KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT LABORATORIUM

advertisement
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT
LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA
DI PERSIDANGAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
SKRIPSI
Oleh :
RIZKI FEBRIAN SYAH
E1A008290
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT
LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA
DI PERSIDANGAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
SKRIPSI
Oleh :
RIZKI FEBRIAN SYAH
E1A008290
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT
SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT
LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA
DI PERSIDANGAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
Oleh :
RIZKI FEBRIAN SYAH
E1A008290
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal,
Februari 2013
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I/Pembimbing I
Pranoto. S.H., M.H.
NIP. 19540305 198901 1 001
Penguji II/Pembimbing II
Penguji III
Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H.
Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001
NIP. 19640724 199002 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Rizki Febrian Syah
NIM
: E1A008290
SKS
: 2008
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang
lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto,
Februari 2013
Yang Membuat Pernyataan,
Rizki Febrian Syah
NIM. E1A008290
iv
MOTO PENULIS
“Prestasi terbaik lahir dari semangat memenangkan persaingan. Sikap ksatria
kepada lawan dan patuh aturan main adalah ciri pemenang sejati”
“Bangunlah kekaguman bukan dengan
prestasi tapi dengan karakter”
-Bong Chandra-
" Sukses bukanlah akhir dari segalanya,
kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal: namun
keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang
diperhatikan "
(Sir Winston Churchill)
“ Yang terpenting bukan siapa anda
sekarang, tetapi ingin seperti apa anda
besok “
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Kupersembahakan Skripsi ini Kepada :
Kedua Orang Tua Tercinta
Terima kasih kepada Ayahanda Musalim dan Ibundaku Tri Astuti,
S.Pd.AUD tercinta yang telah memberikan segala kasih sayang
kepada saya sebagai anak bungsu serta doa, nasehat, bimbingan dan
dukungan yang saya telah dapat menyelesaikan skripsi ini.
Tiga Orang Kakaku yang Keren-Keren
Mas Achmad Arifin,S.Pt, Mas Lutfian Dwi Antoro,A.Md, dan Mas
Yuniar Syarief,SP, terima kasih atas motivasinya selama ini yang
begitu luar biasa. SH sudah di tanganku mas.
Istri kakak-kakaku yang cantik-cantik dan keponakanku yang lucu-lucu
Terima kasih untuk Mba Whakhidah Kurniyati, A.Ma, Mba Esie
Diana, dan Mba Ratna Juwita, SP atas semua semangat yang
diberikan, doa, serta dukungannya. Buat fawwas, safa, nayla, dan
armita mutiara syarief yang selalu menjadi penghibur di kala jenuh
menyelesaikan skripsi. Hehehehe
Keluarga Dr. Ir Sakhidin, MP
vi
Terima kasih atas doa, bimbingan, dorongan dan dukungan sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih kepada teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum
UNSOED
Kepada para KIMCULERS 2008 Johan, Wisnu, Woko, Bayu, Anas,
Yanuar, bang Ardy, Si Ho, Dany Gendut, Azin, Sudrun,
Dony&Dany, Theo, Nunu, Anggoro, Akbar, Yogi, Aditya Dwi (acil),
Ajie Soeharto, Bojes Prastowo, Arinda, Djimboen, Deny, Kendar ,
Yogi, Aan yang senantiasa memberikan dukungan, hiburan, dan doa,
semoga sukses untuk kalian semua.
Teman-Teman lainnya yang ikut mendukung
Sofyan Arief, Dwi Nanda LLHNK, Joko Riyanto Andrian
Wicaksono, Marfita Kunto, Nurvita Dewi, Elisabet, Ahmad Alfi,
Mba Wulan, Tia, terima kasih atas segalanya. Buat Lina Budiyarti
terima kasih atas translate-nya.
Terima kasih kepada rekan-rekan Pattra Motor yang rutin cek mesin,
cuciin motor supaya tetap ok di jalanan, terima kasih pula buat
Galaxy Fitnes Centre, mas Adhi Dharmawan my personal trainer,
Mas Yaqub, Pak Roso, Pak Andi yang telah memberikan bimbingan
sehingga badan saya mampu bertranformasi dengan baik dan menjadi
SH.
vii
PRAKATA
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul KEKUATAN
LABORATORIUM
PEMBUKTIAN
FORENSIK
TENTANG
ALAT
BUKTI
SURAT
NARKOTIKA
DI
PERSIDANGAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto).
Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari
bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai
pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini.
2. Pranoto. S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun
serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam
lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan
kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.
3. Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang
telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang
sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini.
viii
4. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut
menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis.
5. Tenang Haryanto, SH.MH., selaku Pembimbing Akademik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.
8. Kedua orang tua tercinta, Musalim dan Tri Astuti,S.Pd. AUD yang selalu
mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan
skripsi.
Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya,
namun mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan.
Purwokerto,
Februari 2013
Penulis
ix
ABSTRAK
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama. Penyalahgunaan narkotika sangat
membahayakan masyarakat terutama generasi muda yang berakibat dapat
merusak moral bangsa.
Maka penulis melakukan penelitian dengan judul:
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik
Tentang Narkotika di Persidangan (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang
pertama, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik
tentang narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto? Kedua, Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto?
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto, hasil pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012
tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang
Semarang dalam Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT sebagai alat bukti
surat berdasarkan pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 187 huruf c
KUHAP adalah alat bukti surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pembuatan serta
keterangan yang terkandung di dalamnya yang dibuat diatas sumpah jabatan.
Maka alat bukti surat tersebut adalah alat bukti yang bernilai sempurna.
Alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan
keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti
surat dan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi
ganja, 1 (satu) buah botol plastik berisi urine, 1(satu) unit handphone merk Nokia
warna hitam type RH-105 No.085726003983. Alat bukti tersebut telah memenuhi
asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP.
Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, yaitu unsur setiap orang, menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman dan tanpa hak atau melawan hukum telah dapat dibuktikan di
persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
dan meringankan terhadap terdakwa.
Kata kunci : Pembuktian, Alat Bukti Surat, Penyalahgunaan Narkotika.
x
ABSTRACT
Drug abuse problem in Indonesia, is very alarming nowdays. Narcotics is
an useful drug or substance in medicine or health care, and the development of
science but on the other hand can also cause dependency that is very detrimental
if abused or used without strict control and supervision and carefully. Drug abuse
is very dangerous to the public; especially the younger generation, it can lead to
moral ruin.
The authors conducted a study with the title:
Proving the power of Evidence Forensic Laboratory Letter on Narcotics in Court
(Judicial Review Decision Number 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
Based on the description above, can be formulated as the first problems:
how the power of documentary evidence proving the forensic laboratory of the
drug court in Decision No. 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. Second problem:
how to judge the legal considetations in decisions number 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto?
Based on the results of the Decision no. 22/Pid.Sus/2012/PNPurwokerto,
no. Criminality examination laboratories. Lab.: 124/NNF/2012, January 30, 2012
Criminal Investigation Police Forensic Laboratory center Semarang branch in
Decision No. 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT as documentary evidence is based on
Article 184 Paragraph (1) Criminal Procedure Code and Code of Criminal
Procedure Article 187 c is documentary evidence made by the competent
authority based on legislation in force and manufacture as well as the information
contained in it is made on oath. So the documentary is perfect valuable evidence.
Evidence submitted at the hearing by the prosecution and conviction the
judge those are witnesses, defendant's testimony, documentary evidence and the
evidence of one (1) pack of white notebook paper containing marijuana, 1 (one)
plastic bottles containing urine , 1 (one) unit of black Nokia mobile type RH-105
No.085726003983. The evidence has to meet the minimum evidentiary principles
formulated in Article 183 Criminal Procedure Code. The defendant also has been
proven legally and convincingly meet the elements contained in Article 127
paragraph (1) letter a of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, the element of every
person, plant, maintain, possess, store, control or provide Narcotics Group I in
the form of plants and without rights or against the law have been proven in
court. Panel of Judges also consider the burdensome and relieve the defendant.
Keywords: Evidence, Letter ofEvidence, Narcotics Abuse.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………......
vi
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………. v
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………. vi
PRAKATA…………………………………………………………………..
viii
ABSTRAK…………………………………………………………………….. ix
ABSTRACK…………………………………………………………………… x
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah……………………………………………….. 5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………….. 6
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………....
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana………………………………….. 7
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana…………………………………… 9
C. Sistem Pembuktian dalam KUHAP……………………………….. 22
D. Alat-alat Bukti dalam KUHAP………………………………….... 30
E. Ilmu Bantu Laboratorium Forensik
1. Pengertian Ilmu Forensik……………………………………….. 54
xii
2. Jenis-Jenis Ilmu Forensik……………………………………….. 55
3. Kewenangan Laboratorim Forensik…………………………..... 56
F. Tindak Pidana Narkoba
1. Pengertian Narkoba……………………………………………… 58
2. Penyalahgunaan Narkoba……………………………………….. 60
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkoba…………………………... 61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan………………………………………………... 65
B. Spesifikasi Penelitian………………………………………………. 66
C. Lokasi Penelitian…………………………………………………… 65
D. Sumber Data……………………………………………………….. 65
E. Metode Pengumpulan Data………………………………………… 66
F. Metode Penyajian Data…………………………………………….. 66
G. Metode Analisis Data……………………………………………… 66
H. Spesifikasi Penelitian Terdahulu…………………………………... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………….. 70
B. Pembahasan………………………………………………………… 85
BAB V PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………… 96
B. Saran………………………………………………………………... 98
DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia
yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang
sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini
peredaran gelap. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga
untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan
suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut.
Dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyebutkan bahwa :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.”
1
Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis
akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya
serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya
keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat
tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.
Pengaruh narkotika selain terhadap individu itu sendiri, juga berpengaruh
pula bagi masyarakat luas, diantaranya akibat adanya pemakaian narkotika antara
lain meningkatkan kriminalitas, timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam
masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan menyebarkan penyakit tertentu
seperti HIV/AIDS.1
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-masing
golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat
(1) sebagai berikut:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
1
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju,
2003, halaman 25.
2
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Penggunaan narkotika telah diatur secara rigid dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena “narkotika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, bahkan Pasal 8 ayat (1) mengatur bahwa Narkotika
Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Contoh
Narkotika Golongan I ini adalah Heroin, Kokain, dan Ganja.2
Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini
sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya
pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika. Penyalahgunaan
Narkotika merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku.
Menurut pendapat Dr. Mardani3;
“Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi
medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakainnya bersifat
patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam
aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan
sosial.”
Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah
penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ini, disisi lain masalah peredaran dan
2
Ar. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, halaman 72.
3
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008, halaman 2.
3
penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat membahayakan
bagi yang mengkonsumsinya.
Menurut Dadang Hawari
4
dampak yang sering terjadi di tengah
masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain :
“Merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan
produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik
maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial
(perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental),
mempertinggi jumlah kecelakaan lalulintas, tindak kekerasan, dan
kriminalitas lainnya”.
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang
melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana,
selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena
menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang
terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan untuk
membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
diperlukan adanya suatu pembuktian.
Laboratorium forensik sebagai sarana Kepolisian khusus membantu
Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas mempunyai tanggung
jawab dan tugas yang sangat penting dalam membantu pembuktian untuk
mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan segala jenis dan macam
Narkotika dan Psikotropika siapa pemakainya.5
Kasus narkotika dalam Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto,
laboratorium forensik salah satunya melakukan pemeriksaan urin, dengan
4
Dadang Hawari, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Yogyakarta : Dhana Bakti
Priayasa, 1997, halaman 153.
5
http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33&Itemid=33
diakses tanggal 13 September 2012.
4
dikeluarkannya surat keterangan dari laboratorium forensik yang menerangkan
bahwa urin terdakwa positif mengandung Tetrahydrocannabinol yang termasuk
golongan I (satu) nomor urut 9 (sembilan) lampiran Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakim berkeyakinan terdakwa terbukti melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan surat laboratorium forensik itu
mempunyai kekuatan pembuktian karena memenuhi syarat hukum pidana formil
dan hukum pidana materiil yang sesuai dalam undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian sebagai bahan penulisan skripsi dengan judul : “Kekuatan
Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik Tentang Narkotika di
Persidangan
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto).”
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang
narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto ?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto ?
5
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap alat bukti surat laboratorium
forensik
tentang
narkotika
di
persidangan
dalam
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam dalam menjatuhkan
Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana serta
dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.
b.
Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh
penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto.
2. Manfaat Praktis
a.
Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah
dengan kenyataan di lapangan.
b.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dengan masalah penelitian ini.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk
mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang
hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik,
peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan,
petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang
pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat
dijatuhkan.
b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.6
Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya memberikan
pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari hukum acara pidana, seperti
penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,
dan lain-lain.
Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada
beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah
sebagai berikut :
6
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. 2001.
Hal. 4.
7
J. Dc Bosch Kemper7
Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan,
undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana
Undang-undang pidana itu dilanggar.
R. Soesilo8
Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh kaputusan hakim dan cara bagaimana isi
putusan itu harus dilakukan.
“Menurut Van Bemmelen9
Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa
kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya
menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus
dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana
yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang
apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi
dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat
melaksanakan hukum pidana materiil”.
Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi Hamzah,
mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah :
“Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena
adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai
berikut:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat
dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim
dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7
Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986,Hal 16.
8
R Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP
bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3
9
R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito.
1983. Hal. 11.
8
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib”.
Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen10 dikatakan lebih lengkap dan
tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara
pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap
penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan
akhirnya saja.
Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para
sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara
pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana.
Menurut R. Soesilo 11 , tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai
berikut:
“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari
kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada
hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa
harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguhsungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain
berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang
cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan
menolak segala godaan.”
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara
Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada
waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan.
Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum
10
11
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 6.
Ibid. Hal. 19.
9
sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak
hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.
Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang
bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan
atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari pemikiran dibalik
peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas
hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi
unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum.
Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu asas
dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat
dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak menghabiskan
anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada pihak yang
berperkara.
Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie
semakin ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e
dikatakan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
10
(KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat
(4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan
bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat
sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini
mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa
untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu di mulai
pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).
Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi
penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut
Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.
Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
11
Menurut Yahya Harahap 12 menjabarkan mengenai asas sederhana
dan biaya ringan adalah sebagai berikut :
1.) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi
yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa.
2.) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut
ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai
pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan.
3.) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata
member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan
wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik,
tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence).
Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas
yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum
butir 3 huruf c yang merumuskan :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Menurut M. Yahya Harahap13 menyatakan pendapatnya yaitu :
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip
akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan,
12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I)., Jakarta :
Pustaka Kartini, 2001, Hal 54.
13
Ibid. Hal. 38.
12
karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan
dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga
diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip
akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”.
c. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan
kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan
dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas
oportunitas.
Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut
umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia
wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP).
Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
Pasal 137
13
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan' melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan
bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang
sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara
dalam hal:
14
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang
lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut
umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
Pasal 143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat
hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
menyempurnakan
maupun
untuk
tidak
melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu
kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
15
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampai kan turunannya kepada tersangka atau penasihat
hukum dan penyidik.
Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini
mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan
dirugikan.
A.Z. Abidin Farid 14 memberi perumusan tentang asas oportunitas
sebagai berikut :
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang
memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk
umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali
dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya
anak-anak.
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan
sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka
sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
14
A.Z. Abidin Farid, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung
Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12.
16
Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim
ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas
ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan
pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada
pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang
menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal
ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Andi Hamzah15 berpendapat mengenai hal ini bahwa :
“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan
sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk
umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang
dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang
artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup.
Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim
melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut
umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar
sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik
keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban
memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan
kesaksiannya”.
e.
Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya
ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun
jabatannya dalam melakukan pemeriksaan.
Romli Atmasasmita 16 dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam
KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan
15
16
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 18.
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30.
17
menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan
Hukum Acara Pidana di Indonesia.”
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1)
tersebut merumuskan :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.”17
f.
Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya
terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.
Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang merumuskan :
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri
Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813
dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari
Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka
Jerman juga tidak menganutnya.”
Menurut D. Simons 18 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu
dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut
maka Jerman juga tidak menganutnya.”
17
Ibid. Hal. 20.
M Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika . 2001.hal. 22.
18
18
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa
adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari
diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh
bantuan hukum dari seorang penasehat hukum.
Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang
bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai
berikut :
a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut
keamanan negara.
e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari
tersangka / terdakwa.19
Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum
menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari
segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan
bantuan hukum yang merata.
Menurut Adnan Buyung Nasution20
19
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 21.
19
“setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan
oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan
keadaan kesehatan yang memburuk.”
h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor)
Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan
Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang
sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa
dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan
pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting,
sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan
tindakan kekerasan ataupun penganiayaan.
Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi
ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa
untuk mendapatkan penasehat hukumnya.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.”
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan
universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri
beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum
20
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
20
sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan
dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa
pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.
Dalam bukunya, Andi Hamzah21 mengatakan bahwa:
“Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti
perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang
pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam
acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara
langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di
mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan
sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi
secara lisan antara hakim dan terdakwa.
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan
bahwa :
a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang
pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia
yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan
pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi
memberikan jawaban secara tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan
21
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
21
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
Bambang Poernomo22 berpendapat bahwa :
“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam
persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan
lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar
dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara
pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan
langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa
untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan
keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak
bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara
membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam
sidang pengadilan.
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo23 yaitu:
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam
rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam
mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
1. Penyidikan;
2. Penuntutan;
3. Pemeriksaan di persidangan;
22
Bambang Poernomo, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty,
1985.Hal. 79.
23
Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1983. Hal. 12.
22
4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam
hukum acara pidana secara keseluruhan.”
1. Penyidikan
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”
2. Penuntutan
Pasal 137
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.”
3. Pemeriksaan di Persidangan
Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara
sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di
alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,
disampaikan di tempat kediaman terakhir.”
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan
23
Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam pasal
270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan
salinan surat putusan kepadanya.”
Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam pasal
277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyebutkan bahwa :
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus
untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim
pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
paling lama dua tahun.
Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dalam
hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu dengan
yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut
Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian
pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang
dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan
salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan
menjatuhkan pidana.
Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara
pidana, yaitu :
24
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie)
Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori
pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan
secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa
undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin
dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan
ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk
menentukan kesalahan terdakwa. 24
Menurut D. Simons25seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah:
“Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif
(positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan
subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya
asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.”
Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim hanya
sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai dengan
bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini adalah
pembuktian bersifat obyektif
menerapkan
yang artinya hakim wajib benar-benar
mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang
telah ditentukan undang-undang.
24
25
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.257.
Andi Hamzah. Op.cit. Hal.251.
25
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction-in Time)
M. Yahya Harahap26 berpendapat:
“Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang
disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah
atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan
hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan
terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan
mengabaikan alat-alat bukti yang ada.”
Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu
perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal ini
maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat subyektif
karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang hakim dapat
saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa melihat
pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan sehingga dapat
timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan terdakwa dari
tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun dipersidangan telah
cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan hakim bisa saja
memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang didakwakan kepadanya
walaupun dalam persidangan pembuktian terdakwa tidak terbukti bersalah
berdasarkan alat-alat bukti yang sah.
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)
26
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 256.
26
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini
faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan hakim dalam
memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas,
hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil putusan
tersebut. Keyakinan hakim harus mendasar dengan alasan yang logis dan
benar-benar dapat diterima secara logika.
“Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah
atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua
jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas
untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu
pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction
raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan keduanya ialah keduanya
sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana
tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan
keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya
ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama
dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan
pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut
secara limitatif.”27
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara
Negatif (Negatief wettelijk)
Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian
menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya
27
Yahya Harahap. Ibid. Hal. 257.
27
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang;
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif”
dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling
dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur
itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.28
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut
menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.
Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian
berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief wettelijke). Hal tersebut dapat
dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang isinya :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwa yang bersalah melakukannya.
28
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.279.
28
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.29
M. Yahya Harahap30 berpendapat :
“Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP
ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin
dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan
kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undangundang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling
tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.”
Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah31 :
“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk
dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus
diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
R. Soesilo 32 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan
pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam
29
Ibid. Hal. 280.
Ibid. Hal. 256-259.
31
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 264.
32
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP
bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
30
29
memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk
membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi;
b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana;
c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi;
d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran
materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat
bukti tersebut.
Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP
telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undangundang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa
dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan
mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan
alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184
ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai
kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian
30
dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak
mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.33
Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang
disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-hal yang bersifat umum
yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan.
Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara
umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan :
1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan
yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;
2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa
berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh
alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri
notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak
tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana
disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang
secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap
sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang
dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.34
a. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
33
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar
Grafika. 2002. Hal.252.
34
Ibid. Hal. 276.
31
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”
Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai
7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi
sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat
menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak
dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lainlain.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam
Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan
dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing.
Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang
dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika
dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan
sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau
pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan
32
berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap
digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan
tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan
tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena
menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa
sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji di depan pengadilan
saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut
dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling
lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
merumuskan sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu".
Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut
dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan
33
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu
peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat
bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai
pembuktian.
b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil
pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang
dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan
merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185
ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu
setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi
harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.35
Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin36 dalam bukunya
"Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut :
"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan
hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan
tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya
mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri oleh orang lain tersebut".
35
M. Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 266.
Leden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta : Sinar
Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
36
34
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena
ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena
mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai
obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana);
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal
168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana);
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana);
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang.
Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah
yaitu:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
35
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit
gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari
seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja
tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benarbenar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus
testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang
didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal
itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence
yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185
ayat (2) adalah :
1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian
tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang
lain.37
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menilai kebenaran
keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
37
Ibid. Hal. 288.
36
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu;
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang
sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan
ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli
dari segi pembuktian, yaitu:
Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan
(Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
Penjelasan :
1. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan
dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan.
2. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau
penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk
memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan
(berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan
ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan
penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b
KUHAP, jo. Stb. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal
tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki
masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat
meliputi :
1. Ahli kedokteran forensik atau;
2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.Stb.1937 no.3500; atau;
3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan oleh orang yang memenuhi
syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau
37
4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu
hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa
(meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan
keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya,
untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi
kepentingan pemeriksaan.38
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai
pengertian keterangan ahli, yaitu:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Pasal 184 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli
dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana
sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah
berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak
hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang
memerlukan pengetahuan, dan keahlian.
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam
Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186.
Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan
pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap
penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan
akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli
didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang
keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat
38
Ibid. Hal. 72-73.
38
ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan
hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang
bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari
perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang
didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di
sidang pengadilan.39
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan
yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan
keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan
sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan
keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam
persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan
keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang
sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.
Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah
jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik
bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya.
Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya
dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan
martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.
39
R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana.
Bandung: Mandar Maju. 2002. Hal. 3.
39
Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran
forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan
tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia
forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam
mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka
ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan
oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab
berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya.
I Ketut Martika dan Djoko Prakoso40 berpendapat, bahwa:
Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau
penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli
apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180
(2),(3), dan (4) KUHAP.
Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam
kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang
berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa
dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli di
persidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum
dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat
40
I Ketut Martika & Djoko Prakoso. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka
Cipta. 1992. Hal. 66.
40
diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam
masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan
ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari
keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum
menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara
tindak pidana yang bersangkutan.
Yahya Harahap41 berpendapat:
Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai
sebagai alat bukti yang sah :
1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap
penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam
Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan
berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari
laporan atau visum et repertum yaitu :
a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et
repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;
b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga
menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.42
41
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 299.
41
Untuk menjawab dualisme di atas maka yang dapat dijadikan pedoman
adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan
diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas
dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat
bukti tersebut atau malah akan menolaknya.
Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda
dengan keterangan saksi yaitu :
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht
yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan
dari ahli tersebut atau akan menolaknya.
2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang
lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya
terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai
dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti
yang lain.43
Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu
keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang
diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal
yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan
tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan
di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan
hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan
bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang
masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian
42
43
Ibid. Hal. 303.
Ibid. Hal. 253.
42
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
c. Surat
A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo44:
“Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang
menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto
dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang
dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat
keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan
perkara yang sedang diadili.”
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut
ketentuan ini:
“Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut
undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat
yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi AsserAnema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”45
Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu
dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu
harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi
yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan
ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
44
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya Paramitha. 1983. Hal.
24.
45
Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 276.
43
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain”.
Bunyi dalam Pasal 187 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf
a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan
sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan
cenderung
bersifat
pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan
bahwa
berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain
agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat
berdiri sendiri secara utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika
isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai
berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi
surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan,
barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.46
Berdasarkan psssasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari
46
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 309.
44
surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur suratsurat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil
karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu
jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan
tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk
yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya
sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana
yang diperiksa di sidang pengadilan.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang
untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri
dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai
kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara
lisan dihadapan persidangan pengadilan.
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan biasanya berasal dari
kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati
kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi
hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti
mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang
bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana yang dituntutkan kepadanya.
45
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap47 jika dinilai
dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal
Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti
yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut
formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti
surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan
sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya;
c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan
pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut
tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang
di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik
berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan
terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil
Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat
bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang
bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim.
Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada
beberapa asas, antara lain :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan
mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal
dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran
materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal
183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin
tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.
b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP
yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti
tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah
atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang
diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan
47
Ibid. Hal. 309-312.
46
moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan
kebenaran sejati.
c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183
KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan
minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim
memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan”
yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat
diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak
bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian
dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian
dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat
terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai
petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru
pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai
sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa
diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti
bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti
yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu
perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah
dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya,
maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum
perbuatan yang didakwakan telah terbukti.48
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara
48
I Ketut Martika & Djoko Prakoso. Op.cit. Hal. 44.
47
ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara
perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau
tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa
ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu
merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus
melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Bunyi pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan
alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan
terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai
seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar
penjatuhan hukuman.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah:
a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan
sengaja kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun
saksi di persidangan.49
49
Andi Hamzah dan Indra Dahlan. Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar. Jakarta.: Ghalia.
Indonesia. 1984. Hal. 263.
48
Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari,
bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang
penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat
bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain
belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183
KUHAP.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat
bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai
proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber
dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang
lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang
sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari
bukti petunjuk yaitu diperoleh dari :
a) Keterangan saksi
b) Surat
c) Keterangan terdakwa
Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan
ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang
bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini
kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan,
latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu
membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.
49
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga
sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain
alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain.
Djisman Samosir50 berpendapat bahwa:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati
nuraninya.”
Menurut Yahya Harahap 51 sendiri berpendapat bahwa nilai kekuatan
pembuktian petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatan alat bukti yang lain yakni:
a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh
petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan
kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian.
Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti
yang lain.
e. Keterangan terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
merumuskan:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”
50
C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Bandung. Binacipta. 1985. Hal.
90.
51
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.317.
50
Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada
dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang
merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan
atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan
pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang
menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang
menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat
bukti. Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193
KUHAP.
Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun
pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim
mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian
menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.
sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut.
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
b. Mengaku ia bersalah.52
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas
dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini
lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga
hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.
Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus
mengandung beberapa asas, yaitu :
1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan.
52
Andi Hamzah. Op.cit. Hal.278.
51
2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang
pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri,
penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim,
penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan
ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar
persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian
dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan
keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar
sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu
keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat
dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan
terdakwa;
3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri;
4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri.
