1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan Pada Gelahang
2.1.1. Pengertian Perkawinan Pada Gelahang
Dalam Undang-Undang Perkawinan diatur tentang dasar perkawinan,
syarat-syarat perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri,
harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan
anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan ketentuanketentuan lain. Menurut Hilman Hadikusuma Undang-Undang Perkawinan
menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :1
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal;
Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya itu;
Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
Perkawinan berasas monogami terbuka;
Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan;
Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun;
Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan;
Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan sudah jelas memberikan
pengertian perkawinan tersebut bahwa perkawinan perlu dipahami benar-benar
oleh masyarakat karena Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan merupakan landasan
pokok dari aturan hukum perkawinan. Apabila dilihat dari tujuan perkawinan
yang dikemukakan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan itu
1
Hilman Hadikusuma I, op.cit., hal. 6.
41
2
bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan tidak hanya sebagai
ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Menurut Putu
Dyatmikawati Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengandung arti bahwa
pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan haruslah bertujuan
mewujudkan keluarga dan rumah tangga yang bahagia materiil dan spirituil guna
menuju perkawinan yang kekal dan abadi.2 Sejalan dengan hal tersebut
Dominikus Rato mengatakan bahwa perkawinan yang berhasil adalah perkawinan
yang mampu memberikan dan meletakkan dasar-dasar kebahagiaan bagi anggota
keluarganya.3
Pengertian perkawinan selain di dalam Undang-Undang Perkawinan juga
terdapat di dalam KUH Perdata yang terdapat dalam Pasal 26 KUH Perdata yang
menyatakan “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan perdata” dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa “tidak ada
upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak
membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan
pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Kalimat yang hanya dapat
dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil tersebut menunjukkan bahwa
peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Hindu-
2
Putu Dyatmikawati, op. cit., hal. 39.
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan,
Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya, hal. 65.
(selanjutnya disebut Dominikus Rato I)
3
3
Budha dan atau hukum adat.4 Dengan demikian pengertian perkawinan menurut
KUH Perdata hanya sebagai perikatan perdata saja.
Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajibankewajiban orang tua menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan
upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara
kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang
terikat dalam perkawinan. Hal ini sejalan dengan konsep di dalam hukum adat
Bali yang mengatur tentang kedudukan suami dan isteri, begitu pula tentang
kedudukan anak dan penerus keturunan. Akan tetapi, hal ini mengalami
pergeseran ketika hukum adat Bali mulai mengenal bentuk perkawinan pada
gelahang.
Konsep perkawinan pada gelahang merupakan konsep perkawinan yang
pada dewasa ini mulai ramai diperbincangkan oleh masyarakat hukum adat Bali.
Perkawinan pada gelahang menurut Wayan P. Windia adalah :
Perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat
Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga
tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami
dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga
harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma), yaitu meneruskan
tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab
keluarga suami, sekala maupun niskala, dalam jangka waktu tertentu,
tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.5
4
Ibid., hal. 7.
Wayan P. Windia dkk., op. cit., hal. 25
5
4
Sedangkan menurut Ida Bagus Sudarsana mengatakan bahwa :
Perkawinan pada gelahang atau yang beliau sebut dengan sistem makaro
lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama,
karena waris pewaris dikemudian hari artinya perkawinan ini terjadi karena
dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang
lain yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut.6
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkawinan
pada gelahang
mempunyai arti adanya perkawinan ini dikarenakan faktor
keturunan guna melanjutkan kewajiban (swadharma) terhadap keluarga maupun
masyarakat adatnya.
Perkawinan pada gelahang atau negen dadua di Bali memiliki banyak
penamaan yang antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Perkawinan pada gelahang, perkawinan negen dua (banjar
Pohmanis, Penatih, Denpasar).
Perkawinan mapanak bareng (banjar Kukub Perean, Tabanan,
Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.).
Perkawinan negen dadua mapanak bareng (lingkungan banjar
Kerta Buana, Denpasar, desa adat Peguyangan, Denpasar).
Perkawinan nadua umah (Kerambitan, Tabanan).
Perkawinan makaro lemah (desa pakraman Gianyar, Gianyar).
Perkawinan magelar warang (Sangsit, Buleleng dan Melaya,
Jemberana).
Perkawinan nyentana (nyeburin) denganperjanjian tanpa upacara
mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan, Denpasar.
Perkawinan “parental” menurut I Gusti Ketut Kaler (1967).7
Meskipun memiliki penamaan yang berbeda-beda di tiap-tiap daerahnya
pada intinya yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah merupakan
salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik
suami maupun istri bertindak sebagai purusa. Konsep perkawinan ini dipengaruhi
oleh calon istri yang merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin
6
Ida Bagus Sudarsana, 1989, Ajaran Agama Hindu (Makna yang Terkandung Dalam
Upacara Perkawinan Hindu), Yayasan Dharma Acarya, Denpasar, hal. 77.
7
Wayan P. Windia dkk., op.cit., hal.24.
5
kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri
merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki,
namun di dalam desa kala patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem
Nyentana (hanya istri yang berperan sebagai purusa), sehingga dilaksanakan
sistem perkawinan pada gelahang/ mepanak bareng/negen dadua.
