Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business) Volume 14, No1, Februari 2013 Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus Hartina Husein Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap Discretionary Revenue Yulia Sandra Nur Fitriana Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements (Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia) Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money, Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional Ferda Puspitaningrum Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real Earnings Management Annisa Perdany dan Sri Suranta Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol.14 No.1 Hal. 1-112 Surakarta Februari 2013 ISSN 1412-0852 Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business) Volume 14, No1, Februari 2013 ISSN: 1412-0852 Chairman Head of Accounting Department Universitas Sebelas Maret Editor in-Chief: Sulardi Editorial Board Bandi Universitas Sebelas Maret Y Anni Aryani Universitas Sebelas Maret Rahmawati Universitas Sebelas Maret Djoko Suhardjanto Universitas Sebelas Maret Editorial Staff Isna Putri Rahmawati Halim Dedy Perdana Editorial Office Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Jurnal Akuntansi dan Bisnis (JAB) is published by Accounting Department, Faculty EconomicsUniversitas Sebelas Maret. Published two times a year, February and August, JAB Is a media of communications and reply forum for scientific work especially concerning the fields of economics studies, business and accounting. Papers presented in JAB are solely that of author. Editorial staff may edit the papers, as long as not change its meaning. ISSN: 1412-0852 Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business) Volume 14, No1, Februari 2013 Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus 1-15 Hartina Husein Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap Discretionary Revenue Yulia Sandra Nur Fitriana Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements (Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia) Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money, Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional Ferda Puspitaningrum Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real Earnings Management Annisa Perdany dan Sri Suranta Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia 17-26 27-43 45-60 61-74 75-87 89-112 Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 www.fe.uns.ac.id Universitas Gunadarma a Dengan semakin terintegrasinya perekonomian dunia, hampir semua negara (termasuk Indonesia) tidak dapat lepas dari pengaruh aliran modal antarnegara. Salah satu karakteristik pemodal di pasar modal adalah memperkecil risiko investasi. Pada masa lalu, ketika sistem keuangan dunia 1 [email protected] masih tertutup, pemodal melakukan investasi pada banyak jenis saham (yang pola pergerakannya berbeda) pada pasar modal dalam negeri. Namun dengan semakin terbukanya sistem finansial dunia, pemodal dapat mengurangi risiko dengan melakukan investasi di beberapa negara. Pemodal berharap jika investasi hanya pada satu negara dimana jika terjadi kondisi 89 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 yang buruk, maka investasi di negara yang lain diharapkan lebih baik dan dapat menjadi kompensasi. Dengan demikian investasi pemodal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi satu negara saja. Perihal pengaruh ini pun semakin menjadi rancu batasannya, yakni mana yang dapat dikontrol dan mana yang diluar kendali. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2003 indeks pada posisi 691,895, kemudian naik turun, bahkan sempat mencapai puncaknya pada level 818,159 tanggal 27 April 2004. Level ini merupakan level yang tertinggi dan selanjutnya jatuh berfluktuasi ke level 700. Fluktuasi IHSG ini tidak terlepas dari berbagai faktor internal, seperti pemilu dan adanya terror bom. Demikian juga fenomena suku bunga, pelemahan rupiah, yang juga berkorelasi dan menimbulkan dampak terhadap pergerakan harga saham. Faktor eksternal antara lain menguatnya dollar AS, China memperlambat pertumbuhan ekonomi, harga minyak melonjak tak keruan, serta bank sentral AS menaikkan tingkat bunga yang kini 1,5 persen. Investor yang masuk berinvestasi ke bursa ketika IHSG pada level tertinggi akan memiliki potensi kerugian setelah indeks jatuh. Fluktuasi indeks bursa saham suatu negara juga tak lepas dari dinamika perekonomian global, hal ini terlihat jelas pada saat terjadinya krisis di Amerika Serikat pada 2006-2007 yang lalu. Pada Awal Agustus 2007, indeks bursa saham Amerika Serikat anjlok. Akibatnya terasa di seluruh dunia. Kurs rupiah melemah dari Rp 9.000 ke Rp 9.300, imbal hasil surat utang negara melejit 30 basis poin ke 9,3 persen, imbal hasil surat utang negara (dollar) naik 24 basis poin ke 6,8 persen dan indeks bursa saham Jakarta jatuh. Gejolak itu disebabkan oleh jatuhnya pasar surat di Amerika Seriutang kat. Untuk memudahkan penjelasan, subprime mortgage securities adalah surat utang yang ditopang jaminan kredit kepemilikan rumah (KPR) yang profil debitornya memiliki kemampuan membayar yang rendah. Melemahnya ekonomi Amerika Serikat menyebabkan meningkatnya persentase gagal bayar debitor KPR segmen tersebut. Akibatnya, harga surat utang 90 jatuh. Kejatuhan harga membawa surat utang kerugian bagi bank dan perusahaan pengel) yang membeli ola dana ( surat utang tersebut. Akibatnya, harga saham perbankan di Amerika Serikat tergerus. Lalu mengapa kesalahan yang dilakukan investor di Amerika Serikat, tetapi pasar keuangan Indonesia terkena dampaknya. Sudah sering kita alami gejolak pasar keuangan di negara sedang berkembang hampir selalu berdampak negatif ke Indonesia, tetapi kali ini gejolak di pasar keuangan negara maju juga berdampak negatif ke Indonesia. Mengapa nasib bursa efek Indonesia seperti tersandera oleh pasar keuangan internasional? Inilah dampak dari globalisasi pasar keuangan, ternyata yang memiliki surat utang bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tetapi ada juga perbankan di Australia, Singapura, Taiwan, China, atau di India. Perbankan di benua lain pasti juga memiliki eksposur ke surat utang . Akibatnya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Berhubung psikologi pasar selalu cenderung ekstrem, banyak pelaku pasar percaya bahwa meruginya perbankan besar akan berdampak kepada pelambatan laju pertumbuhan kredit, pelambatan kegiatan ekonomi, dan seterusnya. Akibatnya, harga saham nonperbankan di seluruh dunia pun jatuh. Telah banyak model struktural ekonomi memasukkan harga aset sebagai bagian mekanisme transmisi kebijakan moneter. Sebagai contoh, Modigliani (1971) dan Mishkin (1977) mendiskusikan saluransaluran di mana kebijakan moneter mempengaruhi output perekonomian melalui perubahan harga saham. Teori ekonomi menyarankan bahwa kebijakan moneter yang ekspansif seringkali diasosiasikan dengan tingkat pengembalian saham yang lebih tinggi dan sebaliknya bila kebijakan moneter tersebut bersifat restriktif yang berimplikasi dengan rendahnya tingkat pengembalian saham. Fluktuasi tingkat suku bunga yang merefleksikan perubahan kebijakan moneter dapat secara langsung mempengaruhi biaya modal sebagaimana halnya ekspektasi tingkat keuntungan perusahaan, yang karenanya me- Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) nyebabkan fluktuasi dalam harga saham (Durham, 2001). Studi lainnya mengacu pada alasan-alasan tambahan untuk hubungan antara kebijakan moneter dan tingkat pengembalian saham. Patellis (1997) berpendapat bahwa kebijakan moneter dapat merepresentasikan sumber penting dari siklus bisnis dan karenanya mempengaruhi tingkat pengembalian saham. Berdasarkan Chami, et.al (1999), kenaikan pada jumlah uang beredar, yang meningkatkan ekspektasi inflasioner, menyebabkan penurunan pada nilai riil dividen mendatang yang dibayarkan terhadap para pemegang saham, menjadikan saham kurang menarik dan karenanya mengurangi harga saham. Gilchrist and Leahy (2002) berpendapat bahwa perubahan pada harga aset dapat mempengaruhi pandangan para pembuat kebijakan akan kondisi perekonomian dan kebijakan yang diperlukan. Studi mereka ini mengindikasikan bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap harga aset memiliki implikasi yang penting terhadap manajer investasi, investor dan bank sentral. Dengan menggunakan data negaranegara G-7, Lastrapes (1998) menunjukkan kejutan moneter mempengaruhi tingkat pengembalian saham, sementara Kaen et.al (1997) menemukan bahwa perubahan pada kebijakan Bundesbank mempengaruhi saham-saham bank Jerman. Hasil penelitian Conover et.al (1999) juga menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kebijakan moneter dan fluktuasi indeks bursa di negara-negara maju tersebut. Sementara Durham (2001), melaporkan hubungan yang semakin lemah antara indikator-indikator kebijkan moneter yang berbeda-beda dengan kinerja saham jangka panjang. Risiko tingkat suku bunga dan nilai tukar valas adalah dua faktor ekonomi dan keuangan yang penting yang mempengaruhi nilai saham. Tingkat suku bunga yang merefleksikan harga uang, memiliki pengaruh terhadap variabelvariabel lainnya di pasar uang dan pasar modal. Tingkat suku bunga secara tidak langsung mempengaruhi valuasi harga saham dan juga volatilitasnya menciptakan pergeseran antara instrumen pasar uang dan pasar modal. Volatilitas suku bunga valuasi saham dengan cara mempengaruhi nilai dasar perusahaan, seperti pendapatan bersih suku bunga, penjualan, dan seterusnya. Kenaikan pada suku bunga berpengaruh negatif terhadap nilai aset melalui tingkat pengembalian yang diperlukan. Selanjutnya, kenaikan pada tingkat suku bunga mengarahkan para investor untuk mengubah stuktur investasinya dari pasar modal kepada pasar uang pendapatan tetap (Surat Utang Negara, Obligasi). Sebaliknya, penurunan suku bunga akan menyebabkan kenaikan pada nilai saat ini dari dividen masa mendatang (Hashemzadeh dan Taylor, 1988). Tingkat suku bunga dianggap sebagai salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap harga saham (Modigliani and Chon, 1979). Volatilitas nilai tukar