REDAKSI DAFTAR ISI Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral Kata Sambutan .......................................................................3 Redaktur Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH Direktur Sosbud OINB Penyunting Wakil-wakil dari: Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH Direktorat Sosbud OINB Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9 Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110 Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411 Sampul: Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam Resepsi Diplomatik di Gedung Pancasila, Kemlu, 20 Maret 2012. (Foto: Direktorat Infomed, Kemlu). Artikel: Kunjungan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Indonesia, 19-21 Maret 2012 .................................................. 2 Capitalizing on the United Nations Secretary General’s Visit to the Indonesian Peace and Security Centre for the Advancement of Indonesian Peacekeeping ...................................... 5 Indonesia in the Aftermath of Nuclear Security Summit 2012 .... 7 Optimalisasi Keunggulan Komparatif Kapasitas Sipil Indonesia dalam Pembangunan Perdamaian ....................................... 10 Sustainable Development Goals (SDGs): Usulan Norma Baru Pembangunan Global.................................................................. 17 Indonesia and the G20 ................................................................ 21 Diplomasi Multilateral Indonesia dan Upaya ke depan di Bidang Ketahanan Pangan ......................................................... 26 OKI Serius Garap Isu HAM, Indonesia Berperan Signifikan........ 32 Peran Indonesia pada Kerja Sama Developing Eight (D8) ......... 34 Lampiran: UN Secretary General’s Lecture at the Indonesia Peace and Security Centre, 20 March 2012 ................................................. 37 Sekilas Info Multilateral ........................................................ 43 Agenda Multilateral ..............................................................47 Isi tulisan dapat saja merupakan pendapat pribadi dan tidak selalu mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber dengan jelas. Tujuan lain harus dengan izin. Diplomasi MULTILATERAL K ATA S AMBUTAN Para pembaca yang budiman, Dengan perasaan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kami mempersembahkan kembali Buletin Ditjen Multilateral dengan nama baru “Diplomasi Multilateral.” Dimunculkannya nama baru tersebut lebih dimaksudkan untuk menunjukkan pertaliannya yang khas dengan karakteristik dari Ditjen Multilateral yang dalam kesehariannya menangani isu-isu multilateral. Semangat dan warna yang dibawa Buletin ini tidak jauh beda dengan edisi-edisi sebelumnya. Jika ada yang ingin lebih dikedepankan, maka itu adalah aktualitas dari segi penyajiannya. Buletin ini ingin mengajak pembaca berbincang tentang isu-isu global terkini yang disajikan dalam bentuk tulisan-tulisan yang mudah dicerna. Memasuki tahun 2012, komunitas internasional dihadapkan pada berbagai tantangan yang semakin beragam dan kompleks, yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari problematika tahuntahun sebelumnya. Isu-isu yang mengemuka antara lain pembangunan demokrasi dan perlindungan HAM, penanggulangan bencana alam, ancaman senjata pemusnah massal, perompakan, terorisme, kejahatan lintas negara, perubahan iklim, pencapaian MDGs, pemerataan pembangunan, perdagangan internasional dan investasi, perlindungan HKI, dan peningkatan kerja sama Selatan-Selatan. Menghadapi berbagai persoalan global tersebut, Indonesia berkomitmen untuk aktif menjadi bagian dari solusi. Hal ini sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Pada saat yang sama, diplomasi dan politik luar negeri Indonesia senantiasa diabdikan untuk mengamankan dan mencapai kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Dengan demikian, bagi Indonesia, upaya pencarian solusi atas berbagai persoalan global tersebut harus sejalan dengan upaya untuk mencapai kepentingan nasional. Dalam hal ini, diplomasi total yang melibatkan seluruh aktor dalam negeri telah menemukan relevansinya. Kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat dunia menuntut keterlibatan semua kalangan masyarakat untuk menyelesaikannya. Dalam konteks diplomasi total semacam itu, Buletin Diplomasi Multilateral mengemban kepercayaan akan pentingnya diseminasi informasi dalam rangka menopang tugas-tugas diplomasi. Buletin ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi dan diskusi bagi para akademisi, aktivis, pelaku bisnis, dan masyarakat umum yang bergerak dan memiliki concern tehadap isu-su multilateral. Pengayaan wacana semacam itu, kami percaya, akan memberikan sumbangan yang berarti bagi diplomasi Indonesia masa kini. Dalam konteks pembuatan kebijakan publik, Buletin ini juga merupakan bentuk pertanggungjawaban sekaligus sosialisasi kepada khalayak menyangkut tugastugas yang dilaksanakan oleh Ditjen Multilateral. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Semoga Buletin ini memperkaya pemahaman dan meningkatkan kepedulian kita dalam menjawab tantangan-tantangan diplomasi ke depan. Jakarta, April 2012 Hasan Kleib Direktur Jenderal Multilateral Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 1 Diplomasi MULTILATERAL KUNJUNGAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA KE INDONESIA, 19-21 MARET 2012 Oleh: Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Atas Undangan Presiden RI, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB), Ban Ki-Moon melakukan kunjungan kerja ke Jakarta pada tanggal 19-21 Maret 2012. Dalam lawatanya ke Indonesia, Sekjen PBB didampingi oleh Ny. Ban Soon-Taek, Wakil Sekjen PBB untuk Peacekeeping Operations Herve Ladsous, Wakil Sekjen PBB dan UNESCAP Executive Secretary Noeleen Heyzer, serta sejumlah pejabat PBB lainnya. Selama berada di Indonesia, rangkaian kegiatan Sekjen PBB diisi dengan pertemuan bilateral dengan Presiden RI, kunjungan ke Indonesian Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, menghadiri resepsi diplomatik di Kementerian Luar Negeri, serta memberikan paparan kunci dalam Jakarta International Defence Dialogue (JIDD). Dalam kunjungan kerja tersebut, Sekjen PBB menyampaikan apresiasi atas peran Indonesia dalam misi penggelaran pasukan pemeliharaan perdamaian, dan mengharapkan agar jumlah kontribusi pasukan Indonesia dapat terus ditingkatkan. Lebih lanjut Sekjen PBB juga menyampaikan penghargaan atas peran sentral Indonesia dalam isu perubahan iklim, sebagaimana dibuktikan dengan dihasilkannya Bali Road 2 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Map, dan kepemimpinan dalam kerjasama ASEAN. Pertemuan Sekjen PBB dengan Presiden RI Pada pertemuan bilateral dengan Sekjen PBB tanggal 21 Maret 2012 di Istana Bogor, Presiden RI menyampaikan pentingnya penguatan kemitraan dan kerja sama antara Indonesia dengan PBB, khususnya UNDP; penghargaan atas peran PBB dalam memfasilitasi upaya internasional untuk menangani perubahan iklim; pentingnya Dewan Keamanan PBB mendorong gencatan senjata dan dialog di Suriah dan pengedepanan penyelesaian damai terkait isu Palestina; keprihatinan atas dampak kemungkinan penutupan selat Hormuz terhadap melonjaknya harga minyak dunia; perhatian terhadap isu regional seperti Laut China Selatan dan Semenanjung Korea serta peran Indonesia dalam kerangka ASEAN terkait isu Myanmar dan krisis perbatasan ThailandKamboja; dan komitmen Pemri dalam mendukung Timor Leste serta upaya PBB di negara tersebut. Disamping itu, Presiden RI juga menerangkan mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam merealisasikan percepatan pembangunan serta penegakan hukum di Papua. Diplomasi MULTILATERAL Sementara, Sekjen PBB menyampaikan pengakuan atas peran penting Indonesia dalam konteks regional dan global, penghargaan atas komitmen kuat Indonesia dalam pencapaian MDGs, serta pentingnya pertemuan Rio+20 yang akan berlangsung pada bulan Juni 2012. Sekjen PBB juga menggarisbawahi pentingnya perluasan dan pendalaman implementasi ASEAN-UN Comprehensive Partnership dan peran penting ASEAN terkait isu Myanmar, krisis perbatasan Thailand-Kamboja, serta semenanjung Korea dalam konteks ASEAN Regional Forum (ARF). Berkenaan dengan isu pemeliharaan perdamaian, Sekjen PBB mendorong agar Indonesia dapat meningkatkan kontribusi women peacekeepers dan agar Indonesia dapat mempertimbangkan pemberian bantuan helikopter yang akan dimanfaatkan dalam sejumlah misi pemeliharaan perdamaian PBB. Terkait hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kesediaan Pemerintah Indonesia untuk mengkontribusikan 4 (empat) utility helicopters beserta awak kepada misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB yang membutuhkan. Dalam perkembangannya, Presiden RI telah menyetujui permintaan PBB agar kontribusi keempat helikopter asal Indonesia dialamatkan kepada Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO). Kunjungan ke Indonesia Peace and Security Center Setelah pertemuan bilateral di Istana Bogor, Presiden RI dan Sekjen PBB berkunjung ke Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul. IPSC merupakan pusat pelatihan pemeliharaan perdamaian terbesar di Asia Tenggara (261 hektar) yang diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 19 Desember 2011. IPSC juga dipersiapkan sebagai pusat pelatihan untuk bidangbidang lain, seperti penanggulangan terorisme dan bencana, dan pelatihan bahasa. Selain itu, IPSC juga dirancang sebagai markas standby force Markas Besar TNI, lokasi Universitas Pertahanan, dan pusat olah raga militer. Dalam pidato sambutannya di hadapan para pejabat tinggi Pemerintah RI, Duta Besar Asing di Jakarta, dan mantan pasukan penjaga perdamaian Indonesia yang turut hadir di IPSC, Presiden RI menyampaikan mengenai pentingnya peacekeepers yang handal guna menjamin keberhasilan implementasi mandat misi pemeliharaan perdamaian PBB. Dalam kaitan ini, Presiden menyampaikan bahwa tujuan tersebut merupakan salah satu alasan utama mengapa IPSC didirikan. Lebih lanjut, Presiden RI juga menyampaikan bahwa di masa mendatang, IPSC juga direncanakan sebagai pusat pelatihan pakar sipil (civilian experts) yang juga akan dilibatkan dalam pelaksanaan diplomasi preventif, mediasi, dan postconflict peacebuilding. Presiden juga mene- Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 3 Diplomasi MULTILATERAL kankan pentingnya penyiapan komponen polisi guna mendukung misi peacebuilding PBB. Presiden RI menugaskan IPSC untuk bekerja sama dengan UN Departement of Peacekeeping Operations (UNDPKO) untuk meningkatkan kegiatan pelatihan bersama. Selanjutnya, Sekjen PBB menyampaikan paparan mengenai “UN Peacekeeping: Challenges and Opportunities for Indonesia, the Region and Beyond”. Sekjen PBB menyampaikan penghargaan atas visi Presiden RI, sebagai satu-satunya pemimpin dunia yang pernah menjadi anggota pasukan pemeliharaan perdamaian PBB, dalam membangun IPSC. Sekjen PBB juga menyampaikan penghargaan atas kontribusi Indonesia dalam berbagai misi perdamaian PBB, dan atas prestasi dan reputasi positif pasukan perdamaian Indonesia dalam memenangkan hati dan pikiran penduduk di wilayah tugas. Jakarta International Defense Dialogue Pada hari kedua kunjungannya (22 Maret 2012), Sekjen PBB menghadiri Pembukaan Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) 2012 di Jakarta International Convention Center. Acara tersebut juga dihadiri Presiden SBY, Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao dan mantan Presiden Filipina, Fidel Ramos. Dalam kesempatan ini, Sekjen PBB menyampaikan paparan mengenai “The United Nations and Global Security: Collaboration and Partnership” yang menggarisba- 4 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 wahi pentingnya kerja sama dalam menghadapi tantangan keamanan dan perdamaian abad ke-21, khususnya terkait dengan fenomena Arab Spring. Dalam keynote speech-nya, Sekjen PBB menyampaikan bahwa tema JIDD, yakni “Military Operations Other Than War“ dipandang sejalan dengan upaya misi pemeliharaan perdamaian PBB. Sekjen PBB kembali berharap agar Indonesia dapat membantu mengatasi permasalahan kekurangan sarana transportasi (helikopter), yang saat ini menghambat misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB. Sekjen PBB menegaskan pentingnya peningkatan perhatian PBB pada masalah peacebuilding serta pencegahan konflik melalui penanganan isu pembangunan berkelanjutan. Di samping itu, Sekjen PBB juga menekankan pentingnya kerjasama penanggulangan terorisme dan perlucutan senjata, serta pentingnya kerja sama PBB dengan organisasi regional. Dalam sambutan pembukanya, Presiden RI menyampaikan pentingnya confidence building measures, pelatihan militer bersama, dan kemitraan guna meminimalisasi potensi konflik, serta penguatan arsitektur keamanan regional (e.g. melalui ARF). Selain itu, Presiden juga menyampaikan pentingnya kerja sama geopolitik dalam menghadapi berbagai tantangan baru, seperti yang terkait dengan peristiwaperistiwa transisi politik yang pada saat ini sedang berlangsung di beberapa negara di Timur Tengah. **** Diplomasi MULTILATERAL CAPITALIZING ON THE UNITED NATIONS SECRETARY GENERAL'S VISIT TO THE INDONESIA PEACE AND SECURITY CENTER FOR THE ADVANCEMENT OF INDONESIAN PEACEKEEPING By: Otto R. Gani* The visit of the United Nations Secretary General last March to the Indonesia Peace and Security Center (IPSC) in Sentul is a clear signal that Indonesia is to be accounted for among United Nations troop contributing countries (TCC). Not only is Indonesia currently one of the top TCCs but it has also received wide recognition for its able and highly professional personnel, be it military or police. Ban Ki-moon's first ever visit to the IPSC should serve as a momentous occasion to further boost Indonesia's participation to UN Peace Missions around the world. Indonesia has an impressive track record in peacekeeping missions under the auspices of the UN, dating as far back as 1957, joining its first mission in United Nations Emergency Fund (UNEF) in Sinai. Since then, Indonesia has consistently been among the top 20 TCCs and is currently contributing 1900+ peacekeepers, placing it as the 15th largest contributor to the various UN Peace Missions. Aside from contributing troops to UN Missions, Indonesia is among the few developing countries which have contributed a vessel as part of the UN Maritime Task Force in Lebanon. It is therefore no coincidence that the UNSG's visit to the IPSC was in part utilized by the UN to ask for other vitally important military equipment such as Helicopters from Indonesia; a request which has been graciously accepted by President SBY, the only world leader who has served as a peacekeeper. This mutually beneficial relationship between Indonesia and the UN must not stop here but should be further enhanced and explored. While the UN has ample expertise and influence related to peacekeeping, Indonesia has innate capacities to deliver highly capable personnel, military equipment and first hand experience and knowledge of internal conflicts. These capacities will only be further reinforced and developed by the newly established Indonesia Peace and Security Center. After all, the 260 hectare complex is designed to train future military, police as well as civilian personnel to various UN Peace Missions around the world. What's more, in the future the IPSC could also be Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 5 Diplomasi MULTILATERAL used for joint training for ASEAN personnel or even beyond. This outward looking policy is reflected in Indonesia’s constitution which mandates it to play an active role in making the world more peaceful, just and prosperous. A mandate which Indonesia has come to fully embrace, not least in the form of UN peacekeeping. In the near future, Indonesia hopes to realize its vision of sending 4000+ UN peacekeepers and be among the top 10 TCC's. And Ban Ki-moon's recent visit to the IPSC should serve as a significant leap forward toward realizing that noble vision. However, in order for Indonesia to realize such a vision, several key aspects related to the legal basis, administrative, financial and