BAB II TINJAUAN PUSTAKA Prestasi yang baik dalam bidang akademik akan berdampak ketika individu berada dalam lingkungan yang membentuknya. Untuk itu, dalam diri setiap individu diharapkan dapat memiliki kecerdasan emosional yang membentuk pengelolaan diri, motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan dukungan sosial yang dapat menghasilkan prestasi belajar mahasiswa. Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teoritis yang terdiri dari definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang memengaruhi dan hasil penelitian dari masing-masing variabel. 2.1 Prestasi Belajar 2.1.1 Definisi Prestasi Belajar Belajar merupakan kegiatan yang paling pokok yang wajib dilakukan oleh siswa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan banyak bergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa tersebut. Slameto (2003) menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamatan individu lingkungannya. itu sendiri dalam interkasi dengan Santrock (2006) dalam bukunya “Education Pshychology”, mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang bersifat tetap yang sedang berlangsung menyangkut perilaku, pengetahuan, cara berpikir, tentang perubahan yang terjadi. Melalui proses belajar dapat diperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan oleh individu guna mencapai cita-cita. Menurut Hilgard & Bower (1987) belajar adalah suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku karena adanya reaksi terhadap suatu situasi atau karena proses yang terjadi secara internal di dalam diri seseorang. Perubahan tersebut tidak terjadi karena adanya respons secara alamiah, kedewasaan atau keadaan organism yang bersifat temporer (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya). Oleh karena itu prestasi belajar bukan ukuran, tetapi dapat diukur setelah melakukan kegiatan belajar. Keberhasilan seseorang dalam mengikuti program pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar orang tersebut (Bustalin, 2004). Prestasi Dalam kamus Bahasa Indonesia (2002), diartikan sebagai pengenalan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan guru. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sulistari (2003), bahwa prestasi merupakan hasil dari penguasaan pengetahuan dan atau keterampilan yang diperoleh melalui kegiatan belajar yang dinyatakan dengan angka atau nilai. Pada suatu kesempatan, Winkell (1996) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian terhadap usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, dan kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh siswa dalam periode tertentu. Tu’u (2004) mengemukakan bahwa belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Menurut Poerwodarminto (dalam Puspitasari, 2013) prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang, sedangkan prestasi belajar adalah prestasi yang dicapai seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Lebih lanjut Puspitasari (2013) mengatakan bahwa prestasi selalu dihubungkan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau aktivitas. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi belajar mahasiswa merupakan output dari proses belajar. Selanjutnya Arikunto (1993) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah suatu angka yang mencerminkan sejauh mana siswa (mahasiswa) dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setiap jenjang studi. Winkell (1996), juga mengatakan bahwa prestasi adalah bukti usaha yang didapat atau dicapai siswa setelah melalui proses belajar di sekolah. Hasil kegiatan tersebut merupakan perubahan berupa pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap. Sejalan dengan itu, Koster (2001) menyatakan bahwa prestasi siswa adalah pencapaian siswa setelah mengalami proses belajar yang terwujud dalam bentuk pengetahuan (kognitif) maupun konsep diri (afektif) serta ketrampilan tertentu (psikomotorik) seperti persepsi, respon siswa, dan adaptasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dikatakan bahwa prestasi belajar adalah pencapaian seseorang setelah mempelajari materi pelajaran dalam satu kurun waktu tertentu yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta konatif yang ditunjukkan dengan nilai tes (ujian) atau angka nilai yang diberikan oleh guru berdasarkan hasil belajar/IPK mahasiswa. Dalam penelitian ini penulis hanya akan melihat aspek kognitif yang dinyatakan dalam indeks prestasi komulatif (IPK). 2.1.2 Teori Prestasi belajar Pada kesempatan berbeda, Bloom (1956) secara garis besar memaknai prestasi belajar menjadi tiga aspek: 1. Ranah Kognitif, berkenan dengan hasil belajar intelektual yang meliputi aspek-aspek pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ingatan dan pemahaman disebut kognitif tingkat rendah sedangkan aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi disebut kognitif tingkat tinggi. 