Daftar Isi Rubrik forpro Cover depan: Bentuk serangan rayap rumah pada bagian kuda-kuda rumah ii Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro Dari Redaksi Pembaca yang budiman, Pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, menurut data statistik sampai saat ini jumlah penduduk sudah melampaui 255 juta jiwa. Jumlah penduduk sebesar ini tentunya banyak memerlukan pemenuhan kebutuhan, baik berupa sandang, pangan, kesehatan dan perumahan. Solusi dalam pemenuhan kebutuhan tersebut khususnya dari sektor kehutanan telah banyak upaya dilakukan, seiring dengan itu terpantau semakin menurunnya penyediaan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam, meskipun disisi lain terdapatnya pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Untuk menjaga kesinambungan suplay bahan baku dan ketersediaan produk hasil hutan perlu adanya penerapan teknologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) sebagai lembaga riset di bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan senatiasa melakukan riset dengan harapan dapat menyediakan IPTEK untuk membantu industri pengolahan hasil hutan yang lebih inovatif dan meningkatkan nilai tambah hasil hutan yang lebih kompetitif. Dalam majalah FORPRO edisi terbitan Vol. 3, no. 1 tahun 2014, kali ini disajikan beberapa informasi menarik yang diperoleh dari hasil penelitian/pengamatan, kajian, usulan maupun opini yang sekiranya perlu untuk disampaikan kehadapan para pembaca antara lain: “Serangan rayap tanah pada rumah dan tindakan pencegahannya, Selulosa mikrobial dan tempurung kelapa sebagai alternatif bahan serat, Pemanfaatan tumbuhan obat endemik asal Papua, Menyingkapi manfaat pohon kapur ( Drybalanops aromatica), Beberapa istilah hasil perekatan, serta informasi tentang cuka kayu sebagai pengendali hama dan penyakit tanaman”. Kepuasan pembaca merupakan kepuasan seluruh redaksi, berkenaan dengan itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Redaksi berharaf dengan terbitnya majalah ini semoga bermanfaat dan menjadi tambahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca. Bogor, Juni 2014 Redaksi Forpro Susunan Redaksi Pelindung Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Reviewer Dewan Redaksi Ketua : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Sekretariat Redaksi Ketua : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian Anggota : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc. 2. Drs. Juli Jajuli 3. Deden Nurhayadi, S.Hut. 4. Sophia Pujiastuti Editor 1. Drs. M. Muslich, M.Sc. 2. Ir. Efrida Basari, M.Sc. 3. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si. 4. Dra. Gusmailina, M.Si. 5. Dra. Jasni, M.Si. 6. Ir. Soenarno, M.Si. 7. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. 8. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc. 9. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc. 10. Setyani Budhi Lestari. Ah.T. : 1. Prof. Ir. Dulsalam, MM. 2. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. 3. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Redaksi FORPRO menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai soft file. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat Redaksi FORPRO, atau melalui e-mail: [email protected] FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 1 FOKUS SERANGAN RAYAP TANAH &TINDAKAN PENCEGAHANNYA PADA RUMAH Agus Ismanto dan R. Esa Pangersa G. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 e-mail : [email protected]; [email protected] PENDAHULUAN Rayap merupakan serangga pemakan kayu atau bahan berligno-selulosa lainnya. Rayap telah ada di bumi sejak ratusan juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fossil rayap di hutan Arizona yang diperkirakan berumur 220 juta tahun (Borror et al., 1996). Rayap sering juga disebut semut putih, meskipun terdapat banyak perbedaan secara morfologi antara rayap dan semut. Namun demikian, serangga ini juga memiliki hubungan kekerabatan (filogeni) yang sangat dekat dengan lipas atau kecoa karena memiliki bentuk, ukuran dan pola petulangan yang mirip dengan lipas (Nandika et al., 2003). Sebanyak 2.500 jenis rayap telah teridentifikasi dari seluruh dunia. Sekitar 120 dari total jenis tersebut teridentifikasi sebagai hama. Indonesia tergolong surga untuk perkembangan rayap, karena memiliki kelembaban yang tinggi dan suhu yang hangat sepanjang tahun (Rismayadi dan Arinana, 2007). Sebanyak 10% dari total seluruh jenis rayap di dunia, ditemukan di Indonesia dan sebesar 1% nya berperan sebagai hama perusak kayu serta hama hutan/pertanian (Tarumingkeng, 2001). Dalam kehidupannya, rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Di dalam koloni tersebut, terdapat 3 kasta yang memiliki bentuk berbeda (polimorfisme) sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu kasta prajurit, pekerja dan reproduksi. Kasta prajurit berfungsi mempertahankan sarang terhadap gangguan dari luar, kasta pekerja bertugas memberi makan anggota koloninya, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang, sedangkan kasta reproduksi bertugas menghasilkan telur, rayap jantan hanya berfungsi mengawini betina sekali saja (Tarumingkeng, 2001). 2 Berdasarkan cara hidupnya, rayap dibagi atas 4 golongan besar yaitu rayap pohon (Neotermes spp), rayap kayu lembab (Glyptotermes spp), rayap kayu kering (Cryptotermes spp) dan rayap subteran (Rhinotermitidae dan Termitidae). Rayap pohon yaitu jenis rayap yang menyerang kayu hidup, bersarang dalam pohon dan berhubungan dengan tanah. Rayap kayu lembab (Glyptotermes spp) yaitu jenis rayap yang menyerang kayu lembab yang telah mati, sarangnya berada dalam kayu tanpa berhubungan dengan tanah. Rayap kayu kering (Cryptotermes spp) adalah jenis rayap yang hidup dalam kayu kering udara terutama yang berada di bawah atap, bersarang dalam kayu dan tidak berhubungan dengan tanah. Rayap subteran ialah jenis rayap yang menyerang kayu baik yang terdapat di dalam maupun di atas tanah dan umumnya bersarang dalam tanah. Dari keempat golongan tersebut, golongan rayap yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah rayap tanah atau rayap subteran (Nandika et al., 2003). SERANGAN RAYAP TANAH PADA RUMAH Rayap subteran atau rayap tanah ini telah lama dikenal oleh masyarakat. Rayap ini masuk ke dalam kayu melalui tanah atau lorong pelindung yang dibangunnya. Untuk mejaga kelangsungan hidupnya, rayap tanah membutuhkan kelembaban tertentu secara tetap. Oleh karena itu, rayap ini selalu berhubungan dengan tanah dan bersarang di dalam tanah untuk mendapatkan persediaan air (Tarumingkeng, 2001). Rayap tanah memiliki berat tubuh maksimum 2,5 mg per ekor dengan kebutuhan makanan sekitar 0,24 mg tiap harinya dengan jarak jelajah 118 m (Nandika, 2006 dalam Suzatmika, 2008). Rayap ini tegolong sangat ganas dalam menyerang obyeknya. Bahkan untuk mencapai sasarannya, mereka dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm dengan bantuan enzim yang Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro dikeluarkan dari mulutnya (Tarumingkeng, 2001). Daya adaptasi terhadap perubahan kondisi pun tergolong cepat. Ketika habitatnya beralih fungsi, rayap tanah akan hidup dengan memakan kayu atau bahan berligno-selulosa yang tersisa. Bahkan bisa menyerang tegakan pondasi rumah apabila habitatnya beralih fungsi menjadi pemukiman. Data menunjukkan rata-rata persentase serangan rayap tanah pada bangunan perumahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Batam mencapai lebih dari 70% (Nandika et al., 2003). Berdasarkan penelitian Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor (PSIH-IPB), kerugian rata-rata per tahun yang disebabkan oleh rayap terhadap kerusakan bangunan publik di Indonesia mencapai Rp. 2,8 triliun (Anonim, 2003 dalam Alfian, 2007). Kerusakan rumah akibat serangan rayap meningkat setiap tahunnya. Hasil penelitian Barly dan Abdurrohim (1982) menunjukkan sebanyak 23% rumah di 3 Kabupaten dan 1 Kota di Propinsi Jawa Barat terserang rayap. Setahun kemudian, sebanyak 94,2% rumah berumur lebih dari 5 tahun di Kawasan III dan IV Jawa Barat meliputi Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cirebon dan Bandung rusak akibat serangan rayap tanah. Serangan paling banyak ditemukan di Depok (Barly dan Supriana, 1983). Bagian atau komponen rumah yang sering terkena serangan rayap tanah pada bagian kuda-kuda, kusen jendela, daun pintu dan sebagian kecil kaso atau reng (Sumarni dan Ismanto, 1991). Gambar 1. Bentuk serangan rayap tanah pada bagian kuda-kuda rumah Kerusakan rumah atau bangunan akibat keganasan serangan rayap tanah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pemakaian kayu yang memiliki keawetan rendah, tipe tanah dan ketinggian tempat atau lokasi. Tipe tanah yang dijadikan tempat tinggal atau bangunan juga berdampak pada serangan rayap. Tanah tipe glei humus memiliki populasi rayap tanah terbesar, sedangkan tipe alluvial terkecil populasinya (Tabel 1). FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 Ketinggian suatu permukaan juga dapat mempengaruhi jumlah rayap tanah. Semakin tinggi permuka -an suatu tempat dari laut, semakin sedikit jumlah populasi rayapnya (Tabel 2). Hal ini diduga karena kondisi perbedaan kelembapan tanah karena rayap tanah lebih menyukai tanah dengan kelembapan tinggi. 