BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Landasan teori berikut

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Landasan teori berikut ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang
melandasi penelitian ini, mulai dari teori legitimasi, teori stakeholder dan teori
agency.
2.1.1
Teori Legitimasi
Eksistensi perusahaan dapat diterima oleh masyarakat apabila perusahaan
dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Sebaliknya, eksistensi perusahaan tidak dapat diterima oleh masyarakat apabila
perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di dalam
masyarakat atau bahkan merugikan masyarakat tersebut. Operasi perusahaan dalam
posisinya sebagai bagian dari masyarakat seringkali mempengaruhi masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu, melalui top manajemen, perusahaan berusaha untuk
memperoleh kesesuaian antara tindakan dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat
umum dan publik atau stakeholder-nya (Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam Haniffa
fan Cooke, 2005; Ani 2007) dalam Machmud dan Djakman (2008).
Eksistensi perusahaan yang terwujud dalam keselarasan antara tindakan
organisasi dan nilai-nilai masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan harapan.
Seringkali terjadi perbedaan potensial antara tindakan organisasi dengan nilai
masyarakat yang dapat mengancam legitimasi perusahaan. Hal ini juga diungkapkan
oleh Sethi dalam Haniffa dan Cooke (2005); Ani (2007) dalam Machmud dan
Djakman (2008) bahwa perbedaan antara organisasi dan nilai-nilai sosial dapat
mengancam legitimasi yang menyebabkan berakhirnya eksistensi perusahaan.
Oleh karena itu, salah satu faktor yang dimasukkan oleh beberapa peneliti
sebagai motif dibalik pengungkapan informasi sosial dan lingkungan adalah
keinginan untuk melegitimasi operasi organisasi (Deegan, 2002). Struktur teoritis dari
banyak studi akuntansi mengandalkan pada kerangka teori legitimasi untuk
menjelaskan mengapa manajer secara sukarela mengungkapkan informasi sosial dan
lingkungan (Deegan dan Rankin, 1996; Campbell et a.l, 2003; Mobus, 2005).
Sedangkan menurut Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa teori legitimasi
adalah teori yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan pelaporan dan
pengungkapan informasi sosial dan lingkungan.
Lindolm (1994, hal. 2) dalam Deegan (2002), mendefinisikan legitimasi
sebagai :
….sebuah kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen
dengan sistem nilai masyarakat yang lebih luas dimana menjadi
bagiannya.Ketika perbedaan baik aktual maupun potensial ada diantara dua
sistem nilai, berarti terdapat ancaman terhadap legitimasi entitas.
(Deegan dan Rankin, 1996) menyatakan bahwa postulat dari teori legitimasi
adalah organisasi tidak hanya memperhatikan hak-hak investor tetapi juga harus
memperhatikan hak-hak publik.
Di dalam masyarakat yang dinamis, tidak ada sumber kekuatan institusional
dan kebutuhan hidup terhadap pelayanan yang bersifat permanen. Oleh karena itu,
suatu institusi harus lolos uji legitimasi dan relevansi dengan cara menunjukkan
bahwa masyarakat memang memerlukan jasa perusahaan dan kelompok tertentu yang
memperoleh penghargaan (reward) yang diterinanya benar-benar mendapat
persetujuan dari masyarakat.
Berdasarkan (Cornier dan Gordon, 2001) teori legitimasi didasarkan pada
konsep bahwa organisasi memiliki kontrak dengan masyarakat dan untuk memenuhi
kontrak-kontrak tersebut, perusahaan dapat melegitimasi organisasi dan aktivitasnya.
Secara spesifik, konsep tersebut menganggap bahwa kelangsungan hidup organisasi
akan terancam jika masayarakat menganggap organisasi melanggar kontrak sosialnya.
Ketika masyarakat tidak puas karena organisasi tidak dapat diterima atau tidak
beroperasi dengan sah, akibatnya masyarakat menarik kembali “kontrak” organisasi
dalam menjalankan operasional perusahaannya, contohnya dengan mengurangi
permintaan perusahaan tersebut (Deegan, 2002).
Perusahaan
memiliki
kontrak
dengan
masyarakat
untuk
melakukan
kegiatannya bedasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi
berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994,
dalam Haniffa et al, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai
perusahaan dengan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilanagan
legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan
(Lindblom, 1994, dalam Haniffa et al, 2005).
2.1.2
Teori Stakeholder
Dalam pandangan stakeholder, perusahaan tidak hanya memiliki stakeholder
tetapi memiliki shareholder (Riahi-Belkaoui, 2003) dalam Puspitasari (2009).
Menurut Riahi Belkaoui (2003), kelompok stake tersebut meliputi pemegang saham,
pelanggan, pemasok, karyawan, kreditor, pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan teori stakeholder (Guthrie, et al., 2004), manajemen perusahaan
diharapkan untuk dapat melakukan aktivitas sesuai yang diharapkan stakeholder dan
melaporkannya kepada stakeholder. Teori ini menyatakan bahwa para stakeholder
memiliki hak untuk mengetahui semua informasi, baik informasi mandatory maupun
voluntary, informasi keuangan maupun sosial, mengenai bagaimana kegiatan
perusahaan berdampak kepada stakeholder. Dampak dari aktivitas perusahaan kepada
stakeholder dapat diketahui melalui pertanggungjawaban yang diberikan perusahaan
berupa informasi keuangan dan non-keuangan (sosial).
