Pemanfaatan Tumbuhan Obat Endemik Asal Papua

advertisement
Daftar Isi Rubrik forpro
Cover depan: Bentuk serangan rayap rumah pada bagian kuda-kuda rumah
ii
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
Dari Redaksi
Pembaca yang budiman,
Pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun ke tahun
terus meningkat, menurut data statistik sampai saat ini
jumlah penduduk sudah melampaui 255 juta jiwa. Jumlah
penduduk sebesar ini tentunya banyak memerlukan
pemenuhan kebutuhan, baik berupa sandang, pangan,
kesehatan dan perumahan. Solusi dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut khususnya dari sektor kehutanan
telah banyak upaya dilakukan, seiring dengan itu
terpantau semakin menurunnya penyediaan bahan baku
kayu yang berasal dari hutan alam, meskipun disisi lain
terdapatnya pembangunan hutan tanaman industri dan
hutan rakyat. Untuk menjaga kesinambungan suplay
bahan baku dan ketersediaan produk hasil hutan perlu
adanya penerapan teknologi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH)
sebagai lembaga riset di bidang keteknikan kehutanan dan
pengolahan hasil hutan senatiasa melakukan riset dengan
harapan dapat menyediakan IPTEK untuk membantu
industri pengolahan hasil hutan yang lebih inovatif dan
meningkatkan nilai tambah hasil hutan yang lebih
kompetitif.
Dalam majalah FORPRO edisi terbitan Vol. 3, no. 1
tahun 2014, kali ini disajikan beberapa informasi menarik
yang diperoleh dari hasil penelitian/pengamatan, kajian,
usulan maupun opini yang sekiranya perlu untuk disampaikan kehadapan para pembaca antara lain: “Serangan rayap
tanah pada rumah dan tindakan pencegahannya, Selulosa
mikrobial dan tempurung kelapa sebagai alternatif bahan
serat, Pemanfaatan tumbuhan obat endemik asal Papua,
Menyingkapi manfaat pohon kapur ( Drybalanops
aromatica), Beberapa istilah hasil perekatan, serta
informasi tentang cuka kayu sebagai pengendali hama dan
penyakit tanaman”.
Kepuasan pembaca merupakan kepuasan seluruh
redaksi, berkenaan dengan itu, segala kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan. Redaksi berharaf
dengan terbitnya majalah ini semoga bermanfaat dan
menjadi tambahan informasi dan pengetahuan bagi
pembaca.
Bogor, Juni 2014
Redaksi Forpro
Susunan Redaksi
Pelindung
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Reviewer
Dewan Redaksi
Ketua
: Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Sekretariat Redaksi
Ketua
: Kepala Bidang Pengembangan Data dan
Tindak Lanjut Penelitian
Anggota
: 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc.
2. Drs. Juli Jajuli
3. Deden Nurhayadi, S.Hut.
4. Sophia Pujiastuti
Editor
1. Drs. M. Muslich, M.Sc.
2. Ir. Efrida Basari, M.Sc.
3. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si.
4. Dra. Gusmailina, M.Si.
5. Dra. Jasni, M.Si.
6. Ir. Soenarno, M.Si.
7. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si.
8. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc.
9. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc.
10. Setyani Budhi Lestari. Ah.T.
: 1. Prof. Ir. Dulsalam, MM.
2. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si.
3. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Redaksi FORPRO menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan
artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan
kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis
font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai soft file. Redaksi
berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat
Redaksi FORPRO, atau melalui e-mail: [email protected]
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
1
FOKUS
SERANGAN RAYAP TANAH
&TINDAKAN PENCEGAHANNYA
PADA RUMAH
Agus Ismanto dan R. Esa Pangersa G.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413
e-mail : [email protected]; [email protected]
PENDAHULUAN
Rayap merupakan serangga pemakan kayu atau bahan
berligno-selulosa lainnya. Rayap telah ada di bumi sejak
ratusan juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya fossil rayap di hutan Arizona yang
diperkirakan berumur 220 juta tahun (Borror et al., 1996).
Rayap sering juga disebut semut putih, meskipun terdapat banyak perbedaan secara morfologi antara rayap
dan semut. Namun demikian, serangga ini juga memiliki
hubungan kekerabatan (filogeni) yang sangat dekat
dengan lipas atau kecoa karena memiliki bentuk, ukuran
dan pola petulangan yang mirip dengan lipas (Nandika
et al., 2003).
Sebanyak 2.500 jenis rayap telah teridentifikasi dari
seluruh dunia. Sekitar 120 dari total jenis tersebut
teridentifikasi sebagai hama. Indonesia tergolong surga
untuk perkembangan rayap, karena memiliki kelembaban
yang tinggi dan suhu yang hangat sepanjang tahun
(Rismayadi dan Arinana, 2007). Sebanyak 10% dari total
seluruh jenis rayap di dunia, ditemukan di Indonesia dan
sebesar 1% nya berperan sebagai hama perusak kayu serta
hama hutan/pertanian (Tarumingkeng, 2001).
Dalam kehidupannya, rayap merupakan serangga
sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut
koloni. Di dalam koloni tersebut, terdapat 3 kasta yang
memiliki bentuk berbeda (polimorfisme) sesuai dengan
fungsinya masing-masing, yaitu kasta prajurit, pekerja dan
reproduksi. Kasta prajurit berfungsi mempertahankan
sarang terhadap gangguan dari luar, kasta pekerja bertugas
memberi makan anggota koloninya, merawat telur serta
membuat dan memelihara sarang, sedangkan kasta
reproduksi bertugas menghasilkan telur, rayap jantan
hanya berfungsi mengawini betina sekali saja
(Tarumingkeng, 2001).
2
Berdasarkan cara hidupnya, rayap dibagi atas 4
golongan besar yaitu rayap pohon (Neotermes spp), rayap
kayu lembab (Glyptotermes spp), rayap kayu kering
(Cryptotermes spp) dan rayap subteran (Rhinotermitidae
dan Termitidae). Rayap pohon yaitu jenis rayap yang
menyerang kayu hidup, bersarang dalam pohon dan
berhubungan dengan tanah. Rayap kayu lembab
(Glyptotermes spp) yaitu jenis rayap yang menyerang kayu
lembab yang telah mati, sarangnya berada dalam kayu
tanpa berhubungan dengan tanah. Rayap kayu kering
(Cryptotermes spp) adalah jenis rayap yang hidup dalam
kayu kering udara terutama yang berada di bawah atap,
bersarang dalam kayu dan tidak berhubungan dengan
tanah. Rayap subteran ialah jenis rayap yang menyerang
kayu baik yang terdapat di dalam maupun di atas tanah dan
umumnya bersarang dalam tanah. Dari keempat golongan
tersebut, golongan rayap yang paling banyak menimbulkan
kerusakan adalah rayap tanah atau rayap subteran
(Nandika et al., 2003).
SERANGAN RAYAP TANAH PADA RUMAH
Rayap subteran atau rayap tanah ini telah lama dikenal
oleh masyarakat. Rayap ini masuk ke dalam kayu melalui
tanah atau lorong pelindung yang dibangunnya. Untuk
mejaga kelangsungan hidupnya, rayap tanah membutuhkan kelembaban tertentu secara tetap. Oleh karena
itu, rayap ini selalu berhubungan dengan tanah dan bersarang di dalam tanah untuk mendapatkan persediaan air
(Tarumingkeng, 2001).
Rayap tanah memiliki berat tubuh maksimum 2,5 mg
per ekor dengan kebutuhan makanan sekitar 0,24 mg tiap
harinya dengan jarak jelajah 118 m (Nandika, 2006
dalam Suzatmika, 2008). Rayap ini tegolong sangat ganas
dalam menyerang obyeknya. Bahkan untuk mencapai
sasarannya, mereka dapat menembus tembok yang
tebalnya beberapa cm dengan bantuan enzim yang
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
dikeluarkan dari mulutnya (Tarumingkeng, 2001). Daya
adaptasi terhadap perubahan kondisi pun tergolong cepat.
Ketika habitatnya beralih fungsi, rayap tanah akan hidup
dengan memakan kayu atau bahan berligno-selulosa yang
tersisa. Bahkan bisa menyerang tegakan pondasi rumah
apabila habitatnya beralih fungsi menjadi pemukiman.
Data menunjukkan rata-rata persentase serangan
rayap tanah pada bangunan perumahan di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Batam mencapai
lebih dari 70% (Nandika et al., 2003). Berdasarkan
penelitian Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor
(PSIH-IPB), kerugian rata-rata per tahun yang disebabkan
oleh rayap terhadap kerusakan bangunan publik di
Indonesia mencapai Rp. 2,8 triliun (Anonim, 2003 dalam
Alfian, 2007).
Kerusakan rumah akibat serangan rayap meningkat
setiap tahunnya. Hasil penelitian Barly dan Abdurrohim
(1982) menunjukkan sebanyak 23% rumah di 3
Kabupaten dan 1 Kota di Propinsi Jawa Barat terserang
rayap. Setahun kemudian, sebanyak 94,2% rumah berumur lebih dari 5 tahun di Kawasan III dan IV Jawa Barat
meliputi Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cirebon dan
Bandung rusak akibat serangan rayap tanah. Serangan
paling banyak ditemukan di Depok (Barly dan Supriana,
1983). Bagian atau komponen rumah yang sering terkena
serangan rayap tanah pada bagian kuda-kuda, kusen
jendela, daun pintu dan sebagian kecil kaso atau reng
(Sumarni dan Ismanto, 1991).
Gambar 1. Bentuk serangan rayap tanah pada bagian kuda-kuda rumah
Kerusakan rumah atau bangunan akibat keganasan
serangan rayap tanah juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain pemakaian kayu yang memiliki keawetan
rendah, tipe tanah dan ketinggian tempat atau lokasi. Tipe
tanah yang dijadikan tempat tinggal atau bangunan juga
berdampak pada serangan rayap. Tanah tipe glei humus
memiliki populasi rayap tanah terbesar, sedangkan tipe
alluvial terkecil populasinya (Tabel 1).
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
Ketinggian suatu permukaan juga dapat mempengaruhi jumlah rayap tanah. Semakin tinggi permuka
-an suatu tempat dari laut, semakin sedikit jumlah
populasi rayapnya (Tabel 2). Hal ini diduga karena kondisi
perbedaan kelembapan tanah karena rayap tanah lebih
menyukai tanah dengan kelembapan tinggi.
3
Tabel 1. Populasi rayap pada berbagai tipe tanah di Jawa Barat
Populasi rayap tanah (ekor/m 2)
Tipe tanah
488 a)
Aluvial
Glei humus
37.400 a)
Regosol
16.402 a)
Podsolik
16.664 b)
Latosol
21.402 b)
Grumusol
29.560 b)
Renzina
8.047 c)
Mediteran
3.733 c)
a)
b)
c)
Sumber : Sumarni dan Ismanto 1987b, 1988b, 1989a
Tabel 2. Populasi rayap tanah pada berbagai tempat dengan ketinggian berbeda
Ketinggian
tempat
(m dpl)
±0
Populasi rayap
tanah
(ekor/m2)
22.777
± 246
7.596
Kantor Desa Cipanas, Cianjur
± 1.050
2.023
Kantor Kebun Raya Cibodas, Cianjur
± 1.400
921
Lokasi
Pusat Penelitian Oseanologi, Jakarta
Pusat Penelitian Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
Sumber : Sumarni dan Ismanto (1988a)
PENANGGULANGAN SERANGAN RAYAP TANAH
Penanggulangan serangan rayap tanah dilakukan
untuk menekan dan mengurangi kerugian baik materiil
maupun non-materiil. Jenis pengendalian dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu pengendalian kimiawi, fisik dan
hayati. Pengendalian rayap tanah secara kimiawi hingga
saat ini masih yang paling diandalkan. Pengendalian ini
umumnya menggunakan termitisida sintetik yang
membentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) di dalam
tanah maupun kayu sehingga menghalangi penetrasi
rayap. Tindakan ini memang menunjukkan hasil yang
cepat, namun dapat menghasilkan dampak negatif
terhadap manusia, organisme lain yang bukan sasaran
serta lingkungan. Oleh karena itu pengendalian secara
kimiawi harus dilakukan secara bijaksana (Alfian, 2007).