2.2.2. Perkawinan Pada Gelahang sebagai Bentuk Perkawinan Alternatif
Perkawinan dalam masyarakat Bali dikenal dengan istilah pawiwahan.
Istilah pawiwahan sendiri biasanya dimuat di dalam peraturan desa adat yang
disebut dengan awig-awig. Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama
bagi karma desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman,
tenteram, tertib, dan sejahtera di desa adat.8 Desa adat menurut I Nyoman Sirtha
adalah suatu lembaga tradisional yang bersifat otonom yang dilandasi oleh nilainilai asli bangsa Indonesia dan bercorak sosial religius.9 Sama halnya seperti yang
diungkapkan I Wayan Surpha bahwa desa adat adalah lembaga sosial religius.10
Di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal berpengaruh terhadap
bentuk perkawinannya sehingga bentuk perkawinan di Bali mengenal adanya 3
(tiga) bentuk, yaitu :
I.G.K. Sutha, 1988, “Eksistensi Serta Peranan Hukum Adat di Indonesia”, Pidato
jabatan Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 56
9
I Nyoman Sirtha, “Strategi dan Pemberdayaan Desa Adat Dengan Pembentukan
Forum Komunikasi Antar Desa Adat”, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar “Strategi
Pemberdayaan dan Model Desa Adat di Masa Depan”, yang Diselenggarakan Oleh Kerjasama
Pusat Pengkajian Pedesaan dan Kawasan (P3K) dengan DPD KNPI Propinsi Bali, Denpasar, hal. 1
10
I Wayan Surpha, 1992, Eksistensi Desa Adat di Bali dengan Diundangkannya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Cetakan I, Upada Sastra,
Denpasar, hal. 4.
8
6
a.
Perkawinan Biasa
Perkawinan biasa ini berarti seorang anak laki-laki berasal dari satu keluarga
yang
terdiri
dari
beberapa
orang
anak
laki-laki
dan
perempuan,
melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang berasal dari
satu keluarga yang juga terdiri dari beberapa anak laki-laki dan perempuan.11
Dalam bentuk perkawinan biasa kedudukan laki-laki sebagai purusa dan
kedudukan perempuan sebagai predana. Anak yang lahir dari perkawinan
biasa ini mengikuti kerabat dari ayahnya, sedangkan dari pihak ibu tidak
mempunyai hubungan hukum. Dengan kata lain bahwa anak dalam hal
perkawinan biasa mengikuti garis keturunan ayahnya. Berkaitan dengan
warisnya, anak hanya berhak mewaris dari garis keturunan ayahnya dan tidak
mewaris dari keturunan ibunya.
b.
Perkawinan Nyeburin / Nyentana
Bentuk perkawinan nyeburin merupakan bentuk perkawinan yang berbanding
terbalik dengan bentuk perkawinan biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari status
purusa yang berada di pihak perempuan, sedangkan laki-laki berkedudukan
sebagai predana. Menurut Wayan P. Windia perkawinan nyeburin adalah:
Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, dalam mana pihak laki-laki meninggalkan
rumahnya, untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat
kediaman istrinya, dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan
kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur istrinya, secara sekala
(alam nyata) maupun niskala (alam gaib).12
11
Wayan P. Windia, dkk., op. cit., hal. 18.
Wayan P. Windia, dkk., op. cit., hal. 19.
12
7
Konsekuensi dari perkawinan nyeburin terletak pada pihak laki-laki yang
harus meninggalkan kewajibannya di rumah asalnya (ninggal kedaton).
Untuk masalah waris, anak hanya berhak mewaris dari pihak keluarga ibunya
karena perempuan berubah statusnya menjadi laki-laki (sentana rajeg).
Perkawinan nyeburin dipilih karena pihak keluarga perempuan tidak
mempunyai anak laki-laki dan agar bisa meneruskan kewajibannya
(swadharma), maka jalan satu-satunya harus melakukan perkawinan
nyeburin.
c.
Perkawinan Pada Gelahang
Berbeda halnya dengan kedua bentuk perkawinan di atas, perkawinan pada
gelahang merupakan perkawinan yang ditempuh karena dilatar belakangi
oleh kekhawatiran terhadap warisan yang ditinggalkan orang tuanya baik
warisan dalam bentuk materiil maupun inmateriil, tidak ada yang mengurus
dan meneruskan.13 Bila dilihat dari istilah yang dikenal oleh masyarakat
seperti pada gelahang / negen dadua / mepanak bareng (milik bersama)
dimaksudkan bahwa antara pihak suami dan isteri merupakan milik kedua
belah pihak keluarga. Dengan kata lain, kedudukan suami maupun isteri
sebagai purusa di tempat tinggalnya masing-masing, sedangkan kedudukan
predana dapat dilihat dari di mana upacara mebyakaon dilangsungkan, jika
ditempat tinggal suami maka istri berkedudukan sebagai predana begitupun
sebaliknya. Menurut Ni Nyoman Sukerti suami isteri dalam perkawinan pada
gelahang melaksanakan kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) ganda
13
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 10.
