Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik

advertisement
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
Oleh: Mudrajad Kuncoro**
FENOMENA listrik byarpet, sebagai cermin adanya krisis listrik, yang muncul di sejumlah
provinsi harus segera diatasi. Tanpa merombak manajemen kelistrikan nasional, target
pembangunan listrik 35.000 megawatt bakal sulit dicapai dan krisis listrik akan merata ke
seluruh Indonesia.
Simak saja yang terjadi di Lampung. Habis kabut asap terbitlah krisis listrik. Selama ini
Lampung mengimpor listrik dari Sumatera Selatan. Kabut asap di Sumsel terbukti mengganggu
kemampuan transfer daya dari PLTG di Sumsel, yang menurun menjadi 146-208 MW pada
siang hari dari kondisi normal 250 MW, sedangkan pada malam hari hanya 228-290 MW dari
kondisi normal 342 MW. Hal itu diperparah lagi dengan kondisi musim kemarau panjang yang
membuat kemampuan PLTA Way Besar dan Batu Tegi tak mampu mencukupi kebutuhan daya
listrik.
Beban puncak listrik di Lampung mencapai 838,80 MW pada malam hari, tetapi kemampuan
pembangkit listrik Lampung hanya sekitar 520 MW. Meski sudah ditambah "impor listrik" dari
Sumsel sebesar 258 MW, Lampung masih menderita defisit daya listrik setidaknya 60,70 MW.
Akibatnya, pemadaman dua kali sehari menjadi tidak terelakkan dan terus terjadi sejak Oktober
2015.
Pertanyaan mendasar yang muncul: apa penyebab krisis listrik? Akar masalah utamanya
adalah tertinggalnya pembangunan pembangkit listrik yang tumbuh 6,5 persen sementara
pertumbuhan permintaan listrik mencapai 8,5 persen dalam lima tahun terakhir. Cadangan
listrik yang terbatas mencerminkan ketidakmampuan pasokan dalam mengimbangi
pertumbuhan kebutuhan. Faktor utama di balik pemadaman listrik yang dialami hampir setiap
1/6
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
daerah saat ini disebabkan kurangnya pasokan listrik. Kurangnya pasokan karena banyak
faktor, seperti kabut asap, kemarau, dan lambannya pertumbuhan pembangunan pembangkit
listrik baru. Tanpa terobosan kebijakan yang fundamental, krisis listrik bisa jadi akan sering
muncul 3-4 tahun ke depan. Krisis listrik dapat menurunkan daya saing industri, menghambat
aktivitas perusahaan dan masyarakat, yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Tepat sekali penegasan Presiden Jokowi, "Urusan listrik sekarang ini bukan hanya urusan PLN,
urusan listrik sudah menjadi urusan negara, urusan pemerintah, bukan urusan PLN lagi"
(22/12/2015). Setiap kali berkunjung ke sejumlah wilayah di Indonesia, Presiden selalu
menerima keluhan mengenai minimnya pasokan listrik. Jelas, listrik menjadi kebutuhan dasar
bagi pengembangan industri, rumah tangga, dan semua sektor ekonomi di seluruh wilayah
Indonesia.
Upaya pemerintahan Jokowi mengatasi krisis listrik dengan meluncurkan program
pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW sejak 4 Mei 2015 perlu dihargai,
tetapi perlu dipantau realisasinya. Jokowi mewujudkan program ini dengan penandatanganan
perjanjian jual-beli tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA), letter of intent (LoI)
untuk pembangunan engineering, procurement, construction (EPC), hingga groundbreaking
beberapa pembangkit listrik.
Hingga awal 2016, kontrak yang telah ditandatangani dan dilaporkan oleh direksi PLN kepada
Presiden mencapai 17.330 MW. Rinciannya 14.000 MW berupa PPA, sisanya EPC PLN.
Biasanya dalam praktik masih butuh waktu hingga setahun untuk mendapatkan pembiayaan
dan masa konstruksi mencapai sekitar tiga tahun. Itu pun dengan catatan pembebasan lahan
tidak molor dari target dan proses perizinan tidak mundur-mundur.
