BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

advertisement
18
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Homoseksualitas
2.1.1
Definisi Homoseksual Gay
Nevid, Rathus & Rathus (1995), mendefinisikan orientasi seksual sebagai
berikut :
“Homoseksual merupakan salah satu orientasi seksual. Orientasi seksual
melibatkan ketertarikan erotis, hubungan afeksionis dan kedekatan baik
dalam perilaku, fantasi, serta emosional.”
Sedangkan definisi homoseksual yang diberikan Nevid, Rathus & Rathus (1995)
adalah :
“Orientasi seksual ini dapat mengarah kepada anggota sesama jenis
kelamin (homoseksual), lawan jenis (heteroseksual), atau keduanya
(biseksual).
“Laki–laki yang memiliki orientasi seksual homoseksual disebut dengan
gay, sementara perempuan yang memiliki orientasi homoseksual disebut
dengan lesbian.”
Sementara, Papalia (2009) mendefinisikan orientasi seksual sebagai berikut :
“Focus of consistent sexual romatic, and affectionate interest, either
heterosexual, homosexual or bisexual.”
Berdasarkan buku saku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) – III, Diagnosis Gangguan Kejiwaan, homoseksualitas dapat
dimasukkan ke dalam kategori “Gangguan Psikologis dan Perilaku Yang
18
19
Berhubungan Dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual” dengan ciri–ciri
sebagai berikut :
1) Individu menderita karena ketidakpastian tentang identitas kelaminnya atau
orientasi seksualnya, yang menimbulkan kecemasan atau depresi.
2) Paling sering terjadi pada remaja yang tidak tahu pasti apakah mereka
homoseksual, heteroseksual atau biseksual dalam orientasi seksualnya, atau
pada individu yang sesudah suatu periode orientasi seksual tampak stabil,
seringkali dalam jalinan hubungan yang telah berlangsung lama, menemukan
bahwa orientasi seksualnya berubah.
Davison dan Neale (2001) menyatakan bahwa sampai tahun 1973, dalam
buku DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders) III,
homoseksualitas yang diartikan sebagai hasrat atau aktivitas seksual yang
diarahkan pada orang berjenis kelamin sama, masih dianggap sebagai
penyimpangan. Pada tahun 1973, Nomenclature Committee of the American
Psychiatric Assosication merekomendasikan untuk menghilangkan kategori
homoseksualitas sebagai penyimpangan dan menggantinya dengan kategori
orientasi seksual. Kategori ini adalah untuk orang–orang homoseksual yang
terganggu, mempunyai masalah dan berharap untuk mengubah orientasi seksual
mereka. Dalam buku DSM-III terdapat kategori homoseksualitas yang ego –
distonik, yaitu orang yang mempunyai hasrat homoseksual, merasa hasrat seksual
ini merupakan masalah, dan berharap dapat menjadi heteroseksual
Seorang aktivis gay di Indonesia; Dede Oetomo dalam tulisannya di
majalah Prisma, 1991 menjelaskan bahwa :
20
“Homoseksualitas mengacu pada : rasa tertarik secara perasaan (kasih
sayang, hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara
predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata–mata) terhadap
orang–orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan
fisik (jasmaniah).”
Sedangkan Kinsey (1953/1998) membagi kontinum orientasi seksual
seorang yang mempunyai perilaku homoseksual menjadi tujuh titik sebagai
berikut :
0
1
Exclusively
Heterosexual
with no
Homosexual
2
Predominately,
but More Than
Incidentally
Homosexual
Predominately
Heterosexual,
Only
Incidentally
Homosexual
2.1.2
3
4
5
Predominately
Homosexual, but
More Than
Incidentally
Heterosexual
Equally
Homosexual and
heterosexual
6
Exclusively
Homosexual
with No
Heterosexual
Predominately
Homosexual
but
Incedentally
Heterosexual
Etiologi Homoseksual Gay
Beberapa ahli teori mencoba menjelaskan mengenai etiologi gay. Di
bawah ini akan diuraikan mengenai etiologi tersebut dari berbagai sudut pandang
yaitu :
1) Teori Biologis
Teori biologis mengenai kaum homoseksual yang bersifat esensialis
mempunyai pendapat bahwa perbedaan orientasi seksual dapat terjadi karena
21
adanya perbedaan secara fisiologi dimana perbedaan tersebut disebabkan
oleh genetik, hormon dan hipotalamus.
(a) Genetik
Franz Kallman, menemukan komponen genetik yang kuat pada kaum
homoseksual. Ia juga merupakan pelopor penelitian dengan cara
menunjukkan komponen genetik pada homoseksual (dilakukan pada
kembar genetic dan kembar fraternal) (Carrol, 2005).
Hammer dkk, berusaha menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual
dengan cara melihat garis keturunan pada seorang ibu (Carrol, 2005).
(b) Hormon
Penelitian mempunyai bukti bahwa pria homoseksual mempunyai tingkat
hormon androgen lebih rendah dari pada pria heteroseksual (Dorner,
1988). Sementara Albert Ellis dkk mengatakan bahwa stress dapat
mengakibatkan tingkat hormon yang meningkat pada seorang ibu yang
hamil (1988).
(c) Hipotalamus pada pria homoseksual mempunyai perbedaan (lebih besar
ataupun kecil) dibanding dengan pria heteroseksual (Le Vay, 1991;
Swaab & Hofman, 1990).
2) Teori Psikologis
Pada
pendekatan
psikologis,
disebutkan
bahwa
proses
terjadinya
homoseksual merupakan proses pelatihan / pembelajaran dan sejarah
seseorang dalam menemukan asal homoseksual.
22
(a) Freud dan Psikoanalitis
Heteroseksualitas
pria merupakan
pendewasaan
dari
masa–masa
perkembangan yang terfiksasi terutama pada saat terjadinya Oedipus
Complex. Kelekatan pada ibu ditambah ketidaksukaan kepada figur
seorang ayah membuat seorang anak mempunyai perasaan takut akan
balasan dari sang ayah. Rasa ketertarikan kepada figur ibu mengalami
perubahan pada usia pubertas dan sang anak mencari figur yang dicintai
oleh ibunya yaitu seorang lelaki. Selain itu, pemunculan perasaan seksual
tanpa adanya stimulus eksternal / autoerotis ditambah dengan narsistik.
Dengan kata lain, seseorang yang sangat mencintai tubuhnya mempunyai
kecenderungan untuk bercinta pada bayangan dirinya.
