Pengaruh ekstrak tepung jewawut terhadap proliferasi sel limfosit

advertisement
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. JEWAWUT
1. Keberadaan Jewawut (Millet) Secara Global
Jewawut merupakan tanaman pangan serealia non-beras yang telah banyak
dimanfaatkan di berbagai belahan dunia. Tanaman jewawut memiliki biji yang berukuran kecil
dan dapat beradaptasi pada iklim panas. Jenis jewawut yang kerap kali dibahas dalam berbagai
literatur menurut Hulse et al. (1980) adalah pearl millet (Pennisetum glaucum), finger millet
(Eleusine coracana), foxtail millet (Setaria italica), common millet (Panicum miliaceum), little
millet (Panicum miliare), japanese barnyard millet (Echinochloa frumantacea), kodo millet
(Paspalum scrobiculatum), fonio (Digitaria exilis), teff (Eragrostis tef), dan job’s tears (Coix
lachrymajobi).
Millet berasal dari Afrika dan baru disebarluaskan oleh para pedagang waktu zaman itu
ke berbagai negara lainnya seperti negara-negara di Eropa dan Asia. Negara-negara yang kerap
kali menggunakan jewawut sebagai bahan konsumsi adalah Kenya, Uganda, Nigeria, Tanzania,
Sudan, dan India. Selain itu, di Tiongkok, Cina, millet sudah ada sejak 6000 tahun SM (Vogel
dan Graham, 1978).
2. Keberadaan Jewawut (Millet) Di Indonesia
Di Indonesia jewawut cukup populer dibudidayakan sebagai pakan burung peliharaan.
Pemanfaatannya untuk pangan masih terbatas dan bersifat pangan tradisional di beberapa
daerah di Indonesia. Daerah di Indonesia yang banyak menanam jewawut adalah di daerah
Jawa, NTT, dan NTB (Puspawati, 2009; Palupi, 2006). Sampai tahun 2006, Balai Penelitian
Tanaman Serealia Indonesia telah memiliki koleksi plasmanutfah jewawut sebanyak 57 aksesi
(Balai Penelitian Tanaman Serealia, 2009) dan tiga jenis jewawut yang populer adalah jenis
brownstop millet (Panicum miliacum), pearl millet (Pennisetum thypoides dan Pennisetum
glaucum), dan proso atau italian millet (Setaria italia) (Suherman et al., 2009).
Salah satu wilayah yang menjadi tempat keberadaan tanaman jewawut adalah di pulau
Lombok. Jewawut dikenal dengan nama jawe atau betem di pulau ini. Keragaman jenis
jewawut di pulau Lombok ditemukan di Kecamatan Bayan, Pringgabaya, dan Kayangan.
Keragaman karakter tanaman jewawut di wilayah ini terlihat dari penampakan warna biji yang
bervariasi. Variasi warna biji tersebut terdiri atas warna hitam, coklat muda, coklat tua, merah
kecoklatan, krem, dan putih. Sedangkan, keragaman bentuk tanaman ini dapat dilihat dari
variasi bobot malai yang bervariasi antara 11.8 g hingga 18.8 g dan keragaman jumlah cabang
antara 104 hingga 143 cabang. Selain itu, tanaman ini juga memiliki keragaman bobot untuk
1000 butir biji yang berkisar antara antara 7.3 g hingga 13.5 g (Suherman et al., 2009).
Biji jewawut kerap kali dijual di dua pasar di Lombok yang kebanyakan berasal dari
jenis foxtail millet dan pearl millet. Nama kedua pasar tersebut adalah Pasar Narmada dan
Pasar Milantika. Harga penjualannya biji jewawut di kedua pasar ini adalah Rp 6.000/kg.
Sedangkan untuk pemanfaatannya, biji jewawut masih diolah dengan cara tradisional menjadi
bahan pangan selingan berupa bubur betem, dodol betem dan bajet betem (Suherman et al.,
2009).
Jewawut termasuk tanaman serealia ekonomi keempat setelah padi, gandum dan jagung.
Biji jewawut mudah dijumpai di kios maupun di pasar-pasar burung dan mengandung
karbohidrat dan protein yang besar kandungannya tidak berbeda jauh dari jagung dan beras.
Data ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan kandungan nutrisi dari tiga jenis jewawut disajikan
pada Tabel 2. Kandungan mineral kalsium (Ca) dan besi (Fe), serta vitamin A, B1, B2, dan C
dari ketiga jenis jewawut dan jagung disajikan pada Tabel 3, sedangkan informasi kandungan
beberapa mineral pada beras, gandum, jagung, dan jewawut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 1. Kandungan nutrisi tiga jenis jewawut, jagung, dan berasa
Jenis Jewawut
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Lemak (%) Serat (%)
Foxtail millet
84.2
10.7
3.3
1.4
Pearl millet
78.9
12.8
5.6
1.7
Proso millet
84.4
12.3
1.7
0.9
Jagung
80.0
10.5
4.9
2.7
Beras
87.7
8.8
2.1
0.8
Tabel 2. Kandungan nutrisi tiga macam jewawut (%)a
Nutrisi per 100 g
bahan
Air
Brownstop millet
Pearl millet
Foxtail millet
10 – 15
10
10.5 - 11.9
Protein
12 - 15
11
9.7 - 10.8
Lemak
2-3
4
1.7 - 3.5
Karbohidrat
70 - 80
61
72.4 - 76.6
Serat
1.5
8
1
Abu
1.5
4
1.5
Tabel 3. Kandungan mineral tiga jenis jewawut dan jagung (mg/100g) a
Vitamin
Komoditas
Ca
Fe
Vitamin A Vitamin B1
Vitamin C
B2
0
0.48
0.14
2.5
Foxtail millet
37
6.2
Pearl millet
56
10.1
0
0.35
0.16
2.0
Proso millet
13
2.1
0
0.17
0.06
3.5
Jagung
16
3.2
0.3
0.34
0.13
2.4
Para petani Indonesia mengenal jewawut sebagai tanaman serealia dengan ekonomi
minor, namun memiliki nilai kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya
seperti padi, jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain.
