament, non proliferation and
the use of nuclear energy for peaceful
purposes. Adjacent to this, each country has
the obligation to secure nuclear materials,
including all its variants, that can be used
for nuclear weapons and other related
materials. For this matter, Indonesia plans
on expanding its Nuclear Radiation Portal
Monitors (RPM) in different port all across
the country to better monitor and increase
its safety measure capabilities of nuclear
materials that are being imported into the
country.
The road to NSS 2014
It is in Indonesia’s interest to strive intensely alongside with other countries and
International organizations to achieve the
already shared common goal. Indonesia
should continue its cooperation with the
IAEA to further drawing of the draft of
practical reference of legislation in the field
of nuclear safety and security. Concerted
effort should also be conducted with other
like minded countries who have expressed
its support to this idea. Since the NSS
Summit in 2012, Indonesia has initiated
concrete efforts with different stakeholders
in the country. Indonesia has prepared a
wide range of varieties of follow up plans
towards the implementation of the NSS
Summit in 2014, in the Netherlands.
The forefront of Indonesia’s internal
consolidation process is to have immediate
coordination within different stakeholders to
prepare a Draft Law on nuclear security. In
order to have a comprehensive Bill, Indonesia must harmonize dynamically within its
different institutions to come up with concrete actions before the commencement of
the 3rd NSS Summit in 2014. Indonesia must
therefore make optimal use of the contents
of the National Implementation Kit. The
implementation Kit, which will be prepared
by the IAEA and other relevant international
organization, must be comprehensively
adjusted to include essential elements
contained in the past Communiqué.
-----* Staff of Sub-directorate of Weapons of
Mass Destruction and Conventional
Weapons, Directorate of International
Security and Disarmament
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 9
Diplomasi MULTILATERAL
OPTIMALISASI KEUNGGULAN KOMPARATIF
KAPASITAS SIPIL INDONESIA DALAM
PEMBANGUNAN PERDAMAIAN
Oleh: A. Anindityo Adi Primasto*
Kapasitas Sipil dalam Kerangka PBB
Mandat misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB telah mengalami re-orientasi
fokus, dari mandat tradisional berupa
pemonitoran keberlanjutan genjatan senjata
dan pelaksanaan operasi-operasi polisional,
menjadi mandat yang lebih bertitik berat
pada pembangunan perdamaian (peacebuilding) yang komprehensif, yang antara
lain meliputi pembangunan kembali infrastruktur pemerintahan yang efektif, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat, revitalisasi perekonomian, keberlangsungan transisi politik secara damai, serta
pengupayaan rekonsiliasi antara mantan
pihak-pihak yang bertikai. Implikasi logis
dari pergeseran ini adalah meningkatnya
kebutuhan akan partisipasi pakar-pakar sipil
yang terampil, yang dapat berperan dalam
pembangunan bidang-bidang yang vital bagi
pembentukan fondasi struktural yang
esensial untuk pembangunan kembali
negara-negara yang terkena imbas negatif
dari konflik.
Dalam konteks PBB, pedoman utama
yang perlu diperhatikan terkait pengiriman
pakar-pakar sipil ke negara-negara yang
berada dalam situasi pasca-konflik adalah
pengedepanan kepemilikan nasional (na10
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
tional ownership) dan pembangunan kapasitas nasional (national capacity). Dengan
kata lain, pemberdayaan dan pembangunan
kapasitas pakar-pakar sipil nasional (yang
berasal dari locus terjadinya konflik) menjadi prioritas utama dalam kerangka pembangunan perdamaian. Namun, kenyataan ini
tidak dengan serta-merta mengurangi arti
penting keterlibatan kapasitas internasional.
Melalui kegiatan-kegiatan alih pengetahuan
(transfer of knowledge) maupun alih teknologi (transfer of technology), pakar-pakar
sipil dari negara-negara lain (yang berasal
dari negara-negara di luar negara yang
mengalami konflik) diharapkan dapat
menyumbangkan keahliannya dalam pembangunan kapasitas lokal.
Di samping itu, lingkup misi pemeliharaan dan pembangunan perdamaian yang
kian multidimensional telah menciptakan
demand baru atas keahlian-keahlian yang
bersifat sangat terspesialisasi, seperti
antara lain, keahlian yang terkait dengan
reformasi sektor keamanan, pembangunan
kembali fungsi yudisial dan pengelolaan
lembaga pemasyarakatan, yang dalam
banyak kasus hanya dikuasai oleh segelintir
pakar yang berasal dari negara-negara di
luar negara tempat terjadinya konflik. Dalam
situasi ini, kapasitas internasional diha-
Diplomasi MULTILATERAL
rapkan dapat untuk sementara waktu tentunya dengan izin negara penerima,
mengisi kekosongan-kekosongan keahlian
tersebut, sembari membuka seluas-luasnya
kesempatan alih pengetahuan kepada
masyarakat sipil lokal.
Hal ini sejalan dengan hasil rangkaian
pertemuan tingkat experts negara-negara
Consultative Group on Civilian Capacity
(CGCCR) PBB pada tahun 20111 dan hasil
dari Regional Consultation on Strengthening
Civilian Capacity in the Aftermath of Conflict
yang diadakan di Bali pada awal bulan Maret
2012, yang menggarisbawahi pentingnya
upaya untuk memastikan agar pakar-pakar
sipil yang berada di bawah bendera PBB
mengambil peran sebagai mitra pakar-pakar
lokal dan tidak berusaha mengambil alih
proyek-proyek misi pembangunan perdamaian yang dikembangkan di dalam suatu
negara, guna memberi kesempatan bagi
pakar-pakar lokal untuk mengembangkan
keahliannya dan mengambil manfaat ekonomi sebesar mungkin dari pekerjaan yang
dilakukannya. Terkait hal ini, experts CGCCR
juga mengusulkan agar durasi kehadiran
kapasitan internasional di dalam suatu
negara tidak berlangsung terlalu lama.
Dengan demikian, national ownership
mendapatkan prioritas utama, dan inefisiensi akibat adanya terlalu banyak pakar sipil
yang bergerak di bidang yang sama dapat
dihindari.
1
Indonesia bersama dengan Kanada menjadi co-chair
CGCCR.
Pada saat ini, masalah terbesar yang
dihadapi PBB c.q. Department for Peacekeeping Operations (DPKO) dan Department
for Field Support (DFS) terkait dengan
perekrutan pakar-pakar sipil untuk dilibatkan di dalam misi-misi pemeliharaan
perdamaian bukanlah terkait perkara ketidaktersediaan kandidat,2 melainkan proses
seleksi kandidat pasca-aplikasi, yang dirasa
terlalu lambat dan birokratis.3 Kendala ini
menjadi batu hambatan yang besar bagi
terciptanya proses deployment pakar sipil
yang ideal, yang menuntut agar pakar-pakar
sipil yang tepat juga dapat dikirimkan ke
suatu misi pemeliharaan perdamaian di
waktu yang tepat, mengingat seringkali
kebutuhan akan suatu keahlian tertentu
bersifat mendesak/time-sensitive. Keterlambatan kehadiran pakar sipil dalam zona
pasca-konflik seringkali berakibat pada
tersendatnya –dan bahkan gagalnya, proses
menuju perdamaian yang ajeg.
Solusi terlogis untuk mengatasi kendala deployment pakar-pakar sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah melalui pengembangan dan pemanfaatan standby rosters,
yaitu suatu daftar yang berisi nama-nama
pakar sipil yang telah terlebih dahulu teri2
Setiap tahun, PBB menerima sekitar 150,000 aplikasi
pendaftaran pakar sipil. Pada kenyataannya, tetap
terjadi kelangkaan kandidat di bidang-bidang yang
sifatnya sangat terspesialisasi, terutama di bidang
security sector reform dan yudisial.
3
Dua ratus hari adalah rata-rata lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk memproses sebuah aplikasi; dari fase
pendaftaran seorang kandidat, fase seleksi, hingga fase
dimana sang kandidat dinyatakan siap untuk dikirimkan
ke suatu misi pemeliharaan perdamaian.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 11
Diplomasi MULTILATERAL
dentifikasi, terverifikasi dan terlatih, yang
siap untuk dikerahkan ke zona-zona pascakonflik sewaktu-waktu keahlian mereka
dibutuhkan. Standby rosters ini dapat
berbentuk roster yang berisi pakar-pakar
yang dipekerjakan secara permanen (standing roster) maupun yang hanya berupa
database nama-nama pakar sipil yang dapat
dihubungi dan direkrut saat demand akan
keahlian mereka muncul.
Di dalam sistem PBB sendiri terdapat
Mediation Support Unit’s Standby Team of
Mediation Experts dari Department of
Political Affairs (DPA), sebuah unit yang
dikhususkan sebagai standby roster pakarpakar sipil di bidang mediasi. Selain itu, di
Markas Logistik PBB di Brindisi, Italia, juga
terdapat Justice and Corrections Standing
Capacity, sebuah standing roster skala kecil
yang membantu kegiatan Standing Police
Capacity PBB dalam bidang hukum dan
pemasyarakatan.
Di luar sistem PBB,
beberapa negara dan organisasi-organisasi
non-pemerintah juga telah mendirikan
lembaga-lembaga yang khusus bergerak di
bidang penyiapan pakar-pakar sipil untuk
dimobilisasi sebagai mitra sipil dalam misi
pembangunan perdamaian di kawasankawasan
pasca-konflik.
Organisasiorganisasi seperti Norwegian Capacity
(NORCAP), African Civilian Response Capacity for Peace Support Operations (AFDEM)
dan CANADEM merupakan beberapa contoh
standby rosters yang paling sering bekerja
sama dengan PBB dalam pengiriman pakar
sipil di saat terjadi peningkatan mendesak
12
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
(demand surge) akan kebutuhan keahliankeahlian tertentu pada misi-misi perdamaian.
Peran Indonesia
Dalam forum PBB, Pemerintah Indonesia telah mengikuti dan mendukung upaya
penguatan kapasitas sipil dalam konteks
pemeliharaan perdamaian sejak wacana ini
pertama kali digulirkan pada tahun 2006.
Pada tahun 2008, Sekretaris Jenderal PBB
diundang oleh Dewan Keamanan PBB untuk
memberi masukan terkait bagaimana PBB
dapat membantu upaya-upaya nasional
untuk memperkuat koordinasi, mobilisasi,
dan pendanaan pakar sipil dalam konteks
misi pemeliharaan dan pembangunan
perdamaian. Menanggapi hal tersebut, pada
tahun 2009, Sekretaris Jenderal PBB menerbitkan laporan yang berjudul “Peacebuilding in the Immediate Aftermath of
Conflict” yang memaparkan tantangantantangan yang dihadapi negara-negara
pasca-konflik segera setelah suatu konflik
usai, yang disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami misi-misi
pemeliharaan perdamaian PBB. Laporan ini
juga mengusulkan adanya review untuk
menganalisis bagaimana PBB dan komunitas internasional dapat memperdalam roster
pakar sipil untuk dapat segera mendukung
pembangunan kapasitas sipil di negaranegara yang baru keluar dari konflik.
Pada tahun 2010, Sekjen PBB mendirikan sebuah Senior Advisory Group untuk
Diplomasi MULTILATERAL
membantu penyusunan review tersebut di
atas dan untuk memberikan rekomendasirekomendasi mengenai langkah-langkah
yang dapat dijalankan untuk memperkuat
upaya-upaya nasional dalam membangun
kapasitas sipil. Tahun 2011, Senior Advisory Group mengeluarkan sebuah laporan
yang memaparkan beberapa proposal terkait
langkah-langkah lanjutan yang dapat
diambil, termasuk antara lain berupa penyelenggaraan konsultasi-konsultasi regional
mengenai penguatan kapasitas sipil, guna
mendapatkan input dari negara-negara di
berbagai kawasan. Konsultasi-konsultasi
regional ini juga diharapkan dapat mengidentifikasi pakar-pakar sipil regional dan
lingkup keahlian yang mereka kuasai.
Informasi ini pada gilirannya akan bermanfaat dalam mengkonsolidasikan pool of
civilian experts.
Dalam kaitan ini, selain pengutamaan
kepemilikan nasional, Senior Advisory Group
juga merekomendasikan agar kaidah keunggulan komparatif (comparative advantage),
yaitu pengidentifikasian bidang-bidang yang
menjadi kekuatan/niche dari masingmasing penyedia kapasitas sipil –baik
berupa organisasi yang dibentuk oleh
Pemerintah maupun yang dibentuk oleh
masyarakat madani, juga dijadikan perhatian utama. Hal ini dimaksudkan agar kerja
sama internasional terkait mobilisasi pakar
sipil untuk membantu dalam misi-misi
pemeliharaan PBB dapat terhindar dari
duplikasi dan tumpang tindih keahlian,
sehingga perekrutan dan pengiriman pakar
sipil ke negara-negara pasca-konflik dapat
berjalan lebih efektif.