Belajar dari terminal LNG Benoa
Masalah lamanya pembebasan lahan untuk pembangkit listrik bisa diatasi dengan membangun
fasilitas listrik yang terapung dan tidak di daratan. Contoh menarik adalah membangun Floating
Regasification Unit (FRU) dan Floating Storage Unit (FSU) di Benoa, Bali. Berbeda dengan
terminal liquefied natural gas (LNG) yang konvensional, terminal LNG Benoa ini memisahkan
fasilitas untuk proses mengubah gas dengan fasilitas penyimpanan (storage). Terminal mini
LNG pertama di Indonesia, yang diberi nama Benoa LNG Terminal, ditargetkan mulai
beroperasi Maret 2016. Terminal ini nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan gas sebesar
2/6
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
40 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) untuk pembangkit listrik tenaga diesel dan gas
(PLTDG) di Pesanggaran, Bali (Kompas, 23/1/2016).
Dengan penandatanganan kerja sama antara PT Indonesia Power (anak perusahaan PT PLN
Persero) dan PT Pelindo Energi Logistik (PEL) sebagai afiliasi perusahaan PT Pelabuhan
Indonesia III, terminal LNG yang berada di atas lahan milik PT Pelabuhan Indonesia III ini
nantinya akan dioperasikan sepenuhnya oleh PT PEL. Terminal yang beroperasi di Benoa ini
resmi beroperasi setelah PT PEL menandatangani kerja sama senilai 500 juta dollar AS dengan
PT Indonesia Power. PEL juga menjalin kerja sama senilai Rp 100 juta dollar AS dengan Jaya
Samudera Karunia Grup (JSK Grup) untuk membangun fasilitas FRU dan FSU.
Konsep FRU dan FSU ini adalah pelopor terminal LNG mengapung pertama di Indonesia.
Konsep ini sangat relevan dan cocok untuk negara kepulauan seperti di Indonesia. Dengan
FRU dengan kapasitas 50 mmscfd dan FSU dengan kapasitas 26.000 CBM, setiap hari
terminal ini mampu memenuhi kebutuhan gas sebesar 40 mmscfd guna memasok keperluan
gas untuk 200 MW PLTDG Pesanggaran, Bali. Ada beberapa kelebihan terminal mini LNG
dengan model FRU dan FSU ini. Pertama, waktu yang diperlukan untuk menyiapkan fasilitas
listrik terapung ini relatif jauh lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk
menyiapkan fasilitas pembangkit listrik di darat.
Pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah di Indonesia selalu terbentur masalah
pembebasan lahan. Diharapkan model dan pola penggunaan fasilitas terapung ini akan menjadi
proyek percontohan dan menjadi solusi terbaik bagi Pemerintah Indonesia, khususnya dalam
rangka merealisasikan program percepatan listrik 35.000 MW.
Kedua, keberadaan terminal ini tentu sejalan dengan Nawacita yang menjadi tekad pemerintah,
yaitu meningkatkan produktivitas dengan melakukan efisiensi biaya logistik dan infrastruktur
strategis, melalui program tol laut yang sudah dicanangkan oleh Jokowi. Sebagai catatan,
setiap 1.000 MW di pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dikonversi menjadi gas dapat
menghemat subsidi BBM Rp 9,6 triliun per tahun. Asumsinya, perhitungan ini berdasarkan tarif
Pertamina 2015, di mana harga High Speed Diesel (HSD) 941 dollar AS per ton dan LNG 12
dollar AS per MMBTU.
Ketiga, saat ini ada banyak PLTD di Indonesia dengan kapasitas 10-200 MW unit di Indonesia
dengan jumlah total lebih dari 10.000 MW. Apabila pemerintah segera meremajakan semua
PLTD tersebut menjadi berbasis gas, dapat dibayangkan berapa besar penghematan subsidi
3/6
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
Keempat, selain manfaat secara ekonomi dalam mendukung program pemerintah untuk
mengurangi subsidi BBM oleh pemanfaatan gas ini juga sejalan dengan program yang
dicanangkan Pemerintah Provinsi Bali, yaitu Clean and Green, dengan menurunkan tingkat
kebisingan, getaran, serta emisi CO2 gas buang. Data Environmental Analysis Report
menunjukkan bahwa dengan memakai bahan bakar gas dapat menurunkan NOX sebesar
7.220 ton per tahun, SO2 14.820 ton per tahun, dan partikulat sebesar 19.760 ton per tahun.