Menurut Machmud dan Djakman (2008) pengungkapan kinerja lingkungan,
sosial dan ekonomi didalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk
mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas dan transparansi korporat kepada
investor dan stakeholders lainnya. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG) tahun 2006 memberikan definisi sebagai berikut:
1. Akuntabilitas (Acountability)
Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara
transparan dan wajar. Untuk itu, perusahaan harus dikelola dengan benar, terukur dan
sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat
yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
2. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melakukan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
3. Transparansi (Transparancy)
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus memangku insiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh perundangundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2.1.3
Teori Agency
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan berhubungan dengan teori
agency karena pengungkapan CSR berhubungan dengan perilaku manajer. Hubungan
keagenan adalah hubungan antara principal (pemilik) dengan agent (manajer)
(Hendrikson Van Breda, 2000). Masalah keagenan timbul ketika principal membayar
agen untuk memberikan jasanya dan principal juga memiliki wewenang terhadap
agen dalam pengambilan keputusan.
Eishenhardt dalam Isnanta (2008) dalam Waryanto (2010) memakai asumsi
tiga sifat dasar manusia yaitu :
1) Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest);
2) Manusia memiliki persepsi terbatas mengenai menpersepsi masa mendatang
(bounded rationality);
3) Manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
Berdasarkan
asumsi
ini,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
manajer
kemungkinan akan memiliki sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya. Selain itu, permasalahan antara pemilik dan manajer adalah ketika terjadi
asimetri informasi. Manajer lebih mengetahui seluk beluk keuangan perusahaan
dibandingkan pemilik. Oleh karena itu, manajer seharusnya memberikan penjelasan
kepada pemilik mengenai keadaan keuangan yang sebenarnya. Akan tetapi, informasi
keuangan tidak diterima sesuai dengan keadaan sebenarnya (Hendrikson Van Breda,
2000). Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan melibatkan kepentingan
pemilik dan agen yang dapat menimbulkan opportunistic manajer.
2.2 Pengertian Variabel
Penjelasan berupa pengertian, konsep dan pengungkapan CSR di Indonesia
dan pengertian masing-masing variabel penelitian, yaitu kepemilikan managerial,
kepemilikan institusional, kepemilikan asing, profitabilitas, leverage, likuiditas,
ukuran dewan komisaris, ukuran perusahaan dan umur perusahaan.
2.2.1 Pengertian dan Konsep CSR
Menurut (Daniri, 2008) CSR adalah sebuah media yang menjadikan
perusahaan tidak lagi dihadapkan pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan
tetapi pada triple bottom lines yaitu memperhatikan masalah ekonomi, sosial dan
lingkungan. Sedangkan definisi CSR menurut ISO 26000
Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities
on society and the invorenment through transparent and ethical behaviour
that is consistent with sustainable development dan welfare of society; takes
into account the expectations of stakeholders; is in compliance with
applicable law and consistent international norms of behaviour; and is
integrated throughout the organization.
Definisi CSR yang telah dijelaskan oleh ISO 26000 adalah tanggung jawab
sosial merupakan dampak dari keputusan dan aktivitas perusahaan yang telah
merugikan masyarakat, dan dampaknya pasti akan dirasakan oleh stakeholders.
2.2.2
Pengungkapan CSR di Indonesia
Menurut (Darwin, 2007) yang dikutip dalam Machmud dan Djakman (2008)
pengungkapan kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi di dalam laporan 17 tahunan
atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, resposibilitas,
dan transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya. Pengungkapan
tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara
perusahaan dengan publik dan stakeholders lainnya tentang bagaimana perusahaan
telah mengintegrasikan Corporate Sosial Responsibility, lingkungan dan sosial dalam
setiap aspek kegiatan operasinya.
Kewajiban pengungkapan CSR telah diatur dalam beberapa regulasi yaitu
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) No. 1 (revisi 2004) paragraph sembilan secara implisit menyarankan untuk
mengungkapkan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut :
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan
mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement),
khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
peran penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok
pengguna laporan yang memegang peranan penting”
Pernyataan PSAK diatas menunjukkan suatu aturan yang mendasari
perusahaan untuk peduli terhadap masalah-masalah sosial yang dapat diungkapkan
melalui pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini dapat mendorong
perusahaan untuk mengungkapkan CSR di dalam laporan tahunan atau laporan
tambahan. Untuk mempertegas pentingnya pertanggung jawaban sosial pada
stakeholders, pemerintah mengeluarkan regulasi baru yang mengatur kewajiban
perusahaan untuk menetapkan corporate sosial responsibility (CSR). Kewajiban
tersebut termuat dalam undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 Pasal
66 dan Pasal 74. Pasal 66 ayat (2) bagian C menyebutkan bahwa selain
menyampaikan laporan keuangan, perseroan terbatas juga diwajibkan melaporkan
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 menjelaskan kewajiban
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang
kegiatan usahanya dibidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Standar pengungkapan CSR yang telah berkembang di Indonesia merujuk
pada GRI (Global Reporting Initiatives). Ikatan Akuntansi Indonesia, Kompartemen
Akuntan Manajemen (IAM-KAM) atau sekarang dikenal dengan Ikatan Akuntan
Manajemen Indonesia (IAMI) merujuk standar yang dikembangkan oleh GRI dalam
pemberian penghargaan Indonesia Sustanability Report Awards (ISRA) kepada
perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam membuat laporan keberlanjutan atau
sustanability report.