valas adalah salah satu sumber utama pada ketidakpastian makroekonomi yang mempengaruhi perusahaan. Setelah liberalisasi keuangan dan deregulasi serta adopsi rezim nilai tukar mengambang, banyak negara-negara dihadapkan pada permasalahan volatilitas nilai tukar valuta asing. Di sisi lain, nilai tukar valas mempengaruhi nilai perusahaan terutama karena arus kas mendatang perusahaan akan berubah-ubah sesuai dengan fluktuasi nilai tukar valas. Luehrman (1991) menyatakan bahwa depresiasi mata uang suatu negara mempengaruhi tingkat kompetitif perusahaan-perusahaan dalam kompetisi internasional perihal kenaikan dalam permintaan bahan baku ekspornya. Adler dan Dumas (1984) menyatakan bahwa meski operasional perusahaan tersebut di dalam negeri, ia dapat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar valas baik pada harga input dan output-nya. Pada saat yang sama, apabila terjadi denominasi nilai tukar pada negara tujuan impor, semakin lemah nilai tukar mata uang negara pengimpor secara langsung berpengaruh negatif terhadap kenaikan biaya impor barangnya. Namun sudut pandang tersebut diatas pun tidak selalu mutlak sifatnya, bila dikaitkan dengan dinamika pasar modal karena kenyataannya, pergerakan antara indeks harga saham gabungan dan SBI pun tidak selalu berlawanan arah. Pada periode Juni 2004 hingga 91 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 Juni 2006 misalnya, terlihat anomali bahwa kedua indikator ini bergerak searah. Dengan kata lain kenaikan pada SBI juga tidak selalu direspon negatif oleh para pelaku di pasar saham. Di sisi lain, secara teoretis, investasi pada saham dapat memberikan perlindungan nilai yang baik dari pengaruh inflasi karena saham merupakan klaim terhadap sejumlah aset riil. Teori tersebut dikemukakan antara lain oleh Bodie (1976) serta Fama dan Schwert (1977). Berdasarkan teori tersebut, tingkat pengembalian riil dari saham seharusnya tidak terpengaruh oleh perubahan harga barang dan jasa. Berlawanan dengan harapan dari teori tersebut, kenyataan empiris di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi dan tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi secara negatif dalam arti inflasi yang sangat tinggi cenderung disertai dengan tingkat pengembalian investasi pada saham yang rendah. Kenyataan empiris di AS pada periode 1953-1971 tersebut dikemukakan Fama (1981) dengan ) menggunakan hipotesa pendekatan ( yang menjelaskan bahwa karena tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi positif dengan aktivitas ekonomi riil dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi negatif dengan perubahan harga-harga barang dan jasa (inflasi), maka tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa tingkat pengembalian investasi pada saham lebih erat terkait dengan aktivitas ekonomi riil daripada dengan inflasi. Terkait dengan hal ini, studi yang dilakukan oleh Spyrou (2004) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang, selain Indonesia, kenyataan empiris menunjukkan bahwa inflasi berkorelasi secara positif dengan tingkat pengembalian investasi pada saham. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004), indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktivitas ekonomi riil di banyak negara berkembang serta kemungkinan adanya 92 keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negaranegara tersebut. Pola interaksi antar aktivitas ekonomi global pun juga seringkali memunculkan gambaran anomali bila dihadapkan kausalitas teoritis dan fakta. Contoh hal ini terjadi pada awal tahun 2009 dimana nilai tukar kurs rupiah terhadap dolar Amerika yang terus mengalami penurunan mulai dari kisaran Rp 10.800 per awal Januari hingga mencapai Rp 12.000 USD1 per awal Februari. Meski fenomena pelemahan kurs ini juga praktis terjadi pada hampir semua mata uang dunia terhadap dollar AS, tetap saja ini menimbulkan kekhawatiran. Dunia usaha masih dihinggapi trauma pelemahan rupiah sebagaimana terjadi pada krisis 1998. Menurut Prasetiantono (2009), setidaknya bisa dipetakan adanya lima faktor penyebabnya: , dalam setahun terakhir terjadi penurunan hebat arus modal masuk dari negara-negara maju ke negaranegara pasar sedang berkembang di Asia. Pada Januari-Agustus 2008, modal masuk terpangkas 40 persen, dari 100 miliar dollar AS menjadi 60 miliar dollar AS (World Bank, Global Economic Prospects 2009: Commodities at the Crossroads). Modal asing yang masuk dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni penerbitan obligasi, penjualan saham, dan pinjaman perbankan. Ini belum termasuk penurunan modal asing langsung. Situasi kian memburuk sejak 15 September 2008 ketika Lehman Brothers bangkrut. Investor di New York, Amerika Serikat, pun kemudian melakukan konsolidasi. Mereka menarik dananya dari seluruh dunia untuk menata ulang portofolionya. Kondisi pasar sedang berkembang bahkan diperkirakan mengalami defisit aliran modal, berarti lebih banyak modal keluar daripada modal masuk. Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat dideteksi dari merosotnya cadangan devisa dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008) menjadi 51 miliar dollar AS. Repatriasi modal menyebabkan naiknya permintaan terhadap dollar AS sehingga kurs dollar AS menguat. Inilah penjelasan, mengapa dollar AS justru menguat ketika perekonomian AS memburuk? Kedua, surplus perdagangan Indonesia menurun tajam, dari 40 miliar Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya 11 miliar dollar AS (2008). Surplus 2008 berasal dari ekspor 136 miliar dollar AS dikurangi impor 125 miliar dollar AS. Ekspor mulai melemah sejak Oktober 2008 ketika AS dan seluruh dunia sudah memasuki periode krisis. Hal ini juga diikuti oleh menurunnya impor, seiring dengan kian mahalnya dollar AS. Menipisnya surplus perdagangan menghilangkan peluang untuk menambah cadangan devisa. Ketiga, euforia stimulus fiskal AS. Keputusan untuk menginjeksi stimulus fiskal 787 miliar dollar AS juga berkorelasi dengan kenaikan kurs dollar AS. Keempat, sebelum 15 September 2008, banyak mata uang dunia ) tercenderung terlalu mahal ( hadap dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan tertekan hebat (defisit). Indonesia kurang lebih punya masalah mirip. Karena kurs dollar AS terlalu murah ), impor melonjak sangat be( sar. Pada Juli 2008, impor kita mencapai rekor tertinggi 12,82 miliar dollar AS, padahal ekspor cuma 12,55 miliar dollar AS. Akibatnya, terjadi defisit perdagangan hampir 300 juta dollar AS. kami menduga hal ini terjadi karena dollar AS underval. ued, atau sebaliknya rupiah Koreksi yang diperlukan adalah kombinasi antara dollar AS menguat dan rupiah melemah. Kelima, Bank Indonesia menurunkan suku bunganya terlalu cepat. Kebijakan ini memang sangat diperlukan untuk memacu sektor riil. Namun, penurunan BI Rate yang terakhir dari 8,75 persen ke 8,25 persen justru dilakukan pada saat rupiah lemah, yakni Rp 11.700 per dollar AS. Anomali interaksi antara indikator moneter dan indeks harga saham gabungan adalah konsekuensi bagi para pelaku pasar (sektor riil dan keuangan) dalam menyikapi dinamika aktivitas perekonomian yang ada, terlebih bila dikaitkan dengan konteks liberalisasi ekonomi yang seringkali menghasilkan output yang bertentangan dengan kausalitas definisi antar indikator. Pemetaan pada pola pergerakan dinamis indikator yang dimaksud adalah suatu tantangan dan peluang baik bagi kalangan akademisi dan praktisi guna menghasilkan estimasi yang sekomprehensif mungkin dalam menjelaskan interaksi tersebut. Berdasarkan pemaparan singkat diatas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melihat perkembangan indeks harga saham gabungan, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, kurs rupiah terhadap Euro, dan bursa saham asing 93 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 (KLSE, STI, PSEI, dan SSE) 2. Mengetahui pengaruh masing-masing variabel tersebut baik secara simultan maupun secara parsial terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Globalisasi secara sederhana diartikan sebagai integrasi perekonomian suatu negara ke dalam perekonomian dunia (global). Proses integrasi perekonomian global itu sendiri, antara lain dicerminkan oleh adanya liberalisasi perdagangan dan investasi (ekonomi) (Darwin, 2005). Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antarbangsa. Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam berbagai praktik dunia usaha atau bisnis seakanakan dianggap tidak berlaku lagi (Halwani, 2005). Lebih lanjut Halwani (2005) menjelaskan bahwa globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal itu disebabkan oleh adanya hal-hal berikut ini. 1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. 2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas. 3. Ekonomi negara yang makin terbuka. 4. Penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara. 5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang makin efisien. 