Disamping itu, laporan Senior Advisory
Group juga merekomendasikan penguatan
kapasitas-kapasitas sipil nasional melalui
kerja sama pembangunan kapasitas antara
PBB dengan penyedia-penyedia kapasitas
sipil, terutama yang berasal dari Global
South. Sebagaimana juga dimafhumi dalam
Regional Consultation on Strengthening
Partnerships for Civilian Capacities in the
Aftermath of Conflict yang diselenggarakan
di Bali pada bulan Maret 2012, pakar-pakar
sipil yang berasal dari negara-negara Selatan dianggap mempunyai keunggulan
komparatif terkait pembangunan pasca
konflik, mengingat bahwa kapasitas sipil
yang mereka memiliki, mempunyai pengalaman langsung terkait penanganan konflik yang mayoritas memang terjadi di negaranegara berkembang.
Pengalaman Indonesia dalam melewati
masa transisi menuju demokrasi serta
keberhasilannya dalam proses rekonsiliasi
pasca-konflik (dengan Timor Leste dan di
Aceh, Poso dan Ambon, antara lain), menjadi
salah satu keunggulan komparatif yang
dimiliki Indonesia di atas banyak negara
lain. Pengalaman-pengalaman ini telah
melahirkan banyak pakar sipil Indonesia
yang piawai –antara lain- dalam bidang
mediasi, penyelenggaraan pemilihan umum,
pembangunan kembali infrastruktur, pertanian dan pendidikan. Pakar-pakar sipil
inilah yang idealnya diusung sebagai wakil
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 13
Diplomasi MULTILATERAL
Indonesia dalam roster civilian experts yang
siap dilibatkan dalam misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB.
Kendala
Proses penyusunan roster pakar sipil
Indonesia dihadapkan dengan setidaknya
tiga kendala utama. Kendala pertama
adalah kenyataan bahwa dalam beberapa
kasus, pakar sipil yang benar-benar piawai
dalam bidang tertentu, tidak bersedia untuk
dikirimkan ke negara-negara pasca-konflik
karena alasan-alasan tertentu seperti
keluarga ataupun pertimbangan keamanan.
Kedua, dalam beberapa kasus, pakar
sipil yang keahliannya benar-benar dibutuhkan dalam suatu misi pemeliharaan
dan/atau pembangunan perdamaian seperti pakar sipil di bidang penyelenggaraan pemilihan umum, rekonstruksi sistem
peradilan dan sistem lembaga pemasyarakatan- mayoritas berasal dari lingkungan
pemerintahan, sehingga yang bersangkutan
mungkin akan menemui kesulitan dalam
mekanisme perijinan kedinasan dari institusi
tempat ia bekerja. Selain itu, ketiadaan
pengaturan yang jelas mengenai mekanisme
penggajian ketika seorang pakar sipil yang
berasal dari institusi pemerintahan menjalankan tugas dalam suatu misi pemeliharaan
dan/atau pembangunan perdamaian (secondment), juga turut menjadi faktor yang
dapat menyebabkan keenganan seorang
pakar sipil untuk turut berpartisipasi dalam
upaya peacekeeping/peacebuilding PBB.
14
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Kendala ketiga terkait dengan persepsi
akan minimnya insentif ekonomi untuk
terlibat di dalam misi pemeliharaan perdamaian. Pakar sipil yang berasal dari lingkungan non-pemerintah dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan PBB, misalnya,
akan cenderung untuk memilih bekerja pada
badan-badan resmi PBB dalam kapasitas
sebagai pegawai tetap, mengingat penghasilan dan tingkat kenyamanan yang ditawarkan lebih menjanjikan.
Langkah ke Depan
Kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam konteks penyusunan roster
pakar sipil Indonesia kiranya dapat teratasi
dengan adanya pengaturan yang jelas
terkait 1) mekanisme pengiriman pakar sipil
yang berasal dari institusi pemerintahan
(mekanisme secondment); dan 2) mekanisme jenjang karir dan gaji pakar sipil yang
di-deploy. Pengaturan terkait pengiriman
pegawai pemerintah sebagai pakar sipil
dalam suatu misi pemeliharaan PBB kiranya
dapat diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan nasional maupun peraturan
yang bersifat intra-institusional, sementara
pengaturan mengenai pendanaan pakar sipil
Indonesia selama bekerja di dalam suatu
misi PBB –baik yang berasal dari institusi
pemerintah
maupun
non-pemerintah,
sepatutnya diatur baik melalui peraturan
internal institusi pemberi kerja, maupun
melalui suatu arrangement antara PBB c.q.
Diplomasi MULTILATERAL
Department for Field Support dengan negara
pengirim (Indonesia).4
Di luar kendala-kendala yang telah teridentifikasi, sebagaimana terindikasi dalam
Regional Consultation di Bali, masih terdapat banyak organisasi non-pemerintah yang
menunjukan minat untuk dapat melibatkan
personilnya di dalam civilian capacity roster
dalam kerangka misi perdamaian PBB.
Organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah –yang telah berpengalaman dalam
kegiatan-kegiatan mediasi di Thailand
Selatan- dan The Habibie Center telah
memberikan indikasi positif untuk turut
terlibat di dalam rencana penyusunan roster
pakar sipil nasional.
Pemerintah Indonesia kiranya perlu terus mendukung dan mendorong keterlibatan
pakar-pakar sipil Indonesia dalam misi-misi
perdamaian PBB. Dukungan dan dorongan
ini dapat direalisasikan antara lain melalui
konsolidasi penyusunan roster pakar sipil,
baik
melalui
diseminasi
informasi/penyelengga-raan pertemuan dengan
pakar-pakar yang sudah terindentifikasi
pada khususnya dan masyarakat sipil pada
umumnya, maupun dengan membangun
sistem perekrutan pakar sipil yang berbasis
web, dimana segenap unsur masyarakat
yang merasa memiliki kapasitas dalam
4
Sebagai catatan, banyak negara anggota PBB
yang bersikeras bahwa penguatan dan pengiriman pakar sipil ke dalam suatu misi pemeliharaan perdamaian hendaknya bersifat costneutral, yaitu tidak berimplikasi pada anggaran
pemeliharaan perdamaian PBB.
bidang-bidang tertentu dapat mendaftarkan
diri dan mengikuti proses seleksi, yang
dikoordinasikan oleh unsur-unsur Pemerintah terkait. Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP), sebuah wadah
inter-institusional yang dibentuk untuk
memperkuat kerja sama dan koordinasi
antar pemangku kepentingan terkait keterlibatan Indonesia dalam misi-misi perdamaian, kiranya dapat mengambil peran
sentral dalam hal ini. Pada akhirnya, upaya
ini diharapkan akan dapat membantu
memajukan proses pemetaan dan pengidentifikasian kapasitas sipil Indonesia.
Selain itu, penting pula bagi Pemerintah untuk senantiasa mendiseminasikan
informasi terkait pembukaan lowonganlowongan pakar sipil yang dibuka langsung
oleh PBB. Sebagai contoh, Standby Team of
Mediation Experts dari Department of
Political Affairs (DPA) PBB dari waktu ke
waktu membuka rekrutmen pakar-pakar
mediasi yang diperkerjakan secara permanen pada markas DPA, yang dipersiapkan
untuk dapat dimobilisasi secara cepat ke
kawasan-kawasan dimana keahlian mereka
dalam membantu kegiatan-kegiatan mediasi
dan jasa baik pasca-konflik, dibutuhkan.5
Mengingat bahwa mediasi merupakan salah
satu bidang keahlian dimana pakar-pakar
sipil Indonesia mempunyai keunggulan
5
Di saat-saat tidak dikirimkan ke lapangan,
pakar-pakar sipil ini dikerahkan untuk melakukan kegiatan riset dan analisis atas isu-isu mediasi.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 15
Diplomasi MULTILATERAL
komparatif, upaya pencalonan kandidatkandidat terbaik Indonesia untuk menempati
posisi-posisi seperti ini perlu senantiasa
mendapatkan dukungan positif dari Pemerintah.
Kesimpulan
Isu optimalisasi kapasitas sipil dalam
kerangka pemeliharaan dan pembangunan
perdamaian merupakan gagasan yang relatif
baru dalam diskursus mengenai perdamaian
dan stabilitas global. Sebagai negara yang
sejak awal terlibat aktif dalam diskusi
mengenai hal ini di forum PBB, Indonesia
memiliki kepentingan untuk –bersama
dengan negara-negara kontributor pakar
sipil lainnya- memastikan kesuksesan
tercapainya target bersama, yaitu berupa
peningkatan dan penguatan peran pakar
sipil dalam misi-misi perdamaian, terutama
yang berkenaan dengan pemenuhan ketersediaan kapasitas sipil cakap yang memadai
untuk memenuhi tingkat demand yang ada.
Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 memberi mandat kepada Indonesia
untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia,
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Perjuangan Indonesia di fora internasional untuk
16
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
turut memajukan efektivitas misi-misi
pemeliharaan perdamaian PBB –antara lain
melalui optimalisasi peran pakar-pakar sipil,
merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan relevansi mandat konstitusional dimaksud. Oleh sebab ini, keunggulan
kapasitas sipil Indonesia di bidang-bidang
yang vital dalam proses pembangunan
perdamaian merupakan peluang yang harus
dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Selain sebagai wujud pengejawantahan
amanat Konstitusi, kontribusi Indonesia
dalam memajukan peran pakar sipil dalam
misi-misi perdamaian PBB melalui deployment pakar-pakar sipil Indonesia yang
kompeten dan profesional merupakan
golden ticket Indonesia untuk meningkatkan
postur internasionalnya, terutama dalam
konteks peacekeeping dan peacebuilding.
Peningkatan postur ini pada gilirannya akan
semakin menaikkan citra Indonesia di mata
dunia internasional, serta menciptakan
berbagai trickle-down effect yang positif
bagi bangsa.
-----* Staf Direktorat Keamanan Internasional
dan Perlucutan Senjata
Diplomasi MULTILATERAL
SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs):
USULAN NORMA BARU PEMBANGUNAN GLOBAL
Oleh: Direktorat PELH
Istilah Millennium Development Goals
(MDGs) tentu tidak asing lagi bagi kita.
Proyek global yang diluncurkan tahun 2000
oleh PBB itu bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan global dengan mencapai
delapan tujuan utama pada tahun 2015,
meliputi menghilangkan kemiskinan dan
kelaparan; menyediakan pendidikan dasar;
mendorong keseteraan jender dan penguatan perempuan; mengurangi angka kematian
bayi; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; memastikan keberlanjutan
lingkungan; dan membangun kemitraan
global untuk pembangunan.
Namun, 2015 tinggal tiga tahun lagi.
Belakangan, wacana mengenai agenda
pembangunan baru semakin santer terdengar. Agenda pembangunan pasca-2015
tersebut muncul dalam bentuk Sustainable
Development Goals (SDGs).
SDGs: indikator pembangunan berkelanjutan
Secara sederhana, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pengelolaan
pembangunan dengan mempertimbangkan
faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan.
dengan tanpa merusak lingkungan. Brundtland Commission (1987), sebuah organisasi
independen yang dibentuk oleh PBB guna
mengkonsolidasikan komunitas internasional dalam isu pembangunan dan lingkungan mendefinisikan sustainable development sebagai “development that meets
the needs of the present without compromising the ability of future generations to
meet their own needs.”
Tahun 1992 merupakan milestone bagi
isu pembangunan berkelanjutan dengan
diselenggarakannya United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasilyang dihadiri 172 negara.
Pertemuan menghasilkan Agenda 21 dan
Johannes-burg Plan of Implementation
(JPoI) sebagai perangkat global bagi isu
pembangunan berkelanjutan serta memanggil semua negara untuk terlibat dalam
pengembangan indikator pembangunan
berkelanjutan.
KTT Rio+20
Di tahun 2012 ini, wacana pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat memperoleh momentum politis tertinggi melalui
KTT Rio+20, di Rio de Janeiro, Brasil, tanggal 20-22 Juni 2012.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 17
Diplomasi MULTILATERAL
Latar belakang diadakannya pertemuan
tersebut adalah:
 Penduduk dunia saat ini mencapai 7
miliar, dan diprediksikan menjadi 9 miliar pada tahun 2050.
 Seperlima penduduk dunia atau 1,4
miliar orang hidup dengan penghasilan
tidak lebih dari 1,25 dolar AS.
 Sebanyak 1,5 miliar penduduk dunia
tidak memiliki akses terhadap listrik.
 Sebanyak 2,5 miliar penduduk dunia
tidak memiliki toilet.
 Hampir 1 miliar penduduk dunia hidup
kelaparan setiap hari.
 Gas rumah kaca terus mengalami peningkatan, dan lebih dari sepertiga
spesies dunia yang saat ini telah dikenal akan musnah jika perubahan iklim tidak bisa dikendalikan.
KTT Rio+20 diharapkan dapat meneguhkan kembali komitmen global terhadap
pembangunan berkelanjutan. Pertemuan
juga menjadi ajang untuk memeriksa implementasi Agenda 21 dan JpoI serta
menelisik kendala dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi pembangunan
berkelanjutan.
Sejauh ini, negosiasi atas dokumen
utama “The Future We Want” yang rencananya akan dihasilkan oleh KTT Rio+20
masih berjalan. Dokumen ini memuat dua
isu utama, yaitu green economy dan institutional framework for sustainable development (IFSD). Pembahasan kedua isu besar
18
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
tersebut masih dipenuhi dengan perdebatan
terkait definisi dan implementasi green
economy, serta berbagai usulan opsi pembentukan lembaga baru bagi isu pembangunan berkelanjutan.