Dalam standar GRI (GRI, 2006), indikator kinerja dibagi menjadi tiga
komponen utama, yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial yang menyangkut hak
asasi ,manusia, praktik ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, tanggung jawab
produk dan masyarakat. Total indikator mencapai 79 indikator, terdiri dari 9 indikator
ekonomi, 30 indikator lingkungan hidup, 14 indikator praktik tenaga kerja, 9
indikator hak asasi manusia, 8 indikator kemasyarakatan, dan 9 indikator tanggung
jawab produk.
Jadi dalam luas pengungkapan CSR, item-item yang akan diberikan skor,
akan mengacu kepada indikator kinerja atau item yang disebutkan dalam GRI
guidelines, minimal yang harus ada antara lain :
1) Indikator kinerja ekonomi, meliputi aspek kinerja ekonomi, keberadaan pasar, dan
dampak ekonomi tidak langsung.
2) Indikator kinerja lingkungan hidup meliputi aspek material, energi, air,
keanekaragaman hayati, emisi, effluent dan limbah; produk dan jasa, aspek
kesesuaian, transportasi, dan aspek secara keseluruhan.
3) Indikator kinerja praktik ketenagakerjaan dan lingkungan kerja meliputi aspek
ketenagakerjaan, hubungan tenaga kerja/manajemen, keselamatan dan kesehatan
kerja, pendidikan dan pelatihan serta aspek keanekaragaman dan kesempatan
yang sama.
4) Indikator kinerja hak asasi manusia, meliputi aspek praktik investasi dan
pengadaan, aspek non-diskriminasi, kebebasan berserikat dan daya tawar
kelompok, tenaga kerja anak, pegawai tetap dan kontrak, praktik keselamatan
serta hak masyarakat (adat).
5) Indikator kinerja masyarakat, meliputi aspek kemasyarakatan, kebijakan
mengenai korupsi, kebijakan umum/publik, perilaku anti persaingan, dan aspek
kesesuaian.
6) Indikator kinerja tanggung jawab produk, yang meliputi aspek keselamatan dan
kesehatan konsumen, labeling produk dan jasa, komunikasi pemasaran, privasi
konsumen dan aspek kesesuaian.
2.2.3
Kepemilikan Managerial
Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer
memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang
saham perusahaan (Rustiarini, 2008). Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di
dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan. Keberadaan manajemen perusahaan
mempunyai latar belakang yang berbeda, antara lain: pertama, mereka mewakili
pemegang saham institusi, kedua, mereka adalah tenaga- tenaga professional yang
diangkat oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Ketiga,
mereka duduk di jajaran manajemen perusahaan karena turut memiliki saham.
Berdasarkan teori keagenan, “hubungan antara manajemen dengan pemegang
saham, rawan untuk terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa
salah satu mekanisme untuk memperkecil adanya konflik agensi dalam perusahaan
adalah dengan memaksimalkan jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah
jumlah kepemilikan manajerial, maka manjemen akan merasakan dampak langsung
atas setiap keputusan yang mereka ambil karena mereka menjadi pemilik perusahaan”
( Jensen dan Meckling 1976; 86).
2.2.4
Kepemilikan Institusional
Kepemilikan
institusional
adalah
kepemilikan
saham
oleh
institusi
pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri serta
institusi lainnya pada akhir tahun (Shien., et.al, dalam Ramadhan, 2010). Tingkat
kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang
lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar
(lebih dari 5%) mengindikasikan bahwa kemampuannya untuk memonitor
manajemen menjadi lebih besar (Arif, 2006) dalam Mahmud dan Djakman (2008)
Hal ini juga dikemukakan oleh Shleifer dan Vishny (1986) dalam Barnae dan Rubin
(2005) bahwa institusional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar,
memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan.
Para pemegang saham yang memiliki kedudukan pada manajemen
perusahaan, dengan presentase kepemilikan saham (>5%) dapat bertindak sebagai
pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka
semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan dapat bertindak
sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Faizal, 2004
dalam Arif 2006) dalam Mahmud dan Djakman (2008).
