hasil penelitian hasil hutan bukan kayu

advertisement
ISBN 979-3132-14-0
ABSTRAK
HASIL PENELITIAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Edisi I
Penyusun:
Drs. Lukman Nulhakim, MM
Cece Hediana, SE
Drs. Mardiansyah
Indah Rahmawati, Amd.
Penyunting:
Dr. E. Suwardi Sumadiwangsa, MS
Ir. Totok K. Waluyo
DEPARTEMEN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN
BOGOR, SEPTEMBER 2005
KATA PENGANTAR
Abstrak Hasil Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu diterbitkan
dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyebarluasan
informasi hasil penelitian di bidang hasil hutan bukan kayu. Terbitan ini
merupakan edisi pertama abstrak hasil penelitian hasil hutan. Pada edisi
pertama ini diuraikan mengenai informasi hasil penelitian hasil hutan
bukan kayu mulai tahun 1972 sampai tahun 2004. Namun demikian
masih banyak hasil-hasil penelitian lain yang belum masuk dalam buku ini
karena belum tersusun abstraknya, dan mudah-mudahan dapat
dimasukkan dalam edisi berikutnya.
Abstrak hasil penelitian HHBK ini baru mencakup 7 kelompok
jenis HHBK, 25 komoditi dari 96 judul tulisan. Sumber abstrak diambil
dari publikasi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan yang terdiri dari Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Info Hasil
Hutan, Buletin Penelitian Hasil Hutan, Laporan dan lain-lain.
Kritik dan saran perbaikan baik dari para pengguna, pakar maupun
pustakawan sangat kami harapkan untuk penyempurnaan di masa yang
akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyusunan buku ini, semoga buku ini berguna dan
dapat dimanfaatakan dengan sebaik-baiknya.
Bogor, September 2005
Kepala Pusat,
Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS
NIP. 080036705
PETUNJUK PEMAKAIAN
CONTOH:
001 1/1, 2005 2
Pembuatan Minyak Cendana dengan Cara Penyulingan Uap Langsung
(Manufacturing of sandahwood oil by using direct steam distilation method )3. Oleh:
Erik Dahlian & Hartoyo4. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6) 1998: 385
– 394 5. Pusat Litbang Hasil Hutan6. Bogor7.
Penelitian pembuatan minyak cendana dengan menggunakan
destilasi uap langsung dibahas dalam tulisan ini. Tujuan penelitian ini
untuk menemukan kondisi optimum perlakuan bahan baku dan lama
penyulingan untuk menghasilkan rendemen minyak yang tertinggi dan
kualitas yang baik.
Perlakuan terhadap ukuran partikel kayu yang digunakan ada 3
macam masing-masing lolos saringan 40 mesh, terhadap saringan 40
mesh dan campuran partikel kayu dari 50% lolos 40 mesh dan 50%
tertahan 40 mesh. Proses destilasi untuk setiap perlakuan dilakuk an
selama 25 jam di dalam alat gelas yang berkapasitas 500 gr contoh dalam
bentuk serbuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan ukuran partikel
dan lama penyulingan memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak.
Rendemen minyak tertinggi adalah 2,25% diperoleh dari hasil
penyulingan selama 21 jam terhadap campuran 50% partikel kayu
berukuran lolos saringan 40 mesh dan 50% tertahan saringan 40 mesh.
Besarnya rendemen tersebut setara dengan rendemen minyak cendana
yang diproduksi dari pabrik minyak cendana di Kupang yaitu berkisar 2 3%.
Analisis fisiko-kimia minyak cendana menunjukkan hasil sebagai
berikut: kadar total santalol sebesar 93,32%, berat jenis 0,9729, indek bias
1,5006, bilangan asam 4,94, bilangan ester 6,35, bilangan ester setelah
asetilasi 201,9 dan nilai tersebut semuanya memenuhi syarat SNI.
Kandungan santalol minyak cendana dari hasil percobaan (93,32%)
menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada persyaratan SNI (minimal
90%). Kendatipun demikian sifat lain seperti putaran optik (-11°) dan
kelarutan dalam alkohol 70%, (1 : 6) masih belum sesuai dengan
spesifikasi SNI yang menyatakan untuk putaran optik (-15°) - (-200 o) dan
kelarutan dalam alkohol 70% (1 : 5). -------------------------------------------------------------------------------8
Kata kunci: Minyak cendana, metode destilasi, ukuran partikel kayu,
rendemen & kualitas9
Keterangan:
1. Nomor urut abstrak
2. Edisi, tahun terbit abstrak
3. Judul bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris
4. Pengarang
5. Nama terbitan, volume (nomor) tahun : halaman
6. Penerbit
7. Kota terbitan
8. Abstrak (Abstract)
9. Kata kunci
I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan aneka ragam hayati yang luar biasa,
terbesar ketiga setelah Brazilia dan Zaire atau bahkan terbesar pertama
bila biota laut ikut diperhitungkan. Di Indonesia tumbuh sekitar 30.000 40.000 jenis tumbuhan yang menyebar di seluruh kepulauan. Di antara
ribuan jenis tumbuhan yang tumbuh di Indonesia, sebagian di antaranya
merupakan penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai
jual yang cukup potensial, dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan
masyarakat lokal bahkan sebagai sumber devisa negara. Dengan semakin
berkurangnya hasil hutan berupa kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu merupakan pilihan yang bijaksana dalam upaya pemanfaatan hutan
secara lestari.
FAO (2000) mendefinisikan bahwa HHBK adalah barang (goods)
yang dihasilkan benda hayati selain kayu yang berasal dari hutan atau
lahan sejenis.
Jenis-jenis HHBK meliputi: resin, minyak atsiri, minyak lemak,
tanin, karet alam, rotan dan bambu, pati dan buah-buahan.
Resin: Gondorukem, kopal, damar, kemenyan, gaharu, kemendangan,
shellak, jernang, embalau, frankensence, kapur barus, balam dan
sebagainya.
Minyak atsiri: Gondorukem, kopal, damar, kemenyan, gaharu,
kemendangan, shellak, jernang, embalau, frankensence, kapur barus,
balam dan sebagainya.
Minyak lemak: Tengkawang, kemiri, (jarak), wijen, saga pohon, minyak
buah merah, kenari, minyak intaran, (lilin lebah).
Pati dan buah-buahan: Sagu, telur terubuk, nipah, lontar, aren, iles-iles,
nira, ubi, makadamia, buah merah, asam, mente, burahol, sukun, gadung,
rebung, umbut, saga, (jamur, madu), garut, kolang-kaling, suweg.
Tanin dan bahan pewarna: Akasia (mangium), bruguiera, rizhophora,
pinang, gambir, tingi, saninten, kayu kuning, secang, soga, nila, angsana,
niri, segawe, kesambi, ketapang.
Karet dan getah: Jelutung, perca, ketiau, getah merah, hangkang, getah
pinus, karet hutan, sundik, gemor, kiteja.
Rotan dan bambu: Aneka jenis rotan, bambu dan nibung.
Tumbuhan obat: Aneka jenis tumbuhan obat asal hutan (medang landit,
raru).
Tumbuhan hias: Anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis pohon
indah.
Hasil hewan: Shellak (sarang burung, sutera alam, madu, lilin lebah,
buaya, ular, telur, daging ikan, burung tanduk, tulang kulit, taring gigi,
aneka hewan yang tidak dilindungi).
Jasa hutan: Air, udara bersih, rekreasi/ekoturisme, penyangga ekosistem
alam.
Ragam pohon penghasil HHBK (Sumadiwangsa dan Mas’ud, 2002)
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Pohon khusus penghasil HHBK antara lain: cendana, gaharu, sagu,
rotan, aren, sukun, bambu, jernang, kemenyan, kayu putih, kayu
manis, gambir, kilemo, pinang, gemor, masohi, kuli lawang, sutera
alam, madu, aneka tumbuhan obat dan tanaman hias.
2. Tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dipakai sebagai tanaman
tumpangsari atau tanaman sela: nilam, lada, kopal, jahe, akar wangi,
pasak bumi, tabat barito, vanili, ubi, sereh dapur, sereh wangi, jarak,
wijen, gadung, iles-iles, garut, talas, suweg, anggrek dan tanaman obat
lainnya.
3. Pohon penghasil HHBK dan kayu, terdiri dari:
a. Pohon penghasil buah-buahan, seperti: macadamia, burahol,
duren, dukuh, dan buah-buahan lainnya.
b. Penghasil biji, seperti: tengkawang, kemiri, saga pohon, kenari,
pala, nimba, genitri, kelor, lerak, picung, mente dan kesambi.
c. Penghasil bahan karet seperti: jelutung, hangkang, perca, ketiau,
getah merah, balam dan lame.
d. Penghasil bahan aris (resin), seperti: agathis, shorea, hopea, pinus
dan kemenyan.
e. Penghasil minyak atsiri atau bahan obat, seperti: keruing, kilemo,
kayu putih, masohi, lawang, ylang-ylang, kenanga, eucalyptus,
kayu manis, cassia, lame, bakau-bakau dan akasia.
II. ABSTRAK (ABSTRACT)
A. Karet dan Getah
1. Getah Jelutung
001/1, 2005
Pengaruh Lingkaran Pohon dan Lebar Torehan terhadap Hasil Getah
Jelutung (Dyera lowiii) di Kalimantan Tengah (The Effect of Tree Girth and
Tapping width on the Yield of Jelutung (Dyera lowii) Latex in Central
Kalimantan) Oleh: Zulnely, Tati Rostiawati dan Ihak Sukardi. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 16 (1) 1998: 49-60. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Getah jelutung diperoleh dari pohon jelutung (Dyera lowii) dan
merupakan komoditas ekspor. Penelitian yang dilakukan di Palangkaraya,
Kalimantan Tengah bertujuan untuk mengetahui pengaruh lingkaran
pohon dan lebar torehan terhadap getah jelutung yang dihasilkan. Jumlah
pohon yang diamati dalam penelitian ini sebanyak 60 batang dengan
parameter yang diamati adalah lingkaran pohon (X 1) lebar torehan (X2)
serta getah yang dihasilkan (Y). Data dianalisis dengan menggunakan
regresi linear ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik lingkaran pohon jelutung
maupun lebar torehan memberikan pengaruh yang nyata secara positif
terhadap hasil getah, menurut persamaan regresi berganda (dalam bentuk
transformasi ln) yaitu: Ln Y = 4,45 + 0,0102 X 1 + 0,00628 X2. Hal ini
berarti hasil getah dapat diduga dari lingkaran pohon dan lebar torehan.
Kata kunci: jelutung, penyadapan, hasil getah.
002/1, 2005
Pembuatan Permen Karet dari Jelutung (Chewing-Gum Making from Jelutong)
Oleh: R. Sudradjat Laporan (170) 1984: 19-28. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The material base for chewing-gum was jelutong exudate. Before
mixing the exudate is coagulated by alumn and acetie acid, and by NaOH
at 2,5% and 5% levels. Other materials such as sugar, glucose, syroop,
calcium carbonate, amylum, palm butter in form of C1 or C2 formula are
usually added to improve taste and flavor.
Jelutong coagulated by acetic acid offers better quality than that of
alumn as was indicated by the high rubber content, low dust and ash. The
water content were from 1,91 to 2,90%. Ash content of 1,16 -1,84%
organoleptic value were 4,0 - 5,79 and haramful mineral was negatif.
The ash content of jelutong chewing-gum coagulated by 20% acetic
acid was higher than that of 10%. The use of 5% of (NaOH) tends to
decrease moisture but increases the ash content. Ash content also
increases by using the palm butter B formula than the A formula.
Organoleptic properties is still inferior to that of commercial chewinggum.
Keywords: jelutung, pembuatan permen karet.
2. Getah Pinus
003/1, 2005
Pengaruh Kadar Stimulan terhadap Produktivitas Getah Pohon Pinus
(Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) pada Berbagai Tingkat Umur di
Daerah Sumedang, Jawa Barat (The Effect of Stimulant Percentage on
Productivity of Pine Gum from Pine (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Trees
at Different Age Levels, Growing in Sumedang, West Java). Oleh: Erra
Yusnita, S. Sumadiwangsa, Dendi Setyawan dan Erik Dahlian. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 19 (3) 2001: 165-174. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Pohon tusam (Pinus merkusii Jungh et de. Vriese) merupakan salah
satu jenis tanaman hutan yang memegang peranan penting dalam
berbagai bidang industri, karena selain menghasilkan kayu juga
menghasilkan getah.
Pada proses penyadapan pohon untuk menghasilkan getah, faktor
yang dapat berpengaruh terhadap produksi getah adalah genotip, asal
pohon umur, diameter pohon, cara penyadapan, macam dan kadar bahan
perangsang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur, kadar
stimulan dan diameter pohon terhadap produktivitas getah pinus.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh lain yang diduga
berpengaruh terhadap produktivitas getah seperti arah mata angin
penyadapan. Sasarannya adalah untuk mengetahui cara penyadapan yang
paling efisien, ekonomis dan aman terhadap pohon dan para penyadap
dengan hasil produksi getah optimum dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pohon sangat
berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pohon yang berumur 16, 26
dan 31 tahun, masing-masing menghasilkan getah sebesar 50,15 gram,
81,94 gram dan 9,17 gram per pohon. Pemanenan getah pinus untuk
tegakan pohon umur 16 tahun, penggunaan kadar stimulan yang
menghasilkan getah optimum adalah 15 atau 20% dengan arah sadapan
Timur. Tegakan pohon umur 26 tahun dengan penggunaan kadar
stimulan 15% dengan arah sadapan Selatan atau Utara. Sedangkan unluk
tegakan pohon umur 31 tahun hasil getah optimum pada pemakaian
kadar stimulan 25% dengan arah sadapan Barat.
Kata kunci: getah, produktivitas, kadar stimulan, umur pohon.
004/1, 2005
Pengujian Kwalitas Gondorukem. Oleh: Bambang Djatmiko, Suwardi
Sumadiwangsa dan Semangat Kataren. Laporan (10) April 1972. Lembaga
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
The qualiti of Indonesia pine rosin has been determinasi by a very
simple way on the basis of its color, opacity, purities and brittleness. This
method, however, have been praticed for quite sometime although it
rendered several disadvantageous in grading of the products. To cope
with the expanding market of pine rosin, a more accurate determination
is keenly required. This could only be achieved by enforcement of
measuring cartain devices.
In this study, the pine rosin characteristics covering determination
of color, impurities, unsaponifiable matter, melting point, brittleness,
turpentine content, acid value, saponification number and iodine value
were thoroughly investigated. It was found that the last three characters
exhibited values at a certain range. Also, a correlation analysis concluded
that melting point and color could favourably determine the quality. A
color standard containing solution of caramel in water has been prepared
for color determination as suggested by Gardner.
Based on the melting point and color, the Indonesian pine rosin
was classified into 4 groups. Each of which having acid values range from
159.8 to 191.7; saponification numbers 169.0 to 209.4 and the iodine
values by Hanus method was from 27.12 to 51.53.
Keywords: gondorukem, kwalitas.
005/1, 2005
Pengaruh Gondorukem terhadap Kualitas Sabun Cuci. Oleh: Sudradjat.
Laporan (182) 1982: 31-35. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Washing soap were made using eight different raw material
compositions cosisting of coconut oil, palm oil, and varying contents of
pine rosin. The soaps were classified into three groups, ie. T3, T4 and T5.
The results indicated that raw material composition affects all
soap’s properties while grouping affects only total fatty acid. Soaps
containing 100% rosin showed the lowest moisture content. Soaps with
0%, 50% and 75% rosin contained the lowest unsanpinified fatty acid.
Except for composition containing 50% rosin, all compositions resulted
in the lkow free alkali. High total fatty acid was indicated by all
compositions but the one containing 10% rosin.
Keywords: gondorukem, kualitas, sabun cuci.
006/1, 2005
Pengolahan dan Pengawasan Kwalitas Godorukem dan Terpentin. Oleh:
Toga Silitonga, Suwardi Sumadiwangsa dan Sutarna Nayasaputra .
Laporan (9) Maret 1973. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
This paper is a review of the past work on pine gum distillations. It
describes the endeaver to acquire better quality of pine resin and
tupentine, and in due course, to attain a stable quality of the products.
Pine resin is presentyly revealing its significant potentials in the economy
of pine forests in Indonesia. Conversely, the low and apparently unstable
quality of the pine resin has come out to be a limitation in its use
consequently in its marketability. It is the purpose of this study to present
a scientific approach to the portaining problems. This study revealed that
precleaning systems the gum and instalation of devices for measuring
duration and temperature throughout the process have a positive hearing
on the quality of pine resin and turpentine. Such measures will also result
in a more stablke quality of the products.
Keywords: godorukem, terpentin, kwalitas.
007/1, 2005
Kualitas Gondorukem Jawa Tengah dan Perubahannya Selama
Penyaringan. Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (119) Maret 1978.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
The study reported in this paper dealt with the testing of the
physico-chemical properties of gum rosin from 12 plants in Central Java.
Properties tested included colour, softening point, and acid number.
It was thought that filtration of liquid rosin at the end of processing
line ehich takes one to cwo hours at high temperature might degrade the
rosin quality.
The results showed that the physico-chemical properties and quality
of rosins varied from plant to plant. There was to indication of quality
change due to filtration process.
Keywords: gondorukem, kualitas, penyaringan.
008/1, 2005
Penurunan Kualitas Gondorukem Selama Penyaringan di Jawa Timur
(Degradatition of Resin Quality During Filtration in East Java). Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa & Toga Silitonga. Laporan (87) Mei 1977: 9 halaman.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
The study has been conducted in three rosin factories in East Java
namely Campurejo, Pulung and Kare in 1973. The rosin factories aat
Pulung and Kare have an intake capacity of about 350 kg and Campurejo
has about 1.000 kg of pine gum per batch respectively.
Gum is processed by the fire still pocess which comprises of there
stage namely preheating, distillation and rosin filtration. Each stoge
endure three, seven and two hours respectively.
There is during the filtration stage a tendency of quality degradation
especialilly with regard to colour due to isomerization and browning
reaction of resin acid.
Keywords: gondorukem, kualitas, penyaringan.
009/1, 2005
Pengaruh Diameter Pohon, Umur dan Kadar Stimulan terhadap
Produktivitas Getah Tusam (Pinus merkusii Jungh et. de. Vries) (The Effect
of Pine Trees (Pinus merkusii Jungh et.de.Vries) Diameter, Ages, and Dosages of
Stimulant on the Productivity of Their Exudates). Oleh: R. Sudradjat, Dendi
Setyawan & S. Sumadiwangsa. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (2) 2002:
143-158. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan.
Bogor.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah pengaruh diameter pohon,
umur, kadar stimulan dan periode pemungutan terhadap produktivitas
getah tusam yang dihasilkan pada petak dan beberapa jalur pengamatan.
Penelitian dilakukan pada tiga buah petak sadapan (petak I umur 15
tahun, petak II umur 18 tahun dan petak III umur 24 tahun) dimana
masing-masing petak dibagi dalam beberapa jalur pengamatan.
Pada petak I, keragaman produksi rata-rata pada jalur pengamatan
berkisar antara 120,25 – 44,63 gram/pohon/periode. Produksi rata-rata
tertinggi dicapai pada pemakaian kadar stimulan 15% (80,08 gram/
periode/pohon), diikuti oleh pemakaian kadar stimulan 20% (76,76
gram/pohon/periode), kadar stimulan 10% (61,79 gram/pohon/periode)
dan terkhir tanpa pemakaian stimulan (47,81 gram/pohon/periode).
Hubungan antara diameter pohon dengan tingkat pemakaian kadar
stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap produktivitas rata-rata
getah tusam adalah garis lurus.
Pada petak II, produksi rata-rata getah tusam tertinggi dihasilkan
pada periode pemungutan kedua (62,89 gram/pohon), diikiuti oleh
periode ketiga (56,32 gram/pohon) dan selanjutnya periode pertama
(47,71 gram/pohon. Keragaman produksi rata-rata jalur pengamatan
berkisar antara 81,97 – 39,21gram/pohon/periode. Produksi rata-rata
tertinggi dicapai pada pemakaian kadar stimulan 20% (68,08 gram/
periode/pohon), diikuti oleh pemakaian kadar stimulan 10% (54,04
gram/pohon/periode), kadar stimulan 15% (52,15 gram/pohon/periode)
dan terakhir tanpa pemakaian stimulan (48,35 gram/pohon/periode).
Sama seperti petak I, hubungan antara diameter pohon dengan tingkat
pemakaian kadar stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap
produktifitas rata-rata getah tusam adalah garis lurus.
Pada petak III, produksi rata-rata terbesar dihasilkan pada periode
pemungutan ketiga (50,71 gram/pohon), disusul oleh periode kedua
(49,89 gram/pohon) dan selanjutnya periode pertama (43,56 gram/
pohon). Keragaman produksi rata-rata pada jalur pengamatan berkisar
antara 63,84-36,06 gram/pohon/periode. Produksi rata-rata tertinggi
dicapai pada pemakaian kadar stimulan (42,17 gram/pohon/periode).
Hubungan antara diameter pohon dengan tingkat pemakaian kadar
stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap produktivitas rata-rata
getah tusam cenderung linier.
