PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RESTORATIVE JUSTICE (Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung) BUDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice (Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Nopember 2009 BUDIANA NRP. I. 354070315 RINGKASAN BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS. Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban. Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana. Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga. Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara. Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat. Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal. Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se-Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal. Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut. Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui monitoring dan evaluasi. PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RESTORATIVE JUSTICE (Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung) BUDIANA Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Judul Tugas Akhir : Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice (Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung ) Nama NRP : : Budiana I354070315 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo Ketua Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Anggota Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Dekan sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 18 Nopember 2009 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur sepatutnya senantiasa dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT. karena atas berkat, rahmat dan karunia-NYA maka penulisan tugas akhir dapat diselesaikan sesuai waktunya. Karya tulis Pengembangan masyarakat ini diberi judul “Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice sebuah karya studi kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung. Penulisan studi kasus ini merupakan tugas akhir bagi Mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional (MP). Penulisan ini juga sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan diantaranya melalui proses Praktek Lapangan berupa Pemetaan sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat di lokasi kajian. Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, dan karenanya atas segala kebaikan yang diterima pada kesempatan yang baik ini ingin disampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat : 1. Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku komisi pembimbing, yang mana disela kesibukannya senantiasa meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi penyelesaian kajian ini. 2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Dosen Penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan kajian ini. 3. Bapak Ketua Program Studi beserta seluruh Dosen pendukung perkuliahan pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB). 4. Bapak Agus Wiryawan, Bc.IP, SH selaku Kepala Bapas Klas I Bandung dan Bapak Mardjuki, M.Si, selaku Kepala Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, atas dukungannya penulis memiliki kesempatan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana pada Institut Pertanian Bogor (IPB). 5. Bapak dan Ibu tokoh masyarakat di Pasanggrahan yang telah memberi dukungan mendalam selama pengumpulan data untuk kajian ini. 7. Ibunda dan Ayahanda yang mulia, Istri tercinta serta anak-anakku tersayang yang senantiasa memberi do’a dan semangat sejak awal perkuliahan hingga berakhirnya masa studi. 8. Rekan-rekan angkatan V Program Beasiswa Departemen Sosial pada studi Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah senantiasa banyak memberi dukungan dan bantuan moril dan spirituil selama masa perkuliahan berlangsung hingga selesainya penulisan kajian ini. Semoga seluruh amal kebajikan yang telah dan akan dilakukan pihakpihak terkait senantiasa mendapat ridho dan karunia dari Allah SWT. Harapan saya kiranya kajian ini memberi manfaat dan menjadi inspirasi bagi penggiat pengembangan masyarakat kini dan yang akan datang. Bogor, Nopember 2009 BUDIANA RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 20 Oktober 1969 dari pasangan Adun dan Yayah Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Desa Sukamukti Kecamatan Cilawau Garut tahun 1982, kemudian melanjutkan ke SMP Cilawu Garut tamat tahun 1985. Pada tahun 1988 lulus dari SMAN 2 Garut jurusan Biologi, selanjutnya melanjutkan ke STKS Bandung dan selesai pada tahun 1993. Sejak tahun 1996 bekerja pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tengah di Palu, dan pada tahun 2000 alih tugas ke Pemda Tk. I Jawa Barat selama 6 bulan, selanjutnya pada Bulan Juli 2000 alih tugas ke Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat dan ditempatkan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor kerjasama dengan STKS Bandung. © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB. Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Titik Sumarti, MS DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel ................................................................................................. i Daftar Gambar ............................................................................................. ii Daftar Lampiran .......................................................................................... iii I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3 1.3 Tujuan Kajian ................................................................................... 3 1.4 Manfaat Kajian ................................................................................. 3 5 5 7 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Pengembangan Masyarakat .............................................................. 2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal ............................... 2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Anak Nakal ....................................................................................... 2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana restorative justice.............................................................. 2.5. Kenakalan Anak ............................................................................... 2.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 14 15 26 III. METODOLOGI KAJIAN ............................................................... 3.1 Metode Kajian ................................................................................. 3.2 Teknik Kajian .................................................................................... 3.3 Metode Penyusunan Program ........................................................... 3.4 Prosedur dan Penyajian Data ............................................................ 27 27 28 30 30 IV. PETA SOSIAL DAERAH PENELITIAN ........................................ 4.1 Kondisi Demografi dan kependudukan.............................................. 4.2 Sistem Ekonomi .............................................................................. 4.3 Struktur Komunitas .......................................................................... 4.4 Masalah Komunitas .......................................................................... 34 34 40 41 48 V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK ....... 5.1 Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justice ...................... 5.1.1 Proses Pembentukan ...................................................................... 5.1.2 Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung ................................ 5.2 Kinerja Forum di Kelurahan ............................................................. 5.2.1 Perkembangan Forum ..................................................................... 5.2.2 Proses Musyawarah Forum ............................................................. 5.2.3. Proses Relationship Building ......................................................... 5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi .................................................. 50 50 50 60 64 64 66 68 70 VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM ........... 6.1 Kinerja Anggota FMPA .................................................................... 6.1.1. Motivasi ......................................................................................... 6.1.2. Pemahaman Tentang Hak Anak .................................................... 73 74 74 76 9 6.1.3. Pengalaman .................................................................................... 6.2. Peranan Inisiator FMPA .................................................................... 6.2.1. Unicef Jabar ................................................................................... 6.2.2. LPA Jabar ...................................................................................... 6.2.3. LSM Saudara Sejiwa ...................................................................... 6.3. Partisipasi Masyarakat ...................................................................... 6.3.1. Orang Tua ...................................................................................... 6.3.2. Masyarakat Umum ......................................................................... 6.3.3. Kelembagaan Masyarakat .............................................................. 78 79 79 80 81 81 82 84 84 VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM ......................................... 7.1. Kasus Yang Ditangani FMPA ........................................................ 7.2. Evaluasi Masyarakat ....................................................................... 7.3. Evaluasi Keluarga Korban .............................................................. 7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku ............................................................... 87 88 93 97 99 VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM ................ 8.1 Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan ........................ 8.1.1. Identifikasi Potensi ...................................................................... 8.1.2. Identifikasi Masalah .................................................................... 8.1.3. Identifikasi kebutuhan ................................................................. 8.2. Analisis Pohon Masalah ................................................................. 8.3. Rancangan Program ........................................................................ 8.3.1. Program Jangka Pendek ............................................................... 8.3.2. Progam Jangka Panjang ............................................................... 8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi ............................................... 100 101 101 102 103 103 106 108 109 112 IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................................... 115 9.1 Kesimpulan .................................................................................... 115 9.2 Rekomendasi .................................................................................. 115 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 117 DAFTAR TABEL 1 Halaman 31 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data Kajian Pengembangan Masyarakat di kelurahan Passanggrahan ....... 2 Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Ke lamin Tahun 2008.................................................................. 35 3 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008................. 37 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2008 ......................................................................................... 37 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun 2008...................................................................................................... 38 6 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus Tahun 2008 .......................................................................................... Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2008 ......................................................................................... Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 ......... Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum di Jawa Barat Tahun 2008 .................................................................... 39 10 Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008 ................................................................................. 55 11 Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak 56 7 8 9 39 43 54 Tahun 2008 di Jawa Barat..................................................................... 12 109 13 Sosialisasi Program Restorative Justice …………………………….. Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW se-Kelurahan Pasanggrahan …………………………………………. 14 Program Monitoring dan Evaluasi ...................................................... 114 112 DAFTAR GAMBAR 1 Halaman Prinsip-prinsip Hak Anak ..................................................................... 25 2 Kerangka Pemikiran …………………………………………………. 26 3 Piramida Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujungberung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 ........................................................................................... 36 4 Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum ................................................................................................... 73 5 Pohon Masalah ..................................................................................... 105 Daftar Lampiran Halaman 1 Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan 2 Panduan Wawancara 3 Dokumentasi RINGKASAN BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS. Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang mender ita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara. Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se-Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik. Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya. Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut. Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui monitoring dan evaluasi. Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal adalah sebagai berikut : 1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses penanganannya. 2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui proses hukum (peradilan formal) 3. Bagi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) apabila mendapatkan permintaan untuk pemeriksaan terhadap anak nakal dari pihak kepolisian, hendaknya segera ditempuh terlebih dahulu dengan cara restorative justice di masyarakat, hasilnya dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian dapat memutuskan perkaranya dengan cara diversi, tetapi apabila restorative justice tidak berhasil dilakukan, maka kasusnya tetap berlanjut kedalam proses persidangan dan laporan tersebut akan menjadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak nakal. DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan ..................................................... 120 2. Panduan Wawancara ............................................................................. 121 3. Dokumentasi ........................................................................................ .126 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan individu yang memiliki posisi penting dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap anak sebagai generasi penerus ini memiliki konsekuensi perlunya upaya perlindungan dan jaminan terhadap terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian kita masih harus prihatin terhadap potret buram anak-anak Indonesia. Potret buram ini dapat dilihat dari masih banyak ditemukannya permasalahan sosial yang dialami oleh anak. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 mencatat setidaknya 3,5 juta anak usia 5 sampai dengan 8 tahun mengalami keterlantaran, 1,2 juta anak balita terlantar, 6,7 juta anak membutuhkan perlindungan khusus, 2 sampai dengan 8 juta jiwa anak menjadi pekerja, 3,5 juta anak Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan dan anak nakal sebanyak 193.155 jiwa (Suharto, 2007) Fenomena kenakalan anak merupakan permasalahan sosial yang belakangan ini cepat berkembang. Balai Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 mencatat 150 kasus anak nakal yang masuk dalam persidangan, pada tahun 2006 meningkat menjadi 188 anak, tahun 2007 meningkat menjadi 345 anak dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 435 anak. Pemenjaraan atau penahanan terhadap anak adalah sesuatu yang harus dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum. Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan yang diberikan kepada anak nakal masih kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahanan atau pemenjaraan terhadap anak oleh aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksanaan, dan persidangan di pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut timbul gagasan agar tidak semua permasalahan kenakalan anak diproses secara hukum, tetapi diupayakan diselesaikan di tingkat masyarakat yang disebut dengan nama restorative justice. 1 Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban. Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana. Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga. Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara. Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya 2 kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang konsep restorative justice dalam penanganan anak nakal. 1.2. Rumusan Masalah adalah : Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah : 1. Bagaimana kinerja FMPA dalam menangani anak nakal dengan model restorative justice ? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA? 3. Bagaimana rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak)? 1.3. Tujuan Kajian adalah : Tujuan kajian ini dilakukan adalah: 1. Mendeskripsikan kinerja anggota FMPA 2. Mendeskripsikan peranan inisiator FMPA 3. Mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice 4. Mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal dengan restorative justice 5. Merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA 1.4. Manfaat Kajian Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilakukan di Kelurahan Pasanggrahan secara lebih khusus diharapkan dapat bermanfaat bagi : 3 1. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat menumbuhkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam menangani anak nakal, sehingga tidak semua masalah kenakalan anak diproses secara hukum 2. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat berpartisipasi dalam mencegah terjadinya kenakalan anak khususnya yang terjadi di kelurahan Pasanggrahan 3. Bagi instansi pemerintah khususnya penegak hukum seperti pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, kiranya kajian ini dapat dijadikan solusi terhadap penanganan anak nakal yang selama ini masih bersifat persial. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi terciptanya peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Revisi terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Anak adalah bagian dari keluarga, anak dilahirkan dalam keluarga, menerima status sosial awal dari keluarga, , dilindungi, dibesarkan, disosialisasikan dalam keluarga, untuk kemudian menjadi warga dalam masyarakat. Kondisi anak pada saat ini, akan sangat menentukan pada kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di masa yang akan datang. Menurut Heny (2005) dalam perspektif sosiologi kesejahteraan anak terlihat dalam bentuk perkembangan fisik dan kepribadian yang ditandai pola perilaku anak yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Goode (1995) yang dikutip oleh Heny (2005) menyebutkan masyarakat dan kebudayaannya menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi yaitu sejauhmana sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap dan tingkah laku masyarakat dan keluarganya. Di sinilah pentingnya keluarga, karena keluarga adalah titik awal perkembangan fisik dan kepribadian anak, sehingga seorang anak harus mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan sosialnya. 2.1. Pengembangan Masyarakat Alimusa (2003) mengemukakan bahwa : ”Pengembangan masyarakat adalah pengembangan swadaya masyarakat dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan”. Menurut Cary (1970), pengembangan masyarakat pada intinya merupakan : 1) usaha yang disengaja dan dilakukan bersama-sama oleh orangorang dalam masyarakat, 2) mengarahkan masyarakat masa depan dan membangun serangkaian teknik yang diakui dan didukung masyarakat, 3) ditujukan untuk mencapai kehidupan sosial yang lebih baik dimasa depan 5 Pengertian diatas menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas dalam memenuhi kebutuhannya. Prakteknya proses pengembangan masyarakat hendaknya mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat sehingga keputusan apapun mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat itu sendiri, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Korten (1984), pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi. Partisipasi menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Agung dan Purnaningsih (2003), memberikan karakteristik partisipasi, yaitu : 1) masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, 2) cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, 3) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan mereka sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Menumbuhkan partisipasi dalam pengembangan masyarakat tidak dapat tumbuh begitu saja. Masyarakat perlu di ajak untuk menyadari kelemahan dan potensi yang dimiliki dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan komunitas. Pendekatan ini menurut Cary (1973), seperti dikutip Gunardi (2003), menampilkan tiga ciri utama, yaitu : 1) partisipasi yang berbasis luas; 2) komunitas merupakan konsep yang penting; 3) kepeduliannya bersifat holistik. Keunggulan menggunakan pendekatan komunitas ini adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan, adanya penelaahan secara menyeluruh, dan menghasilkan 6 perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh seluruh warga. 2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal Pekerjaan sosial adalah suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara orang dan lingkungan sosialnya (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat) untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai satu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia dan keadilan sosial Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Pekerjaan Sosial yang diterapkan dalam usaha kesejahteraan anak, termasuk penanganan anak nakal : 1. Berlandaskan prinsip dan metode ilmu pengetahuan; 2. Berintikan pemberian bantuan; 3. Menggunakan hubungan anta manusia sebagai alat; 4. Ditujukan guna pengembangan personal dan sosial sebagai satu kesatuan; 5. Mencakup juga pengembangan kualitas lingkungan sosial dan fisik (lingkungan hidup); 6. Demi terciptanya kesejahteraan sosial yang berlandaskan has asasi manusia dan keadilan sosial. Dalam penanganan anak nakal ini, pekerjaan sosial dengan beberapa metodenya dapat dijadikan acuan dalam memcahkan berbagai masalah anak nakal, terutama dalam merubah sikap dan perilakunya Dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu : a. Prinsip Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal 1) Pelayanan yang diberikan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat anak nakal 2) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi anak nakal 3) Memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk menentukan pilihan bagi dirinya sendiri 7 4) Mengupayakan kehidupan anak nakal agar lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat b. Beberapa Metode Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal 1). Bimbingan Sosial Individu Metode bimbingan sosial individu ditujukan kepada anak nakal dilakukan secara tatap muka antara pekerja sosial dengan anak. Bimbingan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahanyang bersifat mendasar yang dapat mengganggu proses pelayanan. Selanjutnya proses konsultasi dilakukan untuk menemukan kemampuan serta alternatif pemecahan masalah anak dan kehidupannya. Dalam metode ini pekerja sosial mendorong anak untuk mengungkapkan masalahnya baik yang bersifat individu maupun masalah-masalah lainnya seperti masalah keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu pekerja sosial juga memfasilitasi anak dalam mencari berbagai alternatif dan solusi pemecahannya. 2) Bimbingan Sosial Kelompok Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode pekerjaan sosial untuk memperbaiki dan meningkatkan peranan sosial individu melalui pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan. Dengan perkataan lain, pekerja sosial menggunakan kelompok sebagai alat intervensi untuk memenuhi kebutuhan individu yang akan dipengaruhinya, karena pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih baik dari pada mekanisme lainnya, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila igali dan dikembangkan dengan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber untuk penyembuhan dan pengembangan anggotanya 3) Bimbingan Sosial Masyarakat Metode bimbingan sosial masyarakat ini menggunakan kehidupan dan interaksi masyarakat yang menjadi lingkungan sosial anak. Melalui penerapan metode ini lingkungan masyarakat perlu diciptakan sehingga 8 dapat menerima dan mendukung kehadiran dan permasalahan anak nakal. Disamping itu, pekerja sosial memotivasi anak untuk menerima dan hidup bersama lingkungannya. Bimbingan sosial masyarakat merupakan metode yang bersifat komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatoris untuk mempersatukan seluruh segmen masyarakat dalam penanganan permasalahan anak. 2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Kenakalan Anak Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang viktimologi dan kriminologi. Konsep ini mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Program ini memungkinkan korban, pelaku dan komunitas dapat terlihat langsung dalam merespon kejahatan, proses pemulihan yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan bagi anak. Kelompok Kerja Peradilan Pidana Anak perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) yang dikutip oleh Melani (2006) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang”. Menurut Tony Marshal yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk memecahkan secara bersama-sama begaimana mengatasi akibat dari suatu kejahatan dan implikasinya di masa mendatang Kevin I Minor and J.T. Morrison yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan dan untuk memfasilitasi perdamaian dan kesentosaan di antara kelompok yang menentang. Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa : 9 ” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process. (Daly and Immarigeon, 1998) Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa : ” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process. (Daly and Immarigeon, 1998) Menurut Daly dan Immarigeon bahwa restorative justice telah mulai bermunculan di beberapa negara dengan nama yang berbeda. Konsep dasarnya adalah adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan pidana dengan menerapkan bentuk diversi (pengalihan) bentuk hukuman dan menghindari proses peradilan formal. Menurut Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) bahwa dalam Proses restorative justice ada tiga hal yang harus ditempuh yaitu : 1. Family Group Cenference (FGC) yaitu adanya musyawarah dalam keluarga untuk membahas permasalahan antara pihak korban dengan pelaku 2. Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban yang difasilitasi oleh mediator. Yang menjadi mediator adalah sukarelawan dari masyarakat (Volunter) 10 3. Peacemaking and sentencing circles yaitu tercapainya (terbangunnya) proses perdamaian antara pelaku tindak kejahatan dengan pihak korban dan masyarakat Selanjutnya Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) menyebutkan bahwa dari ketiga bentuk yang tersebut di atas harus mengandung unsur-unsur : 1. Adanya dialog, yang terlibat dalam dialog adalah pihak korban dan pelaku, korban dan aparat penegak hukum, korban dan anggota masyarakat dan antara pelaku dengan anggota masyarakat serta pihak-pihak lain yang dibutuhkan 2. Relationship building (membangun hubungan) antara pelaku dengan korban dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu 3. Restorasi yaitu adanya pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya, serta ganti rugi bagi korban Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI (2008) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akanm datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki rekonsiliasi dan mententramkan hati” Berdasarkan beberapa pengertian diatas, restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kenakalan anak dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban dan untuk memfasilitasi perdamaian. Upaya ini menekankan pemulihan atas kenakalan seorang anak harus dilakukan dalam lingkungan yang layak, masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi terlibat dalam penanganan anak tersebut, jadi kasus hukum yang ringan menyangkut anak-anak diharapkan tidak sampai ke pengadilan dan 11 diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan musyawarah. Penyelesaian di pengadilan hanya diterapkan pada jenis kejahatan yang belum ditolerir, seperti kejahatan terhadap asusila, pengrusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga penghilangan nyawa. Restorative justice menekankan pada proses pemulihan atas kenakalan seorang anak melalui penyelesaian secara musyawarah. Dasar pemikirannya bahwa masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi dalam penanganannya. Dengan ini kasus-kasus hukum yang ringan diharapkan tidak perlu sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tetapi cukup dilakukan di lingkungan setempat. Manfaat restorative justice menurut Wright (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2005) adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan pemahaman, menekankan pertanggungjawaban dan menaikkan daya terima masyarakat terhadap pelaku kejahatan 2. Menggabungkan kebijakan sosial dengan kebijakan pencegahan kejahatan 3. Memberikan contoh untuk perilaku yang baik 4. Menaikkan komunikasi dan partisipasi bagi korban, pelaku dan masyarakat 5. Melakukan penahanan hanya jika diperlukan Program restorative justice (Wright, 1991) yang dikutip oleh Hidayat (2005) dikatagorikan menjadi tiga nilai yaitu : 1. Encounter, memberikan kesempatan bagi korban (pelaku) dan komunitas untuk bertemu, berdiskusi tentang kejahatan dan akibat yang ditimbulkan. 2. Amneds, mengharapkan pelaku untuk melakukan langkah-langkah guna memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan. 3. Reintegration, mencari cara untuk memulihkan korban dan pelaku secara menyeluruh bagi korban, pelaku dan masyarakat. Penerapan konsep restorative justice mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku (anak nakal); adanya persetujuan pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian 12 di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; adanya persetujuan dari kepolisian sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan diskresi (penghentian penyidikan) khusus untuk kasus yang sudah dilaporkan di Polisi; dan mendapatkan dukungan masyarakat setempat Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang dapat dilaksanakan melalui restorative justice” adalah bukan kasus kenakalan yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas, kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Sedangkan katagori kasusnya bisa yang telah dilaporkan ke polisi ataupun yang belum dilaporkan ke polisi. Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses musyawarah yaitu pihak korban dan keluarga korban, pelaku (anak nakal) dan keluarganya serta wakil dari masyarakat yaitu diwakili oleh suatu forum yang beranggotakan tokoh atau yang mewakili masyarakat. Manfaat penerapan konsep restorative justice bagi pelaku di antaranya tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua/tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana Manfaat konsep restorative justice bagi pihak korban adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, kerugian dapat segera dipulihkan, terhindar dari pemberitaan sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal didaerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga, dapat menyampaikan dan mewujudkan kepentingannya. Bagi Penegak Hukum manfaat penerapan konsep restorative justice” adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk, dan menghemat dana operasional penanganan perkara. 13 2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana Restorative Justice Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) adalah suatu lembaga yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum dalam konteks restorative justice. Prinsip restorative justice yang menekankan adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan formal. Proses alternatif tersebut adalah melalui jalur musyawarah yang difasilitasi oleh sukarelawan (volunteer). Musyawarah ini diperlukan dalam proses Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban, dan proses Peacemaking and Sentencing Circles agar tercipta perdamaian sehingga masing-masing pihak merasa terpuaskan dan tercapai win-win solution. Penerapan restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan melibatkan masyarakat sebagai volunteer, yang dilembagakan dalam bentuk forum yang disebut FMPA. Forum dimaksud beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan figur-figur lain yang dianggap mampu bertindak sebagai mediator, dipercaya oleh pihak korban maupun pelaku, serta mampu menjembatani masyarakat dengan penegak hukum. Dengan kata lain, FMPA adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat untuk menangani kasus anak nakal agar tidak sampai diproses di tingkat peradilan formal, terhadap kasus-kasus hukum yang ringan dan dapat ditolerir. FMPA merupakan bentuk pengembangan masyarakat, di mana partisipasi aktif masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap keberlangsungan forum ini. Partisipasi dapat terjadi apabila timbul motivasi dan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Partisipasi merupakan keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. 14 2.5. Kenakalan Anak Kenakalan anak merupakan bentuk perilaku anak yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang ini bersifat dinamis dan cenderung mengikuti perkembangan suatu komunitas. Perkembangan tersebut mengarah pada adanya peningkatan baik dari segi jumlah, kualitas, dan tingkat kesadisannya. Peningkatan pada tingkat kesadisan dan kebengisan ini terutama terjadi pada aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk kelompok. Perkembangan ini terjadi seiring dengan lajunya industrialisasi dan urbanisasi (Kartono, 1986). Istilah yang banyak digunakan berkaitan dengan masalah perilaku menyimpang pada anak (remaja) adalah kenakalan remaja (juvenile delinguency). Kenakalan ditandai dengan adanya perilaku yang ilegal atau berlawanan dengan norma sosial, tetapi tidak selalu berupa kekerasan. Beberapa perilaku antisosial yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau remaja meliputi : tindakan agresif dan kekerasan di dalam keluarga, di sekolah dalam bentuk perkelahian dan perusakan barang-barang; pelanggaran hukum ringan (vandalisme, penyalahgunaan obat, kabur dari rumah); pelanggaran hukum berat (mencuri, merampok, pemerkosaan dengan kekerasan); kekerasan terhadap diri sendiri termasuk bunuh diri; dan keanggotaan dalam geng (Mc Whirter, 1998) Pendapat Whirter mengisyaratkan bahwa perilaku antisosial yang dilakukan hanya dipandang sebagai kenakalan, meskipun beberapa sudah termasuk kategori berupa tindakan pelanggaran hukum yang berat. Ini berarti penanganannya pun tidak dapat disamakan dengan penanganan kasus kriminal sebagaimana umumnya. individu Pandangan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa anak merupakan yang belum matang, sehingga dipandang belum mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum. Waegel (1989) mengidentifikasikan beberapa ciri-ciri sosial dari pelaku kenakalan. Ciri-ciri tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status sosial, dan struktur keluarga. Menurut Waegel, pelaku kenakalan pada anak paling banyak berusia 15 sampai 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di kota, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan hanya memiliki satu orang tua kandung saja. 15 Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah anak nakal dan anak yang berhadapan dengan hukum. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak yang termasuk pada kategori anak nakal, pelaku tindak pidana yang berdasarkan hasil penyelidikan/pemeriksaan aparat penegak hukum membutuhkan pembinaan di panti sosial anak, sedangkan anak nakal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 ayat 2 didefenisikan sebagai : ”Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan” Pemberian sebutan anak nakal sebenarnya merupakan hukuman yang sudah diberikan sebelum anak yang bersangkutan menjalani proses hukum, yaitu berupa pemberian label atau sebutan sebagai ”anak nakal”. Dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dikatakan bahwa seorang anak yang sudah berusia 8 tahun sudah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya. Batasan usia minimal ini jelas sangat memberatkan anak, karena pada usia tersebut anak baru memasuki usia sekolah. Dimana pada usia tersebut, seorang anak semestinya baru mulai mendapatkan pendidikan formal untuk bekal kemampuan kognisinya, dan juga dilakukan penanaman nilai-nilai yang berlaku secara umum. 2.5.1. Tipe Kenakalan Anak Kenakalan pada anak tidak berlangsung dalam keterisolasian, tetapi terjadi dalam konteks antar personal dan sosio kultural. Oleh karenanya kenakalan anak bersifat organismis, psikis, interpersonal, antar personal dan budaya (Kartono, 2006). Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut, Kartono (2006) membagi kenakalan anak dalam 4 kelompok yaitu : b. Delikuensi individual Kenakalan yang dilakukan individu dengan ciri-ciri khas jahat, biasanya disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku (psikopat, psikotis, neurotis, 16 a-sosial). Pelaku kenakalan tipe ini biasanya memiliki kelainan jasmaniah dan mental yang dibawa sejak lahir. Kenakalan yang mereka lakukan cenderung berupa tindak kriminal dan kekejaman yang dilakukan tanpa motif apapun. c. Delikuensi situasional Tipe kenakalan ini dilakukan oleh anak normal, yang menerima pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan dan situasi sosial disekitarnya. Pengaruh tersebut bersifat memaksa dan menekan individu sehingga membentuk perilaku buruk. Sebagai hasilnya anak yang seperti ini suka menampilkan perilaku melanggar aturan, norma sosial dan hukum formal. Interaksi yang terus menerus antara anak dengan situasi dan kondisi lingkungan yang buruk akan memperkuat perilaku nakal pada remaja. Pada situasi seperti ini kenakalan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh lingkungan sosialnya. Bentuk kenakalan seperti tawuran antar pelajat atau antar kampung, pesta minuman keras atau narkoba yang dilakukan bersamasama teman sebaya merupakan contoh dari delikuensi situasional. Delikuensi situasional merupakan jenis delikuensi yang paling mudah menular kepada anak secara meluas, sehingga masalah ini dapat menjadi masalah sosial yang serius. Untuk mengatasi hal ini Kartono (2006) menyarankan untuk melakukan reorganisasi secara mendasar terhadap : 1) Struktur kejiwaan anak-anak remaja dengan bantuan proses pendidikan 2) Struktur sosial masyarakatnya lewat pendidikan preventif, represif (penekanan) dan punitif (hukuman), dan 3) Penataan ulang terhadap kebudayaan bangsa d. Delikuensi sistematis Tipe kenakalan ini merupakan kenakalan yang dioganisir dalam bentuk geng. Pengorganisasian perilaku tersebut disertai dengan aturan tertentu, status formal, peranan tertentu, nilai-nilai dan norma tertentu, rasa kebanggaan dan moral delikuen yang berbeda dengan yang berlaku pada umumnya. Semua bentuk kenakalan tersebut dirasionalisasi dan dibenarkan sendiri oleh seluruh anggota geng. 17 Peraturan yang dibuat dalam geng tersebut biasanya sangat keras dengan sanksi hukuman yang berat, bertujuan untuk menegakkan kepatuhan anggota. Geng biasanya cenderung memiliki tujuan organisasi, wilayah operasi, ritual-ritual tertentu, kode-kode rahasia dan nama organisasi yang eksklusif yang bertujuan untuk menegakkan gengsi organisasinya. Bentuk perilaku kenakalan yang menjurus kriminal dan anarkis seperti yang dilakukan oleh beberapa geng motor di Kota Bandung merupakan salah satu contoh delikuensi sistematis. e. Delikuensi kumulatif Tipe ini merupakan bentuk kenakalan anak yang terjadi secara meluas ditengah masyarakat, sehingga memunculkan adanya fenomena disorganisasi/disintegrasi sosial dengan ciri yang mencolok yaitu terbentuk sub kultur delikuen di tengah kebudayaan suatu masyarakat. Delikuensi kumulatif biasanya paling mudah terjadi pada wilayah-wilayah dengan pemukiman yang terlalu padat, terjadi melalui suatu proses intimidasi maupun paksaan dari orang dewasa. Perilaku delinkuen yang membudaya di tengah masyarakat ini menurut Kartono (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresivitas tidak terkendali 2) Merupakan adolescence revolt (pemberontakan adolesensi) terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka menemukan indentitas-diri lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum 3) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta bebas dan seks bebas, ”kumpul kebo”, perkosaan seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks. 4) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, zibaku, tindak bunuh-diri, meledakka bom dan dinamit, penculikan, penyanderaan, dan lain-lain Gunarsa (1988) melakukan pengelompokkan kenakalan anak dari segi hukum, dimana berkaitan dengan norma-norma hukum, yang meliputi : 18 1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Jenis kenakalan ini antara lain berupa berbohong, membantah perintah orang tua karena tidak mau diatur oleh orang tua, berkelahi, meninggalkan rumah dan tinggal bersama dengan beberapa orang teman sebaya 2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa. Jenis ini berupa beberapa kenakalan yang merupakan tindakan kriminal yang cenderung pada penganiayaan, dan tindakan mengganggu ketertiban umum merupakan beberapa contoh kenakalan yang menjurus kearah kriminal Lebih lanjut Jensen (1985) seperti dikutip oleh Sarwono (2007), membagi kenakalan anak menjadi empat jenis, yaitu : a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain : pelacuran, penyalahgunaan obat, melakukan hubungan seks sebelum nikah d) Kenakalan yang melawan status, misanya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, menghindari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya Berdasarkan jenis-jenis kenakalan yang disampaikan oleh Jensen tersebut, kenakalan anak dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kenakalan yang berupa pelanggaran hukum dan kenakalan berupa pelanggaran status. Kenakalan dalam bentuk pelanggaran hukum merupakan jenis kenakalan pada point a,b dan c. Ketiga jenis kenakalan tersebut diatur dalam hukum dan akan dikenakan sanksi hukum apabila dilakukan, sedangkan kenakalan dalam bentuk pelanggaran status bukan termasuk perbuatan melanggar hukum karena pelanggaran tersebut dilakukan pada lingkungan keluarga dan sekolah, dimana tidak diatur secara rinci dalam hukum. Dengan demikian jenis kenakalan ini tidak dapat dikenakan sanksi atau tindakan hukum. 19 Sementara itu Sunarwiyati (1985) seperti dikutip oleh Masngudin (2004) mengelompokkan kenakalan anak berdasarkan bentuknya. Pengelompiokkan ini dilakukan secara bertingkat yang dimulai dari tingkat ringan menuju ke tingkat yang berat. Bentuk-bentuk kenakalan anak menurut Sunarwiyati meliputi : 1) Kenakalan biasa, merupakan jenis kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja. Kenakalan jenis ini cenderung tidak memiliki dampak yang terlalu berbahaya bagi anak dan tidak meresahkan kentraman umum. Bentuk kenakalan biasa antara lain berkelahi, membolos sekolah, keluyuran, begadang sampai larut malam, dan pergi dari rumah tanpa memberitahu pada orang tua 2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, merupakan jenis kenakalan yang sudah mendekati tindakan kriminal. Jenis kenakalan ini bila tidak segera mendapatkan penanganan dan perhatian yang baik dari orang tua akan memudahkan anak untuk menjadi pelaku tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini meliputi pelanggaran aturan berlalu-lintas dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM, mencuri barang-barang milik orang tua, mencuri buah-buahan milik tetangga, termasuk mencuri sandal atau sepatu milik teman bermain. 3) Kenakalan khusus, merupakan jenis kenakalan yang sudha berkaitan dengan tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini antara lain terlibat dalam pengedaran dan penyalahgunaan narkotika, melakukan perusakan fasilitas umum, mencuri, memperkosa, melakukan hubungan seks di luar nikah dan lain-lain Memperhatikan pada pengelompokkan kenakalan anak oleh anak di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung termasuk jenis kenakalan biasa dan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut masih memungkinkan untuk ditangani melalui musyawarah warga untuk ditangani melalui keluarga, 20 sebagai tempat terbaik membentuk perilaku anak. Selain itu upaya pembinaan terhadap anak melalui kegiatan-kegiatan kepemudaan yang ada, misalnya pengajian untuk remaja muslim, dapat dioptimalkan untuk mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan harapan masyarakat. 2.5.2. Analisis Faktor Penyebab Kenakalan Anak dalam Perspektif Ekosistem Anak nakal merupakan salah satu masalah sosial yang mendapat perhatian cukup serius dari pemerintah. Masalah sosial tidak muncul dengan sendirinya tetapi karena adanya sebab. Penyebab masalah ini biasanya tidak tunggal dan terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam proses interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain penyebab masalah sosial adalah suatu hal yang bersifat sistemik, sehingga perlu dilakukan pencegahan secara sistematis. Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kenakalan dilakukan dengan menggunakan perspektif ekosistem. Hal ini merupakan kombinasi antara perspektif ekologi dengan teori sistem. Perspektif ini memfokuskan interaksi antara sub-sub sistem dengan lingkungan sosialnya. Beckert and Johnson (1995) dan Kirst-Ashman (2000) seperti dikutip Zastrow (2004) mendefinisikan teori ekosistem sebagai berikut : ”systems thoery used to describle and analyze people and other living systems and their transactions” (Zastrow, 2005:7). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa teori ekosistem merupakan sistem teori yang digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa orang-orang dan sistem yang ada di sekitarnya serta transaksi diantara orang dengan sistem tersebut. Menurut teori ekosistem bahwa : a. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan akan berfungsi secara lebih baik apabila berada dalam suatu lingkungan atau setting tertentu, dari pada ketika berada seorang diri b. Ekosistem bersifat dinamis, setiap anggotanya secara perlahan namun pasti mengalami perubahan menyesuaikan dengan lingkungannya 21 Berdasarkan asumsi tersebut, perilaku yang ditampilkan oleh individu dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian perilaku nakal pada anak merupakan hasil dari proses interaksi tersebut. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan sehingga memunculkan perilaku nakal pada anak. Kemungkinan pertama adalah adanya kegagalan anak dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan, sehingga anak tidak mampu menampilkan peran sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya akhirnya perilakunya menyimpang dari normanorma yang berlaku pada lingkungan sosial tersebut. Kemungkinan kedua adalah adanya disorganisasi sosial pada lingkungan sosial dimana anak berinteraksi. Disorganisasi sosial ini menyebabkan beberapa fungsi lingkungan sosial, terutama fungsi sosialisasi dan fungsi kontrol sosial dari lingkungan sosial tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Eitzen (1986) dalam Masngudin (2004) bahwa lingkungan masyarakat yang buruk akan menyebabkan seseorang berpeilaku buruk. Ini dapat terjadi karena pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikatnya. Lingkungan sosial yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian yang lebih luas adalah teman bermain, teman di sekolah dan teman di lingkungan ketetanggaan. Lingkungan inilah akan turut membentuk perilaku yang akan ditampilkan oleh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari, deengan demikian agar anak nantinya dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberikan tempat yang dapat mendukung perkembangan anak secara optimal. 2.5.3. Hak-Hak Anak Sebagai salah satu negara penandatangan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child / CRC) yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia menyetujui untuk melaksanakan perlindungan anak. Upaya ini mencakup langkah-langkah legislatif, administratif, 22 sosial dan pendidikan yang layak dan maksimal guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, cedera atau terjadinya eksploitasi terhadap anak. Empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak ( KHA ) adalah : 1). Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA yang selengkapnya berbunyi : ”Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah” (ayat 1) Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya” (ayat 2) 2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu bahwa ” Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembagalembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama” (pasal 3 ayat 1 ) 3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survivbal and development), artinya, ” Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan” (pasal 6 ayat 1). 23 Negara-negara Peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak” (pasal 6 ayat 2) 4) Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam pasal 12 (ayat 1) Konvensi Hak Anak sebagai berikut :” Negara-negara Peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak” Keempat prinsip hak anak bisa dikonfigurasikan ke dalam Gambar 1 : Yang Terbaik untuk Anak Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Non-diskriminasi Partisipasi Anak Gambar 1 : Prinsip-prinsip hak anak Sejak ditetapkannya UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kuat. Dalam UU tersebut, perlindunagn anak didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan 24 hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak mencakup serangkaian upaya terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan berupa penyusunan dan pengembangan kebijakan, program, pelayanan, dan mekanisme untuk melindungi anak dari semua bentuk tindakan yang melanggar hak-hak anak untuk hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara wajar dan optimal. 2.6. Kerangka Pemikiran Restorative justice merupakan pendekatan alternative yang bisa digunakan dalam menangani anak nakal, merupakan proses yang melibatkan semua pihak untuk memecahkan secara bersama bagaimana mengatasi akibat dari suatu kenakalan yang dilakukan anak dan implikasinya dimasa yang akan datang. Restorative justice mengakui bahwa kenakalan anak dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka diperlukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakatpun dilibatkan. Program restorative justice ini memungkinkan korban, pelaku (anak nakal) dan komunitas masyarakat terlibat langsung dalam merespon kenakalan anak yang mengarah pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan (anak nakal), ganti rugi bagi korban dan partisipasi oleh korban, pelaku dan masyarakat. Proses pemulihan dilakukan oleh Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang merupakan perwakilan dari masyarakat untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian kasus anak nakal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka pemikiran sebagai berikut : 25 Kerangka Pemikiran Kinerja Anggota FMPA - Motivasi - Pemahaman tentang hak anak - Pengalaman Kinerja Inisiator FMPA - Unicef Jabar - LPA Jabar - LSM Saudara Sejiwa Kinerja FMPA ( Forum Musyawarah Pemulihan Anak ) - Musyawarah (dialog) - Relationship building (membangun hubungan) - Pemulihan dan ganti rugi Hasil ================ 1. Kepuasan masyarakat 2. Kepuasan keluarga pelaku 3. Kepusan keluarga korban Partisipasi dan Tanggapan Masyarakat dan Institusi Lokal (DKM,. LPM, Karang Taruna, PKK) Gambar 2 : Kerangka Pemikiran 26 BAB III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Metode Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan pada latar alamiah. Fenomena sosial dalam pandangan kualitatif dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri, bersifat dinamis dan penuh makna (Sugiyono, 2007). Lebih lanjut Sugiyono (2007) mendefinisikan sebagai berikut : ”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian berlandaskan pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengunpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi”. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa metode penelitian kualitatif merupakan metode penilitian yang didasarkan pada setting lapangan secara alamiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara induktif, dimana hasil pengamatan tentang relaitas sosial yang khusus kemudian dikembangkan memjadi gagasan umum dan teori. Dalam penelitian kualitatif realitas sosial tergantung pada bagaimana pengalaman orang dalam kehidupannya dan bagaimana pengalaman tersebut dimaknai. Strategi yang digunakan pada kajian ini adalah studi kasus karena studi kasus menggunakan pertanyaan-pertanyaan ’bagaimana’ dan ’mengapa’ lebih ekspalanatori. Hal ini disebabkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan. Hal ini tidak bisa mengandalkan survey atau telaah rekaman arsip melainkan harus menyelenggarakan apa yang disebut dengan analisis histories atau studi kasus, sehingga dengan studi kasus merupakan instrumental yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan. 27 3.2. Teknik Kajian Jenis Data Data adalah informasi sahih dan terpercaya yang dibutuhkan untuk keperluan analisis dalam kajian. Data yang dipergunakan dalam kajian lapangan mempergunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dan hasil pengamatan di lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data statistik, laporan atau publikasi yang diperoleh dari instansi terkait dan LSM, dan data pendukung yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, seperti monografi kelurahan, laporan tahunan dan buku isian potensi serta dokumen lainnya Data primer bersumber dari anak nakal, keluarga anak nakal, pihak korban dan anggota Forum Pemulihan yang sudah dibentuk, termasuk juga pengurus lembaga lokal (LPM, Karang Taruna, DKM, PKK) yang berada di lokasi kajian. Data primer yang bersumber dari informan diperoleh dari tokoh formal dan informal, seperti Lurah, perangkat kelurahan, Ketua RW/RT. Tokoh informal yang dijadikan informan dalam kajian ini adalah tokoh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah anak nakal seperti Ketua LSM Saudara Sejiwa, guru, dan ulama/ustad. Cara Pengumpulan Data Data yang dipergunakan dalam kajian adalah data primer dan sekunder. Cara pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan teknik sebagai berikut : 1. Teknik Wawancara Mendalam Merupakan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara yang dilakukan dengan cara temu muka berulang antara pengkaji dengan informan. Teknik ini digunakan selain untuk memperoleh data dan informasi juga untuk mengetahui tanggapan dari masing-masing pihak tentang permasalahan dan penanganan masalah anak nakal. 28 2. Diskusi Kelompok Merupakan metode pengumpulan data yang biasa terbuka, meluas dan tidak terkontrol. Menurut Sumarjo dan Saharudin (2004), hasil dari kegiatan diskusi kelompok digunakan untuk mengevaluasi atau melengkapi data sebelumnya. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik penelusuran dokumen, diantaranya dengan melakukan studi kepustakaan (dokumentasi) terhadap data yang berkaitan dengan kajian. Data tersebut bersumber dari Unicef Jabar, Lembaga Perlindungan Anak Jabar, instansi terkait dan data pendukung yang ada di kelurahan seperti monografi kelurahan, daftar isian potensi kelurahan, laporan tahunan, serta dokumen lain Cara Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yaitu data yang tergali dari berbagai sumber lapangan dengan teknik-teknik penelusuran dokumen, wawancara mendalam, observasi, dan diskusi kelompok seluruhnya direkam dalam catatan harian. Data yang terkumpul, dimanfaatkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian. Pengolahan dan analisis data berdasarkan kepada analisis data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992), dalam menganalisis data kualitatif dilakukan tiga jalur analisis yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, dan Agusta., 2004). Melalui reduksi data maka dilakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini dilakukan secara terus menerus selama kajian berlangsung. Kegiatan yang dilakukan dalam mereduksi data, melalui; meringkas data, mengkode, mebelusur tema, membuat gugus-gugus; membuat partisi dan menulis memo. Melalui reduksi data tersebut dilakukan penajaman, penggolongan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil. 29 3.3. Metode Penyusunan Program Program yang sudah ada diperbaharui dan disusun kembali bersama dengan masyarakat secara partisipatif, yang didukung dengan hasil dari praktek I dan II. Pada saat praktek lapangan I dan II telah ada kontak dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan institusi lokal dan tokoh masyaraklat serta pihak-pihak lain yang berkompeten yang kemudian diikutsertakan dalam kegiatan. Selanjutnya tergantung dari keinginan pengurus institusi lokal dan tokoh masyarakat dalam hal pemahaman masalah serta penyusunan rencana. Metode yang akan digunakan dalam penyusunan program adalah metode Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Analisis Pohon Masalah. Metode ini digunakan untuk menganalisis situasi, masalah, kebutuhan dan hasil yang akan dicapai dari proses-proses kajian. Data yang dianalisa bersama partisipan dan secara bersama-sama mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi oleh anak nakal 3.4. Prosedur dan Penyajian Data Kegiatan selanjutnya adalah melakukan penyajian data. Data kualitatif yang sudah terkumpul kemudian disusun menjadi susunan data dan informasi sehingga memberi kemungkinan kepada pengkaji dalam penarikan kesimpulkan dan pengambilan tindakan. Data tersaji dalam bentuk catatan lapangan hasil wawancara dan observasi dan dalam bentuk matrik dan bagan. Setelah penyajian data, kegiatan selanjutnya adalah melakukan triangulasi data untuk memperoleh penarikan kesimpulan yang sesuai. Kesimpulan tersebut juga didasarkan pada peninjauan ulang hasil kajian dengan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. 30 Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan Tahun 2009 No 1. Tujuan Jenis Data Mendeskripsik an kinerja FMPA Mendeskripsik an proses pembentukan FMPA 2. a. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA Mendeskripsik Teknik Pengumpulan Data WM DK O W D Unicef Jabar. LPA v Jabar, LSM Saudara Sejiwa, Anggota FMPA, Tokoh masyarakat, Ketua RT/RW, Lurah,dan pengurus institusi lokal v v Unicef Jabar. LPA v Jabar, LSM Saudara Sejiwa, Anggota FMPA, Tokoh masyarakat, Ketua RT/RW, Lurah,dan pengurus institusi lokal - perkembangan forum Unicef Jabar. LPA v - proses musyawarah forum Jabar, LSM - proses relationship building Saudara Sejiwa, - proses pemulihan dan ganti Anggota FMPA, rugi Tokoh masyarakat, Ketua RT/RW, Lurah,dan pengurus institusi lokal v v v v - latar belakang/potret buram penanganan anak nakal melalui jalur hukum - kasus penahanan dan peradilan terhadap anak nakal di wilayah Bapas Klas I Bandung - pembentukan restorative justice di Kota Bandung - pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan Mendeskripsik - Langkah awal an kinerja pembentukan restorative ”restoratif justice di Kota Bandung justice” di Kota - pembentukan working Bandung group dan supporting group - hasil kerja working group dan supporting group Mendeskripsik an kinerja FMPA di Kelurahan Pasanggrahan Sumber Data - Motivasi - Anggota FMPA v v 31 an kinerja anggota FMPA b. c. 3. - Pemahaman tentang hak anak - Pengalaman Mendeskripsik - Latar belakang dilaksanaan peranan kannya restorative justice inisiator FMPA - Tujuan program restorative dan programjustice - Sasaran kegiatan restorative programnya: Unicef Jabar, justice LPA Jabar dan - Mekanisme dan strategi LSM Saudara pelaksanaan restorative Sejiwa justice - Metode restorative justice - Waktu kegiatan restorative justice - Sumber pendanaan restorative justice - Pelaksana restorative justice - Pelaksanaan kegiatan restorative justice mulai proyek sampai sekarang Mengetahui - Keterlibatan masyarakat partisipasi & dalam menangani anak nakal tanggapan masyarakat dlm - Stigma yang ada di penanganan masyarakat terhadap anak anak nakal nakal melalui restorative justice Melakukan - Bagaimana proses musyaevaluasi warah (dialog) dilakukan program - Bagaimana menciptakan restorative relationship building justice di (membangun hubungan) Kelurahan antara korban, pelaku,& Pasanggrahan masyarakat - Bagaimana proses pemulihan dilakukan - Bagaimana proses ganti rugi dilaksanakan v - Pengurus Unicef Jabar, LPA Jabar dan LSM saudara Sejiwa v Tokoh masyarakat (Guru, Ketua RT/RW, Lurah, Pengurus kelembagaan lokal) & masyarakat (pihak yg prnh mjd korban) Unicef Jabar. LPA v Jabar, LSM Saudara Sejiwa, Anggota FMPA, dan pengurus institusi lokal v v v v v v 32 4. Penyusunan aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA - Identifikasi potensi - Identifikasi masalah - Identifikasi kebutuhan - Analisis pohon masalah - Rancangan program - Program pengembangan masyarakat - Anak nakal dan keluarganya - Pengurus FMPA - Pengurus Institusi Lokal - Masyarakat FGD Keterangan: WM O D DK W FGD : Wawancara mendalam : Observasi : Dokumentasi : Diskusi Kelompok : Wawancara : Focus Group Discussion 33 BAB IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT KELURAHAN PASANGGRAHAN Kelurahan Pasanggrahan adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung yang memiliki luas kurang lebih 200 hektar. Disebelah utara Kelurahan Pasanggrahan berbatasan dengan Kelurahan Ciporeat Kecamatan Cilengkrang, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Cipadung, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pasir Jati dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Palasari Kecamatan Cibiru. Kelurahan Pasanggrahan termasuk dalam kategori daerah perkotaan, dimana lokasinya berada di pusat kota Ujung Berung dengan aktivitas ekonomi yang tinggi serta orbitasi yang sangat pendek ke pusat-pusat ekonomi dan hiburan. Untuk mencapai Kelurahan Pasanggrahan sangat mudah, hal ini dikarenakan akses jalan yang baik dan mudahnya sarana transportasi seperti mobil angkutan kota (angkot) dan ojeg. Kelurahan Pasanggrahan memiliki pusat ekonomi tradisional seperti pasar tradisional Ujung Berung serta pusat perbelanjaan modern seperti Mini Market Yomart. Secara administratif, wilayah Kelurahan Pasanggrahan terbagi menjadi 14 rukun warga (RW) dan 61 rukun tetangga (RT) dengan jarak pemukiman yang padat. 4.1. Kondisi Demografi dan Kependudukan 4.1.1. Kependudukan Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2. 34 Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 Jenis Kelamin No Golongan L P Jumlah Persen Umur 1 0 – 4 th 261 258 519 2,04 2 5 – 9 th 503 571 1.074 4,23 3 10 – 14 th 794 952 1.746 6,87 4 15 – 19 th 1.056 1.122 2.178 8,57 5 20 – 24 th 1.069 1.055 2.124 8,36 6 25 – 29 th 1.017 942 1.959 7,71 7 30 – 34 th 908 805 1.713 6,74 8 35 – 39 th 907 751 1.658 6,53 9 40 – 44 th 990 865 1.855 7,30 10 45 – 49 th 1.076 901 1.977 7,78 11 50 – 54 th 1.127 1.087 2.214 8,72 12 55 – 59 th 1.118 1.155 2.273 8,95 13 60 – 64 th 1.089 1.100 2.189 8,62 14 65 – keatas 1.056 852 1.908 7,51 12.791 12.416 25.387 100,0 Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian terbesar penduduk adalah golongan usia kerja (25 sampai 59 tahun) sebesar 53,73 persen, Usia remaja (15 sampai 19 tahun) sebesar 8,57 persen, Usia tua dan lanjut usia (lebih dari 60 tahun) sebesar 16,13 persen, Usia balita sebesar 2,04 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. 35 Gambar 3. Piramida penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujungberung Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Tahun 2008 Piramida penduduk Kelurahan Pasanggrahan berbentuk khas. Piramida ini menggambarkan karakteristik kelompok usia muda paling kecil, kemudian membesar dan terjadi lekukan-lekukan, kemudian melebar lagi pada kelompok usia tua. Kondisi ini menggambarkan kelompok usia sekolah dan kerja yang tinggi artinya bahwa di Kelurahan Pasanggrahan merupakan suatu kawasan pendidikan, perkantoran dan tempat untuk berbisnis, sedangkan kelompok remaja yang berusia antar 15 sampai 19 tahun cukup menonjol. Hal ini memperlihatkan bahwa perlu penanganan yang serius pada kelompok ini khususnya dalam pencegahan terjadinya kenakalan mengingat remaja (generasi muda) merupakan ujung tombak dalam pembangunan. a. Penduduk Menurut Agama Mayoritas masyarakat sunda khususnya di Kelurahan Pasanggrahan terkenal dengan masyarakat agamis, sehingga tokoh agama juga memiliki tingkat penghargaan yang tinggi di mata masyarakat seperti ustad dan kyai. Data penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel 3. 36 Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008 No Agama Jumlah Persen 1 Islam 22.977 90,50 2 Kristen Protestan 1.501 5,91 3 Kristen Katolik 535 2,10 4 Budha 85 0,33 5 Hindu 244 0,96 6 Lain-lain 45 0,17 25.387 100 Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 b. Penduduk Menurut Kelompok Usia Tenaga Kerja Data penduduk Kelurahan Passanggrahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2008 No Usia Tenaga Kerja Jumlah Persen 1 10 – 19 tahun 3924 16,49 2 20 – 29 tahun 4083 17,15 3 30 – 39 tahun 3371 14,16 4 40 – 49 tahun 3832 16,10 5 50 – 59 tahun 4487 18,85 6 60 tahun > 4097 17,21 23.794 100,00 Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar 52,16 persen penduduk berada pada kelompok usia tenaga kerja 40 tahun keatas dan sebesar 37 31,31 persen berada pada kelompok usia tenaga kerja 20 sampai 39 tahun. Kelompok anak-anak yaitu antara 10 sampai 19 tahun mencapai 16,49 persen, sehingga perlunya penanganan yang serius agar mereka tidak terlibat dalam kenakalan remaja c. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Data penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun 2008 No Pendidikan Umum Jenis Kelamin L P Jumlah Persen 1 Belum Tamat SD 764 829 1.593 6,27 2 Tidak tamat SD 919 984 1.903 7,49 3 Tamat SD 1.368 1.454 2.822 11,11 4 SLTP 2.711 2.865 5.576 21,96 5 SLTA 7.200 5.864 13.064 51,45 6 Akademi 876 822 1.698 6,68 7 Sarjana 1.195 1.012 2.207 8,69 12.791 12.416 25.387 100,00 Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 Tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang berpendidikan Perguruan Tinggi sebesar 15,37 persen dan berpendidikan SLTA sebesar 51,45 persen. Hal ini merupakan modal sumber daya manusia yang sangat potensial dalam menangani permasalahan sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan khususnya penanganan terhadap anak yang melakukan kenakalan. d. Pendidikan Khusus Data pendidikan khusus dapat dilihat pada Tabel 6. 38 Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus Tahun 2008 No Pendidikan Khusus Jumlah Persen 1 Pondok Pesantren 128 6,41 2 Madrasah 338 54,46 3 Kursus 271 39,13 737 100,00 Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 Tabel tersebut menunjukkan bahwa selain pendidikan umum terdapat juga yang berpendidikan khusus berupa pendidikan dari pondok pesantren, Seluruhnya berjumlah 737 orang yang sebagian besar (54,46 persen) adalah lulusan dari madrasah. Pendidikan khusus ini merupakan alternative yang tepat khususnya bagi anak yang melakukan kenakalan karena dari sisi keagamaan didalam pendidikan khusus seperti pesantren lebih dititik beratkan dalam kurikulumnya sehingga anak tidak melakukan kenakalan. e. Penduduk Menurut Mobilitas / Mutasi Penduduk Data penduduk menurut mobilitas/mutasi penduduk terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2008 No Mutasi Penduduk Jenis Kelamin L P Jumlah 1 Lahir 21 27 48 2 Meninggal 5 3 8 3 Pendatang 12 17 29 4 Pindah 7 8 15 Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 39 Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa penduduk yang pendatang ke Kelurahan Pasanggrahan lebih besar daripada penduduk yang pindah. Hal ini bias dimaklumi karena Kelurahan Pasanggrahan merupakan daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan sehingga banyak pendatang yang datang dan menetap di Kelurahan Pasanggrahan . 4.2. Sistem Ekonomi Mata pencaharian pokok penduduk terbesar adalah pegawai swasta disusul pegawai negeri sipil dan urutan ketiga adalah pedagang baik pedagang kecil maupun pedagang dengan omset yang besar. Pegawai Negeri Sipil adalah pegawai pada kantor-kantor pemerintahan baik pusat maupun daerah, lembaga-lembaga pendidikan baik sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas maupun perguruan tinggi. Sedangkan sektor swasta meliputi para pegawai yang bergerak dalam usaha jasa maupun pelayanan yang ada di kota Bandung, kemudian pedagang sebagian besar adalah pedagang dalam skala menengah dan kecil ataupun sektor informal. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengamatan di lapangan, banyak penduduk yang bekerja di sektor informal ini yaitu warung kelontongan, berjualan makanan keliling, sopir angkot, tukang sayur keliling dan lain-lain. Berkaitan dengan sumber daya lokal yang berpengaruh pada tingkat perekonomian lokal masyarakat Ujung Berung adalah pemilikan lahan serta rumah yang dijadikan sektor mata pencaharian, baik pokok maupun tambahan berupa rumah/kamar kontrakan, terutama disekitar terminal dan pasar. Data tidak tertulis menurut penuturan Sekretaris Kelurahan Pasanggrahan Kelurahan Pasanggrahan bahwa di terdapat lebih kurang 5.000 kamar kontrakan yang menyebar dari mulai RW 01 sampai dengan RW 14. Hasil dari kontrakan/sewa kamar tersebut yang menjadi sumber daya lokal bagi masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan. Klasifikasi kamar yang disewa bervariasi mulai dari yang sederhana sampai yang lengkap fasilitas yang disediakan. Banyaknya kamar sewaan ini disebabkan letak lokasi Kelurahan Pasanggrahan yang sangat dekat 40 dengan pusat kegiatan baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan hiburan/rekreasi Kegiatan ekonomi secara umum di Kelurahan Pasanggrahan bervariasi, mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar, kesemuanya menyebar di sekitar Jalan Ujung Berung yang membentang dari Utara ke Selatan. Kegiatan ekonomi skala besar misalnya usaha salon, apotik, toko bangunan dan toko swalayan. Usaha skala menengah seperti toko keperluan sehari-hari dari mulai sebelah utara sampai selatan jalan Ujung Berung, tempat penyewaan internet, penjahit, foto copy, foto studio dan rumah makan. Sedangkan usaha kecil termasuk dikalangan sektor informal adalah pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang ojeg, pedagang keliling dan sebagainya yang menjual aneka macam barang dan jasa keperluan hidup seharihari yang biasanya menempati areal sekitar Terminal Ujung Berung, Pasar Ujung Berung, disekitar perkantoran pemerintah, perusahaan, sekolah dan tempat keramaian lainnya. Usaha ini tersebar disepanjang jalan Ujung Berung maupun jalan dan gang-gang kecil disemua wilayah Kelurahan Pasanggrahan . Keterkaitan ekonomi lokal dengan kegiatan ekonomi lebih luas dapat digambarkan bahwa berbagai macam barang dagangan, bahan mentah, peralatan dan sarana kerja dapat diperoleh dari sekitar Kelurahan Pasanggrahan . 4.3. Struktur Komunitas a. Pelapisan Sosial Penduduk Kelurahan Pasanggrahan berdasarkan pelapisan sosial masyarakat dapat digambarkan melalui : 1) Status Ekonomi Status sosial ekonomi dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki yaitu dapat diketahui melalui kepemilikan rumah dan lokasi rumah, kemudian tingkat pendidikan dapat diketahui melalui profesi atau pekerjaan setelah itu menyusul ukuran keaktifan dalam masyarakat. Kelurahan Pasanggrahan terdiri atas kompleks perumahan mewah, rumah dipinggir Jalan Ujung Berung dan rumah – rumah di pinggiran jalan-jalan 41 kampung serta rumah-rumah didalam perkampungan atau gang-gang. Kepemilikan rumah dan lokasi rumah secara sosial ekonomi merupakan lapisan atas masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, selanjutnya pekerjaan sebagai pengusaha, pejabat struktural di instansi pemerintah, pegawai/karyawan swasta yang karena kedudukan, tingkat pendidikan dan kepemilikan/kekayaan berada pada lapisan sosial ekonomi menengah dan atas. Struktur sosial tinggi juga diberikan kepada para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang cukup berpengaruh di dalam masyarakat. Walaupun kekayaan, jabatan, pendidikan menjadi ukuran dalam menentukan pelapisan sosial dalam masyarakat, namun proses interaksi sosial dalam batas-batas tertentu dalam kehidupan sehari-hari dapat berlangsung. Hubungan mereka dalam aktivitas kemasyarakatan misalnya pengajian, gotong royong, keamanan, dan ketertiban lingkungan relative cukup akrab. Tetapi secara ekonomi jelas tetap kesenjangan yang lebar diantara lapisan sosial atas dan bawah ini, dan biasanya anak – anak (remaja) yang berasal dari lapisan sosial paling bawah relative lebih banyak melakukan kenakalan seperti kasus pencurian. Biasanya mereka mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena tidak terpenuhi dengan layak oleh orang tuanya. 2) Kepemimpinan Pemimpin formal diwilayah Kelurahan Pasanggrahan adalah mereka yang termasuk aparat pemerintahan di kelurahan termasuk Ketua RW dan Ketua RT. Sementara pemimpin informal adalah tokoh masyarakat dalam bidang agama dan yang banyak bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Kepatuhan warga terhadap pemimpin formal pada umumnya menyangkut pada peraturan pemerintah seperti prosedur dalam pengurusan surat-surat sejak dari ketua RT sampai di Kantor Kelurahan atau kecamatan. Biasanya hal ini menyangkut tentang kependudukan, peraturan tentang ketertiban dan keamanan lingkungan. Pemimpin formal sangat berperan sekali dalam menangani anak yang melakukan kenakalan, karena biasanya 42 apabila ada kejadian anak yang melakukan tindak pidana, warga masyarakat sering melaporkan terlebih dahulu kepda ketua RT / RW setempat sebelum diproses secara hukum (diserahkan kepada pihak Kepolisian). Sementara kepatuhan masyarakat terhadap pemimpin informal lebih karena pengaruh dari pribadi tokoh yang bersangkutan sehubungan dengan peran serta (kiprah) dari pemimpin informal tersebut. Tokoh agama akan didengar perkatannya oleh warga masyarakat apabila menyangkut bidang keagamaan, demikian juga seorang guru memberikan saran/pandangan tentang masalah pendidikan akan diperhatikan oleh masyarakat. Peranan Ustad memegang peranan dalam mendidik mental dan keagamaan terhadap anak-anak, apabila seorang anak mempunyai akhlak yang baik sesuai tuntunan ajaran agama, maka diharapkan mereka tidak akan melakukan kenakalan b. Organisasi dan Kelembagaan Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 No Lembaga Kemasyarakatan Jumlah 1 Mesjid dan Mushola 26 2 Taman Kanak-Kanak 10 3 Sekolah Dasar 5 4 Sekolah Menengah Tingkat Pertama 2 5 Pondok Pesantren 1 6 Madrasah 1 7 Toko dan supermarket 5 8 Warung 9 Pos Yandu 14 10 Balai Pengobatan 2 1200 Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008 43 Lembaga Kemasyarakatan tersebut dalam konteks pengembangan masyarakat maupun praktek pekerjaan sosial merupakan system sumber kemasyarakatan yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan . Kelembagaan menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat yaitu bagaimana norma-norma atas segala tindakan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Berikut ini kelembagaan yang ada pada Kelurahan Pasanggrahan dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Kelembagaan kekerabatan Norma-norma yang ada secara turun temurun dan sebagian masih dipegang oleh masyarakat sifatnya telah membaur antara tradisional, modern dan keagamaan. Misalnya kelompok pengajian, forum warga dan kegiatan arisan warga. 2) Kelembagaan ekonomi Kelembagaan ekonomi pada masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan dapat terlihat dengan adanya Koperasi simpan pinjam yang hampir disemua RW mempunyai Koperasi simpan pinjam 3) Kelembagaan kemasyarakatan Keyakinan masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan terhadap agama yang mayoritas bergama islam. Nilai dan norma pada aspek keagamaan ini ada dan terpelihara dengan baik pada masyarakat. Adanya acara selamatan (syukuran), pengajian, tahlilan dan lain-lain. Kelembagaan keagamaan ini diwujudkan dalam bentuk organisasi keagamaan seperti DKM (Dewan Keluarga Mesjid) dan Kelompok Majlis Ta’lim 4) Kelembagaan pendidikan Norma dan nilai akan pentingnya pendidikan pada masyarakat relative cukup kuat. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai perhatian yang cukup besar dan mengerti akan pentingnya pendidikan. Salah satunya melalui Bawasa (Bantuan beasiswa untuk anak-anak yang orang 44 tuanya tidak mampu) yang memberikan bantuan untuk biaya sekolah bagi anak-anak yang ada di Kelurahan Pasanggrahan . 