Tanaman ini tersebar dihampir seluruh Indonesia seperti Pulau Buruh, Jember, dan
termasuk di Sulawesi Selatan seperti Enrekang, Sidrap, Maros, Majene dan daerah lainnya.
Tanaman ini sangat mudah untuk dibudidayakan karena dapat ditanam pada lahan-lahan ladang
penduduk dengan cara tanah yang digembur lalu ditaburi dengan biji jewawut. Tanaman ini
tidak memiliki musim dan bisa ditanam sepanjang tahun dengan mempertimbangkan kondisi
pertumbuhannya. Tanaman ini tidak membutuhkan jenis tanah khusus sehingga dapat ditanam
dimana saja dengan cara ditabur. Kemudian dari segi ekonomi tidak membutuhkan biaya
produksi yang tinggi dan dalam pemeliharaan sederhana karena tidak membutuhkan pestisida
dan jenis kimia lainnya.
Tabel 4. Kandungan mineral beras, gandum, jagung dan jewawuta
Mineral
Beras
Gandum
Jagung
Jewawut
(mg/100 g)
Thiamin
66
45
32
63
Ribloflavin
25
10
10
33
Niacin
1.3
3.7
1.9
2.0
Iron
9.0
4.0
3.0
7.0
Zinc
3.0
3.0
3.0
3.0
Kalsium
7.0
38.0
45.0
440.0
Fosfor
147
385
224
156
Natrium
10
9
11
53
Kalium
87
75
78
398
a
Suherman et al. (2009)
3. Pemanfaatan Jewawut sebagai Bahan Makanan Secara Global
Jewawut telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan di berbagai negara
di dunia ini. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan bahan
makanan lain. Pemanfaatan ini akan disajikan pada Lampiran 1 yang terbagi berdasarkan
wujudnya, yakni biji utuh (whole grain) atau biji yang mengalami proses pengolahan (crackedgrain), bubur kental (stiff porridge), roti tidak beragi (unleavened bread), roti beragi (leavened
bread), berbagai macam makanan ringan (miscellanous snacks), dan berbagai jenis minuman
(beverages) di berbagai negara.
Di Indonesia, pengolahan jewawut masih sangat terbatas. Namun di beberapa daerah
jewawut dimanfaatkan seperti beras dengan cara pengolahan yang sama dengan pengolahan
beras menjadi nasi. Awalnya jewawut dijemur, disosoh, hingga hanya terdapat bagian daging
atau endospermanya saja. Masyarakat Sidrap membuat jenis makanan baje dari jewawut yang
dicampur dengan gula merah dan kelapa, dan songkolo. Pemanfaatan ini hampir sama dengan
beras ketan. Selain itu, tanaman jewawut dapat diolah menjadi tepung untuk mensubtitusi
tepung beras. Hal ini dikarenakan jewawut mengandung sumber vitamin B dan beta karoten.
Biji jewawut dapat pula dijadikan bahan minuman penyegar seperti milo dengan cukup
ditambah dengan coklat dan susu. Selain itu, pemanfaatan jewawut secara tradisional yang lain
terdapat di Lombok dengan kerap kali dijadikan pangan seperti bubur, dodol, dan bajet
(Suherman et al., 2009).
Selain pengolahan menjadi tepung beras dan seperti beras ketan, tepung jewawut juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk mie di Indonesia. Hal ini
dikarenakan kandungan proteinnya yang hampir sama dengan tepung terigu dan bahkan
mengandung protein gluten. Gluten adalah protein lengket dan elastis yang dapat membuat
adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. Sifat elastis gluten
pada adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan
dan pemasakan (Sari, 2010).
Tepung jewawut biasanya dibuat dari biji jewawut ataupun dari proses perkecambahan
terhadap biji-bijian yang digerminasi dan selanjutnya dijadikan bahan baku utama produk
olahan. Tepung jewawut yang dihasilkan dari perkecambahan biji jewawut memiliki perbaikan
nilai gizi suatu produk olahan karena proses perkecambahan akan menyebabkan perubahan
nilai nutrisi yang terkandung dalam biji. Aplikasi ini merupakan salah satu jawaban yang tepat
bagi pemenuhan nutrisi kebutuhan masyarakat. Nilai tambah dari tepung kecambah biji-bijian
yang telah ditepungkan ini tidak hanya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, tetapi
juga kandungan nutrisi yang penting bagi pemenuhan gizi masyarakat, karena selama proses
germinasi (perkecambahan), melibatkan banyak enzim untuk proses katabolisme senyawa
makromolekul seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Sari, 2010).
