BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Senjata kimia merupakan sistem senjata yang terdiri atas senjata dan pelontarnya serta amunisi dengan isiannya yang menggunakan bahan racun kimia, karena daya racunnya dapat menimbulkan korban massal terhadap manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungannya 1. Dilihat dari akibat yang dihasilkan oleh senjata kimia maka perlu dibuat suatu aturan atau rezim yang didepakati oleh negara-negara untuk mengatur, mengawasi penyebaran serta penggunaan bahan kimia di dunia. Upaya pelarangan senjata kimia telah dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu. tahun 1874 negara - negara Eropa bersepakat mengeluarkan Brussels Declaration (Deklarasi Brussel) yang melarang penggunaan racun dan peluru beracun di dalam peperangan. Pada tahap berikutnya berhasil ditandatangani satu deklarasi dalam The Hague Conference (Konferensi Den Haag) tahun 1899 yang mengutuk penggunaan missil tunggal yang merupakan difusi dari gas-gas yang mengakibatkan sesak napas (asphyxiating) atau merusak (deleterious). Meskipun telah ada deklarasi-deklarasi tersebut, senjata kimia tetap dipakai, bahkan dalam Perang Dunia I telah mengakibatkan korban lebih dari seratus ribu orang meninggal dan sekitar satu juta orang cidera. Keadaan tersebut sangat 1 Departemen Pertahanan RI Badan Pengkajian Dan Pengembangan Industri Dan Teknologi, 2000 Pengantar Pengetahuan Senjata Kimia, Hal 1. 1 memprihatinkan masyarakat internasional, sehingga kemudian tercapai Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warefare (Protokol Pelarangan Penggunaan dalam Perang Gas Penyesak Pernapasan, Gas Beracun atau Gas lainnya, dan tentang Metode Peperangan dengan Mengunakan Bakteri), yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925, selanjutnya disebut protokol Jenewa pada tahun 1925 2 . Protokol Jenewa melarang penggunaan dalam peperangan gas-gas yang mengakibatkan sesak napas dan beracun, cairan, benda atau peralatan sejenis, serta melarang juga penggunaan bakteri dalam metode peperangan. Walaupun Protokol Jenewa 1925 melarang penggunaan senjata biologi dan senjata kimia, tetapi tidak melarang pengembangan, produksi, penimbunan atau penyebarannya, demikian juga tidak mengatur mekanisme dan prosedur penanganan dalam hal terjadi pelanggaran. Karena kelemahan-kelemahan Protokol Jenewa 1925, sekaligus karena mulai meningkatnya kesadaran terhadap bahaya dari senjata pemusnah massal, maka masyarakat internasional terus mengupayakan tercapainya pelarangan total senjata kimia. Pada tahun 1948, Komisi Senjata Konvensional PBB menetapkan senjata kimia dan senjata bakteri sebagai senjata pemusnah massal. Pada tahun 1968 The Eighteen-nations Committee on Disarmament (Komite Pelucutan senjata 18 Negara) mulai merundingkan cara-cara pelarangan senjata ini. Keprihatinan masyarakat internasional pada waktu itu terhadap bahaya senjata kimia juga tercermin dalam laporan sekjen PBB yang berjudul Chemical and Bacteriological (Biological) 2 Undang-Undang Republik Indonesia (Uu)Nomor 6 Tahun 1998 (6/1998) Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya. 2 Weapons and the Effect of their Possible Use (Senjata Kimia dan Bakteri (Biologi) dan Dampak dari Kemungkinan Penggunaannya).3 Pada mulanya masalah senjata kimia dan senjata biologi ditangani bersamaan dengan satu pendekatan di dalam Komite Perlucutan Senjata 18 Negara tersebut. Akan tetapi, pada tahun 1971 disepakati untuk memisahkannya, agar dapat tercapai pelarangan senjata biologi terlebih dahulu mengingat aspek militer senjata biologi dianggap lebih berbahaya dibandingkan senjata kimia. Pada tahun 1972, setelah diserahkan rancangan naskah oleh negara-negara Eropa Timur di satu pihak dan Amerika Serikat di pihak lain, berhasil disepakati Konvensi Pelarangan Pengembangan, Produksi dan Penimbunan Senjata Bakteri (Biologi), Senjata Beracun serta tentang Pemusnahannya, yang nama lengkapnya Convention on the Prohobition of the Development, Production and stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxin weapons and on their destruction 