6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seluruh dunia. Dua kata kunci di dalam globalisasi adalah interaksi dan integrasi, yakni interaksi ekonomi antar negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi antar negara mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional 94 setiap negara secara efektif merupakan bagian yang tidak otonom dari satu perekonomian tunggal dunia. Jadi pengertian integrasi lebih tegas dibandingkan interaksi. Berdasarkan kedua kata kunci tersebut pengertian globalisasi ekonomi adalah bahwa suatu kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi kedalam satu perekonomian tunggal yang bersifat global (Thoha, 2001). Integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial atau perdagangan yang secara diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara pihak tertentu saja, yakni di negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut. Menurut Djamalius dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasanpembatasan yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan memasukkan semua bentuk bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Dalam penelitian ini integrasi IHSG dengan indeks bursa saham regional mempunyai arti sebagai penyatuan bursabursa saham dengan menganalisis keterkaitan atau hubungannya dilihat dari harga saham, suku bunga dan tingkat inflasi. Adapun negara-negara yang akan diteliti adalah Indonesia, Hongkong dan Singapura. Suku bunga, tingkat inflasi dan harga saham Indonesia memiliki keterkaitan dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga saham Hongkong dan Singapura. Indeks Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan negatif dengan Indeks Bursa Regional (Hangseng dan STI). Adanya penyatuan atau integrasi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan pasar modal di masing-masing negara. Saham di bursa-bursa Asia melemah terpengaruh anjloknya saham Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) Wall Street. Di Hong Kong, indeks Hangseng turun dan indeks STI mengalami penurunan terendah dalam dua tahun terakhir mengikuti penurunan indeks Dow Jones. Menurut para investor, penurunan tingkat suku bunga bisa mengangkat ekonomi karena bisa menurunkan harga barang konsumen (Hariyanto, 2001). Contoh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu, dapat dilihat bahwa Bursa Efek Jakarta bersama dengan bursa Shanghai China dan Mumbai India merupakan trio bursa di Asia dengan kinerja paling baik. Ketiganya bersama-sama memecahkan rekor indeksnya masing-masing. Diketahui bahwa pertumbuhan indeks sebesar 57.25 persen dicapai bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa Mumbai. Memasuki masa peralihan semester pertama dan kedua sempat terjadi penurunan indeks akibat ketidakpastian tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat mencapai level 1.800. Inflasi yang terkendali dan tingkat suku bunga yang terus menurun membuat optimisme ke lantai bursa. Dimana para investor tertarik untuk membeli saham di bursa. Globalisasi adalah salah satu penyebab dari korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks yang ada di berbagai belahan dunia. Investor, baik perseorangan maupun yang tergabung dalam sebuah dana yang dikelola oleh seorang manajer investasi, bisa dengan bebas melakukan alokasi aset tanpa melihat batas-batas negara. Secara khusus, fund manager ini membuat IHSG berhubungan dengan bursa yang lain. Maraknya pembentukan fund regional yang menggunakan indeks yang terdiri dari saham-saham yang ada dalam satu regional , adalah penyebab dari sebagai semakin besarnya korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks regional. Manajer investasi regional bisa dengan bebas memasukkan portofolio regionalnya dari satu negara ke negara yang lain. Manajer investasi bisa saja keluar dari suatu negara untuk menginvestasikan dana yang dimilikinya selama kedua bursa tersebut masih berada dalam satu regional. Sebagai contoh, untuk 2006, arus dana asing memang cenderung untuk keluar dari bursa Korea dan Taiwan, tapi masih masuk untuk bursa Indonesia dan India. Beberapa manajer investasi menggunakan indeks regional sebagai dari prestasinya dalam melakukan investasi. Indeks regional ini adalah indeks yang komponennya terdiri dari saham-saham yang terdaftar di beberapa negara. Manajer investasi yang menggunakan indeks regional sebagai benchmark bisa jadi cenderung untuk keluar dari seluruh region apabila terjadi guncangan di satu negara yang menjadi tujuan investasinya (Utomo, 2007). Contoh indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Japan yang berisi saham-saham yang diperdagangkan di bursa utama Asia di luar Jepang, atau FTSE atau ASEAN 40 Index yang berisi saham-saham yang ada di bursa ASEAN. Selain itu Nikkei-225 Bursa Saham Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong, Strait Times Bursa Saham Singapura, SET Bursa Saham Thailand dan lain-lain. Variabel yang berhubungan dengan harga saham adalah tingkat inflasi. Besar kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi suku bunga riil. Hal ini cukup berpengaruh bagi instrumen-instrumen pasar modal. Bila inflasi mengalami kenaikan maka pemerintah akan berusaha untuk menurunkannya dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat suku bunga riil. Dengan meningkatnya tingkat suku bunga riil maka akan menyebabkan investor cenderung untuk mengurangi kegiatan investasinya. Dana investasi akan cenderung untuk diendapkan dalam bentuk deposito karena tingkat pengembalian yang ditawarkan deposito lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengembalian yang ditawarkan pasar saham. Dengan berkurangnya transaksi di pasar saham tersebut maka akan menyebabkan turunnya harga saham (Vimala, 2005). ↑→ → ↑→ ↓→ ↓ 95 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 Hubungan antara suku bunga dengan harga saham dapat dilihat dari hubungan antara suku bunga dengan investasi. Investasi sangatlah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Bila suku bunga mengalami kenaikan maka masyarakat cenderung untuk tidak berinvestasi karena memilih untuk menanamkan modalnya dalam tabungan atau deposito. Hal ini dikarenakan dengan tingkat suku bunga yang tinggi maka tingkat pengembalian yang akan diterima akan lebih tinggi dibandingkan dengan berinvestasi dalam pasar modal. Ini menyebabkan berkurangnya transaksi di pasar modal terutama pasar saham sehingga akan menyebabkan penurunan harga saham. Bila hal sebaliknya yang terjadi, dengan menurunnya tingkat suku bunga maka akan menyebabkan masyarakat tidak menanamkan modalnya dalam tabungan atau deposito. Masyarakat akan menginvestasikan modalnya pada instrumen investasi dengan imbalan hasil yang lebih tinggi dan salah satu pilihan adalah dengan berinvestasi dalam pasar modal. Hal ini menyebabkan transaksi pasar modal akan meningkat dan menyebabkan harga saham ikut mengalami peningkatan. Maysami dan Koh (2000) meneliti hubungan demikian di Singapura. Mereka menemukan bahwa inflasi, pertumbuhan jumlah uang beredar, perubahan jangka pendek dan jangka panjang tingkat bunga dan variasi dalam nilai tukar membentuk hubungan kointegrasi dengan perubahan indeks gabungan pasar saham Singapura. Sementara Islam dan Watanapalachaikul (2003) menunjukkan, hubungan jangka panjang yang kuat dan signifikan antara harga saham dan faktor makro ekonomi (suku bunga, harga obligasi, kurs mata , kapitalisasi uang asing, rasio pasar, dan indeks harga konsumen) selama 1992 sampai 2001 di Thailand. Wongbangpo dan Sharma (2002) mengkaji hubungan antara harga saham dan beberapa faktor makroekonomi di lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand). Temuan penelitian menyatakan bahwa dalam jangka panjang harga saham berhubungan 96 positif terhadap pertumbuhan output, sementara untuk jangka pendek, harga saham ternyata adalah fungsi masa lalu dan saat ini dari variabel-variabel makroekonomi. Maysami dan Sims (2002, 2001a, 2001b) menggunakan teknik pemodelan untuk menjelaskan hubungan antar variabel makroekonomi dan tingkat pengembalian saham di Hongkong dan Singapura (Maysami dan Sim, 2002b) Malaysia dan Thailand (Maysami dan Sim, 2001a), serta Jepang dan Korea (Maysami dan Sim, 2001b). Dengan menggunakan pendekatannya Hendry (1986) yang memungkinkan dilakukannya deduksi terhadap hubungan jangka pendek antara variabel makroekonomi sebagaimana halnya penyesuaian jangka panjang terhadap tingkat keseimbangan. Mereka menganalisis pengaruh suku bunga, inflasi, penawaran uang, nilai tukar dan aktivitas riil secara bersamaan dengan variabel dummi untuk menangkap akibat dari krisis keuangan Asia 1997. Hasil penelitiannya mengkonfirmasi pengaruh variabel makroekonomi terhadap indeks harga saham gabungan tiaptiap negara, meski terjadi perbedaan perihal tipe dan ukuran asosiasi mengacu pada perbedaan struktur keuangan negara masing-masing. Maghyereh (2002) meneliti hubungan jangka panjang antara harga saham dan variabel makroekonomi Yordania dipilih, sekali lagi dengan menggunakan (1988) kointegrasi Johansen analisis dan data seri bulanan waktu untuk periode Januari 1987 sampai Desember 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ekonomi makro tercermin pada harga saham di pasar modal Yordania. Sementara penelitian Omran (2003) difokuskan pada memeriksa dampak dari suku bunga riil sebagai faktor kunci pada kinerja pasar saham Mesir, baik dari segi aktivitas pasar dan likuiditas. Analisis kointegrasi melalui mekanisme koreksi kesalahan (ECM) menunjukkan hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang signifikan antara variabel-variabel, yang menyiratkan bahwa suku bunga riil berdampak pada kinerja pasar saham. Hassan (2003) menggunakan teknik Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) kointegrasi multivariat Johansen (1988, 1991, 1992b) dan (1990) Johansen dan 'Juselius untuk menguji keberadaan hubungan jangka panjang antara harga saham di kawasan Teluk Persia. Menggunakan model vektor koreksi kesalahan, ia juga meneliti jangka pendek dinamika harga dengan menguji keberadaan dan arah antarwaktu Granger-kausalitas. Analisis indeks harga mingguan di Kuwait, Bahrain, Oman dan saham pasar menunjukkan bahwa: (1) harga saham telah berkointegrasi dengan satu vektor kointegrasi dan dua tren stokastik umum yang menunjukkan adanya keseimbangan, stabil jangka panjang hubungan antara mereka, dan (2) harga tidak dipengaruhi oleh perubahan jangka pendek tetapi bergerak sepanjang nilai-nilai tren satu sama lain. Oleh karena itu, informasi tentang tingkat harga akan sangat membantu untuk memprediksi perubahan mereka. Islam (2003) mereplikasi studinya Maysami dan Sims dalam menjelaskan hubungan penyesuaian dinamik jangka pendek dan hubungan keseimbangan jangka panjang antara empat variabel makroekonomi (suku bunga, tingkat inflasi, nilai tukar, dan produktivitas industri) dan indeks harga gabungan saham Kuala Lumpur. Kesimpulan studinya hampir serupa. Terdapat hubungan yang signifikan jangka pendek (dinamik) dan jangka panjang (keseimbangan) secara statistik antara variabel makroekonomi dan tingkat pengembalian pasar saham Kuala Lumpur. Ibrahim (1999) juga meneliti interaksi dinamis antara indeks gabungan KLSE, dan tujuh variabel makroekonomi (indeks produksi industri, jumlah uang beredar M1 dan M2, indeks harga konsumen, cadangan devisa, kredit agregat dan nilai