Pemanfaatan jewawut pada masa modern ternyata semakin berkembang dengan
semakin banyaknya produk pangan berbahan baku jewawut di berbagai wilayah lain. Deskripsi
singkat mengenai jenis produk pangan tersebut dan wilayahnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pemanfaatan jewawut di masa modernb
Nama Produk
Wilayah
Asia, Eropa bagian tenggara,
Nasi, bubur, roti tidak beragi, roti beragi, dan puding
dan Afrika Utara
Bahan pokok makanan yang dicampur dengan polongCina bagian utara
polongan dan dimasak
Adonan roti dan mie
Cina bagian utara
Keripik mini, jewawut gulung kering, tepung makanan
bayi
Kecambah jewawut digunakan untuk sayuran, bahan
pembuatan bir, alkohol, cuka, & wine
Cina
Rusia dan Burma
(Myanmar)
b
Yanuwar (2009); Suherman et al. (2009)
4. Pearl millet (Pennisetum glaucum)
Pearl millet adalah jenis tanaman jewawut yang paling luas penyebaran dan
pembudidayaannya dibandingkan jenis jewawut lainnya. Pearl millet (Pennisetum glaucum)
merupakan jenis yang potensial untuk pangan dan penyebarannya luas (Leder, 2004). Pearl
millet berasal dari Afrika Barat dan setidaknya sekitar 2000 tahun lalu dibawa ke Afrika Timur,
Afrika Tengah, dan India. Hal ini terjadi karena kemampuan tanaman tersebut untuk hidup di
lingkungan marginal dan kering (Hulse et al., 1980). Di India, pearl millet memiliki banyak
sebutan, tetapi yang paling umum adalah bajra. Wujud tanaman pearl millet disajikan pada
Gambar 1, sedangkan penampakan biji pearl millet yang digunakan pada penelitian ini
ditunjukkan pada Gambar 2.
Pearl millet dibagi menjadi dua kelas, yakni early millet yang dewasa pada umur 60-95
hari dan late season millet yang dewasa pada umur 130-150 hari. Tanaman jewawut jenis pearl
millet memiliki variasi kultivar yang memiliki perbedaan karakter, termasuk tinggi tanaman
dalam jangkauan 0.5−4 m, ketebalan dan derajat percabangan stem, serta ukuran, bentuk, dan
warna dari bijinya, berwarna agak putih, kuning pucat, coklat, hijau, atau ungu. Selain itu,
panjang tangkai biji mencapai 3−4 mm dan setiap tangkai mencapai 1000 biji dengan berat
2.5−14 g. Ukuran biji setengah lebih kecil dari sorgum, serta proporsi germ dan endosperma
lebih rendah dari sorgum (Hulse et al., 1980). Klasifikasi tanaman pearl millet yang dikutip
dari Nurmala (1997) disajikan sebagai berikut:
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Monocotyledon
: Poales
: Poaceae
: Pennisetum
: Pennisetum sp.
Gambar 1. Tanaman Pearl Millet
Gambar 2. Biji Pearl Millet
Pearl millet sebagai sumber karbohidrat memiliki kandungan kalsium lebih tinggi dari
jagung, tapi lebih rendah dari sorgum, lalu sifat viskositas pati lebih tinggi dari gandum dan
sifat gelatinisasi lebih baik dari sorgum (Suherman et al., 2009). Pearl millet yang banyak
dipakai sebagai sumber pangan yang memiliki protein kasar lebih tinggi 1-2% dari sorgum,
tetapi masih rendah kandungan asam amino yang mengandung sulfur (Singh et al., 2003).
Komposisi struktur biji sedikit berbeda dengan sorgum, bagian endospermanya 75%,
sedangkan sorgum 82%.
Leder (2004) menyatakan protein pearl millet memiliki fraksi protein albumin dan
globulin sebesar 22-28%, prolamin sebesar 28-35%, glutelin 28-32%. Fraksi prolamin pearl
millet lebih kecil dari sorgum. Kandungan asam amino pada pearl millet dan fraksi proteinnya
disajikan secara ringkas pada Tabel 6 menurut Bhuja (2009). Serna-Saldivar et al. (1995) juga
menyebutkan bahwa pearl millet memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi dari
sorgum, semua jenis millet memiliki kandungan asam amino lisin terbatas tapi pearl millet
memiliki kandungan lisin lebih tinggi dari jenis millet lainnya. Kandungan lemak umumnya
lebih tinggi dari sorgum (3-6%), sebanyak 75% termasuk asam lemak tidak jenuh rantai
panjang (PUFA), jenis PUFA yang terbanyak adalah asam linoleat. Kandungan vitamin pearl
millet umumnya vitamin C, A, dan mineral umumnya adalah Fe, Ca, Mg, dan Zn. Kandungan
mineral besi pearl millet lebih tinggi daripada sorgum (Leder, 2004). Komposisi kimia pearl
millet dari beberapa sumber dapat dilihat pada Tabel 7.
Informasi yang terdapat pada Tabel 7 menunjukkan perbedaan kadar komposisi nutrisi
pearl millet yang disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan, dan keakuratan alat uji
yang dipakai. Perbedaan hasil analisis kimia biji jewawut juga disebabkan oleh faktor prapanen
seperti teknik penanaman, tingkat kesuburan tanah, faktor lingkungan seperti radasi matahari,
suhu, dan varietas yang berbeda (Yanuwar, 2009).
