i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Daniel Hasto Legowo
E 0005127
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penegakan peradilan dan hukum pidana di Indonesia sering mengalami
kesulitan terutama dalam proses penyidikan maupun peradilan yang berkaitan
dengan keterangan saksi atau korban, terutama terhadap korban. Hal ini
dikarenakan banyak saksi terutama korban enggan untuk memberikan
keterangan atau kesaksian dalam suatu tindak pidana atau kejahatan dengan
berbagai macam alasan terutama masalah keselamatan dirinya dari ancaman
pelaku atau pihak lain jika ia memberi kesaksian atau keterangan, padahal
keterangan dari saksi atau korban inilah yang sangat berperan penting untuk
mengungkap suatu tindak pidana.
Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang
paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian
akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun
psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa
disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya
sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan,
mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah
menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di
tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.
Ketika korban dimintai keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan
maupun pengadilan, sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa
memperoleh pengamanan/pengawalan yang memadai dari aparat
keamanan. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada kasus-kasus “kecil” dalam
kasus “besar”pun (kasus yang menjadi perhatian publik) seperti kasus
pembunuhan, terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus
datang sendiri ke pengadilan, padahal potensi terjadinya kekerasan
terhadap saksi (korban) sangat tinggi, terlebih apabila pelaku divonis
hukuman maksimal oleh pengadilan. (Dikdik M.Arief Mansur, 2006:7980).
Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai kasus
pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok, Lampung,
dan Timor Timur. Khusus Timor Timur telah selesai diperiksa di pengadilan
1
bahkan beberapa pelakunya telah dijatuhi hukuman pidana dan pelaku lainnya
memperoleh vonis bebas (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Pada masa orde
baru pada kekuasaan rezim Soeharto, menurut Komisi Nasional Hak Asasi
ii
Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada lima peristiwa yang dikategorikan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh mantan
Presiden Soeharto dan rezim orde baru yang dipimpinnya. Pelanggaran itu adalah
peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang
dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius
(petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM)
Aceh
dan
Papua,
serta
kasus
27
Juli.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html). Sementara kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru
ini terjadi di Indonesia seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada
beberapa kasus penyerangan terhadap jema'ah ahmadiyah tahun 2005 dan 2006.
Serangan yang dilakukan sekelompok orang itu ditujukan kepada penduduk sipil
sebagai hasil dari kebijakan organisasi. Serangan tersebut dilakukan secara meluas
dan sistematis serta adanya unsur pengusiran atau pemindahan secara paksa yang
menyebabkan penyerangan itu dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM
berat.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,20070125-
91968,id.html).
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga
eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi,
diantaranya melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya
pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa
konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak
tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat
merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya
maupun oleh pemerintah. .(Dikdik M.Arief Mansur,2006:158).
Selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan tidak memperhatikan
masalah tersebut sehingga masih banyak tindak pidana atau kejahatan terutama
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang belum terungkap oleh
aparat penegak hukum kita. Sistem peradilan kita yang selama ini hanya terfokus
pada penyidikan terhadap pelaku yang dilindungi hak-hak-nya dalam proses
penyidikan dan peradilan sedangkan selama ini hak-hak daripada korban masih
iii
terus diabaikan baik dalam hak perlindungan dalam proses pemberian kesaksian
maupun setelah pelaku dijatuhi putusan hakim.
Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan atau pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia masih sangatlah minim, padahal perlindungan hukum
terhadap korban ini sangatlah penting bagi kehidupan korban setelah mengalami
kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku kejahatan terutama bagi
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menyangkut bagaimana
pemulihan korban setelah mengalami atau menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Aparat penegak hukum selalu hanya terfokus pada
penyelesaian kasus saja tanpa memperhatikan efek kehidupan korban selanjutnya
setelah mengalami kejahatan atau pelanggaran.
Apabila memperhatikan kehidupan nyata, apa yang diharapkan sangat
berbeda dengan kenyataan. Kita sering menyaksikan bagaimana hak asasi
manusia seseorang dilanggar, baik oleh perorangan, kelompok maupun
negara. (Dikdik M.Arief Mansur,2006:160). Berdasarkan pengamatan,
pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan
perlindungan saksi dan korban selama persidangan. Sejak awal Juni 2002,
setidaknya tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir
dengan alasan tidak adanya jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun
ada yang hadir dalam persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk
memberikan keterangan dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh
jajaran pimpinan teras TNI lengkap dengan seragam dan tongkat
komandonya. Selain itu, pengunjung sidang sering berteriak-teriak
mencemooh selama saksi memberikan keterangannya, sementara di luar
pengadilan ada berbagai kelompok yang berunjuk rasa. Mengenai hal ini,,
Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat: dalam kasus pelanggaran HAM
yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih diperhatikan hal ini
berkenaan dengan para tersangka yang umumnya berasal dari kelompok
yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan memiliki akses pada
senjata.(Dikdik M.Arief Mansur,2006:118).
Hal tersebut masih mungkin terus terjadi dalam sistem penegakan hukum
terutama menyangkut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat baik dalam penyelesaian kasus maupun penanganan saksi atau korban. Hal
ini disebabkan karena ditambah dengan belum adanya undang-undang yang
khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban khususnya mengenai
perlindungan hukum korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
iv
Akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, setelah menunggu sekian lama
akan lahirnya undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan saksi
dan korban, akhirnya muncul dan disahkannyalah undang-undang nomor 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya terdapat beberapa
butir ketentuan tentang bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Perlu ditekankan bagaimana setelah muncul dan berlakunya Undang-undang
nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tersebut,
bagaimana korban kejahatan pada umumnya dan korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat pada khususnya dapat menerima perlindungan hukum baik
dalam proses penyidikan, peradilan maupun setelah putusan hakim dijatuhkan
atau dalam proses pemulihan korban serta lewat undang-undang perlindungan
saksi dan korban ini dapat diatur mengenai bagaimana pemberian perlindungan
hukum bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat serta juga dalam
pemberian perlindungan hukum tersebut apakah hak-hak dari korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah terpenuhi sebagai korban
melalui undang-undang tersebut atau adakah kelemahan dalam pengaturan
perlindungan hukum dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban
tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, maka penulis ingin
menyusun skripsi dengan judul : “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM
UNDANG-UNDANG
NOMOR
13
TAHUN
2006
TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah
dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
v
2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
C.
Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan
maksud penelitian. Adapun dari tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam
penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a.
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap
korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
b.
Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum
terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
2. Tujuan Subjektif
a.
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum
pidana khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
c.
Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
vi
D.
Manfaat Penelitian
Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan karena
nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini
antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
2. Manfaat Praktis
a.
Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang
diteliti.
b.
Penelitian ini diharapkan, penulis memperoleh tambahan pengetahuan
mengenai permasalahan yang diteliti sehingga penulis dapat membagi
kembali ilmu tersebut kepada orang lain.
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna
mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan
mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini
sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penelitian ini dapat diperinci
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dapat dikategorikan sebagai suatu penelitian doktrinal
maupun non-doktrinal, penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum
yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu
alam (Peter Mahmud, 2006:33).