Semakin tinggi (tua) umur pohon yang digambarkan dengan
pembagian petak, cenderung (18 tahun) masing-masing sebanyak 71,46
gram/pohon dan 46,07 gram/pohon, relatif lebih banyak dari produksi
getah pada petak III (24 tahun) sebanyak 41,17 gram/pohon.
Kata kunci: pohon tusam, umur, diameter, kadar stimulan, periode
pemungutan, pembagian jalur, produktivitas, getah tusam.
010/1, 2005
Pengaruh Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Hasil
Penyulingan Getah Pinus dari Sumatera Barat (Effect of Storage on the
Quality of the Processed Product of Pine Resin from West Sumatra ). Oleh:
Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti & Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 21 (1) 2003: 45-54. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Getah Pinus (Pinus merkusii) merupakan salah satu produk HHBK
dari Provinsi Sumatera Barat. Getah ini diperoleh dengan cara
penyadapan sistem koakan yang disertai pembakaran ringan untuk
membantu memperlancar keluarnya getah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh wadah dan lama penyimpanan getah pinus yang
diperoleh dari penyadapan tersebut terhadap rendemen dan kualitas hasil
pengolahannya.
Penyulingan getah yang disimpan dalam wadah besi-plastik
menghasilkan rendemen gondorukem antara 58-63%, sedangkan
rendemen minyak terpentinnya berkisar antara 20-26%. Penyulingan
getah yang disimpan dalam aluminium-plastik menghasilkan rendemen
gondorukem yang berkisar antara 57-63% dan minyak terpentin yang
berkisar antara 22 - 27%. Sidik ragam menjelaskan bahwa wadah plastik
berpengaruh sangat nyata, sedangkan waktu penyimpanan getah
berpengaruh nyata terhadap kadar abu gondorukem lebih kecil
dibandingan kadar abu gondorukem yang dihasilkan dari pengolahan
getah yang disimpan dalam wadah besi-plastik. Penyimpan getah pinus
dalam wadah aluminium-plastik sampai 6 minggu masih memenuhi
persyaratan kualitas prima atau setara dengan kualitas WW, sedangkan
penyimpanan getah pinus dalam wadah besi-plastik hanya sampai 4
minggu yang memenuhi persyaratan tersebut. Perpanjangan waktu
penyimpanan getah pinus mengakibatkan penurunan kualitas hasil
penyulinganya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa wadah besi plastik
masih dapat digunakan untuk menyimpan getah sampai dengan 6 minggu
karena kualitas yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI.
Kata kunci: getah pinus, waktu penyimpanan, tempat penyimpanan,
gondorukem, sifat fisiko-kimia.
011/1, 2005
Analisis Kimia Daun Pinus dan Pemanfaatannya (Chemical Analyses of Pine
Needles and Their Utilization). Oleh: Bambang Wiyono & Abdul Hakim
Lukman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 125-128. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
At present, pine needles have no commercial value. The needles are
fire hazard to both natural and plantation grown trees when they
accumulate on the ground, couple with inhibition of the growth of the
surrounding trees. The research purpose is to determine chemical
component of pine needles of three pine i.e Pinus merkusii, P. caribaea, and
P. insularis. This endeavor is conducted to explore a wider of such
material.
The results indicated that the moisture content of P. merkusii. P.
caribaea, and P. insularis needles were 4.69%, 3.54%, and 14.79%
respectively; cellulose content being 12.31%, 17.19%, and 18.54%; lignin
content 29.46, 39.54, and 26.65%; pentosan content 7.04%, 5.78%, and
12.11%; ash content 3.06%, 2.40%, and 7.30%; silica content 0.44%,
0.48%, and 0.19%; acidity 5.32, 5.33, and 6.15; solubility in cold water
23.38%, 23.09%, and 17.84%; solubility in hot water 26.51, 29.62, and
17.82%; solubility in alcohol-benzene (1 : 2) 19.30, 19.14, and 11.08%.
Based on this component, the pine needless may be utilized as sources
of raw material for production of glucose, fructose, ethanol, ethylene,
pine needle oil for pharmaceutical and perfumary industries, etc. The
needles can also be used as raw material for gasification and anaerobic
fermentation processes for energy production.
Keywords: daun pinus, analisis kimia, pemanfaatan.
012/1, 2005
Effect of Supercritical CO 2 Extraction Temperature on the Yield of
Waxes of Radiata Pine (Pinus radiata D.Don) Needles (Pengaruh Suhu
Ekstraksi Superkritikal Fluida CO 2 Pada Rendemen Lilin dari Daun Pinus
Radiata). Oleh: Bambang Wiyono dan P.J. Jordan. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 12 (5) 1994: 175-179. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Teknologi ekstraksi superkritikal fluida merupakan teknologi yang
relatif baru yang saat ini sedang dikembangkan, terutama dalam ektraksi
senyawa kimia. seperti minyak atsiri, dari produk alami. Penelitian ini
bertujuan untuk mengekstraksi lilin dari daun Pinus radiata D. Don
dengan teknologi eksrtaksi superkritikal fluida CO 2 pada tekanan
ekstraksi 30 MPa dan pada beberapa tingkat suhu ekstraksi (40, 56 dan
72°C) selama 30 menit. Lilin ditangkap oleh perangkap dingin pertama
dengan kondisi tekanan sedang 6-7 MPa dan 12-13 MPa, dan suhu 0°C.
Sisanya ditangkap oleh perangkap dingin kedua pada kondisi tekanan
sedang 0,1 MPa dan suhu 0°C.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi
pada tekanan sedang 6-7 MPa menyebabkan rendemen yang dihasilkan
menurun, baik yang diperoleh dari perangkap dingin pertama maupun
kedua. Pada tekanan sedang 12-13 MPa, rendemen yang dihasilkan mulamula turun, kemudian naik pada suhu ekstraksi 72°C, terutama pada
perangkap dingin pertama. Penyebab peningkatan rendemen ini adalah
setiap habis ekstraksi, pipa dan katup dimana lilin terperangkap di situ
tidak dibilas dengan pelarut khloroform atau dibilas dengan cara
diekstraksi lagi dengan superkritikal fluida tanpa sampel di sel ekstraksi.
Untuk menunjang hasil penelitian ini, lilin hasil ekstraksi metode
superkritikal fluida perlu dianalisis dengan metode High Performance
Liquid Chromatography (HPLC).
Keywords: daun pinus radiata, suhu ekstraksi, rendemen lilin.
013/1, 2005
Ekstraksi Lilin Daun Pinus dengan Teknologi Superkritikal Fluida CO 2
(Extraction of Pine Needles' Waxes by Using Supercritical Fluid CO 2 Technology).
Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (7) 1995: 283292. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
The objectives of this research is to study the influence of flushing
activities on crude waxes yield, and to study the extraction of waxes from
pine needles by using supercritical fluid CO 2 technology. The extraction
was carried out at an 40°C extraction temperature and at various
extraction pressures, consisting of 9,14,24 and 30 MPa. Crude waxes
were precipitated in the first cold trap at 6-7 MPa intermediate pressure
and 0°C, and the rest of it was precipitated in the second cold trap at an
0,1 MPa with a similar temperature. After extraction, it was always
followed by flushing activities through two steps to get waxes which still
remained in the valves and or in the line on the system. First flushing was
performed with supercritical fluid extraction without any sample in the
extraction cell. The second flushing was conducted with a chloroform
solvent. Pure waxes of were purified and analysed by using High
Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Results indicated that the flushing activities with supercritical fluid
extraction without any sample in the extraction cell followed by a
chloroform solvent had agreat effect on crude waxes yield. At a 30 MPa
extraction pressure and at an 40°C extraction temperature, supercritical
fluid extraction with flushing gave crude wax yield four time greater than
the crude waxes yield obtained by supercritical fluid extraction without
any flushing, even to the crude waxes yield from the chloroform solvent
extraction. The increase in extraction pressure caused an increase in crude
waxes, both obtained from the first and the second cold traps. Moreover,
HPLC analysis of pure waxes revealed that the elution of pure waxes
took 3.70 -3.90 minutes. It was also shown that an increase in extraction
pressure led to an increase in pure waxes.
Keywords: daun pinus, ekstraksi lilin, teknologi superkritikal fluida.
014/1, 2005
Pengaruh Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Hasil
Penyulingan Getah Pinus dari Sumatera Barat (Effect of Storage on the
Quality of the Processed Product of Pine Resinfrom West Sumatra). Oleh:
Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti dan Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 21 (1) 2003: 45-54. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan.
Bogor.
Oleoresin of pine (Pinus merkusii) is a Non Wood Forest Products
commodity from West Sumatra. This oleoresin was obtained by tapping
pine trees with square system followed by light burning to stimulate more
oleoresin exudate to bleed. This research was carried out to assess the
effect of storage time and kind of plastic laminated container for pine
resin collected from the field with square tapped method, on rosin
recovery rate and its physico-chemical properties.
Prior to distillation.. the pine oleoresin was kept in two kinds of
containers.. i.e. plastic laminated steel and plastic laminated aluminium.
The distillation of pine oleoresin kept in plastic laminated container
produced about 58-63% of rosin and 20-26% of turpentine oil,
respectively. Meanwhile, the distillation products of pine oleoresin
previously kept in plastic laminated aluminium amounted to 56-63% of
rosin recovery and 22-27% of turpentine. Analysis of variance of the
experimental results indicated that container and storage time caused
significant effect on ash content of rosin. The ash content of rosin from
pine oleoresin after being kept in plastic laminated steel container was
somewhat lower than that of the one being kept in plastic laminated steel
container. The storage time of pine oleoresin up to 6 weeks in aluminium
container could produce the rosin still comply with its prime quality and
equivalent to WW (Water White) quality of rosin. Meanwhile, the storage
time of pine oleoresin in steel container could last only for 4 weeks to
meet the requirement to produce at such quality. The prolonged storage
time of pine oleoresin caused the decrease in rosin quality.
It is concluded that a plastic laminated container can be used to
keep pine oleoresin up to 6 weeks, and still rendering a prime quality
rosin based on the Indonesian National Standard.
Key word: pine oleoresin, storage time, plastic laminated container, rosin,
physico-chemical properties.
015/1, 2005
Pengaruh Anhidrida Asam Maleat terhadap Sifat-sifat Sabun
Gondorukem (The Influence of Maleic Unhydride Acid on Rosin Soap Properties).
Oleh: Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (4) 1988: 173 -176.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Levopimaric acid, with its two double bonds conjugated in the
same ring, can react with -, - unsaturated carbonyl compounds in a
Diels-Alder reaction. This reaction is the basis for preparation of fortified
rosin soap by addition of maleic unhydride. The research purpose is to
study the influence of maleic unhydride addition on moisture content,
total rosin, combined rosin, free rosin, and unsaponifiable matter of rosin
soap properties.
Results indicate that the inclusion of maleic unhydride during the
soap making process has a highly significant effect on the overall rosin
soap properties. Furthermore, the LSD test of the difference between
unfortified and fortified rosin soap properties appeared to be highly
significant in favor of the fortified one. Therefore, it is advisable to
fortified rosin soap for better and efficient result in the rosin size
manufactures.
Keywords: gondorukem, anhidrida asam maleat, sifat sabun.
016/1, 2005
Pengaruh Jenis Pelarut Organik dan Umur Daun Pinus terhadap
Rendemen Lilin (Effect of Organic Solvents and Pine Needles Age on Wax
Yields). Oleh: Bamhang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (2)
1995: 52-59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
The objective of this research is to study the effect of organic
solvents and pine needles’ age on wax yields. The organic solvents used
in extracting wax consisted of chloroform, n-hexane and ethanol;
however, the radiata pine needles' age used as raw materials for the
extraction were primary pine needles (one year old or less), secondary
pine needles (two or more years old), and mixture of both. The data were
analyzed with an A x B factorial design, where A represented organic
solvents and B depicted pine needles' age. The difference between means
of wax yields calculated with an LSD method in the SAS computer
packages.
Result showed that organic solvents, pine needles' age and the
interaction of both gave a highly significance on wax yields. Compared
to the other combinations, a combination of a chloroform solvent and
secondary pine needles produced the highest of wax yield. A wax yield
obtained by, extracting secondary pine needles was statistically similar to
a wax yield obtained from a mixture of both primary and secondary pine
needles. A chloroform solvent is a good solvent to extract pine needle
waxes from any kind of pine species.
Keywords: daun pinus, pelarut organik, rendemen lilin.
017/1, 2005
Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Rendemen Lilin Daun Tusam
(Pinus Merkusii Jung Et De Vriese). Oleh: Bambang Wiyono. Info Hasil
Hutan 3 (2) 1996: 23-28. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Sampai saat ini daun Pinus merkusii Jung et De Vriese belum banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, antara lain untuk produksi
lilin. Sehubungan dengan hat tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari pengaruh lama penyimpanan daun tusam terhadap
rendemen lilin yang dihasilkan. Lama penyimpanan yang digunakan
dalam penelitian terdiri dari 0 dan 4 minggu. Hubungan antara lama
penyimpanan dan rendemen lilin yang dihasilkan dianalisis dengan regresi
dalam paket SAS.
Penelitian menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh
sangat nyata terhadap rendemen lilin yang dihasilkan. Daun yang tidak
disimpan atau dalam keadaan segar memberikan rendemen lilin tertinggi
dibandingkan lama penyimpanan lainnya. Hubungan antara rendemen
lilin clan lama penyimpanan dinyatakan dalam persamaan Y = 0,94917 0,05875 x, di mana Y adalah rendemen lilin dan X adalah lama
penyimpanan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa setelah
pemanenan, daun Pinus merkusii Jung et De Vriese harus segera di
ekstraksi untuk memperoleh rendemen lilin yang tinggi.
Kata kunci: lilin, daun tusam, penyimpanan, rendemen.
018/1, 2005
Percobaan Fraksionasi-Distilasi Minyak Terpentin dari Pinus Merkusii
Jung Et De Vriese (Fractional Distillation Experiment of Pinus merkusii Jung Et
De Vriese Turpentine Oil). Oleh: Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 6 (4) 1989: 231-234. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Turpentine oil was optained from rosin factory in Paninggaran,
Central Java, and Sukun, East Java. Both samples were separated by
fractional distilation into several fractions. The distilling was conducted at
boiling temperature with atmospheric pressure. The boiling point ranges
were 156 –164°C for the first fraction; 164 -167°C for the second
fraction; 167 -170°C for the third fraction; and 170°C and upward for the
residual fraction.
The results indicated that the amount of turpentine fractions from
Paninggaran and Sukun were consecutively 73.60 and 70.0% of first
fraction: 13.40 and 15.80% of second fraction; 3.17 and 3.79% of third
fraction; and 9.97 and 9.86% of the residual. Based on the boiling
temperoture of each component, the first froction IS assumed to (contain
n-heptane; β-thurene, α-pinene, and camphene; β-pinene and myrcene in
the second fraction; myrcene, (β-phellandrene, and Δ3-carene in the third
froction; and the residual fraction contains, β-phellandrene. Δ3-carene, pcymene, limonene, α- and Y-terpinene, etc. The major components of
turpentine oil are α-and β-pinene. These components can be obtained by
decreasing the boiling range to 154 -158°C for α-pinene and 164 -166°C
for β-pinene. The fractional destillation with these temperatures is
expected to increase the utilization of turpentine as raw material for
synthetic pine oil, per-fumery, etc.
Keywords: Pinus merkusii, fraksionasi distilasi, minyak terpentin.
019/1, 2005
Analisis Kimia Daun Pinus dan Pemanfaatannya (Chemical Analyses of Pine
Needles and Their Utilization). Oleh: Bambang Wiyono & Abdul Hakim
Lukman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 125-128. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
At present, pine needles have no commercial value. The needles are
fire hazard to both natural and plantation grown trees when they
accumulate on the ground, couple with inhibition of the growth of the
surrounding trees. The research purpose is to determine chemical
component of pine needles of three pine i.e Pinus merkusii, P. caribaea,
and P. insularis. This endeavor is conducted to explore a wider of such
material.
The results indicated that the moisture content of P. merkusii, P.
caribaea, and P. insularis needles were 4.69%, 3.54%, and 14.79%
respectively; cellulose content bei/'!/;' 12.31%, 17..19%, and 18.54%;
lignin content 29.46%, 39.54, and 26.65%; pentosan content 7.04 %,
5.78%, and 12.11%; ash content 3.06%, 2.40%, and 7.30%; silica content
0.44%, 0.48%, and 0.19%; acidity 5.32, 5.33, and 6.15; solubility in cold
water 23.38%, 23.09%, and 17.84%; solubility in hot water 26.51%;
29.62%, and 17.82%; solubility in alcohol-benzene (1 ..2) 19.30%,
19.14%, and 11.08%. Based on this component, the pine needli!s may be
utilized as sources of raw materail for production of glucose, fructose,
ethanol, ethylene, pine needle oil for pharmaceutical and perfumary
industries, etc. The needles can also be used as raw material for
gasification and anaerobic fermentation processes for energy production.
Keywords: daun pinus, analisis kimia, pemanfaatan.
020/1, 2005
Modifikasi Teknik Penyadapan Tusam (Pinus merkusii Jungh et. de. Vriese)
untuk Meningkatkan Produktivitas Getah. Oleh: Dendi Setyawan dan
Erra Yusnita. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 387 –
397. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Penyadapan getah tusam (Pinus merkusii Jungh et.de. Vriese) yang
dilakukan Perum Perhutani selaku pengelola hutan di Jawa cukup lama
dan menunujukkan hasil yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat da ri
perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ditinjau
dari kenaikan produksinya, laju pertumbuhan tersebut cukup
menggembirakan dan hal ini menunjukkan bahwa kesempatan dan
prospek pemasarannya masih sangat terbuka luas.
Sejalan dengan hal itu, maka upaya meningkatkan produksi getah
tusam perlu ditingkatkan. Secara intensif Perum Perhutani sendiri
malakukan sadapan baru. Selain itu juga melakukan percobaan untuk
mendapatkan sistem sadap yang lebih tepat. Penyadapan yang dilakukan
diharapkan mampu meningkatkan produksi getah dan meminimalisasi
kerusakan batang akibat sadapan.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai pengaruh umur
dan kadar stimulan terhadap produktivitas getah tusam. Selain itu untuk
mengetahui pengaruh faktor lain seperti diameter pohon dan arah
penyadapan. Adapun sasarannya adalah untuk mengetahui dan
mendapatkan modifikasi teknik penyadapan yang paling efisien,
ekonomis dan aman terhadap pohon dan para penyadap dengan hasil
produksi getah optimum dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pohon sangat
berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pada tegakan umur 16 tahun,
penggunaan kadar stimulan dan arah mata sadap yang menghasilkan
getah optimum adalah 15% atau 20% dan arah sadapan timur. Pada
tegakan umur 26 tahun dengan penggunaan kadar stimulan 15% dan arah
sadapan Selatan atau Utara. Sedangkan tegakan umur 31 tahun
pemakaian kadar stimulan 25% dengan arah sadapannya adalah arah
Barat.
Kata kunci: modifikasi, teknik, getah, penyadapan, produktivitas, kadar
stimulan, umur pohon.
3. Vernis
021/1, 2005
Pembuatan Vernis dari Damar dan Kopal. Oleh: Nenny Sumarliani dan
Hartoyo. Prosiding Lokakarya Penelitian hasil Hutan, 2000: 353-361.
Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Telah dilakukan percobaan pendahuluan pembuatan vernis dari
damar dan kopal dengan kualitas rendah (serbuk dan asalan) dengan
berbagai jenis pelarut (toluen teknis untuk damar dan alkohol bensin
teknis untuk kopal) dan berbagai perbandingan antara bahan baku dan
pelarut untuk menemukan formula terbaik.
Hasilnya menunjukkan bahwa vernis dari bahan baku damar yang
berkualitas rendah dengan formula campuran 70% gr larutan damar (1 :
2) + 20% syntetic alkyd + 8,8% minyak tanah + 0,3% dry cobalt + 0,9%
dry calcium menghasilkan vernis terbaik.
Sedangkan vernis yang terbuat dari bahan baku kopal asalan dengan
formula campuran 70% larutan kopal (1 : 5) + 20% syntetic alkyd + 8,8%
minyak tanah + 0,3% dry cobalt + 0,9% dry calcium menghasilkan pernis
dengan sifat sedang, stabil dan lama keringnya baik.
Kata kunci: vernis, damar, kopal, formula campuran.
B. Minyak Atsiri
1. Minyak Cendana
022/1, 2005
Pembuatan Minyak Cendana dengan Cara Penyulingan Uap Langsung
(Manufacturing of Sandalwood Oil by Using Direct Steam Distilation Method ).
Oleh: Erik Dahlian & Hartoyo. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6)
1998: 385 – 394. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Penelitian pembuatan minyak cendana dengan menggunakan
destilasi uap langsung dibahas dalam tulisan ini. Tujuan penelitian ini
untuk menemukan kondisi optimum perlakuan bahan baku dan lama
penyulingan untuk menghasilkan rendemen minyak yang tertinggi dan
kualitas yang baik.
Perlakuan terhadap ukuran partikel kayu yang digunakan ada 3
macam masing-masing lolos saringan 40 mesh, terhadap saringan 40
mesh dan campuran partikel kayu dari 50% lolos 40 mesh dan 50%
tertahan 40 mesh. Proses destilasi untuk setiap perlakuan dilakukan
selama 25 jam di dalam alat gelas yang berkapasitas 500 gr contoh dalam
bentuk serbuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan ukuran partikel dan
lama penyulingan memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak.
