Abstrak— Kebudayaan sebagai hasil cipta karya manusia selalu mencerminkan nilai moral, norma, dan pandangan hidup yang dianuti kelompok manusia tertentu. Kelompok budaya Ende-Lio sebagai salah satu etnik besar di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, memiliki keragaman nilai budaya yang kaya nilai pendidikan. Kepercayaan terhadap kekuatan Sang Pencipta, pandangan tentang kosmos, tradisi adat, termasuk wuamesu yang dipegang teguh oleh masyarakat kelompok budaya Ende-Lio sebagai nilai moral dan pandangan hidup sangat potensial sebagai sistem atau perangkat pengetahuan lokal yang dapat digunakan dalam upaya pedagogis pendidikan nilai dan moral. Kata Kunci— Melayu Budaya, Moral, Pendidikan Moral, Ende, Lio, Wuamesu 1. Pendahuluan Kabupaten Ende merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di bagian tengah pulau Flores. Kabupaten Ende didiami oleh dua etnik besar (Ende dan Lio) sebagai suku asli dan sejumlah etnik yang mendiami daerah perkotaan khususnya Kota Ende dan beberapa kota kecamatan. Kondisi inilah yang menghadirkan kemajemukan masyarakat dan budaya di kota Ende yang tergolong kota yang cukup tua untuk daratan Flores. Kota Ende juga menyimpan nilai-nilai sejarah yang cukup terkenal, misalnya sebagai tempat Sang Proklamator, Ir. Soekarno diungsikan (1935-1938) dan menyiapkan konsep tentang dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebelum merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Sebagai komunitas etnik yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Ende-Lio, masyarakat di Kabupaten Ende dengan sejarah perkembangan dan lingkungan hidup yang khas, memiliki sistem, ciri, dan perangkat budaya yang relatif berbeda jika dibandingkan dengan komunitas etnik lain di Flores, Nusa Tenggara Timur, dan Nusantara umumnya. EndeLio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan Ende-Lio terbentuk dari percampuran antara kebudayaan masyarakat setempat dengan kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang Larantuka, Ngadha, Manggarai, dan oleh orangorang Portugis dan Belanda. Kebudayaan ini meliputi adat-istiadat, bahasa, cara berpakaian, kesenian, dan lain sebagainya. Kedatangan bangsa Barat, seperti Portugis dan Belanda pada masa kolonial, memberi unsur baru yang berpengaruh pada segi budaya tertentu, seperti agama, kepercayaan, adat-istiadat, dan sebagainya, meskipun terdapat hal-hal tertentu yang tetap dipertahankan secara turun temurun. Kebudayaan kelompok etnik Ende-Lio perlu dipelajari dan diketahui agar perkembangan zaman dan pengaruh negatif globalisasi tidak menggerus jati diri dan akar budaya masyarakat Ende-Lio, dan Kabupaten Ende pada umumnya. Sebagai orientasi moral kehidupan dan religi, konsep wuamesu perlu ditelaah dan dimaknai agar diketahui asal muasal prinsip dan ajaran kehidupan. Dengan memahami wuamesu sebagai sumber moral, masyarakat etnik Ende-Lio mempunyai pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di tengah perubahan nilai-nilai. Wuamesu adalah jati diri dan kepribadian masyarakat Ende-Lio di tengah perubahan global. Pemahaman akan kekuatan dan daya hidup menjadi penting dan strategis jikalau dikaitkan dengan upaya pedagogis pembudayaan dan pendidikan nilai-nilai bagi generasi muda dengan tetap bersumber dan berakar pada budaya lokal. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan keterangan terkait kajian tentang nilai-nilai moral dalam khazanah budaya Ende-Lio adalah studi literatur. Studi literatur yang dilakukan berupa kegiatan membaca, mencermati, mengenali, mengurai dan menganalisa bahan bacaan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dalam khazanah budaya Ende-Lio tersebut. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Moral dan Pendidikan Moral Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Menurut Kohlberg (1972) moral diartikan sebagai segala hal yang mengikat,membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dinamika kita berada.Moral ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi moralitas sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu mengikat seseorang karena (1) dianut orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada, (2) diyakini orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada, (3) dilaksanakan orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada, dan (4) merupakan nilai yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau masyarakat di dalam kehidupan kita. Dapat disimpulkan bahwa moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada. Dalam pandangan para ahli istilah moral mendapat sorotan yang cukup menarik dan panjang. Piaget (1979) misalnya, merumuskan moral sebagai: ...view about good and bad, right or wrong, what ought to not to do.... A set of belief current in society abaout character or conduct and what people should try to be or try to do.... A ort of belief about people and their actions.... A system of conduct assesment which is objectives in that and it reflect the condition of social existence.... Rule of conduct actually accepted in society.... Here (1963) menyatakan bahwa moral pada dasarnya bersifat prescriptive, directive, imperative and commanding (derived from some rule or principle of action) serta obligue. Nilai moral baru mencapai tahap kognitif apabila berhasil dipahami dan tersimpan dalam sistem nilai (value system). Menurut Kohlberg (1972) nilai moral tersebut baru mempribadi dan bersatu raga menjadi sistem organik dan personal apabila sudah mencapai tahap sebagai keyakinan diri atau prinsip serta tersusun sebagai sistem keyakinan (belief system) yang benar-benar diyakini serta akan menjadi pola berpikir maupun perilakunya yang secara terus-menerus dibina, akan menjadi jati diriyang dipertahankan sepanjang hayat. Untuk mencapai tahap kognitif memerlukan upaya pendidikan khusus, yakni melalui proses pembiasaan (habituasi) nilai moral tersebut. Dengan demikian segala nilai moral dan norma normatif yang semula hanya bersifat is to... (keharusan) berubah menjadi ought to (kelayakan) dan mantap mempribadi menjadi belief atau keyakinan (Kohlberg, 1972). Dalam upaya pendidikan atau membina nilai moral hendaknya menggunakan asas atau pendekatan manusiawi atau humanistik serta meliputi keseluruhan potensi anak didik secara utuh (aspek fisik-non fisik, emosi-intelektual, kognitif-apektif, dan psikomotorik). Adapun pendekatan humanistik dimaknai sebagai keadaan di mana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial (mempunyai kemampuan, kelebihan dan kekurangannya) diperlakukan dengan penuh kasih sayang, hangat, kekeluargaan, terbuka, objektif, dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan atau paksaan apapun juga. 3.2. Kajian Budaya Ende-Lio Masyarakat kabupaten Ende umumnya memeluk dua agama besar yakni agama Katolik dan agama Islam. Secara historis, agama Katolik dan agama Islam telah berkembang sejak lama dan turut mempengaruhi kehidupan sosial-budaya masyarakat kabupaten Ende. Selain kedua agama tersebut, di kabupaten Ende, khususnya di kota Ende dan beberapa ibukota kecamatan, terdapat pula pemeluk agama Kristen Protestan, Hindu Dharma, Budha, dan Kong Hu Tcu. Penganut Kristen Protestan umumnya berasal dari etnik Sabu, Rote, Sumba, Alor, sedangkan penganut Hindu Dharma berasal dari etnik Bali dan pada umumnya mereka bergerak di sektor jasa, pegawai negeri dan swasta. Di daerah pedalaman dan di beberapa lokasi yang masih terisolasi, masih terdapat penduduk yang menganut agama atau kepercayaan asli. Perkembangan sejarah gereja Katolik, demikian pula kehadiran Bugis di Ende, serta Flores umumnya, telah berdampak pada kehadiran dua agama besar tersebut di kabupaten Ende. Masyarakat di Kabupaten Ende berkembang sebagai masyarakat yang multiagama, religius, damai dan aman. Kerukunan, ikatan kesatuan, dan semangat persatuan tetap terjaga hingga kini. 3.3. Sistem Religi Asli Masyarakat Etnik Ende-Lio Masyarakat etnik Ende-Lio memiliki kepercayaan asli yang diwariskan turun-temurun secara lisan. Sistem kepercayaan itu tampak pada berbagai ritus dan upacara-upacara. Masyarakat etnik Ende-Lio memiliki konsep tentang Wujud Tertinggi Keilahian, yang dikonseptualisasikan dan disapa sebagai Du’a Bapu. Kata Du’a berarti ‘tua’, ba ‘meminta’, dan pu ‘sesuatu yang sudah lama, kekal, tetap’. Selanjutnya dalam perkembangan dan pengaruh monoteisme agama-agama bertradisi besar khususnya Katolik, konsep tentang wujud keilahian tertinggi disebut sebagai Du’a Ngga’e. Istilah Du’a Ngga’e menggambarkan kepercayaan bahwa Tuhan berada di atas segala makhluk hidup. Baik manusia maupun alam semesta dengan segala isinya, langit dan bumi, diyakini diciptakan oleh Du’a Ngga’e. Du’a Ngga’e berada di atas segala yang ada, baik yang dapat dilihat maupun yang tak kasat mata. Sebagai bagian dari sistem religi, masyarakat tradisional Ende-Lio juga memiliki doa. Doa atau sembahyang yaitu momen penciptaan relasi antara manusia dengan Sang Khalik, disebut dengan istilah batu na’u. Batu na’u selalu bersifat oral, fungsional, dan kontekstual, sesuai dengan kegiatan sosial-budaya berdimensi religius. 