Jenis penelitian dalam penyusunan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
vii
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara
sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan
masalah yang diteliti yaitu mengenai pengaturan perlindungan hukum
terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif Undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu suatu ilmu yang mempelajari tujuan
hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Langkah awal dari
penelitian ini adalah perbincangan mengenai makna hukum dalam hidup
bermasyarakat, di mana ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum
sebagai suatu gejala sosial yang dipandang dari luar tetapi masuk ke dalam
suatu yang esensial yaitu sisi instrinsik dari hukum ( Peter Mahmud, 2006
:22).
Dalam penulisan hukum ini, khususnya akan dibahas mengenai pengaturan
perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai bentuk-bentuk perlindungan
hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dalam perspektif Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana
dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari berbagai
aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pada
penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang (statute approach).
Pendekatan undang-undang yang dimaksud adalah dengan menelaah semua
undang- undang dan legislasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang
diteliti.
viii
4. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang
diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data kasar),
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data
sekunder.(Soerjono Soekanto, 2007:12). Dalam penelitian hukum normatif
yang digunakan adalah data sekunder (bahan-bahan pustaka). Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
d.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar
peraturan perundang-undangan, yakni :
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Yang Berat.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan
Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
ix
e.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, skripsi, tesis dan disertai
jurnal-jurnal hukum terkait dengan permasalahan yang penulis angkat
yaitu tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta
tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam perspektif undangundang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban .
f.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni bahan
dari media internet yang relevan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pada penulisan hukum ini, penulis menggunakan pengumpulan data
dengan studi kepustakaan atau collecting by library. Dengan mengumpulkan
data sekunder berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikelartikel dan lain sebagainya. Kemudian dari data yang telah dikumpulkan
dikategorikan menurut kelompok yang tepat.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang penting dalam sebuah penelitian,
karena peneliti harus mengolah data dan mendapatkan jawaban dari
permasalahan yang diteliti dan selanjutnya dibuat kesimpulan. Teknik analisis
data yang digunakan penulis adalah teknik interprestasi atau penafsiran.
Menurut Von Savigny, interprestasi merupakan rekontruksi buah pikiran yang
tak terungkapkan di dalam undang-undang (Peter Mahmud, 2008:106).
Interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum yakni: interpretasi gramatikal,
x
interpretasi sistematis, interpretasi teologi atau sosiologi, interpretasi histories,
interpretasi komparatif dan interpretasi futuristis. Selain itu dikenal juga
interpretasi autentik. Bahkan interpretasi gramatikal dan interpretasi autentik
dapat dimasukkan ke dalam interpretasi sistematis.
Penelitian ini tidak hanya mengunakan satu interpretasi, interpretasi
yang digunakan yaitu interpretasi gramatikal, yakni cara penafsiran untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selanjutnya interpretasi autentik, yakni
penjelasan yang diberikan undang-undang dan terdapat di dalam teks undangundang. Peneliti juga menggunakan interpretasi sistematis yang menurut
Akkerman adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara
aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung (Peter Mahmud,
2008: 112). Interpretasi sistematis ini hubungan tidak hanya dilihat secara
teknis, tapi juga dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran
interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan
tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang
berdiri sendiri.
F.
Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun penulis adalah sebagai
berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan hukum.
xi
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan
masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta diuraikan
mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka terdiri dari :
1. Kerangka Teori
2. Kerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas
sekaligus menjawab tentang permasalahan yang telah ditentukan
sebelumnya. Pertama mengenai pengaturan perlindungan hukum
terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi
dan korban. Kedua, mengenai bagaimana bentuk-bentuk perlindungan
hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan
saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
xii
Kerangka Teori
a.
Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum
a. Pengertian Hukum
Pertanyaan yang seringkali muncul ketika pertama kali mempelajari
ilmu hukum adalah mengenai apakah sebenarnya hukum itu. Pada dasarnya
definisi hukum itu sulit dibuat karena menurut W.L.G. Lemaire hukum itu
mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin
tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu ke dalam suatu definisi
(C.S.T Kansil, 1989 : 36).
Definisi hukum sangat sulit karena para sarjana hukum memiliki
pendapat yang berbeda walaupun ada kesamaan, beberapa definisi hukum oleh
para sarjana meliputi: (C.S.T Kansil,1989:38)
1) S.M. Amin
Dalam buku beliau yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, hukum
dirumuskan sebagai berikut; “Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan
yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan
hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia,
sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.
2) J.C.T.Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Dalam buku yang disusun bersama berjudul”Pelajaran Hukum Indonesia”
telah diberikan definisi hukum sebagai berikut; “Hukum ialah peraturanperaturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”.
3) M.H.Tirtaatmidjaja
13
Dalam buku beliau “Pokok-pokok Hukum Perniagaan” ditegaskan bahwa
“Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah
laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti
mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan
xiii
diri sendiri atau harta, umpamanya
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya”.
orang
akan
kehilangan
Sebagai kaidah (norma) hukum dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan (E. Utrecht, 1989: 3).
b. Pengertian perlindungan
1). Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006).
2). Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa
aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,
gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002).
c. Pengertian perlindungan hukum
Perlindungan hukum adalah perlindungan dengan sarana hukum, tetapi
tidak semua kepentingan perlu dilindungi hukum. Kepentingan yang
dilindungi hukum adalah kepentingan yang dikatakan sebagai hak.
Prinsip dari perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena menurut sejarahnya di
barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
xiv
hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan
peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.
Hukum juga dapat berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
masyarakat. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus
dilaksanakan.
Dua
macam perlindungan
hukum bagi rakyat,
yaitu
perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.
Bentuk perlindungan hukum terhadap rakyat atau masyarakat juga
tidak harus berbentuk konstitusi/Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang,
namun juga bisa dengan keputusan hakim (Sri Hastuti Puspitasari, 2009: 230233).
Dengan adanya perlindungan hukum, para korban akan menjadi
tenang, tidak khawatir ada ancaman lahir maupun batin (mental cruelty)
sepanjang hidupnya dan ketenangan tersebut adalah merupakan bagian dari
hak asasi yang dilindungi oleh negara dan harus dilaksanakan oleh pemerintah
(Masyhur Effendi, 2005:146).
b.
Tinjauan Umum Tentang Viktimologi
a.
Pengertian Viktimologi
Pengertian viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti
suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban
dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia
sebagai suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 33).
Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan
mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut:
xv
1) Viktimologi
mempelajari
hakikat
siapa
itu
korban dan
yang
menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi
bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi;
2) Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang
korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental,
fisik, dan sosial;
3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapi
berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka;
4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak
langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat
penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada
setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi,
politik dan sosial;
5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian
viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan
dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan
terhadap pelaku kriminal (Arif Gosita, 2004: 40-41)
Viktimologi berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban
sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara
yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Viktimologi
bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum seperti, aparat
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian,
viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan
kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang
yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan
korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang
biasa dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspekaspek lainya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses
penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat
ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdawa, mengingat
xvi
dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi
pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi kehakiman, dengan adanya viktimologi, hakim tidak hanya
menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara
pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan
korban akibat dari sebuah kejahatan sehingga apa yang menjadi
harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat
terkonkretisasi
dalam
putusan
hakim.
Hakim
dapat
mempertimbangkan berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan
pada terdakwa dengan melihat seberapa besar penderitaan yang
dialami oleh korban pada terjadinya kejahatan (Dikdik M. Arief
Mansur, 2006: 65-66).
b.
Ruang lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan
korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan
korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan
pidana.
1) Peranan korban pada terjadinya tindak pidana
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang sangat luas
karena tidak terbatas pada individu yang secara nyata menderita
kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah.
Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas
kejahatan disebabkan korban memiliki peranan yang sangat penting
dalam terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang
sangat luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat
memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang
pada akhirnya akan bermuara pada menurunya kuantitas dan kualitas
kejahatan. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari suatu viktimisasi/kriminal sebagai suatu permasalahan
xvii
manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief
Mansur, 2006: 34).
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana Stephen
Schafer membagi menjadi empat tipe korban, yaitu sebagai berikut
(Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 50-51):
a). Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap
menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku;
b). Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini,
korban mempunyai peran atau andil dalam terjadinya kejahatan
sehingga kesalahan terletak pada korban dan pelaku;
c). Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi menjadi korban.
Dalam hal ini orang mudah menjadi korban, misalnya: anak-anak,
orang tua, orang yang cacat fisik maupun mental, orang miskin,
golongan minoritas dan sebagainya. Pihak yang harus bertanggung
jawab adalah masyarakat;
d). Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Misalnya pelacuran,
perjudian, dan zina. Pihak yang bersalah adalah korban karena dia
sebagai pelaku.
2) Hubungan antara Pelaku dengan Korban
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi
korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa
hubungan antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat.
Akibat dari perbuatan pelaku yaitu suatu kejahatan dan korban yang
menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus
menderita karena kejahatan.
xviii
Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali
bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan
yang melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada
jenis kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku
akan semakin menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil
tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan
kepada pihak lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya
kemarahan si pelaku tetapi juga dari pihak lainnya. Karena itulah,
perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak hanya dari si
pelaku itu sendiri, melainkan juga dari pihak-pihak yang cenderung
tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan melaporkan
si pelaku. Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah
tangga hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada
umumnya antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara
langsung atau tidak saling mengenal (Dikdik M. Arief Mansur, 2006:5255).
3) Rentannya Posisi Korban
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang banyak
disoroti adalah si pelaku, padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang
paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Dalam hal
ini, sedikit sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang
dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan
terhadapnya (Marjono Reksodiputro, 1994:81).
4) Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan
bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan
memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal.
Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara
komprehensif, kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam
terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek
pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam
xix
pemeriksaan suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis,
dengan demikian sedikit banyak menentukan dapat tidaknya pelaku
kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang
dilakukanya.
Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang
menyebutkan bahwa korban merupakan aset yang penting dalam upaya
menghukum pelaku kejahatan. Pada sebagian kasus-kasus kejahatan,
korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk
menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya dalam kerangka pemeriksaan
suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan
suatu kejahatan hanya diposisikan sebagai instrument dalam rangka
membantu aparat penegak hukum umtuk menghukum si pelaku, dan
tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat negara serta aparat penegak
hukum lakukan untuk si korban, sehingga penderitaan (kerugian) yang
diderita korban dapat dipulihkan seperti keadan sebelum terjadi
kejahatan yang menimpa dirinya (Dikdik M. Arief Mansur, 2006: 37).
Selain itu menurut Muladi, viktimologi merupakan studi yang bertujuan
untuk :
1).
Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban,
2).
Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimisasi;
3).
Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia.
Menurut
J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi
bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim
yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula
korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan (Dikdik M. Arief Mansur,2006:43-44)
c.
Tinjauan Umum Tentang Korban
Pengertian, istilah korban masih diberikan arti yang luas, bahwa korban
merupakan akibat dari perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan sukarela atau
xx
dipaksa atau ditipu, bencana alam dan semuanya itu benar-benar berisi sifat
penderitaan jiwa, raga, harta dan moral serta sifat ketidakadilan (Iswanto, 2002:
57).
Berbagai pengertian tentang korban banyak dikemukakan baik oleh ahli
maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas
mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut:
a. Arief Gosita
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang
dirugikan.
b. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person who has injuried mental or physical
suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted
criminal offense commited by another…”
c. Cohen
Korban (victim) adalah “…whose pain and suffering have been neglected by
the state while it spends immense resources to hunt down and punish the
offender who responsible for that pain and suffering…”
d. Z.P Zeparovic
Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or
destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization
or institution) and consequently a victim would be anyone who has suffered
from or been threatened by punishable act (not only criminal act but also
another punishable acts as misdemeanors, economics offense, non fulfillment
of work duties) or an accidents. Suffering maybe caused by another man or
another sructure, where people also involve.”
e. Muladi
Korban adalah orang-orang yang baik yang secara individual maupun kolektif
telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masingmasing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga
g. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
Korban adalah orang atau perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau
mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya,
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban
adalah hak warisnya.
xxi
h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror
dan kekerasan pihak manapun.
i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principlas of Justice for
Victims of Crime and Abuse Power 1985
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions
that are in violation of criminal laws operative whitin member states,
including those laws proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat
bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok
yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih
luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung
dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu
korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
(Dikdik M. Arief Mansur,2006:46-48)
Selain dari pengertian-pengertian korban yang tersebut di atas, pengertian
korban juga diatur dalam;
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi,
dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat Pasal 1 ayat (3) yakni, Korban adalah orang atau perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, termasuk korban adalah hak warisnya.
xxii
c. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi,
dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (2) yakni, Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Tipologi korban kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif
yaitu:
a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah
menyebutkan beberapa tipologi korban kejahatan, yaitu :
1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak
kejahatan
dan
penjahat
tetapi tidak
turut
berpartisipasi
dalam
penganggulangan kejahatan.
2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3) Provocative Victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau
pemicu kejahatan.
4) Participating Victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki
perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stephen
Schafer mengemukakan tipilogi korban kejahatan menjadi tujuh bentuk yaitu :
(Lilik Mulyadi.2003:123-125)
1) Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan pelaku
dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek
tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
xxiii
2) Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung
jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3) Participating victims pada hakikatnya perbuatan korban tidak disadari
dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil
uang di bank dalam jumlah yang besar tanpa pengawalan, kemudian
dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk
merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban penuh ada pada pelaku.
4) Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan
potensial
korban
kejahatan.
Ditinjau
dari
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah
setempat karena tidak dapat meberikan perlindungan kepada korban yang
tidak berdaya.
5) Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial
yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak
pada penjahat atau masyarakat.
6) Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban
semu)
atau
kejahatan
tanpa
korban.
Untuk
itu
pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai
pelaku kejahatan.
7) Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya
perubahan konstelasi politik.
c. Selain pengelompokan di atas, masih ada pengelompokan korban menurut
Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.(Dikdik M. Arief Mansur,2006:50)
xxiv
1). Primary victmization, yaitu korban berupa individu perorangan(bukan
kelompok)
2). Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3). Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4). No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
4.
Tinjauan Umum Tentang LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban, dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi
dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Dijelaskan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 secara
umum disebutkan bahwa LPSK merupakan lembaga yang mandiri yang
berkedudukan di ibukota Negara dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai
dengan keperluan. Pasal 12 juga menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban
berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab kepada
Presiden, dan pada ayat (2) menyebutkan LPSK membuat laporan secara berkala
tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit
sekali dalam 1 (satu) tahun.