Tabel 6. Komposisi asam amino esensial dan distribusi fraksi protein pada pearl millet dengan
sorgum sebagai pembanding (Bhuja, 2009)
Biji
Sorgum
Pearl millet
Isoleusin
245
256
Komposisi asam
amino
(mg/g)
Leusin
832
598
Lisin
126
214
Metionin
87
154
Fenilalanin
306
301
Treonin
189
241
Triptofan
63
122
17.4
25.0
Prolamin
6.4
28.4
Glutelin
35.7
18.4
Albumin dan
Fraksi protein
(% protein total)
globulin
5. Struktur Pearl millet Pada Umumnya
Ukuran biji pearl millet adalah sepertiga dari biji sorgum. Perikarp pearl millet
memiliki kesamaan dengan sorgum kecuali bagian mesokarpnya yang tidak mengandung
granula pati. Lapisan aleuronnya terdiri dari satu sel yang tebal. Gambar struktur biji jewawut
pada umumnya dan menggambarkan bentuk umum struktur biji berbagai varietas jewawut
terdapat pada Gambar 3.
Endosperma pearl millet terdiri atas komponen (a) keras, bening dan (b) lunak, keruh.
Komponen endosperma keras pearl millet tersusun oleh struktur yang padat tanpa rongga
udara. Granula pati pearl millet berbentuk poligonal dan berukuran 10 µm, lebih kecil
dibandingkan pati sorgum. Bagian proteinnya berukuran 1.5 µm yang terdapat dalam matriks
protein yang dikelilingi oleh granula pati dan memproduksi lekukan besar pada tepi granula
pati. Struktur ikatan protein dan pati pada endosperma pearl millet memiliki kesamaan dengan
yang terdapat pada jagung (Hulse et al., 1974). Endosperma lunak pearl millet sebagian besar
terdiri dari rongga udara yang tampak seperti bola, sehingga terlihat longgar.
Komponen
Kadar air (%bk)
Tabel 7. Komposisi kimia jewawut
Kadar
Kadar
Kadar
(Yanuwar,
(Leder,
(Nurmala,
2009)
2004)
2003)
7.61
12.51
Kadar
(Rooney,
1978)
8.8
Kadar abu (%)
1.77
-
3.86
2.3
Protein kasar (%)
7.29
-
11.38
12.1
Lemak (%)
1.63
-
-
5.0
Palmitat
-
-
-
20
Stearat
-
-
-
5
Oleat
-
-
-
26
Linoleat
-
-
-
45
Linolenat
-
-
-
4
Serat kasar (%)
-
2.20
5.65
2.4
Karbohidrat (%)
81.52
75
-
69.4
Energi kasar (kal/g)
-
363
386
-
P (mg/100g)
-
-
50.00
-
Mg (mg/100g)
-
-
122.10
-
Fe (mg/100g)
-
3.00
7.80
-
Zn (mg/100g)
-
-
3.60
-
Ca (mg/100g)
-
-
19.80
-
Vitamin A (mg/100g)
-
-
0.023
-
Vitamin C (mg/100g)
-
25
26.40
-
Gambar 3. Struktur biji jewawut (McDonough dan Rooney, 1987)
Perikarp pearl millet terdiri atas tiga lapisan, yakni epikarp, mesokarp, dan endokarp.
Mesokarp pearl millet terdiri atas satu atau dua lapisan sel yang tebal dan tampak padat. Selain
itu, mesokarpnya tidak mengandung granula pati. Endokarp pearl millet tersusun atas sel-sel
tabung dan cross cells. Perikarp pearl millet cenderung memecah dan lapisan endokarp ketiga
tergores selama penggilingan mekanis. Hasil evaluasi terhadap struktur biji pearl millet tidak
menampakkan testa meskipun jaringan membran tipis telah diamati di antara cross cells dan
sel-sel aleuron. Lapisan aleuron adalah sel tunggal yang tebal dan mengelilingi keseluruhan
biji. Ukuran sel-sel aleuron bervariasi dengan rata-rata lebar 17 µm dan panjang 22 µm (Hulse
et al., 1980).
6. Senyawa Fitokimia Pearl Millet
Pearl millet mengandung komponen fitokimia seperti sorgum, yaitu komponen fenolik
yang terdiri dari asam fenolik dan golongan flavonoid (termasuk tanin), tetapi kandungan
taninnya lebih rendah dari sorgum. Komponen asam fenolik yang tinggi adalah jenis asam
ferulat, kaumarat, sinamat, dan gentisic. Warna pearl millet disebabkan oleh komponen
glikosilvitesin, glikosiloritin, alkali-labil, dan asam ferulat. Komponen fenolik ini memiliki
sifat antioksidan yang dapat menekan reaksi oksidasi yang merugikan bagi tubuh (Leder,
2004). Jenis asam fenolik yang terdeteksi pada biji pearl millet disajikan pada Tabel 8.
Senyawa fenolik merupakan salah satu jenis antioksidan yang kerap kali terdapat pada
tanaman. Senyawa ini merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah cincin aromatik
yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa fenolik diklasifikasikan dalam tiga
grup, yaitu fenol sederhana, asam hidroksinamat, dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana
terdiri atas monofenol, difenol, dan trifenol. Grup yang paling penting dari senyawa fenolik
adalah flavonoid, termasuk di dalamnya katekin, antosianidin, flavon, dan glikosida (Tang,
1991).