3.4. Pandangan tentang Kosmos Pada zaman dahulu, ketika manusia belum mampu menjelaskan dan mengusai alam semesta dengan teknologi, masyarakat etnik Ende-Lio memandang kosmos sebagai hal yang sakral. Kosmos atau tatanan semesta dilihat sebagai sesuatu yang teratur, yang sakral, dan sebagai perwujudan dari yang ilahi. Pengalaman keterbatasan ini diungkapkan dalam keyakinan akan penguasa semesta yang esa, yaitu Du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tana. Di samping penguasa alam semesta, masyarakat Ende-Lio meyakini adanya kekuatan roh-roh lain dalam lingkungan mikro yang bias mengintervensi hidup manusia. Kekuatan lain itu dikenal sebagai roh baik (nitu pa’i, ju angi), roh jahat (nitu re’e, polo wera), dan arwah leluhur (embu mamo ku kajo). Roh-roh ini akan menjadi kekuatan destruktif jikalau manusia tidak menjaga keseimbangan hidup sosial dan dalam hubungan dengan alam. Bahwa masyarakat tradisional Ende-Lio menyegani dan memiliki rasa takut ataupun segan terhadap alam, tampak pada sikap dan perilaku memelihara pohon-pohon besar dan menanam kembali anakan pohon sebagai pengganti pohon yang ditebang untuk membangun rumah. Ini adalah kesadaran kosmos mereka akan pentingnya keseimbangan ekologis. Keseimbangan antara perbuatan manusia dan konsekuensi kosmologis menggambarkan betapa dekat hidup masyarakat dengan alam sekitar. Sikap yang mengganggu keseimbangan selalu akan mendatangkan kutukan dan atau bencana. 3.5. Wuamesu sebagai Prinsip Moral dan Pandangan Hidup Masyarakat etnik Ende-Lio memiliki budaya wuamesu sebagai sumber moral penuntun kehidupan mereka. Wuamesu menjadi dasar spiritualitas dalam kehidupan sosial. Secara semantis dan harafiah, kata wuamesu mengandung makna ‘belas kasih’, cinta kasih, dan atau kasih sayang. Bagi masyarakat Ende-Lio, konsep budaya wuamesu merupakan subsistem nilai budaya yang mewarnai cara hidup sosial. Wuamesu bersifat universal, namun perwujudan dan pengungkapannya yang unik mengandung makna simbolis yang tidak dapat dilepaskan pula dengan ideologi atau mitos Ine Pare (Dewi/Ibu Padi) dalam masyarakat etnik Ende-Lio. Aspek simbolis berbentuk verbal itu tampak pada penggunaan kata dalam kehidupan sehari-hari; Wuamesu no’o ana embu, aji ka’e, tuka bela, no’o atamai. Atamai adalah sesama manusia yang datang karena kesusahan dan penderitaan ataupun sebagai tamu. Wuamesu bermakna filosofis sebagai pengikat nurani yang menengarai pertalian akar budaya lokal Ende-Lio. Bagi masyarakat etnik Ende-Lio, mitos Ine Pare mengandung kekayaan nilai budaya dan kandungan nilai moral yang sangat dalam. Inti ajaran dalam kisah Ine Pare adalah nilai pengorbanan. Pengorbanan bagi sesama melalui penyerahan diri secara total untuk dibunuh atau disembelih bagai hewan korban. Di dalam keikhlasan itu ada kerelaan untuk dicincang dan dihancurkan agar setelah proses kehancuran tumbuh sesuatu yang baru, disimbolisasikan dengan padi. Padi dalam masyarakat etnik Ende-Lio adalah salah satu jenis makanan pokok yang paling popular dan paling tinggi nilai kultural. Padi bagi masayarakat Ende-Lio tidak hanya sebatas makanan namun juga sarat dengan budaya. Nilai, sikap, dan perilaku berkorban selalu berdimensi sosial, demi dan dalam hubungan cinta kasih dan belas kasih atau wuamesu dengan sesama dalam arti luas. Daya dorong perilaku berkorban demi sesama dalam kaitan dengan mitos padi dan dalam konteks budaya Ende-Lio diwadahi secara verbal dalam terminologi wuamesu. Masyarakat etnik Ende-Lio merasakan dan menyadari secara mendalam makna moral dan makna budaya bentuk verbal tersebut. Nilai lain yang terkandung dalam mitos Ine Pare adalah pemeliharan hubungan transendental dengan Du’a Ngga’e (Tuhan), dengan Embu Mamo Ku Kajo (leluhur), dan dengan Tana Watu (alam semesta atau lingkungan). Selain diwujudkan dalam pelaksanaan ritual-ritual dalam siklus pertanian tradisional, mitos itu juga membawa amanat, betapa penghormatan kepada Tuhan, kepada leluhur, orangtua, atau kakek nenek yang sudah meninggal, merupakan nilai dan ajaran yang sangat penting. 