Mengenai kelembagaan LPSK diatur dalam Pasal 14 yakni anggota LPSK
terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai
pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum
dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, akademisi, advokat atau lembaga swadaya masyarakat.
xxv
Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun seperti yang tersebut
dalam Pasal 15 ayat (1), setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,
hanya untuk 1 (satu) kali jabatan berikutnya. Pasal 16 ayat (1) menyebutkan
LPSK terdiri atas pimpinan dan Anggota, ayat (2) menyebutkan Pimpinan LPSK
terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Dalam ayat (3) dan
(4) disebutkan, Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK dan ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan peraturan
LPSK. Pasal 17 mengatur Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
5.
Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
a. Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara harafiah yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah
hak pokok atau hak dasar (Harum Pudjianto, 1999:25). Sementara dalam
Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1
angka 1 dan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Batasan-batasan mengenai hak asasi manusia sendiri dimulai pada
masa perang dunia I dan perang dunia II, dimana Presiden Amerika Serikat
pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt, merumuskan empat macam hak asasi,
yang kemudian dikenal dengan “the four of freedoms”:
xxvi
1). Freedom of speech
2). Freedom of religion
3). Freedom of fear
4). Freedom of want
Formulasi ini yang kemudian menjadi inspirasi utama dan bagian tak
terpisahkan dari Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi
Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948, yang
dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa.(I Made Subamia, 2009: 13).
DUHAM yang sarat dengan pengaturan tentang hak-hak Yuridis dan
Politik itu kemudian dalam perkembangannya digolongkan sebagai
generasi pertama HAM. Pada 1966, sejalan dengan perkembangan
pemahaman konseptual akan HAM, PBB mensahkan dua buah
kovenan internasional, yakni International Covenant of Economic,
Social and Cultural Rights and International Covenant on Civil and
Political Rights, yang digolongkan sebagai generasi kedua HAM.
Kalau dalam Generasi Pertama HAM konsepsi dasarnya ditekankan
pada hak-hak yuridis dan politik, dalam generasi kedua HAM konsepsi
dasar HAM diperluas mencakup hak-hak dalam bidang ekonomi,
sosial dan budaya, serta penegasan kembali hak-hak sipil dan politik.
Generasi Ketiga HAM lahir dengan munculnya konsep tentang the
rights to developments (hak-hak atas pembangunan), yang diawali
dengan keluarnya piagam Afrika mengenai hak-hak rakyat dan
manusia (The African Charter of Human and People’s Rights).
Konsepsi dasar Generasi Ketiga HAM menjadi sintesa baru bagi
generasi Pertama dan kedua HAM dan menjadi paradigma alternatif
bagi konsepsi dan implementasi kebijakan pembangunan yang selama
ini dinilai telah mengabaikan hak-hak rakyat yang fundamental.(I
Made Subamia, 2009:13).
Dari batasan-batasan dan sejarah generasi HAM di atas, orang sering
salah mengartikan hak asasi manusia (HAM). HAM dianggap sebagai senjata
dari negara-negara barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negaranegara berkembang.(Yosep Adi Prasetyo,2009: 46). Dalam perspektif politik
HAM merupakan alat politik yakni sebagai agenda untuk mengangkat issue
tentang ketidakadilan sosial yang dialami suatu masyarakat yang pada
muaranya merupakan perwujudan kehendak untuk menentang kekuasaan yang
otoriter. (Agus Yulianto, 2009: 25).
xxvii
Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu,
pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah
hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat
berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Kedua, teori positivis (positivist
theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum
yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi.
Ketiga, teori relativis cultural (cultural relativist theory), menganggap hak itu
bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap
dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural
imperialism). Keempat, doktrin Marxist (Marxist doctrine and human rights),
hak-hak mendapat pengakuan sebagai hak individual, apabila telah mendapat
pengakuan dari negara dan kolektivitas (Majda El Muhtaj, 2008:5-6).
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat pada manusia
yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum,
sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum
(Maidin Gultom, 2008: 7). Hak asasi manusia secara khusus bertujuan untuk
melindungi hak-hak individu, tujuan tertinggi adalah menjamin kepentingan
dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan di mana pun mereka
berada. Melindungi kesejahteraan individu pada akhirnya memastikan
kesejahteraan masyarakat/publik dan demikian pula sebaliknya. (Mashood
A.Baderin, 2007:42).
b. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Human Rights covers an exceptionally broad spectrum of human rights
issues: human rights and the law, race, religion, gender, children, class,
refugees and immigration. In other hand, gross violation of human right
includes: genocide or mass murder, torturing, death sentence and articles of
war and war crime (Routledge,2010).
Hak asasi manusia mencakup spektrum yang luar biasa luas,
diantaranya tentang hak asasi manusia dan hukum, ras, agama, jenis kelamin,
anak-anak, kelas, pengungsi dan imigrasi. Sementara dari segi bentuknya,
pelanggaran hak asasi manusia diantaranya: genosida atau pembunuhan
massal, penyiksaan, hukuman mati dan hukum perang dan kejahatan perang.
xxviii
Istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat
kesepakatan yang diterima secara umum. Kata “berat” menerangkan kata
“pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang
dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak
asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika
yang dilanggar adalah hak berjenis non-derogable.
Unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan
secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal
tersebut
dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah
direncanakan. Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai
kasus pelanggaran hak asasi manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok,
Lampung, dan Timor Timur (Dikdik M.Arief Mansur,2006:116). Sementara
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang baru-baru ini terjadi di Indonesia
seperti halnya pada kasus Ahmadiyah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM berat pada beberapa kasus
penyerangan
terhadap
jema'ah
ahmadiyah
tahun
2005
dan
2006
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html).
Hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran
berat HAM. Dilihat dari peristilahannya yang digunakan pun bermacammacam, ada yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the
most serious crime, gross violations, grave violations, dsb.(Andrey
Sujatmoko,2005:70).
Dalam kaitan hak asasi manusia, Gross violation of human rights
termasuk juga di dalamnya crimes against humanity yang meliputi tindak
pidana yang dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan
individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror,
karena dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk
xxix
sipil, lebih-lebih diarahkan kepada jiwa-jiwa orang tidak bersalah atau public
by innocent (Indriyanto Seno Adji, 2009: 247-258).
Cecilia Medina Quiroga berpendapat bahwa istilah pelanggaran berat
HAM adalah sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaranpelanggaran,
sebagai
alat
bagi
pencapaian
dari kebijakan-kebijakan
pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara
untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau
hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan
atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus
menerus dilanggar atau diancam. Istilah pelanggaran berat HAM yang telah
dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di
dalam resolusi, deklarasi maupun perjanjian HAM. Namun pada umumnya
pelanggaran HAM yang berat dapat diartikan sebagai pelanggaran secara
sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius
(Andrey Sujatmoko 2005 : 70).
Dalam perundang-undangan di Indonesia juga diatur tentang
pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, seperti pada Pasal 7, 8
dan 9 Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang berbunyi sebagai berikut:
1) Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a). Kejahatan genosida
b). Kejahatan terhadap kemanusiaan
2) Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a). Membunuh anggota kelompok
b). Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota kelompok
c). Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya;
xxx
d). Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok atau;
e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain
3) Pasal 9
Kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a). Pembunuhan
b). Pemusnahan;
c). Perbudakan;
d). Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional
f). Penyiksaan
g). Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h). Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i). Penghilangan orang secara paksa; atau
j). Kejahatan apartheid.
6.
Tinjauan Umum tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi dan Bantuan
Dalam setiap pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat senantiasa menimbulkan kewajiban negara untuk
mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Pemenuhan
terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa
pemulihan atas pelanggarannya sama artinya dengan impunitas akan terus
berlangsung apabila tidak ada langkah konkrit untuk pemenuhan hak-hak korban
pelanggaran hak asasi manusia.
Istilah reparation dapat diterjemahkan menjadi pemulihan yang artinya
adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun
xxxi
non-material bagi para korban pelanggaran HAM, pemulihan itu dikenal dengan
istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang merupakan bentuk umum dari
berbagai bentuk pemulihan kepada para korban ( Andrey Sujatmoko,2005:85-86).
Yang pengertian dari kesemuanya itu adalah sebagai berikut:
a. Pengertian Kompensasi dan Restitusi
1) Pengertian Kompensasi
Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam
bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti
perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan,
pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Menurut Theo van
Boven, kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara
ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran
HAM,
misalnya
:
(http://www.prakarsa-
rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlind
ungan%20Saksi%202.pdf)
a). Kerusakan fisik dan mental
b). Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin;
c). Kesempatan yang hilang temasuk pendidikan;
d). Hilangnya mata pencarian dan kemampuan mencari nafkah;
e). Kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang
hilang;
f). Kerugian terhadap reputasi atau martabat;
g). Biaya dan bayaran untuk masuk akal untuk bantuan hukum atau
keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan.
Dalam pengaturan hukum di Indonesia kompensasi diatur
diantaranya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun
xxxii
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada
Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor
26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35,
yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan Kompensasi
adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya. Jadi dengan demikian kompensasi baru diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu
memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi
terdapat keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R.
Wiyono, 2006:88).
2) Pengertian Restitusi
Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau
pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biayabiaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa
oleh pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Menurut Theo
van Boven, restitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali
sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan antara
lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal,
lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88).
Dalam pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun
xxxiii
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada
Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor
26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35,
yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3) Lima Sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban kejahatan
(Andrey Sujatmoko, 2005 : 87-88).
a). Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui
proses pidana. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari
proses pidana.
b). Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana.
c). Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan
melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat
keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu
bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi”
(compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai
uang” yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk
pemberian ganti rugi kepada korban di samping pidana yang
seharusnya diberikan.
d). Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana
dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini
kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun
diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan
lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau
menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan
kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah
gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah
terjadinya kejahatan.
xxxiv
e). Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus.
Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti rugi,
sedangkan si pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat
memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata
atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur
khusus/tersendiri dan independen yang menuntut campur tangan
negara atas permintaan korban.
Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang
dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable).
Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu
adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan
korban dan dibayar oleh masyarakat atau yang merupakan bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of society),
sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana yang timbul dari putusan
hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana yang merupakan
wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of the
offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167).
b. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara
medis dan sosial. Theo van Boven merumuskan dalam usulannya,
memasukkan pula aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya
pelanggaran (guarantees of non repetition) dalam bagian rehabilitasi sebagai
bagian dari bentuk-bentuk khusus pemulihan yang menjadi tanggung jawab
negara. (Andrey Sujatmoko, 2005:38). Rehabilitasi haruslah disediakan, yang
mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan
atau perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat dan
reputasi (nama baik) sang korban. Aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan
tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non reparation) menurut Theo
Van
Boven
mencakup
diantaranya:
(http://www.prakarsa-
rakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindunga
n%20Saksi%202.pdf)
xxxv
1) Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan;
2) Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan
secara terbuka;
3) Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban;
4) Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum mengenai faktafakta dan penerimaan tanggung jawab;
5) Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang bertanggung jawab atas
pelanggaran;
6) Peringatan dan pemberian hormat kepada korban;
7) Dimasukkannya suatu catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM
dalam kurikulum dan bahan-bahan pendidikan;
8) Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti :
a). memastikan pengendailan sipil yang efektif atas militer dan pasukan
keamanan.
b). Membatasi yursidiksi mahkamah militer;
c). Memperkuat kemandirian badan peradilan;
d). Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi manusia.
e). Memberikan pelatihan HAM pada semua sektor masyarakat,
khususnya pada militer dan pasukan keamanan dan kepada para
pejabat penegak hukum.
Dalam pengaturan hukum di Indonesia rehabilitasi diatur diantaranya
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat serta dalam penjelasan atas Undang-Undang nomor 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 35, yang kesemuanya
berbunyi bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak
lain.
xxxvi
Peraturan perundang-undangan yang lain juga menyebutkan tentang
rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial, yakni di dalam peraturan
pemerintah nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan
terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Di
dalam Pasal 1 yang berbunyi, rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan saksi
dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun
psikis yang dilaksanakan di PTT. Rehabilitasi sosial adalah pemulihan adalah
pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan
pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.
c. Pengertian Bantuan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dalam Pasal 1
menyebutkan, Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada Korban
dan/atau saksi
oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial.
Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam
penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan yang diberikan oleh
psikologi kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan
lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban.
Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang
menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang
dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum
atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban
hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian
untuk ditindak lanjuti (Dikdik M. Arief:2006:171).
xxxvii
Kerangka Pemikiran
Skema Kerangka Pemikiran
Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan saksi dan korban
Korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu:
1. Korban Tindak pidana korupsi
2. Korban tindak pidana
narkotika/psikotropika
3. Korban tindak pidana terorisme
4. Korban tindak pidana lain.
Korban pelanggaran hak
asasi manusia yang berat
Perlindungan
Hukum
Sesuai dengan keputusan LPSK
Pengaturannya dalam Undang-
Bentuk-bentuk perlindungan
Hukum menurut perspektif
Undang Nomor 13 Tahun 2006
Undang-Undang nomor 13
tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan
Cukup memadai atau tidak?
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Penjelasan Kerangka Pemikiran:
xxxviii
Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban muncul sebagai dasar hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia.
Sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang tersebut
bahwa saksi dan korban berhak untuk mendapatkan berbagai hak-hak dalam
perlindungan hukumnya. Yang berhak mendapat perlindungan hukum diantaranya
korban-korban tindak pidana tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selain itu korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat mendapat porsi perlindungan hukum yang khusus dalam
beberapa Pasal Undang-Undang ini.
Oleh penulis, lebih memfokuskan penelitian pada perlindungan korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perlu dikaji bagaimana pengaturan
pemberian perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dalam Undang-Undang ini, serta kemudian penulis mengkaji
lebih dalam bagaimana dan bentuk-bentuk perlindungan apa saja yang diberikan
kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut UndangUndang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban ini
kemudian dikaji apakah perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini telah sesuai dengan hakhak korban kejahatan sebagaimana mestinya atau apakah ada kelemahan dalam
pengaturan dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban tersebut.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
xxxix
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 yang lalu, masih tercipta adanya
suatu kondisi dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap korban
kejahatan maupun korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
belum secara khusus diatur dalam suatu perundangan. Memang sebenarnya sudah
ada Undang-Undang lain yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap
korban khususnya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, misalnya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dengan Peraturan Pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran HAM berat, yang dalam Undang-Undang tersebut memberikan hak
kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh juga apa yang dinamakan
perlindungan hukum atau bantuan hukum yang dalam Undang-Undang tersebut
dinamakan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, akan tetapi dalam
perundang-undangan tersebut tidak dijelaskan secara khusus bagaimana tata cara
atau prosedur pengajuan bantuan hukum tersebut, serta juga tidak diatur tentang
siapa yang berhak mengajukan bantuan hukum atau perlindungan hukumnya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, serta lewat peraturan
pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dapat
memberikan kepastian tentang siapa yang berhak menerima perlindungan hukum
atau bantuan hukum yakni korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
melalui LPSK. Lewat Undang-Undang ini,
41 juga korban pada khususnya korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permintaan
perlindungan hukum dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dalam
Undang-Undang ini, sehingga dengan Undang-Undang ini minimal memberikan
gambaran kepada korban bagaimana, kemana dan kepada siapa ia harus
mengajukan perlindungan tersebut, hal ini sangat penting untuk diatur, karena
mengingat pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan kejahatan luar
biasa dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat
kejadian dengan tempat dilakukannya persidangan yakni pengadilan Hak Asasi
xl
Manusia sangat jauh, sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban
tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka, sehingga para
korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum atau
bantuan hukum. Maka dengan munculnya Undang-Undang ini, korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat diharapkan dapat terlindungi hakhaknya dengan bantuan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan
perlindungan hukum terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sendiri termuat dalam beberapa pasal yakni misalnya mengenai:
1. Pengaturan Tata Cara Pemberian Perlindungan
Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini diatur
dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32. Pasal 29 sendiri mengatur
tentang bagaimana atau tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum
dalam Undang-Undang ini, tata cara korban terutama korban pelanggaran hak
asasi manusia memperoleh perlindungan hukum tersebut antara lain:
a.
b.
c.
Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK.
LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonan perlindungan diajukan.
Setelah LPSK menerima permohonan korban seperti dimaksud dalam
Pasal 29 tersebut maka korban harus menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban yang memuat:
a.
b.
Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan,
Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya.
xli
c.
d.
e.
Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia dalam
perlindungan LPSK,
Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK, dan
Hal-hal yang dianggap perlu oleh LPSK.
Mengenai penandatanganan pernyataan kesediaan dan isi muatan dari
syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban tersebut diatur dalam
Pasal 30 ayat (1) dan (2), kemudian dalam Pasal 31 disebutkan supaya LPSK
wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban,
termasuk
keluarganya,
sejak
ditandatanganinya
pernyataan
kesediaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tersebut.
Tentu saja perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat tidak selamanya akan terus diberikan kepada korban
tersebut, pastilah akan ada suatu saat perlindungan hukum terhadap korban
tersebut berakhir, mengenai penghentian perlindungan hukum tersebut diatur
dalam Pasal 32 yang mengatur misalnya dalam Pasal 32 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa penghentian perlindungan keamanan seorang saksi
dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Pada Pasal 32 ayat (1)
menjelaskan mengenai penghentian perlindungan atas keamanan saksi
dan/atau korban dengan alasan:
a.
b.
c.
d.
Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan
dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri,
Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan
pejabat yang bersangkutan,
Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian, atau
LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan
perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan.
Dalam hal ini, jadi, penghentian perlindungan hukum terhadap korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dikarenakan berbagai alasan
yang disebabkan baik dari pihak korban sendiri yang meminta supaya
dihentikan, atau korban sendiri yang membuat kesalahan melanggar syarat dan
xlii
ketentuan perlindungan korban, serta juga bisa dari inisiatif pihak lain baik
pejabat yang berwenang maupun juga dari LPSK yang menilai bahwa korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah tidak lagi memerlukan
perlindungan hukum.
2. Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan
Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13
tahun 2006 ini misalnya diatur dalam Pasal 33 yang menyebutkan bahwa
bantuan sebagaimana dimaksud yakni bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat atas permintaan tertulis dari korban tersebut ataupun orang yang
mewakilinya kepada LPSK, kemudian dalam Pasal 36 ayat (1) ditegaskan lagi
kemudian dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK
dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang yakni lembaga
pemerintah dan non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang
memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun
tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan
disetujui keberadaannya oleh saksi dan/atau korban.
Contoh instansi terkait yang berwenang yang dapat bekerja sama
dengan LPSK misalnya, lembaga Kepolisian, dalam hal pemberian
perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, Kepolisian dapat berfungsi sebagai pemberi informasi
kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan
pemeriksaan suatu tindak pidana atau pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dialami oleh korban. Selain lembaga Kepolisian yang merupakan
lembaga pemerintah, kerjasama LPSK juga dapat dengan lembaga swadaya
masyarakat (LSM), misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
menangani kasus Trisakti 1998 dan kasus Tanjung Priok pada waktu itu
(Dikdik M.Arief, 2006:171).
xliii
Di dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tersebut di atas, instansi terkait sesuai
dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini,
ketentuan ini seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2).
B.
Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa seorang korban berhak
mendapatkan hak-haknya dalam hal perlindungan hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1)
tersebut mengatur beberapa hak yang diberikan kepada korban, yakni meliputi:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikannya,
Dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa
perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan
korban. Apabila perlu, korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang
dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan.
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan,
d. Mendapat penerjemah
xliv
Hak untuk mendapat penerjemah diberikan kepada korban yang tidak lancar
berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan, hal ini seperti pada apa
yang tertuang dalam penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf d.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus,
Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus juga
mutlak harus diberikan kepada korban tindak pidana karena seperti apa yang
dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) huruf f dalam penjelasannya, seringkali
Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi
dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh
karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus
diberikan kepada korban.
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
Sama halnya dengan hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus,
korban juga berhak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan, seperti halnya hak mendapatkan informasi perkembangan kasus,
hak untuk mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan ini juga
sangat penting bagi korban karena seperti apa yang dijelaskan dalam
penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) huruf g, informasi mengenai putusan
pengadilan ini penting untuk diketahui korban sebagai tanda penghargaan
kesediaan korban dalam proses peradilan tersebut, terlepas dari apakah
terdakwa atau terpidana diputus bersalah atau dibebaskan oleh putusan
xlv
pengadilan, yang terpenting adalah putusan pengadilan tersebut harus
diinformasikan kepada korban suatu perkara tersebut.
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,
Terlebih jika dalam halnya terdakwa maupun terpidana dibebaskan, maka hak
mengetahui dalam halnya terpidana dibebaskan sangat mutlak diberikan atau
diberitahukan kepada korban karena ketakutan korban akan adanya balas
dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila
seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan, ketentuan ini
seperti apa yang tertuang dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf h.
i.
Mendapatkan identitas baru,
Hak bagi korban untuk mendapatkan identitas baru diberikan dalam berbagai
kasus misalnya pada kasus yang menyangkut kejahatan terorganisasi, saksi
dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Maka dalam
kasus-kasus tertentu seperti ini, seperti dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf
i, maka korban dapat diberikan identitas baru.
j.
Mendapatkan tempat kediaman baru,
Selain mendapatkan identitas baru, korban juga berhak mendapatkan tempat
kediaman baru, tempat kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat
tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman bagi korban. Dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf j, juga dijelaskan bahwa tempat kediaman
baru diberikan kepada korban apabila keamanan korban sudah sangat
xlvi
mengkhawatirkan, pemberian tempat kediaman baru pada korban harus
dipertimbangkan agar korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa
ketakutan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j ini, menimbulkan satu pertanyaan yakni
pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang berkewajiban harus
menyediakan tempat tersebut serta juga berapa lamakah korban maupun
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak untuk tinggal di
tempat kediaman baru tersebut serta siapa atau lembaga apa yang akan
menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, hal ini belum jelas
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini khususnya dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf j ini (Dikdik M. Arief, 2006:178).