8
yaitu kewajiban dan hak dari pihak suami maupun kewajiban dan hak dari
pihak isteri.14 Perkawinan pada gelahang biasanya diawali dari kesepakatan
kedua belah pihak mempelai di mana isi dari kesepakatan tersebut berisi
tentang pembagian kedudukan anak. Dengan demikian anak yang lahir dari
perkawinan pada gelahang sangat menentukan faktor dalam menentukan
pewarisan.
Dari ketiga bentuk perkawinan yang dikenal di Bali, dapat penulis
simpulkan bahwa tujuan perkawinan tersebut untuk memperoleh keturunan.
Adanya macam-macam bentuk perkawinan tersebut merupakan salah satu cara
untuk memperoleh keturunan sehingga masyarakat di Bali dapat memilih cara
mana yang akan ditempuh dari ketiga bentuk perkawinan tersebut. Akan tetapi,
masing-masing bentuk perkawinan tersebut tidak dapat berjalan ketika ada
kondisi-kondisi yang tidak dapat dimungkinkan. Dalam masyarakat adat Bali
yang umumnya melakukan perkawinan biasa tidak akan mengalami permasalahan
mengenai pelaksanaan upacara perkawinannya, cara melaksanakan perkawinan
dan
mengurus
administrasi
perkawinan
(Akta
Perkawinan)
di
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Berbeda halnya dengan perkawinan nyeburin yang dipilih oleh pasangan
suami isteri dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan perkawinan biasa
karena pihak perempuan atau keluarga perempuan tidak dikaruniai anak laki-laki.
Perkawinan nyeburin yang dianggap tidak lazim dalam masyarakat Bali, pada
dewasa ini sudah memperoleh pengakuan dengan adanya kebijakan dari Dinas
14
Ni Nyoman Sukerti, 2012, Hak Mewaris Perempuan (Dalam Hukum Adat Bali
Sebuah Studi Kritis), Udayana University Press, Denpasar, hal. 38.
9
Kependudukan dan Catatan Sipil yang menambahkan “catatan” dalam Akta
Perkawinan bahwa pihak perempuan sebagai purusa dan pihak laki-laki sebagai
predana.
Bentuk perkawinan pada gelahang merupakan bentuk perkawinan alternatif
jika tidak dimungkinkannya melakukan perkawinan biasa ataupun perkawinan
nyeburin. Penyebab dari perkawinan pada gelahang ditempuh dikarenakan dari
pihak laki-laki dan perempuan merupakan anak tunggal dari keluarganya masingmasing. Konsep perkawinan pada gelahang ini merupakan angin segar bagi
keluarga yang terancam mengalami keputungan / keceputan. Perkawinan pada
gelahang sudah lazim dilakukan di daerah Tabanan, Badung, Gianyar dan
Bangli.15 Faktor yang melatar belakangi pasangan mempelai melakukan
perkawinan pada gelahang, yaitu : (1). Adanya kekhawatiran warisan yang
ditinggalkan oleh orang tua dan leluhurnya, baik yang berwujud tanggung jawab
atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus
dan meneruskan dan (2). Adanya kesepakatan diantara calon pengantin beserta
keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan pada gelahang.16
2.2.3. Syarat-Syarat Perkawinan Pada Gelahang
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Syarat-syarat perkawinan
terdapat di dalam Pasal 6 dan pasal 7 Undang-Undang Perkawinan yang memuat
15
16
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 8.
Wayan P. Windia dkk., op. cit., hal. 52.
10
mengenai syarat yang bersifat materiil, sedangkan dalam Pasal 12 mengatur
mengenai syarat formil. Ketentuan Pasal 6 menyebutkan bahwa :
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Penjelasan mengenai persetujuan kedua mempelai tersebut, agar suami dan
isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia,
dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut tanpa ada paksaan dari
pihak manapun. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan
yang lain yang sudah ditentukan. Namun dalam masyarakat yang telah maju tidak
pantas lagi berlaku “kawin paksa”, oleh karenanya adanya persetujuan dari kedua
calon mempelai merupakan syarat utama dalam perkawinan di Indonesia yang
sekarang berlaku. Pasangan mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus
memenuhi syarat umur yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (1), yaitu :
11
“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Ketentuan mengenai masalah umur tersebut tidak merupakan syarat mutlak
bagi kedua mempelai dikarenakan ada pemberian dispensasi terhadap pihak laki-laki
maupun perempuan yang dapat diminta kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak mempelai. Pemberian dispensasi ini sudah
tercantum didalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan sepanjang tidak
melanggar ketentuan agama dan kepercayaannya.
Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan direalisasikan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan perkawinan. Secara garis besar ketentuan di dalam PP Nomor 9 Tahun
1975 hanya mengatur masalah administrasi yang merupakan suatu kewajiban bagi
para pihak (kedua mempelai) untuk mengurus Akta Perkawinan ke Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Syarat formil perkawinan pada gelahang adalah terletak pada pencatatan
perkawinan secara adat yang dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan adat
(kelihan adat). Pencatatan perkawinan secara adat akan menentukan bentuk
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua mempelai baik itu perkawinan biasa,
perkawinan nyeburin, ataupun perkawinan pada gelahang.
