Membangun Demokrasi, Mencegah Negaranisasi

advertisement
FLAMMA
45
Desember 2015
Menata Birokrasi,
Mempercepat
Implementasi
UU Desa
Abdur Rozaki
Politisasi UU Desa
Rajif Dri Angga
Membangun
Demokrasi,
Mencegah
Negaranisasi
ISSN 1413-649X
9 771413 649001
12340
Pengantar Redaksi
Redaksi
Penanggung jawab/Pemimpin Umum
Sunaji Zamroni
Wakil Pemimpin Umum
Sg.Yulianto
Pemimpin Redaksi
Titok Hariyanto
Wakil Pemimpin Redaksi
Machmud NA
Redaktur Pelaksana
Hesti Rinandari
Reviewer
Suharko
Editor
M. Zainal Anwar
Penulis
Abdur Rozaki, Rajif Dri Angga, Titok Hariyanto,
Sunaji Zamroni, Sukasmanto,
Nurma Fitrianingrum
Setting dan layout
Ipank Suparmo
Distribusi
Riana Dhaniati
Ema Yulianti
Keuangan
Rika Sri Wardani
Mulyanti Eka Wahyuni
Triyanto
Pembantu Umum
Tri Yuwono
Riyanto
Alamat Redaksi
INSTITUTE FOR RESEARCH
AND EMPOWERMENT
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun
Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo,
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman
Pertanyaan atau informasi bisa
disampaikan melalui email kami di
[email protected]
Membangun Demokrasi,
Mencegah Negaranisasi
M
engimpelementasikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)
memang tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, menata rute
agar implementasi tidak salah arah juga bukan pekerjaan sulit. Pertama dan
yang utama tentu saja adalah harus ada pemahaman yang mendalam terhadap
roh, semangat, serta nilai yang terkandung dalam UU Desa yang ada. Tanpa itu,
mustahil desa akan mewujud seperti apa yang digambarkan dalam UU Desa.
Jika kita bandingkan dengan UU yang sebelumnya ada mengatur desa, jelas
bahwa dalam UU Desa yang baru ini ada semangat mendorong demokratisasi
di level desa. Ada upaya mendorong pelibatan seluruh unsur masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan dan tantangan yang ada di desa. Dengan demikian kontrol
atas arah yang hendak dituju oleh desa tidak lagi semata-mata milik pemerintahan
desa, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh warga desa.
Sayangnya, jika kita cermati pelaksanaan UU Desa yang sudah berlangsung
sejauh ini, nampak masih adanya kehendak dari pemerintah pusat untuk tetap
mempertahankan cara dan pola-pola lama dalam berelasi dengan desa. Desa
tetap dijadikan medan politik kepentingan dengan berbagai target yang ditentukan
oleh pusat. Beberapa lembaga dan kementrian di tingkat pusat sibuk menentukan
ukuran-ukuran ‘keberhasilan desa’. Sementara hal yang bersifat fundamental,
misalnya mensupervisi desa untuk menemukan kewenangannya hampir tidak
dilakukan.
Padahal menemukan dan menyusun kewenangan desa adalah fundamen penting
agar UU Desa bisa diimplementasikan dengan baik. Tanpa kewenangan, mustahil
desa bisa menentukan masa depannya sendiri.
Karena itu, pemerintah pusat sudah selayaknya mengubah cara pendekatan
dalam mengimplementasikan UU Desa. Dengan UU Desa yang baru ini, desa
bukan lagi lokasi proyek negaranisasi yang semuanya ditentukan dan dikontrol oleh
pemerintah pusat. Tugas pemerintah sekarang adalah menemani dan mensupervisi
desa sehingga desa bisa menentukan masa depan yang hendak dituju. Masa depan
yang lebih mensejahterakan warga desa.
DAFTAR ISI
ARTIKEL UTAMA
Menyegarkan Kembali
Demokrasi Desa ....................... 2
Politisasi UU Desa ................... 4
Mengindekskan Desa................. 6
ARTIKEL LEPAS
Mencegah Korupsi di Desa ........ 8
Menata Birokrasi, Mempercepat
Implementasi UU Desa.............. 10
Paradigma Baru Keuangan Desa .12
Fotografi ................................. 14
ARTIKEL UTAMA
Menyegarkan
Kembali
Demokrasi Desa
Titok Hariyanto
Peneliti IRE
K
etika Salim Kancil dibunuh secara
keji, biadab, dan brutal beberapa
waktu yang lalu, ada teman yang
lalu mengkaitkannya dengan UndangUndang Desa No. 6/2014 tentang
Desa (UU Desa). Teman saya tersebut,
Machmud, menginformasikan bahwa
di salah satu group WhatsApp yang
dia ikuti sedang berlangsung diskusi
tentang kekhawatiran jika UU Desa
dilaksanakan masalah seperti yang
terjadi di Desa Selok Awar Awar,
Kecamatan Pasirian, Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur akan terulang
di banyak tempat. Mengingat, tidak
sedikit kepala desa dan atau elit desa
yang saat ini menjadi bagian dari kaki
tangan investasi yang masuk ke desa.
Saya setuju bahwa konflik agraria
yang terjadi di banyak daerah
kerap melibatkan elit desa. Namun
mengkhawatirkan hal tersebut akan
menjadi peristiwa yang semakin masif
ketika UU Desa diberlakukan, masih
perlu diuji. Harus diingat, sebelum
UU Desa diberlakukan, kasus agraria
sudah menjadi persoalan serius
di Indonesia. Data yang dilansir
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
pada tahun 2013 menunjukkan adanya
peningkatan kualitas konflik agraria
sepanjang tahun 2012 sampai 2013.
Sebagai gambaran, dilihat dari
jumlah kasus, pada tahun 2012
terdapat 198 kasus. Sementara
pada tahun 2013 dilaporkan ada
369 kasus. Artinya, ada peningkatan
kasus sebanyak 171. Luas wilayah
konflik dan jumlah korban yang jatuh
2
FLAMMA Review
Edisi 45
juga terus mengalami kenaikan yang
sangat signifikan. Pada tahun 2012
luas wilayah konflik 318.248,89 ha,
sedangkan tahun 2013 luas wilayah
konflik mencapai 1.281.660.09 ha.
Jumlah korban meninggal pada tahun
2013 sebanyak 21 orang. Meningkat
525 persen jika dibandingkan tahun
sebelumnya (KPA, 2013).
Jika kita mempelajari secara
rinci rancang bangun demokrasi
yang ditawarkan dalam UU Desa,
sebenarnya di dalamnya justru terdapat
harapan konflik agararia yang saat ini
marak terjadi mendapatkan ruang
untuk bisa diselesaikan di level desa.
Pasalnya UU Desa tersebut telah
mengamanatkan kekuasaan tertinggi
pengelolaan aset-aset yang dimiliki
desa bukan lagi semata-mata di tangan
kepala desa beserta perangkatnya,
melainkan berada di tangan seluruh
warga desa yang harus diputuskan
melalui forum yang disebut dengan
musyawarah desa.
Secara teoritik, musyawarah desa
adalah forum demokrasi deliberatif.
Dari sisi bahasa, deliberatif artinya
adalah musyawarah, berbincangbincang, berdebat, menimbangnimbang, dan saling memberikan
nasihat satu sama lain. Jika merujuk
pada pengertian tersebut demokrasi
deliberatif adalah pandangan
bagaimana mengaktifkan individu
dalam masyarakat sebagai warga
negara (desa) untuk berkomunikasi
sehingga komunikasi yang terjadi
pada level warga itu mempengaruhi
Desember 2015
pengambilan keputusan publik pada
level sistem politik (Hardiman, 2014).
Dengan demikian, arah yang
hendak dituju dari rancang bangun
demokrasi desa yang terdapat di
dalam UU Desa adalah pengelolaan
pemerintahan yang transparan dan
akuntabel yang ditopang oleh forum
yang disebut dengan musyawarah desa
sebagai wujud kesatuan arah desa,
serta kinerja Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) sebagai penyeimbang
kekuasaan pemerintah desa.
Untuk mengoperasionalkan
demokrasi deliberatif ini memang
bukanlah hal yang mudah. Apalagi di
tengah masyarakat kita yang sedang
mengidap budaya diam (culture of
silence). Masyarakat yang menganggap
perbedaan pendapat adalah suatu hal
yang menakutkan dan karenanya perlu
dihindari. Jika kita melihat jalannya
forum-forum warga di tingkat RT
misalkan, akan dengan mudah dilihat
dominasi elit terhadap forum tersebut.