Tabel 8. Asam fenolik yang terdeteksi pada biji jewawut (Dykes & Rooney, 2006)
Jenis Asam Fenolik
Asam Fenolik
Hydrobenzoic acids
Gallic
Protocatechuic
p-Hydroxybenzoic
Gentisic
Vanillic
Syringic
Hydroxycinnamic acids
Ferulic
Caffeic
p-Coumaric
Cinnamic
Sinapic
B. β-GLUKAN
β-glukan adalah nama kimia dari polimer β-glukosa. β-glukan merupakan polisakarida
yang banyak sekali ditemukan pada serealia, jamur, khamir, kapang, dan bakteri (Novak dan
Vetvicka, 2008). β-glukan memiliki variasi dalam struktur kimianya bergantung asal dan jenis
ikatan polisakaridanya. Salah satu sumber senyawa β-glukan adalah dari tanaman serealia yang
struktur kimianya digambarkan pada Gambar 4.
Polimer β-glukan memiliki sifat fisikokimia yang menarik terutama kemampuan untuk
membentuk gel sehingga sering kali digunakan dalam industri pangan. Selain itu komponen ini
memiliki aktivitas biologis yang biasanya dihubungkan dengan pengobatan, makanan fungsional,
farmasi, bahkan kosmetik. Belakangan ini diketahui bahwa β-glukan kerap kali digunakan sebagai
bahan tambahan pangan untuk diaplikasikan pada produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia
(Laroche dan Michaud, 2006).
Berikut manfaat penggunaan β-glukan sebagai peranannya sebagai bahan tambahan
pangan: memberikan karakteristik seperti ham yang lebih lembut pada produk daging sapi dan
unggas, ideal untuk produk pangan beku seperti steak, burger, dan ayam goreng karena dapat
meningkatkan massa produk, menjaga kelembaban dan meningkatkan penyerapan minyak pada
produk-produk daging dan seafood yang dilapisi oleh tepung roti, dan dapat menggantikan peran
lemak dalam penggunaannya di produk pangan atau dengan kata lain β-glukan dapat menurunkan
kadar kalori karena penggunaan lemak menjadi lebih sedikit (Laroche dan Michaud, 2006).
Gambar 4. Struktur kimia β-glukan yang pada umumnya berasal dari serealia
Selanjutnya, secara parsial β-glukan berperan meningkatkan cita rasa dan tekstur dalam
mulut, tekstur fisiknya, dan penampakan pada keadaan beku dan pada produk susu (membuat
yogurt rendah lemak bertekstur lebih lembut). Selain itu, penambahan β-glukan pada produk salad
dressing mampu memberikan kesan bertekstur creamy dalam mulut dan dapat meningkatkan
viskositas pada berbagai produk tanpa lemak. Penggunaan β-glukan dengan putih telur dapat
meningkatkan tekstur dan ketahanan bentuk dari mie, khususnya pada produk sup kaleng dan
makaroni. Gelnya akan membentuk tekstur seperti mie yang dapat mempertahankan bentuknya
ketika direbus atau digoreng dengan sedikit minyak. Selain itu, β-glukan mengandung hampir 90%
serat pangan dan bernutrisi, serta memberikan peningkatan massa (Laroche dan Michaud, 2006).
β-glukan digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP) karena dapat menggantikan
penggunaan beberapa bahan tertentu dan tentunya dianggap sangat menguntungkan. β-glukan
tidak memiliki efek toksik dan aman digunakan. Selain itu. β-glukan diisolasi secara murni dan
tidak mengandung protein khamir yang dapat menyebabkan reaksi alergi. β-glukan hasil dari
dinding sel khamir roti memiliki fungsi signifikan untuk mengaktifkan makrofag sel darah. βglukan tidak memiliki efek perlawanan terhadap obat farmakologi, melainkan meningkatkan efek
banyak obat antibiotik dan obat penurun kolesterol (Novak dan Vetvicka, 2008).
β-(1-3)-glukan merupakan struktur untuk senyawa β-glukan murni. β-(1-3)-glukan dan
turunannya memiliki potensi dalam bidang medis dan farmakologi. Tetapi, bagaimanapun juga,
efek dan penerapannya bergantung pada strukturnya, misalnya β-glukan dari sereal berpengaruh
pada glycemia dan level kolesterol tetapi yang berasal dari bakteri, khamir, dan jamur diketahui
memiliki efek responsif lebih baik secara biologis. Molekul ini memiliki potensi peningkat daya
tahan tubuh, memberikan efek anti-tumor, dan mampu meningkatkan ketahanan tubuh manusia
pada bakteri atau virus seperti virus AIDS (Laroche dan Michaud, 2006).
β-glukan diketahui memiliki efek sebagai komponen serat pangan yang dapat tergolong di
kedua fungsinya sebagai serat pangan terlarut dan serat pangan tidak terlarut. Keuntungan lain
penggunaan β-glukan berkaitan dengan fungsinya sebagai komponen serat tidak terlarut bagi
kesehatan adalah memperpendek waktu kontak sisa pencernaan dalam usus besar, pencegah
konstipasi, pengurang resiko terjadinya kanker usus besar, dan pembentuk SCFA (Short Chain
Fatty Acid). Terkait dengan perannya sebagai serat pangan terlarut, khususnya β-(1,3)(1,4)-Dglukan, memberikan efek kesehatannya adalah dengan kemampuannya menurunkan kadar
kolesterol darah, menurunkan hyperglycemia dan hyperinsulinaemia, keterkaitan dengan
pengontrolan penyakit diabetes, pengurangan faktor terjadinya resiko penyakit degeneratif seperti
obesitas, hyperlipidaemia, hypercholesterolemia, penyakit jantung, kanker, darah tinggi, dan
membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik karena berperan sebagai prebiotik (Laroche dan
Michaud, 2006).