Syarat materiil dari perkawinan pada gelahang terletak pada perjanjian yang
dibuat sebelum atau pada saat upacara perkawinan berlangsung. Syarat materiil
dalam perkawinan pada gelahang meliputi 4 tahap, yaitu :
12
1). Kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan yang dituangkan di
dalam perjanjian baik secara lisan maupun tertulis. Kesepakatan kedua
belah pihak merupakan awal dari perkawinan pada gelahang sebelum
dilakukannya prosesi upacara perkawinan.
2). Perkawinan
pada gelahang, dalam upacara perkawinan ini kedua
belah pihak tidak melakukan upacara mepamit di sanggah (merajan)
masing-masing sehingga baik pihak laki-laki maupun pihak
perempuan
tidak
melepaskan
hubungan
kekeluargaan
dengan
keluarganya masing-masing yang dalam hal ini kedua pihak samasama berstatus sebagai purusa. Lain halnya dengan perkawinan biasa
mempelai perempuan melakukan upacara mepamit di sanggah
(merajan) sebagai simbul dari pelepasan status kekeluargaan di
keluarga asalnya, demikian pula dengan perkawinan nyeburin
mempelai laki-laki melakukan upacara mepamit di sanggah (merajan)
yang menyebabkan putusnya hubungan kekeluargaannya terhadap
keluarga asalnya.
3). Setelah melakukan upacara mepamit dilakukan upacara mebyakaon
dan natab di bale adat di tempat kediaman purusa, baik itu purusa
dari pihak laki-laki dalam perkawinan biasa ataupun purusa dari pihak
perempuan yang kerajegan sentana (sentana rajeg) dalam perkawinan
nyeburin. Dalam perkawinan pada gelahang upacara byakaon dan
natab di bale adat dilakukan di kediaman kedua belah pihak.
13
4). Upacara perkawinan menurut adat Bali dan juga menurut hukum
Hindu adalah upacara mepekeling di sanggah (merajan).Pada upacara
mepekeling ini dilakukan di sanggah (merajan) mempelai yang
berstatus purusa, sehingga dalam perkawinan pada gelahang upacara
mepekeling dilakukan di sanggah (merajan) kedua belah pihak,
karena kedua belah pihak berstatus sebagai purusa.
Berdasarkan syarat-syarat formil dan materiil dalam perkawinan pada
gelahang di atas, jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka perkawinan pada
gelahang tidak dapat dilangsungkan.
2.2.4. Sahnya Perkawinan Pada Gelahang
Sahnya perkawinan dalam masyarakat adat Bali sangat dipengaruhi oleh
lokacara dan desa dresta. Berdasarkan keputusan-keputusan dan ketetapanketetapan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Badung, sahnya
perkawinan ditentukan oleh adanya panyangaskara dengan butha saksi dan dewa
saksi serta adanya penyaksi (saksi) dari prajuru adat (kepala adat) dari unsur
manusa saksi.17 Ketiga saksi tersebut dalam masyarakat adat Bali disebut dengan
tri upasaksi (tiga saksi).18 Di dalam melangsungkan perkawinan yang paling
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan
jika kedua mempelai telah
melakukan upacara banten pabyakalan. Putusan Yurisprudensi Raad Kertha
Singaraja Nomor 290/Crimineel tanggal 14 April 1932 menyatakan bahwa selama
mebyakaon belum dilakukan, maka perkawinan belum dipandang sah. Selain itu,
terdapat putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 602/Pdt/1960 tanggal 2 Mei
17
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, op. cit., hal. 24.
I Gusti Ketut Kaler, 1983, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Bali Agung,
Denpasar, hal. 117.
18
14
1960 menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah menurut hukum adat
Bali, apabila telah dilakukan pabyakaonan atau mebyakaon. Putusan lain yang
mendukung hal tersebut yaitu putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor
281/Pdt/1966/PDT tanggal 19 Oktober 1966.19
Sahnya perkawinan menurut hukum Hindu sebagaimana dijelaskan oleh
Arthyasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :20
1.
2.
3.
Suatu perkawinan menurut hukum Hindu sah jikalau dilakukan
menurut ketentuan hukum Hindu.
Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus
dilakukan oleh Pendeta/Pinandita.
Suatu perkawinan hanya dapat dikatakan sah menurut hukum Hindu,
jikalau kedua mempelai telah menganut agama Hindu. Ini berarti
kalau kedua mempelai telah atau salah satunya belum beragama
Hindu, maka perkawinan tidak dapat disahkan. Untuk mengesahkan
seseorang untuk masuk beragama Hindu harus disudhiwidani terlebih
dahulu.
Di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur
tentang sahnya perkawinan menyebutkan :
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kata “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu,
masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum
agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Sedangkan ketentuan
19
I Nyoman Suyatna, 1997, “Kajian Yuridis Terhadap Sahnya Perkawinan Nyeburin
Berbeda Wangsa di Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan”, Tesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 61.
20
I Nyoman Arthayasa, Sujaelanto, Ketut Yeti Suneli, 2004, Petunjuk Teknis
Perkawinan Hindu, Paramita, Surabaya, hal.18.