Pengendalian fisik adalah pengendalian dengan
menggunakan bahan non kimiawi, seperti menabur pasir
besi di galian pondasi dan di atas permukaan tanah
sekeliling pondasi. Pasir besi tergolong bahan anti rayap
dan bertindak sebagai penghalang fisik (physical barrier)
4
sehingga menghalangi penetrasi rayap. Pengendalian
hayati adalah pengendalian rayap menggunakan bahan
hayati, misalnya dengan menggunakan umpan berupa
cacing nematoda Steinernema carpocapsae dan
Heterorhabditis indica. Cacing nematoda merupakan agen
pengendalian biologis yang efektif untuk rayap karena
keduanya selalu berhubugan dengan tanah. Pengendalian
dilakukan melalui infeksi ke dalam rayap dan ditularkan
sari satu individu rayap ke individu yang lain. Tindakan ini
dinilai dapat mengeliminasi koloni rayap secara total
(Nandika et al., 2003).
Berdasarkan waktu pelaksanaannya, pengendalian
rayap tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengendalian
pra-konstruksi dan pengendalian pasca-konstruksi.
Tindakan pengendalian pra-konstruksi meliputi
penggunaan kayu awet, sanitasi, aplikasi termitisida
(pengendalian kimiawi) dan pasir besi (pengendalian fisik)
pada lubang galian. Sedangkan pengendalian pada pascakontruksi meliputi aplikasi termitisida pada kayu (kimiawi)
dan daerah sekeliling pondasi bangunan (soil treatment)
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
dan penekanan koloni dengan umpan beracun pada
bangunan yang telah terserang (pengendalian hayati).
PENUTUP
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak semua
tipe tanah memiliki populasi jenis dan jumlah rayap yang
sama. Maka dengan mengetahui sebaran rayap akan
bermanfaat bagi masyarakat dalam perencanaan dan
tindakan pencegahan dalam pembangunan gedung
p e r ka nto ra n m a u p u n p e m u k i m a n p e n d u d u k .
Pengendalian secara kimiawi memang masih menjadi
andalan, namun pengendalian alternatif seperti
pengendalian hayati lebih baik dalam hal ekonomi dan
lebih ramah lingkungan.
Dengan adanya informasi di atas harapannya
masyarakat dapat mengetahui populasi dan sebaran rayap
tanah dari jenis dan ketinggian tanah yangn berbeda, serta
tindakan pencegahan yang sesuai sehingga dapat
merencanakan pembangunan dengan baik, tahan lama
tanpa disertai peracunan tanah sehingga lingkungan tetap
terjaga dengan baik dan terhindar dari pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, A. M. 2007. Penggunaan empat jenis ekstrak
tanaman untuk pengendalian rayap tanah.
Skripsi. Program Studi Hortikultura dan Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian IPB.
Barly dan S.Abdurrohim. 1982. Studi pendahuluan
pengawetan kayu pada rumah-rumah rakyat di
Jawa Barat. Laporan BPHH No. 161: 23-27.
Barly dan N. Supriana, 1983. Organisme perusak kayu di
beberapa proyek perumahan rakyat. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Bogor:
18-27.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1996.
Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6.
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
Partosoedjono, S., penerjemah. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
An Introduction to the Study of Insects.
Nandika, D.,Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap:
Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Rismayadi, Y. dan Arinana. 2007. Usir rayap dengan cara
baru dan ramah lingkungan. Majalah Serial
Rumah. Cetakan pertama, Oktober 2007.
Sumarni, G. dan A. Ismanto. 1987. Pengaruh tipe tanah
terhadap komunitas rayap tanah. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan (4) 4: 22-25.
__________________
____. 1988a. Komunitas rayap
tanah pada empat lokasi di Jakarta dan Jawa
Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (5) 1: 1-5.
__________________
___. 1988b. Keanekaragaman
jenis dan intensitas serangan rayap tanah di tiga
tipe tanah di areal bekas kebun karet. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan (5) 3: 114-117.
__________________
____. 1989a. Pengaruh
komunitas dan kepadatan rayap tanah terhadap
kerusakan rumah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
(6) 1: 57-62.
__________________
____. 1991. Kerusakan
Perumahan PERUMNAS dan KPR-BTN di tipe
tanah aluvial dan regosol oleh organisme perusak
kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (9) 7: 274-278.
Suzatmika, I. Y. 2008. Pemanfaatan kitosan sebagai agen
p e n g e n d a l i raya p t a n a h C o p t o t e r m e s
curvignathus Holmgren (Isoptera :
Rhinotermitidae). Skripsi . Program Studi
Hortikultura dan Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian IPB.
Tarumingkeng, R. C. 2001. Biologi dan perilaku rayap. Pusat
Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor.
5
FOKUS
SELULOSA MIKROBIAL & TEMPURUNG KELAPA
SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN SERAT KONVENSIONAL
UNTUK PULP, KERTAS, DAN PRODUK TURUNAN SELULOSA LAIN
I. PENDAHULUAN
Istilah pulp sering dikaitkan dengan produk kertas atau
karton. Pulp adalah bahan setengah jadi hasil pengolahan
kayu atau bahan berserat ligno-selulosa lain. Kertas/
karton merupakan satu macam produk pengolahan lebih
lanjut pulp. Perbedaan kertas dengan karton terletak
2
pada berat dasar dan tebalnya (≤224 g/m dan ≤0,3 mm
2
terhadap >224 g/m dan >0,3 mm). Produk jadi lain
pengolahan pulp disebut turunan selulosa, yang
mencakup papan serat dan pulp berderajat kemurnian
selulosa tinggi atau >95% (dissolving pulp). Papan serat
terdiri dari papan berkerapan rendah (insulation board),
berkerapatan sedang (MDF), dan berkerapatan tinggi
(hardboard). Dissolving pulp melalui pengolahan lebih
lanjut dihasilkan seperti rayon (sutera tiruan), selulosa
asetat (bahan plastik), selulosa nitrat (ramuan bahan
peledak dan bahan kosmetik), dan selulosa fosfat
(penghambat nyala api) (Casey, 1980; Suchland dan
Woodson, 1986; Smook and Kocurek, 2002; Wikipedia,
2013).
Peranan pulp, kertas/karton, dan produk turunan pulp
lainnya penting bagi kehidupan manusia. Kayu (terutama
dari hutan alam) merupakan bahan baku serat
konvensional yang potensinya semakin terbatas dan
langka. Terindikasi bahwa banyaknya konsumsi pulp/
kertas/produk turunan lain terkait dengan tingkat
kemajuan bangsa dan pertambahan jumlah penduduk.
Timbul kekhawatiran suatu saat produksi domestik pulp/
produk turunanya di masa mendatang tak dapat mengatasi konsumsinya. Kekhawatiran tersebut tercermin
dengan meningkatnya tingkat kerusakan hutan alam
sebesar 1,5 juta ha/tahun (APKI, 2010; Pulp and Paper
Week, 2011; BPS, 2011a; Kompas, 2008; 2012).
Atas dasar itu, perlu mengintrodusir serat alternatif
untuk pulp, kertas, dan produk lain turunannya, di mana
potensinya berlimpah dan belum banyak dimanfatkan. Di
antara alternatif tersebut adalah selulosa mikrobial dan
sabut kelapa. Tulisan popular ini memuat narasi singkat
kemungkinan pemanfaatan selulosa mikrobial dan sabut
kelapa sebagai serat alternatif untuk pembuatan kertas
dan produk lain turunan pulp.
6
Dian Anggraini Indrawan, Han Roliadi &
Rossi Margareth Tampubolon
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 (Jawa Barat).
Tel: 0251-8633378, Fax: 0251-8633413;
E-mail: [email protected],
[email protected]
Selulosa mikrobial adalah suatu kumpulan rantairantai polimer selulosa, hasil biosintesis substrat yang
mengandung glukosa, fruktosa, dan senyawa karbohidrat
sederhana lain dengan berat molekul rendah dengan
bantuan mikroorganisme tertentu. Mikroorganisme yang
umum digunakan bakteri jenis Acetobacter spp., yang
mampu merubah senyawa karbohidrat tersebut menjadi
selulosa, atau dikenal dengan istilah selulosa mikrobial.
Aktifitas bakteri tersebut dipengaruhi antara lain oleh
unsur oksigen (O) dan nitrogen (N) (US Patent, 1998;
Brown, 2002; Hardiyanti, 2010; Wikipedia, 2012a; 2013a).
Salah satu substrat yang dapat digunakan sebagai
bahan biosintesa oleh bakteri Acetobacter spp. adalah
limbah cair hasil pengolahan tapioka dengan bahan baku
umbi tanaman singkong (Manihot utilisima) (Sugiyama,
1997; Puspitasari, 2012). Berdasarkan perkiraaan kasar,
dari 1 ton umbi singkong dapat dihasilkan 0,25 ton
tepung tapioka dan secara bersamaan terbentuk 1,0 -1,2
kiloliter limbah cair (effluent) (WOL, 2006; TTSA, 2010a).
Berdasarkan statistik, Indonesia menempati peringkat
ke 3 di dunia sebagai penghasil ubi kayu sebesar 13,3 juta
ton tahun 2010 (BPS, 2011a). Sekiranya seluruhnya diolah
menjadi tepung tapioka, maka secara bersamaam
dihasilkan pula 12-15 juta kiloliter limbah cair pengolahan
tapioka sebagai limbah dengan potensi cukup besar untuk
biosintesis menjadi selulosa mikrobial. Polimer selulosa
pada selulosa mikrobial merupakan senyawa utama
penyusun pulp.
Serat alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah
sabut kelapa yang merupakan limbah atau produk samping
pemanenan dan pengolahan buah kelapa. Berdasarkan
berat, sekitar 35% dari buah kelapa merupakan sabut
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
kelapa. Dewasa ini dengan produksi buah kelapa Indonesia
mencapai 3,0 juta ton/tahun, maka dihasilkan sabut
kelapa sebesar 1,0-1,1 juta ton/tahun (Iskandar dan
Supriadi, 2010; BPS, 2011a). Saat ini pemanfaatan sabut
kelapa masih terbatas untuk produk industri rumah
(Arsyad, 2011). Pada sabut kelapa terdapat antara lain
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pemanfaatannya untuk
pulp/produk turunannya dapat meningkatkan nilai
tambah/daya gunanya.
II. HASIL PEMANFAATAN SERAT ALTERNATIF UNTUK
PULP DAN PRODUK JADI BERBASIS SELULOSA
A. Pengolahan Serat Alternatif Selulosa Mikrobial untuk
Pulp
Selulosa mikrobial diperoleh dari hasil biosintesis
limbah cair pengolahan tapioka, dengan bantuan
mikroorganisme/bakteri (Gambar 1). Dari biosintesis
tersebut, diperoleh serat selulosa mikrobial dengan ratarata rendemen sebesar 850 g (berat basah dengan kadar
air 95%, dasar basah) untuk setiap 1 liter limbah cair
pengolahan tapioka. Selulosa mikrobial yang diperoleh
selanjutnya diolah menjadi pulp (Gambar 2). Rata-rata
rendemen pulp selulosa mikrobial sebesar 38% (dasar
berat kering).