training procedures of UN peacekeeping in Indonesia should be capitalized upon. Firstly, there should be an overarching legal basis to which the Indonesian government can send its troops in a timely and responsive matter to meet the increasing demands of the UN. Secondly, extensive administrative procedures in the lead up to troop deployment must be eliminated or significantly reduced. Thirdly, the financial aspects of peacekeeping, specifically its funding must be integrated and synergized with other relevant ministerial and state budgets. And lastly, training materials and modules for our peacekeepers must be developed and regularly updated to meet the ever changing landscape of multidimensional UN peacekeeping. Through optimizing these key aspects of peacekeeping, Indonesia will not only capitalize on the UN Secretary General's Visit to the IPSC but more importantly contribute to the overall advancement of Indonesian Peacekeeping as well as making the world more peaceful, just and prosperous. -----* Head of Section for United Nations Peacekeeping Operations, Directorate for International Security and Disarmament “The peacekeepers needed trust – but they could not demand or request it – they had to earn the trust of the people by leading by example.” UN Secretary General Ban Ki-Moon, Indonesia Peace Security Center (IPSC), Sentul, 20 March 2011 6 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Diplomasi MULTILATERAL INDONESIA IN THE AFTERMATH OF NUCLEAR SECURITY SUMMIT 2012 Oleh: Danurdoro K.M Parnohadiningrat* NSS in a Nutshell Following President Obama’s speech in Prague, mid 2008, in which he expressed his vision of a world free of nuclear weapons, the US Administration took the initiative of pushing global effort to secure nuclear material from being misused beyond the control of the existing international nuclear legal regimes. The first Nuclear Security Summit was held in Washington DC back in 2010. World leaders from 46 countries attended the event and agreed on a nonlegally binding agreement in the form of a Communiqué. Thereby those leaders shared a common recognition on the urgency and mutual exigency on the threat of nuclear terrorism and to consecutively rally for the pledge to address this issue. The 1st Nuclear Security Summit served to provide political groundwork for the 2nd Nuclear Security Summit (NSS), which was held in Seoul, South Korea, on the 26th – 27th of March 2012. This summit was attended by 54 heads of states and governments representing 78% of the world’s population and roughly 89% of the world GDP. In contrast to the Washington DC summit, the 2nd one focused on propagating NSS to discuss on how to create concrete measures to realize the goals outlined in Washington DC. The shared common goal set at the 2nd NSS is by far to, 1).draw up an international instrument for the reduction of the probability of nuclear materials falling into the hands of terrorist, 2). pave the way toward a world free of nuclear weapons by reducing the amount of nuclear materials in circulation and, 3). have state parties to different international nuclear regimes to remain committed to the legal obligation under the regimes exercising control over nuclear materials. The 2nd Nuclear Security Summit pushes for further enhancement of international cooperation towards a world free of nuclear weapon. Thus far, NSS has positively served as a high level forum that is able to show common purpose in addressing global concerns, and engage states to congregate political pledge to deal with global issues. Indonesia’s Mandate Indonesia’s involvement in international affairs is mandated by its constitution. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, particularly its Preamble, stipulates that any future government should take an active part in such affairs with a Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 7 Diplomasi MULTILATERAL view to establishing world peace. As the fundamental legal and political instrument that had given birth and established the country, the Preamble is a non-amendable document. It remains as it is eternally or otherwise the present Republic ceases and changed to be another state. Indonesia has suffered from several terrorist attacks in the past. It understands too well the devastation consequences if nuclear materials fall into the hands of terrorist. With its staggering posture on adjuring international security, and addressing such an eminent threat, Indonesia continuously striving for the creation a world free of nuclear weapons. Alongside with participants to the NSS, Indonesia by way of building blocks in achieving the goal, shared its commitment to uphold the principles of safety first in all of its nuclear activities. Much has been done since the first summit. The entire national nuclear apparatus resolutely implement the 2010 communiqué nationally and internationally contributing to the enhancement of various existing and newly created nuclear safety regimes. Indonesia has also substantiated important steps by its success in converting Highly Enriched Uranium (HEU) to Low Enriched Uranium (LEU) in the form of Radioisotope. The furtherance of conversion of HEU to LEU has been one of the internationally shared goals at the present time. There are currently 1.600 tons of HEU and 500 tons of Plutonium worldwide 8 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 available for extraction to produce around 100.000 nuclear warhead. In the 2012 NSS, Indonesia once again demonstrated its commitment in incrementing concrete steps toward the achievement of the goal of a world free of nuclear weapons by way of addressing the nuclear security and safety aspect of such a global challenge. For that reason Indonesia presented a “House Gift” to the host country in the form of proposing a “National Implementation Kit”, which draws upon the need for countries to promulgate a national legislation for nuclear safety. To enable summit participants comprehending this “House Gift”, Indonesia has moved to work closely with the International Atomic Energy Agency (IAEA), to engage constructively and draw up on a concrete, readable and unified National Implementation Kit on nuclear security based on the convention and documents stated in the NSS Communiqué. Key to this initiative is the creation of a practical reference of legislation in the field of nuclear safety and security, and harmonization simultaneously regulations applicable to relevant international organizations (UNODC, IMO, ICAO, etc) to work dynamically with the international community toward a safer and more secure world. Indonesia’s intention is to provide a reference for countries to start developing a national legislation in accordance with the circumstances and the needs of each individual country. The initiation of this kit has gained support from 26 states parties of the NSS. Further- Diplomasi MULTILATERAL more, Indonesia has filed a joint statement to the IAEA to guide stakeholders and to coordinate international organization to work hand in hand closely with IAEA. Under the IAEA, relevant international organizations are expected to work accordingly in preparing a draft of the “National Implementation Kit” and to hand the proposed draft to Indonesia as the initiator, to be discussed further. The IAEA has expressed its full support and willingness to implement such initiative within the framework of the IAEA Legislative Assistance Program. The NSS emphasized further the importance to strengthen the safety measures of nuclear materials. States parties have also underlines the importance to create concrete steps in creating a condition for achieving a world free of nuclear weapons, nuclear disarmament, non proliferation and the use of nuclear energy for peaceful purposes. Adjacent to this, each country has the obligation to secure nuclear materials, including all its variants, that can be used for nuclear weapons and other related materials. For this matter, Indonesia plans on expanding its Nuclear Radiation Portal Monitors (RPM) in different port all across the country to better monitor and increase its safety measure capabilities of nuclear materials that are being imported into the country. The road to NSS 2014 It is in Indonesia’s interest to strive intensely alongside with other countries and International organizations to achieve the already shared common goal. Indonesia should continue its cooperation with the IAEA to further drawing of the draft of practical reference of legislation in the field of nuclear safety and security. Concerted effort should also be conducted with other like minded countries who have expressed its support to this idea. Since the NSS Summit in 2012, Indonesia has initiated concrete efforts with different stakeholders in the country. Indonesia has prepared a wide range of varieties of follow up plans towards the implementation of the NSS Summit in 2014, in the Netherlands. The forefront of Indonesia’s internal consolidation process is to have immediate coordination within different stakeholders to prepare a Draft Law on nuclear security. In order to have a comprehensive Bill, Indonesia must harmonize dynamically within its different institutions to come up with concrete actions before the commencement of the 3rd NSS Summit in 2014. Indonesia must therefore make optimal use of the contents of the National Implementation Kit. The implementation Kit, which will be prepared by the IAEA and other relevant international organization, must be comprehensively adjusted to include essential elements contained in the past Communiqué. -----* Staff of Sub-directorate of Weapons of Mass Destruction and Conventional Weapons, Directorate of International Security and Disarmament Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 9 Diplomasi MULTILATERAL OPTIMALISASI KEUNGGULAN KOMPARATIF KAPASITAS SIPIL INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN PERDAMAIAN Oleh: A. Anindityo Adi Primasto* Kapasitas Sipil dalam Kerangka PBB Mandat misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB telah mengalami re-orientasi fokus, dari mandat tradisional berupa pemonitoran keberlanjutan genjatan senjata dan pelaksanaan operasi-operasi polisional, menjadi mandat yang lebih bertitik berat pada pembangunan perdamaian (peacebuilding) yang komprehensif, yang antara lain meliputi pembangunan kembali infrastruktur pemerintahan yang efektif, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat, revitalisasi perekonomian, keberlangsungan transisi politik secara damai, serta pengupayaan rekonsiliasi antara mantan pihak-pihak yang bertikai. Implikasi logis dari pergeseran ini adalah meningkatnya kebutuhan akan partisipasi pakar-pakar sipil yang terampil, yang dapat berperan dalam pembangunan bidang-bidang yang vital bagi pembentukan fondasi struktural yang esensial untuk pembangunan kembali negara-negara yang terkena imbas negatif dari konflik. Dalam konteks PBB, pedoman utama yang perlu diperhatikan terkait pengiriman pakar-pakar sipil ke negara-negara yang berada dalam situasi pasca-konflik adalah pengedepanan kepemilikan nasional (na10 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 tional ownership) dan pembangunan kapasitas nasional (national capacity). Dengan kata lain, pemberdayaan dan pembangunan kapasitas pakar-pakar sipil nasional (yang berasal dari locus terjadinya konflik) menjadi prioritas utama dalam kerangka pembangunan perdamaian. Namun, kenyataan ini tidak dengan serta-merta mengurangi arti penting keterlibatan kapasitas internasional. Melalui kegiatan-kegiatan alih pengetahuan (transfer of knowledge) maupun alih teknologi (transfer of technology), pakar-pakar sipil dari negara-negara lain (yang berasal dari negara-negara di luar negara yang mengalami konflik) diharapkan dapat menyumbangkan keahliannya dalam pembangunan kapasitas lokal. Di samping itu, lingkup misi pemeliharaan dan pembangunan perdamaian yang kian multidimensional telah menciptakan demand baru atas keahlian-keahlian yang bersifat sangat terspesialisasi, seperti antara lain, keahlian yang terkait dengan reformasi sektor keamanan, pembangunan kembali fungsi yudisial dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan, yang dalam banyak kasus hanya dikuasai oleh segelintir pakar yang berasal dari negara-negara di luar negara tempat terjadinya konflik. Dalam situasi ini, kapasitas internasional diha- Diplomasi MULTILATERAL rapkan dapat untuk sementara waktu tentunya dengan izin negara penerima, mengisi kekosongan-kekosongan keahlian tersebut, sembari membuka seluas-luasnya kesempatan alih pengetahuan kepada masyarakat sipil lokal. Hal ini sejalan dengan hasil rangkaian pertemuan tingkat experts negara-negara Consultative Group on Civilian Capacity (CGCCR) PBB pada tahun 20111 dan hasil dari Regional Consultation on Strengthening Civilian Capacity in the Aftermath of Conflict yang diadakan di Bali pada awal bulan Maret 2012, yang menggarisbawahi pentingnya upaya untuk memastikan agar pakar-pakar sipil yang berada di bawah bendera PBB mengambil peran sebagai mitra pakar-pakar lokal dan tidak berusaha mengambil alih proyek-proyek misi pembangunan perdamaian yang dikembangkan di dalam suatu negara, guna memberi kesempatan bagi pakar-pakar lokal untuk mengembangkan keahliannya dan mengambil manfaat ekonomi sebesar mungkin dari pekerjaan yang dilakukannya. Terkait hal ini, experts CGCCR juga mengusulkan agar durasi kehadiran kapasitan internasional di dalam suatu negara tidak berlangsung terlalu lama. Dengan demikian, national ownership mendapatkan prioritas utama, dan inefisiensi akibat adanya terlalu banyak pakar sipil yang bergerak di bidang yang sama dapat dihindari. 1 Indonesia bersama dengan Kanada menjadi co-chair CGCCR. Pada saat ini, masalah terbesar yang dihadapi PBB c.q. Department for Peacekeeping Operations (DPKO) dan Department for Field Support (DFS) terkait dengan perekrutan pakar-pakar sipil untuk dilibatkan di dalam misi-misi pemeliharaan perdamaian bukanlah terkait perkara ketidaktersediaan kandidat,2 melainkan proses seleksi kandidat pasca-aplikasi, yang dirasa terlalu lambat dan birokratis.3 Kendala ini menjadi batu hambatan yang besar bagi terciptanya proses deployment pakar sipil yang ideal, yang menuntut agar pakar-pakar sipil yang tepat juga dapat dikirimkan ke suatu misi pemeliharaan perdamaian di waktu yang tepat, mengingat seringkali kebutuhan akan suatu keahlian tertentu bersifat mendesak/time-sensitive. Keterlambatan kehadiran pakar sipil dalam zona pasca-konflik seringkali berakibat pada tersendatnya –dan bahkan gagalnya, proses menuju perdamaian yang ajeg. Solusi terlogis untuk mengatasi kendala deployment pakar-pakar sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah melalui pengembangan dan pemanfaatan standby rosters, yaitu suatu daftar yang berisi nama-nama pakar sipil yang telah terlebih dahulu teri2 Setiap tahun, PBB menerima sekitar 150,000 aplikasi pendaftaran pakar sipil. Pada kenyataannya, tetap terjadi kelangkaan kandidat di bidang-bidang yang sifatnya sangat terspesialisasi, terutama di bidang security sector reform dan yudisial. 3 Dua ratus hari adalah rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memproses sebuah aplikasi; dari fase pendaftaran seorang kandidat, fase seleksi, hingga fase dimana sang kandidat dinyatakan siap untuk dikirimkan ke suatu misi pemeliharaan perdamaian. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 11 Diplomasi MULTILATERAL dentifikasi, terverifikasi dan terlatih, yang siap untuk dikerahkan ke zona-zona pascakonflik sewaktu-waktu keahlian mereka dibutuhkan. Standby rosters ini dapat berbentuk roster yang berisi pakar-pakar yang dipekerjakan secara permanen (standing roster) maupun yang hanya berupa database nama-nama pakar sipil yang dapat dihubungi dan direkrut saat demand akan keahlian mereka muncul. Di dalam sistem PBB sendiri terdapat Mediation Support Unit’s Standby Team of Mediation Experts dari Department of Political Affairs (DPA), sebuah unit yang dikhususkan sebagai standby roster pakarpakar sipil di bidang mediasi. Selain itu, di Markas Logistik PBB di Brindisi, Italia, juga terdapat Justice and Corrections Standing Capacity, sebuah standing roster skala kecil yang membantu kegiatan Standing Police Capacity PBB dalam bidang hukum dan pemasyarakatan. Di luar sistem PBB, beberapa negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah juga telah mendirikan lembaga-lembaga yang khusus bergerak di bidang penyiapan pakar-pakar sipil untuk dimobilisasi sebagai mitra sipil dalam misi pembangunan perdamaian di kawasankawasan pasca-konflik. Organisasiorganisasi seperti Norwegian Capacity (NORCAP), African Civilian Response Capacity for Peace Support Operations (AFDEM) dan CANADEM merupakan beberapa contoh standby rosters yang paling sering bekerja sama dengan PBB dalam pengiriman pakar sipil di saat terjadi peningkatan mendesak 12 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 (demand surge) akan kebutuhan keahliankeahlian tertentu pada misi-misi perdamaian. Peran Indonesia Dalam forum PBB, Pemerintah Indonesia telah mengikuti dan mendukung upaya penguatan kapasitas sipil dalam konteks pemeliharaan perdamaian sejak wacana ini pertama kali digulirkan pada tahun 2006. Pada tahun 2008, Sekretaris Jenderal PBB diundang oleh Dewan Keamanan PBB untuk memberi masukan terkait bagaimana PBB dapat membantu upaya-upaya nasional untuk memperkuat koordinasi, mobilisasi, dan pendanaan pakar sipil dalam konteks misi pemeliharaan dan pembangunan perdamaian. Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2009, Sekretaris Jenderal PBB menerbitkan laporan yang berjudul “Peacebuilding in the Immediate Aftermath of Conflict” yang memaparkan tantangantantangan yang dihadapi negara-negara pasca-konflik segera setelah suatu konflik usai, yang disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB. Laporan ini juga mengusulkan adanya review untuk menganalisis bagaimana PBB dan komunitas internasional dapat memperdalam roster pakar sipil untuk dapat segera mendukung pembangunan kapasitas sipil di negaranegara yang baru keluar dari konflik. Pada tahun 2010, Sekjen PBB mendirikan sebuah Senior Advisory Group untuk Diplomasi MULTILATERAL membantu penyusunan review tersebut di atas dan untuk memberikan rekomendasirekomendasi mengenai langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperkuat upaya-upaya nasional dalam membangun kapasitas sipil. Tahun 2011, Senior Advisory Group mengeluarkan sebuah laporan yang memaparkan beberapa proposal terkait langkah-langkah lanjutan yang dapat diambil, termasuk antara lain berupa penyelenggaraan konsultasi-konsultasi regional mengenai penguatan kapasitas sipil, guna mendapatkan input dari negara-negara di berbagai kawasan. Konsultasi-konsultasi regional ini juga diharapkan dapat mengidentifikasi pakar-pakar sipil regional dan lingkup keahlian yang mereka kuasai. Informasi ini pada gilirannya akan bermanfaat dalam mengkonsolidasikan pool of civilian experts. Dalam kaitan ini, selain pengutamaan kepemilikan nasional, Senior Advisory Group juga merekomendasikan agar kaidah keunggulan komparatif (comparative advantage), yaitu pengidentifikasian bidang-bidang yang menjadi kekuatan/niche dari masingmasing penyedia kapasitas sipil –baik berupa organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah maupun yang dibentuk oleh masyarakat madani, juga dijadikan perhatian utama. Hal ini dimaksudkan agar kerja sama internasional terkait mobilisasi pakar sipil untuk membantu dalam misi-misi pemeliharaan PBB dapat terhindar dari duplikasi dan tumpang tindih keahlian, sehingga perekrutan dan pengiriman pakar sipil ke negara-negara pasca-konflik dapat berjalan lebih efektif. Disamping itu, laporan Senior Advisory Group juga merekomendasikan penguatan kapasitas-kapasitas sipil nasional melalui kerja sama pembangunan kapasitas antara PBB dengan penyedia-penyedia kapasitas sipil, terutama yang berasal dari Global South. Sebagaimana juga dimafhumi dalam Regional Consultation on Strengthening Partnerships for Civilian Capacities in the Aftermath of Conflict yang diselenggarakan di Bali pada bulan Maret 2012, pakar-pakar sipil yang berasal dari negara-negara Selatan dianggap mempunyai keunggulan komparatif terkait pembangunan pasca konflik, mengingat bahwa kapasitas sipil yang mereka memiliki, mempunyai pengalaman langsung terkait penanganan konflik yang mayoritas memang terjadi di negaranegara berkembang. Pengalaman Indonesia dalam melewati masa transisi menuju demokrasi serta keberhasilannya dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik (dengan Timor Leste dan di Aceh, Poso dan Ambon, antara lain), menjadi salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia di atas banyak negara lain. Pengalaman-pengalaman ini telah melahirkan banyak pakar sipil Indonesia yang piawai –antara lain- dalam bidang mediasi, penyelenggaraan pemilihan umum, pembangunan kembali infrastruktur, pertanian dan pendidikan. Pakar-pakar sipil inilah yang idealnya diusung sebagai wakil Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 13 Diplomasi MULTILATERAL Indonesia dalam roster civilian experts yang siap dilibatkan dalam misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB. Kendala Proses penyusunan roster pakar sipil Indonesia dihadapkan dengan setidaknya tiga kendala utama. Kendala pertama adalah kenyataan bahwa dalam beberapa kasus, pakar sipil yang benar-benar piawai dalam bidang tertentu, tidak bersedia untuk dikirimkan ke negara-negara pasca-konflik karena alasan-alasan tertentu seperti keluarga ataupun pertimbangan keamanan. Kedua, dalam beberapa kasus, pakar sipil yang keahliannya benar-benar dibutuhkan dalam suatu misi pemeliharaan dan/atau pembangunan perdamaian seperti pakar sipil di bidang penyelenggaraan pemilihan umum, rekonstruksi sistem peradilan dan sistem lembaga pemasyarakatan- mayoritas berasal dari lingkungan pemerintahan, sehingga yang bersangkutan mungkin akan menemui kesulitan dalam mekanisme perijinan kedinasan dari institusi tempat ia bekerja. Selain itu, ketiadaan pengaturan yang jelas mengenai mekanisme penggajian ketika seorang pakar sipil yang berasal dari institusi pemerintahan menjalankan tugas dalam suatu misi pemeliharaan dan/atau pembangunan perdamaian (secondment), juga turut menjadi faktor yang dapat menyebabkan keenganan seorang pakar sipil untuk turut berpartisipasi dalam upaya peacekeeping/peacebuilding PBB. 14 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Kendala ketiga terkait dengan persepsi akan minimnya insentif ekonomi untuk terlibat di dalam misi pemeliharaan perdamaian. Pakar sipil yang berasal dari lingkungan non-pemerintah dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan PBB, misalnya, akan cenderung untuk memilih bekerja pada badan-badan resmi PBB dalam kapasitas sebagai pegawai tetap, mengingat penghasilan dan tingkat kenyamanan yang ditawarkan lebih menjanjikan. Langkah ke Depan Kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam konteks penyusunan roster pakar sipil Indonesia kiranya dapat teratasi dengan adanya pengaturan yang jelas terkait 1) mekanisme pengiriman pakar sipil yang berasal dari institusi pemerintahan (mekanisme secondment); dan 2) mekanisme jenjang karir dan gaji pakar sipil yang di-deploy. Pengaturan terkait pengiriman pegawai pemerintah sebagai pakar sipil dalam suatu misi pemeliharaan PBB kiranya dapat diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan nasional maupun peraturan yang bersifat intra-institusional, sementara pengaturan mengenai pendanaan pakar sipil Indonesia selama bekerja di dalam suatu misi PBB –baik yang berasal dari institusi pemerintah maupun non-pemerintah, sepatutnya diatur baik melalui peraturan internal institusi pemberi kerja, maupun melalui suatu arrangement antara PBB c.q. Diplomasi MULTILATERAL Department for Field Support dengan negara pengirim (Indonesia).4 Di luar kendala-kendala yang telah teridentifikasi, sebagaimana terindikasi dalam Regional Consultation di Bali, masih terdapat banyak organisasi non-pemerintah yang menunjukan minat untuk dapat melibatkan personilnya di dalam civilian capacity roster dalam kerangka misi perdamaian PBB. Organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah –yang telah berpengalaman dalam kegiatan-kegiatan mediasi di Thailand Selatan- dan The Habibie Center telah memberikan indikasi positif untuk turut terlibat di dalam rencana penyusunan roster pakar sipil nasional. Pemerintah Indonesia kiranya perlu terus mendukung dan mendorong keterlibatan pakar-pakar sipil Indonesia dalam misi-misi perdamaian PBB. Dukungan dan dorongan ini dapat direalisasikan antara lain melalui konsolidasi penyusunan roster pakar sipil, baik melalui diseminasi informasi/penyelengga-raan pertemuan dengan pakar-pakar yang sudah terindentifikasi pada khususnya dan masyarakat sipil pada umumnya, maupun dengan membangun sistem perekrutan pakar sipil yang berbasis web, dimana segenap unsur masyarakat yang merasa memiliki kapasitas dalam 4 Sebagai catatan, banyak negara anggota PBB yang bersikeras bahwa penguatan dan pengiriman pakar sipil ke dalam suatu misi pemeliharaan perdamaian hendaknya bersifat costneutral, yaitu tidak berimplikasi pada anggaran pemeliharaan perdamaian PBB. bidang-bidang tertentu dapat mendaftarkan diri dan mengikuti proses seleksi, yang dikoordinasikan oleh unsur-unsur Pemerintah terkait. Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP), sebuah wadah inter-institusional yang dibentuk untuk memperkuat kerja sama dan koordinasi antar pemangku kepentingan terkait keterlibatan Indonesia dalam misi-misi perdamaian, kiranya dapat mengambil peran sentral dalam hal ini. Pada akhirnya, upaya ini diharapkan akan dapat membantu memajukan proses pemetaan dan pengidentifikasian kapasitas sipil Indonesia. Selain itu, penting pula bagi Pemerintah untuk senantiasa mendiseminasikan informasi terkait pembukaan lowonganlowongan pakar sipil yang dibuka langsung oleh PBB. Sebagai contoh, Standby Team of Mediation Experts dari Department of Political Affairs (DPA) PBB dari waktu ke waktu membuka rekrutmen pakar-pakar mediasi yang diperkerjakan secara permanen pada markas DPA, yang dipersiapkan untuk dapat dimobilisasi secara cepat ke kawasan-kawasan dimana keahlian mereka dalam membantu kegiatan-kegiatan mediasi dan jasa baik pasca-konflik, dibutuhkan.5 Mengingat bahwa mediasi merupakan salah satu bidang keahlian dimana pakar-pakar sipil Indonesia mempunyai keunggulan 5 Di saat-saat tidak dikirimkan ke lapangan, pakar-pakar sipil ini dikerahkan untuk melakukan kegiatan riset dan analisis atas isu-isu mediasi. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 15 Diplomasi MULTILATERAL komparatif, upaya pencalonan kandidatkandidat terbaik Indonesia untuk menempati posisi-posisi seperti ini perlu senantiasa mendapatkan dukungan positif dari Pemerintah. Kesimpulan Isu optimalisasi kapasitas sipil dalam kerangka pemeliharaan dan pembangunan perdamaian merupakan gagasan yang relatif baru dalam diskursus mengenai perdamaian dan stabilitas global. Sebagai negara yang sejak awal terlibat aktif dalam diskusi mengenai hal ini di forum PBB, Indonesia memiliki kepentingan untuk –bersama dengan negara-negara kontributor pakar sipil lainnya- memastikan kesuksesan tercapainya target bersama, yaitu berupa peningkatan dan penguatan peran pakar sipil dalam misi-misi perdamaian, terutama yang berkenaan dengan pemenuhan ketersediaan kapasitas sipil cakap yang memadai untuk memenuhi tingkat demand yang ada. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 memberi mandat kepada Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Perjuangan Indonesia di fora internasional untuk 16 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 turut memajukan efektivitas misi-misi pemeliharaan perdamaian PBB –antara lain melalui optimalisasi peran pakar-pakar sipil, merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan relevansi mandat konstitusional dimaksud. Oleh sebab ini, keunggulan kapasitas sipil Indonesia di bidang-bidang yang vital dalam proses pembangunan perdamaian merupakan peluang yang harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Selain sebagai wujud pengejawantahan amanat Konstitusi, kontribusi Indonesia dalam memajukan peran pakar sipil dalam misi-misi perdamaian PBB melalui deployment pakar-pakar sipil Indonesia yang kompeten dan profesional merupakan golden ticket Indonesia untuk meningkatkan postur internasionalnya, terutama dalam konteks peacekeeping dan peacebuilding. Peningkatan postur ini pada gilirannya akan semakin menaikkan citra Indonesia di mata dunia internasional, serta menciptakan berbagai trickle-down effect yang positif bagi bangsa. -----* Staf Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Diplomasi MULTILATERAL SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs): USULAN NORMA BARU PEMBANGUNAN GLOBAL Oleh: Direktorat PELH Istilah Millennium Development Goals (MDGs) tentu tidak asing lagi bagi kita. Proyek global yang diluncurkan tahun 2000 oleh PBB itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan global dengan mencapai delapan tujuan utama pada tahun 2015, meliputi menghilangkan kemiskinan dan kelaparan; menyediakan pendidikan dasar; mendorong keseteraan jender dan penguatan perempuan; mengurangi angka kematian bayi; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; memastikan keberlanjutan lingkungan; dan membangun kemitraan global untuk pembangunan. Namun, 2015 tinggal tiga tahun lagi. Belakangan, wacana mengenai agenda pembangunan baru semakin santer terdengar. Agenda pembangunan pasca-2015 tersebut muncul dalam bentuk Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs: indikator pembangunan berkelanjutan Secara sederhana, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pengelolaan pembangunan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. dengan tanpa merusak lingkungan. Brundtland Commission (1987), sebuah organisasi independen yang dibentuk oleh PBB guna mengkonsolidasikan komunitas internasional dalam isu pembangunan dan lingkungan mendefinisikan sustainable development sebagai “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Tahun 1992 merupakan milestone bagi isu pembangunan berkelanjutan dengan diselenggarakannya United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasilyang dihadiri 172 negara. Pertemuan menghasilkan Agenda 21 dan Johannes-burg Plan of Implementation (JPoI) sebagai perangkat global bagi isu pembangunan berkelanjutan serta memanggil semua negara untuk terlibat dalam pengembangan indikator pembangunan berkelanjutan. KTT Rio+20 Di tahun 2012 ini, wacana pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat memperoleh momentum politis tertinggi melalui KTT Rio+20, di Rio de Janeiro, Brasil, tanggal 20-22 Juni 2012. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 17 Diplomasi MULTILATERAL Latar belakang diadakannya pertemuan tersebut adalah: ï‚· Penduduk dunia saat ini mencapai 7 miliar, dan diprediksikan menjadi 9 miliar pada tahun 2050. ï‚· Seperlima penduduk dunia atau 1,4 miliar orang hidup dengan penghasilan tidak lebih dari 1,25 dolar AS. ï‚· Sebanyak 1,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap listrik. ï‚· Sebanyak 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki toilet. ï‚· Hampir 1 miliar penduduk dunia hidup kelaparan setiap hari. ï‚· Gas rumah kaca terus mengalami peningkatan, dan lebih dari sepertiga spesies dunia yang saat ini telah dikenal akan musnah jika perubahan iklim tidak bisa dikendalikan. KTT Rio+20 diharapkan dapat meneguhkan kembali komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan. Pertemuan juga menjadi ajang untuk memeriksa implementasi Agenda 21 dan JpoI serta menelisik kendala dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Sejauh ini, negosiasi atas dokumen utama “The Future We Want” yang rencananya akan dihasilkan oleh KTT Rio+20 masih berjalan. Dokumen ini memuat dua isu utama, yaitu green economy dan institutional framework for sustainable development (IFSD). Pembahasan kedua isu besar 18 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 tersebut masih dipenuhi dengan perdebatan terkait definisi dan implementasi green economy, serta berbagai usulan opsi pembentukan lembaga baru bagi isu pembangunan berkelanjutan. Isu SDGs juga menjadi salah satu pusat perhatian menjelang pelaksanaan KTT Rio+20. dengan adanya proposal dari Kolombia-Guatemala dan Civil Society Organizations (CSOs) mengenai SDGs. Kedua proposal menekankan pentingnya kesepakatan dan definisi yang sama dari SDGs sebagai key outcome KTT Rio+20. Bagi Kolombia dan Guatemala, definisi tematik SDGs dan mandat untuk mengembangkan SDGs pasca-Riodapat menjadi hasil utama KTT Rio+20. Sementara proposal CSOs memuat SDGs yang disusun berdasarkan komitmen-komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan dan SDGs baru. Pembahasan isu SDGs ini diharapkan dapat membuatkomunitas internasional dapat satu suara mengenai pentingnya SDGs. Melihat adanya kompleksitas negosiasi atas isu green economy dan IFSD, isu SDGs kemudian juga menjadi isu underdog yang kemungkinan dapat dihasilkan oleh KTT Rio+20. SDGs dan MDGs Sejauh ini belum ada konsep pasti tentang bagaimana menyinergikan antara MDGs dengan SDGs. Salah satu usulan yang Diplomasi MULTILATERAL muncul adalah agar SDGs digunakan sebagai pelengkap proses review implementasi MDGs. SDGs dapat dilihat sebagai indikator untuk menerjemahkan goals yang belum mendapatkan perhatian di MDGs, misalnya akses terhadap ketahanan pangan dan energi, sehingga hubungan antara MDGs dan SDGs bersifat komplementer. Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB tahun 2011 dapat memberikan gambaran atas usulan ini, “Let us develop a new generation of sustainable development goals to pick up where the MDGs leave off. Let us agree on the means to achieve them.“ Usulan lainnya adalah agar SDGs disepakati sebagai bagian dari agenda pembangunan global pasca-2015 setelah target pencapaian MDGs berakhir. Dalam usulan ini, SDGs diharapkan dapat menjadi esensi pokok dari world development agenda pasca 2015 yang memuat satu set tujuan pembangunan internasional (international development goals), yang fokus utamanya adalah pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Sekjen PBB sendiri telah membentuk task team khusus untuk agenda pasca-2015 yang diketuai oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). Kegiatan utama task team ini adalah mempersiapkan peta jalan (roadmap) untuk proses pembentukan agenda pasca-2015 yang akan disampaikan oleh Sekjen PBB sebelum Konferensi Rio+20. Selain itu, Ban Ki-moon telah mengumumkan pula rencana untuk membentuk high level/expert panel guna membantu dan memandu proses pembentukan agenda pasca-2015. Panel tersebut akan melapor kepada Majelis Umum PBB pada akhir tahun 2013 untuk menginformasikan mengenai review MDGs dan meluncurkan secara resmi UN process on the post-2015 development agenda. Persiapan Indonesia Sebagai salah satu persiapan menghadapi KTT Rio+20, Direktorat Jenderal Multilateral cq. Direktorat PELH Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan lokakarya nasional bertema “Sustainable Development Goals (SDGs): Indikator Pembangunan Global Pasca-2015?” di Yogyakarta, 12-13 Maret 2012. Lokakarya ini bertujuan untuk menemukan kesamaan pandangan dari para pemangku kepentingan (pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat madani, akademisi, dan sektor swasta) terhadap isu SDGs. Lokakarya ini juga dapat dinilai sebagai upaya nasional untuk mengukur implementasi pembangunan berkelanjutan selama ini dan mengindentifikasi isu-isu krusial yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan. Lokakarya menghasilkan beberapa masukan. Misalnya, KTT Rio+20 diharapkan menjadi momentum untuk memulai komitmen politis atas pembahasan isu SDGs, Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 19 Diplomasi MULTILATERAL tetapi proses pembahasan set of goals-nya sendiri lebih tepat dimulai pasca-KTT Rio+20 agar dapat menampung lebih banyak usulan dari berbagai negara. KTT Rio+20 juga diharapkan dapat mengidentifikasi kesenjangan implementasi berbagai perangkat global pembangunan berkelanjutan. Selain itu, cakupan SDGs kiranya dapat berlaku untuk semua negara agar implementasinya lebih luas, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan prioritas nasional masing-masing negara. Perumusan SDGs di tingkat nasional juga dapat dilakukan dengan menentukan key sector priorities atau key issues terlebih dahulu dan ditujukan untuk mencapai integrasi ketiga pilar pembangunan berkelanjutan. Rio+20: jalan menuju masa depan yang berkelanjutan? Dalam brosur resmi UNCSD, Sekjen KTT Rio+20 Sha Zukang mengemukakan semangat yang mendasari pertemuan ini. “Sustainable development is not an option. It is the only path that allows all of humanity to share a decent life on this one planet. Rio+20 gives our generation the opportunity to choose this path,”. Sementara itu, Ban Ki-moon menekankan arti penting pertemuan ini bagi masa depan bumi. “Rio+20 will be one of the most important global meetings on sustainable development in our time. At Rio, our vision must be clear: a sustainable green economy that protects the health of the environment while supporting achievement of the Millenium Development goals through growth in income, decent work, and poverty eradication,”. Namun apakah waktu yang kurang dari tiga bulan ini cukup bagi KTT Rio+20 untuk mencapai tujuan tertinggi seperti yang disebutkan? Kita tunggu saja jawabannya di KTT Rio+20 bulan Juni mendatang. “We in the region remain firmly committed and determined to attain our MDGs. We are mobilizing regional resources and initiatives, such as the Asian Development Bank and the Association of Southeast Asian Nations, to help us toward those Goals.” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato “Perspective on The MDGs and The Way Forward to 2015”, Universitas Columbia, 13 September 2005 20 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Diplomasi MULTILATERAL INDONESIA AND THE G20 Oleh: Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup What is the G20? The Asian Financial crisis in the 19971998 led to serious concerns among the finance ministers and central bank governors of developed economies to build new arrangements in the global financial structure that recognizes the new role of emerging economies. The pioneers of the Group called the G20 as a new breakthrough to make “a smaller world governable and fairer.” The initial aim of G20 in 1999 was to have the finance ministers and central bank governors of the industrialised and emerging countries meet once a year to facilitate international economic policy cooperation. Since the pioneering G20 Washington Summit in 2008, the forum has been enhanced from a grouping of Finance Ministers and Central Bank Governors to Heads of State and Government. Many consider the G20 as the premier global forum for economic and financial cooperation, helping to create and sustain an enabling economic environment for economic recovery and growth that would not have been possible otherwise. The G20 is an informal economic steering body that brings together the world's major political leaders at the highest level. It comprises the twenty largest economies of the world, namely Argentina, Australia, Brazil, Canada, China, France, Germany, India, Indonesia, Italy, Japan, Mexico, Republic of Korea, Russia, Saudi Arabia, South Africa, Turkey, United Kingdom, United States and the European Union. How does G20 work? The G20 operates with an annually rotating chair under a relatively informal system. Each year, a member country is given responsibility for organising the summits of heads of States and governments and ensuring that the preparatory negotiations move ahead as planned. Given that the G20 primarily addresses economic issues, finance-related units play a key role in G20 negotiations. The finance ministers and central bank governors hold several meetings a year to lay the groundwork for decision-making by the heads of States and governments. The G20 chair can also call special thematic meetings, such as meetings of the Ministers of Agriculture, Foreign Affairs and Trade. Since G20 cooperation was elevated to Leaders level, the G20 Head of Government or state is assisted by a “sherpa” responsible for strategic issues as well as nonfinance issues. The Indonesian Sherpa’s Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 21 Diplomasi MULTILATERAL work is supported by a national G20 Secretariat comprised of the Ministry of Finance, Bank Indonesia and Ministry of Foreign Affairs. Other Ministries and agencies also participate actively in G20 thematic issues, such as the National Agency for Development Planning, Ministry of Agriculture, Ministry of Trade, Commission of Corruption Eradication (KPK) and others. Unlike other international organizations, the G20 has no permanent secretariat of its own. The Presidency rotates between members, and is selected from a different regional grouping of countries each year. The incumbent president establishes a temporary secretariat for the duration of its term, which coordinates the Group’s work and hosts its meetings. In this context, the role of the Ministry of Foreign Affairs is to manage non-financial issues. The Ministry’s task is to also ensure that Indonesia’s participation in the G20 is synergized with its participation in other international fora, as well as maintaining coherence of G20 interests vis-à-vis foreign policy interests at the bilateral and regional level. What has G20 achieved? In its work, the G20 collaborates closely with several major international institutions, including the International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), Financial Stability Board (FSB), International Labor Organization (ILO), and Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Representatives from the United Nations as well as regional organization such as ASEAN, the African Unions and the Gulf Cooperation Council have been invited to the Summits. Each G20 host traditionally extends five discretionary invitations with at least two coming from Africa. 22 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 In 2008, the global economy faced the deepest economic and financial crisis since World War II. The G20 was convened at the summit level to tackle this challenge in a pro-active and coordinated manner. In responding to this crisis and ensuing effects that have dampened global economic growth since, five G20 summits have been held: Washington (November 2008): London (April 2009), Pittsburgh (September 2009), Toronto (June 2010), Seoul (November 2010) and Cannes (November 2011). Through these summits, concerted action by the G20 lessened the impact of the crisis on growth and employment and helped restore confidence even earlier than many analysts predicted it would. Several achievements of the G20 that should be noted include, among others: 1. The G20 countries took drastic steps to support the global economy. Massive, coordinated fiscal stimulus programmes were implemented; central Diplomasi MULTILATERAL banks injected vast amounts of liquidity into the economy; lending by banks was stimulated; and the means available to international organisations to assist the emerging and developing countries were greatly expanded. 2. The G20 has always been on the forefront on resisting trade protectionism as a potential consequence of the global financial crisis. 3. The G20 also tackled the root causes of the crisis: mounting global macroeconomic imbalances and the inadequacies of financial regulation. 4. To reduce global imbalances, the G20 created a Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth designed to realign national policies more fully with the needs of the world economy. 5. The G20 further agreed on an unprecedented financial regulation plan to deal with an equally unprecedented financial crisis. The results accomplished so far have been significant. The scope of financial oversight and supervision has been broadened to include participants, financial products and risky activities and behaviour that had previously been subject to little or no control. 6. Additionally, the G20 has engineered a major overhaul of the international economic decision-making process, above all by promoting governance reform at the IMF and the World Bank. Through representation of major emerging markets, including Indonesia, the G20 also paid close attention to the development agenda and well-being of developing countries most vulnerable to the global economic downturn. Such development imperatives include: infrastructure, private investment and job creation, human resources development, trade, financial inclusion, strong and resilient growth, food security, domestic resource mobilization and knowledge sharing. In terms of modalities, the G20 operates informally and emphasizes deliberation to reach consensus, and not rigid decisionmaking through voting. This flexible style has proven to be quite effective, however. There has been a consistent emphasis on finding commonalities and pragmatic approaches. Thus, the Group has been able to avoid sharp disagreements and deadlocks. In 2011, The Cannes Summit focused on the need to strengthen and sustain the fragile global economic recovery, assaulted by financial crises and austerity in Europe, as well as budget difficulties in the US and food price volatility and shortages around the world. Other major issues discussed included financial regulation, trade, employment, agricultural productivity, development, anti-corruption, reforms in the international monetary system and global governance issues pertaining to multilateral organizations and the G20 itself. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 23 Diplomasi MULTILATERAL For 2012, Mexico as G20 Chair has set up five priorities, namely: economic stabilization and structural reforms as foundations for growth and employment; strengthening financial systems and fostering financial inclusion to promote economic growth; improving the International Financial Architecture; enhancing food security and addressing the issue of commodity price volatility; and promoting sustainable development green growth and fight against climate change. How does Indonesia view and play its role in G20? As it comprises 85 percent of the world’s GDP, 80 percent of international trade, and represents two-thirds of the world’s population, the G20 has a particular strategic importance for Indonesia. G20 decisions in policy cooperation and coordination play a major role for setting economic conditions for the rest of the world. As such, the G20 is a major component of Indonesia’s economic diplomacy platform and provides opportunities to boost Indonesia’s national leverage. As a member, Indonesia has a direct say in how major economies manage global economic governance. It could link its policies in building a strong and resilient economy domestically to measures taken at the international level. Indonesia has a commitment in playing a positive role in the G20 process. Having 24 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 undergone a multidimensional crisis last decade, Indonesia has significant experience to contribute positively to G20’s efforts in addressing the current global economic crisis. In the G20 context, Indonesia has proposed various initiatives and co-chaired several working groups particularly relevant to the interests of emerging markets and developing countries at large. Indonesia also has actively advocated reform in the global governance structure so as to better reflect the increasing role of emerging and developing countries. At the heart of Indonesia’s participation in G20, its principal interest is clear: to maintain an inclusive and sustainable global economic system that creates an enabling environment for national development and economic growth. Indonesia acknowledges the importance of G20 not merely as a powerful economic forum but also as a civilizational powerhouse. In this context, Indonesia plays a bridging role between diverse civilizations. In his speech in the Harvard University in 2009, President Yudhoyono observed: “The G20 for the first time accommodates all the major civilizations – not just Western nations, but also China, South Korea, India, South Africa and others, including significantly three nations with larges Muslim populations: Saudi Arabia, Turkey and Indonesia. The G20 is a representative Diplomasi MULTILATERAL of multi-civilization global community. Perhaps this is why the G20 has been successful in rescuing the world from a global meltdown.” During the Mexican chairmanship in 2012, Indonesia will be focused on the Group’s efforts to improve the global economic situation and support a durable and permanent solution to the Eurozone crisis. Additionally, Indonesia will continue to push development agenda issues to remain as part of G20’s mainstream discussions. The Challenges of G20 in the Future In resolving the current problems that have dampened global economic growth and stability, the G20 faces several challenges. First, G20 must maintain its effectiveness as a Leaders-led informal group. As global economic crisis persists, retaining a common position on issues become harder and more complex. There is an urgency that G20 remains cohesive in finding consensus even as domestic or regional political and social factors affect political establishments in the respective G20 countries. Second, the G20 must be able to enhance its credibility through full implementation of its commitments. The key to this issue is strong leadership, or the ability of G20 countries to effectively integrate its commitments in policy at the domestic setting. Effective implementation of its commitments also determines the pace of global economic recovery and progress in the G20 process. Third, the G20 must be able to compel acceptability of its grouping and policies vis-à-vis the rest of the world. With a membership comprising of only twenty nations, some have criticized the “exclusiveness” of the group. In this respect, G20 needs to actively pursue outreach to the rest of the international community and achieve the necessary acceptability in order to build an adequate enabling environment for inclusive and sustainable global economic system. ------ “This is what I saw firsthand at the G20, where nations of diverse cultural backgrounds joined hands to address a common challenge. We spoke different languages through our headphones, but we understood one another.” President Susilo Bambang Yudhoyono, in the speech “Towards Harmony Among Civilizations”, Harvard University, 29 September 2009 Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 25 Diplomasi MULTILATERAL DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA DAN UPAYA KE DEPAN DI BIDANG KETAHANAN PANGAN Oleh: Ade Petranto* Pendahuluan Krisis pangan global tahun 2007-2008 menyadarkan dunia perlu adanya kerja sama global untuk mencegah terulangnya kembali krisis pangan akibat meningkatnya penduduk dunia, meningkatnya harga energi, bencana alam, gagal panen, serta tatanan perdagangan dunia yang tidak adil. sia harus melakukan kemitraan dengan masyarakat global melalui forum, jalur, dan tatanan yang tersedia, baik pada tingkat multilateral, regional, sub-regional, dan bilateral. Diplomasi Indonesia pada Forum Multilateral, Kerangka G20, dan Forum Lainnya A. Krisis pangan global juga menyebabkan munculnya konflik dan keresahan di beberapa negara. Saat ini, diperkirakan sebanyak 1 (satu) miliar penduduk dunia mengalami kelaparan. Hingga tahun 2050, diperkirakan jumlah penduduk dunia mengalami peningkatan sebanyak 2,5 miliar dan mencapai 9,5 miliar penduduk, sehingga perlu dicarikan solusi untuk menjaga ketahanan pangan tersebut. Di Indonesia, berkat kebijakan nasional untuk swasembada pangan, krisis pangan global 2007-2008 dapat dibendung. Tetapi, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa dan pertumbuhan penduduk sebesar 1,5 persen per tahun menyebabkan Indonesia akan menghadapi tantangan cukup berat untuk mempertahankan ketahanan pangan di waktu mendatang. Oleh karena itu, dalam upayanya mempertahankan ketahanan pangan nasional, Indone26 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Forum Multilateral Permasalahan mengenai ketahanan pangan perlu mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah, bahkan dukungan dari dunia internasional. Indonesia merupakan salah satu negara penggagas yang mendorong agar masalah ketahanan pangan mendapatkan perhatian global. Presiden RI dalam suratnya kepada Sekjen PBB menyerukan agar masyarakat internasional mengambil langkah-langkah konkrit dalam upaya mengakhiri krisis pangan global yang terjadi pada tahun 2008. Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan adalah suatu hal yang sangat penting dan merupakan kebutuhan pokok manusia. Pada tahun 2008, Indonesia bersama Mesir dan Chile memprakarsai diangkatnya masalah ketahanan pangan dalam agenda global dengan berhasil disahkannya resolusi PBB tahun 2008 Diplomasi MULTILATERAL nomor A/Res/63/235 mengenai “Agriculture Development and Food Security”. Saat ini, diplomasi Indonesia diarahkan untuk mendorong terlaksananya global governance for food security yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Five Rome Principles for Sustainable Global Food Security yang diamanatkan oleh World Summit on Food Security 2009 dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Invest in country own plans, aimed at channeling resources to well-designed and results-based programmes and partnership; 2) Foster strategic coordination at national, regional, and global level to improve governance, promote better allocation of resources, avoid duplication of efforts and identity response-gaps; 3) Strive for a comprehensive twin-track approach to food security that consists of: (i) direct action to immediately tackle hunger for the most vulnerable and b) medium and long-term sustainable agricultural, food security, nutrition and rural development programmes to eliminate the root causes of hunger and poverty, including through the progressive realization of the right to adequate food; 4) Ensure a strong role for the multilateral system by sustained improvements in efficiency, responsiveness, coordina- tion, and effectiveness of multilateral institutions; 5) Ensure sustained and substantial commitment by all partners to investment in agriculture and food security and nutrition, with provision of necessary resources in a timely and reliable fashion, aimed at multiyear plans and programmes. Selain itu, Indonesia juga menyerukan agar negara-negara maju dapat merealisasikan berbagai komitmen mereka untuk memberikan pendanaan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia mendesak agar negara-negara maju melaksanakan komitmen mereka pada KTT G-8 tahun 2009 di L’Aquila untuk mendanai sebesar 20 miliar Dollar AS bagi penanganan masalah kerawanan pangan. Di dalam forum FAO, Indonesia mendorong agar World Food Programme (WFP) dan International Fund for Agriculture Development (IFAD) melakukan kegiatan penanganan masalah kerawanan pangan dunia secara tepat dan menghindari duplikasi atau tumpang tindih. Diplomasi Indonesia juga aktif mendorong upaya penanganan masalah ketahanan pangan terkait dengan peningkatan kesejahteraan smallholder farmers dan masyarakat miskin pedesaan, peran wanita, bencana alam, dan perubahan iklim pada forumforum internasional, seperti antara lain: (i) World Trade Organization (WTO); (ii) Cairns Group; (iii) Common Fund for Commodities (CFC); (iv) International Coffee Organization Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 27 Diplomasi MULTILATERAL (ICO); (v) International Cocoa Organization (ICCO); (vi) International Sugar Organization (ISO); (vii) International Tropical Timber Organization (ITTO); (viii) International Pepper Community (IPC); dan (ix) Indian Ocean Tuna Commission (IOTC); adil mengalami hambatan dari negaranegara maju yang menolak melepascan subsidi dan subsidi ekspor bagi sektor pertaniannya. Pada setiap forum multilateral dan forum lainnya terkait ketahanan pangan, diplomasi Indonesia ditujukan bagi upaya tersedianya jaminan akses untuk mendapatkan bahan makanan, diversifikasi pangan, mencegah dampak buruh perubahan iklim, volatilitas harga pangan global, kesempatan memperoleh pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta investasi pertanian. Secara khusus, diplomasi ketahanan pangan Indonesia di bidang perdagangan internasional diarahkan pada perjuangan liberalisasi perdagangan produk pertanian melalui penghapusan subsidi ekspor, pengurangan subsidi domestik, dan peningkatan akses pasar. Belum terselesaikannya perundingan WTO-Putaran Doha mengakibatkan berbagai praktek subsidi dan subsidi ekspor di negara-negara maju masih akan berlanjut. Indonesia turut aktif mendorong upaya ketahanan pangan global melalui forum G20 dengan menyerukan agar negara-negara anggota tidak memberlakukan kebijakan hambatan ekspor untuk keperluan kemanusiaan ataupun darurat pangan. Pada pertemuan Menteri Pertanian G20, Indonesia menggarisbawahi bahwa tujuan utama kerja sama G20 harus difokuskan pada upaya peningkatan food and nutrition security, pertanian yang berkesinambungan, dan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani, khususnya smallholder farmers. Indonesia mengusulkan agar strategi untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan pengembangan riset dan inovasi, policy coherence serta mendorong public-private partnership (PPP). Indonesia menekankan pula pentingnya dilakukan pengembangan bio-teknologi, post-harverst technology, geo-monitoring, dan kerja sama antar lembaga riset internasional. Indonesia selalu aktif memperjuangkan sistem perdagangan internasional yang terbuka, khususnya untuk produk pertanian dan menunjang keamanan pangan. Indonesia berkeyakinan bahwa tatanan perdagangan dunia mempunyai andil yang besar dalam menciptakan ketahanan pangan dunia. Disesalkan pula bahwa upaya menciptakan tatanan perdagangan dunia yang 28 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 B. G20 Menanggapi pendapat yang berbeda dari beberapa negara anggota G20 mengenai cadangan pangan yang dapat mendistorsi pasar, Indonesia berpandangan bahwa mekanisme cadangan pangan untuk keamanan pangan dapat dilakukan secara efisien. Argumentasi yang diberikan adalah bahwa Diplomasi MULTILATERAL cadangan pangan tidak dilakukan melalui stock-pilling, tetapi berupa komitmen pasokan bahan makanan pada keadaan darurat. Beberapa negara menunjukkan keengganan mengenai usulan emergency food reserve karena khawatir adanya kemungkinan distorsi pasar serta tidak efisien. Sekalipun demikian, negara anggota G20 dapat mendukung usulan agar ekspor pangan bagi program kemanusiaan tidak dikenakan trade block, kuota, ataupun tarif. Indonesia sepenuhnya mendukung implementasi G20 Action Plan yang menyerukan upaya global untuk mengatasi volatilitas harga bahan pangan serta ketahanan pangan. Indonesia, didukung oleh Perancis dan Amerika Serikat, mengharapkan agar isu pertanian dapat terus menjadi agenda G20 ke depan dan perlunya monitoring secara reguler terhadap implementasi rencana aksi dimaksud. Indonesia juga menyambut baik capaian konkrit Action Plan, antara lain pembentukan AMIS (Agriculture Market Information System); Rapid Response Forum; International Research Initiative for Wheat Improvement; dan Global Agriculture Geo-Monitoring Initiative. C. Forum Lainnya Diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan juga dilakukan di forum APEC, ASEAN, dan sejumlah kerja sama bilateral Indonesia dengan negara-negara mitra. Dalam berbagai forum tersebut, kerja sama di bidang ketahanan pangan diarahkan pada upaya kerja sama yang konkrit dan memberikan dampak yang positif terutama bagi peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat miskin pedesaan. Upaya Diplomasi Multilateral Ketahanan Pangan di Masa Mendatang Dari berbagai kegiatan diplomasi multilateral di bidang ketahanan pangan, dapat ditarik beberapa aspek yang perlu diupayakan melalui diplomasi. Pada intinya, kemitraan internasional menjadi faktor kunci dalam diplomasi di bidang ketahanan pangan nasional Indonesia untuk memajukan kepentingan nasional dan turut mendorong upaya menciptakan tata kelola dunia yang adil dan seimbang di bidang perdagangan, alih teknologi, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan kerja sama multilateral dan kerja sama internasional lainnya terkait dengan ketahanan pangan nasional. Di sisi lain, diplomasi Indonesia juga hendaknya ditujukan pada kemitraan internasional di bidang pencegahan dampak dari volatilitas harga pangan. Untuk meningkatkan ketahanan pangan, upaya tersebut dapat diperkuat melalui kegiatan riset pertanian dan pengembangan bio-teknologi. Peranan diplomasi Indonesia sangat penting mengingat pengembangan riset pertanian dan pengembangan bioteknologi harus juga dilakukan melalui kemitraan internasional. Diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan hendaknya Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 29 Diplomasi MULTILATERAL mampu mengartikulasi keperluan riset dan pengembangan pertanian yang tengah digalakkan di dalam negeri. Kemitraan internasional, khususnya dalam rangka pengembangan bio-teknologi perlu diarahkan pula pada pendanaan dan alih teknologi. Selain itu, diplomasi Indonesia di bidang ketahanan pangan hendaknya dapat memberikan manfaat bagi upaya Indonesia yang tengah menata kembali manajemen nasional di bidang pertanian, upaya peningkatan produk melalui pengembangan bioteknologi, kedaulatan pangan, rantai komersial produk pangan yang transparan dan berkeadilan, dan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat miskin. Termasuk upaya diplomasi untuk mendorong masuknya sumber pangan protein dari sektor perikanan sebagai salah satu pilar ketahanan pangan di dalam pembahasan di FAO dan organisasi multilateral lainnya. Di sisi lain, diplomasi perdagangan Indonesia terkait dengan ketahanan pangan harus berorientasi pada kepentingan produsen dan konsumen dalam negeri, antara lain dengan memperhatikan keunikan kebutuhan dalam negeri seperti jadwal panen dan kebutuhan pangan di hari raya. Kegiatan diplomasi dalam bentuk ‘forward contract’ merupakan salah satu upaya yang dapat mengurangi risiko volatilatas harga bahan pangan sehingga dapat mendukung upaya nasional dalam rangka pengembangan cadangan pangan nasional. Keunikan Indonesia serta local wisdom di bidang 30 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 pertanian dan ketahanan pangan hendaknya menjadi kekuatan bagi diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Potensi nasional untuk meningkatkan peningkatan produksi pertanian masih sangat besar. Diplomasi Indonesia hendaknya dapat mendorong kemitraan Indonesia dengan dunia internasional untuk mengembangkan potensi-potensi yang belum tergarap tersebut. Dengan demikian, ketahanan pangan tidak sekedar upaya peningkatan produksi saja, tetapi juga menata kembali keseimbangan dan keadilan perekonomian di dalam masyarakat Indonesia, termaksud aspek sosial dan budaya. Kebutuhan tersebut hendaknya dapat diterjemahkan dalam upaya diplomasi nasional Indonesia. Selain berbagai faktor yang perlu ditangani secara tepat di dalam negeri, namun banyak juga faktor-faktor eksternal yang berasal dari dunia internasional yang perlu ditangani sehingga volatilitas harga bahan pangan global dapat dikendalikan. Berbagai kerja sama internasional yang ditujukan pada masalah volatilitas harga pangan perlu ditingkatkan dan lebih menghadirkan hasilhasil yang nyata dan bermanfaat langsung bagi ketahanan pangan dunia. Kesimpulan: Tantangan Diplomasi Ketahanan Pangan Isu mengenai ketahanan pangan global merupakan suatu persoalan yang kompleks dan terkait erat dengan aspek ketersediaan, Diplomasi MULTILATERAL seperti produksi dan distribusi serta akses terhadap produk pangan. Kebuntuan perundingan Putaran Doha WTO sampai saat ini akan menyebabkan negara-negara kembali memberlakukan kebijakan proteksionisme, melalui penerapan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Akibatnya, sektor pertanian tetap menjadi bagian dari perdagangan dunia yang paling mengalami distorsi perdagangan. Kondisi ini diperburuk oleh volatilitas harga pangan dan komoditi di pasaran, akibat dari tindakan beberapa negara yang melakukan kebijakan export prohibition or restriction. Tantangan untuk menciptakan sistem perdagangan