2.2.5
Kepemilikan Asing
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2007 pada pasal 1 angka 6
kepemilikan asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan
pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia
(Ramadhan 2010). (Suchman,1995 dalam Barkemeyer, 2007) menyatakan bahwa
perusahaan multinasional dengan kepemilikan asing melihat keuntungan legitimasi
berasal dari para stakeholders melalui home market ( pasar tempat beroperasi) yang
diharapkan dapat memperikan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang.
Eksistensi yang tinggi diperoleh dari society judge masyarakat atas image yang
diciptakan oleh perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial yang dipilih sebagai media untuk memperlihatkan kepedulian
kepada masyarakat disekitarnya dalam rangka membangun eksistensi perusahaan
dalam jangka panjang. Dengan demikian, kepemilikan saham asing dalam perusahaan
multinasional baik dalam bentuk ownership atau trade lebih di dukung dalam
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Selain itu, (Simerly dan Li, 2001; Fauzi, 2006 dalam Mahmud dan Djakman
menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham asing dianggap lebih
concern dalam pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini didasarkan atas negaranegara Eropa dan United of States sangat memperhatikan isu-isu sosial seperti
pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu lingkungan seperti
efek rumah kaca, pembalakan liar serta pencemaran air. Oleh karena itu, perusahaan
multinasional lebih memperhatikan pengungkapan tanggung jawab sosial dalam
beroperasi untuk menjaga legitimasi perusahaan.
2.2.6
Profitabilitas
Profitabilitas atau kemampuan laba merupakan kemampuan perusahaan
didalam menghasilkan laba. Profitabilitas mencerminkan keuntungan dari investasi
keuangan. Myers dan Majluf (1984) berpendapat bahwa manajer keuangan yang
menggunakan packing order theory dengan laba ditahan sebagai pilihan pertama
dalam pemenuhan kebutuhan dana dan hutang sebagai pilihan kedua serta penerbitan
saham sebagai pilihan ketiga, akan selalu memperbesar profitabilitas untuk
meningkatkan laba. Profitability ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva
maupun modal sendiri (Agus Sartono, 2008). Rasio ini sangat diperhatikan oleh calon
investor maupun pemegang saham karena berkaitan dengan harga saham serta
dividen yang akan diterima.
Profitabilitas sebagai tolak ukur dalam menentukan alternatif pembiayaan,
namun cara untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan adalah bermacam-macam
dan sangat tergantung pada laba dan aktiva atau modal yang akan dibandingkan dari
laba yang berasal dari opersai perusahaan atau laba netto sesudah pajak dengan modal
sendiri. Dengan adanya berbagai cara dalam penelitian profitabilitas suatu perusahaan
tidak mengherankan bila ada beberapa perusahaan yang mempunyai perbedaan dalam
menentukan suatu alternatif untuk menghitung profitabilitas. Hal ini bukan keharusan
tetapi yang paling penting adalah profitabilitas mana yang akan digunakan, tujuannya
adalah semata-mata sebagai alat mengukur efisiensi penggunaan modal di dalam
perusahaan yang bersangkutan.
Rasio profitabilitas dapat diukur dari dua pendekatan yakni pendekatan
penjualan dan pendekatan investasi. Ukuran yang banyak digunakan adalah return on
asset (ROA) dan return on equity (ROE), rasio profitabilitas yang diukur dari ROA
dan ROE mencerminkan daya tarik bisnis (bussines attractive). Return on asset
(ROA) merupakan pengukuran kemampuan perusahaaan secara keseluruhan di dalam
menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam
perusahaan. ROA digunakan untuk melihat tingkat efisiensi operasi perusahaan
secara keseluruhan.Semakin tinggi rasio ini, semakin baik suatu perusahaan.
2.2.7
Leverage
Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan
tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Leverage mencerminkan
tingkat risiko keuangan perusahaan (Sembiring, 2005). Menurut Belkaoui dan Karpik
(1989) keputusan untuk mengungkapkan CSR akan mengikuti suatu pengeluaran
untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Perusahaan dengan rasio
leverage yang tinggi mengakibatkan pengawasan yang tinggi dilakukan oleh
debtholder terhadap aktivitas perusahaan. Berdasarkan teori signaling bahwa
perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan sedikit
informasi, hal ini menjadi sorotan para debtholders karena biaya keagenan
perusahaan dengan stuktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976
dalam Anggraini, 2006).
Pendapat lain mengatakan bahwa semakin tinggi leverage, kemungkinan besar
perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak hutang. Kontrak hutang
berisi tentang bagaimana perusahaan harus menjaga tingkat leverage tertentu (rasio
hutang / equitas), maka manajer akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih
tinggi akan mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar kontrak hutang. Oleh
karena itu semakin tinggi tingkat leverage, semakin besar kemungkinan perusahaan
akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk
melaporkan laba sekarang lebih tinggi, hal ini dinyatakan oleh Belkaoui dan Karpik
(dalam Anggraini, 2006). Supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus
mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
2.2.8
Likuiditas
Likuiditas perusahaan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam mendanai operasional perusahaan dan melunasi hutang jangka
pendeknya. Rasio ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh
ketersediaan dana perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Perusahaan yang secara keuangan sehat, kemungkinan akan lebih
banyak mengungkapkan informasi CSR dibandingkan dengan perusahaan yang
likuiditasnya rendah. Hal ini didasarkan pada kuatnya keuangan suatu perusahaan
yang akan cenderung memberikan informasi lebih luas daripada perusahaan yang
memiliki kondisi keuangan yang lemah (Cooke, T. E., 1991). Andi Kartika (2010),
Rahajeng (2010), dan Sutomo (2004) yang menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh
negatif terhadap pengungkapan CSR.