Starter, i.e. menggunakan bakteri
(Acetobacter xylinum), 5% (v/v)
Biosintesis karbohidrat dengan berat molekul rendah (dalam
substrat) menjadi selulosa mikrobial, 25-27oC, 7 hari
Produk, berupa kumpulan rantai polimer selulosa
mikrobial(Nata de cassava), berbentuk seperti agar
Gambar 1. Skema alur proses biosintesis selulosa mikrobial selulosa dari limbah cair pengolahan tapioka
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
7
Gambar 2. Tahapan alur pembuatan pulp selulosa mikrobial
B. Pengolahan Serat Alternatif Sabut Kelapa untuk Pulp
Tahapan pengolahan mencakup penyiapan sabut
kelapa dan pembuatan pulp. Tahapan pengolahan pulp
sabut kelapa disajikan pada Gambar 3. Rata-rata
rendemen pulp sabut kelapa adalah 63,42% dan konsumsi
alkali 6,63%. Rendemen tersebut terletak dalam selang
yang umum diperoleh pada pengolahan pulp semi-kimia
(60-75%). Angka konsumsi alkali (6,63%) mengindikasikan
bahwa sebanyak 66,30% dari banyaknya alkali awal (10%)
dikonsumsi untuk pemasakan sabut kelapa. Angka ini
dapat merupakan pertimbangan, perlu atau tidaknya
melakukan daur ulang bahan kimia alkali, bila pengolahan
pulp sabut kelapa dioperasikan secara komersial. Pulp
sabut kelapa yang dihasilkan berwarna gelap karena masih
terdapat sisa lignin di dalamnya dan untuk tujuan tertentu
perlu diputihkan.
Sabut kelapa
Pemotongan dan
penyerpihan
Penentuan kadar air
Serpih sabut kelapa
800 g (dasar berat kering)
Pemasakan (pulping), dengan proses semi
kimia alkali panas terbuka pada
o
10% NaOH, 100 C, 3 jam
Pemeriksaan
konsumsi alkali
Serpih lunak sabut
kelapa
Pemeriksaan
Kadar air pulp
Rendemen pulp
Hollander beater:
serpih sabut kelapa
(pemisahan menjadi
serat terpisah) pulp
hingga
Penyempurnaan
pulp mencapai derajat kehalusan
200 260 ml CSF
Produk: pulp sabut
kelapa
Siap untuk pembentukan
lembaran kertas
Gambar 3. Tahapan alur pembuatan pulp sabut kelapa
8
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
C. Pembentukan Produk Jadi Berbasis Selulosa
Produk jadi dimaksud adalah lembaran kertas dari
campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa
dalam 4 macam proporsi, yaitu 25%+75%, 50%+50%,
75%+25%, 100%+0% (b/b, dasar berat kering). Tahapan
pembentukan lembaran kertas disajikan pada Gambar 4.
Lembaran kertas yang terbentuk dengan kerapatan target
2
60 g/m siap diuji sifat fisis, kekuatan, dan optiknya; dan
hasilnya disajikan pada Tabel 1.
Gambar 4. Tahapan alur pembentukan lembaran kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa
Table 1. Data sifat fisis, kekuatan, optik lembaran kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan sabut kelapa pada/
proporsi tertentu
No
Sifat
1)
25%+75%
I
Proporsi campuran
pulp selulosa mikrobial + pulp sabut kelap
50%+50%
75%+25%
+/100%+0%
Aspek fisis
-Berat dasar riil, g/m
2
Kontrol
Dengan aditif
55,2
57,1
61,0
61,3
57,4
58,2
64,9
64,2
+
+
Kontrol
Dengan aditif
8,51
8,61
9,30
8,53
9,34
7,78
8,25
7,63
-
Kontrol
Dengan aditif
162,5
174,9
75,1
74,3
62,5
49,4
61,9
55,3
-
Kontrol
Dengan aditif
Instant
Instant
0,025
0,031
0,251
0,264
3,000
3,000
-
Kontrol
Dengan aditif
4,90
5,52
6,30
10,28
13,18
14,87
21,34
20,95
+
+
Kontrol
Dengan aditif
4,53
4,28
5,81
5,62
5,79
5,68
9,10
11,78
+
+
Kontrol
Dengan aditif
11,5
12,6
11,2
12,7
15,0
16,2
18,2
25,0
+
+
Kontrol
Dengan aditif
95,1
98,5
92,2
93,0
77,8
89,3
65,2
71,7
-
-Kadar air, %
-Penyerapan air, g/m
2
-Waktu drainase air, hours
II
Aspek kekuatan
-Indeks tarik, Nm/g
2
-Indeks sobek, mNm /g
III
Aspek optic
-Derajat kecerahan, %
-Opasitas, %
Keterangan: + = dikehendaki nilanya tinggi; - = dikehendaki nilainya rendah
1)
Rata-rata 3 ulangan; Kontrol = tanpa aditif; Aditif = terdiri dari alum sebagai bahan retensi (4%), pato tapioca sebagai perekat (2.5%), clay sebagai pengisi (3%),
sabun rosin sebagai penolak air (3%)
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
9
D. Pencermatan Sifat Fisik, Kekuatan, dan Optik Produk
Jadi Berbasis Selulosa
1. Sifat fisik
Sifat fisik produk jadi (lembaran kertas bertarget
2
kerapatan 60g/m ) mencakup berat dasar, kadar air,
penyerapan air, dan waktu drainase air (Tabel 1). Berat
dasar kertas dan waktu drainase cenderung meningkat
dengan semakin besarnya proporsi pulp selulosa mikrobial
atau menurunnya porsi pulp sabut kelapa dalam campuran
bahan serat; dan sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti
karena pulp selulosa mikrobial terdiri dari kumpulan rantai
polimer selulosa dengan lebar (diameter) lebih kecil
dibandingkan lebar/diameter serat pulp termasuk serat
pulp sabut kelapa (US Patent, 1998; Wikipedia, 2012a;
2013a), sehingga secara fisik lebih fleksibel dan banyak
mengisi rongga antar serat pada saat pembentukan
lembaran kertas sehingga struktur internalnya lebih
rapat/kompak. Ini menyebabkan pergerakan air yang
terperangkap dalam anyaman serat lebih sulit, untuk
memisahkan diri dengan mengalir ke bawah melalui
lubang-lubang saringan sewaktu pembentukan lembaran
kertas. Penggunaan aditif berakibat pula peningkatan
berat dasar dan waktu drainase.
Penyerapan air cenderung menurun dengan
meningkatnya porsi pulp selulosa mikrobial (atau
menurunnya porsi sabut kelapa); dan sebaliknya. Lebih
lanjut, penambahan aditif mengakibatkan penurunan
penyerapan air dan kadar air. Agaknya, penggunaan aditif
sabun rosin (yang bersifat menolak air) banyak berperan
pada fenomena ini.
2. Sifat kekuatan
Sifat kekuatan lembaran kertas mencakup indeks tarik
dan indeks sobek (Tabel 1). Peningkatan porsi pulp sabut
kelapa (atau menurunnya porsi pulp sabut kelapa)
menyebabkan peningkatan indeks tarik dan indeks sobek;
dan sebaliknya. Lebih lanjut, penambahan aditif
mengakibatkan peningkatan indeks tarik. Untuk indeks
sobek, penambahan aditif pada campuran pulp selulosa
mikrobial dan pulp sabut kelapa, dengan porsi 25%+75%,
50%+50%, dan 75%+25% mula-mula mengakibatkan
penurunan indeks tersebut; akan tetapi pada porsi
100%+0% (100% pulp selulosa mikrobial) mengakibatkan
peningkatan indeks sobek. Penggunaan aditif yang bersifat
pengisi (filler) cenderung menurunkan kekuatan lembaran
(Casey, 1980; Smook dan Kocurek, 2002). Selanjutnya,
lembaran kertas dari 100% pulp selulosa mikrobial,
terindikasi peranan aditif tapioka lebih dominan, karena
tapioka berperan sebagai perekat sehingga lebih
memperkuat ikatan antar serat dalam struktur lembaran
kertas (TAPPI, 2007; Wikipedia, 2013).
3. Sifat optik
Sifat optik lembaran kertas mencakup derajat
kecerahan (keputihan) dan opasitas (Tabel 1). Derajat
putih lembaran kertas meningkat dengan semakin
besarnya porsi campuran pulp selulosa mikrobial (atau
dengan menurunnya porsi pulp sabut kelapa); dan
10
sebaliknya. Lebih lanjut, derajat putih juga meningkat
akibat penggunaan bahan aditif. Di duga ini ada kaitannya
dengan adanya clay sebagai pengisi (yang bersifat banyak
memantulkan cahaya) dan pati tapioka yang alamiahnya
berwarna putih (Casey, 1980; Smook dan Kocurek, 2002;
TAPPI, 2007).
Opasitas lembaran kertas menurun dengan
meningkatnya porsi pulp selulosa mikrobial (atau
menurunnya porsi pulp sabut kelapa); dan sebaliknya.
Selanjutnya, penggunaan aditif berakibat peningkatan
opasitas lembaran kertas. Ini dapat dimengerti bahan
aditif tersebut dengan ukuran partikelnya yang kecil
banyak mengisi ronga-rongga antara serat sewaktu
pembentukan lembaran kertas, sehingga meningkatan
sifat tidak tembus cahaya (Brown, 2002; AGD, 2011b;
Wikipedia, 2013).
E. Pencermatan Sifat Lembaran Kertas
Percermatan sifat lembaran kertas secara menyeluruh
memperkuat segala indikasi bahwa pulp selulola mikrobial
hampir seluruhnya terdiri dari rantai polimer selulosa.
Selanjutnya, waktu drainase air selama pembentukan
lembaran kertas dari pulp selulosa mikrobial memakan
banyak waktu (3 jam). Keadaan tersebut secara
operasional tidak ekonomis untuk lembaran kertas, dan
pulp selulosa mikrobial lebih sesuai untuk produk dengan
kemurnian selulosa tinggi antara lain dissolving pulp.
Untuk keperluan pembentukan lembaran kertas pulp
selulosa mikrobial perlu dicampur dengan pulp sabut
kelapa pada proporsi tertentu (75%+25%, 50%+50%, dan
25%+75%).
III. KESIMPULAN DAN SARAN
-
-
-
-
Potensi limbah cair pengolahan tapioka dan limbah
sabut kelapa cukup besar, sehingga memungkinkan
pemanfaatan kedua macam bahan tersebut sebagai
serat alternatif untuk pulp selulosa mikrobial dan pulp
sabut kelapa.
Pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa yang
saling dicampur pada proporsi tertentu (75%+25%,
50%+50%, 25%+75%, dan 100%+0%) dapat diolah
menjadi kertas dan produk lain berbasis selulosa
dengan sifat fisis/kekuatan/optik tertentu.
Semakin tinggi porsi pulp selulosa mikrobial dalam
campuran bahan serat, maka semakin baik (positif)
sifat produk turunan selulosa tersebut. Sebaliknya,
semakin tinggi porsi pulp sabut kelapa, maka semakin
rendah (negatif) sifat produk tersebut.
Pembentukan produk kertas dari 100% pulp selulosa
mikrobial memerlukan waktu drainase air yang lama,
sehingga secara operasional kurang praktis untuk produk
tersebut, akan tetapi lebih sesuai untuk dissolving pulp
(bahan dengan derajat kemurnian selulosa tinggi)
antara lain bahan pembuatan sutra tiruan, selulosa
asetat (bahan plastik), selulosa nitrat (bahan peledak
dan ramuan kosmetik), dan selulosa fosfat (untuk
penghambat nyala api dan keperluan tekstil).
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
-
-
-
Campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut
kelapa pada proporsi 75%+25% dan 50%+50% lebih
sesuai untuk pembuatan kertas bermutu tinggi
misalnya kertas tulis/cetak, majalah, dan produk kertas
untuk tujuan permanen.
Campuran pada proporsi 25% pulp selulosa mikrobial +
75% pulp sabut kelapa lebih sesuai untuk kertas koran,
kertas pamflet, kertas bungkus, karton pengepakan,
dan produk kertas/karton untuk tujuan tidak/kurang
permanen.
Pemanfaatan selulosa mikrobial dan sabut kelapa
diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada
bahan baku serat konvensional untuk pulp/kertas (kayu
hutan alam) yang potensinya semakin terbatas dan
langka
DAFTAR PUSTAKA
AGS. 2011b. The cotton fibers. Algodon Fibers (AGS).
http://algodonsuperior.com/items-of-interest/thecotton-fiber/?lang=en. Diakses: 22 April 2013
APKI. 2010. Industri pulp dan kertas Indonesia
menghadapi persaingan pasar global. Makalah
disakikan pada Diskusi Panel Industri Kehutanan
Menghadapi Persaingan Pasar Global, di Jakarta pada
bulan Agustus 2010. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesi
(APKI). Jakarta
Arsyad, A.J. 2011. Kemungkinan produksi pulp dan kertas
menggunakan bahan baku sabut kelapa (Cocos
nucifera L.) mengunakan proses pengolahan pulp semikimia soda panas terbuka.. Skripsi S1. Fakultas
Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
BPS. 2011a. Statistik Indonesia pada 2010. Badan Pusat
Statistik (BPS), Jakarta
Brown, M.R. 2002. Microbial Cellulose: A New Resource
for Wood, Paper, Textiles, Food and Specialty Products.
Position Paper. Department of Botany, The University
of Texas at Austin, Austin, Texas 78713-7640.
http://www.botany.utexas.edu/facstaff/facpages/mbr
own/position1.htm. Diakses 27 Mei 2013
Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and
Technology. Third edition, Vol. I. A Wiley Interscience
Publication. New York - Brisbane - Toronto
Hardiyanti, S.S. 2010. Kemungkinan penggunaan selulosa
mikrobial dari nata de coco sebagai bahan baku untuk
pembuatan kertas. Assessment on the use of microbial
cellulose as raw material for paper manufacture.
Skripsi S1. Fakultas Teknologi Industri Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Iskandar, M.I. and A. Supriadi. 2010. The effect of
adhesive content on properties of coconut-coir
particleboard. Bulletin of Forest Products, vol. 16 (2):
87-92. Center for Research and Development on
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
Forestry Engineering and Forest Products Processing.
Bogor, Indonesia. (Title and Abstract in Indonesian as
well as English, with content in Indonesian)
Kompas. 2008. Selamat tinggal hutan alam. Harian
Kompas, tanggal 15 Maret 2008. Halmn. 21. Jakarta
Kompas. 2012. Data Kehutanan: Laju deforestasi di
Indonesia mencapai 0,5 juta hektar per tahun,
Lingkungan. Harian Kompas, tanggal 9 Mei 2012.
Halmn 21. Jakarta
Pulp and Paper Week. 2011. Country Wise Paper,
Paperboard Production, and Consumption Statistics.
Pulp and Paper Week. http://www.paperonweb.com/
Country.htm. Diakses: 30 April 2013
Puspitasari, R. 2012. Kemungkinan penggunaan selulosa
mikrobial dari nata de cassava dan tempurung kelapa
sebagai pengganti selulosa kayu untuk pembuatan
kertas. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Industri
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Smook, G.A. and M.J. Kocurek. 2002. Handbook for Pulp
and Paper Technologists. Joint Textbook Committee of
the Paper Industry. Atlanta, Georgia
Suchland, O. and G.E. Woodson. 1986. Fiberboard
manufacturing practices in the United States. USDA
Forest Service. Agricultural Handbook No. 640
Sugiyama, J. 1997. Microbial cellulose. Preprint of 95's
Cellulose R & D 2nd Annual Meeting of Cellulose
Society of Japan. Kyoto, Japan
TAPPI. 2007. Technical Association of the Pulp and Paper
Industries (TAPPI)'s Test Methods. Technical
Association of the Pulp and Paper Industries (TAPPI)
Press. Atlanta, Georgia
TTSA. 2010a. The process of tapioca starch production.
Thai Tapioca Strach Association (TTSA). http://
www.thaitapiocastarch.org/products.asp. Diakses: 15
Juni 2013
US Patent. 1998. Bacterial cellulose as surface treatment
for fibrous web, United States (US) Patent 4861427
Wikipedia. 2012a. Bacterial cellulose. Wikipedia, the free
encyclopedia.
http://en.wikipedia.org /wiki/
Bacterial_cellulose. Diakses 25 Mei 2103
Wikipedia, 2013. Pulp and Paper. The free encyclopedia.
W i k i p e d i a htt p : / /e n .w i k i p e d i a . o rg / w i k i /
Pulp_%28paper%29. Diakses 28 April 2013
Wikipedia. 2013a. Microbial cellulose. Wikipedia, the
free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/
Microbial_cellulose. Diakses 22 April 2013
WOL. 2006. Confectioner's syrup from tapioca processing
waste. Wiley Online Library (WOL). http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ star.19830351207/
abstract. Diakses: 15 Juni 2013
11
LAMPIRAN GAMBAR-GAMBAR
A
B
Gambar 5. Ubi kayu (singkong) (A) sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka (B)
Gambar 6. Selulosa mikrobial hasil biosintesis dari limbah
cair pengolahan tapioka dengan bakteri
Acetobacter xylinum
Gambar 7. Pulp selulosa mikrobial kering udara yang siap
dibentuk jadi lembaran kertas atau produk lain
berbasis selulosa
A
B
C
D
Gambar 8. Sabut kelapa (A); sabut kelapa dalam bentuk serpih lunak setelah pemasakan dalam larutan alkali (NaOH) (B);
pulp basah sabut kelapa (C); pulp kering udara sabut kelapa siap dibentuk menjadi lembaran kertas (D)
12
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
A
B
Gambar 9. Kertas dari campuran pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa dalam keadaan basah (A), dan keadaan
kering (B) yang siap diuji sifatnya (fisis, kekuatan, dan optik)
A
B
Gambar 10. Pandangan mikroskopis serat selulosa mikrobial (A); ukuran serat selulosa mikrobial (bacterial/microbial
cellulose), dibandingkan dengan ukuran serat pulp kayu (wood pulp), serat sintetis (synthetic fiber), dan
rambut manusia (human hair) (B)
Sumber: Wikipedia (2013a)
A
B
Gambar 11. Prinsip pengukuran derajat keputihan, bila suatu obyek memantulkan cahaya putih dengan intensitas 100%,
maka obyek tersebut memiliki derajat keputihan 100% (A); prinsip pengukuran opasitas, bila suatu obyek
sama sekali tidak dapat ditembus oleh atau tidak dapat menstransmisi cahaya, maka obyek tersebut meliliki
derajat opasitas 100% (B).
Sumber: AGS (2011b)
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
13
KHASANAH HHBK
Pemanfaatan
Tumbuhan Obat Endemik
Asal Papua
Oleh:
Freddy Jontara Hutapea
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
I. PENDAHULUAN
Hutan adalah sumber daya yang memiliki potensi
sebagai penyedia segala kebutuhan dasar manusia. Salah
satu diantaranya adalah tumbuhan obat. Papua memiliki
kawasan hutan yang sangat luas dengan kekayaan
biodiversitas yang sangat tinggi serta memiliki tumbuhan
potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan
obat. Masyarakat Papua sejak dahulu sudah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan hutan untuk pengobatan
tradisonal bahkan telah dikomersilkan secara luas namun
sebagian lagi belum tersosialisasi dengan baik.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi 5
jenis tumbuhan obat yang terdapat di Papua dan cara
penggunaannya.
II. TUMBUHAN OBAT
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang memiliki
khasiat sebagai obat yang digunakan untuk penyembuhan
maupun pencegahan terhadap penyakit tertentu.
Biasanya tumbuhan obat digunakan dengan cara
meminum atau menempelkan bagian tumbuhan tersebut
pada bagian tubuh yang sakit.
Saat ini pemanfaatan tumbuhan obat dalam
pengobatan berbagai penyakit semakin berkembang
baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Menurut
Oktora dan Sari (2006), organisasi kesehatan dunia
(WHO) juga telah merekomendasikan penggunaan obat
tradisional dalam pemeliharaan, pencegahan, dan pengobatan penyakit. Beberapa jenis tumbuhan yang telah
digunakan oleh masyarakat Papua sebagai tumbuhan obat
adalah:
14
A. Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.)
Buah merah merupakan salah satu komoditi hasil
hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat popular karena
khasiatnya sebagai tumbuhan obat. Buah merah telah
lama dimanfaatkan oleh masyarakat Papua sebagai
makanan berenergi. Masyarakat Papua mengolah buah
merah menjadi minyak makan atau digunakan langsung
sebagai penyedap masakan, dan obat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit (Limbongan dan Malik,
2009).
Tumbuhan ini termasuk ke dalam pandan-pandanan
(Pandanaceae). Penyebaran paling dominan yaitu di
sekitar Pegunungan Jaya Wijaya, Jayapura, Manokwari,
Nabire, Timika, dan Ayamaru (Sorong) (Budi dan Paimin,
2005). Klasifikasi tumbuhan ini menurut ITIS Report (2014)
adalah sebagai berikut:
Divisi
: Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Pandanales
Famili
: Pandanaceae
Genus
: Pandanus
Spesies : Pandanus conoideus Lam.
Buah Merah mengandung senyawa aktif karoten,
betakaroten, tokoferol, dan asam-asam lemak seperti
asam miristat, asam petadekanoat, asam palmitat, asam
eikosanoat, asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat,
dan asam eikosanoat (Budi dan Paimin, 2005).
Limbongan dan Uhi (2005) mengemukakan bahwa
buah merah dapat mengobati mata rabun, gatal-gatal, luka
gores, pegal dan capek, menyuburkan rambut, mengobati
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
Gambar 1. Buah merah (P. conoideus) yang dipanen oleh masyarakat di Manokwari Papua Barat.
kanker, dan penyakit degenerative seperti jantung,
kolesterol, diabetes, dan darah tinggi, selain itu hasil
penelitian Tjahjani dan Khiong (2010) menunjukkan
bahwa sari buah merah memiliki potensi untuk mengobati
penyakit malaria dan mencegah terjadinya malaria
serebral (malaria serebral merupakan malaria berat yang
disebabkan Plasmodium falciparum ). Selanjutnya,
Makaruku (2008) menjelaskan bahwa buah merah
mengandung tokoferol hingga 11.000 ppm dan
betakaroten 7.000 ppm yang dapat mencegah dan
menekan pembiakan sel-sel kanker, sekaligus
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kandungan omega
3 yang terdapat pada buah merah berfungsi untuk
A
memperbaiki sel yang rusak. Buah merah lebih popular
karena memiliki khasiat untuk mengobati kanker dan
tumor, HIV/AIDS, darah tinggi, asam urat, stroke, gangguan
pada mata, diabetes, osteoporosis, meningkatkan libido,
dan meningkatkan kecerdasan.
Saat ini buah merah sudah banyak diperjual belikan
baik dalam bentuk minyak buah merah maupun dalam
bentuk kapsul. Buah merah tidak hanya dikonsumsi oleh
masyarakat Papua, melainkan di seluruh wilayah
Indonesia seperti: Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga
Maluku dan wilayah mancanegara seperti Singapura,
Malaysia, Cina, dan Amerika Serikat (Budi dan Paimin,
2005).
B
Gambar 2. Sari buah merah (A) dan produk buah merah yang telah diperdagangkan (B).
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
15
Sari buah merah dapat dikonsumsi oleh siapa saja
sebanyak 1 sendok setiap hari karena merupakan
suplemen bagi kebutuhan tubuh. Penderita penyakit
kolesterol, hepatitis, darah tinggi, dan stroke disarankan
mengkonsumsi sari buah ini sebanyak 1 sendok makan 2
kali dalam sehari, dan penderita penyakit tumor dan
kanker disarankan meminum 1 sendok makan 3 kali dalam
sehari (Budi dan Paimin, 2005).
B. Sarang Semut (Myrmecodia pendens, Myrmecodia
tuberosa, dan Hydnophytum formicarum).
Sarang semut merupakan tumbuhan obat endemik
Papua. Istilah “Myrmecodia” berasal dari bahasa Yunani
“myrmekodes” yang berarti mirip semut atau dikerumuni
semut. Jenis ini tumbuh pada dahan atau batang
tumbuhan. Akar umbi tumbuhan ini biasanya terjuntai
pada cabang tanaman yang hidup secara simbiosis
(Wikipedia, 2013).
Tumbuhan sarang semut merupakan anggota famili
Rubiaceae yang terdiri dari 5 genus. Dua genus diantaranya
yakni Myrmecodia dan Hydnophytum memiliki asosiasi
paling dekat terkait simbiosisnya dengan kelompok jenis
semut yang sama yaitu Ochetellus sp. Kekerabatan yang
dekat ini memungkinkan adanya kesamaan kandungan
senyawa kimia dan kandungan farmakologis (Jebb, 2009;
Palmer 2000 dalam Nathasa, 2012). Jenis sarang semut
yang banyak digunakan sebagai bahan obat adalah M.
tuberosa, M. pendens, dan Hydnophytum formicarum
(Soeksmanto et al., 2010 dalam Efendi dan Hertiani, 2013).
Tumbuhan sarang semut diyakini mampu mengatasi
berbagai penyakit seperti kanker, asam urat, liver, stroke,
jantung, wasir (ambien), nyeri punggung, alergi, hingga
meningkatkan gairah seksual (Trubus, 2006 dalam
Soeksmanto et al., 2010). Tumbuhan ini mengandung
senyawa metabolit sekunder berupa tanin dan flavonoid
yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Tanin
dalam tanaman ini berfungsi menghambat pertumbuhan
sel kanker (Yi et al., 2005 dalam Fatmawati et al., 2010),
sedangkan flavonoid berperan dalam inaktivasi
Gambar 3. Penampakan tumbuhan sarang semut bagian dalam (A) dan bagian luar (B)
16
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
karsinogen, antiproliferasi, penghambatan siklus sel,
induksi apoptosis dan diferensiasi, inhibisi angiogenesis,
dan pembalikan resistensi multi obat atau kombinasi dari
mekanisme-mekanisme tersebut (Ren et al., 2003 dalam
Fatmawati et al., 2010).
Saat ini sarang semut sudah banyak diperjualbelikan.
Produk sarang semut dapat dijumpai dalam bentuk serbuk,
kapsul,maupundalampotongankecilyangtelahdikeringkan.
Hasil wawancara dengan Ibu Besse Amriati (Akademisi
dan pengusaha tumbuhan obat di Manokwari), cara
mengkonsumsi tumbuhan sarang semut ini sangat mudah.
Satu sendok makan serbuk sarang semut ditambah 2 gelas
air direbus hingga airnya tersisa 1 gelas, kemudian di saring
dan diminum. Untuk tujuan pengobatan diminum 3 kali
1 hari, sedangkan untuk pencegahan dan menjaga stamina
hanya diminum sekali seminggu.
Gambar 4. Produk sarang semut
C. Kayu Akway (Drymis beccariana Gibbs.)
Kayu akway merupakan salah satu tumbuhan obat dari
Papua berupa perdu. Tumbuhan ini masuk ke dalam family
Winteraceae yang tumbuh di dataran tinggi dan tersebar di
daerah pegunungan Arfak Manokwari Papua Barat.
Spesies kayu akway yang terdapat di daerah pegunungan
Arfak ada 3 jenis yaitu: D. beccariana Gibbs., D. arfakensis,
dan D. pipertia Hook.f (Blumea, 1970 dalam Parubak,
2013).
Tumbuhan ini sudah sejak lama dikonsumsi oleh
masyarakat setempat untuk mengobati penyakit dan
menambah stamina. Bagian tumbuhan yang biasa
digunakan sebagai obat adalah daun, kulit, dan kayu. Daun
tumbuhan ini digunakan untuk mengobati luka baru
dengan cara diremas kemudian ditempelkan pada daerah
luka. Untuk menyegarkan tubuh, daun direbus dan
diminum. Daun akway mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, glikosida, saponin, tannin, dan steroid dalam
jumlah yang relatif banyak (Parubak dan Murtihapsari,
2005 dalam Parubak, 2013).
Ekstrak etanol kulit kayu akway mengandung senyawa
alkaloid, saponin, triterpenoid, flavonoid, dan tannin
(Cepeda, 2008 dalam Cepeda et al., 2011). Batang
tumbuhan mengandung asam metoksi karbonat, 2,6-
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
dimetoksi fenol, dan asam -2,-4-heksadiena dioat (Paisey,
2009 dalam Cepeda et al., 2011).
Kulit kayu akway yang telah dikeringkan telah banyak
diperjualbelikan di Manokwari. Penggunaannya cukup
dicampurkan pada bahan minuman seperti teh dan kopi,
lalu diminum setelah makan agar lambung tidak perih.
D. Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch)
Rumput kebar (B. petersianum) secara spesifik tumbuh
di daerah Kebar, dataran tinggi Manokwari pada ketinggian
700-1000 mdpl. Masyarakat setempat menyebut rumput
kebar, sekalipun tumbuhan ini sebenarnya tidak tergolong
rumput-rumputan (Bermawie et al., 2007).
Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan yang
sangat terkenal di Manokwari, memiliki khasiat yang
dipercaya mampu meningkatkan kesuburan wanita yang
A
B
Gambar 5. Gambar kulit kayu akway (A) dan kulit kayu
akway yang beredar di pasar (B)
ditunjukkan dari hasil analisis laboratorium bahwa
tumbuhan ini mengandung beberapa senyawa aktif yang
berkhasiat sebagai obat. Hasil penelitian Bermawie et al.
(2007) menunjukkan bahwa ekstrak etanol rumput kebar
mengandung senyawa ά- testosteron, δ - tocopherol dan
vitamin E yang berkaitan dengan kesuburan wanita.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Darwati et al. (2011)
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar
pada tikus memberi efek positif yang berakibat dinding
rahim menjadi tebal sehingga memudahkan sperma
menempel dan terjadinya proses kehamilan, Saat ini
tumbuhan rumput kebar telah banyak dikeringkan dan
diperdagangkan di Manokwari. Mengkonsumsi tumbuhan
ini juga tergolong mudah, yaitu dengan cara merebus
dalam panci non aluminium dengan dua gelas air hingga
airnya tersisa kira-kira satu gelas, kemudian rebusan
tersebut diminum.
E. Tali Kuning (Arcangelisia flava (L) Merr.))
Tali kuning merupakan liana yang panjangnya dapat
mencapai ± 10 m. Batang utama sebelum bercabang dua
sebesar lengan/betis orang dewasa, mengandung air,
berwarna kuning dan rasanya pahit (Prohati, 2013).
17
Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai obat
adalah bagian akar, bunga, tangkai, buah, daun, dan
kayunya. Akar tumbuhan ini sangat efektif mengobati
radang tenggorokan, disentri, sipilis, diabetes, bisul, dan
hepatitis. Bagian daun baik digunakan untuk mengobati
disentri, anemia, dan sariawan. Bagian tangkai daun
digunakan untuk mengobati cacar air, demam, sariawan.
Buah tumbuhan ini juga baik digunakan untuk mengobati
sariawan. Bagian kayu digunakan sebagai obat perangsang
birahi, antiseptic, mengobati bisul, iritasi kulit, malaria,
sakit perut dan lain-lain (Achmadi et al., 2006).Tumbuhan
ini berkhasiat sebagai obat karena mengandung senyawasenyawa aktif yang berkhasiat obat seperti saponin,
flavonoid, dan alkaloid yang merupakan senyawa yang
bersifat anti mikroba (Maryani et al., 2012). Tumbuhan ini
juga mengandung berberina yang aktif sebagai zat
pewarna kuning.
Tumbuhan ini belum banyak ditemukan diperdagangkan dipasaran. Hal ini mungkin disebabkan karena
keberadaan tumbuhan ini relatif mudah ditemui disekitar
masyarakat. Seperti tumbuhan obat lainnya, penggunaan
tumbuhan ini juga sangat mudah, yaitu dengan cara
direbus lalu disaring dan diminum. Untuk pengobatan, air
rebusan diminum tiga kali sehari.
A
B
III. PENUTUP
Papua memiliki sumber daya alam yang kaya dengan
tumbuhan berkhasiat obat yang dapat digunakan untuk
mengobati berbagai jenis penyakit. Beberapa diantaranya
yang terkenal adalah buah merah (P. conoideus), sarang
semut (Myrmecodia sp.), kayu akway (D. beccariana),
rumput kebar (B. petersianum), dan tali kuning (A. flava)
yang secara laboratoris terbukti memiliki senyawa aktif
yang dapat dimanfaatkan sebagai obat.
A
B
Gambar 6. Rumput kebar segar (B. petersianum) (A) dan yang telah dikeringkan (B)
A
B
A
B
Gambar 7. Daun tali kuning (A. flava) (A) dan batang tali kuning (B)
18
Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. S., I. Batubara, & Sulistiyani. 2006. Saponins of
Albutra ( Arcangelisia flava (L) Merr) As A
Hepatoprotector. ITTO Techical Report Volume II:
20-30. Bogor.
Limbongan, J. dan H. T. Uhi. 2005. Penggalian Data Pendukung Domestikasi dan Komersialisasi Jenis, Spesies,
dan Varietas Taanaman Buah di Propinsi Papua.
Prosiding Lokakarya I Domestikasi dan Komersialisasi Tanaman Hortikultura Hlm 55-82. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta.
Bermawie, N. N. N. Kristina, M. Djazuli, B. Martono &
Ma'mun. 2007. Pemanfaatan Tanaman Rumput
Kebar ( Biophytum petersianum Klotzsch.)
(Oxalidaceae) Oleh Masyarakat Lokal di Kabupaten
Manokwari, Papua Barat. Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Perkembangan Teknologi
Tanaman Obat dan Aromatik. 6 September 2007.
Bogor.
Maryani, Marsoedi, Nursyam, & Maftuch. 2012. Raw
Extract Function of Yellow Root (Arcangelelisia
flava Merr) Due to the Medication of Bacterial
Infection in Patin Fish ( Pangasionodon
hypophthalmus). Journals of Applied
Environmental and Biological Sciences 2 (9): 453459. Egypt.
Budi, I. M. dan F. R. Paimin. 2005. Buah Merah. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Makaruku, M. 2008. Kajian Agronomi dan Pemanfaatan
Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.). Jurnal
Agroforestry 3(2): 126-132. Halmahera.
Cepeda, G. N., B. B. Santoso, M. M. Lisangan, & I. Silamba.
2011. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Daun Akway.
Makara, Sains 15(1): 63-66. Jakarta.
Darwati, I., B. S. Sembiring, N. Bermawie, N. Sunandar &
Yayan. 2011. Formulasi Jamu Ternak Peningkat
Fertilitas Sapi Betina. Laporan Teknis Penelitian
Tahun Anggran 2011. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Bogor. Tidak diterbitkan.
Efendi, Y. N. dan T. Hertiani. 2013. Antimicrobial Potency of
Ant-Plant Extract (Myrmecodia tuberosa Jack.)
Against Candida Albicans, Escherichia coli, and
Staphylococcus aureus. Traditonal Medicine
Journal 18(1): 53-58. Yogyakarta.
Fatmawati, D., P. K. Puspitasari, dan I. Yusuf. 2010. Efek
Sitotoksik Ekstrak Etanol Sarang Semut
(Myrmecodia pendens) pada Sel Line Kanker Serviks
HeLa Uji Eksperimental Secara In Vitro. Sains
Medika 3(2): 112-120. Semarang.
ITIS Report. 2014. Pandanus conoideus Lam..
http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?s
earch_topic=TSN&search_value=896128. Diakses
tanggal 22 Februari 2014.
Limbongan, J. dan A. Malik. 2009. Peluang Pengembangan
Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) di
Provinsi Papua. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 134141. Bogor.
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
Nathasa, Y. 2012. Efek Pemberian Ekstrak Etanol 70% Umbi
Sarang Semut (Hydnophytum moseleyanum Becc.)
Terhadap Kadar Asam Urat Tikus Putih Jantan yang
Diinduksi Kalium Oksonat. Skripsi. FMIPA.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Oktora, L. dan R. K. Sari. 2006. Pemanfaatan Obat
Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan
Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 3(1): 1-7.
Jakarta.
Parubak, A. S. 2013. Senyawa Flavanoid yang Bersifat
Antibakteri dari Akway (Drimys becariana Gibbs.).
Chem. Prog. 6(1): 34-37. Manado.
Prohati. 2013. Detil Data Arcangelisia flava (L) Merr..
http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php
?docsid=239. Diakses 25 Januari 2014.
Soeksmanto, A., P. Simanjuntak, dan M. A. Subroto. 2010.
Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Tanaman Sarang
Semut (Myrmocodia pendans) terhadap Histologi
Organ Hati Mencit. Jurnal Natur Indonesia 12(2):
152-155. Pekanbaru.
Tjahjani, S. dan K. Khiong. 2010. Potensi Buah Merah
Sebagai Antioksidan dalam Mengatasi Malaria
Berghei pada Mencit Strain Balb/C. Majalah
Kedokteran Indonesia. 60(12): 571-575. Jakarta.
W i k i p e d i a . 2 0 1 3 . S a ra n g S e m u t ( Ta n a m a n ) .
http://id.wikipedia.org/wiki/Sarang_semut_(tana
man). Diakses tanggal 22 Januari 2014.
19
FOKUS
Gunawan Pasaribu
MENYINGKAP MANFAAT
POHON KAPUR (Dryobalanops aromatica)
I. PENDAHULUAN
Keberadaan pohon kapur semakin sulit ditemukan di
habitatnya. Data yang dirilis oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN), suatu lembaga tingkat
dunia pemerhati konservasi alam, menempatkan jenis
kapur dengan status keterancaman tertinggi atau Critically
Endangered (kritis). Kelangkaan jenis ini disebabkan oleh
penebangan tidak terkendali untuk mendapatkan kayu
kapur yang memiliki harga tinggi di pasaran. Selain itu hasil
ikutan dari pohon ini, ketika ditebang, mampu
menghasilkan minyak dan kristal kapur yang harganya bisa
melebihi harga kayunya.
Di pasaran saat ini harga kayu kapur mencapai
Rp. 5 - 7 juta per meter kubik. Selain kayunya, pohon kapur
juga menghasilkan minyak dan kristal kapur bernilai
ekonomis tinggi. Hasil penelitian Pasaribu et al. (2012) di
Aceh menunjukkan bahwa harga minyak kapur mencapai
Rp 400.000 per liter dan kristal kapur bisa mencapai
Rp 4 juta per kg. Minyak dan kristal kapur ini diperoleh
ketika proses penebangan dilakukan.
II. EKSISTENSI DAN POTENSI POHON KAPUR
Pohon kapur (Dryobalanops sp.) termasuk ke dalam
famili Dipterocarpaceae, tersebar di Pulau Sumatera dan
Kalimantan. Pohon kapur yang dominan di Sumatera yaitu
Dryobalanops aromatica, sementara di Kalimantan adalah
Dryobalanops lanceolata. Dryobalanops aromatica bisa
dijumpai di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh
Singkil, Provinsi Aceh. Habitat pohon ini berada di Provinsi
Sumatera Utara, yaitu di Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Kabupaten Pakpak Bharat, sementara di Provinsi
Kepulauan Riau terdapat di Pulau Lingga (Pasaribu et al.,
2012).
Pohon kapur (Gambar 1.) tumbuh liar pada tanah
datar dengan serapan air yang baik, maupun pada daerah
lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian
hingga 500 m di atas permukaan laut. Pohon ini umumnya
tumbuh memiliki ukuran diameter batang yang besar
dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang
relatif sama dan rata (Whitten et al.,1984 dalam Sutrisna,
2008).
Menurut Martawijaya et al. (2005), kayu kapur dapat
dipakai untuk tiang balok, tiang, rusuk, dan papan pada
bangunan perumahan dan jembatan, serta untuk bahan
kapal, peti (koper), mebel dan juga peti mati, perahu, kayu
lapis, konstruksi berat.
20
Gambar
Gambar
1. Tegakan
1. Tegakan
Dryobalanops
Dryobalanopsaromatica
aromatica
Minyak dan kristal kapur sudah lama dimanfaatkan
dalam bidang farmasi dan kosmetik terutama di Arab dan
Persia. Nouha Stephan dalam Guillot, 2002, melaporkan
bahwa nama kapur berasal dari bahasa Arab, yaitu kafur.
Beliau menuturkan bahwa di wilayah Arab, kapur ini
dimanfaatkan sebagai pewangi, nadd ( campuran
wewangian), sukk (campuran wewangian berbahan dasar
kapur) dan dalam bidang kedokteran.
Sejak dahulu, riset pemanfaatan minyak dan kristal
kapur untuk berbagai terapi dan pencegahan terhadap
berbagai potensi penyakit sudah banyak dilakukan di
Timur Tengah. Kapur juga dipakai pada saat sebelum dan
sesudah pembedahan. Dalam ilmu kedokteran Persia
berbagai manfaat kapur untuk pengobatan antara lain
mengatasi mimisan, radang hati, relaksasi, menguatkan
jantung dan memperbaiki syaraf pusat.
III. MINYAK DAN KRISTAL KAPUR SEBAGAI HASIL HUTAN
BUKAN KAYU
Pada saat pohon ditebang, bagian kayu akan
mengeluarkan minyak (Gambar 2.) dengan jumlah yang
bervariasi antar pohon. Produksi minyak per pohon bisa
mencapai 20 liter. Sementara keberadaan kristal lebih
jarang dijumpai dalam proses penebangan, akan tetapi
kalau beruntung dari satu pohon bisa diperoleh sampai 5
kg kristal (Pasaribu et al., 2012).
Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam)
batang pohon dan biasanya terdapat pada pohon yang
sudah sangat tua. Sebagian pemburu kristal kapur
mencarinya dengan menebang pohon, mencacah,
kemudian mengambil kristal kapurnya. Dahulu proses
pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai
dari memilih dan menebang, kemudian memotong
batangnya dalam bentuk balok-balok. Ada dua cara yang
dilakukan yaitu potongan balok kayu dibelah, dandari
setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur.
Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan kristal yang dicari (Gambar 3.). Penebangan pun
dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan
sebatang pohon yang berisikan cukup kapur. “Kalau
Vol. 2,Vol.
No.32, Edisi
No. 1 Desember
Edisi Juni 201
2013
4 = FORPro
beruntung, dalam satu pohon dapat menghasilkan 10 kg
kapur,” kata Meha (salah satu pemburu kapur). Dengan
kondisi harga sekarang, berarti bisa menghasilkan Rp 40
juta hanya pada bagian kristalnya saja.
Sebagian pengumpul lainnya, memperoleh kristal kapur
sebagai kegiatan sampingan ketika proses pengolahan
pohon kapur menjadi bahan papan. Ketika proses pengolahan papan ditemukan kristal, disinilah baru dikumpulkan kristalnya. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat
dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok.
Perbaikan cara pengambilan kristal kapur ke depan
adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon
kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya.
Cara ini lebih baik dari pada uraian di atas, karena untuk
mendapatkan minyak dan kristal kapur tidak harus
menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon.
Pasaribu et al. (2012) mengemukakan bahwa minyak
kapur dapat dimanfaatkan sebagai bahan parfum.
Sejumlah responden terbatas dan ahli parfum, menyukai
aroma dari parfum tersebut. Uji aktivitas antimikroba
menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat
pertumbuhan Candida albicans dan Streptococus aureus.
Hasil ini mengindikasikan bahwa dalam aplikasinya,
parfum tersebut memiliki kemampuan antibakteri
ataupun antijamur. Biasanya dalam produk kosmetik,
antibakteri dan antijamur ditambahkan dengan
menggunakan bahan kimia yang memiliki efek negatif bagi
kesehatan. Hasil penelitian ini penting dalam rangka
mengembangkan produk kosmetik maupun obat herbal.
Kandungan borneol sebagai bahan aktif minyak dan
kristal Dryobalanops aromatica, dapat mencapai 90%.
Borneol merupakan bahan aktif yang sangat luas
pemanfaatannya dalam bidang farmasi.
IV. MANFAAT MINYAK DAN KRISTAL KAPUR
Riset tentang pemanfaatan kayu kapur berikut minyak
dan kristalnya dalam bidang farmasi dan kosmetik belum
banyak dilakukan di Indonesia. Riset yang dilakukan oleh
Kuspradini et al. (2007) menyatakan bahwa ekstraktif kayu
kapur dapat digunakan sebagai anti karies gigi.
V. PROSPEK MASA DEPAN POHON KAPUR
Melihat berbagai manfaat minyak dan kristal kapur,
potensi pengembangannya dalam bidang farmasi dan
kosmetik sangat terbuka lebar. Dalam waktu dekat, akan
bisa diciptakan parfum yang memiliki aroma alami dengan
fungsi ganda seperti untuk aroma terapi dan relaksasi.
Program menanam yang gencar dilakukan pemerintah
saat ini dapat disinergikan dengan pilihan jenis pohon
kapur pada tempat tumbuh yang sesuai dengan habitatnya. Walaupun pohonnya tergolong lambat tumbuh, akan
tetapi dengan nilai kayu yang mahal, nilai lingkungan dan
hasil hutan bukan kayunya yang bernilai tinggi, penanaman
pohon kapur menjanjikan prospek yang sangat cerah.
DAFTAR PUSTAKA
Guillot, C. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Gambar 2. Minyak Dryobalanops aromatica
Kuspradini, H., T. Mitsunaga, R. Mihara,and H. Ohashi.
2007. Investigating glucosyltransferase inhibitory
activities of polyphenols from kapur (Dryobalanops sp.)
heartwood extracts. J Nat Med (2007) 61:462467.Japan.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, K. dan S.A.
Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan
Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Pasaribu, G., Gusmailina, S. Komarayati, Zulnely dan E.
Dahlian. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan
Dryobalanops sp. Untuk Meningkatkan Nilai Tambah.
Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Pusat
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil
Hutan. Bogor.
Whitten, T., S.J.Damanik, J. Anwar dan N. Hisyam. 1984.
The Ecology Of Sumatra.Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Gambar 3. Kristal Dryobalanops aromatica
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
21
KOLOM REVIEW
BEBERAPA ISTILAH
HASIL PEREKATAN
Paribotro Sutigno
P
erekat adalah suatu bahan yang mampu
menyatukan 2 benda melalui ikatan permukaan.
Penemuan dan penggunaan perekat telah ada Sebelum
Masehi, termasuk perekat kayu. Hasil perekatan atau
produk perekatan bermacam-macam dengan istilah atau
nama yang beragam pula. Pembakuan istilah dan definisi
penting sehingga International Organization for
Standardization (ISO), suatu organisasi internasional
mengenai standardisasi, membentuk gugus kerja istilah
dan definisi. Hal ini berarti penetapan istilah dan definisi
tidak diserahkan ke Panitia Teknis Perumusan Standar. Di
Indonesia gugus kerja semacam itu tidak ada. Pengalaman
menunjukkan bahwa diskusi mengenai istilah dan definisi
memakan waktu lama karena menyangkut juga selera dan
tidak selalu seragam, termasuk di tingkat nasional.
Laminated glass merupakan salah satu hasil perekatan
dengan cara merekatkan beberapa lembar kaca pada arah
tebalnya, sehingga disebut kaca berlapis dalam SNI 15132-2005. Istilah laminated dipakai juga dalam hasil
perekatan kayu, seperti laminated veneer lumber (LVL) dan
glued laminated timber (GLT). Dalam SNI 01-6240-2000,
LVL disebut venir lamina dan pada RSNI-3 Kayu lamina
dipakai sebagai padanan GLT. Bila mengacu ke istilah kaca
berlapis, LVL dapat disebut venir berlapis dan GLT dapat
disebut kayu gergajian berlapis. Pada LVL beberapa venir
direkat pada arah tebal dan pada GLT beberapa kayu
gergajian direkat pada arah tebal. Sejalan dengan hal itu
istilah laminated bamboo dapat disebut bilah bambu
berlapis karena beberapa bilah bambu direkat pada arah
tebal. Selain itu pada arah tebal, perekatan tersebut
dilakukan dengan arah serat sejajar.
Perekatan kayu pada arah lebar atau pada arah panjang
disebut jointed sehingga ada istilah jointed board
(perekatan pada arah lebar) dan jointed stick (perekatan
pada arah panjang). Pada suatu produk perekatan
keduanya dapat dilakukan. Dalam SNI 01-6293.2-2000
dipakai istilah papan sambung (jointed board) dan bilah
sambung (jointed stick). Judul SNI tersebut adalah papan
sambung dan bilah sambung untuk meja. Istilah bare core
merupakan padanan dari jointed board. Istilah bare core
mengacu pada keadaan bahan inti yang akan dilapisi
dengan bahan lain. Istilah jointed board mengacu pada
proses pembuatan melalui penyambungan.
Foto Perekat/lem kayu
22
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
Berdasarkan konsep susunan berkala atom ada yang
Berdasarkan konsep susunan berkala atom ada yang
menyusun susunan berkala kayu. Dari sebatang pohon
dapat dihasilkan beberapa macam unsur kayu dengan
ukuran dan bentuk yang berbeda. Dimensi unsur kayu yang
terbesar adalah kayu bundar yang merupakan hasil
pengolahan awal dari sebatang pohon. Bila kayu bundar
digergaji menghasilkan unsur kayu berupa kayu gergajian
dengan berbagai macam ukuran dan nama seperti balok,
papan, usuk dan reng. Venir merupakan unsur kayu
sebagai hasil pengupasan (peeling) kayu bundar atau
penyayatan (slicing) balok. Lebih lanjut ada pengolahan
yang menghasilkan beberapa macam unsur kayu seperti
serpih (chip), selumbar (flake), tatal, wol kayu (ekselsior),
serat, serbuk, tepung kayu dan selulosa.
Unsur kayu itu dapat diolah lagi menjadi suatu produk,
misal dengan memakai perekat. Di atas sudah
dikemukakan contoh pengolahan menggunakan perekat
berupa penyambungan dan pelapisan. Pelapisan beberapa
venir dapat dilakukan sejajar serat disebut venir lamina
atau venir berlapis atau tegak lurus serat (kayu lapis).
Partikel kayu merupakan beberapa macam unsur kayu
berukuran kecil seperti serpih, selumbar dan tatal. Partikel
kayu dicampur dengan perekat, dikenal juga dengan
isltilah agglomerated, kemudian dikempa menghasilkan
produk berupa papan partikel kalau menggunakan perekat
organik dan disebut papan mineral bila memakai perekat
mineral. Papan semen, papan gipsum dan papan magnesit
termasuk papan mineral karena semen, gipsum dan
magnesit termasuk perekat mineral.
Hasil penggabungan beberapa unsur kayu dengan
perekat disebut kayu majemuk (composite wood). Istilah
majemuk sebagai padanan composite sudah lama dipakai
seperti dalam istilah kata majemuk, daun majemuk, bunga
majemuk dan pupuk majemuk. Perkembangan terakhir
ada istilah manfaat majemuk yang terdapat pada kalimat
“hutan mendatangkan manfaat majemuk” untuk
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
menunjukkan lebih dari satu manfaat yang merupakan
satu kesatuan. Manfaat itu dikelompokkan menjadi
manfaat langsung dan tidak langsung yang merupakan
satu kesatuan. Dalam pengertian majemuk ada dua atau
lebih unsur yang disatukan menjadi satu kesatuan yang
utuh. Sesuai dengan perkembangan teknologi
penggabungan unsur kayu itu dapat lebih dari satu macam
unsur, seperti papan blok adalah kayu lapis yang intinya
berupa kayu gergajian sehingga disebut juga kayu lapis
berinti kayu gergajian (lumber core plywood) dengan
catatan lapisan venir minimum 2, dengan arah serat
bersilangan tegak lurus. Sebagaimana diketahui
persyaratan kayu lapis adalah perekatan venir dilakukan
bersilangan tegak lurus.
Istilah reconstituted wood mengacu pada proses
pengolahan yaitu penyusunan kembali (reconstitute)
unsur kayu. Kayu diolah menjadi unsur kayu kemudian
disusun kembali menjadi suatu produk. Kayu bundar
diolah menjadi kayu gergajian kemudian disusun kembali
dengan cara penyambungan ke arah lebar menjadi papan
sambung. Kayu bundar diolah menjadi venir kemudian
disusun kembali dengan cara pelapisan bersilangan tegak
lurus menjadi kayu lapis. Dengan demikian pengertian
reconstituted wood (RW) sama dengan composite wood
(CW). RW mengacu pada proses pengolahan, sedangkan
CW mengacu pada hasil pengolahan. Kayu lapis dapat
disebut RW karena proses pengolahannya berupa
penggabungan venir. Istilah reconstituted dipopulerkan
antara lain dalam rangka promosi lantai parket 3 lapis,
bagian bawah venir, bagian tengah dan atas bilah kayu
gergajian yang direkat menjadi 3 lapis dengan arah serat
bersilangan tegak lurus (reconstituted parquet). Ada yang
menggunakan istilah three layers parquet untuk produk
tersebut. Bila ada yang menyebut composite parquet juga
tidak salah.
Istilah engineered wood (EW) juga mengacu pada
proses pengolahan, yaitu diatur (engineered). Unsur kayu
diatur menjadi suatu produk. Papan diatur dengan cara
penyambungan ke arah lebar menjadi papan sambung.
23
Venir diatur dengan cara pelapisan bersilangan tegak
lurus menjadi kayu lapis. Dengan demikian pengertian
EW sama dengan RW dan CW. EW dan RW mengacu
pada proses pengolahan, sedangkan CW mengacu pada
hasil pengolahan. Ada yang menggunakan istilah rekayasa
sehingga disebut kayu yang direkayasa atau produk
rekayasa kayu. Istilah EW digunakan antara lain dalam
rangka promosi daun pintu yang dibuat dari beberapa
unsur kayu seperti kayu gergajian sebagai rangka dan
bagian dalam, serta kayu lapis sebagai bagian luar
(engineered door). Berhubung pengertian EW sama
dengan RW dan CW maka engineered door dapat disebut
juga reconstituted door dan composite door. Sesuai
dengan perkembangan teknologi venir lamina atau LVL
dapat dipakai sebagai rangka dan bagian dalam daun
pintu tersebut. Semula ada daun pintu yang dibuat
dari kayu gergajian sebagai rangka dan kayu lapis sebagai
bagian luar dan bagian dalam kosong.
Sebagai penutup, dikemukakan bahwa untuk dapat
memahami pengertian suatu istilah perlu diketahui konsep
atau filosofi dari istilah tersebut. Istilah dalam perdagangan dapat berbeda dengan istilah teknis. Walau
demikian usaha membakukan suatu istilah lebih baik
daripada tidak ada usaha sama sekali, seperti dalam
publikasi lembaga penelitian.
Pustaka
Anonim. 2000. SNI 01-6240-2000. Venir lamina. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Anonim. 2000. SNI 01-6293.2-2000. Papan sambung dan
bilah sambung untuk meja. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Anonim. 2005. SNI 15-132-2005. Kaca pengaman berlapis
(laminated glass) untuk kendaraan bermotor. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Sutigno. P. 1991. Kayu majemuk, perkembangan dan masa
depannya di Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
24
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
REVIEW
CUKA KAYU
SEBAGAI PENGENDALI
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Ujang W. Darmawan
Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
Jl. Gunung Batu No 5, Bogor. Email: [email protected]
I. PENDAHULUAN
Cuka kayu merupakan produk sampingan dari proses
pembuatan arang. Cuka kayu berupa cairan pekat
berwarna coklat dan beraroma khas (beraroma asap)
yang berasal dari asap pembuatan arang yang
dikondensasikan.
Pemanfaatan cuka kayu telah dikenal sejak puluhan
tahun lalu. Masyarakat di Jepang pada tahun 1930-an
telah memanfaatkan cuka kayu sebagai pupuk dan dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bahkan saat ini
pengunaannya telah meluas untuk berbagai kepentingan
seperti kesehatan dan perawatan tubuh di Jepang (Doi
Store, 2013). Salah satu potensi lain dari cuka kayu adalah
sebagai pengendali hama baik serangga maupun mikroba
penyebab penyakit tanaman.
Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan potensi
pemanfaatan cuka kayu sebagai pengendali hama dan
penyakit tanaman.
senyawa-senyawa tersebut bervariasi sesuai dengan
proses pembuatannya (Mela et al., 2013).
III. CUKA KAYU SEBAGAI PENGENDALI HAMA
SPemanfaatan cuka kayu sebagai pengendali hama
telah dibuktikan melalui berbagai penelitian, baik
terhadap hama serangga, moluska maupun mikroba
II. CUKA KAYU
Cuka kayu memiliki sifat fisika kimia sebagai berikut:
derajat keasaman (pH) kurang lebih 3,0, berat jenis
3
antara 1.005-1.050 g/cm , berwarna kuning pucat hingga
coklat cerah sampai coklat kemerahan, transparan,
berbau asap dan kandungan tar terlarut kurang dari 3%
(Burnette, 2010). Kemampuan cuka kayu dalam
mengendalikan hama, tidak terlepas dari senyawa kimia
yang terkandung di dalamnya. Mela et al., (2013)
melaporkan hasil identifikasi senyawa kimia yang
terkandung dalam cuka kayu menggunakan metode
Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Hasil
identifikasi tersebut menunjukkan bahwa setidaknya
cuka kayu yang diperoleh dari bahan batok kelapa
mengandung fenol (14 macam), ketone (21 macam),
senyawa asam (15 macam), alkohol (4 macam), aldehid
(4 macam), karbonil, piridin (4 macam), bensen, katecol,
ester (6 macam), furan (3 macam), alkan (5 macam), amino
(2 macam), pirazin, dan sterol. Jenis dan konsentrasi dari
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
Gambar 1. Cuka kayu sebagai produk sampingan dari
proses pembuatan arang
penyebab penyakit tanaman. Cuka kayu dapat berfungsi
sebagai termitisida (pembasmi hama rayap) yang cukup
efektif. Menurut Wititsiri (2011), cuka kayu yang
diencerkan dengan menggunakan air pada perbandingan
1:50 dapat menyebabkan kematian rayap pekerja
Odontotermes sp. sampai 81%. Efektifitas cuka kayu
terhadap rayap, juga pernah dilaporkan oleh Yatagaiet al.,
(2002) melalui penelitiannya terhadap rayap jenis
Reticulitermes speratus.