Sementara warga yang merasa tidak
sependapat dengan pandangan
elit yang mendominasi forum pada
akhirnya hanya bisa rasan-rasan,
memperbincangkan bahkan menggugat
hasil-hasil musyawarah setelah forum
selesai digelar.
Ada banyak faktor yang membuat
budaya diam saat ini berjangkit di
masyarakat. Salah satunya peran
negara yang sangat dominatif dan
hegemonik selama Orde Baru
berkuasa. Selama Orde Baru,
kebenaran semata-mata adalah milik
ARTIKEL UTAMA
Dalam konteks pelaksanaan UU
Desa, sayangnya, menggerakkan
demokrasi desa ini belum menjadi
wacana mainstream. Padahal di sinilah
sebenarnya pondasi UU Desa berada.
Wacana implementasi UU Desa masih
banyak didominasi perbincangan
hal-hal yang sifatnya administratif
dan keuangan, yang tidak jarang
mengabaikan aspek demokratisasi itu
sendiri.
Saya khawatir jika pelaksanaan
UU Desa mengabaikan wacana
demokratisasi, kekhawatiran banyak
pihak termasuk teman saya tadi bahwa
UU Desa ini hanya memfasilitasi
perangkat desa tumbuh menjadi rajaraja kecil dan memindahkan berbagai
penyakit otonomi daerah di kabupaten/
kota ke desa, menjadi benar adanya.
Karena itu, mumpung belum terlambat,
sudah saatnya “gerakan kembali
ke desa” yang sekarang ini banyak
diinisiasi dan dilakukan oleh berbagai
kalangan tidak terjebak pada aspek
administrasi dan keuangan saja.
Menggerakkan desa ar tinya
adalah mendemokratiskan desa.
“Gerakan kembali ke desa” mesti
mulai berpikir untuk membuka kanal-
kanal komunikasi yang selama ini
tersumbat dan mendorong dibukanya
akses masyarakat desa agar mereka
bisa berpartisipasi menentukan masa
depan desanya. Pemerintah desa dan
BPD juga mesti didorong agar mau
mendengarkan dan mau dikontrol oleh
warganya. Jadi tugas kita ke depan
dalam mengadvokasi desa adalah
menghidupkan dan menyegarkan
kembali potensi demokrasi deliberasi
di desa menjadi suatu gerakan.
Banyak contoh yang bisa digunakan
sebagai rujukan hidupnya demokrasi
desa telah membawa manfaat bagi
warga desa. Temuan IRE di beberapa
desa di belahan Indonesia Timur
menunjukkan, keberhasilan desa dalam
menyelenggarakan pembangunan yang
berpihak kepada warga desa bisa
terjadi karena adanya inisiatif warga
(warga yang aktif) dan pemerintahan
desa yang responsif. Kehendak warga
yang mengemuka melalui forum-forum
warga mampu ditangkap dengan baik
oleh pemerintah desa sebagai dasar
menentukan arah serta program
pembangunan desa. Dengan demikian,
menghidupkan kembali demokrasi
bukanlah sebuah utopia.
Ilustrasi: Ipank
pemerintah, sementara yang berbeda
pendapat adalah oposisi, bahkan
sering juga orang yang memiliki cara
pandang berbeda dengan pemerintah
dicap sebagai orang yang tidak lumrah,
bukan orang pada umumnya. Kuatnya
dominasi dan hegemoni negara yang
berlangsung selama Orde Baru telah
membuat seluruh potensi komunikatif
yang dimiliki individu dalam
masyarakat mengalami kematian.
Akibatnya, proses komunikasi menjadi
timpang dan patah. Orang lebih baik
bersikap pasif daripada dicap sebagai
‘manusia yang tidak wajar’.
Demokrasi desa yang diinsti­
tusionalisasi dalam forum musyawarah
desa justru ingin membalik semua
itu. Dalam musyawarah desa setiap
individu mesti diberi kesempatan
untuk menyampaikan pendapatnya,
diberi kesempatan untuk aktif bersuara
sehingga mereka belajar menghargai
pendapatnya sendiri dan pendapat
orang lain sehingga menyadari bahwa
perbedaan pendapat bukanlah sesuatu
yang menakutkan, tetapi justru
menguntungkan dan memperkaya
perspektif terutama dalam memutuskan
kebijakan-kebijakan publik.
Secara politik, melalui musyawarah
desa, kepala desa, perangkat desa, dan
elit desa yang selama ini kerap tidak
diawasi menjadi lebih bisa dikontrol
secara bersama-sama oleh seluruh
unsur masyarakat di desa. Dalam
konteks demokratisasi pembangunan,
musyawarah desa adalah media bagi
masyarakat desa untuk membahas
arah pembangunan desanya sendiri.
Arah pembangunan yang tidak lagi
didikte oleh pemerintah kabupaten/
kota, provinsi, dan pemerintah pusat.
Secara kultural, masyarakat
Indonesia sebenarnya memiliki potensi
menjalankan demokrasi deliberatif.
Tradisi gotong-royong dan musyawarah
adalah salah satu wujud demokrasi
deliberatif yang masih hidup.
Dengan musyawarah yang bebas,
non-diskriminatif, non-manipulatif,
sebenarnya kita telah memiliki ruangruang dalam masyarakat kita untuk
deliberasi.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
3
ARTIKEL UTAMA
Politisasi UU Desa
Rajif Dri Angga
Peneliti IRE
D
i bawah Orde Baru, desa ter­lanjur
disalahmaknai sebagai organisasi
pemerintahan terendah langsung
di bawah Camat. Nalar ini meming­
girkan banyak hal. Prakarsa masya­
rakat salah satunya. UU No. 6/2014
tentang Desa (UU Desa) lahir dengan
semangat baru yang berbeda dengan
peng­aturan tentang desa sebelumnya.
Asas rekognisi dan subsidiaritas yang
dianut dalam UU ini menempatkan
desa sebagai institusi yang memiliki
hak asal usul dan mampu mengatur
sendiri tata kelola sumberdaya yang
dimilikinya. Sayangnya, ada gelagat
bahwa implementasi UU Desa
mengarah pada aspek yang melulu
tekno­kratis-birokratis. Wacana publik
akhir-akhir ini misalnya selalu menyoal
dana desa dengan berbagai perangkat
regulasinya yang terkesan sangat rumit
dan birokratis.
Argumentasi utama dalam tulisan
ini adalah bahwa nalar teknokratisasi
UU Desa kian menjauhkan diskursus
mengenai desa dari isu-isu substantif
tentang demokrasi dan tata kelola aset
desa. Hiruk pikuk implementasi UU
Desa kian terkuras energinya untuk
persoalan-persoalan yang melulu
birokratis. Implikasinya, agenda
implementasi UU Desa tak mengarah
pada isu-isu yang menyasar pada
keadilan akses atas sumberdaya
maupun gagasan tentang demokrasi
deliberasi yang juga menjadi semangat
UU Desa. Kesemuanya membutuhkan
upaya politisasi atas UU Desa untuk
menjadikan implementasi UU Desa
4
FLAMMA Review
Edisi 45
bukan sekadar persoalan teknokrasibirokrasi, namun agenda publik
bersama masyarakat desa yang
diarahkan pada kontrol publik atas
kesejahteraan.
Terma ‘politisasi’ seringkali
membuat pikiran kita akan cepat
melayang pada gambaran kelatahan
menggelikan elit politik yang merujuk
‘politisasi’ sebagai semata-mata
‘permainan politik’. Politisasi yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah
lawan dari nalar depolitisasi yang
selama ini mengisolasi publik dari
urusan politik (Harriss et.al, 2005).
Ide politisasi (politicising) demokrasi
berangkat dari cara pandang
Beethamian (1999) yang memaknai
demokrasi bukan sekadar kerangka
institusi dan prosedur yang demokratis.
Baginya demokrasi adalah persoalan
kontrol popular terhadap urusan publik
dan persamaan hak-hak warga negara.
Cara pandang Beethamian ini
menempatkan pengelolaan kesejah­
teraan bukan sebatas aspek tekno­
kratis pengelolaan dan distribusi
sum­berdaya, namun juga persoalan
politik yang memerlukan partisipasi
publik dalam proses pengambilan
kebijakan. Pemaknaan demokrasi
secara substantif semacam ini lah
yang menjadi semangat UU Desa dan
salah satunya ditopang oleh adanya
musyawarah desa (Musdes). Forum
ini menjadi penting karena di ruang
itu agenda-agenda strategis desa
dirumuskan, dibahas, dan disepakati
bersama. Forum ini juga membuka
ruang bagi masyarakat untuk merebut
kontrol atas tata kelola sumberdaya
dan aset desa.