tukar). Hasil pengamatannya menyatakan bahwa variabel makroekonomi berpengaruh terhadap indeks saham Malaysia, ia menyimpulkan bahwa pasar saham Malaysia belum efisien secara informasi. Hasil yang sama juga diperoleh atas studi yang dilakukan Chong dan Koh (2003). Mereka menunjukkan bahwa harga saham, kegiatan ekonomi, suku bunga riil dan keseimbangan uang riil di Malaysia itu terkait dalam jangka panjang baik di pradan pasca periode kontrol modal. Boucher (2004) mempertimbangkan perspektif baru pada hubungan antara harga saham dan inflasi, dengan memperkirakan tren jangka panjang pada harga saham riil, sebagaimana tercermin dalam rasio laba-harga, dan keduanya: ekpektasi inflasi dan inflasi riil. Mereka mempelajari peran penyimpangan sementara dari kecenderungan umum dalam rasio laba-harga dan inflasi riil untuk memprediksi fluktuasi pasar saham. Secara khusus, mereka menemukan bahwa deviasi ini menunjukkan kemampuan peramalan yang substansial dalam sampel dan di luar sampel untuk keduanya, baik ekspektasi tingkat pengembalian dan realisasi tingkat pengembalian serta ekses tingkat pengembalian. Selain itu, mereka menemukan bahwa variabel ini memberikan informasi tentang tingkat pengembalian saham di masa depan periode pendek dan menengah yang tidak ditangkap oleh variabel peramalan lain yang populer. Chuang et al. (2007) mengkaji apakah variabel-variabel makroekonomi, khususnya jumlah uang beredar, dan defisit APBN yang dianggap memiliki fungsi penting guna memprediksi harga saham di Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Korea Selatan. Data yang digunakan adalah indeks harga saham, jumlah penawaran uang, dan besarnya defisit APBN. Hasil penelitiannya secara umum konsisten dengan literatur mengenai makroekonomi. Temuan lainnya menyatakan bahwa terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antara kebijakan makroekonomi dan harga saham atas keempat negara tersebut, sementara untuk periode jangka pendek, harga saham tidak otomatis langsung menyesuaikan atas perubahan kebijakan moneter dan fiskal yang terjadi. Chen (2008) meneliti apakah variabelvariabel makroekonomi dapat memprediksi resesi di pasar saham. Variabel yang tingkat digunakannya antara lain, suku bunga, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, agregat output, dan tingkat pengangguran. Bukti empiris dari data bulanan indeks harga S&P 500 menyatakan bahwa diantara variabel makroekonomi yang dipertimbangkan sebagai prediktor yang memiliki daya penjelas yang memadai 97 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 adalah spread kurva imbal hasil dan tingkat inflasi berdasarkan kinerja peramalan sampel yang dilakukan. Kumar (2008) membangun dan memvalidasi hubungan jangka panjang harga saham dengan nilai tukar dan inflasi dalam konteks India. Ada banyak penelitian tentang hubungan antara indeks saham dengan variabel makroekonomi. Hal ini memberikan latar belakang subyektif yang kuat untuk menguji adanya hubungan seperti di India. Penelitian ini terutama ditangani dengan metode empiris dengan menggabungkan teknik statistik yang berbeda untuk memeriksa adanya kointegrasi antara indeks saham (Sensex) dan variabel lainnya. Ko-integrasi merupakan indikator yang diterima dengan baik untuk konteks penjelasan hubungan jangka panjang anta. ra lebih dari satu variabel Penelitian ini mengambil pertimbangan sepuluh tahun pengalaman ekonomi India masa lalu yang tercermin ke dalam indeks saham, indeks harga grosir dan nilai tukar. Sebuah hubungan kausal tidak dapat ditentukan tanpa adanya ko-integrasi antara variabel ekonomi makro yang dipilih. Gilbert (2008) menganalisis hubungan antara kejutan pengumuman makroekonomi, tingkat pengembalian intraday pada indeks S&P 500, dan revisi terhadap data yang diumumkan. Informasi ini tidak berhubungan dengan kejutan pengumuman awal dan memprediksi revisi masa depan: Harga meningkat ketika revisi berikutnya akan positif. Pengamatan ini sangat baik untuk kegiatan nyata dan variabel investasi seperti gaji non-pertanian, produksi industri, dan pesanan pabrik. Hasilnya menunjukkan bahwa pelepasan informasi publik memang berpotensi dalam memicu agregasi informasi swasta yang lebih akurat. Adam dan Tweneboah (2008) meneliti dampak dari variabel makroekonomi terhadap harga saham dalam indeks saham Databank. Untuk mewakili pasar saham dan (a) mengarahkan ke dalam investasi asing, (b) suku bunga T-Bill (sebagai ukuran tingkat suku bunga), (c) indeks harga konsumen (sebagai ukuran inflasi), (d) harga minyak mentah, dan (e) nilai tukar yang digunakan sebagai variabel makroekonomi. 98 Mereka menganalisis data kuartalan 19912007 untuk variabel-variabel di atas dengan menggunakan model co-integrasi, model vektor koreksi uji kesalahan (VECM). Hasil penelitiannya menetapkan bahwa kointegrasi yang terjadi diantara variabel makroekonomi dan harga saham di Ghana menunjukkan adanya hubungan jangka panjang. Analisis VECM menunjukkan bahwa nilai lag dari suku bunga dan inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar saham. Sementara investasi langsung asing, harga minyak, dan nilai tukar menunjukkan pengaruh yang lemah pada perubahan harga. Manurung (1996) melakukan penelitian tentang pengaruh variabel makro, investor asing, bursa yang, telah maju terhadap indeks BEI. Variabel makro ekonomi yang dimasukkan ke dalam model yaitu, tingkat bunga deposito, kurs dolar Amerika Serikat, defisit transaksi berjalan, tingkat inflasi, penawaran uang yang diukur dengan M2, pengeluaran pemerintah dan produk domestik bruto. Hasilnya, variabel inflasi tiga bulan, pengeluaran pemerintah, dan produk domestik bruto tidak signifikan dalam mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan, sisanya terbukti mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indonesia. Pemerintah pun menganggap interaksi aliran modal yang masuk dan keluar melalui pasar modal dan perdagangan valuta asing adalah penting, sehingga melalui BAPEPAM melakukan kajian terhada pola hubungan interaksi secara jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian yang dilakukan BAPEPAM ini bertujuan untuk menguji hubungan kointegrasi dan hubungan kausalitas antara aliran modal asing, pergerakan indeks harga saham dan pergerakan nilai tukar rupiah serta untuk mengetahui hubungan dinamis diantara ketiga variabel penelitian tersebut periode 2000-2007. Data yang digunakan adalah data time series harian berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK), Kustodian Efek Indonesia (KSEI) dan Bank Indonesia (BI). Teknik analisis Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) menggunakan metode dan ). dalam rerangka VAR ( Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar . Hasil (Kurs) dan penelitian menunjukkan secara empiris ) dengan bahwa uji akar unit ( metode (ADF) menunjukkan bahwa ketiga variabel mematau tidak stasioner pada dailiki ta level, namun stasioner pada tingkat yaitu variabel-variabel tersebut mempunyai derajat integrasi yang sama pada I(1). Dari hasil uji Kointegrasi menunjukkan bahwa ketiga variabel penelitian mempunyai hubungan kointegrasi atau keseimbangan jangka panjang. Dari hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa IHSG lebih mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap aliran modal asing yang masuk ke Indonesia, sedangkan aliran modal asing mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Dengan menggunakan multivariate VECM yang ditunjukkan oleh maupun memberikan hasil bahwa aliran modal asing yang masuk ke Indonesia pada periode penelitian memberikan pengaruh yang positif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan, dan juga memberikan pengaruh yang positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Perubahan nilai tukar rupiah yang menguat/melemah memberikan pengaruh yang positif/negatif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan. Disamping itu, masing-masing variabel dapat saling menjelaskan apabila terjadi kejutan terhadap salah satu variabel. Menurut Hajiji (2008) perkembangan nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam sistem pasar keuangan di Indonesia. IHSG selama periode penelitian mengalami fluktuasi namun secara umum mengalami kenaikan. Suku bunga SBI dan tingkat inflasi selama periode penelitian mengalami fluktuasi. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika juga berfluktuasi namun pergerakannya cukup stabil. Perkembangan nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) secara simultan dipengaruhi oleh instrumen pasar keuangan seperti suku bunga SBI, inflasi dan kurs Rupiah terhadap Dolar AS. Kurs berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap IHSG sedangkan suku bunga SBI dan inflasi juga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa investor selama periode penelitian tidak terlalu memperhatikan pergerakan SBI dan inflasi namun cenderung lebih memperhatikan pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS. Perubahan dalam IHSG dapat dijelaskan oleh kurs Dolar Amerika, suku bunga SBI dan inflasi sebesar 26,5 persen. Kecilnya pengaruh faktor-faktor pasar keuangan di atas dalam mempengaruhi nilai IHSG karena banyak informasi dan faktor-faktor lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan oleh para investor dalam menanamkan investasinya di bursa saham. Penelitian Mansur (2009) bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat suku bunga SBI dan kurs dolar AS terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Busa Efek Jakarta (BEJ). Analisis model yang menunjukkan besarnya pengaruh dari dalam negeri memberikan hasil bahwa secara bersama-sama tingkat suku bunga SBI dan kurs dolar AS memberikan pengaruh yang signifikan. Tetapi secara individual menyimpulkan bahwa tingkat suku bunga SBI dalam periode tahun 2000 sampai 2002 ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ. Pengaruh yang signifikan diberikan oleh kurs dolar AS dan besarnya pengaruh kurs dolar AS tehadap IHSG Bursa Efek Jakarta sebesar 51,55 % dengan arah pengaruh negatif. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS maka IHSG cenderung akan melemah dan begitu juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG akan mengalami penguatan. Tidak signifikannya tingkat suku bunga SBI terjadi karena pada periode penelitian, yaitu tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi banyak sentimen diluar variabel yang diteliti. Faktor sentimen tersebut berasal dari situasi politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri serta faktor kebijakan-kebijakan investasi. Misal99 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 nya di dalam bidang keamanan adanya konflik di Aceh, Ambon dan Papua, serta peristiwa bom Bali yang terjadi pada akhir tahun 2002. Dibidang politik terjadinya pergantian pimpinan nasional atau presiden. Di bidang ekonomi adalah proses restrukturisasi dan privatisasi yang terus berjalan sepanjang tahun 2000 sampai tahun 2002. Pengaruh dari variabel-variabel lain diluar variabel yang diteliti (variabel residu) tersebut cukup besar kepada IHSG, yaitu sekitar 48,45%. Penelitian Frensidy (2009) berusaha untuk mengetahui pengaruh aliran bersih asing, kurs dolar Amerika, dan indeks regional (dengan proxy indeks Hang Seng) terhadap pergerakan IHSG periode Januari 2006 – Oktober 2007. Selain itu, penelitian ini juga mencoba untuk mencari model yang paling tepat untuk menjelaskan hubungan variabel-variabel independen di atas dan perubahan IHSG. Dari hasil perhitungan diperoleh temuan bahwa Aliran bersih dana asing (NFF) mempengaruhi perubahan IHSG secara positif dan signifikan. Sementara itu, hubungan antara perubahan kurs dengan perubahan IHSG adalah negatif dan koefisien hubungan antara perubahan indeks Hang Seng dengan perubahan IHSG adalah positif. Secara keseluruhan, variasi variabel bebas seperti aliran bersih dana asing, perubahan kurs, dan perubahan indeks Hang Seng menyumbangkan 56,9% variasi variabel perubahan IHSG, cukup signifikan. Semua varabel independen signifikan pada = 1%. Begitu juga dengan nilai F-stastitik untuk keseluruhan model yang juga signifikan pada α = 1%. Studi yang dilakukan Endri (2009) bertujuan untuk menginvestigasi hubungan dinamis jangka panjang dan jangka pendek faktor-faktor makroekonomi yang terdiri dari suku bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan tingkat inflasi dengan pergerakan tingkat pengembalian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan uji kointegrasi data awal (level) menunjukkan bahwa variabel tingkat pengembalian IHSG terkointegrasi dengan variabel bebas makro ekonomi. Atau dengan kata lain, analisis dari hasil uji sta100 sioneritas terhadap nilai residu membuktikan bahwa antara variabel makro ekonomi yang terdiri dari suku bunga deposito satu bulan, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan tingkat inflasi dengan pergerakan tingkat pengembalian IHSG terdapat keseimbangan hubungan jangka. Jadi, variabel makro ekonomi dapat dikatakan memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengembalian IHSG atau setiap perubahan pada variabel makro ekonomi akan berdampak pada perubahan tingkat pengembalian IHSG dalam jangka panjang. Sementara berdasarkan pengujian dengan menggunakan metode mekanisme koreksi kesalahan (ECM) menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan jangka pendek antara variabel makro ekonomi dan tingkat pengembalian IHSG. Implikasinya, variabel makro ekonomi signifikan dalam mempengaruhi tingkat pengembalian IHSG atau setiap perubahan pada variabel makro ekonomi akan berdampak pada perubahan tingkat pengembalian IHSG dalam jangka pendek. Selain itu, dalam jangka pendek variabel tingkat pengembalian IHSG akan menurun dan mampu menyesuaikan perubahan variabel makro ekonomi pada satu periode berikutnya untuk mengoreksi kesalahan dan menuju keseimbangan jangka panjang sebesar 91,10%. Penelitian Witjaksono (2010) bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG selama periode 2000-2009. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG. Sementara variabel Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG. Selain itu diperoleh bahwa nilai adjusted R square adalah 96.1 persen. Ini berarti 96.1 persen pergerakan IHSG dapat diprediksi dari pergerakan ketujuh variabel independen tersebut. Penelitian yang dilakukan Novianto (2011) bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh variabel nilai tukar Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) (kurs) dolar Amerika, tingkat suku bunga SBI, inflasi, dan jumlah uang beredar terhadap variabel IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) di Bursa Efek Indonesia secara parsial dan simultan. Berdasarkan hasil, diperoleh hasil bahwa secara simultan keempat variabel berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Secara parsial variabel nilai tukar (kurs) rupiah dan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh signifikan. Sedangkan variabel inflasi dan tingkat suku bunga SBI tidak signifikan. Studi yang dilakukan Aso (2011) bertujuan untuk mencoba meneliti tentang keterkaitan antara indikator ekonomi makro terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dari hasil uji empiris diperoleh kesimpulan bahwa indikator ekonomi makro (tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan jumlah uang beredar dalam arti luas) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG. Temuan penelitian lainnya, yakni: a) dalam jangka pendek seluruh variabel indikator ekonomi makro berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Untuk variabel tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar memiliki hubungan negatif terhadap IHSG dalam jangka pendek. Sedangkan untuk variabel jumlah uang beredar berpengaruh terhadap IHSG dalam arah positif; b) dalam jangka panjang, variabel jumlah uang beredar dalam arti luas tidak berpengaruh terhadap IHSG. Sedangkan variabel tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG dengan arah yang serupa pada jangka pendek. Variabel nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan terhadap IHSG dengan arah yang berbeda seperti pada jangka pendek, arah pengaruh variabel nilai tukar rupiah dalam jangka panjang adalah positif. Perumusan hipotesis dalam uji penelitian ini adalah sebagai berikut. H1 Tingkat inflasi berpengaruh negatif dengan IHSG H2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia berpengaruh negatif dengan IHSG H3 Jumlah uang yang beredar berpengaruh positif dengan IHSG H4 Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh negatif dengan IHSG H5 Nilai tukar rupiah terhadap euro UniEropa berpengaruh positif dengan IHSG H6 Cadangan devisa berpengaruh positif dengan IHSG H7 Indeks pasar Kuala Lumpur berpengaruh negatif dengan IHSG H8 Indeks pasar Singapura berpengaruh negatif dengan IHSG H9 Indeks pasar Filipina berpengaruh positif dengan IHSG H10 Indeks pasar Shanghai berpengaruh positif dengan IHSG Populasi dalam penelitian ini menggunakan indikator moneter Indonesia dan indeks gabungan pasar modal Negaranegara asia-pasifik perusahaan. Adapun pengambilan sampel menggunakan metode judgment sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa data bulanan periode Januari 2003 sampai dengan Desember 2010. Data makro ekonomi diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Sedangkan, data IHSG, indeks pasar Kuala Lumpur (KLSE), indeks pasar Singapura (STI), indeks pasar Filipina (PSEI), dan indeks pasar Shanghai-RRC (SSE) diperoleh dari website bursa efek Indonesia (BEI), dan yahoo.finance.com. Uji akar-unit digunakan untuk mengetahui proses stasioner variabel yang digunakan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan model persamaan kointe. grasi dan Karena yang digunakan adalah data runtun waktu, maka penting diketahui apakah setiap variabel yang digunakan merupakan sebuah proses yang stasioner ). Yaitu, apakah kovarian ( 101 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 antara dua elemen dalam variabel hanya tergantung pada perbedaan jarak waktu antara keduanya, sehingga variabel tersebut mempunyai rataan yang konstan ) dan varian yang tertentu / ( ( ). Hal ini dikarenakan seringkali dijumpai hasil persamaan regresi yang memiliki nilai tinggi, akan tetapi sesungguhnya tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebasnya. Oleh karena itu, perlu diuji stationaritas dari variabel-variabel yang terlibat. Untuk mengetahui stasionaritas dilakukan dengan uji akar unit ( ). Data runtun waktu disebut tidak stasioner jika mempunyai akar unit. Uji stasioneritas ini juga dipakai sebagai dasar , untuk menentukan perlu tidaknya serta lamanya tersebut. Pengujian akar unit dilakukan dengan menggunakan . Pendekatan ADF mengontrol korelasi dengan orde lebih tinggi dengan cara menambahkan dari variable tak bebas pada sisi kanan regresi yang hasilnya sebagaimana persamaan di bawah ini: k yt . yt 1 j yt j t j 1 .. (1) adalah runtun waktu yang akan di uji. dihitung dari , dimana merupakan jumlah observasi. Runtun waktu yang tidak stasioner (menggandung sebuah akar unit), sebelum diintegrasikan harus diuji derajat integrasinya lebih dahulu untuk melihat pada tingkat berapa variable-variable tersebut akan terjadi stasioner. Untuk menguji persamaan (3.5) digunakan nilai kritis (ADF) dibandingkan hasil t-statistik. Jika nilai γ negatif dan signifikan, serta nilai absolute t-statistik masih lebih besar dari nilai ADF berarti runtun waktu tersebut dikatakan stasioner I(0). Sedangkan jika runtun waktu belum stasioner maka dilakukan uji akar unit pada perbedaan tingkat kedua dengan menggunakan persamaan: berdaan tingkat kedua maka variable integrasi pada I. Dalam proses pengujian, proses dengan menggunakan persamaan 1 , sedisebut proses uji pada dangkan proses dengan menggunakan persamaan 2 disebut proses uji . Menurut Nachrowi dan Usman (2006) model persamaan kointegrasi (Cointegration) dapat digunakan jika dalam pengujian kointegrasi masing-masing variabel Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tingkat inflasi (INFLASI), Sertifikat Bank Indonesia (SBI3M), jumlah uang beredar (JUBM2), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (IDRUSD), nilai tukar rupiah terhadap euro Uni-Eropa (IDREUR), cadangan devisa (CadDev), Indeks Harga Saham Gabungan Kuala Lumpur (KLSE), Indeks Harga Saham Gabungan Singapura (STI), Indeks Harga Saham Gabungan Manila (PSEI), dan Indeks Harga Saham Gabungan Shanghai (SSE) saling terintegrasi pada ordo 0 atau dinotasikan I(0). Dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam kondisi memiliki keseimbangan jangka panjang ( ) (Gujarati 2003). Bila kita dapat membuktikan bahwa seluruhnya terkointegrasi, maka kita dapat menyimpulkan bahwa regresi tersebut bukanlah regresi palsu, tetapi regresi yang terkointegrasi. Dengan demikian, interprestasi dengan menggunakan model di atas tidak akan menyesatkan khususnya untuk analisis jangka panjang. Model persamaan kointegrasi digunakan untuk mengestimasi keseimbangan antara variabel makro ekonomi dan IHSG dalam jangka panjang. Berikut ini disajikan model persamaan kointegrasi antar variabel makro ekonomi (variabel independen) dan IHSG (variabel dependen) yaitu: k 2 yt . yt 1 j 2 yt j t j 1 Jika variable 102 .. (2) stasioner pada perbe- (3) Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) Persamaan tersebut dapat dituliskan kembali sebagai berikut. .. (4) Jika μ1 stasioner, maka „IHSG, INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE dikatakan terkointegrasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena trend IHSG, INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE saling menghilangkan, sehingga variabel yang tidak stasioner tersebut dapat menghasilkan residual yang stasioner. Parameter yang didapat disebut dengan parameter kointegrasi dan regresi yang didapat disebut dengan parameter kointegrasi dan regresi yang didapat disebut dengan regresi kointegrasi. Pada model koreksi kesalahan ini, pergerakan jangka pendek variabel-variabel dalam sistem dipengaruhi oleh deviasi dari keseimbangan. Koreksi kesalahan ini merupakan hasil yang diperoleh dari residual estimasi persamaan kointegrasi. Model ECM untuk melihat hubungan jangka pendek antara variabel makro ekonomi dan return IHSG yang dihasilkan dari model persamaan kointegrasi (6) adalah sebagai berikut. μi-1 adalah kesalahan kointegrasi lag 1, atau secara matematis dituliskan, sebagai berikut. Dari model yang terbentuk diatas dapat terlihat bahwa hubungan perubahan INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE terhadap „RIHSG‟‟ dalam jangka panjang akan diseimbangkan oleh sebelumnya. Dari persamaan diatas, ΔINFLASI, ΔSBI3M, ΔJUBM2, ΔIDRUSD, ΔIDREUR, ΔCadDev, ΔKLSE, ΔSTI, ΔPSEI, dan ΔSSE menggambarkan „gangguan‟ jangka pendek dari INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE, dan error kointegrasi merupakan penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian, jika koefisien α11 signifikan, maka koefisien tersebut akan menjadi penyesuaian bila terjadi fluktuasi variabel-variabel yang diamati menyimpang dari „hubungan‟ jangka panjangnya. Indonesia sebagai salah satu negara dalam kelompok memiliki kaitan antara inflasi bulanan dan kinerja bulanan indeks harga saham gabungan yang menarik untuk dikaji. Grafik 2 menunjukkan pola kaitan tersebut dengan inflasi bulanan untuk setiap bulan yang diurutkan secara naik dalam periode Januari 2003 sampai dengan Desember 2010. Dalam periode bulan ketika harga-harga barang dan jasa naik dengan laju yang tinggi, tingkat pengembalian tahunan dari investasi pada saham cenderung memburuk hingga mencapai kerugian sebesar 18,38 persen persen ketika inflasi bulanan mencapai titik tertinggi di bulan November 2005. Secara keseluruhan dalam periode Januari 2003 sampai dengan Desember 2010. Rata-rata tingkat pengembalian investasi saham dan tingkat inflasi bulanan dalam periode tersebut adalah berturutturut sebesar 2,66%, dan 7,91 persen. Menariknya investasi dalam bursa saham juga didorong oleh rendahnya suku bunga penyimpanan di perbankan. Suku bunga penyimpanan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu nominal dan riil. Suku bunga penyimpanan nominal adalah suku bunga penyimpanan per tahun yang dipublikasikan oleh bank-bank setiap harinya, sedangkan suku bunga penyimpanan riil adalah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi pada saat yang bersangkutan. Secara teoretis, apabila suku bunga 103 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 penyimpanan riil di suatu negara mengalami penurunan, maka investasi di bursa saham menjadi lebih menarik karena investor cenderung untuk mencari tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Contoh hubungan antara inflasi, suku bunga penyimpanan riil perbankan, dan tingkat pengembalian investasi pada bursa saham dapat dilihat secara kronologis dari Januari 2003 sampai dengan Desember 2010. Hal yang menarik untuk diamati adalah ketika suku bunga bank Indonesia berada pada tingkat yang sangat rendah dalam area positifnya (6,26%) dan laju inflasi berada di bawah angka enam persen (Juni 2009, 3,65%), investasi pada saham memberikan tingkat pengembalian yang sangat menarik. Hal lain yang juga menarik adalah ketika suku bunga bank indonesia melebihi laju inflasi, investasi di bursa saham juga memberikan tingkat pengembalian yang sangat menarik (Januari 2003 – Februari 2005), kecuali pada periode Maret-April 2005 dimana tingkat inflasi lebih tinggi dibanding tingkat SBI. Pola tersebut kembali terjadi pada MeiSeptember 2005, Oktober 2006-Februari 2008 (rata-rata tingkat pengembalian bulanan sebesar 3,55%), dan Desember 2008November 2010 (rata-rata tingkat pengembalian bulanan sebesar 4,65%). Keterkaitan inflasi, SBI dan kinerja IHSG dalam periode Januari 2003 sampai dengan Desember 104 2010 mengindikasikan bahwa investasi pada saham dapat diharapkan untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih menarik dibandingkan dengan penyimpanan uang di bank. Namun, perlu diingat bahwa investasi di bursa saham adalah investasi yang mengandung risiko, Sebagai contoh, IHSG yang ditutup di level tertinggi pada Desember 2010 (3703,51) mengalami peningkatan tingkat pengembalian sebesar 4,88 persen dibanding bulan November yang sebesar 3531,12, meski pada saat yang sama, terjadi kenaikan laju inflasi (11,64 basis point) dan SBI (0,78 basis point). Berdasarkan pengujian stasioner terhadap seluruh variabel dengan menggunakan unit root ADF-test memberikan hasil bahwa kecuali variabel M2 dan SSE (baru stasioner pada perbedaan kedua), seluruh variabel stasioner pada tingkat perbedaan pertama.. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan prosedur EngelGranger. Dimana sebelum dilakukan pengujian dilakukan estimasi terhadap model dengan menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi akan dil- Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) Tabel 1. Hasil Uji Stasioner VARIABEL IHSG SBI-3M INFLASI JUB (M2) IDR-USD IDR-EURO CAD.DEVISA KLSE STI PSEI SSE-CHINA Perbedaan II JUB (M2) SSE-CHINA Tingkat Level t-Stat Prob 0.27 0.9754 -1.98 0.2949 -1.60 0.4767 2.43 1.0000 -2.37 0.1541 -1.27 0.6375 2.33 1.0000 1.3 0.9984 0.87 0.9945 1.08 0.9971 -1.16 0.6863 t-Stat Prob -8.72 0.0000 -10.04 0.0000 Tk. Perbedaan I t-Stat Prob -6.46 0.0000 -3.36 0.0157 -6.89 0.0000 0.2886 -6.49 0.0000 -6.77 0.0000 -6.94 0.0000 -8.38 0.0000 -7.76 0.0000 -8.93 0.0000 0.6347 Tabel 2. Estimasi OLS C INFLASI SBI_3M JUB-M2 IDR_USD IDR_EUR CADDEV KLSE STI PSEI SSE-CHINA R-squared Adjusted R-squared Log likelihood Durbin-Watson stat 1165.837 0.946714 -47.04367 0.000813 -0.307341 0.117301 0.036370 2.127860 -1.207955 0.010481 0.037415 0.951765 0.946091 -638.8501 0.832409 akukan dengan menggunakan teknik kointegrasi. Dari estimasi OLS diperoleh residunya untuk dilakukan pengujian kointegrasi dengan menggunakan unit root ADF-test. Hasilnya menunjukkan bahwa residual model estimasi adalah stasioner, yang artinya diantara variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model adalah terkointegrasi, sehingga hasil OLS sebelumnya (tabel 2) merupakan persamaan jangka panjangnya. Selanjutnya untuk memperoleh persamaan jangka pendek dari persamaan jangka panjangnya, maka dilakukan dengan (ECM). Estimasi terhadap ECM dilakukan dengan cara memasukkan variabel ke dalam model dalam bentuk perbedaan pertama dan memasukkan residual periode sebelumnya dari hasil model estimasi OLS. 615.0530 1.895506 12.69646 0.074565 30.16168 -1.559716 0.000285 2.850453 0.082619 -3.719971 0.057817 2.028826 0.009982 3.643418 0.444980 4.781919 0.221114 -5.463035 0.214953 0.048761 0.071065 0.526495 Mean dependent var S.D. dependent var F-statistic Prob(F-statistic) 0.0614 0.9407 0.1225 0.0055 0.0004 0.0456 0.0005 0.0000 0.0000 0.9612 0.5999 1657.919 859.9068 167.7216 0.000000 Hasil ECM merupakan pergerakan dalam jangka pendeknya, namun tetap dalam kerangka alur jangka panjangnya. Atau dengan kata lain, analisis dari hasil uji stasioneritas terhadap nilai residu membuktikan bahwa antara variabel makro ekonomi yang terdiri dari tingkat inlasi D (INFLASI), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 bulan D(SBI-3M), jumlah uang beredar D(JUB-M2), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat D(IDR_USD), dan nilai tukar rupiah terhadap euro UniEropa tingkat inflasi D(IDR_EUR), cadangan devisa, bursa asing (D(KLSE), D(STI), D (PSEI), D(SSE-CHINA)) (lihat tabel 4) dengan pergerakan IHSG, D(IHSG) terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang pada pengujian dengan data bentuk level. Dengan demikian, hasil uji kointegrasi dengan bentuk level sesuai dengan pern105 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Variable C D(INFLASI) D(SBI_3M) D(JUB-M2) D(IDR_USD) D(IDR_EUR) D(CAD-DEV) D(KLSE) D(STI) D(PSEI) D(SSE-CHINA) RESID01(-1) R-squared Adjusted R-squared Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient 2.743766 -5.668488 -47.45460 0.000236 -0.154878 0.051037 0.029200 -0.070766 -0.090534 0.277384 0.029294 -0.092754 0.470250 0.400042 -567.2464 1.800011 yataan yang dikemukakan oleh Gujarati (2003); Nachrowi dan Usman (2006) bahwasanya kombinasi linear yang bersifat stasioner dapat terjadi diantara dua variabel yang masing-masing tidak stasioner atau mengikuti pola . Apabila hal yang demikian terjadi kesepuluh variabel tersebut dikatakan saling terintegrasi. Hasil regresi sebelumnya pada data awal menunjukkan hubungan positif terjadi antara inflasi, jumlah uang beredar (M2), nilai tukar rupiah terhadap euro, cadangan devisa, bursa saham Malaysia, bursa saham Filipina, bursa saham Shanghai dan IHSG dan hubungan negatif terjadi antara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, bursa saham Singapura, dan IHSG. Dari hasil perhitungan empiris juga diperoleh temuan bahwa, jumlah uang beredar (M2), nilai tukar rupiah terhadap euro, cadangan devisa, bursa saham Malaysia memiliki pengaruh signifikan yang positif terhadap IHSG. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, indeks gabungan bursa saham Singapura berpengaruh negatif terhadap IHSG Indonesia. Kemudian, hasil penelitian menggunakan 106 t-Statistic 1.828761 -3.500669 -2.892200 -2.583192 Std. Error 12.89911 8.538134 31.63361 0.000392 0.059372 0.039838 0.007081 0.313749 0.138599 0.115090 0.053198 0.068386 Mean dependent var S.D. dependent var F-statistic Prob(F-statistic) t-Statistic 0.212710 -0.663902 -1.500132 0.603571 -2.608620 1.281111 4.123887 -0.225551 -0.653211 2.410155 0.550673 -1.356332 Prob.* 0.0001 Prob. 0.8321 0.5086 0.1374 0.5478 0.0108 0.2037 0.0001 0.8221 0.5154 0.0182 0.5833 0.1787 34.89547 130.9796 6.697968 0.000000 metode ECM hanya menghasilkan tiga variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap indeks harga saham gabungan, yakni: nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, cadangan devisa, dan indeks harga saham gabungan Filipina. Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang peningkatan harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem perekonomian. Inflasi yang tinggi akan mengakibatkan daya beli masyarakat menurun dan dapat mendorong timbulnya resesi. Meningkatnya inflasi secara relatif adalah sinyal negatif bagi investor di pasar modal. Hal tersebut karena inflasi akan meningkatkan pendapatan dan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya faktor-faktor produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan, maka profitabilitas akan menurun. Meningkatnya laju inflasi akan menyebabkan para investor enggan untuk menginvestasikan dananya dalam bentuk saham, mereka cenderung untuk memilih investasi dalam Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) C INFLASI SBI_3M JUB-M2 IDR_USD IDR_EUR CADDEV KLSE STI PSEI SSE-CHINA Adj.R2 Sig.F 1165.84 0.9467 -47.0437 0.0008 -0.3073 0.1173 0.0364 2.1279 -1.2080 0.0105 0.0374 94.61% 0.000 bentuk logam mulia atau real estate, jenis ini dapat melindungi investor dari kerugian yang disebabkan inflasi. Dari hasil empiris, diperoleh hasil bahwa memang secara jangka pendek, meningkatnya inflasi akan menyebabkan penurunan angka indeks harga saham gabungan, namun dalam jangka panjang, justru kenaikan inflasi, , justru akan meningkatkan indeks harga saham gabungan. Secara parsial tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dari hasil tersebut penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Manurung (1996), Novianto (2011), dan Hajiji (2008) serta Aso (2011) untuk hasil empiris jangka pendek, sedang pada hasil empiris jangka panjang, penelitian berbeda dengan studi yang dilakukannya. Dengan kata lain, pada jangka panjang, kenaikan inflasi akan menurunkan capital gain yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang diperoleh investor. Di sisi perusahaan, terjadinya peningkatan inflasi, dimana peningkatannya tidak dapat dibebankan kepada konsumen, dapat menurunkan tingkat pendapatan perusahaan. Hal ini berarti risiko yang akan dihadapi perusahaan akan lebih besar untuk tetap berinvestasi dalam bentuk saham, sehingga permintaan terhadap saham menurun. Inflasi dapat menurunkan keuntungan suatu perusahaan sehingga sekuritas di pasar modal menjadi komoditi yang tidak menarik. Dalam 0.061 0.941 0.123 0.006 0.000 0.046 0.001 0.000 0.000 0.961 0.600 2.74 -5.6685 -47.4546 0.0002 -0.1549 0.0510 0.0292 -0.0708 -0.0905 0.2774 0.0293 40.00% 0.000 0.832 0.509 0.137 0.548 0.011 0.204 0.000 0.822 0.515 0.018 0.583 jangka pendek, hubungan negatif inflasi dengan harga saham berarti terdapat peluang bagi perusahaan untuk memperoleh profitabilitas lebih besar karena harga bahan baku menjadi lebih murah dengan asumsi harga penjualan tetap atau bahkan naik. Perubahan tingkat suku bunga SBI akan memberikan pengaruh bagi pasar modal dan pasar keuangan. Apabila tingkat suku bunga naik maka secara langsung akan meningkatkan beban bunga. Perusahaan yang mempunyai yang tinggi akan mendapatkan dampak yang sangat berat terhadap kenaikan tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga ini dapat mengurangi profitabilitas perusahaan sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap harga saham perusahaan yang bersangkutan. Selain kenaikan beban bunga, tingkat suku bunga SBI yang tinggi dapat menyebabkan investor tertarik untuk memindahkan dananya ke deposito. Hal ini terjadi karena kenaikan tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh bank-bank komersial untuk menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Apabila tingkat suku bunga deposito lebih tinggi dari tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor, tentu investor akan mengalihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi investasi di deposito sendiri merupakan salah satu jenis investasi yang bebas risiko. Pengalihan dana oleh investor dari pasar modal ke deposito tentu akan mengakibatkan penjualan saham besar-besaran sehingga akan menyebabkan penurunan indeks 107 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 harga saham. Bagi masyarakat sendiri, tingkat suku bunga yang tinggi berarti tingkat inflasi di negara tersebut cukup tinggi. Dengan adanya inflasi yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi riil masyarakat sebab nilai uang yang dipegang masyarakat berkurang. Ini akan menyebabkan konsumsi masyarakat atas barang yang dihasilkan perusahaan akan menurun pula. Hal ini tentu akan mengurangi tingkat pendapatan perusahaan sehingga akan mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan tersebut. Dari hasil empiris, diperoleh hasil bahwa tingkat SBI-3 bulan berpengaruh negatif, namun tidak signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ini berarti jika tingkat SBI (3M) mengalami kenaikan, otomatis menyebabkan suku bunga bank naik. Hal ini cenderung mendorong investor untuk menyimpan uangnya di bank daripada menginvestasikan uangnya dalam pasar modal (membeli saham). Meski hasil empiris juga menyatakan bahwa naik turunnya SBI-3M ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG baik secara jangka pendek atau jangka panjang. Hasil penelitian ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan Novianto (2011), Hajiji (2008), dan Mansur (2009) . Dalam pengertian luas uang yang beredar (M2) meliputi mata uang dalam peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Uang beredar menurut pengertian luas ini dinamakan juga likuiditas perekonomian. Berdasarkan hasil empiris diperoleh hasil bahwa kenaikan jumlah uang beredar secara jangka , akan meningkatkan pendek indeks harga saham gabungan sebesar 0,024%, dimana dalam jangka panjang peningkatannya bertambah menjadi sekitar 0,081%. Dalam jangka pendek berpengaruh perubahan jumlah uang yang beredar tidak signifikan terhadap fluktuasi indeks harga saham gabungan. Baru pada jangka panjang, perubahan tersebut berpengaruh signifikan. Hasil empiris ini mendukung 108 penelitian yang dilakukan Manurung (1996), Endri (2009), Novianto (2011). Nilai kurs dollar merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG. Jika nilai kurs dollar tinggi maka investor akan lebih menyukai investasi dalam bentuk Dollar AS dibandingkan dengan investasi pada suratsurat berharga karena investasi pada suratsurat berharga merupakan investasi jangka panjang. Demikian pula sebaliknya, jika nilai kurs dollar AS turun maka investor akan lebih menyukai investasi pada suratsurat berharga sehingga akan mempengaruhi nilai transaksi saham yang akan berpengaruh kepada IHSG. Berdasarkan hasil empiris baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS maka IHSG cenderung akan melemah dan begitu juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG akan mengalami penguatan. Hasil empiris ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Manurung (1996), BAPEPAM (2008), Frensidy (2009), Novianto (2011), Hajiji (2008), Mansur (2009), dan studinya Aso (2011) untuk hasil bahasan jangka pendek. Sementara untuk nilai tukar rupiah terhadap mata uang euro, fluktuasi yang terjadi malah justru meningkatkan indeks harga saham gabungan. Jika tidak terjadi perubahan nilai kurs, pada periode jangka pendek akan meningkatkan indeks sebesar 0,05 sementara dalam jangka panjang kenaikan tersebut meningkat menjadi sebesar 0,11. Pengaruh apresiasi atau depresiasi rupiah terhadap euro tidak signifikan dalam periode jangka pendek. Perubahan tersebut baru berpengaruh signifikan pada jangka panjang. Untuk cadangan devisa negara, setiap kenaikan yang terjadi justru meningkatkan indeks harga saham gabungan. Pada jangka pendek, kenaikan ini adalah sebesar 0.029, sementara untuk jangka panjang, kenaikan cadangan devisa yang terjadi , akan meningkatkan nilai indeks sebesar 0.036. Dengan kata lain, cadangan devisa negara berpengaruh positif dan signifikan terhadap Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek ataupn jangka panjang. Empat bursa asing yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dinamika implikasi terhadap fluktuasi indeks harga saham gabungan Indonesia. Pada periode jangka pendek, kenaikan pada indeks gabungan bursa saham Malaysia dan Singa, justru akan mengupura rangi indeks saham di Indonesia masingmasing sebesar 0,07 dan 0,09. Sementara untuk dua bursa lainnya, PSEI dan Shanghai, memiliki implikasi positif terhadap fluktuasi IHSG Indonesia. Fluktuasi di kedua bursa tersebut masing-masing akan meningkatkan IHSG sebesar 0,2274 (PSEI) dan 0,02 (SSE). Secara jangka panjang, kecuali bursa saham Singapura, fluktuasi yang terjadi di tiga bursa saham tersebut akan meningkatkan IHSG. Secara simultan, perkembangan indikator moneter dan bursa asing berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik secara