Likuiditas merupakan rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka pendek. Mengukur profitabilitas salah satunya dengan
menggunakan rasio lancar (Current Ratio/CR) (Sumarsan, 2010: 45,51). Perusahaan
dengan likuiditas yang tinggi akan memberikan sinyal kepada perusahaan yang lain,
bahwa mereka lebih baik dari pada perusahaan lain, dengan melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan lingkungan sosial. Sinyal tersebut dilakukan dengan cara
memberikan informasi yang lebih luas tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan
yang mereka lakukan (Kamil dan Antonius: 2012).
2.2.9
Ukuran Dewan Komisaris
Menurut Fama dan Jensen (1983), ukuran dewan komisaris merupakan
mekanisme pengendalian intern tertinggi, yang bertanggungjawab untuk memonitor
tindakan manajemen puncak.Sedangkan menurut Mulyadi (2002) fungsi dewan
komisaris itu sendiri adalah mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan
oleh manajemen (direksi) dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah
manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan
menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan.
Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Coller dan Gregory (dalam
Sembiring, 2005) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan
komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring
yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung
jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk
mengungkapkannya.
Dewan komisaris merupakan wakil shareholder dalam entitas bisnis yang berbadan
hukum perseroan terbatas (PT) yang berfungsi mengawasi pengelolaan perusahaan
yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung-jawab untuk
menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam
mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan (Mulyadi,
2002). Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan
pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar mengungkapkan
informasi CSR lebih banyak, sehingga dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang
memiliki ukuran dewan komisaris yang lebih besar akan lebih banyak
mengungkapkan CSR.
2.2.10 Ukuran Perusahaan
Pada umumnya, perusahaan besar mengungkapkan informasi yang lebih
banyak daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar merupakan emiten yang paling
banyak disoroti oleh publik sehingga pengungkapan yang lebih besar merupakan
pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan
(Sembiring, 2005). Menurut Suripto (2000), variabel ukuran perusahaan (size)
merupakan variabel yang paling konsisten berpengaruh signifikan terhadap luas
pengungkapan dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Ukuran perusahaan merupakan tingkat identifikasi besar atau kecilnya suatu
perusahaan.Menurut Hilmi dan Ali (2008) ukuran perusahaan dapat dinilai dari
beberapa segi. Besar kecilnya ukuran perusahaan dapat didasarkan pada total nilai
aktiva, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya.
Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan
itu. Semakin besar aktiva maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin
banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar
kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal dalam masyarakat. Ukuran
perusahaan merupakan salah satu variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan
mengenai variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan.Terdapat
beberapa penjelasan mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap kualitas
pengungkapan.
Menurut Ferry dan Jones dalam Jaelani (2001: 79) ukuran perusahaan
menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang mana besar kecilnya ukuran
perusahaan tersebut dapat dilihat dari besar kecilnya modal yang digunakan, total
aktiva yang dimiliki, atau total penjualan yang diperoleh. Nilai ini digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai kemampuan perusahaan dalam mengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Perusahaan besar merupakan emiten yang
banyak disoroti oleh stakeholders, hal ini dikarenakan perusahaan besar memiliki
dampak yang besar terhadap lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumber bahan
baku, sumber energi, maupun pengolahan limbah berbahaya dan juga perusahaan
besar memiliki sumber daya yang lebih memadai sehingga memungkinkan untuk
memberikan informasi yang relevan bagi stakeholder dalam jumlah yang lebih
banyak dan luas dibandingkan dengan perusahaan kecil (Kokubu et. al., 2002).
2.2.11 Umur Perusahaan
Umur perusahaan merupakan salah satu variabel penting dalam perjalanan
suatu perusahaan. Umur perusahaan dapat mencerminkan seberapa besar perusahaan
tersebut. Seberapa besar suatu perusahaan dapat digambarkan dalam kedewasaan
perusahaan. Kedewasaan perusahaan akan membuat perusahaan yang bersangkutan
memahami apa yang diinginkan oleh stakeholder dan shareholder-nya. Perusahaan
yang sudah lama berdiri tentunya akan mendapat perhatian lebih dari masyarakat
luas. Dengan demikian, tentunya perusahaan yang sudah lama berdiri akan selalu
menjaga stabilitas dan citra perusahaan. Untuk menjaga stabilitas dan citra,
perusahaan akan berusaha
mempertahankan
dan
meningkatkan
kinerjanya.