C. SISTEM IMUN
Lingkungan di sekitar tubuh manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen, misalnya
bakteri, virus, fungi, protozoa, dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi
yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan tidak meninggalkan kerusakan permanen.
Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun. Sistem imun
memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap segala unsur patogen tersebut.
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi. Gabungan sel,
molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun, Sistem
imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2006; Kresno, 2001).
Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara
luas dalam merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sistem imunitas antara lain genetik, umur, kondisi metabolik, anatomi, status gizi,
fisiologi manusia, dan sifat benda asing.
Sistem imun digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat pertahanannya yakni
sistem imun alamiah atau nonspesifik (natural) dan sistem imun didapat atau spesifik (adaptive/
acquired). Gambaran umum kedua sistem imun tersebut diilustrasikan pada Lampiran 2.
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi
serangan berbagai mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon langsung terhadap
antigen. Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu
sebelum dapat memberikan respon. Kedua sistem tersebut memiliki beberapa perbedaan sifat yang
akan dideskripsikan pada Tabel 9. Perbedaan sifat tersebut tidak menjadikan kedua sistem bekerja
secara terpisah untuk mempertahankan imun tubuh. Kedua sistem tersebut bekerja sama erat dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Tabel 9. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifike
Sifat
Nonspesifik
Spesifik
Membaik
oleh
infeksi berulang
Resistensi
Tidak berubah oleh infeksi
(memori)
Umumnya efektif terhadap semua
Spesifik untuk mikroba yang
Spesifitas
mikroba
sudah mensensitasi sebelumnya
Sel yang penting Fagosit, sel NK, sel mast, eosinofil
Th, Tdth, Tc, Ts, Sel B
Lisozim, komplemen, APP,
interferon, CRP, kolektin, molekul
adhesi
e
Baratawidjaja (2006)
Molekul yang
penting
Antibodi, sitokin, mediator,
molekul adhesi
Bentuk kerja sama sistem imun nonspesifik dan spesifik ditampilkan saat menghadapi
infeksi. Sistem imun nonspesifik bekerja dengan cepat dan sering diperlukan untuk merangsang
sistem imun spesifik. Mikroba ekstraselular mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin.
Kompleks antigen-antibodi mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Virus intraselular
merangsang sel yang diinfeksinya untuk melepas IFN yang mengerahkan dan mengaktifkan sel
NK. Sel dendritik yang memakan antigen bermigrasi ke kelenjar getah bening dan
mempresentasikan antigen yang dimakannya ke sel T. Sel T yang diaktifkan bermigrasi ke tempat
infeksi dan memberikan bantuan ke sel NK dan makrofag (Kresno, 2001; Baratawidjaja, 2006).
Pengaktifan sistem imun dapat segera dilaksanakan oleh tubuh karena keberadaan sel-sel
sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh, seperti ditemukan di dalam sumsum tulang, timus,
darah, kelenjar getah bening, limpa,saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, dan
jaringan. Sel-sel tersebut berasal dari sel prekursor yang multipoten dalam sumsum tulang yang
kemudian berdiferensiasi menjadi dua golongan sel progenitor imun.
D.
MEKANISME RESPON IMUN SPESIFIK
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya
disebut respons imun (Baratawidjaya, 2006). Respon imun didefinisikan sebagai respon atau
reaktifitas yang terjadi jika ada kontak antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi
spesifik (Roitt, 1994). Respon imun menjalankan tiga fungsi, yaitu pertahanan, homeostatis, dan
pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan melawan invasi mikroorganisme dan
senyawa asing lainnya. Fungsi homeostatis bertujuan mempertahankan dari jenis sel tertentu dan
memusnahkan sel-sel yang rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan memonitor jenis sel
yang abnormal atau sel mutan (Yanuwar, 2009).
Mekanisme respon imun spesifik adalah dengan mengenali benda yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali hadir dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun
spesifik. Sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, jika
terpajan ulang akan dikenali lebih cepat kemudian dihancurkan. Istilah spesifik dimaksudkan
karena mekanisme kerja sistem ini hanya dapat menyingkirkan dan menghancurkan benda-benda
asing yang sudah dikenal sebelumnya. Benda-benda asing ini kerap kali disebut sebagai imunogen
atau antigen.
Imunogen atau antigen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun spesifik
pada manusia dan hewan. Imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun,
sedangkan antigen adalah setiap bahan yang bersifat imunogen dan dapat mengikat komponen
yang dihasilkan dari respon imun spesifik, misalnya antibodi dan limfosit T (Baratawidjaya,
2006). Respon imun spesifik memiliki enam ciri utama yang dinyatakan oleh Kresno (2001), yakni
spesifisitas, diversitas, memory, spesialisasi, self limitation, membedakan self dari non-self.
Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua jenis, yakni sistem imun spesifik humoral dan
seluler. Sistem imun spesifik humoral bekerja pada cairan tubuh (humor berarti cairan tubuh),
dimana pemeran utamanya adalah limfosit B atau sel B. Sel B berasal dari sel asal multipoten di
sumsum tulang. Pada manusia, sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam
sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh imunogen atau antigen, sel tersebut akan berproliferasi,
berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang
dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap
infeksi ekstraselular, virus, dan bakteri, serta menetralisasi toksin (Baratawidjaya, 2006).