(b) Ketidaknyamanan Peran Gender
Seorang anak lelaki yang dari kecil mempunyai kecenderungan untuk
memakai baju dari lawan jenisnya dan cenderung tidak menyukai figur
ayahnya sejak kecil, tiga perempat dari meraka tumbuh menjadi
homoseksual atau biseksual (Green 1987). Pada masa perkembangannya
anak–anak yang suka berpakaian feminim ini cenderung mendapatkan
bully dari rekan sebayanya karena mempunyai fisik yang terlihat lemah
gemulai dan cenderung lebih lemah dari anak laki–laki lainnya (Zucker,
1990)
(c) Teori Behavioris
Homoseksual menurut aliran behaviorisme merupakan perilaku yang
dipelajari karena adanya faktor Reinforcement terhadap diri sendiri yang
23
dimulai dengan melakukan masturbasi sambil berfantasi. Hal ini
diakibatkan antara lain karena adanya kekecewaan terhadap hubungan
heteroseksual dan dengan melakukan masturbasi ia mendapatkan
kepuasan yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carrol,
2005).
3) Teori Sosiologi
Konsep–konsep homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas merupakan
hasil dari fantasi masyarakat dan bergantung dari bagaimana masyarakat
membentuk opini dan persepsi akan sesuatu hal. Dan melalui pendekatan
sosiologis, homoseksualitas merupakan hasil dorongan sosial yang ada di
masyarakat. Carrol, (2005) mengatakan bahwa kita coba berpikir mengenai
budaya dan mencoba mengaplikasikannya pada diri sendiri.
Adam, (1987) mengatakan setelah terjadinya revolusi industri membebaskan
orang–orang
secara
ekonomi
dan
memberikan
kesempatan
pada
masyarakatnya untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan dan pada
saat inilah istilah homoseksual mulai berkembang sebagai perilaku sesama
jenis. Jadi dapat disimpulkan bahwa istilah homoseksual dan heteroseksual
merupakan produk cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial
yang berlaku pada masyarakat waktu itu.
4) Teori Interaksional : Biologi, Psikologi dan Sosiologi
Bem (1996) menyatakan pendapat bahwa variabel biologis seperti genetik,
hormon dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu,
tetapi lebih memberikan sumbangan kepada sikap dan perilaku pada masa
24
anak–anak sehingga memberikan dampak pada aktivitas terutama pada
kelompok sebaya baik dengan yang berjenis kelamin sama ataupun tidak.
Bem (1996), perasaaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis
sebagai lebih eksotis dan berbeda dari orang itu daripada dengan lawan
jenisnya.
2.1.3
Tahap Perkembangan Identitas Seksual
Tahap perkembangan identitas seksual merupakan bagian dari tahap
perkembangan identitas diri secara menyeluruh pada homoseksual, sehingga
menurut Kelly (2001), homoseksual harus menyelesaikan tahap perkembangan
identitas seksual ini sebagai bagian dari pembentukan identitas diri mereka.
Perkembangan identitas seksual tersebut melewati enam tahap yaitu
(Kelly, 2001) :
1) Identity Confusion
Pada tahap ini, individu memperdalam informasi mengenai seksualitasnya.
Karakteristik individu pada tahap ini, antara lain :
• Individu mulai menyadari adanya hubungan antara dirinya dengan
informasi mengenai hubungan sesama jenis. Ketika mereka merasa bahwa
relevansi informasi ini tidak dapat diabaikan, mereka mulai mengalami
perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak konsisten atau kongruen dalam
pandangannya terhadap diri sendiri.
•
Adanya usaha untuk menghindari aktivitas atau fantasi seksual dengan
sesama jenis.
25
•
Individu berusaha mencari informasi lebih banyak tentang orientasi
seksual sesama jenis.
•
Muncul pertanyaan “Apakah saya homoseksual ?”
2) Identity Comparison
Pada tahap ini, individu menerima kemungkinan dirinya sebagai homoseksual
dengan cara :
• Individu mulai merasa berbeda dengan anggota keluarga dan peer
groupnya, serta mulai menguji implikasi yang mungkin terjadi pada
dirinya sebagai gay, lesbian atau biseksual
• Individu mulai meninggalkan harapan dan acuan yang ada pada standar
heteroseksual. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa kehilangan dan
kesedihan karena hampir semua individu tumbuh dengan harapan
heteroseksual dan standar perilaku tertentu. Dengan kata lain, individu
mengalami rasa pengasingan sosial.
• Individu bereaksi terhadap rasa pengasingan sosial tersebut dengan
bermacam–macam cara. Mereka dapat bereaksi positif dengan menghargai
perbedaan pada dirinya dan mulai mengurangi pentingya heteroseksualitas
dalam hidup mereka. Namun ada kalanya mereka masih perlu berpurapura sebagai heteroseksual karena mareka belum siap menghadapi
konfrontasi negatif tentang orientasi seksualnya.
• Banyak individu yang pada tahap ini menolak identitas seksual sesama
jenis, walaupun mereka menyadari perasaan dan perilaku mereka terhadap
sesama jenis. Mereka dapat saja mengatakan bahwa perilaku seksual
26
mereka sebagai akibat dilecehkan secara seksual atau hanya keadaan
sementara. Mereka mungkin menolak identitas seksual sesama jenisnya
karena takut reaksi negatif dari orang lain.
3) Identity Tolerance
Individu menerima kemungkinan dirinya homoseksual dan mengenali
kebutuhan seksual, emosional, dan sosial yang menyertainya. Adapun
karakteristiknya antara lain :
• Individu mulai dapat menerima orientasi seksual mereka terhadap sesama
jenis sehingga mulai muncul peningkatan komitmen dan toleransi terhadap
identitas seksualnya.
• Pada umumnya ada peningkatan keterlibatan dengan orang–orang dari
kelompok gay atau lesbian, dimana support group yang memahami
permasalahan
individu
tersebut,
bertambahnya
kesempatan
untuk
menemukan pasangan dan menemukan panutan, serta kesempatan untuk
merasa nyaman dengan identitas barunya itu.
• Individu mulai coming out pada tahap ini. Namun karena masih
banyaknya diskriminasi dan penolakan terhadap homoseksual, maka harus
diputuskan seberapa jauh individu akan terbuka mengenai orientasi
seksualnya. Individu yang mengalami pengalaman buruk pada tahap ini
mungkin tidak akan pernah bisa maju lebih jauh ke tahap perkembangan
identitas selanjutnya. Namun bagi mereka yang mempersepsikan
pengalamannya secara positif pada akhirnya akan mempunyai cukup
komitmen terhadap identitasnya untuk mengatakan “Saya seorang
27
lesbian/gay/biseksual”.
4) Identity Acceptance
Individu menerima (dan bukan sekedar mentoleransi) gambar diriya sebagai
homoseksual dan mulai meningkatkan hubungan dengan kelompok sesama
gay/lesbian (kultur gay/lesbian). Individu pada tahap ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
• Individu menerima gambar dirinya sebagai lesbian, gay atau biseksual
(tidak sekedar mentoleransi).
• Sudah memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan kultur lesbian atau
gay.
• Bersamaan dengan lanjutnya hubungan tersebut, individu mempunyai
identifikasi positif dengan orang lain yang memiliki orientasi sejenis.