Pembicaraan kita tentang defisit
demokrasi substantif dewasa ini
bisa jadi menemukan solusinya
dengan pelembagaan musyawarah
desa. Di tengah demokrasi elektoralprosedural kita yang terlanjur rusak
oleh kultur politik uang, patronase,
dan klientelisme (Aspinall & Sukmajati
Desember 2015
2015), musdes memberi harapan
berkembangnya kultur kewargaan
(citizenship) yang kuat. Masyarakat
desa didorong untuk merebut hakhaknya dalam pengelolaan sumberdaya
yang ada di desa.
Sebagai contoh, masyarakat di­
dorong untuk menemukenali potensi
dan aset yang dimiliki, lantas melem­
bagakannya dalam wadah semisal
Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Kementerian Desa telah mentargetkan
pembentukan BUM Desa di 5000
desa dan gagasan “Desa Tematik”
yang berbasis berbasis aset dan
tipologi desa. Tentu saja ini menjadi
peluang besar yang perlu diraih oleh
desa. Namun demikian, gagasan ini
bisa jadi berpotensi mengembalikan
nalar ‘proyek di desa‘ manakala
pembentukan 5000 BUM Desa ini
bukan lahir dari prakarsa masyarakat
melalui musyawarah desa, melainkan
diinjeksikan dari aktor supradesa secara
artifisial untuk lantas direplikasikan.
Rute ke arah kesejahteraan dan praktik
pengelolaan sumberdaya semestinya
bertumpu pada partisipasi dan kontrol
popular yang terlembagakan melalui
musyawarah desa.
Kontrol Publik atas Tata Kelola
Aset Desa
Pelembagaan demokrasi melalui
musyawarah desa berujung pangkal
pada menguatnya kontrol publik atas
tata kelola aset desa. Sejak lama, desa
menghadapi tantangan laju urbanisasi
yang tak terbendung seiring dengan
menguatnya arus modernisasi dan
ketimpangan ekonomi antara desa
dengan kota. Saat desa tak lagi
mampu menopang penghidupan
masyarakatnya, kota menjadi alternatif
penghidupan baru yang juga tak
sepenuhnya memberikan harapan.
Upaya untuk memacu geliat ekonomi
di desa sejatinya telah mendapatkan
momentumnya melalui implementasi
UU Desa. Salah satu substansi
Ilustrasi: Dok IRE
ARTIKEL
ARTIKELUTAMA
UTAMA
penting dalam UU Desa adalah
pengakuan (rekognisi) atas aset desa
yang memiliki makna yang lebih luas
daripada kekayaan desa.
UU Desa memberikan mandat
bagi desa untuk mengatur dan
mengelola aset serta kekayaan desa
bagi peningkatan kesejahteraan
dan taraf penghidupan masyarakat.
Hal ini memberikan peluang bagi
desa untuk mengembangkan aset
desa sebagai sumber penghidupan
berkelanjutan (sustainable livelihoodSL) yang nantinya berkontribusi bagi
pengentasan kemiskinan. Menurut
Scoones (1999), kerangka sustainable
livelihood mengkombinasikan antara
kapasitas, aset (baik sumberdaya
material maupun sosial), dan aktivitas
yang dibutuhkan untuk sarana hidup
(means of living) yang mampu
mengatasi dan pulih dari tekanan
(stresses) dan guncangan (shock),
serta tidak merusak kelangsungan
sumberdaya alam.
Namun demikian, dalam banyak
kasus, pengelolaan aset desa justru
menjadi muasal terjadinya konflik
sosial yang berdampak serius bagi
keberlangsungan institusi dan modal
sosial desa. Persoalan yang terjadi
seringkali berpangkal pada perebutan
sumberdaya yang dimonopoli oleh
kelompok tertentu yang disokong
baik oleh elit desa maupun aktor
supradesa. Persoalan tata kelola aset
tidak hanya berpotensi melemahkan
institusi representasi formal di desa,
namun juga mengancam intimitas dan
solidaritas sosial masyarakat.
Dengan demikian, desa perlu
memikirkan kembali perlunya
penataan, distribusi, dan perbaikan
akses sumberdaya yang lebih egaliter
dengan memperkuat partisipasi warga
(active citizen) di satu sisi dan di sisi
lain memperkuat responsivitas dan
kapasitas institusi pemerintahan desa
dalam tata kelola aset penghidupan
berkelanjutan. Tata kelola pemerintahan
yang birokratis cenderung lamban
dalam merespons isu-isu strategis
terutama terkait dengan pengelolaan
aset desa (Paskarina et.al 2015, h.
31). Padahal, proses pembuatan
kebijakan secara deliberatif merupakan
aspek penting yang dimandatkan oleh
UU Desa.
Demokrasi dan kemandirian desa
yang menjadi semangat UU Desa
perlu mendapat porsi perhatian
yang lebih besar untuk mencegah
dominannya nalar birokratisasi-tekno­
kratisasi. Sungguhpun demikian,
pelembagaan musyawarah desa dan
pengorganisasian masyarakat desa
serta yang tak kalah pentingnya
pengelolaan aset desa perlu menjadi
agenda strategis ke depan dalam
konteks implementasi UU Desa. Tak
lain agar masyarakat desa mampu
merebut kontrol atas pengelolaan
potensi dan aset yang dimilikinya
demi kemandirian dan kesejahteraan
m a s y a r a k a t d e s a . Ke g a g a l a n
implementasi UU Desa bisa menjadi
pintu masuk bagi kekuataan supra­desa untuk mengembalikan nalar
kontrol atas desa dengan berbagai
cara, termasuk revisi terhadap UU
Desa.
Mempertautkan Demokrasi
dan Kesejahteraan
Politisasi UU Desa berangkat
dari kehendak agar UU Desa berikut
implementasinya menjadi agenda
publik bersama institusi desa. Dalam
konteks itu, implementasi UU Desa
semestinya menjadi pertautan antara
gagasan demokrasi dan kesejahteraan
yang menjadi semangat utama dalam
regulasi tersebut. Politisasi demokrasi
melalui musyawarah desa menjadikan
kontrol publik dalam pengelolaan aset
desa sebagai sebuah keharusan. Ide
ini juga menerobos tendensi selama ini
yang menjadikan persoalan demokrasi
dan kesejahteraan sebagai dua hal
yang berjalan dengan rutenya masingmasing.
Demokrasi dipakai untuk kedok
penyejahteraan, namun yang terjadi
justru pembajakan atas demokrasi
itu sendiri. Demikian pula dengan isu
pengelolaan kesejahteraan yang dalam
praktiknya justru tidak demokratis
dan tiadanya kontrol publik dalam
prosesnya. Sudah semestinya,
implementasi UU Desa diarahkan
untuk mempertautkan ide demokrasi
dan kesejahteraan demi terwujudnya
desa yang mandiri, demokratis, dan
sejahtera.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
5
ARTIKEL UTAMA
Mengindekskan
Desa
Nurma Fitrianingrum
Peneliti IRE
T
erbitnya UU No 6/2014(UU
Desa) tentang Desa membuat
banyak pihak semakin
memperhatikan desa. Salah satunya
adalah munculnya indeks tentang
desa. Tidak tanggung-tanggung,
ada dua kementerian se­kaligus yang
membuat indeks tentang desa. Pada
bulan Oktober 2015 lalu, Kementerian
Desa, Pem­bangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi merilis Indeks Desa
Mem­bangun (IDM) yang didedikasikan
untuk memperkuat pencapaian sasaran
pembangunan prioritas sebagaimana
tertuang di dalam RPJMN 2015-2019.
Kurang lebih dua bulan sebelumnya,
tepatnya 31 Juli 2015 Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/Bappenas juga telah merilis
Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang
sama-sama menjadikan desa sebagai
unit analisis. Adanya indeks tentang
desa ini tentu perlu disambut positif
meski ada beberapa catatan yang
bisa menjadi penyempurna di masa
mendatang. Tulisan ini akan mengupas
soal indeks desa tersebut sekaligus
memberi catatan kritis terhadap indeks
tersebut.