Isu SDGs juga menjadi salah satu pusat
perhatian menjelang pelaksanaan KTT
Rio+20. dengan adanya proposal dari
Kolombia-Guatemala dan Civil Society
Organizations (CSOs) mengenai SDGs.
Kedua proposal menekankan pentingnya
kesepakatan dan definisi yang sama dari
SDGs sebagai key outcome KTT Rio+20.
Bagi Kolombia dan Guatemala, definisi
tematik SDGs dan mandat untuk mengembangkan SDGs pasca-Riodapat menjadi
hasil utama KTT Rio+20. Sementara proposal CSOs memuat SDGs yang disusun
berdasarkan komitmen-komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan dan SDGs
baru.
Pembahasan isu SDGs ini diharapkan
dapat membuatkomunitas internasional
dapat satu suara mengenai pentingnya
SDGs. Melihat adanya kompleksitas negosiasi atas isu green economy dan IFSD, isu
SDGs kemudian juga menjadi isu underdog
yang kemungkinan dapat dihasilkan oleh
KTT Rio+20.
SDGs dan MDGs
Sejauh ini belum ada konsep pasti tentang bagaimana menyinergikan antara
MDGs dengan SDGs. Salah satu usulan yang
Diplomasi MULTILATERAL
muncul adalah agar SDGs digunakan sebagai pelengkap proses review implementasi
MDGs. SDGs dapat dilihat sebagai indikator
untuk menerjemahkan goals yang belum
mendapatkan perhatian di MDGs, misalnya
akses terhadap ketahanan pangan dan
energi, sehingga hubungan antara MDGs
dan SDGs bersifat komplementer. Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB tahun
2011 dapat memberikan gambaran atas
usulan ini, “Let us develop a new generation
of sustainable development goals to pick up
where the MDGs leave off. Let us agree on
the means to achieve them.“
Usulan lainnya adalah agar SDGs disepakati sebagai bagian dari agenda pembangunan global pasca-2015 setelah target
pencapaian MDGs berakhir. Dalam usulan
ini, SDGs diharapkan dapat menjadi esensi
pokok dari world development agenda pasca
2015 yang memuat satu set tujuan pembangunan
internasional
(international
development goals), yang fokus utamanya
adalah pembangunan berkelanjutan dan
pengentasan kemiskinan.
Sekjen PBB sendiri telah membentuk
task team khusus untuk agenda pasca-2015
yang diketuai oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Department of Economic and Social
Affairs (UNDESA). Kegiatan utama task team
ini adalah mempersiapkan peta jalan (roadmap) untuk proses pembentukan agenda
pasca-2015 yang akan disampaikan oleh
Sekjen PBB sebelum Konferensi Rio+20.
Selain itu, Ban Ki-moon telah mengumumkan pula rencana untuk membentuk high
level/expert panel guna membantu dan
memandu proses pembentukan agenda
pasca-2015. Panel tersebut akan melapor
kepada Majelis Umum PBB pada akhir tahun
2013 untuk menginformasikan mengenai
review MDGs dan meluncurkan secara resmi
UN process on the post-2015 development
agenda.
Persiapan Indonesia
Sebagai salah satu persiapan menghadapi KTT Rio+20, Direktorat Jenderal Multilateral cq. Direktorat PELH Kementerian
Luar Negeri menyelenggarakan lokakarya
nasional bertema “Sustainable Development
Goals (SDGs): Indikator Pembangunan
Global Pasca-2015?” di Yogyakarta, 12-13
Maret 2012. Lokakarya ini bertujuan untuk
menemukan kesamaan pandangan dari para
pemangku kepentingan (pemerintah pusat
dan daerah, organisasi masyarakat madani,
akademisi, dan sektor swasta) terhadap isu
SDGs. Lokakarya ini juga dapat dinilai
sebagai upaya nasional untuk mengukur
implementasi pembangunan berkelanjutan
selama ini dan mengindentifikasi isu-isu
krusial yang dihadapi Indonesia dalam
pembangunan berkelanjutan.
Lokakarya menghasilkan beberapa
masukan. Misalnya, KTT Rio+20 diharapkan
menjadi momentum untuk memulai komitmen politis atas pembahasan isu SDGs,
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 19
Diplomasi MULTILATERAL
tetapi proses pembahasan set of goals-nya
sendiri lebih tepat dimulai pasca-KTT
Rio+20 agar dapat menampung lebih banyak usulan dari berbagai negara. KTT
Rio+20 juga diharapkan dapat mengidentifikasi
kesenjangan
implementasi
berbagai perangkat global pembangunan
berkelanjutan.
Selain itu, cakupan SDGs kiranya dapat
berlaku untuk semua negara agar implementasinya lebih luas, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan prioritas nasional masing-masing negara. Perumusan SDGs
di tingkat nasional juga dapat dilakukan
dengan menentukan key sector priorities
atau key issues terlebih dahulu dan ditujukan untuk mencapai integrasi ketiga pilar
pembangunan berkelanjutan.
Rio+20: jalan menuju masa depan yang
berkelanjutan?
Dalam brosur resmi UNCSD, Sekjen
KTT Rio+20 Sha Zukang mengemukakan
semangat yang mendasari pertemuan ini.
“Sustainable development is not an option.
It is the only path that allows all of humanity
to share a decent life on this one planet.
Rio+20 gives our generation the opportunity
to choose this path,”.
Sementara itu, Ban Ki-moon menekankan arti penting pertemuan ini bagi
masa depan bumi. “Rio+20 will be one of the
most important global meetings on sustainable development in our time. At Rio, our
vision must be clear: a sustainable green
economy that protects the health of the
environment while supporting achievement
of the Millenium Development goals through
growth in income, decent work, and poverty
eradication,”.
Namun apakah waktu yang kurang dari
tiga bulan ini cukup bagi KTT Rio+20 untuk
mencapai tujuan tertinggi seperti yang
disebutkan? Kita tunggu saja jawabannya di
KTT Rio+20 bulan Juni mendatang.
“We in the region remain firmly committed and determined to attain our
MDGs. We are mobilizing regional resources and initiatives, such as the
Asian Development Bank and the Association of Southeast Asian Nations, to help us toward those Goals.”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
dalam pidato “Perspective on The MDGs and The Way Forward to 2015”,
Universitas Columbia, 13 September 2005
20
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Diplomasi MULTILATERAL
INDONESIA AND THE G20
Oleh: Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup
What is the G20?
The Asian Financial crisis in the 19971998 led to serious concerns among the
finance ministers and central bank governors of developed economies to build new
arrangements in the global financial structure that recognizes the new role of emerging economies. The pioneers of the Group
called the G20 as a new breakthrough to
make “a smaller world governable and
fairer.”
The initial aim of G20 in 1999 was to
have the finance ministers and central bank
governors of the industrialised and emerging
countries meet once a year to facilitate
international economic policy cooperation.
Since the pioneering G20 Washington
Summit in 2008, the forum has been enhanced from a grouping of Finance Ministers
and Central Bank Governors to Heads of
State and Government. Many consider the
G20 as the premier global forum for economic and financial cooperation, helping to
create and sustain an enabling economic
environment for economic recovery and
growth that would not have been possible
otherwise.
The G20 is an informal economic steering body that brings together the world's
major political leaders at the highest level.
It comprises the twenty largest economies
of the world, namely Argentina, Australia,
Brazil, Canada, China, France, Germany,
India, Indonesia, Italy, Japan, Mexico,
Republic of Korea, Russia, Saudi Arabia,
South Africa, Turkey, United Kingdom,
United States and the European Union.
How does G20 work?
The G20 operates with an annually rotating chair under a relatively informal
system. Each year, a member country is
given responsibility for organising the
summits of heads of States and governments and ensuring that the preparatory
negotiations move ahead as planned. Given
that the G20 primarily addresses economic
issues, finance-related units play a key role
in G20 negotiations. The finance ministers
and central bank governors hold several
meetings a year to lay the groundwork for
decision-making by the heads of States and
governments. The G20 chair can also call
special thematic meetings, such as meetings of the Ministers of Agriculture, Foreign
Affairs and Trade.
Since G20 cooperation was elevated to
Leaders level, the G20 Head of Government
or state is assisted by a “sherpa” responsible for strategic issues as well as nonfinance issues. The Indonesian Sherpa’s
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 21
Diplomasi MULTILATERAL
work is supported by a national G20 Secretariat comprised of the Ministry of Finance,
Bank Indonesia and Ministry of Foreign
Affairs. Other Ministries and agencies also
participate actively in G20 thematic issues,
such as the National Agency for Development Planning, Ministry of Agriculture,
Ministry of Trade, Commission of Corruption
Eradication (KPK) and others.
Unlike other international organizations, the G20 has no permanent secretariat
of its own. The Presidency rotates between
members, and is selected from a different
regional grouping of countries each year.
The incumbent president establishes a
temporary secretariat for the duration of its
term, which coordinates the Group’s work
and hosts its meetings.
In this context, the role of the Ministry
of Foreign Affairs is to manage non-financial
issues. The Ministry’s task is to also ensure
that Indonesia’s participation in the G20 is
synergized with its participation in other
international fora, as well as maintaining
coherence of G20 interests vis-à-vis foreign
policy interests at the bilateral and regional
level.
What has G20 achieved?
In its work, the G20 collaborates closely with several major international institutions, including the International Monetary
Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), Financial Stability Board
(FSB), International Labor Organization
(ILO), and Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Representatives from the United Nations as well
as regional organization such as ASEAN, the
African Unions and the Gulf Cooperation
Council have been invited to the Summits.
Each G20 host traditionally extends five
discretionary invitations with at least two
coming from Africa.
22
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
In 2008, the global economy faced the
deepest economic and financial crisis since
World War II. The G20 was convened at the
summit level to tackle this challenge in a
pro-active and coordinated manner.
In responding to this crisis and ensuing
effects that have dampened global economic growth since, five G20 summits have been
held: Washington (November 2008): London
(April 2009), Pittsburgh (September 2009),
Toronto (June 2010), Seoul (November
2010) and Cannes (November 2011).
Through these summits, concerted action by
the G20 lessened the impact of the crisis on
growth and employment and helped restore
confidence even earlier than many analysts
predicted it would. Several achievements of
the G20 that should be noted include,
among others:
1. The G20 countries took drastic steps to
support the global economy. Massive,
coordinated fiscal stimulus programmes were implemented; central
Diplomasi MULTILATERAL
banks injected vast amounts of liquidity into the economy; lending by banks
was stimulated; and the means available to international organisations to
assist the emerging and developing
countries were greatly expanded.
2. The G20 has always been on the forefront on resisting trade protectionism
as a potential consequence of the
global financial crisis.
3. The G20 also tackled the root causes
of the crisis: mounting global macroeconomic imbalances and the inadequacies of financial regulation.
4. To reduce global imbalances, the G20
created a Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth designed
to realign national policies more fully
with the needs of the world economy.
5. The G20 further agreed on an unprecedented financial regulation plan to deal
with an equally unprecedented financial crisis. The results accomplished so
far have been significant. The scope of
financial oversight and supervision has
been broadened to include participants,
financial products and risky activities
and behaviour that had previously been
subject to little or no control.
6. Additionally, the G20 has engineered a
major overhaul of the international
economic decision-making process,
above all by promoting governance
reform at the IMF and the World Bank.
Through representation of major
emerging markets, including Indonesia, the
G20 also paid close attention to the development agenda and well-being of developing countries most vulnerable to the global
economic downturn. Such development
imperatives include: infrastructure, private
investment and job creation, human resources development, trade, financial
inclusion, strong and resilient growth, food
security, domestic resource mobilization
and knowledge sharing.
In terms of modalities, the G20 operates informally and emphasizes deliberation
to reach consensus, and not rigid decisionmaking through voting. This flexible style
has proven to be quite effective, however.
There has been a consistent emphasis on
finding commonalities and pragmatic
approaches. Thus, the Group has been able
to avoid sharp disagreements and deadlocks.
In 2011, The Cannes Summit focused
on the need to strengthen and sustain the
fragile global economic recovery, assaulted
by financial crises and austerity in Europe,
as well as budget difficulties in the US and
food price volatility and shortages around
the world. Other major issues discussed
included financial regulation, trade, employment, agricultural productivity, development, anti-corruption, reforms in the
international monetary system and global
governance issues pertaining to multilateral
organizations and the G20 itself.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 23
Diplomasi MULTILATERAL
For 2012, Mexico as G20 Chair has set
up five priorities, namely: economic stabilization and structural reforms as foundations
for growth and employment; strengthening
financial systems and fostering financial
inclusion to promote economic growth;
improving the International Financial Architecture; enhancing food security and addressing the issue of commodity price
volatility; and promoting sustainable development green growth and fight against
climate change.
How does Indonesia view and play its role in
G20?
As it comprises 85 percent of the
world’s GDP, 80 percent of international
trade, and represents two-thirds of the
world’s population, the G20 has a particular
strategic importance for Indonesia. G20
decisions in policy cooperation and coordination play a major role for setting economic
conditions for the rest of the world.
As such, the G20 is a major component
of Indonesia’s economic diplomacy platform
and provides opportunities to boost Indonesia’s national leverage. As a member, Indonesia has a direct say in how major economies manage global economic governance.
It could link its policies in building a strong
and resilient economy domestically to
measures taken at the international level.
