39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga lahan pertanian dapat dikatakan sebagai pemasukan yang penting untuk proses keberlanjutan produksi, juga eksistensi lahan terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan budayanya (Darwis 2009). Namun, di Indonesia distribusi lahan pertanian tidaklah merata terutama di desa jawa karena penduduknya yang padat. Dua konsep tradisional mengenai hak atas tanah yang saling berkaitan yaitu raja atau kaum elit yang mengklaim mengenai pajak dan kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka kerena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Ketimpangan lahan menjadikan pemerintah memperhatikan keadaan yang merugikan petani sehingga usaha pemerintah Indonesia dalam membangun sosialekonomi difokuskan pada pembangunan pertanian. Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang merencanakan peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada. Namun kebijakan ini dianggap telah gagal karena hanya mencakup petani bersawah yang mendapat kredit dalam program tersebut, sedangkan syarat untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin (terutama di desa) adalah dengan mengikutsertakan petani gurem dan petani tak bertanah ke dalam reforma agraria. Redistribusi lahan dilaksanakan karena adanya kebijakan UUPA tahun 1960 yang berpihak kepada petani gurem dan petani tak bertanah. Namun, di awal tahun tersebut banyak pemilik tanah yang ketakutan akan peraturan landreform sehingga mereka menyerahkan tanah kepada penggarap dan meninggalkan praktik pertanian bagi hasil dan beralih ke penggunaan buruh upahan. Hal ini dilakukan karena dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap tanah mereka. 40 Kampung Cijengkol merupakan salah satu kampung yang penduduknya cukup padat diantara kampung-kampung lain yang berada di Desa Cigudeg. Kampung ini pun salah satu kampung dimana penduduknya banyak melakukan aktivitas pertanian terutama di sawah dan kebun. Namun, ada juga sebagian kecil warga yang melakukan aktivitasnya di ladang, pekarangan, hutan bahkan diluar pertanian. Jika dibandingkan dengan kampung lain yang ada di Desa Cigudeg, lebih banyak warga Kampung Cijengkol yang berpendapatan rendah. Kebanyakan dari warga memanfaatkan, mengolah dan mengambil keuntungan dari lahan yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sawah yang ditanami padi dan kebun yang ditanami sayur-sayuran atau kayu jenjeng (warga menyebutnya ki ambon) yang dapat dijual untuk mendapatkan tambahan uang. Namun hasil yang mereka telah tanam hanya dapat dinikmati oleh sendiri (subsisten). Hal ini mengartikan bahwa mereka yang beraktivitas di pertanian (sebagai petani) dapat dikatakan sebagai petani gurem. Jumlah penduduk di kampung ini terbilang cukup padat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jumlah anggota keluarga yang ada. Tabel 12 menggambarkan bahwa banyaknya jumlah anggota keluarga setiap satu keluarga. Tabel 12. Jumlah anggota setiap keluarga di Kampung Cijengkol Kategori Banyak Sedang Sedikit IK Jumlah Anggota Keluarga >7 4<x≤7 1<x≤4 Total Jumlah 15 19 12 46 Persentase (%) 32,60 41,30 26,10 100,00 Berdasarkan Tabel 12 bahwa jumlah anggota dari setiap keluarga dengan kategori jumlah anggota keluarga yang sedang yang paling banyak terdapat di kampung ini. Sekitar 19 keluarga yang memiliki anggota dari 4-7 orang atau 41,30 %. Urutan kedua yaitu jumlah anggota keluarga yang lebih dari 7 orang dengan jumlah 15 keluarga atau sekitar 32,60 %, sedangkan untuk kategori sedikit yaitu 1-4 orang anggota hanya ada 12 keluarga atau sekitar 26,10 %. Maka dari itu, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di kampung ini merupakan jumlah penduduk yang cukup banyak. Hal ini mempengaruhi warga dalam hal akses 41 terhadap lahan karena dengan padatnya penduduk maka lahan yang dikuasai pun semakin kecil karena lahan dibagi-bagikan kepada anaknya (diwariskan). 