Image Fusion: “Trik” Mengatasi Keterbatasan Citra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya peningkatan kemampuan sensor satelit dalam merekam kondisi permukaan bumi. Peningkatan kemampuan sensor ini dapat kita lihat selain dari semakin beragam resolusi spektral juga semakin baiknya resolusi spasial yang hasilkan. Sebagai contoh, pada awal tahun sembilan puluhan satelit Landsat memiliki sensor Thematic Mapper dengan resolusi spasial 30 meter, pada akhir sembilan puluhan Landsat telah memiliki sensor Enhanced Thematic Mapper yang telah dilengkapi sensor pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter. Begitu pula dengan satelit SPOT. Pada saat ini sensor multispekstral SPOT telah mampu merekam citra dengan resolusi 10 meter dan sensor pankromatiknya mampu menghasilkan resolusi spasial 5 meter. Ini merupakan kemajuan dimana pada generasi sebelum sensor multispektral SPOT hanya mampu merekam citra beresolusi 20 meter dan pankromatik hanya 10 meter. Peningkatan kemampuan perekaman data kemudian diramaikan oleh generasi satelit beresolusi tinggi, seperti IKONOS dan QuickBird yang mampu merekam data dengan sensor pankromatiknya masing-masing 1 meter dan 0,65 meter. Peningkatan kemampuan resolusi spektral juga diramaikan oleh kehadiran satelit Terra dengan sensor ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection). Sensor ASTER sendiri memiliki daerah spektral yang lebar dengan jumlah 14 band dari daerah visible hingga thermal infrared. Resolusi spasial beragam tergantung letak band pada peta spektral, resolusi 15 meter pada visible dan near infrared (VNIR), resolusi 30 meter pada Short Wave Infrared (SWIR) dan resolusi 90 meter pada Thermal Infrared (TIR). Adanya perbedaan hasil resolusi pada masing-masing satelit dapat dimanfaatkan oleh pengguna dalam mengaplikasikan teknologi pemrosesan citra secara digital untuk menghasilkan luaran yang lebih baik. Penggunaan satu jenis data satelit terkadang belum cukup untuk mendapatkan luaran yang diinginkan karena adanya keterbatasan resolusi spektral dan juga keterbatasan resolusi spasial. Karena itu saat ini banyak dikembangkan teknik pemrosesan penggabungan citra (image fusion) dimana satu atau lebih band pada satu jenis data satelit digabungkan sedemikian rupa dengan satu atau lebih band pada jenis data satelit yang berbeda. Pada pembahasan berikut akan dilakukan penggabungan citra dengan menggunakan tiga jenis data satelit yang mempunyai perbedaan resolusi spasial. Dari penggabungan ini diharapkan dapat terlihat penampakan obyek permukaan yang lebih baik dengan mempertahankan informasi dari salah satu jenis data satelit yang dipakai. Data dan Metodologi Data yang digunakan dalam studi ini adalah data yang dihasilkan dari sensor ASTER pada Agustus 2000, data dari sensor ETM pada Landsat-7 bulan September 1999 dan dari sensor multispektral (XS) satelit SPOT 5 pada Juli 2002. Data ASTER mempunyai resolusi spasial 15 meter, ETM mempunyai resolusi 30 meter sedangkan data SPOT mempunyai resolusi 10 meter. Daerah studi adalah kota Enschede (Belanda) dan sekitarnya. Metodologi yang digunakan adalah teknik penggabungan citra dengan metoda komposit warna RGB, transformasi RGB-IHS, dan transformasi IHS-RGB. Komposit warna RGB adalah penggabungan tiga band atau tiga informasi yang berbeda dalam tiga warna utama yaitu Merah (red – R), Hijau (green – G) dan Biru (blue – B). Nilai sekala abu-abu yang terdapat pada masing-masing band digunakan untuk membentuk himpunan atau gabungan kecerahan warna merah, hijau dan biru. Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam. Halaman 1 dari 5. Penggabungan citra dengan metoda RGB sangat umum digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya adalah untuk mempermudah analisis visual dari pengguna. Pemilihan band yang digunakan dalam metoda ini didasarkan atas karakteristik spektral masing-masing band yaitu sesuai dengan rentang panjang gelombang yang diterima oleh band tersebut. Sebagai contoh, band 4 ETM mempunyai rentang panjang gelombang dari 0,76 hingga 0,90 µm, pada rentang ini band tersebut biasanya digunakan untuk identifikasi tanaman dan juga dapat menunjukkan tanaman atau biomassa yang sehat. Sehingga jika pada penggabungan citra RGB band 4 diletakkan pada R maka penampakan vegetasi pada citra akan berwarna merah atau kemerahan. Sedangkan transformasi warna IHS (intensity-hue-saturation) secara efektif memisahkan informasi spasial (I) dan spektral (HS) dari citra hasil penggabungan RGB. Terdapat dua cara untuk mengaplikasikan teknik IHS, yaitu langsung dan substitusi. Cara yang pertama adalah dengan secara langsung menempatkan band atau data pada I, H dan S. Sedangkan cara substitusi adalah dengan melakukan transformasi dari RGB ke IHS dimana dipisahkan aspek warna dalam kecerahan reratanya (intensity). Hal ini terkait dengan kekasapan permukaan, kontribusi panjang gelombang dominan (hue) dan puritas (saturation). Hue dan saturation, dalam kasus ini, berhubungan dengan komposisi atau reflektifitas permukaan. Kemudian satu dari ketiga komponen tersebut dapat diganti dengan data lain yang akan diintegrasikan. Transformasi berlawanan arah (IHS ke RGB) mengonversi data kembali ke kondisi semula dengan menghasilkan citra tergabung (fused image). Teknik IHS telah menjadi prosedur standar dalam analisis citra. Proses ini dapat menghasilkan penajaman warna dari data yang terhubung, meningkatkan penampakan, dapat menambah resolusi spasial, dan dapat menggabungkan beberapa data yang terpisah. Penggunaan teknik IHS dalam penggabungan citra berdasarkan pada prinsip: penggantian salah satu komponen (I, H atau S) dari suatu data dengan data lain. Pada umumnya komponen yang digantikan adalah komponen intensity, yaitu dengan menggantikannya dengan data beresolusi lebih tinggi kemudian dilakukan transformasi berlawanan untuk mendapatkan kombinasi komposit warna kembali. Pada studi ini, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pemilihan band dari masingmasing data (ASTER, ETM dan XS). Berdasarkan karakteristik spektral band (rentang panjang gelombang pada masing-masing band), maka yang digunakan adalah band 4-3-2 (untuk sensor ETM), 3-2-1 (ASTER) dan 3-2-1 (XS). Langkah berikutnya adalah penerapan komposit warna RGB pada masing-masing data, setelah itu dilakukan transformasi RGB ke IHS. Setelah terbentuk IHS pada masing-masing data, dilakukan penggantian pada komponen I (dari ETM dan ASTER) dengan komponen I (dari SPOT) sehingga menghasilkan dua kombinasi IHS baru. Dua kombinasi baru ini kemudian dilakukan transformasi berlawanan arah untuk mendapatkan dua komponen RGB baru. Selengkapnya dapat dilihat pada diagram alur (Gambar 1). Analisis Proses transformasi RGB – IHS – RGB yang terjadi menunjukkan beberapa perbedaan antara lain resolusi spasial yang dihasilkan dan juga perubahan penampakan pada obyek di permukaan. Gambar 2 adalah hasil komposit warna RGB (432) dari data ETM, dan citra hasil penggabungan dengan metoda transformasi RGB-IHS-RGB, dengan mengganti komponen intensity ETM dengan komponen intensity data SPOT. Penampakan yang sangat terlihat terjadi perubahan adalah resolusi data. Resolusi spasial data ETM yang 30 meter telah diperbaiki dengan menggunakan resolusi spasial SPOT (10 meter). Hal ini berarti nilai dalam ruang 30 x 30 meter (1 piksel ETM) telah dikombinasikan dengan 9 nilai baru yang berasal dari SPOT (kita tahu bahwa 1 piksel SPOT Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam. Halaman 2 dari 5. berukuran 10 x 10 meter). Hal ini perlu kita ketahui agar kita tetap menyadari bahwa citra hasil penggabungan ini mempunyai nilai yang berbeda dibandingkan dengan citra awal. Perubahan resolusi citra berakibat langsung terhadap penampakan detil obyek teramati. Pada Gambar 2 lingkaran B dan C terlihat jelas adanya perbedaan detil obyek. Pada citra awal obyek yang dapat diamati dalam lingkaran tidak terlalu jelas, sedangkan pada citra hasil penggabungan kita dapat melihat jauh lebih detil jaringan jalan dan blok perumahan. Adanya perbedaan waktu akuisisi pada kedua jenis data yang digunakan (ETM tahun 1999, dan SPOT tahun 2002) berakibat seperti terlihat pada lingkaran A. Pada tahun 1999, saat ETM merekam data ini, di lokasi lingkaran A tidak