Tentang Indeks Pembangunan
Desa (IPD) dan Indeks Desa
Membangun (IDM)
IPD merupakan ukuran yang
disusun untuk menilai tingkat ke­
majuan atau perkembangan desa di
Indonesia dengan desa sebagai unit
analisisnya. Pengukuran IPD ber­sifat
village specific, dibangun dari dua
6
FLAMMA Review
Edisi 45
sumber data, yaitu: hasil pendataan
Potensi Desa (Podes) tahun 2014
yang dilaksanakan oleh Badan
Pusat Statistik, dan data Wilayah
Administrasi Pemerintahan menurut
Permendagri RI Nomor 39/2015 yang
digunakan sebagai rujukan standar
terkait jumlah desa terintegrasi di
Indonesia. IPD dimaksudkan untuk
memotret tingkat perkembangan desa
di Indonesia yang jumlahnya mencapai
74.093 desa. IPD menjabarkan
dimensi pembangunan desa ke dalam
42 indikator yang bisa mewakili pe­
menuhan standar pelayanan minimal
desa.
Tujuan penyusunan IPD adalah
sebagai berikut: Pertama, suatu alat/
instrument yang memberikan informasi
bagi pelaku pembangunan desa baik
di tingkat pusat, daerah, maupun
desa agar dapat melakukan intervensi
kebijakan yang tepat sebagai upaya
pengungkit perkembangan desanya;
Kedua, alat untuk memonitor dan
mengevaluasi kinerja pembangunan
desa dalam rangka pencapaian
sasaran/target RPJMN 2015-2019.
IPD yang disusun oleh Bappenas
mengidentifikasi lima dimensi
pembangunan yaitu: pelayanan dasar,
kondisi infrastruktur, aksesibilitas/
transportasi, pelayanan publik, dan
penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya kelima dimensi dijabarkan
ke dalam 42 indikator yang diharapkan
mampu mengukur pemenuhan
pelayanan masyarakat desa sesuai
standar pelayanan minimal di desa.
Untuk menilai tingkat kemajuan
desa, IPD membagi desa menjadi tiga
klasifikasi yakni: Desa Mandiri, Desa
Berkembang, dan Desa Tertinggal.
Desember 2015
Sumber: IPD 2014
Berbeda dengan IPD, Indeks
Desa Membangun dikembangkan
untuk memperkuat upaya pencapaian
sasaran pembangunan desa dan
kawasan perdesaaan sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2015-2019,
yakni mengurangi jumlah Desa
Tertinggal sampai 5.000 desa dan
meningkatkan jumlah Desa Mandiri
sedikitnya 2.000 desa pada tahun
2019. IDM meletakkan prakarsa dan
kuatnya kapasitas masyarakat sebagai
basis utama dalam proses kemajuan
dan keberdayaan desa yakni meliputi
aspek ketanahan sosial, ekonomi, dan
ekologi. Sehingga IDM difokuskan pada
upaya penguatan otonomi desa melalui
pemberdayaan masyarakat.
Indeks Desa Membangun meng­
klasifikasikan desa dalam lima status,
yakni: Desa Sangat Tertinggal; Desa
Tertinggal; Desa Berkembang; Desa
Maju; dan Desa Mandiri. Klasifikasi
5 status desa ini digunakan untuk
menajamkan penetapan status
perkembangan desa dan sekaligus
rekomendasi intervensi kebijakan
yang diperlukan. Kebijakan dan
intervensi program terhadap desa
dengan status Desa Tertinggal atau
Desa Sangat Tertinggal tentu akan
berbeda. Harapannya, dengan adanya
ARTIKEL UTAMA
klasifikasi tersebut, resep kebijakan
yang diberikan juga tidak generik,
tetapi menyesuaikan dengan kondisi
dan status desa.
Sumber: IDM 2015
Indikator yang Bias
Development
Apabila dicermati lebih lanjut
indikator-indikator IPD yang digunakan
untuk mengukur pembangunan desa
cenderung state/government driven
development atau masih sangat
berkarakteristik developmentalism.
Indikator masih mengukur pem­
bangunan-pembangunan yang
sifatnya infrastruktur, pun infra­
struktur yang bergantung pada
kehadiran pemerintah supra desa
bukan inisiatif warga desa. Contohnya
ketersediaan dan akses masyarakat
ke SD, SMP, SMA, Rumah Sakit,
Rumah Sakit Bersalin, Puskesmas,
ketersediaan angkutan umum, dan
operasional angkutan umum. Variabel
kemandirian desa di dalam IPD baru
dilihat sebatas kemandirian dalam
penyelenggaraan pemerintahan yaitu
kelengkapan pemerintahan desa,
otonomi desa, dan aset/kekayaan
desa. Apabila dicermati lebih dalam
terlihat bahwa variabel tersebut
belum mampu memperlihatkan
seberapa otonom pemerintahan desa
dan masyarakat dalam menjalankan
pembangunan. Apalagi menjelaskan
bagaimana demokratisasi dalam proses
pembangunan terwujud.
Sementara Indeks Desa
Membangun (IDM) yang diinisiasi
oleh Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi menggunakan 3 dimensi
yakni sosial, ekonomi, dan ekologi yang
kemudian diterjemahkan ke dalam 22
variabel secara umum lebih mampu
melihat dinamika pembangunan desa
dibandingkan dengan IPD. Indikatorindikator yang digunakan
oleh IDM tidak melulu hanya
mengukur pembangunan
infrastruktur. IDM berupaya
menangkap modal sosial
warga masyarakat melalui
variabel memiliki solidaritas
sosial, toleransi, rasa aman
penduduk, dan kesejahteraan
p e n d u d u k . Pe n g g u n a a n
dimensi modal sosial dalam
pengukuran pembangunan
desa merupakan suatu terobosan
yang baik karena indeks yang disusun
oleh pemerintah selama ini sebagian
besar menggunakan developmentalism
dan cenderung mengabaikan aspek
masyarakat dan inisiatifnya dalam
aspek pembangunan. Sayangnya,
jika dicermati lebih lanjut sebetulnya
masih terdapat bias dalam penggunaan
indikator modal sosial tersebut.
IDM baru sebatas mengukur modal
sosial dalam tataran yang visible atau
kasat mata, atau masih sangat lemah,
dan beberapa dapat dikatakan tidak
tepat. Misalkan saja, tiga dari empat
indikator yang digunakan untuk
mengukur solidaritas sosial sangat
bias infrastruktur dan terkesan kurang
tepat yakni 1) keberadaan ruang publik
terbuka bagi warga yang tidak berbayar,
2) ketersediaan fasilitas/lapangan olah
raga, 3) terdapat kelompok kegiatan
olah raga, hanya indikator kebiasaan
gotong royong di desa yang masih
dapat diterima.
Kemudian kesalahan indikator
juga terjadi ketika mencoba mengukur
toleransi dengan indikator-indikator
yang sebatas menggambarkan
keberagaman. Variabel toleransi
diukur dengan indikator 1) warga desa
terdiri dari beberapa suku/etnis, 2)
warga desa berkomunikasi sehari-hari
menggunakan bahasa yang berbeda,
3) agama yang dianut sebagian besar
warga di desa yang mana lebih tepat
menggambarkan keberagaman warga
desa. Hal ini seakan mensimplifikasi
bahwa ketika desa memiliki penduduk
yang beragam latar belakang suku,
bahasa, dan agama maka toleransi
tinggi.Toleransi yang mampu dilihat
oleh indikator-indikator tersebut baru
sebatas yang disebut toleransi pasif,
toleransi pasif merupakan gagasan yang
digunakan untuk menjelaskan kondisi
lingkungan yang beragam tetapi tidak
menuntut penghuninya untuk saling
berinteraksi. Sehingga tidak mampu
mengukur bagaimana macam interaksi
yang terbentuk karena keberagaman
masyarakat (www.theguardian.com)
Bagaimana jika warga dengan agama,
suku yang berbeda tersebut hidup
terkotak-kotak pada dusun-dusun atau
perumahan tertentu, dan diantaranya
tidak terjalin komunikasi dan interaksi.
Bagaimana pula jika warga minoritas
mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Arah Indeks Desa?
Baik IPD maupun IDM keduanya
belum mampu melihat pembangunan
desa yang dilakukan atas prakarsa
masyarakat. Indeks desa belum mampu
mengukur modal sosial, ekonomi
yang ada di desa yang merupakan
prasyarat bagi terwujudnya desa yang
mandiri dan sejahtera. Lebih lanjut
ketika menjadikan indeks sebagai
acuan pengambilan kebijakan terkait
desa perlu diingat bahwa desa dan
karakteristik serta permasalahannya
yang kompleks tidak dapat dilihat
hanya sekedar angka.