3 Tabel 1. Populasi rayap pada berbagai tipe tanah di Jawa Barat Populasi rayap tanah (ekor/m 2) Tipe tanah 488 a) Aluvial Glei humus 37.400 a) Regosol 16.402 a) Podsolik 16.664 b) Latosol 21.402 b) Grumusol 29.560 b) Renzina 8.047 c) Mediteran 3.733 c) a) b) c) Sumber : Sumarni dan Ismanto 1987b, 1988b, 1989a Tabel 2. Populasi rayap tanah pada berbagai tempat dengan ketinggian berbeda Ketinggian tempat (m dpl) ±0 Populasi rayap tanah (ekor/m2) 22.777 ± 246 7.596 Kantor Desa Cipanas, Cianjur ± 1.050 2.023 Kantor Kebun Raya Cibodas, Cianjur ± 1.400 921 Lokasi Pusat Penelitian Oseanologi, Jakarta Pusat Penelitian Pengolahan Hasil Hutan, Bogor Sumber : Sumarni dan Ismanto (1988a) PENANGGULANGAN SERANGAN RAYAP TANAH Penanggulangan serangan rayap tanah dilakukan untuk menekan dan mengurangi kerugian baik materiil maupun non-materiil. Jenis pengendalian dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu pengendalian kimiawi, fisik dan hayati. Pengendalian rayap tanah secara kimiawi hingga saat ini masih yang paling diandalkan. Pengendalian ini umumnya menggunakan termitisida sintetik yang membentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) di dalam tanah maupun kayu sehingga menghalangi penetrasi rayap. Tindakan ini memang menunjukkan hasil yang cepat, namun dapat menghasilkan dampak negatif terhadap manusia, organisme lain yang bukan sasaran serta lingkungan. Oleh karena itu pengendalian secara kimiawi harus dilakukan secara bijaksana (Alfian, 2007). Pengendalian fisik adalah pengendalian dengan menggunakan bahan non kimiawi, seperti menabur pasir besi di galian pondasi dan di atas permukaan tanah sekeliling pondasi. Pasir besi tergolong bahan anti rayap dan bertindak sebagai penghalang fisik (physical barrier) 4 sehingga menghalangi penetrasi rayap. Pengendalian hayati adalah pengendalian rayap menggunakan bahan hayati, misalnya dengan menggunakan umpan berupa cacing nematoda Steinernema carpocapsae dan Heterorhabditis indica. Cacing nematoda merupakan agen pengendalian biologis yang efektif untuk rayap karena keduanya selalu berhubugan dengan tanah. Pengendalian dilakukan melalui infeksi ke dalam rayap dan ditularkan sari satu individu rayap ke individu yang lain. Tindakan ini dinilai dapat mengeliminasi koloni rayap secara total (Nandika et al., 2003). Berdasarkan waktu pelaksanaannya, pengendalian rayap tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengendalian pra-konstruksi dan pengendalian pasca-konstruksi. Tindakan pengendalian pra-konstruksi meliputi penggunaan kayu awet, sanitasi, aplikasi termitisida (pengendalian kimiawi) dan pasir besi (pengendalian fisik) pada lubang galian. Sedangkan pengendalian pada pascakontruksi meliputi aplikasi termitisida pada kayu (kimiawi) dan daerah sekeliling pondasi bangunan (soil treatment) Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro dan penekanan koloni dengan umpan beracun pada bangunan yang telah terserang (pengendalian hayati). PENUTUP Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak semua tipe tanah memiliki populasi jenis dan jumlah rayap yang sama. Maka dengan mengetahui sebaran rayap akan bermanfaat bagi masyarakat dalam perencanaan dan tindakan pencegahan dalam pembangunan gedung p e r ka nto ra n m a u p u n p e m u k i m a n p e n d u d u k . Pengendalian secara kimiawi memang masih menjadi andalan, namun pengendalian alternatif seperti pengendalian hayati lebih baik dalam hal ekonomi dan lebih ramah lingkungan. Dengan adanya informasi di atas harapannya masyarakat dapat mengetahui populasi dan sebaran rayap tanah dari jenis dan ketinggian tanah yangn berbeda, serta tindakan pencegahan yang sesuai sehingga dapat merencanakan pembangunan dengan baik, tahan lama tanpa disertai peracunan tanah sehingga lingkungan tetap terjaga dengan baik dan terhindar dari pencemaran. DAFTAR PUSTAKA Alfian, A. M. 2007. Penggunaan empat jenis ekstrak tanaman untuk pengendalian rayap tanah. Skripsi. Program Studi Hortikultura dan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Barly dan S.Abdurrohim. 1982. Studi pendahuluan pengawetan kayu pada rumah-rumah rakyat di Jawa Barat. Laporan BPHH No. 161: 23-27. Barly dan N. Supriana, 1983. Organisme perusak kayu di beberapa proyek perumahan rakyat. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Bogor: 18-27. Borror, D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 Partosoedjono, S., penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects. Nandika, D.,Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Rismayadi, Y. dan Arinana. 2007. Usir rayap dengan cara baru dan ramah lingkungan. Majalah Serial Rumah. Cetakan pertama, Oktober 2007. Sumarni, G. dan A. Ismanto. 1987. Pengaruh tipe tanah terhadap komunitas rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (4) 4: 22-25. __________________ ____. 1988a. Komunitas rayap tanah pada empat lokasi di Jakarta dan Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (5) 1: 1-5. __________________ ___. 1988b. Keanekaragaman jenis dan intensitas serangan rayap tanah di tiga tipe tanah di areal bekas kebun karet. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (5) 3: 114-117. __________________ ____. 1989a. Pengaruh komunitas dan kepadatan rayap tanah terhadap kerusakan rumah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (6) 1: 57-62. __________________ ____. 1991. Kerusakan Perumahan PERUMNAS dan KPR-BTN di tipe tanah aluvial dan regosol oleh organisme perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (9) 7: 274-278. Suzatmika, I. Y. 2008. Pemanfaatan kitosan sebagai agen p e n g e n d a l i raya p t a n a h C o p t o t e r m e s curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae). Skripsi . Program Studi Hortikultura dan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Tarumingkeng, R. C. 2001. Biologi dan perilaku rayap. Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. 5 FOKUS SELULOSA MIKROBIAL & TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN SERAT KONVENSIONAL UNTUK PULP, KERTAS, DAN PRODUK TURUNAN SELULOSA LAIN I. PENDAHULUAN Istilah pulp sering dikaitkan dengan produk kertas atau karton. Pulp adalah bahan setengah jadi hasil pengolahan kayu atau bahan berserat ligno-selulosa lain. Kertas/ karton merupakan satu macam produk pengolahan lebih lanjut pulp. Perbedaan kertas dengan karton terletak 2 pada berat dasar dan tebalnya (≤224 g/m dan ≤0,3 mm 2 terhadap >224 g/m dan >0,3 mm). Produk jadi lain pengolahan pulp disebut turunan selulosa, yang mencakup papan serat dan pulp berderajat kemurnian selulosa tinggi atau >95% (dissolving pulp). Papan serat terdiri dari papan berkerapan rendah (insulation board), berkerapatan sedang (MDF), dan berkerapatan tinggi (hardboard). Dissolving pulp melalui pengolahan lebih lanjut dihasilkan seperti rayon (sutera tiruan), selulosa asetat (bahan plastik), selulosa nitrat (ramuan bahan peledak dan bahan kosmetik), dan selulosa fosfat (penghambat nyala api) (Casey, 1980; Suchland dan Woodson, 1986; Smook and Kocurek, 2002; Wikipedia, 2013). Peranan pulp, kertas/karton, dan produk turunan pulp lainnya penting bagi kehidupan manusia. Kayu (terutama dari hutan alam) merupakan bahan baku serat konvensional yang potensinya semakin terbatas dan langka. Terindikasi bahwa banyaknya konsumsi pulp/ kertas/produk turunan lain terkait dengan tingkat kemajuan bangsa dan pertambahan jumlah penduduk. Timbul kekhawatiran suatu saat produksi domestik pulp/ produk turunanya di masa mendatang tak dapat mengatasi konsumsinya. Kekhawatiran tersebut tercermin dengan meningkatnya tingkat kerusakan hutan alam sebesar 1,5 juta ha/tahun (APKI, 2010; Pulp and Paper Week, 2011; BPS, 2011a; Kompas, 2008; 2012). Atas dasar itu, perlu mengintrodusir serat alternatif untuk pulp, kertas, dan produk lain turunannya, di mana potensinya berlimpah dan belum banyak dimanfatkan. Di antara alternatif tersebut adalah selulosa mikrobial dan sabut kelapa. Tulisan popular ini memuat narasi singkat kemungkinan pemanfaatan selulosa mikrobial dan sabut kelapa sebagai serat alternatif untuk pembuatan kertas dan produk lain turunan pulp. 6 Dian Anggraini Indrawan, Han Roliadi & Rossi Margareth Tampubolon Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 (Jawa Barat). Tel: 0251-8633378, Fax: 0251-8633413; E-mail: [email protected], [email protected] Selulosa mikrobial adalah suatu kumpulan rantairantai polimer selulosa, hasil biosintesis substrat yang mengandung glukosa, fruktosa, dan senyawa karbohidrat sederhana lain dengan berat molekul rendah dengan bantuan mikroorganisme tertentu. Mikroorganisme yang umum digunakan bakteri jenis Acetobacter spp., yang mampu merubah senyawa karbohidrat tersebut menjadi selulosa, atau dikenal dengan istilah selulosa mikrobial. Aktifitas bakteri tersebut dipengaruhi antara lain oleh unsur oksigen (O) dan nitrogen (N) (US Patent, 1998; Brown, 2002; Hardiyanti, 2010; Wikipedia, 2012a; 2013a). Salah satu substrat yang dapat digunakan sebagai bahan biosintesa oleh bakteri Acetobacter spp. adalah limbah cair hasil pengolahan tapioka dengan bahan baku umbi tanaman singkong (Manihot utilisima) (Sugiyama, 1997; Puspitasari, 2012). Berdasarkan perkiraaan kasar, dari 1 ton umbi singkong dapat dihasilkan 0,25 ton tepung tapioka dan secara bersamaan terbentuk 1,0 -1,2 kiloliter limbah cair (effluent) (WOL, 2006; TTSA, 2010a). Berdasarkan statistik, Indonesia menempati peringkat ke 3 di dunia sebagai penghasil ubi kayu sebesar 13,3 juta ton tahun 2010 (BPS, 2011a). Sekiranya seluruhnya diolah menjadi tepung tapioka, maka secara bersamaam dihasilkan pula 12-15 juta kiloliter limbah cair pengolahan tapioka sebagai limbah dengan potensi cukup besar untuk biosintesis menjadi selulosa mikrobial. Polimer selulosa pada selulosa mikrobial merupakan senyawa utama penyusun pulp. Serat alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah sabut kelapa yang merupakan limbah atau produk samping pemanenan dan pengolahan buah kelapa. Berdasarkan berat, sekitar 35% dari buah kelapa merupakan sabut Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro kelapa. Dewasa ini dengan produksi buah kelapa Indonesia mencapai 3,0 juta ton/tahun, maka dihasilkan sabut kelapa sebesar 1,0-1,1 juta ton/tahun (Iskandar dan Supriadi, 2010; BPS, 2011a). Saat ini pemanfaatan sabut kelapa masih terbatas untuk produk industri rumah (Arsyad, 2011). Pada sabut kelapa terdapat antara lain selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pemanfaatannya untuk pulp/produk turunannya dapat meningkatkan nilai tambah/daya gunanya. II. HASIL PEMANFAATAN SERAT ALTERNATIF UNTUK PULP DAN PRODUK JADI BERBASIS SELULOSA A. Pengolahan Serat Alternatif Selulosa Mikrobial untuk Pulp Selulosa mikrobial diperoleh dari hasil biosintesis limbah cair pengolahan tapioka, dengan bantuan mikroorganisme/bakteri (Gambar 1). Dari biosintesis tersebut, diperoleh serat selulosa mikrobial dengan ratarata rendemen sebesar 850 g (berat basah dengan kadar air 95%, dasar basah) untuk setiap 1 liter limbah cair pengolahan tapioka. Selulosa mikrobial yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi pulp (Gambar 2). Rata-rata rendemen pulp selulosa mikrobial sebesar 38% (dasar berat kering). Starter, i.e. menggunakan bakteri (Acetobacter xylinum), 5% (v/v) Biosintesis karbohidrat dengan berat molekul rendah (dalam substrat) menjadi selulosa mikrobial, 25-27oC, 7 hari Produk, berupa kumpulan rantai polimer selulosa mikrobial(Nata de cassava), berbentuk seperti agar Gambar 1. Skema alur proses biosintesis selulosa mikrobial selulosa dari limbah cair pengolahan tapioka FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 7 Gambar 2. Tahapan alur pembuatan pulp selulosa mikrobial B. Pengolahan Serat Alternatif Sabut Kelapa untuk Pulp Tahapan pengolahan mencakup penyiapan sabut kelapa dan pembuatan pulp. Tahapan pengolahan pulp sabut kelapa disajikan pada Gambar 3. Rata-rata rendemen pulp sabut kelapa adalah 63,42% dan konsumsi alkali 6,63%. Rendemen tersebut terletak dalam selang yang umum diperoleh pada pengolahan pulp semi-kimia (60-75%). Angka konsumsi alkali (6,63%) mengindikasikan bahwa sebanyak 66,30% dari banyaknya alkali awal (10%) dikonsumsi untuk pemasakan sabut kelapa. Angka ini dapat merupakan pertimbangan, perlu atau tidaknya melakukan daur ulang bahan kimia alkali, bila pengolahan pulp sabut kelapa dioperasikan secara komersial. Pulp sabut kelapa yang dihasilkan berwarna gelap karena masih terdapat sisa lignin di dalamnya dan untuk tujuan tertentu perlu diputihkan. Sabut kelapa Pemotongan dan penyerpihan Penentuan kadar air Serpih sabut kelapa 800 g (dasar berat kering) Pemasakan (pulping), dengan proses semi kimia alkali panas terbuka pada o 10% NaOH, 100 C, 3 jam Pemeriksaan konsumsi alkali Serpih lunak sabut kelapa Pemeriksaan Kadar air pulp Rendemen pulp Hollander beater: serpih sabut kelapa (pemisahan menjadi serat terpisah) pulp hingga Penyempurnaan pulp mencapai derajat kehalusan 200 260 ml CSF Produk: pulp sabut kelapa Siap untuk pembentukan lembaran kertas Gambar 3. Tahapan alur pembuatan pulp sabut kelapa 8 Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro C. Pembentukan Produk Jadi Berbasis Selulosa Produk jadi dimaksud adalah lembaran kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa dalam 4 macam proporsi, yaitu 25%+75%, 50%+50%, 75%+25%, 100%+0% (b/b, dasar berat kering). Tahapan pembentukan lembaran kertas disajikan pada Gambar 4. Lembaran kertas yang terbentuk dengan kerapatan target 2 60 g/m siap diuji sifat fisis, kekuatan, dan optiknya; dan hasilnya disajikan pada Tabel 1. Gambar 4. Tahapan alur pembentukan lembaran kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa Table 1. Data sifat fisis, kekuatan, optik lembaran kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan sabut kelapa pada/ proporsi tertentu No Sifat 1) 25%+75% I Proporsi campuran pulp selulosa mikrobial + pulp sabut kelap 50%+50% 75%+25% +/100%+0% Aspek fisis -Berat dasar riil, g/m 2 Kontrol Dengan aditif 55,2 57,1 61,0 61,3 57,4 58,2 64,9 64,2 + + Kontrol Dengan aditif 8,51 8,61 9,30 8,53 9,34 7,78 8,25 7,63 - Kontrol Dengan aditif 162,5 174,9 75,1 74,3 62,5 49,4 61,9 55,3 - Kontrol Dengan aditif Instant Instant 0,025 0,031 0,251 0,264 3,000 3,000 - Kontrol Dengan aditif 4,90 5,52 6,30 10,28 13,18 14,87 21,34 20,95 + + Kontrol Dengan aditif 4,53 4,28 5,81 5,62 5,79 5,68 9,10 11,78 + + Kontrol Dengan aditif 11,5 12,6 11,2 12,7 15,0 16,2 18,2 25,0 + + Kontrol Dengan aditif 95,1 98,5 92,2 93,0 77,8 89,3 65,2 71,7 - -Kadar air, % -Penyerapan air, g/m 2 -Waktu drainase air, hours II Aspek kekuatan -Indeks tarik, Nm/g 2 -Indeks sobek, mNm /g III Aspek optic -Derajat kecerahan, % -Opasitas, % Keterangan: + = dikehendaki nilanya tinggi; - = dikehendaki nilainya rendah 1) Rata-rata 3 ulangan; Kontrol = tanpa aditif; Aditif = terdiri dari alum sebagai bahan retensi (4%), pato tapioca sebagai perekat (2.5%), clay sebagai pengisi (3%), sabun rosin sebagai penolak air (3%) FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 9 D. Pencermatan Sifat Fisik, Kekuatan, dan Optik Produk Jadi Berbasis Selulosa 1. Sifat fisik Sifat fisik produk jadi (lembaran kertas bertarget 2 kerapatan 60g/m ) mencakup berat dasar, kadar air, penyerapan air, dan waktu drainase air (Tabel 1). Berat dasar kertas dan waktu drainase cenderung meningkat dengan semakin besarnya proporsi pulp selulosa mikrobial atau menurunnya porsi pulp sabut kelapa dalam campuran bahan serat; dan sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena pulp selulosa mikrobial terdiri dari kumpulan rantai polimer selulosa dengan lebar (diameter) lebih kecil dibandingkan lebar/diameter serat pulp termasuk serat pulp sabut kelapa (US Patent, 1998; Wikipedia, 2012a; 2013a), sehingga secara fisik lebih fleksibel dan banyak mengisi rongga antar serat pada saat pembentukan lembaran kertas sehingga struktur internalnya lebih rapat/kompak. Ini menyebabkan pergerakan air yang terperangkap dalam anyaman serat lebih sulit, untuk memisahkan diri dengan mengalir ke bawah melalui lubang-lubang saringan sewaktu pembentukan lembaran kertas. Penggunaan aditif berakibat pula peningkatan berat dasar dan waktu drainase. Penyerapan air cenderung menurun dengan meningkatnya porsi pulp selulosa mikrobial (atau menurunnya porsi sabut kelapa); dan sebaliknya. Lebih lanjut, penambahan aditif mengakibatkan penurunan penyerapan air dan kadar air. Agaknya, penggunaan aditif sabun rosin (yang bersifat menolak air) banyak berperan pada fenomena ini. 2. Sifat kekuatan Sifat kekuatan lembaran kertas mencakup indeks tarik dan indeks sobek (Tabel 1). Peningkatan porsi pulp sabut kelapa (atau menurunnya porsi pulp sabut kelapa) menyebabkan peningkatan indeks tarik dan indeks sobek; dan sebaliknya. Lebih lanjut, penambahan aditif mengakibatkan peningkatan indeks tarik. Untuk indeks sobek, penambahan aditif pada campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa, dengan porsi 25%+75%, 50%+50%, dan 75%+25% mula-mula mengakibatkan penurunan indeks tersebut; akan tetapi pada porsi 100%+0% (100% pulp selulosa mikrobial) mengakibatkan peningkatan indeks sobek. Penggunaan aditif yang bersifat pengisi (filler) cenderung menurunkan kekuatan lembaran (Casey, 1980; Smook dan Kocurek, 2002). Selanjutnya, lembaran kertas dari 100% pulp selulosa mikrobial, terindikasi peranan aditif tapioka lebih dominan, karena tapioka berperan sebagai perekat sehingga lebih memperkuat ikatan antar serat dalam struktur lembaran kertas (TAPPI, 2007; Wikipedia, 2013). 3. Sifat optik Sifat optik lembaran kertas mencakup derajat kecerahan (keputihan) dan opasitas (Tabel 1). Derajat putih lembaran kertas meningkat dengan semakin besarnya porsi campuran pulp selulosa mikrobial (atau dengan menurunnya porsi pulp sabut kelapa); dan 10 sebaliknya. Lebih lanjut, derajat putih juga meningkat akibat penggunaan bahan aditif. Di duga ini ada kaitannya dengan adanya clay sebagai pengisi (yang bersifat banyak memantulkan cahaya) dan pati tapioka yang alamiahnya berwarna putih (Casey, 1980; Smook dan Kocurek, 2002; TAPPI, 2007). Opasitas lembaran kertas menurun dengan meningkatnya porsi pulp selulosa mikrobial (atau menurunnya porsi pulp sabut kelapa); dan sebaliknya. Selanjutnya, penggunaan aditif berakibat peningkatan opasitas lembaran kertas. Ini dapat dimengerti bahan aditif tersebut dengan ukuran partikelnya yang kecil banyak mengisi ronga-rongga antara serat sewaktu pembentukan lembaran kertas, sehingga meningkatan sifat tidak tembus cahaya (Brown, 2002; AGD, 2011b; Wikipedia, 2013). E. Pencermatan Sifat Lembaran Kertas Percermatan sifat lembaran kertas secara menyeluruh memperkuat segala indikasi bahwa pulp selulola mikrobial hampir seluruhnya terdiri dari rantai polimer selulosa. Selanjutnya, waktu drainase air selama pembentukan lembaran kertas dari pulp selulosa mikrobial memakan banyak waktu (3 jam). Keadaan tersebut secara operasional tidak ekonomis untuk lembaran kertas, dan pulp selulosa mikrobial lebih sesuai untuk produk dengan kemurnian selulosa tinggi antara lain dissolving pulp. Untuk keperluan pembentukan lembaran kertas pulp selulosa mikrobial perlu dicampur dengan pulp sabut kelapa pada proporsi tertentu (75%+25%, 50%+50%, dan 25%+75%). III. KESIMPULAN DAN SARAN - - - - Potensi limbah cair pengolahan tapioka dan limbah sabut kelapa cukup besar, sehingga memungkinkan pemanfaatan kedua macam bahan tersebut sebagai serat alternatif untuk pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa. Pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa yang saling dicampur pada proporsi tertentu (75%+25%, 50%+50%, 25%+75%, dan 100%+0%) dapat diolah menjadi kertas dan produk lain berbasis selulosa dengan sifat fisis/kekuatan/optik tertentu. Semakin tinggi porsi pulp selulosa mikrobial dalam campuran bahan serat, maka semakin baik (positif) sifat produk turunan selulosa tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi porsi pulp sabut kelapa, maka semakin rendah (negatif) sifat produk tersebut. Pembentukan produk kertas dari 100% pulp selulosa mikrobial memerlukan waktu drainase air yang lama, sehingga secara operasional kurang praktis untuk produk tersebut, akan tetapi lebih sesuai untuk dissolving pulp (bahan dengan derajat kemurnian selulosa tinggi) antara lain bahan pembuatan sutra tiruan, selulosa asetat (bahan plastik), selulosa nitrat (bahan peledak dan ramuan kosmetik), dan selulosa fosfat (untuk penghambat nyala api dan keperluan tekstil). Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro - - - Campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa pada proporsi 75%+25% dan 50%+50% lebih sesuai untuk pembuatan kertas bermutu tinggi misalnya kertas tulis/cetak, majalah, dan produk kertas untuk tujuan permanen. Campuran pada proporsi 25% pulp selulosa mikrobial + 75% pulp sabut kelapa lebih sesuai untuk kertas koran, kertas pamflet, kertas bungkus, karton pengepakan, dan produk kertas/karton untuk tujuan tidak/kurang permanen. Pemanfaatan selulosa mikrobial dan sabut kelapa diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan baku serat konvensional untuk pulp/kertas (kayu hutan alam) yang potensinya semakin terbatas dan langka DAFTAR PUSTAKA AGS. 2011b. The cotton fibers. Algodon Fibers (AGS). http://algodonsuperior.com/items-of-interest/thecotton-fiber/?lang=en. Diakses: 22 April 2013 APKI. 2010. Industri pulp dan kertas Indonesia menghadapi persaingan pasar global. Makalah disakikan pada Diskusi Panel Industri Kehutanan Menghadapi Persaingan Pasar Global, di Jakarta pada bulan Agustus 2010. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesi (APKI). Jakarta Arsyad, A.J. 2011. Kemungkinan produksi pulp dan kertas menggunakan bahan baku sabut kelapa (Cocos nucifera L.) mengunakan proses pengolahan pulp semikimia soda panas terbuka.. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor BPS. 2011a. Statistik Indonesia pada 2010. Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta Brown, M.R. 2002. Microbial Cellulose: A New Resource for Wood, Paper, Textiles, Food and Specialty Products. Position Paper. Department of Botany, The University of Texas at Austin, Austin, Texas 78713-7640. http://www.botany.utexas.edu/facstaff/facpages/mbr own/position1.htm. Diakses 27 Mei 2013 Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Technology. Third edition, Vol. I. A Wiley Interscience Publication. New York - Brisbane - Toronto Hardiyanti, S.S. 2010. Kemungkinan penggunaan selulosa mikrobial dari nata de coco sebagai bahan baku untuk pembuatan kertas. Assessment on the use of microbial cellulose as raw material for paper manufacture. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Iskandar, M.I. and A. Supriadi. 2010. The effect of adhesive content on properties of coconut-coir particleboard. Bulletin of Forest Products, vol. 16 (2): 87-92. Center for Research and Development on FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 Forestry Engineering and Forest Products Processing. Bogor, Indonesia. (Title and Abstract in Indonesian as well as English, with content in Indonesian) Kompas. 2008. Selamat tinggal hutan alam. Harian Kompas, tanggal 15 Maret 2008. Halmn. 21. Jakarta Kompas. 2012. Data Kehutanan: Laju deforestasi di Indonesia mencapai 0,5 juta hektar per tahun, Lingkungan. Harian Kompas, tanggal 9 Mei 2012. Halmn 21. Jakarta Pulp and Paper Week. 2011. Country Wise Paper, Paperboard Production, and Consumption Statistics. Pulp and Paper Week. http://www.paperonweb.com/ Country.htm. Diakses: 30 April 2013 Puspitasari, R. 2012. Kemungkinan penggunaan selulosa mikrobial dari nata de cassava dan tempurung kelapa sebagai pengganti selulosa kayu untuk pembuatan kertas. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Smook, G.A. and M.J. Kocurek. 2002. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Joint Textbook Committee of the Paper Industry. Atlanta, Georgia Suchland, O. and G.E. Woodson. 1986. Fiberboard manufacturing practices in the United States. USDA Forest Service. Agricultural Handbook No. 640 Sugiyama, J. 1997. Microbial cellulose. Preprint of 95's Cellulose R & D 2nd Annual Meeting of Cellulose Society of Japan. Kyoto, Japan TAPPI. 2007. Technical Association of the Pulp and Paper Industries (TAPPI)'s Test Methods. Technical Association of the Pulp and Paper Industries (TAPPI) Press. Atlanta, Georgia TTSA. 2010a. The process of tapioca starch production. Thai Tapioca Strach Association (TTSA). http:// www.thaitapiocastarch.org/products.asp. Diakses: 15 Juni 2013 US Patent. 1998. Bacterial cellulose as surface treatment for fibrous web, United States (US) Patent 4861427 Wikipedia. 2012a. Bacterial cellulose. Wikipedia, the free encyclopedia. http://en.wikipedia.org /wiki/ Bacterial_cellulose. Diakses 25 Mei 2103 Wikipedia, 2013. Pulp and Paper. The free encyclopedia. W i k i p e d i a htt p : / /e n .w i k i p e d i a . o rg / w i k i / Pulp_%28paper%29. Diakses 28 April 2013 Wikipedia. 2013a. Microbial cellulose. Wikipedia, the free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/ Microbial_cellulose. Diakses 22 April 2013 WOL. 2006. Confectioner's syrup from tapioca processing waste. Wiley Online Library (WOL). http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ star.19830351207/ abstract. Diakses: 15 Juni 2013 11 LAMPIRAN GAMBAR-GAMBAR A B Gambar 5. Ubi kayu (singkong) (A) sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka (B) Gambar 6. Selulosa mikrobial hasil biosintesis dari limbah cair pengolahan tapioka dengan bakteri Acetobacter xylinum Gambar 7. Pulp selulosa mikrobial kering udara yang siap dibentuk jadi lembaran kertas atau produk lain berbasis selulosa A B C D Gambar 8. Sabut kelapa (A); sabut kelapa dalam bentuk serpih lunak setelah pemasakan dalam larutan alkali (NaOH) (B); pulp basah sabut kelapa (C); pulp kering udara sabut kelapa siap dibentuk menjadi lembaran kertas (D) 12 Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro A B Gambar 9. Kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa dalam keadaan basah (A), dan keadaan kering (B) yang siap diuji sifatnya (fisis, kekuatan, dan optik) A B Gambar 10. Pandangan mikroskopis serat selulosa mikrobial (A); ukuran serat selulosa mikrobial (bacterial/microbial cellulose), dibandingkan dengan ukuran serat pulp kayu (wood pulp), serat sintetis (synthetic fiber), dan rambut manusia (human hair) (B) Sumber: Wikipedia (2013a) A B Gambar 11. Prinsip pengukuran derajat keputihan, bila suatu obyek memantulkan cahaya putih dengan intensitas 100%, maka obyek tersebut memiliki derajat keputihan 100% (A); prinsip pengukuran opasitas, bila suatu obyek sama sekali tidak dapat ditembus oleh atau tidak dapat menstransmisi cahaya, maka obyek tersebut meliliki derajat opasitas 100% (B). Sumber: AGS (2011b) FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 13 KHASANAH HHBK Pemanfaatan Tumbuhan Obat Endemik Asal Papua Oleh: Freddy Jontara Hutapea Balai Penelitian Kehutanan Manokwari I. PENDAHULUAN Hutan adalah sumber daya yang memiliki potensi sebagai penyedia segala kebutuhan dasar manusia. Salah satu diantaranya adalah tumbuhan obat. Papua memiliki kawasan hutan yang sangat luas dengan kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi serta memiliki tumbuhan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Masyarakat Papua sejak dahulu sudah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan hutan untuk pengobatan tradisonal bahkan telah dikomersilkan secara luas namun sebagian lagi belum tersosialisasi dengan baik. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi 5 jenis tumbuhan obat yang terdapat di Papua dan cara penggunaannya. II. TUMBUHAN OBAT Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat yang digunakan untuk penyembuhan maupun pencegahan terhadap penyakit tertentu. Biasanya tumbuhan obat digunakan dengan cara meminum atau menempelkan bagian tumbuhan tersebut pada bagian tubuh yang sakit. Saat ini pemanfaatan tumbuhan obat dalam pengobatan berbagai penyakit semakin berkembang baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Menurut Oktora dan Sari (2006), organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan, pencegahan, dan pengobatan penyakit. Beberapa jenis tumbuhan yang telah digunakan oleh masyarakat Papua sebagai tumbuhan obat adalah: 14 A. Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Buah merah merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat popular karena khasiatnya sebagai tumbuhan obat. Buah merah telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Papua sebagai makanan berenergi. Masyarakat Papua mengolah buah merah menjadi minyak makan atau digunakan langsung sebagai penyedap masakan, dan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Limbongan dan Malik, 2009). Tumbuhan ini termasuk ke dalam pandan-pandanan (Pandanaceae). Penyebaran paling dominan yaitu di sekitar Pegunungan Jaya Wijaya, Jayapura, Manokwari, Nabire, Timika, dan Ayamaru (Sorong) (Budi dan Paimin, 2005). Klasifikasi tumbuhan ini menurut ITIS Report (2014) adalah sebagai berikut: Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Pandanales Famili : Pandanaceae Genus : Pandanus Spesies : Pandanus conoideus Lam. Buah Merah mengandung senyawa aktif karoten, betakaroten, tokoferol, dan asam-asam lemak seperti asam miristat, asam petadekanoat, asam palmitat, asam eikosanoat, asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, dan asam eikosanoat (Budi dan Paimin, 2005). Limbongan dan Uhi (2005) mengemukakan bahwa buah merah dapat mengobati mata rabun, gatal-gatal, luka gores, pegal dan capek, menyuburkan rambut, mengobati Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro Gambar 1. Buah merah (P. conoideus) yang dipanen oleh masyarakat di Manokwari Papua Barat. kanker, dan penyakit degenerative seperti jantung, kolesterol, diabetes, dan darah tinggi, selain itu hasil penelitian Tjahjani dan Khiong (2010) menunjukkan bahwa sari buah merah memiliki potensi untuk mengobati penyakit malaria dan mencegah terjadinya malaria serebral (malaria serebral merupakan malaria berat yang disebabkan Plasmodium falciparum ). Selanjutnya, Makaruku (2008) menjelaskan bahwa buah merah mengandung tokoferol hingga 11.000 ppm dan betakaroten 7.000 ppm yang dapat mencegah dan menekan pembiakan sel-sel kanker, sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kandungan omega 3 yang terdapat pada buah merah berfungsi untuk A memperbaiki sel yang rusak. Buah merah lebih popular karena memiliki khasiat untuk mengobati kanker dan tumor, HIV/AIDS, darah tinggi, asam urat, stroke, gangguan pada mata, diabetes, osteoporosis, meningkatkan libido, dan meningkatkan kecerdasan. Saat ini buah merah sudah banyak diperjual belikan baik dalam bentuk minyak buah merah maupun dalam bentuk kapsul. Buah merah tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat Papua, melainkan di seluruh wilayah Indonesia seperti: Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku dan wilayah mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Cina, dan Amerika Serikat (Budi dan Paimin, 2005). B Gambar 2. Sari buah merah (A) dan produk buah merah yang telah diperdagangkan (B). FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 15 Sari buah merah dapat dikonsumsi oleh siapa saja sebanyak 1 sendok setiap hari karena merupakan suplemen bagi kebutuhan tubuh. Penderita penyakit kolesterol, hepatitis, darah tinggi, dan stroke disarankan mengkonsumsi sari buah ini