2. Ranah Afektif, berkenan dengan sikap yang meliputi aspekaspek penerimaan, tanggapan, berkeyakinan, organisasi dan internalisasi. 3. Ranah Psikomotorik, berkenan dengan keterampilan dan kemampuan bertindak meliputi aspek-aspek gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan dan gerakan keterampilan kompleks. Sementara Good (dalam Rironggo, 2013) mengatakan bahwa prestasi belajar dalam hal ini berupa pengetahuan yang dicapai dalam hal ini berupa pengetahuan yang dicapai atau keterampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran di sekolah. Adapun pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan tersebut meliputi: 1) bagian kognitif, seperti informasi dan pengetahuan, konsep dan prinsip, pemecahan masalah dan kreativitas, 2) Bagian afektif, seperti perasaan, sikap, nilai dan integrasi pribadi, dan 3) bagian psikomotorik. Nasution (1994) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan berbuat. Menurutnya, prestasi belajar seorang peserta didik dikatakan sempurna jika memenuhi tiga aspek yaitu: 1. Aspek Kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan dengan kegiatan berpikir. Aspek ini sangat berkaitan erat dengan tingkat intelegensi (IQ) atau kemampuan berpikir peserta didik. Sejak dahulu aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan formal. Hal itu dapat dilihat dari metode penilaian pada sekolah-sekolah dewasa ini sangat mengedepankan kesempurnaan pada aspek kognitif. 2. Aspek Afektif. Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan nilai dan sikap. Penilaian pada aspek ini dapat terlihat pada kedisiplinan, sikap hormat terhadap guru, kepatuhan dan lain sebagainya. Aspek afektif berkaitan erat dengan kecerdasan emosi (EQ) peserta didik. 3. Aspek Psikomotorik. Aspek psikomotorik menurut kamus besar bahasa indonesia adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi sikap mental. Jadi sederhananya aspek ini menunjukkan kemampuan atau keterampilan (skill) peserta didik setelah menerima sebuah pengetahuan. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki prestasi belajar tinggi harus memiliki tiga aspek utama yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Masingmasing hal tersebut memiliki fungsi tersendiri dalam membentuk individu dalam mencapai prestasi belajar yang maksimal. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat aspek kognitif yang dinyatakan dalam indeks prestasi komulatif (IPK). 2.1.3 Pengukuran Prestasi Belajar Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan. Wahyuningsih (2014), megatakan bahwa menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah dan dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Hal ini didukung oleh Suryabrata (2002), mengatakan bahwa bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil selama masa tertentu. Selanjutnya, Syah (2010) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil belajar merupakan deskripsi siswa yang ditunjukan melalui simbol atau angka dari evaluasi prestasi kognitif, evaluasi prestasi afektif, dan evaluasi prestasi psikomotorik. Sedangkan, Sunarsih (2009) mengatakan bahwa untuk mengetahui prestasi belajar mahasiswa dapat terlihat dari proses belajar mahasiswa dalam menguasai materi pelajaran berdasarkan IPK mahasiswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dimiliki mahasiswa harus harus dilihat dari tiga aspek yaitu aspek kogitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian dituangkan sebagai nilai dalam bentuk angka pada laporan hasil belajar melalui penilaian akhir belajar. Dalam penelitian ini, penulis mengunakan hasil belajar atau IPK mahasiswa (Sunarsih, 2009). 2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar Belajar di sekolah merupakan suatu produksi dengan berbagai tahapan di mana setiap tahapan akan menghasilkan suatu produk dengan berbagai ciri dan kualitas yang memengaruhi hasil dan tahapan berikutnya. Keefektifan proses belajar di sekolah dijadikan tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran. Hasil dari usaha inilah yang lazimnya disebut prestasi belajar. Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak faktor yang perlu diperhatikan karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi tetapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya. Purmaningtyas (2012) mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut: a. Faktor internal (dari dalam siswa), yaitu faktor fisiologis meliputi keadaan jasmani dan faktor psikologis yang meliputi kecerdasan baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional, kecakapan, bakat, minat, motivasi, perhatian dan kematangan. b. Faktor eksternal (dari luar individu), yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dalam suatu kesempatan, Suryabrata (2002) menyebutkan faktor yang memengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut: a. Faktor dari dalam individu, meliputi: 1) Faktor biologis, yang kematangan fisik, kesehatan badan, kualitas makanan dan fungsi panca indera. 