Indonesia has a commitment in playing
a positive role in the G20 process. Having
24
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
undergone a multidimensional crisis last
decade, Indonesia has significant experience
to contribute positively to G20’s efforts in
addressing the current global economic
crisis. In the G20 context, Indonesia has
proposed various initiatives and co-chaired
several working groups particularly relevant
to the interests of emerging markets and
developing countries at large.
Indonesia also has actively advocated
reform in the global governance structure so
as to better reflect the increasing role of
emerging and developing countries.
At the heart of Indonesia’s participation
in G20, its principal interest is clear: to
maintain an inclusive and sustainable global
economic system that creates an enabling
environment for national development and
economic growth.
Indonesia acknowledges the importance of G20 not merely as a powerful
economic forum but also as a civilizational
powerhouse. In this context, Indonesia
plays a bridging role between diverse civilizations. In his speech in the Harvard University in 2009, President Yudhoyono observed:
“The G20 for the first time accommodates all the major civilizations – not just
Western nations, but also China, South
Korea, India, South Africa and others, including significantly three nations with larges
Muslim populations: Saudi Arabia, Turkey
and Indonesia. The G20 is a representative
Diplomasi MULTILATERAL
of multi-civilization global community.
Perhaps this is why the G20 has been
successful in rescuing the world from a
global meltdown.”
During the Mexican chairmanship in
2012, Indonesia will be focused on the
Group’s efforts to improve the global economic situation and support a durable and
permanent solution to the Eurozone crisis.
Additionally, Indonesia will continue to push
development agenda issues to remain as
part of G20’s mainstream discussions.
The Challenges of G20 in the Future
In resolving the current problems that
have dampened global economic growth and
stability, the G20 faces several challenges.
First, G20 must maintain its effectiveness as
a Leaders-led informal group. As global
economic crisis persists, retaining a common position on issues become harder and
more complex. There is an urgency that G20
remains cohesive in finding consensus even
as domestic or regional political and social
factors affect political establishments in the
respective G20 countries.
Second, the G20 must be able to enhance its credibility through full implementation of its commitments. The key to this
issue is strong leadership, or the ability of
G20 countries to effectively integrate its
commitments in policy at the domestic
setting. Effective implementation of its
commitments also determines the pace of
global economic recovery and progress in
the G20 process.
Third, the G20 must be able to compel
acceptability of its grouping and policies
vis-à-vis the rest of the world. With a membership comprising of only twenty nations,
some have criticized the “exclusiveness” of
the group. In this respect, G20 needs to
actively pursue outreach to the rest of the
international community and achieve the
necessary acceptability in order to build an
adequate enabling environment for inclusive
and sustainable global economic system.
------
“This is what I saw firsthand at the G20, where nations of diverse cultural
backgrounds joined hands to address a common challenge. We spoke
different languages through our headphones, but we understood one
another.”
President Susilo Bambang Yudhoyono,
in the speech “Towards Harmony Among Civilizations”,
Harvard University, 29 September 2009
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 25
Diplomasi MULTILATERAL
DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA
DAN UPAYA KE DEPAN DI BIDANG KETAHANAN PANGAN
Oleh: Ade Petranto*
Pendahuluan
Krisis pangan global tahun 2007-2008
menyadarkan dunia perlu adanya kerja sama
global untuk mencegah terulangnya kembali
krisis pangan akibat meningkatnya penduduk dunia, meningkatnya harga energi,
bencana alam, gagal panen, serta tatanan
perdagangan dunia yang tidak adil.
sia harus melakukan kemitraan dengan
masyarakat global melalui forum, jalur, dan
tatanan yang tersedia, baik pada tingkat
multilateral, regional, sub-regional, dan
bilateral.
Diplomasi Indonesia pada Forum Multilateral, Kerangka G20, dan Forum Lainnya
A.
Krisis pangan global juga menyebabkan munculnya konflik dan keresahan di
beberapa negara. Saat ini, diperkirakan
sebanyak 1 (satu) miliar penduduk dunia
mengalami kelaparan. Hingga tahun 2050,
diperkirakan jumlah penduduk dunia mengalami peningkatan sebanyak 2,5 miliar dan
mencapai 9,5 miliar penduduk, sehingga
perlu dicarikan solusi untuk menjaga ketahanan pangan tersebut. Di Indonesia, berkat
kebijakan nasional untuk swasembada
pangan, krisis pangan global 2007-2008
dapat dibendung.
Tetapi, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa dan pertumbuhan
penduduk sebesar 1,5 persen per tahun
menyebabkan Indonesia akan menghadapi
tantangan cukup berat untuk mempertahankan ketahanan pangan di waktu mendatang.
Oleh karena itu, dalam upayanya mempertahankan ketahanan pangan nasional, Indone26
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Forum Multilateral
Permasalahan mengenai ketahanan
pangan perlu mendapat perhatian yang
serius dari Pemerintah, bahkan dukungan
dari dunia internasional. Indonesia merupakan salah satu negara penggagas yang
mendorong agar masalah ketahanan pangan
mendapatkan perhatian global.
Presiden RI dalam suratnya kepada
Sekjen PBB menyerukan agar masyarakat
internasional mengambil langkah-langkah
konkrit dalam upaya mengakhiri krisis
pangan global yang terjadi pada tahun
2008. Bagi Indonesia, masalah ketahanan
pangan adalah suatu hal yang sangat
penting dan merupakan kebutuhan pokok
manusia. Pada tahun 2008, Indonesia
bersama Mesir dan Chile memprakarsai
diangkatnya masalah ketahanan pangan
dalam agenda global dengan berhasil
disahkannya resolusi PBB tahun 2008
Diplomasi MULTILATERAL
nomor A/Res/63/235 mengenai “Agriculture
Development and Food Security”. Saat ini,
diplomasi Indonesia diarahkan untuk mendorong terlaksananya global governance for
food security yang merupakan tindak lanjut
dari pelaksanaan Five Rome Principles for
Sustainable Global Food Security yang
diamanatkan oleh World Summit on Food
Security 2009 dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Invest in country own plans, aimed at
channeling resources to well-designed
and results-based programmes and
partnership;
2) Foster strategic coordination at national, regional, and global level to improve
governance, promote better allocation
of resources, avoid duplication of efforts and identity response-gaps;
3) Strive for a comprehensive twin-track
approach to food security that consists
of: (i) direct action to immediately
tackle hunger for the most vulnerable
and b) medium and long-term sustainable agricultural, food security, nutrition and rural development programmes to eliminate the root causes
of hunger and poverty, including
through the progressive realization of
the right to adequate food;
4) Ensure a strong role for the multilateral
system by sustained improvements in
efficiency, responsiveness, coordina-
tion, and effectiveness of multilateral
institutions;
5) Ensure sustained and substantial
commitment by all partners to investment in agriculture and food security
and nutrition, with provision of necessary resources in a timely and reliable
fashion, aimed at multiyear plans and
programmes.
Selain itu, Indonesia juga menyerukan
agar negara-negara maju dapat merealisasikan berbagai komitmen mereka untuk
memberikan pendanaan bagi pembangunan
yang berkelanjutan. Indonesia mendesak
agar negara-negara maju melaksanakan
komitmen mereka pada KTT G-8 tahun 2009
di L’Aquila untuk mendanai sebesar 20
miliar Dollar AS bagi penanganan masalah
kerawanan pangan. Di dalam forum FAO,
Indonesia mendorong agar World Food
Programme (WFP) dan International Fund
for Agriculture Development (IFAD) melakukan kegiatan penanganan masalah kerawanan pangan dunia secara tepat dan menghindari duplikasi atau tumpang tindih.
Diplomasi Indonesia juga aktif mendorong upaya penanganan masalah ketahanan
pangan terkait dengan peningkatan kesejahteraan smallholder farmers dan masyarakat
miskin pedesaan, peran wanita, bencana
alam, dan perubahan iklim pada forumforum internasional, seperti antara lain: (i)
World Trade Organization (WTO); (ii) Cairns
Group; (iii) Common Fund for Commodities
(CFC); (iv) International Coffee Organization
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 27
Diplomasi MULTILATERAL
(ICO); (v) International Cocoa Organization
(ICCO); (vi) International Sugar Organization
(ISO); (vii) International Tropical Timber
Organization (ITTO); (viii) International
Pepper Community (IPC); dan (ix) Indian
Ocean Tuna Commission (IOTC);
adil mengalami hambatan dari negaranegara maju yang menolak melepascan
subsidi dan subsidi ekspor bagi sektor
pertaniannya.
Pada setiap forum multilateral dan forum lainnya terkait ketahanan pangan,
diplomasi Indonesia ditujukan bagi upaya
tersedianya jaminan akses untuk mendapatkan bahan makanan, diversifikasi pangan, mencegah dampak buruh perubahan
iklim, volatilitas harga pangan global,
kesempatan memperoleh pelatihan dan
peningkatan kapasitas, serta investasi
pertanian. Secara khusus, diplomasi ketahanan pangan Indonesia di bidang perdagangan internasional diarahkan pada perjuangan liberalisasi perdagangan produk
pertanian melalui penghapusan subsidi
ekspor, pengurangan subsidi domestik, dan
peningkatan akses pasar. Belum terselesaikannya perundingan WTO-Putaran Doha
mengakibatkan berbagai praktek subsidi
dan subsidi ekspor di negara-negara maju
masih akan berlanjut.
Indonesia turut aktif mendorong upaya
ketahanan pangan global melalui forum G20
dengan menyerukan agar negara-negara
anggota tidak memberlakukan kebijakan
hambatan ekspor untuk keperluan kemanusiaan ataupun darurat pangan. Pada pertemuan Menteri Pertanian G20, Indonesia
menggarisbawahi bahwa tujuan utama kerja
sama G20 harus difokuskan pada upaya
peningkatan food and nutrition security,
pertanian yang berkesinambungan, dan
pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani, khususnya smallholder farmers. Indonesia mengusulkan agar
strategi untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan pengembangan riset dan
inovasi, policy coherence serta mendorong
public-private partnership (PPP). Indonesia
menekankan pula pentingnya dilakukan
pengembangan bio-teknologi, post-harverst
technology, geo-monitoring, dan kerja sama
antar lembaga riset internasional.
Indonesia selalu aktif memperjuangkan
sistem perdagangan internasional yang
terbuka, khususnya untuk produk pertanian
dan menunjang keamanan pangan. Indonesia berkeyakinan bahwa tatanan perdagangan dunia mempunyai andil yang besar
dalam menciptakan ketahanan pangan
dunia. Disesalkan pula bahwa upaya menciptakan tatanan perdagangan dunia yang
28
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
B.
G20
Menanggapi pendapat yang berbeda
dari beberapa negara anggota G20 mengenai cadangan pangan yang dapat mendistorsi pasar, Indonesia berpandangan bahwa
mekanisme cadangan pangan untuk keamanan pangan dapat dilakukan secara efisien.
Argumentasi yang diberikan adalah bahwa
Diplomasi MULTILATERAL
cadangan pangan tidak dilakukan melalui
stock-pilling, tetapi berupa komitmen
pasokan bahan makanan pada keadaan
darurat. Beberapa negara menunjukkan
keengganan mengenai usulan emergency
food reserve karena khawatir adanya kemungkinan distorsi pasar serta tidak efisien.
Sekalipun demikian, negara anggota G20
dapat mendukung usulan agar ekspor
pangan bagi program kemanusiaan tidak
dikenakan trade block, kuota, ataupun tarif.
Indonesia sepenuhnya mendukung implementasi G20 Action Plan yang menyerukan upaya global untuk mengatasi volatilitas
harga bahan pangan serta ketahanan pangan. Indonesia, didukung oleh Perancis dan
Amerika Serikat, mengharapkan agar isu
pertanian dapat terus menjadi agenda G20
ke depan dan perlunya monitoring secara
reguler terhadap implementasi rencana aksi
dimaksud. Indonesia juga menyambut baik
capaian konkrit Action Plan, antara lain
pembentukan AMIS (Agriculture Market
Information System); Rapid Response
Forum; International Research Initiative for
Wheat Improvement; dan Global Agriculture
Geo-Monitoring Initiative.
C.
Forum Lainnya
Diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan juga dilakukan di forum APEC,
ASEAN, dan sejumlah kerja sama bilateral
Indonesia dengan negara-negara mitra.
Dalam berbagai forum tersebut, kerja sama
di bidang ketahanan pangan diarahkan pada
upaya kerja sama yang konkrit dan memberikan dampak yang positif terutama bagi
peningkatan kesejahteraan petani dan
masyarakat miskin pedesaan.