Rendemen minyak tertinggi adalah 2,25% diperoleh dari hasil
penyulingan selama 21 jam terhadap campuran 50% partikel kayu
berukuran lolos saringan 40 mesh dan 50% tertahan saringan 40 mesh.
Besarnya rendemen tersebut setara dengan rendemen minyak cendana
yang diproduksi dari pabrik minyak cendana di Kupang yaitu berkisar 2 3%.
Analisis fisiko-kimia minyak cendana menunjukkan hasil sebagai
berikut: kadar total santalol sebesar 93,32%, berat jenis 0,9729, indek bias
1,5006, bilangan asam 4,94, bilangan ester 6,35, bilangan ester setelah
asetilasi 201,9 dan nilai tersebut semuanya memenuhi syarat SNI.
Kandungan santalol minyak cendana dari hasil percobaan (93,32%)
menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada persyaratan SNI (minimal
90%). Kendatipun demikian sifat lain seperti putaran optik (-11°) dan
kelarutan dalam alkohol 70%, (1 : 6) masih belum sesuai dengan
spesifikasi SNI yang menyatakan untuk putaran optik (15°) - (-20 o) dan
kelarutan dalam alkohol 70% (1 : 5).
Kata kunci: minyak cendana, metode destilasi, ukuran partikel kayu,
rendemen, kualitas.
023/1, 2005
Analisis Komponen Kimia Minyak Kayu Cendana Hasil Penyulingan
Metode Kukus (Chemical Component Analysis of Sandalwood Oil Distilled by the
Steam and Water Method). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang
Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 10 (1) 1992: 1-6. Pusat Penelitian
dan pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of this research is to identify the chemical
components of sandalwood oil by using the Gas Chromatography. The
sandalwood oil was obtained by steam and water distillation of
sandalwood particles which are passing and not passing through a 40
mesh screener, each for 18 and 24 hours distilling times. The
identification of the peak of chemical components were done by
comparing the relative retention time of the peak of chemical
components to that of the chemical solution standard. The peak area of
each chemical component was calculated by normalization method.
The result showed that the distilling of sandalwood particles not
passing 40 mesh screener for 18 and 24 hour distilling times each
produced oils having as many as 26 and 28 peaks of chemical
components, respectively. On the other hand, the particles passing 40
mesh screener, distilled for 18 and 24 hours exhibited as many as 28
peaks. Nevertheles, only eight chemical components could be identified
from them, they are: -pinene, limonene, Q-santalene, terpineol-4, santalene nerolidol. -santalol and farnesol Teroineol-4. nerolidol. santalol and farnesol components constituted the sandalwood oil. Those
where usuall, Y categoried as the total santalol. The sandalwood oil
distilled from the larger particles not passing 40 mesh screener for 18 and
24 hour distilling times contained the total santalol of 79.81 and 81.45
percent, respectively. Furtheremore, the particles passing 40 mesh
screener distilled for 18 and 24 hours produced oil containing 81.74 and
80.88 percent of total santalol for each distilling time.
Keywords: komponen kimia, kayu cendana, penyulingan metode kukus.
024/1, 2005
Analisis Komponen Kimia Minyak Kayu Cendana dengan Kromatografi
Gas (Analyses of Chemical Components of Sandalwood Oil by Gas
Chromatography). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang Wiyono. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 5 (7) 1988: 437 – 441. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of this research is to identify chemical components of
sandalwood oil by using the gas chromatography method. The
sandalwood oil was obtained by steam and water distillation for 18, 24,
and 30 hours distilling times. The condition of the gas chromatography
employed was adjusted to: injector temperature 200 oC, detector
temperature 0 oC, initial column temperature 140 oC, final temperature
column 200 oC, speed temperature column 5 oC/min, with nitrogen gas as
carrier, and the using the flame ionization detector system. The
identification of the peak components was done by comparing the
relative retention time of the peak component with the peak retention
time chemical solution standard. The peak area of each components was
calculated by normalization method.
The results indicated that chemical components of sandalwood oil,
which was produced by the steam and water distillation for 18, 24, and 30
hours, include 0.0391, 0.0271, and 0.0313% of α-pinene; 0.0065, 0.0034,
and 0.0027% of limonene; 0.9147, 0.7799, and 1.0393% ofa':santalene;
2.4375, 1.9802, and 2.3474% of terpineol-4, 1.2184, 0.7922, and 0.7921%
of β-santalene; 5.7263, 3.8800, and 3.9335% of nerolidol; 48.0481,
51.1802, and 50.3507% of β-santalol; 22.4367, 24.7127, and 24,2864 70 of
farnesol, Unidentified component in each distilling time were 19.1727,
15.6443, and 17.2166%, respectively. The β-santalol component occupies
the mayor component of sandalwood oil. The amount of this component
at each treating condition was 48.0481% for 18 hours; 51.1802% for 24
hours; and 50.3507% for 30 hours. Telpineol-4, nerolidol, β-santalol, and
farnesol components constitute the sandalwood oil and is usually
calculated as the total santalol.
Keywords: komponen kimia, kayu cendana, kromatografi gas.
2. Minyak Eucalyptus
025/1, 2005
Percobaan Penyulingan Daun Eucalyptus dengan Cara Kukus dan Rebus
(Distillation of Eucalyptus Leaves by Cohobation and Vaporization). Oleh: R.
Sudradjat. Laporan (165) 1983: 1-5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
The aim of this experiment is to learn about the yield and
characteristics of oil from the leaves of four different species of
Eucalyptus distilled by the cohobation and vaporization process. The
result indicates that oil yield varies between 0.10 – 1.74 percent, with
cineole content between 11.57 – 41.61%, specific gravity between 0.8820
– 0.9230, refractive index between 1.4682 – 1.4730 and optical rotation
between (-) 2 025’48’’ – (+) 23 022’12”.
E. Umbellata yields highest in oil and cineole content. The
vaporization process gives a higher yield than the cohobation process.
The oil’s specific gravity, refractive index and optical rotation are
affected neither by Eucalyptus species nor by distillation method.
Keywords: daun eucalyptus, penyulingan, kukus dan rebus.
3. Minyak Gaharu
026/1, 2005
Kuantifikasi Beberapa Parameter Kualitas Gaharu (Quantification of Several
Parameters on Garro Wood Quality). Oleh: Bambang Wiyono, Neni
Sumarliani, Umi Kulsum & Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 19 (3) 2001: 137 –146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Konsep SNI kualitas gaharu memiliki kelemahan di mana
parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas bersifat kualitatif
sehingga menyulitkan orang yang menentukannya. Salah satu upaya untuk
mengurangi kelemahan tersebut adalah dengan membuat parameter
penentu kualitas gaharu secara kuantitatif. Sehubungan dengan hal
tersebut, kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki konsep SNI
mengenai gaharu sehingga penilaian dapat dilakukan secara kuantitatif.
Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan damar wangi dapat dinilai
dengan kandungan resin, bobot dinilai dengan berat jenis, dan warna
dinilai dengan alat kromameter. Hasil analisis parameter tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif antara peningkatan kualitas gaharu
dengan peningkatan kandungan resin, berat jenis dan warna dari contoh
yang diuji. Perbaikan konsep standar kualitas gubal gaharu yang
disarankan dipaparkan dalam tulisan ini.
Kata kunci: kualitas gaharu, warna, berat jenis, kadar resin.
027/1, 2005
Sifat dan Kualitas Gaharu (Gonystillus Spec) (Properties and quality of gaharu
(Gonystillus Spec.)). Oleh: Tjutju Nurhayati Syahri. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 6 (2) 1989: 129 – 132. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Gaharu of Gonystillus Spec. From South Kalimantan has the
following properties moisture content 5%, essential oil content 51%,
caloriffic value 5655 cal/g, ash content 0.24%, and specific gravity 0.76.
According to the quality clasification, the gaharu of Gonystillus spec,
belong to no.1 – b, and its sales was Rp. 250.000,Lignin content of gaharu was about the same as lignin content of
wood, cellulose and pentosan are somewhat lower. It was meant that
lignin was not be degradated, but cellulose and pentosan was degradated
by fungi in the production of gaharu.
Keywords: gaharu, sifat dan kualitas.
028/1, 2005
Penentuan Parameter Persyaratan Kualitas Gaharu. Oleh: Bambang
Wiyono, Erdi Santosa dan Illa Anggraeni. Info Hasil Hutan 3 (2) 1996: 29
– 36. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Sampai saat ini penentuan kualitas gaharu secara nasional belum
ada. Penetuan kualitas yang dilakukan masih bersifat kuantitatif dan tidak
seragam di setiap daerah. Penetuan kualitas ini dilakukan secara visual
sehingga penentuan kualitas lebih banyak tergantung pada orang yang
menentukannya. Dalam mengatasi hal ini perlu disusun persyaratan
penetapan kualitas gaharu yang bersifat kuantitatif dan lebih obyektif.
Penelitian ini merupakan langkah awal untuk mencari parameter secara
kuantitatif dan kualitatif dalam menentukan kualitas gaharu.
Berdasarkan hasil pembahasan, parameter yang disarankan dalam
menentukan kualitas gaharu adalah warna, kadar resin, kadar minyak,
bilangan ester dan ukuran serta bentuk serpih. Untuk menilai apakah
parameter tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria, sebagai langkah awal,
hanya kadar resin saja yang dinilai. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar
resin meningkat dengan meningkatnya kualitas gaharu. Hal ini
membuktikan bahwa kadar resin dapat di gunakan sebagai salah satu
parameter dalam penentuan kualitas kayu gaharu. Penelitian ini perlu
dilanjutkan untuk menilai kadar minyak dan bilangan ester sebagai
parameter dalam penentuan kualitas gaharu. Berdasarkan hasil ini
persyaratan kualitas gaharu secara kuantitatif dan lebih obyektif akan
dapat disusun.
Kata kunci: gaharu, persyaratan kualitas, kadar resin.
029/1, 2005
Rekayasa Alat Pendugaan Kandungan Gaharu pada Tegakkan Pohon.
Oleh: Bambang Wiyono, Dendi Setyawan & Achmad Junaedi. Prosiding
Lokakarya Penelitian Hasil Hutan. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil
Hutan 2000: 363-376. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat penduga
kandungan gubal gaharu pada pohon sehingga dapat mengurangi
penebangan pohon gaharu. Rancangan alat penduga kandungan gubal
gaharu yang dibuat merupakan modifikasi dari alat untuk menentukan
riap pohon.
Alat penduga kandungan gubal gaharu dengan sistem bor ini dapat
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan gubal gaharu pada
pohon. Pada pohon gaharu yang diinfeksi secara alami, sebaiknya
pengeboran dilakukan pada pusat infeksi yang dimulai dari pangkal
pohon. Sedangkan pada pohon gaharu yang diinokulasi pengeboran
dilakukan di sekitar lokasi inokulasi yang merupakan pusat infeksi.
Kelemahan alat penduga kandungan gubal gaharu dengan sistem
bor ini adalah contoh kayu hasil pengeboran terputus-putus dan kurang
bagus. Untuk itu ketajaman mata bor dan diameter setengah lingkaran
sepanjang alat penampung tersebut perlu diseragamkan agar hasilnya
lebih baik.
Pendugaan potensi kandungan gubal gaharu pada inokulasi buatan
secara teoritis mengikuti volume prisma, sedangkan pendugaan potensi
kandungan gubal gaharu pada pohon yang terinfeksi secara alami
memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan rumus yang
diperlukan untuk itu.
Kala kunci: pohon gaharu, alat bor, kandungan gaharu.
4. Minyak Kayu Manis
030/1, 2005
Pengaruh Pelarut Organik dan Waktu Perkolasi terhadap Sifat Oleoresin
Kulit Kayu Manis. Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
8 (6) 1991: 219-222. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
This paper is to study the effect of organic solvent and percolation
time on oleoresin properties of Cassia vera bark. The organic solvents
used during the percolation process to extract the oleoresin consist of
ethanol and acetone. Each extraction required percolation time,
consecutively 2, 3 and 4 hours. The temperature of each process was
maintained at 40ºC. The experiment was conducted using the factorial
design, and the trend effect of percolation time was assessed by using
polynomial orthogonal analysis.
The results indicated that the essential oil and cinnamaldehyde
contents extracted with ethanol solvent were both significantly higher
than those using acetone solvent. The polynomial orthogonal analysis
revealed that the increaseing percolation time was linearly correlated with
an increase in oleoresin yield and the essential oil contents. As for the
ethanol the increase in percolation time tent to decrease the
cinnamaldehyde only. After the percolation process, only the ethanol
after solvent could be recovered by the redistillation process.
Keywords: kulit kayu manis, pelarut organik, waktu perkolasi.
5. Minyak Kayu Putih
031/1, 2005
Teknik Pengolahan dan Kualitas Minyak Kayu Putih. Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa. Laporan (7) Oktober 1976. Lembaga Penelitian Hasil
Hutan. Bogor.
Cajuput oil is an essential oil mainly produced by Indonesia, derived
by steam distilation from leaves of Melaleuca leucadendron L.
(Myrtaceae). There are three ways of steam distillation namely, water,
water and steam, and direct steam distillation.
Cajuput stands in Indonesian are estimated at 248,756 hectare and
the production of cajuput oil at 232,545 kg or an average of 1.1 kg oil per
hectare per year. This value is insignifificant considering the theoretical
posible production of 28 kg oil per hectare per year.
Export of cajuput oil can be increased among others by
improvement of processing, marketing and quality. Since 1974 The
Directorate General of Forestry has established grading rules for cajuput
oil.
This paper deals with the study of quality effecting factors including
the processing methols on yield and quality of cajuput oil.
Keywords: minyak kayu putih, teknik pengolahan, kualitas.
032/1, 2005
Penyulingan Daun Kayu Putih dengan dan Tanpa Ranting. Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa, Han Roliadi & Sunendar Djumria. Laporan (126) 1978.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Cayeput trees (Maleuca leucandendron L.) is grown extensively in the
reforestation/affore station program in several part in Indonesia. Apart
from protective function on the forest soil other from this tree is related
to its cajuput oil content that can be extracted from the leaves. This oil
has a remarkable demand at home as well as in foreign market.
Extraction of such oil can be done by steam distillation of the
leaves and in same cases the leaves including twigs up to 20 cm in length.
Oil content in twigs is so small that can be negligible.
Distillation of leaves only and of leaves including twigs were partly
carried out at the cayeput oil factory in Tasikmalaya (West Java),
whileother trials were conducted at the chemical laboratory of the Forest
Products Research Institute (FPRI), Bogor. Oil obtained from the
distillation trials was devided into three parts being the first, second, and
third fraction. The devision were based on the time inteval when each
fraction is collected during the distilation process.
The investigation reveals that yield of oil varies between 0.70 – 0.80
percent, cineole content 0.44 – 0.48 percent, optical rotation 2.997 to –
6.653, refractive index 1.463 – 1.473, and cineole content in oil 53.4 –
60.5 percent.
Both yield of oil and cineole from leaves only are higher than that
of leaves with twigs. For optical rotation, however, the result is the verse.
Refractive index of oil from fraction three is apt to increase whereas
cineole content and optical rotation are reverse. In 80 percent alkohol, all
fractions of oil obtained from the leaves with or without twigs are
completely soluble in all ratios.
According to the FPRI classitication scheme (1973), all fraction of
cayeput oil in this experiment are categorized into prime quality.
Keywords: daun kayu putih, penyulingan.
033/1, 2005
Penetapan Kualitas Minyak Kayu Putih Menurut Metode Kristalisasi.
(Determination of Cajuput Oil Quality by the Cristalization Method). Oleh:
Yacob Ando & Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (167) November 1983:
13-16. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Until recently, the determination of cineol contents has been done
by the mixing method, according to the Indonesian standard testing
method for cayeput oils. The disadvantage of this method lies in the use
of relatively large quantities and expensive resorcinol pro analyses
reagent. The modification of the method, i.e. the crystallization method
turn out to be valid. This method requires smaller quantities of resorcinol
and has been adopted for the determination of cineol content of eucalypt
oil.
The objectve of this study in to test suitability of the cristallizatin
method for determining cineol content of cayeput oil.
The result of this study reveals that the crystallization nethod for
determining cineol content of cayeput oil.
Keywords: minyak kayu putih, kualitas, kristalisasi.
6. Minyak Kenanga
034/1, 2005
Pengaruh Metode dan Waktu Penyulingan terhadap Rendemen dan Sifat
Fisiko Kimia Minyak Kenanga (Influence of Distilling Time And Methods on
Yield And Physico-Chemical Properties of Cananga Oil). Oleh: Bambang
Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7 (1) 1990: 25-27. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
This paper described the study on the effect of distilling time and
methods on yield and physico-chemical properties of cananga oil. The
distillation methods applied were water distillation and water-steam
distillation with the distilling time being 8, 16, and 24 hours,
consecutively. The results were analysed using the randomized
completely block design, and the difference between means were tested
with the Least Significant Difference method.
The results showed that the distilling method appeared to have
significant effect on the saponification and ester numbers, whereas, the
oil yield was significantly increased with prolonged distilling time. Water
distillation method produced higher quality of cananga oil than that
produced by the water-steam distillation one. This was indicated by a
higher ester number of the oil obtained by the water distillation.
Keywords: minyak kenanga, penyulingan, rendemen, sifat fisiko kimia.
7. Minyak Keruing
035/1, 2005
Sifat Dasar Minyak Keruing dan Kemungkinan Penetapan Baku Mutunya
(Basic Properties of Keruing Oil and Determining Possibility on its Standard ). Oleh:
Bambang Wiyono, Hartoyo, Poedji Hastoeti. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 18 (2) 2000: 123 –135. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi
tentang sifat dasar minyak keruing. Sedangkan sasarannya adalah untuk
mengetahui kemungkinan penetapan standar mutunya.
Data sifat fisiko-kimia minyak keruing yang diperoleh dari
laboratorium maupun dari penelusuran pustaka disusun dan disatukan
berdasarkan cara ekstraksinya. Selanjutnya, nilai tengah, kesalahan
standar, standar deviasi dan koefisien variasi dianalisis dengan
menggunakan Microsoft excel. Nilai rataan sifat fisiko-kimia ditentukan
berdasarkan nilai selang kepercayaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sifat fisiko-kimia minyak
keruing yang dianalisis, sifat yang meliputi berat jenis, indek bias dan
bilangan ester mempunyai koefisien variasi yang kecil (di bawah 20%),
sedangkan ketiga sifat lainnya yang terdiri dari putaran optik, bilangan
asam dan bilangan penyabunan mempunyai koefisien variasi yang tinggi,
di atas 20%. Tidak semua jenis kayu keruing mempunyai kandungan
utama a-gurjune dalam minyaknya. Kandungan a-gurjune tertinggi 86%,
terendah adalah tidak mengandung komponen a-gurjune sama sekali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kemungkinan persyaratan mutu minyak
keruing yang diusulkan adalah:
- Berat jenis 0,9180 - 0,9636
- lndek bias 1,4979 - 1,5041
- Putaran optik -37,57 - -3,81 0
- Bilangan asam 1.63 - 7,95
- Bilangan penyabunan 2,28 - 11,48
- Bilangan ester 3.24 - 4,32
- Kandungan a-gurjune, min 50%
Kata kunci: konsep standar, minyak keruing, sifat fisiko-kimia.
036/1, 2005
Sifat Fisiko-kimia Minyak Keruing yang Dihasilkan dari Metode
Penyulingan Uap (The Physico-Chemical Properties of Keruing Oils Obtained by
Steam Distillation Technique). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 14 (1) 1996: 24 –30. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Minyak keruing dapat diperoleh melalui pemisahan minyak dari
getah keruing dengan cara penyulingan atau penyulingan secara langsung
dari kayu keruingnya. Sehubungan dengan cara yang terakhir, tujuan
penelitian ini untuk mempelajari sifat fisiko-kimia minyak keruing yang
diperoleh dari penyulingan metode uap limbah dari berbagai campuran
jenis kayu keruing. Limbah ini diambil tiga kali dari industri pengolahan
kayu lapis di Kalimantan Timur. Setiap contoh limbah disuling dengan
metode uap dan minyak yang dihasilkan diuji sifat fisiko-kimianya.
Perbedaan nilai rataan sifat minyak dari limbah tersebut diuji dengan
Beda Nyata Terkecil menurut prosedur SAS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah kayu keruing
berpengaruh sangat nyata terhadap nilai indek bias, putaran optik,
bilangan asam dan bilangan esternya; dan berpengaruh secara nyata
terhadap bilangan penyabunannya. Analisis selanjutnya menunjukkan
bahwa sifat bilangan asam dan bilangan esternya minyak yang berwama
jernih berbeda nyata dibandingkan dengan minyak yang berwama kuning
muda pucat atau kuning muda; sedangkan bilangan penyabunan minyak
yang berwama kuning berbeda nyata dibandingkan sifat bilangan
penyabunan kedua minyak yang lainnya. Di antara minyak keruing yang
dihasilkan tersebut, sifat indek biasa dan putaran optiknya berbeda secara
nyata satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, apabila
limbah kayu keruing akan dijadikan sebagai bahan baku untuk produksi
minyak keruing, sebaiknya dilakukan pemisahan antara limbah kayu
keruing yang mengandung minyak atau getah dengan limbah kayu keruing
yang tidak mengandung minyak atau getah sebelum diproses lebih lanjut.