Desa dan permasalahannya bukan
sekedar klasifikasi. Indeks desa yang
telah disusun tidak dapat serta merta
dijadikan formula untuk menyusun
resep tunggal pembangunan desa
di Indonesia yang beragam. Indeks
desa ini jika tidak digunakan secara
bijak dan hati-hati justru berpotensi
menggagalkan tujuan UUDesa
menjadikan desa yang kuat, maju,
mandiri dan demokratis. Bukan justru
mengembalikan desa sebagai pasar
proyek pemerintah. Merujuk pada
UU Desa maka pembangunan desa
semestinya diserahkan sepenuhnya
kepada desa, tidak ada lagi targettarget pencapaian angka pembangunan
desa yang ditentukan oleh pemerintah
pusat.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
7
ARTIKEL LEPAS
Mencegah
Korupsi di Desa
Sunaji Zamroni
Peneliti IRE
P
enyelewengan dana desa bisa
menggelincirkan mimpi indah
UU No. 6/2014 tentang Desa
(UU Desa). Riuhnya obrolan dana desa
jangan sampai tereduksi hanya soal
besaran dan gunanya, harus dilihat pula
dari sisi potensi penyelewengannya.
Menguatnya keuangan desa saat
ini tentu bagai dua sisi mata uang.
Datangnya memang dinanti dan
menjadi harapan baru masyarakat
desa. Namun sisi lain, kehadirannya
juga beresiko memperbesar tindakan
koruptif di desa.
Tidak dipungkiri bahwa korupsi di
desa selama ini memang ada meski
tidak masif. Karena itu, perilaku
rasuah dalam implementasi UU
Desa ini mesti menjadi perhatian
serius seluruh elemen di desa.
Bukan sekedar menyelewengkan
dalam membelanjakan uang negara,
tindakan koruptif bisa berdimensi
luas, seperti dimaksud dalam UU No
31/1999 jo UU No. 20/2001, antara
lain; menyalahgunakan jabatan/
kedudukan, menyuap, menggelapkan,
memeras dan gratifikasi. Berpijak
pada pengertian korupsi seperti ini,
maka potensi korupsi di desa bisa
saja terus berlangsung, meski Marwan
Jafar–Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasimenjamin dana desa tidak akan bisa
diselewengkan, (www.harianterbit.
com, 27 Maret 2015).
Gurita korupsi di negeri ini sudah
mengerikan. Semua sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak luput
dari serangan virus kejahatan ekstra
8
FLAMMA Review
Edisi 45
kejahatan luar biasa ini. Terendusnya
tindakan korupsi para pejabat negara
di tingkat pusat dan daerah oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi,
ternyata diikuti pula tertangkapnya
para kepala desa(Kades)/perangkat
desa oleh kejaksaan negeri. Bahkan
beberapa Kades yang dikenal vocal
dan aktif dalam pembaharuan
desa, harus menjadi pesakitan dan
dihadapkan di meja hijau pengadilan
tindak pidana korupsi. Tiga Kades di
Kabupaten Bantul yang tercatat aktif
dalam asosiasi kepala desa, misalnya,
harus mengakhiri karirnya di balik
jeruji penjara karena tindakan korupsi.
Begitu pula kisah tragis seorang
Kades di Kabupaten Labuhan Batu
Utara Sumatera Utara, harus menjadi
pesakitan kejaksaan setempat karena
didakwa korupsi Alokasi Dana Desa
sebesar Rp 300 juta, (http://nasional.
republika.co.id, 23 November 2015).
Kondisi tersebut mengabarkan
bahwa semua tingkatan pengelola
kewenangan dan keuangan negara
beresiko melakukan tindakan korupsi.
Bukan berarti tidak percaya kepada
desa, tetapi potensi rasuah ini musti
dimitigasi dan dicegah sebelum
tumbuh berkembang. Mandat UU Desa
sangat jelas yakni menghendaki desa
membangun yang harus dijalankan
dari, oleh dan untuk masyarakat
desa. Tradisi berdesa ini sarat akan
nilai demokrasi lokal, dimana selama
ini terlumat oleh tata nilai yang
dipaksakan negara masuk dan menjadi
nilai baru di desa.
Desa adalah masa depannya
Indonesia. Republik kecil desa
diharapkan tumbuh semakin maju,
kuat, demokratis, dan sejahtera. Cara
hidup berkomunitas yang saling asah,
asih, dan asuh dapat direkonstruksi
menjadi praktik demokrasi lokal
Desember 2015
yang hakiki. Pemilihan Kades,
misalnya, bisa menjadi ajang warga
desa bergantian memimpin desanya.
Kades terpilih tidak bisa lagi sesuka
hati mengendalikan desa dengan
kedua tangannya. Kewenangan
desa mengurus kebutuhan dan
kepentingannya semakin jelas dan
kuat. Ada perencanaan desa, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKPDesa), yang
menjadi garis besar haluan desa selama
6 tahun, dimana siapa pun harus
tunduk, patuh dan menghormatinya.
Uang yang mengalir ke desa mesti
dikelola dalam satu sistem keuangan
desa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDesa) dan hanya
dapat untuk membiayai urusan yang
menjadi kewenangannya. Masyarakat
desa yang mengurus surat pengantar
dan keterangan catatan sipil tidak
boleh lagi dipungut biaya. Konsepsi
UU Desa tersebut membentangkan
harapan baru bagi masa depan
Indonesia. Demokrasi lokal desa akan
tumbuh berkembang, pemerintahan
desa dikelola secara lebih baik, dan
masyarakat desa pun akan memiliki
ruang leluasa untuk melibatkan diri
dalam mengelola desanya.
Tak ada gading yang tak retak.
Peribahasa ini mengingatkan bahwa
desa bukan ruang yang hampa
kepentingan. Temuan inspektorat
Kabupaten Malang-Jawa Timur atas
dugaan penyelewengan jabatan
dan keuangan oleh beberapa
kepala desa, menjadi buktinya,
(http://nasional.tempo.co/read/
news/2015/01/15/058634976/
puluhan-kepala-desa-selewengkandana-desa). Fakta ini menunjukkan
bahwa desa bisa juga menggenapi
mimpi buruk sengkarut korupsi di
ARTIKEL LEPAS
Ilustrasi Ipank
negeri ini. Bukan suap atau menerima
gratifikasi yang terendus di daerah
sejuk penghasil apel ini. Melainkan
menyelewengkan uang desa alokasi
Dana Desa (ADD) guna urusan di
luar kewenangannya, misalnya; biaya
bersih desa, sumbangan pernikahan
dan khitanan, membayar pajak bumi
dan bangunan.
Dugaan korupsi berjamaah 50
kepala desa di Kabupaten KupangNusa Tenggara Timur pun bermodus
serupa, (http://www.tribunnews.
com/regional/2015/01/16/50kepala-desa-di-kabupaten-kupangbakal-diperiksa-jaksa). Mereka
diduga menyelewengkan ADD guna
membiayai di luar ketentuan. Data
ini menguatkan sinyal bahwa potensi
korupsi di desa sangat mungkin terjadi.
Memang desa berpeluang untuk
berdaulat, demokratis, dan mandiri.
Namun demikian virus rasuah seperti
fakta tadi menjadi penantang yang tak
mudah ditundukkan.
Inovasi Desa Rappoa di Kabupaten
Bantaeng-Sulawesi Selatan bisa
menjadi contoh baik dalam mencegah
penyelewengan. Terobosan mencegah
penyelewengan dilakukan sang kepala
desa, Irwan Darfin, melalui beberapa
upaya berikut ini; melibatkan semua
warga dalam perencanaan desa,
membuka akses data keuangan
desa, serta menyebar informasi
laporan penggunaan
uang desa. Tidak ada
rotan akar pun
jadi. Mencegah korupsi di desa tidak
harus melalui Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), atau penugasan
penegak hukum di setiap desa. Riset
yang dilakukan Institute for Research
and Empowerment (IRE) dan Center
for Civic Engagement Studies (CCES)
Yogyakarta (2015) menemukan praktik
baik ini di Desa Rappoa. Apa yang
telah dilakukan Desa Rappoa ini bukti
pencegahan yang efektif. Karena itu
bisa digandakan untuk diterapkan di
desa-desa lainnya.