15
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”, sampai sekarang belum berjalan efektif di dalam masyarakat adat Bali
karena masih adanya tradisi perkawinan ngerorod (kawin lari bersama).
Apabila ditinjau dari ketentuan hukum Hindu, perkawinan pada gelahang
sudah memenuhi unsur-unsur untuk dilangsungkannya perkawinan tersebut.
Dengan demikian perkawinan pada gelahang sah menurut hukum adat yang
berlaku di dalam masyarakat adat Bali. Akan tetapi, permasalahan terjadi pada
saat penerbitan akta perkawinan dan pencatatan perkawinan karena diperlukan
adanya persamaan persepsi antar instansi terkait dengan status purusa atau
predana yang tertuang dalam akta perkawinannya.
2.2.5. Akibat Hukum Perkawinan Pada Gelahang
Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum.21 Akibat hukum merupakan
suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang
diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur
oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum
yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.22 Akibat hukum yang
ditimbulkan dalam perkawinan khususnya dalam perkawinan pada gelahang
mengacu pada Undang-Undang Perkawinan sama halnya dengan perkawinan
lainnya sehingga secara normatif perkawinan pada gelahang telah memenuhi
ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan.
21
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum,Edisi 2, Ghalia Indonesia, Bogor, hal.
22
Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 295
192.
16
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum baik
terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam
perkawinan.
a.
Akibat hukum terhadap suami isteri.
1. Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UndangUndang Perkawinan). Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan
bila ditafsirkan juga sama halnya dengan perkawinan pada gelahang
dimana pihak suami ataupun isteri memiliki tanggung jawab di sanggah /
merajan masing-masing.
2. Hak dan kedudukan isteri adalah sama dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan).
Ketentuan Pasal 31 ayat (1) ini diartikan dalam perkawinan pada
gelahang antara pihak suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban
yang sama di keluarganya masing-masing karena sama-sama berstatus
sebagai purusa.
3. Masing-masing pihak berhak mendapatkan perbuatan hukum (Pasal 31
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan). Ketentuan Pasal 31 ayat (2) ini
diadopsi di dalam perkawinan pada gelahang yang mana pihak suami
ataupun isteri bebas melakukan perbuatan hukum sepanjang peraturan
perundang-undangan tidak menentukan lain.
17
4. Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam
perkawinan pada gelahang status kepala keluarga tetap dipegang oleh
suami. Hal ini juga mengikuti ketentuan Pasal 31 ayat (3) UndangUndang Perkawinan.
5. Suami isteri menentukan tempat kediaman mereka (Pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan pada gelahang tidak mengatur
mengenai tempat kediaman suami isteri karena hal tersebut bergantung
pada kesepakatan antara suami dan isteri sepanjang tidak ada yang
berkeberatan dengan hal itu.
6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling
setia. Perkawinan pada umumnya harus dilandasi rasa saling mencintai,
menghormati dan saling setia. Hal ini tidak terbatas pada bentuk
perkawinan yang ditempuh oleh calon mempelai. Dalam perkawinan pada
gelahang suami isteri wajib saling mencintai, menghormati dan saling
setia tanpa ada unsur paksaan di dalamnya.
7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuanya. Ketentuan Pasal 34 ayat (1) ini juga dianut di
dalam perkawinan pada gelahang karena suami wajib bertanggung jawab
kepada keluarga.
8. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memberikan
kebebasan bagi isteri untuk mengatur keperluan rumah tangganya sama
18
halnya dengan perkawinan pada gelahang yang mana isteri berkewajiban
dengan kehidupan sehari-hari berumah tangga.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan sudah menempatkan keseimbangan
kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan kehidupan masyarakat. Idealnya
politik hukum di dalam Undang-Undang Perkawinan untuk dapat membina
kehidupan rumah tangga suami isteri dan keluarga / rumah tangga yang modern
sebagai sendi dasar dari susunan masyarakat Indonesia yang modern. Menurut
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, bahwa pasal-pasal di dalam Undang-Undang
Perkawinan berbeda dengan hukum adat serta hukum Islam, bisa dikatakan tidak
sesuai, jika keluarga rumah tangga tersebut sama dengan budaya barat yang
individualistis dan materialistis jauh sama sekali dari ikatan kekerabatan dan
ikatan ketetanggaan.23 Bila dibandingkan dengan perkawinan pada gelahang
hubungan kekerabatan sangat ditentukan oleh kedekatan emosional suami ataupun
isteri terhadap keluarganya. Dengan kata lain Undang-Undang Perkawinan tidak
mengikat pasangan suami isteri di dalam ikatan kekerabatan, yang mengikat
hanya ketentuan-ketentuan di dalam awig-awig maupun kebiasaan yang terdapat
dalam adatnya.
b.
Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan.
1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2. Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap
harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
23
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtadi, 1987, Asas-Asas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 97.
19
3. Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
Ketentuan yang menyangkut harta kekayaan di Undang-Undang Perkawinan
lebih mendekati hukum adat dan hukum lain dan menjauhi hukum perdata Eropa
yang jauh berbeda dari hukum Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa Hukum
Perkawinan Nasional kita telah menerima hukum adat yang menyangkut harta
perkawinan.
c.
Akibat perkawinan terhadap anak.