5.2 Pola Penguasaan Lahan di Kampung Cijengkol Pola penguasaan lahan di Jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk-Bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat yang telah terganggu. Bentuk penguasaan lahan di Jawa beragam seperti dijelaskan oleh Wiradi (2009) mengenai land tenure yang memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah dan menguraikan masalah-masalah mengenai status hukum dari penguasan tanah seperti hak milik pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Pola penguasaan lahan di Kampung Cijengkol saat ini cenderung lebih ke arah pemilikan perorangan. Kebanyakan dari warga kampung memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki (sawah dan kebun) yang didapat dari hasil membeli ataupun warisan dari orang tua. Jika dikaitkan dengan “Struktur agraria” yaitu tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah menjadi mapan yang menjadikan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan, juga hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya terlihat di kampung ini. Hanya saja hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih banyak dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa 42 antara pemilik dan penggarap dan pengupahan (buruh tani) terlihat juga di kampung ini walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang sering ada di kampung Cijengkol adalah pemilik-sekaligus penggarap, bukan pemilikpenggarap, pemilik-bukan penggarap. Tiga bentuk hubungan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemilik-sekaligus penggarap Bentuk penguasaan seperti ini adalah yang paling banyak terdapat di Kampung Cijengkol. Warga kampung ini sebagian besar memiliki sawah dan kebun dan mereka menggarapnya sendiri. Lahan sawah digunakan untuk menanam padi dan biasanya di sisi sawah ditanam pohon pisang atau cabai. Namun tidak semua orang memanfaatkan sisi sawah dengan menanam pohon buah atau cabai. Masa panen padi di kampung ini tiga kali dalam setahun namum tidak serempak karena pada saat musim tanam pun waktunya tidak sama. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bapak SBI (39 tahun) warga RT 01 yaitu; “Untuk musim panen disini mah tidak bareng seperti yang terjadi di daerah Karawang atau Cianjur. Wargapun disini bukan petani yang benar-benar petani. Mereka bisa bertani secara otodidak saja. Cara nanamnya pun tidak sesuai dengan cara nanam yang baik, hanya sekedar nanam tanpa diperhatikan jarak tanamnya. Makanya walaupun sawahnya luas namun cara tanamnya tidak baik akan mempengaruhi hasilnya. Misalnya saja hasilnya jadi tidak memuaskan dan tidak banyak tidak seperti yang seharunya dihasilkan dengan luas sawah yang dimiliki”. Kebun yang warga miliki lebih sering ditanami kayu jenjeng atau warga sering menyebutnya kayu ki ambon walaupun ada beberapa orang yang ditanami buah-buahan atau sayur-sayuran. Kebun yang dimiliki warga letaknya di gunung dan mereka pun tidak menanam sayur-sayuran atau buah-buahan karena sering dimakan oleh binatang seperti monyet dan babi hutan. Oleh karena itu, lebih aman untuk mereka tanam kayu dibandingkan buah-buahan atau sayuran karena kayu tidak akan di makan oleh binatang tersebut. b. Bukan pemilik-penggarap Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di kampung Cijengkol walaupun tidak banyak. Sebagian kecil warga ada yang menggarap lahan sawah maupun kebun 43 untuk menghidupi keluarganya tetapi bukan pemilik yang sebenarnya. Mereka yang bukan pemilik-penggarap berstatus lahan sebagai penyewa, gadai, dan bagi hasil. Sedikit warga yang memiliki status lahan sebagai penyewa, gadai dan bagi hasil yang ditemukan di lokasi penelitian. Kebanyakan pola bagi hasil dilakukan warga kampung terhadap lahan sawahnya dikarenakan warga tersebut sudah tidak sanggup untuk mengolah sawah karena fisiknya yang tidak kuat, ataupun mereka adalah janda. Seperti yang dikatakan Ibu MMY (30 tahun) warga RT 01 kampung Cijengkol yaitu: “Saya teh gaduh sawah alit, pamasihan kolot warisan kitu neng, ku saya di maparo keun ka batur. Mun ku nyalira mah teu tiasa deui, kan bapak teh tos lami teu damang”. Ibu Mmy (30 tahun) mengatakan bahwa beliau memiliki sawah walaupun sedikit. Sawah tersebut dikasih dari orang tuanya sebagai warisan. Namun, sawah tersebut di bagi hasil dengan orang karena jika digarap sendiri sudah tidak bias karena suaminya sudah lama sakit. Memang tidak banyak yang melakukan bagi hasil seperti Ibu Mmy (30 tahun) ini, karena warga lebih memilih untuk menggarapnya sendiri dengan luas lahan relatif kecil yang mereka miliki dan masih bisa dijangkau oleh mereka untuk penggarapannya. c. Pemilik-bukan penggarap Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di Kampung Cijengkol, namun tidaklah banyak seperti bentuk penguasaan pemilik-sekaligus penggarap. Hal ini dikarenakan warga kampung menganggap bahwa lahan digarap sendiri dan hasilnya juga untuk sendiri dan tidak berkurang karena pembagian kecuali hasilnya berkurang karena iklim sehingga hasilnya tidak maksimal. Beberapa warga kampung menilai bahwa lahan sangatlah penting untuk status sosial dan untuk masa depan. Namun untuk pemilik lahan-bukan penggarap, mereka bukanlah menyewakan lahan mereka kepada orang lain melainkan lahan tersebut