25
Menurut Wititsiri (2011), cuka kayu juga dapat
mengendalikan hama kutu putih Ferrisia virgata sampai
95%. Hal yang cukup menarik dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kim et al., (2008),apabila cuka kayu
diaplikasikan sebagai bahan tunggal, ternyata cuka kayu
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hama
belalang padi coklat Nilaparvata lugens dan Laodelphax
striatellus. Namun demikian apabila cuka kayu dicampur
dengan bahan insektisida kimia berbahan aktif
karbosulfan, menunjukkan pengaruh pestisida tersebut
meningkat secara nyata. Dalam penelitian tersebut, cuka
kayu berfungsi secara sinergis terhadap insektisida
Gambar 2. Siput Arianta arbustorum (kiri) dan belalang
padi coklat Nilaparva-talugens (kanan). (foto:
google.com)
Hadi et al., (2010) melaporkan hasil penelitian
ketahanan kayu yang telah diawetkan melalui teknik
pengasapan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes
curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering
(Cryptotermes cynocephalus Light). Hasil penelitian pada
skala laboratorium menunjukkan bahwa pengasapan
dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan
rayap. Tetapi pada skala penelitian di lapangan,
pengasapan tidak memberikan pengaruh peningkatan
ketahanan kayu secara nyata.
26
Gambar 3. Rayap tanah( Coptotermes curvignathus
Holmgren) (kiri) dan kumbang polong
Collosobruchusmaculates (kanan bawah) (foto:
google.com)
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
karbosulfan. Disamping itu dengan adanya aktivitas enzim
acetylcholine esterase (AChE) pada hama dapat menurun
secara drastis akibat pengaruh campuran cuka kayu
sehingga menyebabkan gangguan saraf dan kematian
serangga.
Cuka kayu selain bersifat lethal (mematikan), cuka kayu
juga dapat menghambat peneluran hama kumbang
Collosobruchus maculatus Frabricius dan semut merah
(Chalermsan dan Peerapan, 2009; Wang dan Liu, 1996
dalam Chalermsan dan Peerapan, 2009). Hama kumbang
ini merupakan hama gudang yang ganas dan dapat
merusak hasil pertanian khususnya biji kacang-kacangan
yang disimpan. Kerusakan pada biji kacang tersebut terjadi
Gambar 4. Penyakit lodoh (damping off) pada semai
tanaman (bawah) dan jamur Pythium sp. (atas)
(foto: google.com, koleksi pribadi)
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
karena serangga dewasa meletakkan telurnya pada
permukaan biji. Pada saat menetas, larva ini menerobos
masuk ke dalam biji dan berkembang di dalamnya. Ketika
sudah dewasa, kumbang ini keluar dari dalam biji dan
meninggalkan biji kacang-kacangan yang telah keropos
(berlubang). Manfaat cuka kayu selain mencegah dan
mengurangi aktivitas peneluran hama, cuka kayu juga
dapat menolak hama siput (Arianta arbustorum) yang
merusak tanaman pertanian maupun tanaman hias
(ornament).
Menurut Hagner et al., (2011) dalam Hagner, (2013)
senyawa asam asetat dan furfural merupakan senyawa
yang paling penting untuk menolak hama siput jika
dibandingkan dengan senyawa lainnya. Hagner (2013) juga
menyimpulkan bahwa pengaruh penolakan terhadap
hama lebih disebabkan oleh keberadaan senyawasenyawa tersebut secara bersamaan (bekerja secara
sinergis) dan bukan disebabkan oleh pengaruh salah satu
senyawa saja.
Manfaat lain dari cuka kayu adalah dapat menekan
perkembangan penyakit pada tanaman. Menurut
pengalaman dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Perum Perhutani, cuka kayu efektif mencegah serangan
penyakit bercak daun pada bibit tanaman. Selain itu, benih
yang direndam dalam cuka kayu dan penyiraman pada
media tabur dapat menurunkan tingkat serangan penyakit
lodoh (damping off) pada semai sampai 60-90%.
Sedangkan pada aplikasi media sapih cuka kayu dapat
menekan serangan penyakit bercak daun sampai 38-44%
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2012).
Penyakit lodoh semai merupakan salah satu penyakit yang
ganas pada semai tanaman kehutanan yang disebabkan
oleh jamur penyakit yang terdapat di dalam tanah.
Penyakit ini menyebabkan biji gagal tumbuh, membusuk
dan semai muda menjadi layu dan mati (Gambar 4).
Seringkali penyakit ini menyebabkan kegagalan
pembuatan bibit tanaman sampai 100%, seperti halnya
yang terjadi pada persemaian jabon (Neolamarckia
cadamba) di PT Gema Hutani Lestari, Pulau Buru (tidak
dipublikasikan).
Efektivitas cuka kayu sebagai fungisida telah dibuktikan
melalui beberapa penelitian, khususnya terhadap jamur
penyebab penyakit lodoh semai. Jamur-jamur tersebut
diantaranya adalah Fusarium oxysporum, Rhizoctonia
solani, R. necatrix, Sclerotium oryzae, Helminthosporium
maydis, Pythium sp., Colletotrichum gloeosporioides,
Choanephora cucurbitarum dan Pellicular filamentose
(Terasita et al.,1957; Nohara et al.,1960; Miyamoto, 1962;
Torikosi et al.,1990; dalam Yoshimoto, 1994; Chalermsan
dan Peerapan, 2009). Bahkan menurut Yoshimoto, (1994),
pengaruh cuka kayu terhadap jamur pathogen juga dapat
disejajarkan dengan fungisida kimia cycloheximida yang
27
dilarutkan dalam air sampai 1% terhadap jamur patogen
Penicillium, Fusarium,Altermaria dan Colletotrichum.
Selain efektif terhadap jamur, cuka kayu juga efektif
mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh
bakteri seperti Xanthomonas campestris pv. citri dan
Erwinia carotovora pv. Carotovora dan virus (Terasita
et al., 1960; Miyamoto, 1961 dalam Yoshimoto, 1994;
Chalermsan dan Peerapan, 2009).
Beberapa senyawa kimia hasil identifikasi cuka kayu
dari batok kelapa tersebut bersifat aktif terhadap serangga
maupun mikroba seperti fenol, furfural dan asam asetat.
Menurut Yatagaiet al., (2002), senyawa penting yang
terkandung dalam cuka kayu dan berperan sebagai
pengendali hama rayap adalah senyawa fenol. Fenol
berbau khusus dan mempunyai sifat-sifat antiseptik yang
keras. Fungsi fenol antara lain ikut terlibat dalam
pengaturan aktivitas enzim tertentu, bersifat racun
serangga, bersifat menolak atau racun terhadap hewan
pemangsa tumbuhan (Wawaroentoe et al., 1971). Selain
itu fenol juga berpengaruh terhadap rayap, bersifat
anti mikroba,anti jamur dan bakteri (Cowan, 1999),
sehingga diduga dapat mengendalikan penyakit tanaman
yang disebabkan oleh jamur, seperti penyakit bercak daun
dan penyakit lodoh semai.
Menurut Ismail dan Mohamed (2007), selain senyawa
fenol, senyawa furfural adalah senyawa yang juga penting
yang terkandung di dalam cuka kayu. Senyawa ini
berfungsi sebagai pengendali hama dari kelompok
binatang nematoda.
umum (general) untuk diterapkan pada semua jenis hama,
tetapi bekerja pada sasaran hama tertentu dengan cara
kerja tertentu pula. Cuka kayu tidak efektif terhadap hama
tertentu, tetapi pengaruhnya terhadap hama lain mungkin
sangat efektif. Cuka kayu juga berfungsi sebagai
akselerator bahan lain, sehingga mengurangi pengunaan
bahan kimia, dan dapat meningkatkan efektifitas serta
efisiensi penggunaannya. Hal ini sebenarnya merupakan
peluang untuk terus dilakukan kajian yang lebih
mendalam, termasuk pengaruh bahan arang yang
memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI),
cara kerja zat yang terkandung di dalamnya serta tipe
organisme yang dapat dikendalikannya. Penggunaan zat
semacam ini semakin relevan karena saat ini isu green
farming semakin mengemuka di seluruh dunia dengan
tujuan mengurangi dampak penggunaan bahan kimia yang
merusak lingkungan.
BAHAN BACAAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2012.
Cuka kayu hasil Litbang Pustekolah efektif kendalikan
penyakit tanaman hutan. http://www.fordamof.org/index.php/berita/post/1066. diakses 19
Desember 2013.
PENUTUP
Burnette, R. 2010. An Introduction to Wood Vinegar. ECHO
Asia Notes, A Regional Supplement to ECHO
Development Notes. Issue 7, October 2010. Chiang
Mai.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa cuka kayu merupakan produk yang
cukup potensial untuk terus dikaji manfaatnya. Manfaat
cuka kayu sebagai pengendali hama memang tidak bersifat
Chalermsan, Y., S. Peerapan. 2009. Wood vinegar: byproduct from rural charcoal kiln and its role in plant
protection. Asian Journal of Food and Agro-Industry.
Special Issue:189-195.
28
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2014 = FORPro
Cowan, M.M. 1999. Plant products as antimicrobial agents,
Clinical Microbiology Reviews 12(4):564-582.
striatellus (Homoptera: Delphacidae). Animal Cells and
Systems. 12(1):47-52.
Doi Store. 2013. Mokusaku wood vinegar pyroligneous
a c i d ,
P r o d u c t
o v e r v i e w.
http://www.doishouten.co.jp/english/page_english1/
e_product.html. diakses 20 Desember 2013.
Mela, E., Y. Arkeman., E. Noor., N.A. Achsani. 2013.
Potential products of coconut shell wood vinegar.
Research Journal of Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences. 4(4):1480-1493.
Hadi, Y.S., T., Nurhayati., J. Jasni., H. Yamamoto., N. Kamiya.
2010. Smoked wood as an alternative for wood
protection against termites. Forest Products Journal
60(6):496-500.
Waworoentoe, S.A., I. Sianturi, M. Patimah. 1971. Sifatsifat zat kimia. Penerbit Tarate, Bandung.
Hagner, M. 2013. Potential of the slow pyrolysis products
birch tar oil, wood vinegar and biochar in sustainable
plant protection - pesticidal effects, soil improvement
and environmental risks. Department of
Environmental Sciences. University of Helsinki, Lahti,
Finland. (thesis).
Ismail, A.E., M.M. Mohamed. 2007. Effect of different
concentrations of furfural as a botanical nematicide
and the application methods in controlling
Meloidogyne incognita and Rotylenchulus reniformis
infecting sunflower. Pakistan Journal of Nematology
25(1):45-52.
Kim, D.H., H.E. Seo., S.C. Lee., K.Y. Lee. 2008. Effects of
wood vinegar mixted with insecticides on the
mortalities of Nilaparvata lugens and Laodelphax
Wititsiri, S. 2011. Production of wood vinegars from
coconut shells and additional materials for control of
termite workers, Odontotermes sp. and striped mealy
bugs, Ferrisia virgata. Songklanakarin Journal of
Science and Technology. 33 (3):349-354.
Yatagai, M., M. Nishimoto., K. Hori., T. Ohira., A. Shibata.
2002. Termiticidal activity of wood vinegar, its
components and their homologues.Journal of Wood
Science. 48(4):338-342.
Yoshimoto, T. 1994. Towards and sustainable agricultural
productivity in the 2000's: Breeding research and
biotechnology. Presents status of wood vinegar studies
th
in Japan for agricultural usage. Proceeding of the 7
international congress of the society for the advanced
of breeding researches in Asia and Oceania (SABRAO)
and international symposium of world sustainable
agriculture association (WSAA).811-820.
Foto Publikasi Pustekolah
FORPro = Vol. 3, No. 1 Edisi Juni 2014
29
Download