kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan

advertisement
PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS
MASYARAKAT DENGAN RESTORATIVE JUSTICE
(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan
Ujung Berung, Kota Bandung)
BUDIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal
Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice (Kasus di Kelurahan
Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tugas akhir ini.
Bogor, Nopember 2009
BUDIANA
NRP. I. 354070315
RINGKASAN
BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep
Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung
Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA
P LUBIS.
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam
bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice
mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan
komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan
bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun
dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat
terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses
musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil
yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak
nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat
penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas
kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk
memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak
terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan
bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai
dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang
berkepanjangan antara warga.
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative
justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta
menghemat dana operasional penanganan perkara.
Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education
Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung
sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan
anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya
kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef
bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan
masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat
setempat.
Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum
Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA,
mendeskripsikan
mekanisme
penerapan
model
restorative
justice,
mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak
nakal melalui model
restorative justice dan merumuskan rencana strategis
program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA
Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus
sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan
data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok
terfokus.
Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan
Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model
restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah
dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi
dari masyarakat/institusi lokal.
Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan
mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan
penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan
antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka
panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se-Kelurahan
Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap
kegiatan agar berjalan dengan baik
Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di
beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di
beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum
tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga
perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice
kepada RW yang belum melaksanakannya
Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan
anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative
justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan
dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi
anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing
anggota dalam menangani anak nakal.
Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah
pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah
melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah
dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan
hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses
musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah
diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan
efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek
dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah
dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui
monitoring dan evaluasi.
PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS
MASYARAKAT DENGAN RESTORATIVE JUSTICE
(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan
Ujung Berung, Kota Bandung)
BUDIANA
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tugas Akhir
:
Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat
dengan Restorative Justice
(Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung )
Nama
NRP
:
:
Budiana
I354070315
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo
Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Anggota
Ketua Program Studi Magister
Profesional Pengembangan
Masyarakat,
Dekan sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 18 Nopember 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur sepatutnya senantiasa dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT.
karena atas berkat, rahmat dan karunia-NYA maka penulisan tugas akhir dapat
diselesaikan sesuai waktunya. Karya tulis Pengembangan masyarakat ini diberi
judul “Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative
Justice sebuah karya studi kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung.
Penulisan studi kasus ini merupakan tugas akhir bagi Mahasiswa Program
Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor
(IPB), sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional (MP).
Penulisan ini juga sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan diantaranya
melalui proses Praktek Lapangan berupa Pemetaan sosial dan Evaluasi Program
Pengembangan Masyarakat di lokasi kajian. Penulisan tugas akhir ini dapat
diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, dan karenanya atas
segala kebaikan yang diterima pada kesempatan yang baik ini ingin disampaikan
ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku
komisi pembimbing, yang mana disela kesibukannya senantiasa meluangkan
waktu memberikan saran dan masukan bagi penyelesaian kajian ini.
2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Dosen Penguji luar komisi yang banyak
memberikan masukan-masukan bagi perbaikan kajian ini.
3. Bapak Ketua Program Studi beserta seluruh Dosen pendukung perkuliahan
pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPPM)
Institut Pertanian Bogor (IPB).
4. Bapak Agus Wiryawan, Bc.IP, SH selaku Kepala Bapas Klas I Bandung dan
Bapak Mardjuki, M.Si, selaku Kepala Administrasi Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, atas dukungannya penulis memiliki
kesempatan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana pada Institut Pertanian
Bogor (IPB).
5. Bapak dan Ibu tokoh masyarakat di Pasanggrahan yang telah memberi
dukungan mendalam selama pengumpulan data untuk kajian ini.
7. Ibunda dan Ayahanda yang mulia, Istri tercinta serta anak-anakku tersayang
yang senantiasa memberi do’a dan semangat sejak awal perkuliahan hingga
berakhirnya masa studi.
8. Rekan-rekan angkatan V Program Beasiswa Departemen Sosial pada studi
Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian
Bogor (IPB) yang telah senantiasa banyak memberi dukungan dan bantuan
moril dan spirituil selama masa perkuliahan berlangsung hingga selesainya
penulisan kajian ini.
Semoga seluruh amal kebajikan yang telah dan akan dilakukan pihakpihak terkait senantiasa mendapat ridho dan karunia dari Allah SWT. Harapan
saya kiranya kajian ini memberi manfaat dan menjadi inspirasi bagi penggiat
pengembangan masyarakat kini dan yang akan datang.
Bogor, Nopember 2009
BUDIANA
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 20 Oktober 1969 dari pasangan
Adun dan Yayah Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD)
di Desa Sukamukti Kecamatan Cilawau Garut tahun 1982, kemudian melanjutkan
ke SMP Cilawu Garut tamat tahun 1985. Pada tahun 1988 lulus dari SMAN 2
Garut jurusan Biologi, selanjutnya melanjutkan ke STKS Bandung dan selesai
pada tahun 1993.
Sejak tahun 1996 bekerja pada Kantor Wilayah Departemen Sosial
Propinsi Sulawesi Tengah di Palu, dan pada tahun 2000 alih tugas ke Pemda Tk. I
Jawa Barat selama 6 bulan, selanjutnya pada Bulan Juli 2000 alih tugas ke
Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat dan ditempatkan pada Balai
Pemasyarakatan Klas I Bandung
Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor kerjasama dengan STKS
Bandung.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Titik Sumarti, MS
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Tabel .................................................................................................
i
Daftar Gambar .............................................................................................
ii
Daftar Lampiran ..........................................................................................
iii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................
3
1.3 Tujuan Kajian ...................................................................................
3
1.4 Manfaat Kajian .................................................................................
3
5
5
7
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
2.1 Pengembangan Masyarakat ..............................................................
2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal ...............................
2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan
Anak Nakal .......................................................................................
2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai
pelaksana restorative justice..............................................................
2.5. Kenakalan Anak ...............................................................................
2.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................
14
15
26
III. METODOLOGI KAJIAN ...............................................................
3.1 Metode Kajian .................................................................................
3.2 Teknik Kajian ....................................................................................
3.3 Metode Penyusunan Program ...........................................................
3.4 Prosedur dan Penyajian Data ............................................................
27
27
28
30
30
IV. PETA SOSIAL DAERAH PENELITIAN ........................................
4.1 Kondisi Demografi dan kependudukan..............................................
4.2 Sistem Ekonomi ..............................................................................
4.3 Struktur Komunitas ..........................................................................
4.4 Masalah Komunitas ..........................................................................
34
34
40
41
48
V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK .......
5.1 Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justice ......................
5.1.1 Proses Pembentukan ......................................................................
5.1.2 Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung ................................
5.2 Kinerja Forum di Kelurahan .............................................................
5.2.1 Perkembangan Forum .....................................................................
5.2.2 Proses Musyawarah Forum .............................................................
5.2.3. Proses Relationship Building .........................................................
5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi ..................................................
50
50
50
60
64
64
66
68
70
VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM ...........
6.1 Kinerja Anggota FMPA ....................................................................
6.1.1. Motivasi .........................................................................................
6.1.2. Pemahaman Tentang Hak Anak ....................................................
73
74
74
76
9
6.1.3. Pengalaman ....................................................................................
6.2. Peranan Inisiator FMPA ....................................................................
6.2.1. Unicef Jabar ...................................................................................
6.2.2. LPA Jabar ......................................................................................
6.2.3. LSM Saudara Sejiwa ......................................................................
6.3. Partisipasi Masyarakat ......................................................................
6.3.1. Orang Tua ......................................................................................
6.3.2. Masyarakat Umum .........................................................................
6.3.3. Kelembagaan Masyarakat ..............................................................
78
79
79
80
81
81
82
84
84
VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM .........................................
7.1. Kasus Yang Ditangani FMPA ........................................................
7.2. Evaluasi Masyarakat .......................................................................
7.3. Evaluasi Keluarga Korban ..............................................................
7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku ...............................................................
87
88
93
97
99
VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM ................
8.1 Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan ........................
8.1.1. Identifikasi Potensi ......................................................................
8.1.2. Identifikasi Masalah ....................................................................
8.1.3. Identifikasi kebutuhan .................................................................
8.2. Analisis Pohon Masalah .................................................................
8.3. Rancangan Program ........................................................................
8.3.1. Program Jangka Pendek ...............................................................
8.3.2. Progam Jangka Panjang ...............................................................
8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi ...............................................
100
101
101
102
103
103
106
108
109
112
IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................................... 115
9.1 Kesimpulan .................................................................................... 115
9.2 Rekomendasi .................................................................................. 115
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
117
DAFTAR TABEL
1
Halaman
31
Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Kajian Pengembangan Masyarakat di kelurahan Passanggrahan .......
2
Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan
Jenis Ke lamin Tahun 2008..................................................................
35
3
Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008.................
37
4
Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja
Tahun 2008 .........................................................................................
37
5
Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun
2008......................................................................................................
38
6
Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus
Tahun 2008 ..........................................................................................
Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk
Tahun 2008 .........................................................................................
Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan
Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 .........
Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum
di Jawa Barat Tahun 2008 ....................................................................
39
10
Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa
Barat Tahun 2008 .................................................................................
55
11
Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak
56
7
8
9
39
43
54
Tahun 2008 di Jawa Barat.....................................................................
12
109
13
Sosialisasi Program Restorative Justice ……………………………..
Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW
se-Kelurahan Pasanggrahan ………………………………………….
14
Program Monitoring dan Evaluasi ......................................................
114
112
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
Prinsip-prinsip Hak Anak ..................................................................... 25
2
Kerangka Pemikiran ………………………………………………….
26
3
Piramida Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujungberung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2008 ...........................................................................................
36
4
Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Forum ...................................................................................................
73
5
Pohon Masalah .....................................................................................
105
Daftar Lampiran
Halaman
1
Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan
2
Panduan Wawancara
3
Dokumentasi
RINGKASAN
BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep
Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung
Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA
P LUBIS.
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam
bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice
mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan
komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan
bagi yang mender ita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun
dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat
terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses
musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil
yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak
nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat
penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas
kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk
memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak
terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan
bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai
dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang
berkepanjangan antara warga
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative
justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta
menghemat dana operasional penanganan perkara.
Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education
Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung
sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan
anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya
kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef
bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan
masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat
setempat
Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum
Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA,
mendeskripsikan
mekanisme
penerapan
model
restorative
justice,
mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak
nakal melalui model
restorative justice dan merumuskan rencana strategis
program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA
Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus
sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan
data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok
terfokus
Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan
Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model
restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah
dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi
dari masyarakat/institusi lokal
Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan
mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan
penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan
antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka
panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se-Kelurahan
Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap
kegiatan agar berjalan dengan baik.
Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di
beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di
beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum
tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga
perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice
kepada RW yang belum melaksanakannya.
Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan
anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative
justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan
dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi
anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing
anggota dalam menangani anak nakal
Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah
pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah
melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah
dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan
hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses
musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah
diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan
efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek
dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah
dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui
monitoring dan evaluasi.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal
adalah sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi
didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses
penanganannya.
2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan
acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui
proses hukum (peradilan formal)
3. Bagi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) apabila mendapatkan permintaan untuk
pemeriksaan terhadap anak nakal dari pihak kepolisian, hendaknya segera
ditempuh terlebih dahulu dengan cara restorative justice di masyarakat,
hasilnya dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian dapat
memutuskan perkaranya dengan cara diversi, tetapi apabila restorative justice
tidak berhasil dilakukan, maka kasusnya tetap berlanjut kedalam proses
persidangan dan laporan tersebut akan menjadikan salah satu pertimbangan
hakim dalam memutus perkara anak nakal.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan ..................................................... 120
2. Panduan Wawancara ............................................................................. 121
3. Dokumentasi ........................................................................................ .126
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan individu yang memiliki posisi penting dalam
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap anak
sebagai generasi penerus ini memiliki konsekuensi perlunya upaya perlindungan
dan jaminan terhadap terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian kita masih
harus prihatin terhadap potret buram anak-anak Indonesia. Potret buram ini dapat
dilihat dari masih banyak ditemukannya permasalahan sosial yang dialami oleh
anak. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 mencatat setidaknya 3,5 juta
anak usia 5 sampai dengan 8 tahun mengalami keterlantaran, 1,2 juta anak balita
terlantar, 6,7 juta anak membutuhkan perlindungan khusus, 2 sampai dengan 8
juta jiwa anak menjadi pekerja, 3,5 juta anak Indonesia hidup dibawah garis
kemiskinan dan anak nakal sebanyak 193.155 jiwa (Suharto, 2007)
Fenomena kenakalan anak merupakan permasalahan sosial yang
belakangan ini cepat berkembang. Balai Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 mencatat 150 kasus
anak nakal yang masuk dalam persidangan, pada tahun 2006 meningkat menjadi
188 anak, tahun 2007 meningkat menjadi 345 anak dan tahun 2008 meningkat lagi
menjadi 435 anak.
Pemenjaraan atau penahanan terhadap anak adalah sesuatu yang harus
dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum.
Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan
yang diberikan kepada anak nakal masih kurang terutama bila dilihat dari
indikator dilakukannya penahanan atau pemenjaraan terhadap anak oleh aparat
penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di
kejaksanaan, dan persidangan di pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut timbul
gagasan agar tidak semua permasalahan kenakalan anak diproses secara hukum,
tetapi diupayakan diselesaikan di tingkat masyarakat yang disebut dengan nama
restorative justice.
1
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam
bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice
mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan
komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan
bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun
dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat
terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses
musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil
yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.
Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak
nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat
penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas
kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab
untuk
kerugian
yang
ditimbulkan,
pelaku
memiliki
kesempatan
untuk
memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak
terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.
Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan
bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai
dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang
berkepanjangan antara warga.
Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative
justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta
menghemat dana operasional penanganan perkara.
Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education
Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung
sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan
anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya
2
kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef
bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan
masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat
setempat. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
jauh tentang konsep restorative justice dalam penanganan anak nakal.
1.2. Rumusan Masalah adalah :
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang penulis kemukakan
adalah :
1. Bagaimana kinerja FMPA dalam menangani anak nakal dengan model
restorative justice ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA?
3. Bagaimana rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam
peningkatan kapasitas FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak)?
1.3. Tujuan Kajian adalah :
Tujuan kajian ini dilakukan adalah:
1. Mendeskripsikan kinerja anggota FMPA
2. Mendeskripsikan peranan inisiator FMPA
3. Mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice
4. Mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak
nakal dengan restorative justice
5. Merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam
peningkatan kapasitas FMPA
1.4. Manfaat Kajian
Hasil
kajian
pengembangan
masyarakat
yang
dilakukan
di
Kelurahan
Pasanggrahan secara lebih khusus diharapkan dapat bermanfaat bagi :
3
1. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat menumbuhkan rasa kesadaran
dan tanggung jawab sosial dalam menangani anak nakal, sehingga
tidak
semua masalah kenakalan anak diproses secara hukum
2. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat berpartisipasi dalam mencegah
terjadinya kenakalan anak khususnya yang terjadi di kelurahan Pasanggrahan
3. Bagi instansi pemerintah khususnya penegak hukum seperti pihak kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan, kiranya kajian ini dapat dijadikan solusi terhadap
penanganan anak nakal yang selama ini masih bersifat persial.
4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
terciptanya peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Revisi
terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Anak adalah bagian dari keluarga, anak dilahirkan dalam keluarga, menerima
status sosial awal dari keluarga, , dilindungi, dibesarkan, disosialisasikan dalam
keluarga, untuk kemudian menjadi warga dalam masyarakat. Kondisi anak pada
saat ini, akan sangat menentukan pada kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di
masa yang akan datang.
Menurut Heny (2005) dalam perspektif sosiologi kesejahteraan anak
terlihat dalam bentuk perkembangan fisik dan kepribadian yang ditandai pola
perilaku anak yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Goode (1995) yang dikutip oleh Heny (2005) menyebutkan masyarakat dan
kebudayaannya menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi yaitu sejauhmana
sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap dan tingkah laku masyarakat dan
keluarganya. Di sinilah pentingnya keluarga, karena keluarga adalah titik awal
perkembangan fisik dan kepribadian anak, sehingga seorang anak harus mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara wajar baik secara
jasmani, rohani dan sosialnya.
2.1. Pengembangan Masyarakat
Alimusa (2003) mengemukakan bahwa : ”Pengembangan masyarakat
adalah pengembangan swadaya masyarakat dan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan”. Menurut Cary (1970), pengembangan masyarakat pada intinya
merupakan : 1) usaha yang disengaja dan dilakukan bersama-sama oleh orangorang dalam masyarakat, 2) mengarahkan masyarakat masa depan dan
membangun serangkaian teknik yang diakui dan didukung masyarakat, 3)
ditujukan untuk mencapai kehidupan sosial yang lebih baik dimasa depan
5
Pengertian diatas menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat
ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas dalam memenuhi
kebutuhannya.
Prakteknya proses pengembangan masyarakat hendaknya
mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat sehingga keputusan apapun
mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat
itu sendiri, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki oleh
masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat.
Menurut Korten (1984),
pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi
pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan
sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat.
Jadi dalam pengembangan
masyarakat terkandung esensi partisipasi.
Partisipasi menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), mengandung makna
peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu
kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh
pihak yang berperan serta tersebut. Agung dan Purnaningsih (2003), memberikan
karakteristik partisipasi, yaitu : 1) masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, 2)
cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif
dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, 3) masyarakat memiliki
peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan mereka sehingga memiliki
andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
Menumbuhkan partisipasi dalam pengembangan masyarakat tidak dapat
tumbuh begitu saja. Masyarakat perlu di ajak untuk menyadari kelemahan dan
potensi yang dimiliki dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis. Upaya tersebut
dapat dilakukan dengan pendekatan komunitas. Pendekatan ini menurut Cary
(1973), seperti dikutip Gunardi (2003), menampilkan tiga ciri utama, yaitu : 1)
partisipasi yang berbasis luas; 2) komunitas merupakan konsep yang penting; 3)
kepeduliannya bersifat holistik. Keunggulan menggunakan pendekatan komunitas
ini adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan tindakan, adanya penelaahan secara menyeluruh, dan menghasilkan
6
perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh
seluruh warga.
2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal
Pekerjaan sosial adalah suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan
melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara
orang dan lingkungan sosialnya (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi
dan masyarakat) untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan
masyarakat sebagai satu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia
dan keadilan sosial
Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Pekerjaan Sosial yang
diterapkan dalam usaha kesejahteraan anak, termasuk penanganan anak nakal :
1. Berlandaskan prinsip dan metode ilmu pengetahuan;
2. Berintikan pemberian bantuan;
3. Menggunakan hubungan anta manusia sebagai alat;
4. Ditujukan guna pengembangan personal dan sosial sebagai satu kesatuan;
5. Mencakup juga pengembangan kualitas lingkungan sosial dan fisik
(lingkungan hidup);
6. Demi terciptanya kesejahteraan sosial yang berlandaskan has asasi manusia
dan keadilan sosial.
Dalam penanganan anak nakal ini, pekerjaan sosial dengan beberapa
metodenya dapat dijadikan acuan dalam memcahkan berbagai masalah anak
nakal, terutama dalam merubah sikap dan perilakunya
Dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih
dahulu, yaitu :
a. Prinsip Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal
1) Pelayanan yang diberikan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
anak nakal
2) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi anak nakal
3) Memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk menentukan pilihan
bagi dirinya sendiri
7
4) Mengupayakan kehidupan anak nakal agar lebih bermakna bagi diri,
keluarga dan masyarakat
b. Beberapa Metode Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal
1). Bimbingan Sosial Individu
Metode bimbingan sosial individu ditujukan kepada anak nakal dilakukan
secara tatap muka antara pekerja sosial dengan anak. Bimbingan ini
dimaksudkan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahanyang
bersifat mendasar yang dapat mengganggu proses pelayanan. Selanjutnya
proses konsultasi dilakukan untuk menemukan kemampuan serta alternatif
pemecahan masalah anak dan kehidupannya. Dalam metode ini pekerja
sosial mendorong anak untuk mengungkapkan masalahnya baik yang
bersifat individu maupun masalah-masalah lainnya seperti masalah
keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu pekerja sosial juga
memfasilitasi anak dalam mencari berbagai alternatif dan solusi
pemecahannya.
2) Bimbingan Sosial Kelompok
Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode pekerjaan sosial
untuk memperbaiki dan meningkatkan peranan sosial individu melalui
pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan.
Dengan perkataan lain, pekerja sosial menggunakan kelompok sebagai alat
intervensi untuk memenuhi kebutuhan individu yang akan dipengaruhinya,
karena
pertimbangan
bahwa
penggunaan
kelompok
merupakan
mekanisme yang lebih baik dari pada mekanisme lainnya, dan bahwa
kelompok memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila igali dan
dikembangkan dengan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber
untuk penyembuhan dan pengembangan anggotanya
3) Bimbingan Sosial Masyarakat
Metode bimbingan sosial masyarakat ini menggunakan kehidupan dan
interaksi masyarakat yang menjadi lingkungan sosial anak. Melalui
penerapan metode ini lingkungan masyarakat perlu diciptakan sehingga
8
dapat menerima dan mendukung kehadiran dan permasalahan anak nakal.
Disamping itu, pekerja sosial memotivasi anak untuk menerima dan hidup
bersama lingkungannya. Bimbingan sosial masyarakat merupakan metode
yang
bersifat
komprehensif
yang
diarahkan
pada
pemberdayaan
masyarakat melalui pendekatan partisipatoris untuk mempersatukan
seluruh segmen masyarakat dalam penanganan permasalahan anak.
2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Kenakalan Anak
Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam
bidang viktimologi dan kriminologi. Konsep ini mengakui bahwa kejahatan
dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat
diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat
kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Program ini
memungkinkan korban, pelaku dan komunitas dapat terlihat langsung dalam
merespon kejahatan, proses pemulihan yang melibatkan semua pihak adalah dasar
untuk mencapai hasil yang memulihkan bagi anak.
Kelompok Kerja Peradilan Pidana Anak perserikatan Bangsa-Bansa
(PBB) yang dikutip oleh Melani (2006) mendefinisikan restorative justice
sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang”.
Menurut Tony Marshal yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice
adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk
memecahkan secara bersama-sama begaimana mengatasi akibat dari suatu
kejahatan dan implikasinya di masa mendatang
Kevin I Minor and J.T. Morrison yang dikutip oleh
Hidayat (2005)
restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal
dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan dan untuk
memfasilitasi perdamaian dan kesentosaan di antara kelompok yang menentang.
Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :
9
” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied
guises with different names, and in many countries; it has sprung from
sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept
may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative
sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal
justice organized around principles of restoration to victims, offenders
and the communities in which they live. It may refer to diversion from
formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions,
and to meetings between offenders and victims at any stage of the
criminal process.
(Daly and Immarigeon, 1998)
Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :
” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied
guises with different names, and in many countries; it has sprung from
sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept
may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative
sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal
justice organized around principles of restoration to victims, offenders
and the communities in which they live. It may refer to diversion from
formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions,
and to meetings between offenders and victims at any stage of the
criminal process.
(Daly and Immarigeon, 1998)
Menurut Daly dan Immarigeon bahwa restorative justice telah mulai
bermunculan di beberapa negara dengan nama yang berbeda. Konsep dasarnya
adalah
adanya proses
alternatif untuk
memecahkan
permasalahan
dan
menghindari penghukuman lewat peradilan pidana dengan menerapkan bentuk
diversi (pengalihan) bentuk hukuman dan menghindari proses peradilan formal.
Menurut Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) bahwa dalam
Proses restorative justice ada tiga hal yang harus ditempuh yaitu :
1. Family Group Cenference (FGC) yaitu adanya musyawarah dalam
keluarga untuk membahas permasalahan antara pihak korban dengan
pelaku
2. Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku
dengan pihak korban yang difasilitasi oleh mediator. Yang menjadi
mediator adalah sukarelawan dari masyarakat (Volunter)
10
3. Peacemaking and sentencing circles
yaitu tercapainya (terbangunnya)
proses perdamaian antara pelaku tindak kejahatan dengan pihak korban
dan masyarakat
Selanjutnya Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) menyebutkan bahwa
dari ketiga bentuk yang tersebut di atas harus mengandung unsur-unsur :
1. Adanya dialog, yang terlibat dalam dialog adalah pihak korban dan pelaku,
korban dan aparat penegak hukum, korban dan anggota masyarakat dan
antara pelaku dengan anggota masyarakat serta pihak-pihak lain yang
dibutuhkan
2. Relationship building (membangun hubungan) antara pelaku dengan korban
dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu
3. Restorasi yaitu adanya pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak
pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya, serta ganti
rugi bagi korban
Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI (2008)
mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses diversi dimana semua
pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang
akanm datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia
dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki rekonsiliasi dan
mententramkan hati”
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, restorative justice dapat
didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kenakalan anak dengan
memulihkan kerugian yang dialami oleh korban dan untuk memfasilitasi
perdamaian. Upaya ini menekankan pemulihan atas kenakalan seorang anak harus
dilakukan dalam lingkungan yang layak, masyarakat di lingkungan sekitar anak
perlu berpartisipasi terlibat dalam penanganan anak tersebut, jadi kasus hukum
yang ringan menyangkut anak-anak diharapkan tidak sampai ke pengadilan dan
11
diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau
komunitas di masyarakat dengan jalan musyawarah. Penyelesaian di pengadilan
hanya diterapkan pada jenis kejahatan yang belum ditolerir, seperti
kejahatan
terhadap asusila, pengrusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga
penghilangan nyawa.
Restorative justice menekankan pada proses pemulihan atas kenakalan
seorang anak melalui penyelesaian secara musyawarah. Dasar pemikirannya
bahwa masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi dalam
penanganannya. Dengan ini kasus-kasus hukum yang ringan diharapkan tidak
perlu sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tetapi cukup dilakukan di
lingkungan setempat.
Manfaat restorative justice menurut Wright (1992) yang dikutip oleh
Hidayat (2005) adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemahaman, menekankan pertanggungjawaban dan menaikkan
daya terima masyarakat terhadap pelaku kejahatan
2. Menggabungkan kebijakan sosial dengan kebijakan pencegahan kejahatan
3. Memberikan contoh untuk perilaku yang baik
4. Menaikkan komunikasi dan partisipasi bagi korban, pelaku dan masyarakat
5. Melakukan penahanan hanya jika diperlukan
Program restorative justice (Wright, 1991) yang dikutip oleh Hidayat
(2005) dikatagorikan menjadi tiga nilai yaitu :
1. Encounter, memberikan kesempatan bagi korban (pelaku) dan komunitas
untuk bertemu, berdiskusi tentang kejahatan dan akibat yang ditimbulkan.
2. Amneds, mengharapkan pelaku untuk melakukan langkah-langkah guna
memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.
3. Reintegration, mencari cara untuk memulihkan korban dan pelaku secara
menyeluruh bagi korban, pelaku dan masyarakat.
Penerapan konsep restorative justice mempunyai syarat-syarat yang harus
dipenuhi, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku
(anak nakal); adanya persetujuan pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian
12
di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; adanya persetujuan dari
kepolisian sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan diskresi (penghentian
penyidikan) khusus untuk kasus yang sudah dilaporkan di Polisi; dan
mendapatkan dukungan masyarakat setempat
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang
dapat dilaksanakan melalui restorative justice” adalah bukan kasus kenakalan
yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas,
kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak
menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan
merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Sedangkan katagori kasusnya
bisa yang telah dilaporkan ke polisi ataupun yang belum dilaporkan ke polisi.
Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses musyawarah yaitu pihak
korban dan keluarga korban, pelaku (anak nakal) dan keluarganya serta wakil dari
masyarakat yaitu diwakili oleh suatu forum yang beranggotakan tokoh atau yang
mewakili masyarakat.
Manfaat penerapan konsep restorative justice bagi pelaku di antaranya
tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku
bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki
kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang
tua/tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari
kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana
Manfaat konsep restorative justice bagi pihak korban adalah dapat ikut
serta dalam pengambilan keputusan, kerugian dapat segera dipulihkan, terhindar
dari pemberitaan sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu
masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak
nakal didaerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat
menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga, dapat menyampaikan
dan mewujudkan kepentingannya.
Bagi Penegak Hukum manfaat penerapan konsep restorative justice”
adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk, dan menghemat
dana operasional penanganan perkara.
13
2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana
Restorative Justice
Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) adalah suatu lembaga
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat untuk menangani anak yang
bermasalah dengan hukum dalam konteks restorative justice. Prinsip restorative
justice yang menekankan adanya proses
alternatif untuk memecahkan
permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan formal. Proses
alternatif tersebut adalah melalui jalur musyawarah yang difasilitasi oleh
sukarelawan (volunteer). Musyawarah ini diperlukan dalam proses Victim
Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak
korban, dan proses Peacemaking and Sentencing Circles agar tercipta perdamaian
sehingga masing-masing pihak merasa terpuaskan dan tercapai win-win solution.
Penerapan restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan melibatkan
masyarakat sebagai volunteer, yang dilembagakan dalam bentuk forum yang
disebut FMPA. Forum dimaksud beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan figur-figur lain yang dianggap mampu bertindak sebagai mediator, dipercaya
oleh pihak korban maupun pelaku, serta mampu menjembatani masyarakat
dengan penegak hukum. Dengan kata lain, FMPA adalah forum yang dibentuk
oleh masyarakat untuk menangani kasus anak nakal agar tidak sampai diproses di
tingkat peradilan formal, terhadap kasus-kasus hukum yang ringan dan dapat
ditolerir.
FMPA merupakan bentuk pengembangan masyarakat, di mana partisipasi
aktif masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap keberlangsungan forum
ini. Partisipasi dapat terjadi apabila timbul motivasi dan kesadaran warga
masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Partisipasi merupakan
keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam
kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan
pembangunan
kesejahteraan
sosial
di
dalam
atau
di
luar lingkungan
masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya.
14
2.5. Kenakalan Anak
Kenakalan anak merupakan bentuk perilaku anak yang bertentangan dengan
norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang ini bersifat dinamis dan
cenderung mengikuti perkembangan suatu komunitas. Perkembangan tersebut
mengarah pada adanya peningkatan baik dari segi jumlah, kualitas, dan tingkat
kesadisannya. Peningkatan pada tingkat kesadisan dan kebengisan ini terutama
terjadi pada aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk kelompok. Perkembangan ini
terjadi seiring dengan lajunya industrialisasi dan urbanisasi (Kartono, 1986).
Istilah yang banyak digunakan berkaitan dengan masalah perilaku
menyimpang pada anak (remaja) adalah kenakalan remaja (juvenile delinguency).
Kenakalan ditandai dengan adanya perilaku yang ilegal atau berlawanan dengan
norma sosial, tetapi tidak selalu berupa kekerasan. Beberapa perilaku antisosial
yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau remaja meliputi : tindakan agresif
dan kekerasan di dalam keluarga, di sekolah dalam bentuk perkelahian dan
perusakan
barang-barang;
pelanggaran
hukum
ringan
(vandalisme,
penyalahgunaan obat, kabur dari rumah); pelanggaran hukum berat (mencuri,
merampok, pemerkosaan
dengan kekerasan); kekerasan terhadap diri sendiri
termasuk bunuh diri; dan keanggotaan dalam geng (Mc Whirter, 1998)
Pendapat Whirter mengisyaratkan bahwa perilaku antisosial yang dilakukan
hanya dipandang sebagai kenakalan, meskipun beberapa sudah termasuk kategori
berupa tindakan pelanggaran hukum yang berat. Ini berarti penanganannya pun
tidak dapat disamakan dengan penanganan kasus kriminal sebagaimana
umumnya.
individu
Pandangan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa anak merupakan
yang
belum
matang,
sehingga
dipandang
belum
mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum.
Waegel (1989) mengidentifikasikan beberapa ciri-ciri sosial dari pelaku
kenakalan. Ciri-ciri tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status
sosial, dan
struktur keluarga. Menurut Waegel, pelaku kenakalan pada anak
paling banyak berusia 15 sampai 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di
kota, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan hanya memiliki satu orang
tua kandung saja.
15
Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah anak nakal dan anak yang
berhadapan dengan hukum. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak yang
berkonflik dengan hukum sebagai anak yang termasuk pada kategori anak nakal,
pelaku tindak pidana yang berdasarkan hasil penyelidikan/pemeriksaan aparat
penegak hukum membutuhkan pembinaan di panti sosial anak, sedangkan anak
nakal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
pasal 1 ayat 2 didefenisikan sebagai :
”Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”
Pemberian sebutan anak nakal sebenarnya merupakan hukuman yang sudah
diberikan sebelum anak yang bersangkutan menjalani proses hukum, yaitu berupa
pemberian label atau sebutan sebagai ”anak nakal”. Dalam UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dikatakan bahwa seorang anak yang sudah berusia 8
tahun sudah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya.
Batasan usia minimal ini jelas sangat memberatkan anak, karena pada usia
tersebut anak baru memasuki usia sekolah. Dimana pada usia tersebut, seorang
anak semestinya baru mulai mendapatkan pendidikan formal untuk bekal
kemampuan kognisinya, dan juga dilakukan penanaman nilai-nilai yang berlaku
secara umum.
2.5.1. Tipe Kenakalan Anak
Kenakalan pada anak tidak berlangsung dalam keterisolasian, tetapi terjadi dalam
konteks antar personal dan sosio kultural.
Oleh karenanya kenakalan anak
bersifat organismis, psikis, interpersonal, antar personal dan budaya (Kartono,
2006).
Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut, Kartono (2006) membagi
kenakalan anak dalam 4 kelompok yaitu :
b. Delikuensi individual
Kenakalan yang dilakukan individu dengan ciri-ciri khas jahat, biasanya
disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku (psikopat, psikotis, neurotis,
16
a-sosial). Pelaku kenakalan tipe ini biasanya memiliki kelainan jasmaniah dan
mental yang dibawa sejak lahir. Kenakalan yang mereka lakukan cenderung
berupa tindak kriminal dan kekejaman yang dilakukan tanpa motif apapun.
c. Delikuensi situasional
Tipe kenakalan ini dilakukan oleh anak normal, yang menerima pengaruh
yang sangat kuat dari lingkungan dan situasi sosial disekitarnya. Pengaruh
tersebut bersifat memaksa dan menekan individu sehingga membentuk
perilaku buruk. Sebagai hasilnya anak yang seperti ini suka menampilkan
perilaku melanggar aturan, norma sosial dan hukum formal. Interaksi yang
terus menerus antara anak dengan situasi dan kondisi lingkungan yang buruk
akan memperkuat perilaku nakal pada remaja.
Pada situasi seperti ini
kenakalan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh
lingkungan sosialnya. Bentuk kenakalan seperti tawuran antar pelajat atau
antar kampung, pesta minuman keras atau narkoba yang dilakukan bersamasama teman sebaya merupakan contoh dari delikuensi situasional.
Delikuensi situasional merupakan jenis delikuensi yang paling mudah
menular kepada anak secara meluas, sehingga masalah ini dapat menjadi
masalah sosial yang serius. Untuk mengatasi hal ini Kartono (2006)
menyarankan untuk melakukan reorganisasi secara mendasar terhadap :
1) Struktur kejiwaan anak-anak remaja dengan bantuan proses pendidikan
2) Struktur sosial masyarakatnya lewat pendidikan preventif, represif
(penekanan) dan punitif (hukuman), dan
3) Penataan ulang terhadap kebudayaan bangsa
d. Delikuensi sistematis
Tipe kenakalan ini merupakan kenakalan yang dioganisir dalam bentuk
geng.
Pengorganisasian perilaku tersebut disertai dengan aturan tertentu,
status formal, peranan tertentu, nilai-nilai dan norma tertentu, rasa kebanggaan
dan moral delikuen yang berbeda dengan yang berlaku pada umumnya.
Semua bentuk kenakalan tersebut dirasionalisasi dan dibenarkan sendiri oleh
seluruh anggota geng.
17
Peraturan yang dibuat dalam geng tersebut biasanya sangat keras
dengan sanksi hukuman yang berat, bertujuan untuk menegakkan kepatuhan
anggota. Geng biasanya cenderung memiliki tujuan organisasi, wilayah
operasi, ritual-ritual tertentu, kode-kode rahasia dan nama organisasi yang
eksklusif yang bertujuan untuk menegakkan gengsi organisasinya. Bentuk
perilaku kenakalan yang menjurus kriminal dan anarkis seperti yang dilakukan
oleh beberapa geng motor di Kota Bandung merupakan salah satu contoh
delikuensi sistematis.
e. Delikuensi kumulatif
Tipe ini merupakan bentuk kenakalan anak yang terjadi secara meluas
ditengah
masyarakat,
sehingga
memunculkan
adanya
fenomena
disorganisasi/disintegrasi sosial dengan ciri yang mencolok yaitu terbentuk
sub kultur delikuen di tengah kebudayaan suatu masyarakat.
Delikuensi
kumulatif biasanya paling mudah terjadi pada wilayah-wilayah dengan
pemukiman yang terlalu padat, terjadi melalui suatu proses intimidasi maupun
paksaan dari orang dewasa. Perilaku delinkuen yang membudaya di tengah
masyarakat ini menurut Kartono (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin
dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau
dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresivitas
tidak terkendali
2) Merupakan adolescence revolt (pemberontakan adolesensi) terhadap
kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka
menemukan indentitas-diri lewat tingkah laku yang melanggar norma
sosial dan hukum
3) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan
saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa
promiskuitas, cinta bebas dan seks bebas, ”kumpul kebo”, perkosaan
seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks.
4) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para
remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, zibaku,
tindak bunuh-diri, meledakka bom dan dinamit, penculikan,
penyanderaan, dan lain-lain
Gunarsa (1988) melakukan pengelompokkan kenakalan anak dari segi hukum,
dimana berkaitan dengan norma-norma hukum, yang meliputi :
18
1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam
undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai
pelanggaran hukum.
Jenis kenakalan ini antara lain berupa
berbohong, membantah perintah orang tua karena tidak mau diatur
oleh orang tua, berkelahi, meninggalkan rumah dan tinggal bersama
dengan beberapa orang teman sebaya
2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian
sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan
perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa. Jenis
ini berupa beberapa kenakalan yang merupakan tindakan kriminal
yang cenderung pada penganiayaan, dan tindakan mengganggu
ketertiban umum merupakan beberapa contoh kenakalan yang
menjurus kearah kriminal
Lebih lanjut Jensen (1985) seperti dikutip oleh Sarwono (2007),
membagi kenakalan anak menjadi empat jenis, yaitu :
a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain :
perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain
b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain
c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang
lain : pelacuran, penyalahgunaan obat, melakukan hubungan seks
sebelum nikah
d) Kenakalan yang melawan status, misanya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, menghindari status orang
tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah
mereka dan sebagainya
Berdasarkan jenis-jenis kenakalan yang disampaikan oleh Jensen tersebut,
kenakalan anak dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu
kenakalan yang berupa pelanggaran hukum dan kenakalan berupa pelanggaran
status. Kenakalan dalam bentuk pelanggaran hukum merupakan jenis
kenakalan pada point a,b dan c. Ketiga jenis kenakalan tersebut diatur dalam
hukum dan akan dikenakan sanksi hukum apabila dilakukan, sedangkan
kenakalan dalam bentuk pelanggaran status bukan termasuk perbuatan
melanggar hukum karena pelanggaran tersebut dilakukan pada lingkungan
keluarga dan sekolah, dimana tidak diatur secara rinci dalam hukum. Dengan
demikian jenis kenakalan ini tidak dapat dikenakan sanksi atau tindakan
hukum.
19
Sementara itu Sunarwiyati (1985) seperti dikutip oleh Masngudin
(2004)
mengelompokkan
kenakalan
anak
berdasarkan
bentuknya.
Pengelompiokkan ini dilakukan secara bertingkat yang dimulai dari tingkat
ringan menuju ke tingkat yang berat. Bentuk-bentuk kenakalan anak menurut
Sunarwiyati meliputi :
1) Kenakalan biasa, merupakan jenis kenakalan yang paling banyak
dilakukan
oleh remaja. Kenakalan jenis ini cenderung tidak memiliki
dampak yang terlalu berbahaya bagi anak dan tidak meresahkan
kentraman umum. Bentuk kenakalan biasa antara lain berkelahi,
membolos sekolah, keluyuran, begadang sampai larut malam, dan pergi
dari rumah tanpa memberitahu pada orang tua
2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, merupakan
jenis kenakalan yang sudah mendekati tindakan kriminal. Jenis
kenakalan ini bila tidak segera mendapatkan penanganan dan perhatian
yang baik dari orang tua akan memudahkan anak untuk menjadi pelaku
tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini meliputi pelanggaran aturan
berlalu-lintas dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki
SIM, mencuri barang-barang milik orang tua, mencuri buah-buahan
milik tetangga, termasuk mencuri sandal atau sepatu milik teman
bermain.
3) Kenakalan khusus, merupakan jenis kenakalan yang sudha berkaitan
dengan tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini antara lain terlibat
dalam
pengedaran
dan
penyalahgunaan
narkotika,
melakukan
perusakan fasilitas umum, mencuri, memperkosa, melakukan hubungan
seks di luar nikah dan lain-lain
Memperhatikan pada pengelompokkan kenakalan anak oleh anak di
Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung termasuk
jenis kenakalan biasa dan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut masih memungkinkan untuk
ditangani melalui musyawarah warga untuk ditangani melalui keluarga,
20
sebagai tempat terbaik membentuk perilaku anak. Selain itu upaya
pembinaan terhadap anak melalui kegiatan-kegiatan kepemudaan yang ada,
misalnya pengajian untuk remaja muslim, dapat dioptimalkan untuk
mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan harapan masyarakat.
2.5.2. Analisis Faktor Penyebab Kenakalan Anak dalam Perspektif
Ekosistem
Anak nakal merupakan salah satu masalah sosial yang mendapat perhatian
cukup serius dari pemerintah. Masalah sosial tidak muncul dengan sendirinya
tetapi karena adanya sebab. Penyebab masalah ini biasanya tidak tunggal dan
terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam proses interaksi antara individu
dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain penyebab masalah sosial adalah
suatu hal yang bersifat sistemik, sehingga perlu dilakukan pencegahan secara
sistematis.
Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kenakalan dilakukan dengan
menggunakan perspektif ekosistem. Hal ini merupakan kombinasi antara
perspektif ekologi dengan teori sistem. Perspektif ini memfokuskan interaksi
antara sub-sub sistem dengan lingkungan sosialnya. Beckert and Johnson (1995)
dan Kirst-Ashman (2000) seperti dikutip Zastrow (2004) mendefinisikan teori
ekosistem sebagai berikut : ”systems thoery used to describle and analyze people
and other living systems and their transactions” (Zastrow, 2005:7). Pernyataan
tersebut menjelaskan bahwa teori ekosistem merupakan sistem teori yang
digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa orang-orang dan sistem yang
ada di sekitarnya serta transaksi diantara orang dengan sistem tersebut.
Menurut teori ekosistem bahwa :
a. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan akan
berfungsi secara lebih baik apabila berada dalam suatu lingkungan atau
setting tertentu, dari pada ketika berada seorang diri
b. Ekosistem bersifat dinamis, setiap anggotanya secara perlahan namun pasti
mengalami perubahan menyesuaikan dengan lingkungannya
21
Berdasarkan asumsi tersebut, perilaku yang ditampilkan oleh individu
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan sistem-sistem lain
dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian perilaku nakal pada anak
merupakan hasil dari proses interaksi tersebut.
Dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan sehingga memunculkan perilaku nakal pada anak. Kemungkinan
pertama adalah adanya kegagalan anak dalam melakukan adaptasi terhadap
lingkungan, sehingga anak tidak mampu menampilkan peran sesuai dengan
harapan lingkungan sosialnya akhirnya perilakunya menyimpang dari normanorma yang berlaku pada lingkungan sosial tersebut.
Kemungkinan kedua adalah adanya disorganisasi sosial pada lingkungan
sosial dimana anak berinteraksi. Disorganisasi sosial ini menyebabkan beberapa
fungsi lingkungan sosial, terutama fungsi sosialisasi dan fungsi kontrol sosial dari
lingkungan sosial tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Eitzen (1986) dalam Masngudin (2004) bahwa lingkungan
masyarakat yang buruk akan menyebabkan seseorang berpeilaku buruk. Ini dapat
terjadi karena pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma
dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikatnya.
Lingkungan sosial yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian
yang lebih luas adalah teman bermain, teman di sekolah dan teman di lingkungan
ketetanggaan. Lingkungan inilah akan turut membentuk perilaku yang akan
ditampilkan oleh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari, deengan demikian
agar anak nantinya dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan
sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberikan
tempat yang dapat mendukung perkembangan anak secara optimal.
2.5.3. Hak-Hak Anak
Sebagai salah satu negara penandatangan Konvensi Hak-hak Anak
(Convention on the Rights of the Child / CRC) yang disetujui Majelis Umum PBB
pada tanggal 20 Nopember 1989 yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia menyetujui untuk melaksanakan
perlindungan anak. Upaya ini mencakup langkah-langkah legislatif, administratif,
22
sosial dan pendidikan yang layak dan maksimal guna melindungi anak dari semua
bentuk kekerasan fisik atau mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau
perlakuan salah, cedera atau terjadinya eksploitasi terhadap anak.
Empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak ( KHA )
adalah :
1). Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam
KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA yang selengkapnya berbunyi :
”Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah
hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau
pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak
sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah” (ayat 1)
Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk
menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau
hukuman
yang
didasarkan
pada
status,
kegiatan,
pendapat
yang
dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau
anggota keluarganya” (ayat 2)
2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu bahwa ” Dalam
semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembagalembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga
peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”
(pasal 3 ayat 1 )
3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life,
survivbal and development), artinya, ” Negara-negara Peserta mengakui
bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan”
(pasal 6 ayat 1).
23
Negara-negara Peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan
hidup dan perkembangan anak” (pasal 6 ayat 2)
4) Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)
maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan. Prinsip ini tertuang dalam pasal 12 (ayat 1) Konvensi Hak Anak
sebagai berikut :” Negara-negara Peserta akan menjamin agar anak-anak
yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk
menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang
mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan
tingkat usia dan kematangan anak”
Keempat prinsip hak anak bisa dikonfigurasikan ke dalam Gambar 1 :
Yang Terbaik untuk Anak
Kelangsungan
Hidup dan
Perkembangan
Non-diskriminasi
Partisipasi Anak
Gambar 1 : Prinsip-prinsip hak anak
Sejak ditetapkannya UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, perlindungan bagi anak Indonesia telah
memiliki landasan hukum yang lebih kuat. Dalam UU tersebut, perlindunagn anak
didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
24
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak mencakup
serangkaian upaya terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan berupa
penyusunan dan pengembangan kebijakan, program, pelayanan, dan mekanisme
untuk melindungi anak dari semua bentuk tindakan yang melanggar hak-hak anak
untuk hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara wajar dan optimal.
2.6. Kerangka Pemikiran
Restorative justice merupakan pendekatan alternative yang bisa digunakan
dalam menangani anak nakal, merupakan proses yang melibatkan semua pihak
untuk memecahkan secara bersama bagaimana mengatasi akibat dari suatu
kenakalan yang dilakukan anak dan implikasinya dimasa yang akan datang.
Restorative justice mengakui bahwa kenakalan anak dapat menyebabkan
penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka diperlukan perbaikan keadilan
bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakatpun
dilibatkan. Program restorative justice ini memungkinkan korban, pelaku (anak
nakal) dan komunitas masyarakat terlibat langsung dalam merespon kenakalan
anak yang mengarah pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan (anak nakal),
ganti rugi bagi korban dan partisipasi oleh korban, pelaku dan masyarakat.
Proses pemulihan dilakukan oleh Forum Musyawarah Pemulihan Anak
(FMPA) yang merupakan perwakilan dari masyarakat untuk merumuskan
langkah-langkah penyelesaian kasus anak nakal.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka pemikiran sebagai berikut :
25
Kerangka Pemikiran
Kinerja Anggota
FMPA
- Motivasi
- Pemahaman
tentang hak anak
- Pengalaman
Kinerja Inisiator
FMPA
- Unicef Jabar
- LPA Jabar
- LSM Saudara
Sejiwa
Kinerja FMPA
( Forum
Musyawarah
Pemulihan Anak )
- Musyawarah
(dialog)
- Relationship
building
(membangun
hubungan)
- Pemulihan dan
ganti rugi
Hasil
================
1. Kepuasan
masyarakat
2. Kepuasan keluarga
pelaku
3. Kepusan keluarga
korban
Partisipasi dan
Tanggapan
Masyarakat dan
Institusi Lokal
(DKM,. LPM,
Karang Taruna,
PKK)
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
26
BAB III. METODOLOGI KAJIAN
3.1. Metode Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan studi
kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan pada latar alamiah. Fenomena
sosial dalam pandangan kualitatif dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri
sendiri, bersifat dinamis dan penuh makna (Sugiyono, 2007).
Lebih lanjut
Sugiyono (2007) mendefinisikan sebagai berikut :
”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian berlandaskan pada
filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengunpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa metode penelitian
kualitatif merupakan metode penilitian yang didasarkan pada setting lapangan
secara alamiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara induktif, dimana
hasil pengamatan tentang relaitas sosial yang khusus kemudian dikembangkan
memjadi gagasan umum dan teori. Dalam penelitian kualitatif realitas sosial
tergantung pada bagaimana pengalaman orang dalam kehidupannya dan
bagaimana pengalaman tersebut dimaknai.
Strategi yang digunakan pada kajian ini adalah studi kasus karena studi
kasus menggunakan pertanyaan-pertanyaan ’bagaimana’ dan ’mengapa’ lebih
ekspalanatori. Hal ini disebabkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini berkenaan
dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan
bukan sekedar frekuensi atau kemunculan.
Hal ini tidak bisa mengandalkan
survey atau telaah rekaman arsip melainkan harus menyelenggarakan apa yang
disebut dengan analisis histories atau studi kasus, sehingga dengan studi kasus
merupakan instrumental
yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan
penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan.
27
3.2. Teknik Kajian
Jenis Data
Data adalah informasi sahih dan terpercaya yang dibutuhkan untuk
keperluan analisis dalam kajian.
Data yang dipergunakan dalam kajian
lapangan mempergunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh dari informan dan hasil pengamatan di lapangan. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari data statistik, laporan atau
publikasi yang diperoleh dari instansi terkait dan LSM, dan data pendukung
yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, seperti monografi kelurahan, laporan
tahunan dan buku isian potensi serta dokumen lainnya
Data primer bersumber dari anak nakal, keluarga anak nakal, pihak
korban dan anggota Forum Pemulihan yang sudah dibentuk, termasuk juga
pengurus lembaga lokal (LPM, Karang Taruna, DKM, PKK) yang berada di
lokasi kajian. Data primer yang bersumber dari informan diperoleh dari
tokoh formal dan informal, seperti Lurah, perangkat kelurahan, Ketua
RW/RT. Tokoh informal yang dijadikan informan dalam kajian ini adalah
tokoh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah anak nakal
seperti Ketua LSM Saudara Sejiwa, guru, dan ulama/ustad.
Cara Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan dalam kajian adalah data primer dan
sekunder. Cara pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan teknik
sebagai berikut :
1. Teknik Wawancara Mendalam
Merupakan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan
wawancara yang dilakukan dengan cara temu muka berulang antara
pengkaji dengan informan.
Teknik ini digunakan selain untuk
memperoleh data dan informasi juga untuk mengetahui tanggapan dari
masing-masing pihak tentang permasalahan dan penanganan masalah
anak nakal.
28
2.
Diskusi Kelompok
Merupakan metode pengumpulan data yang biasa terbuka, meluas dan
tidak terkontrol. Menurut Sumarjo dan Saharudin (2004), hasil dari
kegiatan diskusi kelompok digunakan untuk mengevaluasi atau
melengkapi data sebelumnya.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik penelusuran
dokumen, diantaranya dengan melakukan studi kepustakaan (dokumentasi)
terhadap data yang berkaitan dengan kajian. Data tersebut bersumber dari
Unicef Jabar, Lembaga Perlindungan Anak Jabar, instansi terkait dan data
pendukung yang ada di kelurahan seperti monografi kelurahan, daftar isian
potensi kelurahan, laporan tahunan, serta dokumen lain
Cara Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data yaitu data yang tergali dari berbagai sumber
lapangan
dengan
teknik-teknik
penelusuran
dokumen,
wawancara
mendalam, observasi, dan diskusi kelompok seluruhnya direkam dalam
catatan harian.
Data yang terkumpul, dimanfaatkan untuk menjawab
persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian.
Pengolahan dan analisis data berdasarkan kepada analisis data
kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992), dalam menganalisis data
kualitatif dilakukan tiga jalur analisis yaitu : reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan (Sitorus, dan Agusta., 2004). Melalui reduksi data
maka
dilakukan
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini dilakukan secara terus
menerus selama kajian berlangsung.
Kegiatan yang dilakukan dalam
mereduksi data, melalui; meringkas data, mengkode, mebelusur tema,
membuat gugus-gugus; membuat partisi dan menulis memo.
Melalui
reduksi data tersebut dilakukan penajaman, penggolongan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil.
29
3.3. Metode Penyusunan Program
Program yang sudah ada diperbaharui dan disusun kembali bersama
dengan masyarakat secara partisipatif, yang didukung dengan hasil dari
praktek I dan II. Pada saat praktek lapangan I dan II telah ada kontak
dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan institusi lokal dan tokoh
masyaraklat serta pihak-pihak lain yang berkompeten yang kemudian
diikutsertakan dalam kegiatan.
Selanjutnya tergantung dari keinginan pengurus institusi lokal dan
tokoh masyarakat dalam hal pemahaman masalah serta penyusunan rencana.
Metode yang akan digunakan dalam penyusunan program adalah metode
Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Analisis Pohon Masalah. Metode
ini digunakan untuk menganalisis situasi, masalah, kebutuhan dan hasil yang
akan dicapai dari proses-proses kajian.
Data yang dianalisa bersama
partisipan dan secara bersama-sama mencari pemecahan atas masalah yang
dihadapi oleh anak nakal
3.4. Prosedur dan Penyajian Data
Kegiatan selanjutnya adalah melakukan penyajian data.
Data
kualitatif yang sudah terkumpul kemudian disusun menjadi susunan data dan
informasi sehingga memberi kemungkinan kepada pengkaji dalam penarikan
kesimpulkan dan pengambilan tindakan. Data tersaji dalam bentuk catatan
lapangan hasil wawancara dan observasi dan dalam bentuk matrik dan
bagan.
Setelah penyajian data, kegiatan selanjutnya adalah melakukan
triangulasi data untuk memperoleh penarikan kesimpulan yang sesuai.
Kesimpulan tersebut juga didasarkan pada peninjauan ulang hasil kajian
dengan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
30
Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan Tahun 2009
No
1.
Tujuan
Jenis Data
Mendeskripsik
an kinerja
FMPA
Mendeskripsik
an proses
pembentukan
FMPA
2.
a.
Mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja FMPA
Mendeskripsik
Teknik Pengumpulan Data
WM DK O W D
Unicef Jabar. LPA v
Jabar, LSM
Saudara Sejiwa,
Anggota FMPA,
Tokoh
masyarakat,
Ketua RT/RW,
Lurah,dan
pengurus institusi
lokal
v
v
Unicef Jabar. LPA v
Jabar, LSM
Saudara Sejiwa,
Anggota FMPA,
Tokoh
masyarakat,
Ketua RT/RW,
Lurah,dan
pengurus institusi
lokal
- perkembangan forum
Unicef Jabar. LPA v
- proses musyawarah forum
Jabar, LSM
- proses relationship building Saudara Sejiwa,
- proses pemulihan dan ganti Anggota FMPA,
rugi
Tokoh
masyarakat,
Ketua RT/RW,
Lurah,dan
pengurus institusi
lokal
v
v
v
v
- latar belakang/potret buram
penanganan anak nakal
melalui jalur hukum
- kasus penahanan dan
peradilan terhadap anak
nakal di wilayah Bapas
Klas I Bandung
- pembentukan restorative
justice di Kota Bandung
- pembentukan FMPA di
Kelurahan Pasanggrahan
Mendeskripsik - Langkah awal
an kinerja
pembentukan restorative
”restoratif
justice di Kota Bandung
justice” di Kota - pembentukan working
Bandung
group dan supporting
group
- hasil kerja working group
dan supporting group
Mendeskripsik
an kinerja
FMPA di
Kelurahan
Pasanggrahan
Sumber
Data
- Motivasi
- Anggota FMPA
v
v
31
an kinerja
anggota FMPA
b.
c.
3.
- Pemahaman tentang hak
anak
- Pengalaman
Mendeskripsik - Latar belakang dilaksanaan peranan
kannya restorative justice
inisiator FMPA - Tujuan program restorative
dan programjustice
- Sasaran kegiatan restorative
programnya:
Unicef Jabar,
justice
LPA Jabar dan - Mekanisme dan strategi
LSM Saudara
pelaksanaan restorative
Sejiwa
justice
- Metode restorative justice
- Waktu kegiatan restorative
justice
- Sumber pendanaan restorative justice
- Pelaksana restorative justice
- Pelaksanaan kegiatan
restorative justice mulai
proyek sampai sekarang
Mengetahui
- Keterlibatan masyarakat
partisipasi &
dalam menangani anak
nakal
tanggapan
masyarakat dlm - Stigma yang ada di
penanganan
masyarakat terhadap anak
anak nakal
nakal
melalui
restorative
justice
Melakukan
- Bagaimana proses musyaevaluasi
warah (dialog) dilakukan
program
- Bagaimana menciptakan
restorative
relationship building
justice di
(membangun hubungan)
Kelurahan
antara korban, pelaku,&
Pasanggrahan
masyarakat
- Bagaimana proses
pemulihan dilakukan
- Bagaimana proses ganti
rugi dilaksanakan
v
- Pengurus
Unicef Jabar,
LPA Jabar dan
LSM saudara
Sejiwa
v
Tokoh
masyarakat
(Guru, Ketua
RT/RW, Lurah,
Pengurus kelembagaan lokal) &
masyarakat
(pihak yg prnh
mjd korban)
Unicef Jabar. LPA v
Jabar, LSM
Saudara Sejiwa,
Anggota FMPA,
dan pengurus
institusi lokal
v
v
v
v
v
v
32
4.
Penyusunan
aksi
pengembangan
masyarakat
dalam
peningkatan
kapasitas
FMPA
- Identifikasi potensi
- Identifikasi masalah
- Identifikasi kebutuhan
- Analisis pohon masalah
- Rancangan program
- Program pengembangan
masyarakat
- Anak nakal dan
keluarganya
- Pengurus FMPA
- Pengurus
Institusi Lokal
- Masyarakat
FGD
Keterangan:
WM
O
D
DK
W
FGD
: Wawancara mendalam
: Observasi
: Dokumentasi
: Diskusi Kelompok
: Wawancara
: Focus Group Discussion
33
BAB IV. PETA SOSIAL
MASYARAKAT KELURAHAN PASANGGRAHAN
Kelurahan Pasanggrahan adalah salah satu kelurahan yang ada di
Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung yang memiliki luas kurang lebih 200
hektar. Disebelah utara Kelurahan Pasanggrahan berbatasan dengan Kelurahan
Ciporeat Kecamatan Cilengkrang, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan
Cipadung, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pasir Jati dan sebelah timur
berbatasan dengan Kelurahan Palasari Kecamatan Cibiru.
Kelurahan Pasanggrahan termasuk dalam kategori daerah perkotaan,
dimana lokasinya berada di pusat kota Ujung Berung dengan aktivitas ekonomi
yang tinggi serta orbitasi yang sangat pendek ke pusat-pusat ekonomi dan hiburan.
Untuk mencapai Kelurahan Pasanggrahan sangat mudah, hal ini dikarenakan
akses jalan yang baik dan mudahnya sarana transportasi seperti mobil angkutan
kota (angkot) dan ojeg.
Kelurahan Pasanggrahan memiliki pusat ekonomi tradisional seperti pasar
tradisional Ujung Berung serta pusat perbelanjaan modern seperti Mini Market
Yomart. Secara administratif, wilayah Kelurahan Pasanggrahan terbagi menjadi
14 rukun warga (RW) dan 61 rukun tetangga (RT) dengan jarak pemukiman yang
padat.
4.1. Kondisi Demografi dan Kependudukan
4.1.1. Kependudukan
Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 2.
34
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2008
Jenis Kelamin
No
Golongan
L
P
Jumlah
Persen
Umur
1
0 – 4 th
261
258
519
2,04
2
5 – 9 th
503
571
1.074
4,23
3
10 – 14 th
794
952
1.746
6,87
4
15 – 19 th
1.056
1.122
2.178
8,57
5
20 – 24 th
1.069
1.055
2.124
8,36
6
25 – 29 th
1.017
942
1.959
7,71
7
30 – 34 th
908
805
1.713
6,74
8
35 – 39 th
907
751
1.658
6,53
9
40 – 44 th
990
865
1.855
7,30
10
45 – 49 th
1.076
901
1.977
7,78
11
50 – 54 th
1.127
1.087
2.214
8,72
12
55 – 59 th
1.118
1.155
2.273
8,95
13
60 – 64 th
1.089
1.100
2.189
8,62
14
65 – keatas
1.056
852
1.908
7,51
12.791
12.416
25.387
100,0
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian terbesar penduduk adalah
golongan usia kerja (25 sampai 59 tahun) sebesar 53,73 persen, Usia remaja (15
sampai 19 tahun) sebesar 8,57 persen, Usia tua dan lanjut usia (lebih dari 60
tahun) sebesar 16,13 persen, Usia balita sebesar 2,04 persen. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 3.
35
Gambar 3. Piramida penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujungberung Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Tahun 2008
Piramida penduduk Kelurahan Pasanggrahan berbentuk khas. Piramida
ini menggambarkan karakteristik kelompok usia muda paling kecil, kemudian
membesar dan terjadi lekukan-lekukan, kemudian melebar lagi pada kelompok
usia tua. Kondisi ini menggambarkan kelompok usia sekolah dan kerja yang
tinggi artinya bahwa di Kelurahan Pasanggrahan
merupakan suatu kawasan
pendidikan, perkantoran dan tempat untuk berbisnis, sedangkan kelompok remaja
yang berusia antar 15 sampai 19 tahun cukup menonjol. Hal ini memperlihatkan
bahwa perlu penanganan yang serius pada kelompok ini khususnya dalam
pencegahan terjadinya kenakalan mengingat remaja (generasi muda) merupakan
ujung tombak dalam pembangunan.
a. Penduduk Menurut Agama
Mayoritas masyarakat sunda khususnya di Kelurahan Pasanggrahan
terkenal dengan masyarakat agamis, sehingga tokoh agama juga memiliki tingkat
penghargaan yang tinggi di mata masyarakat seperti ustad dan kyai.
Data penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel 3.
36
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008
No
Agama
Jumlah
Persen
1
Islam
22.977
90,50
2
Kristen Protestan
1.501
5,91
3
Kristen Katolik
535
2,10
4
Budha
85
0,33
5
Hindu
244
0,96
6
Lain-lain
45
0,17
25.387
100
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
b. Penduduk Menurut Kelompok Usia Tenaga Kerja
Data penduduk Kelurahan Passanggrahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja
Tahun 2008
No
Usia Tenaga Kerja
Jumlah
Persen
1
10 – 19 tahun
3924
16,49
2
20 – 29 tahun
4083
17,15
3
30 – 39 tahun
3371
14,16
4
40 – 49 tahun
3832
16,10
5
50 – 59 tahun
4487
18,85
6
60 tahun >
4097
17,21
23.794
100,00
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
Tabel tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar 52,16 persen
penduduk berada pada kelompok usia tenaga kerja 40 tahun keatas dan sebesar
37
31,31 persen berada pada kelompok usia tenaga kerja 20 sampai 39 tahun.
Kelompok anak-anak yaitu antara 10 sampai 19 tahun mencapai 16,49 persen,
sehingga perlunya penanganan yang serius agar mereka tidak terlibat dalam
kenakalan remaja
c. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Data penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum
Tahun 2008
No
Pendidikan
Umum
Jenis Kelamin
L
P
Jumlah
Persen
1
Belum Tamat SD
764
829
1.593
6,27
2
Tidak tamat SD
919
984
1.903
7,49
3
Tamat SD
1.368
1.454
2.822
11,11
4
SLTP
2.711
2.865
5.576
21,96
5
SLTA
7.200
5.864
13.064
51,45
6
Akademi
876
822
1.698
6,68
7
Sarjana
1.195
1.012
2.207
8,69
12.791
12.416
25.387
100,00
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang berpendidikan
Perguruan Tinggi sebesar 15,37 persen dan berpendidikan SLTA sebesar 51,45
persen. Hal ini merupakan modal sumber daya manusia yang sangat potensial
dalam menangani permasalahan sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan
khususnya penanganan terhadap anak yang melakukan kenakalan.
d. Pendidikan Khusus
Data pendidikan khusus dapat dilihat pada Tabel 6.
38
Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus
Tahun 2008
No
Pendidikan Khusus
Jumlah
Persen
1
Pondok Pesantren
128
6,41
2
Madrasah
338
54,46
3
Kursus
271
39,13
737
100,00
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa selain pendidikan umum terdapat juga
yang berpendidikan khusus berupa pendidikan dari pondok pesantren, Seluruhnya
berjumlah 737 orang yang sebagian besar (54,46 persen) adalah lulusan dari
madrasah. Pendidikan khusus ini merupakan alternative yang tepat khususnya
bagi anak yang melakukan kenakalan karena dari sisi keagamaan didalam
pendidikan khusus seperti pesantren lebih dititik beratkan dalam kurikulumnya
sehingga anak tidak melakukan kenakalan.
e. Penduduk Menurut Mobilitas / Mutasi Penduduk
Data penduduk menurut mobilitas/mutasi penduduk terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung
Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk
Tahun 2008
No
Mutasi Penduduk
Jenis Kelamin
L
P
Jumlah
1
Lahir
21
27
48
2
Meninggal
5
3
8
3
Pendatang
12
17
29
4
Pindah
7
8
15
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
39
Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa penduduk yang pendatang ke
Kelurahan Pasanggrahan lebih besar daripada penduduk yang pindah. Hal ini
bias dimaklumi karena Kelurahan Pasanggrahan merupakan daerah yang dekat
dengan pusat pemerintahan sehingga banyak pendatang yang datang dan menetap
di Kelurahan Pasanggrahan .
4.2. Sistem Ekonomi
Mata pencaharian pokok penduduk terbesar adalah pegawai swasta disusul
pegawai negeri sipil dan urutan ketiga adalah pedagang baik pedagang kecil
maupun pedagang dengan omset yang besar. Pegawai Negeri Sipil adalah pegawai
pada kantor-kantor pemerintahan baik pusat maupun daerah, lembaga-lembaga
pendidikan baik sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas maupun
perguruan tinggi. Sedangkan sektor swasta meliputi para pegawai yang bergerak
dalam usaha jasa maupun pelayanan yang ada di kota Bandung, kemudian
pedagang sebagian besar adalah pedagang dalam skala menengah dan kecil
ataupun sektor informal. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat
dan pengamatan di lapangan, banyak penduduk yang bekerja di sektor informal
ini yaitu warung kelontongan, berjualan makanan keliling, sopir angkot, tukang
sayur keliling dan lain-lain.
Berkaitan dengan sumber daya lokal yang berpengaruh pada tingkat
perekonomian lokal masyarakat Ujung Berung adalah pemilikan lahan serta
rumah yang dijadikan sektor mata pencaharian, baik pokok maupun tambahan
berupa rumah/kamar kontrakan, terutama disekitar terminal dan pasar. Data tidak
tertulis menurut penuturan Sekretaris Kelurahan Pasanggrahan
Kelurahan Pasanggrahan
bahwa di
terdapat lebih kurang 5.000 kamar kontrakan yang
menyebar dari mulai RW 01 sampai dengan RW 14. Hasil dari kontrakan/sewa
kamar tersebut yang menjadi sumber daya lokal bagi masyarakat di Kelurahan
Pasanggrahan.
Klasifikasi kamar yang disewa bervariasi mulai dari yang
sederhana sampai yang lengkap fasilitas yang disediakan.
Banyaknya kamar
sewaan ini disebabkan letak lokasi Kelurahan Pasanggrahan yang sangat dekat
40
dengan
pusat
kegiatan
baik
ekonomi,
pendidikan,
pemerintahan
dan
hiburan/rekreasi
Kegiatan ekonomi secara umum di Kelurahan Pasanggrahan bervariasi,
mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar, kesemuanya menyebar di
sekitar Jalan Ujung Berung yang membentang dari Utara ke Selatan. Kegiatan
ekonomi skala besar misalnya usaha salon, apotik, toko bangunan dan toko
swalayan.
Usaha skala menengah seperti toko keperluan sehari-hari dari mulai
sebelah utara sampai selatan jalan Ujung Berung, tempat penyewaan internet,
penjahit, foto copy, foto studio dan rumah makan.
Sedangkan usaha kecil termasuk dikalangan sektor informal adalah
pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang ojeg, pedagang keliling dan
sebagainya yang menjual aneka macam barang dan jasa keperluan hidup seharihari yang biasanya menempati areal sekitar Terminal Ujung Berung, Pasar Ujung
Berung, disekitar perkantoran pemerintah, perusahaan, sekolah dan tempat
keramaian lainnya. Usaha ini tersebar disepanjang jalan Ujung Berung maupun
jalan dan gang-gang kecil disemua wilayah Kelurahan Pasanggrahan .
Keterkaitan ekonomi lokal dengan kegiatan ekonomi lebih luas dapat
digambarkan bahwa berbagai macam barang dagangan, bahan mentah, peralatan
dan sarana kerja dapat diperoleh dari sekitar Kelurahan Pasanggrahan .
4.3. Struktur Komunitas
a. Pelapisan Sosial
Penduduk Kelurahan Pasanggrahan berdasarkan pelapisan sosial masyarakat
dapat digambarkan melalui :
1) Status Ekonomi
Status sosial ekonomi dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki
yaitu dapat diketahui melalui kepemilikan rumah dan lokasi rumah, kemudian
tingkat pendidikan dapat diketahui melalui profesi atau pekerjaan setelah itu
menyusul ukuran keaktifan dalam masyarakat.
Kelurahan Pasanggrahan terdiri atas kompleks perumahan mewah, rumah
dipinggir Jalan Ujung Berung dan rumah – rumah di pinggiran jalan-jalan
41
kampung serta rumah-rumah didalam perkampungan atau gang-gang.
Kepemilikan rumah dan lokasi rumah secara sosial ekonomi merupakan
lapisan atas masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, selanjutnya pekerjaan
sebagai
pengusaha,
pejabat
struktural
di
instansi
pemerintah,
pegawai/karyawan swasta yang karena kedudukan, tingkat pendidikan dan
kepemilikan/kekayaan berada pada lapisan sosial ekonomi menengah dan
atas. Struktur sosial tinggi juga diberikan kepada para tokoh masyarakat dan
tokoh agama yang cukup berpengaruh di dalam masyarakat.
Walaupun
kekayaan, jabatan, pendidikan menjadi ukuran dalam menentukan pelapisan
sosial dalam masyarakat, namun proses interaksi sosial dalam batas-batas
tertentu dalam kehidupan sehari-hari dapat berlangsung. Hubungan mereka
dalam aktivitas kemasyarakatan misalnya pengajian, gotong royong,
keamanan, dan ketertiban lingkungan relative cukup akrab. Tetapi secara
ekonomi jelas tetap kesenjangan yang lebar diantara lapisan sosial atas dan
bawah ini, dan biasanya anak – anak (remaja) yang berasal dari lapisan sosial
paling bawah relative lebih banyak melakukan kenakalan seperti kasus
pencurian. Biasanya mereka mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
karena tidak terpenuhi dengan layak oleh orang tuanya.
2) Kepemimpinan
Pemimpin formal diwilayah Kelurahan Pasanggrahan adalah mereka
yang termasuk aparat pemerintahan di kelurahan termasuk Ketua RW dan
Ketua RT. Sementara pemimpin informal adalah tokoh masyarakat dalam
bidang
agama
dan
yang
banyak
bergerak
dalam
bidang
sosial
kemasyarakatan.
Kepatuhan warga terhadap pemimpin formal pada umumnya
menyangkut pada peraturan pemerintah seperti prosedur dalam pengurusan
surat-surat sejak dari ketua RT sampai di Kantor Kelurahan atau kecamatan.
Biasanya hal ini menyangkut
tentang kependudukan, peraturan tentang
ketertiban dan keamanan lingkungan.
Pemimpin formal sangat berperan
sekali dalam menangani anak yang melakukan kenakalan, karena biasanya
42
apabila ada kejadian anak yang melakukan tindak pidana, warga masyarakat
sering melaporkan terlebih dahulu kepda ketua RT / RW setempat sebelum
diproses secara hukum (diserahkan kepada pihak Kepolisian).
Sementara kepatuhan masyarakat terhadap pemimpin informal lebih
karena pengaruh dari pribadi tokoh yang bersangkutan sehubungan dengan
peran serta (kiprah) dari pemimpin informal tersebut. Tokoh agama akan
didengar perkatannya oleh warga masyarakat apabila menyangkut bidang
keagamaan, demikian juga seorang guru memberikan saran/pandangan
tentang masalah pendidikan akan diperhatikan oleh masyarakat. Peranan
Ustad memegang peranan dalam mendidik mental dan keagamaan terhadap
anak-anak, apabila seorang anak mempunyai akhlak yang baik sesuai
tuntunan ajaran agama, maka diharapkan mereka tidak akan melakukan
kenakalan
b. Organisasi dan Kelembagaan
Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan
adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan
Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008
No
Lembaga Kemasyarakatan
Jumlah
1
Mesjid dan Mushola
26
2
Taman Kanak-Kanak
10
3
Sekolah Dasar
5
4
Sekolah Menengah Tingkat Pertama
2
5
Pondok Pesantren
1
6
Madrasah
1
7
Toko dan supermarket
5
8
Warung
9
Pos Yandu
14
10
Balai Pengobatan
2
1200
Sumber : Profil Kelurahan Pasanggrahan 2008
43
Lembaga Kemasyarakatan tersebut dalam konteks pengembangan masyarakat
maupun praktek pekerjaan sosial merupakan system sumber kemasyarakatan
yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pemecahan
masalah sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan .
Kelembagaan menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur
perilaku warga masyarakat yaitu bagaimana norma-norma atas segala tindakan
terhadap pemenuhan kebutuhan pokok manusia.
Berikut ini kelembagaan yang ada pada Kelurahan Pasanggrahan
dapat
digambarkan sebagai berikut :
1) Kelembagaan kekerabatan
Norma-norma yang ada secara turun temurun dan sebagian masih
dipegang oleh masyarakat sifatnya telah membaur antara tradisional,
modern dan keagamaan. Misalnya kelompok pengajian, forum warga dan
kegiatan arisan warga.
2) Kelembagaan ekonomi
Kelembagaan ekonomi pada masyarakat
di Kelurahan
Pasanggrahan
dapat terlihat dengan adanya Koperasi simpan pinjam yang hampir
disemua RW mempunyai Koperasi simpan pinjam
3) Kelembagaan kemasyarakatan
Keyakinan masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan terhadap agama yang
mayoritas bergama islam. Nilai dan norma pada aspek keagamaan ini ada
dan terpelihara dengan baik pada masyarakat. Adanya acara selamatan
(syukuran), pengajian, tahlilan dan lain-lain. Kelembagaan keagamaan ini
diwujudkan dalam bentuk organisasi keagamaan seperti DKM (Dewan
Keluarga Mesjid) dan Kelompok Majlis Ta’lim
4) Kelembagaan pendidikan
Norma dan nilai akan pentingnya pendidikan pada masyarakat relative
cukup kuat. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai perhatian
yang cukup besar dan mengerti akan pentingnya pendidikan.
Salah
satunya melalui Bawasa (Bantuan beasiswa untuk anak-anak yang orang
44
tuanya tidak mampu) yang memberikan bantuan untuk biaya sekolah bagi
anak-anak yang ada di Kelurahan Pasanggrahan .
5) Kelembagaan politik
Masyarakat menghargai kebebasan dalam berpolitik.
Keadaan ini
tercermin pada kegiatan Pemilu dan menjelang pemilihan Gubernur Jawa
barat tahun 2008.
Masyarakat mengikutinya
dengan baik tanpa ada
pertentangan yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Secara keseluruhan lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut merupakan
suatu jejaring sosial masyarakat masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan.
Kelurahan Pasanggrahan merupakan gambaran kehidupan masyarakat
perkotaan dengan sifat kekerabatan cenderung mengarah pada bentuk keluarga
batih (inti).
Proses penanaman norma dan nilai (terutama pada anak) yang utama
adalah lembaga keluarga sebagai kelompok primer
yaitu orang tua.
Keberadaan orang tua bagi anak-anaknya sangat penting. Anak menjadi nakal
pada awalnya diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam membina dan
mendidiknya, biasanya orang tua yang kurang memberikan perhatian dan
pengawasan akan menyebabkan anak menjadi nakal. Sehubungan dengan
tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mencari nafkah, maka proses
sosialisasi seringkali diserahkan kepada institusi di luar keluarga terutama
sekolah formal dan taman pendidikan Al’Quran (TPA).
Hal ini akan
membantu pihak orang tua dalam menanamkan nilai-nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat.
Pola hubungan antara warga yang cenderung mengarah pada pola
individualistik sehingga dalam melakukan aktivitas hidup (ekonomi) seharihari sesuai dengan kepentingan masing-masing secara rutin. Aktivitas hidup
sehari-hari cenderung terjadwal seperti berangkat kerja, waktu kerja, pulang
kerja, dan waktu istirahat.
Mengacu pada proses sosialisasi yang cenderung berlangsung di
masyarakat
Kelurahan
Pasanggrahan, maka muncul perkumpulan-
45
perkumpulan
berdasarkan
jenis
dan
minat/hobi, asal daerah dan lain-lain.
lingkungan
kerja,
kepentingan,
Sehubungan dengan hal itu di
Kelurahan Pasanggrahan banyak terdapat kelompok pengajian yang ada di
setiap RW, sarana olah raga seperti lapangan sepak bola 2 buah, lapangan
basket 2 buah, lapangan volley ball 2 buah, lapangan bulutangkis 1 buah,
sanggar senam 3 buah dan lain-lain. Adanya kelompok pengajian disetiap RW
merupakan modal sosial untuk menekan tingkat kenakalan pada anak,
demikian juga adanya lapangan olahraga dapat dijadikan ajang kreativitas
anak-anak sehingga minat dan bakatnya dapat tersalurkan dengan baik,
sehingga anak-anak dapat berprestasi.
Di Kelurahan Pasanggrahan terdapat berbagai kelompok sosial baik
dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial maupun budaya.
Kelompok-kelompok sosial dalam struktur sosial masyarakat yaitu kelompok
sosial ekonomi atas, menengah dan bawah, namun setiap kelompok
melakukan aktifitas rutinnya masing-masing serta tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Proses hubungan antar kelompok yang terjadi cenderung
kearah hubungan kerjasama. Konflik sosial dan berbagai bentuk pertentangan
sebagai sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Kelompok sosial yang ada di Kelurahan Pasanggrahan
dibangun
berdasarkan minat ketertarikan dan sentiment anggota-anggota kelompok
seperti kelompok arisan, kelompok pengajian, kelompok UP2KP-PKK,
sedangkan organisasi sosial dibangun lebih pada ketertarikan memiliki
identitas kolektif, adanya aturan-aturan dan kepengurusan seperti PKK,
Karang Taruna, LPM dan kelembagaan lokal lainnya.
Organisasi dan kelembagaan ini apabila diarahkan dan digunakan secara benar
akan menjadi kelembagaan yang dapat memecahkan permasalahan sosial yang
ada seperti penanganan terhadap anak-anak yang melakukan kenakalan.
Karena itu melibatkan kelembagaan lokal dalam penanganan anak nakal
sehingga tidak akan berhadapan dengan hukum menjadi suatu keharusan agar
penanganannya lebih komprehensif.
46
c. Sumberdaya Lokal
Keberadaan penduduk di Kelurahan Pasanggrahan
tidak dapat
dipisahkan dengan keberadaan alam sekitarnya. Demikian juga permasalahan
masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan berkaitan dengan permasalahan alam
sekitarnya.
Permasalahan anak nakal sehingga akan berhadapan dengan
proses berhubungan dengan lingkungan (alam sekitarnya)
Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan merupakan system
antara
aspek ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi satu kesatuan yang utuh.
Jenis latar belakang pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan dan jenis
pekerjaan menentukan tingkat pendapatan akan menentukan tingkat
pemenuhan kebutuhan hidup, demikian seterusnya sehingga keadaan
ekonomi menentukan posisi status sosial dalam masyarakat.
Masyarakat Kelurahan Pasanggrahan yang menempati posisi status
sosial ekonomi atas cenderung memperoleh peluang yang besar dalam
memanfaatkan ekosistem seperti lingkungan yang bersih, air bersih, sanitasi
yang baik sehingga berpeluang menikmati
kesehatan yang optimal,
sebaliknya kelompok bawah berada dalam lingkungan yang padat, sempit,
peluang penguasaan sumber daya agraria relatif rendah sehingga rentan
terhadap berbagai masalah ekologis seperti rumah yang kumuh, sempit, tidak
tersedia sarana air bersih, tidak ada sarana bermain untuk anak, sehingga
rentan terjadinya kenakalan anak
d. Sistem penguasaan sumber daya agraria
Kelurahan Pasanggrahan secara topografi termasuk dataran tinggi dan
termasuk kawasan wisata sehingga harga tanah sangat tinggi. Daerah-daerah
tertentu yang dijadikan komplek perumahan menjadi kawasan real estate.
Peluang untuk membeli dan memiliki rumah di kawasan real estate adalah
kelompok penduduk menengah ke atas, demikian juga tanah pekarangan di
sepanjang Jalan Ujung Berung adalah tanah pekarangan yang bernilai
ekonomi tinggi dengan harga yang mahal.
Oleh karena itu kelompok
penduduk yang berstatus sosial ekonomi bawah sangat kecil sekali peluang
47
untuk membeli dan memiliki tanah pada kawasan bernilai sosial ekonomi
tinggi. Kelompok masyarakat miskin secara alamiah akan tersisihkan dan
bermukim pada kawasan padat hunian. Akibatnya timbul kecemburuan sosial
antara golongan atas dan golongan bawah yang akan mengarah pada
kesenjangan ekonomi kaya dan miskin, sehingga berpeluang terjadinya
kenakalan pada anak-anak yang miskin.
e. Tekanan penduduk
Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan sebagian besar bermata
pencaharian sebagai pegawai swasta 27,35 persen kedua adalah pegawai
negeri sipil
25,33 persen disusul oleh dagang sebesar 23,07 persen.