1. Kedudukan anak.
1.1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal
42)
1.2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
2.1.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45)
2.2.
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak yang
baik.
2.3.
Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam
garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan
bantuan anaknya (Pasal 46).
20
d.
Kekuasaan orang tua.
1.
Anak yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah
kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
2.
Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
2.
Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapanbelas) tahun atau belum pernah kawin
3.
4.
Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila :
-
Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
-
Ia berkelakuan buruk sekali.
Meskipun kekuasaan orang tua dicabut, namun ia tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Akibat hukum yang ditimbulkan dalam perkawinan pada gelahang
terdapat perbedaan dan persamaan jika dibandingkan dengan Undang-Undang
Perkawinan. Perbedaannya dalam hal status dan kedudukan suami isteri, yang
mana pihak laki-laki dan perempuan tetap berkedudukan sebagai purusa di rumah
masing-masing. Dalam hal harta kekayaan, harta bawaan tidak diperoleh oleh
masing-masing pihak karena kedudukannya masih sebagai purusa dan tidak
dimungkinkan untuk meperoleh harta bawaan (harta tetatadan) tersebut,
sedangkan harta bersama (guna kaya) tidak dipisah walaupun terdapat perjanjian
perkawinan karena isi dari perjanjian tersebut hanya mengatur kedudukan anak
dan tidak mengatur mengenai pemisahan harta bersama (guna kaya). Kedudukan
21
anak dalam perkawinan pada gelahang disesuaikan dengan kesepakatan antara
para pihak mempelai yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan pada
gelahang. Misalnya anak pertama mempunyai hubungan hukum dalam keluarga
ayahnya dan anak kedua memiliki hubungan hukum dalam keluarga ibunya
begitupun seterusnya. Persamaannya dalam hal kekuasaan orang tua karena pihak
yang melakukan perkawinan pada gelahang menundukkan diri kepada UndangUndang Perkawinan. Penundukan diri orang tua tersebut dikarenakan segala
kekuasaan orang tua terhadap anak merupakan kewajiban (swadharma) yang
melekat kepada orang tuanya sehingga hak asasi yang lahir dari anak tersebut
dijamin oleh orang tuanya.
2.2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Perkawinan
2.2.1. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian
Hakikat perjanjian pada umumnya berisi kehendak para pihak mengikatkan
diri untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dengan demikian sejak
perjanjian dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pasal 1313 KUH
Perdata memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah “suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.” Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa di mana
seorang berjanji pada seorang lain atau di mana orang lain saling berjanji untuk
melaksanakan
suatu
hal.24
Sedangkan
menurut
KRMT
Tirtodininggrat,
memberikan difinisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
24
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian cetakan ke XVI, Intermasa, Jakarta, hal. 1.
(selanjutnya disebut Subekti II)
22
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.25
Menurut R. Setiawan, rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak
lengkap juga sangat luas, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.26
Sedangkan menurut Suryodininggrat, bahwa difinisi Pasal 1313 KUH Perdata
ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut27 :
a.
b.
c.
d.
Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian
pula tidak ada pula sangkut pautnya dengan sumber perikatan, sebab
apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan;
Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan
kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);
Definisi pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak
(unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya
tidak berprestasi (misal: hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi
dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;
Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir
(melahirkan hak dan kewajiban para pihak), dan tidak berlaku bagi
persetujuan
jenis
lainnya
(misalnya:
perjanjian
liberatoir/membebaskan;perjanjian di lapangan hukum keluarga;
perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).
Perjanjian dapat dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1.
Kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu
25
A.Qirom Meliala, op.cit., hal.8.
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum perikatan,Bina Cipta, Jakarta, hal.49.
27
RM Suryodiningrat, Asas-asas Hukum perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72-74.
26
23
adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang
lain. Menurut Sudikno Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak, yaitu dengan :28
1). Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2). Bahasa yang sempurna secara lisan;
3). Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan
bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4). Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5). Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan
perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para
pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian
hari.
2.
Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.
Ukuran kedewasaan di Indonesia bervariasi tergantung kepada perbuatan hukum
yang akan dilakukan karena peraturan perundang-undangan yang mengatur
masalah kedewasaan tidak sama.
28
Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Hukum
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 7.
24
3.
Adanya objek perjanjian
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian
adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban
debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.29 Prestasi ini terdiri dari perbuatan
positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
(1). Memberikan sesuatu;
(2). Berbuat sesuatu; dan
(3). Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
(4). Adanya kausa yang halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa
yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang
terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927
mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Kausa yang
halal merupakan bagian dari syarat objektif dari suatu perjanjian karena
menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah
ada.
29
Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 10
25
2.2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan
Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta
kekayaan calon suami isteri. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan
menjelaskan bahwa tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk
mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut karta kekayaan.30
Secara teoritis perjanjian perkawinan mulanya diatur di dalam KUH Perdata
yang ditentukan dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Pasal 139
menyebutkan bahwa : “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami
isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
perundang-undang sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula
segala ketentuan di bawah ini menurut pasal berikutnya”.
Perjanjian perkawinan itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang
diperuntukan bagi si suami sebagai kepala persekutuan suami isteri, namun hal
tersebut tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkan bagi dirinya
pengurusan harta kekayaan pribadi, baik itu barang-barang bergerak maupun
barang-barang tidak bergerak di samping penikmatan penghasilan pribadi secara
bebas. Meskipun ada golongan harta bersama mengenai barang-barang tetap,
surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjam-pinjaman Negara, surat-surat
berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang
selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh
30
Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraiaan,
Visimedia, Jakarta, hal. 2.
26
dipindah tangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri.
Adapun syarat dan ketentuan dalam pembuatan perjanjian kawin adalah :
1.
Pisah harta adalah antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta
benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik persekutuan harta
benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun
persekutuan hasil dan pendapatan.
2.
Harta adalah semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa
oleh para pihak dalam perkawinan, atau yang diperoleh selama
perkawinan karena pembelian, warisan hibah dan atau dengan cara
apapun juga, tetap menjadi hak milik dari para pihak yang membawa
dan atau yang memperolehnya.
Setelah adanya Undang-Undang Perkawinan yang juga mengatur mengenai
perjanjian perkawinan maka ketentuan mengenai perjanjian perkawinan di dalam
KUH Perdata menjadi tidak berlaku. Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal
29 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”. Sedangkan dalam ayat (2) mengatur bahwa “Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana bertentangan dengan ketentuan batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan”. Menurut Hazairin bahwa ketentuan batas-batas
27
hukum bukan hanya perundang-undangan tetapi juga hukum adat.31 Agama bukan
saja mengandung hukum agama tetapi juga kesusilaan menurut agama, sedangkan
kesusilaan mempunyai arti luas mencakup bukan saja kesusilaan menurut agama
tetapi juga kesusilaan dalam arti kesusilaan kemasyarakatan, yaitu kesusilaan
yang ditimbulkan sendiri oleh suatu masyarakat.
Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas bahwa perjanjian
perkawinan itu mengenai hal apa, misalnya apakah hanya mencakup masalah
gono-gini atau juga menyangkut masalah-masalah lainnya. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
mencakup banyak hal, tidak hanya mengandung soal harta benda perkawinan.
Di samping itu, Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut tentang
bagaimana hukum perjanjian perkawinan yang dimaksud.32
Dalam Undang-Undang Perkawinan, yang disebutkan hanya berupa
ketentuan bahwa jika ada perjanjian perkawinan, harus dimuat di dalam akta
perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dalam
Pasal 12 huruf h bahwa akta perkawinan juga memuat keterangan tentang
perjanjian perkawinan (jika dibuat oleh pasangan suami isteri). Meskipun
demikian, Undang-Undang Perkawinan masih bisa dijadikan sumber hukum yang
penting dalam membahas perjanjian perkawinan.
31
Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Tinta Mas,
Jakarta, hal. 29.
32
Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum
Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung , hal. 67.
28
2.2.3. Isi Perjanjian Perkawinan
Isi perjanjian kawin dibuat sesuai dengan keinginan para pihak, asalkan
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga
tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 140,142 dan 143
KUH Perdata. Isi dari perjanjian yang dilarang adalah :
1.
Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala
persatuan rumah tangga (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata).
2.
Menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang
tua (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata).
3.
Mengurangi hak-hak yang diperlukan undang-undang kepada yang
hidup terlama (Pasal 140 ayat (1) KUH Perdata).
4.
Melepaskan haknya sebagai ahli waris menurut hukum dalam warisan
anak-anaknya atau keturunannya (Pasal 141 KUH Perdata).
5.
Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak
dari pada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142 KUH Perdata).
Dalam KUH Perdata selain terdapat mengenai larangan isi perjanjian
perkawinan diatur juga mengenai macam perjanjian kawin, yaitu :
a.
Persatuan untung rugi yang diatur dalam Pasal 155 KUH Perdata.
Dalam
perjanjian
perkawinan
persatuan
untung
rugi,
segala
keuntungan dan kerugian yang diperoleh dalam perkawinan harus
dibagi antara mereka berdua. Pada prinsipnya dengan perbandingan
1 : 1 atau masing-masing sebagian (Pasal 156 KUH Perdata).
29
b.
Persatuan hasil dan Pendapatan dalam Pasal 164 sampai 167 KUH
Perdata. Pada prinsipnya persatuan hasil dan pendapatan hampir sama
dengan persatuan untung dan rugi. Namun termasuk di dalam
persatuan hasil dan pendapatan adalah hibah, hibah wasiat yang
diterima oleh suami dan istri pada saat perkawinan berlangsung.
Berbeda dengan KUH Perdata, dalam Undang-Undang Perkawinan tidak
diatur mengenai apa yang menjadi isi dari perjanjian perkawinan. Pasal 29 ayat
(2) menyebutkan bahwa : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”. Hal ini menunjukkan
bahwa suami dan isteri bebas menentukan isi dari perjanjian perkawinan
sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan.
2.2.4. Tujuan Perjanjian Perkawinan
Apabila perjanjian perkawinan ditinjau dalam Undang-Undang Perkawinan,
bahwa perjanjian perkawinan bertujuan untuk penegasan tentang pengaturan dan
permasalahan
harta
perkawinan
antara
suami
isteri.
