STUDI CARA KERJA HEMODIALISA ELEKTRONIK DITINJAU DARI

advertisement
STUDI CARA KERJA HEMODIALISA ELEKTRONIK DITINJAU DARI SUDUT
PANDANG ASUHAN KEPERAWATAN
Bambang Supeno
Abstract: Dialysis is a process used to remove fluid and waste products from
the body when the kidneys are unable to perform the function (renal failure).
Hemodialysis is a process that is used on the patient is acutely ill and require
dialysis therapy short-term (a few days to a few weeks) or patients with
terminal -stage kidney disease that requires long-term therapy or permanent
therapy. A strand of synthetic semipermeable membrane replaces glomerolus
and renal tubules and works as a filter for impaired kidney function. Artificial
kidney systems: 1. Dispose of products of protein metabolism such as urea,
creatinine, and uric acid. 2. Remove excess water by affecting blood pressure
and appeals between the liquid portion, usually consisting of a positive
pressure in the blood flow and negative pressure (vacuum) in the dialysate
compartment (ultrafiltration process). 3. Maintain and restore the body’s
buffer system. 4. Maintain or restore the body's electrolyte levels.
Hemodialysis goal is to take substances are toxic nitrogen from the blood and
remove excess water. At hemodilisa, full blood flow with toxins and
nitrogenous wastes diverted from the patient's body to the blood spot dialiter
cleaned and then returned to the patient's body. Hopefully, the knowledge
gained in this study the workings of standards operational procedures (SOP)
hemodialysis devices from the viewpoint of nursing care.
Keywords: dialysis, hemodialyse, dialisate, artificial kidney, renal failure, nitrogen toxic
A. Pengertian
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir
dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer
(konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan
cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekanan eksternal pada membran).
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
Gambar 1; Proses terjadinya Ultra Filtrasi
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau
bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul
rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel
darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi
jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermeabel
menggantikan glomerolus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan (kidneys artificial organs) memiliki prosedur kerja sebagai berikut:
1.
Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2.
Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan
negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3.
Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4.
Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh
dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
Gambar 2; Proses terjadinya hemodialisis
B. Indikasi
Sebelum dilakukan adanya proses hemodialisis, lebih dahulu dilakukan proses
pemeriksaan pasien/penderita. Hal tersebut biasanya diawali dengan mengamati indikasi
yang muncul / terlihat saat pemeriksaan. Adapun indikasi tersebut meliputi: penyakit dalam,
ginekologi, dan indikator kimiawi.
1. Penyakit dalam (Medikal)
 ARF (acute renal failure) - pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan RFT (renal function tests – pengujian
fungsi ginjal) normal. Saat ini ARF juga dikenal sebagai AKI (acute kidney
injury), yaitu cepat hilangnya fungsi ginjal, yang disebabkan oleh rendahnya
volume darah, terkena toksin/racun, dan obtruksi kemih (pembesaran
prostat).
 CRF (chronic renal failure – gagal ginjal kronik), ketika pengobatan
konvensional tidak cukup. Gagal ginjal kronik adalah sindrom klinis yang
umum pada stadium lanjut dari semua penyakit ginjal kronik yang ditandai
oleh uremia ( Depkes RI :1996:61). Sedangkan menurut Soeparman, gagal
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
ginjal kronik adalah penurunan faal ginjal yang menahun yang umumnya
tidak reversibel dan cukup lanjut ( Soeparman. 2000: 350).
 Snake bite, adalah terjadinya kegagalan dari fungsi sebagian besar organ
tubuh, terutama ginjal, yang disebabkan oleh adanya gigitan ular. Beberapa
gejala yang timbul setelah gigitan ular, ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3; Gejala-gejala umum akibat gigitan ular
 Keracunan atau toksik (toxic), sering diakibatkan oleh adanya pola makan
dan minum yang tidak sehat. Misalnya minuman beralkohol, makanan yg
sangat pedas dan lain-lain.
 Malaria falciparum fulminant, sejenis penyakit kuning yang semula
didiagnosis sebagai gagal hati/liver (fulminant hepatic failure). Apabila
sudah akut, akan mengakibatkan ginjal tidak berfungsi sempurna, sehingga
proses pembuangan toxic dan pembersihan kotoran darah mengalami
kegagalan.
 Leptospirosis, adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat
ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis
dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage,
Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong
tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
Stuttgart, Demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah
pada anak sapi, dan tifus anjing. Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu
memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan
gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan
keguguran. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis. Dalam keadaan
ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Leptospira bertahan
dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak
dikeluarkan hewan lewat air kencingnya. Leptospirosis pada hewan dapat
terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60
hari. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan
antarmanusia jarang terjadi.