dibiarkan saja tidak digarap (lahan tidur). Lahan tersebut biasanya adalah kebun warga yang letaknya jauh dari rumah mereka. Dari 46 responden tidak semuanya menggantungkan hidupnya dari usahatani, walaupun mereka menguasai sebagian lahan pertanian. Salah satunya yaitu Bapak Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu 44 Bapak JJT (37 tahun) memiliki pekerjaan sebagai Guru Agama di salah satu sekolah swasta. Beliau tidak menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Lahan yang dikuasainya pun tidak digarap. Pernyataan langsung dari beliau yaitu; “saya punya kebun, tapi gak punya sawah. Kebun pun tidak digarap, dibiarkan begitu saja. Kebun itu saya beli bukan didapat dari warisan, dan itu saya anggap sebagai investasi saya saja”. Pemilik-bukan penggarap bukan hanya seseorang yang memiliki, menguasai lahan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya kepada orang lain melainkan lahan yang sengaja tidak digarap oleh pemiliknya sendiri. Hanya sebagian kecil warga Kampung Cijengkol yang membiarkan lahannya tidak digarap olehnya ataupun orang lain. 5.3 Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan Lahan yang digarap oleh warga kampung tidaklah semata-mata Pemerintah Desa memberikan akses terhadap lahan. Setengah dari wilayah desa pun di kuasai oleh PTPN VII1 Nasional, namun kontribusinya tidak sampai kepada pemberian lahan atau pembebasan lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg. Terdapat beberapa cara perolehan lahan garapan yang umum ditemukan yaitu buka sendiri, warisan, ganti rugi, bagi hasil, gadai, dan jual beli. Warga desa khususnya di kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan cara buka sendiri, warisan, bagi hasil, gadai, dan jual beli. 5.3.1 Buka sendiri Dahulu warga Kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon di kawasan hutan sekitar Gunung Si Gelap. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dengan usahatani yang dilakukan oleh warga setempat dan pada saat itu jumlah penduduk kampung masih sedikit. Sesuai dengan pernyataan dari mantan Kepala Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu Bapak MYS (50 tahun) seperti di bawah ini: “Mungkin dulunya tanah-tanah seperti sawah dan kebun yang sekarang warga miliki yang didapat dari orang tuanya dahulu hasil 45 dari ngebuka lahan hutan. Saya kurang tahu jelasnya tapi kemungkinan seperti itu”. Kemungkinan asal-usul lahan baik sawah maupun kebun yang warga miliki hasil dari nenek moyang mereka dengan cara membuka lahan hutan di sekitar Gunung Si Gelap. Warga pun tidak mengetahui dengan jelas bagaimana sejarah lahan garapan yang sebenarnya. 5.3.2 Warisan Mayoritas lahan garapan (sawah maupun kebun) yang diperoleh oleh warga Kampung Cijengkol berasal dari warisan orangtua yang diwariskan kegenerasi berikutnya. Sistem bagi waris yang berlaku di Kampung Cijengkol tidak mengikuti aturan agama seperti yang telah dijelaskan dalam agama Islam. Pembagian warisan disamaratakan baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga beberapa warga yang diwarisi lahan dengan tidak ditujukan kepada salah satu anaknya melainkan digarap secara bergantian oleh siapa saja anaknya yang mau menggarap. Jika tidak bergantian, maka salah satu anaknya yang mampu untuk menggarap lahan tersebut dipersilahkan untuk menggarapnya. Namun, hasil dari lahan tersebut dibagikan kepada anak-anak lainnya (saudaranya) dengan pembagian yang sedikit. 5.3.3 Bagi Hasil Sistem bagi hasil tidak banyak digunakan oleh warga Kampung Cijengkol. Hasil panen yang minim menyebabkan warga enggan untuk melakukan bagi hasil. Ada sebagian kecil warga yang melakukan bagi hasil antara keluarga saja dikarenakan ketidakmampuan pemilik lahan untuk menggarap lahannya akibat faktor usia yang sudah tua atau keluarga tersebut tidak memilki akses terhadap lahan (tidak mampu) sehingga melakukan bagi hasil untuk membantu keluarga tersebut. Kebanyakan warga melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang berasal dari kampung lain yang masih satu wilayah Desa Cigudeg. Pembagian dari bagi hasil tersebut disebut maparo, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik dengan penggarap sama besar atau dengan perhitungan yang sudah dikurangi modal awal seperti bibit atau pupuk. 