Menurut Wirjono
Prodjodikoro pada umumnya harta perkawinan itu cukup digolongkan atas dua
bagian yaitu sebagian berasal dari kekayaan suami dan isteri masing-masing
terpisah satu dari yang lain dan sebagian lain lagi merupakan campur kaya.33
Berbeda dengan Wirjono Prodjodikoro, pendapat yang dikemukakan oleh Soerojo
33
Wirjono Prodjodikoro, 1974, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal.
35.
30
Wignjodipuro menyatakan bahwa penggolongan harta perkawinan bukanlah
pembedaan prinsipil melainkan pengelompokan demi kepentingan analisis.34
Perjanjian perkawinan dibuat dengan tertulis, dibuat atas kesepakatan para
pihak (suami isteri) di hadapan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
sewaktu proses penandatangan. Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk
acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak
mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian
itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan
kewajibannya.
Pada
dasarnya
perjanjian
perkawinan
dibuat
untuk
kepentingan
perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu harta calon
suami ataupun harta calon isteri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan
perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan
kepada pihak calon pasangan yang akan berkawin. Dalam surat perjanjian
perkawinan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
hukum dan agama.
Perjanjian perkawinan harus bermanfaat bagi pihak calon suami dan isteri.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Happy Susanto menyebutkan manfaat
perjanjian perkawinan ada 3 (tiga), yaitu :35
1.
34
Perjanjian kawin dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan
masing-masing pihak (suami/isteri). Artinya perjanjian perkawinan
dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah
rumah tangga yang terpaksa harus berakhir baik karena perceraian
maupun karena kematian.
Soerojo Wignjodipuro, 1967, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung
Agung, Jakarta, hal. 10.
35
Happy Susanto, op. cit., hal. 87.
31
2.
3.
Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan
kondisi ekonomi keluarga. Ketika hendak membuat perjanjian
perkawinan pasangan calon pengantin biasanya memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya membentuk rumah tangga saja, namun ada
sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin perjanjian.
Tujuannya tidak lain agar kepentingan mereka terjaga.
Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum
perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan
keadilan kaum perempuan (isetri) dapat terlindungi. Perjanjian
perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli
harta gono gini dan harta kekayaan pribadinya.
2.2.5. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan
Suatu perjanjian pada umumnya akan menimbulkan akibat hukum bagi
pihak yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga yang berkepentingan. Hal
yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan. Sebagaimana telah
diterangkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Dari pasal
tersebut terlihat bahwa untuk sahnya sebuah perjanjian perkawinan maka
perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta disahkan kepada pegawai
pencatat perkawinan. Hal ini berarti akibat hukum yang ditimbulkan dalam
perjanjian perkawinan yang didaftarkan mengikat kepada pihak ketiga ketika
salah satu pihak suami atau isteri melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian
perkawinan tidak didaftarkan maka dengan sendirinya akan mempunyai
konsekuensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum apabila perjanjian
perkawinan tidak didaftarkan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Akibat hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian perkawinan.
Apabila dicermati kata-kata yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan :“.......kedua belah
pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
32
yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan......”.Dari pasal
tersebut terlihat bahwa perjanjian perkawinan yang diatur dalam
undang-undang tentang perkawinan harus berbentuk tertulis. Dengan
adanya ketentuan yang mengharuskan perjanjian perkawinan dalam
bentuk tertulis maka perjanjian perkawinan yang dibuat mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dikarenakan dibuat oleh pejabat
yang berwenang. Sedangkan untuk asas berlakunya, sesuai dengan
Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka
untuk perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap
berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian perkawinan
tersebut yaitu suami dan/atau isteri, karena dalam Undang-Undang
Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa
perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau
disahkan. Sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas
konsensualisme yang mengatakan bahwa perjanjian lahir sejak saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya
perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat
keduanya sepakat tentang isi perjanjian perkawinan yang dibuat, baik
didaftarkan maupun tidak. Dengan demikian perjanjian perkawinan
baik yang didaftarkan maupun tidak mempunyai akibat hukum yang
tetap mengikat bagi suami-isteri yang bersepakat membuatnya.
33
Dengan kata lain kedua belah pihak tetap terikat dengan kesepakatan
yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tersebut.
2 . Akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Berbeda dengan akibat hukum bagi suami isteri yang membuat
perjanjian perkawinan jika tidak didaftarkan, pada pihak ketiga
apabila perjanjian perkawinan tidak disahkan atau didaftarkan kepada
pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap
pihak ketiga. Dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap
pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum
didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung
dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila
terjadi
persangkutan
utang
dengan
suami
dan/atau
istri,
penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama antara
harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian
perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama. Akan
tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian
perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak
mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan
namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang
mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan
namun perjanjian perkawinan tersebut belum didaftarkan, maka ia
tidak boleh menganggap bahwa perjanjian perkawinan itu tidak ada.
34
Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka perjanjian
perkawinan
tetap
mengikat
bagi
kedua
belah
pihak
yang
membuatnya. Lain halnya jika menyangkut terhadap pihak ketiga,
apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukum
perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak ketiga.
Download