PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Daniel Hasto Legowo E 0005127 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan peradilan dan hukum pidana di Indonesia sering mengalami kesulitan terutama dalam proses penyidikan maupun peradilan yang berkaitan dengan keterangan saksi atau korban, terutama terhadap korban. Hal ini dikarenakan banyak saksi terutama korban enggan untuk memberikan keterangan atau kesaksian dalam suatu tindak pidana atau kejahatan dengan berbagai macam alasan terutama masalah keselamatan dirinya dari ancaman pelaku atau pihak lain jika ia memberi kesaksian atau keterangan, padahal keterangan dari saksi atau korban inilah yang sangat berperan penting untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan. Ketika korban dimintai keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan, sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh pengamanan/pengawalan yang memadai dari aparat keamanan. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada kasus-kasus “kecil” dalam kasus “besar”pun (kasus yang menjadi perhatian publik) seperti kasus pembunuhan, terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus datang sendiri ke pengadilan, padahal potensi terjadinya kekerasan terhadap saksi (korban) sangat tinggi, terlebih apabila pelaku divonis hukuman maksimal oleh pengadilan. (Dikdik M.Arief Mansur, 2006:7980). Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan Timor Timur. Khusus Timor Timur telah selesai diperiksa di pengadilan 1 bahkan beberapa pelakunya telah dijatuhi hukuman pidana dan pelaku lainnya memperoleh vonis bebas (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Pada masa orde baru pada kekuasaan rezim Soeharto, menurut Komisi Nasional Hak Asasi ii Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada lima peristiwa yang dikategorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan rezim orde baru yang dipimpinnya. Pelanggaran itu adalah peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM) Aceh dan Papua, serta kasus 27 Juli. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html). Sementara kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru ini terjadi di Indonesia seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada beberapa kasus penyerangan terhadap jema'ah ahmadiyah tahun 2005 dan 2006. Serangan yang dilakukan sekelompok orang itu ditujukan kepada penduduk sipil sebagai hasil dari kebijakan organisasi. Serangan tersebut dilakukan secara meluas dan sistematis serta adanya unsur pengusiran atau pemindahan secara paksa yang menyebabkan penyerangan itu dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125- 91968,id.html). Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah. .(Dikdik M.Arief Mansur,2006:158). Selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan tidak memperhatikan masalah tersebut sehingga masih banyak tindak pidana atau kejahatan terutama kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang belum terungkap oleh aparat penegak hukum kita. Sistem peradilan kita yang selama ini hanya terfokus pada penyidikan terhadap pelaku yang dilindungi hak-hak-nya dalam proses penyidikan dan peradilan sedangkan selama ini hak-hak daripada korban masih iii terus diabaikan baik dalam hak perlindungan dalam proses pemberian kesaksian maupun setelah pelaku dijatuhi putusan hakim. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih sangatlah minim, padahal perlindungan hukum terhadap korban ini sangatlah penting bagi kehidupan korban setelah mengalami kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku kejahatan terutama bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menyangkut bagaimana pemulihan korban setelah mengalami atau menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Aparat penegak hukum selalu hanya terfokus pada penyelesaian kasus saja tanpa memperhatikan efek kehidupan korban selanjutnya setelah mengalami kejahatan atau pelanggaran. Apabila memperhatikan kehidupan nyata, apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan. Kita sering menyaksikan bagaimana hak asasi manusia seseorang dilanggar, baik oleh perorangan, kelompok maupun negara. (Dikdik M.Arief Mansur,2006:160). Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban selama persidangan. Sejak awal Juni 2002, setidaknya tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir dengan alasan tidak adanya jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun ada yang hadir dalam persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk memberikan keterangan dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh jajaran pimpinan teras TNI lengkap dengan seragam dan tongkat komandonya. Selain itu, pengunjung sidang sering berteriak-teriak mencemooh selama saksi memberikan keterangannya, sementara di luar pengadilan ada berbagai kelompok yang berunjuk rasa. Mengenai hal ini,, Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat: dalam kasus pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih diperhatikan hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan memiliki akses pada senjata.(Dikdik M.Arief Mansur,2006:118). Hal tersebut masih mungkin terus terjadi dalam sistem penegakan hukum terutama menyangkut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik dalam penyelesaian kasus maupun penanganan saksi atau korban. Hal ini disebabkan karena ditambah dengan belum adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban khususnya mengenai perlindungan hukum korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. iv Akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, setelah menunggu sekian lama akan lahirnya undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya muncul dan disahkannyalah undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya terdapat beberapa butir ketentuan tentang bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perlu ditekankan bagaimana setelah muncul dan berlakunya Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tersebut, bagaimana korban kejahatan pada umumnya dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada khususnya dapat menerima perlindungan hukum baik dalam proses penyidikan, peradilan maupun setelah putusan hakim dijatuhkan atau dalam proses pemulihan korban serta lewat undang-undang perlindungan saksi dan korban ini dapat diatur mengenai bagaimana pemberian perlindungan hukum bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat serta juga dalam pemberian perlindungan hukum tersebut apakah hak-hak dari korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah terpenuhi sebagai korban melalui undang-undang tersebut atau adakah kelemahan dalam pengaturan perlindungan hukum dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban tersebut. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, maka penulis ingin menyusun skripsi dengan judul : “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? v 2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun dari tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum pidana khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. c. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. vi D. Manfaat Penelitian Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan karena nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Penelitian ini diharapkan, penulis memperoleh tambahan pengetahuan mengenai permasalahan yang diteliti sehingga penulis dapat membagi kembali ilmu tersebut kepada orang lain. E. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum dapat dikategorikan sebagai suatu penelitian doktrinal maupun non-doktrinal, penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud, 2006:33). Jenis penelitian dalam penyusunan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau vii data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu suatu ilmu yang mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Langkah awal dari penelitian ini adalah perbincangan mengenai makna hukum dalam hidup bermasyarakat, di mana ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang dipandang dari luar tetapi masuk ke dalam suatu yang esensial yaitu sisi instrinsik dari hukum ( Peter Mahmud, 2006 :22). Dalam penulisan hukum ini, khususnya akan dibahas mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pada penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang yang dimaksud adalah dengan menelaah semua undang- undang dan legislasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang diteliti. viii 4. Sumber Data Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data kasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.(Soerjono Soekanto, 2007:12). Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah data sekunder (bahan-bahan pustaka). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : d. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan, yakni : 1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. 6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. ix e. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, skripsi, tesis dan disertai jurnal-jurnal hukum terkait dengan permasalahan yang penulis angkat yaitu tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban . f. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Data Pada penulisan hukum ini, penulis menggunakan pengumpulan data dengan studi kepustakaan atau collecting by library. Dengan mengumpulkan data sekunder berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikelartikel dan lain sebagainya. Kemudian dari data yang telah dikumpulkan dikategorikan menurut kelompok yang tepat. 6. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan tahap yang penting dalam sebuah penelitian, karena peneliti harus mengolah data dan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti dan selanjutnya dibuat kesimpulan. Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah teknik interprestasi atau penafsiran. Menurut Von Savigny, interprestasi merupakan rekontruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang (Peter Mahmud, 2008:106). Interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum yakni: interpretasi gramatikal, x interpretasi sistematis, interpretasi teologi atau sosiologi, interpretasi histories, interpretasi komparatif dan interpretasi futuristis. Selain itu dikenal juga interpretasi autentik. Bahkan interpretasi gramatikal dan interpretasi autentik dapat dimasukkan ke dalam interpretasi sistematis. Penelitian ini tidak hanya mengunakan satu interpretasi, interpretasi yang digunakan yaitu interpretasi gramatikal, yakni cara penafsiran untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selanjutnya interpretasi autentik, yakni penjelasan yang diberikan undang-undang dan terdapat di dalam teks undangundang. Peneliti juga menggunakan interpretasi sistematis yang menurut Akkerman adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung (Peter Mahmud, 2008: 112). Interpretasi sistematis ini hubungan tidak hanya dilihat secara teknis, tapi juga dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun penulis adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. xi BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka terdiri dari : 1. Kerangka Teori 2. Kerangka Pemikiran BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas sekaligus menjawab tentang permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Kedua, mengenai bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada. DAFTAR PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA xii Kerangka Teori a. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Hukum Pertanyaan yang seringkali muncul ketika pertama kali mempelajari ilmu hukum adalah mengenai apakah sebenarnya hukum itu. Pada dasarnya definisi hukum itu sulit dibuat karena menurut W.L.G. Lemaire hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu ke dalam suatu definisi (C.S.T Kansil, 1989 : 36). Definisi hukum sangat sulit karena para sarjana hukum memiliki pendapat yang berbeda walaupun ada kesamaan, beberapa definisi hukum oleh para sarjana meliputi: (C.S.T Kansil,1989:38) 1) S.M. Amin Dalam buku beliau yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, hukum dirumuskan sebagai berikut; “Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”. 2) J.C.T.Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Dalam buku yang disusun bersama berjudul”Pelajaran Hukum Indonesia” telah diberikan definisi hukum sebagai berikut; “Hukum ialah peraturanperaturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”. 3) M.H.Tirtaatmidjaja 13 Dalam buku beliau “Pokok-pokok Hukum Perniagaan” ditegaskan bahwa “Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan xiii diri sendiri atau harta, umpamanya kemerdekaannya, didenda dan sebagainya”. orang akan kehilangan Sebagai kaidah (norma) hukum dapat dirumuskan sebagai berikut: Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (E. Utrecht, 1989: 3). b. Pengertian perlindungan 1). Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006). 2). Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002). c. Pengertian perlindungan hukum Perlindungan hukum adalah perlindungan dengan sarana hukum, tetapi tidak semua kepentingan perlu dilindungi hukum. Kepentingan yang dilindungi hukum adalah kepentingan yang dikatakan sebagai hak. Prinsip dari perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena menurut sejarahnya di barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap xiv hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah. Hukum juga dapat berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Bentuk perlindungan hukum terhadap rakyat atau masyarakat juga tidak harus berbentuk konstitusi/Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, namun juga bisa dengan keputusan hakim (Sri Hastuti Puspitasari, 2009: 230233). Dengan adanya perlindungan hukum, para korban akan menjadi tenang, tidak khawatir ada ancaman lahir maupun batin (mental cruelty) sepanjang hidupnya dan ketenangan tersebut adalah merupakan bagian dari hak asasi yang dilindungi oleh negara dan harus dilaksanakan oleh pemerintah (Masyhur Effendi, 2005:146). b. Tinjauan Umum Tentang Viktimologi a. Pengertian Viktimologi Pengertian viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 33). Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut: xv 1) Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi; 2) Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial; 3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapi berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka; 4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial; 5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal (Arif Gosita, 2004: 40-41) Viktimologi berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum seperti, aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasa dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspekaspek lainya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdawa, mengingat xvi dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Bagi kehakiman, dengan adanya viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat mempertimbangkan berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat seberapa besar penderitaan yang dialami oleh korban pada terjadinya kejahatan (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 65-66). b. Ruang lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. 1) Peranan korban pada terjadinya tindak pidana Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang sangat luas karena tidak terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah. Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan korban memiliki peranan yang sangat penting dalam terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang sangat luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunya kuantitas dan kualitas kejahatan. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi/kriminal sebagai suatu permasalahan xvii manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 34). Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana Stephen Schafer membagi menjadi empat tipe korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 50-51): a). Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku; b). Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban mempunyai peran atau andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada korban dan pelaku; c). Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi menjadi korban. Dalam hal ini orang mudah menjadi korban, misalnya: anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik maupun mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya. Pihak yang harus bertanggung jawab adalah masyarakat; d). Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Misalnya pelacuran, perjudian, dan zina. Pihak yang bersalah adalah korban karena dia sebagai pelaku. 2) Hubungan antara Pelaku dengan Korban Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat. Akibat dari perbuatan pelaku yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena kejahatan. xviii Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan yang melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada jenis kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku akan semakin menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan kepada pihak lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya kemarahan si pelaku tetapi juga dari pihak lainnya. Karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak hanya dari si pelaku itu sendiri, melainkan juga dari pihak-pihak yang cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan melaporkan si pelaku. Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah tangga hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada umumnya antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara langsung atau tidak saling mengenal (Dikdik M. Arief Mansur, 2006:5255). 3) Rentannya Posisi Korban Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang banyak disoroti adalah si pelaku, padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Dalam hal ini, sedikit sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya (Marjono Reksodiputro, 1994:81). 4) Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara komprehensif, kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam xix pemeriksaan suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis, dengan demikian sedikit banyak menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukanya. Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan bahwa korban merupakan aset yang penting dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Pada sebagian kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan hanya diposisikan sebagai instrument dalam rangka membantu aparat penegak hukum umtuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban, sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti keadan sebelum terjadi kejahatan yang menimpa dirinya (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 37). Selain itu menurut Muladi, viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk : 1). Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban, 2). Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; 3). Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia. Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Dikdik M. Arief Mansur,2006:43-44) c. Tinjauan Umum Tentang Korban Pengertian, istilah korban masih diberikan arti yang luas, bahwa korban merupakan akibat dari perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan sukarela atau xx dipaksa atau ditipu, bencana alam dan semuanya itu benar-benar berisi sifat penderitaan jiwa, raga, harta dan moral serta sifat ketidakadilan (Iswanto, 2002: 57). Berbagai pengertian tentang korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut: a. Arief Gosita Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. b. Ralph de Sola Korban (victim) adalah “…person who has injuried mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another…” c. Cohen Korban (victim) adalah “…whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering…” d. Z.P Zeparovic Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization or institution) and consequently a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by punishable act (not only criminal act but also another punishable acts as misdemeanors, economics offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering maybe caused by another man or another sructure, where people also involve.” e. Muladi Korban adalah orang-orang yang baik yang secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masingmasing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga g. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korban adalah orang atau perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah hak warisnya. xxi h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan pihak manapun. i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principlas of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985 Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative whitin member states, including those laws proscribing criminal abuse power. Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. (Dikdik M. Arief Mansur,2006:46-48) Selain dari pengertian-pengertian korban yang tersebut di atas, pengertian korban juga diatur dalam; a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. b. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Pasal 1 ayat (3) yakni, Korban adalah orang atau perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah hak warisnya. xxii c. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Tipologi korban kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu: a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban kejahatan, yaitu : 1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penganggulangan kejahatan. 2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu. 3) Provocative Victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. 4) Participating Victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban. 5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipilogi korban kejahatan menjadi tujuh bentuk yaitu : (Lilik Mulyadi.2003:123-125) 1) Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban. xxiii 2) Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. 3) Participating victims pada hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah yang besar tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban penuh ada pada pelaku. 4) Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat meberikan perlindungan kepada korban yang tidak berdaya. 5) Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat. 6) Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan. 7) Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik. c. Selain pengelompokan di atas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.(Dikdik M. Arief Mansur,2006:50) xxiv 1). Primary victmization, yaitu korban berupa individu perorangan(bukan kelompok) 2). Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3). Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas. 4). No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi. 4. Tinjauan Umum Tentang LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dijelaskan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 secara umum disebutkan bahwa LPSK merupakan lembaga yang mandiri yang berkedudukan di ibukota Negara dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Pasal 12 juga menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab kepada Presiden, dan pada ayat (2) menyebutkan LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Mengenai kelembagaan LPSK diatur dalam Pasal 14 yakni anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat atau lembaga swadaya masyarakat. xxv Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun seperti yang tersebut dalam Pasal 15 ayat (1), setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali jabatan berikutnya. Pasal 16 ayat (1) menyebutkan LPSK terdiri atas pimpinan dan Anggota, ayat (2) menyebutkan Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Dalam ayat (3) dan (4) disebutkan, Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan peraturan LPSK. Pasal 17 mengatur Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. 5. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat a. Pengertian Hak Asasi Manusia Secara harafiah yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar (Harum Pudjianto, 1999:25). Sementara dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 dan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Batasan-batasan mengenai hak asasi manusia sendiri dimulai pada masa perang dunia I dan perang dunia II, dimana Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt, merumuskan empat macam hak asasi, yang kemudian dikenal dengan “the four of freedoms”: xxvi 1). Freedom of speech 2). Freedom of religion 3). Freedom of fear 4). Freedom of want Formulasi ini yang kemudian menjadi inspirasi utama dan bagian tak terpisahkan dari Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa.(I Made Subamia, 2009: 13). DUHAM yang sarat dengan pengaturan tentang hak-hak Yuridis dan Politik itu kemudian dalam perkembangannya digolongkan sebagai generasi pertama HAM. Pada 1966, sejalan dengan perkembangan pemahaman konseptual akan HAM, PBB mensahkan dua buah kovenan internasional, yakni International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights and International Covenant on Civil and Political Rights, yang digolongkan sebagai generasi kedua HAM. Kalau dalam Generasi Pertama HAM konsepsi dasarnya ditekankan pada hak-hak yuridis dan politik, dalam generasi kedua HAM konsepsi dasar HAM diperluas mencakup hak-hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta penegasan kembali hak-hak sipil dan politik. Generasi Ketiga HAM lahir dengan munculnya konsep tentang the rights to developments (hak-hak atas pembangunan), yang diawali dengan keluarnya piagam Afrika mengenai hak-hak rakyat dan manusia (The African Charter of Human and People’s Rights). Konsepsi dasar Generasi Ketiga HAM menjadi sintesa baru bagi generasi Pertama dan kedua HAM dan menjadi paradigma alternatif bagi konsepsi dan implementasi kebijakan pembangunan yang selama ini dinilai telah mengabaikan hak-hak rakyat yang fundamental.(I Made Subamia, 2009:13). Dari batasan-batasan dan sejarah generasi HAM di atas, orang sering salah mengartikan hak asasi manusia (HAM). HAM dianggap sebagai senjata dari negara-negara barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negaranegara berkembang.(Yosep Adi Prasetyo,2009: 46). Dalam perspektif politik HAM merupakan alat politik yakni sebagai agenda untuk mengangkat issue tentang ketidakadilan sosial yang dialami suatu masyarakat yang pada muaranya merupakan perwujudan kehendak untuk menentang kekuasaan yang otoriter. (Agus Yulianto, 2009: 25). xxvii Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu, pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi. Ketiga, teori relativis cultural (cultural relativist theory), menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism). Keempat, doktrin Marxist (Marxist doctrine and human rights), hak-hak mendapat pengakuan sebagai hak individual, apabila telah mendapat pengakuan dari negara dan kolektivitas (Majda El Muhtaj, 2008:5-6). Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum (Maidin Gultom, 2008: 7). Hak asasi manusia secara khusus bertujuan untuk melindungi hak-hak individu, tujuan tertinggi adalah menjamin kepentingan dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan di mana pun mereka berada. Melindungi kesejahteraan individu pada akhirnya memastikan kesejahteraan masyarakat/publik dan demikian pula sebaliknya. (Mashood A.Baderin, 2007:42). b. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Human Rights covers an exceptionally broad spectrum of human rights issues: human rights and the law, race, religion, gender, children, class, refugees and immigration. In other hand, gross violation of human right includes: genocide or mass murder, torturing, death sentence and articles of war and war crime (Routledge,2010). Hak asasi manusia mencakup spektrum yang luar biasa luas, diantaranya tentang hak asasi manusia dan hukum, ras, agama, jenis kelamin, anak-anak, kelas, pengungsi dan imigrasi. Sementara dari segi bentuknya, pelanggaran hak asasi manusia diantaranya: genosida atau pembunuhan massal, penyiksaan, hukuman mati dan hukum perang dan kejahatan perang. xxviii Istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika yang dilanggar adalah hak berjenis non-derogable. Unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan Timor Timur (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Sementara kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru ini terjadi di Indonesia seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada beberapa kasus penyerangan terhadap jema'ah ahmadiyah tahun 2005 dan 2006 (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html). Hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran berat HAM. Dilihat dari peristilahannya yang digunakan pun bermacammacam, ada yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious crime, gross violations, grave violations, dsb.(Andrey Sujatmoko,2005:70). Dalam kaitan hak asasi manusia, Gross violation of human rights termasuk juga di dalamnya crimes against humanity yang meliputi tindak pidana yang dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror, karena dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk xxix sipil, lebih-lebih diarahkan kepada jiwa-jiwa orang tidak bersalah atau public by innocent (Indriyanto Seno Adji, 2009: 247-258). Cecilia Medina Quiroga berpendapat bahwa istilah pelanggaran berat HAM adalah sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaranpelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam. Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi maupun perjanjian HAM. Namun pada umumnya pelanggaran HAM yang berat dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius (Andrey Sujatmoko 2005 : 70). Dalam perundang-undangan di Indonesia juga diatur tentang pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, seperti pada Pasal 7, 8 dan 9 Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut: 1) Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a). Kejahatan genosida b). Kejahatan terhadap kemanusiaan 2) Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a). Membunuh anggota kelompok b). Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok c). Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; xxx d). Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau; e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain 3) Pasal 9 Kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a). Pembunuhan b). Pemusnahan; c). Perbudakan; d). Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional f). Penyiksaan g). Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara. h). Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i). Penghilangan orang secara paksa; atau j). Kejahatan apartheid. 6. Tinjauan Umum tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi dan Bantuan Dalam setiap pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat senantiasa menimbulkan kewajiban negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Pemenuhan terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa pemulihan atas pelanggarannya sama artinya dengan impunitas akan terus berlangsung apabila tidak ada langkah konkrit untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia. Istilah reparation dapat diterjemahkan menjadi pemulihan yang artinya adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun xxxi non-material bagi para korban pelanggaran HAM, pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban ( Andrey Sujatmoko,2005:85-86). Yang pengertian dari kesemuanya itu adalah sebagai berikut: a. Pengertian Kompensasi dan Restitusi 1) Pengertian Kompensasi Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Menurut Theo van Boven, kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran HAM, misalnya : (http://www.prakarsa- rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlind ungan%20Saksi%202.pdf) a). Kerusakan fisik dan mental b). Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; c). Kesempatan yang hilang temasuk pendidikan; d). Hilangnya mata pencarian dan kemampuan mencari nafkah; e). Kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; f). Kerugian terhadap reputasi atau martabat; g). Biaya dan bayaran untuk masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan. Dalam pengaturan hukum di Indonesia kompensasi diatur diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun xxxii 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi dengan demikian kompensasi baru diberikan kepada korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi terdapat keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R. Wiyono, 2006:88). 2) Pengertian Restitusi Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biayabiaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Menurut Theo van Boven, restitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan antara lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88). Dalam pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun xxxiii 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 3) Lima Sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban kejahatan (Andrey Sujatmoko, 2005 : 87-88). a). Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana. b). Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. c). Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban di samping pidana yang seharusnya diberikan. d). Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan. xxxiv e). Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti rugi, sedangkan si pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus/tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan negara atas permintaan korban. Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau yang merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana yang timbul dari putusan hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana yang merupakan wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of the offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167). b. Pengertian Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial. Theo van Boven merumuskan dalam usulannya, memasukkan pula aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non repetition) dalam bagian rehabilitasi sebagai bagian dari bentuk-bentuk khusus pemulihan yang menjadi tanggung jawab negara. (Andrey Sujatmoko, 2005:38). Rehabilitasi haruslah disediakan, yang mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan atau perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi (nama baik) sang korban. Aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non reparation) menurut Theo Van Boven mencakup diantaranya: (http://www.prakarsa- rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindunga n%20Saksi%202.pdf) xxxv 1) Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan; 2) Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan secara terbuka; 3) Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban; 4) Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum mengenai faktafakta dan penerimaan tanggung jawab; 5) Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran; 6) Peringatan dan pemberian hormat kepada korban; 7) Dimasukkannya suatu catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM dalam kurikulum dan bahan-bahan pendidikan; 8) Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti : a). memastikan pengendailan sipil yang efektif atas militer dan pasukan keamanan. b). Membatasi yursidiksi mahkamah militer; c). Memperkuat kemandirian badan peradilan; d). Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi manusia. e). Memberikan pelatihan HAM pada semua sektor masyarakat, khususnya pada militer dan pasukan keamanan dan kepada para pejabat penegak hukum. Dalam pengaturan hukum di Indonesia rehabilitasi diatur diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain. xxxvi Peraturan perundang-undangan yang lain juga menyebutkan tentang rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial, yakni di dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Di dalam Pasal 1 yang berbunyi, rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis yang dilaksanakan di PTT. Rehabilitasi sosial adalah pemulihan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. c. Pengertian Bantuan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dalam Pasal 1 menyebutkan, Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada Korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan yang diberikan oleh psikologi kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti (Dikdik M. Arief:2006:171). xxxvii Kerangka Pemikiran Skema Kerangka Pemikiran Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban Korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu: 1. Korban Tindak pidana korupsi 2. Korban tindak pidana narkotika/psikotropika 3. Korban tindak pidana terorisme 4. Korban tindak pidana lain. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat Perlindungan Hukum Sesuai dengan keputusan LPSK Pengaturannya dalam Undang- Bentuk-bentuk perlindungan Hukum menurut perspektif Undang Nomor 13 Tahun 2006 Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Cukup memadai atau tidak? Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penjelasan Kerangka Pemikiran: xxxviii Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban muncul sebagai dasar hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang tersebut bahwa saksi dan korban berhak untuk mendapatkan berbagai hak-hak dalam perlindungan hukumnya. Yang berhak mendapat perlindungan hukum diantaranya korban-korban tindak pidana tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selain itu korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat mendapat porsi perlindungan hukum yang khusus dalam beberapa Pasal Undang-Undang ini. Oleh penulis, lebih memfokuskan penelitian pada perlindungan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perlu dikaji bagaimana pengaturan pemberian perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini, serta kemudian penulis mengkaji lebih dalam bagaimana dan bentuk-bentuk perlindungan apa saja yang diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut UndangUndang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban ini kemudian dikaji apakah perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini telah sesuai dengan hakhak korban kejahatan sebagaimana mestinya atau apakah ada kelemahan dalam pengaturan dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tersebut. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban xxxix Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 yang lalu, masih tercipta adanya suatu kondisi dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap korban kejahatan maupun korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang belum secara khusus diatur dalam suatu perundangan. Memang sebenarnya sudah ada Undang-Undang lain yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan Peraturan Pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat, yang dalam Undang-Undang tersebut memberikan hak kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh juga apa yang dinamakan perlindungan hukum atau bantuan hukum yang dalam Undang-Undang tersebut dinamakan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, akan tetapi dalam perundang-undangan tersebut tidak dijelaskan secara khusus bagaimana tata cara atau prosedur pengajuan bantuan hukum tersebut, serta juga tidak diatur tentang siapa yang berhak mengajukan bantuan hukum atau perlindungan hukumnya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, serta lewat peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dapat memberikan kepastian tentang siapa yang berhak menerima perlindungan hukum atau bantuan hukum yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui LPSK. Lewat Undang-Undang ini, 41 juga korban pada khususnya korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permintaan perlindungan hukum dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dalam Undang-Undang ini, sehingga dengan Undang-Undang ini minimal memberikan gambaran kepada korban bagaimana, kemana dan kepada siapa ia harus mengajukan perlindungan tersebut, hal ini sangat penting untuk diatur, karena mengingat pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan kejahatan luar biasa dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat kejadian dengan tempat dilakukannya persidangan yakni pengadilan Hak Asasi xl Manusia sangat jauh, sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka, sehingga para korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum atau bantuan hukum. Maka dengan munculnya Undang-Undang ini, korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diharapkan dapat terlindungi hakhaknya dengan bantuan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang ini. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat sendiri termuat dalam beberapa pasal yakni misalnya mengenai: 1. Pengaturan Tata Cara Pemberian Perlindungan Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32. Pasal 29 sendiri mengatur tentang bagaimana atau tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum dalam Undang-Undang ini, tata cara korban terutama korban pelanggaran hak asasi manusia memperoleh perlindungan hukum tersebut antara lain: a. b. c. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Setelah LPSK menerima permohonan korban seperti dimaksud dalam Pasal 29 tersebut maka korban harus menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban yang memuat: a. b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan, Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya. xli c. d. e. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia dalam perlindungan LPSK, Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK, dan Hal-hal yang dianggap perlu oleh LPSK. Mengenai penandatanganan pernyataan kesediaan dan isi muatan dari syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2), kemudian dalam Pasal 31 disebutkan supaya LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tersebut. Tentu saja perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak selamanya akan terus diberikan kepada korban tersebut, pastilah akan ada suatu saat perlindungan hukum terhadap korban tersebut berakhir, mengenai penghentian perlindungan hukum tersebut diatur dalam Pasal 32 yang mengatur misalnya dalam Pasal 32 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Pada Pasal 32 ayat (1) menjelaskan mengenai penghentian perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban dengan alasan: a. b. c. d. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri, Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan, Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian, atau LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan. Dalam hal ini, jadi, penghentian perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dikarenakan berbagai alasan yang disebabkan baik dari pihak korban sendiri yang meminta supaya dihentikan, atau korban sendiri yang membuat kesalahan melanggar syarat dan xlii ketentuan perlindungan korban, serta juga bisa dari inisiatif pihak lain baik pejabat yang berwenang maupun juga dari LPSK yang menilai bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah tidak lagi memerlukan perlindungan hukum. 2. Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 ini misalnya diatur dalam Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bantuan sebagaimana dimaksud yakni bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atas permintaan tertulis dari korban tersebut ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK, kemudian dalam Pasal 36 ayat (1) ditegaskan lagi kemudian dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang yakni lembaga pemerintah dan non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh saksi dan/atau korban. Contoh instansi terkait yang berwenang yang dapat bekerja sama dengan LPSK misalnya, lembaga Kepolisian, dalam hal pemberian perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Kepolisian dapat berfungsi sebagai pemberi informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan suatu tindak pidana atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dialami oleh korban. Selain lembaga Kepolisian yang merupakan lembaga pemerintah, kerjasama LPSK juga dapat dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani kasus Trisakti 1998 dan kasus Tanjung Priok pada waktu itu (Dikdik M.Arief, 2006:171). xliii Di dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tersebut di atas, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, ketentuan ini seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2). B. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa seorang korban berhak mendapatkan hak-haknya dalam hal perlindungan hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut mengatur beberapa hak yang diberikan kepada korban, yakni meliputi: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, Dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan korban. Apabila perlu, korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman. b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. c. Memberikan keterangan tanpa tekanan, d. Mendapat penerjemah xliv Hak untuk mendapat penerjemah diberikan kepada korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan, hal ini seperti pada apa yang tertuang dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf d. e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus juga mutlak harus diberikan kepada korban tindak pidana karena seperti apa yang dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) huruf f dalam penjelasannya, seringkali Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada korban. g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan Sama halnya dengan hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus, korban juga berhak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, seperti halnya hak mendapatkan informasi perkembangan kasus, hak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan ini juga sangat penting bagi korban karena seperti apa yang dijelaskan dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf g, informasi mengenai putusan pengadilan ini penting untuk diketahui korban sebagai tanda penghargaan kesediaan korban dalam proses peradilan tersebut, terlepas dari apakah terdakwa atau terpidana diputus bersalah atau dibebaskan oleh putusan xlv pengadilan, yang terpenting adalah putusan pengadilan tersebut harus diinformasikan kepada korban suatu perkara tersebut. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, Terlebih jika dalam halnya terdakwa maupun terpidana dibebaskan, maka hak mengetahui dalam halnya terpidana dibebaskan sangat mutlak diberikan atau diberitahukan kepada korban karena ketakutan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan, ketentuan ini seperti apa yang tertuang dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf h. i. Mendapatkan identitas baru, Hak bagi korban untuk mendapatkan identitas baru diberikan dalam berbagai kasus misalnya pada kasus yang menyangkut kejahatan terorganisasi, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Maka dalam kasus-kasus tertentu seperti ini, seperti dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf i, maka korban dapat diberikan identitas baru. j. Mendapatkan tempat kediaman baru, Selain mendapatkan identitas baru, korban juga berhak mendapatkan tempat kediaman baru, tempat kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman bagi korban. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf j, juga dijelaskan bahwa tempat kediaman baru diberikan kepada korban apabila keamanan korban sudah sangat xlvi mengkhawatirkan, pemberian tempat kediaman baru pada korban harus dipertimbangkan agar korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j ini, menimbulkan satu pertanyaan yakni pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang berkewajiban harus menyediakan tempat tersebut serta juga berapa lamakah korban maupun korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak untuk tinggal di tempat kediaman baru tersebut serta siapa atau lembaga apa yang akan menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, hal ini belum jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j ini (Dikdik M. Arief, 2006:178). k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, Hak memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan diberikan kepada korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, maka korban perlu mendapat bantuan biaya dari negara sesuai dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf k. Lokasi dalam hal ini adalah lokasi pengadilan ataupun penyidikan dalam halnya keterangan korban dibutuhkan sebagai alat bukti, akan tetapi korban tidak mampu mendatangi lokasi maka negara memberikan biaya transportasi kepada korban sehingga korban mampu mendatangi lokasi tersebut dan mampu juga memberikan keterangan maupun kesaksian sebagai alat bukti baik dalam hal penyidikan maupun juga persidangan. l. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau xlvii Selain bantuan biaya transportasi dari negara kepada korban untuk mendatangi lokasi, korban juga berhak untuk mendapatkan nasihat hukum serta memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh korban apabila diperlukan. m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Yang dimaksud dengan biaya hidup sementara adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. Ketentuan ini terdapat dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf m. Hak-hak seperti apa yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak mutlak diberikan kepada semua korban tindak pidana, karena kemudian di dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksudkan dalam pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam penjelasan dari Pasal 5 ayat (2) tersebut yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Dari apa yang dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut, maka jelas dan tampak bahwasanya tidak setiap korban secara otomatis berhak mendapatkan xlviii perlindungan hukum, korban yang mendapat perlindungan hukum hanyalah korban yang benar-benar terancam keselamatannya oleh pihak lain selama proses baik dari pemberian keterangan dan kesaksian dalam penyidikan, peradilan sampai pada putusan hakim, dan hal ini juga harus sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu, apakah korban tersebut benar-benar terancam keselamatannya oleh karena ancaman pihak lain selama proses penyidikan, peradilan sampai pada putusan pengadilan, jika benar demikian korban terancam maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat memutuskan bahwa korban tersebut berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi bahwa LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada para saksi dan/atau korban. Pertimbangan LPSK dalam memutus apakah korban dapat diberikan perlindungan hukum atau tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) tersebut dipertegas kembali di dalam Pasal 28 di mana syarat pemberian perlindungan dan bantuan dalam rangka perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan Korban tindak pidana diberikan dengan pertimbangan syarat antara lain: a. b. c. d. sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan korban hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. xlix Jika dalam halnya korban tidak memenuhi ke-empat pertimbangan syarat dalam Pasal 28 tersebut maka korban tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan hukum, tetapi jika ke-empat pertimbangan syarat tersebut ada dan terpenuhi dalam diri seorang korban maka kemudian sesuai aturan Pasal 34 ayat (2), LPSK menentukan jangka waktu dan besarnya biaya yang diperlukan untuk memenuhi hak-hak dan perlindungan hukum dari korban yang layak diberi bantuan tersebut. Jangka waktu dan besarnya biaya perlidungan hukum tersebut kemudian lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 ini adalah sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berbeda halnya dengan ketentuan di atas, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 ini mendapatkan “perlakuan” atau pengaturan khusus dibandingkan dengan korban tindak pidana lain yang harus mendapatkan putusan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan perlindungan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini secara “otomatis” berhak dan mendapatkan perlindungan hukum. Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara langsung mendapatkan hak-hak perlindungan perlindungan hukum seperti apa yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang telah dijabarkan di atas tersebut. Ketentuan l tersebut dipertegas seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi bahwa Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain mendapatkan perlindungan hukum berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 tersebut, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga dapat meminta perlindungan hukum yang lain selain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial di atas, yakni korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga tidak menutup kemungkinan dapat menuntut melalui LPSK sesuai dengan aturan Pasal 7 ayat (1) supaya diberikan adanya perlindungan hukum yang lain berupa hak atas kompensasi serta juga hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Pada Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini, maka pada intinya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat mendapatkan bentuk perlindungan hukum antara lain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial yang diatur dalam Pasal 6, kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) juga diatur di mana korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga berhak atas perlindungan hukum yakni atas hak atas kompensasi serta juga hak atas restitusi dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. li Jadi, bentuk-bentuk perlindungan hukum berupa hak-hak terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban antara lain: 1. Bantuan Rehabilitasi Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam Pasal 6 disebutkan bahwa bantuan terdiri atas: a. Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan yang diberikan oleh psikologi kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. b. Bantuan Medis Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti. (Dikdik M. Arief, 2006:171). Pemberian bantuan, baik bantuan medis maupun bantuan rehabilitasi psiko-sosial diberikan berdasarkan atas keterangan dokter, psikiater, psikolog, rumah sakit dan/atau pusat kesehatan/rehabilitasi. Misalnya penberian bantuan dalam bentuk konseling, pemberian bantuan bentuk lii konseling ini sangat tepat diberikan kepada atau untuk korban pelanggaran hak asasi manuisa yang berat khususnya jika korbannya adalah wanita yang mengalami perkosaan, penghamilan secara paksa, pelacuran secara paksa, tindakan asusila ataupun perbudakan seksual yang tentu saja pasti menimbulkan trauma berkepanjangan bagi wanita korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut, sehingga layaklah bila ia mendapat perlindungan hukum dengan pemberian bantuan dengan cara bantuan konseling. Jangka waktu pemberian Bantuan tersebut dapat diperpanjang atau dihentikan setelah mendenganr keterangan dokter, psikiater atau psikolog. 2. Kompensasi Kompensasi sendiri merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Dalam pengaturan hukum di Indonesia kompensasi diatur diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku liii tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kemudian berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tersebut. 3. Restitusi Sementara Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biayabiaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Restitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan antara lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88). Dalam pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta liv milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Sama halnya dengan kompensansi, restitusi juga diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, ketentuan ini berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan Peraturan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Dalam Undang-Undang ini tersirat adanya suatu kelemahan yakni belum diaturnya secara khusus mengenai badan atau lembaga yang mengatur masalah pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasinya. Misalnya mengenai pemberian kompensasi, dapat dilihat juga dalam kenyataan bahwa di Indonesia sampai sekarang ini belum ada suatu lembaga yang secara khusus mengatur dan menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan maupun terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti apa yang telah dilakukan di beberapa negara maju, misalnya di Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime’s Victims Compensation Board. Lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan dan sebagainya. Adanya lembaga semacam The Crime’s Victims Compensation Board sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang menderita kerugian finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini misalnya dalam hal pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana (Dikdik M.Arief, 2006:168). lv Pengertian restitusi dan kompensasi sendiri merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau yang merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana yang timbul dari putusan hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana yang merupakan wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of the offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167). Pembuat kejahatan dapat diberikan tanggung jawab terhadap semua kerugian dan penderitaan korban baik fisik maupun moral melalui pemberian restitusi, namun apabila tidak tersedia atau tidak mencukupi, baru dipenuhi dengan kompensasi dari negara dan/atau bantuan dari lembaga sosial lain (Iswanto,2002:6). Dapat dikatakan juga bahwa dengan demikian kompensasi baru diberikan kepada korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi terdapat keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R. Wiyono, 2006:88). BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikaji, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : lvi 1. Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yakni: a. Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini menurut analisa penulis, mempunyai beberapa kelebihan dalam pengaturannya daripada Undang-Undang sebelumnya yang juga mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban, yakni: 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini sudah mengatur dengan jelas tentang siapa yang berhak menerima bantuan hukum dengan pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui LPSK. 2) Lewat Undang-Undang ini, korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan kompensasi, restitusi maupun bantuan rehabilitasi dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang ini. b. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat terbagi dalam dua pengaturan yakni: 57 Perlindungan 1) Pengaturan Tata Cara Pemberian Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 29, pasal 30, pasal 31 dan pasal 32. 2) Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang lvii nomor 13 tahun 2006 diatur dalam beberapa pasal yakni pasal 33 dan pasal 36. 2. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu: a. Dalam pasal 5 ayat (1) mengatur beberapa hak dan perlindungan yang diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni meliputi: n. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, o. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. p. Memberikan keterangan tanpa tekanan, q. Mendapat penerjemah r. Bebas dari pertanyaan yang menjerat s. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, t. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan u. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, v. Mendapatkan identitas baru, w. Mendapatkan tempat kediaman baru, x. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, y. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau z. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. i. Selain mendapatkan hak dan perlindungan hukum seperti pada pasal 5 ayat (1) tersebut, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga berhak untuk mendapatkan bentuk-bentuk hak dan perlindungan hukum yang lain dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut yakni: 1. Bantuan lviii Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 6 disebutkan bahwa bantuan terdiri atas: a. b. i. Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial Bantuan Medis Kompensasi Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf a. ii. Restitusi Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf b. B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan maka penulis merasa perlu untuk memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya dalam pasal 5 ayat (1) huruf j tersebut harus ditambah lagi pengaturan tentang siapa atau lembaga mana yang berkewajiban menyediakan tempat kediaman baru dan menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, tempat kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman bagi korban dan diberikan kepada korban apabila keamanan korban sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak ada kerancuan dalam hal lembaga mana yang berwenang memberikan tempat kediaman baru dan biaya bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang lix berat. Serta juga mengenai berapa lama korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak tinggal ditempat kediaman baru tersebut harus ditambahkan dalam Undang-Undang ini. 2. Dalam Undang-Undang ini juga harus diatur mengenai lembaga mana yang berkewajiban khusus memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga terdapat kejelasan dalam pengaturan hukumnya mengenai instansi terkait mana yang berkewajiban memberikan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku : A. Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia. Andrey Sujatmoko.2005.Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya.Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana. Arif Gosita.2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer. C. S.T Kansil.1989. Pengantar Imu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama. E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru. H. Iswanto. 2002. Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan. Purwokerto: -. lx Indriyanto Seno Adji. 2009. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara. Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Denpasar: Djambatan. Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Mardjono Reksodiputro.1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:LKUI. Mashood A. Baderin. 2007. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. ___________________. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. R. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Bunga Rampai Pemikiran Hukum di Indonesia. Jogjakarta : FH UII Press. St. Harum Pudjianto. 1999. Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. lxi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Website : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM. Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat. http://www.prakarsarakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindu ngan%20Saksi%202.pdf (23 Desember 2009, Pukul 23.00) Tempo Interaktif. Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa Soeharto. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/01/23/brk,2004012316,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00) Tempo Interaktif. Pelanggaran HAM Pada Kasus Ahmadiyah. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00) Jurnal Agus Yulianto. 2009. “HAM Dalam Berbagai Perspektif”. Mediasi. Edisi 8, Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi HAM Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. I Made Subamia. 2009. “Hak Atas Informasi Sebagai Hak Asasi Manusia”. Mediasi. Edisi 8, Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi lxii HAM Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Routledge. 2010. “Democracy in Africa Conference”. Volume 14. Yosep Adi Prasetyo. 2009. “Ekonomisasi HAM”. Suar. Nomor 1 Tahun 2009. Jakarta:Unit Penerbit Komnas HAM. lxiii