4 . Konvensi ini terbuka penandatangannya pada tanggal 10 April 1972 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Maret 1975. Tercapainya Konvensi Pelarangan Senjata Biologi merupakan langkah awal bagi kemungkinan tercapainya pelarangan secara menyeluruh mengenai senjata kimia. Bersamaan dengan meningkatnya keberhasilan industri kimia modern di banyak negara, jumlah negara yang berpotensi memiliki senjata kimiapun meningkat tajam. Pada tahun 1980 Konferensi Perlucutan Senjata yang melaksanakan sidangsidangnya di Jenewa mulai merundingkan satu konvensi tentang pelarangan senjata 3 4 Ibid, Hal 2 Ibid, Hal 2 3 kimia. Meskipun demikian, kemajuan penyelesaian konvensi tersebut baru tercapai dalam waktu satu dekade kemudian, yaitu setelah tercapai kesepakatan-kesepakatan prinsip mengenaai masalah-masalah sensitif yang menyangkut penjelasan terhadap implementasi konvensi. Penyelesaian konvensi tersebut juga didukung adanya kemajuan perundingan bilateral antara dua negara adidaya, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pada tahun 1989 kedua negara bahkan dapat mencapai satu perjanjian bilateral bagi penghapusan sebagian besar timbunan senjata kimia mereka. Pada tanggal 3 September 1992 Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa berhasil merampungkan negosiasinya dan mengesahkan teks Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction yang selanjutnya disebut Konvensi Senjata Kimia (KSK). Pada Konferensi Penandatanganan KSK yang diadakan pada tanggal 13 Januari 1993 di Paris. KSK ditandatangani oleh 130 negara, termasuk Indonesia. Saat ini KSK telah ditandatangani oleh 169 negara.5 Tercapainya KSK merupakan keberhasilan upaya multilateral yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan KSK, satu kategori senjata pemusnah massal (senjata kimia) dihapus, dan penghapusan tersebut diawasi dengan sistem penjelasan universal yang sangat ketat. Dengan adanya sistem penjelasan bagi ketaatan terhadap ketentuan yang ada di dalamnya, KSK merupakan tonggak baru bagi penyelesaian masalah keamanan internasional, khususnya penyelesaian masalah perlucutan 5 Ibid, Hal 2 4 senjata, yang berdasarkan kesepakatan serta pengawasan pelaksanaannya mengikat secara internasional. B. Rumusan Masalah Fokus penulisan skripsi ini berusaha untuk menjawab pertanyaan “bagaimana Chemical weapons convention mampu menjadi rezim yang dapat mengatur dan mengendalikan penyebaran senjata kimia secara efektif ? ” C. Kerangka Pemikiran Teori berfungsi untuk memahami serta memberikan hipotesa secara sistematis, disamping menjelaskan maksud terhadap berbagai fenomena yang ada. Tanpa menggunakan teori, fenomena tersebut akan sulit dipahami, disisi lain teori juga dapat berupa sebuah bentuk pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara logis.6 Untuk membantu menganalisis Bagaimana proses penerapan hasil dari konvensi senjata kimia di negara yang ikut meratifikasi konvensi, penulis menggunakan dua teori. Yaitu : 1. Teori rezim Secara populer, rezim kerap didefinisikan sebagai “sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors expectations converge in a given area7.” Rezim harus dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar ”perjanjian 6 Jack C Plano, The International Dictionary, Santa Barbara, California Press, 1992, Hal. 7 Krasner, Stephen D, and Peny. International Regimes. Ithaca, NY: Cornell University Press,, 1983. Hal 2. 7 5 sementara” (temporary agreement) yang mengalami perubahan setiap kali terjadi perpindahan atau pergeseran dalam ”power” atau ”interest” , Krasner meminjam istilah rezim dari Keohane, yang menyebutkan rezim adalah satu perangkat peraturan pemerintah yang meliputi jaringan-jaringan peraturan, norma-norma dan cara-cara yang mengatur dan mengawasi dampaknya. “Norma” dalam konteks tersebut adalah nilai-nilai yang didalamnya terkandung fakta tepercaya, penyebab dan recititude. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai adalah perilaku standar yang terbentuk karena adanya kewajiban dan keharusan. “Peraturan” sendiri mengandung anjuran untuk bertindak secara spesifik yang sifatnya membatasi. Sedangkan decision-making procedure (prosedur membuat keputusan) merupakan praktek yang berlaku untuk membuat dan mengimplementasikan pilihan kelompok.8 Selain itu, Robert Jervis menyebutkan, bahwa rezim tidak hanya mempunyai implikasi terhadap norma-norma yang memfasilitasi terciptanya kerjasama semata, melainkan suatu bentuk kerjasama juga yang lebih dari sekedar kepentingan internal dalam jangka pendek. 9 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian rezim secara kontekstual merupakan gabungan dari nilai-nilai dasar tersebut di atas yang secara keseluruhan memfasilitasi lahir dan bertahannya sebuah rezim. Rezim menjadi hal yang signifikan sebagai intervening variables 8 Robert Jervis,”Realism, Game Theory, and Cooperation. World Politics” 40 (3) hal. 317–349. Robert Jervis, "Realism, Game Theory, and Cooperation," World Politics (Vol. 40, No. 3, 1988) Hal. 317–349. 9 6 yang berada diantara basic causal factors dan related behavior and outcomes. Rezim dapat juga dianggap sebagai perjanjian multilateral antar negara yang mampu mempengaruhi peraturan kebijakan dalam negeri masing-masing anggota, mengenai issue-area. Hingga hari ini telah terdapat ratusan bentuk rezim di seluruh dunia. Bentuk-bentuk satu rezim tentu berbeda satu sama lain. Ada kalanya juga rezim mengalami suatu perubahan. Penulis menggunakan teori rezim karena menurut penulis hal ini dapat menjelaskan bagaimana perkembangan yang telah di capai konvensi senjata kimia di masa sekarang, hal ini karena konvensi senjata kimia merupakan aturan bersama yang telah disepakati oleh beberapa Negara dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan teknologi. Selain itu juga konvensi senjata kimia ini terus mengalami perbaikan, semua Negara yang telah ikut meratifikasi konvensi ini akan mendapat pengawasan ketat dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW). OPCW sendiri merupakan suatu organisasi adalah badan pelaksana Konvensi Senjata Kimia (KSK atau konvensi). OPCW ini diberikan mandat untuk mencapai sasaran dan tujuan Konvensi, untuk memastikan pelaksanaan ketentuan-ketentuannya, termasuk untuk 7 mempenjelasan internasional, dan untuk menyediakan forum untuk konsultasi dan kerjasama antar Negara Pihak.10 2. Konsep efektifitas rezim Efektivitas rezim adalah fungsi dari dua variable independen yang utama, yaitu, character of the problem dan apa yang disebut problem solving capacity.11 Struktur problem dan problem solving capacity tidak dapat dilihat sebagai factor independen yang saling menguntungkan. Kapasitas adalah kemampuan melakukan sesuatu. Dibawah level generalisasi khusus, apa yang disebut problem solving capacity hanya dapat ditentukan dengan merujuk pada kategori problem atau tugas tertentu12. Karena itu skill problem solving dan perangkat institusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang berbahaya sangat berbeda dari yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang berkarakter merugikan. Menurut Underdal, ada tiga komponen sebagai variabel independen yang menentukan efektivitas suatu rezim, yakni tingkat kolaborasi (level of collaboration), kegawatan persoalan (problem malignancy) 10 Organization for The Prohibition of Chemical weapons. n.d. http://www.opcw.org/About-Opcw/ (accessed juli 22, 2012) 11 Underdal, Professor Arild. Explaining Regime Effectiveness. University Of Oslo, n.d 12 Ibid 8 dan kapasitas permasalahan (problem capacity) 13 . Melalui tiga komponen tersebut maka dapat diukur sampai sejauh mana efektivitas dari KSK berlaku terhadap Negara anggotanya, sebagai pengawas nantinya OPCW akan mengawasi setiap penyebaran maupun penggunaan dari senjata kimia, sehingga dapat diketahui apakah rezim KSK efektiv atau tidak. 