Pengukuran umur perusahaan dihitung sejak berdirinya perusahaan sampai dengan
data observasi (annual report) dibuat (latifah et al, 2011). Dari annual report yang
diterbitkan perusahaan akan mengungkapkan seberapa bagus kemampuan perusahaan
dalam menjaga stabilitas dan citra.
Widiastuti (2002) dalam Nofandrilla (2008) dalam Utami (2012) menyatakan umur
perusahaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis dan mampu bersaing.
Dengan demikian, umur perusahaan dapat dikaitkan dengan kinerja keuangan suatu
perusahaan. Perusahaan yang berdiri lebih lama memiliki pengalaman lebih banyak
dan mengetahui kebutuhan konstituennya atas informasi tentang perusahaan. Tujuan
utama perusahaan menerbitkan laporan pertanggungjawaban atas kinerja sosial
adalah untuk memberikan feedback kepada stakeholder-nya. Dengan pemberian
sosial kepada stakeholder setiap tahun dan berkelanjutan, diharapkan semakin lama
perusahaan berdiri maka mengetahui apa yang diinginkan oleh stakeholder-nya.
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai CSR telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu,
salah satunya dilakukan oleh Said, et al (2009). Said, et al meneliti hubungan antara
tujuh karakteristik Corporate Governance dan CSR Disclosure pada perusahaan
terdaftar di Malaysia. Tujuh karakteristik yang digunakan antara lainboard size,
independen non-executive director, CEO duality, audit committee, ownership
concentration,
managerial
ownership,
foreign
ownership,
dan
government
shareholding. Hasil penelitian menunjukkan hanya dua variabel yang berhubungan
dengan luas pengungkapan CSR yaitu kepemilikan oleh pemerintah dan komite audit,
dan variabel yang paling signifikan adalah kepemilikan oleh pemerintah.
Veronica dan Sumin (2009) meneliti tingkat pengungkapan CSR pada 20
emiten sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel berupa
ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, dan ukuran dewan komisaris diuji
pengaruhnya terhadap pengungkapan CSR. Hasilnya menunjukkan dari empat
variabel tersebut, dua variabel yaitu profitabilitas dan ukuran dewan komisaris
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, sedangkan dua variabel lainnya tidak.
Hubungan yang signifikan antara struktur kepemilikan dengan pengungkapan
CSR dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Rika dan Islahuddin (2008) dan
Mustaruddin, Norhayah, dan Rusnah (2009) yang menunjukkan bahwa kepemilikan
institusional dan manajemen memiliki hubungan yang signifikan positif dengan
pengungkapan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Sementara itu,
ketidaksignifikanan variabel kepemilikan saham asing sebagai faktor yang
mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari
hasil penelitian Novita dan Chaerul (2008) yakni bahwa struktur kepemilikan saham
oleh pihak asing tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab
sosial yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang tercatat di BEI pada tahun
2006, yang sejalan dengan hasil penelitian Machmud dan Djakman ( 2008) yakni
bahwa kepemilikan saham oleh pihak asing tidak punya pengaruh signifikan terhadap
pengungkapan CSR yang mengiundikasikan bahwa faktor tersebut tidak punya
perhatian terhadap pengungkapan CSR dalam membuat keputusan investasi.
2.4 Hipotesis Penelitian
2.4.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Pengungkapan CSR
Berdasarkan
pemegang
teori
saham, rawan
keagenan,
“hubungan
terjadinya
masalah
antara
manajemen
keagenan.
Teori
dengan
keagenan
menyatakan bahwa salah satu cara untuk memperkecil adanya konflik agensi
adalah
dengan
memaksimalkan
jumlah
kepemilikan manajerial.
Dengan
memaksimalkan kepemilikan manajerial, maka manajemen akan merasakan
dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil. Rawi dan Munawar
Muchlish (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa jika suatu perusahaan
memiliki kepemilikan saham manajer yang tinggi, perusahaan akan mengambil
keputusan sesuai dengan kepentingan perusahaan yaitu dengan cara mengungkapkan
informasi sosial yang seluas-luasnya dalam rangka untuk meningkatkan reputasi
perusahaan. Begitu pula dengan penelitian Murwaningsari (2009). Kemudian Jensen
& Meckling (1976) menyatakan bahwa
konflik kepentingan manajer dengan
pemilik menjadi semakin besar ketika kepemilikan manajer terhadap perusahaan
semakin kecil, begitu pun sebaliknya jika semakin besar kepemilikan manajer di
dalam sebuah perusahaan, maka akan semakin produktif tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai perusahaan. Gray et al., (1988) menyatakan bahwa manajer
perusahaan akan
mengungkapkan
informasi
sosial dalam
rangka
untuk
meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya
untuk aktivitas tersebut.Penelitian terdahulu
yang
dilakukan oleh
Nasir
dan
Abdullah (2004) dan Rosmasita (2007) menunjukkan bahwa kepemilikan
manajerial berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian
diatas, maka hipotesis pertama penelitian ini adalah sebagai berikut :
H1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap Pengungkapan CSR.