Berharap mencegah korupsi dari
dalam desa sendiri adalah sesuatu
yang rasional dan menjanjikan.
Langkah-langkah berikut ini bisa
dipertimbangkan. Pertama, mem­
perkuat warga desa dalam tradisi
berdesa. Warga desa harus dididik
dan disadarkan tentang tradisi berdesa.
Mereka didorong aktif terlibat dalam
pemerintahan desa, agar perencanaan
program dan penggunaan uang desa
tepat sasaran.
Kedua, mengembangkan praktikpraktik demokrasi lokal. Musyawarah
desa mesti dilembagakan sebagai
bekerjanya demokrasi lokal di desa.
Forum rembug desa misalnya, menjadi
forum tertinggi yang melibatkan semua
elemen desa. Kebijakan strategis desa
dan tanggung gugat pengelolaan desa
diputuskan melalui kelembagaan
demokrasi desa ini.
Ketiga, mengembangkan jurnalisme
desa. Tradisi berdesa yang sarat
akan nilai-nilai universal demokrasi
(partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
dan kesetaraan) bisa dikembangkan
melalui karya-karya jurnalistik yang
murah, mudah dan cepat dimengerti
warga desa. Melalui karya jurnalislik
desa, data dan informasi penting desa
bisa saling dipertukarkan. Bahkan,
warga desa bisa mengembangkan
kontrol kepada pemerintahan desa
dengan cara yang elok dan informatif.
Kontrol ini menjadi bagian penting
dalam upaya mencegah perilaku
koruptif di desa. Tidak hanya melalui
kontrol langsung, cara-cara komplain
atas kebijakan dan pelayanan publik
pun bisa dilakukan melalui jurnalisme
desa ini. Melakukan komplain pada
dasarnya melakukan mitigasi atas
tindakan korupsi. Dengan cara
jurnalisme yang sederhana, seperti
prinsip citizen journalism, warga desa
bisa menyumbang foto, SMS, atau
bentuk komunikasi media sosial lainnya
untuk mencegah para pengampu
pemerintahan desa terjerembab dalam
tindakan korupsi.
Tidak mahal mencegah korupsi
itu. Karena yang dibutuhkan adalah
warga desa yang aktif dan ber­
daya, kelembagaan demokrasi yang
kokoh, serta nilai-nilai berdesa
yang terpelihara. Warga aktif harus
ditumbuh­kan di desa. Mereka harus
ditingkatkan kapasitasnya melalui
pendidikan kewargaan, misalnya
diikutkan sekolah desa yang sedang
dijalankan oleh IRE. Mereka ini pun
harus dikonsolidasi melalui organisasiorganisasi berbasis kepentingan
sektoral, seperti organisasi pemuda
desa, kelompok petani, kelompok
peternak ayam kampung, kelompok
usaha tempe, dan seterusnya. Adanya
organisasi sektoral di desa yang
dihuni oleh para warga aktif, akan
menumbuhkan dinamika sosial politik
di desa. Akibatnya, siapa pun dalam
mengelola sumber daya publik desa
akan berhati-hati karena tingkah
lakunya dalam pengawasan warga.
Kondisi inilah yang akan menggulung
niat dan tindakan korupsi, meski
kesempatan terbuka lebar di desa.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
9
ARTIKEL LEPAS
Menata Birokrasi,
Mempercepat
Implementasi
UU Desa
Abdur Rozaki
Peneliti IRE
S
ejak republik ini berdiri, desa
selalu mengalami marginalisasi
pembangunan. Berbagai aset
dan potensi desa tergerus oleh mesin
korporasi yang membuat orang-orang
desa sebagai penonton atau pemain
kecil selevel buruh atau kuli. Desa
benar-benar berkubang dengan potret
kemiskinan, kesenjangan sosial, hingga
pengangguran. Tidak mengherankan
jika dari hari ke hari, orang desa terus
bergerak mencari sumber penghidupan
baru di kawasan perkotaan atau
menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Potret buram masyarakat desa
setali sambung dengan potret institusi
pemerintahan desa yang eksistensinya
mengalami involusi peran, sekedar
menjalani peran subordinatif dari
institusi pemerintahan di atasnya.
Pemerintahan desa lebih sibuk
menjalani peran administratif seperti
urusan Kar tu Tanda Penduduk
(KTP) dan sejenisnya dibandingkan
memfasilitasi dan membangun
prakarsa untuk memperbaiki kualitas
hidup warganya. Pemerintah desa
tak memiliki kewenangan dalam
mengurus dan mengatur desa. Orang
desa mengilustrasikan kenyataan pahit
ini dengan ungkapan, “kalau air mata
selalu menjadi milik orang desa, kalau
mata air selalu milik orang besar di
Jakarta”.
Sebagai salah satu pilar penyangga
keindonesiaan yang strategis, tentu
kondisi desa semacam ini tidak
boleh dibiarkan berlangsung lama.
Dinamika politik desa makin dinamis
seiring adanya liberalisasi politik dan
10 FLAMMA Review
Edisi 45
praktek demokrasi elektoral, memberi
kesempatan politik bagi kekuatankekuatan politik di desa untuk
menjadikan suara politik (voters)
mereka lebih bermakna dalam arena
Pemilu. Para politisi Parpol juga tidak
bisa mengabaikan suara politik di desa,
yang besarannya sampai 60% dari
jumlah populasi pemilih di Indonesia
pada Pemilu 2014.
Tekanan politik berbagai organisasi
desa, seperti perangkat desa dan
Kepala Desa (Kades), organisasi
masyarakat sipil, akademisi, dan
politisi yang ingin memperoleh
insentif dukungan menjelang pemilu,
akhirnya tak kuasa menolak aspirasi
untuk menjadikan Rancangan
Undang- Undang Desa (RUU Desa)
menjadi Undang-Undang Desa (UU
Desa). Bulan Desember 2013, sidang
paripurna DPR RI mengesahkan
lahirnya UU Desa, setelah 4 tahun
mengalami tarik ulur pembahasan di
Pansus DPR RI.
Dalam kondisi yang demikian,
terbitnya produk politik UU No.
6/2014 tentang Desa memberi
harapan baru untuk memperbaiki tata
kelola kehidupan desa demokratis
dan sejahtera. Setidaknya terdapat 5
mutiara perubahan yang ingin didorong
di dalam kandungan UU Desa ini.
Pertama, adanya asas rekognisi dan
subsidiaritas. Desa tak lagi diakui
dalam bentuknya yang tunggal. Untuk
menghormati keanekaragaman dan
struktur budaya masyarakat Indonesia,
kini terdapat dua bentuk desa, desa
adat dan desa. Desa juga memiliki
Desember 2015
kewenangan hak asal usul dan empat
bentuk kewenangan lainnya, berupa
kewenangan di bidang pemerintahan,
pembangunan, kemasyarakatan dan
pemberdayaan.
Kedua, mendorong demokratisasi
desa, yakni memberi akses seluas
mungkin terhadap partisipasi warga,
organisasi-organisasi warga melalui
musyawarah desa (musdes) serta
mekanisme check and balances
antara pemerintahan desa (Pemdes)
dengan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD), serta kewajiban desa untuk
mengembangkan sistem informasi
desa untuk menjamin akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, adanya perencanaan
desa (local self planning), yang
dapat merencanakan pembangunan
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
lokalitasnya. Kelima, adanya dana
desa langsung dari APBN sebesar
10% dari dana Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH),
plus sumber-sumber keuangan lainnya.
Dana Desa ini mengintegrasikan antara
perencanaan dan penganggaran yang
dapat dilakukan oleh pemerintahan
desa dalam mengurus berbagai
urusan yang menjadi kewenangannya.
Kelima, mendorong pertumbuhan
perekonomian desa melalui BUMDes.
Namun demikian, setelah usia
Pemerintahan Jokowi-JK menapak
satu tahun, kontestasi politik yang ada
mulai mengindikasikan adanya defisit
UU Desa, terutama aspek politisasi di
lingkungan birokrasi pemerintahan.
Untuk menyelamatkan dan
ARTIKEL LEPAS
meningkatkan kualitas implementasi
UU Desa sangat penting menata
birokrasi, baik di tingkat pusat dan
daerah.