2. Ginekologi, yang sangat memerlukan tindakan haemodialisa:
 APH, antepartum hemorrhage, adalah pendarahan prepartum yang terjadi
selama masa kehamilan, sekitar 24 minggu, yang dapat mengakibatkan berat
badan janin berkurang dan membahayakan keselamatan ibu dan janin.
 PPH, postpartum hemorrhage, adalah peristiwa terjadinya pendarahan pada
saat setelah melahirkan. Perdarahan setelah melahirkan atau post partum
hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat
implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau
keduanya.
 Septic abortion, adalah sebuah aborsi yang dikaitkan dengan infeksi rahim.
Infeksi dapat terjadi selama atau sebelum atau setelah aborsi. Infeksi dapat
disebabkan oleh faktor-faktor seperti Chlamydia, IUD (alat kontrasepsi) atau
aborsi dengan menggunakan alat-alat yang telah terinfeksi.
3. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
 Peningkatan BUN (blood urea nitrogen) > 20-30 mg%/hari. BUN-test
adalah ukuran dari jumlah nitrogen dalam darah dalam bentuk urea, dan
pengukuran fungsi ginjal . Urea adalah produk sampingan dari metabolisme
protein oleh hati , dan karena itu dikeluarkan dari dalam darah oleh ginjal.
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
Yang menyebabkan tingginya kenaikan BUN, atau disebut azotemia, adalah
karena fungsi ginjal miski. Gangguan ginjal ekskresi urea mungkin karena
kondisi sementara seperti dehidrasi atau shock , atau mungkin karena salah
satu atau penyakit akut yang kronis pada ginjal sendiri.
 Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
 Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana
konsentrasi kalium darah lebih dari 5 mEq/L darah. Biasanya konsentrasi
kalium yang tinggi adalah lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium yang
rendah. Konsentrasi kalium darah yang lebih dari 5.5 mEq/L akan
mempengaruhi sistem konduksi listrik jantung. Bila konsentrasi yang tinggi
ini terus berlanjut, irama jantung menjadi tidak normal dan jantung akan
berhenti berdenyut.
 Overload cairan yang parah.
 Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
Pada CRF:
1. BUN > 200 mg%
2. Creatinin > 8 mg%
3. Hiperkalemia
4. Asidosis metabolik yang parah
5. Uremic encepalopati
6. Overload cairan
7. Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi
C. Peralatan
1.
Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah
dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang
digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi)
dan produk-produk sisa (klirens).
Gambar 4; Proses kerja ginjal buatan
Pada saat proses HD, darah akan dialirkan melalui saringan khusus (Dialiser) yang
berfungsi menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebih. Kemudian darah yang
bersih akan dikembalikan ke dalam tubuh. Pengeluaran sampah dan air serta garam berlebih
akan membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan kimia tubuh jadi lebih
seimbang. Setiap pasien HD diharuskan mematuhi jadwal cuci darahnya. Dalam seminggu
biasanya pasien menjalani 2 kali cuci darah, masing-masing sekitar 4 jam. Namun,
beberapa pasien untuk kondisi tertentu, menjadi lebih dari 2 kali seminggu.
2.
Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari
serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia
disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati
membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk
sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang
besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya
disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis,
namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
3.
Sistem Pemberian Dialisat
Cairan pencuci yang dipergunakan dalam proses dialysis disebut sebagai dialisat,
yaitu suatu cairan yang membantu mengeluarkan sampah dan kelebihan air dari tubuh.
Cairan ini terdiri dari zat kimiawi yang berbentuk seperti spon. Dokter akan memberikan
spesifikasi cairan yang sesuai dengan keadaan pasien.
Ada dua jenis system pemberian dialisat, yaitu pemberian tunggal dan multiple. Unit
pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien sedangkan system pemberian
multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, terdapat suatu
alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau. Fungsi keberadaan alat
ini untuk menjamin ketepatan dari kontrol rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Gambar 5; Bentuk dialiser / ginjal buatan
Gambar 5 di atas menggambarkan bentuk tipikal dari hollow fiber dializer. Di
dalamnya terdapat serabut yang memungkinkan darah untuk lewat. Cairan dialisis, yang
merupakan cairan pembersih dipompakan di antara serabut-serabut tersebut. Serabut
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
tersebut memiliki lubang-lubang halus yang memungkinkan air dan sampah metabolisme
terserap dalam cairan pembersih dan membawanya keluar.
Unit Renal kadang menggunakan dialiser yang sama lebih dari satu kali tindakan.
Penggunaan dialiser berulang ini dinamakan reuse. Reuse merupakan tindakan yang aman
yaitu proses membersihkan dialiser sesuai dengan standart prosedur yang telah teruji.
Dialiser ini akan diuji kelayakannya terlebih dahulu sebelum digunakan dan hanya
digunakan pada satu orang untuk satu dialiser. Sebelum tindakan cuci darah dilakukan,
lebih dahulu harus dipastikan bahwa dialiser yang dipasang sesuai dengan nama pasien
pemilik. Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa
darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila
terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udara, dan kebocoran darah.
5.
Komponen manusia
Beberapa pasien biasanya berfikir, bahwa penusukan jarum pada bagian akses jarum
(fistula), adalah bagian paling menakutkan dari cuci darah. Selanjutnya, pasien baru akan
merasa terbiasa dengan fistula setelah beberapa kali menjalani cuci darah. Bila pasien
merasa bahwa cara penusukan terasa sangat menyakitkan, maka bisa dioleskan krim
anestesi ataupun memanfaatkan semprotan/spray untuk mengurangi rasa sakit tersebut.
Kebanyakan unit renal menggunakan dua jarum untuk memasukkan dan
mengeluarakan darah. Memang ada juga jarum khusus yang bisa digunakan dengan dua
bukaan, tapi jarum ini dianggap kurang efisien dan memerlukan waktu yang lebih lama.
Gambar 6; Penusukan jarum fistula pada lengan pasien
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
D.
Prosedur Haemodialisa
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi
dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau
kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16)
dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang
baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi
aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.
Gambar 7; Kateter 2 lumen pada fistula dan tandur arteriovenosa
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran
“arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah
yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial”
diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk
memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu
disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang
mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan
memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah
dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan
untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum
atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah
yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap
obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting
untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai
dialysis selesai kecuali memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem
darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk
mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut,
meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan
menggunakan ulang dialiser.
Gambar 8; Proses pelaksanaan teknik hemodialisa
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena
pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk
digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
E. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa (SOP, standard operational procedure)
1. Perawatan sebelum hemodialisa
a) Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b) Kran air dibuka
c) Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau
saluran pembuangan
d) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e) Hidupkan mesin
f) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g) Matikan mesin hemodialisis
h) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
j) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
a) Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b) Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan
posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
c) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
d) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan
buble tap di holder dengan posisi tengah..
e) Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc
f) Hubungkan set infus ke slang arteri
g) Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
h) Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas,
tujuannya agar dializer bebas dari udara.
i) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j) Buka klem dari infus set ABL, VBL
k) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian
naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
l) Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
m) Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam
dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200
mmHg).
n) Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang
terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p) Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.
q) Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk
dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r) Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di
bawah.
s) Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk
dihubungkan dengan pasien soaking.
3. Persiapan pasien
a) Menimbang berat badan
b) Mengatur posisi pasien
c) Observasi keadaan umum
d) Observasi tanda-tanda vital
e) Melakukan
kamulasi/fungsi
untuk
menghubungkan
sirkulasi,
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
i.
Dengan interval A-V shunt / fistula simino
ii.
Dengan external A-V shunt / schungula
iii.
Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
biasanya
F. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan
yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera
setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah
palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan
perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.
G. Komplikasi
1.
Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
e. Hipotensi
b. Ultrafiltrasi
f. Hipertensi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
g. Sindrom disequilibrium dialysis
d. Hipovolemia
2.
Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
d. Kalsium
b. Kalium
e. Fosfor
c. Bikarbonat
f. Magnesium
3.
Infeksi
4.
Perdarahan dan Heparinisasi
5.
Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
e. Aliran Darah
b. Aliran dialisat
f. Kebocoran Darah
c. Konsentrat Dialisat
g. Emboli Udara
d. Suhu
6.
Akses ke sirkulasi
a.
Fistula Arteriovenosa
b.
Ototandur
c.
Tandur Sintetik
d.
Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
H. Kesimpulan Proses Keperawatan
Pengkajian Pre HD
•
Riwayat penyakit, tahap penyakit
•
Usia
•
Keseimbangan cairan, elektrolit
•
Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
•
Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
•
Respon terhadap dialysis sebelumnya.
•
Status emosional
•
Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
•
Sirkuit pembuluh darah.
Pengkajian Post HD
•
Tekanan darah: hipotensi
•
Keluhan: pusing, palpitasi
•
Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb
I. Saran dan Diagnosa Keperawatan pada pasien yang menjalani hemodialisa
(a) Pre HD:
1.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.
2. Cemas b.d krisis situasional
(b) Intra HD:
1.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
2.
Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada
dialysis, sifat kronis penyakit
3.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
(c) Post HD:
1.
Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap
penusukan
2.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),
Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.
Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC
Jurnal Rekayasa Vol. 7 No. 2 Desember 2010 – ISSN: 1693-9816
Download