terdapat obyek terbangun (bangunan atau bukaan lahan) sedangkan pada tahun 2002 dilokasi tersebut telah terjadi perubahan tutupan lahan. Hal ini tentunya dapat menjadi suatu keuntungan, karena kita dapat mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi dalam kurun waktu 1999 dan 2002. tetapi juga dapat menjadi kerugian jika tujuan awal kita ingin menganalisis penampakan tutupan lahan pada tahun 1999 (atau analisis tutupan berdasarkan saat data ETM direkam). Pada Gambar 3, yaitu hasil RGB dan transformasi RGB-IHS-RGB pada data ASTER, kondisi yang terlihat juga serupa dengan yang kita temukan pada data ETM. Yang membedakan tentunya adalah ASTER mempunyai resolusi spasial 15 meter, sehingga peningkatan ke resolusi 10 meter tidak terlalu terlihat mencolok seperti yang terjadi pada data ETM. Yang menarik adalah jika kita perhatikan pada daerah lingkaran A maka terlihat pada tahun 2000 (saat ASTER merekam data tersebut) telah terjadi perubahan tutupan lahan, jika dibandingkan dengan data ETM pada lokasi yang sama. Simpulan Analisis visual sangat diperlukan dan menjadi bagian penting dalam proses pemrosesan citra satelit. Keterbatasan kemampuan mata manusia dalam memilah warna dapat diatasi dengan transformasi RGB dari data satelit yang kita gunakan, dengan berdasar pada karakteristik spektral masing-masing band. Pengenalan obyek melalui warna hasil komposit warna RGB akan lebih terbantu jika kita dapat meningkatkan penampakan detil obyek. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik penggabungan citra, dimana kita bisa menggabungkan antara data yang mempunyai resolusi spektral lebih baik dengan data yang mempunyai resolusi spasial lebih baik. Untuk menghindari kesalahan interpretasi dari citra gabungan yang dihasilkan, waktu perekaman dari masing-masing sensor harus diperhatikan. Perbedaan waktu rekam yang terlalu besar akan mengakibatkan terganggunya analisis obyek permukaan karena ada kemungkinan terjadinya perubahan tutupan lahan pada lokasi studi. Daftar Pustaka Abrams, Michael, et.al., ASTER User handbook version 2, National Aeronautics and Space Administration. Cracknel, A.P., 1998, Synergy in remote sensing – what’s in a pixel, International Journal of Remote Sensing, vol. 19, no. 11, 2025-2047, Taylor and Francis Ltd. Pohl, C., 1998, Multisensor image fusion in remote sensing: concepts, methods and application, International Journal of Remote Sensing, Vol. 19, No. 5, 823-854, Taylor and Francis Ltd. Richards, John A., 1992, Remote Sensing Digital Image Analysis An Introduction, Springer-Verlag, Berlin. Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam. Halaman 3 dari 5. TM 4,3,2 (1999) SPOT 3,2,1 (2002) Aster 3,2,1 (2000) RGB -> IHS RGB -> IHS RGB -> IHS TM I-H-S SPOT I-H-S Aster I-H-S Combine SPOT: I TM: H - S Combine SPOT: I Aster: H - S I : SPOT H,S: TM I: SPOT H,S: Aster IHS -> RGB IHS -> RGB Fused Image TM-SPOT Fused Image AsterSPOT Gambar 1. Diagram alir Transformasi RGB – IHS – RGB. A A B B C C Landsat RGB 432 (30 x 30 m) Fused Image RGB (10 x 10 m) R : band 4 G : band 3 B : band 2 Transformed from IHS: I : SPOT (10 x 10 m) HS : Landsat (30 x 30 m) Gambar 2. Data ETM dan hasil transformasi RGB-IHS-RGB. Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam. Halaman 4 dari 5. A A B B C C ASTER RGB 321 (15 x 15 m) Fused Image RGB (10 x 10 m) R : band 3 G : band 2 B : band 1 Transformed from IHS: I : SPOT (10 x 10 m) HS : ASTER (15 x 15 m) Gambar 3. Data ASTER dan hasil transformasi RGB-IHS-RGB. Judul Penulis Publikasi Image Fusion: “Trik” Mengatasi Keterbatasan Citra Hartanto Sanjaya Staf Peneliti Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3TISDA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) E-mail: [email protected] Judul Buku: Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam Penerbit: P-3 TISDA BPPT bekerjasama dengan SEACORM – Badan Riset Kelautan dan Perikanan 2004 Alamat Kontak ISBN 979-3017-03-1 P-3 TISDA BPPT BPPT Gedung 2 Lantai 19 Jl. MH. Thamrin no.8 Jakarta 10340 INDONESIA Tel. 3169706; Fax. 3169720 Zamrud Khatulistiwa: teropong dari luar angkasa sampai laut dalam. Halaman 5 dari 5.