Sikap dan gaya hidup orang lain tersebut akan sangat berpengaruh
terhadap kenyamanan individu dalam mengekpresikannya.
5) Identity Pride
Pada tahap ini, individu memiliki hubungan yang semakin dalam dengan
kultur gay/lesbian. Interaksinya dengan heteroseksual pun semakin berkurang.
Karakteristik individu dalam tahap ini adalah :
• Individu tidak lagi menggunakan standar heteroseksual dalam penilaian
diri sendiri maupun orang lain.
• Semakin individu mengidentifikasikan diri dengan komunitas itu juga
semakin mendalam. Terkadang orang–orang pada tahap ini berusaha keras
menentang diskriminasi dan homophobia. Untuk sebagian besar individu,
28
tahap ini adalah tahap amarah (angry state).
• Usaha untuk menutupi orientasi seksual semakin diabaikan, meskipun
Coming Out tetap menjadi salah satu tantangan terbesar bagi gay dan
lesbian saat mereka mencoba membentuk identitasnya.
Seorang individu akan maju ke tahap akhir pembentukan identitas seksual
ditentukan oleh reaksi dari orang–orang terdekatnya. Apabila sebagian besar
memberikan reaksi negatif, individu dapat merasa bahwa heteroseksual adalah
lawan dan tidak dapat dipercaya. Apabila reaksi yang diberikan positif dan
menerima barulah individu dapat maju ke tahap akhir.
6) Identity Synthesis
Pada tahap akhir ini, individu mengintegrasikan identitasnya sebagai
gay/lesbian dengan aspek kepribadian lainnya. Karakteristik individu pada
tahap ini adalah :
• Individu akhirnya menyadari bahwa dunia tidak terbagi dalam “kita” (para
gay, lesbian, dan biseksual) dan “mereka” (para heteroseksual), tetapi
mulai melihat gay, lesbian, dan biseksual sebagai individu–individu
dengan orientasi seksual yang berbeda–beda. Tidak semua heteroseksual
dipandang secara negatif, dan tidak semua orang dengan orientasi sama
jenis dipandang secara positif. Kemarahan yang seringkali dialami pada
tahap kelima mulai berkurang.
• Aspek gay, lesbian, atau biseksual dalam identitas individu dapat
diintegrasikan dengan aspek lainnya dalam diri dan kepribadian.
Dengan terintegrasinya identitas sebagai gay/lesbian/biseksual ke dalam diri
29
individu, maka selesailah proses pembentukan identitas.
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa faktor–faktor yang
mempengaruhi pembentukan identitas seksual yaitu :
•
Reaksi dari Significant Others
Dalam usahanya untuk membentuk identitas seksual, individu terus–menerus
mendapatkan reaksi dari orang–orang sekitarnya. Apabila individu terus
menerus mendapat reaksi negatif, ia tidak akan dapat mengembangkan
identitasnya ke tahap- tahap selanjutnya.
•
Self Acceptance
Derajad penerimaan diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam
pembentukan identitas seksual. Bila individu dapat menerima dirinya secara
utuh dan merasa nyaman dengan diri sendiri, maka ia akan dapat
mengembangkan kepribadiannya secara maksimal.
2.1.4
Pola Intimasi Hubungan Homoseksual dan Heteroseksual
Brehm (1992) mendefinisikan Intimate Relationships sebagai hubungan
persahabatan atau hubungan romantik di antara orang dewasa. Sedangkan
Whitfield (1993) mendefinisikan Intimate Relationships sebagai suatu hubungan
antara dua orang yang saling berbagi dan membuka diri sepanjang hubungan
mereka.
Mason (dalam Whitfield, 1993) juga mengatakan bahwa suatu hubungan
dapat disebut Intimate Relationships jika dalam hubungan tersebut pasangan
saling sedikitnya empat atau lima dari sembilan aspek kehidupan yang ada.
30
9 aspek kehidupan tersebut adalah :
1) Aspek sosial
Pasangan saling berbagi pengalaman dalam kelompok masyarakat atau
kehidupan sosial.
2) Aspek intelektual
Pasangan saling berbagi pemikiran dan ide–ide diantara mereka.
3) Aspek emosional
Pasangan saling berbagi perasaan satu sama lain.
4) Aspek fisik
Pasangan saling membantu dan kerjasama dalam berbagai kegiatan.
5) Aspek rekreasi
Pasangan saling berbagi kegiatan yang sifatnya rekreatif.
6) Aspek estetika
Pasangan saling berbagi tentang segala hal yang menurut mereka indah ,
bagus, menarik atau artistik.
7) Aspek afeksi
Pasangan saling berbagi kasih sayang melalui sentuhan, kelembutan, atau
perhatian.
8) Aspek seksual
Pasangan saling berbagi kegiatan seksual. Tetapi hal ini baru terjadi pada
pasangan yang memiliki kedekatan secara mendalam.
9) Aspek spiritual
Pasangan saling berbagi pengalaman spiritual satu sama lain.
31
Bagi pasangan gay yang ingin hidup bersama, Cohabitation atau hidup
bersama tanpa adanya pernikahan yang sah, merupakan satu–satunya pilihan,
khususnya di negara yang tidak mengakui pernikahan sesama jenis (Miracle,
Miracle, & Baumeister, 2003). Hal ini banyak dilakukan oleh seorang gay yang
memiliki pasangan karena sebagian dari mereka menginginkan hubungan cinta
yang stabil dan lebih memiliih hubungan yang sifatnya kasus (Bell & Wienberg
dalam Peplau, 1982).
Model hubungan pasangan gay tidak mengikuti model hubungan
heteroseksual. Hubungan pasangan gay dan lesbian lebih menyerupai model
persahabatan, dengan tambahan elemen romantik (Harry & DeVall dalam Peplau,
1982).
Berdasarkan Bell, Weinberg dan Hammersmith (dalam Green & Herek,
1994) terdapat beberapa gaya hidup seorang gay, sebagai berikut ;
•
Close – Coupled Homosexuals: seorang homoseksual yang mempunyai
hubungan dekat dengan satu pasangan. Ia dan pasangannya menyadari bahwa
mereka adalah pasangan yang telah menikah atau berkomitmen. Mereka
mempunyai sedikit masalah dan cenderung dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat sekitar.
•
Open Coupled Homosexuals; seorang homoseksual yang hidup dengan satu
pasangan dalam hubungan yang stabil, tetapi memiliki pasangan seksual yang
lain di luar sana.
•
Functional Homosexual; seorang homoseksual yang hidup tanpa pasangan
yang tetap dan kurang tertarik untuk tinggal bersama.
32
•
Dysfunctional Homosexual, seorang homosexual yang hidup tanpa pasangan
yang tetap dan sangat aktif dalam melakukan hubungan seksual.
•
Asexual Homosexuals; seorang homoseksual yang memilih hidup tanpa
pasangan, baik karena pilihan atau karena tidak dapat mencari pasangan.