2.4.2
Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Pengungkapan CSR
Kepemilikan
institusional
adalah
kepemilikan
saham
oleh
institusi
pemerintah, institusi keuanga, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri serta
institusi lainnya pada akhir tahun (Shien., et.al, dalam Ramadhan, 2010) Tingkat
kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang
lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar
(lebih dari 5%) mengindikasikan bahwa kemampuannya untuk memonitor
manajemen menjadi lebih besar (Arif, 2006). Hal ini juga dikemukakan oleh Shleifer
dan Vishny (1986) dalam Barnae dan Rubin (2005) bahwa institusional shareholders,
dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau
pengambilan keputusan perusahaan. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat
menjadi pendorong bagi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penelitian yang menguji pengaruh kepemilkan institusional terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan oleh Barnae dan Rubin
(2005) yaitu melihat CSR sebagai konflik berbagai shareholder menunjukkan hasil
bahwa institusional ownership tidak meniliki hubungan terhadap CSR. Selain itu,
penelitian Mani (2004) dalam Kasmadi dan Susanto (2006) menguji faktor-faktor
yang menentukan luas pengungkapan dalam laporan tahunan di India, menemukan
financial institution investment tidak berhubungan secara signifikan terhadap
pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan di India. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Machmud dan Djakman (2008) tentang pengaruh struktur
kepemilikan institusional terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial
menemukan hasil bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap luas
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka
hipotesis pertama penelitian ini adalah sebagai berikut :
H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.3 Pengaruh Kepemilikan Asing terhadap Pengungkapan CSR
(Suchman,1995 dalam Barkemeyer, 2007) dalam Machmud dan Djakman
(2008) menyatakan bahwa perusahaan multinasional dengan kepemilikan asing
melihat keuntungan legitimasi berasal dari para stakeholders melalui home market (
pasar tempat beroperasi) yang diharapkan dapat memberikan eksistensi yang tinggi
dalam jangka panjang. Eksistensi yang tinggi diperoleh dari society judge masyarakat
atas image yang diciptakan oleh perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial
memperlihatkan
kepedulian
kepada
yang dipilih sebagai
masyarakat
disekitarnya
media untuk
dalam
rangka
membangun eksistensi perusahaan dalam jangka panjang.Dengan demikian,
kepemilikan saham asing dalam perusahaan multinasional baik dalam bentuk
ownership atau trade lebih mendukung dalam pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Selain itu, (Simerly dan Li, 2001; Fauzi, 2006 dalam Machmud dan Djakman
menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham asing dianggap lebih
concern dalam pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini didasarkan atas negaranegara Eropa dan United of States sangat memperhatikan isu-isu sosial seperti
pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu lingkungan seperti
efek rumah kaca, pembalakan liar serta pencemaran air. Oleh karena itu, perusahaan
multinasional lebih memperhatikan pengungkapan tanggung jawab sosial dalam
beroperasi untuk menjaga legitimasi perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka
hipotesis pertama penelitian ini adalah sebagai berikut :
H3 : Kepemilikan asing berpengaruh posistif terhadap Pengungkapan CSR.
2.4.4 Pengaruh Profitabilitas terhadap Pengungkapan CSR
Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan
tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan
dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama
dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh
laba.
Penelitian tentang hubungan profitabilitas dengan pengungkapan informasi
sosial atau tanggung jawab sosial menunjukkan hasil bahwa antar keduanya tidak
ditemukan adanya hubungan (Sembiring, 2003 dan 2005; Anggraini, 2006; dan
Sulastini, 2007). Choi (1998) dalam Hossain dkk (2006) menyatakan bahwa
hubungan profitabilitas dan pengungkapan CSR merupakan isu kontroversial untuk
dipecahkan. Argumentasinya adalah bahwa akan terdapat biaya tambahan dalam
rangka pengungkapan CSR. Dengan demikian, profitabilitas akan menjadi turun.
Bowman & Haire (1976) dan Preston (1978) dalam Hackston & Milne (1996)
menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar
pengungkapan informasi sosial (Anggraini, 2006). Kemudian Nurkhin (2010)
membuktikan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh secara positif terhadap
pengungkapan CSR perusahaan. Perusahaan dengan tingkat profit yang tinggi dapat
mengungkapkan aktivitas CSR yang lebih banyak. Untuk menjaga kepercayaan
stakeholder, maka jika suatu perusahaan memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi,
pengungkapan informasi sosal tersebut akan semakin besar (Anugerah, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis pertama penelitian ini adalah sebagai
berikut :
H4 :Profitabilitas berpengaruh posistif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.5 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan CSR
Tingkat leverage yang tinggi akan memunculkan kemungkinan besarr
terjadinya pelanggaran perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha
melaporkan laba yang lebih tinggi dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk
biaya pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan leverage dengan
pengungkapan tanggung jawab sosial. Menurut Belkaoui dan Karpik (1989)
keputusan untuk mengungkapkan informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran
untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Sesuai dengan teori agensi maka
manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi
pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari
para debtholders. Hasil penelitiannya menunjukkan leverage berpengaruh negatif
signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Marbun (2008) yang membuktikan ada
pengaruh antara leverage dengan pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan.