Reformasi kelistrikan nasional
Krisis listrik adalah akibat lambannya penambahan pasokan listrik dibandingkan dengan
permintaannya. Kendala pembebasan lahan dapat diatasi seperti model FSU dan FRU terpisah
di Bali atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) yang menyatu di Lampung atau
Banten. Dengan fasilitas terapung berbasis gas terbukti mampu mempercepat proses
konstruksi pembangkit listrik. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat pembangunan FSRU,
FSU, dan FRU atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya
pembebasan lahan di daratan.
Indonesia adalah negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia sebesar 152,89
TSCF (Triliun Standard Cubic Feet). Sumber cadangan gas berada di sejumlah daerah seperti
Blok Natuna, Cepu, Tangguh, Bontang, Arun, Masela. Sebanyak 104,71 TSCF merupakan
cadangan terbukti dan 48,18 TSCF merupakan cadangan potensial. Dengan produksi gas per
tahun mencapai 2,87 TSCF, Indonesia memiliki cadangan untuk produksi mencapai 59 tahun.
Namun, produksi gas sebagian besar malah dijual dan diekspor ke luar negeri. Akibatnya,
industri nasional mengeluh kekurangan gas. Pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik
harus diutamakan. Tanpa itu, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami
sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku.
Studi Bank Dunia, Doing Business 2016, menemukan kondisi kelistrikan yang menarik di
Indonesia. Untuk mendapatkan akses listrik di Indonesia masih membutuhkan lima prosedur
dan 79 hari, dengan biaya mencapai 383 persen dari pendapatan per kapita. Memang sudah
ada paket Kebijakan Ekonomi Tahap Ketiga yang meliputi penurunan harga BBM, listrik dan
gas, perluasan penerima KUR, dan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan
penanaman modal. Harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai
kemampuan daya beli industri pupuk, 7 dollar AS per mmbtu (juta British Thermal Unit). Tarif
4/6
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 akan mengalami penurunan Rp 12-Rp 13 per kWh
mengikuti turunnya harga minyak.
Yang ditunggu investor kelistrikan adalah terobosan dan deregulasi yang mempermudah
perizinan di kelistrikan, mulai dari hulu, distribusi, hingga hilirnya. Kemudahan perizinan dan
regulasi yang perlu diprioritaskan setidaknya: pertama, mentransformasi pembangkit listrik
tenaga diesel/uap (PTDU) yang boros subsidi dan BBM menjadi pembangkit listrik tenaga gas
(PLTG). PLTDU banyak yang berusia lanjut, boros BBM, dan akhirnya ditutup di sejumlah
daerah.
Kedua, pasokan bahan baku energi dari gas, batubara, minyak, dan lain-lain perlu dijamin
suplainya oleh pemerintah. Tak masalah apabila diangkut dari lokasi sumber gas di dalam
negeri. Jika tak mencukupi, izin impor langsung dari luar negeri perlu dipermudah dan
dipercepat dengan prosedur transparan dan bebas korupsi. Ketiga, negosiasi harga jual listrik
antara pihak swasta/BUMN dan PLN sering bermasalah dan kadang mengalami kebuntuan.
Tren penurunan harga minyak, batubara, dan gas membuat negosiasi sering berlarut dan
menghambat masa operasional. Pemerintah perlu mengatur harga yang wajar dan bisa
diterima semua pihak.
Keempat, masalah pembiayaan. Kemudahan akses pembiayaan, baik lewat sindikasi bank
nasional maupun bank asing, perlu ditinjau ulang oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan pemerintah. Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank mengatur bahwa
korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri dalam valuta asing wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dengan memenuhi aturan rasio Lindung Nilai, Rasio Likuiditas, dan
Peringkat Utang (Credit Rating). Aturan ini perlu direlaksasi, khususnya untuk pembangunan
infrastruktur listrik.
Dengan berbagai kemudahan perizinan dan regulasi di atas, saya yakin krisis listrik akan dapat
berakhir. Habis gelap terbitlah terang, tidak byarpet, untuk seluruh wilayah Indonesia.
5/6
Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Kompas: Mencari Solusi Krisis Listrik*
Monday, 22 February 2016 06:56
*Dimuat di Harian Kompas, hal. 6, 22 Februari 2016
**Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Program Doktor Feb Ugm;
Pemerhati Listrik
6/6
Download