1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan Pada Gelahang 2.1.1. Pengertian Perkawinan Pada Gelahang Dalam Undang-Undang Perkawinan diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan ketentuanketentuan lain. Menurut Hilman Hadikusuma Undang-Undang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :1 a. b. c. d. e. f. g. h. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal; Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu; Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. Perkawinan berasas monogami terbuka; Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan; Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun; Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan; Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan sudah jelas memberikan pengertian perkawinan tersebut bahwa perkawinan perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat karena Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan. Apabila dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan itu 1 Hilman Hadikusuma I, op.cit., hal. 6. 41 2 bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Menurut Putu Dyatmikawati Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengandung arti bahwa pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan haruslah bertujuan mewujudkan keluarga dan rumah tangga yang bahagia materiil dan spirituil guna menuju perkawinan yang kekal dan abadi.2 Sejalan dengan hal tersebut Dominikus Rato mengatakan bahwa perkawinan yang berhasil adalah perkawinan yang mampu memberikan dan meletakkan dasar-dasar kebahagiaan bagi anggota keluarganya.3 Pengertian perkawinan selain di dalam Undang-Undang Perkawinan juga terdapat di dalam KUH Perdata yang terdapat dalam Pasal 26 KUH Perdata yang menyatakan “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata” dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Kalimat yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Hindu- 2 Putu Dyatmikawati, op. cit., hal. 39. Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya, hal. 65. (selanjutnya disebut Dominikus Rato I) 3 3 Budha dan atau hukum adat.4 Dengan demikian pengertian perkawinan menurut KUH Perdata hanya sebagai perikatan perdata saja. Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajibankewajiban orang tua menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Hal ini sejalan dengan konsep di dalam hukum adat Bali yang mengatur tentang kedudukan suami dan isteri, begitu pula tentang kedudukan anak dan penerus keturunan. Akan tetapi, hal ini mengalami pergeseran ketika hukum adat Bali mulai mengenal bentuk perkawinan pada gelahang. Konsep perkawinan pada gelahang merupakan konsep perkawinan yang pada dewasa ini mulai ramai diperbincangkan oleh masyarakat hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang menurut Wayan P. Windia adalah : Perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun niskala, dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.5 4 Ibid., hal. 7. Wayan P. Windia dkk., op. cit., hal. 25 5 4 Sedangkan menurut Ida Bagus Sudarsana mengatakan bahwa : Perkawinan pada gelahang atau yang beliau sebut dengan sistem makaro lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena waris pewaris dikemudian hari artinya perkawinan ini terjadi karena dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut.6 Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkawinan pada gelahang mempunyai arti adanya perkawinan ini dikarenakan faktor keturunan guna melanjutkan kewajiban (swadharma) terhadap keluarga maupun masyarakat adatnya. Perkawinan pada gelahang atau negen dadua di Bali memiliki banyak penamaan yang antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Perkawinan pada gelahang, perkawinan negen dua (banjar Pohmanis, Penatih, Denpasar). Perkawinan mapanak bareng (banjar Kukub Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.). Perkawinan negen dadua mapanak bareng (lingkungan banjar Kerta Buana, Denpasar, desa adat Peguyangan, Denpasar). Perkawinan nadua umah (Kerambitan, Tabanan). Perkawinan makaro lemah (desa pakraman Gianyar, Gianyar). Perkawinan magelar warang (Sangsit, Buleleng dan Melaya, Jemberana). Perkawinan nyentana (nyeburin) denganperjanjian tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan, Denpasar. Perkawinan “parental” menurut I Gusti Ketut Kaler (1967).7 Meskipun memiliki penamaan yang berbeda-beda di tiap-tiap daerahnya pada intinya yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah merupakan salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai purusa. Konsep perkawinan ini dipengaruhi oleh calon istri yang merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin 6 Ida Bagus Sudarsana, 1989, Ajaran Agama Hindu (Makna yang Terkandung Dalam Upacara Perkawinan Hindu), Yayasan Dharma Acarya, Denpasar, hal. 77. 7 Wayan P. Windia dkk., op.cit., hal.24. 5 kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa kala patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan sebagai purusa), sehingga dilaksanakan sistem perkawinan pada gelahang/ mepanak bareng/negen dadua. 2.2.2. Perkawinan Pada Gelahang sebagai Bentuk Perkawinan Alternatif Perkawinan dalam masyarakat Bali dikenal dengan istilah pawiwahan. Istilah pawiwahan sendiri biasanya dimuat di dalam peraturan desa adat yang disebut dengan awig-awig. Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi karma desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tenteram, tertib, dan sejahtera di desa adat.8 Desa adat menurut I Nyoman Sirtha adalah suatu lembaga tradisional yang bersifat otonom yang dilandasi oleh nilainilai asli bangsa Indonesia dan bercorak sosial religius.9 Sama halnya seperti yang diungkapkan I Wayan Surpha bahwa desa adat adalah lembaga sosial religius.10 Di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal berpengaruh terhadap bentuk perkawinannya sehingga bentuk perkawinan di Bali mengenal adanya 3 (tiga) bentuk, yaitu : I.G.K. Sutha, 1988, “Eksistensi Serta Peranan Hukum Adat di Indonesia”, Pidato jabatan Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 56 9 I Nyoman Sirtha, “Strategi dan Pemberdayaan Desa Adat Dengan Pembentukan Forum Komunikasi Antar Desa Adat”, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar “Strategi Pemberdayaan dan Model Desa Adat di Masa Depan”, yang Diselenggarakan Oleh Kerjasama Pusat Pengkajian Pedesaan dan Kawasan (P3K) dengan DPD KNPI Propinsi Bali, Denpasar, hal. 1 10 I Wayan Surpha, 1992, Eksistensi Desa Adat di Bali dengan Diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Cetakan I, Upada Sastra, Denpasar, hal. 4. 8 6 a. Perkawinan Biasa Perkawinan biasa ini berarti seorang anak laki-laki berasal dari satu keluarga yang terdiri dari beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang berasal dari satu keluarga yang juga terdiri dari beberapa anak laki-laki dan perempuan.11 Dalam bentuk perkawinan biasa kedudukan laki-laki sebagai purusa dan kedudukan perempuan sebagai predana. Anak yang lahir dari perkawinan biasa ini mengikuti kerabat dari ayahnya, sedangkan dari pihak ibu tidak mempunyai hubungan hukum. Dengan kata lain bahwa anak dalam hal perkawinan biasa mengikuti garis keturunan ayahnya. Berkaitan dengan warisnya, anak hanya berhak mewaris dari garis keturunan ayahnya dan tidak mewaris dari keturunan ibunya. b. Perkawinan Nyeburin / Nyentana Bentuk perkawinan nyeburin merupakan bentuk perkawinan yang berbanding terbalik dengan bentuk perkawinan biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari status purusa yang berada di pihak perempuan, sedangkan laki-laki berkedudukan sebagai predana. Menurut Wayan P. Windia perkawinan nyeburin adalah: Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dalam mana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya, untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman istrinya, dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur istrinya, secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).12 11 Wayan P. Windia, dkk., op. cit., hal. 18. Wayan P. Windia, dkk., op. cit., hal. 19. 12 7 Konsekuensi dari perkawinan nyeburin terletak pada pihak laki-laki yang harus meninggalkan kewajibannya di rumah asalnya (ninggal kedaton). Untuk masalah waris, anak hanya berhak mewaris dari pihak keluarga ibunya karena perempuan berubah statusnya menjadi laki-laki (sentana rajeg). Perkawinan nyeburin dipilih karena pihak keluarga perempuan tidak mempunyai anak laki-laki dan agar bisa meneruskan kewajibannya (swadharma), maka jalan satu-satunya harus melakukan perkawinan nyeburin. c. Perkawinan Pada Gelahang Berbeda halnya dengan kedua bentuk perkawinan di atas, perkawinan pada gelahang merupakan perkawinan yang ditempuh karena dilatar belakangi oleh kekhawatiran terhadap warisan yang ditinggalkan orang tuanya baik warisan dalam bentuk materiil maupun inmateriil, tidak ada yang mengurus dan meneruskan.13 Bila dilihat dari istilah yang dikenal oleh masyarakat seperti pada gelahang / negen dadua / mepanak bareng (milik bersama) dimaksudkan bahwa antara pihak suami dan isteri merupakan milik kedua belah pihak keluarga. Dengan kata lain, kedudukan suami maupun isteri sebagai purusa di tempat tinggalnya masing-masing, sedangkan kedudukan predana dapat dilihat dari di mana upacara mebyakaon dilangsungkan, jika ditempat tinggal suami maka istri berkedudukan sebagai predana begitupun sebaliknya. Menurut Ni Nyoman Sukerti suami isteri dalam perkawinan pada gelahang melaksanakan kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) ganda 13 I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 10. 8 yaitu kewajiban dan hak dari pihak suami maupun kewajiban dan hak dari pihak isteri.14 Perkawinan pada gelahang biasanya diawali dari kesepakatan kedua belah pihak mempelai di mana isi dari kesepakatan tersebut berisi tentang pembagian kedudukan anak. Dengan demikian anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang sangat menentukan faktor dalam menentukan pewarisan. Dari ketiga bentuk perkawinan yang dikenal di Bali, dapat penulis simpulkan bahwa tujuan perkawinan tersebut untuk memperoleh keturunan. Adanya macam-macam bentuk perkawinan tersebut merupakan salah satu cara untuk memperoleh keturunan sehingga masyarakat di Bali dapat memilih cara mana yang akan ditempuh dari ketiga bentuk perkawinan tersebut. Akan tetapi, masing-masing bentuk perkawinan tersebut tidak dapat berjalan ketika ada kondisi-kondisi yang tidak dapat dimungkinkan. Dalam masyarakat adat Bali yang umumnya melakukan perkawinan biasa tidak akan mengalami permasalahan mengenai pelaksanaan upacara perkawinannya, cara melaksanakan perkawinan dan mengurus administrasi perkawinan (Akta Perkawinan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Berbeda halnya dengan perkawinan nyeburin yang dipilih oleh pasangan suami isteri dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan perkawinan biasa karena pihak perempuan atau keluarga perempuan tidak dikaruniai anak laki-laki. Perkawinan nyeburin yang dianggap tidak lazim dalam masyarakat Bali, pada dewasa ini sudah memperoleh pengakuan dengan adanya kebijakan dari Dinas 14 Ni Nyoman Sukerti, 2012, Hak Mewaris Perempuan (Dalam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis), Udayana University Press, Denpasar, hal. 38. 9 Kependudukan dan Catatan Sipil yang menambahkan “catatan” dalam Akta Perkawinan bahwa pihak perempuan sebagai purusa dan pihak laki-laki sebagai predana. Bentuk perkawinan pada gelahang merupakan bentuk perkawinan alternatif jika tidak dimungkinkannya melakukan perkawinan biasa ataupun perkawinan nyeburin. Penyebab dari perkawinan pada gelahang ditempuh dikarenakan dari pihak laki-laki dan perempuan merupakan anak tunggal dari keluarganya masingmasing. Konsep perkawinan pada gelahang ini merupakan angin segar bagi keluarga yang terancam mengalami keputungan / keceputan. Perkawinan pada gelahang sudah lazim dilakukan di daerah Tabanan, Badung, Gianyar dan Bangli.15 Faktor yang melatar belakangi pasangan mempelai melakukan perkawinan pada gelahang, yaitu : (1). Adanya kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhurnya, baik yang berwujud tanggung jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan dan (2). Adanya kesepakatan diantara calon pengantin beserta keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan pada gelahang.16 2.2.3. Syarat-Syarat Perkawinan Pada Gelahang Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Syarat-syarat perkawinan terdapat di dalam Pasal 6 dan pasal 7 Undang-Undang Perkawinan yang memuat 15 16 I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 8. Wayan P. Windia dkk., op. cit., hal. 52. 10 mengenai syarat yang bersifat materiil, sedangkan dalam Pasal 12 mengatur mengenai syarat formil. Ketentuan Pasal 6 menyebutkan bahwa : (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Penjelasan mengenai persetujuan kedua mempelai tersebut, agar suami dan isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang lain yang sudah ditentukan. Namun dalam masyarakat yang telah maju tidak pantas lagi berlaku “kawin paksa”, oleh karenanya adanya persetujuan dari kedua calon mempelai merupakan syarat utama dalam perkawinan di Indonesia yang sekarang berlaku. Pasangan mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat umur yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (1), yaitu : 11 “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan mengenai masalah umur tersebut tidak merupakan syarat mutlak bagi kedua mempelai dikarenakan ada pemberian dispensasi terhadap pihak laki-laki maupun perempuan yang dapat diminta kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak mempelai. Pemberian dispensasi ini sudah tercantum didalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan sepanjang tidak melanggar ketentuan agama dan kepercayaannya. Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan direalisasikan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan perkawinan. Secara garis besar ketentuan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 hanya mengatur masalah administrasi yang merupakan suatu kewajiban bagi para pihak (kedua mempelai) untuk mengurus Akta Perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Syarat formil perkawinan pada gelahang adalah terletak pada pencatatan perkawinan secara adat yang dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan adat (kelihan adat). Pencatatan perkawinan secara adat akan menentukan bentuk perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua mempelai baik itu perkawinan biasa, perkawinan nyeburin, ataupun perkawinan pada gelahang. Syarat materiil dari perkawinan pada gelahang terletak pada perjanjian yang dibuat sebelum atau pada saat upacara perkawinan berlangsung. Syarat materiil dalam perkawinan pada gelahang meliputi 4 tahap, yaitu : 12 1). Kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan yang dituangkan di dalam perjanjian baik secara lisan maupun tertulis. Kesepakatan kedua belah pihak merupakan awal dari perkawinan pada gelahang sebelum dilakukannya prosesi upacara perkawinan. 2). Perkawinan pada gelahang, dalam upacara perkawinan ini kedua belah pihak tidak melakukan upacara mepamit di sanggah (merajan) masing-masing sehingga baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan tidak melepaskan hubungan kekeluargaan dengan keluarganya masing-masing yang dalam hal ini kedua pihak samasama berstatus sebagai purusa. Lain halnya dengan perkawinan biasa mempelai perempuan melakukan upacara mepamit di sanggah (merajan) sebagai simbul dari pelepasan status kekeluargaan di keluarga asalnya, demikian pula dengan perkawinan nyeburin mempelai laki-laki melakukan upacara mepamit di sanggah (merajan) yang menyebabkan putusnya hubungan kekeluargaannya terhadap keluarga asalnya. 3). Setelah melakukan upacara mepamit dilakukan upacara mebyakaon dan natab di bale adat di tempat kediaman purusa, baik itu purusa dari pihak laki-laki dalam perkawinan biasa ataupun purusa dari pihak perempuan yang kerajegan sentana (sentana rajeg) dalam perkawinan nyeburin. Dalam perkawinan pada gelahang upacara byakaon dan natab di bale adat dilakukan di kediaman kedua belah pihak. 13 4). Upacara perkawinan menurut adat Bali dan juga menurut hukum Hindu adalah upacara mepekeling di sanggah (merajan).Pada upacara mepekeling ini dilakukan di sanggah (merajan) mempelai yang berstatus purusa, sehingga dalam perkawinan pada gelahang upacara mepekeling dilakukan di sanggah (merajan) kedua belah pihak, karena kedua belah pihak berstatus sebagai purusa. Berdasarkan syarat-syarat formil dan materiil dalam perkawinan pada gelahang di atas, jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka perkawinan pada gelahang tidak dapat dilangsungkan. 2.2.4. Sahnya Perkawinan Pada Gelahang Sahnya perkawinan dalam masyarakat adat Bali sangat dipengaruhi oleh lokacara dan desa dresta. Berdasarkan keputusan-keputusan dan ketetapanketetapan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Badung, sahnya perkawinan ditentukan oleh adanya panyangaskara dengan butha saksi dan dewa saksi serta adanya penyaksi (saksi) dari prajuru adat (kepala adat) dari unsur manusa saksi.17 Ketiga saksi tersebut dalam masyarakat adat Bali disebut dengan tri upasaksi (tiga saksi).18 Di dalam melangsungkan perkawinan yang paling menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan jika kedua mempelai telah melakukan upacara banten pabyakalan. Putusan Yurisprudensi Raad Kertha Singaraja Nomor 290/Crimineel tanggal 14 April 1932 menyatakan bahwa selama mebyakaon belum dilakukan, maka perkawinan belum dipandang sah. Selain itu, terdapat putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 602/Pdt/1960 tanggal 2 Mei 17 I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 24. I Gusti Ketut Kaler, 1983, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Bali Agung, Denpasar, hal. 117. 18 14 1960 menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah menurut hukum adat Bali, apabila telah dilakukan pabyakaonan atau mebyakaon. Putusan lain yang mendukung hal tersebut yaitu putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 281/Pdt/1966/PDT tanggal 19 Oktober 1966.19 Sahnya perkawinan menurut hukum Hindu sebagaimana dijelaskan oleh Arthyasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :20 1. 2. 3. Suatu perkawinan menurut hukum Hindu sah jikalau dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta/Pinandita. Suatu perkawinan hanya dapat dikatakan sah menurut hukum Hindu, jikalau kedua mempelai telah menganut agama Hindu. Ini berarti kalau kedua mempelai telah atau salah satunya belum beragama Hindu, maka perkawinan tidak dapat disahkan. Untuk mengesahkan seseorang untuk masuk beragama Hindu harus disudhiwidani terlebih dahulu. Di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang sahnya perkawinan menyebutkan : (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu, masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Sedangkan ketentuan 19 I Nyoman Suyatna, 1997, “Kajian Yuridis Terhadap Sahnya Perkawinan Nyeburin Berbeda Wangsa di Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 61. 20 I Nyoman Arthayasa, Sujaelanto, Ketut Yeti Suneli, 2004, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, Paramita, Surabaya, hal.18. 15 “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sampai sekarang belum berjalan efektif di dalam masyarakat adat Bali karena masih adanya tradisi perkawinan ngerorod (kawin lari bersama). Apabila ditinjau dari ketentuan hukum Hindu, perkawinan pada gelahang sudah memenuhi unsur-unsur untuk dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dengan demikian perkawinan pada gelahang sah menurut hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat adat Bali. Akan tetapi, permasalahan terjadi pada saat penerbitan akta perkawinan dan pencatatan perkawinan karena diperlukan adanya persamaan persepsi antar instansi terkait dengan status purusa atau predana yang tertuang dalam akta perkawinannya. 2.2.5. Akibat Hukum Perkawinan Pada Gelahang Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum.21 Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.22 Akibat hukum yang ditimbulkan dalam perkawinan khususnya dalam perkawinan pada gelahang mengacu pada Undang-Undang Perkawinan sama halnya dengan perkawinan lainnya sehingga secara normatif perkawinan pada gelahang telah memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan. 21 Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum,Edisi 2, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 22 Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 295 192. 16 Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. a. Akibat hukum terhadap suami isteri. 1. Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UndangUndang Perkawinan). Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan bila ditafsirkan juga sama halnya dengan perkawinan pada gelahang dimana pihak suami ataupun isteri memiliki tanggung jawab di sanggah / merajan masing-masing. 2. Hak dan kedudukan isteri adalah sama dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Ketentuan Pasal 31 ayat (1) ini diartikan dalam perkawinan pada gelahang antara pihak suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama di keluarganya masing-masing karena sama-sama berstatus sebagai purusa. 3. Masing-masing pihak berhak mendapatkan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan). Ketentuan Pasal 31 ayat (2) ini diadopsi di dalam perkawinan pada gelahang yang mana pihak suami ataupun isteri bebas melakukan perbuatan hukum sepanjang peraturan perundang-undangan tidak menentukan lain. 17 4. Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam perkawinan pada gelahang status kepala keluarga tetap dipegang oleh suami. Hal ini juga mengikuti ketentuan Pasal 31 ayat (3) UndangUndang Perkawinan. 5. Suami isteri menentukan tempat kediaman mereka (Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan pada gelahang tidak mengatur mengenai tempat kediaman suami isteri karena hal tersebut bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri sepanjang tidak ada yang berkeberatan dengan hal itu. 6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. Perkawinan pada umumnya harus dilandasi rasa saling mencintai, menghormati dan saling setia. Hal ini tidak terbatas pada bentuk perkawinan yang ditempuh oleh calon mempelai. Dalam perkawinan pada gelahang suami isteri wajib saling mencintai, menghormati dan saling setia tanpa ada unsur paksaan di dalamnya. 7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuanya. Ketentuan Pasal 34 ayat (1) ini juga dianut di dalam perkawinan pada gelahang karena suami wajib bertanggung jawab kepada keluarga. 8. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memberikan kebebasan bagi isteri untuk mengatur keperluan rumah tangganya sama 18 halnya dengan perkawinan pada gelahang yang mana isteri berkewajiban dengan kehidupan sehari-hari berumah tangga. Di dalam Undang-Undang Perkawinan sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan kehidupan masyarakat. Idealnya politik hukum di dalam Undang-Undang Perkawinan untuk dapat membina kehidupan rumah tangga suami isteri dan keluarga / rumah tangga yang modern sebagai sendi dasar dari susunan masyarakat Indonesia yang modern. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, bahwa pasal-pasal di dalam Undang-Undang Perkawinan berbeda dengan hukum adat serta hukum Islam, bisa dikatakan tidak sesuai, jika keluarga rumah tangga tersebut sama dengan budaya barat yang individualistis dan materialistis jauh sama sekali dari ikatan kekerabatan dan ikatan ketetanggaan.23 Bila dibandingkan dengan perkawinan pada gelahang hubungan kekerabatan sangat ditentukan oleh kedekatan emosional suami ataupun isteri terhadap keluarganya. Dengan kata lain Undang-Undang Perkawinan tidak mengikat pasangan suami isteri di dalam ikatan kekerabatan, yang mengikat hanya ketentuan-ketentuan di dalam awig-awig maupun kebiasaan yang terdapat dalam adatnya. b. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan. 1. Timbul harta bawaan dan harta bersama. 2. Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 23 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtadi, 1987, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 97. 19 3. Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36). Ketentuan yang menyangkut harta kekayaan di Undang-Undang Perkawinan lebih mendekati hukum adat dan hukum lain dan menjauhi hukum perdata Eropa yang jauh berbeda dari hukum Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa Hukum Perkawinan Nasional kita telah menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. c. Akibat perkawinan terhadap anak. 1. Kedudukan anak. 1.1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42) 1.2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. 2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak 2.1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45) 2.2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak yang baik. 2.3. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46). 20 d. Kekuasaan orang tua. 1. Anak yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua. 2. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. 2. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah kawin 3. 4. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila : - Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak - Ia berkelakuan buruk sekali. Meskipun kekuasaan orang tua dicabut, namun ia tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya. Akibat hukum yang ditimbulkan dalam perkawinan pada gelahang terdapat perbedaan dan persamaan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Perkawinan. Perbedaannya dalam hal status dan kedudukan suami isteri, yang mana pihak laki-laki dan perempuan tetap berkedudukan sebagai purusa di rumah masing-masing. Dalam hal harta kekayaan, harta bawaan tidak diperoleh oleh masing-masing pihak karena kedudukannya masih sebagai purusa dan tidak dimungkinkan untuk meperoleh harta bawaan (harta tetatadan) tersebut, sedangkan harta bersama (guna kaya) tidak dipisah walaupun terdapat perjanjian perkawinan karena isi dari perjanjian tersebut hanya mengatur kedudukan anak dan tidak mengatur mengenai pemisahan harta bersama (guna kaya). Kedudukan 21 anak dalam perkawinan pada gelahang disesuaikan dengan kesepakatan antara para pihak mempelai yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan pada gelahang. Misalnya anak pertama mempunyai hubungan hukum dalam keluarga ayahnya dan anak kedua memiliki hubungan hukum dalam keluarga ibunya begitupun seterusnya. Persamaannya dalam hal kekuasaan orang tua karena pihak yang melakukan perkawinan pada gelahang menundukkan diri kepada UndangUndang Perkawinan. Penundukan diri orang tua tersebut dikarenakan segala kekuasaan orang tua terhadap anak merupakan kewajiban (swadharma) yang melekat kepada orang tuanya sehingga hak asasi yang lahir dari anak tersebut dijamin oleh orang tuanya. 2.2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Perkawinan 2.2.1. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian Hakikat perjanjian pada umumnya berisi kehendak para pihak mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dengan demikian sejak perjanjian dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.24 Sedangkan menurut KRMT Tirtodininggrat, memberikan difinisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata 24 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian cetakan ke XVI, Intermasa, Jakarta, hal. 1. (selanjutnya disebut Subekti II) 22 sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.25 Menurut R. Setiawan, rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.26 Sedangkan menurut Suryodininggrat, bahwa difinisi Pasal 1313 KUH Perdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut27 : a. b. c. d. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada pula sangkut pautnya dengan sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum); Definisi pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi; Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan;perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian). Perjanjian dapat dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Kesepakatan kedua belah pihak Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu 25 A.Qirom Meliala, op.cit., hal.8. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum perikatan,Bina Cipta, Jakarta, hal.49. 27 RM Suryodiningrat, Asas-asas Hukum perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72-74. 26 23 adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Menurut Sudikno Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :28 1). Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2). Bahasa yang sempurna secara lisan; 3). Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; 4). Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 5). Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan. Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 2. Kecakapan bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan di Indonesia bervariasi tergantung kepada perbuatan hukum yang akan dilakukan karena peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kedewasaan tidak sama. 28 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 7. 24 3. Adanya objek perjanjian Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.29 Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: (1). Memberikan sesuatu; (2). Berbuat sesuatu; dan (3). Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). (4). Adanya kausa yang halal (Geoorloofde Oorzaak) Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Kausa yang halal merupakan bagian dari syarat objektif dari suatu perjanjian karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. 29 Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 10 25 2.2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami isteri. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan menjelaskan bahwa tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut karta kekayaan.30 Secara teoritis perjanjian perkawinan mulanya diatur di dalam KUH Perdata yang ditentukan dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Pasal 139 menyebutkan bahwa : “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undang sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini menurut pasal berikutnya”. Perjanjian perkawinan itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukan bagi si suami sebagai kepala persekutuan suami isteri, namun hal tersebut tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik itu barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak di samping penikmatan penghasilan pribadi secara bebas. Meskipun ada golongan harta bersama mengenai barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjam-pinjaman Negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh 30 Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraiaan, Visimedia, Jakarta, hal. 2. 26 dipindah tangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri. Adapun syarat dan ketentuan dalam pembuatan perjanjian kawin adalah : 1. Pisah harta adalah antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan. 2. Harta adalah semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam perkawinan, atau yang diperoleh selama perkawinan karena pembelian, warisan hibah dan atau dengan cara apapun juga, tetap menjadi hak milik dari para pihak yang membawa dan atau yang memperolehnya. Setelah adanya Undang-Undang Perkawinan yang juga mengatur mengenai perjanjian perkawinan maka ketentuan mengenai perjanjian perkawinan di dalam KUH Perdata menjadi tidak berlaku. Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Sedangkan dalam ayat (2) mengatur bahwa “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana bertentangan dengan ketentuan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”. Menurut Hazairin bahwa ketentuan batas-batas 27 hukum bukan hanya perundang-undangan tetapi juga hukum adat.31 Agama bukan saja mengandung hukum agama tetapi juga kesusilaan menurut agama, sedangkan kesusilaan mempunyai arti luas mencakup bukan saja kesusilaan menurut agama tetapi juga kesusilaan dalam arti kesusilaan kemasyarakatan, yaitu kesusilaan yang ditimbulkan sendiri oleh suatu masyarakat. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas bahwa perjanjian perkawinan itu mengenai hal apa, misalnya apakah hanya mencakup masalah gono-gini atau juga menyangkut masalah-masalah lainnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mencakup banyak hal, tidak hanya mengandung soal harta benda perkawinan. Di samping itu, Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut tentang bagaimana hukum perjanjian perkawinan yang dimaksud.32 Dalam Undang-Undang Perkawinan, yang disebutkan hanya berupa ketentuan bahwa jika ada perjanjian perkawinan, harus dimuat di dalam akta perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dalam Pasal 12 huruf h bahwa akta perkawinan juga memuat keterangan tentang perjanjian perkawinan (jika dibuat oleh pasangan suami isteri). Meskipun demikian, Undang-Undang Perkawinan masih bisa dijadikan sumber hukum yang penting dalam membahas perjanjian perkawinan. 31 Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Tinta Mas, Jakarta, hal. 29. 32 Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung , hal. 67. 28 2.2.3. Isi Perjanjian Perkawinan Isi perjanjian kawin dibuat sesuai dengan keinginan para pihak, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 140,142 dan 143 KUH Perdata. Isi dari perjanjian yang dilarang adalah : 1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala persatuan rumah tangga (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata). 2. Menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang tua (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata). 3. Mengurangi hak-hak yang diperlukan undang-undang kepada yang hidup terlama (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata). 4. Melepaskan haknya sebagai ahli waris menurut hukum dalam warisan anak-anaknya atau keturunannya (Pasal 141 KUH Perdata). 5. Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak dari pada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142 KUH Perdata). Dalam KUH Perdata selain terdapat mengenai larangan isi perjanjian perkawinan diatur juga mengenai macam perjanjian kawin, yaitu : a. Persatuan untung rugi yang diatur dalam Pasal 155 KUH Perdata. Dalam perjanjian perkawinan persatuan untung rugi, segala keuntungan dan kerugian yang diperoleh dalam perkawinan harus dibagi antara mereka berdua. Pada prinsipnya dengan perbandingan 1 : 1 atau masing-masing sebagian (Pasal 156 KUH Perdata). 29 b. Persatuan hasil dan Pendapatan dalam Pasal 164 sampai 167 KUH Perdata. Pada prinsipnya persatuan hasil dan pendapatan hampir sama dengan persatuan untung dan rugi. Namun termasuk di dalam persatuan hasil dan pendapatan adalah hibah, hibah wasiat yang diterima oleh suami dan istri pada saat perkawinan berlangsung. Berbeda dengan KUH Perdata, dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur mengenai apa yang menjadi isi dari perjanjian perkawinan. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”. Hal ini menunjukkan bahwa suami dan isteri bebas menentukan isi dari perjanjian perkawinan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. 2.2.4. Tujuan Perjanjian Perkawinan Apabila perjanjian perkawinan ditinjau dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan bertujuan untuk penegasan tentang pengaturan dan permasalahan harta perkawinan antara suami isteri. Menurut Wirjono Prodjodikoro pada umumnya harta perkawinan itu cukup digolongkan atas dua bagian yaitu sebagian berasal dari kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dari yang lain dan sebagian lain lagi merupakan campur kaya.33 Berbeda dengan Wirjono Prodjodikoro, pendapat yang dikemukakan oleh Soerojo 33 Wirjono Prodjodikoro, 1974, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 35. 30 Wignjodipuro menyatakan bahwa penggolongan harta perkawinan bukanlah pembedaan prinsipil melainkan pengelompokan demi kepentingan analisis.34 Perjanjian perkawinan dibuat dengan tertulis, dibuat atas kesepakatan para pihak (suami isteri) di hadapan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sewaktu proses penandatangan. Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Pada dasarnya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu harta calon suami ataupun harta calon isteri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan kepada pihak calon pasangan yang akan berkawin. Dalam surat perjanjian perkawinan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Perjanjian perkawinan harus bermanfaat bagi pihak calon suami dan isteri. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Happy Susanto menyebutkan manfaat perjanjian perkawinan ada 3 (tiga), yaitu :35 1. 34 Perjanjian kawin dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak (suami/isteri). Artinya perjanjian perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir baik karena perceraian maupun karena kematian. Soerojo Wignjodipuro, 1967, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta, hal. 10. 35 Happy Susanto, op. cit., hal. 87. 31 2. 3. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga. Ketika hendak membuat perjanjian perkawinan pasangan calon pengantin biasanya memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk rumah tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin perjanjian. Tujuannya tidak lain agar kepentingan mereka terjaga. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan keadilan kaum perempuan (isetri) dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono gini dan harta kekayaan pribadinya. 2.2.5. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Suatu perjanjian pada umumnya akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga yang berkepentingan. Hal yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan. Sebagaimana telah diterangkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Dari pasal tersebut terlihat bahwa untuk sahnya sebuah perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta disahkan kepada pegawai pencatat perkawinan. Hal ini berarti akibat hukum yang ditimbulkan dalam perjanjian perkawinan yang didaftarkan mengikat kepada pihak ketiga ketika salah satu pihak suami atau isteri melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka dengan sendirinya akan mempunyai konsekuensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1. Akibat hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian perkawinan. Apabila dicermati kata-kata yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan :“.......kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis 32 yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan......”.Dari pasal tersebut terlihat bahwa perjanjian perkawinan yang diatur dalam undang-undang tentang perkawinan harus berbentuk tertulis. Dengan adanya ketentuan yang mengharuskan perjanjian perkawinan dalam bentuk tertulis maka perjanjian perkawinan yang dibuat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dikarenakan dibuat oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan untuk asas berlakunya, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka untuk perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau isteri, karena dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualisme yang mengatakan bahwa perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat tentang isi perjanjian perkawinan yang dibuat, baik didaftarkan maupun tidak. Dengan demikian perjanjian perkawinan baik yang didaftarkan maupun tidak mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi suami-isteri yang bersepakat membuatnya. 33 Dengan kata lain kedua belah pihak tetap terikat dengan kesepakatan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tersebut. 2 . Akibat hukum terhadap pihak ketiga. Berbeda dengan akibat hukum bagi suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan jika tidak didaftarkan, pada pihak ketiga apabila perjanjian perkawinan tidak disahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama. Akan tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan tersebut belum didaftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian perkawinan itu tidak ada. 34 Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka perjanjian perkawinan tetap mengikat bagi kedua belah pihak yang membuatnya. Lain halnya jika menyangkut terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukum perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.