Pemeran utama sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Sel tersebut
berasal dari sel asal yang sama dengan sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di dalam sel
sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh
berbagai faktor asal kelenjar timus. Sel T yang dapat matang dan meninggalkan kelenjar timus
untuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi hanya sebanyak 5-10%, sedangkan sebanyak 90-95%
dapat mati. Fungsi utama sistem imun ini adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraselular, virus, jamur, parasit, dan keganasan (Baratawidjaya, 2006). Perbedaan kedua jenis
sistem imun spesifik secara ringkas disajikan pada Tabel 10.
Walaupun terdapat perbedaan pada beberapa faktor, tetapi kedua sistem ini tidak dapat
dipisahkan karena untuk menjaga imunitas tubuh secara sempurna dibutuhkan kerja sama dari
kedua sistem ini.
Pembeda
Mikroba
f
Tabel 10. Perbedaan imunitas humoral dan selularf
Imunitas Selular
Imunitas Humoral
Ekstraselular
Intraselular
Mikroba
intraselular
(virus)
Mikroba ekstraseular Fagositosis oleh
berkembang biak
makrofag
dalam sel
terinfeksi
Respon limfosit
Sel B
Th
CTL
Mekanisme efektor
dan fungsi
Antibodi mencegah
infeksi dan
menyingkirkan
mikroba ekstraselular
Makrofag yang
diaktifkan
memusnahkan
mikroba yang
dimakan
CTL
memusnahkan sel
terinfeksi dan
menyingkirkan
sumber infeksi
Baratawidjaya (2006)
E. DARAH
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat
tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh,
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri. Fungsi-fungsi darah tersebut dijelaskan kembali pada Tabel 11.
Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma, yaitu
larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Darah tersusun atas komponen
plasma darah dan sel darah. Bagian penyusun dan fungsi dari kedua komponen darah tersebut
disajikan pada Lampiran 3.
Fungsi Darah
Transportasi
Tabel 11. Fungsi darahg
Deskripsi
a. Berhubungan dengan respirasi
b. Berhubungan dengan nutrisi (zat-zat makanan
yang telah tercerna)
c. Berhubungan dengan sekresi
d. Berhubungan dengan regulasi
Regulasi keseimbangan pH darah
(7.0-7.2)
Mengentalkan darah karena mempunyai plasma
protein (albumin, fibrinogen, dan globulin)
Regulasi keseimbangan
Ada hubungan antara darah dengan jaringan
Pencegahan pendarahan
Peran trombosit
Pertahanan tubuh
Peran leukosit
g
Kresno (2001)
F. SEL LIMFOSIT
Limfosit merupakan salah satu penyusun sel leukosit dan bertanggung jawab terhadap
respons imun spesifik karena kemampuannya dalam mengenal berbagai macam antigen berbeda.
Menurut Kresno (2001), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen, baik antigen
intraselular maupun ekstraselular. Bentuk sel limfosit ditunjukkan pada Gambar 5. Limfosit
terbagi menjadi 2 kelompok yakni limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B).
Gambar 5. Bentuk sel limfosit manusia (tunggal) dengan SEM (Anonim, 2010b)
1. Sel T
Sel T merupakan 65-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop,
morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar
timus. Selain merupakan tempat sel T berdiferensiasi, di dalam bagian korteks timus terjadi
proliferasi dan kematian sel yang berhubungan dengan proses seleksi klon. Klon yang
autoreaktif akan bunuh diri (mengalami apopotosis), sedangkan sel yang dipertahankan hidup
adalah sel yang akan bermanfaat di kemudian hari sesuai fungsinya. Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi selama berdiferensiasi dalam timus adalah: (a) pembentukan berbagai
reseptor antigen; (b) seleksi sel T aktif fungsional yang dapat mengenal antigen yang disajikan
bersama molekul self-MHC; (c) eliminasi selektif sel-sel T autoreaktif; dan (d) diferensiasi
populasi sel T yang mengekspresikan CD4 atau CD8 (Kresno, 2001).
Perkembangan dan seleksi sel T dalam timus dikontrol secara ketat oleh mekanisme
seleksi positif, seleksi negatif, dan neglect. Sel T yang mengekspresikan TCR yang dapat
berinteraksi dengan self-MHC yang ditampilkan dalam timus akan mengalami seleksi positif
dan dilindungi dari proses apoptosis, sedangkan sel yang tidak diseleksi positif akan mati
dengan cara apoptosis karena tidak terpelihara. Tetapi, sel T yang dapat bereaksi kuat dengan
antigen yang terikat pada self-MHC juga diinduksi untuk mengalami apoptosis (seleksi
negatif). Selama proses ini lebih dari 95% sel T yang terbentuk dalam timus mati dan sisanya
yang 5% bermigrasi ke organ limfoid perifer sebagai sel T yang matang. Banyak faktor yang
turut mempengaruhi perkembangan dan seleksi sel T dalam timus di antaranya molekul Fas
yang menrupakan anggota keluarga reseptor faktor pertumbuhan TNF yang berfungsi sebagai
kostimulator (Kresno, 2001).
2. Sel B
Sel B berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan organ limfoid perifer. Seperti halnya
pada sel T, pembentukan reseptor antigen pada permukaan sel B (surface-immunoglobulin, sIg)
merupakan salah satu tahap awal dalam proses diferensiasi. Sel B pada tahap awal
mengeskpresikan IgM atau IgD sebagai reseptor permukaannya, tetapi dalam perkembangan
lebih lanjut reseptor ini dapat berubah menjadi kelas imunoglobulin yang lain walaupun
spesifisitasnya terhadap antigen tidak berubah (Roitt, 1994; Kresno, 2001).
Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin dan
merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Jumlah ini tidak mencakup sel-sel yang
merupakan cikal-bakal sel B (prekursor) yang tidak menunjukkan sIg. Tingkat pematangan sel
B dapat diketahui dengan menentukan sel-sel B sesuai stadium pematangannya, yaitu ada
tidaknya imunoglobulin intra-sitoplasmik (cIg), imunoglobulin permukaan (sIg), dan antigen
permukaan lainnya (Kresno, 2001).
G. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT
Proliferasi sel limfosit merupakan fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui
pembelahan sel secara mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Respon proliferasi
limfosit pada sistem in vitro digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun
individu.
Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen dan lektin.
Baratawidjaja (2006) menyatakan bahwa kedua senyawa tersebut merupakan bahan alamiah yang
mempunyai kemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan
diferensiasi. Kedua senyawa tersebut merupakan aktivator poliklonal yang dapat mengaktifkan
banyak klon limfosit dan bukan hanya merangsang klon dengan spesifisifitas khusus.
Mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin
yang memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit seperti PHA
(phytohaemagglutinin), PWK (pokeweed), dan Con A (Concanavalin A) (Ganong, 1979;
Baratawidjaja, 2006), dan senyawa yang berasal dari dinding sel bakteri seperti LPS
(lipopolisakarida) (Baratawidjaja, 2006). Con A dan PHA adalah mitogen poten untuk sel T. LPS
adalah mitogen pengaktif sel B. Dan PKW adalah mitogen yang baik untuk menstimulir sel B
maupun sel T.
PKW bersumber dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana) dengan struktur molekul
polimerik dengan ligan di N-asetilkitobiose, sedangkan Con A bersumber dari jack bean dan PHA
bersumber dari kacang merah (kidney bean). Baik Con A maupun PHA memiliki struktur molekul
tetramer (Kuby, 1997).
Perhitungan jumlah sel limfosit yang masih hidup sebelum dilakukan pengujian dengan
ekstrak sampel dan mitogen perlu dilakukan. Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah
sel limfosit hidup adalah dengan metode pewarnaan tripan blue yang dilihat dengan mikroskop
pada perbesaran maksimal 400 kali. Sel yang hidup tidak berwarna (terang dan cerah) dan
berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati berwarna biru dan mengkerut. Sel mati tersebut
berwarna biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru tripan
dapat masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Sedangkan pada sel hidup, dinding sel tidak pecah
sehingga pewarna tidak masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Viabilitas sel yang baik terlihat
dengan semakin banyaknya jumlah sel yang hidup dengan jumlah minimal adalah 106 sel (Shaper,
1988).
Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan senyawa
MTT (3-[4,5-dimetilthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue) Prinsip dari
metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium
(MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dihitung
absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 500-600 nm seperti
microplate reader atau ELISA Reader dengan panjang gelombang 570 nm. Enzim suksinat
dehidrogenase merupakan enzim yang disintesa oleh semua sel pada mitokondria. Semakin banyak
terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium juga
banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak (Bounous et al., 1992).
H. KULTUR SEL
Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakkan sel di luar
tubuh (in vitro). Teknik ini dapat digunakan untuk mengevaluasi senyawa berbahaya pada sel.
Davis (1994) menyatakan bahwa kondisi pelaksanaan teknik kultur sel dibuat semirip mungkin
dengan keadaan lingkungan awal di dalam tubuh (secara in vivo), seperti pengaturan temperatur,
konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Hal ini dimaksudkan untuk
mempertahankan spesifitas. Beberapa kelemahan dari teknik ini, yaitu kultur sel harus dilakukan
dalam kondisi steril. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat
dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur
relatif konstan.
Salah satu teknik yang kerap kali digunakan untuk mengetahui pengaruh komponen
bioaktif terhadap sistem imun adalah dengan teknik kultur sel menggunakan sel limfosit manusia.
Pengujian ini dapat dijadikan sebagai indikator kualitas respon imun. Berbagai jenis bahan pangan
seperti jahe, kunyit, bawang putih, cincau, dan buah merah telah diketahui dan diteliti memiliki
aktivitas imunostimulan antara lain meningkatkan kemampuan proliferasi limfosit (Zakaria, 1996).
Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel
yang bertanggung jawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai
kemampuan untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Baratawidjaja, 2006). Lebih
dari satu juta struktur antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki
limfosit. Limfosit mempunyai fungsi yang paling beragam dibanding semua sel dalam sistem
imun. Limfosit dapat tumbuh dalam kondisi sebagai berikut : (a) dalam suspensi yang diberi
perlakuan agitasi untuk penyebaran sel; (b) tanpa agitasi, sel diatur berada di dasar wadah (well);
(c) sebagai fragmen dari jalur limfoid dengan teknik eksplantasi; dan (d) sebagai dispersi sel
dengan teknik tertentu. Teknik yang paling banyak digunakan adalah tanpa agitasi, sel diatur
berada di dasar wadah (sumur atau well).
Download