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat
bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan
2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menjelaskan:
52
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada
satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan,
selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana
tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan
padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka
dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan
terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena
segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim.
Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa
dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya
terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang
meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa terkesan
memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana
karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil
negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan
negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan
bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang
melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan
keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk
53
membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara
pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa
jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya
dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
E. Ilmu Bantu Laboratorium Forensik
1. Pengertian Ilmu Forensik
Forensik (berasal dari bahasa Yunani ’Forensis’ yang berarti debat atau
perdebatan) adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu (sains).
Ilmu Forensik adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan multi disiplin
untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi,
psikologi, dan kriminologi dengan tujuan membuat terang atau membuktikan
ada dan tidaknya kasus kejahatan pelanggaran dengan memeriksa barang bukti
atau "physical evidance" dalam kasus tersebut.53
Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) merupakan sebuah penerapan dari
berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan
tindak pidana.
53
http://sirpetermarx.blogspot.com/2009/11/tentang-ilmu-forensik.html (Guru Pinandita
Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. , hlm. 279). diakses tanggal 13 Desember 2012
54
2. Jenis-Jenis Ilmu Forensik
Ilmu-ilmu forensik meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai
kaitan dengan masalah kejahatan. Menurut Musa Perdana Kusuma54; ilmuilmu forensik dapat dibagi menjadi tiga golongan, dilihat dari peranannya
dalam penyelesaian kasus kejahatan yaitu :
a. Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis.
Dalam golongan ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana.
b. Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis.
Dalam golongan ini termasuk dalam ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia
forensik dan ilmu fisika forensik.
c. Ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah manusia.
Dalam golongan ini termasuk ilmu kriminologi dan psikologi forensik
Sebagai sarana pembantu dalam pengusutan kejahatan, Laboratorium
Forensik merupakan tempat pemeriksaan dalam pengusutan bukti-bukti fisik.
Laboratorium forensik berperan untuk memecahkan masalah-masalah yang
terkandung dalam bukti fisik tersebut.
Criminalistics adalah subdivisi dari ilmu forensik yang menganalisa dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bukti-bukti biologis,
bukti jejak, bukti cetakan (seperti sidik jari, jejak sepatu, dan jejak ban mobil),
controlled substances (zat-zat kimia yang dilarang oleh pemerintah karena bisa
menimbulkan
potensi
penyalahgunaan
atau
ketagihan),
ilmu
balistik
(pemeriksaan senjata api) dan bukti-bukti lainnya yang ditemukan pada TKP.
Kemuadian, bukti-bukti tersebut diproses di dalam sebuah laboratorium (crime
lab).55
54
Musa Perdana Kusuma. Bab-Bab tentang Kedokteran Forensik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1983 hal 206
55
http://ozzieside.blogspot.com/2010/03/ilmu-forensik.html diakses tanggal 13 Desember 2012
55
3. Kewenangan Laboratorium Forensik
Laboratorium Forensik bertugas menanggulangi kejahatan dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tersebut di atas hanya
dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
pula. Proses penyidikan kejahatan dengan menggunakan teknologi yang lazim
disebut penyidikan secara ilmiah atau “scientific crimeiInvestigation / SCI
penyidikan secara ilmiah) dimana peran dan fungsi tersebut sebagian diemban
oleh Laboratorium Forensik.
Kewenangan laboratorium forensik antara lain :
1. Laboratorium forensik berwenang dalam upaya mencari dan
mengumpulkan bukti dalam proses penyidikan seperti yang tercantum
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara”
2. Laboratorium forensik berwenang apabila penyidik menganggap perlu
untuk meminta pendapat ahli, sesuai dengan yang tercantum dalam
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
Pengertian mendatangkan para ahli / memiliki keahlian khusus
tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh Laboratorium Forensik,
56
sehingga Laboratorium Forensik dapat berperan dalam tiap tahapan
proses penegakan hukum.
3.
Laboratorium
forensik
berwenang
melakukan
pemeriksaan
Psikotropika dan Narkotika telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 522/Menkes/SK/VI/2008
tentang Penunjukkan Laboratorium Pemeriksaan Narkotika dan
Psikotropika.
Proses penyelidikan, penyelidik mempunyai wewenang untuk mencari
keterangan dan barang bukti. Selain itu, penyelidik bersama-sama penyidik
yang telah menerima laporan segera datang ke TKP dan melarang setiap orang
untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai untuk
menjaga status quo.
Dalam rangka penanganan TKP ini, penyelidik maupun
penyidik berusaha
mencari barang bukti yang nantinya akan dilakukan
pemeriksaan di Laboratorium.
Tugas
mengenali, mencari, mengambil dan mengumpulkan barang
bukti tersebut diperlukan ketelitian, kecermatan dan pengetahuan atau keahlian
mengenai bahan atau barang bukti tersebut. Oleh karena itu, tahap ini perlu
melibatkan Laboratorium Forensik.
Sebagai contoh kasus narkotika, dimana barang buktinya sering bersifat
mikro yang keberhasilan penemuan dan pemeriksaan sangat tergantung
terhadap teknologi yang dipergunakan. Hasil pemeriksaan laboratorium
57
tersebut nantinya dapat dijadikan petunjuk dalam proses penyelidikan/
penyidikan lebih lanjut.
Penyidik dapat meminta pendapat orang Ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus, sepanjang pendapat orang Ahli yang diminta penyidik
tersebut berhubungan dengan barang bukti, maka Ahli tersebut akan
melakukan pemeriksaan atau analisa barang bukti di laboratorium.
Sebagai contoh pemeriksaan kandungan zat aktif dalam narkotika,
pemeriksaan racun dalam organ tubuh, pemeriksaan keaslian tulisan tangan,
sidik jari pada senjata api dan sebagainya. Dimana hal-hal tersebut
memerlukan pemanfaatan teknologi yang dimiliki oleh Laboratorium Forensik.
F. Tindak Pidana Narkoba
1. Pengertian Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain
"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba"
ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki
risiko kecanduan bagi penggunanya.
Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa
dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk
penyakit tertentu.
58
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris
narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika
berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius
sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic
yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.56
Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau
narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa
sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.57
Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini”.
Menurut
istilah
kedokteran,
narkotika
adalah
obat
yang
dapat
menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal
atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek
stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan
adiksi atau kecanduan.58
56
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008,hal. 78.
57
Ibid.
58
Ibid, hal. 79.
59
Menurut M. Ridha Ma’roef59, narkotika adalah:
a.
b.
c.
Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika
sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin,
ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam
pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam
pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk
didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu:
Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.
Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang
akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.
Berbahaya apabila disalahgunakan.
Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah
mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and
dangerous drugs.
2. Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba atau narkotika adalah pemakaian narkoba di luar
indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat
patologik dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau
kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial.60
Hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :
a.
b.
Narkotika apabila digunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut
asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalifisir
sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk
maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan
atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009.
Penyalahgunaan terhadap narkotika meliputi pengertian yang lebih luas,
antara lain :
1) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan
berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut-ngebutan di
jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;
59
Ibid, hal. 34.
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal.2.
60
60
2) Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum,
maupun instansi tertentu;
3) Mempermudah penyaluran perbuatan seks;
4) Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional;
5) Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;
6) Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada
kegiatan;
7) Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
8) Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
9) Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.61
Menurut Moh. Taufik Makarao, S.H. MH 62 bentuk-bentuk tindak
pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan/melebihi dosis
Hal ini disebabkan leh banyak hal antara lain :
a. melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengelaman emosional;
b. menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
c. mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
d. hanya sekedar ingin tahu atau iseng;
2. Pengedaran narkotika
Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik
nasional maupun internasional;
3. Jual beli narkotika
Pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkoba
Menurut Komariah E. Sapardjaja63 menyatakan ;
“Tindak Pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan
delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. “
61
Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6 Tahun 1976.
hal. 8-9.
62
Moh. Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hal
45.
63
Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia,
Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung,
2002, hal. 22.
61
Menurut Indriyanto Seno Adji64 menyatakan;
“Tindak Pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana,
perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi
pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.”
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa sutau tindak pidana
merupakan suatu tindakan yang dilarang atau di cela oleh masyarakat dan
dilakukan oleh orang yang bersalah yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Unsur kesalahan atau pertanggung jawaban menjadi bagian pengertian
tindak pidana.
Moeljatno65 mengatakan tindak pidana adalah
“Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melakukan”.
Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri dari:
1. Unsur “setiap orang”
Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah
orang;
2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”
Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan
rumusan delik. Bersifat melawan hukum yaitu ;
64
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan,2002, hal. 155.
65
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta:
Bina Aksara, 1983. hal 11.
62
- Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan
sebelumnya telah diatur dalam undang-undang.
- Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan
melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus
adanya kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pencelaan dari
masyarakat apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan
batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan
suatu akibat. Kesalahan itu sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan/
dolus dan kealpaan;
3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”;
Sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun
2009
tentang
Narkotika
menyebutkan
bahwa
;
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama
12
(dua
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
4. Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan
tanaman, golongan II dan golongan III".
Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk pertama kali ditetapkan
63
sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-masing
golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut:
4. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
5. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
6. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis. Konsep
ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep ini
juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertutup
dan terlepas dari kehidupan masyarakat.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang bertujuan menggambarkan objek yang diteliti, yaitu objek tentang
kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik pada pemeriksaan di
persidangan yang digali secara mendalam aturan-aturannya (norma-normanya)
kemudian dideskripsikan tanpa maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang
berlaku secara umum.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Sumber Data
a. Data sekunder, yaitu
berupa literatur-literatur, buku-buku, peraturan
perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi
penelitian.
65
b. Data primer, yaitu berupa wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto khususnya Majelis Hakim yang memimpin persidangan pada
perkara Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
E. Metode Pengumpulan Data
a. Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mempelajari
buku-buku, literatur-literatur, peraturan perundang-undangan maupun
dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian.
b. Data primer, sebagai pendukung dari data sekunder diperoleh dengan
melakukan wawancara secara bebas terpimpin dengan hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto.
F. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis,
logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif,
yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis berdasarkan data-data
66
yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori hukum
yang ada.
H. Spesifikasi Penelitian Terdahulu
Berikut ini beberapa skripsi yang dibuat mahasiwa Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman bagian Hukum Acara Pidana:
1. Judul skripsi
:Pembuktian
Dalam
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan No :
147/Pid.B/2010/PN. Pbg)
Nama
: Reza Febrian Pratama
NIM
: E1A008260
Perumusan Masalah
:
a. Apakah
alat
Kriminalistik
bukti
surat
mempunyai
dari
hasil
kekuatan
pemeriksaan
pembuktian
Laboratorium
dalam
Putusan
No:147/Pid.B/2010/PN.Pbg?
b. Bagaimana sitem pembuktian dalam tindak pidana penyalahgunaan
narkotika terhadap terdakwaq dalam Putusan No:147/Pid.B/2010/PN.Pbg?
Kesimpulan
:
a. Surat termasuk alat bukti yang sah karena memenuhi syarat formil dan
materiil. Secara formil bahwa isi dari surat tersebut sudah sesuai dan
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang dibuat secara resmi
menurut formal yang ditentukan undang-undang.
b. Menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan
pidana kepada terdakwa harus:
67
1. kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah.
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahw tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah.
Skripsi ini berbeda dengan skripsi penulis karena penulis meneliti tentang
kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di
persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto serta meneliti
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
menjatuhkan
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. Kemudian lokasi penelitian yang dilaksanakan
penulis adalah di Pengadilan Negeri Purwokerto, sedangkan Reza Febrian
Pratama melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Purbalingga.
2. Judul skripsi
: Kekuatan Pembuktian Hasil Laboratorium Forensik
Terhadap Pemeriksaan Urin Bagi Penyalahgunaan
Narkoba (Tinjauan Yuridis Pasal 183 KUHAP
Tentang Sistem Pembuktian)
Nama
: Lisna Desianty Rachman
NIM
: E1A001276
Perumusan Masalah :
a. Apakah pemeriksaan urin dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti
untuk memvonis seseorang sebagai pengguna narkoba apabila ditinjau dari
Pasal 183 KUHAP?
68
Kesimpulan
:
Dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika dan psikotropika,
pembuktian dapat dilakukan dengan meminta keterangan ahli dari Pusat
Laboratorium Forensik Polri yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti (narkoba) dan Urin. Agar pengguna
narkoba dapat dijerat sesuai pasal 183 KUHAP, pemeriksaan urin yang
termasuk hasil keterangan surat yang dikeluarkan oleh Laboratorium Forensik
dapat menghadirkan keterangan ahli yang mengeluarkan keterangan surat
tersebut, disebabkan pemeriksaan urin tidak dapat digunakan sebagai satusatunya alat bukti dalm memvonis seseorang sebagai pengguna narkoba.
Skripsi ini berbeda dengan skripsi penulis, karena skripsi karya Lisna
Desianty Rachman memfokuskan penelitiannnya pada pemeriksaan urin apakah
dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti untuk memvonis seseorang
sebagai pengguna narkoba apabila ditinjau dari Pasal 183 KUHAP. Sedangkan
penulis meneliti tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium
forensik tentang narkotika di persidangan dan pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam Putusan Nomor :
22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, tentang Tindak Pidana Narkotika, diperoleh
sebagai berikut:
1.
Duduk Perkara
Terdakwa ID pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul
11.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2012
bertempat di rumah terdakwa beralamat Jalan Gunung Slamet III No. 158 RT
02 RW 04 Kelurahan Purwosari Kecamatan Baturraden Kabupaten
Banyumas. Terdakwa kedapatan tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman, yang dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Ketika terdakwa hendak dilakukan pemeriksaan pada hari Minggu
tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul 11.10 WIB saksi ECS, saksi ABS dan
team (anggota Polri), lalu terdakwa berjalan ke depan rumah dan membuang
barang berupa bungkusan kertas buku berwarna putih ke dalam selokan.
Setelah itu terdakwa menyerahkan bungkusan kertas buku berwarna
putih tersebut kepada saksi ECS dan langsung dibuka, ternyata bungkusan
kertas buku warna putih tersebut berisikan daun ganja kering.
70
Terdakwa mengakui ganja tersebut miliknya yang didapat dari H
(Daftar Pencarian Orang (DPO)/belum tertangkap) sejak hari Rabu tanggal 18
Januari 2012 sekitar pukul 18.00 WIB dan disimpan terdakwa di dalam almari
sampai pada hari Minggu tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul 11.00 WIB.
Barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi
ganja, 1 (satu) unit handphone merk nokia warna hitam tipe RH-105
No.085726003983 ditemukan dari terdakwa, kemudian 1 (satu) buah botol
plastik berisi urine terdakwa dan telah dilakukan penyitaan sesuai penetapan
penyitaan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 25/Pen.Pid/2012/PN.Pwt
tanggal 31 Januari 2012. Terdakwa menyimpan, memiliki ganja tersebut tanpa
ada ijin dari pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai
secara pribadi.
2. Dakwaan Jaksa
Berdasarkan
uraian
di
atas,
terdakwa
melakukan
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika menyimpan, memiliki ganja tanpa ada ijin dari
pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara
pribadi. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan berbentuk
alternatif yaitu :
1. Melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-undang RI No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika atau ;
2. Melanggar ketentuan Pasal 127 huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
71
3. Barang Bukti
a. 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja ;
b. 1 (satu) buah botol plastik berisi urine ;
c. 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105
No.085726003983 ;
4. Pembuktian
a. Keterangan Saksi
1. DA memberikan keterangan :
Saksi dipanggil Polres sebagai saksi perkara terdakwa menggunakan
ganja, saksi tahu terdakwa adalah bernama CR. Awalnya pada hari Rabu, tanggal
18 Januari 2012, pukul 21.00 WIB terdakwa bersama H datang ke warung saksi di
Jl. Mardikeyo Kranji Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas. Pada waktu itu
saksi mau menutup warung, sehingga saksi menawarkan kalau mau main ke
rumah saja, kemudian saksi pulang ke rumah dan sekitar pukul 22.00WIB
terdakwa dan H datang ke rumah.
Terdakwa dan H masuk ke rumah terdakwa tepatnya di ruang tamu
kemudian H mengeluarkan bungkusan kertas berisi ganja diletakan di atas meja.
Saksi, terdakwa dan H melinting sendiri-sendiri dan
kemudian menghisap
bersama-sama sampai habis, tersisa satu lintingan dibawa pulang oleh H. Saksi
tidak tahu berapa kali terdakwa menghisap ganja dan saksi sudah beberapa kali
menghisap ganja bersama H, sedangkan dengan terdakwa baru sekali. Saksi baru
kenal dengan terdakwa dan yang mengenalkan adalah H. Menurut sepengetahuan
72
saksi H sudah pulang ke Indramayu dan barang bukti tersebut adalah benar.
Setahu saksi, terdakwa beli ganja kepada H karena saksi pada waktu itu juga
ditawari oleh H dan H bilang terdakwa juga beli akan tetapi saksi jawab saksi
tidak punya uang. Ganja tersebut satu paket besar yang disebut satu garis
dibungkus kertas koran.
Ganja tersebut dilinting dengan papir dan papir tersebut yang membawa H
pada tanggal 18 Januari 2012 pukul 21.30 WIB, dari tiga linting sisa satu linting
diberikan H untuk saksi. Saksi menghisap ganja untuk menambah nafsu makan.
Terdakwa ditangkap seminggu berikutnya baru saksi yang ditangkap. Saksi kenal
H sejak H lulus dari Unsoed tahun 2010, selama ini saksi belum pernah beli akan
tetapi sering dikasih oleh H, diajak menghisap bersama-sama dan lamanya
menghisap kurang lebih setengah jam.
2. ECS memberikan keterangan :
Terdakwa diajukan ke persidangan karena kepemilikan ganja. Saksi
menangkap seorang laki-laki bernama ID (terdakwa) pada hari Minggu, tanggal
22 Januari 2012, pukul 11.30 WIB di rumah terdakwa di Jl. Gunung Slamet III
No. 158 Kel. Purwosari Rt.02/04 Kec. Baturaden Kab Banyumas. Saksi
menangkap terdakwa bersama Brigadir HD, Briptu PW dan Briptu ABS.
Awalnya saksi mendapat informasi, kemudian bergerak ke lokasi serta
mendapati terdakwa yang berada di dalam rumahnya sedang memegang
handphone, terdakwa keluar rumah dengan membawa bungkusan yang
selanjutnya bungkusan tersebut dibuang ke dalam got. Kemudian saksi
73
memerintahkan agar terdawa mengambil lagi bungkusan tersebut dan ternyata
dalam bungkusan tersebut berisi ganja.