sebanyak 1 sendok makan 2 kali dalam sehari, dan penderita penyakit tumor dan kanker disarankan meminum 1 sendok makan 3 kali dalam sehari (Budi dan Paimin, 2005). B. Sarang Semut (Myrmecodia pendens, Myrmecodia tuberosa, dan Hydnophytum formicarum). Sarang semut merupakan tumbuhan obat endemik Papua. Istilah “Myrmecodia” berasal dari bahasa Yunani “myrmekodes” yang berarti mirip semut atau dikerumuni semut. Jenis ini tumbuh pada dahan atau batang tumbuhan. Akar umbi tumbuhan ini biasanya terjuntai pada cabang tanaman yang hidup secara simbiosis (Wikipedia, 2013). Tumbuhan sarang semut merupakan anggota famili Rubiaceae yang terdiri dari 5 genus. Dua genus diantaranya yakni Myrmecodia dan Hydnophytum memiliki asosiasi paling dekat terkait simbiosisnya dengan kelompok jenis semut yang sama yaitu Ochetellus sp. Kekerabatan yang dekat ini memungkinkan adanya kesamaan kandungan senyawa kimia dan kandungan farmakologis (Jebb, 2009; Palmer 2000 dalam Nathasa, 2012). Jenis sarang semut yang banyak digunakan sebagai bahan obat adalah M. tuberosa, M. pendens, dan Hydnophytum formicarum (Soeksmanto et al., 2010 dalam Efendi dan Hertiani, 2013). Tumbuhan sarang semut diyakini mampu mengatasi berbagai penyakit seperti kanker, asam urat, liver, stroke, jantung, wasir (ambien), nyeri punggung, alergi, hingga meningkatkan gairah seksual (Trubus, 2006 dalam Soeksmanto et al., 2010). Tumbuhan ini mengandung senyawa metabolit sekunder berupa tanin dan flavonoid yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Tanin dalam tanaman ini berfungsi menghambat pertumbuhan sel kanker (Yi et al., 2005 dalam Fatmawati et al., 2010), sedangkan flavonoid berperan dalam inaktivasi Gambar 3. Penampakan tumbuhan sarang semut bagian dalam (A) dan bagian luar (B) 16 Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro karsinogen, antiproliferasi, penghambatan siklus sel, induksi apoptosis dan diferensiasi, inhibisi angiogenesis, dan pembalikan resistensi multi obat atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut (Ren et al., 2003 dalam Fatmawati et al., 2010). Saat ini sarang semut sudah banyak diperjualbelikan. Produk sarang semut dapat dijumpai dalam bentuk serbuk, kapsul,maupundalampotongankecilyangtelahdikeringkan. Hasil wawancara dengan Ibu Besse Amriati (Akademisi dan pengusaha tumbuhan obat di Manokwari), cara mengkonsumsi tumbuhan sarang semut ini sangat mudah. Satu sendok makan serbuk sarang semut ditambah 2 gelas air direbus hingga airnya tersisa 1 gelas, kemudian di saring dan diminum. Untuk tujuan pengobatan diminum 3 kali 1 hari, sedangkan untuk pencegahan dan menjaga stamina hanya diminum sekali seminggu. Gambar 4. Produk sarang semut C. Kayu Akway (Drymis beccariana Gibbs.) Kayu akway merupakan salah satu tumbuhan obat dari Papua berupa perdu. Tumbuhan ini masuk ke dalam family Winteraceae yang tumbuh di dataran tinggi dan tersebar di daerah pegunungan Arfak Manokwari Papua Barat. Spesies kayu akway yang terdapat di daerah pegunungan Arfak ada 3 jenis yaitu: D. beccariana Gibbs., D. arfakensis, dan D. pipertia Hook.f (Blumea, 1970 dalam Parubak, 2013). Tumbuhan ini sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat setempat untuk mengobati penyakit dan menambah stamina. Bagian tumbuhan yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, kulit, dan kayu. Daun tumbuhan ini digunakan untuk mengobati luka baru dengan cara diremas kemudian ditempelkan pada daerah luka. Untuk menyegarkan tubuh, daun direbus dan diminum. Daun akway mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tannin, dan steroid dalam jumlah yang relatif banyak (Parubak dan Murtihapsari, 2005 dalam Parubak, 2013). Ekstrak etanol kulit kayu akway mengandung senyawa alkaloid, saponin, triterpenoid, flavonoid, dan tannin (Cepeda, 2008 dalam Cepeda et al., 2011). Batang tumbuhan mengandung asam metoksi karbonat, 2,6- FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 dimetoksi fenol, dan asam -2,-4-heksadiena dioat (Paisey, 2009 dalam Cepeda et al., 2011). Kulit kayu akway yang telah dikeringkan telah banyak diperjualbelikan di Manokwari. Penggunaannya cukup dicampurkan pada bahan minuman seperti teh dan kopi, lalu diminum setelah makan agar lambung tidak perih. D. Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) Rumput kebar (B. petersianum) secara spesifik tumbuh di daerah Kebar, dataran tinggi Manokwari pada ketinggian 700-1000 mdpl. Masyarakat setempat menyebut rumput kebar, sekalipun tumbuhan ini sebenarnya tidak tergolong rumput-rumputan (Bermawie et al., 2007). Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan yang sangat terkenal di Manokwari, memiliki khasiat yang dipercaya mampu meningkatkan kesuburan wanita yang A B Gambar 5. Gambar kulit kayu akway (A) dan kulit kayu akway yang beredar di pasar (B) ditunjukkan dari hasil analisis laboratorium bahwa tumbuhan ini mengandung beberapa senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat. Hasil penelitian Bermawie et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak etanol rumput kebar mengandung senyawa ά- testosteron, δ - tocopherol dan vitamin E yang berkaitan dengan kesuburan wanita. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Darwati et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar pada tikus memberi efek positif yang berakibat dinding rahim menjadi tebal sehingga memudahkan sperma menempel dan terjadinya proses kehamilan, Saat ini tumbuhan rumput kebar telah banyak dikeringkan dan diperdagangkan di Manokwari. Mengkonsumsi tumbuhan ini juga tergolong mudah, yaitu dengan cara merebus dalam panci non aluminium dengan dua gelas air hingga airnya tersisa kira-kira satu gelas, kemudian rebusan tersebut diminum. E. Tali Kuning (Arcangelisia flava (L) Merr.)) Tali kuning merupakan liana yang panjangnya dapat mencapai ± 10 m. Batang utama sebelum bercabang dua sebesar lengan/betis orang dewasa, mengandung air, berwarna kuning dan rasanya pahit (Prohati, 2013). 17 Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai obat adalah bagian akar, bunga, tangkai, buah, daun, dan kayunya. Akar tumbuhan ini sangat efektif mengobati radang tenggorokan, disentri, sipilis, diabetes, bisul, dan hepatitis. Bagian daun baik digunakan untuk mengobati disentri, anemia, dan sariawan. Bagian tangkai daun digunakan untuk mengobati cacar air, demam, sariawan. Buah tumbuhan ini juga baik digunakan untuk mengobati sariawan. Bagian kayu digunakan sebagai obat perangsang birahi, antiseptic, mengobati bisul, iritasi kulit, malaria, sakit perut dan lain-lain (Achmadi et al., 2006).Tumbuhan ini berkhasiat sebagai obat karena mengandung senyawasenyawa aktif yang berkhasiat obat seperti saponin, flavonoid, dan alkaloid yang merupakan senyawa yang bersifat anti mikroba (Maryani et al., 2012). Tumbuhan ini juga mengandung berberina yang aktif sebagai zat pewarna kuning. Tumbuhan ini belum banyak ditemukan diperdagangkan dipasaran. Hal ini mungkin disebabkan karena keberadaan tumbuhan ini relatif mudah ditemui disekitar masyarakat. Seperti tumbuhan obat lainnya, penggunaan tumbuhan ini juga sangat mudah, yaitu dengan cara direbus lalu disaring dan diminum. Untuk pengobatan, air rebusan diminum tiga kali sehari. A B III. PENUTUP Papua memiliki sumber daya alam yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat obat yang dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Beberapa diantaranya yang terkenal adalah buah merah (P. conoideus), sarang semut (Myrmecodia sp.), kayu akway (D. beccariana), rumput kebar (B. petersianum), dan tali kuning (A. flava) yang secara laboratoris terbukti memiliki senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. A B Gambar 6. Rumput kebar segar (B. petersianum) (A) dan yang telah dikeringkan (B) A B A B Gambar 7. Daun tali kuning (A. flava) (A) dan batang tali kuning (B) 18 Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S. S., I. Batubara, & Sulistiyani. 2006. Saponins of Albutra ( Arcangelisia flava (L) Merr) As A Hepatoprotector. ITTO Techical Report Volume II: 20-30. Bogor. Limbongan, J. dan H. T. Uhi. 2005. Penggalian Data Pendukung Domestikasi dan Komersialisasi Jenis, Spesies, dan Varietas Taanaman Buah di Propinsi Papua. Prosiding Lokakarya I Domestikasi dan Komersialisasi Tanaman Hortikultura Hlm 55-82. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta. Bermawie, N. N. N. Kristina, M. Djazuli, B. Martono & Ma'mun. 2007. Pemanfaatan Tanaman Rumput Kebar ( Biophytum petersianum Klotzsch.) (Oxalidaceae) Oleh Masyarakat Lokal di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. 6 September 2007. Bogor. Maryani, Marsoedi, Nursyam, & Maftuch. 2012. Raw Extract Function of Yellow Root (Arcangelelisia flava Merr) Due to the Medication of Bacterial Infection in Patin Fish ( Pangasionodon hypophthalmus). Journals of Applied Environmental and Biological Sciences 2 (9): 453459. Egypt. Budi, I. M. dan F. R. Paimin. 2005. Buah Merah. Penebar Swadaya. Jakarta. Makaruku, M. 2008. Kajian Agronomi dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.). Jurnal Agroforestry 3(2): 126-132. Halmahera. Cepeda, G. N., B. B. Santoso, M. M. Lisangan, & I. Silamba. 2011. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Daun Akway. Makara, Sains 15(1): 63-66. Jakarta. Darwati, I., B. S. Sembiring, N. Bermawie, N. Sunandar & Yayan. 2011. Formulasi Jamu Ternak Peningkat Fertilitas Sapi Betina. Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggran 2011. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Tidak diterbitkan. Efendi, Y. N. dan T. Hertiani. 2013. Antimicrobial Potency of Ant-Plant Extract (Myrmecodia tuberosa Jack.) Against Candida Albicans, Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. Traditonal Medicine Journal 18(1): 53-58. Yogyakarta. Fatmawati, D., P. K. Puspitasari, dan I. Yusuf. 2010. Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Sarang Semut (Myrmecodia pendens) pada Sel Line Kanker Serviks HeLa Uji Eksperimental Secara In Vitro. Sains Medika 3(2): 112-120. Semarang. ITIS Report. 2014. Pandanus conoideus Lam.. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?s earch_topic=TSN&search_value=896128. Diakses tanggal 22 Februari 2014. Limbongan, J. dan A. Malik. 