2.1.5
Resiko dari Homoseksualitas
Setiap identitas yang melekat pada seseorang, setiap keputusan yang
dibuat, setiap tindakan yang dilakukan pasti mengandung resiko. Bahkan hidup
sendiri adalah sebuah resiko yang harus dijalani dan dihadapi. Demikian juga
dengan identitas seksual, baik itu heteroseksual homoseksual, biseksual semuanya
memiliki resiko yang harus dijalani dan dihadapi.
Berbicara mengenai homoseksual, resiko rentan yang dihadapi oleh
homoseksual, dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu berdasarkan sumber
resiko dan jenis resiko :
1)
Sumber Resiko
(a) Resiko yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal.
Keberadaan kaum homoseksual di tengah – tengah masyarakat dan di
dalam interaksi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada norma,
nilai – nilai dan aturan tertulis maupun tidak tertulis serta stereotype
yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak
memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin,
norma agama, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk
berkarya.
33
(b) Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle
Gaya hidup tertentu pada kaum homoseksual dapat beresiko terhadap
kesehatan fisik maupun mental dan emosional, seperti berganti–ganti
pasangan dalam berhubungan seksual, melakukan hubungan seksual
yang tidak aman (tidak menggunakan kondom), melakukan anal seks,
minum-minuman keras dan narkoba. Penelitian mengenai homoseksual
pria menunjukkan bahwa lebih dari 75% pria homoseksual mengaku
telah melakukan hubungan seksual bersama lebih dari 100 pria berbeda
sepanjang hidup mereka, sekitar 15% dari mereka pernah mempunyai
100 – 249 pasangan seks, 17% mengklaim mempunyai 250 – 499, 15%
pernah mempunyai 500 – 499 dan 28% mengatakan pernah
berhubungan dengan lebih dari 1000 orang dalam hidup mereka (Bell
AP, Weinberg MS. Homosexualities, New York 1978).
2. Jenis Resiko
Berdasarkan jenis resiko, resiko yang rentan dihadapi oleh homoseksual
dapat dibedakan menjadi tiga :
(a) Resiko sehubungan dengan kesehatan mental dan emosional
Sebuah penelitian di
Inggris menemukan bahwa orang–orang
homoseksual 50% lebih rentan mengalami depresi dan menggunakan
narkoba jika dibandingkan dengan populasi norma lainnya. Dua
penelitian yang dilakukan oleh American Medical Association Archives
of General Psychiatry pada Oktober 1999 menyatakan adanya
34
hubungan yang kuat antara homoseksualitas dan perilaku bunuh diri,
demikian juga dengan gangguan mental dan emosi lainnya.
Dinamika penyebab gangguan mental dan emosional :
•
Tekanan psikologis terhadap penderitaan/kondisi yang tidak
menyenangkan seperti homophobia, HIV/AIDS, PMS, masalah
body image. Tekanan
psikologis dapat membuat seorang
homoseksual menjadi stres dan ketika ia tidak mampu menghadapi
stres, dirinya menjadi tidak terkendali dan tidak mampu
mengkontrol dirinya sendiri. Dalam situasi ini dikendalikan
sepenuhnya oleh emosi–emosi negatif di dalam dirinya seperti
depresi, kecemasan, mengasihi diri sendiri, amarah, iri hati.
•
Negative Self Image
Negative Self Image terjadi ketika seseorang memandang dan
menyakini dirinya tidak berharga, rendah diri dan tidak berdaya.
Konsep homophobia internal melihat pada sebuah pemikiran
dimana kita membangun Self Image negatif akan diri kita sendiri
akibat dari perlakuan orang lain terhadap seksualitas kita selama
bersosialisasi (Keogh, Peter, 2001). Negative Self Image terbentuk
pada seorang homoseksual ketika ia memberikan tekanan nilainilai, sikap atau tindakan tertentu, serta fakta diskriminatif dalam
beberapa hal seperti hukum, norma, nilai–nilai, aturan–aturan
tertentuserta dihadapkan pada pengalaman masa lalu yang
menyakitkan (ditolak dan dianiaya, disakiti secara fisik maupun
35
emosional oleh keluarga, teman masa kecil). Perlakuan dari
masyarakat
(Homophobia)
seperti
dengan
memberlakukan
stereotype tertentu mengenai homoseksual, memberikan label
negatif tertentu, (Keogh, Peter, 2001).
•
Terlibat dalam melakukan hubungan seksual (hubungan intim)
homoseksual.
Persepsi dan sikap seorang homoseksual yang dilakukan memiliki
konsekuensi terhadap kesehatan mental dan emosionalnya. Ketika
ia menaruh persepsi dan sikap negatif terhadap hubungan seksual
yang dilakukannya maka perasaan–perasaan tidak menyenangkan
hadir dalam dirinya dan mengganggunya. Persepsi dan sikap
negatif ini bisa berwujud pada perasaan bersalah, ketakutan, rasa
malu
karena
keyakinan
bahwa
hubungan
seksual
yang
dilakukannya tidak baik, keyakinan bahwa hubungan seksual yang
dilakukannya bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri, keyakinan
bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak membawanya
pada apapun akhirnya membentuk mata rantai yang tidak sehat,
menyakiti diri sendiri, melakukan hubungan seksual berulangulang dan seterusnya.
(b) Resiko sehubungan dengan kesehatan fisik / biologis
Perilaku seksual dapat berisiko mengganggu kesehatan fisik / biologis
pada kaum homoseksual. Seperti melakukan hubungan seksual bebas /
berganti–ganti pasangan bahkan dengan orang yang tidak dikenal,
36
melakukan hubungan seksual
yang tidak aman seperti tidak
menggunakan kondom dan tidak mengetahui diagnosa / status
kesehatan pasangan main, dan melakukan anal seks adalah perilaku–
perilaku seksual yang berisiko pada kaum homoseksual.
Dr. Xindou melakukan penelitian mengenai penyebaran HIV di
kalangan homoseksual di Belanda dan menemukan bahwa penyebaran
HIV lebih cepat diantara pasangan homoseksual yang menganggap
mereka menjalani “Steady” Relationship / hubungan tetap. Pasangan –
pasangan ini gagal untuk melibatkan diri dalam perilaku seks aman dan
terlibat 6-10 hubungan seksual tambahan diluar dari hubungan dengan
pasangan utama mereka tiap tahunnya (AIDS, 17:1029-1038,2003).
Resiko–resiko gangguan kesehatan yang dapat dialami dari perilaku
seksual tidak sehat tersebut antara lain : HIV/AIDS, kanker anal, STD’s
(penyakit menular seksual) seperti herpes, sifilis, dll.
(c) Resiko yang sehubungan dengan kedua–duanya (kesehatan mental dan
emosional dan kesahatan fisik / biologis).