3.6. Wuamesu, Pendidikan Moral berbasis Budaya Ende-Lio Ki Hajar Dewantoro menegaskan bahwa “kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan”.Wuamesu sebagai pandangan dan nilai moral dapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran melalui suatu proses eksplorasi nila-nilai melalui kajian kritis oleh siswa. Dengan melaksanakan proses tersebut diharapkan siswa dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir, perasaan dan sikap.Winescoff (1988) menyatakan bahwa proses pendidikan nilai dan moral akan melibatkan proses-proses (1) identifikasi (bisa juga sebagai akulturasi) inti nilai personal dan nilai sosial, (2) inkuiri rasional dan filosofis terhadap inti nilai tersebut, (3) respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut, dan (4) pengambilan keputusan dihubungkan dengan inti nilai berdasarkan penyelidikan dan respon-respon tersebut. Hersh, Miller & Fielding (1980) mengungkap lima pendekatan dalam pendidikan moral, yaitu: 1) pendekatan penanaman nilai Pendekatan pendekatan penanaman yang nilai memberi (inculcation penekanan pada approach) adalah suatu penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. 2) pendekatan perkembangan kognitif Pendekatan ini karakteristiknya dikatakan pendekatan memberikan penekanan perkembangan pada aspek kognitif kognitif karena dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi. Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris. 3) pendekatan analisis nilai Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalahmasalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan. 4) pendekatan klarifikasi nilai Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. 5) pendekatan pembelajaran berbuat Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatanperbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Metode-metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini, juga proyekproyek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama. Pendekatan pendidikan moral sangat tepat digunakan dalam membelajarkan wuamesu sebagai pendidikan moral berbasis budaya Ende-Lio. Guru dapat menjelaskan perspektif budaya yang berkaitan dengan masalah moral yang dihadapi siswa atau sedang berlaku di masyarakat, namun pilihan akhir harus ditentukan sendiri oleh siswa. 4. Kesimpulan Masyarakat etnik Ende-Lio memiliki seperangkat budaya lokal yang kaya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan lokal Ende-Lio terdiri atas subsistem religi dengan Du’a Ngga’e sebagai wujud keilahian tertinggi. Wuamesu merupakan prinsip dan pandangan moral yang diwahanai oleh cerita Ine Pare. Ritual-ritual dalam konteks kehidupan dan pertanian tradisional menjadi daya religius dan kekuatan sosio-kultural yang kuat. Budaya lokal yang sarat pendidikan moral dan karakter tersebut hendaknya dapat dikembangkan agar dapat terintegrasi dalam mata pelajaran di sekolah. 5. Daftar Pustaka Djahiri, K.A. (2004). Dimensi nilai moral dan norma.Hand Out Perkuliahan Pendidikan Nilai pada Prodi Pendidikan Umum S3. Bandung: SPs UPI. Here. (1963). Developing a moral science. Yale University Experts Opinion, Familiy Matters. Hersh, R.H., et.al (1980). Model of moral education: an appraisal. New York: Longman, Inc. Kohlberg, L. (1972). Cognitive development theory; Thepractice of collective moral education. New York: Gordon & Breach. Mbete, A.M., et.al. (2006). Khazanah budaya Lio-Ende. Pustaka Lasaran dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. Piaget, J. (1979). The moral judgment of the child. London: Kegan Paul, Trebner & Co., Ltd. Sunaryo, F.X., et.al (2006). Sejarah kota Ende. Pustaka Lasaran dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. Winecoff, H. L. (1988). Values education model. Hand Out Perkuliahan Pendidikan Nilai pada Prodi Pendidikan Umum S3. Bandung: SPs UPI.