5) Kelembagaan politik Masyarakat menghargai kebebasan dalam berpolitik. Keadaan ini tercermin pada kegiatan Pemilu dan menjelang pemilihan Gubernur Jawa barat tahun 2008. Masyarakat mengikutinya dengan baik tanpa ada pertentangan yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa. Secara keseluruhan lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut merupakan suatu jejaring sosial masyarakat masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan. Kelurahan Pasanggrahan merupakan gambaran kehidupan masyarakat perkotaan dengan sifat kekerabatan cenderung mengarah pada bentuk keluarga batih (inti). Proses penanaman norma dan nilai (terutama pada anak) yang utama adalah lembaga keluarga sebagai kelompok primer yaitu orang tua. Keberadaan orang tua bagi anak-anaknya sangat penting. Anak menjadi nakal pada awalnya diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam membina dan mendidiknya, biasanya orang tua yang kurang memberikan perhatian dan pengawasan akan menyebabkan anak menjadi nakal. Sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mencari nafkah, maka proses sosialisasi seringkali diserahkan kepada institusi di luar keluarga terutama sekolah formal dan taman pendidikan Al’Quran (TPA). Hal ini akan membantu pihak orang tua dalam menanamkan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pola hubungan antara warga yang cenderung mengarah pada pola individualistik sehingga dalam melakukan aktivitas hidup (ekonomi) seharihari sesuai dengan kepentingan masing-masing secara rutin. Aktivitas hidup sehari-hari cenderung terjadwal seperti berangkat kerja, waktu kerja, pulang kerja, dan waktu istirahat. Mengacu pada proses sosialisasi yang cenderung berlangsung di masyarakat Kelurahan Pasanggrahan, maka muncul perkumpulan- 45 perkumpulan berdasarkan jenis dan minat/hobi, asal daerah dan lain-lain. lingkungan kerja, kepentingan, Sehubungan dengan hal itu di Kelurahan Pasanggrahan banyak terdapat kelompok pengajian yang ada di setiap RW, sarana olah raga seperti lapangan sepak bola 2 buah, lapangan basket 2 buah, lapangan volley ball 2 buah, lapangan bulutangkis 1 buah, sanggar senam 3 buah dan lain-lain. Adanya kelompok pengajian disetiap RW merupakan modal sosial untuk menekan tingkat kenakalan pada anak, demikian juga adanya lapangan olahraga dapat dijadikan ajang kreativitas anak-anak sehingga minat dan bakatnya dapat tersalurkan dengan baik, sehingga anak-anak dapat berprestasi. Di Kelurahan Pasanggrahan terdapat berbagai kelompok sosial baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial maupun budaya. Kelompok-kelompok sosial dalam struktur sosial masyarakat yaitu kelompok sosial ekonomi atas, menengah dan bawah, namun setiap kelompok melakukan aktifitas rutinnya masing-masing serta tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Proses hubungan antar kelompok yang terjadi cenderung kearah hubungan kerjasama. Konflik sosial dan berbagai bentuk pertentangan sebagai sesuatu yang jarang sekali terjadi. Kelompok sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan dibangun berdasarkan minat ketertarikan dan sentiment anggota-anggota kelompok seperti kelompok arisan, kelompok pengajian, kelompok UP2KP-PKK, sedangkan organisasi sosial dibangun lebih pada ketertarikan memiliki identitas kolektif, adanya aturan-aturan dan kepengurusan seperti PKK, Karang Taruna, LPM dan kelembagaan lokal lainnya. Organisasi dan kelembagaan ini apabila diarahkan dan digunakan secara benar akan menjadi kelembagaan yang dapat memecahkan permasalahan sosial yang ada seperti penanganan terhadap anak-anak yang melakukan kenakalan. Karena itu melibatkan kelembagaan lokal dalam penanganan anak nakal sehingga tidak akan berhadapan dengan hukum menjadi suatu keharusan agar penanganannya lebih komprehensif. 46 c. Sumberdaya Lokal Keberadaan penduduk di Kelurahan Pasanggrahan tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan alam sekitarnya. Demikian juga permasalahan masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan berkaitan dengan permasalahan alam sekitarnya. Permasalahan anak nakal sehingga akan berhadapan dengan proses berhubungan dengan lingkungan (alam sekitarnya) Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan merupakan system antara aspek ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Jenis latar belakang pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan dan jenis pekerjaan menentukan tingkat pendapatan akan menentukan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup, demikian seterusnya sehingga keadaan ekonomi menentukan posisi status sosial dalam masyarakat. Masyarakat Kelurahan Pasanggrahan yang menempati posisi status sosial ekonomi atas cenderung memperoleh peluang yang besar dalam memanfaatkan ekosistem seperti lingkungan yang bersih, air bersih, sanitasi yang baik sehingga berpeluang menikmati kesehatan yang optimal, sebaliknya kelompok bawah berada dalam lingkungan yang padat, sempit, peluang penguasaan sumber daya agraria relatif rendah sehingga rentan terhadap berbagai masalah ekologis seperti rumah yang kumuh, sempit, tidak tersedia sarana air bersih, tidak ada sarana bermain untuk anak, sehingga rentan terjadinya kenakalan anak d. Sistem penguasaan sumber daya agraria Kelurahan Pasanggrahan secara topografi termasuk dataran tinggi dan termasuk kawasan wisata sehingga harga tanah sangat tinggi. Daerah-daerah tertentu yang dijadikan komplek perumahan menjadi kawasan real estate. Peluang untuk membeli dan memiliki rumah di kawasan real estate adalah kelompok penduduk menengah ke atas, demikian juga tanah pekarangan di sepanjang Jalan Ujung Berung adalah tanah pekarangan yang bernilai ekonomi tinggi dengan harga yang mahal. Oleh karena itu kelompok penduduk yang berstatus sosial ekonomi bawah sangat kecil sekali peluang 47 untuk membeli dan memiliki tanah pada kawasan bernilai sosial ekonomi tinggi. Kelompok masyarakat miskin secara alamiah akan tersisihkan dan bermukim pada kawasan padat hunian. Akibatnya timbul kecemburuan sosial antara golongan atas dan golongan bawah yang akan mengarah pada kesenjangan ekonomi kaya dan miskin, sehingga berpeluang terjadinya kenakalan pada anak-anak yang miskin. e. Tekanan penduduk Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan sebagian besar bermata pencaharian sebagai pegawai swasta 27,35 persen kedua adalah pegawai negeri sipil 25,33 persen disusul oleh dagang sebesar 23,07 persen. Sedangkan sektor pertanian sangat kecil sekali mengingat sudah tidak tersedianya lagi lahan untuk pertanian. Kelurahan Pasanggrahan adalah daerah perkotaan sehingga kehidupan masyarakat tidak ditentukan oleh hasil pertanian. Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan tidak lagi tergantung pada “daya dukung internal” berupa tanah sawah pertanian, tetapi lebih dinamis lagi tergantung pada daya dukung eksternal yaitu berupa sumber daya yang berada di luar wilayah Kelurahan Pasanggrahan . 4.4. Masalah Komunitas Kelurahan Pasanggrahan aktivitas ekonomi. merupakan wilayah yang dekat dengan Adanya fasilitas seperti Pasar dan tempat hiburan disamping memberikan kemudahan bagi masyarakat sekitar juga memberikan dampak negatif. Keberadaan fasilitas tersebut memberikan daya tarik bagi masyarakat luar untuk datang ke wilayah Ujung Berung. Meningkatnya jumlah penduduk dan menyempitnya lahan pemukiman yang ada karena dipakai untuk perumahan real estate dan ajang bisnis menimbulkan permasalahan sosial tersendiri bagi wilayah Ujung Berung. Migrasi penduduk luar ke wilayah Pasanggrahan tidak saja menyempitkan lahan-lahan pemukiman dan persaingan memperoleh pekerjaan tetapi menimbulkan pula 48 konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan kesempatan. Masalah lain yang ada di Kelurahan Pasanggrahan adalah masalah kemiskinan dan pemukiman tidak layak huni. Hal ini terlihat dari data di Kelurahan Pasanggrahan bahwa penduduk yang seharusnya mendapatkan bantuan beras Raskin adalah 534 KK, tetapi baru 260 KK yang dapat dipenuhi. Secara sosial masalah-masalah tersebut dapat berkontribusi untuk terjadinya masalah-masalah sosial lainnya seperti terjadinya kenakalan pada anak, perilaku kekerasan dan tindakan kriminalitas sehingga menjadi tidak aman. Khusus masalah kenakalan yang terjadi pada anak-anak di Kelurahan Pasanggrahan volumenya meningkat sehingga diperlukan upaya pencegahannya dengan melibatkan berbagai pihak dan melibatkan masyarakat secara keseluruhan. 49 BAB V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK 5.1. Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justive di Kota Bandung 5.1.1. Proses Pembentukan 5.1.1.1. Potret Buram Penanganan Anak Nakal Perlakuan terhadap anak nakal di Indonesia khususnya di Kota Bandung sampai hari ini masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini ironis, karena pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan membuat beberapa perundangan yang berkaitan dengan hak anak, namun dalam prakteknya tetap memperlihatkan minimnya penghormatan (respect) dan perlindungan (protect) aparat negara terhadap hak-hak anak. Situasi menuntut upaya-upaya partisipasi aktif semua pihak tidak hanya pemerintah, agar penanganan kasus anak-anak yang berkonflik dengan hukum berjalan ke arah yang lebih baik. Dalam soal anak nakal, kepolisian sebagai penyidik menjadi institusi penting untuk intensif didorong dan dituntut agar perilaku mereka ramah terhadap anak. Proses penyidikan di kepolisian menentukan apakah seorang anak nakal akan diproses pada tingkat selanjutnya atau tidak. Pada beberapa pertemuan dengan penyidik, tampak bahwa pengetahuan dan pemahaman mereka tentang hak anak masih sangat kurang. Indikasinya mereka kebanyakan belum pernah membaca Konvensi Hak Anak (KHA), hanya KUHP yang menjadi pegangan utama mereka dalam menyidik anak nakal dan sedikit mengadopsi UU No. 3 tahun 1997 khususnya tentang masa penahanan dan perlunya Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari Bapas. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan penyidik cenderung menyamakan perlakuannya dalam menangani anak nakal, dengan tersangka dewasa. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997, penyidik yang menangani anak nakal adalah penyidik yang memiliki Surat keputusan Penyidik Anak, disamping itu harus memenuhi syarat sebagai berikut : berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta 50 mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Meskipun Undang-Undang mengamanatkan demikian, sampai saat ini penyidik yang memiliki SKEP Penyidik Anak masih sangat minim jumlahnya. Adanya persyaratan ini tentu dimaksudkan agar penanganan anak nakal betul-betul memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, anak-anak yang menjalani pemeriksaan sebagai tersangka sudah pasti mengalami ketakutan yang luar biasa. Trauma psikologis ini akan diperparah jika perlakuan yang diberikan oleh penyidik tidak berbeda seperti halnya ia menangani tersangka dewasa. Di kalangan penyidik, seorang tersangka dewasa cenderung selalu ditempatkan sebagai residivis kambuhan, hal ini terjadi pula dengan tersangka anak-anak. Kalau mencermati pertanyaan-pertanyaan penyidik, stigmatisasi itu sangat kuat. salah satu indikatornya adalah pertanyaan-pertanyaan penyidik selalu mengarahkan tersangka untuk mengakui bahwa ini bukan perbuatan yang pertama kali. Selain itu juga masih terjadi praktek-praktek pemaksaan terhadap anak untuk mengakui sesuatu yang dikehendaki penyidik, misalnya pengakuan dibawah ini : ”... sebenarnya saya hanya berniat jalan-jalan dengan kendaraan bermotor bersama dengan teman-teman yang lain, dan ketika itu saya melihat didepan saya ada keributan, tidak lama kemudian datang mobil patroli polisi dan saya ditangkap, ketika dikantor kepolisian saya disuruh mengaku telah melakukan pemukulan terhadap korban, padahal saya sama sekali tidak tahu, tetapi polisi memaksa terus pada saya sambil memukul, menampar dan menyulut paha saya dengan rokok, karena tidak tahan akhirnya saya mengakui aja dan ketika disodori kertas untuk ditanda tangan, saya langsung mennandatanganinya tanpa bertanya lagi karena takut difisik lagi” (Gm, mantan napi anak) Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa penyidik wajib memeriksa tersangka dengan suasana kekeluargaan, dan pada waktu pemeriksaan agar anak didampingi oleh orang tua atau keluarga serta sebisa mungkin menghadirkan juga penasihat hukum. Sebetulnya perlakuan-perlakuan yang tidak ramah terhadap anak, apalagi sampai terjadi penyiksaan, tidak perlu lagi terjadi. Sejumlah instrumen hukum internasional memberikan koridor bahwa 51 penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Pasal 37 huruf (b) Konvensi Hak-hak Anak disebutkan : ”Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya”. Namun faktanya, melakukan penahanan terhadap anak masih menjadi langkah kebanyakan yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum ketimbang tidak menahan. Alasan penahanannya pun hanya berupa alasan formal sebagaimana yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yaitu tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Sementara, Pasal 45 UU RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan : (1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat (2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan (3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi Pada sebuah pelatihan penyidik anak yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar pada tahun 2004, diawal acara dilontarkan dua pertanyaan kepada 20 orang peserta dan harus dijawab dengan cepat, pertama, jika seorang anak melakukan tindak pidana, apakah anak tersebut harus dilakukan penahanan? Kedua, jika anak mereka melakukan tindak pidana, apakah setuju jika dilakukan penahanan? Untuk jawaban yang pertama 17 orang mengatakan setuju dan hanya 3 orang yang tidak setuju, sebaliknya untuk jawaban yang kedua, seluruh peserta menyatakan tidak setuju. Gambaran tersebut memperlihatkan kontradiksi terhadap kenyataan penanganan anak nakal di tingkat penyidik. 52 Pada kenyataannya perlu tidaknya seorang anak ditahan bukan didasari oleh penghormatan terhadap tersangka anak, akan tetapi lebih pada kedekatan fisik dan kekerabatan. Penahanan seolah-olah menjadi kewajiban penyidik, padahal di dalam KUHAP, seseorang tersangka tidak harus selalu dilakukan penahanan kecuali pada situasi tertentu yang memang mengharuskan adanya penahanan. Penahanan bagi anak kadang juga mengakibatkan cedera fisik, psikis dan sosial. Cedera fisik biasanya terjadi akibat penganiayaan oleh sesama tahanan karena anak dicampur dengan tahanan dewasa. Di ruang tahanan, anak-anak seringkali menjadi objek kekerasan fisik, bahkan kekerasan seksual oleh tahanan dewasa, seperti yang diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut : ”.. selama di Polsek saya ditahan bersama tahanan dewasa sebanyak 15 orang, oleh sesama tahanan yang sudah besar saya sering ditendang, disuruh mijit, disuruh ngepel, disuruh meminta uang dan rokok kepada keluarga saya yang menjenguk” (Ags, mantan napi anak) Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak-anak mudah tertular penyakit dari tahanan lain. Cedera yang kedua adalah cedera psikis. Penahanan membuat anak-anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis. Sementara itu anak-anak juga beresiko mengalami cedera sosial, sebab anak yang pernah mengalami penahanan akan sangat susah diterima oleh masyarakat. Umumnya masyarakat akan mengucilkan dan memberikan stigma kepada anak tersebut sebagai orang yang jahat dan perlu dijauhi, seperti diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut : ”Setelah keluar dari tahanan selama tiga bulan, hidup saya menjadi tidak berarti, karena orang tua selalu menyalahkan saya, selain itu saya malu untuk bermain dengan teman-teman dilingkungan rumah saya apalagi status saya yang sudah dikeluarkan dari sekolah, sehingga sehari-hari saya hanya berdiam diri di rumah” ( Dn, mantan napi anak) 53 Menyedihkan melihat kenyataan bahwa praktik penanganan anak oleh aparat penegak hukum, yang seharusnya mendapat perlindungan lebih daripada manusia dewasa, tetapi pada kenyataannya masih mengedepankan kekerasan fisik, bahkan kekerasan emosional pun kerap dialami anak-anak ini. Dn (klien pengkaji) masih ingat betul bagaimana ketika di ruang sidang pada persidangan pertama, hakim yang mengadilinya melontarkan kata-kata : ”kamu kecil-kecil jalannya sudah ke neraka, memeras ...., gimana sudah besar ? mau jadi preman”. Pemenjaraan/penahanan terhadap anak sebagai sesuatu yang harus dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum. Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dirasakan masih kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahanan/pemenjaraan terhadap anak oleh Penyidik (Polisi), Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) maupun Hakim. Berdasarkan data empiris yang dimiliki oleh Bapas Klas I Bandung diketahui bahwa pihak Penyidik telah melakukan penahanan terhadap anak sebesar 91,55 persen dari 367 anak yang disidik selama periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum di Jawa Barat Tahun 2008 Kota Jumlah Persen Kota Bandung 85 23,16 Kab. Bandung 63 17,16 Kota Cimahi 26 7,08 Kab. Cianjur 16 4,35 Kab. Sukabumi 62 16,89 Kota Sukabumi 12 3,26 Kab. Purwakarta 16 4,35 Kab. Karawang 22 5,99 Kab. Sumedang 17 4,63 54 Kab. Subang 19 5,17 Kab. Garut 29 7,90 Jumlah 367 100 Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 Memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa wilayah Kota Bandung menempati urutan tertinggi dalam jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak (remaja). Tingginya jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di Kota Bandung tidak terlepas dari status kota Bandung itu sendiri sebagai kota besar yang memiliki permasalahan sosial yang kompleks. Sedangkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008 Jenis Kenakalan Jumlah Persen Pencurian 189 46,04 Penganiayaan 34 9,26 Pengeroyokan 62 16,89 Asusila (cabul) 31 8,44 Pembunuhan 1 0,27 Narkoba 17 4,63 Lakalantas 8 1,90 Penipuan 2 0,54 Penggelapan 2 0,54 Sajam/Senpi 7 1,90 Perjudian 3 0,81 Tindak Pidana lain 11 2,99 Jumlah 367 100 Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 55 Memperhatikan data pada Tabel 10, terlihat bahwa tindak pidana pencurian menempati urutan tertinggi sebagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Bapas Bandung, para pelaku jenis tindak pidana pencurian sebagian besar berasal dari masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi mereka tercermin dari beberapa hal yaitu rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar anak, rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar orang tuanya dan rendahnya penghasilan sebagian besar orang tua. Bentuk hukuman bagi anak yang melanggar hukum dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak di Jawa Barat Tahun 2008 No Putusan 1 Pidana Penjara 2 Pidana Bersyarat 3 Anak Dikembalikan Kepada Orang Jumlah Persentase 342 93,18 15 4,08 5 1,36 2 0,54 3 0,81 367 100 Tua/Wali 4 Anak Diserahkan Kepada Lembaga Sosial 5 Anak Negara Jumlah Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 Memperhatikan data di atas, sebagian besar putusan yang dijatuhkan oleh Hakim untuk perkara anak adalah berupa pidana penjara yaitu mencapai angka 93 persen. Penjara, walau bagaimanapun tetaplah penjara, tetap tak layak untuk pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak. Penjara bukanlah satusatunya tempat hukuman bagi anak, sebab hukuman bagi seorang anak haruslah mendidik, mensejahterakan dan mendukung tumbuhnya mental dan moral anak secara optimal. 56 Selama masa penahanan dan pemenjaraan, tak ada tersedia fasilitas semacam perlengkapan mandi, pakaian atau alas tidur. Baik selama ditahan di sel tahanan kepolisian maupun di Rumah Tahanan (Rutan), perlengkapanperlengkapan semacam itu hanya diperoleh jika ada pemberian dari orang tua atau kerabat lainnya yang menjenguk sementara bagi anak yang tidak pernah dijenguk, mereka harus siap dan mau tidur dilantai tanpa alas. Di dalam penjara, anak-anak itu justru tidak menjadi sehat baik fisik maupun fsikisnya, apalagi kondisi penjara (Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan) yang sangat jauh dari menyejahterakan, kondisi ruangan yang tidak sehat, fasilitas air yang tidak layak, dan tidak adanya proses rehabilitasi selama anak-anak menjalani masa penahanan dan pemenjaraan. Anak-anak biasa mengisi waktu dengan bermain gapleh atau catur atau menyendiri di kamar dengan mengisi buku teka teki silang. Melihat semua itu menjadi bertambah keyakinan bahwa penjara memang sungguh tidak layak bagi anak. Dalam kenyataannya kebanyakan anak yang masuk penjara itu lebih banyak disebabkan oleh kejahatan-kejahatan remeh yang mereka lakukan. Pemenjaraan justru memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dari pada kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Melihat kenyataan tersebut perlu dibuatnya alternatif penanganan terhadap anak nakal yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat. 5.1.1.2. Pembentukan Restorative Justice Berangkat dari keprihatinan terhadap potret buram penanganan anak nakal, LSM yang peduli terhadap anak di Bandung sering mengadakan penelitian, diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai upaya mengatasi nasib buruk yang menimpa anak-anak tersebut. Untuk membuka mata dan hati aparat penegak hukum serta masyarakat, pada awal 2004 Koalisi Ketuk Nurani, yang terdiri dari LSM Peduli Anak pernah mengadakan diskusi yang bertajuk cukup unik, yaitu "Mencari Kriminal-Kriminal Profesional". Hasil dari diskusi tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan yang salah terhadap penanganan anak nakal dapat melahirkan kriminal-kriminal profesional, karena sewaktu mereka 57 ditahan di kepolisian ataupun dalam rumah tahanan (rutan) mereka dapat bergaul dengan penjahat dewasa, begitu juga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) - apalagi Jawa Barat belum memiliki Lapas khusus untuk Anak sehingga Lapas dijadikan sekolah baru bagi anak-anak dalam mempelajari kejahatan yang baru. Kiprah beberapa LSM di Kota Bandung tersebut bersambut baik dengan program yang dilaksanakan oleh Unicef dan LPA Jabar. Diawali pada bulan Juni 2002 dengan dilakukannya kunjungan oleh seorang penasehat seniornya dalam Peradilan Anak, Unicef bekerja sama dengan LPA Jabar dan beberapa LSM lainnya mengadakan serangkaian penelitian, pembentukan working group dan supporting group, lokakarya, sehingga terbentuk suatu desain program penanganan anak nakal di Kota Bandung. Desain program tersebut dimaksudkan agar penanganan anak nakal sedapat mungkin diselesaikan tidak melalui jalur peradilan, tetapi menerapkan model restorative justice yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Kota Bandung. Serangkaian penelitian tersebut juga menetapkan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa restorative justice merupakan suatu gerakan penanganan anak nakal, yang sedapat mungkin menghindari proses peradilan yang cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak. Gerakan ini muncul berawal dari konsep yang ditawarkan oleh Unicef, dan setelah bekerja sama dengan LSM yang peduli pada anak, membuat desain program dan menerapkannya di Kota Bandung. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan restorative justice tersebut menggunakan pendekatan demonstrasi, yaitu memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasilnya. Konsep restorative justice telah diterapkan dan berhasil baik dalam beberapa negara oleh Unicef dan LSM di negara tersebut, setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Konsep ini kemudian diadopsi dan diterapkan di Indonesia, dengan mengambil lokasi di Kota Bandung sebagai pilot project-nya. 58 5.1.1.3. Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan diawali dengan sosialisasi tentang penerapan model restorative justice oleh LPA Jabar pada bulan Maret 2005. Pada saat itu LPA yang didukung oleh Unicef mendapat bantuan dari LSM yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu LSM Saudara Sejiwa yang menangani anak jalanan di sekitar wilayah Ujung Berung. LSM ini diajak untuk ikut serta dalam program restorative justice karena dipandang sudah mengetahui karakter masyarakat setempat dan sudah berpengalaman khususnya dalam menangani anak. Pada tanggal 27 Maret 2005 dilakukan lokakarya restorative justice dengan masyarakat kelurahan Pasanggrahan yang dilaksanakan di Aula Kelurahan Pasanggrahan mulai pukul 13.30 WIB s.d. 15.00 WIB. Lokakarya tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu di tingkat Kelurahan Pasanggrahan dan Rukun Warga se-Pasanggrahan, akan dibentuk tim restorative justice dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan untuk Anak (FMPA), yang terdiri atas: 1. Tim Tingkat Kelurahan, terdiri dari: - Kepala Lurah Pasanggrahan sebagai Pembina - Ketua LPM (Lembaga Pemberdayaan masyarakat) - MUI Tingkat Kelurahan - LSM Saudara Sejiwa - PKK Tingkat Kelurahan Pasanggrahan 2. Tim Tingkat RW, terdiri dari: - Ketua yaitu para ketua RW mulai dari RW 01 s.d. 14 - Penunjukkan anggota forum masing-masing RW diserahkan kepada rapat di tiap-tiap RW Anggota Forum diharapkan yang dapat mewakili masyarakat. Seperti yang terbentuk di RW 14, forum beranggotakan 5 orang yaitu terdiri dari Ketua RW, Ketua Keamanan RW, dan tokoh masyarakat 3 orang dengan profesi masing-masing yaitu guru, ustadz, dan perwakilan ibu PKK tingkat RW. Proses 59 pembentukan pengurus dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Hal ini diceritakan oleh Agus, Ketua LSM Saudara Sejiwa sebagai berikut: ”Kita dari LSM dan pihak LPA hanya sebagai fasilitator saja, tidak mengintervensi mereka pada saat pemilihan pengurus. Ketua RW ditetapkan sebagai Ketua Forum karena beliau lebih punya kewenangan dan kekuasan yang relatif paling dipercayai oleh masyarakat. Sedangkan Ketua Keamanan RW dipilih karena dipandang sebagai orang yang secara formal mempunyai kewenangan dalam hal keamanan lingkungan, Ustadz dan Guru dipilih karena mereka dipandang mengetahui dan memahami tentang hak-hak anak sedangkan satu lagi dari ibu PKK supaya ada keterwakilan dari kaum perempuan”. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan FMPA sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat. Sumardjo (2007) menyebutkan ada 7 (tujuh) tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri (self mobilization). Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Melihat tipologi tersebut, jenis partisipasi masyarakat dalam pembentukan FMPA merupakan jenis partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, yaitu membentuk FMPA. Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati, yaitu bahwa Unicef, LPA, dan beberapa LSM menetapkan Kelurahan Pasanggrahan sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya, dengan menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak di wilayahnya sendiri. 5.1.2. Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung Penasehat senior Unicef dalam Peradilan Anak yaitu Mr. Geert Cappelaere, pada Juni 2002 melakukan kunjungan ke Kota Bandung melihat 60 situasi penanganan anak nakal yang ada di Bandung. Kunjungan dilakukan ke instansi terkait yaitu Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Polwiltabes (Kepolisian Wilayah Kota Besar), Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, dan LSM yang ada di kota Bandung khususnya ke LPA Jabar. Awal tahun 2003 kunjungan tersebut ditindaklanjuti oleh Unicef dengan mengutus Team JJ (Juvenile Justice) yang dipimpin Julie Lebeque dan membuat desain program untuk penanganan anak nakal di Kota Bandung. Pada tahap awal, Unicef bersama dengan LPA Jabar mengadakan penelitian restorative justice untuk menentukan model yang dianggap cocok bagi Kota Bandung. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar: ”Setelah kedatangan Julie Lebeque ke Bandung, LPA mengadakan beberapa kegiatan yaitu pada bulan Pebruari 2003 ”Membangun Persepsi Isu Perlunya Bantuan bagi Anak Nakal”. Kemudian pada bulan April 2003 mengadakan ”Lokakarya Semua Stakeholder Terkait Anak Nakal”, dan pada bulan Mei 2003 ”Pembentukan Support Group dan Working Group”. Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Membangun persepsi isu perlunya penanganan anak nakal sebagai langkah awal sangat diperlukan, setelah itu dilanjutkan dengan dilaksanakannya lokakarya yang bertujuan agar seluruh stakeholder memiliki pandangan yang lebih empati terhadap anak nakal sehingga mengembangkan kepedulian serta mendorong penanganan yang terbaik terhadap anak dan menjadi lebih berpihak pada anak, bersifat restoratif serta melindungi dan menjamin pemenuhan hakhaknya sebagai anak”. Pada saat diadakan lokakarya melibatkan semua stakeholder yang ada di Kota Bandung, seperti diungkapkan oleh Ketua LPA Jabar sebagai berikut: ”Lokakarya diadakan atas kerjasama LPA Jabar dan Unicef dengan mendatangkan narasumber yang berpengalaman dalam penanganan anak nakal. Peserta yang diundang terdiri dari para ahli antropologi, sosiologi, psikolog, kriminolog, pengacara, pakar hukum, budayawan, sejarawan sunda, pekerja sosial, tokoh agama dan tokoh masyarakat Bandung serta institusi/lembaga terkait seperti Polisi, Hakim, Jaksa, DPRD Komisi E Kota Bandung, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Bagian Pemberdayaan Perempuan, Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, LBH Bandung, LBH Unpas, LSM Anak (Laha, Bahtera, Grapiks, Yapena, 61 Saudara Sejiwa, Bina Buudaya Bangsa, Bina Mandiri, Repeh Rapih, Cahaya Beringin, Ketuk Nurani) serta dari Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum Unpad, Fakultas Hukum Unpas dan STKS Bandung)”. Penelitian dan pembuatan model dilakukan oleh working group (kelompok kerja), dan didukung oleh support group (kelompok pendukung). Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Setelah pelaksanaan lokakarya, maka direkomendasikan membentuk anggota working group (kelompok kerja) yang terdiri dari individuindividu yang memiliki latar belakang pengetahuan maupun pekerjaan yang relevan dengan persoalan anak anak yaitu Hakim Anak dari dari Pengadilan Negeri Bandung, Polisi, Petugas Balai Pemasyarakatan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, LBH Bandung, Fakultas Hukum Unpas, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan LPA Jabar. Sedangkan support group yaitu perwakilan dari Unicef Jabar dan tenaga pengajar dengan latar belakang yang kuat pada bidang hukum khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana, kriminolog dan psikologi khususnya psikologi anak maupun psikologi perkembangan.” Penelitian dilakukan oleh Working Group (Kelompok Kerja) dengan memfokuskan pada: a) apa yang membuat anak menjadi nakal; b) apa yang terjadi pada saat anak berada dalam sistem peradilan anak; c) bagaimana masyarakat, negara, maupun anak memandang anak nakal; d) apakah kota Bandung memiliki sistem budaya yang dapat membantu penanganan anak nakal; e) bagaimana alternatif yang dapat dilakukan bagi penanganan anak nakal. Salah seorang anggota Working Group, Distia, mengatakan : ”Tim Working Group sudah bekerjasama dan menjadi tim yang kompak, solid, dan mampu mengembangkan suasana tim yang kental sehingga dapat merumuskan dan menjawab berbagai persoalan baik yang berhubungan dengan konten maupun konteks, dan didukung oleh Tim Konsultan yang memposisikan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan tetapi tetap konsisten dalam mengembangkan kerangka asessment sehingga dapat dicapai hasil yang maksimal”. Penelitian dilakukan dengan cara diskusi, wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discusion) dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolog, kriminolog, ahli agama, aparat penegak hukum, budayawan, 62 LSM anak, pimpinan pesantren dan tokoh masyarakat serta anak nakal dan keluarganya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja restorative justice (RJ) adalah sebagaimana dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar berikut ini: ”Ada beberapa poin penting yang dihasilkan oleh kelompok kerja selama melakukan penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, dalam sistem peradilan ditemukan adanya mekanisme penyaringan kasus di masyarakat, walau tidak ditemukan bentuk peradilan tradisoional; Polisi punya kewenangan dekresi, namun adapula kewajiban untuk menindaklanjuti setiap perkara yang masuk; sistem hukum pidana masih bersifat retributif; telah ada pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang pentingnya cara alternatif dalam penaganan anak nakal. Kedua, pelayanan bagi anak nakal ternyata sarana pokok dan pendidikan yang disediakan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan jauh dari memadai. Ketiga, pelaku kunci dalam hal ini Polisi dan Hakim, karena memiliki kewenangan untuk memutuskan perlakuan, namun pemahaman tentang restorative justice belum dimiliki secara mendalam. Keempat, adanya peluang yaitu bahwa tindakan pemidanaan dalam UU Pemasyarakatan berorientasi pada pembinaan, sedangkan restorative justice juga bertujuan pada pemulihan melalui pembinaan. Kemudian adanya LSM dan tokoh masyarakat yang berorientasi kesejahteraan sosial sebagai masyarakat umum yang masih terbuka menerima gagasan perubahan dan peluang berikutnya UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perampasan kemerdekaan harus dijadikan upaya terakhir dan apabila terhadap anak nakal dilakukan restorative justice, maka alokasi dana yang diperlukan dalam proses hukum akan berkurang. Kelima, selama assesment juga mempertimbangkan pendapat anak yang terungkap adalah untuk kasus kenakalan anak cukup dinasehati, diberi perhatian, kasih sayang dan komunikasi yang mantap dengan orang tua, kemudian bagi korban narkoba, dibina di panti rehabilitasi dan menurut pendapat anak ternyata kenakalan kecil dapat diselesaikan dengan mendamaikan antara pelaku dan korban serta keluarga masingmasing”. Menurut Tatan Rahmawan (salah seorang Kelompok Kerja RJ), pada saat itu kelompok kerja RJ menyimpulkan bahwa: ”Pertama, masih terdapat kelemahan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia baik dalam sistem itu sendiri maupun pelaksanaannya; dan kedua, realitas pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Bandung tidak sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa ’penangkapan, 63 penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir’”. Lebih lanjut Tatan mengatakan bahwa: ”Berdasarkan hasil assesment, maka Kelompok Kerja RJ merekomendasikan untuk membuat alternatif penanganan anak nakal di tingkat masyarakat dan sebagai model dipilih Kelurahan Pasanggrahan dijadikan lokasinya. Hal tersebut disampaikan kepada pihak LPA Jabar dan Unicef”. Menindaklanjuti hal tersebut pihak LPA Jabar dengan dukungan dari Unicef melakukan sosialisasi penerapan model ”restorative justice” di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung. 5.2.Kinerja Forum di Kelurahan 5.2.1. Perkembangan Forum FMPA mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam bentuk keanggotaan maupun penyerahan kasus kenakalan anak yang dialaminya kepada FMPA. Keanggotaan FMPA yang terdiri dari berbagai unsur dan latar belakang yang berbeda ternyata membuat FMPA menjadi solid dan dipercaya oleh masyarakat, seperti dikemukakan oleh salah satu warga yang menjadi korban pencurian, yaitu Id, sebagai berikut: ”Ketika saya menjadi pihak korban dan mendengar akan diselesaikan oleh Forum, saya menanyakan siapa saja orang-orang yang akan menyelesaikan, dan setelah saya mengetahui anggotaanggotanya, saya terus terang langsung mempercayainya karena mereka mempunyai kredibilitas dalam masyarakat dan selama ini menjadi panutan bagi warga yang lainnya”. Ketika penulis menanyakan secara langsung pada pengurus FMPA latar belakang mereka mengapa mau untuk menjadi anggota forum, ada beberapa alasan yang mereka kemukakan, di antaranya Wiratmo anggota Forum di RW 14 mengatakan: ”Saya tertarik untuk terlibat aktif dalam forum, karena merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan generasi muda khususnya anak-anak. Meskipun mereka terlibat kenakalan, tetapi tetap mereka adalah anak-anak kita, siapa lagi yang harus meluruskan jalannya 64 kalau tidak dari kita sendiri, sedangkan orang tuanya saya yakin tidak ada yang menyangka kalau anaknya berbuat nakal dan mengganggu ketertiban masyarakat. Saya merasa terpanggil untuk membantu anak-anak dan orang tuanya (keluarganya) agar anakanaknya tidak nakal lagi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ade Komar, Anggota FMPA Kelurahan Pasanggrahan yang mengatakan: ”Saya sendiri begitu mendengar ada program ini yang difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa, merasa terpanggil. Awalnya karena saya orang asli pribumi di sini, sejak tiga tahun yang lalu ada rumah yang dikontrak oleh LSM Saudara Sejiwa untuk dijadikan rumah singgah bagi anak-anak jalanan yang ada di sekitar Ujung Berung. Saat itu saya sangat respek dan salut kepada pihak LSM yang mau peduli, sehingga saya menjadi salah satu donatur bagi kebutuhan mereka. Terlebih lagi ketika ada program ini ada beberapa orang warga yang mendorong saya untuk terlibat aktif, dan saya memang tertarik dengan kegiatan ini karena menurut saya diperlukannya keterlibatan warga untuk mengatasi masalah anakanak nakal yang ada di wilayah ini, jangan menyerahkan semua urusan kepada pemerintah (dalam hal ini penegak hukum), kecuali kalau kita sebagai warga sudah tidak mampu mengatasinya”. Dalam pembentukan forum, pihak inisiator hanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, LPA dan LSM Saudara Sejiwa sebatas memberi saran agar yang dijadikan anggota forum adalah wakil dari masyarakat yang dipandang mampu dan mempunyai peranan dalam masyarakat, mempunyai motivasi yang kuat untuk mengatasi permasalahan kenakalan anak, memahami tentang hak-hak anak dan sedikitnya ada pengalaman dalam menangani anak khususnya anak nakal, sehingga diharapkan dapat dapat mengatasi masalahmasalah yang dihadapi oleh pihak korban maupun tersangka anak. Sampai saat ini, perkembangan FMPA cukup baik karena didukung oleh unsur masyarakat yang bertindak sebagai pengurus maupun stakeholder lainnya. Beberapa kasus hukum ringan yang dilakukan oleh anak-anak nakal di wilayah Pasanggrahan dapat diselesaikan tanpa harus melewati proses peradilan formal. Beberapa kasus yang lain memang tidak diselesaikan melalui FMPA, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang keberadaan FMPA serta beratnya kasus yang terjadi yaitu sampai dengan hilangnya nyawa seseorang. 65 5.2.2. Proses Musyawarah Forum Pada bab terdahulu telah dikemukakan bahwa konsep restorative justice sebagaimana disebutkan Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) harus mengandung unsur-unsur : adanya dialog (musyawarah) antara pihak yang terkait yaitu pelaku, korban, aparat penegak hukum, dan masyarakat; adanya relationship building (membangun hubungan) antara pihak-pihak yang terkait, serta adanya restorasi (pemulihan) khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya dan ganti rugi bagi korban. Dalam penanganan anak nakal yang dilaksanakan di Kelurahan Pasanggrahan, masyarakat melalui FMPA bertindak sebagai mediator penyelesaian masalah, dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku dalam suatu forum dialog. Selama ini, FMPA bertindak setelah mendapatkan laporan masyarakat, yaitu dari pihak korban maupun warga masyarakat yang mengetahui kasus tersebut, sebagaimana dituturkan oleh Ade Komar salah satu anggota FMPA berikut ini : ”ketika kita menangani masalah anak-anak ini, pada awalnya ada laporan dari pihak korban tentang perbuatan yang disebabkan oleh salah satu anak, kemudian kita menerima laporan tersebut dan mencatat data-data yang dibutuhkan seperti data korban, data dugaan pelaku dan alamatnya, setelah itu kita harus mengetahui dengan pasti bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anak nakal tersebut, setelah semuanya tercatat baru merancang pelaksanaan musyawarah meliputi kapan waktunya untuk musyawarah, dimana tempat yang paling tepat untuk melaksanakan musyawarah, dan siapa saja pihak-pihak yang harus hadir dalam proses musyawarah tersebut, setelah semuanya siap, baru kita mengundang pelaku dan keluarganya juga pihak korban dan keluarganya” Setelah mendapatkan laporan tersebut, anggota FMPA berinisiatif mengundang anggota lainnya untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui forum musyawarah. Pihak pelaku dan korban dipertemukan dalam suatu ruangan untuk berdialog. Proses ini memungkinkan terungkapnya kronologis kejadian yang sesungguhnya dari sudut pandang kedua belah pihak (pelaku dan korban), penyebab terjadinya kasus, kerugian apa yang ditimbulkan, ganti rugi yang 66 diminta korban, sehingga FMPA sebagai mediator dapat mencari solusi yang menenteramkan hati bagi keduanya. Proses dialog yang baik, tanpa ada intimidasi dari pihak mana pun, menjadi prasyarat bagi tercapainya proses perdamaian yang baik. Di sinilah diperlukan FMPA yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut, terjaganya netralitas FMPA (tidak memihak salah satu pihak), FMPA tidak ”menghakimi” terlebih dahulu tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya, sebagaimana dituturkan oleh Ketua FMPA Kelurahan Pasanggrahan Bapak Adi sebagai berikut : ”Musyawarah pemulihan dilakukan secara tertutup, baik dari masyarakat umum maupun media massa, pada saat pelaksanaan musyawarah setelah semua berkumpul, ketua forum membuka acara setelah sebelumnya semua yang hadir diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian ketua forum menjelaskan tentang adanya pengaduan dari pihak korban, dan mempersilahkan pihak korban untuk menceritakan tentang apa yang telah dialami dan apa harapan korban dan keluarganya tentang perbuatan pelaku yang dianggapnya telah merugikan. Setelah itu ketua forum kemudian mempersilahkan pelaku untuk mengakui atau tidak tentang perbuatan yang dituduhkan kepada korban, apabila korban tidak mengakui, maka pertemuan batal dan keputusan diserahkan kembali kepada korban apabila hal tersebut akan diteruskan kepada pihak kepolisian, sedangkan apabila korban mengakuinya maka proses musyawarah dilanjutkan” Lebih lanjut, Bapak Adi mengemukakan bahwa keinginan korban dan pelaku benar-benar difasilitasi oleh forum, seperti diceritakannya sebagai berikut : ”Pada saat proses musyawarah, harapan korban dikemukakan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh pelaku agar dapat menggantikan tindakannya yang dianggap telah merugikan korban, kemudian ketua forum mempersilahkan pelaku dan keluarganya untuk menanggapi usulan korban dan keluarganya, dan setelah itu pada kesempatan berikutnya semua yang hadir boleh ikut menanggapi, sehingga ditemukan jalan yang terbaik baik buat pelaku maupun bagi korban. Setelah tercapai kesepakatan yang dianggap memuaskan kedua belah pihak, maka selanjutnya ketua forum akan menyimpulkan hasilnya, misalnya tindakannya berupa apa, dan bagaimana pelaksanaannya” Proses musyawarah bisa jadi tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban semata, tetapi beberapa pihak dapat terlibat di dalamnya. Aparat penegak hukum 67 maupun masyarakat dapat menjadi saksi atas proses dialog, sehingga kasus tersebut benar-benar dapat memuaskan berbagai pihak. Bagi pelaku, hal ini dapat memulihkan ”kesalahan” yang dilakukannya manakala masyarakat yang telah terpuaskan rasa keadilannya tidak memberi stigma negatif kepada pelaku karena pelaku telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban. Bagi aparat penegak hukum, proses seperti ini tentu lebih efektif dilakukan daripada melalui suatu proses peradilan formal yang ”menambah” pekerjaan dan membebani anggaran. Sampai dengan saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah berupaya untuk melakukan dialog yang baik antara beberapa pihak terkait. Beberapa kasus kenakalan anak yang terjadi di kelurahan ini yang tidak sempat dilakukan dialog dan ditangani oleh aparat penegak hukum, lebih disebabkan oleh belum tahunya korban terhadap keberadaan FMPA, sehingga tidak menyerahkan kasusnya kepada FMPA tetapi melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Hal ini menyiratkan bahwa FMPA perlu lebih mensosialisasikan kegiatan-kegiatannya dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan melalui berbagai kelembagaan yang ada dalam masyarakat. 5.2.3. Proses Relationship Building Membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban perlu dilakukan. Hal ini karena seringkali pelaku dan korban bertempat tinggal di lokasi yang berdekatan, atau sebenarnya merupakan teman main maupun teman sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua RW 14 berikut ini : ”Kasus pemukulan yang dilakukan oleh De terhadap An yang menyebabkan An luka lebam, dan setelah mereka diselesaikan lewat forum, malah sekarang ini mereka jadi bersahabat dan sering bermain bersama, malahan orang tua korban pernah menawarkan kepada De untuk sekolah kembali dengan biaya ditanggung oleh orang tua korban, tetapi sayang sekali De tidak mempunyai minat lagi untuk sekolah dengan alasan malu sudah terlalu tua dibanding anak yang lainnya.” 68 Hal tersebut memperlihatkan bahwa setelah permasalahannya ditangani oleh forum, ternyata telah terbangun proses hubungan yang lebih dekat dan bersifat kekeluargaan diantara keluarga pelaku dan keluarga korban. Pihak korban yang tadinya merasa kesal, setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya pihak korban dan keluarganya malahan menjadi empati, demikian juga pelaku yang pada awalnya merasa sering terhina oleh korban, setelah proses musyawarah, timbul perasaan yang lebih dekat dan mau bersahabat dengan korban. Selain terjadinya pemulihan hubungan antara korban dan pelaku, ternyata juga terjadi hubungan yang lebih positif diantara keluarga kedua belah pihak, hal ini dikemukakan oleh salah satu dari orang tua korban kasus pencurian besi sebagai berikut : ”Seminggu setelah kejadian, saya mendatangi rumah Ketua RW dan meminta tolong untuk mengantarkan saya ke keluarga pelaku, ternyata setelah sampai dilokasi rumahnya, saya kaget melihat kondisi rumahnya yang sudah reyot dan mau rubuh. Saat itu kedua orang tuanya sedang tidak berada dirumah, yang ada hanya pelaku bersama dengan adiknya yang masih berusia 4 tahun, ketika saya tanya kepada pelaku, kamu berdua sudah makan? Dia menjawab belum pak, bapak dan ibu saya belum pulang kerja sebagai pemulung, biasanya mereka pulang setelah magri, saya jadi iba kemudian saya berikan uang sekedar untuk makan hari itu” Empati bagi pihak korban ternyata tidak hanya sampai disitu saja, beberapa hari kemudian orang tua dari korban kembali mendatangi rumah tersebut seperti dituturkan oleh kedua orang tua pelaku sebagai berikut : ”Saya malu sama bapak In yang begitu baik sama kami sekeluarga. Malam hari Bapak In datang ke rumah saya dan membawa beras satu karung berikut minyak goreng dan mie rebus satu dus, juga membawa kain sarung dan pakaian sebanyak lima potong, pakaiannya masih bagusbagus lagi, Anak-anak dengan senang hati memakainya. Tidak hanya itu, beliau juga menawarkan kepada anak saya kalau mau sekolah lagi di SMP, sekolah saja, tetapi setelah ditanya anak saya tidak berminat lagi sekolah karena sudah ketuaan, malu sama yang lain katanya. Atas niat baik dari beliau saya sangat bersyukur, mudah-mudahan beliau diberi rizki yang banyak dan dipanjangkan umurnya” 69 Terjalinnya hubungan yang baik antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, tidak terlepas dari fungsi dan peranan FMPA sebagai mediator. Pada saat proses musyawarah dilakukan, anggota FMPA berupaya untuk membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku, korban, maupun masyarakat sekitarnya. Prinsip-prinsip non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; serta penghargaan terhadap pendapat anak; mendapatkan perhatian yang cukup serius bagi FMPA. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA Bapak Adi sebagai berikut : ”Senakal-nakalnya anak harus diupayakan proses perubahan perilaku dengan cara-cara yang baik, tidak harus melalui ”hukuman” peradilan formal, salah satunya adalah membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban, menumbuhkan kepercayaan diri keduanya untuk dapat berinteraksi kembali dalam suasana yang damai dan menenteramkan” Sampai dengan saat ini, FMPA telah menjalankan proses relationship building karena dalam beberapa kasus, pelaku dan korban menjalin hubungan yang erat pasca musyawarah pemulihan. 5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi Kasus kenakalan anak pasti menimbulkan ”luka” baik berupa fisik maupun non fisik. Luka fisik dapat berupa hilang/rusaknya harta benda, luka non fisik dapat berupa trauma, stress, rasa takut, rasa malu, dan sebagainya. Agar terjalin kembali hubungan yang baik antara pelaku dan korban, pelaku harus memberikan ganti rugi bagi korban, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada saat proses musyawarah, seperti dikemukakan oleh Bapak Eman salah satu anggota FMPA sebagai berikut : ”Ganti rugi dari segala kerugian yang diderita oleh korban, merupakan salah satu prasyarat dalam restorative justice yang harus dipenuhi, apabila pihak korban meminta ganti rugi maka keluarga pelaku wajib untuk memenuhinya dan apabila tidak dipenuhi maka laporannya akan diteruskan kepada pihak kepoilsian”. 70 Bagi korban, ganti rugi tersebut diharapkan dapat memulihkan kerugian yang dialaminya, sedangkan bagi pelaku, ganti rugi merupakan bentuk ”hukuman” dan wujud tanggung jawabnya bagi terwujudnya perdamaian dengan korban maupun masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA di RW 14 Bapak Adi sebagai berikut : ”Pemberian ganti rugi sangat penting artinya bagi pelaku agar dapat mengembalikan kepercayaan dari korban dan masyarakat terhadapnya. Meskipun pada kenyataannya pihak korban tidak selalu menuntut ganti rugi tetapi dalam proses musyawarah tetap hal tersebut menjadi pembahasan” Bagi masyarakat, ganti rugi dapat diartikan bahwa pelaku telah berupaya mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga kecenderungan memberikan stigma negatif kepada pelaku dapat dihilangkan. Sedangkan bagi aparat penegak hukum, ganti rugi merupakan wujud kesungguhan proses restorative justice yaitu memberikan hukuman bagi pelaku dan memberikan hak kepada korban. Dengan kata lain, ganti rugi akan memberikan kepuasan terhadap tercapainya rasa keadilan bagi semua pihak. Proses restorasi/pemulihan tidak semata pemulihan terhadap kerugian fisik semata. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah pemulihan terhadap kerugian non fisik. Bagi korban yang masih berusia anak-anak, bisa jadi kejadian kenakalan terhadap dirinya akan membekas dalam ingatannya dan berakibat kurang baik bagi perkembangan psikisnya. Sehingga, proses pemulihan bagi korban tidak semata hanya dilakukan oleh pelaku tetapi orang tua, FMPA, dan masyarakat sekitarnya dapat memberikan dukungan terhadap pemulihan, seperti dikemukakan oleh salah satu angggota FMPA berikut ini : ”Pemulihan bagi korban khususnya korban yang masih anak-anak, misalnya dengan perlakuan yang baik agar trauma yang dialaminya dapat hilang, hal itu dilakukan tidak hanya dengan memberikan rasa ”kasihan” tetapi lebih kepada memberikan dukungan agar korban dapat menerima peristiwa yang terjadi pada dirinya, sedangkan pemulihan bagi pelaku misalnya tidak memberikan stereotype, menyadari bahwa kenakalan yang dilakukan anak dapat disadarkan dengan perlakuan yang baik” 71 Kecenderungan memberikan ”cap” negatif kepada pelaku tidak hanya membuatnya sulit untuk beradaptasi kembali dengan masyarakat, tetapi perlakuan semacam itu akan dapat menjadikan dirinya bertambah nakal karena merasa dikucilkan. Sampai saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah menjalankan kewajibannya menjadi mediator pemberian ganti rugi fisik dari pelaku kepada korban. Diharapkan proses pemulihan non fisik juga dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya. 72 BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan penulis, beberapa faktor dapat mempengaruhi kinerja FMPA dalam penerapan restorative justice. Peranan para stakeholder yaitu inisiator/fasilitator, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat berperan bagi tercapainya tujuan yang diharapkan. Restorative justice tidak berhasil dengan baik apabila para stakeholder tersebut tidak berkolaborasi atau bekerja sendiri-sendiri. Beberapa faktor yang teridentifikasi terbagi atas: (1) kinerja anggota FMPA yang meliputi motivasi, pemahaman tentang hak anak, serta pengalaman dalam menangani anak nakal; (2) peranan inisiator FMPA yaitu Unicef Jawa Barat, LPA Jawa Barat, serta LSM Saudara Sejiwa; dan (3) partisipasi masyarakat, termasuk peranan kelembagaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat berperan terhadap keberhasilan penanganan anak nakal dengan restorative justice, dapat dilihat pada gambar 3. KINERJA ANGGOTA FMPA pemahaman ttg hak anak motivasi menjadi anggota perkembangan psikologis motivasi motivasi menerapkan restorative justice empat prinsip Konvensi Hak Anak pengalaman koordinasi dalam menangani kasus bagaimana penanganan melalui hukum keberhasilan restorative justice peranan LPA Jabar masyarakat umum orang tua lembaga masyarakat sumbangan konsep dan tindakan pendanaan sumbangan konsep dan tindakan peranan LSM Saudara Sejiwa PARTISIPASI MASY sumbangan konsep peranan Unicef Jabar PERANAN INISIATOR Gambar 4 : Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum 73 6.1. Kinerja Anggota FMPA 6.1.1. Motivasi Motivasi merupakan prasyarat utama bagi keberlanjutan suatu organisasi. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam individu yang mengarahkan seseorang kepada tujuan yang diinginkannya. Dalam sebuah organisasi, motivasi tiap anggotanya yang konsisten akan mempertahankan kondisi kepada tercapainya tujuan organisasi tersebut, meskipun terdapat hambatan dan gangguan. Sebagai sebuah organisasi, FMPA akan sustainable apabila motivasi anggotanya tetap terjaga. Perbedaan latar belakang tiap anggota (guru, ustadz, anggota PKK) membutuhkan proses adaptasi satu sama lain. Tetapi, apabila masing-masing mempunyai motivasi yang sama, yaitu motivasi untuk menangani anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui jalur peradilan formal, maka perbedaan tersebut justru akan menjadi modal yang baik. Perbedaan latar belakang dapat berarti perbedaan cara penanganan anak nakal bagi setiap anggota, tetapi hal tersebut akan memperkaya pemikiran bagaimana menangani anak nakal sesuai dengan hak-hak anak, hal tersebut tercermin dari anggota FMPA yang terbentuk berlatar belakang pendidikan dan profesi sebagaimana dituturkan oleh anggota FMPA Bapak Suratmo sebagai berikut : ”Anggota FMPA dibentuk setelah sebelumnya kita mengadakan pertemuan di tingkat RW, pada saat itu dengan difasilitasi oleh LSM Saudara Sejiwa kita membentuk kepengerusannya. Hasil musyawarah dalam pertemuan tersebut ditetapkan yang menjadi anggota FMPA terdiri dari profesi Guru, Tokoh agama, Ibu PKK dan Ketua RW sendiri ditambah dengan Ketua Pemuda. Hal tersebut mencerminkan kepengurusan dalam FMPA terdiri dari berbagai profesi” Agar dapat mempertahankan terciptanya motivasi yang konsisten, maka diperlukan situasi yang mendukung, antara lain: setiap anggota mempunyai hak suara yang sama, saling menghargai pendapat tiap anggota, menciptakan relationship yang baik di dalam dan di luar forum, dan saling berkolaborasi. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. 74 Dalam wawancara mendalam dengan beberapa anggota FMPA, penulis mencoba mengetahui motivasinya untuk menjadi anggota, dan motivasi untuk terus melaksanakan restorative justice dalam menangani permasalahan anak nakal di wilayahnya. Penulis menyimpulkan motivasi untuk menjadi anggota FMPA sebagai berikut: a. merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa; b. senakal-nakalnya anak masih dapat diluruskan/diperbaiki perilakunya dan memperbaiki perilaku anak-anak terutama di wilayahnya merupakan wujud tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat; c. membantu orang tua menangani anaknya yang nakal, karena semua orang tua pasti tidak menginginkan anaknya menjadi nakal dan mengganggu ketertiban masyarakat; Dengan motivasi ini, apa pun latar belakang anggota FMPA, akan tetap menjadi dorongan yang kuat karena tujuan utamanya adalah melaksanakan tanggung jawab sosial sebagai warga masyarakat untuk memperbaiki perilaku anak. Guru, ustadz, anggota PKK, maupun latar belakang status pekerjaan seseorang, pasti menginginkan anak menjadi generasi penerus yang baik. Sedangkan motivasi untuk menangani anak nakal melalui restorative justice adalah: a. program ini difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa yang telah lama berkiprah dan dipercaya dalam menangani permasalahan anak jalanan di Ujung Berung; b. mendukung program yang dirumuskan oleh LPA dan LSM tersebut; c. adanya dorongan dari warga lainnya untuk menjadi anggota FMPA; d. tidak ingin menyerahkan semua urusan penanganan anak nakal kepada aparat penegak hukum, kecuali warga sudah tidak mampu mengatasinya; e. penanganan anak nakal melalui peradilan formal tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat menjadikan anak menjadi lebih nakal. 75 FMPA di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai motivasi yang baik dalam menerapkan program ini. Tetapi, karena partisipasi masyarakat merupakan bentuk partisipasi fungsional sebagaimana uraian pada bab terdahulu, pada tahap awal motivasi ini harus mendapatkan stimulan berupa pendampingan/sosialisasi tentang restorative justice dan dukungan dana dari pihak inisiator. Setelah berjalan beberapa lama, barulah FMPA menunjukkan kemandiriannya dalam menyelesaikan permasalahan anak nakal di wilayahnya melalui program ini. Dapat disimpulkan bahwa selama para anggota FMPA tetap mempertahankan motivasi dalam menerapkan program ini, dengan dukungan dari stakeholder lainnya maka penanganan anak nakal dapat diselesaikan tanpa melalui jalur peradilan formal. 6.1.2. Pemahaman tentang Hak Anak Setiap manusia melewati fase-fase dalam kedidupannya, dimulai dari fase pre-natal, fase natal, dan fase post-natal. Fase post-natal terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua. Masing-masing tahapan tersebut memerlukan perhatian yang sesuai dengan kebutuhan tahapan tersebut. Pada tahapan anak-anak dan remaja, kondisi psikologis masih labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan dan media massa atau kurangnya pengawasan dari orang tuanya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokoh pemuda yang menjadi angota FMPA di RW 14 sebagai berikut : ”secara sosial psikologis, menurut saya kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak tidaklah mutlak menjadi kesalahan dari anak itu sendiri secara individu, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari beberafa faktor yang mempengaruhinya seperti ajakan dari temannya atau kurangnya pengawasan dari orang tuanya terhadap anak tersebut” Tahapan remaja menuju dewasa membutuhkan penyesuaian-penyesuaian bagi individu tersebut karena terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikisnya. Anak mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dikarenakan pengaruh hormon kelamin dan hypophysis di mana terdapat penambahan berat badan yang 76 mencolok disertai penambahan panjang badan, serta terjadi perubahan pubertas fisik dan psikis. Pubertas fisik meliputi pertumbuhan kelamin, misalnya mengalami menstruasi dan mimpi basah, tumbuhnya bulu di beberapa bagian, perubahan pita suara, yang dapat membuat kikuk, salah tingkah, canggung bila berhadapan dengan lawan jenis. Pubertas psikis terjadi penghayatan di mana individu yang bersangkutan secara psikis (kejiwaan, batiniah) berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa makna hidup baginya. Yang tampak menonjol dari perubahan psikis adalah mulai tumbuhnya harga diri atau muncul “akunya” bahkan kadang menjadi sombong atau membanggakan apa yang dimilikinya, dorongan untuk bersifat agresif dan membentuk “geng”, dorongan nafsu seksual makin menggelora, ingin serba bisa memecahkan masalahnya sendiri, dan sering bersikap emosional. Pada masa remaja perubahan-perubahan fisik dan psikis tersebut menuntut perubahan dalam beradaptasi dengan diri dan lingkungannya, sehingga diperlukan bimbingan dan arahan yang jelas agar anak ini tidak terjerumus dalam hal-hal yang bersifat negatif. Kenakalan yang terjadi pada anak sering disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan media massa di samping perhatian orang tua yang kurang. Sebagai bagian dari masyarakat, anak mempunyai hak untuk berkembang sesuai dengan fase-fase hidupnya tersebut. Anak seharusnya diberi ruang untuk dapat menyalurkan gejolak perubahan psikologis tersebut kepada kegiatankegiatan yang positif. Terhadap anak yang melakukan kenakalan, masyarakat pun harus tetap memperhatikan hak-hak anak untuk tetap tumbuh dan berkembang secara normal. Pemahaman yang baik terhadap hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan kenakalan, akan memberikan solusi yang memulihkan bagi anak untuk merubah perilakunya ke perbuatan yang baik dan sesuai norma sosial. Dalam konsep restorative justice, pemahaman tentang hak anak oleh orang tua, masyarakat umum, dan anggota FMPA akan membawa proses pemulihan itu berjalan dengan baik. 77 Konvensi Hak Anak merumuskan empat prinsip perlindungan terhadap anak, yaitu non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak. FMPA harus menempatkan prinsip ini dalam menangani masalah kenakalan anak. Non diskriminasi dapat diartikan bahwa setiap anak yang berlatar belakang berbeda dari status sosial, ekonomi, maupun agama, harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apabila anak tersebut melakukan kesalahan, selayaknya mendapatkan proses pemulihan yang sama. FMPA juga harus membuat solusi yang terbaik bagi anak, dapat berarti selama mengikuti proses pemulihan, FMPA memberi kesempatan kepada anak untuk terus mengikuti sekolah, berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya, dan tanpa mengalami pengucilan. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak memberikan kesempatan kepada FMPA dan masyarakat umum untuk membimbing dan mengarahkan perubahan fisik dan psikis anak menuju ke arah yang seharusnya. Penghargaan terhadap pendapat anak dimaksudkan agar anak dapat menetapkan pilihan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya tanpa ”dikte” dari orang tua. Bagi anak yang melakukan kenakalan, FMPA harus memperhatikan kasus tersebut dari sudut pandang anak, tidak ”menghakimi” sebelum mendengar pendapat anak terhadap kasus tersebut. Proses musyawarah/dialog, relationship building, dan pemberian ganti rugi, tetap harus memperhatikan pendapat anak. Sehingga proses pemulihan tersebut melibatkan juga keinginan anak untuk mendapatkan solusi yang terbaik. 6.1.3. Pengalaman Pada masa lalu, proses musyawarah dalam menangani anak nakal di wilayah Pasanggrahan yang mayoritas suku sunda sebenarnya sudah berjalan. Hal ini berkaitan dengan budaya Sunda yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah. Hanya saja belum melembaga dan bersifat insidentil. Tokoh masyarakat di lingkungan tersebut berupaya ”mendamaikan” 78 pelaku dan korban melalui proses musyawarah, hal yang sama dengan restorative justice tetapi tidak dalam sebuah forum yang dilembagakan seperti FMPA. Bagi anggota FMPA, pengalaman menangani anak nakal melalui program ini tidak lepas dari latar belakang yang bersangkutan. Anggota yang berasal dari Ketua RT/RW, guru, ustadz, dan ibu PKK, tentu mempunyai perhatian lebih terhadap perkembangan anak. Hal ini turut berpengaruh terhadap kinerja FMPA. Anggota yang cenderung mempunyai latar belakang pendidik tersebut (guru dan ustadz) dapat memahami proses perkembangan anak, memahami hak-hak anak, sehingga proses pemulihan dapat berjalan baik. Ibu PKK yang mempunyai anak, berkepentingan agar anak-anak di wilayahnya tidak menjadi anak nakal, dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang terdapat di komunitasnya. Sedangkan bagi Ketua RT/RW, faktor keamanan lingkungan bisa jadi menjadi prioritas, sehingga menjaga lingkungan bebas dari anak nakal menjadi motivasi yang baik, seperti dituturkan oleh Ketua RW 14 berikut ini : ”Dalam memilih anggota Forum, saat itu masyarakat yang hadir dalam pertemuan sepakat untuk menunjuk kami berlima dengan pertimbangan terdiri dari berbagai disiplin pekerjaan dan latar belakang yang bervariasi, sehingga diharapkan dengan perbedaan pengalaman yang dimiliki tersebut akan menambah pemahaman dan pengetahuan dalam penanganan terhadap anak nakal” Mengingat pentingnya pengalaman dan pemahaman terhadap hak anak, masyarakat memilih anggota FMPA sesuai dengan latar belakang dan pengalaman yang baik dalam penanganan anak. Anggota FMPA yang terpilih juga harus mengedepankan proses pemulihan yang memihak kepada hak-hak anak. 6.2. Peranan Inisiator FMPA 6.2.1. Unicef Jabar Sejak tahun 2002, anak-anak yang bermasalah dengan hukum merupakan priotritas bagi UNICEF Indonesia yang dimulai dengan program peradilan anak yang bersahabat untuk memperbaiki peradilan anak dan meningkatkan kesadaran atas situasi perlakuan yang salah terhadap anak dalam kerangka strategi prioritas 79 jangka menengah (MTSP) UNICEF dan sasaran-sasarannya. Keseluruhan tujuan dari proyek adalah untuk mengembangkan sistem peradilan anak yang komprehensif, yang konsisten dengan Konvensi Hak Anak (KHA) dan petunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kegiatan Uji coba model restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI dengan UNICEF Indonesia dalam memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Diperlukan perlindungan khusus yang didasari atas dasar analisa kondisi obyektif dari anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus baik dalam bentuk kebijakan, model penanganan atau bantuan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk memberikan bantuan. Anak nakal sehingga berhadapan dengan masalah hukum merupakan kelompok anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, tetapi belum memperoleh perhatian dan penanganan perlindungan yang berperspektif anak, untuk itulah kegiatan uji coba ini dilakukan. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini memperoleh dukungan sepenuhnya dari UNICEF Indonesia dan didampingi, dimonitor dan dievaluasi (umpan balik) dari UNICEF FO Jabar dan Banten. 6.2.2. LPA Jabar Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat (LPA Jabar) merupakan suatu organisasi independen, nirlaba, bergerak dalam bidang sosial dengan spesifikasi Perlindungan Hak Anak, yang berdiri sejak tanggal 27 Januari 2000. Adapun visi dari LPA Jabar adalah mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak anak serta memajukan dan melindungi anak dari hak-haknya, sedangkan misinya adalah melindungi anak dari setiap orang tua dan atau lembaga yang melanggar hak-hak anak serta mengembangkan partisipasi keluarga dan masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat yang telah berkomitmen untuk melakukan perlindungan terhadap anak, termasuk bagi anak yang berhadapan dengan hukum (anak nakal). Sebagai lembaga advokasi, LPA dituntut untuk dapat 80 melakukan aktivitas yang akan memberikan dampak yang lebih mendasar bagi upaya perlindungan terhadap anak khususnya anak nakal, yaitu upaya yang dapat menjadi alternatif solusi bagi penanganan anak nakal yang lebih berperspektif anak. Solusi ini dirumuskan bersama antara LPA dengan stakeholders dalam hal ini lembaga/institusi yang memiliki akses bagi upaya perlindungan terhadap anak nakal yang terdiri dari unsur akademisi, aparat penegak hukum, lembaga pendamping dan para ahli. Melalui para akademisi diharapkan diperoleh dasar konseptual teoritik yang tegas. Dari aparat penegak hukum diharapkan diperoleh dasar praktik dan yuridis yang kuat, dari lembaga pendamping diharapkan diperoleh dasar empirik yang kuat serta dari para ahli diperoleh landasan profesional yang kuat. Atas darsar pemikiran tersebut dipandang perlu dilakukan asesmen tentang anak nakal di Kota Bandung yang mengeksplorasi permasalahan anak nakal. 6.2.3. LSM Saudara Sejiwa LSM Saudara Sejiwa pada awalnya berfokus pada penanganan anak jalanan yang ada disekitar Pasar Ujung Berung. Lembaga ini mendirikan rumah singgah yang bertempat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung dengan jumlah anak jalanan yang ditampung sebanyak 35 anak pria dan 5 anak perempuan. LPA Jabar memilih LSM Saudara Sejiwa untuk dapat diajak bergabung dalam kegiatan restorative justice dengan pertimbangan lembaga tersebut telah berada dilokasi hampir lima tahun lamanya sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui pola perilaku dan budaya setempat khususnya dalam penanganan anak nakal. 6.3. Partisipasi Masyarakat Masyarakat Kelurahan Pasanggrahan seperti yang telah dibahas pada Peta Sosial, memiliki modal sosial yaitu adanya kepedulian terhadap sesama, ikatan bersama, adanya kepercayaan, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Apabila modal sosial tersebut dikelola dan digerakkan dengan baik, maka akan 81 menghasilkan kekuatan dalam menghadapi berbagai hambatan yang dihadapi oleh warga Kelurahan Pasanggrahan. Menanggapi adanya program ”Restoratife Justice” di Kelurahan Pasanggrahan, warga masyarakat pada umumnya menyambut positif kegiatan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi mereka pada saat dilakukan sosialisasi di Balai Pertemuan RW maupun pada saat pengajian di Mesjid. Seperti dituturkan oleh satu tokoh masyarakat Bapak Idi sebagai berikut : ”...ketika dilakukan penyuluhan hukum, warga mendengarkan paparan yang disampaikan oleh Team cukup antusias dan banyak bertanya tentang cara-cara penyelesaian yang terbaik, malah yang paling banyak memberikan pertanyaan adalah kaum perempuannya terutama tentang bagaimana mencegah agar anak-anak tidak melakukan kenakalan..” Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang pengkaji lakukan di Kelurahan Pasanggrahan terdapat beberapa lembaga lokal yang mempunyai tujuan kolektif terhadap masalah anak nakal dan penanganannya. Lembaga sosial tersebut meliputi : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Karang Taruna, Dewan Keluarga Mesjid (DKM) dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Disamping itu terdapat juga nilai-nilai lokal berkaitan dengan anak yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu bagaimana masyarakat memandang seorang anak berdasarkan nilai-nilai budaya yang dipahaminya. Lebih jauh kelembagaan berkaitan dengan anak sebagai berikut : 6.3.1. Orang Tua Peranan keluarga dan media massa dalam perkembangan dan tingkah laku sosial dan moral anak sangat besar. Keluarga merupakan komunitas pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar sebagai makhluk sosial dan berinteraksi dengan komunitasnya. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai kedudukan penting dalam penanaman moral anak. Keluarga yang harmonis, di mana orang tua memberikan kasih sayang dan perhatian yang baik bagi anak, sebaliknya anak berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran moral yang diberikan orang tuanya, cenderung membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang baik. Peranan orang tua juga sangat penting dalam menyaring informasi yang diperoleh 82 anak dari media massa. Pendampingan orang tua di saat anak menonton media televisi, misalnya, diperlukan agar orang tua dapat memberikan penjelasan yang dianggap perlu terkait dengan informqasi tersebut. Keutuhan orang tua juga mempunyai arti penting dalam perkembangan psikis anak. Orang tua yang bercerai, atau single parent, menjadikan perkembangan anak menjadi kurang sempurna. Figur ayah dan ibu yang baik dapat menyeimbangkan perkembangan anak. Seringkali anak menjadi nakal manakala perhatian orang tua kurang maksimal. Pemenuhan kebutuhan bagi anak tidak semata-mata diperoleh dari pemenuhan kebutuhan akan barang/benda, tetapi juga diperoleh dari bentuk perhatian, mengarahkan anak kepada hal yang baik. Pada beberapa kasus, orang tua yang hanya menyerahkan tanggung jawab pembinaan anak kepada guru di sekolah, harus mendapati anaknya menjadi kurang baik manakala pengaruh media massa dan lingkungan lebih besar dibandingkan sekolah. Hal ini dapat dimaklumi, karena waktu berinteraksi anak di sekolah hanya seperempat (+ tujuh jam dalam sehari), selebihnya proses interaksi anak terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Terhadap anak yang nakal pun, peran orang tua sangat diperlukan. Tidak hanya menyalahkan anak, tetapi orang tua harus introspeksi diri mengapa anaknya dapat melakukan kenakalan. Proses pemulihan yang baik bagi anak akan menentukan perilaku anak berikutnya. Orang tua yang mendapati anaknya melakukan kenakalan dan menimbulkan korban dan tidak dapat mengatasi persoalannya sendiri, dapat meminta bantuan kepada FMPA. Faktor kepercayaan orang tua terhadap kinerja FMPA, menentukan proses pemulihan anak. FMPA dapat memberikan solusi yang memulihkan bagi anak nakal melalui restorative justice, sehingga orang tua perlu mendukung proses pemulihan tersebut. Selanjutnya, untuk memulihkan kondisi psikis anak, pendampingan orang tua masih diperlukan oleh anak tersebut. 83 6.3.2. Mayarakat Umum Masyarakat umum (selain pelaku dan korban) mempunyai andil yang besar pula dalam kinerja restorative justice. Masyarakat dapat melaporkan kasus anak nakal (kasus ringan sesuai dengan yang disepakati) yang terjadi di wilayahnya kepada anggota FMPA agar diselesaikan di tingkat forum, tidak harus melalui aparat penegak hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja FMPA juga menentukan bagaimana FMPA tersebut dapat bekerja dengan baik. Andil masyarakat juga diperlukan dalam proses relationship building dan pemberian ganti rugi antara pelaku dan korban. Masyarakat dapat menjadi saksi dari proses tersebut, sehingga dapat menilai apakah proses itu dapat memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak. Sehingga kecenderungan untuk memberikan stereotype kepada pelaku dapat dikikis karena masyarakat mengetahui sendiri bahwa prose situ telah memuaskan dan menenteramkan hati kedua belah pihak. Dalam proses berikutnya, penerimaan kembali anak nakal ke dalam komunitas disertai dengan pendampingan mempercepat proses pemulihan bagi anak tersebut. 6.3.3. Kelembagaan Masyarakat 6.3.3.1. DKM Latar belakang kegiatan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) ini adalah untuk mempererat dan mempersatukan tokoh-tokoh mayarakat dalam wadah keagamaan khususnya dalam kegiatan yang islami. Dalam kegiatan ini juga mempersatukan pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Ikatan Remaja Mesjid. Melalui kegiatan tersebut para pemuda dan pemudi diharapkan memiliki kepekaan terhadap lingkingan sosial dan masalah keagamaan yang bekaitan dengan kepemudaan. Ikatan Remaja Mesjid adalah salah satu media untuk memberikan pembinaan mental kepada para remaja, melalui lembaga ini, seorang remaja akan memperoleh lingkungan islami serta dapat mengembangkan kreativitasnya. Lingkungan yang islami ini akan mendukung perkembangan remaja secara positif dan menuntun mereka dalam kepribadian yang benar. Pembinaan yang islami juga akan memudahkan setiap orang tua memperoleh anak yang didambakannya yaitu 84 anak yang baik, beriman, berilmu dan berakhlak mulia sehingga tidak pernah terlibat dalam kenakalan. Kegiatan DKM dan Remaja Mesjid di Kelurahan Pasanggrahan masih terjebak dalam kegiatan yang besifat rutinitas ”ubudiyah” semata, seperti kegiatan memperingati hari-hari besar islam dan sejenisnya, padahal jika dilihat lebih jauh berdasarkan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan bagi remaja khususnya, banyak peran dan fungsi yang dimiliki dan dikembangkan oleh Remaja Mesjid 6.3.3.2. LPM Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, merupakan sebuah proses perubahan nama dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kelembagaan ini mempunyai tugas sebagai mitra dari pemerintah kelurahan di dalam bidang pemerintahan dan pembangunan yang diserahkan kepada kelurahan sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh camat. Sebagai mitra dari pemerintah, kelembagaan ini mempunyai tugas mengkoordinir segala bentuk kegiatan di masyarakat dengan organisasi yang lebih atasnya dengan arah kegiatan lebih bersifat mobilisator sumber sosio kultural untuk membangun masyarakat yang kreatif dengan komitmen kemandirian yang memiliki sifat-sifat inovatif sebagai sumber daya pembangunan. LPM dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan belum nampak kegiatan yang nyata, padahal idealnya LPM berfungsi untuk mengkoordinir sumber-sumber sosio kultural, tetapi ketika dilaksanakan program restoratife justice, pihak LPM mendukung sepenuhnya kegiatan tersebut 6.3.3.3. Karang Taruna Karang Taruna sebagai organisasi yang keberadaannya mendapat pembinaan dari Dinas Sosial merupakan wadah kegiatan pada pemuda untuk melaksanakan aktivitas dan kratifitasnya. Melalui Karang Taruna ini pada pemuda diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks pencegahan terjadinya kenakalan anak, Karang Taruna merupakan media yang tepat untuk melibatkan anak dalam aktivitas yang 85 dilakukannya baik yang bersifat rekreatif edukatif maupun yang bersifat pengembangan kemampuan anggotanya. Kegiatan yang bersifat rekreatif edukatif sangat relefan untuk mencegah terjadinya kenakalan anak. Kegiatan tersebut umumnya diwujudkan dalam bentuk olah raga, kesenian, pembelajaran komputer dan lain sebagainya. 6.3.3.4. PKK Lembaga ini berada pada tingkat Kelurahan sampai pada tingkat RW. Sasaran utama dari pelayanan yang diberikan oleh PKK adalah para orang tua, dengan tujuan untuk menciptakan keluarga yang sejahtera. Dalam konteks penanganan anak nakal, PKK memotivasi para ibu-ibu untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap anak-anaknya agar terhindar dari kenakalan remaja yang akhir-akhir ini sering terjadi seperti masalah narkotika dan obat terlarang juga termasuk merebaknya minuman keras dikalangan remaja. Upaya penanganan anak nakal secara luas bukan hanya tanggung jawab pemerintah (aparat penegak hukum) namun tidak kalah pentingnya juga bagaimana masyarakat yang tergabung dalam organisasi khususnya PKK untuk menjembatani terpenuhinya kebutuhan dasar warga setempat. Dalam konteks ini diperlukan partisipasi warga masyarakat agar terus memperjuangkan hak-hak hidup layak dan bermartabat. Bagi pengurus PKK sebagai pelaksana perubahan di tingkat lokal perlu berpartisipasi aktif mengembangkan kemampuannya dalam upaya penanganan masalah anak nakal secara kondusif. Penanganan masalah anak nakal yang diberikan kelompok PKK di Kelurahan Pasanggrahan diwujudkan dalam bentuk gagasan kepada masyarakat untuk memberikan perhatian terhadap fasilitas olahraga futsal di Kelurahan Pasanggrahan. Dengan demikian secara tidak langsung kelompok PKK telah memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan masalah kenakalan anak di Kelurahan Pasanggrahan. 86 BAB VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM Dalam melakukan analisis terhadap suatu program diperlukan kegiatan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi dalam praktek pengembangan masyarakat merupakan salah satu langkah yang sangat penting yang harus dilakukan, sama pentingnya dengan langkah-langkah lainnya seperti need asessment, menyusun rencana intervensi, intervensi, serta tindak lanjut yang kesemuanya merupakan tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberian pertolongan dalam praktek pengembangan masyarakat. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Menurut Hendrakusumaatmaja (2007), evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan secara obyektif untuk menentukan keterkaitan, efisiensi, efektifitas dan dampak suatu upaya sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan pemantauan meliputi kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari dan mengawasi yang dilakukan secara terus-menerus atau berkala. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai. Lebih lanjut Hendrakusumaatmaja (2007) menyebutkan beberapa tujuan pemantauan dan evaluasi, yaitu: 1. mengetahui pelaksanaan suatu upaya keberhasilan-kelemahan, kegagalan, penyimpangan, dan penyebabnya; 2. mengetahui pencapaian tujuan yang hendak dicapai; 3. mengetahui manfaat dan dampaknya terhadap kelompok sasaran; 4. membuat tindakan korektif secara dini; 87 5. mengoptimalkan upaya yang dilakukan (sumber daya manusia, dana, waktu); 6. menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan di masa mendatang secara lebih baik. Mengenai pentingnya hasil pemantauan dan evaluasi, adalah sebagaimana disebutkan oleh Sumardjo (2008), yaitu: 1. sarana untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan manajemen program pemberdayaan fakir-miskin; 2. meningkatkan kualitas perencanaan secara partisipatif dan kolaboratif antar pihak terkait; 3. membantu pihak-pihak terkait dalam membuat keputusan secara partisipatif yang akuntabel (bertanggungjawab) secara tepat dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 4. membantu dalam membuat kebijakan secara tepat, konvergen, dan sinergis bagi pemerintah; 5. menunjukkan di mana dibutuhkan penyesuaian dan tindakan selanjutnya dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 6. menunjukkan di mana dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut dan mendalam; 7. memberikan informasi kepada masyarakat yang lebih luas. 7.1. Kasus Yang ditangani FMPA Selama dimulainya program restorative justice sampai dengan sekarang sudah ada tujuh kasus yang ditangani oleh FMPA. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini diketengahkan beberapa kasus praktek penanganan anak nakal yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, yaitu sebagai berikut: 1. Kasus perkelahian sesama anak a. Kronologis Kasus ini berawal dari pelaku bernama De (16 th) yang sering diejek oleh An (15 th). De merasa tersinggung ketika dikata-katain caludih (kotor pakaiannya). De memang berasal dari keluarga miskin, orang tuanya sudah 88 bercerai dan De tinggal dengan ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci, sehingga pakaian yang dipakainya hanya itu-itu juga. Tidak menerima dengan ejekan tersebut, De memukul korban dan terjadilah perkelahian, namun karena tenaga De lebih kuat mengakibatkan An babak belur. Untunglah ada warga yang melerainya sehingga perkelahian berhenti, kemudian oleh Pengurus RT setempat mereka dilaporkan kepada Ketua RW untuk diselesaikan. b. Upaya Penyelesaian Ketua RW kemudian mengundang anggota Forum yang lainnya untuk menyelesaikannya, demikian juga pihak keluarga korban dan keluarga pelaku dipertemukan dan dilakukan musyawarah. Pada awalnya keluarga korban tidak menerima dengan perlakuan pelaku, namun setelah mendengarkan penjelasan dari pelaku dan korban (anaknya) akhirnya keluarga korban meminta maaf atas kesalahan anaknya demikian juga ibunya pelaku meminta maaf pada korban dan orang tuanya. Hasil musyawarah adalah sebagai berikut: - Pelaku dan korban saling memaafkan dan tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah lagi. - Atas luka lebam yang ditimbulkan oleh pelaku, keluarga korban tidak menuntut biaya pengobatan, mengingat korban juga mempunyai andil kesalahan. Setelah kejadian tersebut, menurut informasi dari Ketua RW pelaku dan korban malah jadi bersahabat dan sering mereka bermain bersama, demikian juga keterangan dari orang tua korban bahwa antara De dan An terjalin persahabatan yang cukup erat seperti dituturkan oleh orang tua An sebagai berikut: ”Mereka sekarang menjadi sahabat yang erat dan satu sama lain saling kompak, karena pelaku hanya tamat SD, saya pernah menawarkan kepada De dan ibunya untuk sekolah lagi mengikuti paket B dan semua biaya ditanggung oleh saya, tetapi De sudah tidak berminat sekolah lagi dan pingin cari kerja saja untuk membantu ibunya”. 89 Kasus di atas memperlihatkan bahwa proses penyelesaian restorative justice cukup efektif untuk memulihkan kedua belah pihak baik korban maupun pelaku. 2. Kasus pemalakan yang berlanjut pada perkelahian a. Kronologis Pada awalnya ada empat orang anak berinisial A, C, B dan H, mereka biasa mengamen di Terminal Ujung Berung. Pada suatu ketika mereka selesai mengamen dan mau pulang ke rumah sewaannya, bertemu dengan dua anak pelajar bernama Wa dan He. Salah seorang dari kelompok pengamen mendekati Wa diikuti oleh teman yang lainnya dan meminta uang, tetapi Wa tidak memberinya, sehingga terjadi keributan kecil dan berujung pada ”cekcok” mulut, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena keburu dilerai oleh warga sekitar yag melihatnya. Tidak terima dengan kejadian tersebut Wa dan He melaporkan kepada orang tuanya dan kemudian orang tuanya melaporkan kejadian tersebut pada FMPA. b. Upaya Penyelesaian FMPA memanggil para pihak dan ternyata pelaku yang empat orang bukan berasal dari daerah Ujung Berung. Setelah dipertemukan keenam anak tersebut bersama dengan orang tua/walinya, dilakukan musyawarah dan dicapai kesepakatan sebagai berikut: - Pelaku yang empat orang meminta maaf pada korban dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah. - Pelaku mendapat hukuman yaitu membersihkan halaman Mesjid Al Amin di RW 03. 3. Kasus anak terjatuh dari motor karena dipaksa untuk mencoba mengendarai motor oleh temannya a. Kronologis Dua orang sahabat yaitu Mi (14 th) dan De (14 th) naik motor kepunyaan orang tuanya De. Saat di jalan yang agak sepi De menawarkan kepada Mi untuk mencoba belajar motor karena sepengetahuannya Mi belum bisa 90 naik motor, saat itu Mi menolaknya tetapi De memaksanya dan bilang tidak apa-apa nanti juga bisa dan tidak akan jatuh. Karena dipaksa untuk belajar motor oleh sahabatnya tersebut akhirnya Mi mencoba mengendarai motor tersebut, namun baru mulai jalan ternyata jatuh yang menyebabkan motor tersebut rusak pada sayap kirinya. Ketika De kembali ke rumahnya dengan membawa motor yang rusak, orang tuanya marah dan kemudian mendatangi rumah keluarga Mi untuk meminta ganti rugi. b. Upaya Penyelesaian Kabar tentang kejadian tersebut menyebar dan akhirnya tembus pada Ketua RT sehingga melaporkannya kepada Ketua RW, kemudian Ketua RW bersama anggota Forum lainnya mengadakan musyawarah dan memanggil para pihak. Setelah mendengar penjelasan dari kedua anak ltersebut, akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut: - Orang tua Mi tidak menuntut ganti rugi atas kerusakan motornya, karena ternyata De disuruh oleh Mi untuk mengendarai motornya - Masing-masing pihak saling meminta maaf 4. Kasus pencurian besi rongsokan a. Kronologis Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 2006 sekitar jam 15.00 WIB, So (12 th) dan Wa (12 th) masing-masing pelajar kelas 6 SD, sedang bermain. Ketika melewati rumah Bapak In (di kompleks perumahan yang cukup mewah) mereka melihat di halaman rumahnya ada beberapa potong besi bekas. Melihat hal tersebut mereka mengambilnya dan membawanya pulang, namun kejadian tersebut dilihat oleh warga dan oleh warga dilaporkan kepada keamanan setempat (Satpam). Kemudian mereka dibawa kepada pengurus RW 14. b. Upaya Penyelesaian Malam harinya Ketua RW mengundang anggota Forum yang lainnya dan orang tua kedua anak tersebut juga pihak korban. Pada saat musyawarah pihak korban langsung mengatakan bahwa dia tidak keberatan karena besi 91 tersebut sudah tidak dipakainya lagi, tetapi anggota forum tetap menjalankan musyawarah supaya ada efek jera buat kedua anak karena telah mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Hasil musyawarah dicapai kesepakatan: - Pelaku dan kedua orang tuanya meminta maaf pada pihak korban. - Pihak korban meminta kepada semua pihak baik anggota forum maupun kedua orang tuanya bahwa anak tersebut jangan diberi sanksi apapun karena masih anak SD. Sedangkan ada satu kasus yang telah ditangani oleh FMPA, tetapi masalahnya dilanjutkan kepada pihak kepolisian yaitu kasus pengeroyokan yang dilakukan terhadap Wk di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan, seperti yang dituturkan oleh Ketua RW 14 sekaligus Ketua Forum di RW 14 berikut ini: ”Kasus ini bermula dari adanya dugaan masyarakat terhadap Wk, seorang remaja berusia 15 tahun yang telah melakukan pencurian kalung emas seberat 10 gram dan uang tunai Rp 600.000,- milik tetangganya bernama Ny. Lis. Pencurian yang dituduhkan warga tersebut terjadi pada hari Sabtu dini hari tanggal 2 Juli 2006, di warung kelontong yang merangkap rumah Ny. Lis. Para pelaku yang terdiri dari tujuh orang, selama sehari penuh memburu yang bersangkutan. Akhirnya pada hari Sabtu malam tanggal 2 Juli 2006, para pelaku menemukan Wk sedang asyik menonton pertunjukan musik di alun-alun Ujung Berung. Seketika itu juga pada pelaku membawa korban ke Kp. Telok Dengklok yang berjarak 3 Km ke arah utara dari alun-alun Ujung Berung. Menurut keterangan saksi, Wa dipukuli secara bergantian oleh para pelaku bahkan dalam keadaan sempoyongan sempat dibawa ke rumah Ny. Lis dan karena lukanya cukup parah warga membawanya ke rumah sakit”. Lebih lanjut Ketua Forum mengatakan bahwa : ”Pada hari Sabtu jam 01.00 dini hari, tanggal 2 Juli 2006, saya sebagai Ketua RW 14 didatangi oleh Ketua RT 02 yang melaporkan adanya kasus pencurian. Pada malam itu juga, saya mewanti-wanti kepada siapa pun agar korban jangan diapa-apakan, dan berusaha akan menyelesaikannya dengan restorative justice . Besoknya hari Minggu tanggal 3 Juli 2006 jam 08.00 saya bersama anggota Forum Pemulihan melakukan upaya penyelesaian dengan memanggil berbagai pihak yaitu keluarga pelaku pencurian, pihak korban pencurian (Ny. Lis) dan orang-orang yang melakukan pemukulan 92 sebanyak 7 orang yaitu Na (35 th), Su (28 th), Iw (18 th), Uj (19 th), He (25 th), Ib (17 th) dan De (16th) anak Ny. Lis korban pencurian.” Setelah berkumpul para pihak, akhirnya ketua Forum melakukan musyawarah dengan hasil sebagaimana dikemukakan lebih lanjut oleh Ketua Forum sebagai berikut: ”Hasil musyawarah yang disepakati yaitu keluarga tersangka akan mengganti kalung yang hilang apabila anaknya mengakui kalau dia yang mengambil kalung tersebut, kemudian karena sakitnya cukup parah, pihak yang melakukan pemukulan sebanyak 7 orang sanggup mengganti biaya perawatan korban sampai sembuh dan Angggota Forum akan menanyai pelaku pencurian (Wk) setelah sembuh dari luka-lukanya dan nantinya akan dilakukan musyawarah ulang.” Setelah satu minggu kemudian ternyata Wk meninggal dunia di rumah sakit akibat luka memar di wajah adanya resapan darah di kepala bagian belakang sehingga menyebabkan geger otak. Tidak terima dengan kejadian yang menimpa anaknya, Ku (Ayah korban) melaporkan kasus tersebut pada pihak kepolisian, sehingga beberapa anggota dari Polres Bandung Timur mendatangi Ketua RW dan menjelaskan bahwa prosesnya harus ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karena telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, akhirnya ke tujuh pelaku pemukulan diproses secara hukum. 7.2. Evaluasi Masyarakat Penerapan restoratif justice di Kelurahan Pasanggarahan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang Ketua Forum Musyawarah Pemulihan (FMP) di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan bapak Adi sebagai berikut : ”Berdasarkan arahan dari team RJ bahwa harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bisa tidaknya kasus diselesaikan oleh forum, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku (anak nakal); adanya persetujuan pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian dengan cara musyawarah” 93 Lebih lanjut Adi mengemukakan bahwa : ”Selain itu bagi kasus yang sudah terlanjur dilaporkan kepada pihak kepolisian, bisa saja Forum meminta untuk dilakukan musyawarah terlebih dahulu tetapi tetap dengan ijin dari pihak kepolisian dan mendapatkan dukungan dari masyarakat” Dengan adanya persetujuan dari pihak kepolisian, maka diharapkan apabila masalah tersebut dapat diselesaikan oleh forum, maka pihak kepolisian dapat menghentikan penyidikannya dan melakukan deskresi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang dapat dilaksanakan melalui restorative justice adalah bukan kasus kenakalan yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas, kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Menurut tokoh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, pemilahan kasus tersebut sudah tepat seperti dikemukakan oleh Ketua Tim Kelurahan yaitu Bapak Wahyudin : ”Sebaiknya penyelesaian kasus yang dilakukan oleh forum itu bukan kasus yang berat-berat, sebab kalau kasusnya berat pihak korban dan juga masyarakat akan protes, misalnya apabila kasusnya perkosaan, saya tidak setuju apabila diselesaikan secara kekeluargaan karena hal tersebut sudah menyangkut mental anak yang bobrok sehingga apabila ada kasus yang berat sebaiknya ditindak saja dan biarkan pihak kepolisian yang bekerja” Untuk kasus-kasus yang ringan, masyarakat menyetujui apabila hal tersebut diselesaikan oleh forum melalui musyawarah, seperti dikemukakan oleh salah seorang pengurus PKK di Kelurahan Pasanggrahan Ibu Dani sebagai berikut : ”Kebanyakan kasus yang pernah terjadi di Kelurahan Pasanggrahan khususnya yang pelaku anak-anak adalah kasus pencurian atau perkelahian. Saya menyetujui apabila hal tersebut diselesaikan oleh forum dan tidak usah dilaporkan kepada pihak kepolisian” 94 Terhadap kasus kenakalan anak tersebut, model penyelesaian dilakukan dengan cara musyawarah atau dapat diberi nama Musyawarah Pemulihan. Hal ini dikarenakan musyawarah merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu, khususnya di masyarakat sunda. Musyawarah memiliki nilai-nilai saling menghargai dan menghormati sebagai manusia, pengakuan terhadap hak dan kewajiban masing-masing, bekerjasama, saling membantu untuk mencari pemecahan yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, mengembangkan kesadaran masyarak at untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat, seperti yang dituturkan oleh salah seorang pengurus FMPA Bapak Wiratmo : ”ketika dilakukan sosialisasi oleh LPA tentang restorative justice yang pada intinya setiap kasus anak nakal diselesaikan oleh masyarakat melalui musyawarah, sebenarnya hal ini sudah sering kita lakukan, tetapi sifatnya hanya insidentil saja dan tidak melembaga, saya sebagai salah seorang warga dan dipercaya untuk menjadi anggota FMPA sangat setuju dengan penyelesaian anak nakal melalui jalan musyawarah, karena musyawarah merupakan ciri kepribadian dan budaya leluhur kita” Penggunaan bermusyawarah dipandang tepat karena dirasakan sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga pada masyarakat Indonesia atau kota Bandung pada khususnya. Selain itu cara musyawarah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian, ketimbang cara mediasi yang hanya dapat melibatkan para pihak (dalam hal ini pelaku dan korban) dan mediator. Tentang nama musyawarah pemulihan, lebih dimaksud sebagai upaya untuk senantiasa mengingat adanya tujuan yang bersifat memulihkan yang hendak dicapai dalam proses musyawarah tersebut yaitu memulihkan segala ”kerugian” dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut dan adanya hubungan yang lebih baik lagi antara tersangka, korban dan masyarakat secara menyeluruh. Selanjutnya selain penilaian masyarakat bahwa program restorative justice cukup bermanfaat dan perlu ditingkatkan kinerjanya, sebagaimana uraian di atas, ternyata ada beberapa hal yang perlu evaluasi lanjut, terutama untuk beberapa 95 kasus yang tidak tertangani. Terdapat tiga kasus kenakalan anak yang tidak ditangani oleh Forum dan terjadi diwilayah Kelurahan Pasanggrahan, yaitu terjadi di RW 01, RW 08 dan RW 11. Kedua kasus tersebut oleh pihak korban dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian sehingga diproses secara hukum. Ketiga kasus tersebut adalah : a. Kasus pencurian Handphone yang dilakukan oleh seorang wanita bernama Is (15 th). Saat itu Is hendak mengunjungi salah satu temannya yang beralamat di RW 8, tetapi karena sudah lama lupa lagi alamatnya, sehingga ketika masuk ke salah satu rumah mau menanyakan alamat temannya, rumah tersebut dalam keadaan kosong dan pintu depannya terbuka, Is mengetuk pintu tetapi tidak ada yang menyahut, dan dia melihat diatas meja tamu ada satu buah handphone, kemudian Is mengambilnya, namun ketika mau keluar rumah ketahuan oleh pemilik rumah dan Is diinterogasi kemudian pihak korban langsung menelepon ke Polres Bandung Timur. Tidak lama kemudian pihak kepolisian datang dan membawa Is untuk diproses lebih lanjut. b. Kasus seorang anak bernama Wan (17 th) yang diduga melakukan percobaan pencurian sepeda motor dilingkungan RW 01. Pada awalnya Wan bertemu dengan Kel di Pasar Ujung Berung, saat itu Kel menyuruh Wan untuk mengambil motor yang sedang diparkir didekat pasar sambil menyerahkan kunci motornya, tanpa curiga Wan mau saja mengambil motor tersebut, namun setelah motor itu dihidupin, ternyata ada yang meneriakinya maling, Wan kaget ketika massa mengerubuti, untunglah ada Polisi yang sedang berjaga sehingga langsung diamankan ke kantor kepolisian, sedangkan Kel yang menyuruh Wan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Akhirnya Wan diproses secara hukum. c. Kasus seorang anak bernama Gn (15 th) yang diduga melakukan pencurian kencleng Mesjid Baiturahman di RW 11. Pada awalnya Gn pura-pura akan shalat Dhuhur, namun ketika suasana sepi Gn mendekati kencleng mesjid yang terletak dipojok, kemudian mencongkelnya dengan menggunakan obeng dan mengambil uangnya. Ketika akan keluar mesjid, ternyata aksinya tersebut diketahui oleh satu warga yang kebetulan mau masuk mesjid dan curiga 96 melihat kelakuan pelaku, setelah pelaku mau keluar langsung ditangkap dan diinterogasi, akhirnya Gn diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut. Ketiga kasus tersebut memperlihatkan bahwa sosialisasi tentang penanganan anak nakal belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat yang ada di kelurahan Pasanggrahan, hal ini seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus DKM Baiturahman Bapak Zumadi : ”Pada saat kejadian seorang anak mengambil kencleng di Mesjid, waktu itu kami menginterogasinya dan ternyata dia bukan warga disini, sehingga oleh kami langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian supaya ada efek jera bagi anak tersebut” Ketika ditanyakan kepada Bapak Zumadi, apakah bapak pernah mengenal tentang penanganan anak melalui resotrative justice dijawabnya tidak mengetahui dan malah balik bertanya seperti apaan itu ? Setelah ditelusuri kepada Ketua RW 11, ternyata restorative justice belum sempat disosialisasikan kepada warganya sehingga tidak mengetahui penanganan yang terbaik buat anak, demikian juga waktu kasus pencurian Handphone di RW 01 dan percobaan pencurian sepeda motor di RW 11. Setelah Ketua RW mengikuti sosialisasi di Kelurahan, mereka tidak mensosialisasikan kepada warganya, sehingga program tersebut tidak pernah dilaksanakan dan masyarakat masih belum mengetahui penanganan anak nakal dengan model restorative justice” Dari ketiga kasus yang tidak tertangani ini, sebagai evaluasi dapat disimpulkan meski penanganan kasus kenakalan anak dengan pendekatan restorative justice telah cukup efektif menurut penilaian masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya tetap memerlukan proses sosialisasi dan desiminasi informasi penyelenggaraan restorative justice. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman tentang konsep penyelenggaraannya menjadi lebih luas dan memberikan dampak yang lebih efektif bagi penanganan kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum, terutama di wilayah tersebut. 97 7.3. Evaluasi Keluarga Korban Dari seluruh kasus yang terjadi di Kelurahan Pasanggrahan, mayoritas pihak keluarga korban mendukung proses penyelesaian dengan restorative justice. Mereka puas dengan jalan musyawarah yang dilakukan. Seperti ungkapan salah satu orang tua korban korban An seperti berikut ini : ”Saya dapat mengambil hikmah yang sangat berarti dengan adanya kejadian yang menimpa anak saya, karena sebelumnya saya tidak mengetahui kalau anak saya itu suka berkata-kata kotor pada orang lain, dan setelah terjadi kasus pada anak saya kemudian dilakukan pertemuan untuk menyelesaikannya, barulah saya tahu bahwa penyebab pelaku memukul anak saya diakibatkan kesalahan anak saya yang sering berkata-kata kasar dan kotor. Setelah kejadian itu saya jadi introspeksi kepada diri saya sendidi bahwa dalam mendidik anak selama ini ternyata saya masih ada kekurangan. Alhamdulilah sejak kejadian itu saya jadi lebih sering dekat dengan anak dan selalu mengingatkan untuk berkata-kata yang baik dan sopan kepada semua orang, dan kelihatannya anak saya juga mengalami perubahan yang sangat besar. Saya perhatikan apabila main dengan temannya kata-katanya sopan” Selain itu juga terjalin hubungan yang positif antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, seperti kejadian yang menimpa korban Bpk In yang dihalaman rumahnya terdapat besi rongsokan dan dicuri oleh dua oang pelaku. Setelah kejadian tersebut ternyata pihak korban malah memberikan bantuan kepada keluarga pelaku seperti dituturkan oleh Bapak In sebagai berikut : ”Seminggu setelah kejadian, saya mendatangi rumah Pak RW dan meminta untuk diantar ke rumah keluarga korban. Setelah bersamasama dengan Pak RW bertemu dengan rumah pelaku, saya merasa iba sekali, ternyata kedua orang tua anak tersebut berprofesi sebagai pemulung dan tinggal digubuk yang sangat kumuh, sehingga saat itu saya secara spontanitas memberi mereka uang dan esok harinya mengantarkan beras dan baju bekas untuk keluarga pelakutersebut. Saya bersyukur dengan kejadian itu karena sejak itu sampai sekarang saya sering menyuruh kedua orang tua korban apabila ada pekerjaan dirumah, saya selalu meminta mereka untuk menyelesaikannya. Hitung-hitung membantu agar mereka dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik”. Dari kedua kejadian tersebut ternyata proses penyelesaian lewat restorative justice membawa dampak positif bagi kedua belah pihak baik korban maupun pelaku. 98 7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku Berdasarkan data dan informasi dari keluarga pelaku yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, mereka sangat senang dan gembira anak-anaknya tidak diproses secara hukum tetapi diselesaikan lewat musyawarah. Mereka merasa bersyukur anak-anaknya telah terselamatkan dari dampak yang lebih buruk apabila diselesaikan secara hukum, seperti diungkapkan oleh orang tua pelaku berinisial A, yang menceritakan sebagai berikut : ”untunglah anak saya tidak dilaporkan ke Pak Polisi, seandainya dilaporkan ke Polisi tentu anak saya akan dipenjara, saya tidak bisa membayangkan kalau anak saya dipenjara, sebab saya mendengan di penjara itu tempat berkumpul orang-orang jahat, saya tidak bisa membayangkan kalau anak saya yang masih kecil dan bersatu dengan bekas preman-preman jahat, tentunya anak saya juga akan kebawa-bawa lebih jahat lagi” Melalui penyelesaian restorative justice ternyata dapat dipetik manfaat yaitu pelaku terhindar dari adanya stiga yang negatif, selain itu akan membuat pelaku bertanggung jawab karena mendapatkan sansi yang mendidik sehingga diharapkan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang salah, seperti yang menimpa empat orang anak pengamen yang melakukan pemerasan, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu orang tua anak sebagai berikut : ”Saya bersyukur pak, anak saya yang telah melakukan kesalahan dan mendapat hukuman yaitu membersihkan mesjid setiap hari Jum’at selama dua bulan. Sejak menjalani hukuman tersebut, anak saya sekarang jadi rajin pergi ke mesjid dan rajin shalatnya, malahan dia sekarang sering mengingatkan saya apabila saya terlambat shalat. Saya beruntung sekali dengan kejadian itu ternyata membawa hikmah bagi anak saya termasuk bagi saya sebagai orang tuanya, mudah-mudahan anak saya kedepannya jauh lebih baik dan bisa menjadi anak yang soleh, dan diberi jalan hidup yang lebih baik” Dari kejadian tersebut dapat dilihat bahwa penyelesaian lewat restorative justice membawa manfaat bagi anak sehingga perilaku si anak jauh lebih baik daripada sebelumnya. 99 BAB VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM Memperhatikan berbagai potensi, hambatan dan kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah kenakalan anak sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat dibuat rencana program pengembangan. Program pengembangan dimaksud, merupakan suatu program yang menempatkan partisipasi masyarakat lokal sebagai proses utama kegiatan pemberdayaan masyarakat. Penyusunan program dibuat dengan memperhatikan analisis potensi, permasalahan dan kebutuhan yang pengkaji pahami melalui peta sosial dan program penanganan anak nakal dengan restorative justice yang dilakukan di Kelurahan Pasanggrahan Metode yang digunakan dalam menyusun program pengembangan masyarakat dengan cara Partiscipatory Rural Appraisal (PRA), yaitu metode pendekatan dalam penyusunan program yang penekannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan, yang meliputi penentuan prioritas masalah, penyusunan rancangan, dan pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaannya dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Melakukan kunjungan Melakukan kunjungan merupakan suatu tahapan dalam kegiatan PRA yang dilakukan pengkaji untuk membangun kepercayaan, keterbukaan dan keakraban. Kegiatan ini dilakukan kepada pengurus FMPA, pihak inisiator, pengurus institusi lokal, tokoh masyarakat, aparat kelurahan, keluarga anak nakal dan masyarakat yang mempunyai kepedulian dan informasi tentang penanganan anak nakal. Selanjutnya dalam kegiatan ini juga dikembangkan dialog problematisasi masalah, yaitu pengembalian masalah yang dianggap sangat penting (menjadi prioritas) oleh masyarakat dan perlu penanganan dengan segera. 100 2. Penelusuran alur penanganan anak nakal Tahapan ini dilakukan untuk mengungkapkan kembali upaya-upaya penanganan anak nakal yang pernah dilakukan di tiap-tiap Rukun Warga di Kelurahan Pasanggrahan. Tujuan dari tahapan ini untuk mengetahui sejauhmana proses penyelesaian yang dilakukan di tiap-tiap RW dan apa saja hambatan-hambatan yang dirasakan Disamping hal tersebut diatas, dalam melakukan penyusunan program, pengkaji juga melakukan kegiatan observasi, wawancara dan diskusi serta FGD dengan subjek kajian (pelaku, keluarga pelaku, dan pihak korban), Anggota FMPA, pihak inisiator, tokoh masyarakat dan insititusi lokal seperti LPM, DKM, PKK, Karang Taruna dan informan lain yang dipandang perlu seperti aparat kelurahan, dinas/instansi terkait. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya memperoleh gambaran yang komprehensif tentang keterkaitan gejala-gejala sosial dengan pengembangan masyarakat khususnya pemberdayaan komunitas dalam penanganan anak nakal dengan model restorative justice. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan identifikasi potensi, permasalahan dan kebutuhan melalui kegiatan observasi, wawancara dan diskusi kelompok. Kegiatan tersebut dilakukan secara simultan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. 