Sandera Birokrasi
Arus kontestasi politik di lingkungan
Parpol dan birokrasi menciptakan
tarik ulur yang panjang, memakan
waktu tak kurang tiga bulan, yang
akhirnya berujung pada pembagian
kewenangan dalam urusan desa,
antara Kemendesa yang diberi tugas
mengurusi isu yang terkait dengan
pemberdayaan dan pembangunan desa
dengan Kemendagri, yang mengurusi
urusan pemerintahan desa. Hal ini
masih ditambah dengan kewenangan
Kementerian Keuangan yang terkait
dengan dana desa. Pembelahan
kewenangan yang mengurusi urusan
desa, dan tidak berada dalam
satu pintu Kementerian, tentu saja
menyulitkan bagi daerah dan desa
yang ingin mengimplementasikan UU
Desa secara cepat.
Pe m b e l a h a n ke w e n a n g a n
berimplikasi pada adu otoritas di
tingkat kementerian yang membuat
daerah yang responsif untuk
mengimplementasikan UU Desa
mengalami pelambatan. Sedangkan
bagi daerah yang memang dari awal
tidak cukup responsif, umumnya
memanfaatkan celah adanya otoritas
yang terbelah di tingkat pusat dalam
urusan desa ini untuk semakin
memperlambat membuat regulasi
daerah sebagai turunan regulasi
di tingkat pusat. Bahkan Walikota
Malang, Eddy Rumpoko secara tegas
menolak dana desa, padahal di
wilayah kerjanya terdapat 19 desa.
(Kompas,17/10/15).
Kondisi birokrasi di tingkat pusat
hampir setali juga dengan yang
terjadi di lingkungan birokrasi daerah,
ketika SKPD yang menangani urusan
desa juga mengalami pembelahan.
Misalnya, yang terjadi di Kabupaten
Nagakeo Nusa Tenggara Timur,
SKPD yang menangani urusan
pemberdayaan masyarakat desa
tidak satu atap dengan SKPD yang
menangani urusan pemerintahan desa, Rekomendasi Kebijakan
sehingga koordinasi dan penyamaan
Merujuk pada persoalan di atas,
framework tidak mudah dilakukan. ada beberapa hal yang perlu dilakukan
Begitu juga dengan di Kabupaten untuk mempercepat pencapaian
Sleman, urusan desa jadi satu substansi UU Desa. Pertama, perlu
atap dengan urusan kesejahteraan adanya ketegasan dari Presiden untuk
sosial sehingga koordinasi di tingkat menjadikan satu pintu Kementerian
pusat dengan Menteri Koordinator dalam urusan desa, yakni sepenuhnya
Bidang Pembangunan Manusia dan berada pada otoritas Kemendesa.
Kebudayaan.
Kebijakan ini akan memberi jalan pada
Birokrasi yang mengalami pem­ penyiapan birokrasi di tingkat daerah,
belahan kewenangan dan otoritas SKPD tersendiri yang mengurus urusan
ini menciptakan problem
desa sehingga mempermudah
seperti
adanya
koordinasi, konsolidasi dan
keterlambatan
penguatan desa sesuai
“Pembelahan
transfer dana
amanah UU Desa.
kewenangan yang
pusat ke daerah
Kedua, perlu
serta daerah
mengurusi urusan desa,
adanya kebijakan
ke desa yang
transisional
dan tidak berada dalam
berimplikasi
dalam melihat
pula pada
satu pintu Kementerian,
lambatnya
a d a n y a
penyiapan
tentu
saja
menyulitkan
bagi
problem
perangkat SDM,
daerah dan desa yang ingin m a n a j e m e n
penyerapan
anggaran.
mengimplementasikan
birokrasi antara
Meski sudah
Kementerian,
UU
Desa
secara
ada
SKB
K a b u p a t e n ,
tiga Menteri
cepat”
Kecamatan, dan Desa
(Kemendesa,
sehingga berimplikasi
Kemendagri dan
pada keterlambatan pencairan
Kemenkeu) terkait dengan
dan penggunaan dana desa. Kebijakan
percepatan pencairan dana desa, transisional ini untuk mengkondisikan
sampai dengan akhir tahun 2015, berbagai ketidaksiapan agar terhindar
masih banyak yang belum mencairkan dari resiko hukum belum maksimalnya
dana desa tahap II dari tiga tahap penyerapan anggaran tahun 2015 dan
pencairan yang diamanahkan UU memasuki anggaran baru pada tahun
Desa.
2016.
Bahkan masih banyak pula
Ketiga, mendorong pemberian
pemerintahan yang belum berani insentif bagi daerah yang sigap dalam
menggunakan anggaran karena masih pelaksanaan UU Desa dan memberikan
dihantui oleh problem hukum yang sanksi terhadap daerah yang balelo
dianggap belum pasti terkait dengan untuk menyiapkan berbagai perangkat
belanja barang dan jasa terkait terkait implementasi UU desa.
dengan sumber keuangan dari Negara Keempat, perlunya Kementerian
di tingkat desa. Perlu ada terobosan melibatkan organisasi masyarakat
politik dan penataan birokrasi yang sipil yang selama ini memiliki concern
serius agar dana sebesar Rp. 20,7 atas desa melalui proses perumusan
triliun untuk desa pada tahun 2015 bersama road map penyiapan dan
ini dapat terserap secara baik untuk pencapaian pelaksanaan UU Desa
memajukan kualitas kehidupan di dalam mekanisme kemitraan melalui
pedesaan. Jika belum beres, tahun working group desa antara Kemendesa,
2016 yang anggarannya mencapai Kemendagri, Bappenas dengan
Rp. 40 triliun akan menciptakan
organisasi masyarakat sipil.
permasalahan yang lebih rumit lagi.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
11
ARTIKEL LEPAS
Paradigma Baru
Keuangan Desa
Sukasmanto
Peneliti IRE &
Dosen STIE BANK
P
elaksanaan UU No 6/2014
tentang Desa (UU Desa) saat ini
sudah memasuki tahun kedua
sejak diundangkan pada medio Januari
2014. Salah satu perhatian utama
publik adalah soal uang yang mengalir
ke desa, dana desa (DD) dan alokasi
dana desa (ADD), baik dari aspek
kesiapan desa, mekanisme pencairan
DD, hingga penggunaannya.
Banyak persoalan yang dihadapi
dalam implementasi UU Desa dalam
bidang keuangan desa. Tapi, hal ini
tidak lantas menjadi pembenaran
bahwa desa tidak siap dan tidak akan
mampu mengimplementasikan UU
desa. Berbagai persoalan tersebut
seharusnya dijadikan tantangan oleh
semua pihak untuk memampukan
desa dalam melaksanakan UU Desa.
Paradigma baru dalam mendesain
kebijakan keuangan di desa dibutuhkan
untuk mengembalikan implementasi
UU Desa pada jalur yang seharusnya.
Realisasi penyaluran DD dari
Rekening Kas Umum Negara (RKUN)
ke Rekening Kas Umum Daerah
(RKUD) secara umum sudah berjalan
lancar kecuali penyaluran DD tahap
III yang baru terealisasi pada bulan
November 2015 (seharusnya Oktober).
Namun penyaluran DD dari RKUD
ke Rekening Kas Desa (RKD) belum
sesuai rencana karena banyak desa
yang belum menyampaikan Peraturan
Desa (Perdes APBDes dan laporan
penggunaan semesteran.
12 FLAMMA Review
Edisi 45
Kondisi ini terjadi karena bebe­
rapa persoalan misalnya adanya
beberapa daerah yang menambahkan
persyaratan penyaluran DD berupa
dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDesa)
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKPDesa). Keterlambatan daerah
menyiapkan beberapa peraturan
teknis implementasi UU Desa juga
menyebabkan Desa belum berani untuk
menggunakan DD karena khawatir
terjerat kasus hukum karena kesalahan
administrasi. Penyerapan tidak optimal
karena waktu untuk pelaksanaan DD
terbatas.
Persoalan mendasar di bidang
keuangan desa adalah masih
digunakannya paradigma lama dalam
kebijakan pengelolaan keuangan
desa. Pemerintah, baik pusat maupun
daerah, cenderung masih menganggap
bahwa DD dan ADD merupakan
specific grant yang penggunaannya
harus ditentukan atau diarahkan
oleh pemerintahan supradesa.
Sementara itu, Pemdes cenderung
menunggu petunjuk dari atas untuk
membelanjakan keuangan desa.