Kata kunci: minyak keruing, Diptetocarpus spp, penyulingan uap, sifat
fisiko-kimia minyak.
037/1, 2005
Pengaruh Jenis Pelarut dan Ratio Getah dan Volume Pelarut terhadap
Rendemen dan Sifat Fisiko-kimia Minyak Keruing (Effect of Organic Solvent
and Keruing Gum and Solvent Ratio on Oil Yield and its Physico-Chemical
Properties). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (3)
1998: 149 –161. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu dengan
tujuan untuk mengetahui rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak hasil
ekstraksi minyak dari getah keruing dengan pelarut organik. Sedangkan
sasarannya adalah untuk mengetahui kondisi yang cocok untuk
memisahkan minyak keruing dari getahnya. Getah hasil perebusan dolog
dalam larutan garam dilarutkan dalam petroleum eter atau heksana,
dievaporasi dan didistilasi untuk memperoleh minyak keruing murni.
Untuk melihat pengaruh jenis pelarut dan ratio getah dan volume pelarut
dianalisis dengan rancangan acak lengkap faktorial, sedangkan nilai
rataannya dianalisis dengan uji Duncan menurut prosedur SAS.
Rendemen minyak keruing kasar yang dihasilkan sekitar 33,07%
(b/b), sedangkan hasil pemurnian minyak kasar berwarna jernih dengan
rendemen sekitar 17,95% dari getah. Minyak keruing murni ini
mempunyai sifat berat jenis sekitar 0,9735 – 0,9771; indeks bias 1.4952 1,4989; putaran optik -13.04 - -12,17 0; bilangan asam 0,3942 – 0,8792;
bilangan penyabunan 3,4816 – 5,254; bilangan ester 2,752 – 4,958 dan
kadar sisa pelarut 1,013 - 3.910% (v/v).
Jenis pelarut petroleum eter dan heksana, tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen maupun sifat fisiko-kimia minyak, tetapi tingkat
perbandingan getah dan volume pelarut memberikan hasil yang berbeda
nyata terhadap rendemen, berat jenis, bilangan penyabunan dan bilangan
ester, sedangkan kombinasinya hanya berpengaruh nyata terhadap
bilangan ester dan bilangan penyabunan. Semakin tinggi tingkat
perbandingan pelarut cenderung menurunkan berat jenis, indeks bias,
bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester dan meningkatkan
kadar sisa pelarut dan putaran optik. Kombinasi pelarut heksana atau
petroleum eter dengan perbandingan getah dengan volume pelarut dapat
digunakan untuk mengekstrak minyak keruing dari getahnya.
Kata kunci: getah keruing, ekstraksi, hidrodistilasi, pelarut organik, sifat
fisiko-kimia minyak.
8. Minyak Masoy
038/1, 2005
Penyulingan Kulit Masoy (Cinnamomum xanthoneuron BL.) Bagian I:
Pengaruh Cara dan Waktu Penyulingan Kulit Masoy [Distillation of Masoy
bark (Cinnamomum xanthoneuron BL.). Part I: The Effect of Distilling Method
and Time]. Oleh: Abd. Hakim Lukman, Bambang Wiyono & Poedji
Hastoeti. Jurnal Penelitian Hasll Hutan 9 (7) 1991: 291 -293. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
This paper describes a preliminary experiment on the effect of
distillation method and time on yield of masoy bark oil. The methods
applied were cohobation and water-steam method with distilling times of
3, 9, 18, 30 and 36 hours, consecutively.
The result shows that the distilling time and method appeares to
have a highly significant effect on oil yiekl and the cohobation method
produces higher oil yield compared with water steam distillation.
Keywords: kulit masoy, penyulingan, cara dan waktu.
9. Minyak Sabal-sabal
039/1, 2005
Beberapa Sifat Minyak Sabal-sabal (Cinnamomum subavenium) (Some
Properties of Sabal-sabal (Cinnamomum subavenium) Oil). Oleh: Gustan Pari.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11 (2) 1993: 45-48. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The physico-chemical properties and identification of new essential
oils from Cinnamomum subavenium Miq (Sabal-sabal) bark prepared by
using vacum destillation process is presented in this paper. The bark used
was subjected to three different position i.e.: top, middle and bottom.
The physico-chemical properties observed are specific gravity, acid value,
ester content, solubility in ethanol 80%, refractive index at 20°C, and
optical rotation. The major components of essential oils were identified
by using peak enrichment technique and retention data from essential oil
standart of the Gas Liquid Chromatographic method. In addition, the
yield was determined.
The result shows that the yield ranges from 1.73 -1.87% specific
gravity at 25°C from 0.93689 - 0.94454, refractive index at 20°C from
1.47966 - 1.48542, optical rotation at 25°C from -11°9’ to - 12°39’, acid
value from 1,02 -1.34, ester content from 6.45 - 8.29 and solubility in
ethanol 80% is soluble in 1 : 1. The composition of major components of
the Sabal-sabal oil were iso borneol ranges from 17.75 - 22.15%, aldehyde
C-11 from 6.09 - 17.11%, cineol from 13.20 - 14.23%, iso bornyl acetate
from 5.28 - 8.47%,  terpinyl acetate from 5.21 - 8.81%. Furthermore
some components found in the oil wereaa pinen,  pinen, terpinene, 
caryophyllene, aldehyde C-9, cinamaldehyde and hidroxy citronellol.
Based on major components and its derivatives the oil is used in the
perfumery and flavor industry.
Keywords: minyak sabal-sabal, sifat fisiko kimia.
10. Minyak Terpentin
040/1, 2005
Analisis Komponen Kimia Minyak Terpentin dari Cianjur dan
Pekalongan Timur (Analysis of Chemical Components of Turpentine Oil from
Cianjur and Pekalongan Timur). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang
Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (6) 1991: 243-246. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of the study is to identify chemical components of
turpentine oils fraom Cianujur, West Java, and Pekalongan Timur,
Central Java. The analysis was conducted using Gas Chromatography
method. The relative retention time of the standard solution before the
emergence of α-pinene peak was predetermined prior to the analysis of
the α-pinene of the samples. The peak area of each chemical components
was then calculated by normalization method.
The result showed that there are respectively, 12 and 7 components
of turpentine identified from samples from Cianjur and Pekalongan
Timur. The chemical components of turpentine oil from Cianjur
consistsed of α- and β-pinene, camphene, ∆-3-carene, limonene, βphellandrene, α- and γ-terpinene, p-cymene, terpinolene, caryophyllene,
and humulene. Those from Pekalongan Timur comprised α and βpinene, camphene, ∆-3-carene, terpinene, limonene, and caryophyllene.
The α-pinene forms the mayor portion of turpentine oil, amounting to.
72.9% from Cianjur and 71.3% from Pekalongan Timur.
Keywords: terpentin, komposisi kimia, Cianjur, Pekalongan Timur.
C. Minyak Lemak
1. Minyak Kemiri
041/1, 2005
Pengaruh Suhu dan Waktu Pemasakan Biji Kemiri terbadap Sifat
Minyaknya (Effect of Temperature and Cooking Time of Candle-nut Seed on its Oil
Properties). Oleh: Erra Yusnita, Bambang Wiyono & Dendi Setyawan.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (2) 1999: 101-112. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan
waktu pemasakan biji kemiri terhadap sifat fisiko-kimia minyak kemiri,
sehingga didapat kondisi pemasakan biji yang terbaik. Rancangan
percobaan yang dipergunakan adalah Acak Lengkap Faktorial, yang
terdiri dari dua faktor, yaitu suhu pemasakan (A) dan waktu pemasakan
(B). Faktor A dalam 3 taraf yaitu 95, 105 dan 115˚C, sedangkan faktor B
dalam 4 taraf yaitu 20, 30, 40 dan 50 menit.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa suhu dan waktu
pemasakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen,
bobot jenis, indeks bias dan bilangan peroksida minyak kemiri. Waktu
pemasakan berpengaruh nyata pada viskositas dan kadar asam lemak
bebas tetapi berpengaruh sangat nyata pada bilangan iod. Juga didapatkan
bahwa suhu dan waktu pemasakan serta interaksi kedua faktor
berpengaruh sangat nyata pada bilangan penyabunan minyak kermiri.
Interaksi kedua faktor hanya berpengaruh terhadap kejernihan
(transmisi).
Hasil menunjukkan bahwa rendemen minyak kemiri yang tinggi
dengan sifat fisiko kimia yang baik diperoleh dari kombinasi suhu 95˚C
dan waktu pemasakan 30 menit, yaitu 52,72%; dengan sifat fisiko kimia
yang dapat bersaing dengan minyak biji ramin yaitu: bobot jenis 0,9268;
indeks bias 1,4739; viskositas 50,37 cp; transmisi 79,30%; kadar asam
lemak bebas 1,6380%; bilangan iod 158,75; bilangan peroksida 1,1572 mg
O² per 100 gr dan bilangan penyabunan 191,12.
Alternatif lain kombinasi suhu dan waktu pemasakan adalah pada
suhu 105°C dan waktu pemasakan 20 menit.
Kata kunci: biji kemiri, rendemen, suhu pemasakan, sifat fisiko kimia,
waktu pemasakan.
042/1, 2005
Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Biji Kemiri terhadap Rendemen dan
Sifat Minyaknya. Oleh: Bambang Wiyono dan Poedji Hastoeti. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 11 (5) 1993: 174-178. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of this research is to study the pretreatment effects of
candle nut seed oil on oil yield and its properties. Pretreatments consisted
of dry-frying, steaming and unpretreatment. The dry frying was carried
out at 100ºC for 15 minutes, and steaming was carried out for 30 minutes
at the same temperature. Each preteatment was pressed at 110 kg/cm²
and at a room temperature for 5 – 15 minutes. The data obtained were
analyzed by using the completely randomized design, and the difference
between means were tested with the LSD prosedure.
The results showed that pretreatment gave a higly significant effect
on oil yield, specific gravity, saponification number and unsaponifiable
matter. It also provided a significant effect on acid number and acid
content calculated as oleic acid. The dry frying prodeced the highest of oil
yield, a higher specific gravity, and a lower acid number, acid content and
unsaponifiable matter than the steaming pretreatment. Compared to the
untreatment, the dry-frying gave a higher saponification number and
unsaponifiable matter. Based on the oil yield, specific gravity and acid
number, the dry-frying method is the best pretreatment compared to the
others.
Keywords: biji kemiri, perlakuan pendahuluan, rendemen, sifat minyak.
043/1, 2005
Pengaruh Lama Pemasakan Biji terhadap Rendemen dan Sifat FisikoKimia Minyak Kemiri (The Effect of Cooking Duration of Kemiri Nut on the
Yield and Physico-Chemical Properties of the Oil). Oleh: Erra Yusnita,
B.Wiyono & Haryono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (1) 2001: 1-8.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Tanaman kemiri tersebar luas di daerah tropis dan subtropis.
Sedangkan di Indonesia tanaman kemiri tersebar luas hampir di seluruh
wilayah nusantara. Biji kemiri (Aleuritus mollucana Will) selain digunakan
untuk bumbu penyedap masakan, dapat pula dimanfaatkan untuk obat
tradisional. Daging biji kemiri memiliki kadar gizi dan energi yang sangat
tinggi (terlebih kadar minyaknya).
Minyak kemiri mempunyai sifat-sifat khusus, dimana minyak ini
mudah mengering bila dibiarkan di udara terbuka. Oleh karena itu minyak
kemiri dapat digunakan sebagai minyak pengering dalam industri cat dan
vernish.
Sifat minyak kemiri yang dihasilkan, antara lain dipengaruhi oleh
metode ekstraksi dan mutu bahan bakunya. Sehubungan dengan itu
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pemasakan biji kemiri
terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan, dan
sasarannya adalah untuk memperoleh kondisi waktu pemasakan biji
kemiri yang optimal, sehingga persyaratan kualitas minyak kemiri yang
dihasilkan memadai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan waktu pemasakan
berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, berat jenis, transmisi,
kadar asam lemak bebas dan bilangan iod minyak yang dihasilkan. Minyak
yang dihasilkan dengan lama pemasakan 30 menit merupakan kondisi
pemasakan yang terbaik, dengan rendemen sebesar 49,94%, bilangan iod
= 158,657; kadar asam lemak bebas = 1,1399; berat jenis = 0,9211 dan
tranmisi = 76,45.
Kata kunci: rendemen, sifat fisiko kimia, waktu pemasakan.
2. Minyak Tengkawang
044/1, 2005
Ekstraksi Lemak dari Biji Tengkawang Tungkul (Shorea stenoptera Burck)
dengan Beberapa Pelarut Organik (Fat Extraction of Illipe nut Kernels (S.
stenoptera Burck) with Several Organic Solvents). Oleh: Bambang Wiyono.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 121-124. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of this research is to study the effect of several organic
solvents and storage time on fat content, acidity, and free fatty acid
content of Illipe nut kernels (S. stenoptera Burck). The treatment effect was
analysed by using a randomized complete block design.
The result indicated that storage time reduced moisture content of
Illipe nut kernels (S. stenoptera Burck), but on the contrary the storage
treatment tended to increased the ash content. Extended storage time
decreased fat content significantly. Acetone solvent extraction produced
highly significantly effect on fat and free fatty acid content than that of
the other solvents. Biochemical activity of Illipe nut kernels (S. stenoptera
Burck) degraded the quality, optimum storage condition is desired.
Keywords: tengkawang tungkul, ekstraksi lemak, biji, pelarut organik.
045/1, 2005
Pengaruh Pengukusan Terhadap Kualitas Biji Tengkawang (Shorea
stenoptera). (Effect of Steaming on The Quality of Tengkawang (Shorea
stenoptera) Seed). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 11 (2) 1993: 53-56. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
The experiment is to study the steaming effect of tengkawang seed
(Shorea stenoptera) on both yield and quality.
The steam period of samples is 0, 15, 20, 25, and 30 minutes at
temperature of 97.5°C, and at ambient pressure. A sample was extracted
by hydraulic pressing at 25 kg/cm2 and temperature of 90°C for one
hour.
The determinations including yield of fat, acid value, peroxid value,
saponification value, iodine value, impurity, water content, melting point,
and specific gravity.
The experiment shows that the more steaming period, the less yield
of fat. Fat qualities are affected by steaming periods, except Iodine value,
Melting point, and Impurity. However, the fat yield and its quality of the
untreated seed is better than the treated ones.
Keywords: biji tengkawang, kualitas, pengukusan.
046/1, 2005
Pengolahan Lemak Tengkawang dengan Cara Pengempaan Hidraulik (Fat
Processing of Illipe Nuts With a Hydraulic Pressing Technique). Oleh: Bambang
Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (6) 1995: 215-221. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi
Kehutanan. Bogor.
Observations in this research were conducted in the Illipe fat
industry and in the laboratory. The observation in the fat industry was to
get a clear description of the fat processing of Illipe nut, whilts in the
laboratory was to study the extraction process of Illipe fat with a
hydraulic pressing technique. The pressure were conducted at several
pressing levels: 25, 50, and 75 kg/cm2, at a pressing temperature of 50 60ºC for 20 minutes, respectively.
To produce Illipe fats, the industry applies a combination technique
of hydraulic pressure and hexane extraction. The yield of fat with this
combination technique is around 40 - 50%. However, the results of
experiment in the laboratory showed that at an 50 kg/cm 2 pressure
produced yield of fat with a high quality indicated by the highest value of
iodine number.
Keywords: lemak tengkawang, pengolahan, pengempaan.
047/1, 2005
Pengaruh Tempat Tumbuh, Jenis dan Diameter Batang terhadap
Produktivitas Pohon Penghasil Biji Tengkawang (The Effect of Growth Site,
Species, and Steam Diameter of Tengkawang Trees on Seed Productivity). Oleh: Ina
Winarni, E.S. Sumadiwangsa & Dendy Setyawan. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 22 (1) 2004: 23-33. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Hasil Hutan. Bogor.
Tengkawang merupakan komoditi andalan dari Kalimantan Barat
yang dijual dalam bentuk biji kering yang umumnya untuk ekspor dan
sebagian hasil olahannya diimpor kembali oleh Indonesia dalam bentuk
bahan jadi dan setengah jadi untuk aneka industri. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh lokasi (tempat tumbuh), jenis dan diameter
terhadap produktivitas pohon penghasil biji tengkawang, sedangkan
sasaranya adalah menghasilkan informasi produktivitas dan daur teknis
yang dapat dipakai sebagai acuan pengembangan pengusahaan biji
tengkawang.
Penelitian menunjukan bahwa produksi tengkawang tertinggi
dihasilkan dari pohon yang berdiameter 60-90 cm yang menghasilkan biji
sebanyak 555,7 kg/pohon/panen. Produktivitas rata-rata tertinggi
dihasilkan dari jenis Shorea stenoptera Burk di Sanggau yang menghasilkan
biji sebanyak 620,9 kg/pohon/panen. Beberapa saran untuk
pengembangan budidaya tengkawang adalah seperti berikut: Shorea
stenoptera Burk dapat ditanam di Sanggau dan di Sintang, Shorea stenoptera
Burk Forma Ardikusuma dapat ditanam di Sintang dan Sanggau, Shorea
palembanica Miq dapat ditanam di Sanggau dan di Sintang.
Kata kunci: tempat tumbuh, jenis, diameter, biji tengkawang,
produktivitas.
048/1, 2005
Pengaruh Waktu Penyimpanan dan Cara Pengolahan terhadap Kualitas
Biji Tengkawang (Shorea stepnoptera) (Effect of Stroge Time and Processing
Method on the Quality of Tengkawang Seeds). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa,
Han Roliadi, Siti Hasanah. Laporan (74) 1976. Lembaga Penelitian Hasil
Hutan. Bogor.
Samples of seed used in this investigation include six species i.e.:
Shorea compressa Burck, S. pinanga Scheff., S. stenoptera Burck, S. seminis
W.SI., S. palembanica Miq., and S. lepidota Bl. From the experimental forest
in Haurbentes, Bogor.
Eash seed species undergoes steaming and soaking, after which
seed samples are divided into four separate groups, to be stored for 0, 4,
8 and 12 months.
Physico-chemical properties of each group tested include moisture
content, impurities, fat content and acid number.
Moisture content varies from 6.3 to 15.0 percent; impurities from
0.02 to 36.6 percent; fat content from 48.4 to 65.2 percent, and acid
number from 4.12 to 115.2 percent. Highest moisture content is found
on both steamed and soaked s. palembanica seed, when stored for 0 and 4
months. Decreasing values of moisture content are fond according to the
following order: S. seminis, S. lepiodata, S. compressa, S. pinanga and S.
stenoptera, except when stored for 8 and 12 months, aftar which no
significant difference in moisture content is observed.
In general it turns uc that the longer the storage duration, the lower
moisture contant and fat content, while for impurities and acid number
the reserve is true. Storage time exceeding 8 months, causes the acid
number to decrease. Steaming results in lower fat content, higher
moisture content, impurities and acid number compared to soaking.
Considering the Indonesia requirements for tengkawang seed, only
S. stenoptera and S. pinanga processed by soaking and stored for 4 months
can be classified as Iic quality, however, when stored for 0 – 3 months it
is of Iia qulity. The all tested seed species have lower durability when
processed by the steaming method. To remedy this shortcoming, an
investigation is considered necessry to find suitable condition and
processing method, and the possibility for the use of preservatives.
Keywords: biji tengkawang, kualitas, waktu penyimpanan, cara
pengolahan.
049/1, 2005
Biji Tengkawang sebagai Bahan Baku Lemak Nabati (Tengkawang Kernels as
Raw Material for Vegetable Fat). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan
(91) Juli 1977. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Tengkawang fat is also know as “borneo tallows” or “green butter”
used edible oil, cocoa, lipstick and margarine. This fat can be isolated
from tengkawang kernels by mechanical or chemical extraction.
Tengkwang kernels are produced by several tengkawang tree
species, which grow sporadically in the jungle, especially in the western
and central region of Kalimantan. Their fruits have to be collected as
soon as possible after they fall to the ground to avoid germation or
consumption by animals.
The potential production of tengkawang kernels in Kalimantan is
appoxi mately 90.000 ton per annum. Export of this commodity was
16,676 ton in 1973. The larger portion of the production has not been
utilized.
One of the problems in the intensification of tengkawang
exploitation in Kalimantan is due to the high production of kernels in the
dry season, but low production in the rainy season, which causes
difficulties in marketing. In addition, poor processing technique causes
kernels to deteriorate during storage or transportation.
Both problems may be solved by swiching the system from kernels
merketing to fat marketing which prolongs safe storing time, extends
marketing, simplifies transportation and provides more job opotumities.
Keywords: biji tengkawang, lemak nabati.
050/1, 2005
Biji Tengkawang untuk Produksi Lemak dan Kemungkinan
Pemanfaatannya sebagai Bahan Pangan. Oleh: Lina Rusliana dan Suwardi
Sumadiwangsa. Laporan (164) 1982: 13 - 21. Balai Penelitian Hasil Hutan.
Bogor.
Kalimantan is an important source of tengkawang kernel. However
most of the tengkawang kernel production from this island has been
destined for export. Further processing of the raw material within
Indonesia is actually possible, as tengkawang kernel is rich in fatty
sustance, which after extraction and purification can be used as edible oil
known as cacao butter. Other possible uses of the fat are for the
manufacture of candle, soap, cosmetics and dissolving. Viewing its
potential role as industrial raw matrial, an investigation on the extraction
method, of tengkawang kernel species, namely tengkawang terendak
(Shorea seminis V.Sl.), tengkawang layar (Shorea gysbertsiana Burck) and
tengkawang tungkul (Shorea stenoptera Burck). All species were extracted
through pressing method (temperature 115 o- 140 oC, pressure 60 kg/Cm2)
rendering method (100 oC), dissolving method (benzene), followed then
by purification.
The result of the chemical analyses and statistical test shows that
tengkawang species have significant effect on the yield of crude and
purified fat, ash content, specific gravity, and acid number of the
tengkawang fat. Extraction method on the other hand has significant
effects on the yield of crude fat acid number and free fatty acid content.
Free Fatty Acid is one of the criteria to determine the quality of
tengkawang fat. For example the allowable free fatty acid content for fat
or edible oil should be not meore than 5%. As the tengkawang fat
produced in this study has free fatty acid content which wxceeds 5%, this
fat is hence unsuitable to be used for edible oil.
Keywords: produksi lemak, pemanfaatan, bahan pangan.
051/1, 2005
Analis Sifat Fisiko-kimia Tengkawang dari Kalimantan. (The Physicochemical Analysis of Tengkawang from Kalimantan). Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa dan Toga Silitonga. Laporan (31) 1974: 15 halaman.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Tengkawang is considered to be one of the forest products other
than wood that is included as one of the export commodities. Its quality
depends on the location, species, method of processing and aging Shorea
stenoptera Burck, Shorea gysbertsiana Burck, Shorea lepidota BL. and Shorea
seminis B.SL. are among the species bearing oonsiderable amount of
tengkawang seeds from West, Central and South Kalimantan.
Two processing method are known as wet and dry method.The
aging of seeds has also been used for olassification, i.e., less than one year
storage time and one year or over.
Seed tests including moisture content, impurities, fat content, free
fatty acids (FFA) and size were made on 8 samples. The wet method
appear to produoe blaok seeds of good quality and the dry method
produoes brown of inferior quality. Apparently, the seed origins also
detel'mined the quality. Seed obtained from West Kalimantan offer poor
quality. The quality will decrease when seeds were stored too long. Bigger
seeds tend to have low moisture and high fat content.
Keywords: tengkawang, analisis fisiko kimia, Kalimantan.
D. Pati dan Buah-buahan
1. Gula dan Alkohol
052/1, 2005
Pembuatan Gula dan Alkohol dari Beberapa Jenis Kayu (Production of
Sugar and Alcohol from Several Wood Species). Oleh: Gusmailina & Hartoyo.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5) 1988: 259-261. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
This article describes the experiment of sugar and alcohol contents
from 3 wood species, i.e. jelutung (Dyera costulata, Hook. F), keruing
(Dipterocarpus appendiculatus, Sheff) and durian (Durio exelsus, Bakh) by
using hydrolisis and fermentation process. Treatment condition for
hydrolisis were at 3 levels of sulfuric acid concentration which were 1%,
2%, and 3% respectively. The fermentation methods agent for producing
alcohol from sugar of wood hydrolisis was the yeast of bread containing
Saccharomyces cereviceae.
The result of this experiment indicated that the yield of sugar
ranges from 9.71% -11.89% with average of 1,06%. This average yield of
sugar falls in the range of the sugar yield obtained from other researches
which have range from 11-18%.
The average alcohol yield obtained from sugar fermentation was
2.62%. This yield was lower compared with other experiment producing
alcohol from wood abroad, i.e. 8 -15%. The result showed that the yield
of sugar is not affected by the wood species and low concentration of
sulfuric acid treatment.
Keywords: gula, alkohol, pembuatan, jenis kayu.
2. Nipah
053/1, 2005
Beberapa Sifat Buah Nipah (Nipa fruticans). Oleh: Zulnely. Info Hasil
Hutan 9 (1) 2002: 23-31. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Hasil Hutan. Bogor.
Nipah (Nipa fruticans) merupakan tumbuhan yang termasuk famili
Palmae dan tumbuh di daerah pasang surut. Hampir setiap bagian dari
tumbuhan ini dapat dimanfaatkan seperti daun untuk atap rumah, nira
untuk dibuat gula dan buah untuk makanan segar atau dibuat tepung.
Untuk mempelajari sifat buah nipah dilakukan analisis kimia buah.
Tujuan analisis kimia adalah untuk mengetahui sifat buah nipah yang
berbeda tingkat kematangannya.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa buah nipah agak tua
mengandung kadar lemak 4,49%, protein 3,74% dan serat makanan
69,12%. Kadar lemak protein dan serat makanan dari buah nipah agak
tua, lebih tinggi nilainya dari pada buah nipah muda yang mempunyai
kadar lemak 1,32%, protein 0,27% dan serat makanan 10,13%. Selain itu
buah nipah muda rnemiliki kadar gula total yang lebih tinggi
dibandingkan buah nipah agak tua. Kadar gula total buah nipah muda
4,92%, sedangkan buah nipah agak tua 1,02%.
Kata kunci: buah nipah, kematangan, lemak protein, serat makanan.
3. Sagu
054/1, 2005
Modification to Make Sago Flour Close to the Extender of Urea
Formaldehyde Adhesive Properties (Modifikasi Agar Sifat Sagu Sesuai
dengan Sifat Ekstender Perekat Urea-Formaldehida). Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa, J. Karchesy & P. Humphrey. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 15 (8) 1998: 463-474. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Sejak tahun 1970, baik jumlah maupun kapasitas pabrik kayu lapis
di Indonesia meningkat dengan pesat. Pada tahun 1995 produksi kayu
lapis Indonesia mencapai sekitar 13,6 juta meter kubik. Untuk memenuhi
produksi sebesar itu diimpor sekitar 240.930 ton tepung gandum. Dapat
diduga bahwa tepung gandum dapat diganti oleh bahan pati lain seperti
tepung sagu.
Tepung sagu seperti tepung gandum, mengandung kadar pati yang
tinggi. Karena itu tepung sagu berpotensi tinggi untuk mengganti tepung
terigu sebagai bahan ekstender perekat urea-formaldehida (UF). Tetapi
perbedaan besar molekul dan kandungan bahan kimia lain seperti gluten
menyebabkan sifat fisiko-kimia sagu berbeda dengan terigu bila
digunakan sebagai bahan ekstender perekat UF.
Tepung sagu adalah hasil ekstrak batang pohon sagu (Metroxylon
sagus Roxb.). Pohon sagu terutama tumbuh di Indonesia dan Papua
Nugini. Selain itu, dalam jumlah kecil juga tumbuh di Malaysia, Thailand
dan Philipina. Dari potensi pohon yang tersedia diperkirakan bahwa
setiap tahun di Indonesia tersedia sebanyak 3,6 juta ton tepung sagu. Bila
tidak dipanen tepung sagu tersebut akan terbuang bersama pohon yang
segera mati setelah pembuahan.
Dalam penelitian ini sifat fisiko kimia tepung sagu yang
dimodifikasi diuji dan diharapkan memiliki sifat seperti tepung gandum
sebagai bahan ekstender perekat UF. Tepung sagu dimodifikasi dengan
dua cara yaitu dengan penambahan asam klorida (HCl) dan dengan
fosforilasi (campuran mono- dan di-sodium fosfat) sampai mencapai
padanan sifat bahan ekstender perekat UF yang lazim digunakan.
Kata kunci: sagu modifikasi, fosfat modifikasi, sifat fisiko-kimia, sifat
ekstender.
055/1, 2005
Mempelajari Sifat Fisiko-kimia Dekstrin Sagu Buatan dan Komersial (A
Study on the Fhysico-chemical Properties of the Experimental and the Commercial
Sago Dextrin). Oleh: Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan 6 (1) 1989: 18-20. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Sago starch contains about 84.7% carbohydrate. Further analysis of
the carbohydrate indicate that about 73% consist of amylopectin (the
branched polymers) and 27% amylose (the linear polymers). These
components are potentially contributing of the production of sagodextrin. The purpose of this research is to analyse the physico-chemical
properties of the laboratorymade sago-dextrin and the properties of the
commercial one, to compare with the Indonesian Industrial Standard
requirements for dextrin.
The results indicated that the ash content and acidity, of both the
experimental and the commercial sago dextruns have met the Indonesian
Industrial Standard. The solubility in cold water, dextrose content of the
commercial dextrin, and the moisture content of the experimental one
have not met the Indonesian Industrial Standard. Hegher yield can be
obtained by using acid concentration below 0.05 M as catalyst and or
hydrolyzing time under 5 minutes during the dextrin making process.
Keywords: dekstrin sagu, sifat fisiko-kimia.
056/1, 2005
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sirup Berfruktosa Tinggi dari Pati
Sagu. (Preliminary experimental of high fructose syrups manufacturing from sago
starch). Oleh: Bambang Wiyono, Toga Silitonga & Eduard A.S. Sijabat.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (4) 1990: 140-145. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The purpose of this work is to study the effect of isomerization
time and dosage of glucose isomerase enzyme on the high fructose
syrups (HFS) properties of sago starch. The basic raw material of HFS
was glucose which made by the enzymatic acid hydrolysis process using
hydrochloric acid and amiloglucosidase enzyme as catalyst. The
isomerization time varied from 18, 24, and 30 hours. The amount of
enzyme applied was consecutively 1.2, 1.7, and 2.2 g/kg based on dryweight of glucose syrups for each of the isomerization time.
The result indicated that the isomerization time gave highly
significant effect on the fructose. The isomerization time also gave a
significant effect on the dextrose equivalent. Increased isomerization time
tends to give quadratic relationship with the dextrose equivalent, fructose
content, and with the degree of converssion. Substituting and
interpolating these quadratic equation, revealed that isomerization time of
24.66 to 25 hours, produced dextrose equivalent of 91.22 to 91.34,
fructose content from 32.81 to 32.84%, and degree of conversion of
36.17 to 36.34%. These value are somewhat lower than the minimum
acceptable HFS requirements which posses the sweetness level as invert
sugar, for dextrose equivalent, fructose content and degree of conversion
of 96, 42%, and 50%, respectively. Consequently, the HFS produced
from sago starch low sweetness level than that of the invert sugars.
Keywords: pati sagu, pembuatan sirup, fruktosa tinggi.
057/1, 2005
Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam terhadap Kualitas Dekstrin Sagu.
Oleh: Poedji Hastoeti, Bambang Wiyono dan Hartoyo. Info Hasil Hutan
8 (1) 2001: 11-19. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi hasil
Hutan. Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan
konsentrasi asam terhadap dekstrin sagu yang dihasilkan, sedangkan
sasarannya adalah untuk mengetahui kondisi pengolahan dekstrin yang
menghasilkan dekstrin dengan daya larut yang terbaik. Pembuatan
dekstrin dengan berbagai jenis asam dan konsentrasi ini dilakukan secara
kering. Larutan asam yang digunakan adalah asam klorida dan asam
sulfat, di mana masing-masing jenis asam konsentrasinya terdiri dari 0%,
1.25%, 1,50%, 1,75%, dan 2%. Pengaruh jenis asam dan konsentrasinya
terhadap kualitas dekstrin dianalisis dengan menggunakan rancangan
faktorial dan nilai rataan setiap kualitas dianalisis dengan Tukey prosedur
dalam paket SAS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis asam klorida
menghasilkan dekstrin dengan sifat kelarutan dalam air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dekstrin yang dihasilkan katalis asam sulfat.
Sedangkan faktor konsentrasi sangat nyata mempengaruhi bilangan asam
dan derajat asam dekstrin yang dihasilkan. Bilangan asam dekstrin
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi katalis asam yang
digunakan. Kosentrasi asam yang menghasilkan nilai derajat asam yang
berbeda nyata terhadap konsentrasi lainnya hanya 1,25% saja, sedangkan
di antara konsentrasi asam 1,50%, 1,75% dan 2% tidak. Untuk nilai
bilangan asamnya, baik di antara jenis maupun konsentrasi asam yang
digunakan menghasilkan nilai bilangan asam yang berbeda nyata satu
dengan yang lainnya. Penggunaan asam klorida dengan konsentrasi 1,50%
menghasilkan dekstrin yang mempunyai daya larut dalam air yang terbaik,
dengan nilai derajat asam yang memenuhi persyaratan standar SNI.
Disarankan untuk mengolah pati menjadi dekstrin menggunakan katalis
asam klorida dengan kosentrasi 1,50%.
Kata kunci: dekstrin, pati sagu, asam klorida, asam sulfat, sifat fisika kimia.
058/1, 2005
Pengaruh Cara Ekstraksi terhadap Sifat Fisika dan Kimia Sagu (The Effect
of Extraction Methodes on Physical and Chemical Properties of Sago). Oleh: R.
Sudradjat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (1) 1985: 18-21. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The aim of this investigation is to evaluate the effect of extraction
methodes on physical and chemical properties of sago. Extraction
methodes comprise of fermentation, mechanical, and traditional.
The result indicated that sago yield varies from 20,19 - 40,12%,
acidity 0,89 - 0,98, moisture 13,39 - 14,29%, ash 0,15 - 0,32%, protein
0,38 - 0,46%, crude fiber 0,27 - 0,31%, fat 0,17 - 0,23% and amylum
72,64 - 88,12%.
Mechanical extractions gave the highest yield and amylum content.
Fermentation methode show more acid than traditional. The traditional
methode presents the highest ash content. This included that the
mechanical methode seemed to be preferable for commercial application.
Keywords: sagu, sifat fisiko-kimia, cara ekstraksi.
059/1, 2005
Semimicro Determination of Cellulose Content in Sago and Pith Flour
(Penetapan Kadar Selulosa Tepung Sagu dan Tepung Empulur Sagu dengan Metoda
Semimikro). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal penelitian Hasil Hutan
11 (2) 1993: 49-52. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
Tepung sagu serta tepung empulur sagu selain mengandung
komponen utama pati, juga mengandung komponen lain seperti protein,
lemak, sellulosa, flavan, dan polyphenol. Kadar komponen abus (minor)
sering menunjang peranan penentu untuk menyimak kualilas pati,
sehingga analisis kuantitatifnya perlu dilakukan. Study ini adalah untuk
memantau keampuhan metoda Anthrone dalam penetapan kadar selulosa
pada tepung sagu dan tepung empulur sagu melalui hidrolisis dengan
katalis asam.
Dalam kajian ini, asam aseto nitrat digunakan sebagai bahan
pengendap selulosa dan pengusir komponen lain seperti pati, lignin,
ksilosan, dan hemiselulosa. Endapan selulosa dihidrolisa dengan 67%
H2SO4 agar diperoleh komponen -D-glukosa. Kadar -D- glukosa
setelah direaksikan dengan senyawa Anthrone diukur dengan alat
spektrophotometer pada gelombang 620u, dimana senyawa selulosa
murni (Avicell) digunakan sebagai senyawa baku yang dibandingkan
dengan larulan blanko. Tepung empulur sagu mengandung kadar selulosa
yang jauh lebih tinggi dibanding yang terkandung dalam tepung sagu.
Kata kunci: tepung sagu, tepung empulur sagu, metoda semimikro, kadar
selulosa.
060/1, 2005
Percobaan Pembuatan Dekstrin dari Tepung Sagu (Metroxylon spp.) (An
Experimental Study of Dextryn Manufacture from Sago Flour (Metroxylon spp.).
Oleh: Yacob Ando dan Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5
(2) 1988: 42-46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The experimental study of dextryn manufacture was conducted at
the Forest Products Research and Development Centre laboratory in
Bogor. The sago flour was obtained from Riau, originally extracted from
female sago as signified by the absence of spine on the leaves.
The sago starch was manufactured into dextryin at 80°C starting
reaction temperature. Prior to the reaction, sufficient amount of sago
starch was bleached with 1% CaOCl 2. The starch was allowed to settle
down and dried. Umbleached sago starch was prepared as control.
During the dextryn manufacture the HCI was gradually sprayed to the
starch while elevating the temperature to 120°C, at which it was
maintained for 2 hours.
The reaction products were then tested and the properties
compared with that of the existing standard. The quality of the dextryn
manufactured was evaluated and discussed. The result of the experiment
was slightly inverior compared with that of the superior and prima quality
due to the low dextryn content.
Keywords: tepung sagu, dekstrin.
061/1, 2005
Pembuatan Glukosa dan Alkohol dari Sagu (Metroxylon spp.) (Production of
Glucose and Alcohol from Sago (Metroxylon spp.)). Oleh: Tjutju Nurhayati,
Syahri dan Hartoyo. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (2) 1988: 93 -96.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
A study for production of glucose and alcohol from sago
(Metroxylon spp) was conducted on a laboratory scale in the Forest Product
Research and Development Centre, Bogor.
Treatment condition given for hudrolysis of sago in order to
produce glucose was three levels of sulfuric acid (of 0.5 N; 0.75 N and
1.0 N) with three levels of temperature and pressure (of 250°F/15 psi,
259°F/20 psi, and 274°F/30 psi). The reaction time for hydrolysis at
each treatment combination were three levels (of 90 minutes, 120
minutes and 150 minutes). Glucose obtained from sago hydrolysis in this
experiment was then fermented for producing alcohol by means of
Sacharomyses cereviciae enzym activity from yeast.
The result showed that glucose yield during these experiment
ranged from 42.8 to 77,6%. The maximum glucose yield is obtained from
the 274˚F/30 psi treating condition and sulfuric acid consentration of 1.0
N within 120 minutes of hydrolysis time. Until 120 minutes of hydrolysis
period the glucose yield tend to increase with the increasing treatment
combination level. The results of glucose tends to decrease after wards at
hydrolysis period of 150 minutes.
The highest alcohol yield is 14.2% and is obtained from
fermentation of highest glucose yield of 77.6%. Based on the result of
chromatographic analysis of alcohol revealed that alcohol produced is
classified as ethanol (C2H50H).
Keywords: sagu, glukosa, alkohol.
062/1, 2005
Campuran Terigu dan Sagu sebagai Ekstender Perekat Kayu Lapis
(Mixture of Wheat and Sago Flour as Extender for Plywood Adhesive). Oleh:
Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (4) 1986: 9 -12.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
In I983 Indonesian plywood industries consumed about 45.000
tons of wheat flour as an extender of ureaformaldehyde adhesive. This
material is imported from foreign country, although Indonesia, as an
agricultural country, is rich with carbohydrate resources such as palm
trees.
The result of a laboratory study on the effect of four wheat and
sago flour mixtures and four levels of extender content on plywood
property is presented in this paper.
The mixtures of wheat and sago flour were 100/0, 80/20, 60/40,
and 40/60. Each of them was mixed with the UF glue at four different
composition, namely 15, 20, 25, and 30 percent of each total glue weight.
The experiment was based on the 4 x 4 factorial design with 4
replications.
The result shows that the wheat and sago flour mixture does not
significantly affect the glue shear as well as the wood failure. The
extender content on the other hand, affects significantly the above
properties, in which higher extender content has resulted in lower
plywood quality. The study reveals also that all of the plywood samples
tested conform with the Indonesian Standard (SII) for plywood type II.
Keywords: sagu, terigu, ekstender, perekat kayu lapis.
063/1, 2005
Pengolahan Dekstrin Sagu (Metroxylon rumphii) Secara Enzimatis
(Enzymatic Processing of Sago (Metroxylon rumphii) Starch for a Dextrin). Oleh:
R. Sudradjat dan Erra Yusnita. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (1)
2002: 55-69. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan.
Bogor.
Sagu (Metroxylon rumphii) adalah salah satu jenis pohon penghasil
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang potensial dan dalam areal yang
luas berfungsi sebagai hutan cadangan pangan (sumber karbohidrat).
Peningkatan pemanfaatan pati sagu menjadi dekstrin akan dapat
meningkatkan nilai kegunaan dan nilai ekonomis komoditi sagu. Salah
satunya adalah dengan mengolah menjadi dekstrin. Kegunaan dekstrin
dalam aneka bidang industri antara lain industri tekstil, industri
pulp/kertas, dan industri farmasi.
Tujuan penelitian adalah mendapatkan metode proses pengolahan
sagu menjadi dekstrin secara enzimatis yang optimal, sehingga
menghasilkan dekstrin yang memenuhi kualitas Standar Nasional
lndonesia (SNI) untuk dekstrin pangan dan dekstrin industri. Sedangkan
sasaran kegiatan adalah tersedianya teknologi pengolahan sago menjadi
dekstrin secara enzimatis yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dan
manfaat komoditi sagu.
Hasil penelitian diperoleh bahwa kelarutan dekstrin yang mernenuhi
standar SNI dekstrin industri pangan adalah pada konsentrasi substrat
25% dan dosis enzim 0,9 g/kg substrat kering, sedangkan kadar dekstrosa
yang dapat memenuhi standar SNI dekstrin untuk industri pangan adalah
pada konsentrasi substrat 25% dan dosis enzim 0,5 g/kg substrat kering.
Kata kunci: dekstrin, enzim, pengolahan sagu, katalis.
064/1, 2005
Pengaruh Konsentrasi Asamchlorida terhadap Produksi Gula dari
Beberapa Jenis Sagu (The Effect of Hydrochloric Acid Concentration on the Yield
of Sugar From Several Sago Species). Oleh: Lina Rusliana & Hartoyo. Laporan
(162) 1982: 1-5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
A preliminary research in sago hydrolysis for sugar making with 1.5;
2.0 and 2.5% hydrochloric acid was conducted at the Forest Products
Research Institute using sago samples from Metroxylon longispinum Mart
(sagu makanaru), Metroxylon rumphii Mart (sagu tuni), and Metroxylon
sylvester Mart (sagu ihur).
The result indicated that the yield of sugar is highly affected by the
concentration of hydrochloric acid, but not by the sago species. The
average sugar contents obtained from each hydrochloric acid treatment
indicated above, are respectively 59.6; 64.1 and 67.7%.
A chemical analysis on the three sago species shows that their
carbohydrate contents are relatively high, varying from 79.2 to 81.1%.
Keywords: sagu, produksi gula, konsentrasi asam khlorida.
065/1, 2005
Percobaan Pemutihan Tepung Sagu (Metroxylon Sp.) dengan Kaporit
(Experimented Calcium Hypochlorite Bleaching of Sago Flour). Oleh: Abdul
Hakim Lukman. Jumal Penelitian Hasil Hutan 9 (7) 1991: 259-267. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The effect of the bleaching of sago flour by calcium hypochlorite
solution at several concentration levels (0; 1.5; 2.0; and 2.5%) and soaking
time (30, 45 and 60 minutes) on sago flour quality were studied at the
Forest Products Research and Development Centre Laboratory in Bogor.
Results showed that unbleached sago flour when soaked for 60 minutes
gave the highest yield (89.48 percent). At 1.5 percent hypochlorite
concentration and 30 minutes soaking time, the proximate analysis
including moisture, ash, fat, starch, protein and crude fiber contents are
consecutively 9.34, 0.5, 0.28, 87.60, 0.56, and 0.74%.
Application of 1.5% calcium hypochlorite concentration and 30
minutes soaking time could improved pH value (7.70), whiteness
(83.60%) organoleptic color test (5.04), and organoleptic odor test (4.20),
while viscosity (17.85 cP), and reduced melanin content down to 0.05%.
Keywords: tepung sagu, pemutihan, kaporit.
066/1, 2005
Pengaruh Cara Ekstraksi terhadap Sifat Fisika dan Kimia Sagu (The Effect
of Extraction Methods on Physical and Chemical Properties of Sago). Oleh: R.
Sudradjat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (1) 1985: 18-21. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
The aim of this investigation is to evaluate the effect of extraction
methodes on physical and chemical properties of sago. Extraction
methodes comprise of fermentation, mechanical, and traditional.
The result indicated that sago yield varies from 20.19 – 40.12%,
acidity 0.89 – 0.98, moisture 13.39 – 14.29%, ash 0.15 – 0.32%, protein
0.38 – 0.46%, crude fiber 0.27 – 0.31%, fat 0.17 – 0.23% and amylum
72.64 – 88.12%.
Mechanical extractions gave the highest yield and amylum content.
Fermentation methode show more acid than traditional. The traditional
methode presents the highest ash content. This included that the
mechanical methode seemed to be preferable for commercial application.
Keywords: sagu, sifat fisiko-kimia, cara ekstraksi.
E. Resin
1. Damar
067/1, 2005
Teknik Pembuatan Pernis dari Damar untuk Usaha Kecil (The Manufacture
of Varnish from Shorea Resin for a Small-Scale Industry). Oleh: E. Edriana, Erik
Dahlian dan E. Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22
(4) 2004: 205-213. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
Penelitian ini bertujuan menentukan formula yang sesuai dalam
pembuatan pernis dari damar untuk usaha skala kecil. Bahan baku utama
yang digunakan adalah damar abu dan damar asalan dengan jenis pelarut
(toluen teknis) dan berbagai bahan pembantu lainnya yang diramu dengan
menggunakan beberapa komposisi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernis dari bahan baku damar
yang berkualitas rendah dengan formula campuran 65% larutan damar,
25% alkyd sintetis, 8.8% minyak tanah, 0.3% cobalt kering, dan 0.9%
calcium kering menghasilkan kualitas pernis yang baik. Pernis yang
dihasilkan memerlukan waktu pengeringan selama 3 jam dengan daya
kilap dan kesan raba yang baik. Pernis yang dihasilkan memiliki
karakteristik setara dengan pernis komersil, kecuali sifat pengentalan
akibat kontaminasi udara relatif lebih cepat. Pernis yang dibuat dengan
formula di atas memiliki biaya produksi lebih rendah daripada harga
pernis di pasaran.
Kata kunci: damar, pembuatan pernis, usaha kecil.
068/1, 2005
Pengaruh Lama Penyulingan Secara Kering pada Kondisi Vakum pada
Kondisi Vakum terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko-Kimia Residu
Damar Mata Kucing (The Effect of a Vacuum Dry Distillation Time on Yield
and the Physico-Chemical Properties of the Dammar Residue). Oleh: Bambang
Wiyono, Kurnia Sofyan, Dedeh Kurniasih, Poedji Hastoeti. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 19 (2) 2001: 89-101. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Damar mata kucing yang minyak atsirinya sudah disuling masih
dapat digunakan untuk tujuan industri. Sehubungan dengan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyulingan
secara kering pada kondisi vakum terhadap rendemen dan sifat fisikokimia residu damar mata kucing.
Penyulingan damar dilakukan secara kering dalam kondisi vakum
pada tekanan 0,06 Pa dan suhu 65-85 oC dengan lama penyulingan yang
terdiri dari 0,5; 1; 1,5; 2; dan 2,5 jam, di mana setiap perlakuan diulang 3
kali. Pengaruh peningkatan lama penyulingan terhadap kualitas residu
damar dianalisis dengan rancangan acak lengkap. Perbedaan nilai rataan
antarperlakuan dianalisis dengan metode Tukey, sedangkan
kecenderungan perubahan sifat fisiko-kimia residu damar sejalan dengan
meningkatnya lama penyulingan dianalisis dengan polinomal ortogonal
menurut prosedur SAS.
Lama penyulingan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen,
bilangan asam, titik lunak, kadar abu, bilangan penyabunan dan bilangan
iod residu damar mata kucing dalam toluena. Peningkatan lama
penyulingan menurunkan rendemen dan bilangan asam residu, namun
meningkatkan sifat titik lunak, kadar abu, bilangan penyabunan, bilangan
iod dan kadar bahan tak larut dalam toluena. Penyulingan damar mata
kucing 2,5 jam merupakan lama penyulingan yang optimum karena
menghasilkan titik lunak residu yang tinggi dan bilangan iod yang tinggi,
yang disertai bilangan asam yang rendah. Lama penyulingan mempunyai
hubungan secara nyata dengan rendemen dan sifat fisiko kimia residu
damar mata kucing, kecuali bahan yang tak larut dalam toluena.
Dibanding dengan standar SNI untuk damar mata kucing, residu
damar mata kucing yang telah dipisahkan minyak atsitirinya belum
memenuhi persyaratan yang ditetapkan baik sifat titik lunak, bilangan
asam maupun kadar abunya. Agar sifat residu damar ini dapat masuk
dalam persyaratan kualitas yang ditetapkan, maka dalam proses
penyulingan minyak damar mata kucing secara vakum perlu dicoba
dengan menggunakan tekanan yang lebih besar yang disertai kondensasi
yang tepat untuk tekanan tersebut.
Kata kunci: damar mata kucing, penyulingan kering secara vakum, residu
penyulingan, rendemen, sifat fisiko-kimia.
069/1, 2005
Pengaruh Jenis Pelarut dan Kualitas Damar terhadap Rendemen dan Sifat
Fisiko-Kimia Damar yang Dimurnikan. (Effect of Solvent Kinds and Dammar
Qualities on Yield and Physico-Chemical Properties of Purified Dammar). Oleh:
Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (2)
2001: 103-115. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil
Hutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pelarut
dan kualitas damar terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia damar yang
dimurnikan, sedangkan sasarannya adalah untuk mencari pelarut organik
yang dapat digunakan untuk memurnikan damar mata kucing dengan
tetap memperhatikan kualitas damar yang dihasilkan.
Berbagai kualitas damar mata kucing dimurnikan dengan
menggunakan pelarut organik, kemudian dianalisis sifat fisiko-kimianya.
Pengaruh jenis pelarut dan kualitas damar terhadap rendemen dan sifat
fisiko-kimia damar yang dimurnikan dianalisis dengan rancangan faktorial
A x B dengan 2 kali ulangan. Faktor perlakuan A merupakan jenis pelarut
yang terdiri dari benzena, toluena dan tanpa perlakuan, sedangkan faktor
B adalah kualitas damar mata kucing yang terdiri dari kualitas A, B, C, D
dan kualitas E. Perbedaan nilai rataan antarperlakuan dianalisis dengan
metode Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pelarut organik dan
kualitas damar mata kucing berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan
asam, bilangan iod, kadar abu dan kadar bahan tak larut dalam toluena,
dan berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan damar yang telah
dimurnikan. Pemurnian damar mata kucing dengan menggunakan pelarut
benzena menghasilkan sifat fisiko-kimia yang lebih baik dibandingkan
dengan pelarut toluena. Berdasarkan persyaratan bilangan asam dan kadar
bahan tak larut dalam toluena menurut SNI, pemurnian damar dengan
pelarut organik mampu menaikan kualitasnya. Kualitas damar mata
kucing dari kualitas E menjadi damar kualitas D, sedangkan damar
kualitas C dan B meningkat kualitas menjadi damar kualitas A. Pemurnian
damar dengan pelarut organik dapat meningkatkan kualitasnya dan damar
dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan yang memudahkan dalam
pengiriman ke luar negeri.
Kata kunci: damar mata kucing, pelarut organik, pemurnian.
070/1, 2005
Optimalisasi Pembuatan Pernis dari Damar (Shorea javanica) (Optimization
of the Manufacturing Varnish from Damar (Shorea javanica)). Oleh: Erik
Dahlian, Hartoyo & Erra Yusnita. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21 (1)
2003: 23-30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan.
Bogor.
Pernis (varnish) adalah suatu cairan yang komposisinya tersusun dari
resin oil, pelarut, pigmen, bahan pengering, aditif atau bahan tambahan
yang apabila diaplikasikan pada suatu permukaan bahan dapat
membentuk lapisan kering, keras dan rekat pada permukaan.
Dalam upaya meningkatkan pemanfaatan damar telah dilakukan
penelitian pembuatan pernis dari damar mata kucing kualitas asalan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode pembuatan pernis
dari damar yang lebih efisien yang dapat meningkatkan pemanfaatan dan
nilai komersial dari damar sehingga menghasilkan pernis bermutu baik
dengan harga yang dapat bersaing di pasaran. Sedangkan sasarannya
adalah pengenalan teknologi proses investasi rendah yang dapat
diaplikasikan pada sentra penghasil damar.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa metode perlakuan formula
66,0/24,0 k; 65,5/24,5 s dan 65,5/24,5 k telah menghasilkan pernis yang
kualitasnya memenuhi standar yang telah dipersyaratkan oleh pabrik ICI.
Penggunaan damar mata kucing kualitas asalan dan pelarut campuran
yang terdiri dari toluen dan minyak tanah, ternyata dapat menekan biaya
produksi pembuatan yang relatif rendah dan dapat memberikan kelayakan
ekonomi untuk diusahakan dalam skala industri kecil.
Kata kunci: damar, optimalisasi, asalan, pernis, proses.
071/1, 2005
Percobaan Pemisahan Minyak Damar Mata Kucing dengan Penyulingan
Secara Kering pada Kondisi Vakum (Experiment on Separating Essential Oil
from Dammar with a Vacuum Dry Distillation Technique). Oleh: Bambang
Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18 (1) 2000: 27-39. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Soft dammar contains essential oil which can be used for industrial
purposes. This oil can be distilled from dammar with using a vacuum dry
distillation technique. Relating to this. the objective of the research is to
investigate the condition for separating essential oil from dammar which
produced high yield and better in physico-chemical properties.
A vacuum dry distillation technique of dammar was carried out at
0.5, 1, 1.5, 2, and 2.5 hours, where each of the distilling times was
replicated for 3 times. The effect of distilling time on the yield of oil and
its properties were ana lysed by using a completely randomized design
with the distilling times regarded as a treatment level, and further there
differences in the average values between the treatment levels were tested
with the Tukey's range prosedure. The relationship between distilling
time and oil yield and its physico-chemical properties was analyzed with a
polynomial orthogonal regression in a SAS package.
The results showed that distilling time gave a highly significant effect on
oil yield, specific gravity, optical rotation, acid number, saponification
number, and ester number, but did notfor refractive index. Moreover,
Tukey test indicated that distilling time of 2.5 hours gave the highest
values of oil yield, acid number, saponification number and ester number
with a highly significant difference among others. Polynomial orthogonal
anal.vsis revealed that there were relationship between distilling time and
oil yield as well as its properties with a highl}! significant level as
indicated by regression equations with their determination coefficients
(R"' ) as follows:
Y = - 0.5771 X2 + 3.4794 X + 0.7567
= 0.8607
Specific gravity
Y = - 0.0286 X4 - 0.1727 X3 + 0.3636 X2
- 0.2921 X + 0.9847 = 0.8527
Optical rotation
Y = -3.8643 X2 + 19.594 X -14.884
= 0.9601
Acid number
Y = - 5.1822 X4 + 30.04 X3 - 58.064 X2 +
45.73 X - 7.6033 = 0.9789
Saponification number Y = 22.16000 X3 - 46.90889X2 + 40.07000
X + 25.58000 = 0.9662
Ester number
Y = + 9.9222 X4 - 62.34 X3 + 135.73 X2 112.66 X + 34.09 = 0.9855
Oil yield
Increasing the distilling time tended to change the colour of
dammar oil from being pale brown to being dark brown. It was also
tending to increase oil yield, specific gravity, optical rotation,refractive
index, acid number, saponification number and ester number. The
optimum time to distil essential oil from soft dammar was 3 hours which
produced the highest oil yield around 6%.
Keywords: dammar, essential oil, vacuwn dry distillation, oil yield,
physico-chemical properties.
072/1, 2005
Pengolahan Damar di Krui Lampung. Oleh: Zulnely. Prosiding
Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 399-407. Pusat Penelitian Hasil
Hutan. Bogor.
Damar merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) yang sudah sejak lama dipungut dan diusahakan oleh
masyarakat sekitar hutan di daerah Krui Lampung Barat.
Di daerah ini jenis damar yang diusahakan ialah damar mata kucing
yang berasal dari hasil penyadapan pohon Shorea javanica. Damar mata
kucing ini masih diperjualbelikan dalam bentuk damar asalan (gumpalan
getah). Pengolahan yang dilakukan terhadap getah damar untuk siap
diperdagangkan atau diekspor meliputi pekerjaan membersihikan getah
damar dari kotoran, menyortir getah damar berdasarkan besar butiran
dan warna.
Pengolahan atau sortasi yang dilakukan di daerah Krui Lampung
Barat sangat sederhana dan masih manual.
Kata kunci: damar, sortasi, Krui Lampung Barat.
073/1, 2005
Karakteristik Damar dan Pemanfaatannya. Oleh: Zulnely, Abdul Hakim
Lukman & Nurmawati Siregar. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian 1994:
141 – 149. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Damar merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu yang
cukup penting peranannya. Komoditi ini memiliki kandungan resin alam
yang dihasilkan oleh pohon yang termasuk famili Dipterocarpaceae dan
Burceraceae.
Damar merupakan bahan padat dengan warna yang bervariasi
tergantung dari jenisnya, mempunyai kandungan senyawa kimia yang
kompleks.
Keteguhan damar cukup luas, seperti untuk bahan mentah dalam
industri cat, lilin, lak, vernis, plastik, korek api, bahan isolator, bahan
percetakan dan industri bahan peledak.
Di dalam perdagangan dikenali berbagai jenis damar di antaranya
damar mata kucing, damar biru, damar merah dan damar hitam. Damardamar tersebut kebanyakan ditujukan untuk ekspor sebagai bahan baku
industri, terutama damar mata kucing yang memiliki kualitas paling baik.
Kata kunci: damar, karakteristik, pemanfaatan.
074/1, 2005
Mempelajari Pemisahan Minyak Atsiri dari Damar Mata Kucing dan Sifat
Fisiko-Kimia Residunya (Study on the Essential Oil Separation of Damar Mata
Kucing and its Residual Physico-Chemical Properties). Oleh: Bambang Wiyono.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6) 1998: 363–370. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi minyak atsiri dari
berbagai kualitas damar mata kucing dan menganalisis sifat fisiko-kimia
residunya. Setiap kualitas damar mata kucing disuling secara kering pada
suhu 120 - 130 oC selama 7 jam. Hubungan antara waktu penyulingan dan
rendemen distilat dianalisis dengan regresi linier mengikuti prosedur SAS.
Sedangkan sifat fisiko-kimia residu penyulingan dibandingkan dengan
Standar Nasional Indonesia untuk damar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa damar berkualitas rendah
mengandung minyak atsiri lebih tinggi dibandingkan dengan damar
berkualitas tinggi, yang ditunjukkan oleh tingginya distilat yang dihasilkan.
Sidik regresi antara waktu pemisahan minyak dari getah damar dan
rendemen destilat adalah secara sangat nyata untuk semua kualitas damar,
di mana hubungannya ditunjukkan oleh persamaan regresi dengan
koefisien sebagai berikut:
Damar dengan kualitas A : Y = 0,2375 X + 0,057143; R = 0,886
Damar dengan kualitas B : Y = O,176786 X - 0,121429; R = 0,923
Damar dengan kualitas C : Y = 0,3875 X - 0,057143; R = 0,868
Damar dengan kualitas D : Y = 0,587314 X - 0,371429; R = 0,975
Damar asalan (E)
: Y = 0,591071 X -0,1000; R = 0,880
Residu penyulingan damar kualitas A, B dan C memenuhi
persyaratan SNI kecuali sifat titik lunaknya. Sedangkan residu dari kualitas
D dan asalan belum memenuhi persyaratan standar tersebut. Agar residu
ini memenuhi persyaratan tersebut, bahan baku dibersihkan terlebih
dahulu dari kotoran yang ada, lalu disuling pada kondisi vakum dengan
waktu penyulingan sekitar 2 - 3 jam.
Kata kunci: damar mata kucing, penyulingan kering, sisa penyulingan,
minyak atsiri.
2. Kopal
075/1, 2005
Sifat Fisiko Kimia Kopal Manila (Physico-Chemical Properties of Manila
Copal). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (125) 1978. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Manila copal is a resin exudate obtained from tapped or wounded
Agathis trees. The resin is generally collected every other two weeks. This
produsct is known as melengket or soft manila copal. When resin exudate
collected after one or more months, the product gets harder in its nature
and therefore is designated as loba or half hard Manila
Semi fossil of a few years age of resin is commonly known as hard
manila or Pontianak where as the hard buried product termed as fossil
manila or bua.
A whice bua can be obtained from the living trees in the forest
although this is a burdensome to the collectors due to location up high
on the trees. Each one of these classes, size, and the presence or absence
of foreign matter.
Ecfore world war II, a great number of copal was exported from
Indonesia. Until then the quantity has been continously decreasing. This
situation happens due to degrading and uncertainity of quality, and facing
a hard compentition from substitute commodity known as plastics or
synthetic resins.
This study deals with simplification of the existing classification of
Indonesia copal by judging the appropirate properties which will be
employed in quantitative classification.
Keywords: kopal manila, sifat fisiko-kimia.
076/1, 2005
Percobaan Pembuatan Pernis dari Kopal Asal Probolinggo (An
Experiment on Varnish Making with Copal from Probolinggo). Oleh: Totok K.
Waluyo, Erik Dahlian dan Enen Edriana. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
22 (1) 2004: 35-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil
Hutan. Bogor.
Pernis adalah suatu cairan yang komposisinya tersusun dari resin
oil, pelarut, pigmen, bahan pengering, aditif atau bahan tambahan yang
apabila diaplikasikan pada suatu permukaan bahan dapat membentuk
lapisan kering, keras dan rekat pada permukaan.
Kopal merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang
menguasai 80% pasar dunia yang mana salah satu daerah penghasilnya
adalah Probolinggo.
Dalam upaya pemanfaatan kopal di dalam negeri telah dilakukan
penelitian pembuatan pernis dari kopal kualitas utama/UT Probolinggo.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat pernis yang
dihasilkan dengan menggunakan pelarut propanol-2 + Etyl acetat (1 : 2)
dan ditambahkan 0,3% dry cobalt, 0,9% dry calcium dan 18% synthetic
alkyd. Bahan-bahan tersebut menghasilkan pernis dari kopal asal
Sukabumi yang mempunyai sifat-sifat pernis sama dengan pernis
komersial dan memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh ICI.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pernis dari kopal Probolinggo
sifat-sifatnya masih di bawah pernis komersial dan tidak memenuhi
standar yang dipersyaratkan oleh ICI, yaitu dalam hal lama mengering,
kesan raba, warna, kekuatan geser dan kerataan pelaburan. Hal ini
disebabkan oleh kekentalan pernis yang dihasilkan tinggi (7,5 cp) di atas
standar (6-7cp).
Kata kunci: propanol-2, etyl acetat, dry cobalt, dry calcium, synthetic
alkyd.
077/1, 2005
Sifat-sifat Kopal Manila dari Probolinggo, Jawa Timur (Properties of Manila
Copal Originated from Probolinggo, East Java). Oleh: Totok K. Waluyo, E.S.
Sumadiwangsa, Poedji Hastuti & Evi Kusmiyati. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan 22 (2) 2004: 87-94. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Hasil Hutan. Bogor.
Kopal manila berasal dari getah pohon Agathis sp., yang keluar
dengan cara disadap. Kopal manila dari Indonesia menguasai hampir 80%
pasar dunia. Salah satu daeah penghasil kopal manila di Indonesia yaitu
Probolinggo, Jawa Timur.
Sifat-sifat fisiko-kimia kopal manila Probolinggo kualitas
UT/Utama dan P/Pertama adalah sebagai berikut: warna 10 YR 8/3
(abu-abu muda) dan 2,5 YR 6/1 (abu-abu kemerahan); kadar kotoran
9,7% dan 23,3%; titik lunak 144 dan 149°C; kadar abu 0,2 dan 9,2%;
bilangan asam 244 dan 209; bilangan penyabunan 309 dan 245 dan berat
jenis 0,91 dan 0,88.
Kopal manila Probolinggo kualitasnya relatif rendah dan tidak
termasuk dalam Standar Nasional Indonesia 01-1681-1989, terutama
disebabkan oleh kadar kotoran yang tinggi.
Kata kunci: kopal manila, Aghatis sp., sifat fisiko-kimia.
3. Lak
078/1, 2005
Percobaan Pembuatan Lak Kuning dari Lak Biji yang Telah Mengalami
Pencucian Pendahuluan dengan Soda Abu (An Experiment on Shellac
Production from Prewashed Shellac with ash Soda). Oleh: Han Roliadi &
Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (134) Maret 1979: 11 halaman. Lembaga
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
An experiment on shellac production had been carried out in the
Chemical Processing Laboratory of the Forest Products Research
Institute (FPRI), Bogor. Material for this experiment was branch-lac from
kesambi (Sohliechera oleosa Merr) in the Banyukerto forest district, East
Java, of the State Forest Enterprise Perum Perhutani.
The rosin was scraped off the branches, to which it sticks, using a
sharp knife. The scarpings are then sieved through two-stage-screens (25
and 40 mesh). Fractions passing through the 25 mesh and retained on the
40 mesh screen were collected. The are mostly granular and called seed
lac. The seedlac was divided into 4 parts, and each part was soaked
separetly in ash – soda (Na 2CO 3) solution of 1, 2 g/l (a1), 1,6 g/l (a2), 2,0
g/l (a3) and 2,4 g/l (a4) for 12 hours. The resaulting mass was washed
thorougly and each part was soaked in salt (NaCl) solution with a
concentration of 30-35 per cent to remove heavy foreign matters (like
stoine particles, sand, etc). lac rosin would be floating. An adequaate
amount of seedlac was taken determining yield. After it was separated
from salt solution and washed, clean lac rosin was placed on a 40 mesh
screen, and put into an autoclave and heated under 3-4 kg/cm2 pressure
for 4 hours. Melted lac would easily pass through the screen while wood
and bark particles from branches were retained.
The fraction passing through is considered as shellac, which was
dried to an air dry moisture content for testing. Yield of seedlac as well
as shellac varied considerably i.e. 49.1.54.0 and 33.00 - 41.1 respectively.
Such variation occurs with phycochemical properties i.e: moisture
content = 2.02 - 3.20%, solubility in cold alcohol = 93.70 - 97.81%,
insolubility in hot alcohol = 0.40 - 1.70%, ash content = 0.99 - 1.71%
and iod number = 18.98 - 23.32. Increase in ash soda concentration
caused proportional increases of ash content and solubility in cold
alcohol. On the other hand for yield (of both seedlac and sheelac)
moisture content, insolubility in hot alcohol and iod number, the reverse
is true.
In connection with ASTM requirement for lac quality and
physicochemical properties of domestic lac (Indonesia), decrease in
moisture content, iod number, and insolubility in alcohol turns out to be
favour able, howewer, these are accompanied by higler ash content. This
problem of high ash content, may be overcome by better washing and
possibly by using ion bonding agents.
Keywords: lak biji, pembuatan lak kuning, pencucian, soda abu.
079/1, 2005
Beberapa Catatan Budidaya dan Pengolahan Lak. Oleh: Bambang
Wiyono. Info Hasil Hutan 5 (3) 1999: 117-126. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara
Barat (NTB) merupakan salah satu sumber penghasil lak cabang dan lak
biji. Pada daerah tersebut, kegiatan kultur lak meliputi persiapa n tularan
seleksi bibit, penularan bibit lak, pemungutan lak bekas bibit
pemeliharaan tularan dan unduhan. Dalam unduhan lak cabang
diklasifikasikan menjadi 2 kualitas, kualitas A1 merupakan bibit untuk
penularan berikutnya dan kualitas A2 langsung dikirim ke pabrik. Lak
cabang yang dikirim ke pabrik kemudian diolah menjadi lak biji.
Selanjutnya, dalam penularan kutu lak pada pohon angsana, ternyata
pohon angsana tidak dapat dijadikan sebagai inang kutu lak.
Kata kunci: kultur lak, bibit lak, lak cabang, lak biji, pengolahan lak biji.
080/1, 2005
Percobaan Pembuatan Lak Kuning dengan Proses Pelarutan (An
Experiment of Shellac Production by Solvent Process). Oleh: Abdul Hakim
Lukman dan Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (3) 1988:
148-150. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Shellac can be produced by two different procedures, namely heat
process and solvent process: Ordinarily, domestic shellac produced by
heat process, while imported one (from India) by solvent process.
Solvent process yields shellac much purer than heat processed, with
relatively better properties.
The physico-chemical properties of shellac produced in this
experiment, i.e.: moisture content 2.36%, ash content 0.15%, matter
soluble in water 0.43%, matter soluble in cold alcohol 97.86%, acid
number 46.81 and Iod number 16.39. Shellac from fabric manufacturing
have its properties i.e.: moisture content 4.03%, ash content 0.27%,
matter soluble in water 3.26%, matter soluble in cold alcohol 89.14%,
acid number 41.01 and lod number 31.35.
Result of LSD test between experiment shellac and shellac from
fabric are reveal highly significant different for ash content, matter
soluble in water, matter soluble in cold alcohol and Iod number, but is
not significantly different for the other properties.
Keywords: pembuatan lak kuning, proses pelarutan.
081/1, 2005
Perbandingan Kualitas Lak Cabang dari Probolinggo dan Sambelia NTB.
Oleh: Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti & Evi Kusmiyati. Prosiding
Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 377-385. Pusat Penelitian Hasil
Hutan. Bogor.
Berdasarkan tes kualitas lak cabang cara Thailand, lak cabang asal
Probolinggo dan lak cabang lama asal Sambelia mempunyai kualitas yang
dapat dikatakan sama. Kualitas cabang ini lebih baik dibandingkan
dengan kualitas lak cabang lama asal Sambelia. Dari sidik ragam, diketahui
bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap ketidaklarutan dalam
alkohol panas 90%, kadar lilin, kelarutan dalam air, bilangan iod,
kelarutan alam alkohol dingin, kadar abu dan bilangan asamnya, namun
perlakuan ini tidak berpengaruh nyata terhadap sifat bilangan
penyabunannya. Analisis beda nyata jujur (BNJ) terlihat bahwa nilai
rataan kadar lilin, kelarutan dalam air dan kelarutan dalam alkohol dingin
berbeda satu dengan yang lainnya. Sedangkan nilai rataan ketidaklarutan
dalam alkohol panas antara lak cabang dari Probolinggo dan lak cabang
lama dari Sambelia tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan
nilai rataan lak cabang yang baru. Selanjutnya nilai rataan antara sifat
bilangan iod, kadar abu dan bilangan asam lak cabang yang baru dengan
lak cabang yang lama asal dari Sambelia tidak berbeda nyata, namun
berbeda nyata dengan lak cabang yang berasal dari Probolinggo. Lak
cabang asal Probolinggo lebih banyak mengandung resin, lilin dan zat
warna dibandingkan dengan lak cabang asal Sambelia. Sedangkan kadar
kotorannya paling rendah. Kandungan asam lemak bebas dalam lak
cabang asal Probolinggo lebih kecil dibandingkan dengan kandungan
asam lemak bebas lak cabang yang diperoleh dari Sambelia.
Kata kunci: kualitas, lak cabang, BKPH Taman, Sambelia NTB.
4. Resin
082/1, 2005
Pemanfaatan Resin untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Sekitar
Hutan. Oleh: E. Suwardi Sumadiwangsa. Prosiding Lokarya Penelitian
Hasil Hutan, 2000: 117–129. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), bila ditangani dengan bijaksana
dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat dan pemerintah. Komoditi
HHBK sangat banyak jenis dan ragamnya sehingga perlu dipilih menjadi
beberapa kelompok yang salah satunya adalah kelompok resin.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai informasi umum komoditi
resin dan permasalahan yang dihadapi serta iptek yang ditemukan para
peneliti HHBK di Puslit Hasil Hutan. Beberapa di antaranya adalah alat
penduga kandungan gaharu pada pohon hidup, permasalahan grading
damar, pembuatan vernis kayu dari damar, manipulasi kadar stimulan
pada penyadapan pinus dan perbandingan kualitas lak dari areal baru dan
lama. Ternyata kesemuanya mampu meningkatkan produksi dan nilai
komoditi resin yang cukup berarti dan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar hutan yang bersangkutan.
Kata kunci: resin, pemanfaatan, masyarakat sekitar hutan.
F. Rotan dan Bambu
1. Rotan
083/1, 2005
Perbaikan Teknik Pelengkungan Rotan Melalui Perendaman dengan
Larutan Dimetil Sulfoksida (Improvement of Rattan Bending Technique by
Soaked with Dimethyl Sulfoxida Solution). Oleh: Osly Rachman, Suhadi
Hardjo & Meri Suwirman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (4) 1997:
299 – 311. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Kayu dapat dilunakkan dengan berbagai macam bahan kimia, satu
di antaranya adalah larutan dimetil sulfoksida (DMSO). Oleh karena rotan
mengandung struktur kimia yang sama dengan kayu maka akan diselidiki
kemungkinan pemanfaatan bahan ini untuk pelengkungan rotan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh larutan DMSO pada
pelunakan agar diperoleh teknik pelengkungan rotan yang lebih baik.
Untuk maksud tersebut, 3 jenis rotan direndam dalam 5 tingkat
konsentrasi DMSO lalu diamati sifat pelengkungannya.
Pengamatan terhadap kerapatan dan penyebaran ikatan pembuluh
yang paling tinggi pada rotan batang menunjukkan bahwa rotan ini perlu
direndam dalam lerulan 15% DMSO agar dapat dilengkungkan dengan
mudah tanpa menimbulkan cacat. Sebaliknya, rotan minong memerlukan
perendaman pada larutan 5% DMSO. Kerusakan pada serat rotan sebagai
akibat pelengkungan tanpa perendaman dalam DMSO sangat jelas terlihat
pada rotan minong dan batang.
Peningkatan konsentrasi larutan cenderung meningkatkan
kemudahan dalam pelengkungan, mengurangi kerusakan fisik dan tidak
mempengaruhi kilap rotan. Akan tetapi, kenaikan konsentrasi cenderung
meningkatkan mulur dan pengerutan volume serta menurunkan MOE
dan rasio elesto-plastisitas rotan.
Kata kunci: rotan, plastisasi, pelengkungan, dimetil sulfoksida.
084/1, 2005
Pengolahan Tiga Jenis Rotan dengan Menggunakan Berbagai Komposisi
Campuran Minyak Pemasak (The Processing of Three Rattan Species Using
Several Different Mixed Frying Oil Compositions). Oleh: Abdul Hakim Lukman
& Zulnely. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (3) 2000: 169 –177. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pengolahan tiga jenis rotan dari Jawa Barat yaitu rotan pelah
(Daemonorops rubra Bl.), rotan seel (D. melanochaetes BI.) dan rotan seuti
(Calamus ornatus Bl.) dengan cara menggorengnya di dalam campuran
minyak tanah dan minyak kelapa sawit pada perbandingan 4 : 0; 4 : 1; 4 :
2 dan 4 : 3. Kondisi penggorengan adalah suhu pemasak 130 oC dan
lamanya 20 menit. Tujuan dari penelitian ini untuk mencari komposisi
campuran minyak kelapa sawit dan minyak tanah sebagai minyak
penggoreng rotan yang terbaik
Hasil percobaan menunjukkan bahwa komposisi minyak
penggoreng memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat jenis, kadar
air, keteguhan lentur statis dan keteguhan tekan sejajar serat. Sedangkan
untuk jenis rotan hanya berpengaruh pada berat jenis saja. Dari
percobaan juga diperoleh bahwa berat jenis rotan seuti (0,51) lebih tinggi
dibandingkan dengan rotan pelah (0,44) dan rotan seel (0,47). Kondisi
penggorengan yang baik diperoleh pada campuran minyak tanah dan
minyak kelapa sawit dengan perbandingan 4 : 2. Pada kondisi tersebut
dihasilkan rotan dengan sifat-sifat tertentu yaitu berat jenis (0,46; 0,51 dan
0,50 berturut-turut untuk jenis rotan pelah, seel, dan seuti); kadar air
(13,58; 13,85 dan 13,26% untuk pelah, seel dan seuti); keteguhan lentur
statis (249,46; 313,43; dan 292,19 kg/cm2 untuk pelah, seel dan seuti); dan
keteguhan tekan 222, sejajar serat (212,96; 245,42 dan 205,41 kg/cm2
untuk pelah, seel dan seuti). Disarankan untuk menggoreng rotan dengan
campuran minyak tanah dan minyak kelapa sawit menggunakan
perbandingan 4 : 2, pada suhu 130 oC selama 20 menit.
Kata kunci: rotan, minyak kelapa sawit, minyak tanah, sifat fisis mekanis.
085/1, 2005
Efisiensi Sistem Tataniaga Rotan di Kalimantan Timur (The Efficiency of
Rattan Marketing System in East Kalimantan). Oleh: Satria Astana. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 9 (7) 1991: 283-290. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor
The efficiency of rattan marketing system in East Kalimantan. Two
creteria were developed and used to analyse. The first criterium is that the
marketing system is assumed to be efficient when its marketing margin is
less than 50% of consumer price. Secondly, eventhough the marketing
margin is under 50%, the marketing system is assumed to be inefficient
when the profit margin of the system tends to accumulate in one trader
or more.
The results of the study reveal that the rattan marketing system in
East Kalimanatan is in efficient. As it is shown, based on the price spread
analyses, by the marketing margin of the system that is 66.67%. This high
margin is due to the water content cost which accounts for 81.25% and
62,52% of the marketing costs for intermediate and inter islands tarders,
respectively. Meanwhile, the profit margin of the system tends to
accumulate in one trader, that is the inter island trader. In fact, the inter
islands trader gains the profit of 12,01%. Marketing cost is only 21.32%
of the consumer price. On the other hand, the intermediate trader who
spend the marketing cost as much as 24.62% of the consumer price gains
the profit of 8.72% only.
The accumulation of profit margin on the inter islands trader
would imply that in the case of the marketing price increases or the
marketing costs decreases, profit margin could not be distributed among
other operators within marketing channels, including the rattan farmers.
As a result, farmers may decrease their production. This may futher
compound the reduction of domestic rattan trade caused by the raatan
export ban policies. Therefore, without better distribution of profit
margin among operators within marketing system, the shortage of rattan
supply in the domestic market may not be avoided.
Keywords: tata niaga rotan, efisiensi, Kalimantan Timur.
086/1, 2005
Pengupasan dan Pemolisan Rotan dalam Keadaan Basah dan Kering (The
Polishing and Scrapping of Rattan Carried Out in Dry and Wet Conditions). Oleh:
Efrida Basri, Osly Rachman dan Achmad Supriadi. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 15 (8) 1998: 475-487. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan. Bogor.
The scrapping and polishing of large diameter rattan so far are still
carned out in a dry condition, This leads to inconvenient situation since it
can take one month or more to achieve approximately 16% moisture
content. This is disadvantageous because the production of rattan is
hindered and also its durability becomes lower.
The study of rattan scrapping and polishing in wet condition is
therefore undertaken as one possible way to overcome the problems as in
the dry condition, In this study, several conversion factors as the data
observation were obtained from the scrapping and polishing trials, which
were done in either wet or dry conditions.
The factors were then used as a matter of evaluation wether wet
condition of the rattan scrapping and polishing could be used as a
substitute for tile dry condition.
Three species of large diameter rattans were used in this trial,
namely: manau (Calamus manan Miq), seuti (Calamus ornatus BL), and
nunggal (Calamus ornatus BL). All tile rattans were scrapped and polished
in wet (70 - 80% moisture content) and dry in (15 - 18% moisture
content) conditions. The factors observed were the decrease in rattan
diameter, recovery, torn and fuzzy grain, colour defect, and productivity.
Wet-scrapping and polishing results in lower rattan recovery and
higher torn and fuzzy grain than tile dry-scrapping and-polishing.
However, the decrease in diameter and the productivity from the rattan
scrapping and-polishing in wet and dry conditions showed comparable
values. Referring to the machining classification, wet-scrapping andpolishing produced the rattan that could be categorized into three
qualities: "good" (for manau and nunggal rattan), "moderate" (for seuti).
However, if the scrapping and polishing were done in the dry condition,
all the three rattan species as produced fell into "very good" quality.
Considering that tile present method of dle rattan scrapping and
polishing is only carried out in the dry condition, the use of wet condition
can later be applied with satisfactory results of rattan quality by proper
engineering in the scrapping and polishing.
Keywords: rattan, scrapping, polishing, recovery, productivity, quality.
087/1, 2005
Studi Kasus Alih Teknologi Pengolahan Rotan Lepas Panen di KPH
Kuningan (Case Study on the Transfer of Processing Technology of Post Harvested
Rattan in Forestry District of Kuningan). Oleh: D. Martono & Triyono P.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (4) 1999: 201-208. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Industri pengolahan rotan washed and sulfurized (W&S) yang
menggunakan bahan baku rotan lepas panen telah dibangun di KPH
Kuningan (Jawa Barat) untuk keperluan studi alih teknologi. Tujuan dari
studi ini adalah untuk mengevaluasi: 1) sejauh mana alih teknologi dapat
diadopsi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di KPH Kuningan,
dan 2) penerimaan pasar terhadap rotan W&S hasil pengolahan
masyarakat.
Hasil studi menunjukkan bahwa alih teknologi berjalan secara
efektif di mana prosedur pengolahan rotan dapat dipahami dengan
mudah oleh masyarakat sehingga kegiatan pengolahan rotan berjalan baik.
Setiap hari dapat diproduksi 300 batang rotan W&S yang kualitasnya
sesuai dengan pemintaan pasar. Studi ini menilai bahwa penerapan
pengolahan rotan dan bermanfaat bagi petani atau masyarakat pedesaan.
Meskipun demikian, penyempurnaan teknologi pengolahan rotan lepas
panen yang ditunjang analisis biaya masih perlu dilakukan. Dengan cara
ini, rotan W&S hasil pengolahan masyarakat dapat dijual secara bersaing
di pasaran.
Kata kunci: alih teknologi, rotan, petani.
088/1, 2005
Rotan Jawa: Peluang dan Tantangan Pemanfaatannya oleh Industri. Oleh:
Achmad Supriadi. Info Hasil Hutan 7 (2) 2000: 57-68. Pusat Penelitian
Hasil Hutan. Bogor.
lndustri rotan di pulau Jawa amat tergantung kepada pasokan rotan
asal luar Jawa, karena bahan bakunya sekitar 90% atau lebih
menggunakan rotan luar Jawa. Beberapa faktor antara lain kebakaran
hutan, pemberlakuan kembali ekspor rotan segala bentuk, penyelundupan
rotan dan pemberlakuan otonomi daerah yang diperkirakan dapat
mengurangi pasokan rotan dari luar Jawa, sehingga memberi peluang
untuk memanfaatkan rotan asal Jawa.
Sejak tahun 1983 -1992 Perum Perhutani telah menanam rotan di
seluruh pulau Jawa pada luas areal sekitar 32.998 hektar. Potensi rotan di
wilayah Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dan Unit I Jawa Tengah
sekitar 9.364.706 potong. Ditinjau dari segi mutu rekayasa, rotan asal
Jawa tidak berbeda banyak dengan rotan luar Jawa, sehingga mampu
sebagai supplemen dan atau substitusi rotan luar Jawa. lndustri kecil
(pengrajin) merupakan target utama pemasaran rotan asal Jawa.
Berbagai tantangan yang harus segera ditangani agar rotan asal Jawa
dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan antara lain manajemen
sumber daya rotan (budidaya, data base, pemanfaatan), teknologi
pengolahan clan usaha-usaha untuk merubah persepsi industri terhadap
rotan asal Jawa.