Upaya Diplomasi Multilateral Ketahanan
Pangan di Masa Mendatang
Dari berbagai kegiatan diplomasi multilateral di bidang ketahanan pangan, dapat
ditarik beberapa aspek yang perlu diupayakan melalui diplomasi. Pada intinya, kemitraan internasional menjadi faktor kunci
dalam diplomasi di bidang ketahanan
pangan nasional Indonesia untuk memajukan kepentingan nasional dan turut mendorong upaya menciptakan tata kelola dunia
yang adil dan seimbang di bidang perdagangan, alih teknologi, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Oleh
karena itu, perlu ditingkatkan kerja sama
multilateral dan kerja sama internasional
lainnya terkait dengan ketahanan pangan
nasional. Di sisi lain, diplomasi Indonesia
juga hendaknya ditujukan pada kemitraan
internasional di bidang pencegahan dampak
dari volatilitas harga pangan.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan, upaya tersebut dapat diperkuat melalui
kegiatan riset pertanian dan pengembangan
bio-teknologi. Peranan diplomasi Indonesia
sangat penting mengingat pengembangan
riset pertanian dan pengembangan bioteknologi harus juga dilakukan melalui
kemitraan internasional. Diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan hendaknya
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 29
Diplomasi MULTILATERAL
mampu mengartikulasi keperluan riset dan
pengembangan pertanian yang tengah
digalakkan di dalam negeri. Kemitraan
internasional, khususnya dalam rangka
pengembangan bio-teknologi perlu diarahkan pula pada pendanaan dan alih teknologi.
Selain itu, diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan hendaknya dapat
memberikan manfaat bagi upaya Indonesia
yang tengah menata kembali manajemen
nasional di bidang pertanian, upaya peningkatan produk melalui pengembangan bioteknologi, kedaulatan pangan, rantai komersial produk pangan yang transparan dan
berkeadilan, dan peningkatan kesejahteraan
petani dan masyarakat miskin. Termasuk
upaya diplomasi untuk mendorong masuknya sumber pangan protein dari sektor
perikanan sebagai salah satu pilar ketahanan pangan di dalam pembahasan di FAO
dan organisasi multilateral lainnya.
Di sisi lain, diplomasi perdagangan Indonesia terkait dengan ketahanan pangan
harus berorientasi pada kepentingan produsen dan konsumen dalam negeri, antara lain
dengan memperhatikan keunikan kebutuhan
dalam negeri seperti jadwal panen dan
kebutuhan pangan di hari raya. Kegiatan
diplomasi dalam bentuk ‘forward contract’
merupakan salah satu upaya yang dapat
mengurangi risiko volatilatas harga bahan
pangan sehingga dapat mendukung upaya
nasional dalam rangka pengembangan
cadangan pangan nasional. Keunikan
Indonesia serta local wisdom di bidang
30
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
pertanian dan ketahanan pangan hendaknya
menjadi kekuatan bagi diplomasi Indonesia
dalam rangka memperjuangkan kepentingan
nasionalnya. Potensi nasional untuk meningkatkan peningkatan produksi pertanian
masih sangat besar. Diplomasi Indonesia
hendaknya dapat mendorong kemitraan
Indonesia dengan dunia internasional untuk
mengembangkan potensi-potensi yang
belum tergarap tersebut.
Dengan demikian, ketahanan pangan
tidak sekedar upaya peningkatan produksi
saja, tetapi juga menata kembali keseimbangan dan keadilan perekonomian di dalam
masyarakat Indonesia, termaksud aspek
sosial dan budaya. Kebutuhan tersebut
hendaknya dapat diterjemahkan dalam
upaya diplomasi nasional Indonesia. Selain
berbagai faktor yang perlu ditangani secara
tepat di dalam negeri, namun banyak juga
faktor-faktor eksternal yang berasal dari
dunia internasional yang perlu ditangani
sehingga volatilitas harga bahan pangan
global dapat dikendalikan. Berbagai kerja
sama internasional yang ditujukan pada
masalah volatilitas harga pangan perlu
ditingkatkan dan lebih menghadirkan hasilhasil yang nyata dan bermanfaat langsung
bagi ketahanan pangan dunia.
Kesimpulan: Tantangan Diplomasi Ketahanan Pangan
Isu mengenai ketahanan pangan global
merupakan suatu persoalan yang kompleks
dan terkait erat dengan aspek ketersediaan,
Diplomasi MULTILATERAL
seperti produksi dan distribusi serta akses
terhadap produk pangan. Kebuntuan perundingan Putaran Doha WTO sampai saat ini
akan menyebabkan negara-negara kembali
memberlakukan kebijakan proteksionisme,
melalui penerapan subsidi domestik dan
subsidi ekspor. Akibatnya, sektor pertanian
tetap menjadi bagian dari perdagangan
dunia yang paling mengalami distorsi
perdagangan.
Kondisi ini diperburuk oleh volatilitas
harga pangan dan komoditi di pasaran,
akibat dari tindakan beberapa negara yang
melakukan kebijakan export prohibition or
restriction. Tantangan untuk menciptakan
sistem perdagangan bebas yang terbuka
juga disebabkan permasalahan sanitary and
phytosanitary (SPS) serta berbagai ketentuan teknis lainnya termasuk persyaratan
terkait food labelling yang terlalu ‘ketat’ bagi
negara berkembang.
Indonesia terus menggalakkan
upaya diplomasi untuk mendorong dilanjutkannya perundingan yang telah dilakukan
selama ini. Di dalam WTO Ministerial Conference bulan Desember tahun 2011, Pemerintah Indonesia bersama negara berkembang lainnya mendorong dilakukannya
genuine reform sektor pertanian sesuai
dengan mandat Doha Development Agenda.
Melalui upaya diplomasi negara-negara
maju perlu didesak agar menghentikan
kebijakan proteksionisme. Indonesia bersama negara berkembang lainnya akan mendorong agar penerapan technical barrier to
trade (TBT) dilonggarkan.
Diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan ketahanan pangan global dan
nasional dapat lebih dioptimalkan melalui
dukungan para pemangku kepentingan
nasional, mencakup kementerian dan
lembaga teknis terkait seperti sektor pertanian dan ketahanan pangan, lingkungan
hidup, perdagangan, perindustrian, energi,
keuangan maupun kelompok masyarakat
pelaku pertanian dan perkebunan, asosiasi
eksportir produk pertanian dan komoditi,
importir bahan makanan, dan akademisi.
Dukungan ini harus disertai pula oleh ketersediaan infrastruktur, ketersediaan data
mengenai peta kerawanan pangan, statistik
dan data produksi pertanian terkini, kapasitas riset bidang bio-teknologi, dan upaya
peningkatan produksi serta kapasitas
sumber daya manusia yang memadai
sehingga melalui optimalisasi peran diplomasi, sasaran ketahanan pangan nasional
dapat tercapai.
-----* Direktur Perdagangan,
Investasi, dan HKI
Perindustrian,
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 31
Diplomasi MULTILATERAL
OKI SERIUS GARAP ISU HAM,
INDONESIA BERPERAN SIGNIFIKAN
Oleh: Direktorat HAM & Kemanusiaan & Direktorat Sosbud OINB
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kini
mulai serius menggarap isu Hak Asasi
Manusia (HAM). Keseriusan ini tampak
dalam pertemuan pertama Komisi Permanen
dan Independen Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OIC-Independent
Pemanent
Human
Rights
Commission/IPHRC), atau biasa disebut Komisi HAM
OKI, di Jakarta tanggal 20-24 Februari 2012
lalu. Sebanyak 17 Komisioner dari 18
anggota Komisi, wakil dari 24 negara OKI,
dan 2 wakil dari negara observer hadir dan
aktif dalam kesempatan tersebut. Bahkan,
pakar-pakar internasional di bidang HAM
dan anggota-anggota organisasi masyarakat sipil turut meramaikan pertemuan
tersebut.
OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab
Saudi, dengan 57 negara anggota ini merupakan organisasi internasional terbesar
kedua setelah PBB. Semula organisasi ini
bernama Organisasi Konferensi Islam
(Organization of Islamic Conference/OIC),
namun pada 28 Juni 2011 berganti nama
menjadi Organisasi Kerja Sama Islam
(Organization of Islamic Cooperation/OIC).
Komisi HAM OKI sendiri dibentuk pada
Pertemuan Tingkat Menteri (Council of
Foreign Ministers/CFM) ke-38 di Astana
bulan Juni 2011.
32
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Di awal kiprahnya ini, Komisi HAM OKI
di pertemuan yang pertama mulai menggodok secara komprehensif draf rule of procedure (tata kerja) dan mandat mereka. Para
Komisioner juga membahas hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya di
negara-negara anggota OKI serta situasi
dan isu HAM di Agenda OKI. Situasi di
Palestina dan wilayah okupasi Arab lainnya
pun juga ditetapkan menjadi agenda permanen Komisi. Tentunya hal ini tidak terlepas
dari alotnya pembahasan untuk isu-isu yang
sulit disepakati, misalnya tentang hubungan
antara standar dan prinsip HAM universal
dengan nilai-nilai Islam.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Bapak
Wardana, dalam sambutannya menyampaikan harapan Indonesia agar Komisi HAM OKI
dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong reformasi proses transformasi OKI
untuk menjadi organisasi yang efektif.
Komisi ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang
kompatibilitas nilai-nilai Islam, HAM, dan
demokrasi. Indonesia pun siap berikan
dukungan penuh terhadap Komisi ini agar
apat bekerja secara efektif dan kredibel.
Sementara Sekjen OKI YM Ekmeleddin
Ihsanoglu turut menggarisbawahi bahwa
pembentukan Komisi HAM OKI merupakan
Diplomasi MULTILATERAL
suatu tonggak capaian penting dalam
sejarah kerja sama OKI selama 40 tahun
terakhir. Untuk pertama kalinya, OKI membentuk badan permanen yang juga merupakan organ utama OKI yang berisikan pakarpakar di bidang HAM. Ini merefleksikan
proses moderasi dan modernisasi organisasi
yang sedang berlangsung. Harapannya
organ baru ini dapat mengatasi berbagai
persoalan dan kesalahpahaman yang kerap
berujung pada pada Islamofobia.
Menarik untuk mengamati peranan Indonesia dalam Komisi HAM OKI yang tampak cukup menonjol. Pertama, Indonesia
menjadi tuan rumah untuk Pertemuan
Pertama. Kedua, komisioner perempuan dari
Indonesia, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin,
didaulat sebagai chairperson interim dalam
pertemuan tersebut. Hal ini memberikan
warna sendiri bagi Indonesia sebagai negara
berpenduduk mayoritas Muslim yang menerapkan demokrasi, namun mampu melahirkan tokoh perempuan yang sanggup berkontribusi di level global dan berperan
dalam memimpin negara-negara Islam
lainnya untuk mencari terobosan dalam
suatu isu yang dipandang sangat krusial di
dunia internasional.
Terlebih lagi, dengan berbagai fasilitas
yang dimiliki serta keberhasilan memadukan
demokrasi, HAM, dan Islam, Indonesia dinilai
paling tepat sebagai markas tetap bagi
Kantor Komisi HAM OKI. Beberapa komisioner bahkan secara informal sempat
menyampaikan harapan agar Pertemuan
Tingkat Menteri OKI ke-39 mendatang dapat
menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah
Kantor Komisi HAM OKI.
Dari aspek nilai taktisnya, pertemuan
pertama ini telah dapat memberikan landasan awal bagi kerja Komisi HAM OKI di masa
mendatang serta membangun interaksi yang
intensif dan saling percaya antaranggota
Komisi HAM OKI. Komisi pun telah tetapkan
agenda rutin dan prioritas agenda berikutnya, antara lain: hak-hak wanita dan anakanak, hak atas pembangunan, hak atas
pendidikan, isu-isu HAM pada agenda OKI,
dan kerja sama dengan negara anggota OKI
dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
Sedangkan, dari aspek nilai strategisnya, pertemuan tersebut telah mampu
menyedot perhatian besar dari civil society
serta media nasional dan internasional.
Berbagai pemberitaan media massa banyak
menyorot keberhasilan Komisi HAM OKI
dalam menampilkan komisioner perempuan
(Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin) sebagai Ketua
Komisi dan ungkapan harapan terhadap
kontribusi Komisi bagi kemajuan HAM di
negara-negara OKI.
------
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 33
Diplomasi MULTILATERAL
PERAN INDONESIA PADA KERJA SAMA
DEVELOPING-EIGHT (D-8)
Oleh: Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang
Latar Belakang
Sebagaimana namanya, DevelopingEight (D-8) didirikan oleh delapan negara
berkembang dengan jumlah penduduk
muslim besar, yaitu Bangladesh, Mesir,
Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Turki dan
Pakistan. Jika dilihat dari struktur penduduknya, organisasi ini memiliki populasi
60% dari jumlah masyarakat muslim di
seluruh dunia atau sekitar 14% dari total
populasi dunia. Ide mengenai pembentukan
D-8 (Developing-Eight) dicetuskan oleh Dr.
Necmetin Erbakan, mantan Perdana Menteri
Turki, di dalam seminar tentang Kemitraan
dalam Pembangunan, bulan Oktober 1996 di
Turki yang kemudian berlanjut menjadi
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 ke-1
yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juni
1997 di Istanbul, Turki. KTT ini selanjutnya
menghasilkan Deklarasi Istanbul yang
digunakan sebagai dasar pembentukan
organisasi ini.
Di awal pembentukannya, D-8 berfokus
pada upaya menghimpun kekuatan negaranegara berpenduduk muslim dalam memperkuat ekonominya serta menghadapi
sikap bias yang diterapkan oleh negaranegara Barat. Kedelapan negara yang juga
merupakan anggota Organisasi Konperensi
Islam (OKI), dalam perkembangannya
34
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
menilai bahwa kerja sama yang dilakukan
dalam struktur OKI kurang efektif dalam
menghadapi berbagai tantangan, utamanya
di bidang kerja sama perdagangan dan
perekonomian.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan komposisi dan daya saing negara
anggotanya di berbagai kelompok kawasan,6
maka kerja sama D-8 diharapkan dapat
lebih mempercepat laju pertumbuhan
perekonomian anggotanya sekaligus meningkatkan daya tawar kelompok ini pada
sistem perdagangan dunia.