2) Faktor psikologis yaitu minat, rasa aman, dan motivasi, pengalaman masa lampau, dan kecerdasan. b. 1) Faktor dari luar individu meliputi: Faktor non sosial yaitu faktor belajar, cuaca, tempat, dan fasilitas. 2) Faktor sosial yaitu pribadi guru yang mengatur sikap orang tua terhadap anaknya yang sedang belajar, situasi pergaulan dengan teman sebaya Sedangkan Surya & Amir (dalam Supeno, 2004) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi prestasi belajar siswa ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. a. Faktor internal, terdiri dari: 1) Faktor jasmaniah (fisologis) baik bersifat bawaan maupun diperoleh yang terdiri atas penginderaan, pendengaran, dan strukutur tubuh. 2) Faktor psikologis yang berasal dari bawaan maupun yang diperoleh, terdiri atas faktor intelektual maupun potensi kecerdasan, bakat, kecakapan, diam, tertutup seperti sikap kebiasaan, kebutuhan motivasi, emosi dan penyesuaian dari faktor kematangan. b. 1) Faktor Eksternal, terdiri dari: Faktor Sosial yang terdiri atas lingkungan yaitu orang tua, kakak, adik, lingkungan sekolah yaitu guru dan teman di sekolah, lingkungan masyarakatnya yaitu tetangga, kelompok yaitu teman di sekolah dan teman bermain. 2) Budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan tekonolgi dan kesenian. 3) 1.2 Lingkungan fisik seperti fasilitas belajar, iklim atau cuaca. Kecerdasan Emosional 1.2.1 Definisi Kecerdasan Emosional Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emotus atau emover yang berarti mencerca atau menggerakan yaitu sesuatu yang mendorong dalam diri individu (Chaplin, 2001). Dalam kamus lengkap psikologi (Kartono & Gulo, 2003), emosi adalah tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam tubuh misalnya otot-otot yang menegang, debaran jantung yang cepat dan sebagainya. Istilah kecerdasaan emosional pertama kali dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 2005) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional, kualitas-kualitas tersebut antara lain: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, penyesuaian diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawan, keramahan, dan sikap hormat. Goleman (2003), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan seseorang yang di dalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan need impulsive dan dorongan hati, atau melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, maupun mengatur, menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan kemampuan untuk berempati kepada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Pernyataan tersebut dijelaskan secara singkat oleh Goleman dalam bukunya “The Emotionally Intelligent Workplace” (2001, h. 27), ada ungkapan yang mengatakan bahwa “frame work of emotional intelligence (EI) that reflect how individual’s potenstial for mastering the skill of SelfAwareness, Self Management, Social Awareness, and Relationship Manajement”. Kerangka kecerdasan emosional (EI) mencerminkan bagaimana potensi individu untuk menguasai keterampilan kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan relasi. Salovey & Meyer (1990), mengatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memonitor sendiri dan orang lain perasaan seseorang dan emosi, untuk membedakan antara individu dan menggunakan informasi, untuk membimbing berfikir dan tindakan seseorang. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang diekpresikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosional adalah sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan diri, semangat, dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kemudian Salovey & Mayer (dalam Stein & Book, 2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya, mengendalikan perasaan secara mendalam dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan. Bar-on (Stein & Book, 2002) juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan non kecakapan. Goleman (dalam Joy, 2011) secara singkat menjelaskan bahwa kecerdasan emosional menekankan pada kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan relasi. Dalam suatu kesempatan, Salovey (dalam Bradshaw, 2008) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “jenis sosial kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk memonitor pemikiran dan tindakan sendiri”. Selanjutnya Goleman (dalam Cartwright & Salloway, 2007) mengatakan kecerdasan emsoional adalah kapasitas untuk mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri kita sendiri dan hubungan dengan orang lain. Goleman (dalam Rao, 2012) mengatakan bahwa kecerdasan emosional meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan relasi. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menciptakan keselarasan emosi diri sendiri dan orang lain untuk menumbuhkan dan mengembangkan kualitas hubungan melalui kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan relasi. 