2009. Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) di Provinsi Papua. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 134141. Bogor. FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 Nathasa, Y. 2012. Efek Pemberian Ekstrak Etanol 70% Umbi Sarang Semut (Hydnophytum moseleyanum Becc.) Terhadap Kadar Asam Urat Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kalium Oksonat. Skripsi. FMIPA. Universitas Indonesia. Jakarta. Oktora, L. dan R. K. Sari. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 3(1): 1-7. Jakarta. Parubak, A. S. 2013. Senyawa Flavanoid yang Bersifat Antibakteri dari Akway (Drimys becariana Gibbs.). Chem. Prog. 6(1): 34-37. Manado. Prohati. 2013. Detil Data Arcangelisia flava (L) Merr.. http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php ?docsid=239. Diakses 25 Januari 2014. Soeksmanto, A., P. Simanjuntak, dan M. A. Subroto. 2010. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Tanaman Sarang Semut (Myrmocodia pendans) terhadap Histologi Organ Hati Mencit. Jurnal Natur Indonesia 12(2): 152-155. Pekanbaru. Tjahjani, S. dan K. Khiong. 2010. Potensi Buah Merah Sebagai Antioksidan dalam Mengatasi Malaria Berghei pada Mencit Strain Balb/C. Majalah Kedokteran Indonesia. 60(12): 571-575. Jakarta. W i k i p e d i a . 2 0 1 3 . S a ra n g S e m u t ( Ta n a m a n ) . http://id.wikipedia.org/wiki/Sarang_semut_(tana man). Diakses tanggal 22 Januari 2014. 19 FOKUS Gunawan Pasaribu MENYINGKAP MANFAAT POHON KAPUR (Dryobalanops aromatica) I. PENDAHULUAN Keberadaan pohon kapur semakin sulit ditemukan di habitatnya. Data yang dirilis oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), suatu lembaga tingkat dunia pemerhati konservasi alam, menempatkan jenis kapur dengan status keterancaman tertinggi atau Critically Endangered (kritis). Kelangkaan jenis ini disebabkan oleh penebangan tidak terkendali untuk mendapatkan kayu kapur yang memiliki harga tinggi di pasaran. Selain itu hasil ikutan dari pohon ini, ketika ditebang, mampu menghasilkan minyak dan kristal kapur yang harganya bisa melebihi harga kayunya. Di pasaran saat ini harga kayu kapur mencapai Rp. 5 - 7 juta per meter kubik. Selain kayunya, pohon kapur juga menghasilkan minyak dan kristal kapur bernilai ekonomis tinggi. Hasil penelitian Pasaribu et al. (2012) di Aceh menunjukkan bahwa harga minyak kapur mencapai Rp 400.000 per liter dan kristal kapur bisa mencapai Rp 4 juta per kg. Minyak dan kristal kapur ini diperoleh ketika proses penebangan dilakukan. II. EKSISTENSI DAN POTENSI POHON KAPUR Pohon kapur (Dryobalanops sp.) termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae, tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pohon kapur yang dominan di Sumatera yaitu Dryobalanops aromatica, sementara di Kalimantan adalah Dryobalanops lanceolata. Dryobalanops aromatica bisa dijumpai di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Habitat pohon ini berada di Provinsi Sumatera Utara, yaitu di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Pakpak Bharat, sementara di Provinsi Kepulauan Riau terdapat di Pulau Lingga (Pasaribu et al., 2012). Pohon kapur (Gambar 1.) tumbuh liar pada tanah datar dengan serapan air yang baik, maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 m di atas permukaan laut. Pohon ini umumnya tumbuh memiliki ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata (Whitten et al.,1984 dalam Sutrisna, 2008). Menurut Martawijaya et al. (2005), kayu kapur dapat dipakai untuk tiang balok, tiang, rusuk, dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta untuk bahan kapal, peti (koper), mebel dan juga peti mati, perahu, kayu lapis, konstruksi berat. 20 Gambar Gambar 1. Tegakan 1. Tegakan Dryobalanops Dryobalanopsaromatica aromatica Minyak dan kristal kapur sudah lama dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan kosmetik terutama di Arab dan Persia. Nouha Stephan dalam Guillot, 2002, melaporkan bahwa nama kapur berasal dari bahasa Arab, yaitu kafur. Beliau menuturkan bahwa di wilayah Arab, kapur ini dimanfaatkan sebagai pewangi, nadd ( campuran wewangian), sukk (campuran wewangian berbahan dasar kapur) dan dalam bidang kedokteran. Sejak dahulu, riset pemanfaatan minyak dan kristal kapur untuk berbagai terapi dan pencegahan terhadap berbagai potensi penyakit sudah banyak dilakukan di Timur Tengah. Kapur juga dipakai pada saat sebelum dan sesudah pembedahan. Dalam ilmu kedokteran Persia berbagai manfaat kapur untuk pengobatan antara lain mengatasi mimisan, radang hati, relaksasi, menguatkan jantung dan memperbaiki syaraf pusat. III. MINYAK DAN KRISTAL KAPUR SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN KAYU Pada saat pohon ditebang, bagian kayu akan mengeluarkan minyak (Gambar 2.) dengan jumlah yang bervariasi antar pohon. Produksi minyak per pohon bisa mencapai 20 liter. Sementara keberadaan kristal lebih jarang dijumpai dalam proses penebangan, akan tetapi kalau beruntung dari satu pohon bisa diperoleh sampai 5 kg kristal (Pasaribu et al., 2012). Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon dan biasanya terdapat pada pohon yang sudah sangat tua. Sebagian pemburu kristal kapur mencarinya dengan menebang pohon, mencacah, kemudian mengambil kristal kapurnya. Dahulu proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Ada dua cara yang dilakukan yaitu potongan balok kayu dibelah, dandari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan kristal yang dicari (Gambar 3.). Penebangan pun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur. “Kalau Vol. 2,Vol. No.32, Edisi No. 1 Desember Edisi Juni 201 2013 4 = FORPro beruntung, dalam satu pohon dapat menghasilkan 10 kg kapur,” kata Meha (salah satu pemburu kapur). Dengan kondisi harga sekarang, berarti bisa menghasilkan Rp 40 juta hanya pada bagian kristalnya saja. Sebagian pengumpul lainnya, memperoleh kristal kapur sebagai kegiatan sampingan ketika proses pengolahan pohon kapur menjadi bahan papan. Ketika proses pengolahan papan ditemukan kristal, disinilah baru dikumpulkan kristalnya. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok. Perbaikan cara pengambilan kristal kapur ke depan adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Cara ini lebih baik dari pada uraian di atas, karena untuk mendapatkan minyak dan kristal kapur tidak harus menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon. Pasaribu et al. (2012) mengemukakan bahwa minyak kapur dapat dimanfaatkan sebagai bahan parfum. Sejumlah responden terbatas dan ahli parfum, menyukai aroma dari parfum tersebut. Uji aktivitas antimikroba menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dan Streptococus aureus. Hasil ini mengindikasikan bahwa dalam aplikasinya, parfum tersebut memiliki kemampuan antibakteri ataupun antijamur. Biasanya dalam produk kosmetik, antibakteri dan antijamur ditambahkan dengan menggunakan bahan kimia yang memiliki efek negatif bagi kesehatan. Hasil penelitian ini penting dalam rangka mengembangkan produk kosmetik maupun obat herbal. Kandungan borneol sebagai bahan aktif minyak dan kristal Dryobalanops aromatica, dapat mencapai 90%. Borneol merupakan bahan aktif yang sangat luas pemanfaatannya dalam bidang farmasi. IV. MANFAAT MINYAK DAN KRISTAL KAPUR Riset tentang pemanfaatan kayu kapur berikut minyak dan kristalnya dalam bidang farmasi dan kosmetik belum banyak dilakukan di Indonesia. Riset yang dilakukan oleh Kuspradini et al. (2007) menyatakan bahwa ekstraktif kayu kapur dapat digunakan sebagai anti karies gigi. V. PROSPEK MASA DEPAN POHON KAPUR Melihat berbagai manfaat minyak dan kristal kapur, potensi pengembangannya dalam bidang farmasi dan kosmetik sangat terbuka lebar. Dalam waktu dekat, akan bisa diciptakan parfum yang memiliki aroma alami dengan fungsi ganda seperti untuk aroma terapi dan relaksasi. Program menanam yang gencar dilakukan pemerintah saat ini dapat disinergikan dengan pilihan jenis pohon kapur pada tempat tumbuh yang sesuai dengan habitatnya. Walaupun pohonnya tergolong lambat tumbuh, akan tetapi dengan nilai kayu yang mahal, nilai lingkungan dan hasil hutan bukan kayunya yang bernilai tinggi, penanaman pohon kapur menjanjikan prospek yang sangat cerah. DAFTAR PUSTAKA Guillot, C. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Gambar 2. Minyak Dryobalanops aromatica Kuspradini, H., T. Mitsunaga, R. Mihara,and H. Ohashi. 2007. Investigating glucosyltransferase inhibitory activities of polyphenols from kapur (Dryobalanops sp.) heartwood extracts. J Nat Med (2007) 61:462467.Japan. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, K. dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Pasaribu, G., Gusmailina, S. Komarayati, Zulnely dan E. Dahlian. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp. Untuk Meningkatkan Nilai Tambah. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Whitten, T., S.J.Damanik, J. Anwar dan N. Hisyam. 1984. The Ecology Of Sumatra.Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Gambar 3. Kristal Dryobalanops aromatica FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 21 KOLOM REVIEW BEBERAPA ISTILAH HASIL PEREKATAN Paribotro Sutigno P erekat adalah suatu bahan yang mampu menyatukan 2 benda melalui ikatan permukaan. Penemuan dan penggunaan perekat telah ada Sebelum Masehi, termasuk perekat kayu. Hasil perekatan atau produk perekatan bermacam-macam dengan istilah atau nama yang beragam pula. Pembakuan istilah dan definisi penting sehingga International Organization for Standardization (ISO), suatu organisasi internasional mengenai standardisasi, membentuk gugus kerja istilah dan definisi. Hal ini berarti penetapan istilah dan definisi tidak diserahkan ke Panitia Teknis Perumusan Standar. Di Indonesia gugus kerja semacam itu tidak ada. Pengalaman menunjukkan bahwa diskusi mengenai istilah dan definisi memakan waktu lama karena menyangkut juga selera dan tidak selalu seragam, termasuk di tingkat nasional. Laminated glass merupakan salah satu hasil perekatan dengan cara merekatkan beberapa lembar kaca pada arah tebalnya, sehingga disebut kaca berlapis dalam SNI 15132-2005. Istilah laminated dipakai juga dalam hasil perekatan kayu, seperti laminated veneer lumber (LVL) dan glued laminated timber (GLT). Dalam SNI 01-6240-2000, LVL disebut venir lamina dan pada RSNI-3 Kayu lamina dipakai sebagai padanan GLT. Bila mengacu ke istilah kaca berlapis, LVL dapat disebut venir berlapis dan GLT dapat disebut kayu gergajian berlapis. Pada LVL beberapa venir direkat pada arah tebal dan pada GLT beberapa kayu gergajian direkat pada arah tebal. Sejalan dengan hal itu istilah laminated bamboo dapat disebut bilah bambu berlapis karena beberapa bilah bambu direkat pada arah tebal. Selain itu pada arah tebal, perekatan tersebut dilakukan dengan arah serat sejajar. Perekatan kayu pada arah lebar atau pada arah panjang disebut jointed sehingga ada istilah jointed board (perekatan pada arah lebar) dan jointed stick (perekatan pada arah panjang). Pada suatu produk perekatan keduanya dapat dilakukan. Dalam SNI 01-6293.2-2000 dipakai istilah papan sambung (jointed board) dan bilah sambung (jointed stick). Judul SNI tersebut adalah papan sambung dan bilah sambung untuk meja. Istilah bare core merupakan padanan dari jointed board. Istilah bare core mengacu pada keadaan bahan inti yang akan dilapisi dengan bahan lain. Istilah jointed board mengacu pada proses pembuatan melalui penyambungan. Foto Perekat/lem kayu 22 Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro Berdasarkan konsep susunan berkala atom ada yang Berdasarkan konsep susunan berkala atom ada yang menyusun susunan berkala kayu. Dari sebatang pohon dapat dihasilkan beberapa macam unsur kayu dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Dimensi unsur kayu yang terbesar adalah kayu bundar yang merupakan hasil pengolahan awal dari sebatang pohon. Bila kayu bundar digergaji menghasilkan unsur kayu berupa kayu gergajian dengan berbagai macam ukuran dan nama seperti balok, papan, usuk dan reng. Venir merupakan unsur kayu sebagai hasil pengupasan (peeling) kayu bundar atau penyayatan (slicing) balok. Lebih lanjut ada pengolahan yang menghasilkan beberapa macam unsur kayu seperti serpih (chip), selumbar (flake), tatal, wol kayu (ekselsior), serat, serbuk, tepung kayu dan selulosa. Unsur kayu itu dapat diolah lagi menjadi suatu produk, misal dengan memakai perekat. Di atas sudah dikemukakan contoh pengolahan menggunakan perekat berupa penyambungan dan pelapisan. Pelapisan beberapa venir dapat dilakukan sejajar serat disebut venir lamina atau venir berlapis atau tegak lurus serat (kayu lapis). Partikel kayu merupakan beberapa macam unsur kayu berukuran kecil seperti serpih, selumbar dan tatal. Partikel kayu dicampur dengan perekat, dikenal juga dengan isltilah agglomerated, kemudian dikempa menghasilkan produk berupa papan partikel kalau menggunakan perekat organik dan disebut papan mineral bila memakai perekat mineral. Papan semen, papan gipsum dan papan magnesit termasuk papan mineral karena semen, gipsum dan magnesit termasuk perekat mineral. Hasil penggabungan beberapa unsur kayu dengan perekat disebut kayu majemuk (composite wood). Istilah majemuk sebagai padanan composite sudah lama dipakai seperti dalam istilah kata majemuk, daun majemuk, bunga majemuk dan pupuk majemuk. Perkembangan terakhir ada istilah manfaat majemuk yang terdapat pada kalimat “hutan mendatangkan manfaat majemuk” untuk FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 menunjukkan lebih dari satu manfaat yang merupakan satu kesatuan. Manfaat itu dikelompokkan menjadi manfaat langsung dan tidak langsung yang merupakan satu kesatuan. Dalam pengertian majemuk ada dua atau lebih unsur yang disatukan menjadi satu kesatuan yang utuh. Sesuai dengan perkembangan teknologi penggabungan unsur kayu itu dapat lebih dari satu macam unsur, seperti papan blok adalah kayu lapis yang intinya berupa kayu gergajian sehingga disebut juga kayu lapis berinti kayu gergajian (lumber core plywood) dengan catatan lapisan venir minimum 2, dengan arah serat bersilangan tegak lurus. Sebagaimana diketahui persyaratan kayu lapis adalah perekatan venir dilakukan bersilangan tegak lurus. Istilah reconstituted wood mengacu pada proses pengolahan yaitu penyusunan kembali (reconstitute) unsur kayu. Kayu diolah menjadi unsur kayu kemudian disusun kembali menjadi suatu produk. Kayu bundar diolah menjadi kayu gergajian kemudian disusun kembali dengan cara penyambungan ke arah lebar menjadi papan sambung. Kayu bundar diolah menjadi venir kemudian disusun kembali dengan cara pelapisan bersilangan tegak lurus menjadi kayu lapis. Dengan demikian pengertian reconstituted wood (RW) sama dengan composite wood (CW). RW mengacu pada proses pengolahan, sedangkan CW mengacu pada hasil pengolahan. Kayu lapis dapat disebut RW karena proses pengolahannya berupa penggabungan venir. Istilah reconstituted dipopulerkan antara lain dalam rangka promosi lantai parket 3 lapis, bagian bawah venir, bagian tengah dan atas bilah kayu gergajian yang direkat menjadi 3 lapis dengan arah serat bersilangan tegak lurus (reconstituted parquet). Ada yang menggunakan istilah three layers parquet untuk produk tersebut. Bila ada yang menyebut composite parquet juga tidak salah. Istilah engineered wood (EW) juga mengacu pada proses pengolahan, yaitu diatur (engineered). Unsur kayu diatur menjadi suatu produk. Papan diatur dengan cara penyambungan ke arah lebar menjadi papan sambung. 23 Venir diatur dengan cara pelapisan bersilangan tegak lurus menjadi kayu lapis. Dengan demikian pengertian EW sama dengan RW dan CW. EW dan RW mengacu pada proses pengolahan, sedangkan CW mengacu pada hasil pengolahan. Ada yang menggunakan istilah rekayasa sehingga disebut kayu yang direkayasa atau produk rekayasa kayu. Istilah EW digunakan antara lain dalam rangka promosi daun pintu yang dibuat dari beberapa unsur kayu seperti kayu gergajian sebagai rangka dan bagian dalam, serta kayu lapis sebagai bagian luar (engineered door). Berhubung pengertian EW sama dengan RW dan CW maka engineered door dapat disebut juga reconstituted door dan composite door. Sesuai dengan perkembangan teknologi venir lamina atau LVL dapat dipakai sebagai rangka dan bagian dalam daun pintu tersebut. Semula ada daun pintu yang dibuat dari kayu gergajian sebagai rangka dan kayu lapis sebagai bagian luar dan bagian dalam kosong. Sebagai penutup, dikemukakan bahwa untuk dapat memahami pengertian suatu istilah perlu diketahui konsep atau filosofi dari istilah tersebut. Istilah dalam perdagangan dapat berbeda dengan istilah teknis. Walau demikian usaha membakukan suatu istilah lebih baik daripada tidak ada usaha sama sekali, seperti dalam publikasi lembaga penelitian. Pustaka Anonim. 2000. SNI 01-6240-2000. Venir lamina. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Anonim. 2000. SNI 01-6293.2-2000. Papan sambung dan bilah sambung untuk meja. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Anonim. 2005. SNI 15-132-2005. Kaca pengaman berlapis (laminated glass) untuk kendaraan bermotor. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Sutigno. P. 1991. Kayu majemuk, perkembangan dan masa depannya di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. 24 Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro REVIEW CUKA KAYU SEBAGAI PENGENDALI HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN Ujang W. Darmawan Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Jl. Gunung Batu No 5, Bogor. Email: [email protected] I. PENDAHULUAN Cuka kayu merupakan produk sampingan dari proses pembuatan arang. Cuka kayu berupa cairan pekat berwarna coklat dan beraroma khas (beraroma asap) yang berasal dari asap pembuatan arang yang dikondensasikan. Pemanfaatan cuka kayu telah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Masyarakat di Jepang pada tahun 1930-an telah memanfaatkan cuka kayu sebagai pupuk dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bahkan saat ini pengunaannya telah meluas untuk berbagai kepentingan seperti kesehatan dan perawatan tubuh di Jepang (Doi Store, 2013). Salah satu potensi lain dari cuka kayu adalah sebagai pengendali hama baik serangga maupun mikroba penyebab penyakit tanaman. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan potensi pemanfaatan cuka kayu sebagai pengendali hama dan penyakit tanaman. senyawa-senyawa tersebut bervariasi sesuai dengan proses pembuatannya (Mela et al., 2013). III. CUKA KAYU SEBAGAI PENGENDALI HAMA SPemanfaatan cuka kayu sebagai pengendali hama telah dibuktikan melalui berbagai penelitian, baik terhadap hama serangga, moluska maupun mikroba II. CUKA KAYU Cuka kayu memiliki sifat fisika kimia sebagai berikut: derajat keasaman (pH) kurang lebih 3,0, berat jenis 3 antara 1.005-1.050 g/cm , berwarna kuning pucat hingga coklat cerah sampai coklat kemerahan, transparan, berbau asap dan kandungan tar terlarut kurang dari 3% (Burnette, 2010). Kemampuan cuka kayu dalam mengendalikan hama, tidak terlepas dari senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Mela et al., (2013) melaporkan hasil identifikasi senyawa kimia yang terkandung dalam cuka kayu menggunakan metode Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa setidaknya cuka kayu yang diperoleh dari bahan batok kelapa mengandung fenol (14 macam), ketone (21 macam), senyawa asam (15 macam), alkohol (4 macam), aldehid (4 macam), karbonil, piridin (4 macam), bensen, katecol, ester (6 macam), furan (3 macam), alkan (5 macam), amino (2 macam), pirazin, dan sterol. Jenis dan konsentrasi dari FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 Gambar 1. Cuka kayu sebagai produk sampingan dari proses pembuatan arang penyebab penyakit tanaman. Cuka kayu dapat berfungsi sebagai termitisida (pembasmi hama rayap) yang cukup efektif. Menurut Wititsiri (2011), cuka kayu yang diencerkan dengan menggunakan air pada perbandingan 1:50 dapat menyebabkan kematian rayap pekerja Odontotermes sp. sampai 81%. Efektifitas cuka kayu terhadap rayap, juga pernah dilaporkan oleh Yatagaiet al., (2002) melalui penelitiannya terhadap rayap jenis Reticulitermes speratus. 25 Menurut Wititsiri (2011), cuka kayu juga dapat mengendalikan hama kutu putih Ferrisia virgata sampai 95%. Hal yang cukup menarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., (2008),apabila cuka kayu diaplikasikan sebagai bahan tunggal, ternyata cuka kayu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hama belalang padi coklat Nilaparvata lugens dan Laodelphax striatellus. Namun demikian apabila cuka kayu dicampur dengan bahan insektisida kimia berbahan aktif karbosulfan, menunjukkan pengaruh pestisida tersebut meningkat secara nyata. Dalam penelitian tersebut, cuka kayu berfungsi secara sinergis terhadap insektisida Gambar 2. Siput Arianta arbustorum (kiri) dan belalang padi coklat Nilaparva-talugens (kanan). (foto: google.com) Hadi et al., (2010) melaporkan hasil penelitian ketahanan kayu yang telah diawetkan melalui teknik pengasapan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Hasil penelitian pada skala laboratorium menunjukkan bahwa pengasapan dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Tetapi pada skala penelitian di lapangan, pengasapan tidak memberikan pengaruh peningkatan ketahanan kayu secara nyata. 26 Gambar 3. Rayap tanah( Coptotermes curvignathus Holmgren) (kiri) dan kumbang polong Collosobruchusmaculates (kanan bawah) (foto: google.com) Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro karbosulfan. Disamping itu dengan adanya aktivitas enzim acetylcholine esterase (AChE) pada hama dapat menurun secara drastis akibat pengaruh campuran cuka kayu sehingga menyebabkan gangguan saraf dan kematian serangga. Cuka kayu selain bersifat lethal (mematikan), cuka kayu juga dapat menghambat peneluran hama kumbang Collosobruchus maculatus Frabricius dan semut merah (Chalermsan dan Peerapan, 2009; Wang dan Liu, 1996 dalam Chalermsan dan Peerapan, 2009). Hama kumbang ini merupakan hama gudang yang ganas dan dapat merusak hasil pertanian khususnya biji kacang-kacangan yang disimpan. Kerusakan pada biji kacang tersebut terjadi Gambar 4. Penyakit lodoh (damping off) pada semai tanaman (bawah) dan jamur Pythium sp. (atas) (foto: google.com, koleksi pribadi) FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 karena serangga dewasa meletakkan telurnya pada permukaan biji. Pada saat menetas, larva ini menerobos masuk ke dalam biji dan berkembang di dalamnya. Ketika sudah dewasa, kumbang ini keluar dari dalam biji dan meninggalkan biji kacang-kacangan yang telah keropos (berlubang). Manfaat cuka kayu selain mencegah dan mengurangi aktivitas peneluran hama, cuka kayu juga dapat menolak hama siput (Arianta arbustorum) yang merusak tanaman pertanian maupun tanaman hias (ornament). Menurut Hagner et al., (2011) dalam Hagner, (2013) senyawa asam asetat dan furfural merupakan senyawa yang paling penting untuk menolak hama siput jika dibandingkan dengan senyawa lainnya. Hagner (2013) juga menyimpulkan bahwa pengaruh penolakan terhadap hama lebih disebabkan oleh keberadaan senyawasenyawa tersebut secara bersamaan (bekerja secara sinergis) dan bukan disebabkan oleh pengaruh salah satu senyawa saja. Manfaat lain dari cuka kayu adalah dapat menekan perkembangan penyakit pada tanaman. Menurut pengalaman dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani, cuka kayu efektif mencegah serangan penyakit bercak daun pada bibit tanaman. Selain itu, benih yang direndam dalam cuka kayu dan penyiraman pada media tabur dapat menurunkan tingkat serangan penyakit lodoh (damping off) pada semai sampai 60-90%. Sedangkan pada aplikasi media sapih cuka kayu dapat menekan serangan penyakit bercak daun sampai 38-44% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2012). Penyakit lodoh semai merupakan salah satu penyakit yang ganas pada semai tanaman kehutanan yang disebabkan oleh jamur penyakit yang terdapat di dalam tanah. Penyakit ini menyebabkan biji gagal tumbuh, membusuk dan semai muda menjadi layu dan mati (Gambar 4). Seringkali penyakit ini menyebabkan kegagalan pembuatan bibit tanaman sampai 100%, seperti halnya yang terjadi pada persemaian jabon (Neolamarckia cadamba) di PT Gema Hutani Lestari, Pulau Buru (tidak dipublikasikan). Efektivitas cuka kayu sebagai fungisida telah dibuktikan melalui beberapa penelitian, khususnya terhadap jamur penyebab penyakit lodoh semai. Jamur-jamur tersebut diantaranya adalah Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, R. necatrix, Sclerotium oryzae, Helminthosporium maydis, Pythium sp., Colletotrichum gloeosporioides, Choanephora cucurbitarum dan Pellicular filamentose (Terasita et al.,1957; Nohara et al.,1960; Miyamoto, 1962; Torikosi et al.,1990; dalam Yoshimoto, 1994; Chalermsan dan Peerapan, 2009). Bahkan menurut Yoshimoto, (1994), pengaruh cuka kayu terhadap jamur pathogen juga dapat disejajarkan dengan fungisida kimia cycloheximida yang 27 dilarutkan dalam air sampai 1% terhadap jamur patogen Penicillium, Fusarium,Altermaria dan Colletotrichum. Selain efektif terhadap jamur, cuka kayu juga efektif mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri seperti Xanthomonas campestris pv. citri dan Erwinia carotovora pv. Carotovora dan virus (Terasita et al., 1960; Miyamoto, 1961 dalam Yoshimoto, 1994; Chalermsan dan Peerapan, 2009). Beberapa senyawa kimia hasil identifikasi cuka kayu dari batok kelapa tersebut bersifat aktif terhadap serangga maupun mikroba seperti fenol, furfural dan asam asetat. Menurut Yatagaiet al., (2002), senyawa penting yang terkandung dalam cuka kayu dan berperan sebagai pengendali hama rayap adalah senyawa fenol. Fenol berbau khusus dan mempunyai sifat-sifat antiseptik yang keras. Fungsi fenol antara lain ikut terlibat dalam pengaturan aktivitas enzim tertentu, bersifat racun serangga, bersifat menolak atau racun terhadap hewan pemangsa tumbuhan (Wawaroentoe et al., 1971). Selain itu fenol juga berpengaruh terhadap rayap, bersifat anti mikroba,anti jamur dan bakteri (Cowan, 1999), sehingga diduga dapat mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, seperti penyakit bercak daun dan penyakit lodoh semai. Menurut Ismail dan Mohamed (2007), selain senyawa fenol, senyawa furfural adalah senyawa yang juga penting yang terkandung di dalam cuka kayu. Senyawa ini berfungsi sebagai pengendali hama dari kelompok binatang nematoda. umum (general) untuk diterapkan pada semua jenis hama, tetapi bekerja pada sasaran hama tertentu dengan cara kerja tertentu pula. Cuka kayu tidak efektif terhadap hama tertentu, tetapi pengaruhnya terhadap hama lain mungkin sangat efektif. Cuka kayu juga berfungsi sebagai akselerator bahan lain, sehingga mengurangi pengunaan bahan kimia, dan dapat meningkatkan efektifitas serta efisiensi penggunaannya. Hal ini sebenarnya merupakan peluang untuk terus dilakukan kajian yang lebih mendalam, termasuk pengaruh bahan arang yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI), cara kerja zat yang terkandung di dalamnya serta tipe organisme yang dapat dikendalikannya. Penggunaan zat semacam ini semakin relevan karena saat ini isu green farming semakin mengemuka di seluruh dunia dengan tujuan mengurangi dampak penggunaan bahan kimia yang merusak lingkungan. BAHAN BACAAN Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2012. Cuka kayu hasil Litbang Pustekolah efektif kendalikan penyakit tanaman hutan. http://www.fordamof.org/index.php/berita/post/1066. diakses 19 Desember 2013. PENUTUP Burnette, R. 2010. An Introduction to Wood Vinegar. ECHO Asia Notes, A Regional Supplement to ECHO Development Notes. Issue 7, October 2010. Chiang Mai. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa cuka kayu merupakan produk yang cukup potensial untuk terus dikaji manfaatnya. Manfaat cuka kayu sebagai pengendali hama memang tidak bersifat Chalermsan, Y., S. Peerapan. 2009. Wood vinegar: byproduct from rural charcoal kiln and its role in plant protection. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Special Issue:189-195. 28 Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro Cowan, M.M. 1999. Plant products as antimicrobial agents, Clinical Microbiology Reviews 12(4):564-582. striatellus (Homoptera: Delphacidae). Animal Cells and Systems. 12(1):47-52. Doi Store. 2013. Mokusaku wood vinegar pyroligneous a c i d , P r o d u c t o v e r v i e w. http://www.doishouten.co.jp/english/page_english1/ e_product.html. diakses 20 Desember 2013. Mela, E., Y. Arkeman., E. Noor., N.A. Achsani. 2013. Potential products of coconut shell wood vinegar. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 4(4):1480-1493. Hadi, Y.S., T., Nurhayati., J. Jasni., H. Yamamoto., N. Kamiya. 2010. Smoked wood as an alternative for wood protection against termites. Forest Products Journal 60(6):496-500. Waworoentoe, S.A., I. Sianturi, M. Patimah. 1971. Sifatsifat zat kimia. Penerbit Tarate, Bandung. Hagner, M. 2013. Potential of the slow pyrolysis products birch tar oil, wood vinegar and biochar in sustainable plant protection - pesticidal effects, soil improvement and environmental risks. Department of Environmental Sciences. University of Helsinki, Lahti, Finland. (thesis). Ismail, A.E., M.M. Mohamed. 2007. Effect of different concentrations of furfural as a botanical nematicide and the application methods in controlling Meloidogyne incognita and Rotylenchulus reniformis infecting sunflower. Pakistan Journal of Nematology 25(1):45-52. Kim, D.H., H.E. Seo., S.C. Lee., K.Y. Lee. 2008. Effects of wood vinegar mixted with insecticides on the mortalities of Nilaparvata lugens and Laodelphax Wititsiri, S. 2011. Production of wood vinegars from coconut shells and additional materials for control of termite workers, Odontotermes sp. and striped mealy bugs, Ferrisia virgata. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 33 (3):349-354. Yatagai, M., M. Nishimoto., K. Hori., T. Ohira., A. Shibata. 2002. Termiticidal activity of wood vinegar, its components and their homologues.Journal of Wood Science. 48(4):338-342. Yoshimoto, T. 1994. Towards and sustainable agricultural productivity in the 2000's: Breeding research and biotechnology. Presents status of wood vinegar studies th in Japan for agricultural usage. Proceeding of the 7 international congress of the society for the advanced of breeding researches in Asia and Oceania (SABRAO) and international symposium of world sustainable agriculture association (WSAA).811-820. Foto Publikasi Pustekolah FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 29