Selain keanggotaan negara D-8 dalam
berbagai forum, besarnya kekayaan alam
dan potensi lain yang dimiliki negara-negara
anggota D-8 diharapkan dapat memperkuat
berbagai sektor penting di dalam negeri
sehingga dapat meningkatkan pembangunan nasional di masing-masing negara.
Pada penyelenggaraan KTT D-8 di tahun
6
Misalnya, Indonesia dan Malaysia adalah anggota
ASEAN, G-15, APEC, ASEM, IOR-ARC (Indian
Ocean Rim Association for Regional Cooperation)
dan FEALAC (Forum for East Asia and America
Latin Cooperation); Indonesia dan Turki adalah
anggota G20; Bangladesh dan Pakistan anggota
SAARC, Iran anggota IOR-ARC, Mesir anggota
Arab League dan Nigeria adalah anggota African
Union dan ECOWAS (Economic Community of
West African States).
Diplomasi MULTILATERAL
2004 telah dihasilkan komitmen untuk
meningkatkan kerja sama intra-trade melalui penyusunan 3 (tiga) perjanjian utama D8, yaitu Perjanjian Perdagangan Terpilih
(Preferential Trade Agreement, PTA), Perjanjian Visa, dan Perjanjian Bea dan Cukai
(Customs). Ketiga perjanjian ini selanjutnya
ditandatangani pada saat KTT D-8 ke-5
yang dilaksanakan di Bali, Indonesia pada
tahun 2006.
Di bawah keketuaan Indonesia, (20062008), D-8 berhasil memfokuskan dan
meningkatkan kegiatannya melalui D-8
Roadmap 2008-2018 yang menetapkan 5
bidang sasaran sebagai prioritas, yaitu
Trade, Agriculture & Food Security, Industrial
Cooperation & SMEs, Transportation dan
Energy & Mineral, tanpa mengabaikan
sektor-sektor potensial lainnya. Melalui
roadmap tersebut diharapkan perdagangan
intra negara anggota dapat mencapai 1520% dari total perdagangan dunia di akhir
tahun 2018.
Catatan penting lain yang ditorehkan
Indonesia pada masa keketuaannya adalah
disepakatinya wakil Indonesia sebagai
Sekretaris Jenderal D-8 pertama pasca
diterimanya perubahan struktur Sekretariat
D-8 dari bentuk Direktur Eksekutif menjadi
Sekretaris Jenderal. Setelah memimpin
masa ad-interim, Dr. Dipo Alam terpilih
menjadi Sekjen pertama dengan masa
jabatan 2009-2012. Namun demikian,
ditengah masa jabatannya yang bersangkutan terpilih menjadi Menteri Seskab dan
jabatan Sekjen dilanjutkan oleh Dr. Widi
Pratikto hingga akhir tahun 2012.
Apa Manfaat D-8 bagi Indonesia?
Dari catatan yang dimiliki Kementerian
Perdagangan, volume intra-trade D-8 pada
tahun 2010 mencapai 100 miliar USD atau
baru sekitar 7% dari total volume perdagangan yang dilakukan negara-negara anggota
D-8 secara keseluruhan. Namun demikian,
sejak tahun 2006, perdagangan Indonesia
terhadap negara-negara D-8 mengalami
kenaikan sebesar 9,6%, bahkan pada beberapa negara dapat mencapai 12-14 %. Jika
target road-map untuk mencapai target USD
2,8 triliun di tahun 2020 dapat tercapai,
maka pangsa pasar D-8 dapat menjadi
alternatif utama bagi mitra dagang nasional.
Hal ini tentunya sesuai dengan kebijakan
yang ditempuh Pemerintah.
Manfaat lain yang diperoleh Indonesia
adalah meningkatnya daya tawar (leverage)
kelompok ini dalam berbagai fora di sektorsektor yang memiliki perhatian bersama.
Dalam pertemuan komisioner di Abuja awal
Maret lalu, Indonesia telah mengusulkan
agar D-8 dapat mencermati kemungkinan
dilakukannya posisi bersama di berbagai
forum multilateral, khususnya di sektor
terkait di Jenewa, New York, Wina, Nairobi
dan Roma sebagai langkah awal dalam
memperkuat kebersamaan D-8. Adanya
perumusan posisi bersama ini juga diharapkan dapat menjadi strategi alternatif
disamping strategi Indonesia bersama
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 35
Diplomasi MULTILATERAL
kelompok lain sehingga sinergi dari negara
berkembang menjadi strategi yang lebih
melengkapi dan komprehensif.
Kelemahan D-8
Dalam pembahasan mengenai kerja
sama D-8 dengan pemangku kepentingan
yang dilakukan oleh Dit. Sosbud OINB
beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa
salah satu kelemahan dalam kerja sama ini
adalah belum diikutsertakannya negaranegara muslim-Arab yang berlimpah dana
seperti Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan
Bahrain. Selain itu, masing-masing anggota
D-8 masih bebas bertindak secara unilateral
tanpa terpengaruh oleh anggota lain. Catatan ini diharapkan nantinya dapat diminimalkan oleh D-8.
Potensi Andalan Lain
Adapun potensi lain yang belum tergarap dalam kerja sama ini adalah pasar
syariah dan pengembangan industri keuangan serta perbankan Islam, pengembangan
industri halal, pembiayaan syariah bagi
infrastruktur dan pengembangan sektor
wakaf dan zakat untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh,dalam catatan penelitian yang dilakukan
oleh Universitas Indonesia, aset industri
keuangan syariah akan mencapai USD 8,60
triliun di tahun 2023. Sementara, untuk
industri halal saat ini telah mencapai USD
2,3 triliun yang terdiri dari makanan minuman (67%), farmasi (22%) dan kosmetik
36
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
(10%). Sangat disayangkan justru pengembangan industri halal saat ini didominasi
oleh pelaku dari negara non-muslim seperti
Nestle, Mc Donalds, Tesco & Carrefour serta
Port Rotterdam.
Kesimpulan
Sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia sepatutnya terus meningkatkan peran sertanya
dalam memperkuat kerja sama alternatif
semacam D-8 dalam strategi nasionalnya.
Melalui peran serta ini diharapkan kebutuhan akan pembiayaan infrastruktur dan
permodalan lain yang selama ini menjadi
beban nasional kiranya dapat teratasi.
Di masa depan, D-8 dituntut keberadaannya untuk memperkuat kualitas dan
kuantitasnya dalam berbagai kegiatan yang
seharusnya menjadi milik D-8. Industri halal
dan sistem perekonomian syariah sudah
sepatutnya menjadi prioritas andalan disamping berbagai industri yang telah menjadi
kesepakatan.
Untuk itu, penguatan sumber daya manusia dan teknologi menjadi syarat penting
dalam pengelolaan kerja sama ini. Selain itu,
keikutsertaan pemangku kepentingan lain
seperti para pengusaha dan akademisi
dalam pengambilan keputusan juga dapat
meningkatkan mutu kerja sama D-8.
------
Diplomasi MULTILATERAL
LAMPIRAN:
UN SECRETARY GENERAL’S LECTURE AT THE INDONESIA
PEACE AND SECURITY CENTRE, 20 MARCH 2012
Your Excellency, President Susilo Bambang
Yudhoyono,
Your Excellency Minister of Defense Yusgiantoro,
Your Excellency Minister of Foreign Affairs
Marty Natalegawa
Brigadier General Iman Eddy Commander of
the Indonesia Peace and Security Centre,
Peacekeepers,
Peacekeepers in training,
Members of the diplomatic corps,
Ladies and Gentlemen,
around the world, who has served as a
peacekeeper.
Garuda!
You have answered the call of service.
How about one more time this time louder!
Garuda!
I thank you.
This is an impressive Centre. I would like to
highly commend the visionary leadership of
President Yudhoyono to have established
this excellent training and peace and security centre. I hope that this training and peace
and security centre will provide many
countries, not only in this region, but all
members who are contributing to peacekeeping operations to peacekeeping, something that they will fully utilize. This is a long
vision. This is what we need. And I really
thank His Excellency President Yudhoyono.
It’s only natural: when you think of President
Yudhoyono, he is the only world leader, all
Excellencies, ladies and gentlemen,
It is a special privilege as Secretary-General
of the United Nations to meet so many
distinguished military leaders, and also,
more importantly, many troops who have
contributed to peace and security around
the world.
You are the very frontline of our work for
peace.
This morning, I had a very constructive
discussion with President Yudhoyono,
covering all areas in peace and security
matters, and I’m very happy to visit this
centre where you train yourselves to contribute to the maintenance of peace and
security, and to the United Nations. I deeply
appreciate it.
President Yudhoyono, to us in the UN family,
you will always be a Blue Helmet.
Thank you very much again.
Many of you have deployed to our missions
around the world. All these missions are very
difficult to serve, and very dangerous.
Unfortunately, 31 Indonesia men and wom-
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 37
Diplomasi MULTILATERAL
en have paid the ultimate price, and I pay my
deepest respect to them and to the families
of these sacrificed soldiers.
I am sure that by my visit here, I will learn a
great deal from you.
But today I want to share my perspective on
the challenges we face and what we are
doing to meet them.
Peacekeeping is not mentioned anywhere in
the United Nations Charter. But since the
days of my distinguished predecessor Dag
Hammarskjöld, peacekeeping has been a
flagship United Nations activity.
We now have nearly 120,000 peacekeepers
serving all around the world, in 15 missions
at this time.
The blue helmet is a symbol of hope.
I have seen first-hand how peacekeepers
make a real difference in people’s lives.
When conflicts rage, children are out of
school for years, until our peacekeepers
come and make it safe to go back to class.
Peacekeepers build bridges – physical
bridges to cross rivers, and to cross over
broken roads, but more importantly they
bridges of trust across communities.
They help reclaim land poisoned with mines
so farmers can plant crops.
In scores of communities, peacekeepers
provide free medical care to local people.
Most of those people have never been to a
hospital or to a clinic in their life, except
38
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
when they are treated by peacekeepers,
including Indonesians.
In disasters, our peacekeepers rescue
people from wreckage and help get aid to
survivors.
Our Indonesian troops are doing their part.
Some of you have served in Darfur, in Africa.
On my way here, I read about one incident
there.
Indonesian UN troops were sent to protect
internally displaced people in Darfur.
You may know – the Indonesian peacekeepers were not welcomed when they first
arrived.
Some threw stones at the blue helmets. One
Indonesian captain explained, the displaced
people “did not know that we came to
protect them.”
The peacekeepers needed trust – but they
could not demand or request it – they had to
earn the trust of the people by leading by
example.
These Indonesian troops – like our blue
helmets everywhere – showed courage and
compassion. That changed everything. They
earned hearts and minds, as we saw in the
video.
When a pregnant Sudanese woman in Darfur
needed emergency medical care, the Indonesian ambulance rushed to help her. When
the Sudanese military blocked the ambulance from leaving the camp, our Indone-
Diplomasi MULTILATERAL
sians insisted until they got that woman to
the hospital.
Many countries that once hosted UN troops
now contribute them.
You could say this was just a small service
for one pregnant woman – but it meant a
lot.
What drives our peacekeepers’ work is an
appreciation of this pact we call burdensharing.
It was much more than a small service.
Helping that woman was a brick in the
foundation of a solid relationship between
the people whom you sent to protect and the
peacekeepers. You built the bridge between
the United Nations and the people of Darfur.
Peacekeeping does cost – but let us put this
in perspective. More than sixty years of
United Nations peacekeeping cost far less
than what the world spends on the military
in under six weeks.
Everywhere our staff builds trust.
Peacekeeping is a global partnership between these uniformed and civilian staff in
the field, the UN Security Council and the
Member
States.
Peacekeeping brings together countries
large and small, rich and poor. Even former
foes serve in common cause under the UN
flag.
In Lebanon, Indonesia has a ship as part of
the UN Maritime Task Force. I really appreciate that valuable contribution.
That Indonesian vessel sails alongside ships
from Bangladesh, Brazil, Germany, Greece
and Turkey.
Indonesia has nearly 1,400 peacekeepers
serving in Lebanon. It is one of 37 different
countries that send troops to that mission.
This is a remarkable expression of international solidarity – and it is just one example
among 15 UN peacekeeping operations
around the world.
Peacekeeping is a wise investment that
brings huge returns.
All States can contribute. We need personnel, equipment, funds and ideas.
I thank the Government of Indonesia, along
with the United States, Australia and the
Republic of Korea, my own country, for
supporting this Centre.
I also appreciate regional engagement by
ASEAN, which has shown a great commitment to peacekeeping. I am encouraged by
this region’s efforts to network its peacekeeping training centres. This has great
potential to strengthen Asia’s contribution
to peacekeeping.
Just last month, ASEAN and the UN held a
workshop together in Jakarta on conflict
prevention, peacemaking and peacebuilding.
The United Nations is committed to strengthening this collaboration.
Ladies and gentlemen,
More and more, UN peacekeepers are called
on to protect civilians from violence.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 39
Diplomasi MULTILATERAL
This is the focus of more than half of our
peacekeeping missions, including those in
Darfur, South Sudan and the Democratic
Republic of the Congo.