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan,
Hak memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
diberikan kepada korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk
mendatangi lokasi, maka korban perlu mendapat bantuan biaya dari negara
sesuai dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf k. Lokasi dalam hal ini adalah
lokasi pengadilan ataupun penyidikan dalam halnya keterangan korban
dibutuhkan sebagai alat bukti, akan tetapi korban tidak mampu mendatangi
lokasi maka negara memberikan biaya transportasi kepada korban sehingga
korban mampu mendatangi lokasi tersebut dan mampu juga memberikan
keterangan maupun kesaksian sebagai alat bukti baik dalam hal penyidikan
maupun juga persidangan.
l.
Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau
xlvii
Selain bantuan biaya transportasi dari negara kepada korban untuk mendatangi
lokasi, korban juga berhak untuk mendapatkan nasihat hukum serta
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir. Yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang
dibutuhkan oleh korban apabila diperlukan.
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Yang dimaksud dengan biaya hidup sementara adalah biaya hidup yang sesuai
dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan
sehari-hari. Ketentuan ini terdapat dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf m.
Hak-hak seperti apa yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak
mutlak diberikan kepada semua korban tindak pidana, karena kemudian di dalam
Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksudkan dalam pada ayat
(1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam penjelasan dari Pasal 5 ayat (2)
tersebut yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”,
antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak
pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan
korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Dari apa yang dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut, maka jelas dan
tampak bahwasanya tidak setiap korban secara otomatis berhak mendapatkan
xlviii
perlindungan hukum, korban yang mendapat perlindungan hukum hanyalah
korban yang benar-benar terancam keselamatannya oleh pihak lain selama proses
baik dari pemberian keterangan dan kesaksian dalam penyidikan, peradilan
sampai pada putusan hakim, dan hal ini juga harus sesuai dengan keputusan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu, apakah korban
tersebut benar-benar terancam keselamatannya oleh karena ancaman pihak lain
selama proses penyidikan, peradilan sampai pada putusan pengadilan, jika benar
demikian korban terancam maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dapat memutuskan bahwa korban tersebut berhak mendapat perlindungan
hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 34 ayat (1)
yang berbunyi bahwa LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada
para saksi dan/atau korban.
Pertimbangan LPSK dalam memutus apakah korban dapat diberikan
perlindungan hukum atau tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) tersebut dipertegas kembali di dalam Pasal 28 di mana syarat
pemberian perlindungan dan bantuan dalam rangka perjanjian perlindungan LPSK
terhadap Saksi dan Korban tindak pidana diberikan dengan pertimbangan syarat
antara lain:
a.
b.
c.
d.
sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban
tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan korban
hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban
rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
xlix
Jika dalam halnya korban tidak memenuhi ke-empat pertimbangan syarat
dalam Pasal 28 tersebut maka korban tersebut tidak akan mendapatkan
perlindungan hukum, tetapi jika ke-empat pertimbangan syarat tersebut ada dan
terpenuhi dalam diri seorang korban maka kemudian sesuai aturan Pasal 34 ayat
(2), LPSK menentukan jangka waktu dan besarnya biaya yang diperlukan untuk
memenuhi hak-hak dan perlindungan hukum dari korban yang layak diberi
bantuan tersebut. Jangka waktu dan besarnya biaya perlidungan hukum tersebut
kemudian lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan
Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 ini adalah sebagai peraturan pelaksana dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Berbeda halnya dengan ketentuan di atas, korban dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 ini
mendapatkan “perlakuan” atau pengaturan khusus dibandingkan dengan korban
tindak pidana lain yang harus mendapatkan putusan dari Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan
perlindungan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa korban dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini secara
“otomatis” berhak dan mendapatkan perlindungan hukum.
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara langsung
mendapatkan hak-hak perlindungan perlindungan hukum seperti apa yang
terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang telah dijabarkan di atas tersebut. Ketentuan
l
tersebut dipertegas seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi bahwa
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan
medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain
mendapatkan perlindungan hukum berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial seperti apa yang diatur dalam Pasal 6 tersebut, korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga dapat meminta perlindungan
hukum yang lain selain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial di
atas, yakni korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga tidak
menutup kemungkinan dapat menuntut melalui LPSK sesuai dengan aturan Pasal
7 ayat (1) supaya diberikan adanya perlindungan hukum yang lain berupa hak atas
kompensasi serta juga hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Pada Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini, maka
pada intinya korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat mendapatkan
bentuk perlindungan hukum antara lain bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial yang diatur dalam Pasal 6, kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) juga
diatur di mana korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat juga berhak atas
perlindungan hukum yakni atas hak atas kompensasi serta juga hak atas restitusi
dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
li
Jadi, bentuk-bentuk perlindungan hukum berupa hak-hak terhadap korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban antara lain:
1. Bantuan Rehabilitasi
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam
Pasal 6 disebutkan bahwa bantuan terdiri atas:
a.
Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial
Apa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko sosial di dalam
penjelasan atas Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 6 huruf (b) adalah bantuan
yang diberikan oleh psikologi kepada korban yang menderita trauma atau
masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan
Korban.
b.
Bantuan Medis
Bantuan medis atau pelayanan medis diberikan kepada korban yang
menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang
dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum
atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila
korban hendak melaporkan kejadian kejahatan yang menimpanya ke
aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti. (Dikdik M. Arief, 2006:171).
Pemberian bantuan, baik bantuan medis maupun
bantuan
rehabilitasi
psiko-sosial
diberikan
berdasarkan atas keterangan dokter, psikiater,
psikolog,
rumah
sakit
dan/atau
pusat
kesehatan/rehabilitasi. Misalnya penberian bantuan
dalam bentuk konseling, pemberian bantuan bentuk
lii
konseling ini sangat tepat diberikan kepada atau
untuk korban pelanggaran hak asasi manuisa yang
berat khususnya jika korbannya adalah wanita yang
mengalami perkosaan, penghamilan secara paksa,
pelacuran secara paksa, tindakan asusila ataupun
perbudakan
seksual
yang
tentu
saja
pasti
menimbulkan trauma berkepanjangan bagi wanita
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
tersebut, sehingga layaklah bila ia mendapat
perlindungan hukum dengan pemberian bantuan
dengan cara bantuan konseling. Jangka waktu
pemberian Bantuan tersebut dapat diperpanjang atau
dihentikan setelah mendenganr keterangan dokter,
psikiater atau psikolog.
2. Kompensasi
Kompensasi sendiri merupakan kewajiban yang harus dibayarkan
dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti
perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan,
pendidikan dan tanah. (Andrey Sujatmoko, 2005: 87). Dalam pengaturan
hukum di Indonesia kompensasi diatur diantaranya di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas
Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku
liii
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.
Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK
berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kemudian berdasarkan Pasal 7 ayat
(3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur
dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini
adalah Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan
Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang nomor 13
Tahun 2006 tersebut.
3. Restitusi
Sementara Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik
atau pembayaran atas kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biayabiaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh
pelakunya sendiri. (Andrey Sujatmoko,2005: 87). Restitusi haruslah diberikan
untuk menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban
sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi
mengharuskan antara lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau
tempat tinggal, lapangan kerja atau hak milik (R. Wiyono,2006:87-88). Dalam
pengaturan hukum di Indonesia restitusi diatur diantaranya di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta dalam penjelasan atas
Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam Pasal 35, yang kesemuanya berbunyi bahwa yang dimaksud dengan
restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau
Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
liv
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini tercantum dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b di mana ditegaskan bahwa korban melalui LPSK berhak
mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang
menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Sama halnya dengan
kompensansi, restitusi juga diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan Kepada Saksi dan Korban, ketentuan ini berdasarkan Pasal 7 ayat (3)
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan
Peraturan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan
Korban, Peraturan Pemerintah ini sebagai peraturan pelaksana dari UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tersebut.
Dalam Undang-Undang ini tersirat adanya suatu kelemahan yakni belum
diaturnya secara khusus mengenai badan atau lembaga yang mengatur masalah
pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasinya. Misalnya mengenai
pemberian kompensasi, dapat dilihat juga dalam kenyataan bahwa di Indonesia
sampai sekarang ini belum ada suatu lembaga yang secara khusus mengatur dan
menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan maupun
terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti apa yang telah
dilakukan di beberapa negara maju, misalnya di Amerika Serikat ada suatu
lembaga yang bernama The Crime’s Victims Compensation Board. Lembaga ini
dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan
berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan dan
sebagainya. Adanya lembaga semacam The Crime’s Victims Compensation Board
sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang
menderita kerugian finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu
membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini misalnya dalam hal pemberian restitusi oleh
pelaku tindak pidana (Dikdik M.Arief, 2006:168).
lv
Pengertian restitusi dan kompensasi sendiri merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut
Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih
bersifat keperdataan dan timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh
masyarakat atau yang merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau
negara (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat ke pidana
yang timbul dari putusan hakim pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana
yang merupakan wujud pertanggungjawaban dari si terpidana (the responsible of
the offender) ( Dikdik M. Arief, 2006 : 167).
Pembuat kejahatan dapat diberikan tanggung jawab terhadap semua
kerugian dan penderitaan korban baik fisik maupun moral melalui pemberian
restitusi, namun apabila tidak tersedia atau tidak mencukupi, baru dipenuhi
dengan kompensasi dari negara dan/atau bantuan dari lembaga sosial lain
(Iswanto,2002:6). Dapat dikatakan juga bahwa dengan demikian kompensasi baru
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh negara, jika pelaku tidak mampu
memberikan sepenuhnya restitusi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi terdapat
keterkaitan antara pemberian restitusi dengan kompensasi (R. Wiyono, 2006:88).
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikaji, penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
lvi
1. Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yakni:
a.
Pengaturan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini
menurut
analisa penulis,
mempunyai beberapa kelebihan dalam
pengaturannya daripada Undang-Undang sebelumnya yang juga mengatur
tentang perlindungan hukum terhadap korban, yakni:
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini sudah mengatur dengan
jelas tentang siapa yang berhak menerima bantuan hukum dengan
pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi yakni korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui LPSK.
2) Lewat Undang-Undang ini, korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dapat mengajukan kompensasi, restitusi maupun bantuan
rehabilitasi dengan cara-cara atau prosedur yang telah diatur dengan
jelas dalam Undang-Undang ini.
b.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, pengaturan
perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat terbagi dalam dua pengaturan yakni:
57 Perlindungan
1) Pengaturan Tata Cara Pemberian
Pengaturan tata cara pemberian perlindungan kepada korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang ini
diatur dalam pasal 29, pasal 30, pasal 31 dan pasal 32.
2) Pengaturan Tata Cara Pemberian Bantuan
Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang
lvii
nomor 13 tahun 2006 diatur dalam beberapa pasal yakni pasal 33 dan
pasal 36.
2. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
a.
Dalam pasal 5 ayat (1) mengatur beberapa hak dan perlindungan yang
diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni
meliputi:
n.
Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya,
o. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan.
p. Memberikan keterangan tanpa tekanan,
q. Mendapat penerjemah
r. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
s. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus,
t. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
u. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,
v. Mendapatkan identitas baru,
w. Mendapatkan tempat kediaman baru,
x. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan,
y. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau
z. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
i.
Selain mendapatkan hak dan perlindungan hukum seperti pada pasal 5
ayat (1) tersebut, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
juga berhak untuk mendapatkan bentuk-bentuk hak dan perlindungan
hukum yang lain dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut
yakni:
1.
Bantuan
lviii
Menurut
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 6 disebutkan bahwa
bantuan terdiri atas:
a.
b.
i.
Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial
Bantuan Medis
Kompensasi
Pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini
tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf a.
ii.
Restitusi
Pemberian restitusi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini
tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf b.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan maka penulis merasa
perlu untuk memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya
dalam pasal 5 ayat (1) huruf j tersebut harus ditambah lagi pengaturan tentang
siapa atau lembaga mana yang berkewajiban menyediakan tempat kediaman
baru dan menanggung semua biaya tempat kediaman baru tersebut, tempat
kediaman baru di sini dimaksudkan adalah tempat tertentu yang bersifat
sementara dan dianggap aman bagi korban dan diberikan kepada korban
apabila keamanan korban sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak ada
kerancuan dalam hal lembaga mana yang berwenang memberikan tempat
kediaman baru dan biaya bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
lix
berat. Serta juga mengenai berapa lama korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak tinggal ditempat kediaman baru tersebut harus ditambahkan
dalam Undang-Undang ini.
2. Dalam Undang-Undang ini juga harus diatur mengenai lembaga mana yang
berkewajiban khusus memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga terdapat
kejelasan dalam pengaturan hukumnya mengenai instansi terkait mana yang
berkewajiban memberikan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A. Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) &
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM).
Bogor: Ghalia Indonesia.
Andrey Sujatmoko.2005.Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM:
Indonesia, Timor Leste dan Lainnya.Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana.
Arif Gosita.2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer.
C. S.T Kansil.1989. Pengantar Imu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.
E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru.
H. Iswanto. 2002. Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat
Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan. Purwokerto: -.
lx
Indriyanto Seno Adji. 2009. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum.
Jakarta:PT Kompas Media Nusantara.
Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi.
Denpasar: Djambatan.
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Mardjono Reksodiputro.1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta:LKUI.
Mashood A. Baderin. 2007. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum
Islam. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
___________________. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
R. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Bunga Rampai Pemikiran Hukum di Indonesia.
Jogjakarta : FH UII Press.
St. Harum Pudjianto. 1999. Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan
Implementasinya Dalam Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
lxi
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Website :
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM. Perlindungan Saksi dan
Korban
Pelanggaran
HAM
Berat.
http://www.prakarsarakyat.org/download/HAM/Kampanye%20ELSAM%20RUU%20Perlindu
ngan%20Saksi%202.pdf (23 Desember 2009, Pukul 23.00)
Tempo Interaktif. Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa
Soeharto.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/01/23/brk,2004012316,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00)
Tempo
Interaktif.
Pelanggaran
HAM
Pada
Kasus
Ahmadiyah.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/01/25/brk,2007012591968,id.html (28 September 2009, Pukul 11.00)
Jurnal
Agus Yulianto. 2009. “HAM Dalam Berbagai Perspektif”. Mediasi. Edisi 8,
Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi HAM Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
I Made Subamia. 2009. “Hak Atas Informasi Sebagai Hak Asasi Manusia”.
Mediasi. Edisi 8, Volume 1, Maret 2009. Jakarta : Direktorat Informasi
lxii
HAM Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Routledge. 2010. “Democracy in Africa Conference”. Volume 14.
Yosep Adi Prasetyo. 2009. “Ekonomisasi HAM”. Suar. Nomor 1 Tahun 2009.
Jakarta:Unit Penerbit Komnas HAM.
lxiii
Download