Padahal, sejatinya keuangan desa
baik yang bersumber dari pendapatan
asli desa, ADD, DD, bagi hasil
pajak dan retribusi daerah, bantuan
keuangan dari pemerintah supra
desa, dan sumber penerimaan desa
lainnya merupakan sumber keuangan
untuk melaksanakan kewenangan
dan bersifat block grant. Akibatnya,
kewenangan desa yang bersifat asal
usul dan lokal berskala desa pun nyaris
tidak tergarap serius dalam diskursus
implementasi UU Desa.
Ke t i d a k j e l a s a n ke w e n a n g a n
desa ini berakibat beberapa hal.
Desember 2015
Pertama, belum adanya pedoman dan
kepastian hukum bagi Pemdes untuk
menjalankan mandat UU Desa dengan
menyusun dan menetapkan Perdes
tentang kewenangan desa. Kedua, desa
belum memiliki kejelasan dan landasan
hukum dalam menyusun perencanaan
dan penganggaran desa, ser ta
kebijakan-kebijakan strategis lainnya
di Desa. Ketiga, target penggunaan DD
tidak akan sesuai dengan kewenangan
desa tidak tercapai. Oleh karena itu,
pemerintah kabupaten/kota sudah
selayaknya segera menyusun Peraturan
Bupati (Perbup) tentang Daftar
Kewenangan Desa.
Prinsip Money Follow Function
Poin penting dalam UU Desa
adalah adanya penegasan kewenangan
desa yang didukung dengan anggaran.
Dengan kata lain, berlaku prinsip
money follows function yang me­
rupakan bagian dari paradigma baru
dalam keuangan desa. Prinsip ini me­
ngandung makna bahwa pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang
menjadi kewenangan tiap tingkat
pemerintahan. Atas pengakuan ter­
hadap kewenangan desa ini maka
desa mendapatkan alokasi dana dari
pemerintah pusat (APBN) yaitu Dana
Desa (DD) dan alokasi dana dari APBD
yaitu Alokasi Dana Desa (ADD).
Keriuhan publik menyoal dana
desa menunjukkan bahwa substansi
UU Desa belum dipahami secara
utuh. Keuangan desa dalam konteks
penganggaran desa masih dipahami
sebagai function follow money.
Pemda dan Pemdes masih berpikir
bagaimana “menghabiskan” dana
dalam satu tahun anggaran tanpa
basis perencanaan program dan
ARTIKEL LEPAS
kegiatan yang jelas dengan mengacu
RPJMDes dan RKPDes. Pengelolaan
keuangan desa agar efisien dan efektif
membutuhkan kejelasan kewenangan
desa selain persyaratan lainnya.
Implementasi prinsip money follow
function di Desa nampaknya masih
jauh karena kewenangan desa tidak
segera diidentifikasi, diinventarisasi,
dan ditetapkan oleh pemda kabupaten
dan Pemerintah Desa (Pemdes) dalam
Peraturan Bupati (Perbup) tentang
daftar kewenangan desa sebagai
pedoman menyusun peraturan desa
(perdes) tentang kewenangan desa.
Perdes ini akan menjadi dasar hukum
perencanaan, penganggaran, dan
kebijakan pengelolaan keuangan
di Desa. Akibatnya implementasi
keuangan desa nampak masih “didikte”
dari atas. Situasi yang timpang ini
harus segera diatasi dengan langkahlangkah yang mengarah pada upaya
mengembalikan implementasi UU
Desa pada jalur seharusnya.
Ilustrasi Ipank
Tidak Sekedar Belanja Desa
Kebijakan anggaran yang diterapkan
di Indonesia dari APBN sampai dengan
APBDesa adalah kebijakan anggaran
surplus/defisit. Komponen pembiayaan
merupakan komponen yang strategis
dalam anggaran. Struktur APBDesa
terdiri dari komponen pendapatan,
belanja, dan pembiayaan. Komponen
pembiayaan bukan rekening pemanis
dalam struktur APBDesa. Praktiknya,
APBDesa walaupun strukturnya
adalah anggaran surplus/defisit tetapi
implementasinya masih anggaran
berimbang.
Pembiayaan desa sangat jarang
dibahas dalam pengelolaan keuangan.
Orientasi pengambilan keputusan
keuangan hanya pada aspek pen­
dapatan dan belanja. Hal ini dapat
dipahami karena selama ini memang
sumber pendapatan desa masih
sangat sedikit dan terbatas sehingga
hanya cukup untuk belanja rutin dan
sedikit belanja untuk pembangunan
dan pemberdayaan. Tetapi itu dulu.
Sekarang dengan adanya DD dan ADD
tentu saja pola pikirnya harus diubah.
Penerapan kebijakan anggaran
surplus/defisit masih sulit diimplemen­
tasikan karena keterbatasan
kapasitas pemdes dalam mengelola
pembiayaan. Pembiayaan meliputi
semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya. Pembiayaan terdiri atas
penerimaan dan pengeluaran pem­
biayaan. Pengeluaran pembiayaan
dapat digunakan untuk memperkuat
kemampuan keuangan dengan
membentuk dana cadangan dan
penyertaan modal desa. Namun,
kemampuan desa untuk mem­
bentuknya terbatas karena pembentu­
kan dana cadangan hanya dapat ber­­
sumber dari penyisihan atas peneri­­
maan desa yang penggunaannya belum
ditentukan secara khusus menurut
perundangan.
Ketika Pendapatan Aseli Desa
(PADes) masih kecil dan penerimaan
seperti DD dan ADD penggunaannya
telah ditentukan secara khusus maka
pembentukan dana cadangan menjadi
terbatas. Keterbatasan kemampuan
membentuk dana cadangan ini
tentu akan mem­batasi kemampuan
penyertaan modal desa misalnya untuk
diinves­tasikan pada pengembangan
unit usaha Badan Usaha Milik Desa
(BUM Desa) yang diharapkan akan
menjadi salah satu sumber PADes.
Hal ini juga menjadi faktor yang
menghambat pendirian BUMDesa
karena bagaimanapun alokasi
anggarannya tidak dapat dikeluarkan
melalui pos belanja tetapi harus
melalui pos penyertaan modal desa
(pengeluaran pembiayaan). Akibatnya,
Pemdes mengalami kebingungan
untuk melakukan penyertaan modal
karena belum ada kebijakan yang
mengaturnya. Sudah saatnya Pemdes
mengubah paradigma dan orientasi
pengambilan keputusan keuangan
desa yang mengarah pada komponen
pembiayaan untuk mendinamisasikan
perekonomian masyarakat desa.
Rekomendasi
Implementasi UU Desa dalam
pengelolaan keuangan desa
membutuhkan paradigma baru agar
tujuan pengaturan dari UU Desa dapat
dicapai. Sebagian pemerintah desa
masih menggunakan paradigma lama
padahal UU Desa sudah menggunakan
paradigma baru. Oleh karena itu perlu
pergeseran dari paradigma lama ke
paradigma baru dalam implementasi
UU Desa dalam bidang keuangan.
Pergeseran paradigma dalam
pengelolaan keuangan desa yaitu
pertama, mengarusutamakan money
follow function dalam alokasi dana
kepada desa merupakan konsekuensi
dari kewenangan yang dimiliki Desa.
Kedua, memperkuat basis perencanaan
dan penganggaran berdasarkan
kewenangan desa. Ketiga, Pemdes
seharusnya menggunakan APBDesa
sebagai dinamisator penyelenggaraan
pembangunan. Keempat, orientasi
pengambilan keputusan keuangan
harus lebih diarahkan pada belanja
yang berorientasi jangka panjang dan
investasi. Kelima, Pemda kabupaten/
kota harus mengeluarkan kebijakan
tentang penyertaan modal desa untuk
mengatasi kegamangan Pemdes
untuk menggunakan sumber-sumber
keuangan desa sebagai penyertaan
modal desa dengan mekanisme
pembiayaan desa.
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
13
Fotografi
MANEGES
DESA
Dua Tahun
UU Desa
“Refleksi 2th UU Desa;
butuh keseriusan
mengawal kebangkitan
desa; banyak inovasi
komunitas” (Arie Sujito,
Peneliti Senior IRE)
14 FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
Fotografi
“Jangan sampai ada
pembegalan makna dan
tujuan UU Desa”,(Erani
Yustika, Dirjen Pembangunan
dan Pembedayaan Masyarakat
Desa Kementerian Desa PDT
dan Transmigrasi)
FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
15
Fotografi
16 FLAMMA Review
Edisi 45
Desember 2015
Download