46 5.3.4 Gadai Sistem gadai ini merupakan sistem yang jarang digunakan oleh warga Kampung Cijengkol meskipun ada beberapa warga yang melakukan sistem ini. Sistem Gadai ini biasanya dilakukan oleh warga yang membutuhkan uang untuk keperluaannya sehingga menggadaikan lahan (sawah maupun kebun) kepada orang lain. Status lahan tersebut tetaplah dipegang oleh yang menggadaikan lahan, namun untuk penguasaannya seperti halnya memanfaatkan dan memperoleh keuntungan dari lahan tersebut adalah orang yang menerima gadaian. Kemudian jika orang tersebut tidak bisa mengembalikan uang yang didapat dari hasil gadai maka tanah tersebut tetap di garap oleh orang yang menerima gadai. Namun, jika orang yang menerima gadai ingin memiliki lahan tersebut sedangkan pemiliknya belum bisa mengembalikan uang yang dipinjami, maka orang yang menerima gadai akan memberikan uang sebesar harga lahan tersebut sebagai syarat pembelian jual beli tanah. Bedanya uang yang dibayarkan tidak utuh karena yang menggadaikan belum bisa mengembalikan uang gadai. 5.3.5 Jual Beli Sistem jual beli lahan garapan banyak terjadi di Kampung Cijengkol terutama lahan yang statusnya warisan. Hal ini warga lakukan karena kebutuhan hidup yang mendesak mereka untuk menjual warisan tersebut. Tidak jarang mereka melakukannya untuk membangun rumah atau memperbaiki rumah, atau membeli barang-barang seperti motor, televisi, dan lain sebagainya. Meski warisan tersebut sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan, namun ada saja warga yang menjual warisan tersebut. Hasilnya mereka tidak memiliki lagi lahan untuk digarap sehingga terkadang mereka rela melakukan apa saja untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya seperti menjadi buruh/serabutan. Selain kelima sistem tersebut, sebenarnya masih ada sistem lain yang berkaitan dengan cara perolehan lahan garapan di Kampung Cijengkol. Sistem lainnya yaitu bawon yang artinya numpang tanam (baik padi atau tanaman lain) pada lahan garapan milik orang lain. Hal ini dilakukan warga yang tidak dapat mengakses lahan walaupun hanya sebagian kecil warga yang melakukan sistem tersebut juga sistem tukar dimana lahan yang dimiliki seseorang yang 47 jangkauannya jauh ditukar dengan lahan yang dekat dari rumahnya. Salah satu contoh yang ditemukan pada saat berada di lokasi penelitian adalah tukar sejenis yaitu kebun. Kebun yang dimiliki oleh salah seorang responden merupakan hasil dari sistem tukar dengan warga lainnya dengan luas yang dipertukarkan sama. 5.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penguasaan Lahan Penguasaan lahan yang terjadi sering menimbulkan ketimpangan akses terhadap lahan di masyarat desa. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaannya akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari pertanian. Ketimpangan akses terhadap lahan tidak dipungkiri disebabkan oleh faktor-faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan tersebut dalam masyarakat desa khususnya petani. Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia pun sangat cepat disebabkan adanya penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Besarnya tekanan populasi penduduk mengakibatkan besar pula ketidaksetaraan dalam hal akses terhadap lahan. Seperti halnya sistem bagi waris menjadikan lahan petani dari generasi satu ke generasi berikutnya semakin sempit sehingga terjadinya marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Zaman pra-kolonial, distribusi tanah di Pulau Jawa dengan penduduk yang padat terjadi tidak merata. Namun, dibandingkan dengan beberapa Negara lain, ketidakmerataan distribusi tanah di Jawa masih dalam skala kecil (Wiradi dan White 2009). Dahulu raja dan kaum elit mengklaim mengenai pajak dari kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka karena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Munculnya pengakuan atau klaim Negara atas lahan tersebut menyebabkan terjadinya landreform yaitu pengurangan hak dan kepemilikan tanah petani Kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol cenderung makin kesini makin ke arah penyempitan warga dalam mengakses lahan pertanian. Akses warga kampung terhadap lahan sangatlah kecil dikarenakan adanya sistem bagi waris. Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya, 48 jumlah anggota setiap keluarga bisa banyak dan lahan yang dimiliki diwariskan kepada anak-anaknya yang jumlahnya banyak sehingga setiap anak yang mendapatkan warisan memiliki lahan yang kecil dibagi rata. Kebanyakan dari warga kampung yang mendapatkan warisan lahan (sawah maupun kebun) cenderung menjualnya dikarenakan ingin membangun rumah, memperbaiki rumah maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap lahan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki warga didapat dari warisan nantinya pun akan mereka bagikan kepada anak-anaknya sehingga akses tanah semakin menyempit karena tanah diturunkan secara turun-menurun terhadap generasi berikutnya. Jika tidak ada hubungan keluarga inti maka mereka tidak dapat mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol kecuali mereka memiliki modal untuk membeli lahan tersebut. Warga yang ada di Kampung Cijengkol merupakan penduduk asli, jadi tidak heran mereka yang memiliki akses terhadap lahan lebih besar daripada warga pendatang walaupun lahan tersebut tidaklah luas. Jumlah penduduk di Kampung ini cukup padat, sehingga lahan-lahan yang diusahakan pun menjadi makin sedikit. Lahan-lahan tersebut dijadikan rumah untuk bermukim warga. Faktor lain yang menyebabkan warga kampung sulit mengakses lahan adalah tidak adanya modal untuk memiliki lahan dan juga untuk menggarapnya. Modal biasanya menjadi penghalang bagi pendatang dalam mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol karena kebanyakan lahan yang ada merupakan lahan turun-menurun. Sedangkan untuk warga kampung asli modal juga merupakan faktor penghambat dalam menggarap lahan, karena jika tidak ada modal mereka tidak bisa membeli bibit padi dan membeli pupuk. 5.5 Ikhtisar Lahan pertanian merupakan lahan yang dianggap besar manfaatnya bagi petani di pedesaan Jawa sehingga penguasaan lahan sangatlah penting demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dirasakan pula oleh warga Kampung Cijengkol yang sebagian besar penduduknya memenuhi kebutuhan hidup dari lahan pertanian baik hasil dari sawah maupun kebun. Namun kenyataannya, lahan pertanian yang warga akses makin kecil sehingga tidak dapat 49 mencukupi kebutuhan yang makin lama makin besar dan tidak jarang warga yang didesak oleh kebutuhan menjual lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pola penguasaan lahan di Kampung Cijengkol cenderung lebih kearah pemilikan perorangan. Kebanyakan dari warga kampung memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki. Struktur agraria yang terdapat di Kampung Cijengkol lebih ke arah hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih terlihat dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa antara pemilik dan penggarap dan pengupahan (buruh tani) terlihat juga walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang terlihat di Kampung Cijengkol adalah pemilik-penggarap, pemilik-bukan penggarap, dan bukan pemilik-penggarap. Bentuk yang paling banyak dari ketiga bentuk hubungan yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu pemilik-penggarap. Mayoritas warga kampung memiliki akses terhadap lahan pertanian dan menggarap lahan sendiri (sawah dan kebun), walaupun terkadang mereka juga menggarap lahan milik orang lain. Hasil dari lahan sawah dan kebun mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lahan yang digarap oleh warga Kampung Cijengkol mereka bukanlah semata-mata diberikannya akses lahan oleh Pemerintah Desa dengan kondisi setengah dari wilayah desa di kuasai oleh PTPN VII Nasional. Namun kontribusinya tidak sampai kepada pembebasan lahan seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg terutama warga Kampung Cijengkol. Dahulu warga meperoleh lahan pertanian (sawah dan kebun) dari hasil membuka lahan, dan lalu dibagikan kepada generasi berikutnya yang menjadi hak waris (sistem bagi waris). Selain membuka lahan sendiri dan sistem bagi waris, ada juga warga yang menguasai lahan dengan cara bagi hasil, gadai, dan jual-beli. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yaitu adanya sistem bagi waris dan modal. Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya, jumlah anggota setiap keluarga yang terdapat di Kampung ini cukup banyak sehingga lahan yang diwariskan kepada anak-anaknya menjadi kecil dibagi samarata kepada setiap hak waris. Terkadang lahan warisan yang 50 didapat mereka jual karena kebutuhan mendesak sehingga mereka kehilangan akses terhadap lahan. Adapun jumlah penduduk yang memadati kampung cukup banyak, sehingga ketersediaan lahan yang ada tidak mampu mendukung kebutuhan hidup dengan jumlah penduduk yang makin besar. Faktor lain yang mempengaruhi akses warga terhadap lahan pertanian adalah modal. Modal yang kuat dapat mempengaruhi akses warga terhadap lahan sehingga warga dapat membeli lahan dan menggarapnya. Modal juga menjadi penghalang bagi warga pendatang dalam mengakses lahan. Jika pendatang memiliki modal maka mereka dapat membeli lahan atau menyewa lahan pertanian untuk digarapnya, untuk warga asli yang memiliki modal mereka bisa membeli bibit dan pupuk untuk ditanam di sawah sehingga tidak perlu menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.