Saksi tahu bungkusan tersebut diambil dari saku celana terdakwa yang
kemudian dibuang kedalam got depan rumah terdakwa. Setelah dilakukan
pengembangan, maka diketahui paket ganja tersebut ternyata dari H yang telah
pulang ke Indramayu, sehingga saksi koordinasi dengan Polda Jawa Barat. Barang
bukti berupa paket ganja dan handphone merk Nokia type 105 berserta kartu
adalah milik terdakwa. Handphone tersebut ada hubungannya dengan perkara ini
karena digunakan untuk menghubungi H (DPO). Terdakwa bukan DPO dan baru
pertama kali ini mengkonsumsi ganja. Menurut penelitian dari hasil laboratorium,
tes urine mengandung positif tetrahydrocannabinol. Saat di rumah terdakwa,
hanya ada terdakwa dan tidak ada orang lain selain terdakwa.
Terdakwa menghubungi H akan tetapi sudah tidak bisa. Barang bukti yang
di dalam kotak masih utuh isi tiga linting dan terdakwa tidak melakukan
perlawanan ketika ditangkap, bahkan dia ketakutan. Kondisi rumah terdakwa
tidak ada bau ganja karena ganja belum dipergunakan. Bahwa dari hasil
pemeriksaan laboratorium forensik dari barang bukti perkara ini yaitu positif
narkotika.
3. ABS memberikan keterangan :
Terdakwa diajukan ke persidangan karena telah memiliki ganja. Saksi
menangkap terdakwa bersama Brigadir HD, Briptu PW dan ECS, pada hari
Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.30 WIB, di rumah terdakwa di Jl.
Gunung Slamet III No. 158 Kel. Purwosari RT 02/04 Kec. Baturaden, Kab
74
Banyumas. Setelah menangkap terdakwa, dilakukan pengembangan, diketahui
paket ganja tersebut ternyata dari H yang telah pulang ke Indramayu sehingga
saksi koordinasi Polda Jawa Barat. Menurut pengakuan terdakwa sudah biasa
menggunakan ganja dengan DA dan PW. Sewaktu ditangkap terdakwa mengakui
termasuk pemain baru dan terdakwa mengakui sabu-sabu tersebut adalah milik
terdakwa.
4. PW memberikan keterangan:
Saksi PW mengetahui terdakwa pengguna ganja karena kalau tidak
menggunakan ganja, terdakwa susah tidur. Saksi pernah menggunakan ganja
bersama terdakwa kurang lebih 3 (tiga) kali, dengan cara menghisap bersamasama bergantian. Awalnya pada bulan Agustus 2011 saksi mendapatkan ganja dari
Jakarta, kedua, berselang 2 (dua) hari kemudian, saksi menghisap ganja bersama
terdakwa dan kemudian yang terakhir pada tanggal 21 Januari 2012, tertangkap.
Terdakwa mengisap ganja bersama saksi di rumah terdakwa karena rumah
terdakwa sepi dan penghuninya hanya terdakwa saja karena orang tua terdakwa
kerja di bengkel, pulangnya malam sedangkan ibunya sibuk di gereja dan
organisasi. Saksi menghisap ganja di dalam kamar rumah terdakwa, saksi
membawa dan memberikan ganja kepada terdakwa dengan rencana akan dihisap
bersama-sama.
Saksi PW tidak kenal dengan H, berdasarkan pengakuan terdakwa frustasi
tidak dapat pekerjaan sehingga pelariannya ke ganja. Saksi pernah mengajak
terdakwa untuk bekerja akan tetapi terdakwa tidak mau, katanya mau menunggu
75
penerimaan PNS. Saksi tidak pernah janjian dengan terdakwa datang ke rumah
terdakwa untuk menghisap ganja, saksi datang ke rumah terdakwa dan kebetulan
rumah terdakwa selalu sepi.
Mengenai barang bukti tersebut saksi tidak tahu, saksi kenal dengan
terdakwa karena sama-sama sekolah di SD Santa Maria Purwokerto. Kemudian di
dalam kamar yang tidak terkunci saksi dan terdakwa duduk di atas kasur sambil
menghisap ganja sedangkan pintu utamanya yang dikunci. Setiap selesai
menghisap ganja, saksi langsung pulang ke rumah sekitar pukul 21.30 WIB.
Sepulang saksi belajar dari Singapura, saksi bertemu terdakwa di jalan
kemudian saksi main ke rumah terdakwa, dan terdakwa bercerita belum mendapat
pekerjaan sedang menunggu PNS, bahwa terdakwa kecanduan ganja karena kalau
tidak menghisap ganja tidak bisa tidur.
b. Surat
Berdasarkan berita acara pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Nomor
Lab: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari
2012 pusat Laboratorium Forensik
Bareskrim Polri cabang Semarang yang ditandatangani oleh pemeriksa : Yayuk
Murthi Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST dan diketahui Kepala Laboratorium
Forensik cabang Semarang Drs. Siswanto yang memuat:
A. Barang bukti :
Barang bukti yang diterima diberi No. Lab. 124/NNF/2012 berupa 1
(satu) bungkus plastik yang berlak segel dan berlabel barang bukti dan
1(satu) buah toples yang berlabel barang bukti berisi 5(lima) buah urine
setelah dibuka salah satunya diberi nomor barang bukti :
76
1. BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi batang,
daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram ;
2. BB-0214/2012/NNF berupa 1(satu) buah tube berisi urine. Barang
bukti tersebut di atas disita dari tersangka ID.
B. Kesimpulan:
Setelah dilakukan pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik disimpulkan:
1. Nomor BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi
batang, daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram,
positif Derivat Cannabinoid.
2. Nomor BB-0214/2012/NNF berupa urine tersebut di atas adalah
mengandung Tetrahydrocannabinol dan terdaftar dalam golongan I
(satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Keterangan Terdakwa
Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
Pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.00 WIB, terdakwa
menyimpan ganja di almari rumah terdakwa, Jalan Gunung Slamet III No. 158
RT. 02 RW. 04, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Baturaden, Kabupaten
Banyumas. Terdakwa memperoleh ganja dari H (DPO) dengan cara membeli
seharga Rp. 50.000,-, beralamat di Indramayu Jawa Barat, pada hari Rabu, tanggal
77
18 Januari 2012.Terdakwa tahu kalau H (DPO) datang dari Indramayu ke
Purwokerto pasti membawa ganja dan sekarang H sudah pulang ke Indramayu.
Pada waktu saksi ECS dan saksi ABS, petugas yang mengetuk pintu,
kemudian terdakwa mengambil bungkusan berisi ganja yang terdakwa simpan di
dalam almari kamar sambil menghubungi ibu terdakwa. Terdakwa membuang
bungkusan tersebut ke dalam selokan di depan rumah, akan tetapi perbuatan
terdakwa dilihat oleh saksi ECS, sehingga terdakwa disuruh mengambil
bungkusan tadi. Terdakwa bersama DA (diajukan dalam perkara lain) dan H
(DPO), pada hari Rabu, tanggal 18 Januari 2012, beralamat di Desa Karang
Salam, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, dengan cara melinting
sendiri-sendiri kemudian secara bergantian menghisap ganja yang sudah dilinting
seperti menghisap rokok sampai habis.
Benar, selain dengan DA dan H (DPO), terdakwa juga
bersama PW
(diajukan dalam perkara lain), menghisap ganja di rumah terdakwa pada hari
Sabtu, tanggal 21 Januari 2012, sekitar pukul 20.00 WIB, sebanyak 2 (dua) kali.
Ganja yang dibawa oleh H (DPO) ke rumah terdakwa dan sewaktu terdakwa
menghisap ganja dengan DA, yang membawa ganja H (DPO). Setiap
menggunakan ganja selalu di rumah karena rumah sepi, ibu terdakwa ada kegiatan
di Gereja sedangkan Ayah ada di bengkel. Terdakwa menggunakan ganja terakhir
di bulan Januari 2012.
Terdakwa belum sempat mempergunakan ganja yang terdakwa peroleh
dari H (DPO), namun sudah ditangkap Polisi. Terdakwa belum berkeluarga, anak
tunggal dan masih kuliah, sedang mengerjakan skripsi. Terdakwa menggunakan
78
ganja karena frustasi orang tua sudah pensiun, terdakwa belum selesai kuliah dan
ingin mencari kerja jadi Pegawai Negeri akan tetapi belum mendapat kerjaan
sehingga pelariannya ke ganja sampai terdakwa kecanduan ganja.
Terdakwa telah menggunakan ganja setiap malam karena kalau tidak
menggunakan ganja badan terasa sakit dan tidak bisa tidur serta nafsu makan
hilang. Terdakwa mendapat uang saku dari orang tua sebanyak Rp. 10.000.(sepuluh ribu rupiah) setiap hari.
Benar, terdakwa pernah diperiksa oleh Dr. Abdurrahman AMA, MKes,
SpKJ pada tanggal 5 Maret 2012. Barang bukti berupa ganja akan dipergunakan
sendiri dan tidak untuk dialihkan dan atau diperjualbelikan kepada orang lain.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto
yang memeriksan dan mengadili perkara ini memutus sebagai
berikut:
a.
Menyatakan
terdakwa
ID
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“Menyalahgunakan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri” sebagaimana
dakwaan kedua melanggar dalam Pasal 127 ayat(1) huruf (a) UU RI No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ID dengan pidana penjara selama :
1 (satu) tahun dan 2(dua) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara dan perintah terdakwa tetap ditahan ;
79
c. Menyatakan barang bukti berupa :
• 1(satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja;
• 1(satu) buah botol plastik berisi urine terdakwa;
dirampas untuk dimusnahkan;
• 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam tipe RH-105
No.085726003983 dirampas untuk Negara;
d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah).
6.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh Penuntut
Umum ke persidangan dengan dakwaan Alternatif, yaitu Kesatu Pasal 111 Ayat
(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Kedua Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk
alternatif, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan yang mendekati
dengan pembuktian/fakta di persidangan, dan apabila salah satu dakwaan telah
terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis akan mempertimbangkan
dakwaan kedua, yaitu pasal 127 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut : 1. Setiap penyalahguna ;
80
2. Narkotika golongan I bagi diri sendiri ;
Ad.1 Setiap Penyalahguna
Pengertian “Penyalah Guna” pada pasal 1 angka 15 Undang-Undang RI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Orang yang diajukan ke persidangan
adalah ID, yang identitas lengkapnya termuat dalam surat dakwaan dan
dibenarkan berdasarkan keterangan saksi-saksi serta terdakwa bahwa terdakwa
adalah orang yang dimaksud dalam perkara ini, sehingga tidak terjadi kesalahan
menyangkut orang atau error in persona.
Selanjutnya dengan pekerjaan terdakwa tersebut, dihubungkan dengan
dakwaan Penuntut Umum, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan barang
bukti yang diajukan di persidangan berupa ganja yang termasuk golongan
Narkotika Golongan I Nomor Urut 8 Lampiran UU No. 35 Tahun 2009, maka
Majelis berpendapat, terdakwa bukan seorang ilmuwan yang mempunyai
kewenangan untuk mempergunakan narkotika golongan I sebagai obyek
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan sebagai peneliti ilmu
pengetahuan tertentu dan bukanlah seorang yang oleh karena itu memperoleh
persetujuan Menteri atau rekomendasi Kepala Balai Pengawasan Obat dan
Makanan.
Oleh karena itu terdakwa tidak berhak untuk memiliki ataupun
mempergunakan ganja yang termasuk Narkotika Golongan I, sebagaimana
ketentuan pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2009. Menimbang, bahwa
81
selama mengikuti persidangan, terdakwa dapat menjawab dengan baik setiap
pertanyaan yang diajukan kepadanya, sehingga terdakwa dalam keadaan sehat
jasmani dan rohani serta dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur setiap penyalahguna telah
terpenuhi.
Ad. 2. Narkotika golongan I bagi diri sendiri
Pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.00 WIB, terdakwa
menyimpan ganja di almari rumah terdakwa, Jalan Gunung Slamet III No. 158
RT. 02 RW. 04, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Baturaden, Kabupaten
Banyumas. Terdakwa memperoleh ganja dari H (DPO) dengan cara membeli
seharga Rp. 50.000,-, beralamat di Indramayu Jawa Barat, pada hari Rabu, tanggal
18 Januari 2012 dan sebelumnya terdakwa tahu kalau H (DPO) datang dari
Indramayu ke Purwokerto, karena H telpon ke terdakwa, menawarkan ganja dan
terdakwa membeli, namun sekarang H sudah pulang ke Indramayu.
Terdakwa menggunakan ganja terakhir di bulan Januari 2012 dan
terdakwa belum sempat mempergunakan ganja yang terdakwa peroleh dari H
(DPO), namun sudah ditangkap Polisi.
Terdakwa telah menggunakan ganja setiap malam karena kalau tidak
menggunakan ganja badan terasa sakit dan tidak bisa tidur serta nafsu makan
hilang. Barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan pemeriksaan,
yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.:
124/NNF/2012, tanggal 30 Januari 2011, berupa 1 (satu) bungkus kertas berisi
82
batang, daun dan biji, berat 3,041 gram, positif mengandung Derivat Cannabinoid
dan 1 (satu) buah tube berisi urin milik terdakwa, positif mengandung
Tetrahydrocannabinol, yang termasuk golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan)
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika. Barang bukti berupa ganja akan dipergunakan sendiri dan tidak untuk
dialihkan dan atau diperjualbelikan kepada orang lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis berpendapat
unsur narkotika golongan I bagi diri sendiri telah terpenuhi, sehingga
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan terdakwa
telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan kedua, sehingga Majelis
berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 127 huruf a UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Jenis dakwaan Penuntut Umum adalah alternatif, dan dalam perkara ini
dakwaan kedua telah terbukti, sehingga dakwaan kesatu, yaitu pasal 111 ayat (1)
UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak perlu dibuktikan lagi.
Untuk menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan terlebih
dahulu
hal-hal
yang memberatkan dan
meringankan.
Hal-hal yang memberatkan :
• Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat ;
83
yang
• Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka
memberantas peredaran dan penggunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang.
Hal-hal yang meringankan :
• Terdakwa bersikap sopan, berterus terang, menyesali perbuatannya dan
berjanji tidak akan melakukan lagi ;
• Terdakwa belum pernah dihukum ;
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap
terdakwa yaitu:
1. Menyatakan terdakwa ID terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri
sendiri ;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan ;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
• 1(satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja;
• 1(satu) botol plastik berisi urine milik terdakwa ;
dirampas untuk dimusnahkan ;
84
• 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105
No.085726003983 dirampas untuk Negara ;
6. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah).
B. Pembahasan
1.
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik Tentang
Narkotika Di Persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto
Salah satu bentuk alat bukti yang sah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah surat.
Menurut Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai alat bukti surat yang
merumuskan sebagai berikut :
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu;
b.Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dan padanya;
d.Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.”
85
Surat adalah alat komunikasi yang dibuat secara tertulis untuk
menyampaikan berita/informasi dari seseorang/lembaga/instansi kepada
seseorang/lembaga/instansi dengan mengikuti aturan dan bentuk tertentu.66
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e.Keterangan terdakwa.
Alat bukti surat merupakan urutan ke-3 dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Menurut Andi Hamzah67 ;
“Surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca
yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.”
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan
pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa, dan pada saat pemeriksaan saksi,
ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang
bersangkutan dengan terdakwa pada saat memeriksa terdakwa. Alat bukti
berupa surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang menyebutkan : Surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
66
http://www.scribd.com/doc/37855873/Pengertian-Surat-Dan-Jenis-jenis-Surat diakses tanggal
15 September 2012.
67
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, halaman 276.
86
Alat bukti surat yang akan diteliti adalah alat bukti yang dibuat oleh
laboratorium forensik. Menurut Pasal 187 huruf c Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya”.
Surat yang ditanda tangani oleh ahli dan dibuat dengan mengingat
sumpah, cukup dibaca saja di persidangan, maka mempunyai kekuatan sama
dengan ahli yang menghadap di muka persidangan dan menceritakan hal
tersebut secara lisan.
Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan mempunyai nilai
pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang
diharuskan oleh undang-undang.
Adapun syarat sah surat supaya mempunyai kekuatan pembuktian
harus memiliki syarat formil dan syarat materiil. Surat mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat:
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang
diatur oleh undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat
melemahkan bukti surat tersebut.
Dilihat dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara
pidana adalah:
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
87
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.68
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal
ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara
pidana berusaha mencari kebenaran materiil. Pembuktian juga merupakan
titik sentral hukum acara pidana.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
membuktikan kesalahan terdakwa.69
Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, hakim memeriksa
alat bukti yakni 4 orang saksi, keterangan ahli, dan surat pemeriksaan
laboratorium kriminalistik No. Lab: 124/NNF/2012 yang menerangkan
barang bukti bahwa:
68
Ibid. halaman 280
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273.
69
88
1. Satu bungkus kertas berisi batang, daun, dan biji ganja dengan berat
3,041 gram, positif mengandung Derivat Cannabinoid;
2. Satu buah tube berisi urin milik terdakwa, positif mengandung
Tetrahydrocannabinol, yang termasuk golongan I (satu) Nomor Urut 9
(sembilan).
Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan minimum pembuktian
dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I yang dijatuhi putusan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana
yang dirumuskan dalam delik kepemilikan narkotika apabila dapat dibuktikan
berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat
meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi
seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1), dan Pasal
127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang terdiri dari:
1. Unsur “setiap orang”;
2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”;
3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”;
4.Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan
tanaman, golongan II dan golongan III".70
Menurut Moh. Taufik Makarao, S.H. MH 71 bentuk-bentuk tindak
pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan/melebihi dosis
Hal ini disebabkan leh banyak hal antara lain :
a. melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengelaman emosional;
70
http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/06/kerangka-pikir-pembuktian-unsurtanpa.html diakses tanggal 12 November 2012
71
Moh. Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003,
halaman 45.
89
b. menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
c. mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
d. hanya sekedar ingin tahu atau iseng;
2. Pengedaran narkotika
Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik
nasional maupun internasional;
3. Jual beli narkotika
Pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
Persidangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika Nomor :
22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto
memeriksa
alat
bukti
surat
dari
Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang menerangkan
bahwa :
“Berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.:
124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik
Bareskrim Polri cabang Semarang yang ditandatangani oleh pemeriksa :
Yayuk Murthi Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST dan diketahui Kepala
Laboratorium Forensik cabang Semarang Drs. Siswanto yang memuat:
A. Barang bukti :
Barang bukti yang diterima diberi No. Lab. 124/NNF/2012 berupa 1
(satu) bungkus plastik yang berlak segel dan berlabel barang bukti dan
1(satu) buah toples yang berlabel barang bukti berisi 5(lima) buah urine
setelah dibuka salah satunya diberi nomor barang bukti :
1. BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi batang,
daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram ;
2. BB-0214/2012/NNF berupa 1(satu) buah tube berisi urine. Barang
bukti tersebut di atas disita dari tersangka ID.
B. Maksud Pemeriksaan :
Apakah barang bukti tersebut mengandung sediaan Narkotika ?
C. Pemeriksaan :
Barang Bukti Hasil Pemeriksaan
BB-0213/2012/NNF Positif Derivat Cannabinoid
BB-0214/2012/NNF Positif Tetrahydrocannabinol
D. Dalam Kesimpulan :
Setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratories kriminalistik di
simpulkan: Nomor BB-0214/2012/NNF berupa urine tersebut di atas
adalah mengandung Tetrahydrocannabinol dan terdaftar dalam
golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan
terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
90
127 huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.”72
Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, hakim yang
memeriksa alat bukti surat laboratorium forensik telah dipenuhi ketentuan
yang ditentukan oleh undang-undang dan substansi yang mengenai
pemeriksaan urin mengandung narkotika, sehingga alat bukti surat
laboratorium forensik mempunyai kekuatan pembuktian karena telah
memenuhi syarat formil dan materiil.
Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
Putusan
Nomor:
22/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto terhadap alat bukti surat adalah yang
apabila ditinjau dari segi formal bahwa alat bukti surat tersebut merupakan
keterangan ahli yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di atas sumpah
jabatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam putusan tersebut adalah bernilai
sempurna.
2.
Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Pidana Terhadap Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
72
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. halaman 10-11
91
Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:
1. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah/minimum
pembuktian;
2. Adanya keyakinan hakim.
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan. Menurut C. Djisman Samosir73 mengenai alat-alat bukti
dan pembuktian yaitu ;
”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa,
acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna
membantu hakim untuk pengambilan keputusannya. Alat-alat bukti ini
adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu.
Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha
penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang
melakukan perbuatan tersebut”.
Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna
bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat
bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim
ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa
yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh
dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga
membenarkan pelakunya adalah terdakwa. 74
73
C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta,
1985. halaman 79.
74
Nikolas Simanjuntak , Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2009, halaman 244.
92
Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai
dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan
dengan suatu motivasi”.
Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto bahwa majelis
hakim yang memeriksa perkara tersebut menyatakan :
“Menimbang, bahwa selain menghadirkan saksi, Penuntut Umum juga
telah mengajukan barang bukti berupa :
1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja ;
1 (satu) buah botol plastik berisi urine ;
1 (satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105
No.085726003983
Bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan
pemeriksaan, yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories
kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012, tanggal 30 Januari 2011, berupa 1
(satu) bungkus kertas berisi batang, daun dan biji, berat 3,041 gram, positif
mengandung Derivat Cannabinoid dan 1 (satu) buah tube berisi urin milik
terdakwa, positif mengandung Tetrahydrocannabinol, yang termasuk
golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika”.75
Berdasarkan pemaparan di atas maka hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto
menyatakan bahwa :
1. Menyatakan terdakwa ID terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I bagi
diri sendiri;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun;76
75
76
Op.cit. halaman 21-23
Ibid. halaman 32-33
93
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari
Keterangan saksi yang saling bersesuaian satu sama lain serta alat bukti surat
No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium
Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang yang bersesuaian pula dengan
keterangan para saksi, maka majelis telah mendapat bukti yang sah dan
merupakan sumber keyakinan hakim dalam memberikan putusan, bahwa
terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan putusan pidana bagi
terdakwa atas perbuatannya itu.
Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan
beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat
mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari
surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam
pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11
KUHAP yang merumuskan :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.”
Laden Marpaung77 menyebutkan :
77
Laden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika.
Jakarta. 1994. Hal. 36.
94
“Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan
dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.
Ada juga yang mengartikan putusan atau vonis sebagai vonis tetap (definitif),
mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir
dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.”
Putusan perkara Nomor: 22/Pis.Sus/2012/PN.PWT merupakan bentuk
putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP
serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan
dalam perkara ini bagi terdakwa (IDPO) dengan hukuman pidana penjara
selama 1 (satu) tahun karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Putusan perkara pidana Nomor: 22/Pis.Sus/2012/PN.PWT, dengan
penjatuhan pidana 1 (satu) tahun penjara dinilai sudah sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pelaku penyalahguaan
narkotika golongan I.
95
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1) Kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang
narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto.
Hasil
pemeriksaan
laboratories
kriminalistik
No.
Lab.:
124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik
Bareskrim
Polri
cabang
Semarang
dalam
Putusan
Nomor:
22/Pid.Sus/2012/PN. PWT sebagai alat bukti surat berdasarkan pada
Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 187 huruf c KUHAP adalah alat
bukti surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pembuatan serta
keterangan yang terkandung di dalamnya yang dibuat diatas sumpah
jabatan. Maka alat bukti surat tersebut adalah alat bukti yang bernilai
sempurna.
Alat bukti surat merupakan alat bukti yang sah dan hakim bebas
memakai sebagai alat bukti surat untuk dasar pertimbangan hukum bagi
96
hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 1
(satu) tahun terhadap terdakwa (Ignasius Dedy Primadi Octovianto).
Pertimbangan Hakim tersebut didasarkan pada :
a. Terpenuhinya syarat materiil yaitu substansi yang tercantum dalam
alat bukti surat No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012
pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang sesuai
dengan fakta yang diperiksa oleh seorang ahli dan syarat formil yaitu
surat dibentuk secara resmi menurut formalitas yang ditentukan
peraturan perundang-undangan sebagai alat bukti surat yakni dibuat
secara tertulis dan dikuatkan dengan janji atau sumpah.
b. Kesesuaian alat bukti surat No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30
Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang
Semarang dengan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa.
2) Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana
Terhadap Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN PWT, didasarkan pada:
Alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum
dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
alat bukti surat dan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus kertas buku
warna putih berisi ganja, 1 (satu) buah botol plastik berisi urine, 1(satu)
unit
handphone
merk
Nokia
warna
hitam
type
RH-105
No.085726003983. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas
97
minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP.
Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu unsur setiap
orang, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan tanpa hak
atau melawan hukum telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis
Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terhadap terdakwa.
B. Saran
Berkenaan dengan tidak efektifnya tindakan hukum yang
beranggapan bahwa dengan diputus pidana akan menjadi lebih baik dan
jerah, karena dengan dipidana tidak memberi jaminan bahwa Negara
Indonesia ini bebas dari narkotika, maka dari itu dibutuhkanya tindakan
diluar jalur hukum (non penal).
Seorang saksi ahli belum tentu dapat menghadiri persidangan
karena satu dan lain hal terkait profesinya sebagai seorang ahli, maka dari
itu seorang hakim yang memeriksa dan memutus perkara penyalahgunaan
narkotika harus paham mengenai hasil dari pemeriksaan laboratorium
forensik tersebut.
98
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur :
Adji, Indriyanto Seno. 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan.
Atang Ranoemihardjo, R. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science).
Bandung: Tarsito.
Atmasasmita, Romli.
:BinaCipta.
1983.
BungaRampaiHukumAcaraPidana.
Jakarta
Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di
Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta:
Sinar Grafika.
. 1986. Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hamzah, Andi dan Indra Dahlan. 1984.
Komentar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Perbandingan KUHP, HIR dan
Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Jilid I), Jakarta: Pustaka Kartini.
. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta : Sinar Grafika.
. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Hawari, Dadang. 1997. Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA. Yogyakarta:
Dhana Bakti Priayasa.
99
Kusuma, Musa Perdana.1983. Bab-Bab tentang Kedokteran Forensik. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Makarao, Moh Taufik dkk. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Marpaung, Leden. 1994. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana
Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta: Sinar Grafika.
Martika, I Ketut & Djoko Prakoso. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran
Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta.
Moelyatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana.
Yogyakarta: Liberty.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
. 1983. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya
Paramitha.
Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan
Bandung: Bina Cipta.
. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Bandung:
Binacipta.
Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
Bandung: Mandar Maju.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soeparmono, R. 2002. Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam Aspek Hukum
Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana
menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria.
100
Sujono, A.R, dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan UndanngUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
Supardjaja, Komariah E. 2002. Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya
dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
522/Menkes/SK/VI/2008 tentang Penunjukkan Laboratorium Pemeriksaan
Narkotika dan Psikotropika.
Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6
Tahun 1976.
C. Sumber Lain :
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33&Item
id=33 diakses tanggal 13 September 2012.
http://www.scribd.com/doc/37855873/Pengertian-Surat-Dan-Jenis-jenis-Surat
diakses tanggal 15 September 2012.
http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/06/kerangka-pikir-pembuktianunsur-tanpa.html diakses tanggal 12 November 2012.
http://sirpetermarx.blogspot.com/2009/11/tentang-ilmu-forensik.html
(Guru
Pinandita Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. , hlm. 279). diakses
tanggal 13 Desember 2012
http://ozzieside.blogspot.com/2010/03/ilmu-forensik.html
Desember 2012
101
diakses
tanggal
13
Download