2.1 Tingkat Kolaborasi (level of collaboration). Untuk mengukur tingkat kolaborasi suatu rezim, diperlukan terlebih dahulu analisis terhadap efektivitas suatu rezim yang ditentukan oleh formula Er = f (Sr.Cr) + Br, dimana Sr adalah Stringency (kekuatan aturan), Cr adalah Compliance (ketaatan anggota rezim terhadap aturan), sedangkan Br berarti efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain kita harus memeriksa terlebih dahulu output, outcome dan impact dari rezim KSK mengenai kepatuhan negara pihak dalam menerapkan aturannya.14 a. Output Output (Sr) adalah keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis 13 Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Hlm. 7-21 14 Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.. Hlm. 6. 9 seperti misalnya konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain 15 . Dalam hal ini keluaran dari rezim KSK sudah jelas dengan adanya kesepkatan bersama antara Negara pihak yang telah menyetujui mengenai pelarangan penggunaan senjata kimia dalam perang, sehingga terciptalah rezim KSK. 15 Ilien Halina. (2007). Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. Hlm. 3 10 b. Outcome Outcome (Cr) biasanya berhubungan dengan perubahan perilaku para anggota rezim. Dalam hal ini, institusi akan dikatakan efektif kalau menghasilkan perubahan tingkah laku.16. Setelah rezim KSK diratifikasi dan disepakati oleh semua Negara pihak maka dapat dilihat adanya perubahan sikap Negara pihak yang mulai menerapkan hasil dari konvensi tersebut, salah satunya yaitu pemusnahan senjata kimia yang dimiliki oleh Uni Soviet (Rusia) secara bertahap, dan disusul dengan Negara yang lain. c. Impact Impact (Br) berhubungan dengan terciptanya situasi tertentu yang didesain atau diinginkan oleh institusi/ rezim. Dengan pemberlakuan ketentuan – ketentuan KSK dampak yang dirasakan tidak hanya pada Negara pihak saja, akan tetapi juga ikut dirasakan oleh lembaga, masyarakat, bahkan individu. Selain itu, Negara pihak juga mendapatkan manfaat tersendiri, misalnya dalam kehidupan berpolitik Negara pihak akan terhindar dari kecurigaan dalam memproduksi senjata kimia, begitu juga dalam kegitan ekonomi dan perdagangan 16 Ibid. 11 internasional, Negara pihak akan diperbolehkan melakukan perdagangan bahan kimia sesuai peraturan dalam KSK. 2.3 Kegawatan Persoalan (problem malignancy) Keefektifan suatu rezim ditentukan oleh seberapa serius persoalan yang dihadapi. Apabila persoalan semakin rumit, maka keefektifan rezim pun akan semakin kecil. Dengan kata lain, jika terdapat suatu masalah yang sifat malignancynya semakin tinggi , maka kemungkinan terciptanya kerjasama yg efektif akan semakin kecil.17 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa senjata kimia merupakan senjata yang sangat berbahaya dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dilihat dari akibatnya tersebut maka diperlukan suatu rezim yang mengatur tentang senjata kimia, baik penggunaannya maupun kepemilikan senjata tersebut, sehingga dibentuklah KSK beserta organisasi yang akan mengawasi penyebarannya serta penggunaannya. Oleh karena itu, terciptanya KSK merupakan fenomena pertama dalam sejarah di dunia mengenai penyelesaian maslah keamanan internasional melalui konvensi, hal ini mencerminkan keberhasilan upaya multilateral dibidang perlucutan senjata yang belum pernah ada sebelumnya. KSK memuat aturan pokok mengenai pelarangan dan sekaligus penghancuran satu kategori senjata pemusnah massal, yakni senjata 17 Ilien Halina. (2007). Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. Hlm.13. 12 kimia, dan dilanjutkan dengan sistem penjelasan secara menyeluruh, baik berupa penjelasan nasional maupun penjelasan internasional yang diawasi secara ketat oleh OPCW, termasuk didalamnya memuat kewajiban setiap Negara anggotanya untuk deklarasi kegiatan industri kimia berikut dengan fasilitas yang dimilikinya. 