1.2.2 Teori Kecerdasan Emosional Teori kecerdasan emosional dari Goleman mengatakan kecerdasan emosional adalah deskripsi karakter individu yang luas dan mencakup kemampuan untuk memotivasi dirimu untuk bertahan dalam menghadapi frustasi, untuk mengendalikan perasaan, untuk menunda pemenuhan kepuasan, untuk mengatur suasana hati, untuk menjaga distress dari kemampuan jntuk berpikir, untuk berempati, dan berharap. Di sisi lain, kecerdasan emosional dapat tercermin dalam atau disamakan dengan perasaan antusias, untuk menjadi cerdas secara sosial, keseluruhan memiliki karakter yang baik (dalam Ciarrochi, Forgas dan Mayer, 2006). Teori kecerdasan emosional Bar-On (dalam Ciarrochi et al. 2006) adalah mengenai model kecerdasan emosional-sosial, menurut Bar-On sudut pandang kecerdasan emosional-sosial adalah penampangan kompetensi emosional dan sosial yang salikng terkait, keterampilan dan fasilitator yang menentukan seberapa efektif individu memahami dan mengekspresikan diri, memahami orang lain dan berhubungan dengan mereka, dan menghadapi tuntutan seharihari. Model Bar-on mendefenisikan konstruk kecerdasan emosional- sosial yang dibentuk oleh bagian sifat lintas emosional yang saling terkait kepribadian yang mapan berinteraksi bersama dalam individu. Salovey & Meyer (dalam Pablo & Natalio, 2006) mengatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari aspek-aspek yang melibatkan kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi; kemampuan untuk mengakses pikiran dan perasaan; kemampuan untuk memahami emosi dan kemampuan untuk mengatur emosi untuk mempromosikan emosional dan pertumbuhan intelektual. Goleman (dalam Rao, 2012) mengemukakan kecerdasan emosional dalam beberapa aspek yaitu: 1. Kesadaran diri adalah kompetensi pribadi yang menentukan bagaimana kita mengelola diri kita sendiri. Ia tahu orangorang negara internal, kinerja, sumber daya dan niat. Kesadaran diri berarti mengakui perasaan seperti yang terjadi. Kesadaran diri meliputi kesadaran emosional, penilaian diri yang akurat penilaian kepercayaan diri. 2. Pengaturan diri berarti kemampuan untuk mengelola emosi dan dorongan seseorang. Hal ini mencakup pengendalian diri, kemampuan menyesuaikan diri, inisiatif, dan optimisme. 3. Kesadaran sosial. Ini adalah keterampilan yang mencakup empati, mengembangkan orang lain, orientasi pelayanan. 4. Pengelolaan relasi. Hal ini mengacu pada keterampilan sosial atau penanganan hubungan. Ini meliputi pengaruh, komunikasi, pengelolaan konflik, katalisator perubahan, dan kerjasama dalam tim. Tridhonto (dalam Ari, 2010) mengatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Aspek kecakapan pribadi, meliputi kemampuan untuk mengelola diri sendiri. b. Aspek kecakapan sosial, meliputi kemampuan menangani suatu hubungan. c. Aspek keterampilan sosial, meliputi kemampuan menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menggunakan aspek Goleman (dalam Rao, 2012) yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan emosi karena lebih terperinci dibandingkan dengan aspek-aspek yang dikemukakan dari lainnya. Dimana kecerdasan emosional dalam hal ini adalah bagaimana seseorang mampu merasakan emosi diri sendiri dan orang lain, lalu mengekpresikan emosi tersebut dengan menahan dan menilai emosional tersebut untuk kepentingan pertumbuhan pribadi. 2.3 Dukungan Sosial Teman Sebaya 2.3.1 Definisi Dukungan Sosial Kehidupan siswa memiliki hubungan dengan dukungan sosial dari orang lain dan hal tersebut memberikan peran penting bagi perkembangan kepribadian mereka. Menurut Leavy (dalam Haprasi, 2007), dukungan sosial dapat diartikan sebagai tersedianya hubungan yang didalamnya terkandung isi pemberian bentuk dan hubungan tersebut memiliki nilai khusus. Pada suatu kesempatan, Baron & Bryne (2005) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan kenyamanan seseorang secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman atau anggota keluarga. Smett (1994) mengatakan dukungan Sosial merupakan salah satu bentuk ikatan secara sosial yang menggambarkan kualitas dari hubungan interpersonal, yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan penghargaan atau penilaian, dukungan informatif, dan dukungan instrumental. Sarafino (1990) menyatakan dukungan sosial merupakan faktor sosial luar individu yang dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi stress akibat konflik. Dengan adanya dukungan sosial individu dapat merasakan perasaan nyaman, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain. Seseorang yang mendapat dukungan sosial yang tinggi akan memiliki banyak pengalaman positif dan pandangan yang optimis terhadap kehidupannya. Adanya dukungan membuatnya yakin pada kemampuan yang dimiliki sehingga dapat mengendalikan situasi di manapun ia berada. Pada suatu pernyataan, House (dalam LaRocco & Fitzgeral, 2010) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah aliran perhatian emosional, bantuan instrumental, informasi, dan atau penilaian antara orang-orang. Ia juga mendirikan konsep dukungan sosial sebagai hubungan antar pribadi yang dukungan tersebut mungkin akan efektif hanya sebatas hal itu dirasakan. Taylor (2004), mengatakan bahwa dukungan sosial didefinisikan sebagai persepsi atau pengalaman yang satu dicintai dan dirawat, terhormat dan dihargai, dan bagian dari jaringan sosial bantuan dan kewajiban bersama. Kim, Sherman & Taylor (2008) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah fenomena di mana-mana dalam hidup sehari sehari-hari orang berbicara tentang kebutuhan mereka untuk dukungan dengan dekat orang lain. Kemudian House (dalam Cocke, 2008), mengatakan secara umum dukungan yang diberikan oleh orang lain dan muncul dalam konteks hubungan interpersonal (dan sebagai diakses sosial dengan individu melalui ikatan sosial dengan individu lain, kelompok, dan yang lebih besar masyarakat. Secara eksplisit juga Cooke menggariskan jenis perilaku yang mendukung atau tindakan dianggap sebagai bentuk potensi dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan penghargaan. Sementara itu, Heaney & Israel (dalam Gordon, 2011) mengidentifikasi empat jenis dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penilaian. Sejalan dengan itu Malecki, Demary, & Elliot (dalam Gordon, 2011), juga mengatakan bahwa dukungan sosial meliputi dukungan emosional, informasi, dukungan penilaian, dan dukungan instrumental. Malecki & Demaray (2002) menggambarkan dukungan sosial sebagai “dukungan umum atau perilaku dukungan spesifik individu dari orang-orang tertentu dalam jaringan sosial, yang meningkatkan fungsi mereka dan/atau menahan mereka dari hasil penderitaan/kemalangan”. Pada dasarnya, Gibson (dalam Kusumawati, 2008) mendefenisikan dukungan sosial sebagai suatu kesenangan, bantuan atau ketenangan yang diterima oleh seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan orang lain atau kelompok. Selanjutnya Wellman (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa dukungan sosial hanya dapat dipahami jika orang tersebut tahu tentang struktur jaringan sosial dan menjadi anggotanya. Hal ini mengandung pengertian bahwa dukungan sosial adalah sebagai perasaan sosial dasar yang dibutuhkan terus-menerus, dipuaskan dalam interaksi dengan orang lain, namun tidak semua jaringan sosial yang ditemui selalu ada dukungan sosial. Ditambahkan oleh Smet (1994), bahwa dukungan sosial merupakan suatu bentuk perhatian, penghargaan atau pertolongan yang diterima individu lain atau kelompoknya. Informasi tersebut diperoleh dari pola hubungan keluarga, guru, teman sebaya, kelompok atau organisasi. Selanjutnya, Tardy (dalam Flaspohler et al., 2009) mengatakan dalam konteks sekolah, guru dan teman sebaya cenderung merupakan bagian yang penting dari jaringan sosial anak yang menyediakan bentuk dukungan yang bermacam-macam, termasuk dukungan emosi, motivasi, instrumental, dan informasi. Cutrona (dalam McGrath et al., 2009) mengusulkan definisi ringkas dari dukungan sosial sebagai “semua aksi atau tindakan yang menunjukkan responsivitas bagi kebutuhan orang lain”. Dari beberapa defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu pemberian dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. 2.3.2 Definisi Teman Sebaya Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Salah salah fungsi teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. (Santrock, 2007). Menurut Monks (1994) menyatakan bahwa berinteraksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan persahabatan yang bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut: adanya saling pengertian, saling percaya dan menghargai. Selanjutnya, Mappiare (1982) mengemukakan juga bahwa awalnya seseorang secara bertahap akan meninggalkan rumah dan beragaul secara luas dengan lingkungan sosialnya, setelah pergaulannya meluas, maka akan terbentuklah kelompok teman sebaya sebagai wadah penyesuaian. Kesempatan yang lain, Duncan, et al. (dalam Robbins et al., 2008) Dukungan sosial yang diberikan teman sebaya merupakan salah satu dukungan penting yang dibutuhkan oleh remaja dalam masa-masa perkembangannya. Teman menyediakan sumber jaringan sebagai anggota atau bagian dalam suatu tim. Mead, Hilton & Curtis (dalam Solomon, 2004) telah jauh meneliti dukungan teman sebaya dan menyatakan bahwa dukungan teman sebaya merupakan sistem memberi dan menerima bantuan yang dibangun berdasar prinsipprinsip kunci yang meliputi rasa hormat, berbagi tanggung jawab, dan persetujuan yang sama mengenai apa itu menolong. Teman sebaya menyediakan fungsi-fungsi penting selama masa remaja. Misalnya melalui pengidentifikasian diri dengan teman sebaya, remaja mulai membangun penilaian dan pandangan moral mereka (Bishop & Inderbitzen dalam Gentry & Campbell, 2002). Pada saat yang sama juga menyediakan sumber-sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga dan juga mengenai diri mereka sendiri (Santrock dalam Gentry & Campbell, 2002), serta sebagai penguatan yang positif, memberikan status, penghargaan dan penerimaan diri. Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa teman sebaya merupakan suatu bentuk kelompok teman yang memiliki tingkat kematangan yang kurang lebih sama, bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat adanya saling pengertian, saling percaya dan menghargai yang diterima dari teman sebayanya, yang meliputi dukungan emosional, instrumental, penilaian, dan informasi. 2.3.3 Teori Dukungan sosial Teman Sebaya House (dalam Smett, 1994) serta Malecky & Demmary (2002), mengemukakan dukungan sosial teman sebaya dalam empat aspek yaitu: a. Dukungan emosional yang mencakup ungkapan simpati, kepedulian, dan perhatian, serta adanya kepercayaan untuk mendengarkan orang yang bersangkutan. b. Dukungan penghargaan yang terjadi melalui ungkapan hormat dari orang lain, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau persamaan individu yang positif dengan orang lain. c. Dukungan informatif yang merupakan dukungan secara tidak langsung terhadap individu dalam bentuk pemberian informasi yang dibutuhkan ataupun nasehat-nasehat yang berguna bagi individu tersebut. d. Dukungan instrumental yang mencakup bantuan secara langsung. Misalnya memberikan sarana yang memiliki tujuan positif seperti uang, benda atau pekerjaan. House (dalam LaRocco & Fitzgeral, 2010), mengatakan aspek-aspek dukungan Sosial, yaitu: a. Emosional yang mencakup menunjukkan kepedulian, empati, dan kepercayaan b. Informasi yang mencakup pemberian saran, fakta atau pengetahuan lain yang orang dapat digunakan untuk memecahkan masalah pribadi atau lingkungan. c. Instrumental yang mencakup pemberian bantuan nyata langsung seperti bahan, uang, atau waktu seseorang. d. Penilaian yang mencakup upaya mengevaluasi upaya dan keberhasilan baik secara formal dan informal. Cohen & Wills (1985) membedakan antara empat tipe dukungan, esteem support (didefinisikan sebagai penyediaan informasi dan sikap yang mengindikasikan keberhargaan dari seseorang), informational support (didefinisikan sebagai menyediakan bantuan dalam mengartikan dan mengatasi masalah dari suatu peristiwa), social companionship (yang melibatkan availabilitas seseorang yang mana seseorang bisa berpartisipasi dalam aktivitas luang dan aktivitas sosial, seperti perjalanan bersama atau pesta, aktivitas-aktivitas kebudayaan, misalnya pergi nonton atau ke museum, aktivitas rekreasi, seperti berolahraga atau hiking), dan instrumental support (merupakan dukungan yang berfokus pada masalah, dalam hal ini bukan hanya informasi yang diberikan, namun juga tindakan nyata dalam menyelesaikan suatu masalah atau peristiwa). Ritter (dalam Kusumawati, 2008) menyatakan bahwa dukungan sosial diklasifikasikan menjadi 2 aspek yaitu: a. Aspek strukural, yaitu hubungan sosial individu seperti status perkawinan dan banyaknya teman. Dukungan ini mencakup pengaturan hidup, frekuensi saling kontak, partisipasi dalam aktivitas sosial dan jariangan sosial. b. Aspek fungsional, meliputi kualitas hubungan individu, misalnya keyakinan bahwa dirinya mempunyai teman dekat yang siap membantu saat dibutuhkan. Aspek ini mencakup dukungan emosi, dukungan semangat, dukungan nasehat, informasi, dan bantual material. Berikut ini, Tardy (dalam del Valle et al., 2010) menekankan kompleksitas konsep dukungan sosial dari sudut pandang pengukuran (measurement), mengidentifikasi lima dimensi dukungan sosial, antara lain : a. Arahan, dukungan yang diberikan atau diterima b. Disposisi, ketersediaan (ada) atau dibuat-buat. c. Deskripsi atau penilaian, dukungan sosial yang secara sederhana digambarkan atau dinilai dalam cara tertentu. d. Isi, meliputi dukungan emosional, informasional, atau penilaian. e. Jaringan, orang tua, guru, teman sebaya, dsb. instrumental, Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka penulis memilih ciri/aspek yang dikemukakan oleh House (dalam Smett, 2004) serta Malecky & Demmary (2002) yang terdiri dari dukungan sosial, dukungan penilaian, dukungan informasi, dan dukungan instrumental dengan alasan bahwa aspek-aspek tersebut bisa mencakup keseluruhan dukungan yang dibutuhkan oleh mahasiswa. 2.4 Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya 2.4.1 Kecerdasan Emosional dan Prestasi Belajar Dalam kaitan dengan prestasi belajar, kecerdasan emosional memainkan peranan yang sangat penting dan mewarnai kehidupan siswa dalam meraih prestasi yang memuaskan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Epstein dan Le Doux (dalam Nwadinigwe, 2010) pada 156 siswa Menengah Atas di Lagos, Nigeria menunjukkan ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar (p < 0.05). Cherniss (dalam Nwadinigwe & Obieke, 2010) menyatakan pentingnya kecerdasan emosional yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan psikologis dalam prestasi di sekolah. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Azizi, dkk (2012) menunjukkan bahwa signifikan hubungan antara kesadaran diri (r = 0,21), manajemen emosional (r = 0,21) dan empati (r = 0,21) pada tingkat p <0,05 dengan prestasi akademik. Penelitian lain juga dilakukan oleh Mishra (2012) menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Kelemahan emosional menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik dan mental yang secara langsung berdampak pada prestasi belajar. Menurutnya, pendidikan menyampaikan informasi dan pengetahuan untuk daerah tertentu yang berorientasi karir. Aspek emosional yang kurang dalam sistem pendidikan akan menyebabkan prestasi belajar yang buruk. Oleh karena itu mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik menjadi salah satu yang penting. Maria (2004) juga dalam penelitiannya menunjukan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Mishra (2012), terhadap 100 siswa menegah atas di Jaipur menyatakan ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dnegan prestasi belajar. Hal senada juga diungkapkan oleh Preeti (2013) terhadap 200 siswa di berbagai sekolah di India. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan positif signifikan antara kecerdasan emosioal dengan prestasi belajar. Wahyuningsih (2004), dalam penelitiannya juga menemukan adanya hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar biologi siswa kelas II SMA negeri Pamulung. Sejalan dengan itu, Bahtiar (2009), juga menemukan adanya hasil positif pada penelitiannya tentang hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi dengan signifikansi nilai 0.002 (p<005). Selanjutnya, Guna (2012) dalam penelitiannya di SMA Negeri 3 salatiga mengunakan rank sperman nonparametik uji korelasi menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. 2.4.2 Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar Siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang kuat dalam meningkatkan prestasi belajar, juga diikuti dengan faktor dukungan sosial teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh Rensi & Sugiarti (2010) menunjukan dukungan sosial juga berpengaruh terhadap perestasi belajar dengan nilai probabilitas signifikansi untuk variabel dukungan sosial terhadap prestasi belajar sebesar 0.04<0.05. Rosenfeld (2000) menemukan bahwa siswa dengan dukungan sosial yang tinggi dari teman sebaya, orang tua, dan guru memiliki nilai atau prestasi yang terbaik dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki dukungan sosial. Mackinnon (2008) menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Penelitian berbeda juga ditemukan oleh Taylor (1998) yang menyatakan bahwa secara tidak langsung dukungan sosial teman sebaya berpengaruh pada prestasi belajar. Dikatakan berpengaruh secara tidak langsung karena untuk mencapai sebuah prestasi belajar maka harus melalui persepsi dari pentingnya kemampuan akademis. Semantara itu, Cauce (1992) menyatakan bahwa dukungan teman sebaya memiliki hubungan yang negatif dengan kompetensi di sekolah, yang dalam hal ini adalah kompetensi untuk berprestasi. Hal senada juga diteliti oleh Maassen & Landsheer (2000), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar matematika. Kurniawati (2012), juga mengadakan penelitian tentang hubungan dukungan sosial terhadap prestasi belajar mahasiswa Kebidanan STIKes Kusuma Husada Surakaraya menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan prestasi belajar dengan nilai signifikan 0.004 (p<0.05). Sejalan dengan itu, Puspasari (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan prestasi akademik dengan nilai signifikansi 0.000 (p<0.01). Novitasari (2013), juga mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar mahasiswa. 2.4.3 Jenis Kelamin dan Prestasi Belajar Jenis kelamin merupakan salah satu dari variabel demografi yang menarik untuk diteliti dan sampai sekarang ini menjadi pertentangan apakah berpengaruh pada prestasi belajar. Beberapa penelitian yang dilakukan, diantaranya yaitu Raheem (2012), yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar siswa laki-laki dan siswa perempuan. Sejalan dengan itu Adhiambo, el al., (2011) mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara prestasi siswa perempuan dan siswa lai-laki. Sebaliknya dalam penelitian yang dilakukan oleh Salami (2013), mengatakan ada kebanyakan penelitian yang menunjukkan bahwa rata-rata, anak perempuan lebih baik dalam sekolah dibandingkan anak laki-laki. Senada dengan itu Linver, Davis-Kean, & Eccles, (2002), menunjukkan bahwa prestasi belajar laki-laki berada di tingkat yang lebih tinggi nilai matematika daripada perempuan yang mengikuti kursus di tempat yang sama. Pada suatu kesempatan lain, Puspitasari & Rostikawati (2009), mengatakan bahwa ada perbedaan prestasi belajar mahasiswa laki-laki dan perempuan, dikatakannya lebih lanjut, secara umum prestasi perempuan lebih baik daripada laki-laki. Rentang IPK 3,00 sampai 4,00 didominasi perempuan. Mahasiswa perempuan memiliki masa studi yang lebih pendek daripada laki-laki. Adeyinka et al. (dalam Santrock, 2007) juga menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh dan kontribusi pada prestasi belajar siswa. Dimana siswa laki-laki memiliki usaha yang keras dan kemampuan untuk memberikan yang terbaik dalam prestasi belajar, bila dibandingkan dengan siswa perempuan. Penelitian yang dilakukan Fayobo (2012) pada 163 siswa Universitas Barbaros menunjukan bahwa ada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam prestasi akademik. Ia menjelaskan bahwa emosi perempuan lebih menonjol dibandingkan laki-laki. 1.5. Dinamika hubungan antar Variabel Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan dari usaha yang dilakukan siswa melalui proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka atau skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi tertentu. Kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan yang dimiliki seseoramg untuk mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi diri sendiri dengan baik dan kemamapuan untuk membina hubungan (kerja sama) dengan orang lain. Berdasarkan pada kajian dan hasil penelitian yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Peneliti berpendapat bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan prestasi belajar siswa. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional siswa, semakin tinggi pula prestasi belajar mereka. Siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka mereka akan mampu mengenali emosi diri kemudian mengekspresikan emosi tersebut secara tepat, mampu memotivasi diri dan memiliki kemampuan serta bekerja sama dengan orang lain. Dengan adanya kemampuan-kemampuan tersebut, siswa akan lebih mudah menyadari bahwa dalam diri mereka ada kemampuan dan memotivasi diri juga mendukung terhadap pencapaian prestasi belajar mereka. Prestasi belajar juga dipengaruhi oleh dukungan sosial. Sugiati & Rensi (2010), juga mengatakan ada hubungan antara dukungan sosial dengan prestasi belajar. Jika dukungan sosial dan konsep diri siswa ditingkatkan maka prestasi belajar siswa pun dapat mengalami peningkatan. Dukungan sosial dapat diterima dari berbagai macam sumber, seperti teman, keluarga, pasangan atau kekasih, lingkungan atau organisasi masyarakat (Sarafino, 1990). Menurut Monks (1994) menyatakan bahwa berinteraksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan persahabatan yang bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut: adanya saling pengertian, saling percaya dan mengahargai. Dari berbagai macam dukungan tersebut, dukungan yang paling efektif untuk meningkatkan prestasi belajar adalah dukungan teman. Jika teman memberikan pengaruh yang positif maka prestasi akan menjadi lebih baik. Selain kecerdasan emosional dan dukungan sosial teman sebaya yang memengaruhi prestasi belajar, ternyata perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi hal tersebut. Dari sudut perspektif budaya, kontribusi terbesar dalam menciptakan perbedaan jenis kelamin, bukan hanya pada tugas-tugas yang berhubungan dengan kodrat seperti yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan untuk melahirkan anak dan menyusui. Keadaan ini juga telah merambat ke dalam konsep kehidupan baik dalam hal lapangan pekerjaan, pendidikan hingga dalam pembentukan karakter hidup seseorang. Linver, Davis-Kean & Eccles (2002), menunjukkan bahwa prestasi belajar laki-laki berada di tingkat yang lebih tinggi nilai matematika daripada perempuan yang mengikuti kursus di tempat yang sama. Menurut Rais (dalam Gunarsa & Gunarsa, 1991) tuntutan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat pun berbeda. Jelas terlihat dari penelitian-penelitian di atas dapat dikatakan bahwa antara kecerdasan emosional dan dukungan sosial teman sebaya memberikan pengaruh bagi prestasi belajar. 2.6 Model penelitian Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu dan kerangka berpikir, maka model penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian X1 Kecerdasan Emosional Y Prestasi Belajar ( X2 Dukungan Sosial teman Sebaya X3 Jenis Kelamin 2.4 Hipotesa Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka pikir di atas dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Ada hubungan kecerdasan emosional dan dukungan sosial teman sebaya terhadap prestasi belajar mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku; 2. Ada pegaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis kelamin terhadap prestasi belajar mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku; 3. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya dan jenis kelamin terhadap prestasi belajar mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku dan 4. Ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku.