KERANGKA PEMIKIRAN Gambar 3.1 Kerangka

advertisement
17
KERANGKA PEMIKIRAN
Komunikasi Pembangunan
Peranan
Pemerintah
Strategi Komunikasi
Paradigma
Konstruktivisme
Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin
Keterlibatan
Masyarakat
Pendekatan Teori
Strategi
Komunikasi
Strategi
komunikas
i
Komunikasi
Pembangunan
Teori
Identitas
Teori
Dramatisme
Metode Penelitian: Pentad
Analysis
Scene
Agent
Act
Agency
Analisis Penelitian
Deskripsi Subjek
Penelitian
Pola Komunikasi
Ponpes al-Munawar
Bani Amin
Peran Ponpes alMunawar Bani
Amin dalam
Pembangunan
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
Strategi Komunikasi
Ponpes al-Munawar
Bani Amin
18
Komunikasi pembangunan perlu dilihat sebagai komunikasi dua arah dan
timbal balik, antara pemrakarsa pembangunan dan kesertaan partisipasi masyarakat di
dalamnya dalam kerangka menciptakan tindakan dan makna yang sama menuju
pencapaian dan cita-cita pembangunan yang sudah ditentukan. Oleh karena itu,
efektivitas dan efisiensi komunikasi dalam pembangunan sangat diperlukan baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan yang tercakup
dalam strategi komunikasi untuk menyebarluaskan pesan dan makna pembangunan
serta menjembatani adanya gap komunikasi pembangunan di tingkat persepsi,
intrepretasi dan tingkat operasionalnya.
Paradigma konstruktifisme yang digunakan bertujuan untuk memahami
realitas konstruksi mental yang bermacam-macam dan tidak dapat diindra dari aspek
sosial dan pengalaman yang berciri lokal serta spesifik (meski berbagai elemen
seringkali dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya).
Sementara bentuk dan isinya bergantung kepada manusia atau kelompok individu
yang memiliki konstruksi tersebut. Konstruksi mental tidak kurang atau lebih benar
dalam pengertian mutlak namun sekedar lebih atau kurang matang dan/atau canggih.
Pesantren Al-Munawar Bani Amin adalah subjek penelitian yang
diidentifikasi sebagai tipologi Pesantren Salafiyah atau tradisional. Pesantren
Salafiyah adalah mayoritas dari tipologi pesantren yang ada di Banten dan dianggap
berhasil memberikan kontribusi pembangunan di bidang sosial keagamaan,
pendidikan dan budaya, namun termarjinalkan dalam proses pembangunan. Untuk
melihat setiap persoalan strategi komunikasi pembangunan pada pesantren ini maka
diperlukan panduan teori guna merujuk pada keilmiahan proses pendalaman analisis
kajian. Teori yang dijadikan panduan adalah teori strategi guna melihat batasan
dimensi strategi yang meliputi perencanaan, keterbukaan, sifat dinamis dan
spontanitas langkah-langkah atau tindakan yang dilakukan, sosiologi dan perilaku
manusia dalam pembangunan. Sedangkan teori komunikasi untuk memberikan
batasan bagaimana proses komunikasi pembangunan secara verbal dan non verbal
dikirimkan, diterima, dan diberi arti. Teori strategi komunikasi ingin melihat
bagaimana perencanaan komunikasi dan manajemen komunikasi untuk mencapai
suatu tujuan dengan menunjukan bagaimana operasionalnya secara taktis harus
dilakukan dalam arti kata bahwa pendekatan
bisa berbeda sewaktu-waktu
bergantung dari situasi dan kondisi.
Teori komunikasi pembangunan ingin membatasi kajian pada pengertian
komunikasi pembangunan baik secara sempit mau luas, yakni cara, teknik
penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan pihak
memprakarsa pembangunan ditujukan kepada masyarakat luas agar memahami,
menerima, dan berpartisipasi dalam pembangunan mau lingkup peran dan fungsi
komunikasi dalam pembangunan. Teori identitas, perlu dilihat bagaimana Pesantren
Salafiyah Al-Munawar Bani Amin melihat identitas dan entitas dirinya dari cara-cara
menempatkan diri mereka secara sosial. Setiap identitas dan entitas elemen
masyarakat dalam pembangunan memiliki implikasi penting sebagai komunikator,
dimana dalam teori identitas, sebagian besar anggota masyarakat dari masing-masing
elemen itu pada umumnya memiliki pandangan sama bahwa mereka menerima
perlakuan tidak adil. Teori dramatisme mengonseptualisasikan kehidupan manusia
19
sebagai sebuah drama, dimana kritik yang timbul menempati posisi penting dalam
suatu adegan yang dimainkan oleh berbagai pemain di dalamnya dalam kerangka
menyingkap motivasi.
Metode penelitian yang digunakan adalah Pentad Analysis, sebuah metode
yang lahir dari penjabaran teori dramatisme (dikemukakan oleh Kenneth Burke)
sebagai bagian penting dan krusial dalam teori-teori komunikasi. Bila dicermati lebih
dalam, beberapa teori komunikasi ada yang langsung merekomendasikan secara
langsung terhadap penerapan metode penelitian yang definitif. Misalnya teori
interaksi simbolik, merekomendasikan metode penelitian kedalam dua bagian besar,
yakni inspeksi dan eksplorasi. Teori wacana merekomendasikan analisis wacana baik
yang bersifat konstruktif dalam framing atau yang kritikal seperti yang dikemukakan
Norman Fairclough, Ruth Wodak, dan Van Dijk. Teori semiotika merekomendasikan
analisis semiotika baik yang bersifat strukturalis seperti yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure, Charles Saunders Peirce, Umberto Eco atau postmodernisme
yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Teroi jaringan komunikasi
merekomendasikan analisis jaringan dan seterusnya (Blummer, 1969)
Prinsip-prinsip dramatisme adalah: pertama, subjek perhatiannya adalah
manusia, yang juga menjadi subjek dalam disiplin ilmu sosial lainnya. Observasi
terhadap manusia secara implisit ada dalam istilah-istilah yang digunakan untuk
mendefinisikannya. Istilah tersebut mempengaruhi ciri pengamatan (metode) dan
mengarahkan perhatian (focus of interest) pada satu bidang tertentu dan secara
otomatis mengabaikan segi yang lain. Fokus observasi terhadap subjek kajian
menjadi sesuatu yang sangat penting, para ahli politik misalnya menempatkan
manusia sebagai zoon politicon. Para sosiolog menempatkan manusia sebagai mahluk
budaya. Sedangkan Burke menempatkan manusia sebagai simbol using animal.
Manusia menurut teori dramatisme merupakan mahluk yang menggunakan simbol.
Simbolitas yang diciptakan, digunakan dan disalahgunakan manusia memberi ciri
khusus padanya yakni semacam kemampuan reflektif. Kapasitas reflektif ini
merupakan kapasitas yang oleh Hegel disebut sebagai kesadaran diri (self
consciousness) atau apa yang oleh Aristoteles sebut sebagai thougt of thougt. Dengan
simbol manusia melakukan refleksi, representasi, seleksi dan defleksi (pembelokan)
terhadap realitas.
Kedua, manusia adalah mahluk berkemampuan menggunakan dan
memanfaatkan simbol untuk melakukan abstraksi, konseptualisasi pikiran dan
gagasan. Hal ini menegaskan bahwa dimensi kapasitas manusia ditentukan oleh
komunikasi untuk melakukan kreasi, produksi, reproduksi simbol dan
pemanfaatannya termasuk penyalahgunaannya, disesuaikan dengan kepentingankepentingan yang dimilikinya. Contoh, untuk tujuan komunikasi politik, terlihat
dalam euphisme, labelling dan metafora. Artinya, makna terletak pada esensi sebuah
nama (simbol) dan penggunaannya. Kekuatan komunikasi adalah kekuatan
melakukan transformasi makna (Klumpp, 1993). Makna transformatif muncul dari
simbol yang digunakan dalam lingkup yang luas mau sempit pada proses dialektis
kehidupan. Dengan cara ini maka dapat diteliti makna dari istilah-istilah kunci,
menetukan makna kata dari asal usulnya, turunan kata untuk menunjukkan
ambiguitas serta perkembangan fungsionalnya. Manusia sebagai pengguna simbol
20
adalah mahluk rasional dengan kapasitas intelektual tertentu, terefleksikan ketika
berkomunikasi, terekspresikan dalam tindakan simbolik yang memiliki motif
tertentu.
Ketiga, konsep negativisme, adalah gambaran karakteristik manusia yang
menegasikan sesuatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Positif dan
negative sepenuhnya merupakan produk dari sistem simbol yang dipakai untuk
keperluan manusia. Negatif menegasikan sebuah kondisi atau keadaan tertentu.
Contoh, negativisme meja adalah bukan meja, terbuka – tertutup, sabar – pemarah.
Oleh karena harapan-harapan itu tidak terpenuhi, manusia dalam berkomunikasi
sering memoralisasi melalui negativisme. Contoh, tidak lulus dalam suatu jenjang
pendidikan, dinegasikan karena faktor-faktor lain. Langsung atau tidak langsung
negativisme menentukan tindakan komunikasi yang mencakup karakter yang meliputi
pilihan dan bentuk. Sedangkan pilihan dan bentuk itu menyertakan kesempurnaan di
dalam distingsi antara ya dan tidak. Artinya, setiap bentuk tindakan simbolik manusia
dalam berkomunikasi memiliki hubungan dengan landasan legitimasi dari sisi moral
dan etik (Suparno, 2010). Di dalam penggunaan tersebut terdapat istilah-istilah yang
merupakan antitesis yang tidak terbatas ya dan tidak, melainkan ada pasangan
antitesis yang sangat luas: asli-palsu, tertib-tidak tertib, hidup-mati. Jadi negativisme
ini menjelaskan bentuk determinasi yang menyatakan kondisi yang sebaliknya.
Keempat, simbol sebagai instrumen dalam tindakan komunikasi bertujuan
mengusung suatu kepentingan tertentu, hal ini berangkat dari premis bahwa manusia
selalu berupaya memenuhi segala keperluannya sebagai hoo faber (manusia pencipta)
dan homo economicus. Nilai instrumen simbol dan bahasa dengan sendirinya
menjelaskan perkembangan kapasitas manusia. Nilai instrumen bahasa ini juga
bertanggung jawab bagi kepentingan survivalitas bahasa itu sendiri. Dengan begitu
simbol, bahasa dan dalam arti yang lebih luas yakni komunikasi esensinya adalah
sebuah alat, yakni instrumen komunikasi manusia.
Kelima, dalam berkomunikasi ada kecenderungan ingin tampak sempurna dan
tanpa cela (spirit of hierarchy) sebagai refleksi diri seseorang untuk menunjukkan
kesempurnaan. Melalui cara itu, seseorang telah melakukan distingsi dan diferensiasi
berdasarkan hirarki yang mencerminkan berbagai situasi yang memperlihatkan
adanya jenjang seperti berkuasa – tidak berkuasa, berwenang – tidak berwenang,
rasional – tidak rasional. Menurut Payne (1990), hirarki dan kesempurnaan jelas
bersifat incremental atau bergradasi (ada peningkatan dan penurunan). Dengan
prinsip hirarki dan kesempurnaan, manusia mengembangkan keinginan untuk
menggunakan simbol secara memadai dan lengkap atau menggunakan simbol
tersebut untuk berkomunikasi secara distingtif.
Keenam, kehidupan manusia adalah drama bukan panggung sandiwara
sebagaimana dikatakan oleh Erving Goffman. Prinsip drama berada di dalam
tindakan dan prinsip viktimisasi. Negativisme sendiri digunakan untuk
mendefinisikan elemen apa yang perlu dikorbankan melalui cara berkomunikasi.
Viktimisasi mengambil dua bentuk, pertama mortification yakni mengembalikan halhal yang tidak diharapkan terjadi, karena kesalahan diri sendiri. Kedua, scapegoat
(kambing hitam) yakni mencari faktor ekstrnal yang bersalah sebagai penyebab
kenapa sesuatu yang diharapkan tidak terjadi. Dalam pandangan teori dramatisme,
21
viktimisasi sebenarnya merupakan bentuk kefrustasian dan tidak mencerminkan
sebuah visi. Simbol dan bahasa dalam drama diposisikan sebagai the art of delivery
yang memperlihatkan adanya berbagai bentuk antithesis antara situasi yang
diharapkan dengan situasi yang diharapkan tidak terjadi yang memunculkan aktoraktor protagonis dan antagonis. Di dalam drama kehidupan manusia masalah-masalah
dari situasi ini merupakan sumber-sumber motivasi dan tindakan-tindakan dari aktoraktor yang terlibat di dalamnya yang mencerminkan karakter dan pemikiranpemikiran tertentu.
Dramatisme ditandai dengan sejumlah situasi (scene) konflik dengan situasisituasi yang berbeda yang disimbolisasikan dalam bentuk plot atau alur. Plot
merupakan bentuk dasar setiap babakan drama yang mencerminkan tatanan insiden
(the arrangement of incidents, Ferguson, 1961). Bahasa dalam drama merupakan
tindakan simbolik dan berfungsi sebagai the art of delivery. Analisis dramatisme
mengarah kepada berbagai situasi yang terjalin ke dalam alur atau plot konflik dan
negatifisme melalui berbagai simbol. Atas dasar pokok-pokok konseptual dan
gagasan tersebut, Burke sebagai pencetus teori dramatisme merekomendasikan
sebuah metode penelitian terhadap teori ini, yakni Pentad Analysis.