We go into volatile environments with a
daunting task: to build lasting peace.
We can only succeed when our people can
act quickly and flexibly.
They need the latest technology and tools to
get the job done.
In peacekeeping jargon, we speak of “enablers and multipliers.”
Not many people understand what that
means.
Let me break that down.
These are the helicopters, engineering units
and the military medical hospitals that make
it possible for troops to do more than they
could
on
their
own.
Think of South Sudan. The newest nation on
Earth. The latest Member State of the United
Nations. It was mired in a war that killed
over two million people and sent twice as
many fleeing from their country. Two million
people were killed, and four million people
left their country.
South Sudan is roughly twice the size of
Malaysia, but it has less than 100 kilometres
of paved roads. When I visited South Sudan I
was so humbled. There are no roads, in such
a huge country. Darfur is the size of France.
Again, there are not many roads where cars
can travel. When you need to deploy troops
40
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
you need helicopters, you need airplanes.
Without them, they can’t move around.
That’s what we call enablers, enabling our
soldiers to work properly. I asked President
Yudhoyono whether the Indonesia Government might consider contributing helicopters to our peacekeeping operations, and I
hope that he will consider positively.
I am constantly calling on Member States
that have helicopters to provide them to our
missions.
I am also calling for more military engineers.
They pave roads where there are none to
help our peacekeepers move from point A to
point B.
And years after the blue helmets leave, the
roads are still there, for reconstruction,
development and daily life, for their own
people.
Excellencies, ladies and gentlemen,
I place great importance on training for
peacekeeping.
When a soldier or a police officer deploys to
a UN mission she or he has a sacred duty.
They go where civilians are traumatized.
In many cases, innocent men, women and
children have suffered at the hands of
soldiers and other fighters.
Peacekeepers have a special duty to show
that the United Nations respects and protects human rights, and protect the lives of
the civilian population.
Diplomasi MULTILATERAL
That is why your individual conduct is so
critical to our global mission.
will host a UN course on gender in peacekeeping next month.
I have praised the heroic acts of our peacekeepers who serve with honour. They make
us all proud.
I feel strongly that all headquarters and
peacekeeping personnel should receive this
training.
But I have to speak very frankly that there
are some people that bring shame to our
peacekeeping operations. I have to make
this equally as forceful. I am not talking
about Indonesia. I’m talking about the tiny
minority of peacekeepers who harm the very
people they were sent to protect. They
disgrace their countries and the United
Nations, and undermine the good work of
peacekeepers.
At the same time, we have to do more to
recruit women.
I welcome the attention to this problem by
Member States. I welcome the scrutiny. I
welcome anything that sheds light on
misconduct and abuse, because they thrive
in the darkness of silence and shame.
We are working to knock out this problem
with a one, two, three punch.
One: prevent misconduct. Training is a big
part of that. And education is big part of it
too.
Two: enforce UN standards. This means
investigating allegations and acting on every
single one that proves true.
And three: take remedial action by helping
victims.
We are also pushing hard for gender sensitivity training. I am grateful that this Centre
As Secretary-General I have dramatically
increased the number of women heading
peacekeeping missions. And I am recruiting
more women across all ranks.
When I first became Secretary-General there
were no women peacekeeping heads. Now
we have seven women who are commanding
peacekeeping operations. Women make up
almost 30 per cent of our civilian staff in
peacekeeping operations but only 9 per cent
of all UN police, and just 4 per cent of our
military are women. Now, our target is by
2020, to increase the number of women
police by 20 per cent.
We have to improve those numbers. We
have to have more women police officers.
Not for the sake of quotas or setting examples or even for the principle of gender
equality. But they do better, particularly
when it comes to sexual violence. Many
women are afraid to report this kind of
violence to male peacekeepers and officers.
When they see female police officers and
peacekeepers they feel much more comfortable in coming out and reporting these
cases. So that the United Nations can help
with the process of accountability – those
perpetrators should be brought to justice.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 41
Diplomasi MULTILATERAL
That’s a fundamental principle of democracy
and of maintaining these peacekeeping
operations.
Excellencies, Ladies and gentlemen,
You are carrying on a great name: Garuda.
The Garuda, the soaring eagle, is the symbol
of Indonesia.
And Garuda is what they called the first
Indonesian contingent sent to the Middle
East in 1956.
Since those early days, the Garuda have
been deployed to the toughest UN missions:
in Cambodia, Bosnia, Somalia, Lebanon, and
beyond.
Many of you will deploy to complex environments.
You will bring your training, your abilities
and your sense of responsibility to continue
the legacy of those who have gone before
you.
As Secretary-General I have been paying a
lot of attention to peacekeeping, because I
have my own experiences as a young boy,
growing up after the Korean War. I have seen
the flags and role of the United Nations in
Korea. The United Nations flag, and United
Nations peacekeepers – the United Nations
itself -- was the beacon of hope for all
Korean people at that time. They came and
rescued us from the aggression of communists, they rebuilt our country, and they
42
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
educated us. They made our society and our
communities build back better. That’s why
I’m now standing here as Secretary-General
of the United Nations: only owing to such
great and generous help, and sacrifice, of
the United Nations.
Whenever I travel in many countries, whenever I visit peacekeeping operations, I
always tell them: “Please have a bigger
sense of hope, don’t despair! It may be very
difficult for you. But look at me. As a young
boy, I was very poor. We were almost on the
verge of collapse of the country. But because there was the United Nations, because there is still the United Nations, you
can have hope and you can build back better
in your country. This is my message to you.”
In Indonesia, as one of the emerging countries, you have a moral and a political responsibility to help those people. You have
risen from very difficult… I know how difficult a process you have come through, in
terms of national security, in terms of
democratic reform, you have struggled to
have your country democratized, and you
have such a great leader in President Yudhonyono.
Ladies and gentlemen, please know you are
not alone. You carry high hopes from the
communities you serve – and great expectations from our wide world. Thank you very
much.
Garuda! Terima Kasih
Diplomasi MULTILATERAL
SEKILAS INFO MULTILATERAL
JANUARI-MARET 2012
Parlemen Negara-negara Islam Dorong Demokrasi dan Keadilan
Parlemen negara-negara Islam yang tergabung dalam PUIC (Parliamentary Union of OIC
Member States) harus terus mendorong nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemakmuran
agar PUIC dapat menjadi organisasi yang lebih efektif dan dapat meningkatkan kontribusi
dalam penyelesaian masalah-masalah global. Hal itu merupakan intisari dari tema “Demokrasi, Keadilan, dan Kemakmuran” dalam konferensi Pertemuan PUIC yang diselenggarakan
di Palembang, 24-31 Januari 2012. Pertemuan dibuka oleh Presiden SBY dan diberi sambutan oleh Executive Committee PUIC Hidayat Nur Wahid.
Evaluasi Penanggulangan HIV/AIDS di Kawasan Asia Pasifik
Sebuah pertemuan internasional untuk mengevaluasi penanggulangan HIV/AIDS di kawasan
Asia Pasifik diselenggarakan di Bangkok, Thailand, pada tanggal 6-8 Februari 2012. Bertajuk
Asia-Pacific High-Level Intergovernmental Meeting on the Assessment of Progress against
Commitments in the Political Declaration on HIV/AIDS and the MDGs, pertemuan tersebut
membahas mengenai evaluasi pelaksanaan Political Declaration on HIV/AIDS and MDG.
Selain itu, pertemuan ini juga mengidentifikasi kerja sama kawasan dalam bidang kebijakan
dan legislasi terhadap akses universal untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan
HIV/AIDS, serta memajukan dialog multi-sektoral di antara sektor kesehatan dan sektorsektor lain seperti hukum, pengawasan obat.
Pemberdayaan Perempuan dalam Gerakan Non-Blok
Kerja sama teknik selatan-selatan serta upaya pemberdayaan perempuan merupakan salah
satu isu yang menjadi perhatian utama dalam pertemuan 3rd Ministerial Meeting on The
Advancement of Women di Doha, Qatar, 12-14 Februari 2012. Dalam pertemuan tersebut,
seluruh delegasi sepakat memberikan dukungan kepada Gerakan Non-Blok untuk memperkuat kerja sama teknik di antara kelompok negara Selatan-Selatan, termasuk pemanfaatan
peran GNB Center di Jakarta dalam kerangka pemberdayaan perempuan dan isu-isu pembangunan.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 43
Diplomasi MULTILATERAL
Sosialisasi Lowongan Kerja di Organisasi Internasional
Untuk memberikan wawasan kepada para mahasiswa mengenai kesempatan bekerja pada
organisasi internasional, Ditjen Multilateral menyelenggarakan seminar dan pameran bertema “Peluang Bekerja pada Organisasi Internasional” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
pada tanggal 28 Februari 2012. Para mahasiswa yang hadir berasal dari berbagai kampus di
Palangkaraya, seperti Universitas Palangkaraya, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya,
STMIK Palangkaraya, STAIN Palangkaraya, Akademi Kesehatan, dan Universitas PGRI
Palangkaraya. Total peserta mencapai sekitar 383 orang. Dalam acara tersebut, peserta
dibekali dengan materi mengenai kesempatan bekerja di organisasi internasional, termasuk
prosedur dan persyaratannya. Acara ini juga sekaligus sebagai sosialisasi kepada putra/putri
daerah bahwa ada peluang lain untuk bekerja di luar negeri selain sebagai unskilled worker.
Optimalisasi Peran Sipil dalam Manajemen Paska-konflik
Peran kapasitas sipil internasional (international civilian capacity) dalam manajemen paskakonflik dapat dioptimalkan untuk membantu negara yang mengalami konflik bangun kembali
dari keterpurukan. Hal ini mengingat negara paska-konflik seringkali kekurangan sumber
daya yang memiliki keahlian-keahlian khusus, seperti kehalian di bidang reformasi sektor
keamanan dan pembangunan fungsi yudisial, sehingga membutuhkan dukungan para ahli
dari luar. Itulah poin penting dari Regional Consultation Strengthening Partnership for
Civilian Capacities in the Aftermath of Conflict yang diselenggarakan di Bali, tanggal 1-2
Maret 2012, atas kerja sama Pemerintah Indonesia dan Norwegia. Pertemuan ini merupakan
pertemuan pertama dalam rangkaian regional consultations yang bertujuan untuk memperkuat kemitraan antara PBB dan external actors dalam rangka memungkinkan deployment
ahli sipil yang efektif dan demand-led.
Kerja Sama Internasional untuk Memerangi Perdagangan Senjata
Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan meneguhkan komitmennya untuk bersamasama melancarkan perang terhadap perdagangan senjata kaliber kecil dan ringan yang telah
berdampak buru pada situasi keamanan nasional dan internasional. Kesepakatan itu mengemuka dalam pertemuan “Regional Meeting on the Implementation of the UN Programme
of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons
(SALW) in All Its Aspects: Looking Towards the 2012 Review Conference” yang diselenggarakan di Bali, 5 – 6 Maret 2012. Pertemuan tersebut terselenggara kerja sama Kementerian
Luar Negeri RI dengan UN Office for Disarmament Office (UNODA) dan disponsori oleh
European Union.
44
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Diplomasi MULTILATERAL
Kerja Sama Internasional untuk Memerangi Narkoba
Commission on Narcotic Drugs (CND) sesi ke-55 diselenggarakan di Wina, Austria, pada
tanggal 12-16 Maret 2012 untuk membahas situasi global terkini terkait peredaran dan
perdagangan gelap narkoba serta pertukaran informasi di antara negara-negara anggota
mengenai pola dan perkembangan penanganan narkoba. Sidang tersebut dihadiri oleh
seluruh negara CND, organisasi internasional, NGOs, dan para pakar. Pertemuan tersebut
menyepakati 12 resolusi, antara lain mengenai pentingnya pengawasan terhadap new
psychotrophic substances yang tidak diatur dalam konvensi, peran perempuan dalam penanganan masalah narkoba, dan perlunya pencegahan narkoba secara komprehensif.
Persiapan KTT G20
Pertemuan Sherpa G20 diselenggarakan di Mexico City tanggal 15-16 Maret 2012 sebagai
rangkaian kegiatan persiapan menuju pertemuan KTT G20 yang akan diselenggarakan pada
18-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Pertemuan ini secara khusus membahas mengenai
situasi terakhir perekonomian global dan cara mengatasi berbagai hambatan yang ada,
tindak lanjut hasil pertemuan Menlu G20, Pertemuan Menkeu G20, dan pertemuan G20 Anti
Corruption Working Group serta pembahasan persiapan substansi pertemuan Mendag G20
dan Menaker G20 mendatang.