Kata kunci: rotan, potensi, mutu, pengolahan.
089/1, 2005
Analisis Teknis dan Ekonomis Pengolahan Rotan (Technical and Economical
Analysis of Rattan Processing). Oleh: Achmad Supriadi, D.Martono, T.
Puspitodjati dan O. Rachman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (2) 2002:
127-141. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Telah dilakukan percobaan pengolahan Tolan sampai polis pada
Tolan berdiameter besar jenis karokok (Calamus viminalis), seuti (Calamus
ornatus) dan Jilin (Calamus spp.) asal Jawa Barat dengan menggunakan 2
alternatif cara pengolahan yaitu alternatif I (rotan segar digoreng, dijemur
sampai kering udara, kemudian dikerik) dan altematif 2 (rotan segar
diawetkan, dijemur sampai kering udara, kemudian dikerik). Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui intensitas serangan jamur biru, harga
pokok produksi dan keuntungan dari masing-masing cara pengolahan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa serangan jamur biru terjadi
pada rotan yang diolah dengan alternatif 1 sebanyak 5,5% dan pada
altematif 2 sebanyak 1,37%, lebih rendah dibandingkan pada industri
yaitu 197%. Waktu penjemuran sampai rotan kering udara pada alternatif
1 selama 9 hari, pada alternatif 2 selama 14 hari. Waktu kering adalah
sama yaitu 13 detik per potong rotan.
Kata kunci: rotan, pengolahan, teknis dan ekonomis.
2. Bambu
090/1, 2005
Derajat Putih dan Keteguhan Tarik Bambu (Gigantochloa apus) Setelah
Mengalami Proses Pemutihan (The Brightness and Tensile Strengh of Bamboo
(Gigantochloa apus) After Being Bleached). Oleh: Zulnely dan Erik Dahlian.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (3) 2000: 134 – 139. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Bambu tali (Gigantochloa apus) mempunyai serat yang ulet dan ruas
yang panjang sehingga bambu ini banyak digunakan sebagai bahan
kerajinan anyaman. Untuk meningkatkan kualitas bahan kerajinan
anyaman salah satunya dengan cara meningkatkan kecerahan warna
bambu melalui pemutihan.
Dalam percobaan ini dilakukan pemutihan dua buah bambu yang
berbeda umur panennya, dengan tiap bambu dibedakan bagian ujung,
tengah dan pangkal. Untuk pemutihan bambu digunakan larutan
hidrogen peroksida (H2O) dan data yang diperoleh diolah dengan petak
terbagi berpola faktorial. Faktornya adalah umur dalam taraf 6 bulan dan
1 tahun. Hasil serta bagian tanaman dalam taraf ujung, tengah dan
pangkal.
Dari percobaan diperoleh nilai derajat putih yang tinggi pada
bambu umur panen 6 bulan dan kekuatan tarik yang tinggi pada bambu
umur panen 1 tahun. Hasil pemutihan bagian bambu umur panen 6 bulan
adalah untuk bagian ujung dan tengah bambu mempunyai nilai derajat
putih yang tinggi sedangkan bagian pangkal mempunyai kekuatan tarik
yang tinggi. Dari pemutihan bagian bambu umur panen 1 tahun diperoleh
nilai derajat putih yang tinggi pada bagian ujung dan pangkal, sedangkan
untuk kekuatan tariknya tidak terdapat perbedaan.
Kata kunci: bambu, pemutihan, kekuatan tarik, derajat putih, hidrogen
peroksida.
G. Tanin dan Bahan Pewarna
1. Gambir
091/1, 2005
Pengaruh Pengukusan dan Perajangan Daun Gambir (Uncaria gambir
ROXB) terhadap Mutu Ekstrak Gambir (The Effect of Steaming Duration and
Chopping Size of Gambier Leaves (Uncaria gambir ROXB) on Quality of
Gambier Extract). Oleh: Zulnely & Abdul Hakim Lukman. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 12 (6) 1994: 217-224. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
This experiment is to study the effect of steaming duration and
chopping sizes of gambier leaves (Uncaria gambir ROXB) on both yield
and quality.
The steaming duration of the samples were conducted at 30, 40, 60
and 75 minutes and the chopping sizes of the sample consisted of 0.5-1
cm, 2-3 cm, 4-6 cm, and unchopping. The results were analyzed using the
factorial design with two replicates and the difference between means
were tested with multiple range Duncan's test.
The results showed than the steaming duration and the chopping
sizes had a significant effect on the yield, catechin content, insoluble
matter and insoluble matter in alcohol. Combination of 0.5-1 cm
chopping size and 30 minutes steaming duration was the best treatment.
This combination produced 10.34% yield of gambier extract, 75.82%
catechin content, 11.34% moisture content, 4.75% ash content, 4.86%
insoluble matter, and 12.03% insoluble matter in alcohol.
Keywords: daun gambir, pengukusan dan perajangan, mutu ekstrak.
2. Pinang Sirih
092/1, 2005
Profil dan Prospek Pengembangan Budidaya Pinang Sirih: Catatan Hasil
Perjalanan Dinas/Survey ke Sumatera Barat. Oleh: Gusmailina. Info
Hasil Hutan 9 (1) 2002: 32-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Pinang sirih (Areca catechu) merupakan salah satu komoditi yang
sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia,
karena manfaat dan kegunaannya. Permintaan dari luar negeripun
semakin hari semakin meningkat, walaupun akhir-akhir ini beberapa
pengusaha biji pinang sirih sering mengeluh karena sulit untuk
mendapatkannya.
Meskipun disadari manfaat dan kegunaan pinang sirih ini, serta
dapat diandalkan sebagai penopang perekonomian masyarakat pedesaan
dan sekitar hutan, namun usaha untuk ekstensifikasi, budidaya serta
peremajaan kembali tanaman ini belum banyak dilakukan. Sementara
setiap tahun pohon ini akan selalu berkurang karena diperlukan dalam
perayaan peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan RI.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka sudah saatnya tanaman
pinang sirih ini mulai dibudidayakan secara luas dan profesional, baik dari
segi teknik silvikulturya maupun motivasi dari pengusahaan budidaya
pinang sirih ini hendaknya berorientasi pada bisnis. Investasi pengelolaan
dapat berupa PIR (Pola Inti Rakyat), hutan kemasyarakatan, agroforestry,
swakelola, atau program lainnya yang penting masyarakat pedesaan dan
sekitar hutan dapat melakukan budidaya pinang dan sekaligus menikmati
hasilnya kelak, sehingga selain dapat memenuhi kebutuhan akan
permintaan biji pinang sirih, juga dapat meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan kehidupan masyarakat desa dan masyarakat sekitar hutan.
Tulisan ini merupakan catatan hasil perjalanan yang dilakukan di
Sumatera Barat, berisikan potensi, profil dan prospek dari biji pinang sirih
yang ada di Sumatera Barat.
Kala kunci: pinang sirih, biji, profil, potensi, prospek.
3. Tanin
093/1, 2005
Pengaruh Tanin – Formaldehida terhadap Sifat Fisik dan Ketahanan
Tarik Papan Serat yang Dibuat dengan Proses Basah (The Effect of Tanin
Formaldehyde on Physical Tensile Strength Properties of Wet Formed Fiberboard).
Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5) 1988: 275278. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Condensed – tannin from bark of Pinus merkusii Jungh et de
Vriese, can react with formaldehyde in alkali or acid condition to from
tannin-formaldehyde. The reaction product is assumed to be an excellent
sizing material for fiberboard manufactures. The purpose of this research
is to study the effect of tannin-formaldehyde sizing on moisture content,
density, thickness, water absorption, thickness swelling, and tensile
strengh paralel to surface of fiberboard properties. The amount of
tannin-formaldyhide added to pulp copnsiting of 0, 3, 6, 9 and 12 percent
based on ovendry pulp.
Results indicate that the addition of tannin formaldehyde during the
fiberborad making process has a highy significant effect on reducing
water absortion and thickness swelling. Similary, the tensile strength
paralel to surface of fiberboard was significantly improved by adding
tannin-formaldehyde. Overall improvement of fiberboard properties
could be achieved by adding 12 percent of the sizing agent to the stok.
Keywords: tanin, formaldehida, sifat fisik, ketahanan tarik papan serat,
proses basah.
094/1, 2005
Potensi Tanin dari Hutan Payau Tarakan, Kalimantan Timur (The Potential
of Tannin from Tarakan (East Kalimantan) Mangrove Forest). Oleh: Suwardi
Sumadiwangsa & Yacob Ando. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (3) 1986:
25-27. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Mangrove forest grows widely distributed throughout Indonesia,
and one of the most promising resource is in East Kalimantan.
Until recently the utilization of mangrove forest is only for wood,
while the bark is wasted, although various literatures have indicated that
the tanning material found in the bark can be a intesfactory component
for glue manufacture.
This paper presents a survey result on the standing stock of II
mangrove species at the Forest District of Bulongan in East Kalimantan.
The survey was based on a 25% sampling intensity which is jointly
conducted both by PT Karyasa Kencana and District of Forestry at
Bulongan, East Kalimantan. The tannin content of the bark were
determined at the Forest Product Research and Development Centre
Laboratory in Bogor.
In this province, the mayor tannin producing mangroves are
Bruguiera caryophylloides, Rhizophora macronata, and Bruguiera
gymnorrhiza.
Keywords: tanin, potensi, hutan payau, Tarakan Kalimantan Timur
H. Tumbuhan Obat
1. Tumbuhan Obat
095/1, 2005
Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di Taman Nasional
Gunung Halimun (Active Ingredients of Twenty Medicinal Plante Species Collected
in Gunung Halimun National Park). Oleh: Zulnely, E.S. Sumadiwangsa,
Erik Dahlian & Umi Kulsum. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (1) 2003:
43-50. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan.
Bogor.
Hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun merupakan
salah satu hutan tropis Indonesia yang kaya dengan jenis tumbuhan obat.
Pada penelitian ini dilakukan identifikasi senyawa aktif dalam dua puluh
jenis tumbuhan obat.
Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp diperoleh sebelas
contoh uji tumbuhan obat yang berkhasiat obat karena bersifat toksik.
Semua contoh uji yang bersifat toksik ini mengandung senyawa golongan
saponin, sepuluh contoh uji mengandung flavonoid, steroid dan tanin.
Sedangkan uji contoh uji mengandung triterpenoid dan dua contoh uji
mengandung alkaloid.
Kata kunci: tumbuhan obat, senyawa aktif, Taman Nasional Gunung
Halimun.
096/1, 2005
Prosedur Pengujian Toksisitas dan Fitokimia Tumbuhan Obat yang
Berasal dari Hutan. Oleh: Umi Kulsum, Erra Yusnita dan Ahmad
Junaedi. Info Hasil Hutan 10 (1) 2003: 29-34. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Senyawa kimia tumbuhan diketahui banyak yang berkhasiat obat.
Khasiatnya diduga karena ada komponen kimia yang mampu menetralisir
penyebab suatu penyakit.
Potensi tumbuhan obat di Indonesia sangat banyak dan beragarn,
maka prosedur pengujian komponen aktif dan analisis fitokimia
tumbuhan obat yang berasal dan hutan perlu dibuat.
Tujuan tulisan ini adalah menyusun pedoman pengujian toksisitas
dan analisis fitokimia tumbuhan yang diduga mengandung obat.
Kata kunci: prosedur pengujian, fitokimia, tumbuhan obat.
III. PENUTUP
Dengan diterbitkannya Abstrak Hasil Hutan Bukan Kayu ini
diharapkan akan memudahkan para pengguna dalam mencari informasi
hasil hutan bukan kayu yang prospektif sehingga akan meningkatkan
pemanfaatan hasil hutan secara optimal.
Lampiran 1. Indeks Pengarang
Ando, Y., 27, 51, 81
Anggraeni, I., 23
Astana, S., 72
Basri, E., 73
Dahlian, E., 4, 19, 57, 60, 64, 76, 83
Djatmiko, B., 5
Djumria, S., 26
Edriana, E., 57, 64
Gusmailina, 45, 79
Hardjo, S., 71
Hartoyo, 18, 19, 28, 45, 48, 51, 54, 60
Haryono, 36
Hasanah, S., 40
Hastoeti, P., 9, 12, 28, 31, 36, 48, 57, 65, 68
Humphrey, P., 46
Jordan, P.J., 11
Junaedi, A., 24, 83
Karchesy, J., 46
Kataren, S., 5
Kulsum, U., 22, 83
Kurniasih, D., 57
Kusmiyati, E., 9, 12, 22, 65, 68
Lukman, A.H., 10, 16, 20, 21, 31, 32, 54, 62, 68, 71, 79
Martono, D., 74, 76
Nayasaputra, S., 6
Pari, G., 31
Puspitodjati, T., 76
Rachman, O., 71, 73, 76
Roliadi, H., 26, 40, 66
Rostiawati, T., 3
Rusliana, L., 41, 54
Santosa, E., 23
Setyawan, D., 4, 7, 17, 24, 35, 39
Sijabat, E.A.S., 48
Siregar, N., 62
Sofyan, K., 57
Sudradjat, R., 3, 6, 7, 22, 49, 53, 55
Sukardi, I., 3
Lampiran 2. Indeks Kata Kunci
Aghatis sp., 66
Alat bor, 25
Alih teknologi, 75
Alkohol, 45, 52
Analisis fisiko kimia, 43
Analisis kimia, 10, 17
Anhidrida asam maleat, 14
Asalan, 60
Asam klorida, 49
Asam sulfat, 49
Bahan pangan, 42
Bambu, 77
Berat jenis, 23
Bibit lak, 67
Biji kemiri, 35, 36
Biji tengkawang, 38, 40, 41, 42
Biji, 38, 80
BKPH Taman, 69
Buah nipah, 46
Cara dan waktu, 31
Cara ekstraksi, 50, 55
Cara pengolahan, 41
Cianjur, 33
Damar mata kucing, 58, 59, 64
Damar, 18, 57, 60, 62, 63
Dammar, 61
Daun eucalyptus, 22
Daun gambir, 79
Daun kayu putih, 27
Daun pinus radiata, 11
Daun pinus, 10, 12, 14, 17
Daun tusam, 15
Dekstrin sagu, 47
Dekstrin, 49, 51, 53
Derajat putih, 77
Diameter, 9, 40
Dimetil sulfoksida, 71
Diptetocarpus spp, 30
Dry calcium, 65
Dry cobalt, 65
Efisiensi, 73
Ekstender, 53
Ekstraksi lemak, 38
Ekstraksi lilin, 12
Ekstraksi, 31
Enzim, 53
Essential oil, 61
Etyl acetat, 65
Fitokimia, 84
Formaldehida, 81
Formula campuran, 18
Fosfat modifikasi, 47
Fraksionasi distilasi, 16
Fruktosa tinggi, 48
Gaharu, 23, 24
Getah keruing, 31
Getah pinus, 10
Getah tusam, 9
Getah, 5, 18
Glukosa, 52
Gondorukem, 5, 6, 7, 10, 14
Gula, 45
Hasil getah, 3
Hidrodistilasi, 31
Hidrogen peroksida, 77
Hutan payau, 81
Jelutung, 3, 4
Jenis kayu, 45
Jenis, 40
Kadar resin, 23, 24
Kadar selulosa, 50
Kadar stimulan, 5, 9, 18
Kalimantan Timur, 73
Kalimantan, 43
Kandungan gaharu, 25
Kaporit, 54
Karakteristik, 63
Katalis, 53
Kayu cendana, 20, 21
Kekuatan tarik, 77
Kematangan, 46
Ketahanan tarik papan serat, 81
Komponen kimia, 20, 21
Komposisi kimia, 33
Konsentrasi asam khlorida, 54
Konsep standar, 29
Kopal manila, 64, 66
Kopal, 18
Kristalisasi, 27
Kromatografi gas, 21
Krui Lampung Barat, 62
Kualitas gaharu, 23
Kualitas, 5-7, 20, 26, 27, 38, 41, 69
Kukus dan rebus, 22
Kulit kayu manis, 25
Kulit masoy, 31
Kultur lak, 67
Lak biji, 67
Lak cabang, 67, 69
Lemak nabati, 41
Lemak protein, 46
Lemak tengkawang, 39
Lilin, 15
Masyarakat sekitar hutan, 69
Metoda semimikro, 50
Metode destilasi, 20
Minyak atsiri, 64
Minyak cendana, 20
Minyak kayu putih, 26, 27
Minyak kelapa sawit, 72
Minyak kenanga, 28
Minyak keruing, 29, 30
Minyak sabal-sabal, 32
Minyak tanah, 72
Minyak terpentin, 16
Modifikasi, 18
Mutu ekstrak, 79
Mutu, 76
Oil yield, 61
Optimalisasi, 60
Pati sagu, 48, 49
Pekalongan Timur, 33
Pelarut organik, 14, 25, 31, 38, 59
Pelengkungan, 71
Pemanfaatan, 10, 17, 42, 63, 69
Pembagian jalur, 9
Pembuatan lak kuning, 67, 68
Pembuatan permen karet, 4
Pembuatan pernis, 57
Pembuatan sirup, 48
Pembuatan, 45
Pemurnian, 59
Pemutihan, 54, 77
Pencucian, 67
Pengempaan, 39
Pengolahan lak biji, 67
Pengolahan sagu, 53
Pengolahan, 39, 76
Pengukusan dan perajangan, 79
Pengukusan, 38
Penyadapan, 3, 18
Penyaringan, 7
Penyimpanan, 15
Penyulingan kering secara vakum, 58
Penyulingan kering, 64
Penyulingan metode kukus, 20
Penyulingan uap, 30
Penyulingan, 22, 27, 28, 31
Perekat kayu lapis, 53
Periode pemungutan, 9
Perlakuan pendahuluan, 36
Pernis, 60
Persyaratan kualitas, 24
Petani, 75
Physico-chemical properties, 13, 61
Pinang sirih, 80
Pine oleoresin, 13
Pinus merkusii, 16
Plastic laminated container, 13
Plastisasi, 71
Pohon gaharu, 25
Pohon tusam, 9
Polishing, 74
Potensi, 76, 80, 81
Productivity, 74
Produksi gula, 54
Produksi lemak, 42
Produktivitas, 5, 9, 18, 40
Profil, 80
Propanol-2, 65
Prosedur pengujian, 84
Proses basah, 81
Proses pelarutan, 68
Proses, 60
Prospek, 80
Quality, 74
Rattan, 74
Recovery, 74
Rendemen lilin, 11, 14
Rendemen, 15, 20, 28, 35, 36, 37
Rendemen, 58
Residu penyulingan, 58
Resin, 69
Rosin, 13
Rotan, 71, 72, 75, 76
Sabun cuci, 6
Sagu modifikasi, 47, 50, 52-55
Sambelia NTB, 69
Scrapping, 74
Senyawa aktif, 83
Serat makanan, 46
Sifat dan kualitas, 23
Sifat ekstender, 47
Sifat fisik, 81
Sifat fisiko-kimia minyak, 30, 31
Sifat fisiko-kimia, 10, 28, 29, 32,
35, 37, 47, 49, 50, 55, 58, 64, 66
Sifat fisis mekanis, 72
Sifat minyak, 36
Sifat sabun, 14
Sisa penyulingan, 64
Soda abu, 67
Sortasi, 62
Storage time, 13
Suhu ekstraksi, 11
Suhu pemasakan, 35
Synthetic alkyd, 65
Taman Nasional Gunung Halimun,
83
Tanin, 81
Tarakan Kalimantan Timur, 81
Tata niaga rotan, 73
Teknik pengolahan, 26
Teknik, 18
Teknis dan ekonomis, 76
Teknologi superkritikal fluida, 12
Tempat penyimpanan, 10
Tempat tumbuh, 40
Tengkawang tungkul, 38
Tengkawang, 43
Tepung empulur sagu, 50
Tepung sagu, 50, 51, 54
Terigu, 53
Terpentin, 6, 33
Tumbuhan obat, 83, 84
Ukuran partikel kayu, 20
Umur pohon, 5, 18
Umur, 9
Usaha kecil, 57
Vacum dry distillation, 61
Vernis, 18
Waktu pemasakan, 35, 37
Waktu penyimpanan, 10, 41
Waktu perkolasi, 25
Warna, 23
Lampiran 3. Indeks Geografi
Bogor, 51, 54, 66
Cianjur, 32
Haurbentes, Bogor, 40
Indonesia, 46, 67, 79, 81, 83
Jawa Barat, 4, 72, 75
Jawa Tengah, 6, 75
Jawa Timur, 65, 66, 67
Jawa Timur, 7, 75
Kalimantan Barat, 39
Kalimantan Tengah, 3
Kalimantan Timur, 29, 72
Krui Lampung Barat, 62
Kuningan, 74, 75
Malaysia, 46
Nusa Tenggara Barat (NTB), 67
Nusa Tenggara Timur (NTT), 67
Papua Nugini, 46
Pekalongan Timur, 32
Philipina, 47
Probolinggo, 64, 65, 68, 69
Riau, 51
Sambelia NTB, 68, 69
Sanggau, 39
Sintang, 39
Sukabumi, 65
Sumatera Barat, 9, 12, 79,
Sumedang, 4
Taman Nasional Gunung Halimun, 83
Tarakan Kalimantan Timur, 81
Thailand, 46, 68
Download