Sedangkan sektor pertanian sangat kecil sekali mengingat sudah tidak
tersedianya lagi lahan untuk pertanian. Kelurahan Pasanggrahan adalah
daerah perkotaan sehingga kehidupan masyarakat tidak ditentukan oleh hasil
pertanian. Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan tidak lagi tergantung pada
“daya dukung internal” berupa tanah sawah pertanian, tetapi lebih dinamis
lagi tergantung pada daya dukung eksternal yaitu berupa sumber daya yang
berada di luar wilayah Kelurahan Pasanggrahan .
4.4. Masalah Komunitas
Kelurahan Pasanggrahan
aktivitas ekonomi.
merupakan wilayah yang dekat dengan
Adanya fasilitas seperti
Pasar dan tempat hiburan
disamping memberikan kemudahan bagi masyarakat sekitar juga memberikan
dampak negatif. Keberadaan fasilitas tersebut memberikan daya tarik bagi
masyarakat luar untuk datang ke wilayah Ujung Berung.
Meningkatnya
jumlah penduduk dan menyempitnya lahan pemukiman yang ada karena
dipakai untuk perumahan real estate dan ajang bisnis menimbulkan
permasalahan sosial tersendiri bagi wilayah Ujung Berung. Migrasi penduduk
luar ke wilayah Pasanggrahan tidak saja menyempitkan lahan-lahan
pemukiman dan persaingan memperoleh pekerjaan tetapi menimbulkan pula
48
konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh
adanya ketimpangan
kesempatan.
Masalah lain yang ada di Kelurahan Pasanggrahan adalah masalah
kemiskinan dan pemukiman tidak layak huni. Hal ini terlihat dari data di
Kelurahan Pasanggrahan bahwa penduduk yang seharusnya mendapatkan
bantuan beras Raskin adalah 534 KK, tetapi baru 260 KK yang dapat
dipenuhi.
Secara sosial masalah-masalah tersebut dapat berkontribusi untuk
terjadinya masalah-masalah sosial lainnya seperti terjadinya kenakalan pada
anak, perilaku kekerasan dan tindakan kriminalitas sehingga menjadi tidak
aman. Khusus masalah kenakalan yang terjadi pada anak-anak di Kelurahan
Pasanggrahan
volumenya
meningkat
sehingga
diperlukan
upaya
pencegahannya dengan melibatkan berbagai pihak dan melibatkan masyarakat
secara keseluruhan.
49
BAB V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH
PEMULIHAN ANAK
5.1. Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justive di Kota Bandung
5.1.1.
Proses Pembentukan
5.1.1.1. Potret Buram Penanganan Anak Nakal
Perlakuan terhadap anak nakal di Indonesia khususnya di Kota Bandung
sampai hari ini masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini ironis, karena
pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan membuat
beberapa perundangan yang berkaitan dengan hak anak, namun dalam prakteknya
tetap memperlihatkan minimnya penghormatan (respect) dan perlindungan
(protect) aparat negara terhadap hak-hak anak. Situasi menuntut upaya-upaya
partisipasi aktif semua pihak tidak hanya pemerintah, agar penanganan kasus
anak-anak yang berkonflik dengan hukum berjalan ke arah yang lebih baik.
Dalam soal anak nakal, kepolisian sebagai penyidik menjadi institusi
penting untuk intensif didorong dan dituntut agar perilaku mereka ramah terhadap
anak. Proses penyidikan di kepolisian menentukan apakah seorang anak nakal
akan diproses pada tingkat selanjutnya atau tidak. Pada beberapa pertemuan
dengan penyidik, tampak bahwa pengetahuan dan pemahaman mereka tentang
hak anak masih sangat kurang. Indikasinya mereka kebanyakan belum pernah
membaca Konvensi Hak Anak (KHA), hanya KUHP yang menjadi pegangan
utama mereka dalam menyidik anak nakal dan sedikit mengadopsi UU No. 3
tahun 1997 khususnya tentang masa penahanan dan perlunya Litmas (Penelitian
Kemasyarakatan) dari Bapas. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan penyidik
cenderung menyamakan perlakuannya dalam menangani anak nakal, dengan
tersangka dewasa.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997, penyidik yang
menangani anak nakal adalah penyidik yang memiliki Surat keputusan Penyidik
Anak, disamping itu harus memenuhi syarat sebagai berikut : berpengalaman
sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta
50
mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Meskipun
Undang-Undang mengamanatkan demikian, sampai saat ini penyidik yang
memiliki SKEP Penyidik Anak masih sangat minim jumlahnya. Adanya
persyaratan ini tentu dimaksudkan agar penanganan anak nakal betul-betul
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, anak-anak yang menjalani
pemeriksaan sebagai tersangka sudah pasti mengalami ketakutan yang luar biasa.
Trauma psikologis ini akan diperparah jika perlakuan yang diberikan oleh
penyidik tidak berbeda seperti halnya ia menangani tersangka dewasa.
Di kalangan penyidik, seorang tersangka dewasa cenderung selalu
ditempatkan sebagai residivis kambuhan, hal ini terjadi pula dengan tersangka
anak-anak. Kalau mencermati pertanyaan-pertanyaan penyidik, stigmatisasi itu
sangat kuat. salah satu indikatornya adalah pertanyaan-pertanyaan penyidik selalu
mengarahkan tersangka untuk mengakui bahwa ini bukan perbuatan yang pertama
kali. Selain itu juga masih terjadi praktek-praktek pemaksaan terhadap anak untuk
mengakui sesuatu yang dikehendaki penyidik, misalnya pengakuan dibawah ini :
”... sebenarnya saya hanya berniat jalan-jalan dengan kendaraan
bermotor bersama dengan teman-teman yang lain, dan ketika itu
saya melihat didepan saya ada keributan, tidak lama kemudian
datang mobil patroli polisi dan saya ditangkap, ketika dikantor
kepolisian saya disuruh mengaku telah melakukan pemukulan
terhadap korban, padahal saya sama sekali tidak tahu, tetapi
polisi memaksa terus pada saya sambil memukul, menampar dan
menyulut paha saya dengan rokok, karena tidak tahan akhirnya
saya mengakui aja dan ketika disodori kertas untuk ditanda
tangan, saya langsung mennandatanganinya tanpa bertanya lagi
karena takut difisik lagi”
(Gm, mantan napi anak)
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa penyidik
wajib memeriksa tersangka dengan suasana kekeluargaan, dan pada waktu
pemeriksaan agar anak didampingi oleh orang tua atau keluarga serta sebisa
mungkin menghadirkan juga penasihat hukum. Sebetulnya perlakuan-perlakuan
yang tidak ramah terhadap anak, apalagi sampai terjadi penyiksaan, tidak perlu
lagi terjadi. Sejumlah instrumen hukum internasional memberikan koridor bahwa
51
penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang
diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
Dalam Pasal 37 huruf (b) Konvensi Hak-hak Anak disebutkan :
”Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak
sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai
upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Namun faktanya, melakukan penahanan terhadap anak masih menjadi langkah
kebanyakan yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum ketimbang tidak
menahan. Alasan penahanannya pun hanya berupa alasan formal sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP), yaitu tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Sementara, Pasal 45 UU RI No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
menyebutkan :
(1) Penahanan
dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan
masyarakat
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang
dewasa
(4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak
harus tetap dipenuhi
Pada sebuah pelatihan penyidik anak yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Jabar pada tahun 2004, diawal acara dilontarkan dua
pertanyaan kepada 20 orang peserta dan harus dijawab dengan cepat, pertama, jika
seorang anak melakukan tindak pidana, apakah anak tersebut harus dilakukan
penahanan? Kedua, jika anak mereka melakukan tindak pidana, apakah setuju
jika dilakukan penahanan? Untuk jawaban yang pertama 17 orang mengatakan
setuju dan hanya 3 orang yang tidak setuju, sebaliknya untuk jawaban yang kedua,
seluruh peserta menyatakan tidak setuju. Gambaran tersebut memperlihatkan
kontradiksi terhadap kenyataan penanganan anak nakal di tingkat penyidik.
52
Pada kenyataannya perlu tidaknya seorang anak ditahan bukan didasari oleh
penghormatan terhadap tersangka anak, akan tetapi lebih pada kedekatan fisik dan
kekerabatan. Penahanan seolah-olah menjadi kewajiban penyidik, padahal di
dalam KUHAP, seseorang tersangka tidak harus selalu dilakukan penahanan
kecuali pada situasi tertentu yang memang mengharuskan adanya penahanan.
Penahanan bagi anak kadang juga mengakibatkan cedera fisik, psikis
dan sosial. Cedera fisik biasanya terjadi akibat penganiayaan oleh sesama tahanan
karena anak dicampur dengan tahanan dewasa. Di ruang tahanan, anak-anak
seringkali menjadi objek kekerasan fisik, bahkan kekerasan seksual oleh tahanan
dewasa, seperti yang diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut :
”.. selama di Polsek saya ditahan bersama tahanan dewasa sebanyak 15
orang, oleh sesama tahanan yang sudah besar saya sering ditendang,
disuruh mijit, disuruh ngepel, disuruh meminta uang dan rokok kepada
keluarga saya yang menjenguk”
(Ags, mantan napi anak)
Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang
layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak-anak mudah tertular
penyakit dari tahanan lain. Cedera yang kedua adalah cedera psikis. Penahanan
membuat anak-anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis.
Sementara itu anak-anak juga beresiko mengalami cedera sosial, sebab anak yang
pernah mengalami penahanan akan sangat
susah diterima oleh masyarakat.
Umumnya masyarakat akan mengucilkan dan memberikan stigma kepada anak
tersebut sebagai orang yang jahat dan perlu dijauhi, seperti diutarakan oleh salah
seorang anak sebagai berikut :
”Setelah keluar dari tahanan selama tiga bulan, hidup saya menjadi
tidak berarti, karena orang tua selalu menyalahkan saya, selain itu saya
malu untuk bermain dengan teman-teman dilingkungan rumah saya
apalagi status saya yang sudah dikeluarkan dari sekolah, sehingga
sehari-hari saya hanya berdiam diri di rumah”
( Dn, mantan napi anak)
53
Menyedihkan melihat kenyataan bahwa praktik penanganan anak oleh
aparat penegak hukum, yang seharusnya mendapat perlindungan lebih daripada
manusia dewasa, tetapi pada kenyataannya masih mengedepankan kekerasan fisik,
bahkan kekerasan emosional pun kerap dialami anak-anak ini. Dn (klien pengkaji)
masih ingat betul bagaimana ketika di ruang sidang pada persidangan pertama,
hakim yang mengadilinya melontarkan kata-kata : ”kamu kecil-kecil jalannya
sudah ke neraka, memeras ...., gimana sudah besar ? mau jadi preman”.
Pemenjaraan/penahanan terhadap anak sebagai sesuatu yang harus
dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum.
Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan
yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dirasakan masih
kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahanan/pemenjaraan
terhadap anak oleh Penyidik (Polisi), Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) maupun
Hakim. Berdasarkan data empiris yang dimiliki oleh Bapas Klas I Bandung
diketahui bahwa pihak Penyidik telah melakukan penahanan terhadap anak
sebesar 91,55 persen dari 367 anak yang disidik selama periode Januari 2007
sampai dengan Desember 2007. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum
di Jawa Barat Tahun 2008
Kota
Jumlah
Persen
Kota Bandung
85
23,16
Kab. Bandung
63
17,16
Kota Cimahi
26
7,08
Kab. Cianjur
16
4,35
Kab. Sukabumi
62
16,89
Kota Sukabumi
12
3,26
Kab. Purwakarta
16
4,35
Kab. Karawang
22
5,99
Kab. Sumedang
17
4,63
54
Kab. Subang
19
5,17
Kab. Garut
29
7,90
Jumlah
367
100
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
Memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa wilayah
Kota Bandung menempati urutan tertinggi dalam jumlah tindak pidana yang
dilakukan oleh anak (remaja). Tingginya jumlah tindak pidana yang dilakukan
oleh anak-anak di Kota Bandung tidak terlepas dari status kota Bandung itu
sendiri sebagai kota besar yang memiliki permasalahan sosial yang kompleks.
Sedangkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya
di Jawa Barat Tahun 2008
Jenis Kenakalan
Jumlah
Persen
Pencurian
189
46,04
Penganiayaan
34
9,26
Pengeroyokan
62
16,89
Asusila (cabul)
31
8,44
Pembunuhan
1
0,27
Narkoba
17
4,63
Lakalantas
8
1,90
Penipuan
2
0,54
Penggelapan
2
0,54
Sajam/Senpi
7
1,90
Perjudian
3
0,81
Tindak Pidana lain
11
2,99
Jumlah
367
100
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
55
Memperhatikan data pada Tabel 10, terlihat bahwa tindak pidana pencurian
menempati urutan tertinggi sebagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Bapas Bandung, para
pelaku jenis tindak pidana pencurian sebagian besar berasal dari masyarakat yang
kondisi sosial ekonominya rendah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi mereka
tercermin dari beberapa hal yaitu rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar
anak, rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar orang tuanya dan rendahnya
penghasilan sebagian besar orang tua.
Bentuk hukuman bagi anak yang melanggar hukum dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim
dalam Sidang Perkara Anak di Jawa Barat Tahun 2008
No
Putusan
1
Pidana Penjara
2
Pidana Bersyarat
3
Anak Dikembalikan Kepada Orang
Jumlah
Persentase
342
93,18
15
4,08
5
1,36
2
0,54
3
0,81
367
100
Tua/Wali
4
Anak Diserahkan Kepada Lembaga
Sosial
5
Anak Negara
Jumlah
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
Memperhatikan data di atas, sebagian besar putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim untuk perkara anak adalah berupa pidana penjara yaitu mencapai angka 93
persen. Penjara, walau bagaimanapun tetaplah penjara, tetap tak layak untuk
pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak. Penjara bukanlah satusatunya tempat hukuman bagi anak, sebab hukuman bagi seorang anak haruslah
mendidik, mensejahterakan dan mendukung tumbuhnya mental dan moral anak
secara optimal.
56
Selama masa penahanan dan pemenjaraan, tak ada tersedia fasilitas
semacam perlengkapan mandi, pakaian atau alas tidur. Baik selama ditahan di sel
tahanan kepolisian maupun di Rumah Tahanan (Rutan), perlengkapanperlengkapan semacam itu hanya diperoleh jika ada pemberian dari orang tua atau
kerabat lainnya yang menjenguk sementara bagi anak yang tidak pernah dijenguk,
mereka harus siap dan mau tidur dilantai tanpa alas.
Di dalam penjara, anak-anak itu justru tidak menjadi sehat baik fisik
maupun fsikisnya, apalagi kondisi penjara (Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah
Tahanan) yang sangat jauh dari menyejahterakan, kondisi ruangan yang tidak
sehat, fasilitas air yang tidak layak, dan tidak adanya proses rehabilitasi selama
anak-anak menjalani masa penahanan dan pemenjaraan. Anak-anak biasa mengisi
waktu dengan bermain gapleh atau catur atau menyendiri di kamar dengan
mengisi buku teka teki silang. Melihat semua itu menjadi bertambah keyakinan
bahwa penjara memang sungguh tidak layak bagi anak.
Dalam kenyataannya kebanyakan anak yang masuk penjara itu lebih banyak
disebabkan oleh kejahatan-kejahatan remeh yang mereka lakukan. Pemenjaraan
justru memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dari pada kejahatan-kejahatan
yang mereka lakukan. Melihat kenyataan tersebut perlu dibuatnya
alternatif
penanganan terhadap anak nakal yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat
setempat.
5.1.1.2. Pembentukan Restorative Justice
Berangkat dari keprihatinan terhadap potret buram penanganan anak
nakal, LSM yang peduli terhadap anak di Bandung sering mengadakan
penelitian, diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai upaya mengatasi nasib
buruk yang menimpa anak-anak tersebut. Untuk membuka mata dan hati aparat
penegak hukum serta masyarakat, pada awal 2004 Koalisi Ketuk Nurani, yang
terdiri dari LSM Peduli Anak pernah mengadakan diskusi yang bertajuk cukup
unik, yaitu "Mencari Kriminal-Kriminal Profesional". Hasil dari diskusi
tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan yang salah terhadap penanganan anak
nakal dapat melahirkan kriminal-kriminal profesional, karena sewaktu mereka
57
ditahan di kepolisian ataupun dalam rumah tahanan (rutan) mereka dapat
bergaul dengan penjahat dewasa, begitu juga di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) - apalagi Jawa Barat belum memiliki Lapas khusus untuk Anak sehingga Lapas dijadikan sekolah baru bagi anak-anak dalam mempelajari
kejahatan yang baru.
Kiprah beberapa LSM di Kota Bandung tersebut bersambut baik
dengan program yang dilaksanakan oleh Unicef dan LPA Jabar. Diawali pada
bulan Juni 2002 dengan dilakukannya kunjungan oleh seorang penasehat
seniornya dalam Peradilan Anak, Unicef bekerja sama dengan LPA Jabar dan
beberapa LSM lainnya mengadakan serangkaian penelitian, pembentukan
working group dan supporting group, lokakarya, sehingga terbentuk suatu
desain program penanganan anak nakal di Kota Bandung. Desain program
tersebut dimaksudkan agar penanganan anak nakal sedapat mungkin
diselesaikan tidak melalui jalur peradilan, tetapi menerapkan model restorative
justice yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Kota Bandung. Serangkaian
penelitian tersebut juga menetapkan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan
Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa restorative justice
merupakan suatu gerakan penanganan anak nakal, yang sedapat mungkin
menghindari proses peradilan yang cenderung mengabaikan kepentingan dan
hak-hak anak. Gerakan ini muncul berawal dari konsep yang ditawarkan oleh
Unicef, dan setelah bekerja sama dengan LSM yang peduli pada anak, membuat
desain program dan menerapkannya di Kota Bandung. Dilihat dari perspektif
Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan restorative justice tersebut
menggunakan pendekatan demonstrasi, yaitu memanfaatkan pengalaman
komunitas lain yang diketahui proses dan hasilnya. Konsep restorative justice
telah diterapkan dan berhasil baik dalam beberapa negara oleh Unicef dan LSM
di negara tersebut, setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Konsep
ini kemudian diadopsi dan diterapkan di Indonesia, dengan mengambil lokasi di
Kota Bandung sebagai pilot project-nya.
58
5.1.1.3. Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan
Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan diawali dengan
sosialisasi tentang penerapan model restorative justice oleh LPA Jabar pada
bulan Maret 2005. Pada saat itu LPA yang didukung oleh Unicef mendapat
bantuan dari LSM yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu LSM Saudara
Sejiwa yang menangani anak jalanan di sekitar wilayah Ujung Berung. LSM ini
diajak untuk ikut serta dalam program restorative justice karena dipandang
sudah mengetahui karakter masyarakat setempat dan sudah berpengalaman
khususnya dalam menangani anak.
Pada tanggal 27 Maret 2005 dilakukan lokakarya restorative justice
dengan masyarakat kelurahan Pasanggrahan yang dilaksanakan di Aula
Kelurahan Pasanggrahan mulai pukul 13.30 WIB s.d. 15.00 WIB. Lokakarya
tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu di tingkat Kelurahan Pasanggrahan
dan Rukun Warga se-Pasanggrahan, akan dibentuk tim restorative justice
dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan untuk Anak (FMPA), yang terdiri
atas:
1. Tim Tingkat Kelurahan, terdiri dari:
- Kepala Lurah Pasanggrahan sebagai Pembina
- Ketua LPM (Lembaga Pemberdayaan masyarakat)
- MUI Tingkat Kelurahan
- LSM Saudara Sejiwa
- PKK Tingkat Kelurahan Pasanggrahan
2. Tim Tingkat RW, terdiri dari:
- Ketua yaitu para ketua RW mulai dari RW 01 s.d. 14
- Penunjukkan anggota forum masing-masing RW diserahkan kepada
rapat di tiap-tiap RW
Anggota Forum diharapkan yang dapat mewakili masyarakat. Seperti
yang terbentuk di RW 14, forum beranggotakan 5 orang yaitu terdiri dari Ketua
RW, Ketua Keamanan RW, dan tokoh masyarakat 3 orang dengan profesi
masing-masing yaitu guru, ustadz, dan perwakilan ibu PKK tingkat RW. Proses
59
pembentukan pengurus dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Hal ini
diceritakan oleh Agus, Ketua LSM Saudara Sejiwa sebagai berikut:
”Kita dari LSM dan pihak LPA hanya sebagai fasilitator saja, tidak
mengintervensi mereka pada saat pemilihan pengurus. Ketua RW
ditetapkan sebagai Ketua Forum karena beliau lebih punya
kewenangan dan kekuasan yang relatif paling dipercayai oleh
masyarakat. Sedangkan Ketua Keamanan RW dipilih karena
dipandang sebagai orang yang secara formal mempunyai
kewenangan dalam hal keamanan lingkungan, Ustadz dan Guru
dipilih karena mereka dipandang mengetahui dan memahami tentang
hak-hak anak sedangkan satu lagi dari ibu PKK supaya ada
keterwakilan dari kaum perempuan”.
Dilihat
dari
perspektif
Pengembangan
Masyarakat,
proses
pembentukan FMPA sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu
bentuk partisipasi masyarakat. Sumardjo (2007) menyebutkan ada 7 (tujuh)
tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi
informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional,
partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri (self mobilization). Ketujuh urutan
tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan
partisipasi masyarakat semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin
rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan
pengaruh pemrakarsa semakin besar. Melihat tipologi tersebut, jenis partisipasi
masyarakat dalam pembentukan FMPA merupakan jenis partisipasi fungsional.
Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, yaitu
membentuk FMPA. Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati, yaitu bahwa Unicef, LPA, dan beberapa LSM
menetapkan Kelurahan Pasanggrahan sebagai pilot project penerapan
restorative justice di Indonesia. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada
pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya, dengan
menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak di wilayahnya sendiri.
5.1.2. Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung
Penasehat senior Unicef dalam Peradilan Anak yaitu Mr. Geert
Cappelaere, pada Juni 2002 melakukan kunjungan ke Kota Bandung melihat
60
situasi penanganan anak nakal yang ada di Bandung. Kunjungan dilakukan ke
instansi terkait yaitu Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Polwiltabes
(Kepolisian
Wilayah
Kota
Besar),
Balai
Pemasyarakatan,
Lembaga
Pemasyarakatan, dan LSM yang ada di kota Bandung khususnya ke LPA Jabar.
Awal tahun 2003 kunjungan tersebut ditindaklanjuti oleh Unicef dengan mengutus
Team JJ (Juvenile Justice) yang dipimpin Julie Lebeque dan membuat desain
program untuk penanganan anak nakal di Kota Bandung.
Pada tahap awal, Unicef bersama dengan LPA Jabar mengadakan
penelitian restorative justice untuk menentukan model yang dianggap cocok bagi
Kota Bandung. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar:
”Setelah kedatangan Julie Lebeque ke Bandung, LPA mengadakan
beberapa kegiatan yaitu pada bulan Pebruari 2003 ”Membangun
Persepsi Isu Perlunya Bantuan bagi Anak Nakal”. Kemudian pada
bulan April 2003 mengadakan ”Lokakarya Semua Stakeholder
Terkait Anak Nakal”, dan pada bulan Mei 2003 ”Pembentukan
Support Group dan Working Group”.
Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa:
”Membangun persepsi isu perlunya penanganan anak nakal sebagai
langkah awal sangat diperlukan, setelah itu dilanjutkan dengan
dilaksanakannya lokakarya yang bertujuan agar seluruh stakeholder
memiliki pandangan yang lebih empati terhadap anak nakal sehingga
mengembangkan kepedulian serta mendorong penanganan yang
terbaik terhadap anak dan menjadi lebih berpihak pada anak,
bersifat restoratif serta melindungi dan menjamin pemenuhan hakhaknya sebagai anak”.
Pada saat diadakan lokakarya melibatkan semua stakeholder yang ada di
Kota Bandung, seperti diungkapkan oleh Ketua LPA Jabar sebagai berikut:
”Lokakarya diadakan atas kerjasama LPA Jabar dan Unicef dengan
mendatangkan narasumber yang berpengalaman dalam penanganan
anak nakal. Peserta yang diundang terdiri dari para ahli antropologi,
sosiologi, psikolog, kriminolog, pengacara, pakar hukum,
budayawan, sejarawan sunda, pekerja sosial, tokoh agama dan tokoh
masyarakat Bandung serta institusi/lembaga terkait seperti Polisi,
Hakim, Jaksa, DPRD Komisi E Kota Bandung, Dinas Pendidikan,
Dinas Sosial, Bagian Pemberdayaan Perempuan, Balai
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, LBH
Bandung, LBH Unpas, LSM Anak (Laha, Bahtera, Grapiks, Yapena,
61
Saudara Sejiwa, Bina Buudaya Bangsa, Bina Mandiri, Repeh Rapih,
Cahaya Beringin, Ketuk Nurani) serta dari Perguruan Tinggi
(Fakultas Hukum Unpad, Fakultas Hukum Unpas dan STKS
Bandung)”.
Penelitian dan pembuatan model dilakukan oleh working group
(kelompok kerja), dan didukung oleh support group (kelompok pendukung).
Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa:
”Setelah pelaksanaan lokakarya, maka direkomendasikan membentuk
anggota working group (kelompok kerja) yang terdiri dari individuindividu yang memiliki latar belakang pengetahuan maupun
pekerjaan yang relevan dengan persoalan anak anak yaitu Hakim
Anak dari dari Pengadilan Negeri Bandung, Polisi, Petugas Balai
Pemasyarakatan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, LBH Bandung,
Fakultas Hukum Unpas, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan
LPA Jabar. Sedangkan support group yaitu perwakilan dari Unicef
Jabar dan tenaga pengajar dengan latar belakang yang kuat pada
bidang hukum khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana,
kriminolog dan psikologi khususnya psikologi anak maupun psikologi
perkembangan.”
Penelitian dilakukan oleh Working Group (Kelompok Kerja) dengan
memfokuskan pada: a) apa yang membuat anak menjadi nakal; b) apa yang terjadi
pada saat anak berada dalam sistem peradilan anak; c) bagaimana masyarakat,
negara, maupun anak memandang anak nakal; d) apakah kota Bandung memiliki
sistem budaya yang dapat membantu penanganan anak nakal; e) bagaimana
alternatif yang dapat dilakukan bagi penanganan anak nakal.
Salah seorang anggota Working Group, Distia, mengatakan :
”Tim Working Group sudah bekerjasama dan menjadi tim yang
kompak, solid, dan mampu mengembangkan suasana tim yang kental
sehingga dapat merumuskan dan menjawab berbagai persoalan baik
yang berhubungan dengan konten maupun konteks, dan didukung
oleh Tim Konsultan yang memposisikan diri sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari kegiatan tetapi tetap konsisten dalam
mengembangkan kerangka asessment sehingga dapat dicapai hasil
yang maksimal”.