Peningkatan Kontribusi Indonesia dalam Menjaga Perdamaian Dunia
Indonesia meneguhkan komitmennya untuk berkontribusi bagi perdamaian dunia sesuai
amanat Konstitusi. Untuk itu Indonesia ingin memberikan sumbangsih lebih pada operasioperasi perdamaian PBB, antara lain dengan cara mengirimkan lebih banyak pasukan dan
peralatan. Hal itu mengemuka dalam kunjungan Sekjen PBB Ban Ki-moon ke Indonesia, 1920 Maret 2012. Pada kesempatan itu, Sekjen PBB juga menyampaikan apresiasi terhadap
profesionalisme dan peran kontingen perdamaian Indonesia. Selain itu dia juga mengajukan
permintaan kepada Indonesia untuk mengirimkan helikopter tempur ke berbagai misi perdamaian PBB.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 45
Diplomasi MULTILATERAL
Indikator Budaya dalam Pembangunan Global
Indikator budaya perlu dimasukkan sebagai salah satu alat ukur untuk menilai pembangunan
global, khusunya pasca-2015 setelah MDGs berakhir. Salah satu caranya adalah melalui
penerapan konsep sustainable development yang lebih luas. Hal tersebut mengemuka dalam
UN Alliance of Civilizations Group of Friends (UNAoC-GoF) Meeting yang diselenggarakan di
New York, AS, tanggal 20 Maret 2012. UNAoC yang bernaung di bawah PBB didirikan pada
tahun 2005 atas prakarsa Spanyol dan Turki dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan
kerja sama antar-bangsa dan masyarakat lintas budaya dan agama. Untuk mencapai tujuan
itu, UNAoC bekerja sama dan membangun jaringan dengan negara, oganisasi internasional,
kelompok masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Kerja Sama Membangun Pertanian Berkelanjutan
Kerja sama global dalam bidang pertanian difokuskan pada pengembangan teknologi dan
penyusunan kebijakan yang kondusif bagi pertanian berkelanjutan. Hal itu merupakan
rekomendasi dari 8th Session of the Governing Council Meeting of the Center for Alleviation
of Poverty through Sustainable Agriculture (CAPSA) yang diselenggarakan di Yogyakarta,
21-22 Maret 2012. CAPSA telah berhasil mendapatkan dana hibah guna memfasilitasi kerja
sama Selatan-Selatan dalam bidang ketahanan pangan, penurunan angka kemiskinan, dan
pertanian berkelanjutan untuk tahun 2012-2014. Dibentuk tahun 1981, CAPSA yang berbasis di Bogor, Jawa Barat, ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
ketahanan pangan di Asia dan Pasifik dengan cara mendorong pertanian berkelanjutan.
Kerja Sama Penanganan Keamanan Nuklir
Para pemimpin dunia menghadiri KTT Keamanan Nuklir di Seoul pada 26-27 Maret 2012.
Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk memastikan keamanan seluruh materi nuklir
pada 2014 dan menjaga agar bahan kimia berbahaya itu jangan sampai jatuh ke tangan
teroris. Dalam hal ini, peran PBB dan IAEA merupakan yang terdepan. Pada kesempatan itu,
Presiden SBY mengusulkan pembentukan lembaga nasional di masing-masing negara untuk
mendorong penggunaan nuklir secara damai dan menciptakan situasi dunia tanpa senjata
nuklir, sebuah usul yang mendapat dukungan dan sambutan positif dari berbagai pemimpin
dunia, antara lain dari Amerika Serikat dan Australia.
46
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Diplomasi MULTILATERAL
AGENDA MULTILATERAL
APRIL-JUNI 2012
ISDR Asia Partnership (IAP) Meeting, Bali, 9 – 11 April 2012
IAP Meeting adalah forum multi-stakeholder informal untuk memfasilitasi implementasi
pengurangan risiko bencana dan Hyogo Framework for Action (HFA) di Asia. HFA adalah
instrumen internasional mengenai pengurangan risiko bencana, yang disepakati secara
internasional dalam penyelenggaraan World Conference on Disaster Reduction di Kobe,
Jepang pada tahun 2005. HFA dimaksud akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2015.
IAP dibentuk pada tahun 2004 dan melibatkan partisipasi pemerintah, lembaga-lembaga
antar-pemerintah, civil society organizations, organisasi internasional, serta donor bilateral
dan multilateral. Selain membahas implementasi pengurangan risiko bencana dan HFA, IAP
Meeting di Bali juga akan membahasa persiapan penyelenggaraan 5th Asian Ministerial
Conference on Disaster Risk Reduction di Yogyakarta, 22 – 25 Oktober 2012.
Konferensi Tingkat Menteri UNCTAD XIII, Doha, Qatar, 21-26 April 2012
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) UNCTAD merupakan kegiatan yang diselenggarakan
setiap empat tahun sekali. Tahun ini KTM UNCTAD XIII akan diselenggarakan di Doha, Qatar,
pada 21-26 April 2012 dengan tema “Development-centered globalization: Towards
inclusive and sustainable growth and development.” Selain Menteri Luar Negeri RI (akan
hadir untuk memimpin Pertemuan G77 dan China), terdapat wakil Menteri lainnya dari
Indonesia yang diundang sebagai narasumber dalam special event pada rangkaian KTM
UNCTAD XIII, yaitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) dan Menteri
Perhubungan (Menhub; diwakili oleh Wamenhub). United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) didirikan pada tahun 1964 dengan tujuan mendorong integrasi
negara berkembang secara pro-pembangunan ke dalam perekonomian dunia dan pada saat
ini beranggotakan sebanyak 194 negara, termasuk Indonesia.
Sidang Commission on Population and Development Sesi ke-45, New York, 23–27
April 2012
Persidangan sesi ke-45 Commission on Population and Development (CPD) akan
berlangsung tanggal 23-27 April 2012 di New York dengan tema utama pembahasan adalah
”adolescents and youth.” CPD merupakan salah satu komisi di bawah Economic and Social
Council (ECOSOC) PBB yang berfungsi memonitor, mengevaluasi dan memulai implementasi
Programme of Action of the International Conference on Population and Development (ICPD)
pada tingkat nasional, regional dan internasional. Persidangan sesi ke-45 dimaksud diketuai
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 47
Diplomasi MULTILATERAL
oleh Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI. Sementara itu, delegasi
Indonesia pada persidangan tersebut akan terdiri dari wakil-wakil kementerian/lembaga
terkait dan unsur pemuda.
Konferensi Tingkat Menteri Biro Koordinasi GNB, 7 – 10 Mei 2012
Konferensi Tingkat Menteri Biro Koordinasi Gerakan Non Blok akan diselenggarakan di
Sharm El Sheikh, Mesir, pada tanggal 7-10 Mei 2012. Pertemuan diselenggarakan guna
mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi GNB di Iran, yang menurut rencana akan
diselenggarakan pada tanggal 31 Agustus – 1 September 2012. KTM Biro Koordinasi GNB
akan didahului dengan Senior Officials Meeting pada tanggal 7-8 Mei 2012 yang akan
membahas rancangan Final Document yang berisi perkembangan isu-isu politik, ekonomi,
sosial dan budaya, sebagai hasil akhir KTM Biro Koordinasi GNB yang akan disahkan di akhir
KTM dimaksud.
Penyampaian Laporan UPR Indonesia Siklus Kedua, Jenewa, 21–25 Mei 2012
Kinerja Pemerintah Indonesia di bidang pemajuan dan perlindungan HAM akan dibahas di
bawah mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB (DHAM) dalam sidang
Kelompok Kerja (Pokja) UPR yang dijadwalkan pada tanggal 21 Mei – 1 Juni 2012. Indonesia
telah menyerahkan Laporan Nasionalnya kepada Sekretariat Dewan HAM PBB. Sidang Pokja
dimaksud akan berlangsung dalam bentuk dialog interaktif, di mana Indonesia sebagai State
under Review (SuR) diharapkan menyampaikan pernyataan serta menjawab pertanyaan yang
diajukan selama sidang tersebut. Negara-negara anggota maupun peninjau PBB kemudian
akan memberikan berbagai rekomendasi terkait Laporan Nasional tersebut untuk ditanggapi
oleh Indonesia dan akan tereflekasikan dalam laporan Pokja UPR Indonesia yang dijadwalkan akan diadopsi pada tanggal 25 Mei 2012 mendatang.
Bali Process Technical Experts' Workshop on Trafficking in Persons dan Ad Hoc
Group Senior Officials' Meeting (AHG-SOM), 28 Mei s/d 1 Juni 2012
Indonesia dan Australia merupakan pemrakarsa dan ketua bersama kerja sama regional Bali
Process on People Smuggling, Trafficking in Person and Related Transnational Crime (Bali
Process). Bali Process dibentuk pada tahun 2002 dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama di antara negara-negara di kawasan dalam menangani irregular migration, termasuk
penanggulangan perdagangan orang. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam kerangka
kerjasama Bali Process antara lain adalah pertukaran data dan informasi intelijen, peningkatan kapasitas, dan kerjasama teknis dalam penanganan penyelundupan manusia dan perdagangan orang. Pertemuan Tingkat Menteri Bali Process Keempat (BRMC IV) tanggal 30
48
|
Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012
Diplomasi MULTILATERAL
Maret 2011 di Bali antara lain menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan komitmen
negara-negara di kawasan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Bali
Process Technical Experts’ Workshop on Trafficking in Persons dimaksudkan sebagai
kegiatan untuk memperkuat kerja sama peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi
berupa diskusi mengenai best practices di tiap-tiap negara. Selanjutnya, Ad Hoc Group
Senior Officials’ Meeting akan menjadi forum untuk membahas pembentukan regional
support office (RSO) untuk menjalankan fungsi koordinasi program kerja dan kegiatan yang
dilaksanakan dalam kerangka Bali Process, sekaligus dalam rangka menyusun rekomendasi
kepada pertemuan tingkat menteri luar negeri terkait operasionalisasi RSO.
KTT G20, 18-19 Juni 2012
Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT 20) akan diselenggarakan di Los Cabos, Meksiko pada
18-19 Juni 2012. Meksiko sebagai tuan rumah rumah sekaligus Ketua G20 tahun 2012 terus
berupaya untuk menyukseskan pertemuan tersebut melalui berbagai kesepakatan yang akan
dicapai dan hasil positif dari pertemuan kepada perekonomian dunia. Pembahasan pada
pertemuan G20 tahun 2012 diperkirakan akan difokuskan pada isu-isu prioritas Meksiko
tahun ini, yaitu mendorong stabilitas ekonomi dan reformasi structural, mendorong penguatan sistem keuangan internasional, mendorong isu ketahanan dan isu pembanguna berkelanjutan. Selain itu, Meksiko juga akan mendorong partispasi aktif negara yang tidak tergabung sebagai anggota G20, Organisasi-organisasi Internasional, kalangan think-tanks dan
sektor swasta untuk menjadikan pertemuan G20 sebagai pertemuan yang inklusif, transparan, dan terbuka.
KTT Rio+20, 20-22 Juni 2012
Pertemuan United Nations Conference on Sustainable Developments 2012 (Rio+20) akan
diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 20-22 Juni 2012. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen politik negara-negara untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan; review terhadap implementasi Agenda 21, Programme for
the Further Implementation of Agenda 21 and the Johannesburg Plan of Implementation
(JPOI); serta untuk membahas new emerging challenges. Terdapat 2 (dua) tema besar yang
dibahas oleh pertemuan ini, yaitu green economy dan kerangka kelembagaan pembangunan
berkelanjutan.
Volume I No. 1 Triwulan I 2012
| 49
Maret 2011 di Bali antara lain menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan komitmen
negara-negara di kawasan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Bali
Process Technical Experts’ Workshop on Trafficking in Persons dimaksudkan sebagai
kegiatan untuk memperkuat kerja sama peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi
berupa diskusi mengenai best practices di tiap-tiap negara. Selanjutnya, Ad Hoc Group
Senior Officials’ Meeting akan menjadi forum untuk membahas pembentukan regional
support office (RSO) untuk menjalankan fungsi koordinasi program kerja dan kegiatan yang
dilaksanakan dalam kerangka Bali Process, sekaligus dalam rangka menyusun rekomendasi
kepada pertemuan tingkat menteri luar negeri terkait operasionalisasi RSO.
KTT G20, 18-19 Juni 2012
Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT 20) akan diselenggarakan di Los Cabos, Meksiko pada
18-19 Juni 2012. Meksiko sebagai tuan rumah rumah sekaligus Ketua G20 tahun 2012 terus
berupaya untuk menyukseskan pertemuan tersebut melalui berbagai kesepakatan yang akan
dicapai dan hasil positif dari pertemuan kepada perekonomian dunia. Pembahasan pada
pertemuan G20 tahun 2012 diperkirakan akan difokuskan pada isu-isu prioritas Meksiko
tahun ini, yaitu mendorong stabilitas ekonomi dan reformasi structural, mendorong penguatan sistem keuangan internasional, mendorong isu ketahanan dan isu pembanguna berkelanjutan. Selain itu, Meksiko juga akan mendorong partispasi aktif negara yang tidak tergabung sebagai anggota G20, Organisasi-organisasi Internasional, kalangan think-tanks dan
sektor swasta untuk menjadikan pertemuan G20 sebagai pertemuan yang inklusif, transparan, dan terbuka.
KTT Rio+20, 20-22 Juni 2012
Pertemuan United Nations Conference on Sustainable Developments 2012 (Rio+20) akan
diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 20-22 Juni 2012. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen politik negara-negara untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan; review terhadap implementasi Agenda 21, Programme for
the Further Implementation of Agenda 21 and the Johannesburg Plan of Implementation
(JPOI); serta untuk membahas new emerging challenges. Terdapat 2 (dua) tema besar yang
dibahas oleh pertemuan ini, yaitu green economy dan kerangka kelembagaan pembangunan
berkelanjutan.
Download