•
Domestic Violence (kekerasan dalam suatu relasi)
•
Penyalahgunaan narkoba
37
2.1.6
Kehidupan Homoseksual
2.1.6.1 Kehidupan Homoseksual di Dalam Keluarga
Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik kaum gay dan lesbian
membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh
masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984).
Hal ini disebabkan adanya anggapan dan harapan dari masyarakat bahwa
laki–laki harus menikah dan memberikan anak kepada istri dan anak (Oetomo,
2003).
Selain itu keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam
kehidupan sehari–hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan
harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002).
Perlakuan yang demikian tidak hanya didapatkan dari masyarakat sosial,
akan tetapi yang paling menyakitkan adalah penolakan dan penganiayaan dari
keluarga seperti orangtua, saudara, teman sebaya dan sahabat mereka (Jorm,
Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002).
Kaum gay memiliki dukungan yang sangat rendah dari keluarga dan
teman–teman karena orientasi seksual mereka. Mereka dihujat, diisolasi, dianggap
kutukan Tuhan dan dibuang dari keluarga mereka (Bates, 2005; Cochran & Susan,
2001; Coker, 2008; Commonwealth of Australia, 2008; Dohrenwed, 2000;
Greene, 2003).
38
2.1.6.2 Kehidupan Homoseksual di Masyarakat
Dilihat dari segi usia, dunia gay ditandai oleh dominannya kaum remaja
dan muda usia. Menarik untuk diteliti di masa mendatang apa yang terjadi pada
gay yang sudah setengah umur. Ada dugaan bahwa sesudah usia 30 tahun,
dorongan untuk menikah dari keluarga sangat kuat sehingga sebagian gay
hidupnya itu atau melakukannya dengan sembunyi–sembunyi (Dede Oetomo
dalam Prisma, 1991).
Kaum lesbian dan gay Indonesia, seperti di banyak kawasan dunia ketiga
lainnya kebanyakan terpengaruh oleh gaya hidup lesbian/gay Barat dalam bentuk
mencari hiburan dan pasangan di bar, pub, dan disko serta taman–taman. Di kota–
kota besar setidaknya di Jawa terdapat bordil–bordil tak resmi yang menyediakan
pekerja seks laki–laki. Pekerja semacam itu yang tak terikat juga banyak mangkal
orang gay. Kaum gay banyak ditemukan di dunia glamor seperti pada dunia tata
busana, tata rias, tarik suara dan seni pertunjukkan pada umumnya. (Oetomo
dalam Prisma, 1991).
Kuat dugaan bahwa kehidupan gay yang relatif tampak ini sebetulnya
hanyalah “puncak gunung es”. Maksudnya lebih banyak lagi orang–orang
berperilaku homoseksual yang ada di masyarakat kita, yang tidak saling kenal satu
sama lain. Kaum homoseks yang berada di bawah permukaan ini cenderung
menjalani gaya hidup yang kurang glamor dan lebih tertutup. Khusus dalam hal
kaum lesbian, status mereka sebagai perempuan yang dalam masyarakat Indonesia
cenderung tidak mempunyai kebebasan seperti laki–laki, membuat mereka jauh
39
lebih tertutup dan terselubung dalam menyalurkan dorongan seksualnya, (Oetomo
dalam Prisma, 1991).
Masyarakat Indonesia modern, khususnya kelas bawah juga lebih toleran
terhadap perilaku homoseksual non genital. Toleransi ini barangkali dapat
dijelaskan sebagai kurang terpengaruhnya modernisasi kelas bawah masyarakat
Indonesia sejauh ini. Pada kelas menengah ke atas, toleransi ini dapat
dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang ada dalam masyarakat
nusantara tradisional. Malah dikatakan bahwa di kelas bawah penerimaan
terhadap anggota homoseksual lebih manusiawi (Oetomo dalam Prisma, 1991).
Persekusi kepada mereka yang berperilaku homoseksual cenderung terjadi
karena yang bersangkutan melakukannya secara terpaksa atau dengan anak-anak
kecil (pedofilia). Itu pun harus diakui bahwa perlakuan terhadap seseorang yang
ketahuan memperkosa sesama jenis atau pedofilia cenderung jauh lebih ringan
daripada perbuatan laki–laki dan perempuan yang tertangkap basah melakukan
hubungan seks di luar nikah (Oetomo dalam Prisma, 1991).
Secara formal-rasional, ada stigma terhadap perilaku homoseksual,
terutama pada kelas menengah urban modern yang merupakan pengaruh dari
homophobia Barat. Pengaruh homophobia Barat itu juga datang dari agama Islam
dan Kristen. Di kalangan sebagian kecil ulama Kristen ada usaha menerima
orang–orang homoseks apa adanya. Setidaknya satu sekte Kristen Protestan yang
tidak ingin disebutkan identitasnya telah secara serius dan terbuka membicarakan
konseling yang terbuka bagi anggota jemaat yang homoseks dan di kalangan
rohaniwan–rohaniwan Katolik ada yang secara pribadi menerima anggota
40
umatnya sebagai biasa–biasa saja. Juga Metropolitan Community Church, gereja
khusus lesbian dan gay dari Amerika Serikat telah mendirikan cabangnya di
Jakarta sejak 1986 yang lalu namun konon sejak 1988 sudah non aktif.
Dalam beberapa suku di tanah air, seorang homoseks mendapatkan jabatan
sakral seperti perantara dengan dunia arwah (antara lain pada suku Dayak Ngaju
yang dikenal dengan sebutan Basir), Shamon (antara lain pada suku Toraja
Pamona, yang dikenal dengan sebutan tadu aburake) atau penjaga pusaka di istana
kerajaan (antara lain suku Makassar yang dikenal dengan nama Bissu).
Pemolaan homoseksualitas dalam masyarakat-masyarakat nusantara
sebagaimana diuraikan sampai sekarang pun masih ada dalam masyarakatmasyarakat itu. Sekilas lintas memang pernyataan seperti ini mudah disangsikan.
Karena pengaruh peradaban Barat atau Islam modernis yang diwacanai
homophobia (sikap, perasaan dan tindakan anti homoseksualitas) melanda
sebagian anggota masyarakat Indonesia modern sehingga mengharamkan pula
homoseksualitas sehingga cenderung setidak–tidaknya pada forum rasional,
menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi, terhapus oleh
modernisasai bahkan tidak mengakuinya.
Dengan demikian dapat kita lihat bagaimana homoseksualitas sudah ada
sejak dahulu di tanah Indonesia bahkan dalam berbagai daerah dan kebudayaan
serta masuk dalam dunia para santri.