jangka pendek dan jangka panjang. Sejumlah 40 persen variasi dari fluktuasi indeks harga saham gabungan dapat dijelaskan oleh indikator moneter dan bursa asing tersebut, sementara dalam jangka panjang kapasitas tersebut meningkat menjadi 94,61 persen. Hal ini berarti mengindikasikan bahwa indeks harga saham gabungan tersebut tidak serta merta hanya cerminan penawaran dan permintaan saham semata oleh para agen saham di bursa, tapi sudah semakin kompleks. Dengan kata lain, terdapat dinamika keterkaitan yang perlu dicermati dalam berinvestasi saham di bursa efek Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan indeks harga saham gabungan, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, kurs rupiah terhadap Euro, dan bursa saham asing (KLSE, STI, PSEI, dan SSE) mengetahui pengaruh masing-masing variabel tersebut baik secara simultan maupun secara parsial terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Dari hasil empiris diperoleh beberapa temuan sebagai beri- kut: a) secara jangka pendek, meningkatnya inflasi akan menyebabkan penurunan angka indeks harga saham gabungan, namun dalam jangka panjang, justru kenaikan inflasi, , justru akan meningkatkan indeks harga saham gabungan. Secara parsial tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang; b) tingkat SBI-3 bulan berpengaruh negatif, namun tidak signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang; c) kenaikan jumlah uang beredar secara jangka pendek, akan meningkatkan indeks harga saham gabungan sebesar 0,024%, dimana dalam jangka panjang peningkatannya bertambah menjadi sekitar 0,081%. Dalam jangka pendek perubahan jumlah uang yang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi indeks harga saham gabungan. Baru pada jangka panjang, perubahan tersebut berpengaruh signifikan; d) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya, apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS maka IHSG cenderung akan melemah dan begitu juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG akan mengalami penguatan; e) cadangan devisa negara berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang; f) Untuk bursa asing, pada periode jangka pendek, kenaikan pada indeks gabungan bursa saham , Malaysia dan Singapura justru akan mengurangi indeks saham di Indonesia, sementara untuk dua bursa lainnya, PSEI dan Shanghai, memiliki implikasi positif terhadap fluktuasi IHSG Indonesia. Fluktuasi di kedua bursa tersebut masing-masing akan meningkatkan IHSG. Secara jangka panjang, kecuali bursa saham Singapura, fluktuasi yang terjadi di tiga bursa saham tersebut akan meningkatkan IHSG; g) secara simultan, perkembangan indikator moneter dan bursa asing berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik 109 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 secara jangka pendek dan jangka panjang. Sejumlah 40 persen variasi dari fluktuasi indeks harga saham gabungan dapat dijelaskan oleh indikator moneter dan bursa asing tersebut, sementara dalam jangka panjang kapasitas tersebut meningkat menjadi 94,61 persen. Stabilitas ekonomi makro dan perkembangan bursa asing merupakan hal yang perlu mendapat perhatian investor karena memiliki pengaruh terhadap perkembangan Indeks Harga Saham di Bursa Efek Jakarta. Dengan rendahnya tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang stabil dan keseimbangan jumlah uang beredar (M2) dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan dapat meningkatkan minat investasi di pasar modal Indonesia yang dapat dilihat dari peningkatan IHSG. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan kebijakan penambahan jumlah uang beredar dalam rangka meningkatkan IHSG. Akan tetapi dalam jangka panjang (dua bulan berikutnya) pemerintah hendaknya mempertimbangkan dan memperhatikan gejolak harga sebagai dampak dari melonjaknya jumlah uang beredar. Pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang hendaknya perlu disikapi dengan kebijakan yang intervensif. Hal ini dikarenakan pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang dipastikan mendorong penurunan investasi pada pasar modal. Oleh karena itu, penurunan IHSG sebagai dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah tidak boleh dianggap hanya merupakan fenomena jangka pendek saja. Pemerintah dapat menjadikan nilai tukar rupiah sebagai instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam menarik minat investor asing untuk masuk ke dalam negeri melalui pasar modal melalui penyesuaian kebijakan SBI dan jumlah uang beredar yang ada Adam AM, Tweneboah (2008). Macroeconomic Factors & Stock Market Movement: Evidences from Ghana, 112556, University library of Munich, 110 Germany. Atje R, Javanovic (1993). Stock Market And , develoopment, 37: 632-640. BAPEPAM. 2008. Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas Serta Hubungan Dinamis Antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG Di Pasar Modal. Boucher C (2004). Stock Prices, Inflation and Stock Returns Predictability, , 70(1): 63-84. Chong, C.S. and K.L. Goh, 2005. “InterTemporal Linkages of Economic Activity, StockPrices and Monetary Policy in Malaysia”, The Asia Pacific Journal of Economics and Business9 (1), pp. 48-61 Endri. 2009. Keterkaitan Dinamis Faktor Fundamental Makroekonomi dan Imbal Hasil Saham. , No. 2, Vol.11, Augustus. Fama E (1970). Efficient Capital Markets: A Review of Theory and Empirical Work, 25: 383-417. Fama, Eugene F. 1981. Stock Returns, Real Activity, Inflation and Money. , 71, 545-565 Fama, Eugene F. and G William Schwert. 1977. Asset returns and inflation. , 5, 115-146. Frensidy, Budi. 2009. Analisis Pengaruh Aksi Beli-Jual Asing, Kurs, dan Indeks Hang Seng Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di BEJ dengan Model , FEUI. GARCH. Gilbert T (2008). Information Aggregation around Macroeconomic Announcements: The Link between Revisions and Stock Returns, . 20: 56-89. Granger CWJ (1986). Developments in the study of co integrated economic variables, Oxford , 48: 213-228. Hajiji, Ajid. 2008. Pengaruh Kurs Dolar Amerika Serikat, Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap Perubahan Indeks Harga Saham gabungan di Bursa Efek Jakarta. Kertas Kerja, IPB. Hassan, A. H. 2003. Financial integration of stock markets in the Gulf: A multivariate cointegration analysis. 8(3). Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda) Hendry DF (1986). Econometric modeling with co integrated variables: An overview, Oxford Bull. Econ. Stat., 48(3): 201212. Ibrahim MH (1999). Macroeconomic variables and stock prices in Malaysia: an empirical analysis, , 13(2): 495-574 Islam M (2003). The Kuala Lumpur stock market and economic factors: a generalto- specific error correction modeling test, , 30(2): 40-67. Islam M, Watanapalachaikul S (2003). Time series financial econometrics of the Thai stock market: a multivariate error correction and valuation model, , 10(5): 90-127. Jaffe J, Mandelkar G (1976). The Fisher effect for risky assets: An empirical inves, 31: 447-456. tigation, Johansen S, Juselius K (1990). Maximum likelihood estimation and inference on c ointegration with application to the demand for money, . 52: 169-210. Johansen S, Juselius K (1990). Maximum likelihood estimation and inference on co integration with application to the demand for money, . 52: 169-210. Maghyereh, A. I. 2002. Causal relations among stock prices and macroeconomic variables in the small, open economy of Jordan. available at http://ssrn.com/ abstract=317539. Mansur, Moh. 2009. Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI dan Kurs Dolar AS Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Periode Tahun 2000-2002. Working Paper In Accounting and Finance, October, Department of Accounting, Padjadjaran University. Manurung, A.H. 1996. Pengaruh Variabel Makro, Investor Asing, Bursa Yang Telah , ProMaju terhadap Indeks BEJ, gram Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi, UI, Jakarta, tidak dipublikasikan. Maysami RC, Koh TS (2000). A vector error correction model of the Singapore stock , 9: market, 79-96. Maysami RC, Loo SW, Koh TK (2004). Comovement among sectoral stock market indices and cointegration among dually , listed companies. 23:33-52. Maysami RC, Sim HH (2001a). An empirical investigation of the dynamic relations between macroeconomics variable and the stock markets of Malaysia and Thai, 20: 1-20. land. Maysami RC, Sim HH (2001b). Macroeconomic forces and stock returns: a general-to-specific ECM analysis of the Japanese and South Korean markets. , 1 (1): 83-99. Maysami RC, Sim HH (2002). Macroeconomics variables and their relationship with stock returns: error correction evidence from HongKong and Singapore. ., 44(1): 69-85. McKinnon RI (1973). Money and Capital in Economic Development, Brookings Institutions, Washington, DC. Nelson CR (1976). Inflation and rates of return on common stocks, , 31(2): 471-483. Novianto, Aditya. 2011. Analisis Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) Dollar AmerikaRupiah, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi, dan Jumlah Uang Beredar (M2) Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa , UNDIPEfek Indonesia. Semarang. Omran, M. M. 2003. Time series analysis of the impact of real interest rates on stock market activity and liquidity in Egypt: Co-integration and error correction model approach. 8(3). Prasetiantono, A Tony. Mengapa Rupiah , Senin, Tak Kunjung Menguat? 16 Februari 2009. Ross SA (1976). The arbitrage theory of capital asset pricing, , 13: 341-360. Spyrou. 2004. Are Stocks a Good Hedge Against Inflation? Evidence from Emerging Markets. , 36, 41-48. Sukarso, Aso. 2011. Pengaruh Perubahan Indikator Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa 111 Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112 Efek Jakarta Tahun 2001-2006. Vol 4, Nomor 2, Juni. Witjaksono, Ardian Agung. 2010. Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus 112 pada IHSG di BEI selama periode 20002009). Tesis, UNDIP, Semarang. Wongbangpo P, Subhash CS (2002). Stock Market and Macroeconomic Fundamental Dynamic Interactions: ASEAN-5 omics, Countries, 13: 27-51