Penelitian dilakukan dengan cara diskusi, wawancara mendalam dan
FGD (Focus Group Discusion) dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu
seperti sosiolog, kriminolog, ahli agama, aparat penegak hukum, budayawan,
62
LSM anak, pimpinan pesantren dan tokoh masyarakat serta anak nakal dan
keluarganya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja restorative justice
(RJ) adalah sebagaimana dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar berikut ini:
”Ada beberapa poin penting yang dihasilkan oleh kelompok kerja
selama melakukan penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, dalam
sistem peradilan ditemukan adanya mekanisme penyaringan kasus di
masyarakat, walau tidak ditemukan bentuk peradilan tradisoional;
Polisi punya kewenangan dekresi, namun adapula kewajiban untuk
menindaklanjuti setiap perkara yang masuk; sistem hukum pidana
masih bersifat retributif; telah ada pemahaman masyarakat dan
aparat penegak hukum tentang pentingnya cara alternatif dalam
penaganan anak nakal. Kedua, pelayanan bagi anak nakal ternyata
sarana pokok dan pendidikan yang disediakan rumah tahanan dan
lembaga pemasyarakatan jauh dari memadai. Ketiga, pelaku kunci
dalam hal ini Polisi dan Hakim, karena memiliki kewenangan untuk
memutuskan perlakuan, namun pemahaman tentang restorative
justice belum dimiliki secara mendalam. Keempat, adanya peluang
yaitu bahwa tindakan pemidanaan dalam UU Pemasyarakatan
berorientasi pada pembinaan, sedangkan restorative justice juga
bertujuan pada pemulihan melalui pembinaan. Kemudian adanya
LSM dan tokoh masyarakat yang berorientasi kesejahteraan sosial
sebagai masyarakat umum yang masih terbuka menerima gagasan
perubahan dan peluang berikutnya UU Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa perampasan kemerdekaan harus dijadikan
upaya terakhir dan apabila terhadap anak nakal dilakukan
restorative justice, maka alokasi dana yang diperlukan dalam proses
hukum akan berkurang. Kelima, selama assesment juga
mempertimbangkan pendapat anak yang terungkap adalah untuk
kasus kenakalan anak cukup dinasehati, diberi perhatian, kasih
sayang dan komunikasi yang mantap dengan orang tua, kemudian
bagi korban narkoba, dibina di panti rehabilitasi dan menurut
pendapat anak ternyata kenakalan kecil dapat diselesaikan dengan
mendamaikan antara pelaku dan korban serta keluarga masingmasing”.
Menurut Tatan Rahmawan (salah seorang Kelompok Kerja RJ), pada saat
itu kelompok kerja RJ menyimpulkan bahwa:
”Pertama, masih terdapat kelemahan dalam sistem peradilan pidana
anak di Indonesia baik dalam sistem itu sendiri maupun
pelaksanaannya; dan kedua, realitas pelaksanaan sistem peradilan
pidana anak di Bandung tidak sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2002
pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa ’penangkapan,
63
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir’”.
Lebih lanjut Tatan mengatakan bahwa:
”Berdasarkan hasil assesment, maka Kelompok Kerja RJ
merekomendasikan untuk membuat alternatif penanganan anak nakal
di tingkat masyarakat dan sebagai model dipilih Kelurahan
Pasanggrahan dijadikan lokasinya. Hal tersebut disampaikan kepada
pihak LPA Jabar dan Unicef”.
Menindaklanjuti hal tersebut pihak LPA Jabar dengan dukungan dari
Unicef melakukan sosialisasi penerapan model ”restorative justice” di Kelurahan
Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung.
5.2.Kinerja Forum di Kelurahan
5.2.1. Perkembangan Forum
FMPA
mendapatkan
dukungan
dari
masyarakat
dalam
bentuk
keanggotaan maupun penyerahan kasus kenakalan anak yang dialaminya kepada
FMPA. Keanggotaan FMPA yang terdiri dari berbagai unsur dan latar belakang
yang berbeda ternyata membuat FMPA menjadi solid dan dipercaya oleh
masyarakat, seperti dikemukakan oleh salah satu warga yang menjadi korban
pencurian, yaitu Id, sebagai berikut:
”Ketika saya menjadi pihak korban dan mendengar akan
diselesaikan oleh Forum, saya menanyakan siapa saja orang-orang
yang akan menyelesaikan, dan setelah saya mengetahui anggotaanggotanya, saya terus terang langsung mempercayainya karena
mereka mempunyai kredibilitas dalam masyarakat dan selama ini
menjadi panutan bagi warga yang lainnya”.
Ketika penulis menanyakan secara langsung pada pengurus FMPA latar
belakang mereka mengapa mau untuk menjadi anggota forum, ada beberapa
alasan yang mereka kemukakan, di antaranya Wiratmo anggota Forum di RW 14
mengatakan:
”Saya tertarik untuk terlibat aktif dalam forum, karena merasa
bertanggung jawab terhadap keberadaan generasi muda khususnya
anak-anak. Meskipun mereka terlibat kenakalan, tetapi tetap mereka
adalah anak-anak kita, siapa lagi yang harus meluruskan jalannya
64
kalau tidak dari kita sendiri, sedangkan orang tuanya saya yakin
tidak ada yang menyangka kalau anaknya berbuat nakal dan
mengganggu ketertiban masyarakat. Saya merasa terpanggil untuk
membantu anak-anak dan orang tuanya (keluarganya) agar anakanaknya tidak nakal lagi”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ade Komar, Anggota FMPA
Kelurahan Pasanggrahan yang mengatakan:
”Saya sendiri begitu mendengar ada program ini yang difasilitasi
oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa, merasa terpanggil. Awalnya
karena saya orang asli pribumi di sini, sejak tiga tahun yang lalu ada
rumah yang dikontrak oleh LSM Saudara Sejiwa untuk dijadikan
rumah singgah bagi anak-anak jalanan yang ada di sekitar Ujung
Berung. Saat itu saya sangat respek dan salut kepada pihak LSM
yang mau peduli, sehingga saya menjadi salah satu donatur bagi
kebutuhan mereka. Terlebih lagi ketika ada program ini ada
beberapa orang warga yang mendorong saya untuk terlibat aktif, dan
saya memang tertarik dengan kegiatan ini karena menurut saya
diperlukannya keterlibatan warga untuk mengatasi masalah anakanak nakal yang ada di wilayah ini, jangan menyerahkan semua
urusan kepada pemerintah (dalam hal ini penegak hukum), kecuali
kalau kita sebagai warga sudah tidak mampu mengatasinya”.
Dalam pembentukan forum, pihak inisiator hanya berperan sebagai
fasilitator. Sebagai fasilitator, LPA dan LSM Saudara Sejiwa sebatas memberi
saran agar yang dijadikan anggota forum adalah wakil dari masyarakat yang
dipandang mampu dan mempunyai peranan dalam masyarakat, mempunyai
motivasi yang kuat untuk mengatasi permasalahan kenakalan anak, memahami
tentang hak-hak anak dan sedikitnya ada pengalaman dalam menangani anak
khususnya anak nakal, sehingga diharapkan dapat dapat mengatasi masalahmasalah yang dihadapi oleh pihak korban maupun tersangka anak.
Sampai saat ini, perkembangan FMPA cukup baik karena didukung oleh
unsur masyarakat yang bertindak sebagai pengurus maupun stakeholder lainnya.
Beberapa kasus hukum ringan yang dilakukan oleh anak-anak nakal di wilayah
Pasanggrahan dapat diselesaikan tanpa harus melewati proses peradilan formal.
Beberapa kasus yang lain memang tidak diselesaikan melalui FMPA, disebabkan
oleh kurangnya sosialisasi tentang keberadaan FMPA serta beratnya kasus yang
terjadi yaitu sampai dengan hilangnya nyawa seseorang.
65
5.2.2. Proses Musyawarah Forum
Pada bab terdahulu telah dikemukakan bahwa konsep restorative justice
sebagaimana disebutkan Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) harus
mengandung unsur-unsur : adanya dialog (musyawarah) antara pihak yang terkait
yaitu pelaku, korban, aparat penegak hukum, dan masyarakat; adanya relationship
building (membangun hubungan) antara pihak-pihak yang terkait, serta adanya
restorasi (pemulihan) khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban,
meliputi pemulihan fisik dan psikisnya dan ganti rugi bagi korban.
Dalam penanganan anak nakal yang dilaksanakan di Kelurahan
Pasanggrahan,
masyarakat
melalui
FMPA
bertindak
sebagai
mediator
penyelesaian masalah, dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku dalam
suatu forum dialog. Selama ini, FMPA bertindak setelah mendapatkan laporan
masyarakat, yaitu dari pihak korban maupun warga masyarakat yang mengetahui
kasus tersebut, sebagaimana dituturkan oleh Ade Komar salah satu anggota
FMPA berikut ini :
”ketika kita menangani masalah anak-anak ini, pada awalnya ada
laporan dari pihak korban tentang perbuatan yang disebabkan oleh
salah satu anak, kemudian kita menerima laporan tersebut dan mencatat
data-data yang dibutuhkan seperti data korban, data dugaan pelaku dan
alamatnya, setelah itu kita harus mengetahui dengan pasti bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh anak nakal tersebut, setelah semuanya
tercatat baru merancang pelaksanaan musyawarah meliputi kapan
waktunya untuk musyawarah, dimana tempat yang paling tepat untuk
melaksanakan musyawarah, dan siapa saja pihak-pihak yang harus
hadir dalam proses musyawarah tersebut, setelah semuanya siap, baru
kita mengundang pelaku dan keluarganya juga pihak korban dan
keluarganya”
Setelah mendapatkan laporan tersebut, anggota FMPA berinisiatif
mengundang anggota lainnya untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui forum
musyawarah. Pihak pelaku dan korban dipertemukan dalam suatu ruangan untuk
berdialog. Proses ini memungkinkan terungkapnya kronologis kejadian yang
sesungguhnya dari sudut pandang kedua belah pihak (pelaku dan korban),
penyebab terjadinya kasus, kerugian apa yang ditimbulkan, ganti rugi yang
66
diminta korban, sehingga FMPA sebagai mediator dapat mencari solusi yang
menenteramkan hati bagi keduanya. Proses dialog yang baik, tanpa ada intimidasi
dari pihak mana pun, menjadi prasyarat bagi tercapainya proses perdamaian yang
baik. Di sinilah diperlukan FMPA yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk
dapat menyelesaikan kasus tersebut, terjaganya netralitas FMPA (tidak memihak
salah satu pihak), FMPA tidak ”menghakimi” terlebih dahulu tanpa mengetahui
kejadian yang sebenarnya, sebagaimana dituturkan oleh Ketua FMPA Kelurahan
Pasanggrahan Bapak Adi sebagai berikut :
”Musyawarah pemulihan dilakukan secara tertutup, baik dari
masyarakat umum maupun media massa, pada saat pelaksanaan
musyawarah setelah semua berkumpul, ketua forum membuka acara
setelah sebelumnya semua yang hadir diperkenalkan terlebih dahulu,
kemudian ketua forum menjelaskan tentang adanya pengaduan dari
pihak korban, dan mempersilahkan pihak korban untuk menceritakan
tentang apa yang telah dialami dan apa harapan korban dan
keluarganya tentang perbuatan pelaku yang dianggapnya telah
merugikan. Setelah itu ketua forum kemudian mempersilahkan pelaku
untuk mengakui atau tidak tentang perbuatan yang dituduhkan kepada
korban, apabila korban tidak mengakui, maka pertemuan batal dan
keputusan diserahkan kembali kepada korban apabila hal tersebut akan
diteruskan kepada pihak kepolisian, sedangkan apabila korban
mengakuinya maka proses musyawarah dilanjutkan”
Lebih lanjut, Bapak Adi mengemukakan bahwa keinginan korban dan
pelaku benar-benar difasilitasi oleh forum, seperti diceritakannya sebagai berikut :
”Pada saat proses musyawarah, harapan korban dikemukakan tentang
hal-hal yang harus dilakukan oleh pelaku agar dapat menggantikan
tindakannya yang dianggap telah merugikan korban, kemudian ketua
forum mempersilahkan pelaku dan keluarganya untuk menanggapi
usulan korban dan keluarganya, dan setelah itu pada kesempatan
berikutnya semua yang hadir boleh ikut menanggapi, sehingga
ditemukan jalan yang terbaik baik buat pelaku maupun bagi korban.
Setelah tercapai kesepakatan yang dianggap memuaskan kedua belah
pihak, maka selanjutnya ketua forum akan menyimpulkan hasilnya,
misalnya tindakannya berupa apa, dan bagaimana pelaksanaannya”
Proses musyawarah bisa jadi tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban
semata, tetapi beberapa pihak dapat terlibat di dalamnya. Aparat penegak hukum
67
maupun masyarakat dapat menjadi saksi atas proses dialog, sehingga kasus
tersebut benar-benar dapat memuaskan berbagai pihak. Bagi pelaku, hal ini dapat
memulihkan ”kesalahan” yang dilakukannya manakala masyarakat yang telah
terpuaskan rasa keadilannya tidak memberi stigma negatif kepada pelaku karena
pelaku telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban. Bagi aparat
penegak hukum, proses seperti ini tentu lebih efektif dilakukan daripada melalui
suatu proses peradilan formal yang ”menambah” pekerjaan dan membebani
anggaran.
Sampai dengan saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah berupaya
untuk melakukan dialog yang baik antara beberapa pihak terkait. Beberapa kasus
kenakalan anak yang terjadi di kelurahan ini yang tidak sempat dilakukan dialog
dan ditangani oleh aparat penegak hukum, lebih disebabkan oleh belum tahunya
korban terhadap keberadaan FMPA, sehingga tidak menyerahkan kasusnya
kepada FMPA tetapi melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Hal ini
menyiratkan bahwa FMPA perlu lebih mensosialisasikan kegiatan-kegiatannya
dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan melalui berbagai
kelembagaan yang ada dalam masyarakat.
5.2.3. Proses Relationship Building
Membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban
perlu dilakukan. Hal ini karena seringkali pelaku dan korban bertempat tinggal di
lokasi yang berdekatan, atau sebenarnya merupakan teman main maupun teman
sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua RW 14 berikut ini :
”Kasus pemukulan yang dilakukan oleh De terhadap An yang
menyebabkan An luka lebam, dan setelah mereka diselesaikan lewat
forum, malah sekarang ini mereka jadi bersahabat dan sering bermain
bersama, malahan orang tua korban pernah menawarkan kepada De
untuk sekolah kembali dengan biaya ditanggung oleh orang tua korban,
tetapi sayang sekali De tidak mempunyai minat lagi untuk sekolah dengan
alasan malu sudah terlalu tua dibanding anak yang lainnya.”
68
Hal tersebut memperlihatkan bahwa setelah permasalahannya ditangani
oleh forum, ternyata telah terbangun proses hubungan yang lebih dekat dan
bersifat kekeluargaan diantara keluarga pelaku dan keluarga korban. Pihak korban
yang tadinya merasa kesal, setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya pihak
korban dan keluarganya malahan menjadi empati, demikian juga pelaku yang
pada awalnya merasa sering terhina oleh korban, setelah proses musyawarah,
timbul perasaan yang lebih dekat dan mau bersahabat dengan korban.
Selain terjadinya pemulihan hubungan antara korban dan pelaku, ternyata
juga terjadi hubungan yang lebih positif diantara keluarga kedua belah pihak, hal
ini dikemukakan oleh salah satu dari orang tua korban kasus pencurian besi
sebagai berikut :
”Seminggu setelah kejadian, saya mendatangi rumah Ketua RW dan
meminta tolong untuk mengantarkan saya ke keluarga pelaku,
ternyata setelah sampai dilokasi rumahnya, saya kaget melihat
kondisi rumahnya yang sudah reyot dan mau rubuh. Saat itu kedua
orang tuanya sedang tidak berada dirumah, yang ada hanya pelaku
bersama dengan adiknya yang masih berusia 4 tahun, ketika saya
tanya kepada pelaku, kamu berdua sudah makan? Dia menjawab
belum pak, bapak dan ibu saya belum pulang kerja sebagai
pemulung, biasanya mereka pulang setelah magri, saya jadi iba
kemudian saya berikan uang sekedar untuk makan hari itu”
Empati bagi pihak korban ternyata tidak hanya sampai disitu saja,
beberapa hari kemudian orang tua dari korban kembali mendatangi rumah tersebut
seperti dituturkan oleh kedua orang tua pelaku sebagai berikut :
”Saya malu sama bapak In yang begitu baik sama kami sekeluarga.
Malam hari Bapak In datang ke rumah saya dan membawa beras satu
karung berikut minyak goreng dan mie rebus satu dus, juga membawa
kain sarung dan pakaian sebanyak lima potong, pakaiannya masih bagusbagus lagi, Anak-anak dengan senang hati memakainya. Tidak hanya itu,
beliau juga menawarkan kepada anak saya kalau mau sekolah lagi di
SMP, sekolah saja, tetapi setelah ditanya anak saya tidak berminat lagi
sekolah karena sudah ketuaan, malu sama yang lain katanya. Atas niat
baik dari beliau saya sangat bersyukur, mudah-mudahan beliau diberi
rizki yang banyak dan dipanjangkan umurnya”
69
Terjalinnya hubungan yang baik antara keluarga korban dengan keluarga
pelaku, tidak terlepas dari fungsi dan peranan FMPA sebagai mediator. Pada saat
proses musyawarah dilakukan, anggota FMPA berupaya untuk membangun
kembali hubungan yang baik antara pelaku, korban, maupun masyarakat
sekitarnya. Prinsip-prinsip non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; serta penghargaan terhadap
pendapat anak; mendapatkan perhatian yang cukup serius bagi FMPA. Hal ini
seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA Bapak Adi sebagai berikut :
”Senakal-nakalnya anak harus diupayakan proses perubahan perilaku
dengan cara-cara yang baik, tidak harus melalui ”hukuman” peradilan
formal, salah satunya adalah membangun kembali hubungan yang baik
antara pelaku dengan korban, menumbuhkan kepercayaan diri
keduanya untuk dapat berinteraksi kembali dalam suasana yang damai
dan menenteramkan”
Sampai dengan saat ini, FMPA telah menjalankan proses relationship
building karena dalam beberapa kasus, pelaku dan korban menjalin hubungan
yang erat pasca musyawarah pemulihan.
5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi
Kasus kenakalan anak pasti menimbulkan ”luka” baik berupa fisik
maupun non fisik. Luka fisik dapat berupa hilang/rusaknya harta benda, luka non
fisik dapat berupa trauma, stress, rasa takut, rasa malu, dan sebagainya. Agar
terjalin kembali hubungan yang baik antara pelaku dan korban, pelaku harus
memberikan ganti rugi bagi korban, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada
saat proses musyawarah, seperti dikemukakan oleh Bapak Eman salah satu
anggota FMPA sebagai berikut :
”Ganti rugi dari segala kerugian yang diderita oleh korban, merupakan
salah satu prasyarat dalam restorative justice yang harus dipenuhi,
apabila pihak korban meminta ganti rugi maka keluarga pelaku wajib
untuk memenuhinya dan apabila tidak dipenuhi maka laporannya akan
diteruskan kepada pihak kepoilsian”.
70
Bagi korban, ganti rugi tersebut diharapkan dapat memulihkan kerugian
yang dialaminya, sedangkan bagi pelaku, ganti rugi merupakan bentuk
”hukuman” dan wujud tanggung jawabnya bagi terwujudnya perdamaian dengan
korban maupun masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA di RW 14
Bapak Adi sebagai berikut :
”Pemberian ganti rugi sangat penting artinya bagi pelaku agar dapat
mengembalikan kepercayaan dari korban dan masyarakat terhadapnya.
Meskipun pada kenyataannya pihak korban tidak selalu menuntut ganti
rugi tetapi dalam proses musyawarah tetap hal tersebut menjadi
pembahasan”
Bagi masyarakat, ganti rugi dapat diartikan bahwa pelaku telah berupaya
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga kecenderungan memberikan
stigma negatif kepada pelaku dapat dihilangkan. Sedangkan bagi aparat penegak
hukum, ganti rugi merupakan wujud kesungguhan proses restorative justice yaitu
memberikan hukuman bagi pelaku dan memberikan hak kepada korban. Dengan
kata lain, ganti rugi akan memberikan kepuasan terhadap tercapainya rasa
keadilan bagi semua pihak.
Proses restorasi/pemulihan tidak semata pemulihan terhadap kerugian
fisik semata. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah pemulihan terhadap kerugian
non fisik. Bagi korban yang masih berusia anak-anak, bisa jadi kejadian kenakalan
terhadap dirinya akan membekas dalam ingatannya dan berakibat kurang baik
bagi perkembangan psikisnya. Sehingga, proses pemulihan bagi korban tidak
semata hanya dilakukan oleh pelaku tetapi orang tua, FMPA, dan masyarakat
sekitarnya dapat memberikan dukungan terhadap pemulihan, seperti dikemukakan
oleh salah satu angggota FMPA berikut ini :
”Pemulihan bagi korban khususnya korban yang masih anak-anak,
misalnya dengan perlakuan yang baik agar trauma yang dialaminya
dapat hilang, hal itu dilakukan tidak hanya dengan memberikan rasa
”kasihan” tetapi lebih kepada memberikan dukungan agar korban dapat
menerima peristiwa yang terjadi pada dirinya, sedangkan pemulihan
bagi pelaku misalnya tidak memberikan stereotype, menyadari bahwa
kenakalan yang dilakukan anak dapat disadarkan dengan perlakuan
yang baik”
71
Kecenderungan memberikan ”cap” negatif kepada pelaku tidak hanya
membuatnya sulit untuk beradaptasi kembali dengan masyarakat, tetapi perlakuan
semacam itu akan dapat menjadikan dirinya bertambah nakal karena merasa
dikucilkan.
Sampai saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah menjalankan
kewajibannya menjadi mediator pemberian ganti rugi fisik dari pelaku kepada
korban. Diharapkan proses pemulihan non fisik juga dilakukan bersama-sama
dengan anggota masyarakat lainnya.
72
BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
FORUM
Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan penulis, beberapa faktor
dapat mempengaruhi kinerja FMPA dalam penerapan restorative justice. Peranan
para stakeholder yaitu inisiator/fasilitator, masyarakat, dan aparat penegak hukum
sangat berperan bagi tercapainya tujuan yang diharapkan. Restorative justice tidak
berhasil dengan baik apabila para stakeholder tersebut tidak berkolaborasi atau
bekerja sendiri-sendiri. Beberapa faktor yang teridentifikasi terbagi atas: (1)
kinerja anggota FMPA yang meliputi motivasi, pemahaman tentang hak anak,
serta pengalaman dalam menangani anak nakal; (2) peranan inisiator FMPA yaitu
Unicef Jawa Barat, LPA Jawa Barat, serta LSM Saudara Sejiwa; dan (3)
partisipasi masyarakat, termasuk peranan kelembagaan yang ada dan tumbuh
dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat berperan terhadap keberhasilan
penanganan anak nakal dengan restorative justice, dapat dilihat pada gambar 3.
KINERJA ANGGOTA FMPA
pemahaman
ttg hak anak
motivasi menjadi
anggota
perkembangan
psikologis
motivasi
motivasi menerapkan
restorative justice
empat prinsip
Konvensi Hak Anak
pengalaman
koordinasi dalam
menangani kasus
bagaimana penanganan
melalui hukum
keberhasilan
restorative
justice
peranan LPA
Jabar
masyarakat
umum
orang tua
lembaga
masyarakat
sumbangan
konsep dan
tindakan
pendanaan
sumbangan
konsep dan
tindakan
peranan LSM
Saudara Sejiwa
PARTISIPASI MASY
sumbangan
konsep
peranan Unicef
Jabar
PERANAN INISIATOR
Gambar 4 : Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum
73
6.1. Kinerja Anggota FMPA
6.1.1. Motivasi
Motivasi merupakan prasyarat utama bagi keberlanjutan suatu organisasi.
Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam individu yang mengarahkan
seseorang kepada tujuan yang diinginkannya. Dalam sebuah organisasi, motivasi
tiap anggotanya yang konsisten akan mempertahankan kondisi kepada tercapainya
tujuan organisasi tersebut, meskipun terdapat hambatan dan gangguan.
Sebagai sebuah organisasi, FMPA akan sustainable apabila motivasi
anggotanya tetap terjaga. Perbedaan latar belakang tiap anggota (guru, ustadz,
anggota PKK) membutuhkan proses adaptasi satu sama lain. Tetapi, apabila
masing-masing mempunyai motivasi yang sama, yaitu motivasi untuk menangani
anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui jalur peradilan formal, maka
perbedaan tersebut justru akan menjadi modal yang
baik. Perbedaan latar
belakang dapat berarti perbedaan cara penanganan anak nakal bagi setiap anggota,
tetapi hal tersebut akan memperkaya pemikiran bagaimana menangani anak nakal
sesuai dengan hak-hak anak, hal tersebut tercermin dari anggota FMPA yang
terbentuk berlatar belakang pendidikan dan profesi sebagaimana dituturkan oleh
anggota FMPA Bapak Suratmo sebagai berikut :
”Anggota FMPA dibentuk setelah sebelumnya kita mengadakan
pertemuan di tingkat RW, pada saat itu dengan difasilitasi oleh LSM
Saudara Sejiwa kita membentuk kepengerusannya. Hasil musyawarah
dalam pertemuan tersebut ditetapkan yang menjadi anggota FMPA
terdiri dari profesi Guru, Tokoh agama, Ibu PKK dan Ketua RW sendiri
ditambah dengan Ketua Pemuda. Hal tersebut mencerminkan
kepengurusan dalam FMPA terdiri dari berbagai profesi”
Agar dapat mempertahankan terciptanya motivasi yang konsisten, maka
diperlukan situasi yang mendukung, antara lain: setiap anggota mempunyai hak
suara yang sama, saling menghargai pendapat tiap anggota, menciptakan
relationship yang baik di dalam dan di luar forum, dan saling berkolaborasi.
Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan
fungsi dan peranannya.
74
Dalam wawancara mendalam dengan beberapa anggota FMPA, penulis
mencoba mengetahui motivasinya untuk menjadi anggota, dan motivasi untuk
terus melaksanakan restorative justice dalam menangani permasalahan anak nakal
di wilayahnya. Penulis menyimpulkan motivasi untuk menjadi anggota FMPA
sebagai berikut:
a. merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan anak-anak sebagai generasi
penerus bangsa;
b. senakal-nakalnya anak masih dapat diluruskan/diperbaiki perilakunya dan
memperbaiki perilaku anak-anak terutama di wilayahnya merupakan wujud
tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat;
c. membantu orang tua menangani anaknya yang nakal, karena semua orang tua
pasti tidak menginginkan anaknya menjadi nakal dan mengganggu ketertiban
masyarakat;
Dengan motivasi ini, apa pun latar belakang anggota FMPA, akan tetap
menjadi dorongan yang kuat karena tujuan utamanya adalah melaksanakan
tanggung jawab sosial sebagai warga masyarakat untuk memperbaiki perilaku
anak. Guru, ustadz, anggota PKK, maupun latar belakang status pekerjaan
seseorang, pasti menginginkan anak menjadi generasi penerus yang baik.
Sedangkan motivasi untuk menangani anak nakal melalui restorative
justice adalah:
a. program ini difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa yang telah lama
berkiprah dan dipercaya dalam menangani permasalahan anak jalanan di
Ujung Berung;
b. mendukung program yang dirumuskan oleh LPA dan LSM tersebut;
c. adanya dorongan dari warga lainnya untuk menjadi anggota FMPA;
d. tidak ingin menyerahkan semua urusan penanganan anak nakal kepada aparat
penegak hukum, kecuali warga sudah tidak mampu mengatasinya;
e. penanganan anak nakal melalui peradilan formal tidak menyelesaikan
masalah, bahkan dapat menjadikan anak menjadi lebih nakal.
75
FMPA di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai motivasi yang baik dalam
menerapkan program ini. Tetapi, karena partisipasi masyarakat merupakan bentuk
partisipasi fungsional sebagaimana uraian pada bab terdahulu, pada tahap awal
motivasi ini harus mendapatkan stimulan berupa pendampingan/sosialisasi tentang
restorative justice dan dukungan dana dari pihak inisiator. Setelah berjalan
beberapa
lama,
barulah
FMPA
menunjukkan
kemandiriannya
dalam
menyelesaikan permasalahan anak nakal di wilayahnya melalui program ini.
Dapat disimpulkan bahwa selama para anggota FMPA tetap mempertahankan
motivasi dalam menerapkan program ini, dengan dukungan dari stakeholder
lainnya maka penanganan anak nakal dapat diselesaikan tanpa melalui jalur
peradilan formal.
6.1.2. Pemahaman tentang Hak Anak
Setiap manusia melewati fase-fase dalam kedidupannya, dimulai dari fase
pre-natal, fase natal, dan fase post-natal. Fase post-natal terbagi menjadi beberapa
tahapan, yaitu bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua. Masing-masing
tahapan tersebut memerlukan perhatian yang sesuai dengan kebutuhan tahapan
tersebut. Pada tahapan anak-anak dan remaja, kondisi psikologis masih labil,
mudah terpengaruh oleh lingkungan dan media massa atau kurangnya pengawasan
dari orang tuanya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokoh pemuda yang
menjadi angota FMPA di RW 14 sebagai berikut :
”secara sosial psikologis, menurut saya kesalahan yang dilakukan oleh
seorang anak tidaklah mutlak menjadi kesalahan dari anak itu sendiri
secara individu, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari beberafa faktor
yang mempengaruhinya seperti ajakan dari temannya atau kurangnya
pengawasan dari orang tuanya terhadap anak tersebut”
Tahapan remaja menuju dewasa membutuhkan penyesuaian-penyesuaian
bagi individu tersebut karena terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikisnya.
Anak mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dikarenakan pengaruh hormon
kelamin dan hypophysis di mana terdapat penambahan berat badan yang
76
mencolok disertai penambahan panjang badan, serta terjadi perubahan pubertas
fisik dan psikis. Pubertas fisik meliputi pertumbuhan kelamin, misalnya
mengalami menstruasi dan mimpi basah, tumbuhnya bulu di beberapa bagian,
perubahan pita suara, yang dapat membuat kikuk, salah tingkah, canggung bila
berhadapan dengan lawan jenis. Pubertas psikis terjadi penghayatan di mana
individu yang bersangkutan secara psikis (kejiwaan, batiniah) berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai apa makna hidup baginya. Yang tampak
menonjol dari perubahan psikis adalah mulai tumbuhnya harga diri atau muncul
“akunya” bahkan kadang menjadi sombong atau membanggakan apa yang
dimilikinya, dorongan untuk bersifat agresif dan membentuk “geng”, dorongan
nafsu seksual makin menggelora, ingin serba bisa memecahkan masalahnya
sendiri, dan sering bersikap emosional.
Pada masa remaja perubahan-perubahan fisik dan psikis tersebut
menuntut perubahan dalam beradaptasi dengan diri dan lingkungannya, sehingga
diperlukan bimbingan dan arahan yang jelas agar anak ini tidak terjerumus dalam
hal-hal yang bersifat negatif. Kenakalan yang terjadi pada anak sering disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan media massa di samping perhatian orang tua yang
kurang.
Sebagai bagian dari masyarakat, anak mempunyai hak untuk berkembang
sesuai dengan fase-fase hidupnya tersebut. Anak seharusnya diberi ruang untuk
dapat menyalurkan gejolak perubahan psikologis tersebut kepada kegiatankegiatan yang positif. Terhadap anak yang melakukan kenakalan, masyarakat pun
harus tetap memperhatikan hak-hak anak untuk tetap tumbuh dan berkembang
secara normal. Pemahaman yang baik terhadap hak-hak anak meskipun anak
tersebut melakukan kenakalan, akan memberikan solusi yang memulihkan bagi
anak untuk merubah perilakunya ke perbuatan yang baik dan sesuai norma sosial.
Dalam konsep restorative justice, pemahaman tentang hak anak oleh orang tua,
masyarakat umum, dan anggota FMPA akan membawa proses pemulihan itu
berjalan dengan baik.
77
Konvensi Hak Anak merumuskan empat prinsip perlindungan terhadap
anak, yaitu non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan
hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak. FMPA
harus menempatkan prinsip ini dalam menangani masalah kenakalan anak.
Non diskriminasi dapat diartikan bahwa setiap anak yang berlatar
belakang berbeda dari status sosial, ekonomi, maupun agama, harus mendapatkan
perlakuan yang sama. Apabila anak tersebut melakukan kesalahan, selayaknya
mendapatkan proses pemulihan yang sama. FMPA juga harus membuat solusi
yang terbaik bagi anak, dapat berarti selama mengikuti proses pemulihan, FMPA
memberi kesempatan kepada anak untuk terus mengikuti sekolah, berinteraksi
dengan keluarga dan lingkungannya, dan tanpa mengalami pengucilan.
Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak
memberikan
kesempatan
kepada FMPA dan
masyarakat
umum
untuk
membimbing dan mengarahkan perubahan fisik dan psikis anak menuju ke arah
yang seharusnya. Penghargaan terhadap pendapat anak dimaksudkan agar anak
dapat menetapkan pilihan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya tanpa
”dikte” dari orang tua. Bagi anak yang melakukan kenakalan, FMPA harus
memperhatikan kasus tersebut dari sudut pandang anak, tidak ”menghakimi”
sebelum
mendengar
pendapat
anak
terhadap
kasus
tersebut.
Proses
musyawarah/dialog, relationship building, dan pemberian ganti rugi, tetap harus
memperhatikan pendapat anak. Sehingga proses pemulihan tersebut melibatkan
juga keinginan anak untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
6.1.3. Pengalaman
Pada masa lalu, proses musyawarah dalam menangani anak nakal di
wilayah Pasanggrahan yang mayoritas suku sunda sebenarnya sudah berjalan. Hal
ini berkaitan dengan budaya Sunda yang mengedepankan musyawarah mufakat
dalam menyelesaikan setiap masalah. Hanya saja belum melembaga dan bersifat
insidentil. Tokoh masyarakat di lingkungan tersebut berupaya ”mendamaikan”
78
pelaku dan korban melalui proses musyawarah, hal yang sama dengan restorative
justice tetapi tidak dalam sebuah forum yang dilembagakan seperti FMPA.
Bagi anggota FMPA, pengalaman menangani anak nakal melalui
program ini tidak lepas dari latar belakang yang bersangkutan. Anggota yang
berasal dari Ketua RT/RW, guru, ustadz, dan ibu PKK, tentu mempunyai
perhatian lebih terhadap perkembangan anak. Hal ini turut berpengaruh terhadap
kinerja FMPA. Anggota yang cenderung mempunyai latar belakang pendidik
tersebut (guru dan ustadz) dapat memahami proses perkembangan anak,
memahami hak-hak anak, sehingga proses pemulihan dapat berjalan baik. Ibu
PKK yang mempunyai anak, berkepentingan agar anak-anak di wilayahnya tidak
menjadi anak nakal, dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang terdapat di
komunitasnya. Sedangkan bagi Ketua RT/RW, faktor keamanan lingkungan bisa
jadi menjadi prioritas, sehingga menjaga lingkungan bebas dari anak nakal
menjadi motivasi yang baik, seperti dituturkan oleh Ketua RW 14 berikut ini :
”Dalam memilih anggota Forum, saat itu masyarakat yang hadir dalam
pertemuan sepakat untuk menunjuk kami berlima dengan pertimbangan
terdiri dari berbagai disiplin pekerjaan dan latar belakang yang
bervariasi, sehingga diharapkan dengan perbedaan pengalaman yang
dimiliki tersebut akan menambah pemahaman dan pengetahuan dalam
penanganan terhadap anak nakal”
Mengingat pentingnya pengalaman dan pemahaman terhadap hak anak,
masyarakat memilih anggota FMPA sesuai dengan latar belakang dan pengalaman
yang baik dalam penanganan anak. Anggota FMPA yang terpilih juga harus
mengedepankan proses pemulihan yang memihak kepada hak-hak anak.
6.2. Peranan Inisiator FMPA
6.2.1. Unicef Jabar
Sejak tahun 2002, anak-anak yang bermasalah dengan hukum merupakan
priotritas bagi UNICEF Indonesia yang dimulai dengan program peradilan anak
yang bersahabat untuk memperbaiki peradilan anak dan meningkatkan kesadaran
atas situasi perlakuan yang salah terhadap anak dalam kerangka strategi prioritas
79
jangka menengah (MTSP) UNICEF dan sasaran-sasarannya. Keseluruhan tujuan
dari proyek adalah untuk mengembangkan sistem peradilan anak yang
komprehensif, yang konsisten dengan Konvensi Hak Anak (KHA) dan petunjuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Kegiatan Uji coba model restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan
merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI dengan UNICEF Indonesia
dalam memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Diperlukan perlindungan
khusus yang didasari atas dasar analisa kondisi obyektif dari anak-anak yang
memerlukan perlindungan khusus baik dalam bentuk kebijakan, model
penanganan atau bantuan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk
memberikan bantuan.
Anak nakal sehingga berhadapan dengan masalah hukum merupakan
kelompok anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, tetapi belum
memperoleh perhatian dan penanganan perlindungan yang berperspektif anak,
untuk itulah kegiatan uji coba ini dilakukan.
Dalam pelaksanaannya kegiatan ini memperoleh dukungan sepenuhnya
dari UNICEF Indonesia dan didampingi, dimonitor dan dievaluasi (umpan balik)
dari UNICEF FO Jabar dan Banten.
6.2.2. LPA Jabar
Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat (LPA Jabar) merupakan suatu
organisasi independen, nirlaba, bergerak dalam bidang sosial dengan spesifikasi
Perlindungan Hak Anak, yang berdiri sejak tanggal 27 Januari 2000. Adapun visi
dari LPA Jabar adalah mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu mencegah
terjadinya pelanggaran terhadap hak anak serta memajukan dan melindungi anak
dari hak-haknya, sedangkan misinya adalah melindungi anak dari setiap orang tua
dan atau lembaga yang melanggar hak-hak anak serta mengembangkan partisipasi
keluarga dan masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak.
Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat yang telah berkomitmen untuk
melakukan perlindungan terhadap anak, termasuk bagi anak yang berhadapan
dengan hukum (anak nakal). Sebagai lembaga advokasi, LPA dituntut untuk dapat
80
melakukan aktivitas yang akan memberikan dampak yang lebih mendasar bagi
upaya perlindungan terhadap anak khususnya anak nakal, yaitu upaya yang dapat
menjadi alternatif solusi bagi penanganan anak nakal yang lebih berperspektif
anak. Solusi ini dirumuskan bersama antara LPA dengan stakeholders dalam hal
ini lembaga/institusi yang memiliki akses bagi upaya perlindungan terhadap anak
nakal yang terdiri dari unsur akademisi, aparat penegak hukum, lembaga
pendamping dan para ahli.
Melalui para akademisi diharapkan diperoleh dasar konseptual teoritik
yang tegas. Dari aparat penegak hukum diharapkan diperoleh dasar praktik dan
yuridis yang kuat, dari lembaga pendamping diharapkan diperoleh dasar empirik
yang kuat serta dari para ahli diperoleh landasan profesional yang kuat. Atas
darsar pemikiran tersebut dipandang perlu dilakukan asesmen tentang anak nakal
di Kota Bandung yang mengeksplorasi permasalahan anak nakal.
6.2.3. LSM Saudara Sejiwa
LSM Saudara Sejiwa pada awalnya berfokus pada penanganan anak
jalanan yang ada disekitar Pasar Ujung Berung. Lembaga ini mendirikan rumah
singgah yang bertempat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung
dengan jumlah anak jalanan yang ditampung sebanyak 35 anak pria dan 5 anak
perempuan.
LPA Jabar memilih LSM Saudara Sejiwa untuk dapat diajak bergabung
dalam kegiatan restorative justice dengan pertimbangan lembaga tersebut telah
berada dilokasi hampir lima tahun lamanya sehingga diharapkan dapat lebih
mengetahui pola perilaku dan budaya setempat khususnya dalam penanganan
anak nakal.
6.3. Partisipasi Masyarakat
Masyarakat Kelurahan Pasanggrahan seperti yang telah dibahas pada Peta
Sosial, memiliki modal sosial yaitu adanya kepedulian terhadap sesama, ikatan
bersama, adanya kepercayaan, saling menghormati dan menghargai perbedaan.
Apabila modal sosial tersebut dikelola dan digerakkan dengan baik, maka akan
81
menghasilkan kekuatan dalam menghadapi berbagai hambatan yang dihadapi oleh
warga Kelurahan Pasanggrahan.
Menanggapi
adanya
program
”Restoratife
Justice”
di
Kelurahan
Pasanggrahan, warga masyarakat pada umumnya menyambut positif kegiatan
tersebut, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi mereka pada saat dilakukan
sosialisasi di Balai Pertemuan RW maupun pada saat pengajian di Mesjid. Seperti
dituturkan oleh satu tokoh masyarakat Bapak Idi sebagai berikut :
”...ketika dilakukan penyuluhan hukum, warga mendengarkan paparan
yang disampaikan oleh Team cukup antusias dan banyak bertanya tentang
cara-cara penyelesaian yang terbaik, malah yang paling banyak
memberikan pertanyaan adalah kaum perempuannya terutama tentang
bagaimana mencegah agar anak-anak tidak melakukan kenakalan..”
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang pengkaji lakukan di
Kelurahan Pasanggrahan terdapat beberapa lembaga lokal yang mempunyai
tujuan kolektif terhadap masalah anak nakal dan penanganannya. Lembaga sosial
tersebut meliputi : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Karang Taruna, Dewan
Keluarga Mesjid (DKM) dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Disamping itu terdapat juga nilai-nilai lokal berkaitan dengan anak yang ada di
Kelurahan Pasanggrahan yaitu bagaimana masyarakat memandang seorang anak
berdasarkan nilai-nilai budaya yang dipahaminya. Lebih jauh kelembagaan
berkaitan dengan anak sebagai berikut :
6.3.1. Orang Tua
Peranan keluarga dan media massa dalam perkembangan dan tingkah
laku sosial dan moral anak sangat besar. Keluarga merupakan komunitas pertama
dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar sebagai makhluk sosial dan
berinteraksi dengan komunitasnya. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai
kedudukan penting dalam penanaman moral anak. Keluarga yang harmonis, di
mana orang tua memberikan kasih sayang dan perhatian yang baik bagi anak,
sebaliknya anak berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran moral yang diberikan
orang tuanya, cenderung membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang baik.
Peranan orang tua juga sangat penting dalam menyaring informasi yang diperoleh
82
anak dari media massa. Pendampingan orang tua di saat anak menonton media
televisi, misalnya, diperlukan agar orang tua dapat memberikan penjelasan yang
dianggap perlu terkait dengan informqasi tersebut. Keutuhan orang tua juga
mempunyai arti penting dalam perkembangan psikis anak. Orang tua yang
bercerai, atau single parent, menjadikan perkembangan anak menjadi kurang
sempurna. Figur ayah dan ibu yang baik dapat menyeimbangkan perkembangan
anak.
Seringkali anak menjadi nakal manakala perhatian orang tua kurang
maksimal. Pemenuhan kebutuhan bagi anak tidak semata-mata diperoleh dari
pemenuhan kebutuhan akan barang/benda, tetapi juga diperoleh dari bentuk
perhatian, mengarahkan anak kepada hal yang baik. Pada beberapa kasus, orang
tua yang hanya menyerahkan tanggung jawab pembinaan anak kepada guru di
sekolah, harus mendapati anaknya menjadi kurang baik manakala pengaruh media
massa dan lingkungan lebih besar dibandingkan sekolah. Hal ini dapat dimaklumi,
karena waktu berinteraksi anak di sekolah hanya seperempat (+ tujuh jam dalam
sehari), selebihnya proses interaksi anak terjadi dalam keluarga dan lingkungan.
Terhadap anak yang nakal pun, peran orang tua sangat diperlukan. Tidak
hanya menyalahkan anak, tetapi orang tua harus introspeksi diri mengapa anaknya
dapat melakukan kenakalan. Proses pemulihan yang baik bagi anak akan
menentukan perilaku anak berikutnya. Orang tua yang mendapati anaknya
melakukan kenakalan dan menimbulkan korban dan tidak dapat mengatasi
persoalannya sendiri, dapat meminta bantuan kepada FMPA. Faktor kepercayaan
orang tua terhadap kinerja FMPA, menentukan proses pemulihan anak. FMPA
dapat memberikan solusi yang memulihkan bagi anak nakal melalui restorative
justice, sehingga orang tua perlu mendukung proses pemulihan tersebut.
Selanjutnya, untuk memulihkan kondisi psikis anak, pendampingan orang tua
masih diperlukan oleh anak tersebut.
83
6.3.2. Mayarakat Umum
Masyarakat umum (selain pelaku dan korban) mempunyai andil yang
besar pula dalam kinerja restorative justice. Masyarakat dapat melaporkan kasus
anak nakal (kasus ringan sesuai dengan yang disepakati) yang terjadi di
wilayahnya kepada anggota FMPA agar diselesaikan di tingkat forum, tidak harus
melalui aparat penegak hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja FMPA
juga menentukan bagaimana FMPA tersebut dapat bekerja dengan baik.
Andil masyarakat juga diperlukan dalam proses relationship building dan
pemberian ganti rugi antara pelaku dan korban. Masyarakat dapat menjadi saksi
dari proses tersebut, sehingga dapat menilai apakah proses itu dapat memberikan
rasa keadilan bagi kedua belah pihak. Sehingga kecenderungan untuk memberikan
stereotype kepada pelaku dapat dikikis karena masyarakat mengetahui sendiri
bahwa prose situ telah memuaskan dan menenteramkan hati kedua belah pihak.
Dalam proses berikutnya, penerimaan kembali anak nakal ke dalam komunitas
disertai dengan pendampingan mempercepat proses pemulihan bagi anak tersebut.
6.3.3. Kelembagaan Masyarakat
6.3.3.1. DKM
Latar belakang kegiatan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) ini adalah untuk
mempererat dan mempersatukan tokoh-tokoh mayarakat dalam wadah keagamaan
khususnya dalam kegiatan yang islami. Dalam kegiatan ini juga mempersatukan
pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Ikatan Remaja Mesjid. Melalui
kegiatan tersebut para pemuda dan pemudi diharapkan memiliki kepekaan
terhadap lingkingan sosial dan masalah keagamaan yang bekaitan dengan
kepemudaan. Ikatan Remaja Mesjid adalah salah satu media untuk memberikan
pembinaan mental kepada para remaja, melalui lembaga ini, seorang remaja akan
memperoleh lingkungan islami serta dapat mengembangkan kreativitasnya.
Lingkungan yang islami ini akan mendukung perkembangan remaja secara positif
dan menuntun mereka dalam kepribadian yang benar. Pembinaan yang islami juga
akan memudahkan setiap orang tua memperoleh anak yang didambakannya yaitu
84
anak yang baik, beriman, berilmu dan berakhlak mulia sehingga tidak pernah
terlibat dalam kenakalan.
Kegiatan DKM dan Remaja Mesjid di Kelurahan Pasanggrahan masih
terjebak dalam kegiatan yang besifat rutinitas ”ubudiyah” semata, seperti kegiatan
memperingati hari-hari besar islam dan sejenisnya, padahal jika dilihat lebih jauh
berdasarkan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan bagi remaja khususnya,
banyak peran dan fungsi yang dimiliki dan dikembangkan oleh Remaja Mesjid
6.3.3.2. LPM
Lembaga
Pemberdayaan
Masyarakat,
merupakan
sebuah
proses
perubahan nama dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
Kelembagaan ini mempunyai tugas sebagai mitra dari pemerintah kelurahan di
dalam bidang pemerintahan dan pembangunan yang diserahkan kepada kelurahan
sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh camat. Sebagai mitra dari
pemerintah, kelembagaan ini mempunyai tugas mengkoordinir segala bentuk
kegiatan di masyarakat dengan organisasi yang lebih atasnya dengan arah
kegiatan lebih bersifat mobilisator sumber sosio kultural untuk membangun
masyarakat yang kreatif dengan komitmen kemandirian yang memiliki sifat-sifat
inovatif sebagai sumber daya pembangunan.
LPM dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan belum
nampak kegiatan yang nyata, padahal idealnya LPM berfungsi untuk
mengkoordinir sumber-sumber sosio kultural, tetapi ketika dilaksanakan program
restoratife justice, pihak LPM mendukung sepenuhnya kegiatan tersebut
6.3.3.3. Karang Taruna
Karang Taruna sebagai organisasi yang keberadaannya mendapat
pembinaan dari Dinas Sosial merupakan wadah kegiatan pada pemuda untuk
melaksanakan aktivitas dan kratifitasnya. Melalui Karang Taruna ini pada pemuda
diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang
dimilikinya.
Dalam konteks pencegahan terjadinya kenakalan anak, Karang
Taruna merupakan media yang tepat untuk melibatkan anak dalam aktivitas yang
85
dilakukannya baik yang bersifat rekreatif edukatif maupun yang bersifat
pengembangan kemampuan anggotanya.
Kegiatan yang bersifat rekreatif edukatif sangat relefan untuk mencegah
terjadinya kenakalan anak. Kegiatan tersebut umumnya diwujudkan dalam bentuk
olah raga, kesenian, pembelajaran komputer dan lain sebagainya.
6.3.3.4. PKK
Lembaga ini berada pada tingkat Kelurahan sampai pada tingkat RW.
Sasaran utama dari pelayanan yang diberikan oleh PKK adalah para orang tua,
dengan tujuan untuk menciptakan keluarga yang sejahtera. Dalam konteks
penanganan anak nakal, PKK memotivasi para ibu-ibu untuk lebih meningkatkan
pembinaan dan pengawasan terhadap anak-anaknya agar terhindar dari kenakalan
remaja yang akhir-akhir ini sering terjadi seperti masalah narkotika dan obat
terlarang juga termasuk merebaknya minuman keras dikalangan remaja.
Upaya penanganan anak nakal secara luas bukan hanya tanggung jawab
pemerintah (aparat penegak hukum) namun tidak kalah pentingnya juga
bagaimana masyarakat yang tergabung dalam organisasi khususnya PKK untuk
menjembatani terpenuhinya kebutuhan dasar warga setempat. Dalam konteks ini
diperlukan partisipasi warga masyarakat agar terus memperjuangkan hak-hak
hidup layak dan bermartabat. Bagi pengurus PKK sebagai pelaksana perubahan di
tingkat lokal perlu berpartisipasi aktif mengembangkan kemampuannya dalam
upaya penanganan masalah anak nakal secara kondusif.
Penanganan masalah anak nakal yang diberikan kelompok PKK di
Kelurahan Pasanggrahan diwujudkan dalam bentuk gagasan kepada masyarakat
untuk memberikan perhatian terhadap fasilitas olahraga futsal di Kelurahan
Pasanggrahan. Dengan demikian secara tidak langsung kelompok PKK telah
memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan masalah kenakalan anak di
Kelurahan Pasanggrahan.
86
BAB VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM
Dalam melakukan analisis terhadap suatu program diperlukan kegiatan
pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi dalam praktek pengembangan
masyarakat merupakan salah satu langkah yang sangat penting yang harus
dilakukan, sama pentingnya dengan langkah-langkah lainnya seperti need
asessment, menyusun rencana intervensi, intervensi, serta tindak lanjut yang
kesemuanya merupakan tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberian
pertolongan dalam praktek pengembangan masyarakat. Secara umum, evaluasi
diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses
atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu.
Menurut Hendrakusumaatmaja (2007), evaluasi adalah suatu proses yang
dilakukan secara obyektif untuk menentukan keterkaitan, efisiensi, efektifitas dan
dampak suatu upaya sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan
pemantauan meliputi kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari dan
mengawasi yang dilakukan secara terus-menerus atau berkala. Pemantauan
dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai
dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan
evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang
sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan
pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat
pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu
upaya selesai.
Lebih lanjut Hendrakusumaatmaja (2007) menyebutkan beberapa tujuan
pemantauan dan evaluasi, yaitu:
1. mengetahui pelaksanaan suatu upaya keberhasilan-kelemahan, kegagalan,
penyimpangan, dan penyebabnya;
2. mengetahui pencapaian tujuan yang hendak dicapai;
3. mengetahui manfaat dan dampaknya terhadap kelompok sasaran;
4. membuat tindakan korektif secara dini;
87
5. mengoptimalkan upaya yang dilakukan (sumber daya manusia, dana, waktu);
6. menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan upaya
penanggulangan di masa mendatang secara lebih baik.
Mengenai
pentingnya
hasil
pemantauan
dan
evaluasi,
adalah
sebagaimana disebutkan oleh Sumardjo (2008), yaitu:
1. sarana untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan manajemen program
pemberdayaan fakir-miskin;
2. meningkatkan kualitas perencanaan secara partisipatif dan kolaboratif antar
pihak terkait;
3. membantu pihak-pihak terkait dalam membuat keputusan secara partisipatif
yang akuntabel (bertanggungjawab) secara tepat dalam pengembangan
program pemberdayaan fakir-miskin;
4. membantu dalam membuat kebijakan secara tepat, konvergen, dan sinergis
bagi pemerintah;
5. menunjukkan di mana dibutuhkan penyesuaian dan tindakan selanjutnya
dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin;
6. menunjukkan di mana dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut dan mendalam;
7. memberikan informasi kepada masyarakat yang lebih luas.
7.1. Kasus Yang ditangani FMPA
Selama dimulainya program restorative justice sampai dengan sekarang
sudah ada tujuh kasus yang ditangani oleh FMPA. Untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas, berikut ini diketengahkan beberapa kasus praktek penanganan
anak nakal yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, yaitu
sebagai berikut:
1. Kasus perkelahian sesama anak
a. Kronologis
Kasus ini berawal dari pelaku bernama De (16 th) yang sering diejek oleh
An (15 th). De merasa tersinggung ketika dikata-katain caludih (kotor
pakaiannya). De memang berasal dari keluarga miskin, orang tuanya sudah
88
bercerai dan De tinggal dengan ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci,
sehingga pakaian yang dipakainya hanya itu-itu juga. Tidak menerima
dengan ejekan tersebut, De memukul korban dan terjadilah perkelahian,
namun karena tenaga De lebih kuat mengakibatkan An babak belur.
Untunglah ada warga yang melerainya sehingga perkelahian berhenti,
kemudian oleh Pengurus RT setempat mereka dilaporkan kepada Ketua
RW untuk diselesaikan.
b. Upaya Penyelesaian
Ketua RW kemudian mengundang anggota Forum yang lainnya untuk
menyelesaikannya, demikian juga pihak keluarga korban dan keluarga
pelaku dipertemukan dan dilakukan musyawarah. Pada awalnya keluarga
korban tidak menerima dengan perlakuan pelaku, namun setelah
mendengarkan penjelasan dari pelaku dan korban (anaknya) akhirnya
keluarga korban meminta maaf atas kesalahan anaknya demikian juga
ibunya pelaku meminta maaf pada korban dan orang tuanya.
Hasil musyawarah adalah sebagai berikut:
-
Pelaku dan korban saling memaafkan dan tidak akan mengulangi
perbuatannya yang salah lagi.
-
Atas luka lebam yang ditimbulkan oleh pelaku, keluarga korban tidak
menuntut biaya pengobatan, mengingat korban juga mempunyai andil
kesalahan.
Setelah kejadian tersebut, menurut informasi dari Ketua RW pelaku dan
korban malah jadi bersahabat dan sering mereka bermain bersama,
demikian juga keterangan dari orang tua korban bahwa antara De dan An
terjalin persahabatan yang cukup erat seperti dituturkan oleh orang tua An
sebagai berikut:
”Mereka sekarang menjadi sahabat yang erat dan satu sama
lain saling kompak, karena pelaku hanya tamat SD, saya
pernah menawarkan kepada De dan ibunya untuk sekolah lagi
mengikuti paket B dan semua biaya ditanggung oleh saya,
tetapi De sudah tidak berminat sekolah lagi dan pingin cari
kerja saja untuk membantu ibunya”.
89
Kasus di atas memperlihatkan bahwa proses penyelesaian restorative
justice cukup efektif untuk memulihkan kedua belah pihak baik korban
maupun pelaku.
2. Kasus pemalakan yang berlanjut pada perkelahian
a. Kronologis
Pada awalnya ada empat orang anak berinisial A, C, B dan H, mereka
biasa mengamen di Terminal Ujung Berung. Pada suatu ketika mereka
selesai mengamen dan mau pulang ke rumah sewaannya, bertemu dengan
dua anak pelajar bernama Wa dan He. Salah seorang dari kelompok
pengamen mendekati Wa diikuti oleh teman yang lainnya dan meminta
uang, tetapi Wa tidak memberinya, sehingga terjadi keributan kecil dan
berujung pada ”cekcok” mulut, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama
karena keburu dilerai oleh warga sekitar yag melihatnya. Tidak terima
dengan kejadian tersebut Wa dan He melaporkan kepada orang tuanya dan
kemudian orang tuanya melaporkan kejadian tersebut pada FMPA.
b. Upaya Penyelesaian
FMPA memanggil para pihak dan ternyata pelaku yang empat orang
bukan berasal dari daerah Ujung Berung. Setelah dipertemukan keenam
anak tersebut bersama dengan orang tua/walinya, dilakukan musyawarah
dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:
-
Pelaku yang empat orang meminta maaf pada korban dan berjanji tidak
akan mengulangi perbuatannya yang salah.
-
Pelaku mendapat hukuman yaitu membersihkan halaman Mesjid Al
Amin di RW 03.
3. Kasus anak terjatuh dari motor karena dipaksa untuk mencoba mengendarai
motor oleh temannya
a. Kronologis
Dua orang sahabat yaitu Mi (14 th) dan De (14 th) naik motor kepunyaan
orang tuanya De. Saat di jalan yang agak sepi De menawarkan kepada Mi
untuk mencoba belajar motor karena sepengetahuannya Mi belum bisa
90
naik motor, saat itu Mi menolaknya tetapi De memaksanya dan bilang
tidak apa-apa nanti juga bisa dan tidak akan jatuh. Karena dipaksa untuk
belajar motor oleh sahabatnya tersebut akhirnya Mi mencoba mengendarai
motor tersebut, namun baru mulai jalan ternyata jatuh yang menyebabkan
motor tersebut rusak pada sayap kirinya. Ketika De kembali ke rumahnya
dengan membawa motor yang rusak, orang tuanya marah dan kemudian
mendatangi rumah keluarga Mi untuk meminta ganti rugi.
b. Upaya Penyelesaian
Kabar tentang kejadian tersebut menyebar dan akhirnya tembus pada
Ketua RT sehingga melaporkannya kepada Ketua RW, kemudian Ketua
RW bersama anggota Forum lainnya mengadakan musyawarah dan
memanggil para pihak. Setelah mendengar penjelasan dari kedua anak
ltersebut, akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut:
-
Orang tua Mi tidak menuntut ganti rugi atas kerusakan motornya,
karena ternyata De disuruh oleh Mi untuk mengendarai motornya
-
Masing-masing pihak saling meminta maaf
4. Kasus pencurian besi rongsokan
a. Kronologis
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 2006 sekitar jam 15.00 WIB, So (12 th)
dan Wa (12 th) masing-masing pelajar kelas 6 SD, sedang bermain. Ketika
melewati rumah Bapak In (di kompleks perumahan yang cukup mewah)
mereka melihat di halaman rumahnya ada beberapa potong besi bekas.
Melihat hal tersebut mereka mengambilnya dan membawanya pulang,
namun kejadian tersebut dilihat oleh warga dan oleh warga dilaporkan
kepada keamanan setempat (Satpam). Kemudian mereka dibawa kepada
pengurus RW 14.
b. Upaya Penyelesaian
Malam harinya Ketua RW mengundang anggota Forum yang lainnya dan
orang tua kedua anak tersebut juga pihak korban. Pada saat musyawarah
pihak korban langsung mengatakan bahwa dia tidak keberatan karena besi
91
tersebut sudah tidak dipakainya lagi, tetapi anggota forum tetap
menjalankan musyawarah supaya ada efek jera buat kedua anak karena
telah mengambil barang milik orang lain tanpa ijin.
Hasil musyawarah dicapai kesepakatan:
-
Pelaku dan kedua orang tuanya meminta maaf pada pihak korban.
-
Pihak korban meminta kepada semua pihak baik anggota forum
maupun kedua orang tuanya bahwa anak tersebut jangan diberi sanksi
apapun karena masih anak SD.
Sedangkan ada satu kasus yang telah ditangani oleh FMPA, tetapi
masalahnya dilanjutkan kepada pihak kepolisian yaitu kasus pengeroyokan yang
dilakukan terhadap Wk di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan, seperti yang
dituturkan oleh Ketua RW 14 sekaligus Ketua Forum di RW 14 berikut ini:
”Kasus ini bermula dari adanya dugaan masyarakat terhadap Wk,
seorang remaja berusia 15 tahun yang telah melakukan pencurian
kalung emas seberat 10 gram dan uang tunai Rp 600.000,- milik
tetangganya bernama Ny. Lis. Pencurian yang dituduhkan warga
tersebut terjadi pada hari Sabtu dini hari tanggal 2 Juli 2006, di
warung kelontong yang merangkap rumah Ny. Lis. Para pelaku yang
terdiri dari tujuh orang, selama sehari penuh memburu yang
bersangkutan. Akhirnya pada hari Sabtu malam tanggal 2 Juli 2006,
para pelaku menemukan Wk sedang asyik menonton pertunjukan
musik di alun-alun Ujung Berung. Seketika itu juga pada pelaku
membawa korban ke Kp. Telok Dengklok yang berjarak 3 Km ke arah
utara dari alun-alun Ujung Berung. Menurut keterangan saksi, Wa
dipukuli secara bergantian oleh para pelaku bahkan dalam keadaan
sempoyongan sempat dibawa ke rumah Ny. Lis dan karena lukanya
cukup parah warga membawanya ke rumah sakit”.
Lebih lanjut Ketua Forum mengatakan bahwa :
”Pada hari Sabtu jam 01.00 dini hari, tanggal 2 Juli 2006, saya
sebagai Ketua RW 14 didatangi oleh Ketua RT 02 yang melaporkan
adanya kasus pencurian. Pada malam itu juga, saya mewanti-wanti
kepada siapa pun agar korban jangan diapa-apakan, dan berusaha
akan menyelesaikannya dengan restorative justice . Besoknya hari
Minggu tanggal 3 Juli 2006 jam 08.00 saya bersama anggota Forum
Pemulihan melakukan upaya penyelesaian dengan memanggil
berbagai pihak yaitu keluarga pelaku pencurian, pihak korban
pencurian (Ny. Lis) dan orang-orang yang melakukan pemukulan
92
sebanyak 7 orang yaitu Na (35 th), Su (28 th), Iw (18 th), Uj (19 th),
He (25 th), Ib (17 th) dan De (16th) anak Ny. Lis korban pencurian.”
Setelah berkumpul para pihak, akhirnya ketua Forum melakukan
musyawarah dengan hasil sebagaimana dikemukakan lebih lanjut oleh Ketua
Forum sebagai berikut:
”Hasil musyawarah yang disepakati yaitu keluarga tersangka akan
mengganti kalung yang hilang apabila anaknya mengakui kalau dia
yang mengambil kalung tersebut, kemudian karena sakitnya cukup
parah, pihak yang melakukan pemukulan sebanyak 7 orang sanggup
mengganti biaya perawatan korban sampai sembuh dan Angggota
Forum akan menanyai pelaku pencurian (Wk) setelah sembuh dari
luka-lukanya dan nantinya akan dilakukan musyawarah ulang.”
Setelah satu minggu kemudian ternyata Wk meninggal dunia di rumah
sakit akibat luka memar di wajah adanya resapan darah di kepala bagian belakang
sehingga menyebabkan geger otak. Tidak terima dengan kejadian yang menimpa
anaknya, Ku (Ayah korban) melaporkan kasus tersebut pada pihak kepolisian,
sehingga beberapa anggota dari Polres Bandung Timur mendatangi Ketua RW
dan menjelaskan bahwa prosesnya harus ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian
karena telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, akhirnya ke tujuh pelaku
pemukulan diproses secara hukum.
7.2. Evaluasi Masyarakat
Penerapan restoratif justice
di Kelurahan Pasanggarahan
mempunyai
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang
Ketua Forum Musyawarah Pemulihan (FMP) di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan
bapak Adi sebagai berikut :
”Berdasarkan arahan dari team RJ bahwa harus ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi bisa tidaknya kasus diselesaikan oleh forum, yaitu
adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku (anak
nakal); adanya persetujuan pihak korban untuk melaksanakan
penyelesaian dengan cara musyawarah”
93
Lebih lanjut Adi mengemukakan bahwa :
”Selain itu bagi kasus yang sudah terlanjur dilaporkan kepada pihak
kepolisian, bisa saja Forum meminta untuk dilakukan musyawarah
terlebih dahulu tetapi tetap dengan ijin dari pihak kepolisian dan
mendapatkan dukungan dari masyarakat”
Dengan adanya persetujuan dari pihak kepolisian, maka diharapkan apabila
masalah tersebut dapat diselesaikan oleh forum, maka pihak kepolisian dapat
menghentikan penyidikannya dan melakukan deskresi sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki oleh kepolisian.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang
dapat dilaksanakan melalui restorative justice adalah bukan kasus kenakalan
yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas,
kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak
menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan
merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan.
Menurut tokoh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, pemilahan kasus
tersebut sudah tepat seperti dikemukakan oleh Ketua Tim Kelurahan yaitu Bapak
Wahyudin :
”Sebaiknya penyelesaian kasus yang dilakukan oleh forum itu bukan
kasus yang berat-berat, sebab kalau kasusnya berat pihak korban dan
juga masyarakat akan protes, misalnya apabila kasusnya perkosaan,
saya tidak setuju apabila diselesaikan secara kekeluargaan karena hal
tersebut sudah menyangkut mental anak yang bobrok sehingga apabila
ada kasus yang berat sebaiknya ditindak saja dan biarkan pihak
kepolisian yang bekerja”
Untuk kasus-kasus yang ringan, masyarakat menyetujui apabila hal tersebut
diselesaikan oleh forum melalui musyawarah, seperti dikemukakan oleh salah
seorang pengurus PKK di Kelurahan Pasanggrahan Ibu Dani sebagai berikut :
”Kebanyakan kasus yang pernah terjadi di Kelurahan Pasanggrahan
khususnya yang pelaku anak-anak adalah kasus pencurian atau
perkelahian. Saya menyetujui apabila hal tersebut diselesaikan oleh
forum dan tidak usah dilaporkan kepada pihak kepolisian”
94
Terhadap kasus kenakalan anak tersebut, model penyelesaian dilakukan dengan
cara musyawarah atau dapat diberi nama Musyawarah Pemulihan.
Hal ini
dikarenakan musyawarah merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia sejak
jaman dahulu, khususnya di masyarakat sunda. Musyawarah memiliki nilai-nilai
saling menghargai dan menghormati sebagai manusia, pengakuan terhadap hak
dan kewajiban masing-masing, bekerjasama, saling membantu untuk mencari
pemecahan yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, mengembangkan
kesadaran masyarak
at untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat, seperti yang
dituturkan oleh salah seorang pengurus FMPA Bapak Wiratmo :
”ketika dilakukan sosialisasi oleh LPA tentang restorative justice yang
pada intinya setiap kasus anak nakal diselesaikan oleh masyarakat
melalui musyawarah, sebenarnya hal ini sudah sering kita lakukan, tetapi
sifatnya hanya insidentil saja dan tidak melembaga, saya sebagai salah
seorang warga dan dipercaya untuk menjadi anggota FMPA sangat setuju
dengan penyelesaian anak nakal melalui jalan musyawarah, karena
musyawarah merupakan ciri kepribadian dan budaya leluhur kita”
Penggunaan bermusyawarah dipandang tepat karena dirasakan sesuai dengan
kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga pada masyarakat Indonesia atau
kota Bandung pada khususnya. Selain itu cara musyawarah dapat mengakomodasi
keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian,
ketimbang cara mediasi yang hanya dapat melibatkan para pihak (dalam hal ini
pelaku dan korban) dan mediator. Tentang nama musyawarah pemulihan, lebih
dimaksud sebagai upaya untuk senantiasa mengingat adanya tujuan yang bersifat
memulihkan yang hendak dicapai dalam proses musyawarah tersebut yaitu
memulihkan segala ”kerugian” dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa
kenakalan anak tersebut dan adanya hubungan yang lebih baik lagi antara
tersangka, korban dan masyarakat secara menyeluruh.
Selanjutnya selain penilaian masyarakat bahwa program restorative justice
cukup bermanfaat dan perlu ditingkatkan kinerjanya, sebagaimana uraian di atas,
ternyata ada beberapa hal yang perlu evaluasi lanjut, terutama untuk beberapa
95
kasus yang tidak tertangani. Terdapat tiga kasus kenakalan anak yang tidak
ditangani oleh Forum dan terjadi diwilayah Kelurahan Pasanggrahan, yaitu terjadi
di RW 01, RW 08 dan RW 11. Kedua kasus tersebut oleh pihak korban dilaporkan
langsung kepada pihak kepolisian sehingga diproses secara hukum. Ketiga kasus
tersebut adalah :
a. Kasus pencurian Handphone yang dilakukan oleh seorang wanita bernama Is
(15 th). Saat itu Is hendak mengunjungi salah satu temannya yang beralamat di
RW 8, tetapi karena sudah lama lupa lagi alamatnya, sehingga ketika masuk
ke salah satu rumah mau menanyakan alamat temannya, rumah tersebut dalam
keadaan kosong dan pintu depannya terbuka, Is mengetuk pintu tetapi tidak
ada yang menyahut, dan dia melihat diatas meja tamu ada satu buah
handphone, kemudian Is mengambilnya, namun ketika mau keluar rumah
ketahuan oleh pemilik rumah dan Is diinterogasi kemudian pihak korban
langsung menelepon ke Polres Bandung Timur. Tidak lama kemudian pihak
kepolisian datang dan membawa Is untuk diproses lebih lanjut.
b. Kasus seorang anak bernama Wan (17 th) yang diduga melakukan percobaan
pencurian sepeda motor dilingkungan RW 01. Pada awalnya Wan bertemu
dengan Kel di Pasar Ujung Berung, saat itu Kel menyuruh Wan untuk
mengambil motor yang sedang diparkir didekat pasar sambil menyerahkan
kunci motornya, tanpa curiga Wan mau saja mengambil motor tersebut,
namun setelah motor itu dihidupin, ternyata ada yang meneriakinya maling,
Wan kaget ketika massa mengerubuti, untunglah ada Polisi yang sedang
berjaga sehingga langsung diamankan ke kantor kepolisian, sedangkan Kel
yang menyuruh Wan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Akhirnya
Wan diproses secara hukum.
c. Kasus seorang anak bernama Gn (15 th) yang diduga melakukan pencurian
kencleng Mesjid Baiturahman di RW 11. Pada awalnya Gn pura-pura akan
shalat Dhuhur, namun ketika suasana sepi Gn mendekati kencleng mesjid
yang terletak dipojok, kemudian mencongkelnya dengan menggunakan obeng
dan mengambil uangnya. Ketika akan keluar mesjid, ternyata aksinya tersebut
diketahui oleh satu warga yang kebetulan mau masuk mesjid dan curiga
96
melihat kelakuan pelaku, setelah pelaku mau keluar langsung ditangkap dan
diinterogasi, akhirnya Gn diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses
lebih lanjut.
Ketiga kasus tersebut memperlihatkan bahwa sosialisasi tentang penanganan anak
nakal belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat yang ada di kelurahan
Pasanggrahan, hal ini seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus DKM
Baiturahman Bapak Zumadi :
”Pada saat kejadian seorang anak mengambil kencleng di Mesjid, waktu
itu kami menginterogasinya dan ternyata dia bukan warga disini,
sehingga oleh kami langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian supaya
ada efek jera bagi anak tersebut”
Ketika ditanyakan kepada Bapak Zumadi, apakah bapak pernah mengenal tentang
penanganan anak melalui resotrative justice dijawabnya tidak mengetahui dan
malah balik bertanya seperti apaan itu ?
Setelah ditelusuri kepada Ketua RW 11, ternyata restorative justice belum
sempat disosialisasikan kepada warganya sehingga tidak mengetahui penanganan
yang terbaik buat anak, demikian juga waktu kasus pencurian Handphone di RW
01 dan percobaan pencurian sepeda motor di RW 11. Setelah Ketua RW
mengikuti sosialisasi di Kelurahan, mereka tidak mensosialisasikan kepada
warganya, sehingga program tersebut tidak pernah dilaksanakan dan masyarakat
masih belum mengetahui penanganan anak nakal dengan model restorative
justice”
Dari ketiga kasus yang tidak tertangani ini, sebagai evaluasi dapat
disimpulkan meski penanganan kasus kenakalan anak dengan pendekatan
restorative justice telah cukup efektif menurut penilaian masyarakat. Namun
dalam pelaksanaannya tetap memerlukan proses sosialisasi dan desiminasi
informasi penyelenggaraan restorative justice. Hal ini dimaksudkan agar
pemahaman tentang konsep
penyelenggaraannya menjadi lebih luas dan
memberikan dampak yang lebih efektif bagi penanganan kasus-kasus anak yang
berkonflik dengan hukum, terutama di wilayah tersebut.
97
7.3. Evaluasi Keluarga Korban
Dari seluruh kasus yang terjadi di Kelurahan Pasanggrahan, mayoritas pihak
keluarga korban mendukung proses penyelesaian dengan restorative justice.
Mereka puas dengan jalan musyawarah yang dilakukan. Seperti ungkapan salah
satu orang tua korban korban An seperti berikut ini :
”Saya dapat mengambil hikmah yang sangat berarti dengan adanya
kejadian yang menimpa anak saya, karena sebelumnya saya tidak
mengetahui kalau anak saya itu suka berkata-kata kotor pada orang
lain, dan setelah terjadi kasus pada anak saya kemudian dilakukan
pertemuan untuk menyelesaikannya, barulah saya tahu bahwa penyebab
pelaku memukul anak saya diakibatkan kesalahan anak saya yang sering
berkata-kata kasar dan kotor. Setelah kejadian itu saya jadi introspeksi
kepada diri saya sendidi bahwa dalam mendidik anak selama ini
ternyata saya masih ada kekurangan. Alhamdulilah sejak kejadian itu
saya jadi lebih sering dekat dengan anak dan selalu mengingatkan untuk
berkata-kata yang baik dan sopan kepada semua orang, dan
kelihatannya anak saya juga mengalami perubahan yang sangat besar.
Saya perhatikan apabila main dengan temannya kata-katanya sopan”
Selain itu juga terjalin hubungan yang positif antara keluarga korban dengan
keluarga pelaku, seperti kejadian yang menimpa korban Bpk In yang dihalaman
rumahnya terdapat besi rongsokan dan dicuri oleh dua oang pelaku. Setelah
kejadian tersebut ternyata pihak korban malah memberikan bantuan kepada
keluarga pelaku seperti dituturkan oleh Bapak In sebagai berikut :
”Seminggu setelah kejadian, saya mendatangi rumah Pak RW dan
meminta untuk diantar ke rumah keluarga korban. Setelah bersamasama dengan Pak RW bertemu dengan rumah pelaku, saya merasa
iba sekali, ternyata kedua orang tua anak tersebut berprofesi sebagai
pemulung dan tinggal digubuk yang sangat kumuh, sehingga saat itu
saya secara spontanitas memberi mereka uang dan esok harinya
mengantarkan beras dan baju bekas untuk keluarga pelakutersebut.
Saya bersyukur dengan kejadian itu karena sejak itu sampai sekarang
saya sering menyuruh kedua orang tua korban apabila ada pekerjaan
dirumah, saya selalu meminta mereka untuk menyelesaikannya.
Hitung-hitung membantu agar mereka dapat melangsungkan
kehidupannya dengan baik”.
Dari kedua kejadian tersebut ternyata proses penyelesaian lewat restorative justice
membawa dampak positif bagi kedua belah pihak baik korban maupun pelaku.
98
7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku
Berdasarkan data dan informasi dari keluarga pelaku yang ada di Kelurahan
Pasanggrahan, mereka sangat senang dan gembira anak-anaknya tidak diproses
secara hukum tetapi diselesaikan lewat musyawarah. Mereka merasa bersyukur
anak-anaknya telah terselamatkan dari dampak yang lebih buruk apabila
diselesaikan secara hukum, seperti diungkapkan oleh orang tua pelaku berinisial
A, yang menceritakan sebagai berikut :
”untunglah anak saya tidak dilaporkan ke Pak Polisi, seandainya
dilaporkan ke Polisi tentu anak saya akan dipenjara, saya tidak bisa
membayangkan kalau anak saya dipenjara, sebab saya mendengan di
penjara itu tempat berkumpul orang-orang jahat, saya tidak bisa
membayangkan kalau anak saya yang masih kecil dan bersatu dengan bekas
preman-preman jahat, tentunya anak saya juga akan kebawa-bawa lebih
jahat lagi”
Melalui penyelesaian restorative justice ternyata dapat dipetik manfaat yaitu
pelaku terhindar dari adanya stiga yang negatif, selain itu akan membuat pelaku
bertanggung jawab karena mendapatkan sansi yang mendidik sehingga
diharapkan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang salah, seperti yang
menimpa empat orang anak pengamen yang melakukan pemerasan, sebagaimana
diungkapkan oleh salah satu orang tua anak sebagai berikut :
”Saya bersyukur pak, anak saya yang telah melakukan kesalahan dan
mendapat hukuman yaitu membersihkan mesjid setiap hari Jum’at selama
dua bulan. Sejak menjalani hukuman tersebut, anak saya sekarang jadi
rajin pergi ke mesjid dan rajin shalatnya, malahan dia sekarang sering
mengingatkan saya apabila saya terlambat shalat. Saya beruntung sekali
dengan kejadian itu ternyata membawa hikmah bagi anak saya termasuk
bagi saya sebagai orang tuanya, mudah-mudahan anak saya kedepannya
jauh lebih baik dan bisa menjadi anak yang soleh, dan diberi jalan hidup
yang lebih baik”
Dari kejadian tersebut dapat dilihat bahwa penyelesaian lewat restorative justice
membawa manfaat bagi anak sehingga perilaku si anak jauh lebih baik daripada
sebelumnya.
99
BAB VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS
FORUM
Memperhatikan berbagai potensi, hambatan dan kendala yang dihadapi
dalam penanganan masalah kenakalan anak sebagaimana telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, maka dapat dibuat rencana program pengembangan. Program
pengembangan dimaksud, merupakan suatu program yang menempatkan
partisipasi masyarakat lokal sebagai proses utama kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Penyusunan program dibuat dengan memperhatikan analisis potensi,
permasalahan dan kebutuhan yang pengkaji pahami melalui peta sosial dan
program penanganan anak nakal dengan restorative justice yang dilakukan di
Kelurahan Pasanggrahan
Metode yang digunakan dalam menyusun program pengembangan
masyarakat dengan cara Partiscipatory Rural Appraisal (PRA), yaitu metode
pendekatan dalam penyusunan program yang penekannya pada keterlibatan
masyarakat dalam keseluruhan kegiatan, yang meliputi penentuan prioritas
masalah,
penyusunan
rancangan,
dan
pelaksanaan
kegiatan.
Dalam
pelaksanaannya dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Melakukan kunjungan
Melakukan kunjungan merupakan suatu tahapan dalam kegiatan PRA yang
dilakukan pengkaji untuk membangun kepercayaan, keterbukaan dan
keakraban. Kegiatan ini dilakukan kepada pengurus FMPA, pihak inisiator,
pengurus institusi lokal, tokoh masyarakat, aparat kelurahan, keluarga anak
nakal dan masyarakat yang mempunyai kepedulian dan informasi tentang
penanganan anak nakal. Selanjutnya dalam kegiatan ini juga dikembangkan
dialog problematisasi masalah, yaitu pengembalian masalah yang dianggap
sangat penting (menjadi prioritas) oleh masyarakat dan perlu penanganan
dengan segera.
100
2. Penelusuran alur penanganan anak nakal
Tahapan ini dilakukan untuk mengungkapkan kembali upaya-upaya
penanganan anak nakal yang pernah dilakukan di tiap-tiap Rukun Warga di
Kelurahan Pasanggrahan. Tujuan dari tahapan ini untuk mengetahui
sejauhmana proses penyelesaian yang dilakukan di tiap-tiap RW dan apa saja
hambatan-hambatan yang dirasakan
Disamping hal tersebut diatas, dalam melakukan penyusunan program,
pengkaji juga melakukan kegiatan observasi, wawancara dan diskusi serta FGD
dengan subjek kajian (pelaku, keluarga pelaku, dan pihak korban), Anggota
FMPA, pihak inisiator, tokoh masyarakat dan insititusi lokal seperti LPM, DKM,
PKK, Karang Taruna dan informan lain yang dipandang perlu seperti aparat
kelurahan, dinas/instansi terkait. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya memperoleh
gambaran yang komprehensif tentang keterkaitan gejala-gejala sosial dengan
pengembangan
masyarakat
khususnya
pemberdayaan
komunitas
dalam
penanganan anak nakal dengan model restorative justice. Untuk mendukung hal
tersebut dilakukan identifikasi potensi, permasalahan dan kebutuhan melalui
kegiatan observasi, wawancara dan diskusi kelompok. Kegiatan tersebut
dilakukan secara simultan dan saling terkait satu dengan yang lainnya.
8.1. Identifikasi Potensi, permasalahan dan Kebutuhan
8.1.1. Identifikasi Potensi
Melakukan kajian bersama dengan Anggota Tim FMPA Tingkat
Kelurahan, aparat kelurahan, unsur lembaga lokal (LPM, DKM, PKK, Karang
Taruna), tokoh masyarakat seperti Ketua RW, Ketua RT, Guru, Ketua LSM
Saudara Sejiwa, Anak nakal dan keluarganya, dan pihak korban untuk
memberikan gambaran tentang perlunya suatu penanganan terhadap masalah anak
nakal secara komprehensif dan berkesinambungan
Identifikasi potensi yang dilakukan pengkaji untuk memperoleh gambaran
secara menyeluruh berkaitan dengan sistem sumber yang dimiliki oleh masyarakat
Kelurahan Pasanggrahan yang didalamnya meliputi sumber daya manusia,
101
kelembagaan, nilai-nilai sosial dan sistem sumber yang dimiliki masyarakat serta
persepsi masyarakat tentang penanganan anak nakal dengan model restorative
justice. Kegiatan yang dilakukan untuk melakukan identifikasi potensi meliputi
kegiatan wawancara seperti wawancara yang dilakukan dengan Anggota Tim
FMPA Tingkat Kelurahan, Anggota Tim FMPA Tk. RW, Ketua LSM Saudara
Sejiwa, Anak nakal dan keluarganya, dan pihak korban. Setelah identifikasi
dilakukan observasi (aktivitas FMPA, Keluarga pelaku dan pihak korban dan
kunjungan ke lembaga lokal yang memiliki ketertarikan dalam penanganan anak
nakal seperti DKM, LPM, PKK dan Karang Taruna
Selain kegiatan tersebut di atas juga dilakukan studi dokumentasi terhadap
keiatan FMPA yang pernah dilakukan dalam menangani anak nakal. Untuk
memperoleh gambaran yang utuh dilakukan studi dokumentasi kepada inisiator
yaitu Unicef Jabar, LPA Jabar dan LSM saudara Sejiwa.
Berdasarkan identifikasi potensi yang dilakukan, diperoleh gambaran
bahwa upaya penanganan anak nakal dengan restorative justice yang dilakukan
oleh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan khususnya di RW 03, 05 dan RW 14
sudah berjalan dengan baik, tetapi di RW yang lainnya masih perlu
disosialisasikan tentang pentingnya penanganan anak nakal dengan model
restorative justice.
8.1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan diskusi kelompok yang
dilakukan, diperoleh gambaran permasalahan sebagai berikut :
a. Masih belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan
restorative justice ke seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan
b. Masih lemahnya keterlibatan intitusi lokal yang ada seperti LPM, DKM,
PKK dan Karang taruna dalam penanganan anak nakal
c. Menurunnya solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, karena masih
dilihat sebagai persoalan pemerintah (aparat penegak hukum). Hal ini
terbentuk karena masyarakat terlalu sibuk dalam mengatasi permasalahan
ekonomi dan kebutuhan keluarga. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat
102
berfikir secara individual, pada saat bersamaan berkurangnya aktivitas
sosial dan kuatnya arus informasi yang bersifat konsumtif semakin
menjauhkan keluarga dan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial
terhadap anak-anak
8.1.3. Identifikasi Kebutuhan
Melakukan identifikasi kebutuhan berkaitan dengan penanganan anak
nakal dilakukan dengan observasi, wawancara dan diskusi kelompok yang pada
prinsipnya tidak berbeda dengan kegiatan identifikasi dan masalah. Berdasarkan
hasil kegiatan tersebut, diperoleh gambaran kebutuhan sebagai berikut :
a. Perlu adanya sosialisasi tentang penanganan anak nakal dengan model
restorative justice kepada seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan
b. Perlu adanya keterlibatan institusi lokal yang ada seperti LPM. DKM, PKK
dan Karang Taruna dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan
c. Perlu dicari alternatif kegiatan yang dapat meresosialisasi nilai-nilai anak pada
masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan yang telah mengalami perubahan
distorsi dengan menggunakan sumber kelembagaan yang dimiliki masyarakat
khususnya melalui FMPA
8.2. Analisis Pohon Masalah
Setelah memahami potensi, masalah, dan kebutuhan, selanjutnya
dilakukan analisis masalah yang dituangkan dalam bentuk pohon masalah.
Analisis ini menggunakan teknik diskusi kelompok terfokus secara curah
pendapat (FGD) yang divisualisasikan melalui kartu-kartu (potongan kertas karton
dengan ukuran 10 x 5 cm yang berisikan tulisan dari peserta diskusi). Potongan
karton tersebut kemudian dikumpulkan dan selanjutnya ditempelkan di papan tulis
(white board), sehingga semua peserta dapat menetapkan, menempelkan dan
melihat secara utuh apa yang menjadi permasalahan pokok dalam penanganan
anak nakal.
103
Kegiatan ini melibatkan seluruh unsur yang sebelumnya telah ditemui
oleh penulis pada kegiatan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan seperti:
Tim FMPA Tingkat Kelurahan, Tim FMPA Tingkat RW, LPM, DKM, PKK, dan
Karang Taruna, Ketua RW dan RT, Guru, Pihak inisiator yaitu Unicef Jawa Barat,
LPA Jawa Barat, dan LSM Saudara Sejiwa, serta pelaku dan keluarganya, pihak
korban dan masyarakat yang peduli pada penanganan anak nakal.
Secara besaran analisis pohon masalah terbagi atas dua bagian yaitu: (1)
satu masalah inti, yang merupakan fokus utama penanganan. Melalui inti masalah
ini beberapa kebutuhan yang terproblematisasi dapat dipenuhi, (2) beberapa
masalah dan kondisi negatif yang menyebabkan masalah inti.
Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dalam penanganan anak
nakal dapat dijelaskan penyebabnya sebagai berikut:
a. Masalah
belum
tersosialisasikannya penanganan
anak
nakal
dengan
restorative justice ke seluruh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan. Hal ini
disebabkan Tim FMPA Tingkat Kelurahan tidak mensosialisasikan secara
langsung penanganan anak nakal kepada seluruh RW di Kelurahan
Pasanggrahan.
b. Masalah lemahnya keterlibatan institusi lokal yang ada seperti LPM, DKM,
PKK, dan Karang Taruna dalam penanganan anak nakal. Hal ini disebabkan
sejak awal program mereka tidak pernah diajak terlibat secara langsung dalam
kegiatan sehingga sikapnya apatis.
c. Menurunnya solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, karena masih
dilihat sebagai persoalan pemerintah (aparat penegak hukum). Adanya
pandangan yang negatif tentang anak nakal berakibat terhadap lemahnya
partisipasi yang diberikan masyarakat terhadap program penanganan.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dalam jangka pendek,
menengah dan jangka panjang, bila tidak diselesaikan akan mempengaruhi upaya
penanganan anak nakal. Penekanan ini perlu dilakukan karena partisipasi yang
104
dibangun belum sepenuhnya menjadi budaya ”prakarsa/kemauan” dan program
yang dilaksanakan masih bersumber dari atas.
Identifikasi masalah sebagaimana uraian di atas dapat digambarkan
dalam Pohon Masalah Gambar 4.
FMPA tidak
maksimal
pengucilan
kasus anak
meningkat
hak anak tidak
terpenuhi
Inti Masalah
Sosialisasi
blm maksimal
institusi lokal
apatis
PENERAPAN
PENERAPAN
“RESTORATIVE
“RESTORATIVE
JUSTICE”BELUM
BELUM
JUSTICE”
MAKSIMAL
MAKSIMAL
lemahnya peran
institusi lokal
solidaritas
menurun
Gambar 5. Pohon Masalah
Berdasarkan gambar pohon masalah di atas, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa permasalahan inti penerapan restorative justice adalah bahwa
program belum berjalan dengan maksimal, disebabkan oleh sosialisasi program
yang belum maksimal ke seluruh warga Kelurahan Pasanggrahan, menurunnya
solidaritas sosial dalam penanganan anak nakal, serta lemahnya peran institusi
lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh kurang maksimalnya program ini, adalah
institusi lokal (DKM, LPM, Karang Taruna) apatis karena tidak dilibatkan sejak
awal, kinerja FMPA kurang maksimal, kasus anak nakal cenderung meningkat,
105
tidak terpenuhinya hak-hak anak bila harus berhadapan dengan peradilan formal,
serta terjadi pengucilan terhadap anak nakal. Berdasarkan kesimpulan ini, maka
diperlukan membuat suatu rancangan program agar restorative justice dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Rancangan program terdiri dari program
jangka pendek yaitu sosialisasi restorative justice dengan melibatkan institusi
lokal; program jangka panjang berupa terbentuknya forum komunikasi FMPA
antar RW se-Kelurahan Pasanggrahan, serta program monitoring dan evaluasi
untuk mengetahui sejauh mana efektifitas dan efisiensi program dijalankan.
8.3. Rancangan Program
Dalam rangka mendapatkan strategi penanganan anak nakal berbasis
masyarakat melalui program restorative justice sebagaimana menjadi tujuan
kajian ini, telah dilakukan serangkaian kegiatan dimulai dari pemetaan sosial,
evaluasi program, dan penelitian yang menganalisis tentang proses pembentukan
dan kinerja restorative justice di Kota Bandung, Kinerja FMPA di Kelurahan
Pasanggrahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja forum, serta evaluasi
hasil kinerja forum di aras masyarakat, keluarga korban, dan keluarga pelaku,
Proses pengumpulan data menggunakan pendekatan “tri-angulasi” yang
mengombinasikan tiga kategori metode pengumpulan data, yakni review
dokumen, pengamatan dan wawancara. Ketiga pendekatan tersebut memberi
konstribusi yang saling melengkapi, karena itu sering digunakan secara bersamaan
dalam suatu penelitian guna memperoleh data yang valid (Saharuddin 2002).
Hasil penelitian tersebut diungkapkan dalam PRA dan FGD dengan
melibatkan stakeholder yang dipilih, agar berjalan sesuai dengan aspirasi dan
kondisi masyarakat. PRA dan FGD yang dilaksanakan menunjukkan adanya
kemauan dan itikad baik dari berbagai pihak untuk menjadikan restorative justice
sebagai program penanganan anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui proses
peradilan formal yang kurang memihak kepada kepentingan anak.
106
Berdasarkan hasil diskusi, dirumuskan beberapa rancangan program aksi
untuk menjadikan program restorative justice dapat lebih efektif dilaksanakan
oleh FMPA dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan.
8.3.1. Program Jangka Pendek : Sosialisasi Program
Program ini dimaksudkan untuk lebih mensosialisasikan penanganan anak
nakal dengan model restorative justice, melibatkan institusi lokal yang ada di
Kelurahan Pasanggrahan.
a. Latar Belakang
Beberapa kasus anak nakal yang seharusnya cukup diselesaikan di
tingkat FMPA, oleh masyarakat langsung diteruskan kepada aparat penegak
hukum. Hal ini berdampak terhadap pelaku yang harus melewati peradilan
formal yang cenderung tidak memihak kepentingan anak. Sosialisasi
penanganan anak nakal masih belum sepenuhnya menyebar ke setiap RW
yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, sehingga institusi lokal apatis bertindak
karena ketidaktahuannya. Hal ini dapat berakibat buruk bagi anak nakal
tersebut, terutama bagi perkembangan psikisnya. Stereotype yang diberikan
oleh masyarakat umum, tidak menjadikan anak tersebut menjadi berubah baik
perilakunya, tetapi bisa jadi menambah beban mental dan kenakalannya.
b. Tujuan
Dengan adanya sosialisasi penanganan anak nakal, diharapkan
masyarakat diseluruh RW di Kelurahan Pasanggrahan dapat mengatasi
bersama-sama apabila terjadi permasalahan anak nakal. Setiap kasus anak
nakal yang terjadi di wilayahnya, selama itu berupa kasus ringan dan
disepakati dapat diselesaikan melalui FMPA, tidak harus dibawa kepada
aparat penegak hukum. Proses pemulihan menjadi alternatif yang lebih baik
ketimbang proses peradilan formal bagi anak nakal tersebut, sehingga
perubahan perilaku yang lebih baik akan segera tercapai. Melalui sosialisasi
FMPA, masyarakat umum juga dapat memberikan dukungan yang baik bagi
penyelesaian kasus secara kekeluargaan.
107
c. Indikator Kinerja
Indikator
keberhasilan
program
dapat
dilihat
dari
meratanya
pemahaman tentang penanganan anak nakal. Dampak positifnya adalah, setiap
terjadi kasus anak nakal, masyarakat memproses melalui FMPA, sedangkan
penyerahan kasus kepada aparat penegak hukum menjadi alternatif kedua.
Diharapkan tidak ada kasus kenakalan anak di tingkat peradilan formal, semua
diselesaikan di tingkat masyarakat.
d. Alat Verifikasi
Indikator keberhasilan diverifikasi melalui FGD, yang melibatkan
keluarga pelaku, keluarga korban, masyarakat umum, dan aparat penegak
hukum. Kepuasan atas pemenuhan rasa keadilan bagi setiap stakeholder
tersebut menjadi indikator yang dicari melalui FGD ini. Apabila tercapai
peradilan yang memulihkan bagi kepentingan anak nakal, maka program dapat
sustainable. Apabila tidak tercapai kepuasan tersebut, maka perlu direview
ulang terhadap metode yang dilaksanakan melalui program ini, sehingga
tercapai metode penanganan anak nakal berbasis masyarakat yang
memperhatikan kepentingan anak nakal.
e. Pelaksana
Pelaksana program adalah anggota FMPA Tingkat Kelurahan dibantu
oleh LSM Saudara Sejiwa dan LPA Jawa Barat.
f. Pendukung
Pendukung program adalah LPA Jabar yang berperan penting dalam
pembinaan dan pengawasan jalannya program. Pendukungan dapat berupa
pendanaan, tenaga ahli sosialisasi program dan pemahaman hak-hak anak
dalam proses hukum, serta pendampingan dalam penanganan anak nakal pada
tahap awal. Pada tahap selanjutnya, masyarakat dapat didorong untuk lebih
mandiri dalam menangani permasalahan anak nakal di wilayahnya.
g. Metode Pelaksanaan
Metoda pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan cara mengadakan
pertemuan secara langsung antara Anggota FMPA Tingkat Kelurahan dengan
108
perwakilan warga masyarakat di setiap RW, didukung oleh beberapa
stakeholder yaitu LPA Jabar, LSM Saudara Sejiwa, dan aparat penegak
hukum di wilayahnya.
h. Waktu
Pelaksanaan kegiatan adalah bulan Juni, Juli, dan Agustus 2009.
i. Sumber Dana
Dana penunjang kegiatan berasal dari swadaya masyarakat ditambah
dengan bantuan dari pihak LPA Jawa Barat.
Program jangka pendek ini dapat disajikan dalam bentuk Tabel 12.
Tabel 12. Sosialisasi Program Restorative Justice
Program
Sosialisasi
penanganan
anak nakal
melalui
program
restorative
justice belum
maksimal
Kegiatan
Pelaksana
Sosialisasi/ FMPA Tingkat
pertemuan Kelurahan
antara
Pasanggrahan
FMPA
dengan
masyarakat,
didukung
oleh
stakeholder
Penanggung
Jawab
Pendukung
Ketua FMPA LPA Jabar, LSM
Saudara sejiwa,
aparat penegak
hukum
Waktu
Pada bulan
Juni, Juli,
Agustus
2009
Bahan
Ket
Ruang rapat
* undangan
yang
diberikan kepada
representative, keluarga pelaku,
papan tulis,
keluarga korban,
potongan
lembaga/ institusi
kertas karton
lokal yang ada,
aparat penegak
ukuran 5x10
cm, bahan
hukum
presentasi
* LPA dan LSM
bertindak sebagai
nara sumber dan
pendukung dana
8.3.2. Program Jangka Panjang
Merupakan rencana progran aksi pengembangan masyarakat untuk jangka
panjang adalah terbentuknya Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW seKelurahan Pasanggrahan.
a. Latar Belakang
Anggota FMPA terdiri dari berbagai macam latar belakang pendidikan,
pekerjaan, status sosial yang berbeda. Perbedaan tersebut di satu sisi akan
menambah wawasan dan metode dalam penanganan anak nakal yang sesuai
dengan yang diinginkan oleh seluruh anggota. FMPA di tingkat RW tidak
109
terlepas begitu saja dengan FMPA Tingkat Kelurahan, meskipun tidak
berhubungan secara hierarki. Artinya, FMPA Tingkat RW tidak berkewajiban
untuk melaporkan kegiatan dan bertanggung jawab secara hierarki kepada
FMPA Tingkat Kelurahan Pasanggrahan, tetapi sama-sama mempunyai visi
menerapkan restorative justice dalam menangani kasus anak nakal di
wilayahnya. Sehingga dipandang perlu untuk membentuk Forum Komunikasi
pada Tingkat Kelurahan Pasanggrahan.
b. Tujuan
Forum komunikasi pada tingkat kelurahan dibentuk untuk membahas
dan tukar pikiran mengenai penanganan kasus anak nakal yang ada di masingmasing RW. Forum komunikasi ini juga berperan sebagai ajang penambahan
wawasan dan pemahaman mengenai hak-hak anak, metode penanganan anak
yang sesuai dengan norma sosial yang ada dalam masyarakat, dan
mempertahankan motivasi dalam menerapkan program ini. Setiap penanganan
kasus anak nakal di suatu RW, dapat dijadikan referensi penanganan kasus
yang sama di RW lain.
c.
Indikator Kinerja
Indikator keberhasilan program dilihat dari rutinnya mengadakan
pertemuan FMPA Tingkat RW, tingkat kehadiran anggota, serta keaktifan
diskusi yang diselenggarakan. Setiap pertemuan menghasilkan sesuatu yang
dapat meningkatkan motivasi FMPA Tingkat RW dalam menjalankan
program. Apabila pertemuan hanya berisi hal yang monoton saja, maka
motivasi untuk mengadakan pertemuan akan berkurang. Sehingga masingmasing FMPA Tingkat RW dapat menyampaikan gagasan, pemikiran, ide,
agar penerapan program makin baik dari waktu ke waktu.
d. Alat Verifikasi
Indikator keberhasilan
diverifikasi melalui FGD,
yang dapat
diselenggarakan pada pertemuan rutin selanjutnya. Permasalahan penerapaan
restorative justice di wilayah, dapat menjadi fokus pembahasan dalam forum
tersebut, untuk dipecahkan bersama. Diperlukan peranan FMPA tingkat
110
Kelurahan, narasumber (LPA Jabar dan LSM Saudara Sejiwa) dalam
menghidupkan suasana diskusi.
e. Pelaksana
Pelaksana program adalah anggota FMPA Tingkat Kelurahan dibantu
oleh LSM Saudara Sejiwa dan LPA Jawa Barat.
f. Pendukung
Pendukung program adalah LPA Jawa Barat yang berperan penting
dalam pembinaan dan pengawasan jalannya program, di samping memberikan
stimulan anggaran.
g. Metode Pelaksanaan
Metode yang ditempuh yaitu pembahasan materi, diskusi, dan
penguatan komitmen seluruh anggota forum dalam penanganan anak nakal.
Dapat dipertimbangkan untuk mengadakan simulasi penanganan kasus anak
nakal melalui program ini, sehingga setiap tahap yaitu family group
conference, victim offender mediation, peacemaking and sentencing circles
senantiasa didasari oleh unsur-unsur adanya dialog, relationship building, dan
restorasi.
h. Waktu
Waktu pelaksanaan satu tahun dua kali, pada bulan April dan Oktober
tiap-tiap tahun.
i. Sumber Dana
Dana penunjang kegiatan berasal dari swadaya masyarakat ditambah
dengan bantuan dari pihak LPA Jawa Barat.
Program jangka panjang ini apabila disajikan dalam bentuk Tabel 13.
111
Tabel 13. Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW
se-Kelurahan Pasanggrahan
Program
Kegiatan
Pelaksana
Penanggung
Pendukung
Jawab
Terbentuknya Pembahasan materi, FMPA Tingkat Ketua
diskusi, dan
forum
Kelurahan
FMPA
penguatan
komunikasi
Pasanggrahan
FMPA Tingkat komitmen seluruh
anggota FMPA
RW sedalam menerapkan
Kelurahan
Pasanggrahan program.
Simulasi
penanganan kasus
LPA Jabar,
LSM
Saudara
sejiwa,
aparat
penegak
hukum
Waktu
Pada
bulan
April dan
Oktober
tiap-tiap
tahun
Bahan
Ket
Ruang rapat
* undangan
yang
diberikan kepada
representative, seluruh anggota
FMPA Tingkat
papan tulis,
potongan
RW sekertas karton
Kelurahan
ukuran 5x10
Pasanggrahan
cm, bahan
* LPA dan LSM
presentasi
bertindak
sebagai
narasumber dan
pendukung dana
8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi
Pada bab terdahulu telah dijelaskan tentang pentingnya monitoring dan
evaluasi (monev) dilakukan. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan
pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan
dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Pemantauan dilakukan untuk
memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan
dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan
untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan,
membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan
keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat
berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai.
Program-program pengembangan masyarakat jangka pendek dan jangka panjang
sebagaimana direncanakan di atas, memerlukan kegiatan monitorig dan evaluasi
untuk memastikan bahwa program berjalan dengan baik.
a. Latar Belakang
Program jangka pendek dan jangka panjang sebagaimana dirancang di
atas, perlu dimonitor dan dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
dan efisiensi program tersebut dalam penanganan anak nakal. Monitoring dan
evaluasi dapat dilaksanakan pada saat pelaksanaan, untuk mengetahui apakah
112
program sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Jika
belum, maka diperlukan upaya penyempurnaan kembali.
b. Tujuan
Kegiatan ini sangat berguna mengetahui bagaimana rancangan
program dijalankan serta mengetahui dampak program terhadap penanganan
anak nakal. Program jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas
dimaksudkan agar program restorative justice berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Indikator Kinerja
Indikator keberhasilan program monitoring dan evaluasi adaah
rancangan program dijalankan sesuai jadwal dan metode yang dilaksanakan.
Indikator lainnya adalah didapatkannya manfaat dan kekurangan dari program
yang dijalankan. Selanjutnya, manfaat program dapat dipertahankan,
sedangkan kekurangan program sedapat mungkin diperbaiki.
d. Alat Verifikasi
Indikator keberhasilan diverifikasi melalui pelaksanaan program
jangka pendek dan program jangka panjang.
e. Sasaran
Sasaran program adalah anak nakal pada khususnya, dan anak usia
remaja yang mempunyai kecenderungan berbuat nakal.
f. Pelaksana
Program pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dilaksanakan oleh
LPA Jawa Barat dan LSM Saudara Sejiwa.
g. Pendukung
Pendukung program adalah Anggota FMPA Tingkat Kelurahan,
anggota FMPA Tingkat RW dan Institusi lokal yang ada.
h. Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah melalui diskusi
dan FGD. Pihak yang diundang adalah setiap anggota FMPA se-Kelurahan
113
Pasanggrahan, keluarga pelaku, keluarga korban, institusi lokal yang ada di
kelurahan.
i. Waktu
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan Desember 2009.
j. Sumber Dana
Sumber dana kegiatan berasal dari LPA Jawa Barat dan swadaya
masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan.
Program monitoring dan evaluasi tersebut dapat ditunjukkan melalui Tabel 14.
Tabel 14. Program Monitoring dan Evaluasi
Program
Kegiatan
Dilaksanakannya Diskusi/ Focus
Group
monitoring dan
Discussion
evaluasi
(FGD)
Pelaksana
LPA Jawa
Barat dan
LSM
Saudara
Sejiwa
Penanggung
Pendukung
Jawab
Pimpinan
LPA Jabar
dan LSM
Saudara
Sejiwa
Waktu
Bahan
Ket
FMPA Tingkat Desember Ruang rapat
* undangan
kelurahan
2009
yang
diberikan kpd
representative, seluruh anggota
pasanggrahan,
FMPA Tingkat
papan tulis,
FMPA Tingkat
RW sepotongan
RW sekertas karton
Kelurahan
Kelurahan
ukuran 5x10
Pasanggrahan,
Pasanggrahan,
serta institusi
cm, bahan
insitusi lokal
lokal yang ada
presentasi
yang ada, ke(DKM, LPM,
luarga pelaku,
Karang
keluarga korban
Taruna, PKK)
* LPA dan LSM
bertindak
sebagai inisiator,
narasumber dan
pendukung dana
BAB IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
114
9.1. Kesimpulan
Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di
beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di
beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum
tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga
perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice
kepada RW yang belum melaksanakannya
Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan
anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative
justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan
dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi
anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing
anggota dalam menangani anak nakal.
Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah
pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah
melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah
dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan
hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses
musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah
diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan
efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek
dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah
dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui
monitoring dan evaluasi.
9.2. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal
adalah sebagai berikut :
115
1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi
didaerahnya,
hendaknya digunakan
restorative justice dalam
proses
penanganannya.
2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan
acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui
proses hukum (peradilan formal)
3. Bagi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) apabila mendapatkan permintaan untuk
pemeriksaan terhadap anak nakal dari pihak kepolisian, hendaknya segera
ditempuh terlebih dahulu dengan cara restorative justice di masyarakat,
hasilnya dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian dapat
memutuskan perkaranya dengan cara diversi, tetapi apabila restorative justice
tidak berhasil dilakukan, maka kasusnya tetap berlanjut kedalam proses
persidangan dan laporan tersebut akan menjadikan salah satu pertimbangan
hakim dalam memutus perkara anak nakal.
116
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Gerungan, WA. 2004. Psikologi Sosial. PT Refika Aditama, Bandung.
Gosita, Arif 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta,
Gosita , Arif. 1993, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan).
Akademika Presindo, Jakarta,
Gunarsa Singgih D, 1988, Psikologi Remaja, BPK Gunung Mulya, Jakarta
Gunardi, Dkk, 2004, Pengantar Pengembangan Masyarakat. Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat. Program Pascasarjana IPB
Bogor.
Kartono, K (1986) Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Nitimiharjo, Carolina. 2003. Psikologi Sosial. Koperasi Mahasiswa Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung.
Nurmala K Panjaitan, Carolina Nitimihardjo, Adi Fahrudin, 2007, Perilaku
Manusia dalam Lingkungan Sosial, Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi manusia IPB dan Sekolah
Pascasarjana IPB
Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa Bagi Penyesuaian dan
Pendidikan. Usaha Nasional, Surabaya.
Mc Whirter, J.J. (1998). At-risk yotuh : a comprehensive response : for
counselors, teachers, psychologists, and human service professionals.
USA : Brooks/Cole Publishing Company
R. Soepomo, 1981, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco,
Bandung
Sarwono, S.W. (2007), Psikologi Remaja, Edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
117
Sitorus, M.T. Felik, dan Agusta, Ivanovich. 2004. Metode Kajian Komunitas
(Refleksi untuk Konteks Indonesia). Kontras dan Yayasan PULIH.
Jakarta
Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung,
Penerbit Alfabeta
Suharto, E, 2003, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Bandung, STKS
Suharto, E, (2005), Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat; Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjan Sosial,
Bandung, PT Refika Aditama
Sumardjo dan Saharuddin. 2007. Tajuk Modul KPM-53H: Metode-metode
Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen KPM
FEMA IPB.
Waegel, W.B (1989) Delinguency and Juvenile Countrol : a Sociological
Perspective,. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Zastrow, C.H 2004. Understanding Human Behavior and The Social
Environment. California : Brooks/Cole
Perundang-Undangan :
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dokumen :
Laporan “Penelitian Restorative Justice” oleh Lembaga Perlindungan Anak
Jawa Barat tahun 2005
Sumber lain :
Lois Presser and Patricia Van Voorhis (1986) Values and Evaluation:Assessing
Processes and Outcomes of Restorative Justice Programs,
http://www/sagepubliccations.com
118
Masngudin HMS, 2004, Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang
Hubungannya Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. Kasus di
Pondok
Pinang
Pinggiran
Kota
Metropolitan,
Jakarta.
http:/www.depsos.go.id/Balatbang/PuslitbangUKS/2004. masngudin.htm.
Taufik Hidayat, “Tawaran itu bernama Restorative Justice; beberapa contoh
model” Makalah Diskusi Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)
Bandung, 2006
-----------------, “Restorative Justice Sebuah Alternative” Jurnal Restorasi, Edisi
IV/Vol 1 Bandung 2005
-----------------, “Model Alternative Penanganan Perkara Anak Konflik
Hukum” Jurnal Restorasi, Edisi V/Vol I1 Bandung 2006
119
LAMPIRAN FOTO
l Orientasi RJ bagi pemerintahan setempat dan warga masyarakat
di Kelurahan Pasanggarahan
l Hasil : Adanya Komitmen dan dukungan untuk melaksanakan
dan mengembangkan RJ
q Lokakarya mini, dengan hasil : Terbentuknya Forum
Musyawarah Pemulihan Anak
q Sosialisasi RJ bagi warga, melalui kegiatan arisan PKK,
pengajian dan pertemuan/rapat rutin RT/RW, kelurahan.
q Hasil : Terbentuknya Forum Musyawarah Pemulihan Anak di
Tingkat RW
q Kegiatan FGD
q Kegiatan FGD
q Kegiatan FGD
FGD BERAKHIR,
ACARA DITUTUP OLEH
LURAH PASANGGRAHAN
Download