41
2.2
Perkembangan Psikososial Masa Dewasa Awal
Peneliti mempunyai subjek yang berada pada tahapan dewasa awal bila
dilihat dari teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap keenam
perkembangan psikososial Erikson yaitu Intimacy versus Isolation dimana dewasa
awal dituntut untuk saling berkomitmen atau menghadapi rasa pengasingan dan
keterpakuan pada diri sendiri. Namun demikian, mereka tetap membutuhkan
pengasingan diri guna menghasilkan refleksi tentang hidup mereka. Seiring
dengan mereka menyelesaikan tuntutan keintiman persaingan, dan jarak yang
bertentangan, mereka mengembangkan etis (sense of ethical) yang Erikson
pertimbangkan sebagai tanda kedewasaan dan hal ini dikembangkan menjadi
kesadaran diri (Sense of Self) semasa remaja untuk meleburkan identitas mereka
dengan identitas orang lain (Erikson, dalam Papalia, 2009).
Resolusi pada tahap dewasa muda menghasilkan kekuatan cinta;
pengabdian timbal balik antara pasangan yang telah memilih untuk membagi
kehidupan mereka secara bersama-sama, memiliki anak, dan membantu anak
mereka mencapai perkembangan yang sehat. Keputusan untuk tidak memenuhi
dorongan memberikan keturunan yang alamiah ini memiliki konsekuensi serius
terhadap perkembangan, menurut Erikson. Walaupun teorinya ini dikritik karena
tidak memasukkan orang-orang yang melajang, berselibat, homoseksual, dan
tanpa anak ke dalam cetak birunya mengenai perkembangan sehat dan juga
mengadopsi pola laki-laki dalam mengembangkan keintiman setelah menikah.
(Erikson, dalam Papalia, 2009).
42
Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas
penting masa dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat,
stabil, dekat dan penuh perhatian merupakan motivator penting dari tingkah laku
manusia. Unsur penting dari keintiman adalah pengungkapan diri (Self
Disclosure); “membuka informasi penting tentang diri sendiri kepada orang lain”.
Hubungan yang intim menuntut ketrampilan tertentu, seperti kepekaan, empati,
dan
kemampuan
mengkomunikasikan
emosi,
menyelesaikan
konflik,
mempertahankan komitmen, dan bila hubungan potensial secara seksual,
mengambil keputusan seksual. Ketrampilan tersebut bersifat terpusat sejalan
dengan dewasa awal memutuskan apakah mereka akan menikah atau menjalin
hubungan tanpa menikah atau homoseksual, dan memiliki anak atau tidak
(Lambeth & Hallet, dalam Papalia 2009)
2.3
Pernikahan
Manusia dalam hidupnya memerlukan orang lain dan berproses hingga
menemukan cinta. Dalam Papalia (2009) kebanyakan orang menyukai cerita cinta,
termasuk cerita mereka sendiri. Menurut sebuah subteori cinta (Duplex Theory of
Love) dari Robert J. Sternberg (1995; 1998b; dalam proses cetak), cara cinta
berkembang sudah merupakan sebuah cerita. Para kekasih adalah penulis
ceritanya, serta jenis cerita yang mereka ciptakan mencerminkan kepribadian
mereka dan konsepsi mereka tentang cinta.
Dalam Papalia (2009) dikatakan, memikirkan cinta sebagai suatu kisah
dapat membantu kita bagaimana orang memilih dan mencampur unsur “alur”-nya.
43
Menurut subteori Sternberg yang lain, subteori segitiga cinta (Triangular
Subtherory of Love) (1986; 1998a; dalam proses cetak), ketiga unsur atau
komponen, cinta adalah keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman, unsur
emosional, melibatkan pengungkapan diri, yang mengarah kepada keterikatan,
kehangatan, dan rasa percaya. Gairah, unsur motivasional, didasari oleh dorongan
yang mentranlasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Komitmen, unsur
kognitif, merupakan keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang
kekasih.
Sehubungan dengan subjek yang mempunyai perilaku homoseksual dan
sudah menikah, peneliti mencoba melihat apakah itu pernikahan yang dimulai dari
rasa keterikatan, cinta dan akhirnya menuju ke pelaminan.
2.3.1
Alasan Untuk Menikah
Setiap orang mempunyai alasannya sendiri untuk melangkah ke jenjang
pernikahan, beberapa alasan untuk menikah menurut (Turner & Helms, 1995)
sebagai berikut :
1) Cinta
Cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan seringkali menjadi alasan
utama untuk menikah. Pasangan memiliki hasrat untuk membagi dirinya
dalam hubungan yang berlanjut dan hangat.
2) Companionship
Mencari Companionship merupakan cara lain mengungkapkan bahwa
seseorang tidak ingin sendiri (Williams, 2006). Kesempatan untuk
44
menghabiskan hidup dengan seseorang dalam institusi yang permanen dan
jelas merupakan alasan lain yang cukup penting. Hal ini dapat membawa
kesejahteraan psikologis dan emosional, dimana dapat menumbuhkan
perasaan aman dan nyaman (Turner & Helms, 1995).
3) Konformitas
Bagi banyak pasangan, pernikahan merupakan suatu hal yang harus dilakukan
untuk melakukan aktivitas seksual, meskipun banyak kini pria dan wanita
yang melakukan hubungan seksual pra nikah.
4) Legitimasi untuk mendapatkan anak.
Anak yang dilahirkan melalui hubungan pernikahan memiliki identitas yang
terlegitimasi. Beberapa kalangan masyarakat memandang bahwa perilaku
melahirkan di luar pernikahan adalah tidak bermoral.
5) Menandakan kesiapan
Banyak pasangan mengatakan bahwa keputusan untuk menikah muncul saat
mereka merasa siap. Pasangan sudah menyelesaikan segala sesuatu yang ingin
dicapainya sebelum menikah, termasuk menyelesaikan pendidikan, berkarir,
mengurus masalah pribadi atau keluarga.
6) Keuntungan legal
Suatu pernikahan tentunya dapat memberikan pasangan untuk berbagi pajak
dan bagi pasangan yang memperhatikan masalah kesejahteraan ekonomi dari
hubungan mereka, alasan ini seringkali mendapat perhatian mendalam.
45
2.3.2
Pengertian Pernikahan
Di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Pernikahan yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa”
Sementara Strong dan DeVault (1989) memberikan definisi yang
lebih jelas dan rinci mengenai pernikahan, yaitu:
“Marriage is a union between a man and a woman; they perform a public
ritual (which means that their union is socially recognized, they are united
sexually, and they cooperate in economic matters. The union is assumed to
be more or less permanent. If they have children, their children will have
will have certain legal rights.”
Jadi, pernikahan adalah satu kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang
dilakukan melalui upacara keagamaan di depan publik sehingga hubungan
keduanya diakui secara sosial dan seksual. Selanjutnya dikatakan bahwa
hubungan keduanya bersifat menetap dan melibatkan suatu kerja sama dalam hal
ekonomi. Dengan demikian, jika keduanya memiliki anak, maka anak-anak
mereka diakui secara sah.