Dramatisme memberikan cakupan metode yang dapat melacak implikasi
gagasan dalam tindakan komunikasi manusia sebagai mahluk yang secara khusus
dibedakan oleh tindakan itu. Dalam pengertian ini, dramatisme adalah skema dari
mode-mode yang diekspresikan dalam komunikasi manusia. Contoh, sidang DPR-RI
tentang pembahasan kebebasan informasi, dianggap sebagai drama. Situasi ini
menjadi sebuah scene. Sementara di dalam scene terdapat peristiwa dan aktor-aktor
yang terlibat yang melakukan tindakan komunikasi. Apa yang mereka nyatakan di
dalam berbagai situasi berbeda dapat merupakan sumber data untuk menganalisis
kasus-kasus tersebut sehingga akan tampak siapa yang memoralisasikan diri dan
siapa yang dikorbankan melalui tindakan – tindakan komunikasi mereka. Pandangan
dramatistik mengatakan bahwa bahasa sebagai hal yang primer, ekspresi sikap
seseorang dan tidak hanya ditempatkan sekedar instrumen definisi istilah tertentu.
Menurut Katherine Miller (2002), Pentad Analysis merupakan sebuah mode
analitik untuk mencermati keadaan-keadaan dalam kehidupan manusia dalam rangka
mengetahui motif tindakan komunikasi melalui telahaan: what was done (act), when
or where it was done (scene), who did it (agency) dan why (purpose). Lima unsur
inilah yang kemudian disebut dengan Pentad Analysis. Scene mencakup konsep
tentang latar belakang atau nama bagi berbagai situasi di mana agen/sang aktor
melakukan tindakan. Agent, adalah seeorang atau orang-orang yang menampilkan
tindakan. Agent adalah seseorang dapat menempatkan pernak-pernik personal yang
menyertai nilai motivasional seperti gagasan, keinginan, ketakutan, kadang semakin,
institusi, imajinasi dan ekspresi personalitas lainnya. Act, bersumber dari dua hal,
yaitu karakter dan pemikiran. Agency-purpose dramatisme adalah instrumen yang
digunakan manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam hubungannya dengan purpose,
maka agency merupakan fungsi dari tujuan. Artinya, hubungan antara agency dan
purpose merupakan hubungan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip kegunaan dan
prinsip-prinsip keinginan.
22
Pentad Analysis dalam pandangan teori dramatisme adalah grammar dari
motif (grammar of motives) yang memberikan perhatian pada istilah-istilah dimana
potensi-potensi dari penggunaan istilah-istilah tersebut terdapat dalam pernyataan
aktual. Secara lebih luas grammar of motives dapat mendesain landasan filosofis
dalam suatu pernyataan yang bersifat sporadis, kontemporer atau secara sistemik,
dorongan motif dapat dipertimbangkan sebagai fragmen dari sebuah filsafat yang luas
yang secara tajam kedudukan manusia sebagai mahluk komunikasi.
Kesimpulan dari metode Pentad Analysis adalah metode yang didesain untuk
menunjukkan jalur terhadap relasi-relasi kepentingan dan motif-motif humanistik
serta fungsi-fungsi dari istilah-istilah yang dipakai manusia. Metode ini menawarkan
sebuah cara untuk menentukan mengapa tiap tindakan individu di dalam suatu
kejadian atau konteks tertentu menyeleksi strategi komunikasi di dalam memberi
pernyataan-pernyataannya di dalam mengidentifikasi situasi yang dihadapinya.
Tujuan dari Pentad Analysis adalah memberi perhatian terhadap unsur-unsur act,
agent, scene, agency dan purpose yang ditujukan untuk menunjukkan bagaimana
fungsi-fungsi simbol yang mereka desain, bekerja di dalam penyertaan motif-motif
dari tindakan simbolik tersebut. Setiap konsep dari elemen Pentad Analysis dalam
implementasinya dapat diluaskan atau disempitkan. Hubungan-hubungan dari setiap
elemen Pentad Analysis akan menyumbangkan analisi-analisis baru dan tajam untuk
melihat motif dari tindakan simbolik manusia. Hubungan semacam ini (rasio)
merupakan determinasi dalam arti hubungan antar elemen saling menentukan yang
menjelaskan hubungan kausalitas.
Metode Pentad Analysis ini kemudian digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis materi peneitian pada pembahasan deskripsi subjek penelitian, pola
komunikasi, peran dari Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, dan strategi
komunikasi Pesantren Salafiyah ini.
Download