2.4 Kapasitas permasalahan (problem capacity). Problem solving capacity membicarakan seputar efektivitas rezim diukur dari setting institusional, distribusi kekuasaan (power)18. a. Institusional setting (the rules of the game) Setting Institusional dalam KSK berpengaruh terhadap kesepakatan –kesepakatan yang telah dihasilkan. Pertauran yang telah dibuat oleh KSK yang bersifat kondusif sangat di butuhkan supaya dapat di implementasikan ke Negara pihak. KSK merupakan aturan yang telah disepakati oleh Negara di berbagai belahan dunia. KSK juga mempunyai mekanisme sanksi bagi para Negara pihak yang tidak menerapkan setiap aturan yang telah disepakati. b. Distribusi kekuasaan (power) Distribusi kekuasaan (power) menyangkut pembagian kekuasaan yang adil dalam sebuah rezim dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat 18 Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Hlm.15-16 13 untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan19. D. Hipotesa Berdasarkan pada permasalahan yang ada dan didukung oleh kerangka teori yang diterapkan, maka dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut : Konvensi senjata kimia cukup efektif untuk mencegah penyebaran senjata kimia di Negara pihak, hal ini dapat dilihat dari indicator berikut : 1. Kepatuhan Negara-negara pihak penandatangan Konvensi Senjata Kimia 2. Peran OPCW dalam mengendalikan rezim Konvensi Senjata Kimia. 3. Kesadaran Negara anggota akan bahaya penggunaan senjata kimia. E. Tujuan Penulisan Penelitian ini untuk mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana efektifitas konvensi senjata kimia dalam mengatur atau mengendalikan penyebaran senjata kimia. Selain itu penelitian ini dimaksudkan sebagai penerapan teori yang pernah penulis peroleh di bangku kuliah. Dan terakhir, tujuan penelitian adalah sebagai salah satu prasyarat guna memperoleh gelar kesarjanaan S-1 pada jurusan Ilmu 19 Ibid 14 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. F. Metode Penelitian Seperti yang dijelaskan oleh James Mahoney dan Gary Goertz20, ada beberapa perbedaan mendasar terkait metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif merujuk analisisnya berdasarkan pada basis angka. Hal ini bias di definisikan sebagai semua informasi atau data diwujudkan dalam bentuk kuantitatif / angka-angka yang analisisnya berdsar pada angka. Hal sebaliknya pada penelitian kualitatif. Hal ini juga merujuk pada klasifikasi antara ilu social yang cenderung dekat pada kualitatif, dengan ilmu alam yang merujuk pada pendekatan kuantitatif. Mengingat skripsi yang dikerjakan merujuk pada penelitian dalam ilmu social, penulis memilih untuk memakai metode penelitian kualitatif. Detil yang akan dijelaskan paparan dalam skripsi ini dibangun melalui data sekunder, yaitu pemakaian studi literautr, yang mengutamakan data tertulis dalam bentuk cetak seperti buku, jurnal, majalah, Koran, dan diktat kuliah. Serta juga berusaha melengkapinya dengan data tertulis bentuk elektroik seperti e-book dan website. G. Jangkauan Penelitian Secara spesifik, skripsi yang dibuat penulis, memfokuskan pada bagaimana konvensi senjata kimia mulai di terapkan kepada Negara pihak yang telah ikut menyetujui serta proses pelaksanaannya. Selain itu juga menganalisis bagaimana 20 James Mahoney And Garey Goertz,2006, A Tale Of Two Cultures: Constrating Quantitative And Qualitative Research, , Hal 1-3. 15 konvensi ini mulai dicetuskan, sehingga Negara pihak yang terlibat mulai memusnahkan senjata kimia yang dimiliki, serta bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh “panitia” atau organisasi yang telah dibentuk untuk dapat mengawasi serta mengambil tindakan ssesuai dengan prosedur terhadap Negara yang melakukan pelanggaran. H. Sistematika Penulisan Skripsi ini berisi pemaparan yang dirinci dalam 4 bagian utama, antara lain : Skripsi ini berisi pemaparan yang dirinci dalam 4 bagian utama, antara lain : 1. Bab I adalah bagian pendahuluan, isinya memaparkan beberapa bagian antara lain latar belakang, rumusan masalah, kerangka teori, hipotesa, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II merupakan penjabaran mengenai arti senjata kimia, jenis senjata kimia atau bahannya dan perkembangannya. 3. Bab III Menjelaskan mengenai konvensi senjata kimia, sejarah serta isi dari konsesi senjata kimia.. 4. Bab IV berisi efektivitas rezim dan implementasi hasil dari konevensi senjata kimia. dan pengawasan yang dilakukan oleh OPCW untuk mengendalikan penyebaran senjata kimia. 5. Bab V berisi penutup yang menjabarkan konklusi atau kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini. 16