2.4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, yaitu faktorfaktor sebelum pernikahan dan faktor-faktor selama pernikahan (premarital
variables dan marital variables) (Lewis & Spanier,dalam Heaven,1992; Duvall &
Miller,1985). Yang dimaksud dengan faktor-faktor sebelum pernikahan adalah
faktor-faktor yang tidak dapat diubah lagi setelah pernikahan terjadi, sifatnya
46
permanen, sedangkan faktor-faktor selama pernikahan masih dapat diubah atau
diperbaiki setelah pasangan melakukan pernikahan dan berperan besar dalam
menentukan tercapainya kepuasan pernikahan (Duvall & Miller,1985).
Teori kepuasan pernikahan yang ada dan saling melengkapi serta
berhubungan dengan teori psikologi yang mempelajari need dan value dimana
salah satunya adalah Teori Maslow. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah
mahluk sosial yang berkeinginan. Keinginan ini terjadi secara terus-menerus dan
hanya akan berhenti bila akhir hayat tiba. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan
tidak menjadi alat motivator bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum
terpenuhi yang akan menjadi motivator. Maslow membagi kebutuhan manusia
berdasarkan tingkatan hierarki yang diawali dengan kebutuhan manusia paling
dasar. Berikut merupakan susunan hierarki kebutuhan Maslow (Schultz, 1994):
1. Kebutuhan fisiologis (Physiological needs)
Maslow berpendapat bahwa orang yang kelaparan akan memikirkan,
memimpikan dan mendambakan makanan saja. Tapi yang paling penting
adalah pemenuhannya. Kebutuhan fisiologis menjadi lebih penting sebagai
kekuatan motivasi dalam budaya dimana kelangsungan hidup dasar sehari-hari
lebih diperhatikan.
2. Kebutuhan rasa aman (Safety needs)
Maslow menyakini bahwa kebutuhan akan rasa aman sangat penting pada
masa bayi dan pada orang dewasa yang neurotis. Kesehatan emosional orang
dewasa dipenuhi/dipuaskan oleh kebutuhan rasa aman. Kepuasan tersebut
membutuhkan stabilitas, keamanan dan kebebasan dari rasa takut dan cemas.
47
3. Kebutuhan cinta (Love needs)
Kebutuhan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti melalui
hubungan dekat dengan sahabat, orang yang dicintai atau pasangan; ataupun
melalui hubungan sosial yang dibentuk dalam kelompok yang sudah dipilih.
4. Kebutuhan akan harga diri (Self-esteem needs)
Setelah kita merasa dicintai dan memiliki sense of belonging, kemudian kita
mengembangkan kebutuhan untuk harga diri. Pemenuhan dari kebutuhan ini
mengarahkan kita kepada rasa kepercayaan terhadap kekuatan, keberhargaan
dan kelengkapan.
5. Aktualisasi diri (Self-actualization)
Aktualisasi diri merupakan realisasi dan pemenuhan dari potensial dan
kemampuan kita. Maslow berpendapat bahwa kita termotivasi untuk menjadi
apa yang kita harapkan di masa mendatang.
Dengan adanya teori dari Maslow ini, terdapat pendorong yang berkaitan
dengan perasaan positif terhadap Pernikahan sehingga membawa kepuasan dalam
pernikahan.
2.4.1. Faktor-faktor Sebelum Pernikahan
Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut berdasarkan
penggolongan yang dikemukakan Duvall dan Miller serta Lewis dan Spanier:
1) Pernikahan Orangtua
Menurut Greenberg dan nash (dalam Stinnet, Walters & Kaye,1984;
Duvall & Miller, 1985), apabila orang tua dari dua individu yang berpasangan
48
memiliki pernikahan yang memuaskan, maka pasangan tersebut cenderung
memiliki pernikahan yang memuaskan pula. Hal ini mungkin disebabkan
pernikahan orangtua merupakan model bagi anak-anak mereka. Anak-anak
yang orangtuanya mengalami kepuasan pernikahan akan menganggap bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang menyenangkan dan mereka dapat
melihat bagaimana cara bertingkah laku sebagai pasangan pernikahan (Lewis
& Spanier, dalam Heaven,1992).
2) Masa Kanak-kanak
Individu yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia cenderung
memiliki pernikahan yang memuaskan. Hubungan positif yang terjalin antara
anak dan orangtua yang ditampilkan dengan adanya kehangatan, penerimaan,
dan dukungan merupakan hal yang penting sebagai usaha mempersiapkan
anak dalam menjalani berbagai bentuk hubungan pada masa yang akan
datang, termasuk hubungan dalam pernikahan
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan sumber personal yang menurut Duvall dan Miller
(1985) maupun Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) turut mempengaruhi
kepuasan pernikahan seseorang. Selain itu, Dwyer (1983) menambahkan
bahwa berdasarkan hasil suatu penelitian terhadap kepuasan pernikahan,
semakin tinggi pendidikan kedua pasangan semakin tinggi pula kepuasan
pernikahan mereka.
49
4) Berpacaran
Masa perkenalan sebelum pernikahan
berhubungan dengan kepuasan
pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Kirkpatrick (dalam
Bell,1973) yang menunjukkan bahwa masa perkenalan yang dilanjutkan
dengan masa berpacaran selama minimal 1 tahun akan mendukung
tercapainya kepuasan pernikahan.
5) Usia Saat Melakukan Pernikahan
Kematangan
seseorang mempengaruhi
kepuasan pernikahan
yang
dirasakannya, dan kematangan ini berkaitan erat dengan usia orang tersebut.
6) Restu Orangtua
Pasangan yang pernikahannya direstui orang tua mereka cenderung
memiliki penyesuaian yang lebih baik daripada pasangan yang pernikahannya
tidak direstui. Selanjutnya ditambahkan bahwa restu orangtua berkaitan erat
dengan prospek hubungan dan kepuasan pernikahan secara umum di masa
yang akan datang.
7) Homogami
Lewis & Spanier (dalam Heaven,1992) menyatakan bahwa homogami
adalah prinsip persamaan karakteristik yang dimiliki dua individu yang
berpasangan. Pasangan yang melakukan pernikahan dan mereka memiliki
persamaan karakteristik, atau hubungan homogami, lebih cenderung
mencapai kepuasan pernikahan. Hal ini mungkin disebabkan pasangan yang
memiliki persamaan karakteristik atau homogami dapat merasakan kecocokan
personal di antara mereka.
50
2.4.2. Faktor-faktor Selama Pernikahan
1) Komunikasi di antara pasangan
Berdasarkan hasil penelitian Fitzpatrick (dalam bird & Melville,1994) dan
Navran (dalam Atwater,1983), komunikasi yang baik dan sering lebih banyak
terdapat dalam kelompok pasangan pernikahan yang puas dibandingkan
dengan kelompok pasangan pernikahan yang tidak puas terhadap pernikahan
mereka. Namun sayangnya kebanyakan pasangan dalam pernikahan tidak
mempersiapkan diri dengan cukup dalam hal komunikasi maupun
keterampilan interpersonal lainnya yang diperlukan dalam kehidupan
pernikahan.
Komunikasi yang baik terjadi apabila pasangan mampu membicarakan
berbagai macam topik, membentuk saling pengertian, menunjukkan
sensitivitas terhadap pasangan serta melengkapi komunikasi verbal dengan
komunikasi non verbal yang tepat. Selanjutnya Lewis dan Spanier (dalam
Heaven,1992) menambahkan bahwa jika pasangan dalam pernikahan dapat
berkomunikasi dengan baik, maka mereka dapat menegosiasikan perbedaanperbedaan di antara mereka dengan lebih baik sehingga mendukung
tercapainya kepuasan pernikahan.
2) Pendistribusian Kekuasaan (Power)
Dwyer (2000) menyatakan bahwa pendistribusian kekuasaan berpengaruh
terhadap jumlah kepuasan yang dialami pasangan. Yang dimaksud dengan
kekuasaan di sini adalah kemampuan untuk membuat orang lain menuruti
permintaan seseorang.
51
Kekuasaan tergantung dari:
1) Ketergantungan psikologis masing-masing pasangan: individu yang lebih
tidak tertarik terhadap pasangan maupun dalam hal melanjutkan hubungan
memiliki kekuasaan lebih besar dalam perkawinan.
2) Sumber-sumber pribadi yang dibawa kedua belah pihak, seperti daya tarik,
penghasilan, dan keterampilan. Semakin besar sumber pribadi yang
dibawa dalam perkawinan, semakin besar pula kekuasaan yang
dimilikinya.
Pada hubungan perkawinan yang sejajar, di mana tidak ada pasangan yang
saling mendominasi, pasangan cenderung merasa puas terhadap hubungan
perkawinan (Duvall & Miller,1985).
3) Hubungan Seksual
Dentler dan Pinoe (dalam Atwater,1983) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang sangat positif antara kepuasan perkawinan dan kehidupan
seksual para pasangan. Permasalahan yang sering timbul dalam hubungan
seksual antara pasangan adalah perbedaan yang mereka miliki dalam hal
keinginan dan kepuasan yang didapat dari hubungan tersebut.
Secara keseluruhan kepuasan dalam berhubungan seksual lebih tergantung
pada kualitasnya, atau artinya bagi pasangan yang bersangkutan, daripada
frekuensinya. Hubungan seksual dapat dianggap sebagai alat untuk
mengekspresikan cinta dan sumber kesenangan yang intens.
Pada perilaku seksual kaum Gay, Miracle (2003) menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan bagi mereka untuk secara mudah berganti-ganti
52
pasangan seksual walaupun mereka sudah berada dalam suatu ikatan
hubungan. Lebih lanjut Miracle (2003) menyatakan bahwa tidak ada jawaban
yang pasti mengapa kaum gay sering berganti-ganti pasangan dalam kegiatan
seks mereka. Ada dugaan bahwa karena kaum Gay sudah belajar untuk
memisahkan seks dengan keintiman ketika masa remaja, maka mereka lebih
mudah terlibat dalam seks bebas
4) Perekonomian Keluarga
Duvall dan Miller (1985) mengemukakan bahwa perekonomian keluarga
yang memadai mendukung tercapainya kepuasan perkawinan. Kesulitan
dalam perekonomian keluarga dapat memberikan tekanan emosi yang sangat
berat bagi pasangan dan meningkatkan kecenderungan terjadinya konflik
(Papalia,dkk, 2001). Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) menekankan
bahwa yang terpenting adalah persepsi dari pasangan yang bersangkutan itu
sendiri mengenai perekonomian yang dianggap memadai.
5) Pembagian Peran
Berdasarkan hasil penelitian Bowen dan Orthner (dalam Gullotta
dkk,1986), hal terpenting dalam pembagian peran adalah kesepakatan kedua
pasangan yang bersangkutan akan pilihan peran mereka. Saat pasangan samasama menjalankan peran sesuai dengan kesepakatan, mereka cenderung
mendapatkan kepuasan (Burr, dalam Gullotta dkk,1986).
Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) menambahkan bahwa tingkat
kepuasan akan semakin tinggi jika pembagian peran semakin adil, baik dalam
pencarian nafkah maupun penyelesaian tugas rumah tangga.
53
6) Cinta
Menurut
Lewis dan
Spanier (dalam Heaven,1992), cinta dapat
meningkatkan toleransi terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki
masing-masing pasangan. Hal ini dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan
yang dirasakan oleh mereka.
Rubin (dalam Dwyer,2000) menyatakan bahwa cinta terdiri dari tiga
komponen, yaitu kelekatan, perhatian dan keintiman:
-
Kelekatan (attachment): kebutuhan yang kuat akan keberadaan fisik dan
dukungan dari seseorang sekaligus keinginan agar kebutuhan tersebut
terpenuhi oleh orang yang dimaksud.
-
Perhatian (caring): kepedulian terhadap seseorang yang dimanifestasikan
dalam bentuk keinginan untuk membantu dan mendukung orang tersebut.
-
Keintiman (intimacy): keinginan untuk menjalin kedekatan berlandaskan
rasa saling percaya.
Berkaitan dengan komponen keintiman, Atwater (1983) menyatakan
bahwa suatu keintiman lebih berhubungan dengan kualitas hubungan
daripada lamanya kontak yang terjalin, walaupun biasanya terdapat hubungan
yang positif di antara keduanya.
Terdapat tiga kondisi yang berhubungan erat dengan keintiman yaitu:
-
Keterbukaan diri yang timbal balik (mutual self-disclosure): berkaitan
dengan dua orang atau lebih yang secara sukarela saling berbagi pikiran
dan perasaan mereka yang paling mendalam
54
-
Kecocokan personal (personal compatibility): dasar utama dari kecocokan
personal adalah persamaan karakteristik dalam hal: status soskal ekonomi,
pendidikan,
etnis,
(Atwater,1983;
agama,
Gullotta
nilai,
dkk,
sikap,
2986;
minat
Lewis
&
dan
temperamen
Spanier,
dalam
Heaven,1992). Winch (dalam Atwater,1983) mengajukan pendapat yang
berbeda mengenai kecocokan personal. Menurutnya, kecocokan dapat
disebabkan adanya perbedaan karakteristik yang dapat dipergunakan untuk
saling melengkapi. Winch menamakan hal ini sebagai kecocokan
berdasarkan prinsip komplementer.
-
Penyesuaian yang timbal balik (mutual accommodation): dalam hubungan
berpasangan, individu-individu yang terlibat memiliki masing-masing
harapan yang berbeda dari pasangan mereka sehingga dapat menimbulkan
kesalahpahaman dan konflik. Hal ini dapat dihindari atau setidaknya
dikurangi jika masing-masing individu saling melakukan penyesuaian.
Download