8.1. Identifikasi Potensi, permasalahan dan Kebutuhan 8.1.1. Identifikasi Potensi Melakukan kajian bersama dengan Anggota Tim FMPA Tingkat Kelurahan, aparat kelurahan, unsur lembaga lokal (LPM, DKM, PKK, Karang Taruna), tokoh masyarakat seperti Ketua RW, Ketua RT, Guru, Ketua LSM Saudara Sejiwa, Anak nakal dan keluarganya, dan pihak korban untuk memberikan gambaran tentang perlunya suatu penanganan terhadap masalah anak nakal secara komprehensif dan berkesinambungan Identifikasi potensi yang dilakukan pengkaji untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh berkaitan dengan sistem sumber yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Pasanggrahan yang didalamnya meliputi sumber daya manusia, 101 kelembagaan, nilai-nilai sosial dan sistem sumber yang dimiliki masyarakat serta persepsi masyarakat tentang penanganan anak nakal dengan model restorative justice. Kegiatan yang dilakukan untuk melakukan identifikasi potensi meliputi kegiatan wawancara seperti wawancara yang dilakukan dengan Anggota Tim FMPA Tingkat Kelurahan, Anggota Tim FMPA Tk. RW, Ketua LSM Saudara Sejiwa, Anak nakal dan keluarganya, dan pihak korban. Setelah identifikasi dilakukan observasi (aktivitas FMPA, Keluarga pelaku dan pihak korban dan kunjungan ke lembaga lokal yang memiliki ketertarikan dalam penanganan anak nakal seperti DKM, LPM, PKK dan Karang Taruna Selain kegiatan tersebut di atas juga dilakukan studi dokumentasi terhadap keiatan FMPA yang pernah dilakukan dalam menangani anak nakal. Untuk memperoleh gambaran yang utuh dilakukan studi dokumentasi kepada inisiator yaitu Unicef Jabar, LPA Jabar dan LSM saudara Sejiwa. Berdasarkan identifikasi potensi yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa upaya penanganan anak nakal dengan restorative justice yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan khususnya di RW 03, 05 dan RW 14 sudah berjalan dengan baik, tetapi di RW yang lainnya masih perlu disosialisasikan tentang pentingnya penanganan anak nakal dengan model restorative justice. 8.1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan, diperoleh gambaran permasalahan sebagai berikut : a. Masih belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan restorative justice ke seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan b. Masih lemahnya keterlibatan intitusi lokal yang ada seperti LPM, DKM, PKK dan Karang taruna dalam penanganan anak nakal c. Menurunnya solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, karena masih dilihat sebagai persoalan pemerintah (aparat penegak hukum). Hal ini terbentuk karena masyarakat terlalu sibuk dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan kebutuhan keluarga. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat 102 berfikir secara individual, pada saat bersamaan berkurangnya aktivitas sosial dan kuatnya arus informasi yang bersifat konsumtif semakin menjauhkan keluarga dan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap anak-anak 8.1.3. Identifikasi Kebutuhan Melakukan identifikasi kebutuhan berkaitan dengan penanganan anak nakal dilakukan dengan observasi, wawancara dan diskusi kelompok yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan kegiatan identifikasi dan masalah. Berdasarkan hasil kegiatan tersebut, diperoleh gambaran kebutuhan sebagai berikut : a. Perlu adanya sosialisasi tentang penanganan anak nakal dengan model restorative justice kepada seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan b. Perlu adanya keterlibatan institusi lokal yang ada seperti LPM. DKM, PKK dan Karang Taruna dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan c. Perlu dicari alternatif kegiatan yang dapat meresosialisasi nilai-nilai anak pada masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan yang telah mengalami perubahan distorsi dengan menggunakan sumber kelembagaan yang dimiliki masyarakat khususnya melalui FMPA 8.2. Analisis Pohon Masalah Setelah memahami potensi, masalah, dan kebutuhan, selanjutnya dilakukan analisis masalah yang dituangkan dalam bentuk pohon masalah. Analisis ini menggunakan teknik diskusi kelompok terfokus secara curah pendapat (FGD) yang divisualisasikan melalui kartu-kartu (potongan kertas karton dengan ukuran 10 x 5 cm yang berisikan tulisan dari peserta diskusi). Potongan karton tersebut kemudian dikumpulkan dan selanjutnya ditempelkan di papan tulis (white board), sehingga semua peserta dapat menetapkan, menempelkan dan melihat secara utuh apa yang menjadi permasalahan pokok dalam penanganan anak nakal. 103 Kegiatan ini melibatkan seluruh unsur yang sebelumnya telah ditemui oleh penulis pada kegiatan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan seperti: Tim FMPA Tingkat Kelurahan, Tim FMPA Tingkat RW, LPM, DKM, PKK, dan Karang Taruna, Ketua RW dan RT, Guru, Pihak inisiator yaitu Unicef Jawa Barat, LPA Jawa Barat, dan LSM Saudara Sejiwa, serta pelaku dan keluarganya, pihak korban dan masyarakat yang peduli pada penanganan anak nakal. Secara besaran analisis pohon masalah terbagi atas dua bagian yaitu: (1) satu masalah inti, yang merupakan fokus utama penanganan. Melalui inti masalah ini beberapa kebutuhan yang terproblematisasi dapat dipenuhi, (2) beberapa masalah dan kondisi negatif yang menyebabkan masalah inti. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dalam penanganan anak nakal dapat dijelaskan penyebabnya sebagai berikut: a. Masalah belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan restorative justice ke seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan. Hal ini disebabkan Tim FMPA Tingkat Kelurahan tidak mensosialisasikan secara langsung penanganan anak nakal kepada seluruh RW di Kelurahan Pasanggrahan. b. Masalah lemahnya keterlibatan institusi lokal yang ada seperti LPM, DKM, PKK, dan Karang Taruna dalam penanganan anak nakal. Hal ini disebabkan sejak awal program mereka tidak pernah diajak terlibat secara langsung dalam kegiatan sehingga sikapnya apatis. c. Menurunnya solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, karena masih dilihat sebagai persoalan pemerintah (aparat penegak hukum). Adanya pandangan yang negatif tentang anak nakal berakibat terhadap lemahnya partisipasi yang diberikan masyarakat terhadap program penanganan. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, bila tidak diselesaikan akan mempengaruhi upaya penanganan anak nakal. Penekanan ini perlu dilakukan karena partisipasi yang 104 dibangun belum sepenuhnya menjadi budaya ”prakarsa/kemauan” dan program yang dilaksanakan masih bersumber dari atas. Identifikasi masalah sebagaimana uraian di atas dapat digambarkan dalam Pohon Masalah Gambar 4. FMPA tidak maksimal pengucilan kasus anak meningkat hak anak tidak terpenuhi Inti Masalah Sosialisasi blm maksimal institusi lokal apatis PENERAPAN PENERAPAN “RESTORATIVE “RESTORATIVE JUSTICE”BELUM BELUM JUSTICE” MAKSIMAL MAKSIMAL lemahnya peran institusi lokal solidaritas menurun Gambar 5. Pohon Masalah Berdasarkan gambar pohon masalah di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa permasalahan inti penerapan restorative justice adalah bahwa program belum berjalan dengan maksimal, disebabkan oleh sosialisasi program yang belum maksimal ke seluruh warga Kelurahan Pasanggrahan, menurunnya solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, serta lemahnya peran institusi lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh kurang maksimalnya program ini, adalah institusi lokal (DKM, LPM, Karang Taruna) apatis karena tidak dilibatkan sejak awal, kinerja FMPA kurang maksimal, kasus anak nakal cenderung meningkat, 105 tidak terpenuhinya hak-hak anak bila harus berhadapan dengan peradilan formal, serta terjadi pengucilan terhadap anak nakal. Berdasarkan kesimpulan ini, maka diperlukan membuat suatu rancangan program agar restorative justice dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Rancangan program terdiri dari program jangka pendek yaitu sosialisasi restorative justice dengan melibatkan institusi lokal; program jangka panjang berupa terbentuknya forum komunikasi FMPA antar RW se-Kelurahan Pasanggrahan, serta program monitoring dan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektifitas dan efisiensi program dijalankan. 8.3. Rancangan Program Dalam rangka mendapatkan strategi penanganan anak nakal berbasis masyarakat melalui program restorative justice sebagaimana menjadi tujuan kajian ini, telah dilakukan serangkaian kegiatan dimulai dari pemetaan sosial, evaluasi program, dan penelitian yang menganalisis tentang proses pembentukan dan kinerja restorative justice di Kota Bandung, Kinerja FMPA di Kelurahan Pasanggrahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja forum, serta evaluasi hasil kinerja forum di aras masyarakat, keluarga korban, dan keluarga pelaku, Proses pengumpulan data menggunakan pendekatan “tri-angulasi” yang mengombinasikan tiga kategori metode pengumpulan data, yakni review dokumen, pengamatan dan wawancara. Ketiga pendekatan tersebut memberi konstribusi yang saling melengkapi, karena itu sering digunakan secara bersamaan dalam suatu penelitian guna memperoleh data yang valid (Saharuddin 2002). Hasil penelitian tersebut diungkapkan dalam PRA dan FGD dengan melibatkan stakeholder yang dipilih, agar berjalan sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. PRA dan FGD yang dilaksanakan menunjukkan adanya kemauan dan itikad baik dari berbagai pihak untuk menjadikan restorative justice sebagai program penanganan anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui proses peradilan formal yang kurang memihak kepada kepentingan anak. 106 Berdasarkan hasil diskusi, dirumuskan beberapa rancangan program aksi untuk menjadikan program restorative justice dapat lebih efektif dilaksanakan oleh FMPA dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan. 8.3.1. Program Jangka Pendek : Sosialisasi Program Program ini dimaksudkan untuk lebih mensosialisasikan penanganan anak nakal dengan model restorative justice, melibatkan institusi lokal yang ada di Kelurahan Pasanggrahan. a. Latar Belakang Beberapa kasus anak nakal yang seharusnya cukup diselesaikan di tingkat FMPA, oleh masyarakat langsung diteruskan kepada aparat penegak hukum. Hal ini berdampak terhadap pelaku yang harus melewati peradilan formal yang cenderung tidak memihak kepentingan anak. Sosialisasi penanganan anak nakal masih belum sepenuhnya menyebar ke setiap RW yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, sehingga institusi lokal apatis bertindak karena ketidaktahuannya. Hal ini dapat berakibat buruk bagi anak nakal tersebut, terutama bagi perkembangan psikisnya. Stereotype yang diberikan oleh masyarakat umum, tidak menjadikan anak tersebut menjadi berubah baik perilakunya, tetapi bisa jadi menambah beban mental dan kenakalannya. b. Tujuan Dengan adanya sosialisasi penanganan anak nakal, diharapkan masyarakat diseluruh RW di Kelurahan Pasanggrahan dapat mengatasi bersama-sama apabila terjadi permasalahan anak nakal. Setiap kasus anak nakal yang terjadi di wilayahnya, selama itu berupa kasus ringan dan disepakati dapat diselesaikan melalui FMPA, tidak harus dibawa kepada aparat penegak hukum. Proses pemulihan menjadi alternatif yang lebih baik ketimbang proses peradilan formal bagi anak nakal tersebut, sehingga perubahan perilaku yang lebih baik akan segera tercapai. Melalui sosialisasi FMPA, masyarakat umum juga dapat memberikan dukungan yang baik bagi penyelesaian kasus secara kekeluargaan. 107 c. Indikator Kinerja Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari meratanya pemahaman tentang penanganan anak nakal. Dampak positifnya adalah, setiap terjadi kasus anak nakal, masyarakat memproses melalui FMPA, sedangkan penyerahan kasus kepada aparat penegak hukum menjadi alternatif kedua. Diharapkan tidak ada kasus kenakalan anak di tingkat peradilan formal, semua diselesaikan di tingkat masyarakat. d. Alat Verifikasi Indikator keberhasilan diverifikasi melalui FGD, yang melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban, masyarakat umum, dan aparat penegak hukum. Kepuasan atas pemenuhan rasa keadilan bagi setiap stakeholder tersebut menjadi indikator yang dicari melalui FGD ini. Apabila tercapai peradilan yang memulihkan bagi kepentingan anak nakal, maka program dapat sustainable. Apabila tidak tercapai kepuasan tersebut, maka perlu direview ulang terhadap metode yang dilaksanakan melalui program ini, sehingga tercapai metode penanganan anak nakal berbasis masyarakat yang memperhatikan kepentingan anak nakal. e. Pelaksana Pelaksana program adalah anggota FMPA Tingkat Kelurahan dibantu oleh LSM Saudara Sejiwa dan LPA Jawa Barat. f. Pendukung Pendukung program adalah LPA Jabar yang berperan penting dalam pembinaan dan pengawasan jalannya program. Pendukungan dapat berupa pendanaan, tenaga ahli sosialisasi program dan pemahaman hak-hak anak dalam proses hukum, serta pendampingan dalam penanganan anak nakal pada tahap awal. Pada tahap selanjutnya, masyarakat dapat didorong untuk lebih mandiri dalam menangani permasalahan anak nakal di wilayahnya. g. Metode Pelaksanaan Metoda pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan secara langsung antara Anggota FMPA Tingkat Kelurahan dengan 108 perwakilan warga masyarakat di setiap RW, didukung oleh beberapa stakeholder yaitu LPA Jabar, LSM Saudara Sejiwa, dan aparat penegak hukum di wilayahnya. h. Waktu Pelaksanaan kegiatan adalah bulan Juni, Juli, dan Agustus 2009. i. Sumber Dana Dana penunjang kegiatan berasal dari swadaya masyarakat ditambah dengan bantuan dari pihak LPA Jawa Barat. Program jangka pendek ini dapat disajikan dalam bentuk Tabel 12. Tabel 12. Sosialisasi Program Restorative Justice Program Sosialisasi penanganan anak nakal melalui program restorative justice belum maksimal Kegiatan Pelaksana Sosialisasi/ FMPA Tingkat pertemuan Kelurahan antara Pasanggrahan FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder Penanggung Jawab Pendukung Ketua FMPA LPA Jabar, LSM Saudara sejiwa, aparat penegak hukum Waktu Pada bulan Juni, Juli, Agustus 2009 Bahan Ket Ruang rapat * undangan yang diberikan kepada representative, keluarga pelaku, papan tulis, keluarga korban, potongan lembaga/ institusi kertas karton lokal yang ada, aparat penegak ukuran 5x10 cm, bahan hukum presentasi * LPA dan LSM bertindak sebagai nara sumber dan pendukung dana 8.3.2. Program Jangka Panjang Merupakan rencana progran aksi pengembangan masyarakat untuk jangka panjang adalah terbentuknya Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW seKelurahan Pasanggrahan. a. Latar Belakang Anggota FMPA terdiri dari berbagai macam latar belakang pendidikan, pekerjaan, status sosial yang berbeda. Perbedaan tersebut di satu sisi akan menambah wawasan dan metode dalam penanganan anak nakal yang sesuai dengan yang diinginkan oleh seluruh anggota. FMPA di tingkat RW tidak 109 terlepas begitu saja dengan FMPA Tingkat Kelurahan, meskipun tidak berhubungan secara hierarki. Artinya, FMPA Tingkat RW tidak berkewajiban untuk melaporkan kegiatan dan bertanggung jawab secara hierarki kepada FMPA Tingkat Kelurahan Pasanggrahan, tetapi sama-sama mempunyai visi menerapkan restorative justice dalam menangani kasus anak nakal di wilayahnya. Sehingga dipandang perlu untuk membentuk Forum Komunikasi pada Tingkat Kelurahan Pasanggrahan. b. Tujuan Forum komunikasi pada tingkat kelurahan dibentuk untuk membahas dan tukar pikiran mengenai penanganan kasus anak nakal yang ada di masingmasing RW. Forum komunikasi ini juga berperan sebagai ajang penambahan wawasan dan pemahaman mengenai hak-hak anak, metode penanganan anak yang sesuai dengan norma sosial yang ada dalam masyarakat, dan mempertahankan motivasi dalam menerapkan program ini. Setiap penanganan kasus anak nakal di suatu RW, dapat dijadikan referensi penanganan kasus yang sama di RW lain. c. Indikator Kinerja Indikator keberhasilan program dilihat dari rutinnya mengadakan pertemuan FMPA Tingkat RW, tingkat kehadiran anggota, serta keaktifan diskusi yang diselenggarakan. Setiap pertemuan menghasilkan sesuatu yang dapat meningkatkan motivasi FMPA Tingkat RW dalam menjalankan program. Apabila pertemuan hanya berisi hal yang monoton saja, maka motivasi untuk mengadakan pertemuan akan berkurang. Sehingga masingmasing FMPA Tingkat RW dapat menyampaikan gagasan, pemikiran, ide, agar penerapan program makin baik dari waktu ke waktu. d. Alat Verifikasi Indikator keberhasilan diverifikasi melalui FGD, yang dapat diselenggarakan pada pertemuan rutin selanjutnya. Permasalahan penerapaan restorative justice di wilayah, dapat menjadi fokus pembahasan dalam forum tersebut, untuk dipecahkan bersama. Diperlukan peranan FMPA tingkat 110 Kelurahan, narasumber (LPA Jabar dan LSM Saudara Sejiwa) dalam menghidupkan suasana diskusi. e. Pelaksana Pelaksana program adalah anggota FMPA Tingkat Kelurahan dibantu oleh LSM Saudara Sejiwa dan LPA Jawa Barat. f. Pendukung Pendukung program adalah LPA Jawa Barat yang berperan penting dalam pembinaan dan pengawasan jalannya program, di samping memberikan stimulan anggaran. g. Metode Pelaksanaan Metode yang ditempuh yaitu pembahasan materi, diskusi, dan penguatan komitmen seluruh anggota forum dalam penanganan anak nakal. Dapat dipertimbangkan untuk mengadakan simulasi penanganan kasus anak nakal melalui program ini, sehingga setiap tahap yaitu family group conference, victim offender mediation, peacemaking and sentencing circles senantiasa didasari oleh unsur-unsur adanya dialog, relationship building, dan restorasi. h. Waktu Waktu pelaksanaan satu tahun dua kali, pada bulan April dan Oktober tiap-tiap tahun. i. Sumber Dana Dana penunjang kegiatan berasal dari swadaya masyarakat ditambah dengan bantuan dari pihak LPA Jawa Barat. Program jangka panjang ini apabila disajikan dalam bentuk Tabel 13. 111 Tabel 13. Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW se-Kelurahan Pasanggrahan Program Kegiatan Pelaksana Penanggung Pendukung Jawab Terbentuknya Pembahasan materi, FMPA Tingkat Ketua diskusi, dan forum Kelurahan FMPA penguatan komunikasi Pasanggrahan FMPA Tingkat komitmen seluruh anggota FMPA RW sedalam menerapkan Kelurahan Pasanggrahan program. Simulasi penanganan kasus LPA Jabar, LSM Saudara sejiwa, aparat penegak hukum Waktu Pada bulan April dan Oktober tiap-tiap tahun Bahan Ket Ruang rapat * undangan yang diberikan kepada representative, seluruh anggota FMPA Tingkat papan tulis, potongan RW sekertas karton Kelurahan ukuran 5x10 Pasanggrahan cm, bahan * LPA dan LSM presentasi bertindak sebagai narasumber dan pendukung dana 8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi Pada bab terdahulu telah dijelaskan tentang pentingnya monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai. Program-program pengembangan masyarakat jangka pendek dan jangka panjang sebagaimana direncanakan di atas, memerlukan kegiatan monitorig dan evaluasi untuk memastikan bahwa program berjalan dengan baik. a. Latar Belakang Program jangka pendek dan jangka panjang sebagaimana dirancang di atas, perlu dimonitor dan dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dan efisiensi program tersebut dalam penanganan anak nakal. Monitoring dan evaluasi dapat dilaksanakan pada saat pelaksanaan, untuk mengetahui apakah 112 program sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Jika belum, maka diperlukan upaya penyempurnaan kembali. b. Tujuan Kegiatan ini sangat berguna mengetahui bagaimana rancangan program dijalankan serta mengetahui dampak program terhadap penanganan anak nakal. Program jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas dimaksudkan agar program restorative justice berjalan sesuai dengan yang diharapkan. c. Indikator Kinerja Indikator keberhasilan program monitoring dan evaluasi adaah rancangan program dijalankan sesuai jadwal dan metode yang dilaksanakan. Indikator lainnya adalah didapatkannya manfaat dan kekurangan dari program yang dijalankan. Selanjutnya, manfaat program dapat dipertahankan, sedangkan kekurangan program sedapat mungkin diperbaiki. d. Alat Verifikasi Indikator keberhasilan diverifikasi melalui pelaksanaan program jangka pendek dan program jangka panjang. e. Sasaran Sasaran program adalah anak nakal pada khususnya, dan anak usia remaja yang mempunyai kecenderungan berbuat nakal. f. Pelaksana Program pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dilaksanakan oleh LPA Jawa Barat dan LSM Saudara Sejiwa. g. Pendukung Pendukung program adalah Anggota FMPA Tingkat Kelurahan, anggota FMPA Tingkat RW dan Institusi lokal yang ada. h. Metode Pelaksanaan Metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah melalui diskusi dan FGD. Pihak yang diundang adalah setiap anggota FMPA se-Kelurahan 113 Pasanggrahan, keluarga pelaku, keluarga korban, institusi lokal yang ada di kelurahan. i. Waktu Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan Desember 2009. j. Sumber Dana Sumber dana kegiatan berasal dari LPA Jawa Barat dan swadaya masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan. Program monitoring dan evaluasi tersebut dapat ditunjukkan melalui Tabel 14. Tabel 14. Program Monitoring dan Evaluasi Program Kegiatan Dilaksanakannya Diskusi/ Focus Group monitoring dan Discussion evaluasi (FGD) Pelaksana LPA Jawa Barat dan LSM Saudara Sejiwa Penanggung Pendukung Jawab Pimpinan LPA Jabar dan LSM Saudara Sejiwa Waktu Bahan Ket FMPA Tingkat Desember Ruang rapat * undangan kelurahan 2009 yang diberikan kpd representative, seluruh anggota pasanggrahan, FMPA Tingkat papan tulis, FMPA Tingkat RW sepotongan RW sekertas karton Kelurahan Kelurahan ukuran 5x10 Pasanggrahan, Pasanggrahan, serta institusi cm, bahan insitusi lokal lokal yang ada presentasi yang ada, ke(DKM, LPM, luarga pelaku, Karang keluarga korban Taruna, PKK) * LPA dan LSM bertindak sebagai inisiator, narasumber dan pendukung dana BAB IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 114 9.1. Kesimpulan Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal. Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut. Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui monitoring dan evaluasi. 9.2. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal adalah sebagai berikut : 115 1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses penanganannya. 2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui proses hukum (peradilan formal) 3. Bagi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) apabila mendapatkan permintaan untuk pemeriksaan terhadap anak nakal dari pihak kepolisian, hendaknya segera ditempuh terlebih dahulu dengan cara restorative justice di masyarakat, hasilnya dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian dapat memutuskan perkaranya dengan cara diversi, tetapi apabila restorative justice tidak berhasil dilakukan, maka kasusnya tetap berlanjut kedalam proses persidangan dan laporan tersebut akan menjadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak nakal. 116 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Gerungan, WA. 2004. Psikologi Sosial. PT Refika Aditama, Bandung. Gosita, Arif 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, Gosita , Arif. 1993, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Akademika Presindo, Jakarta, Gunarsa Singgih D, 1988, Psikologi Remaja, BPK Gunung Mulya, Jakarta Gunardi, Dkk, 2004, Pengantar Pengembangan Masyarakat. Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Program Pascasarjana IPB Bogor. Kartono, K (1986) Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Nitimiharjo, Carolina. 2003. Psikologi Sosial. Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung. Nurmala K Panjaitan, Carolina Nitimihardjo, Adi Fahrudin, 2007, Perilaku Manusia dalam Lingkungan Sosial, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa Bagi Penyesuaian dan Pendidikan. Usaha Nasional, Surabaya. Mc Whirter, J.J. (1998). At-risk yotuh : a comprehensive response : for counselors, teachers, psychologists, and human service professionals. USA : Brooks/Cole Publishing Company R. Soepomo, 1981, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung Sarwono, S.W. (2007), Psikologi Remaja, Edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 117 Sitorus, M.T. Felik, dan Agusta, Ivanovich. 2004. Metode Kajian Komunitas (Refleksi untuk Konteks Indonesia). Kontras dan Yayasan PULIH. Jakarta Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung, Penerbit Alfabeta Suharto, E, 2003, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Bandung, STKS Suharto, E, (2005), Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat; Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjan Sosial, Bandung, PT Refika Aditama Sumardjo dan Saharuddin. 2007. Tajuk Modul KPM-53H: Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen KPM FEMA IPB. Waegel, W.B (1989) Delinguency and Juvenile Countrol : a Sociological Perspective,. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Zastrow, C.H 2004. Understanding Human Behavior and The Social Environment. California : Brooks/Cole Perundang-Undangan : Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dokumen : Laporan “Penelitian Restorative Justice” oleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat tahun 2005 Sumber lain : Lois Presser and Patricia Van Voorhis (1986) Values and Evaluation:Assessing Processes and Outcomes of Restorative Justice Programs, http://www/sagepubliccations.com 118 Masngudin HMS, 2004, Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. Kasus di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan, Jakarta. http:/www.depsos.go.id/Balatbang/PuslitbangUKS/2004. masngudin.htm. Taufik Hidayat, “Tawaran itu bernama Restorative Justice; beberapa contoh model” Makalah Diskusi Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung, 2006 -----------------, “Restorative Justice Sebuah Alternative” Jurnal Restorasi, Edisi IV/Vol 1 Bandung 2005 -----------------, “Model Alternative Penanganan Perkara Anak Konflik Hukum” Jurnal Restorasi, Edisi V/Vol I1 Bandung 2006 119 LAMPIRAN FOTO l Orientasi RJ bagi pemerintahan setempat dan warga masyarakat di Kelurahan Pasanggarahan l Hasil : Adanya Komitmen dan dukungan untuk melaksanakan dan mengembangkan RJ q Lokakarya mini, dengan hasil : Terbentuknya Forum Musyawarah Pemulihan Anak q Sosialisasi RJ bagi warga, melalui kegiatan arisan PKK, pengajian dan pertemuan/rapat rutin RT/RW, kelurahan. q Hasil : Terbentuknya Forum Musyawarah Pemulihan Anak di Tingkat RW q Kegiatan FGD q Kegiatan FGD q Kegiatan FGD FGD BERAKHIR, ACARA DITUTUP OLEH LURAH PASANGGRAHAN