Seperti halnya dengan Marbun (2008), Zulmi (2008) dan Cahya (2010) juga
menyatakan bahwa tingkat leverage perusahaan yang tinggi akan mendorong
perusahaan melakukan pengungkapan sosialnya (kedua variabel berhubungan
positif). Maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H5 : Leverage perusahaan berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.6 Pengaruh Likuiditas terhadap Pengungkapan CSR
Kondisi perusahaan yang likuid dapat membuat investor percaya terhadap
suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki likuiditas yang tinggi sudah
menciptakan image yang positif di mata para stakeholder-nya dikarenakan
perusahaan mampu melaksanakan kewajibannya sesuai waktu jatuh tempo.
Berdasarkan teori legistimasi berkeyakinan bahwa kekuatan perusahaan yang
ditunjukan rasio likuiditas tinggi akan berhubungan dengan tingkat pengungkapan
tanggung jawab sosial yang tinggi. Hal ini didasarkan bahwa kuatnya keuangan suatu
perusahaan akan cenderung memberikan informasi yang luas dari pada perusahaan
yang memiliki kondisi keuangan yang lemah (Rahajeng, 2010). Penelitian oleh Andi
Kartika (2010), Rahajeng (2010), dan Sutomo (2004) menyatakan bahwa likuiditas
berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Namun penelitian yang dilakukan
oleh Syarir dan Suhendra (2010) menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh positif
terhadap pengungkapan CSR. Maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
H6: Likuiditas berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.7 Pengaruh Ukuran dewan Komisaris terhadap Pengungkapan CSR
Dewan komisaris adalah wakil shareholder dalam perusahaan yang berbadan
hukum perseroan terbatas yang berfungsi mengawasi pengelolaan perusahaan yang
dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung jawab untuk menentukan
apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan
menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan (Mulyadi, 2002).
Sembiring (2005) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan
komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan pengawasan yang
dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk
mengungkapkannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Beasly (2000).
Namun, berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nofandrilla
(2008) yang menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
H7: Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.8 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan CSR
Ukuran suatu perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi
dalam laporan keuangan mereka. Perusahaan yang berukuran lebih besar merupakan
emiten yang banyak disoroti dan cenderung memiliki keinginan masyarakat akan
informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang berukuran kecil.
Hal ini berarti bahwa perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak
daripada perusahaan kecil.
Sembiring (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel
perusahaan yang listing di BEJ seperti yang tercantum dalam Indonesian Capital
Market Direction 2002. Dalam penelitiannya, Sembiring menggunakan variabel
ukuran perusahaan yang dihubungkan dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan, dan hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang positif
signifikan antara kedua variabel tersebut. Susilatri dan Indriani (2011) melakukan
penelitian dengan menggunakan sampel perusahaan pertambangan yang listing di
BEI tahun 2004-2008. Hasilnya menemukan bahwa ukuran perusahaan juga
mempengaruhi secara positif pengungkapan CSR.Hasil tidak konsisten ditunjukkan
Miranti (2009), Elijido-Ten (2004), dan Permatasari (2009) yang mana menunjukkan
bahwa ukuran perusahaan (size) tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H8: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
2.4.9 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Pengungkapan CSR
Menurut penelitian Sembiring (2005) dan Suripto (1999) dalam Latifah, et al.
(2011), mereka menemukan adanya korelasi antara umur perusahaan terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial. Marwoto dalam Prayogi (2003) menyatakan
bahwa umur perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan kualitas
pengungkapan sukarela. Alasan yang mendasari adalah bahwa, perusahaan yang
berumur lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan
laporan keuangan.
Oleh karena itu umur perusahaan yang semakin banyak akan semakin luas
pula dalam pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan. Penelitian
mengenai pengaruh umur perusahaan diantaranya Pramudoyo dan Anis (2003) dan
Alsaeed (2005) dalam Rawi (2008) mengemukakan umur perusahaan memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap luasnya information voluntary disclosure.
Ansah (2000) meneliti tentang pengaruh umur perusahaan terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan, hasilnya menyatakan bahwa umur perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan
Sembiring (2003), Marwata (2001), dan Nofandrilla (2008) tidak menemukan
pengaruh yang signifikan antara umur perusahaan dengan pengungkapan tanggung
jawab sosial (Rahmawati & Utami, 2005: 8). Maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
H9: Umur perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR
2.5 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut
ini:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kepemilikan
Manajerial
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
Asing
H1
H2
H3
Profitabilitas
H4
Leverage
H5
Likuiditas
H6
Ukuran Dewan
Komisaris
Ukuran
Perusahaan
Umur
Perusahaan
H7
H8
H9
Pengungkapan
CSR
Download