bebas yang terbuka juga disebabkan permasalahan sanitary and phytosanitary (SPS) serta berbagai ketentuan teknis lainnya termasuk persyaratan terkait food labelling yang terlalu ‘ketat’ bagi negara berkembang. Indonesia terus menggalakkan upaya diplomasi untuk mendorong dilanjutkannya perundingan yang telah dilakukan selama ini. Di dalam WTO Ministerial Conference bulan Desember tahun 2011, Pemerintah Indonesia bersama negara berkembang lainnya mendorong dilakukannya genuine reform sektor pertanian sesuai dengan mandat Doha Development Agenda. Melalui upaya diplomasi negara-negara maju perlu didesak agar menghentikan kebijakan proteksionisme. Indonesia bersama negara berkembang lainnya akan mendorong agar penerapan technical barrier to trade (TBT) dilonggarkan. Diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan ketahanan pangan global dan nasional dapat lebih dioptimalkan melalui dukungan para pemangku kepentingan nasional, mencakup kementerian dan lembaga teknis terkait seperti sektor pertanian dan ketahanan pangan, lingkungan hidup, perdagangan, perindustrian, energi, keuangan maupun kelompok masyarakat pelaku pertanian dan perkebunan, asosiasi eksportir produk pertanian dan komoditi, importir bahan makanan, dan akademisi. Dukungan ini harus disertai pula oleh ketersediaan infrastruktur, ketersediaan data mengenai peta kerawanan pangan, statistik dan data produksi pertanian terkini, kapasitas riset bidang bio-teknologi, dan upaya peningkatan produksi serta kapasitas sumber daya manusia yang memadai sehingga melalui optimalisasi peran diplomasi, sasaran ketahanan pangan nasional dapat tercapai. -----* Direktur Perdagangan, Investasi, dan HKI Perindustrian, Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 31 Diplomasi MULTILATERAL OKI SERIUS GARAP ISU HAM, INDONESIA BERPERAN SIGNIFIKAN Oleh: Direktorat HAM & Kemanusiaan & Direktorat Sosbud OINB Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kini mulai serius menggarap isu Hak Asasi Manusia (HAM). Keseriusan ini tampak dalam pertemuan pertama Komisi Permanen dan Independen Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OIC-Independent Pemanent Human Rights Commission/IPHRC), atau biasa disebut Komisi HAM OKI, di Jakarta tanggal 20-24 Februari 2012 lalu. Sebanyak 17 Komisioner dari 18 anggota Komisi, wakil dari 24 negara OKI, dan 2 wakil dari negara observer hadir dan aktif dalam kesempatan tersebut. Bahkan, pakar-pakar internasional di bidang HAM dan anggota-anggota organisasi masyarakat sipil turut meramaikan pertemuan tersebut. OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi, dengan 57 negara anggota ini merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB. Semula organisasi ini bernama Organisasi Konferensi Islam (Organization of Islamic Conference/OIC), namun pada 28 Juni 2011 berganti nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam (Organization of Islamic Cooperation/OIC). Komisi HAM OKI sendiri dibentuk pada Pertemuan Tingkat Menteri (Council of Foreign Ministers/CFM) ke-38 di Astana bulan Juni 2011. 32 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Di awal kiprahnya ini, Komisi HAM OKI di pertemuan yang pertama mulai menggodok secara komprehensif draf rule of procedure (tata kerja) dan mandat mereka. Para Komisioner juga membahas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di negara-negara anggota OKI serta situasi dan isu HAM di Agenda OKI. Situasi di Palestina dan wilayah okupasi Arab lainnya pun juga ditetapkan menjadi agenda permanen Komisi. Tentunya hal ini tidak terlepas dari alotnya pembahasan untuk isu-isu yang sulit disepakati, misalnya tentang hubungan antara standar dan prinsip HAM universal dengan nilai-nilai Islam. Wakil Menteri Luar Negeri RI, Bapak Wardana, dalam sambutannya menyampaikan harapan Indonesia agar Komisi HAM OKI dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong reformasi proses transformasi OKI untuk menjadi organisasi yang efektif. Komisi ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang kompatibilitas nilai-nilai Islam, HAM, dan demokrasi. Indonesia pun siap berikan dukungan penuh terhadap Komisi ini agar apat bekerja secara efektif dan kredibel. Sementara Sekjen OKI YM Ekmeleddin Ihsanoglu turut menggarisbawahi bahwa pembentukan Komisi HAM OKI merupakan Diplomasi MULTILATERAL suatu tonggak capaian penting dalam sejarah kerja sama OKI selama 40 tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, OKI membentuk badan permanen yang juga merupakan organ utama OKI yang berisikan pakarpakar di bidang HAM. Ini merefleksikan proses moderasi dan modernisasi organisasi yang sedang berlangsung. Harapannya organ baru ini dapat mengatasi berbagai persoalan dan kesalahpahaman yang kerap berujung pada pada Islamofobia. Menarik untuk mengamati peranan Indonesia dalam Komisi HAM OKI yang tampak cukup menonjol. Pertama, Indonesia menjadi tuan rumah untuk Pertemuan Pertama. Kedua, komisioner perempuan dari Indonesia, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, didaulat sebagai chairperson interim dalam pertemuan tersebut. Hal ini memberikan warna sendiri bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menerapkan demokrasi, namun mampu melahirkan tokoh perempuan yang sanggup berkontribusi di level global dan berperan dalam memimpin negara-negara Islam lainnya untuk mencari terobosan dalam suatu isu yang dipandang sangat krusial di dunia internasional. Terlebih lagi, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki serta keberhasilan memadukan demokrasi, HAM, dan Islam, Indonesia dinilai paling tepat sebagai markas tetap bagi Kantor Komisi HAM OKI. Beberapa komisioner bahkan secara informal sempat menyampaikan harapan agar Pertemuan Tingkat Menteri OKI ke-39 mendatang dapat menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Kantor Komisi HAM OKI. Dari aspek nilai taktisnya, pertemuan pertama ini telah dapat memberikan landasan awal bagi kerja Komisi HAM OKI di masa mendatang serta membangun interaksi yang intensif dan saling percaya antaranggota Komisi HAM OKI. Komisi pun telah tetapkan agenda rutin dan prioritas agenda berikutnya, antara lain: hak-hak wanita dan anakanak, hak atas pembangunan, hak atas pendidikan, isu-isu HAM pada agenda OKI, dan kerja sama dengan negara anggota OKI dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Sedangkan, dari aspek nilai strategisnya, pertemuan tersebut telah mampu menyedot perhatian besar dari civil society serta media nasional dan internasional. Berbagai pemberitaan media massa banyak menyorot keberhasilan Komisi HAM OKI dalam menampilkan komisioner perempuan (Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin) sebagai Ketua Komisi dan ungkapan harapan terhadap kontribusi Komisi bagi kemajuan HAM di negara-negara OKI. ------ Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 33 Diplomasi MULTILATERAL PERAN INDONESIA PADA KERJA SAMA DEVELOPING-EIGHT (D-8) Oleh: Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Latar Belakang Sebagaimana namanya, DevelopingEight (D-8) didirikan oleh delapan negara berkembang dengan jumlah penduduk muslim besar, yaitu Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Turki dan Pakistan. Jika dilihat dari struktur penduduknya, organisasi ini memiliki populasi 60% dari jumlah masyarakat muslim di seluruh dunia atau sekitar 14% dari total populasi dunia. Ide mengenai pembentukan D-8 (Developing-Eight) dicetuskan oleh Dr. Necmetin Erbakan, mantan Perdana Menteri Turki, di dalam seminar tentang Kemitraan dalam Pembangunan, bulan Oktober 1996 di Turki yang kemudian berlanjut menjadi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. KTT ini selanjutnya menghasilkan Deklarasi Istanbul yang digunakan sebagai dasar pembentukan organisasi ini. Di awal pembentukannya, D-8 berfokus pada upaya menghimpun kekuatan negaranegara berpenduduk muslim dalam memperkuat ekonominya serta menghadapi sikap bias yang diterapkan oleh negaranegara Barat. Kedelapan negara yang juga merupakan anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI), dalam perkembangannya 34 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 menilai bahwa kerja sama yang dilakukan dalam struktur OKI kurang efektif dalam menghadapi berbagai tantangan, utamanya di bidang kerja sama perdagangan dan perekonomian. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan komposisi dan daya saing negara anggotanya di berbagai kelompok kawasan,6 maka kerja sama D-8 diharapkan dapat lebih mempercepat laju pertumbuhan perekonomian anggotanya sekaligus meningkatkan daya tawar kelompok ini pada sistem perdagangan dunia. Selain keanggotaan negara D-8 dalam berbagai forum, besarnya kekayaan alam dan potensi lain yang dimiliki negara-negara anggota D-8 diharapkan dapat memperkuat berbagai sektor penting di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pembangunan nasional di masing-masing negara. Pada penyelenggaraan KTT D-8 di tahun 6 Misalnya, Indonesia dan Malaysia adalah anggota ASEAN, G-15, APEC, ASEM, IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation) dan FEALAC (Forum for East Asia and America Latin Cooperation); Indonesia dan Turki adalah anggota G20; Bangladesh dan Pakistan anggota SAARC, Iran anggota IOR-ARC, Mesir anggota Arab League dan Nigeria adalah anggota African Union dan ECOWAS (Economic Community of West African States). Diplomasi MULTILATERAL 2004 telah dihasilkan komitmen untuk meningkatkan kerja sama intra-trade melalui penyusunan 3 (tiga) perjanjian utama D8, yaitu Perjanjian Perdagangan Terpilih (Preferential Trade Agreement, PTA), Perjanjian Visa, dan Perjanjian Bea dan Cukai (Customs). Ketiga perjanjian ini selanjutnya ditandatangani pada saat KTT D-8 ke-5 yang dilaksanakan di Bali, Indonesia pada tahun 2006. Di bawah keketuaan Indonesia, (20062008), D-8 berhasil memfokuskan dan meningkatkan kegiatannya melalui D-8 Roadmap 2008-2018 yang menetapkan 5 bidang sasaran sebagai prioritas, yaitu Trade, Agriculture & Food Security, Industrial Cooperation & SMEs, Transportation dan Energy & Mineral, tanpa mengabaikan sektor-sektor potensial lainnya. Melalui roadmap tersebut diharapkan perdagangan intra negara anggota dapat mencapai 1520% dari total perdagangan dunia di akhir tahun 2018. Catatan penting lain yang ditorehkan Indonesia pada masa keketuaannya adalah disepakatinya wakil Indonesia sebagai Sekretaris Jenderal D-8 pertama pasca diterimanya perubahan struktur Sekretariat D-8 dari bentuk Direktur Eksekutif menjadi Sekretaris Jenderal. Setelah memimpin masa ad-interim, Dr. Dipo Alam terpilih menjadi Sekjen pertama dengan masa jabatan 2009-2012. Namun demikian, ditengah masa jabatannya yang bersangkutan terpilih menjadi Menteri Seskab dan jabatan Sekjen dilanjutkan oleh Dr. Widi Pratikto hingga akhir tahun 2012. Apa Manfaat D-8 bagi Indonesia? Dari catatan yang dimiliki Kementerian Perdagangan, volume intra-trade D-8 pada tahun 2010 mencapai 100 miliar USD atau baru sekitar 7% dari total volume perdagangan yang dilakukan negara-negara anggota D-8 secara keseluruhan. Namun demikian, sejak tahun 2006, perdagangan Indonesia terhadap negara-negara D-8 mengalami kenaikan sebesar 9,6%, bahkan pada beberapa negara dapat mencapai 12-14 %. Jika target road-map untuk mencapai target USD 2,8 triliun di tahun 2020 dapat tercapai, maka pangsa pasar D-8 dapat menjadi alternatif utama bagi mitra dagang nasional. Hal ini tentunya sesuai dengan kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Manfaat lain yang diperoleh Indonesia adalah meningkatnya daya tawar (leverage) kelompok ini dalam berbagai fora di sektorsektor yang memiliki perhatian bersama. Dalam pertemuan komisioner di Abuja awal Maret lalu, Indonesia telah mengusulkan agar D-8 dapat mencermati kemungkinan dilakukannya posisi bersama di berbagai forum multilateral, khususnya di sektor terkait di Jenewa, New York, Wina, Nairobi dan Roma sebagai langkah awal dalam memperkuat kebersamaan D-8. Adanya perumusan posisi bersama ini juga diharapkan dapat menjadi strategi alternatif disamping strategi Indonesia bersama Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 35 Diplomasi MULTILATERAL kelompok lain sehingga sinergi dari negara berkembang menjadi strategi yang lebih melengkapi dan komprehensif. Kelemahan D-8 Dalam pembahasan mengenai kerja sama D-8 dengan pemangku kepentingan yang dilakukan oleh Dit. Sosbud OINB beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam kerja sama ini adalah belum diikutsertakannya negaranegara muslim-Arab yang berlimpah dana seperti Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan Bahrain. Selain itu, masing-masing anggota D-8 masih bebas bertindak secara unilateral tanpa terpengaruh oleh anggota lain. Catatan ini diharapkan nantinya dapat diminimalkan oleh D-8. Potensi Andalan Lain Adapun potensi lain yang belum tergarap dalam kerja sama ini adalah pasar syariah dan pengembangan industri keuangan serta perbankan Islam, pengembangan industri halal, pembiayaan syariah bagi infrastruktur dan pengembangan sektor wakaf dan zakat untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh,dalam catatan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, aset industri keuangan syariah akan mencapai USD 8,60 triliun di tahun 2023. Sementara, untuk industri halal saat ini telah mencapai USD 2,3 triliun yang terdiri dari makanan minuman (67%), farmasi (22%) dan kosmetik 36 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 (10%). Sangat disayangkan justru pengembangan industri halal saat ini didominasi oleh pelaku dari negara non-muslim seperti Nestle, Mc Donalds, Tesco & Carrefour serta Port Rotterdam. Kesimpulan Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia sepatutnya terus meningkatkan peran sertanya dalam memperkuat kerja sama alternatif semacam D-8 dalam strategi nasionalnya. Melalui peran serta ini diharapkan kebutuhan akan pembiayaan infrastruktur dan permodalan lain yang selama ini menjadi beban nasional kiranya dapat teratasi. Di masa depan, D-8 dituntut keberadaannya untuk memperkuat kualitas dan kuantitasnya dalam berbagai kegiatan yang seharusnya menjadi milik D-8. Industri halal dan sistem perekonomian syariah sudah sepatutnya menjadi prioritas andalan disamping berbagai industri yang telah menjadi kesepakatan. Untuk itu, penguatan sumber daya manusia dan teknologi menjadi syarat penting dalam pengelolaan kerja sama ini. Selain itu, keikutsertaan pemangku kepentingan lain seperti para pengusaha dan akademisi dalam pengambilan keputusan juga dapat meningkatkan mutu kerja sama D-8. ------ Diplomasi MULTILATERAL LAMPIRAN: UN SECRETARY GENERAL’S LECTURE AT THE INDONESIA PEACE AND SECURITY CENTRE, 20 MARCH 2012 Your Excellency, President Susilo Bambang Yudhoyono, Your Excellency Minister of Defense Yusgiantoro, Your Excellency Minister of Foreign Affairs Marty Natalegawa Brigadier General Iman Eddy Commander of the Indonesia Peace and Security Centre, Peacekeepers, Peacekeepers in training, Members of the diplomatic corps, Ladies and Gentlemen, around the world, who has served as a peacekeeper. Garuda! You have answered the call of service. How about one more time this time louder! Garuda! I thank you. This is an impressive Centre. I would like to highly commend the visionary leadership of President Yudhoyono to have established this excellent training and peace and security centre. I hope that this training and peace and security centre will provide many countries, not only in this region, but all members who are contributing to peacekeeping operations to peacekeeping, something that they will fully utilize. This is a long vision. This is what we need. And I really thank His Excellency President Yudhoyono. It’s only natural: when you think of President Yudhoyono, he is the only world leader, all Excellencies, ladies and gentlemen, It is a special privilege as Secretary-General of the United Nations to meet so many distinguished military leaders, and also, more importantly, many troops who have contributed to peace and security around the world. You are the very frontline of our work for peace. This morning, I had a very constructive discussion with President Yudhoyono, covering all areas in peace and security matters, and I’m very happy to visit this centre where you train yourselves to contribute to the maintenance of peace and security, and to the United Nations. I deeply appreciate it. President Yudhoyono, to us in the UN family, you will always be a Blue Helmet. Thank you very much again. Many of you have deployed to our missions around the world. All these missions are very difficult to serve, and very dangerous. Unfortunately, 31 Indonesia men and wom- Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 37 Diplomasi MULTILATERAL en have paid the ultimate price, and I pay my deepest respect to them and to the families of these sacrificed soldiers. I am sure that by my visit here, I will learn a great deal from you. But today I want to share my perspective on the challenges we face and what we are doing to meet them. Peacekeeping is not mentioned anywhere in the United Nations Charter. But since the days of my distinguished predecessor Dag Hammarskjöld, peacekeeping has been a flagship United Nations activity. We now have nearly 120,000 peacekeepers serving all around the world, in 15 missions at this time. The blue helmet is a symbol of hope. I have seen first-hand how peacekeepers make a real difference in people’s lives. When conflicts rage, children are out of school for years, until our peacekeepers come and make it safe to go back to class. Peacekeepers build bridges – physical bridges to cross rivers, and to cross over broken roads, but more importantly they bridges of trust across communities. They help reclaim land poisoned with mines so farmers can plant crops. In scores of communities, peacekeepers provide free medical care to local people. Most of those people have never been to a hospital or to a clinic in their life, except 38 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 when they are treated by peacekeepers, including Indonesians. In disasters, our peacekeepers rescue people from wreckage and help get aid to survivors. Our Indonesian troops are doing their part. Some of you have served in Darfur, in Africa. On my way here, I read about one incident there. Indonesian UN troops were sent to protect internally displaced people in Darfur. You may know – the Indonesian peacekeepers were not welcomed when they first arrived. Some threw stones at the blue helmets. One Indonesian captain explained, the displaced people “did not know that we came to protect them.” The peacekeepers needed trust – but they could not demand or request it – they had to earn the trust of the people by leading by example. These Indonesian troops – like our blue helmets everywhere – showed courage and compassion. That changed everything. They earned hearts and minds, as we saw in the video. When a pregnant Sudanese woman in Darfur needed emergency medical care, the Indonesian ambulance rushed to help her. When the Sudanese military blocked the ambulance from leaving the camp, our Indone- Diplomasi MULTILATERAL sians insisted until they got that woman to the hospital. Many countries that once hosted UN troops now contribute them. You could say this was just a small service for one pregnant woman – but it meant a lot. What drives our peacekeepers’ work is an appreciation of this pact we call burdensharing. It was much more than a small service. Helping that woman was a brick in the foundation of a solid relationship between the people whom you sent to protect and the peacekeepers. You built the bridge between the United Nations and the people of Darfur. Peacekeeping does cost – but let us put this in perspective. More than sixty years of United Nations peacekeeping cost far less than what the world spends on the military in under six weeks. Everywhere our staff builds trust. Peacekeeping is a global partnership between these uniformed and civilian staff in the field, the UN Security Council and the Member States. Peacekeeping brings together countries large and small, rich and poor. Even former foes serve in common cause under the UN flag. In Lebanon, Indonesia has a ship as part of the UN Maritime Task Force. I really appreciate that valuable contribution. That Indonesian vessel sails alongside ships from Bangladesh, Brazil, Germany, Greece and Turkey. Indonesia has nearly 1,400 peacekeepers serving in Lebanon. It is one of 37 different countries that send troops to that mission. This is a remarkable expression of international solidarity – and it is just one example among 15 UN peacekeeping operations around the world. Peacekeeping is a wise investment that brings huge returns. All States can contribute. We need personnel, equipment, funds and ideas. I thank the Government of Indonesia, along with the United States, Australia and the Republic of Korea, my own country, for supporting this Centre. I also appreciate regional engagement by ASEAN, which has shown a great commitment to peacekeeping. I am encouraged by this region’s efforts to network its peacekeeping training centres. This has great potential to strengthen Asia’s contribution to peacekeeping. Just last month, ASEAN and the UN held a workshop together in Jakarta on conflict prevention, peacemaking and peacebuilding. The United Nations is committed to strengthening this collaboration. Ladies and gentlemen, More and more, UN peacekeepers are called on to protect civilians from violence. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 39 Diplomasi MULTILATERAL This is the focus of more than half of our peacekeeping missions, including those in Darfur, South Sudan and the Democratic Republic of the Congo. We go into volatile environments with a daunting task: to build lasting peace. We can only succeed when our people can act quickly and flexibly. They need the latest technology and tools to get the job done. In peacekeeping jargon, we speak of “enablers and multipliers.” Not many people understand what that means. Let me break that down. These are the helicopters, engineering units and the military medical hospitals that make it possible for troops to do more than they could on their own. Think of South Sudan. The newest nation on Earth. The latest Member State of the United Nations. It was mired in a war that killed over two million people and sent twice as many fleeing from their country. Two million people were killed, and four million people left their country. South Sudan is roughly twice the size of Malaysia, but it has less than 100 kilometres of paved roads. When I visited South Sudan I was so humbled. There are no roads, in such a huge country. Darfur is the size of France. Again, there are not many roads where cars can travel. When you need to deploy troops 40 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 you need helicopters, you need airplanes. Without them, they can’t move around. That’s what we call enablers, enabling our soldiers to work properly. I asked President Yudhoyono whether the Indonesia Government might consider contributing helicopters to our peacekeeping operations, and I hope that he will consider positively. I am constantly calling on Member States that have helicopters to provide them to our missions. I am also calling for more military engineers. They pave roads where there are none to help our peacekeepers move from point A to point B. And years after the blue helmets leave, the roads are still there, for reconstruction, development and daily life, for their own people. Excellencies, ladies and gentlemen, I place great importance on training for peacekeeping. When a soldier or a police officer deploys to a UN mission she or he has a sacred duty. They go where civilians are traumatized. In many cases, innocent men, women and children have suffered at the hands of soldiers and other fighters. Peacekeepers have a special duty to show that the United Nations respects and protects human rights, and protect the lives of the civilian population. Diplomasi MULTILATERAL That is why your individual conduct is so critical to our global mission. will host a UN course on gender in peacekeeping next month. I have praised the heroic acts of our peacekeepers who serve with honour. They make us all proud. I feel strongly that all headquarters and peacekeeping personnel should receive this training. But I have to speak very frankly that there are some people that bring shame to our peacekeeping operations. I have to make this equally as forceful. I am not talking about Indonesia. I’m talking about the tiny minority of peacekeepers who harm the very people they were sent to protect. They disgrace their countries and the United Nations, and undermine the good work of peacekeepers. At the same time, we have to do more to recruit women. I welcome the attention to this problem by Member States. I welcome the scrutiny. I welcome anything that sheds light on misconduct and abuse, because they thrive in the darkness of silence and shame. We are working to knock out this problem with a one, two, three punch. One: prevent misconduct. Training is a big part of that. And education is big part of it too. Two: enforce UN standards. This means investigating allegations and acting on every single one that proves true. And three: take remedial action by helping victims. We are also pushing hard for gender sensitivity training. I am grateful that this Centre As Secretary-General I have dramatically increased the number of women heading peacekeeping missions. And I am recruiting more women across all ranks. When I first became Secretary-General there were no women peacekeeping heads. Now we have seven women who are commanding peacekeeping operations. Women make up almost 30 per cent of our civilian staff in peacekeeping operations but only 9 per cent of all UN police, and just 4 per cent of our military are women. Now, our target is by 2020, to increase the number of women police by 20 per cent. We have to improve those numbers. We have to have more women police officers. Not for the sake of quotas or setting examples or even for the principle of gender equality. But they do better, particularly when it comes to sexual violence. Many women are afraid to report this kind of violence to male peacekeepers and officers. When they see female police officers and peacekeepers they feel much more comfortable in coming out and reporting these cases. So that the United Nations can help with the process of accountability – those perpetrators should be brought to justice. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 41 Diplomasi MULTILATERAL That’s a fundamental principle of democracy and of maintaining these peacekeeping operations. Excellencies, Ladies and gentlemen, You are carrying on a great name: Garuda. The Garuda, the soaring eagle, is the symbol of Indonesia. And Garuda is what they called the first Indonesian contingent sent to the Middle East in 1956. Since those early days, the Garuda have been deployed to the toughest UN missions: in Cambodia, Bosnia, Somalia, Lebanon, and beyond. Many of you will deploy to complex environments. You will bring your training, your abilities and your sense of responsibility to continue the legacy of those who have gone before you. As Secretary-General I have been paying a lot of attention to peacekeeping, because I have my own experiences as a young boy, growing up after the Korean War. I have seen the flags and role of the United Nations in Korea. The United Nations flag, and United Nations peacekeepers – the United Nations itself -- was the beacon of hope for all Korean people at that time. They came and rescued us from the aggression of communists, they rebuilt our country, and they 42 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 educated us. They made our society and our communities build back better. That’s why I’m now standing here as Secretary-General of the United Nations: only owing to such great and generous help, and sacrifice, of the United Nations. Whenever I travel in many countries, whenever I visit peacekeeping operations, I always tell them: “Please have a bigger sense of hope, don’t despair! It may be very difficult for you. But look at me. As a young boy, I was very poor. We were almost on the verge of collapse of the country. But because there was the United Nations, because there is still the United Nations, you can have hope and you can build back better in your country. This is my message to you.” In Indonesia, as one of the emerging countries, you have a moral and a political responsibility to help those people. You have risen from very difficult… I know how difficult a process you have come through, in terms of national security, in terms of democratic reform, you have struggled to have your country democratized, and you have such a great leader in President Yudhonyono. Ladies and gentlemen, please know you are not alone. You carry high hopes from the communities you serve – and great expectations from our wide world. Thank you very much. Garuda! Terima Kasih Diplomasi MULTILATERAL SEKILAS INFO MULTILATERAL JANUARI-MARET 2012 Parlemen Negara-negara Islam Dorong Demokrasi dan Keadilan Parlemen negara-negara Islam yang tergabung dalam PUIC (Parliamentary Union of OIC Member States) harus terus mendorong nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemakmuran agar PUIC dapat menjadi organisasi yang lebih efektif dan dapat meningkatkan kontribusi dalam penyelesaian masalah-masalah global. Hal itu merupakan intisari dari tema “Demokrasi, Keadilan, dan Kemakmuran” dalam konferensi Pertemuan PUIC yang diselenggarakan di Palembang, 24-31 Januari 2012. Pertemuan dibuka oleh Presiden SBY dan diberi sambutan oleh Executive Committee PUIC Hidayat Nur Wahid. Evaluasi Penanggulangan HIV/AIDS di Kawasan Asia Pasifik Sebuah pertemuan internasional untuk mengevaluasi penanggulangan HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik diselenggarakan di Bangkok, Thailand, pada tanggal 6-8 Februari 2012. Bertajuk Asia-Pacific High-Level Intergovernmental Meeting on the Assessment of Progress against Commitments in the Political Declaration on HIV/AIDS and the MDGs, pertemuan tersebut membahas mengenai evaluasi pelaksanaan Political Declaration on HIV/AIDS and MDG. Selain itu, pertemuan ini juga mengidentifikasi kerja sama kawasan dalam bidang kebijakan dan legislasi terhadap akses universal untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan HIV/AIDS, serta memajukan dialog multi-sektoral di antara sektor kesehatan dan sektorsektor lain seperti hukum, pengawasan obat. Pemberdayaan Perempuan dalam Gerakan Non-Blok Kerja sama teknik selatan-selatan serta upaya pemberdayaan perempuan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam pertemuan 3rd Ministerial Meeting on The Advancement of Women di Doha, Qatar, 12-14 Februari 2012. Dalam pertemuan tersebut, seluruh delegasi sepakat memberikan dukungan kepada Gerakan Non-Blok untuk memperkuat kerja sama teknik di antara kelompok negara Selatan-Selatan, termasuk pemanfaatan peran GNB Center di Jakarta dalam kerangka pemberdayaan perempuan dan isu-isu pembangunan. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 43 Diplomasi MULTILATERAL Sosialisasi Lowongan Kerja di Organisasi Internasional Untuk memberikan wawasan kepada para mahasiswa mengenai kesempatan bekerja pada organisasi internasional, Ditjen Multilateral menyelenggarakan seminar dan pameran bertema “Peluang Bekerja pada Organisasi Internasional” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada tanggal 28 Februari 2012. Para mahasiswa yang hadir berasal dari berbagai kampus di Palangkaraya, seperti Universitas Palangkaraya, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, STMIK Palangkaraya, STAIN Palangkaraya, Akademi Kesehatan, dan Universitas PGRI Palangkaraya. Total peserta mencapai sekitar 383 orang. Dalam acara tersebut, peserta dibekali dengan materi mengenai kesempatan bekerja di organisasi internasional, termasuk prosedur dan persyaratannya. Acara ini juga sekaligus sebagai sosialisasi kepada putra/putri daerah bahwa ada peluang lain untuk bekerja di luar negeri selain sebagai unskilled worker. Optimalisasi Peran Sipil dalam Manajemen Paska-konflik Peran kapasitas sipil internasional (international civilian capacity) dalam manajemen paskakonflik dapat dioptimalkan untuk membantu negara yang mengalami konflik bangun kembali dari keterpurukan. Hal ini mengingat negara paska-konflik seringkali kekurangan sumber daya yang memiliki keahlian-keahlian khusus, seperti kehalian di bidang reformasi sektor keamanan dan pembangunan fungsi yudisial, sehingga membutuhkan dukungan para ahli dari luar. Itulah poin penting dari Regional Consultation Strengthening Partnership for Civilian Capacities in the Aftermath of Conflict yang diselenggarakan di Bali, tanggal 1-2 Maret 2012, atas kerja sama Pemerintah Indonesia dan Norwegia. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama dalam rangkaian regional consultations yang bertujuan untuk memperkuat kemitraan antara PBB dan external actors dalam rangka memungkinkan deployment ahli sipil yang efektif dan demand-led. Kerja Sama Internasional untuk Memerangi Perdagangan Senjata Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan meneguhkan komitmennya untuk bersamasama melancarkan perang terhadap perdagangan senjata kaliber kecil dan ringan yang telah berdampak buru pada situasi keamanan nasional dan internasional. Kesepakatan itu mengemuka dalam pertemuan “Regional Meeting on the Implementation of the UN Programme of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons (SALW) in All Its Aspects: Looking Towards the 2012 Review Conference” yang diselenggarakan di Bali, 5 – 6 Maret 2012. Pertemuan tersebut terselenggara kerja sama Kementerian Luar Negeri RI dengan UN Office for Disarmament Office (UNODA) dan disponsori oleh European Union. 44 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Diplomasi MULTILATERAL Kerja Sama Internasional untuk Memerangi Narkoba Commission on Narcotic Drugs (CND) sesi ke-55 diselenggarakan di Wina, Austria, pada tanggal 12-16 Maret 2012 untuk membahas situasi global terkini terkait peredaran dan perdagangan gelap narkoba serta pertukaran informasi di antara negara-negara anggota mengenai pola dan perkembangan penanganan narkoba. Sidang tersebut dihadiri oleh seluruh negara CND, organisasi internasional, NGOs, dan para pakar. Pertemuan tersebut menyepakati 12 resolusi, antara lain mengenai pentingnya pengawasan terhadap new psychotrophic substances yang tidak diatur dalam konvensi, peran perempuan dalam penanganan masalah narkoba, dan perlunya pencegahan narkoba secara komprehensif. Persiapan KTT G20 Pertemuan Sherpa G20 diselenggarakan di Mexico City tanggal 15-16 Maret 2012 sebagai rangkaian kegiatan persiapan menuju pertemuan KTT G20 yang akan diselenggarakan pada 18-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Pertemuan ini secara khusus membahas mengenai situasi terakhir perekonomian global dan cara mengatasi berbagai hambatan yang ada, tindak lanjut hasil pertemuan Menlu G20, Pertemuan Menkeu G20, dan pertemuan G20 Anti Corruption Working Group serta pembahasan persiapan substansi pertemuan Mendag G20 dan Menaker G20 mendatang. Peningkatan Kontribusi Indonesia dalam Menjaga Perdamaian Dunia Indonesia meneguhkan komitmennya untuk berkontribusi bagi perdamaian dunia sesuai amanat Konstitusi. Untuk itu Indonesia ingin memberikan sumbangsih lebih pada operasioperasi perdamaian PBB, antara lain dengan cara mengirimkan lebih banyak pasukan dan peralatan. Hal itu mengemuka dalam kunjungan Sekjen PBB Ban Ki-moon ke Indonesia, 1920 Maret 2012. Pada kesempatan itu, Sekjen PBB juga menyampaikan apresiasi terhadap profesionalisme dan peran kontingen perdamaian Indonesia. Selain itu dia juga mengajukan permintaan kepada Indonesia untuk mengirimkan helikopter tempur ke berbagai misi perdamaian PBB. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 45 Diplomasi MULTILATERAL Indikator Budaya dalam Pembangunan Global Indikator budaya perlu dimasukkan sebagai salah satu alat ukur untuk menilai pembangunan global, khusunya pasca-2015 setelah MDGs berakhir. Salah satu caranya adalah melalui penerapan konsep sustainable development yang lebih luas. Hal tersebut mengemuka dalam UN Alliance of Civilizations Group of Friends (UNAoC-GoF) Meeting yang diselenggarakan di New York, AS, tanggal 20 Maret 2012. UNAoC yang bernaung di bawah PBB didirikan pada tahun 2005 atas prakarsa Spanyol dan Turki dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan kerja sama antar-bangsa dan masyarakat lintas budaya dan agama. Untuk mencapai tujuan itu, UNAoC bekerja sama dan membangun jaringan dengan negara, oganisasi internasional, kelompok masyarakat sipil, dan sektor swasta. Kerja Sama Membangun Pertanian Berkelanjutan Kerja sama global dalam bidang pertanian difokuskan pada pengembangan teknologi dan penyusunan kebijakan yang kondusif bagi pertanian berkelanjutan. Hal itu merupakan rekomendasi dari 8th Session of the Governing Council Meeting of the Center for Alleviation of Poverty through Sustainable Agriculture (CAPSA) yang diselenggarakan di Yogyakarta, 21-22 Maret 2012. CAPSA telah berhasil mendapatkan dana hibah guna memfasilitasi kerja sama Selatan-Selatan dalam bidang ketahanan pangan, penurunan angka kemiskinan, dan pertanian berkelanjutan untuk tahun 2012-2014. Dibentuk tahun 1981, CAPSA yang berbasis di Bogor, Jawa Barat, ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan di Asia dan Pasifik dengan cara mendorong pertanian berkelanjutan. Kerja Sama Penanganan Keamanan Nuklir Para pemimpin dunia menghadiri KTT Keamanan Nuklir di Seoul pada 26-27 Maret 2012. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk memastikan keamanan seluruh materi nuklir pada 2014 dan menjaga agar bahan kimia berbahaya itu jangan sampai jatuh ke tangan teroris. Dalam hal ini, peran PBB dan IAEA merupakan yang terdepan. Pada kesempatan itu, Presiden SBY mengusulkan pembentukan lembaga nasional di masing-masing negara untuk mendorong penggunaan nuklir secara damai dan menciptakan situasi dunia tanpa senjata nuklir, sebuah usul yang mendapat dukungan dan sambutan positif dari berbagai pemimpin dunia, antara lain dari Amerika Serikat dan Australia. 46 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Diplomasi MULTILATERAL AGENDA MULTILATERAL APRIL-JUNI 2012 ISDR Asia Partnership (IAP) Meeting, Bali, 9 – 11 April 2012 IAP Meeting adalah forum multi-stakeholder informal untuk memfasilitasi implementasi pengurangan risiko bencana dan Hyogo Framework for Action (HFA) di Asia. HFA adalah instrumen internasional mengenai pengurangan risiko bencana, yang disepakati secara internasional dalam penyelenggaraan World Conference on Disaster Reduction di Kobe, Jepang pada tahun 2005. HFA dimaksud akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2015. IAP dibentuk pada tahun 2004 dan melibatkan partisipasi pemerintah, lembaga-lembaga antar-pemerintah, civil society organizations, organisasi internasional, serta donor bilateral dan multilateral. Selain membahas implementasi pengurangan risiko bencana dan HFA, IAP Meeting di Bali juga akan membahasa persiapan penyelenggaraan 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction di Yogyakarta, 22 – 25 Oktober 2012. Konferensi Tingkat Menteri UNCTAD XIII, Doha, Qatar, 21-26 April 2012 Konferensi Tingkat Menteri (KTM) UNCTAD merupakan kegiatan yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Tahun ini KTM UNCTAD XIII akan diselenggarakan di Doha, Qatar, pada 21-26 April 2012 dengan tema “Development-centered globalization: Towards inclusive and sustainable growth and development.” Selain Menteri Luar Negeri RI (akan hadir untuk memimpin Pertemuan G77 dan China), terdapat wakil Menteri lainnya dari Indonesia yang diundang sebagai narasumber dalam special event pada rangkaian KTM UNCTAD XIII, yaitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) dan Menteri Perhubungan (Menhub; diwakili oleh Wamenhub). United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) didirikan pada tahun 1964 dengan tujuan mendorong integrasi negara berkembang secara pro-pembangunan ke dalam perekonomian dunia dan pada saat ini beranggotakan sebanyak 194 negara, termasuk Indonesia. Sidang Commission on Population and Development Sesi ke-45, New York, 23–27 April 2012 Persidangan sesi ke-45 Commission on Population and Development (CPD) akan berlangsung tanggal 23-27 April 2012 di New York dengan tema utama pembahasan adalah ”adolescents and youth.” CPD merupakan salah satu komisi di bawah Economic and Social Council (ECOSOC) PBB yang berfungsi memonitor, mengevaluasi dan memulai implementasi Programme of Action of the International Conference on Population and Development (ICPD) pada tingkat nasional, regional dan internasional. Persidangan sesi ke-45 dimaksud diketuai Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 47 Diplomasi MULTILATERAL oleh Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI. Sementara itu, delegasi Indonesia pada persidangan tersebut akan terdiri dari wakil-wakil kementerian/lembaga terkait dan unsur pemuda. Konferensi Tingkat Menteri Biro Koordinasi GNB, 7 – 10 Mei 2012 Konferensi Tingkat Menteri Biro Koordinasi Gerakan Non Blok akan diselenggarakan di Sharm El Sheikh, Mesir, pada tanggal 7-10 Mei 2012. Pertemuan diselenggarakan guna mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi GNB di Iran, yang menurut rencana akan diselenggarakan pada tanggal 31 Agustus – 1 September 2012. KTM Biro Koordinasi GNB akan didahului dengan Senior Officials Meeting pada tanggal 7-8 Mei 2012 yang akan membahas rancangan Final Document yang berisi perkembangan isu-isu politik, ekonomi, sosial dan budaya, sebagai hasil akhir KTM Biro Koordinasi GNB yang akan disahkan di akhir KTM dimaksud. Penyampaian Laporan UPR Indonesia Siklus Kedua, Jenewa, 21–25 Mei 2012 Kinerja Pemerintah Indonesia di bidang pemajuan dan perlindungan HAM akan dibahas di bawah mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB (DHAM) dalam sidang Kelompok Kerja (Pokja) UPR yang dijadwalkan pada tanggal 21 Mei – 1 Juni 2012. Indonesia telah menyerahkan Laporan Nasionalnya kepada Sekretariat Dewan HAM PBB. Sidang Pokja dimaksud akan berlangsung dalam bentuk dialog interaktif, di mana Indonesia sebagai State under Review (SuR) diharapkan menyampaikan pernyataan serta menjawab pertanyaan yang diajukan selama sidang tersebut. Negara-negara anggota maupun peninjau PBB kemudian akan memberikan berbagai rekomendasi terkait Laporan Nasional tersebut untuk ditanggapi oleh Indonesia dan akan tereflekasikan dalam laporan Pokja UPR Indonesia yang dijadwalkan akan diadopsi pada tanggal 25 Mei 2012 mendatang. Bali Process Technical Experts' Workshop on Trafficking in Persons dan Ad Hoc Group Senior Officials' Meeting (AHG-SOM), 28 Mei s/d 1 Juni 2012 Indonesia dan Australia merupakan pemrakarsa dan ketua bersama kerja sama regional Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Person and Related Transnational Crime (Bali Process). Bali Process dibentuk pada tahun 2002 dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama di antara negara-negara di kawasan dalam menangani irregular migration, termasuk penanggulangan perdagangan orang. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam kerangka kerjasama Bali Process antara lain adalah pertukaran data dan informasi intelijen, peningkatan kapasitas, dan kerjasama teknis dalam penanganan penyelundupan manusia dan perdagangan orang. Pertemuan Tingkat Menteri Bali Process Keempat (BRMC IV) tanggal 30 48 | Volume 1 No. 1 Triwulan I 2012 Diplomasi MULTILATERAL Maret 2011 di Bali antara lain menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan komitmen negara-negara di kawasan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Bali Process Technical Experts’ Workshop on Trafficking in Persons dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memperkuat kerja sama peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi berupa diskusi mengenai best practices di tiap-tiap negara. Selanjutnya, Ad Hoc Group Senior Officials’ Meeting akan menjadi forum untuk membahas pembentukan regional support office (RSO) untuk menjalankan fungsi koordinasi program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kerangka Bali Process, sekaligus dalam rangka menyusun rekomendasi kepada pertemuan tingkat menteri luar negeri terkait operasionalisasi RSO. KTT G20, 18-19 Juni 2012 Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT 20) akan diselenggarakan di Los Cabos, Meksiko pada 18-19 Juni 2012. Meksiko sebagai tuan rumah rumah sekaligus Ketua G20 tahun 2012 terus berupaya untuk menyukseskan pertemuan tersebut melalui berbagai kesepakatan yang akan dicapai dan hasil positif dari pertemuan kepada perekonomian dunia. Pembahasan pada pertemuan G20 tahun 2012 diperkirakan akan difokuskan pada isu-isu prioritas Meksiko tahun ini, yaitu mendorong stabilitas ekonomi dan reformasi structural, mendorong penguatan sistem keuangan internasional, mendorong isu ketahanan dan isu pembanguna berkelanjutan. Selain itu, Meksiko juga akan mendorong partispasi aktif negara yang tidak tergabung sebagai anggota G20, Organisasi-organisasi Internasional, kalangan think-tanks dan sektor swasta untuk menjadikan pertemuan G20 sebagai pertemuan yang inklusif, transparan, dan terbuka. KTT Rio+20, 20-22 Juni 2012 Pertemuan United Nations Conference on Sustainable Developments 2012 (Rio+20) akan diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 20-22 Juni 2012. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen politik negara-negara untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan; review terhadap implementasi Agenda 21, Programme for the Further Implementation of Agenda 21 and the Johannesburg Plan of Implementation (JPOI); serta untuk membahas new emerging challenges. Terdapat 2 (dua) tema besar yang dibahas oleh pertemuan ini, yaitu green economy dan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan. Volume I No. 1 Triwulan I 2012 | 49 Maret 2011 di Bali antara lain menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan komitmen negara-negara di kawasan dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Bali Process Technical Experts’ Workshop on Trafficking in Persons dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memperkuat kerja sama peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi berupa diskusi mengenai best practices di tiap-tiap negara. Selanjutnya, Ad Hoc Group Senior Officials’ Meeting akan menjadi forum untuk membahas pembentukan regional support office (RSO) untuk menjalankan fungsi koordinasi program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kerangka Bali Process, sekaligus dalam rangka menyusun rekomendasi kepada pertemuan tingkat menteri luar negeri terkait operasionalisasi RSO. KTT G20, 18-19 Juni 2012 Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT 20) akan diselenggarakan di Los Cabos, Meksiko pada 18-19 Juni 2012. Meksiko sebagai tuan rumah rumah sekaligus Ketua G20 tahun 2012 terus berupaya untuk menyukseskan pertemuan tersebut melalui berbagai kesepakatan yang akan dicapai dan hasil positif dari pertemuan kepada perekonomian dunia. Pembahasan pada pertemuan G20 tahun 2012 diperkirakan akan difokuskan pada isu-isu prioritas Meksiko tahun ini, yaitu mendorong stabilitas ekonomi dan reformasi structural, mendorong penguatan sistem keuangan internasional, mendorong isu ketahanan dan isu pembanguna berkelanjutan. Selain itu, Meksiko juga akan mendorong partispasi aktif negara yang tidak tergabung sebagai anggota G20, Organisasi-organisasi Internasional, kalangan think-tanks dan sektor swasta untuk menjadikan pertemuan G20 sebagai pertemuan yang inklusif, transparan, dan terbuka. KTT Rio+20, 20-22 Juni 2012 Pertemuan United Nations Conference on Sustainable Developments 2012 (Rio+20) akan diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 20-22 Juni 2012. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen politik negara-negara untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan; review terhadap implementasi Agenda 21, Programme for the Further Implementation of Agenda 21 and the Johannesburg Plan of Implementation (JPOI); serta untuk membahas new emerging challenges. Terdapat 2 (dua) tema besar yang dibahas oleh pertemuan ini, yaitu green economy dan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan.