PERAWATAN METODE KANGGURU TERHADAP KECEMASAN IBU DAN STATUS BANGUN-TIDUR PADA BBLR DI RUMAH SAKIT DI SURABAYA Qori’la Saidah email:[email protected] ¹ Pengajar Keilmuan Keperawatan Anak STIKES Hang Tuah Surabaya Abstract : Clinical condition and treatment in NICU might effect on sleep-wake state of Low Birth Weight baby and result on maternal anxiety. The aim of this study was to identifiy the effect of kangaroo mother care on maternal anxiety and sleep-wake state of LBW baby. This study use one group pretest-posttest design with 16 samples in Surabaya. PSS:NICU and sleep-wake state scale from Priya were used. The Wilcoxon sign rank test shows p value = 0,000 and the Friedman test shows p value = 0,000. There were significan effect of KMC on maternal anxiety and sleep wake state of LBW baby. Key word : kangaroo mother care, maternal anxiety, sleep-wake state, low birth weight baby Latar Belakang Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan permasalahan yang sering dihadapi pada perawatan bayi baru lahir. Sekitar sepertiga dari jumlah BBLR ini meninggal sebelum stabil atau dalam 12 jam pertama kehidupan bayi. BBLR memerlukan perawatan yang intensif sampai berhasil mencapai kondisi stabil (Blackwell, 2006). Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 presentase BBLR di Indonesia menunjukkan 7,6%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari jumlah bayi yang diketahui penimbangan berat badannya waktu lahir, 11,5% lahir dengan berat badan <2500 gram atau BBLR. Jika dilihat dari jenis kelamin, presentase BBLR lebih tinggi pada bayi perempuan dibandingkan lakilaki yaitu masing-masing 13% dan 10% (Depkes RI, 2009). Bayi prematur mempunyai fungsi neurologis yang immatur. Bayi ini mempunyai permasalahan dalam hal kemampuan pengaturan, integrasi dan koordinasi status bangun tidurnya. Kesulitan yang dialami mencakup jumlah waktu tidur tenang (quiet sleep), tidur aktif dan jumlah fase transisi yang tenang. Hal ini terkait dengan fungsi dan kematangan neurologis. Pencapaian status bangun-tidur yang stabil dan transisi antara tiap fasenya merupakan tugas perkembangan utama bayi pada minggu-minggu pertama kehidupan (Als. 1982, 1986 dalam Blackburn, Foreman & Thomas, 2008). Status bangun-tidur bayi merupakan bahasa bayi yang digunakan untuk mengekspresikan kebutuhan internal sebagai respon terhadap kondisi lingkungan eksternal. Bayi bukan merupakan individu yang bersifat pasif terhadap stimulus lingkungan. Bayi mampu menangani stimulus lingkungan dengan merubah status bangun-tidurnya. Bayi yang mempunyai ambang kontrol yang rendah terhadap stimulus lingkungan akan sulit mentoleransi stimulus lingkungan. Bayi-bayi dengan resiko tinggi terlihat mempunyai ambang yang rendah dan tidak mampu beradaptasi dengan stimulus yang Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah) berulang. Bayi mudah mengalami kelelahan dan kewalahan terhadap stimulus yang didapat, sehingga sering terlihat kacau, mengalami henti nafas atau sering menangis. Reaksi ini menghalangi kemampuan bayi untuk memfokuskan diri terhadap isyarat dari lingkungan (Brazelton & Nugent, 1995). Kesulitan adaptasi dengan lingkungan tampak pada status bangun tidur bayi. Menurut Brazelton dan Nugent (1995), status bangun tidur bayi terlihat dari tingkat aktifitas tubuh, pembukaan dan penutupan mata, keteraturan nafas, reaksi vokal dan respon terhadap stimulus eksternal. Hal ini ditunjukkan dengan status bangun tidur yang tampak, yang terdiri dari status tidur tenang (quiet sleep) dan tidur aktif. Perkembangan dalam status tidur bayi dikategorikan dengan adanya peningkatan status tidur tenang, penurunan status tidur aktif, peningkatan status terjaga, transisi antara status bangun-tidur yang tenang dan peningkatan kemampuan bayi untuk mempertahankan periode tidur seiring dengan peningkatan usia. Pada bayi prematur terjadi status yang tidak sama, bayi ini mengalami status tidur yang tidak jelas. Adanya status ini menunjukkan fungsi neurologik yang immatur. Bayi terlihat mempunyai siklus tidur yang kurang, periode tidur yang lebih pendek, status tidur yang tidak jelas dan periode tidur tenang yang lebih singkat (Foreman, Thomas & Blackburn, 2008). Status bangun-tidur tenang sangat tergantung dari berat badan bayi (Ingersol dan Thoman, 1999 dalam Foreman, Thomas & Blackburn, 2008). BBLR mengalami status tidur tenang yang lebih sedikit, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan bayi. Peningkatan berat badan yang signifikan sangat diperlukan. Peningkatan jumlah tidur tenang perlu difikirkan dalam pengembangan pelayanan agar perkembangan bayi menjadi lebih optimal. Hal ini akan membantu 94 pematangan fungsi neurologis bayi. Mengingat permasalahan pada BBLR sangat kompleks, perlu difikirkan pemberian pelayanan yang memfasilitasi interaksi bayi dengan keluarganya. Kedekatan bayi dengan orang tuanya dapat membantu peningkatan tumbuh kembang bayi. Masalah kesehatan pada bayi, keluarga akan juga terpengaruh terkait dengan kondisi bayi dan peran keluarga. Bayi dengan BBLR sering kali memerlukan perawatan yang intensif sampai bayi stabil dan siap untuk mendapatkan perawatan dirumah. Bayibayi ini secara umum berada di ruangan khusus yang terpisah dengan ruang perawatan ibunya. Perpisahan ini bisa menyebabkan kecemasan pada ibu tentang kondisi anaknya. Menurut Ohgi, et al. (2002) isolasi dan perpisahan dengan orang tua akan mengurangi kesempatan interaksi antara orang tua dengan bayinya dan bisa menimbulkan stress pada interaksi antara ibu dengan bayinya. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan hubungan orang tua dengan bayi dan bisa menghambat perkembangan bayi. Bayi dengan BBLR memerlukan lingkungan yang bisa membantu mengejar tumbuh kembangnya. Interaksi dengan orang tua merupakan faktor terpenting. Orang tua memainkan peranan paling dominan dalam kehidupan bayi, terlebih karena perawatan di rumah sakit hanya bersifat sementara. Interaksi yang dekat antara anak dengan orang tuanya harus dimulai sejak dini, oleh karenanya perawatan perlu mengembangkan berbagai inovasi untuk meningkatkan kedekatan bayi dengan orang tuanya. Perawatan bayi dengan metode kangguru (PMK) merupakan salah satu metode perawatan noninvasif yang memberikan keuntungan baik bagi bayi maupun ibunya. PMK memfasilitasi interaksi yang dekat antara bayi dengan orang tuanya. Menurut penelitian Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Whilhelm (2005) didapatkan bahwa PMK mempunyai efek signifikan pada temperatur payudara ibu, namun PMK secara statistik tidak menunjukkan efek signifikan dalam mempengaruhi penurunan kadar kortisol atau hormon stress ibu. Sedangkan menurut Shiau (2005), PMK mempunyai efek yang signifikan dalam menurunkan kecemasan. Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh PMK terhadap kecemasan ibu dan perkembangan prilaku bayi prematur masih terbatas sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Metodologi Penelitian Rancangan dalam penelitian ini menggunakan Quasi-Experimental Design dengan one group pretest posttest design. Namun khusus untuk pengukuran status bangun-tidur bayi dilakukan dengan single subject design dengan repeated measurement. Sampel pada penelitian ini sebanyak 16 responden yang diambil dengan consecutive sampling. Kriteria BBLR yang menjadi responden adalah bayi prematur dengan BB<2500, usia gestasi 31-36 minggu, telah stabil dan tidak mengalami kelainan congenital. Sedangkan kriteria ibu adalah bisa membaca dan menulis, tidak sedang sakit selain nifas dan badan ibu dalam keadaan bersih. Alat pengumpul data pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner data demografi, lembar observasi status bangun-tidur bayi dan kuesioner kecemasan. Data demografi pasien dituliskan dalam kuesioner data demografi. Instrumen pengukur status bangun-tidur bayi yang digunakan adalah menilai status bangun-tidur bayi yang dikembangkan oleh Priya (2004). Pada instrumen ini status bangun-tidur bayi akan diberikan skor, mulai dari status bangun-tidur tenang (skor 6), tidur aktif (skor 5), mengantuk (skor 4), terjaga tenang (skor 3), terjaga aktif (skor 2) dan menangis (skor 1). Pengukuran kecemasan ibu pada penelitian ini menggunakan instrumen Parental Stressor Scale: Neonatal Intensive Care Unit (PSS:NICU). PSS:NICU dikembangkan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap stressor yang meningkat yang berasal dari lingkungan fisik dan psikis di NICU. PSS:NICU terdiri dari 34 pernyataan tentang pengalaman atau situasi yang bisa terjadi terkait lingkungan NICU dan bayi. Pengalaman atau situasi ini dikelompokkan menjadi 3 klasifikasi, yaitu pemandangan dan suara di ruang NICU, kondisi klinis dan prilaku bayi, serta hubungan orang tua dengan bayinya dan peran orang tua. Penilaian hasil akhir kecemasan dari skor dilakukan dengan menggunakan metrik 2. Metrik 2 merupakan penilaian tingkat stress secara keseluruhan. Validitas dan reliabilitas dilakukan dengan uji Kappa dan back translation. Uji Kappa dilakukan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti terhadap hasil pengamatan status bangun-tidur BBLR. Hasil uji kappa didapatkan 0,848 yang berarti tidak terdapat perbedaan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti. Sedangkan back translation dilakukan terhadap PSS: NICU. Hasil back translation PSS: NICU menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna dengan naskah aslinya sehingga cukup valid. Namun, hasil back translation tidak diujicobakan terlebih dahulu. Peneliti menggunakan nilai reliabilitas yang telah diujikan sebelumnya oleh pengarang PSS: NICU. Pelaksanaan PMK selama 3 hari. Pengukuran kecemasan ibu dilakukan pada hari pertama sebelum PMK dan hari ketiga setelah PMK. Pelaksanaan PMK dilakukan selama 2 jam setiap harinya. Pengukuran status bangun tidur dilakukan pada menit ke 0, ke 60 dan ke 120 dari pelaksanaan PMK dengan menggunakan lembar observasi. 95 Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah) Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di ruang neonatologi RSAL dr. Ramelan dan RSI Surabaya. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010. A. Karakteristik Responden Karakteristik responden ibu pada penelitian digambarkan dalam tabel 1. Rata-rata usia responden 26,88 tahun. Sebagian besar responden berpendidikan SLTA. Jumlah responden dengan primipara sama dengan multipara, yaitu masing-masing sebanyak 8 responden. Sebagian besar responden melahirkan secara SC dan belum pernah mempunyai pengalaman melahirkan BBLR sebelumnya. Tabel 1. Distribusi frekuensi responden ibu berdasarkan karakteristik pendidikan, paritas, jenis persalinan dan pengalaman sebelumnya di RSI dan RSAL dr. Ramelan Sureabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16) No 1 Variabel Usia Ibu Variabel 2 3 4 Mean SD 26,88 3,26 Minimal- 95% Maksimal CI 21-32 18,80% Tidakpernah 13 81,30% B. Pengaruh PMK Terhadap Kecemasan Ibu Distribusi pasien berdasarkan kecemasan sebelum dan setelah PMK didapatkan bahwa sebelum PMK sebagian besar ibu mempunyai kecemasan sedang dengan jumlah 10 orang (62,5%). Sedangkan ibu yang mempunyai kecemasan berat sebanyak 4 orang (25%) dan ibu yang mempunyai kecemasan ringan 2 orang (12,5%). Setelah dilakukan PMK jumlah ibu yang mempunyai kecemasan ringan sebanyak 12 orang (75%). Sedangkan ibu yang mempunyai tingkat kecemasan sedang sebanyak 4 orang (25%) dan tidak ada yang mempunyai kecemasan berat. Tabel 2. Distribusi frekuensi kecemasan ibu sebelum dan setelah PMK di RSI dan RSAL dr. Ramelan Surabaya Bulan MeiJuni 2010 (n=16) Kecemasan Pretest Posttest Cemas ringan 2 12,5% 12 75% Cemas sedang 10 62,5% 4 25% 28,61 Cemas Berat 4 25,0% Total 16 100% 16 100% Frekuensi (f) Prosentase (%) SLTP 1 6,30% SLTA 11 68,80% PT 4 25% Primi 8 50% Multi 8 50% 5 31,30% 11 68,80% Pendidikan Paritas Jenis SC Spontan Normal Pengalaman sebelumnya 96 3 25,14- Persalinan 5 Pernah Karakteristik Ibu sebe;um PMK menunjukkan tingkat kecemasan sedang. Setelah dilakukan PMK terjadi penurunan, sebagian besar ibu menjadi ringan tingkat kecemasannya. Setelah dilakukan uji dengan Wilcoxon sign rank test didapatkan nilai p=0,000 yang berarti secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan sebelum dan setelah PMK. C. Pengaruh PMK terhadap Status Bangun-Tidur Status tidur bayi pada hari pertama menunjukkan variasi yang beragam. Pada Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 menit ke 0 hari pertama sebagian besar berada pada status tidur aktif sebanyak 9 bayi (56,25%). Sedangkan bayi dengan status tidur tenang dan status mengantuk hanya 2 bayi (12,5%), sedangkan yang lainnya bervariasi antara status menangis, terjaga aktif dan terjaga tenang yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (6,25%). Pada menit ke 60, bayi yang mengalami status tidur tenang sebanyak 10 bayi (62,5%). Bayi yang mengalami status tidur aktif 4 bayi,(25%) dan terdapat masing-masing 1 bayi (6,25%) dengan status terjaga tenang dan mengantuk. Pada menit ke 120 terdapat 13 bayi (81,25%) bayi yang mengalami status tidur tenang dan lainnya yaitu 3 bayi (18,75%) mengalami status tidur aktif. Status tidur bayi pada hari ke 2 menit ke 0 masih didominasi oleh status tidur aktif. Jumlah responden pada status aktif di menit ke 0 sebanyak 12 bayi (75%). Responden dengan status tidur mengantuk sebanyak 3 bayi (18,75%). Responden dengan status terjaga aktif 1 bayi (6,25%). Tidak ada responden yang mempunyai status tidur tenang, terjaga tenang maupun menangis. Pada menit ke 60 terdapat 7 bayi (43,75%) bayi dengan status tidur aktif dan 9 bayi (56,25%) bayi dengan status tidur tenang. Pada menit ke 120 terdapat 13 bayi (81,25%) dengan status tidur tenang dan lainnya 1 bayi (6,25%) mempunyai status tidur aktif. Pada hari ke 3 menit ke 0 sebagain besar bayi mengalami status tidur aktif sebanyak 7 bayi (43,75%). Terdapat 3 bayi (18,75%) dengan status tidur tenang, 3 bayi (18,75%) dengan status terjaga tenang, 2 bayi dengan status mengantuk dan 1 bayi (6,25%) dengan status terjaga aktif. Pada menit ke 60 terdapat perubahan status tidur bayi. Bayi dengan status tidur tenang sebanyak 14 (87,5%) bayi dan 2 (12,5%) bayi mempunyai status tidur aktif. Pada menit ke 120, jumlah bayi dengan status tidur tenang sebanyak 15 bayi dan bayi dengan status tidur aktif hanya 1 bayi (6,25%). Hasil uji Friedman menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) baik pada hari pertama, kedua maupun hari ketiga.. Interval kepercayaan 95% berarti pada nilai α = 5% dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan pada status bangun tidur bayi hari ke 1, 2, 3 pada menit ke 0, 60 dan 120. Selanjutnya, dilakukan post hoc dengan Wilcoxon Sign Rank Test untuk mengetahui perbedaan status bangun-tidur pada tiap menit penukuran yang digambarkan pada tabel 4. Tabel 3. Distribusi frekuensi responden bayi menurut berat badan dan jenis kelamin bayi di RSI dan RSAL dr. Ramelan Surabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16) N0 Variabel 1 Usia Gestasi Berat 2 Badan Variabel Min.- Mean SD 34,06 1,61 1722,8 Maks. 31-36 321,8 12882300 95% CI 33,20 34,92 1551,28 1894,22 Frekuensi (f) Prosentase (%) 6 37,5% 10 62,5% Jenis kelamin 3 Laki-laki Perempua n Tabel 4. Distribusi frekuensi status bangun-tidur BBLR di RSI dan RSAL dr. Ramelan Surabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16) p value (95% CI) Hari I Menit 0 Menit 0 - Menit 60 - - Menit Menit 60 Menit 120 120 0,005 0,234 Asymp. Sig. (2tailed) 0,002 97 Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah) p value (95% CI) Hari II Menit 0 Menit 0 - Menit 60 - - Menit Menit 60 Menit 120 120 0,001 0,034 Asymp. Sig. (2tailed) p value (95% CI) 0 Hari III Menit 0 Menit 0 - Menit 60 - - Menit Menit 60 Menit 120 120 0,001 0,157 Asymp. Sig. (2tailed) 0,001 Pembahasan Analisis peneliti, bayi yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal akan mampu mengontrol stimulus yang datang padanya dengan merubah berbagai status bangun-tidurnya. Sebagian besar bayi mengalami status tidur aktif dimana bayi tidak tidur dengan nyenyak. Pada tahap ini pertumbuhan dan perkembangan kurang optimal dibandingkan dengan bayi aterm yang mampu menghabiskan sebagian besar waktunya dengan tidur tenang. Tidur tenang merupakan fase tidur yang mampu memberikan fasilitasi pertumbuhan dan perkembangn yang optimal. Oleh karenanya berbagai metode untuk memfasilitasi fase tidur bagi bayi merupakan hal yang penting. Hal ini sesuai dengan penelitian Shiau (2005) yang menyatakan bahwa PMK mempengaruhi penurunan hormon stress pada bayi dan ibu. Perawatan metode kangguru mempengaruhi status bangun-tidur bayi melalui perubahan hormonal yang menurunkan stress pada bayi. Kedekatan antara ibu dengan bayi melalui kontak kulit menimbulkan rasa aman yang mempengaruhi penurunan hormon stress. Selanjutnya akan mempengaruhi penurunan jumlah konsumsi energi yang sebelumnya digunakan untuk merespon dan mengontrol stimulus lingkungan. 98 Kecukupan energi ini disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke otak yang berdampak pada peningkatan suplai oksigen dan nutrisi ke otak. Kondisi ini membantu bayi mencapai status tidur tenang yang lebih lama. Pada observasi menit ke 60 masih banyak dijumpai bayi dengan status tidur aktif. Perawatan metode kangguru dapat membantu bayi untuk mencapai tidur tenang. Hal ini terlihat pada menit ke 120 sebagian besar berada pada status tidur tenang. Sedangkan pada menit ke 60 bayi masih mengalami 1 siklus tidur, namun beberapa bayi telah menunjukkan status tidur tenang sehingga perbandingan status bangun-tidur bayi pada menit ke 60 dengan menit ke 120 menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Meskipun pada menit ke 60 bayi hanya mencapai 1 siklus tidur, namun beberapa bayi telah mencapai tidur tenang. Perubahan jumlah bayi yang mencapai tidur tenang tidak banyak sehingga perbandingan jumlah bayi yang mencapai tidur tenang tidak banyak dan ketika dilakukan uji statistic tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Browne dan Graven (2008) yang mengatakan bahwa pada 1 siklus tidur beberapa bayi telah mencapai tidur tenang. Simpulan Karakteristik ibu yang melahirkan BBLR rata-rata berusia 26,88 tahun. Sebagian besar ibu mempunyai pendidikan SLTA. Paritas ibu seimbang antara primipara dan multipara. Sedangkan karakteristik ibu dilihat dari jenis persalinan sebagian besar spontan pervaginam. Sebagian besar ibu tidak mempunyai pengalaman melahirkan BBLR sebelumnya. Karakteristik BBLR dilihat dari usia gestasi menunjukkan rata-rata 34,01 minggu. Sedangkan berat-badan bayi menunjukkan rata-rata 1722,75 gram. Jenis kelamin bayi pada penelitian ini Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 sebagian besar perempuan. Sebagian besar status bangun-tidur bayi pada menit ke 0 adalah tidur aktif dan pada menit ke 120 sebagian besar adalah tidur tenang. Perawatan metode kangguru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecemasan ibu yang mempunyai BBLR prematur dengan nilai p=0,000. Perawatan metode kangguru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status bangun-tidur BBLR dengan nilai p pada uji Friedman sebesar 0,000 baik pada hari pertama, kedua dan hari ketiga. Daftar Pustaka Blackwell, K., & Cattaneo, A. (2006). What is the evidence for kangaroo mother care of the very low birth weight baby?. (http://www.ichrc.org/pdf/kangaro o.pdf diperoleh 27 Januari 2010). Brazelton, T.B., & Nugent, J.K. (1995). Neonatal behavior assessment scale. (3rd edition). London : The lavenham Press Ltd, Mac Keith Press. Browne, J.V., & Graven, S.N. (2008). Sleep and brain development. (http://www.wonderbabiesco.org/ UserFiles/File/Graven%20and%2 0Browne%20sleep%2008.pdf diperoleh tanggal 20 Februari 2010). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. (http://www.depkes.go.id/downlo ads/publikasi/profil%20kesehatan %20Indonesia.pdf. diperoleh 1 Februari 2010). (6): 657-665. doi:10.1111/j.15526909.2008.00292.x. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pm c/articles/PMC2765199/pdf/nihms -80781.pdf/tool=pmcentrez diperoleh tanggal 23 Januari 2010). Ohgi, et al. (2002). Comparison of kangaroo care and standart care : behavioral organization, development, and temperament in healthy, low birth weight infant through 1 year. Journal of Perinatology (2002) 22, 374 – 379 doi:10.1038/sj.jp.7210749 (http://www.nature.com/jp/journal /v22/n5/pdf/7210749a.pdf. diperoleh tanggal 1 Februari 2010). Priya, J.J. (2004). Kangaroo care for low birth weight babies. Nursing Journal of India, 95, 9. Shiau, S.H. (2005). Randomized controlled trial of kangaroo care with fullterm infants: Effects on maternal anxiety, breastmilk maturation, breast engorgement, and breastfeeding status. Diakses dari http://neoreviews.aappublications. org/cgi/reprint/neoreviews;8/2/e5 5 tanggal 1 Februari 2010. Whilhelm, P.A. (2005). The effect of early kangaroo care on breast skin temperature, distress, and breastmilk production in mother of premature infants. (http://www.newbornnetworks.or g.uk/southern/PDFs/KangarooCar eFinal.pdf diperoleh tanggal 1 Februari 2010). Blackburn, T.S., Foreman, W.S. & Thomas, A.K. (2008). Preterm infant state development, j obstet gynecol neonatal nurs. 2008 ; 37 99 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN TERHADAP TERJADINYA PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK DI KALIMANTAN SELATAN Marwansyah Jurusan Keperawatan Poltekkes Banjarmasin Email : [email protected] Abstract : Some diseases are caused largely influenced by lifestyles are less healthy individuals such as stress , excessive workload ,eating habits / unhealthy drinking , smoking , lack of personal hygine and others that may increase the risk of infectious disease a non-communicable diseases such as hypertension , diabetes mellitus , and heart failure hiperkolesterolnemia . Often death occurs even not from the primary disease but rather caused by complications such as kidney failure . The kidneys are organs that vital as the volume and chemical composition of blood , if the two kidneys for some reason fails to perform its functions it will have serious consequences for patients . The goal in this research would like to get an overview of the factors related to the occurrence of chronic kidney disease in southern Borneo . Research is a descriptive , cross-sectional design with using the Ex Post Facto . This study uses a place in space Hemodialysis and space Inpatient Hospital Medicine Ulin Banjarmasin . Independent variables (independent ) is heriditer factors , socio- cultural factors , factors environmental and clinical factors . While the dependent variable ( tied ) is a chronic renal failure . Data was analyzed by descriptive and analytical . Univariate data using frequency distribution tables while the data is bivariate using Chi Square and analyzed using SPSS computational techniques for Windows . The research found that the rate of chronic renal failure category suffered by respondents in South Kalimantan is largely Failed Terminal kidney with the largest percentage of 61.32 % . Of the four factors examined the results of the study showed that there is no relationship significant but of the four factors that appear there are two factors that have a tendency as a factor that can lead to Chronic kidney disease is heriditer factors and environmental factors . factor heriditer had 2.04 times the odds for terminal kidney failure as compared with respondents who did not support the heriditer factor while environmental factors had 1.46 times the odds for terminal kidney failure compared to those environmental factors that do not support . Keyword : Heriditer, environmental, social, cultural, health care, failing chronic kidney A. Pendahuluan Latar Belakang Beberapa penyakit yang timbul sebagian besar dipengaruhi oleh pola hidup individu yang kurang sehat seperti stres, beban kerja yang berlebihan, kebiasaan makan/minum yang tidak sehat, merokok, kurangnya personal hygine dan lain-lain sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit yang tidak menular misalnya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolnemia dan gagal jantung. kematian yang terjadi seringkali bahkan bukan berasal dari Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 penyakit primernya tetapi lebih disebabkan oleh komplikasi yang terjadi seperti gagal ginjal. Ginjal merupakan organ tubuh yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah, jika ke dua ginjal karena sesuatu sebab gagal melakukan fungsinya maka akan berakibat serius bagi penderita. Jika ke dua ginjal gagal dalam melakukan fungsinya maka akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Tidak ada obat yang dapat mengembalikan fungsi ginjal walaupun teknologi bidang kesehatan semakin canggih, saat ini penyakit gagal ginjal hanya bisa diatasi dengan cuci darah atau cangkok ginjal. Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut Rully Roesli (2005) penyakit gagal ginjal bisa menyerang setiap orang baik pria maupun wanita tanpa memandang tingkat ekonomi, sekitar 50.000 pasien gagal ginjal harus menjalani cuci darah. Bila gejala diketahui sedini mungkin penderita bisa mendapat bantuan untuk mengubah atau menyesuaikan pola hidupnya. (http://www.kompas.com/kesehatan/news /0411/22/060712.htm). Kemudian R.A Habibie menyatakan bahwa banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah karena biaya yang sangat mahal. Tindakan cuci darah dilakukan antara 2 – 3 kali seminggu. (http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm ). Sri Soedarsono menyebutkan bahwa kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal antara lain dari meningkatnya jumlah penderita cuci darah yang jumlahnya rata-rata 250 orang /tahun (http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm). Begitu juga dengan kenaikan penderita gagal ginjal di RSUD Ulin Banjarmasin yang menjalani terapi cuci darah dari tahun ketahun semakin meningkat pada tahun 2004 sebanyak 5.865 tindakan dan tahun 2005 sebanyak 8.951 tindakan atau terjadi kenaikan sebesar 65,52% Dari uraian di atas penyakit gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang tergolong berat serta cenderung mengalami peningkatan dengan biaya pengobatan yang mahal maka perlu upaya pencegahan dengan mengetahui pola hidup penderita penyakit gagal ginjal sehingga perlu kiranya diketahui tentang faktor yang berhubungan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan. Rumusan Masalah Faktor apa saja yang berhubungan terhadap terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan ? Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Ingin mendapatkan gambaran tentang faktor yang berhubungan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan. b. Tujuan Khusus 1) Ingin mengetahui gambaran faktor heriditer penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan Selatan 2) Ingin mengetahui gambaran faktor lingkungan penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan 3) Ingin mengetahui gambaran faktor Sosial budaya penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan 4) Ingin mengetahui gambaran faktor klinik/pelayanan kesehatan penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan. B. Metode penelitian Jenis Penelitian Penelitian merupakan penelitian deskriptif, rancangan Crossectional dengan menggunakan metode Ex Post Facto. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan tempat di ruang Hemodialisis dan ruang Rawat Inap 101 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah) Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin dan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2007. Subjek Penelitian Populasi yang diteliti adalah semua pasien yang menderita gagal ginjal kronis yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang hemodialisis dengan kriteria inklusi : a. Diagnosis penyakit gagal ginjal kronis b. Bersedia menjadi responden c. Dapat berkomunikasi dengan baik . Teknik pengambilann sampel Pengambilan sampling menggunakan teknik Aksidental sampling yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Penentuan jumlah sampel di ruang Hemodialisis menggunakan tabel Krecjie. Rata-rata jumlah pasien yang dirawat di ruang Hemodialisis setiap bulan 120 pasien, sehingga besar sampel yang digunakan menurut tabel Krecjei adalah 92 pasien. Besar sampel untuk pasien yang di rawat inap tersebar dibeberapa ruang sebanyak 10 – 15 pasien, pasien yang sesuai dengan kriteria menjadi sampel sehingga besar sampel menurut tabel Krecjei adalah 14 pasien. Jumlah seluruh sampel dalam penelitian ini adalah 106 responden. 1. Variabel Penelitian Variabel Indipenden (bebas) adalah faktor heriditer, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor klinik. Sedangkan yang menjadi variable dependen (terikat) adalah gagal ginjal kronik. 2. Alat pengumpulan Data Alat pengumpul data terdiri dari 6 angket. Angket pertama meliputi data umum tentang karakteristik reponden. Angket ke dua, tiga, empat dan lima tentang faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu terkait dengan 102 terjadinya penyakit gagal ginjal kronis. Disusun oleh peneliti berdasarkan pendapat dari Depkes tentang faktor yang mempengaruhi status kesehatan dengan berpedoman kepada faktor resiko terjadinya penyakit gagal ginjal. Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari hasil angket untuk mengetahui karakteristik responden dan faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal ginjal kronis. Data sekunder didapatkan dari data laboratorium yang dilihat dari rekam medis/status pasien. Teknik Analisa Data Data dianalisis secara deskriptif analitik. Data univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi sedangkan data bivariat menggunakan uji Chi Square. Data dianalisis menggunakan teknik komputasi SPSS for Windows. Penyajian data hasil penelitian dilakukan dengan melalui tabel C. Hasil dan pembahasan penelitian 1. Karakteristik Responden Data yang dideskripsikan meliputi data distribusi responden menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Tabel. 1 Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin yang menderita Gagal Ginjal Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin No 1. 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah f % 68 38 106 64,15 35,85 100,00 Dari tabel di atas bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 64,15 % dibandingkan dengan responden perempuan. Tabel. 2 Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Karakteristik responden berdasarkan Umur yang menderita Gagal Ginjal Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin No 1. 2. 3. 4. 5. Umur (tahun) 15 – 25 26 – 35 36 – 45 45 – 65 >66 Jumlah f % 4 16 28 50 8 106 3,77 15,09 26,42 47,17 7,55 100,00 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD /sederajad Tamat SD/sederajad SLTP/sederajad SLTA/sederajad Diploma Sarjana Paska sarjana/S-2 Jumlah f 0 6 % 0,00 5,66 14 8 42 16 18 2 106 13,21 7,55 39,62 15,09 16,98 1,89 100,00 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan dengan prosentasi terbesar menurut tingkat pendidikan responden adalah pendidikan SLTA/sederajad sebesar 39,62%. Tabel. 4 Karakteristik responden berdasarkan Pekerjaan yang menderita Gagal Ginjal Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin No 1. 2. Pekerjaan Tidak bekerja Petani/nelayan f 40 5 Pengawai Negeri Buruh Pegawai swasta TNI/POLRI Lain-lain Jumlah 39 5 13 4 0 106 36,79 4,72 12,26 3,77 0,00 100,00 Berdasarkan tabulasi data distribusi frekuensi, prosentasi terbesar menurut pekerjaan responden adalah tidak bekerja atau 37,74% kemudian Pegawai Negeri Sipil sebesar 36,79%. Berdasarkan tabulasi data distribusi frekuensi, prosentasi terbesar menurut umur responden adalah pada rentang usia 45-65 tahun sebesar 47,17 %. Tabel. 3 Karakteristik responden berdasarkan Tingkat Pendidikan yang menderita Gagal Ginjal Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. % 37,74 4,72 2. Faktor Heriditer Terhadap Gagal Ginjal Kronik Tabel 5 Perbandingan Faktor Heriditer Dengan Gagal Ginjal Kronis Faktor Heriditer Tidak Mendukung Mendukung Total Gagal Ginjal Kronis Gagal Non Gagal Ginjal ginjal Terminal Terminal 38 (40,4%) 56 (59,6%) 3 ( 25,0%) 41 (38,7%) 9 (75,0%) 65 (61,3) Total 94 (100%) 12 (100%) 106 (100%) Berdasarkan tabel 5 ada sebanyak 56 dari 94 (59,6%) responden dari faktor heriditer tidak mendukung terjadinya gagal ginjal terminal, sedangkan responden dari faktor heriditer yang mendukung sebanyak 9 dari 12 (75%) yang terjadi gagal ginjal terminal. Hasil uji Chi Square terlihat nilai p value 0,362 lebih besar dari alpha (5%) berarti tidak ada hubungan faktor heriditer dengan kejadian gagal ginjal kronik. Dilihat dari nilai Odds Ratio ada kecenderungan bahwa bila faktor heriditer yang mendukung akan lebih besar kemungkinan untuk terjadinya gagal ginjal terminal dimana responden yang faktor heriditer mendukung akan terjadi atau memiliki peluang 2,04 kali untuk terjadi gagal ginjal terminal dibandingkan dengan responden yang faktor heriditer tidak mendukung. Kalau dibandingkan dengan hasil penelitian, faktor heriditer yang mendukung 103 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah) terjadinya gagal ginjal kronik lebih sedikit dari pada yang tidak mendukung. Menurut Hidayat, A., (2007) faktor heriditer atau keturunan memberikan pengaruh terhadap status kesehatan sesorang mengingat potensi perubahan status kesehatan telah dimiliki melalui faktor genitik, walaupun tidak terlalu besar tetapi akan mempengaruhi respon terhadap berbagai penyakit 3. Faktor Lingkungan Terhadap Gagal Ginjal Kronik Tabel 6 Perbandingan Faktor Lingkungan Dengan Gagal Ginjal Kronis Faktor Lingkungan Tidak Mendukung Mendukung Total Gagal Ginjal Kronis Gagal Non Gagal Ginjal ginjal Terminal Terminal 34 (40,5%) 50 (59,5%) 7 (31,8%) 41 (38,7%) 15 (68,2%) 65 (61,3) Total 84 (100%) 22 (100%) 106 (100%) Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa sebanyak 50 dari 84 (59,5%) responden yang faktor lingkungan tidak mendukung terjadi gagal ginjal terminal sedangkan responden yang faktor lingkungan mendukung ada 15 dari 22 (68,2%) yang terjadi Gagal ginjal terminal. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa nilai p value 0,620 lebih besar dari alpha (5%) berati tidak ada hubungan faktor lingkungan dengan kejadian gagal ginjal terminal, namun ada kecenderungan bila faktor lingkungan mendukung akan lebih besar kemungkinan untuk terjadi gagal ginjal terminal. Dilihat dari nilai Odds Ratio bahwa responden yang faktor lingkungan mendukung akan memiliki peluang 1,46 kali untuk terjadi gagal ginjal terminal dibanding dengan responden yang faktor lingkungan yang tidak mendukung. Lingkungan adalah segala sesuatu yang mempunyai hubungan langsung dengan hidup organisme atau manusia dengan kata lain adalah dunia dengan segala aspeknya yang 104 selalu berhubungan dengan kita (Mukono, H.J. 2008). Penyakit dapat muncul terutama karena lingkungan telah tercemar oleh bahan-bahan yang beracun dan berbahaya. Bahan-bahan unsur logam maupun pestisida ini dapat berasal dari buangan industri, pertanian maupun rumah tangga. Pembuangan limbah industri secara sembarangan kelingkungan sangat merugikan kesehatan manusia, berupa penyakit maupun kecacatan. Demikian pula penggunaan berbagai macam pestisida disektor pertanian maupun rumah tangga, pada saatnya akan mencemari lingkungan dan mengakibatkan berbagai penyakit serta gangguan kesehatan. 4. Faktor sosial budaya Terhadap Gagal Ginjal Kronik Tabel 7 Perbandingan Faktor Sosial Budaya Dengan Gagal Ginjal Kronis Faktor Sosial Budaya Tidak Mendukung Mendukung Total Gagal Ginjal Kronis Gagal Non Gagal Ginjal ginjal Terminal Terminal 37 (38,5%) 59 (61,5%) 4 (40,0%) 41 (38,7%) 6 (60,0%) 65 (61,3) Total 96 (100%) 10 (100%) 106 (100%) Dari tabel 7 terlihat bahwa responden yang faktor sosial budaya yang tidak mendukung ada 59 dari 96 (61,5%) untuk terjadi gagal ginjal terminal, begitu juga responden yang faktor sosial budaya mendukung ada sebesar 60% untuk terjadi gagal ginjal terminal. Berdasarkan hasil analisis Chi Square didapatkan p value 1,000 lebih besar dari alpha (5%) yang erarti tidak ada hubungan antara faktor sosial budaya dengan kejadian gagal ginjal kronik. Jika dilihat dari data di atas nampak faktor sosial budaya lebih banyak dalam katagori tidak mendukung terjadinya gagal ginjal, hal ini mungkin disebabkan karena dalam perhitungan score dilakukan secara kumulatif keseluruhan maka hasil yang didapat lebih rendah dari nilai yang termasuk dalam katagori mendukung. Tetapi kalau dilihat dari masing-masing Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 subvariabel dari faktor sosial budaya berdasarkan distribusi frekuensi terdapat ada perbedaan (lihat lampiran), misalnya pada subvariabel pola aktivitas didapatkan katagori yang mendukung 58 responden atau 54,7% dan yang tidak mendukung terjadinya gagal ginjal 48 responden atau 45,3%. Begitu pula dengan subvariabel penggunaan waktu senggang didapatkan katagori yang mendukung 64 responden atau 60,4% dan yang tidak mendukung gagal ginjal sebanyak 42 responden atau 39,6%. Perilaku mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap derajat kesehatan masyarakat maka diperlukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku masyarakat yang bertentangan dengan norma hidup sehat. Perilaku masyarakat tersebut biasanya bersifat lokal spesifik karena perilaku masyarakat disetiap daerah berbeda, terjadi pada golongan, ras dan daerah tertentu dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Menurut Sarwono, (2004) Perilaku kesehatan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikapnya mengenai kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Termasuk di dalam perilaku kesehatan yang dapat diobservasi adalah perilaku hidup sehat. Anies (2006) menyebutkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan atau merupakan fungsi dari pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, sumber atau fasilitas yang mendukung dan kebudayaan masyarakat 5. Faktor Pelayanan Kesehatan Terhadap Gagal Ginjal Kronik Tabel 8 Perbandingan Faktor Pelayanan Kesehatan Dengan Gagal Ginjal Kronis Faktor Pelayanan Kesehatan Gagal Ginjal Kronis Gagal Non Gagal Ginjal ginjal Terminal Terminal Tidak Mendukung Mendukung Total 29 (35,8%) 52 (64,%) 81 (100%) 12 (48,0%) 41 (38,7%) 13 (52,0%) 65 (61,3) 25 (100%) 106 (100%) Dari tabel 8 menunjukkan bahwa ada 52 dari 81 (64,2%) responden yang faktor pelayanan kesehatan tidak mendukung terjadi gagal ginjal terminal, sedangkan responden yang faktor pelayanan kesehatan mendukung akan terjadi gagal ginjal terminal sebesar 52%. Hasil uji statistik analisis Chi Square didapatkan p value 0,39 lebih besar dari alpha (5%) yang berarti tidak ada hubungan pelayanan kesehatan dengan terjadinya gagal ginjal kronik. Pengumpulan data difokuskan pada riwayat penyakit/ kesehatan dahulu, riwayat pemakaian obat dan riwayat pembedahan. Jika dilihat dari data di atas nampak faktor pelayanan kesehatan lebih banyak dalam katagori tidak mendukung terjadinya gagal ginjal, hal ini mungkin disebabkan juga karena dalam perhitungan score dilakukan secara keseluruhan maka hasil yang didapat lebih rendah dari nilai yang termasuk dalam katagori mendukung. Tetapi kalau dilihat dari beberapa subvariabel dari faktor pelayanan kesehatan berdasarkan distribusi frekuensi terdapat ada perbedaan, misalnya pada subvariabel riwayat penggunaan obat didapatkan katagori yang mendukung 68 responden atau 64,2% dan yang tidak mendukung terjadinya gagal ginjal 38 responden atau 35,8%. Simpulan a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik pada penderita di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dari ke empat faktor tidak ada suatu hubungan yang bermakna tetapi terdapat dua faktor yang mempunyai kencenderungan sebagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit gagal ginjal kronis yaitu faktor heriditer dan faktor lingkungan. Total b. Faktor heriditer mempunyai peluang 2,04 kali untuk terjadi gagal ginjal 105 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah) terminal dibandingkan dengan Mukono, H.J. (2008), Prinsif Dasar Kesehatan responden yang faktor heriditer tidak Lingkungan, edisi 2, Airlangga mendukung sedangkan faktor University Press, Surabaya. lingkungan mempunyai peluang 1,46 Price, A.A & Wilson, L.M (1995), Patofisologi, kali untuk terjadi gagal ginjal terminal Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, dibanding dengan responden yang Penerbit Buku Kedokteran, EGC, faktor lingkungan yang tidak Jakarta. mendukung. R.A Habibie & Sri Soedarsono Tinggi, Tingkat Gagal Ginjal, (http://www.pikiranSaran a. Sebagian besar penderita yang rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm ) menderita penyakit Gagal Ginjal Kronis sudah dalam katagori Gagal Rully Roesli, Jangan Sampai Kurang Minum, artikel, Ginjal Terminal maka perlu upaya http://www.kompas.com/kesehatan/news pencegahan lebih dini terutama bagi /0411/22/060712.htm yang mempunyai faktor herediter harus berupaya untuk meminimalkan atau mengurangi tingkat keparahan Sarwono, S. (1993), Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, penyakit Gagal ginjal dengan Gadjahmada University Press, menjalankan pola hidup sehat. Yogyakarta. b. Beberapa penyakit yang timbul sebagian besar dipengaruhi oleh pola Sugiyono, (1999), Metode Penelitian Adminitrasi, Alfabeta, Jakarta. hidup individu yang kurang sehat seperti stres, beban kerja yang berlebihan, kebiasaan makan/minum WHO, (2002), Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia Dan Lingkungan, yang tidak sehat, merokok, kurangnya Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta personal hygine dan lain-lain sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit Gagal Ginjal Kronis. Oleh karena itu kepada instansi pemerintah maupun Provider perlu meningkatkan upaya promosi kesehatan kepada masyarakat sebagai langkah awal untuk tindakan preventif. DAFTAR PUSTAKA Anies (2006), Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta Depkes R.I (2002), Paradigma Sehat, Pusat Promosi Kesehatan R.I, Jakarta Depkes R.I, (1995), Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Ginjal/penyakit Urogenital, Pusdiknakes, Jakarta 106 HUBUNGAN PERAN IBU DENGAN TINGKAT SIBLING RIVALRY PADA ANAK PRASEKOLAH USIA 3-5 TAHUN DI WILAYAH KELURAHAN KETAWANGGEDE MALANG Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Email [email protected] Abstract : Sibling rivalry is an attitude of being antagonistic and jealous toward one’s biological sibling. This kind of attitude can attach to 3-5 year old preschool children easily since a preschool period is a critical period when children start to develop their emotion. This jealousy occurs for the sake of getting more attention from the mother. Out of that context, the purpose of this research is to get some information on the relationship between the mother’s role and the level of sibling rivalry on the 3-5 year old preschool children. Moreover, the research design is a descriptive analytic correlation with cross sectional approach. The data collection was done by using a purposive sampling with 57 people as the sample. In addition, questionnaire that has been checked its validity and reliability was used as the research instrument. Then, the data are analyzed by using spearman rho correlation. The result shows that most of mothers (43.9%) in Ketawanggede region Malang are in a category of fair in doing their role as mothers and their children’s sibling rivalry level is moderate (43.9%). Moreover, the test result of spearman rho correlation (r=0.289 with p=0.03) shows that there is an existence of mother’s role with as sibling rivalry level of 3-5 year old preschool children. Based on the result of the research, it is suggested that health officer should be able give counseling on how mothers do their role as a mother in public health service. If counseling is well given, it is hoped that those mothers are able to do their role perfectly so that the level of sibling rivalry can be minimized. Keywords: Mothers’ role, Sibling Rivalry, Preschool children Latar Belakang Anak usia prasekolah adalah anak yang berumur antara tiga sampai enam tahun. Salah satu perkembangan anak-anak yang perlu mendapat perhatian adalah perkembangan dari segi emosi. Emosi yang rentan pada anak prasekolah adalah rasa cemburu dimana timbul perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih sayang dari orang. Kehadiran adik bayi bagi anak pertama dapat memunculkan berbagai macam kecemburuan atau persaingan yang berbeda satu sama lainnya yang dikenal dengan istilah sibling rivalry. Sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu di antara saudara kandung. Hal ini biasanya terjadi antara dua atau lebih saudara kandung yang berusia berdekatan (1-3 tahun) dan jenis kelaminnya sama.3 Reaksi yang sering ditampakkan adalah anak lebih agresif, memukul atau melukai kakak maupun adiknya, membangkang kepada ibunya, rewel, mengalami kemunduran (berperilaku menyerupai anak kecil seperti mengompol), sering marah dan menangis tanpa sebab serta menjadi lebih lengket dengan ibu. Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati) Hasil penelitian mengenai sibling rivalry pada anak prasekolah dari 35 anak diperoleh 80% tingkat sibling rivalry sedang, 16.67 % tingkat sibling rivalry berat, dan 3.33% tingkat sibling rivalry ringan.5 Dampak sibling rivalry pada perkembangan anak dapat berupa perilaku agresif yang mengarah ke fisik seperti menggigit, memukul, mencakar, melukai dan menendang adik bayinya.4 Oleh karena itu, untuk mengurangi terjadinya sibling rivalry maka dibutuhkan peran ibu yang baik. Peran ibu adalah memberikan kasih sayang dan mendidik anak. Keberhasilan ibu dalam melaksanakan peran tergantung dari kondisi ibu.6 Kondisi yang menyebabkan peran ibu tidak maksimal sehingga menimbulkan sibling rivalry pada anak antara lain kehadiran anggota keluarga baru yang dapat memberikan tekanan pada anak pertama karena perhatian ibu lebih banyak pada adik bayi.7 Kesibukan ibu dengan kariernya juga dapat menimbulkan sibling rivalry yang mengakibatkan waktu kebersamaan dengan anak berkurang. Peneliti melakukan studi pendahuluan di Wilayah Kelurahan Karang Besuki, Kelurahan Dinoyo dan Kelurahan Ketawanggede. Dari ketiga tempat tersebut, jumlah ibu yang mempunyai anak usia prasekolah dan bayi lebih banyak ditemui di Wilayah Kelurahan Ketawanggede. Di wilayah kelurahan tersebut peneliti mendapatkan data melalui wawancara pada 10 orang ibu, 5 diantaranya masih melakukan peran yang kurang baik seperti suka mencubit, memukul, dan tidak bisa mengendalikan emosi didepan anak. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara pada 14 orang ibu yang memiliki anak usia 3-5 tahun dan bayi. Mereka mengatakan bahwa sejak kehadiran adik dirumah, sang kakak sering memukul, menggigit adik bayi dan mencari perhatian ketika ibu sedang menggendong adiknya. Hal ini menunjukkan tanda-tanda sibling rivalry tingkat berat. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara peran ibu dengan sibling rivalry pada anak prasekolah usia 3-5 tahun di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang. Bahan dan Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah deskripsi analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak prasekolah usia 3-5 tahun dan bayi usia 0-1 tahun di Kelurahan Ketawanggede Malang yang berlangsun pada tanggal 7 - 21 Desember 2011. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 57 orang. Karakteristik responden adalah Ibu yang mempunyai anak berusia 3-5 tahun dan bayi 0-1 tahun dan yang tidak bekerja ( Ibu rumah tangga). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner peran ibu dan sibling rivalry. Tabel 1. Peran Ibu berdasarkan Usia di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang 21-30 tahun Peran Ibu Baik 108 108 N 14 30-40 tahun % 24.6% N 5 40-50 tahun % 8.8% N 1 % 1.8% Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Cukup 12 21.1% 13 22.8% 0 0% Kurang 3 8.8% 8 14.0% 1 1.8% Total 29 26 45.6% 2 3.5% 50.9% N = 57 berusia 21-30 tahun yaitu sebesar 24.6%. Peran ibu dengan kategori kurang dilakukan oleh ibu yang berusia 30-40 tahun yaitu sebesar 14%. Berdasarkan tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori baik sebagian besar dilakukan oleh ibu yang Tabel 2. Peran Ibu berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang SD Peran Ibu SMP N % N SMA % N Perguruan Tinggi % N % Baik 5 8.8% 3 5.3% 9 15.8% 3 5.3% Cukup 2 3.5% 9 15.8% 11 19.3% 3 5.3% Kurang 4 7% 5 8.8% 2 3.5% 1 1.8% Total 11 19.3% 17 29.8% 22 38.6% 7 12.3% 19.3%. Sedangkan peran ibu dengan kategori kurang dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMP yaitu sebanyak 8.8%. Berdasarkan tabel 2 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori cukup sebagian besar dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak Tabel 3. Peran Ibu berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang 2 3 4 5 Peran Ibu N % N % N % N % Baik 12 21.1% 3 5.3% 3 5.3% 1 1.8% Cukup 19 33.3% 4 7% 2 3.5% 0 0% Kurang 7 12.3% 4 7% 2 3.5% 0 0% Total 38 66.7% 11 19.3% 7 12.3% 1 1.8% N = 57 109 109 Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati) Peran ibu dengan kategori kurang juga dilakukan oleh ibu yang memiliki jumlah anak 2 yaitu sebanyak 12.3%. Berdasarkan tabel 3 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori cukup sebagian besar dilakukan oleh ibu yang memiliki jumlah anak 2 yaitu sebanyak 33.3%. Tabel 4. Tingkat Sibling Rivalry berdasarkan Usia Anak Prasekolah di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang Tingkat 3-4 tahun Sibling Rivalry 4-5 tahun N % N % Ringan 5 8.8% 14 24.6% Sedang 14 24.6% 11 19.3% Berat 8 14% 5 8.8% Total 29 50.9% 26 45.6% dengan tingkat sedang dan berat banyak terjadi pada anak usia 3-4 tahun masing-masing sebanyak 24.6% dan 14 Berdasarkan tabel 4 diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry tingkat ringan banyak terjadi pada anak usia 4-5 tahun sebanyak 24.6%. Sedangkan sibling rivalry Tabel 5. Tingkat Sibling Rivalry berdasarkan Jenis Kelamin Antar Saudara di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang Tingkat Laki-Laki Perempuan- Perempuan- Sibling dengan laki-laki Laki-laki perempuan Rivalry N % N % N % Ringan 4 7% 8 14.1% 7 12.3% Sedang 6 10.5% 10 17.6% Berat 4 7% 3 5.3% 6 10.5% Total 14 24.6% 21 36.8% 22 38.6% 9 15.8% N = 57 Berdasarkan tabel 5 disimpulkan sibling rivalry tingkat ringan dan sedang terjadi bahwa sebagian besar anak yang mengalami pada anak dengan jenis kelamin perempuan 110 110 Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 dengan laki-laki masing-masing sebanyak 14.1% anak dengan jenis kelamin perempuan dengan dan 17.6%. Sedangkan anak yang mengalami perempuan yaitu sebanyak 10.5%. sibling rivalry tingkat berat banyak terjadi pada Tabel 6. Tingkat Sibing Rivalry berdasarkan Jumlah Saudara Yang Dimiliki di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang Tingkat Sibling 1 2 3 4 Rivalry N % N % N % N % Ringan 11 19.3% 5 8.8% 3 5.3% 0 0% Sedang 19 33.3% 4 7% 1 1.8% 1 1.8% Berat 8 14% 2 3.5% 3 5.3% 0 0% Total 38 66.7% 11 19.3% 7 12.3% 1 1.8% ringan, sedang dan berat banyak terjadi pada Berdasarkan tabel 6 diatas dapat anak yang memiliki jumlah saudara 1 masing- disimpulkan bahwa sibling rivalry tingkat masing sebanyak 19.3%,33.3% dan 14%. Tabel 7. Tingkat Sibling Rivalry Berdasarkan Urutan kelahiran Di Wilayah kelurahan Ketawanggede Malang Anak Tingkat ke-1 Anak dan ke-2 ke-2 Anak ke-3 dan Anak ke-4 dan dan ke-3 ke-4 ke-5 Sibling Rivalry N % N % N % N % Ringan 10 17.5% 6 10.5% 3 5.3% 0 0% Sedang 21 36.8% 2 3.5% 1 1.8% 1 1.8% Berat 8 14% 2 3.5% 3 5.3% 0 0% Total 39 68.4% 10 17.5% 7 12.3% 1 1.8% Berdasarkan tabel 7 diatas dapat tingkat ringan, sedang dan berat banyak disimpulkan bahwa sibling rivalry dengan terjadi pada anak dengan urutan kelahiran 1 111 111 Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati) dan 2 masing-masing sebanyak 17.5%, 36.8% dan 14 % Tabel 8. Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Tingkat Peran Ibu Sibling Rivalry Sedang Berat Ringan N % N % N % Baik 14 24.6% 5 8.8% 1 1.8% Cukup 12 21.1% 13 22.8% 0 0% Kurang 3 8.8% 8 14.0% 1 1.8% Total 29 26 45.6% 2 3.5% 50.9% Berdasarkan tabel 8 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu yang melakukan perannya dengan kategori baik, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry ringan yaitu sebanyak 17.5%. Sementara ibu yang melakukan perannya dengan kategori cukup, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry sedang sebanyak 26.3%. Sedangkan ibu yang melakukan perannya dengan kategori kurang, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry berat sebanyak 10.5%. Tabel 9. Uji Korelasi Spearman Rho Variabel 1 2 Sampel Korelasi (r) Sig.(p) 57 -0.289 0.03 Dari tabel 9 dapat diketahui bawha hasil uji korelasi Spearman Rho diperoleh nilai koefisien antara variable 1 dan 2 sebesar 0.289 yang berarti peran ibu memiliki hubungan dengan tingkat sibling rivalry. Nilai tersebut 112 112 masuk dalam rentang interval koefisien 0.200.399 yang menunjukan tingkat hubungan rendah. Arah korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin baik peran ibu maka tingkat sibling rivalry semakin rendah atau ringan. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Pembahasan Peran Ibu Terhadap Perkembangan Anak di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang Dari data penelitian diperoleh bahwa peran ibu dengan kategori baik sebagian besar dilakukan oleh ibu yang berusia 21-30 tahun sebanyak 22.8%. Sedangkan ibu yang berusia 30-40 tahun dan 40-50 tahun yaitu masing-masing sebanyak 10.5% dan 1.8%. Menurut Chomaria (2008), ibu yang berusia lebih muda (21-30 tahun) cenderung menerapkan pola asuh yang demokratis. Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka antara ibu dengan anak sehingga dapat terjalin komunikasi yang harmonis. Hal ini mempermudah ibu untuk melaksanakan perannya seperti mudah untuk memberi pengarahan dan nasihat kepada anak. Sementara ibu yang berusia lebih tua lebih memilih cara pengasuhan yang berpusat pada orang tua yang dapat menimbulkan rasa kurang puas pada anak dan merasa dirinya tidak didengar. Pendidikan terakhir ibu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peran ibu. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu yang melakukan peran dengan kategori baik dan cukup banyak dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMA masing-masing sebanyak 15.8% dan 19.3%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yulistyowati (2008) bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih mudah menyerap dan menerima informasi mengenai perkembangan anak. Tetapi pada kenyataannya, ada juga ibu dengan pendidikan SD mampu melakukan peran dengan kategori baik. Terlihat dari data penelitian yang menunjukkan bahwa 8.8% ibu yang berpendidikan terakhir SD mampu melakukan peran dengan kategori baik dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMP dan perguruan tinggi masing-masing sebanyak 5.3%. Menurut Hurlock (2005) ibu yang berpendidikan rendah belum tentu pengetahuannya juga rendah. Hal tersebut dikarenakan ibu memperoleh pengetahuan tentang perkembangan anak dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, media massa serta lingkungan. Pendapat yang tidak sesuai dengan hasil penelitian diungkapkan oleh Habibi (2006) bahwa pendidikan ibu yang tinggi atau pengetahuan yang luas akan membuat ibu memahami bagaimana memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. Pendapat lain yang juga tidak sesuai dikemukakan oleh Hetherington dan Parke (1979) dalam Petranto (2006) yang menyatakan bahwa ibu dengan latar belakang pendidikan tinggi dalam melakukan peran sebagai ibu tampak sering mengikuti kemajuan mengenai perkembangan dalam mendidik anak sedangkan ibu dengan latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas tentang kebutuhan perkembangan anak. Jumlah anak yang dimiliki oleh ibu juga menjadi faktor yang mempengaruhi peran ibu. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa 21.1% ibu yang memiliki anak dengan jumlah 2 melakukan peran dengan kategori baik. Ibu yang memiliki anak dengan jumlah 3 dan 4 melakukan peran dengan kategori baik masing-masing sebanyak 5.3%. Menurut Gichara (2008) jumlah anak yang dimiliki mempengaruhi ibu dalam mengasuh anak. Semakin banyak anak maka perhatian ibu kepada anak semakin berkurang karena ibu bukan saja hanya mengurus satu anak melainkan juga harus mengurus anaknya yang lain. Hurlock 113 113 Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati) (2005) juga menyatakan bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula permasalahan yang muncul di rumah sehingga menyebabkan peran ibu tidak maksimal. Teori tersebut menunjukkan kesesuaian data hasil penelitian dengan teori Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Di Wilayah Kelurahan ketawanggede Malang Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar anak yang berusia 3-4 tahun mengalami sibling rivalry tingkat sedang dan berat masing-masing sebanyak 24.6% dan 14%. Sedangkan sibling rivalry tingkat ringan banyak terjadi pada usia 4-5 tahun yaitu sebanyak 24.6%. Data penelitian tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Gottlieb dan Mandelson (1990) dalam Kail (2001) menyatakan bahwa anak yang berusia di bawah 4 tahun menunjukkan adanya regresi tingkah laku akibat kehadiran adik dalam keluarga. Pada usia tersebut anak mengembangkan kemampuan fisik, kognitif dan sosial. Walaupun mereka semakin percaya diri dan menuju pada kemandirian, namun anak membutuhkan bimbingan, ketenangan hati serta pengakuan yang tetap dari orang tua. Tanpa dukungan ini, anak akan menjadi frustrasi dan tidak bersemangat. Anak pada usia tersebut juga cenderung egosentrik dan mereka sering tidak dapat menerima adanya pembagian perhatian dan kasih sayang orang tua (Sawicki dalam binotiana, 2008) Teori lain yang sesuai dengan hasil penelitian dikemukakan oleh Helm dan tuner (1996) dalam Binotiana (2008) yang menyebutkan bahwa sibling rivalry dapat berkembang apabila rentang usia anak antara 1½ - 3 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia anak saat hadirnya adik akan semakin besar kemungkinan anak tersebut mengalami sibling rivalry. 114 114 Sibling rivalry pada anak juga dipengaruhi oleh jenis kelamin antara saudara kandung. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sibling rivalry tingkat berat sebagian besar terjadi pada kakak-adik dengan jenis kelamin perempuan dengan perempuan sebanyak 10.5%. Sedangkan kakak-adik dengan jenis kelamin laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan laki-laki masing-masing sebanyak 7% dan 5.3%. Sesuai dengan pendapat Gichara (2006) yang menyebutkan bahwa sibling rivalry lebih tinggi pada pasangan kakakadik yang berjenis kelamin sama dibandingkan dengan kakak-adik yang berjenis kelamin berbeda. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui sibling rivalry tingkat sedang dan berat sebagian besar terjadi pada kakak-adik dengan jenis kelamin perempuan dengan perempuan masing-masing sebanyak 15.8% dan 10.5 %. Kemungkinan hal ini disebabkan karena anak perempuan perasaannya lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan hasil beberapa penelitian didapatkan pada anak perempuan, daerah otak yang membantu mengontrol bahasa dan emosi cenderung lebih besar sehingga emosi anak perempuan akan lebih terlihat (Hurlock, 2005). Namun hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Gichara (2006) bahwa pada kakak-adik dengan jenis kelamin sama, sibling rivalry cenderung tinggi pada pasangan kakak-adik yang berjenis kelamin laki-laki dengan laki-laki. Pernyataan lain yang juga tidak sesuai dengan hasil penelitian dikemukakan oleh Sawicki (1997) bahwa anak laki-laki akan menunjukkan lebih banyak penurunan tingkah laku akibat kehadiran adik dalam keluarga dibandingkan dengan dengan anak perempuan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar anak yang memiliki jumlah saudara 1 orang mengalami sibling rivalry tingkat sedang dan berat masing- Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 masing sebanyak 33.3% dan 14%. Menurut Boyse (2009) jumlah saudara kecil cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Teori lain yang juga sesuai dikemukakan oleh Haritz (2008) yang menyatakan bahwa jumlah saudara kecil akan menyebabkan anak kurang dapat bersosialisasi antar saudara sehingga sering menyebabkan perselisihan. Teori tersebut menunjukkan adanya kesesuaian data hasil penelitian dengan teori. Urutan kelahiran anak juga dapat mempengaruhi terjadinya sibling rivalry. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa sibling rivalry dengan tingkat sedang dan berat banyak terjadi pada anak dengan urutan kelahiran 1 dan 2 masing-masing sebanyak 36.8% dan 14%. Kemungkinan yang menyebabkan sibling rivalry banyak terjadi pada anak dengan urutan kelahiran 1 karena lahirnya adik baru menjadi permasalahan bagi anak pertama, dimana ia harus membagi cinta, kasih sayang dan perhatian ibu kepada adiknya (Haritz, 2008). Anak pertama yang memiliki adik baru dengan jangka waktu yang pendek, mereka cenderung cemas karena ibu pasti lebih banyak meluangkan waktu untuk adik bayinya. Ia akan merasa terabaikan sehingga menunjukkan perilaku sibling rivalry (Sawicki, 1997) Boyse (2009) berpendapat bahwa urutan kelahiran dalam keluarga yang memiliki anak lebih dari satu, tentunya semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan padanya, semuanya akan berjalan dengan baik. Tetapi apabila peran yang diberikan bukan peran yang dipilihnya sendiri maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali. Hal ini dapat menyebabkan memburuknya hubungan ibu-anak maupun hubungan antar saudara kandung. Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang melakukan peran dengan kategori kurang, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry sedang dan berat masing-masing sebanyak 7% dan 10.5%. Sesuai dengan pendapat Haritz (2008) menyatakan bahwa ibu yang memberikan perhatian dan kasih sayang lebih pada salah satu anak dapat menyebabkan terjadinya sibling rivalry. Hal ini juga bisa disebabkan karena pada saat adik lahir, kakak masih terlalu kecil untuk menyadari kehadiran adik bayi sehingga kakak selalu berusaha merebut perhatian ibu. Sementara ibu sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Konsekuensinya, ibu akan mendapat tugas lebih berat saat harus menghadapi kerewelan anak prasekolah serta bayinya dalam waktu yang bersamaan Sifat-sifat penunjang keberhasilan peran ibu seperti rasa cinta, kasih sayang dan perhatian yang diungkapkan oleh Chomaria (2008) berbanding lurus dengan salah satu penyebab terjadinya sibling rivalry akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diungkapkan oleh Haritz (2008), hal tersebut terbukti dengan hasil penelitian tentang hubungan peran ibu dengan tingkat sibling rivalry pada anak prasekolah usia 3-5 tahun di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang yang menunjukkan hubungan negatif dan berhubungan satu sama lain Simpulan dan Saran KesImpulan dari hasil penelitian tentang peran ibu dengan tingkat sibling rivalry adalah Adanya hubungan yang nyata (signifikan) antara peran ibu dengan tingkat sibling rivalry pada anak prasekolah usia 3-5 tahun di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang yaitu semakin baik peran ibu maka 115 115 Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati) tingkat sibling rivalry yang dialami semakin ringan atau rendah. Bagi petugas kesehatan diharapkan mampu memberikan konseling dan informasi kepada ibu di puskesmas atau posyandu agar ibu dapat melakukan perannya dengan baik untuk mengurangi tingkat sibling rivalry pada anak. Untuk penelitian selanjutnya tentang peran ibu dan tingkat sibling rivalry menggunakan jenis penelitian kualitatif sehingga dapat mengetahui peran ibu dan tingkat sibling rivalry secara terperinci. DAFTAR PUTAKA Hurlock, Elizabeth B. 1997. Perkembangan Anak Jilid 1 Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta. Mansur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak Untuk Kebidanan, Salemba Medika, Jakarta. Gichara, Jenny. 2006. Mengatasi Perilaku Buruk Anak, Kawan Pustaka, Jakarta Priatna & Yulia, A. 2006. Mengatasi Persaingan Saudara Kandung Pada Anak-Anak, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta. Purwanto, Kukuh Hari. 2006. Hubungan Antara Tingkat Sibling Rivalry Dengan Tingkat Perkembangan Anak Preschool. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Universitas Brawijaya, Malang. Paul, Hendry. 2008. Konseling Psikoterapi Anak, Idea Publising, Yogjakarta. Woolfson, Richard. 2006. Persaingan Saudara Kandung. Erlangga, Jakarta Yulistyowati, Tri. 2008. Hubungan Peranan Ibu dan Peranan Kader dengan Status 116 116 Imunisasi Campak. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Universitas Airlangga, Surabaya Hariweni, Trie. 2003. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Bekerja Dan Tidak Bekerja Tentang Stimulasi Pada Pengasuhan Anak Balita, (online), (http://repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/6267/1/anak-tri%20hariweni. pdf, diakses taggal 12 Desember 2011). Chomaria, Nurul. 2008. Menjadi Ibu Penuh Cinta, PT. Elex Komputindo, Jakarta Hurlock, Elizabeth B. 2005. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta Binotiana, 2008. Gambaran Sibling Rivalry Pada Anak ADHD Dan Saudara Kandungnya, (online),(http:// www.lontar.ui.ac.id, diakses tanggal 10 Agustus 2011). Boyse, K. 2009. Sibling Rivalry,(online), (http://www.med.umich.edu/1libr/yourc hild/ sibriv.html, diakses 17 September 2011). Haritz, Ummu. 2008. Mengelola Persaingan Kakak Adik, Afra Publishing, Surakarta. Sawicki, J.A. 1997. Sibling Rivalry and The New Baby: Anticipatory Guidance AND Management Strategies Journal Of Pediatric and Nursing, (online) (http ://www.highbeam.com/doc/1G119556572.html), diakses tanggal 24 September 2011. Boyse, K. 2009. Sibling Rivalry,(online), (http://www.med.umich.edu/1libr/yourc hild/ sibriv.html, diakses 17 September 2011) PENGEMBANGAN MODEL PELAYANAN KESEHATAN PADA POSYANDU LANSIA BERDASARKAN INDIKATOR KUALITAS HIDUP DI KOTA MOJOKERTO AGUS MURDIANTO Departemen Promosi Kesehatan Kesehatan Masyarakat Universitas Unair E-mail: [email protected] Abstract : Elderly health was included physical health, spiritual and social so that not only the state that was free of diseases, defects and weaknesses were seen. The WHO was established the WHOQOL-BREF instrument consists of four domains: physical, psikologik, social, and environmental. The purpose of this research, how the developing model of service on the elderly at the Posyandu Mojokerto based on indicators the quality of life. The kind of research it includes observational analytic approach, while based on the time of its research, this research including research cross sectional. For the development of model using a combination of quantitative and qualitative approaches. This research was the location of the elderly in Mojokerto City Posyandu. The population in this study the elderly enrolled in the elderly as much as posyandu 9744. Sample research as much as 95 elderly and taken from a random sampling of class 19. Samples random sampling techniques research using two levels. Test results obtained using spearmen value significance (0,229) (p) > alfa (α = 0,05), Then can say the quality of life insignificant with judgment on health services in posyandu. In terms of service the majority there was not been a simple lab (urinalysis and haemoglobin) and no mental examination. Conclusion that the development of research was relevant was to enhance the role of posyandu in terms of reference health services and services according to instructions in elderly kms. Key words: elderly, Model development, Elderly Posyandu, and quality of life Latar Belakang Salah satu ciri kependudukan abad 21 adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lanjut usia yang sangat cepat. Jumlah ini diperkirakan pada tahun 2025 yaitu 9,7% populasi penduduk indonesia (Bustan, 2000). Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI (2000b), pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahun mencapai 7,4% atau sekitar 15,3 juta orang, sedangkan antara tahun 2005-2010 jumlah lansia (lansia) diperkirakan akan sama dengan jumlah balita yaitu sekitar 19 juta atau 8,5% dari jumlah seluruh penduduk. Kesehatan lansia meliputi kesehatan jasmani, rohani dan sosial sehingga bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Meningkatnya jumlah penduduk lansia menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Masalah tersebut jika tidak ditangani akan berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Meningkatnya gangguan/ penyakit pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kualitas hidup mereka. Yang dimaksud dengan kualitas hidup menurut World Health Organization (WHO) adalah persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma yang Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Pada Posyandu Lansia Berdasarkan Indikator Kualitas Hidup Di Kota Mojokerto (Agus Murdianto) sesuai dengan tempat hidup orang tersebut serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standar dan kepedulian selama hidupnya. osyandu lansia merupakan wahana pelayanan kesehatan bagi kaum lansia, yang dilakukan dari, oleh dan untuk kaum lansia yang menitikberatkan pada pelayanan promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Notoatmodjo, 2007). Dalam mengakses pelayanan kesehatan pada posyandu lansia, ditinjau berbagai faktor yang mempengaruhi lansia dengan berdasarkan pada teori PrecedeProceed menurut Lawrence Green (1980) dalam (Notoatmodjo, 2005, p.60). Teori ini menganalisis perilaku manusia dalam perilaku kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposising factors), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factors). Masalah dalam posyandu lansia bukan hanya terkait masalah kesehatan saja melainkan juga masalah non kesehatan, baik itu ekonomi, sosial, budaya dan spiritual. Dimana semakin tinggi angka harapan hidup dari lansia maka kualitas hidupnya akan semakin menurun. Untuk mengukur kualitas hidup seseorang WHO telah membentuk WHO Quality of Life (QOL) Group, WHOQOL-BREF terdiri dari empat domain yaitu fisik, psikologik, sosial dan lingkungan Ditinjau dari data proyeksi penduduk tahun 2011 menjelaskan bahwa jumlah penduduk lansia di Kota Mojokerto sebesar 10.048 orang dan yang memperoleh pelayanan kesehatan sebanyak 4.006 orang atau 39,87%. bagaimana mengembangkan model pelayanan kesehatan pada Posyandu Lansia di wilayah Kota Mojokerto berdasarkan Indikator Kualitas Hidup 118 Metode penelitian Penelitian ini penelitian ini menggunakan 2 pendekatan, yaitu pada saat penggumpulan informasi dan variabel menggunakan pendekatan kuantitatif sedangkan untuk pengembangan modelnya peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Untuk pendekatan kuantitatif menggunakan penelitian observasional analitik, sedangkan pendekatan kualitatifnya menggunakan penelitian desktriptif. Berdasarkan waktu penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di posyandu lansia di Kota Mojokerto. Ada 75 Posyandu lansia yang tersebar di 5 puskesmas Kota Mojokerto yaitu Mentikan, Wates, Kedudung, Gedongan dan Blooto. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2013 hingga Juli 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah murid semua sasaran posyandu lansia yang meliputi lansia yang terdaftar di posyandu lansia dan bertempat tinggal di Kota Mojokerto yakni sebanyak 9744 jiwa lansia berusia 60-70 tahun. Besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 95 lansia dari 19 posyandu yang sudah dipilih berdasarkan two stage random sampling. Sedangkan untuk pendekatan kualitatif untuk subjek penelitian merupakan informan yang berkompeten mengenai program posyandu lansia di Kota Mojokerto, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah pengembangan model pelayanan kesehatan pada posyandu lansia. Hasil Penelitian Karakteristik Lansia Lansia yang menjadi responden adalah lansia yang tidak termasuk dalam kategori lansia resiko tinggi (> 70 tahun), dan menurut Junal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 WHO seseorang dikatakan lansia pada saat usia 60 tahun keatas. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut Tabel 1. Distribusi responden penelitian Karakteristik responden Jenis kelamin L P Pendidikan Tidak Sekolah Dasar Menengah Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Status Pernikahan Nikah Janda Duda Asuransi Kesehatan Tidak Memiliki Jamkesda dan Jamkesmas Askes dan Asuransi lain karakteristik N (95) % 31 64 32,6 67,84 24 50 16 5 25,3 52,6 16,8 5,3 78 17 82,1 17,9 68 20 7 71,6 21,1 7,4 47 30 49,5 31,26 18 18,9 Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum pada tabel 5.1 sebagian besar responden lansia adalah wanita yaitu sebanyak 64 orang (67,84%). Untuk pendidikan responden lansia sebagian besar tergolong pendidikan dasar sebanyak 50 orang (52,6%) dan responden sebagian besar sudah tidak bekerja sebanyak 78 responden (82,1%). Untuk status pernikahan responden sebagian besar masih memiliki pasangan hidup sebanyak 68 responden (71,6 %) dan untuk karakterisitik mengenai asuransi sebagian besar lansia tidak memilik asuransi kesehatan sebesar 47 responden (49,5%). Berdasarkan tabel 5.1 hasil penelitian yang dilakukan pada 95 responden diperoleh bahwa 47 responden (49,5 %) belum memiliki asuransi kesehatan. Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan pada posyandu lansia Kota Mojokerto a. Tingkat Pendidikan Sebagian besar yang memiliki pelayanan kesehatan yang tergolong cukup adalah berpendidikan dasar yaitu tamat SD sampai tamat SMP sebanyak 37 responden (75,3%). Dalam distribusi ini dapat terlihat bahwa tidak ada lansia yang berpendidikan menengah dan tinggi di posyandu yang kurang. Hasil tabel silang diuji menggunakan kendall tau b didapatkan nilai signifikansi (0,000) (p) < alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan riwayat pendidikan signifikan dengan penilaian pada pelayanan kesehatan pada posyandu. b. Pekerjaan Sebagian besar yang memiliki pelayanan kesehatan yang tergolong cukup adalah lansia yang memiliki status tidak bekerja sebanyak 58 responden (61,1 %). Hasil tabel silang diuji menggunakan kendall tau b didapatkan nilai signifikansi (0,004) (p) < alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan pekerjaan signifikan dengan pelayanan kesehatan pada posyandu. Karena jika lansia bekerja maka pelayanan kesehatan pada posyandu akan cenderung baik dari segi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan. c. Status pernikahan Sebagian besar yang memiliki pelayanan kesehatan yang tergolong cukup adalah lansia yang memiliki status nikah dan masih memiliki pasangan hidup sebanyak 42 responden (61,8 %). Hasil tabel silang diuji menggunakan kendall tau b 119 Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Pada Posyandu Lansia Berdasarkan Indikator Kualitas Hidup Di Kota Mojokerto (Agus Murdianto) didapatkan nilai signifikansi (0,033) (p) > alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan status pernikahan signifikan dengan pelayanan kesehatan pada posyandu. Hal ini dikarenakan lansia kebanyakan yang aktif karena partisipasi dari pasangan lansia itu sendiri d. Asuransi yang dimiliki sebagian besar yang memiliki pelayanan kesehatan yang tergolong cukup adalah lansia yang tidak memiliki asuransi kesehatan sebanyak 39 responden (41,1%). Hasil tabel silang diuji menggunakan kendall tau b didapatkan nilai signifikansi (0,259) (p) > alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan kepemilikan asuransi tidak signifikan dengan pelayanan kesehatan pada posyandu. e. Pengetahuan Sebagian besar yang memiliki pelayanan kesehatan yang tergolong cukup adalah lansia yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 25 responden (26,3%). Hampir sama dengan riwayat pendidikan tidak dijumpai pengetahuan rendah pada posyandu yang memiliki penilaian baik. Hasil tabel silang di uji menggunakan spearmen didapatkan nilai signifikansi (0,002) (p) < alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan pengetahuan signifikan dengan penilaian pada pelayanan kesehatan pada posyandu. Pengembangan model pelayanan kesehatan pada posyandu lansia berdasarkan analisis indikator kualitas hidup Faktor yang belum memiliki kategori baik pada hasil penelitian tersebut akan dijadikan sebagai hasil dari step 1 pada intervention mapping yaitu kebutuhan program pengembangan model pelayanan 120 dalam posyandu lansia sebagai berikut. a. Predisposing Factor meliputi : 1). Tingkat pengetahuan terhadap posyandu kategori cukup (42,1%). 2). Lansia belum memiliki asuransi kesehatan (49,5%). 3). 61,1 % lansia status tidak bekerja b. Enabling Factor meliputi : 1). Sebagian besar posyandu belum melakukan pemeriksaan lab sederhana (urine dan hemaglobin) 2). Lansia tidak pernah mendapatkan pemeriksaan mental sebesar 53,7%. 3). Sebagian kecil posyandu melakukan kegiatan arisan dan pengajian untuk meningkatan minat lansia datang pada posyandu lansia. 4). Sebagian besar lansia datang hanya untuk tensi dan mendapatkan obat. Perencanaan Pengembangan model pelayanan kesehatan pada posyandu lansia berdasarkan indikator kualitas hidup Kota Mojokerto. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan penanggung jawab program posyandu lansia diperoleh pengembangan model untuk meningkatkan cakupan pelayanan pada posyandu lansia berdasarkan indikator kualitas hidup. a. Kebijakan mengenai pengobatan dan pemeriksaan lab pada posyandu lansia. Berdasarkan dari hasil wawancara mendalam dan analisis data didapatkan hasil bahwa mayoritas lansia menghendaki adanya pengobatan di posyanda, “kedua orang yang datang ke posyandu lansia menghendaki adanya pengobatan secara langsung, sedangkan di program lansia ini tujuannya hanya diteksi dini, dan selanjutnya mungkin perlu adanya lab-lab sederhana sehingga para lansia itu tidak jauh-jauh melaksanakan lab ke puskesmas, Junal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 karena puskesmas yang memiliki lab kebanyakan dekat jalan raya jadi lansia kesulitan untuk hal itu.” (informan Ag) Walaupun hal ini bertentangan dengan prinsip preventif dan promotif “Pemberian obat di puskesmas, jadi lansia periksa ke posyandu lalu ambil obatnya di puskesmas. Kan posyandu lansia itu isinya preventif dan promotif kalau kuratif dan rehabilitatif itu baru di puskesmas.tidak boleh pemberian obat pada posyandu.” (informan R) Melihat dari perkembangan situasi dan kondisi saat ini posyandu lansia akan semakin ditinggalkan, hal ini sesuai dengan wawancara mendalam : “Ya itu rata-rata kami tanya ke petugas dilapangan, gapain (menegaskan) ke posyandu nungguin orang omong gak dapat obat, hanya tensi dan timbang saja, mending ke puskesmas dapat obat atau ke pustu.” (informan R) Oleh sebab itu perlu adanya advokasi kebijakan mengenai batasan pelayanan sehingga meningkatkan daya jual dari posyandu lansia. Hal ini bisa diwujudkan melalui salah satu contohnya adalah penyediaan ambulance untuk lansia. Dimana nantinya lansia tidak perlu jauh-jauh datang ke puskesmas sehingga fasilitias ini bisa dibuat secara swadana dan dibantu oleh pemerintah kota mengingat kesejahteraan lansia tidak hanya menjadi tugas Dinas Kesehatan, melainkan usaha bersama dalam peningkatan kesejahteraan lansia. b. Posyandu lansia dalam sistem rujukan berjenjang Dari hasil assement dan wawancara mendalam dapat dilihat bahwa Kota Mojokerto sudah memiliki sistem kesehatan yang berjenjang : “Rujukan yang selama ini kita lakukan adalah rujukan secara berjenjang dimana di rujuk ke puskesmas terdekat. Kalau puskesmas tidak mengatasi baru bisa dirujuk ke rumahsakit.” (Informasi Ag) Sebagai usulan dimana untuk meningkatkan nilai jual dari posyandu lansia, mungkin bisa dipertimbangkan mengenai posyandu lansia untuk bisa mengakses layanan lebih tinggi, mengingat kondisi lansia yang rentang terhadap penyakit degeneratif. Sehingga lansia tidak harus susah dulu ke puskesmas dulu untuk pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit (dalam kontek lansia memiliki akses penggunaan jamkesda Kota Mojokerto) Posyandu rata-rata hanya dilakukan sebulan sekali pas seperti kontrol yang dilakukan penderita penyakit degeneratif (DM, Jantung) yang selalu kontrol 1 bulan sekali ke dokter spesialis di RS. Hal ini menjadi satu usulan yang perlu dikaji lagi melihat dari segi keefisiean dan keefektifan. Pembahasan Pelayanan kesehatan pada posyandu lansia dengan berdasarkan Indikator kualitas hidup lansia di Kota Mojokerto Sebagian besar responden berada pada kelompok umur 60-70 tahun. Nisman (1998, dalam Rahayu, 2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tua umur lansia tingkat ketergantungannya akan semakin tinggi. Mayoritas responden penelitian berada kelompok umur yang sama, sehingga penurunan fisik akibat proses penuaan yang dialami lansia. Tingkat pendidikan pada lansia dipengaruhi oleh ketersediaan dana pendidikan dan sarana pendidikan masa lalu. Kelemahan ekonomi memiliki andil yang besar terhadap tingkat pendidikan seseorang, karena pada zaman dahulu masih belum banyak dana bantuan pendidikan dan 121 Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Pada Posyandu Lansia Berdasarkan Indikator Kualitas Hidup Di Kota Mojokerto (Agus Murdianto) mereka cenderung lebih mendahulukan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Meskipun pada awal kemerdekaan sudah didirikan beberapa pendidikan tinggi seperti UGM dan UI, namun sistem pendidikan pada saat itu masih dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat kelas (Syaif, 2009) Penelitian Rini (2008) menyatakan ada pengaruh peer group support terhadap interaksi sosial lansia. Peer group support membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan sesamanya sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia dan hubungan sosialnya akan meningkat. Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Lansia Pada Posyandu Kota Mojokerto. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa 49,5 % lansia belum memiliki asuransi kesehatan. Hal ini bertentangan dengan data dari Dinas Kesehatan Kota Mojokerto bahwa per 1 januari 2013, Kota Mojokerto sudah menjalankan Total coverage untuk masalah jaminan kesehatan di seluruh warga Kota Mojokerto. Hal ini terjadi karena mayoritas lansia belum mengetahui dan merasa belum menggunakan askes total coverage dari Dinas Kesehatan. Untuk pengembangan pelayanan pada posyandu lansia ada beberapa hal yang dapat menjadi usulan yaitu adovaksi posyandu lansia dalam sistem rujukan berjenjang, advokasi kebijakan mengenai pengobatan dan pemeriksaan lab pada posyandu lansia, Penambahan petugas kesehatan dalam program posyandu lansia. Semua usulan diatas bersumber dari faktor enabling karena faktor individu lansia berdasarkan kualitas hidup sudah cukup. Dan masalah dilapangan yang terjadi karena faktor pelayanan yang 122 kurang memadai sehingga cakupan pelayanan tidak tercapai dengan baik. Kesimpulan a. Karakteristik lansia pada posyandu Kota Mojokerto sebagian besar adalah lansia wanita, berpendidikan dasar yaitu antara lulus sd dan tamat SMP, tidak bekerja, tidak memiliki asuransi kesehatan dan berstatus masih memiliki pasangan. Mengenai pengetahuan dan sikap responden sebagian besar termasuk dalam kategori cukup; b. Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan pada posyandu lansia Kota Mojokerto berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan menjad sebagian besar faktor yang berpengaruh pelayanan kesehatan pada posyandu lansia; c. Berdasarkan indikator pelayanan kesehatan diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar posyandu lansia di Kota Mojokerto termasuk dalam kategori sedang, ada 2 posyandu di daerah blooto dan mentikan masih mendapatkan skor kurang dikarenakan ada beberapa item belum memenuhi yaitu frekuensi berjalanannya posyandu dan pelayanan lab; d. Alur pelayanan pada posyandu lansia Kota Mojokerto sebagian besar masih menggunakan sistem 3 meja yaitu pendaftaran, pemeriksaan tensi dan berat badan serta penyuluhan kesehatan; e. Kualitas hidup lansia pada posyandu di Kota Mojokerto sebagian besar mendapatkan indeks cukup, hal ini dikarenakan pada setiap domain kualitas hidup pun sebagian besar lansia mendapatkan cukup juga dalam domain kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan; Junal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 f. Pengembangan model pelayanan kesehatan lansia pada posyandu Kota Mojokerto yaitu kebijakan mengenai posyandu lansia dalam sistem rujukan berjenjang, kebijakan mengenai pengobatan dan pemeriksaan lab pada posyandu lansia serta penambahan petugas kesehatan dalam program posyandu lansia; g. Berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji spearmen mengenai hubungan pelayanan kesehatan pada posyandu dengan kualitas hidup didapatkan nilai signifikansi (0,229) (p) > alfa (α = 0,05), maka dapat dikatakan kualitas hidup tidak signifikan dengan penilaian pada pelayanan kesehatan pada posyandu. Saran Bagi Posyandu lansia a. Meningkatkan akses lansia terhadap pelayanan kesehatan dengan cara dibentuknya kelompok-kelompok lansia, terutama di komunitas, guna pemenuhan kebutuhan akan dana kesehatan. b. Meningkatkan informasi dan pengetahuan lansia mengenai kesadaran dirinya mengenai proses penuaan yang mereka alami, perilaku sehat bagi lansia dan manajemen keuangan yang dapat diberikan pada kelompok lansia Bagi Dinas Kesehatan Kota Mojokerto a. Meningkatkan brand image posyandu lansia, dengan memberikan layanan yang sesuai dengan pedoman dalam KMS lansia yang konsepnya tetap bukan sebagai suplyer melainkan rekan kerja dalam upaya peningkatan UKBM. Bagi Peneliti selanjutnya a. Diharapkan dapat lebih spesifik lagi dalam menentukan batasan variabel yang akan diteliti dengan jumlah sampel yang lebih besar dan homogen, sehingga hasil penelitian lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. [Organizational Behavior and Human Decision Processes]. Organ Behav Hum Decis Process , 50 : 179-211. Bridgman, R. F. (1967). An International Study on Hospital Utilization. World Health Organization, Geneva. Bustan, N. (2000). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta. Bartholomew, L. K., Parcel, G. S., Kok, G., & Gottlied, N. H. (2006). Planning Health Promotion : An Intervention Mapping Approach 2nd edition (2 ed.). san francisco: JosseyBass. Depkes RI. 2000a. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan I. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2000b. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan II. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2003. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2007. Kartu Menuju Sehat Lanjut Usia. Propinsi Jawa Timur : Program Upaya Kesehatan Masyarakat. Gounaris, C. C. (2010). Health Services Quality and 123 Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Pada Posyandu Lansia Berdasarkan Indikator Kualitas Hidup Di Kota Mojokerto (Agus Murdianto) Management in Greece Efficiency and Effectiveness of NHS Secondary Health Care Units. Athens University of Economic and Business . Hsu, J. (2010). The relative effciency of public and private sector. World Health Organization, Geneva. Group, T. W. (1988). Psycol Med. Development of the World Health Organization WHOQOL-BREF quality Of Life Assessment , 28 : 551-58. Lemeshow, S & David W.H.Jr, 1977. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan), Gajahmada Universty Press, Yogyakarta. Greenfield, et al. 2009. Do Formal Religious Participation And Spiritual Perceptions Have Independent Linkages With Diverse Dimensions Of Psychological Well-Being?. J Health Soc Behav. 2009 June; 50(2): 196-212 Nazir. Gilmore, & Campbell. (1996). Need assessment strategies for health education and health promotion (2nd ed.). Madison WI: Brown & Benchmark. Goodman, R., Speers, McLeroy, Fawcett, Kegler, & Parker. (1998). Identifying and defining the dimensions of community capacity to provide a basis for measurement. Health Education and Behaviour (25), 258-278. Hawari, D. (2007). Sejahtera di Usia Senja. Jakarta: FKUI. Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009. Hutapea, R. 2005. Sehat & Ceria diusia Senja: Suatu Awal Baru. Jakarta: PT. Rineka Cipta 124 2003. Metode Jakarta : Ghalia. Penelitian. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Cetakan ketiga. Jakarta : PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta : PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: PT Rineka Cipta Nurkusuma, D. D. (2001). Posyandu Lanjut Usia di Puskesmas Pare Kabupaten Temanggung. Retrieved Oktober 31, 2010, from Tempo: http://www.tempo.co.id/medik a/arsip/082001/lap-1.htm. World Health Organization. Introduction, administration, scoring and generic version of the assessment: field trial version. Geneva: World Health Organization; 1996 UPAYA MENINGKATKAN BED OCCUPANCY RATE BERDASARKAN ANALISIS KARAKTERISTIK KONSUMEN, BRAND IMAGE DAN KEPUTUSAN PEMBELIAN PASIEN UMUM DI RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA Caecilia Indarti1 Widodo J Pudjirahardjo2 Darmawan Setijanto3 1 Rumah Sakit TNI AL Dr. Ramelan Surabaya E-mail: [email protected] 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya 3 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya Abstract : The aims of this research was to increase bed occupancy rate (BOR) based on analysis of consumer characteristics, brand image and purchase decisions public patient in Dr. Ramelan the Navy Hospital (Rumkital Dr. Ramelan). This research was observational analytic, a marketing research with cross sectional method. Method of analysis was descriptive statistics and chi-square test. The results of this study indicate that there was no significance difference on individual and social characteristics of patients who are taking inpatient treatment and those who are not in Dr. Ramelan Navy Hospital expect for individual characteristics in term of the frequency in inpatient service use. On psychographic characteristics showed significant correlation in the four sub variables: motivation, perception, learning, attitudes and beliefs. The brand image variabels showed significant correlation on types of brand association and favorability of brand association. On strength of brand association and uniqueness of brand association there was no significant correlation in purchasing decisions. The types of brand association consisting of product related attributes, non products related attrbutes, benefits and attitudes have a significant relationship. The benefits of the service is very influential factors in purchase decision. Speed and efficiency of service were very strong influence favorability of brand association on the purchase decision. According to these results it can be concluded that brand image of Rumkital Dr. Ramelan influences inpatient purchasing decisions, while the individual characteristics factors, social and psychographics influence the brand image on purchase decisions hospitalization. Building a positive brand image will improve inpatient decision in Rumkital Dr Ramelan. Keywords: consumer characteristics, brand image, purchase decision Latar Belakang Pelayanan kesehatan di Indonesia tahun 2014 mengalami perubahan paradigma. Adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selaku badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Perubahan pelayanan berbasis kendali mutu dan biaya ini, harus disikapi majaerial rumah sakit. Dengan adanya SJSN ini, Rumkital Dr. Ramelan perlu membangun brand image yang positif, karena di era BPJS anggota TNI AL dan keluarganya serta masyarakat bebas bisa berobat ke fasilitas kesehatan dimanapun berada yang bekerja Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum sama dengan BPJS. Dengan demikian keputusan pembelian akan pelayanan kesehatan bagi anggota TNI AL dan keluarganya serta masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh rumah sakit yang brand imagenya positif Brand image merupakan cerminan dari dimensi mutu pelayanan. Menurut Kotler dan Keller (2009) yang mendefinisikan citra merek (brand image) sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu merek. Dengan brand image Rumkital Dr. Ramelan akan berpengaruh terhadap perilaku konsumen dalam memanfaatkan jasa pelayanan di Rumkital Dr. Ramelan. Pasien yang berobat di Rumkital Dr. Ramelan dikatagorikan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pertama adalah TNI (TNI AD,TNI AL,TNI AU) dan keluarganya, kelompok yang kedua adalah pasien umum yang terdiri dari pasien umum yang datang sendiri, pasien kerjasama dan pasien pribadi dari dokter keluarga pasien yang bersangkutan, kelompok ketiga adalah pasien Askes yang terdiri dari Askes Hankam, Askes Non Hankam dan Jamkesmas. Komposisi kontribusi pasien yang berobat di Rumkital Dr. Ramelan adalah sebagai berikut: pasien TNI dan keluarganya sekitar 43 %, pasien Askes 35 %, pasien umum kurang lebih 22 % (Minmed Rumkital Dr. Ramelan, 2012).. Kemungkinan penyebab rendahnya persentase pasien umum yang berobat ke Rumkital Dr. Ramelan adalah kualitas pelayanan dirasakan belum sesuai dengan harapan pasien, kebijakan pelayanan untuk memberikan prioritas kepada pasien TNI dan keluarganya dalam hal cadangan ruangan serta kurangnya promosi pemasaran. Salah satu indikator pelayanan rumah sakit yang digunakan untuk mengetahui kondisi kinerja pelayanan, tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit adalah nilai BOR Pemanfaatan rumah sakit dapat dicapai 126 melalui keputusan pembelian pasien untuk berobat ke Rumkital Dr. Ramelan, akan tetapi sebaliknya apabila keputusan pembelian pasien pada Rumkital Dr. Ramelan tidak sesuai dengan harapan rumah sakit, maka hal ini mengakibatkan rendahnya tingkat hunian rawat inap (BOR). BOR Rumkital Dr. Ramelan ratarata 4 tahun terakhir sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Tingkat Hunian Pasien Rawat Inap (BOR) Rumkital Dr. Ramelan Tahun 2009-2012 Tingkat Hunian Rawat Inap (BOR) Bu lan Tahun 2009 56,4% 2010 51,9 % 2011 56,3% 2012 65,2% 55,7% 51,9 % 57,3 % 64,5% 59,7% 58,0 % 59,4 % 61,1% 62,7% 60,8 % 58,4 % 61,5% 57,7% 63,7 % 61,8 % 60,6% 55,3% 53,0 % 59,0 % 61,9% 59,1% 58,3 % 44,6 % 63,4% 52,1% 54,7 % 49,4 % 53.0% 42,0% 47,0 % 53,9 % 61,7% 58,4% 54,1 % 57,6 % 63,1% 47,2% 59,3 % 60,1 % 64,3% 51,7% 58,0 % 55,0 % 60,3% 54,8% 55,9 % 56,1 % 62,5% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Re Ra ta Rerata Persen tase BOR 57,45 % 57,35 % 59,55 % 60.85 % 60,95 % 57,30 % 59.57 % 52,30 % 51,15 % 58,30 % 57,73 % 56,25 % 57,33 % Sumber :Data sekunder dari Minmed Rumkital Dr.Ramelan, 2012 Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat hunian rawat inap (BOR) tahun 2009 sampai tahun 2012 berkisar 57,33%, di mana angka ini masih dibawah ketentuan BOR yang ideal (Depkes RI, 60-85%). Lebih lanjut dapat dipelajari pada tabel 2, tingkat hunian rawat inap Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 (BOR) dan kontribusi pasien berdasarkan kelas perawatan yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pasien TNI, Umum dan Askes pada tahun 2009-2012 di Rumkital Dr. Ramelan sebagai berikut: Tabel 2 Tingkat Hunian Pasien Rawat Inap (BOR) dan Kontribusi Kelompok Pasien (%) Berdasarkan Kelas Perawatan Rumkital Dr. Ramelan, Tahun 2009-2012 N o. 1. 2. 3. 4. Kelas Perawata n Kontribusi Rerata Persentase dan Tingkat persen Hunian Rawat Inap (%) tase Tahun & 200 201 20 201 BOR PAV 9 0 11 2 8 (VIP) TNI 12, 12, 12 10, 9 2 ,3 3 11,9 (TT= 10) 24, 23, 21 38, Umum 7 27,2 6 ,5 9 62, 64, 66 50, 4 2 ,2 8 Askes 60,0 BOR 37, 38, 39 39, 38,7 1 2 ,8 6 Kelas I 25, 24, 24 16, 22,7 (TT= 92) TNI 1 9 ,3 2 31, 31, 31 41, 4 ,6 8 Umum 5 30.1 43, 43, 44 42, Askes 43,2 4 7 ,1 0 59, 58, 58 62, 59,7 9 4 .4 0 BOR Kelas II 28, 27, 28 34, 9 6 ,3 2 TNI 29,8 (TT= 24, 25, 25 26, 189) Umum 9 25,4 3 ,0 7 46, 47, 46 39, 2 1 ,7 1 Askes 44,8 60, 65, 65 65, 64,2 7 2 ,2 5 BOR Kelas III 47, 47, 47 48, TNI 47,8 9 9 ,3 2 (TT= 37, 36, 37 35, 287) 1 ,7 4 Umum 3 36,6 14, 16, 15 16, 8 0 ,0 4 Askes 15,6 61, 62, 61 62, 61,9 7 2 ,2 3 BOR Sumber : Data sekunder dari Minmed Rumkital Dr. Ramelan, 2012 Kelom pok Pasien dan BOR Pada tabel 2 menunjukkan BOR pada kelas VIP paling rendah. Pada Kelas VIP, I dan II pasien yang paling banyak adalah Askes, dimana pasien Askes ini dari Askes Hankam yang merupakan peserta Askes dari para purnawirawan TNI. Pada kelas III pasien yang terbanyak adalah dari TNI. Untuk pasien TNI dan keluarganya penempatan kelas rawat inap berdasarkan kepangkatannya. Pasien umum baik pada VIP, kelas I, kelas II, dan kelas III berkisar 30%. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa pasien yang berobat ke Rumkital Dr. Ramelan persentase terbanyak dari keluarga besar TNI baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan. Berdasarkan tabel 2 kontribusi kelompok pasien menurut kelas perawatan, dimana kontribusi pasien umum yang rendah, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Rendahnya kontribusi pasien umum yang menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan rata-rata dari tahun 2009 sampai 2012 sebesar 25,4%-36,6%” . Metode Penelitian Penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancang bangun penelitian cross sectional. Unit analisis penelitian adalah Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Sumber informasi penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok: a. Kelompok pasien umum yang pada saat penelitian ini sedang menggunakan pelayanan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan (kelompok A) sedikitnya 2 hari perawatan. b. Kelompok pasien umum yang rawat jalan namun tidak bersedia menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan dan memilih menggunakan rumah sakit lain, namun pernah menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan (kelompok B) 127 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum c. Apabila pasien belum berusia dewasa (bukan pengambil keputusan) maka wawancara dilakukan dengan orang tuanya. Dalam penelitian ini, digunakan kuesioner dengan metode Likert’s Summated Rating pada pertanyaan karakteristik psikografis dan brand image. Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan realibitas. Uji validitas dan reliabilitas ini dilakukan dengan uji coba pada pasien umum yang menggunakan rawat inap sebanyak 30 orang. Uji validitas dan reliabilitas ini dilakukan pada variabel psikografis yang meliputi: motivasi, persepsi, sikap dan keyakinan dan variabel brand image. Perhitungan validitas. Nilai Sig. (2tailed) antara masing-masing variabel dengan skor total variabel dengan = menggunakan tingkat signifikansi 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara variabel dengan skor total variabel apabila nilai p< 0,05. Hasil dari uji validitas ini pada masing-masing variabel diatas dinyatakan valid. Penghitungan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode konsistensi internal melalui Alpha Cronbach.. Untuk melihat aitem yang reliabel dan tidak, maka dapat dilakukan dengan membandingkan Cronbach Alpha if Item Deleted dengan Cronbach Alpha, jika nilainya lebih besar maka aitem tersebut dinyatakan tidak reliabel. Hasil yang didapat masing-masing variabel diatas dinyatakan reliabel. Tahap analisa data penelitian untuk menyusun upaya meningkatkan tingkat hunian rawat inap pasien umum dan branding Rumkital Dr. Ramelan, yaitu: 1. Untuk identifikasi karakteristik konsumen maka data diolah secara deskriptif dengan menampilkan nilai frekuensi dan persentasenya. 128 2. Untuk analisis terhadap brand image data diolah secara deskriptif dengan menampilkan nilai frekuensi dan persentasenya. 3. Analisis dengan uji chi-square dilakukan untuk mengetahui perbedaan pada setiap variabel karakteritik individu, sosial, psikografis dan brand image antara individu yang menggunakan dan yang tidak menggunakan rawat inap Rumkital Dr. Ramelan dengan α 0,05. 4. Untuk melihat besarnya perbedaan atau kekuatan dan arah hubungan dianalisis dengan correlation coefficient (Coefficient Contigency atau Cramer’s V atau Coefficient phi) 5. Hasil dari analisis data tersebut dapat disusun isu strategis, dengan cara membandingkan hasil analisis brand image yang menggunakan rawat inap dengan yang tidak menggunakan rawat inap. Penilaian brand image berdasarkan katagori nilai mean pada tiap komponen 6. Brand image yang nilai katogori mean sangat jelek dan jelek, dinilai sebagai brand image yang negatif, dan diangkat sebagai isu strategis. Selanjutnya dipelajari pada kelompok pasien yang mana, apakah yang menggunakan atau yang tidak menggunakan rawat inap. Kemudian dianalisis karakteristik individu, sosial dan psikografisnya. 7. Tahap berikutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan jajaran manajemen Rumkital Dr. Ramelan, dan dilakukan telaah peneliti. 8. Tahap terahkir adalah menyusun rekomendasi upaya meningkatkan BOR ruang rawat inap pasien umum dan branding Rumkital Dr. Ramelan pada komponen yang brand imagenya masih negatif. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Hasil dan Pembahasan 1. Pengaruh Karakteristik Konsumen Dengan Keputusan Pembelian Ruang Rawat Inap di Rumkital Dr. Ramelan Hubungan karakteristik konsumen dan keputusan pembelian disajikan pada tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Uji Statistik Karakteristik Konsumen dengan Keputusan Pembelian Pasien umum pada Ruang Rawat Inap di Rumkital Dr. Ramelan N o 1 2 3 4 1 Keteran gan 2 Umur 0,19 6 3 Pendapata n 0,25 3 4 Gaya Hidup 0,33 0 5 Pendidikan 0.41 2 6 Domisili 0.45 7 7 Pekerjaan 0.74 3 8 Kepribadia n 0,83 7 9 Jenis Kelamin 0,97 2 Karakterist ik Sosial Kelompok acuan p Karakterist ik Konsumen Karaktersi stik Psikografi s p Total Sikap dan Keyakinan Total Pembelajar an Total Pembelajar an pelayanan dokter Total Pembelajar an pelayanan perawat Total Pembelajar an pelayanan petugas administrasi Total Motivasi Total Persepsi 0,00 1 Signifik an 0,718 0,00 1 Signifik an 0,670 1. 0.00 1 Signifik an 0.670 2. Keluarga 0.94 4 3. 0.00 1 Signifik an 0,461 Peran dan Status 0,68 3 Coeffici ent 0,00 1 Signifika 0.444 n 0,00 1 0,00 1 Signifik an Signifik an Karakteristi k Individu p Frekuensi Penggunaa n Rawat Inap 0,00 5 Keteran Coeffici gan ent Signifika 0.315 n 0,611 0,592 0,52 2 Tidak signifika n Tidak Signifika n Tidak Signifik an Tidak signifika n Tidak signifika n Tidak signifika n Tidak signifika n Tidak signifika n Keteran gan Tidak signifika n Tidak signifika n Tidak signifika n 0,271 0,252 0,213 0,195 0,220 0,218 0,139 0.033 Coeffici ent 0,208 0,101 0,144 Berdasarkan tabel 3, dapat dipelajari bahwa pada karaktersitik konsumen, variabel yang mempunyai pengaruh hubungan dengan keputusan pembelian adalah karakteristik psikografis. Pada karakteristik psikografis ini keempat variabel tersebut (motivasi, persepsi, pembelajaran, sikap dan keyakinan) mempunyai hubungan yang signifikan. Dari keempat variabel tersebut, yang kekuatan hubungan paling kuat dengan keputusan pembelian adalah pada variabel sikap dan keyakinan dengan kekuatan hubungan katagori kuat (coefficient = 0,718). Berikutnya adalah pembelajaran (coefficient = 0,670), motivasi (coefficient 129 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum = 0,611), dan persepsi (coefficient = 0,592). Pada karakteristik individu, yang berpengaruh signifikan pada keputusan pembelian adalah frekuensi penggunaan rawat inap dengan kekuatan hubungan pada keputusan pembelian adalah lemah (coefficient = 0,315) artinya orang yang pernah menggunakan rawat inap apabila orang tersebut puas maka cenderung akan mengambil keputusan untuk menggunakan kembali, sebaliknya jika tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka ada kecenderungan orang tersebut tidak menggunakan kembali rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan. Pada karakteristik sosial, tidak mempunyai pengaruh dalam keputusan pembelian, artinya siapa saja yang berperan mempengaruhi atau mendorong orang dalam pengambilan keputusan pembelian baik itu kelompok acuan, keluarga responden maupun peran dan status antara responden yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan rawat inap tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan pembelian. Karakteristik psikografis memegang peranan kunci dalam keputusan pembelian, dimana komponen pada karakteristik psikografis ini, yaitu motivasi, persepsi, sikap dan pembelajaran mempunyai hubungan yang signifikan dengan keputusan pembelian.. Sikap (attitudes) konsumen adalah faktor penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen. · Berdasarkan hasil penelitian, sikap dan keyakinan pasien yang katagori jelek maka pasien tidak menggunakan rawat inap (nilai mean 2,38), pasien merasa kurang puas sewaktu menggunakan rawat inap, karena kurang yakin akan cepat segera mendapatkan kesembuhan, tentunya hal ini akan berakibat pada keputusan pembelian di masa mendatang. Menurut Schiffman dan Kanuk (2008) mendefinisikan sikap adalah respon yang konsisten baik itu respon positif maupun 130 negatif terhadap suatu objek sebagai hasil dari proses belajar. Sedangkan menurut Hawkins (2009), sikap adalah proses pengorganisasian motivasi, emosi persepsi, kognitif yang bersifat jangka panjang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap bersifat menetap karena sikap memiliki kecenderungan berproses dalam kurun waktu panjang sebagai hasil dari pembelajaran. Demikian juga dengan motivasi berpengaruh pada keputusan pembelian karena setiap produk atau jasa layanan mampu membangkitkan sekumpulan motif yang unik dalam diri konsumen (Keller, 2008). Lebih lanjut dikatakan, penjual harus berusaha menghindari faktor yang menyebabkan ketidak puasan dan mengindentifikasi serta menyediakan faktor yang mampu memberikan kepuasan pasien. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat bahwa promosi yang dilakukan Rumkital Dr. Ramelan belum mampu menjadi daya tarik untuk medorong responden yang tidak menggunakan rawat inap (nilai mean 2,17 katagori jelek). Promosi bertujuan untuk mengkomunikasikan manfaat dan kelebihan produk atau nilai jasa yang ditawarkan rumah sakit kepada pasien yang membutuhkan dan akan memanfaatkan pelayanan jasa tersebut. Untuk itu Rumkital Dr. Ramelan perlu melakukan upaya promosi sebagai sarana untuk menyampaikan informasi yang lengkap kepada pasien agar dapat menarik pasien menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan. Pengalaman yang di dapat berdasarkan pembelajaran akan menentukan tindakan dan pengambilan keputusan untuk membeli, karena jika pengalaman tersebut baik, maka besar kecenderungan untuk menggunakan kembali. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran pada pelayanan dokter baik bagi pasien yang menggunakan maupun tidak menggunakan rawat inap, namun pada visite dokter merupakan pengalaman yang dirasakan tidak memuaskan pasien Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 (mean 2,13 katogori jelek). Pada dengan tarif pelayanan. Hal ini karena pembelajaran perawat, ketrampilan terkait dengan tarif yang harus dinaikan perawat masih dirasakan kurang sesuai agar biaya penyelenggaraan pelayanan dengan yang diharapkan pasien yang tidak dapat tertutup (cost recovery), karena jika menggunakan rawat inap mean 2,50 tidak persepsi terhadap tarif bisa menjadi katagori jelek). Pada pembelajaran petugas kendala karena kehilangan pasien. administrasi, hal yang belum sesuai Menurut pengamatan peneliti, tarif di dengan persepsi pasien adalah petugas Rumkital Dr. Ramelan setara dengan tarif dirasa kurang tanggap terhadap keluhan yang ada pada rumah sakit lain. Oleh (mean 2,50 katagori jelek). karenanya perlu dilakukan evaluasi lebih Dikatakan oleh Schiffman dan mendalam apakah perlu merubah tarif atau Kanuk (2008) bahwa pembelajaran tidak. Langkah yang perlu diambil adalah konsumen akan menentukan tindakan dan menginformasikan tarif melalui media pengambilan keputusan untuk membeli. promosi dan web site yang bisa diakses Apabila pengalaman yang didapat sewaktu secara terbuka, sehingga masyarakat tidak membeli baik, maka kemungkinan besar mempunyai persepsi yang salah, perihal akan kembali membeli di masa mendatang tarif, mensosialisasi tarif dengan ketika membutuhkan. Demikian juga menyebarkan brosur kepada pasien, serta sebaliknya. membuat paket pemeriksaan dengan tarif Berdasarkan hasil penelitian yang yang terjangkau, untuk memberikan brand didapat, persepsi terhadap pelayanan image terhadap tarif pelayanan Rumkital masih kurang memberikan kepuasan Dr. Ramelan. pasien (mean 2,33 katagori jelek), hal ini disebabkan pelayanan yang diberikan 2 Pengaruh Brand Image Dengan belum sesuai dengan harapan, dan fasilitas Keputusan Pembelian Ruang belum sesuai dengan kebutuhan serta Rawat Inap di Rumkital Dr. persepsi masalah tarif menjadi kendala Ramelan bagi responden yang tidak menggunakan rawat inap. (mean 1,80, katagori sangat Variabel brand image ini terdiri jelek). dari 4 sub variabel. Pada sub variabel Menurut Hartono (2010), pada brand image yang mana yang mempunyai umumnya rumah sakit menghadapi kekuatan hubungan dan berpengaruh pada masalah yang rumit bila berhadapan keputusan pembelian, disajikan pada tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Uji Statistik Brand Image dengan Keputusan Pembelian Pasien Umum Pada Ruang Rawat Inap di Rumkital Dr. Ramelan No 1 2 a b. c. d 3 4. Variabel Total Favorability of Brand Association Total Type of Brand Associiation Total Manfaat Manfaat Pengalaman Manfaat Simbolik Manfaat Fungsional Total Atribut Non Produk Total Sikap Total Atribut Produk Total Strength of Brand Association Total Uniqueness of Brand Association P 0,001 0.001 0,001 0,002 0,002 0.006 0,001 0.001 0.005 0.528 0,365 Keterangan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Coefficient 0,529 0.447 0,529 0,408 0,390 0,358 0.480 0.444 0.365 0,111 0,305 131 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum Dari tabel 4 terlihat bahwa dari 4 variabel faktor pendukung brand image yaitu Favorability of Brand Association dan Type of Brand Associiation berpengaruh secara signifikan pada keputusan pembelian. Sedangkan Strength of Brand Association dan Uniqueness of Brand Association tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan pembelian. Pada Type of Brand Associiation yang paling dominan mempunyai kekuatan hubungan dengan keputusan pembelian adalah manfaat. Dapat dimaknai bahwa manfaat yang diterima dalam menjalani perawatan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan sangat penting dalam pengambilan keputusan, dalam hal ini adalah manfaat pengalaman. Responden yang berdasarkan pengalamannya yang dulu, merasa medapatkan ketenangan, kenyamanan, dan keadilan layanan akan cenderung untuk menggunakan pelayanan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan kembali, disamping manfaat simbolik yang dirasakan bahwa pelayanan yang diberikan adalah pelayanan yang bermutu dan manfaat fungsional yang didapatkan yaitu mendapatkan jaminan kesembuhan dan keakuratan diagnosa. Disamping nilai manfaat, atribut non produk, sikap, dan atribut produk mempunyai pengaruh yang signifikan pada keputusan pembelian. Konsumen dengan brand image yang positif akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian. Merek menyediakan daya tarik emosional ketika pemikiran rasional tidak mampu memilih. Citra merek yang positif dapat membantu konsumen untuk menolak aktifitas yang dilakukan oleh pesaing dan sebaliknya menyukai aktifitas yang dilakukan oleh merek yang disukainya serta selalu mencari informasi yang berkaitan dengan merek tersebut (Schiffman dan Kanuk, 2008). Brand image berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian dengan 132 perantara brand Attitude juga disampaikan oleh Shwu-lng and Chen-Lien (2009). Hasil penelitian didapatkan bahwa Favorability of Band Association berpengaruh kuat pada keputusan pembelian. Kesabaran dokter untuk mendengarkan apa yang dikeluhkan pasien, perhatian perawat dengan rasa empati kepada pasien, prosedur pelayanan dan proses pelayanan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan keputusan pembelian. Pada Types of Brand Association juga menunjukkan pengaruh pada keputusan pembelian, dengan korelasi hubungan yang kuat pada manfaat. Apabila pasien merasakan nilai manfaat diterima sesuai dengan motivasi keputusan pembelian, maka akan sangat berpengaruh pada keputusan beli di masa mendatang. Nilai manfaat yang berpengaruh pada keputusan pembelian adalah manfaat fungsional, manfaat pengalaman dan manfaat simbolik. Manfaat pangalaman menunjukkan korelasi yang kuat dengan keputusan pembelian. Menurut Keller (2003), manfaat pengalaman sangat kuat pengaruhnya dalam keputusan pembelian. Disamping manfaat, atribut juga berpengaruh pada keputusan pembelian. Atribut ini dibagi menjadi atribut produk dan atribut non produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada atribut produk Rumkital Dr. Ramelan seluruh komponen yang diteliti yaitu jenis pelayanan, alat peneriksaan, profesionalisme dokter, ketrampilan perawat di nilai baik oleh pasien. Satu hal yang katagori jelek adalah kebersihan ruang rawat inap. Pada atribut non produk yang imagenya masih negatif adalah tarif dan layanan makanan bagi pasien. Menurut Kotler (2005), hubungan atribut dengan keputusan pembelian sangat erat kaitannya, karena konsumen sebelum melakukan pembelian akan menempatkan atribut produk dan non produk ini sebagai salah satu pertimbangan penting dalam Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 pengambilan keputusan pembelian. Atribut produk dan non produk juga akan memberikan positioning yang jelas terhadap suatu produk. Konsumen sampai pada sikap (keputusan, preferensi) atas bermacam-macam merek melalui evaluasi atribut tersebut. Keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh nilai produk yang dievaluasi. Bila manfaat yang dirasakan lebih besar dibandingkan pengorbanan untuk mendapatkannya, maka dorongan untuk membelinya semakin tinggi dan sebaliknya apabila manfaat yang dirasakan jauh lebih kecil dibanding pengorbanan yang diberikan, maka konsumen akan cenderung untuk beralih ke produk lain yang sejenis. Hasil dari semuanya ini berakibat pada sikap pasien paska pembelian, apakah pasien akan menggunakan kembali dan mau merekomendasikan kepada orang lain tergantung dari manfaat yang diperoleh pasien, atribut yang dinilai sesuai dengan kebutuhan dan harapan pasien. 3. Brand Image Rumkital Dr. Ramelan beberapa variabel brand image masuk dalam katagori jelek. Brand image yang negatif pada jenis asosiasi merek (Types of Brnad Association) yaitu kebersihan ruangan rawat inap, tarif, makanan yang disajikan untuk pasien, manfaat fungsional serta sikap. Pada keunggulan produk (Favorability of Brand Association) yang citra mereknya masih negatif adalah kecepatan proses layanan. Pada strength of brand association dan uniqueness of brand association, brand image responden baik. Berikut disajikan brand image yang negatif pada responden yang tidak menggunakan rawat inap dapat dipelajari pada tabel 5 di bawah ini: Brand image Rumkital Dr. Ramelan terhadap keputusan pembelian pada responden yang menggunakan rawat inap sudah baik, namun pada responden yang tidak menggunakan rawat inap, Tabel 5. Analisis Brand Image Yang Negatif Pada Responden Yang Tidak Menggunakan Rawat Inap di Rumkital Dr. Ramelan N o Variabel Brand Image Indikator Tidak rawat Inap Mean Katagori 1 Tipe of brand association a.Atribut Produk b.Atrbut Non Produk c.Manfaat Fungsional d.Sikap Kebersihan ruang rawat inap Tarif pelayanan Makanan Pasien Kecepatan kesembuhan Keakuratan Diagnosa dan terapi Menggunakan 2,29 Jelek 2,23 2,16 2,17 Jelek Jelek Jelek 2,33 Jelek 2,37 Jelek 133 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum 2 3. Favorability of Brand Association kembali Merekomendasi kan Kecepatan proses pelayanan obat Kecepatan proses pelayanan pemeriksaan penunjang Pengaruh Karakteristik Pasien Terhadap Brand Image Rumkital Dr. Ramelan Dari hasil penelitian yang diperoleh ada pengaruh antara karakteristik pasien dengan brand image. Pada responden yang tidak menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan cenderung mempunyai penilaian brand image yang lebih jelek dibandingkan dengan yang menggunakan rawat inap. Untuk itu perlu mengetahui karakteristik responden yang tidak menggunakan rawat inap. Karakteristik pasien yang tidak menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan sebagai berikut: 1. Karakteristik individu: Umur: 35-45 tahun, Pendidikan: SMA, Domisili: 10-15 km Pekerjaan: Pegawai swasta Penghasilan: < 1 juta- 3 juta Gaya hidup 2. dalam menentukan prioritas pilihan rawat inap adalah: faktor pelayanan Kepribadian dalam memilih tempat berobat adalah: puskesmas. Frekuensi penggunaan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan: 1-2 kali. Jenis Kelamin: Laki-laki. 3. Karakteristik Sosial Kelompok acuan: Diri sendiri Keluarga: Diri sendiri, saudara Peran status : Saudara, teman, sahabat 4. Karakteristik Psikografis Motivasi: mencari tempat berobat yang murah, promosi Rumkital Dr. Ramelan dinilai tidak menarik. Persepsi: 134 2.33 Jelek 2,35 Jelek 2,30 Jelek Pelayanan di Rumkital Dr. Ramelan tidak memuaskan (Fasilitas ruang rawat inapnya tidak sesuai dengan kebutuhan, Pelayanan tidak sesuai dengan harapan) namun harga mahal. Pembelajaran: Responden menilai visite dokter tidak tepat waktu, perawatnya kurang terampil dan petugas administrasinya kurang tanggap terhadap keluhan. Sikap dan Keyakinan: Rumkital Dr. Ramelan bukan merupakan pilihan yang tepat karena pelayanan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan dinilai tidak baik, dan tidak yakin akan cepat sembuh. Berdasarkan penilaian brand image yang negatif dikaitkan dengan karakteristik pasien yang tidak menggunakan rawat inap tersebut diatas, dapat disimpulkan peneliti bahwa karakteristik konsumen berpengaruh pada brand image. Hal ini dapat dijelaskan, karena motivasi pasien yang tidak menggunakan rawat inap dalam mencari rumah sakit yang dekat dengan rumah, murah, dan pada karakteristik individu tingkat penghasilannya relatif lebih rendah dibandingkan responden yang menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan, maka persepsi pasien menilai tarif menjadi mahal. Karena usianya lebih muda, tingkat pendidikannya cukup, keputusan pembelian dari dirinya sendiri, dan peran teman, sahabat, saudara, maka keinginan untuk mencari alternatif pelayanan kesehatan yang lain cukup Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 besar, sehingga persepsi terhadap pelayanan menjadi tinggi. Karakteristik psikografis responden dengan katagori jelek mempunyai brand image yang negatif. Motivasi pasien dalam berobat mencari fasilitas pelayanan kesehatan yang murah, maka persepsi terhadap tarif akan berbeda. Persepsi terhadap tarif bagi yang tidak menggunakan rawat inap Rumkital Dr. Ramelan dinilai mahal, hal ini terkait dengan tingkat sosial ekonomi pasien yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang menggunakan rawat inap. Pasien dengan pembelajaran tidak baik, cenderung mempunyai image yang negatif. Persepsi tidak hanya tergantung pada stimulasi fisik tetapi juga pada stimulasi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu tersebut. Perbedaan pandangan pelanggan atas sesuatu objek (merek) akan menciptakan proses persepsi dalam perilaku pembelian yang berbeda. Kotler (2005), menyebutkan bahwa para pembeli mungkin mempunyai tanggapan berbeda terhadap citra perusahaan atau merek. Citra dipengaruhi oleh banyak faktor yang di luar kontrol perusahaan. Diantaranya dari karakteristik konsumen dan pengaruh lingkungan. Brand image yang efektif akan berpengaruh terhadap tiga hal yaitu: pertama, memantapkan karakteristik produk, menyampaikan karakteristik produk itu dengan cara yang berbeda sehingga tidak dikacaukan dengan karakteristik pesaing, memberikan kekuatan emosional yang lebih dari sekadar citra mental. Supaya bisa berfungsi, image harus disampaikan melalui setiap sarana komunikasi yang tersedia dan kontak merek. Semakin kuat brand image di benak pelanggan maka semakin kuat pula rasa percaya diri pelanggan untuk tetap loyal atau setia terhadap produk atau jasa yang dibelinya. Hanya produk atau jasa yang memiliki brand image yang kuat yang tetap mampu bersaing dan mampu menguasai pasar. Kesadaran konsumen terhadap merek dibangun secara terusmenerus sepanjang daur hidup produk itu berlangsung. Maka dari itu, elemen brand image yaitu keunggulan asosiasi merek (favorability of brand association), kekuatan asosiasi merek (strenght of brand association) dan keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand association) perlu di evaluasi agar dapat diketahui yang mana yang mempengaruhi loyalitas pelanggan. 5. Isu Strategis, Telaah Peneliti dan FGD Dari hasil analisis data penelitian didapatkan isu strategis berdasarkan analisis Brand Image pada responden yang menggunakan dan yang tidak menggunakan rawat inap di Rumkital Dr. Ramelan. Dari hasil penelitian yang didapat, brand image yang negatif dianalisis lebih lanjut dengan melihat karakteristik konsumen. Dari isu strategis ini selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama manajemen Rumkital Dr. Ramelan untuk klarifikasi isu strategis dan untuk mendapatkan masukan penyelesaian atas isu yang diangkat peneliti, selanjutnya dilakukan telaah. Dari isu strategis, dilakukan telaah peneliti dan FGD menjadi bahan rekomendasi upaya peningkatan BOR ruang rawat inap. Adapun isu strategis yang diperoleh sebagai berikut: Pada atribut produk adalah kurangnya kebersihan rawat inap. Pada atibut non produk adalah tarif pelayanan yang dinilai mahal, pelayanan makanan pasien kurang memuaskan Pada manfaat fungsional adalah manfaat kecepatan kesembuhan dan keakuratan diagnosa dan terapi. Pada sikap enggan untuk menggunakan kembali dan merekomedasikan. Pada keunggulan merek adalah kecepatan proses layanan laboratorium dan apotek. 6. Rekomendasi Berdasarkan brand image yang negatif yang diangkat menjadi isu strategis, telaah peneliti dan hasil FGD 135 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum maka rekomendasi yang diajukan guna meningkatkan tingkat hunian rawat adalah sebagai berikut: (1) Meningkatkan kebersihan ruang rawat inap (kebersihan sprei, toilet dan wastafel) karena kebersihan merupakan salah satu bukti fisik yang ditawarkan penyedia jasa pelayanan untuk memberikan kenyamanan pada pasien dengan: (a) Membuat dan melaksanakan program pelatihan manajemen linen pada bagian pencucuian. (b) Melaksanakan evaluasi SOP tentang kebersihan ruang rawat inap, melakukan pengawasan dan pengendalian kebersihan ruangan rawat inap. (2) Perlu pengkajian strategi tarif karena tarif sangat menentukan dalam keputusan pembelian seseorang dengan mempertimbangkan karakteristik individu pasien dengan upaya (a) Melakukan riset pasar terhadap tarif pesaing. (b) Menginformasikan tarif melalui media promosi dan web yang bisa diakses secara terbuka. (3) Perlu peningkatan layanan makanan tidak saja hanya mempertimbangkan masalah diet bagi pasien, namun juga perbaikan masalah menu, variasi dan rasa makanan dengan upaya: (a) Melakukan komunikasi yang lebih baik dengan memberikan penjelasan perihal diet pasien. (b) Melakukan evaluasi sisa makan pasien dan melakukan survey perihal kebutuhan dan harapan pasien tentang makanan yang disajikan untuk pasien, (4) Meningkatkan nilai manfaat yang diberikan kepada pasien dengan: (a) Melakukan penyusunan promotion mix yang tepat melalui elemen promosi agar dapat mengenalkan kepada pasien produk jasa layanan, manfaat, keuntungan, keunggulan untuk dapat menarik pasien menggunakan jasa layanan melalui media massa, surat kabar, TV, brosur. (b) Membuat program pemasaran tentang pelayanan Rumkital Dr. Ramelan baik jenis pelayanan, fasilitasnya, dan tarif rawat inapnya melalui pendekatan karakteristik individu, dan karakeristik sosialnya dengan sasaran pendekatan pada dokter dan keluarganya. supaya 136 mengadvokasi untuk menggunakan Rumkital Dr. Ramelan. (c) Perlu peningkatan ketrampilan dan pendidikan bagi petugas layanan untuk meningkatkan kompetensi petugas. (d) Melaksanakan clinical pathway sesuai dengan kasus penyakitnya. (e) Memberikan informasi yang jelas terkait dengan diagnose penyakit dan terapi yang diberikan. (5) Guna memperbaiki sikap terhadap pelayanan yang diberikan, dengan upaya: (a) Menjalin komunikasi dan kehadiran dokter dan mensosialisasikan visite dokter ke pasien agar tepat waktu. (b) Meningkatkan perhatian kepada pasien dan memberikan informasi yang dibutuhkan pasien secara jelas. (6) Untuk memperbaiki proses pelayanan yang cepat dengan cara (a) Melakukan sosialisasi standar pelayanan minimal dan evaluasi secara rutin indikator klinis yang berhubungan dengan waktu pelayanan di apotek, laboratorium dan radiologi. (b) Menerapkan kepastian waktu pelayanan. (c) Memperbaiki sistem informasi manajemen terhadap proses pelayanan. Simpulan Brand image Rumkital Dr. Ramelan bagi responden yang menggunakan rawat inap sudah baik, namun brand image responden yang tidak menggunakan rawat inap beberapa hal tidak sesuai dengan persepsi pasien (brand image negatif), antara lain: pada atribut produk masalah kebersihan ruangan rawat inap. Pada atribut non produk adalah makanan pasien belum sesuai harapan pasien dan tarif yang dinilai mahal. Pada manfaat fungsional, ketepatan dan keakuratan diagnose masih belum sesuai dengan persepsi pasien, demikian juga pada kecepatan proses layanan pada apotek dan laboratorium masih belum bisa menjadi keunggulan merek. Brand Image terkait erat dengan karakteristik pasien.. Saran Rumkital Dr. Ramelan perlu melakukan strategi promosi melalui bauran promosi, melibatkan seluruh media Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 baik elektronik maupun non elektronik untuk menunjukkan image dan kemampuan yang dimiliki Rumkital Dr. Ramelan kepada masyarakat, melakukan riset pemasaran secara rutin untuk lebih memahami kebutuhan dan harapan pasien, dan perlu melakukan upaya strategi branding (branding tarif, branding nilai manfaaat, branding mutu layanan) untuk menciptakan brand image yang baik. Hal ini terkait dengan pelayanan kesehatan ke depan dengan adanya SJSN di mana pasien mempunyai kebebasan dalam memilih rumah sakit dan tentunya rumah sakit yang mempunyai brand image yang positif akan menjadi pilihan. Investigating the relationship between brandequity and firms’ performance. Cornell H. R. A. Quarterly, 45(2),115–131 Keller, K.L., 1993. Conceptualising, Measuring and Managing Customer-Based Brand Equity. Journal of Marketing. 57(1), 1-22. Keller K.L., (2008) Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. Third Edition. USA: Pearson International Edition. DAFTAR PUSTAKA Aaker D.A., (2002) Building Strong Brands, London: The bath Press Kotler P., Kartajaya H., Huan H.D., Liu S., (2003) Rethinking Marketing, Sustainable Marketing Enterprise in Asia, Singapore: Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd Engel J.F., Miniard P.W., dan Blackwell R.D., (2006) Consumer behaviour, 9th ed, USA: Harcourd Kotler P., (2005) Managemen Pemasaran Edisi 11 Jilid 2 Terjemahan Benyamin M, Jakarta Indeks Frederica., Chairy Jurnal Manajemn Teori dan Terapan Tahun 3. No.2 Agustus, 2010 Kotler., Keller,. (2007) Manajemen Pemasaran 1. Edisi keduabelas. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hawkin, Del. I., Mothersbaugh, David.L.,(2009), Customer Behaviour: Building Marketing Strategy, 11th Mac Grow-Hill International Edition., New York. Kotler, P., Armstrong, G., (2008) PrinsipPrinsip Pemasaran, Jilid II, Edisi 12, Terjemahan Bob Sabran, Jakarta: Erlangga Huffman E.K., (1994) Health Information Management 10th ed, Berwyn, IL: Physicians Record Company Hartono., B. (2010) Manajemen Pemasaran untuk Rumah Sakit, Jakarta: Rineka Cipta. Irwanto., (2006) Focus Group Discussion ,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Kim, W. G. and Kim, H. B. (2004). Measuring customer-based restaurant brand equity: Kotler,P., Keller, K.L., (2009) Manajemen Pemasaran, Edisi 12, Jakarta: PT Index. Kotler.,P,Bowen., JT.,Makens.,JC (2010) Marketing for Hospitality and Tourism, 5th ed. Boston: Prentice Hall. Kotler, P., Armstrong.G.,(2011) Principles of Marketing 13 th. Edition. New. Jersey : Prentice Hall, 2012 137 Upaya Meningkatkan Bed Occupancy Rate Berdasarkan Analisis Karakteristik Konsumen, Brand Image Dan Keputusan Pembelian Pasien Umum Mowen, C. John dan Michael Minor. (2002). Perilaku Konsumen. Alih Bahasa oleh Lina Salim. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Peter, J P., Olson, JC., (2005) Consumer behavior and marketing strategy, 7th ed, Boston: McGrawHill/Irwin. Schiffman,L.,Kanuk,L.L.,(2008) Perilaku Konsumen, edisi 7 Jakarta: PT. Indeks . Shwu-Lng, W.L., Chen-Lien, (2009). The influence of core brand attitude and core-brand perception purchase intention towards extended product. Journal Marketing Logistics, Vol 21(1): 174-194 Shimp, Terence A. (2003). Periklanan Promosi: Aspek Tambahan, Komunikasi Pemasaran Terpadu, edisi kelima, jilid II. Jakarta: Erlangga. Sutisna., (2003) Perilaku Konsumen Dan Komunikasi Pemasaran, Edisi ke 3, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Undang- Undang Republik Indonesia Nomer 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit WHO Expert Committee On Organization Of Medical Care dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah sakit (sitasi 25 Oktober 2012) WHO.,Hospital Advisory Group Meeting, (1994), Geneva Distric Health System Devision of Strengthening of Health Services Zainuddin. M., (2000). Metodologi Penelitian,Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga 138 INTERVENSI COACHING DAN GUDANCE DALAM PENINGKATAN KETRAMPILAN HIDUP KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI KABUPATEN JEMBER Tantut Susanto Departemen Keperawatan Komunitas, Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember Email : [email protected] Abstract : Adolescent during their growth and develpment specially for sexual and reproductive health needed guidance and coaching . Both of the intervention are directly for treatment skill life of adolescent for the better life. This research aim to analyze coaching and guidance for improvement adolescent life skills in sexual and reproductive health. Method: This research is quasi experimental study with design posttest pretest randomized. Subject in this research is adolescent in sub-district of Antirogo and Baratan which is have age 10-15 year which have risk or problem of health reproduction. Subject counted 28 adolescent in peer group during four meeting session given by coaching and guidance about growth and development, adolescent sexuality, effective communications at adolescent, and behavioral of assertive in health of adolescent reproduction. Result of research: result of got by statistical t-test of value hence can be concluded by there difference which is significance between skill life before and after coaching and guidance conducted (p 0,02). Analysis: Coaching and guidance for adolescent peer group more effective for improvement life skills adolescent reproductive health. Discussion: Coaching and guidance effective for giving of health information reproduce at adolescent group coeval, so that need to be improved by the existence of service health of adolescent friendlier reproduction. Keywords : adolescent, game therapy, reproductive health Latar belakang Remaja merupakan aset bangsa untuk terciptanya generasi mendatang yang baik. Triswan (2007) sekitar satu milyar populasi manusia di dunia diperkirakan satu dari enam tersebut adalah remaja, 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perkembangan remaja berlangsung antara usia 10 sampai dengan 19 tahun. Kozier et al (2004) membagi masa remaja menjadi tiga periode yaitu masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (14-17 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Remaja yang dalam perkembangannya terjadi perubahan baik biologis, psikologis maupun sosial, tetapi umumnya pematangan fisik terjadi lebih cepat dari proses pematangan kejiwaan atau psikososial (Depkes RI, 2000). Perubahan alamiah dalam diri remaja sering berdampak pada permasalahan remaja yang cukup serius. Perilaku remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus seperti aborsi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS. Setiap bulannya kira-kira 15 juta remaja yang berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta remaja melakukan aborsi dan hampir 100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat disembuhkan terjadi pada remaja (Triswan, 2007). Kemajuan di bidang informasi melalui media masa seperti majalah, surat kabar, tabloid maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan komputer, mempercepat terjadinya perubahan. Intervensi Coaching Dan Gudance Dalam Peningkatan Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja (Tantut Susanto) Kemajuan informasi ini menunjang perkembangan berbagai sektor pembangunan, tetapi informasi ini juga melemahkan sistem sosial ekonomi yang menunjang masyarakat Indonesia. Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Pengaruh arus informasi negatif terhadap remaja antara lain menjalin hubungan seksual premarital, minum-minuman keras, menggunakan obat terlarang (Narkoba) yang dapat mengakibatkan tertular penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS (Lembaga Demografi-FEUI, 2002). Survai Baseline Reproduksi Remaja Sehat Sejahtera di Indonesia 1998/1999, yang dilaksanakan oleh Lembaga DemografiFEUI, bekerja sama dengan BKKBN, East West Center, Pathfinder, Bank Dunia dan USAID, dengan responden sebanyak 8084 remaja berumur 15-24 tahun, di empat propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung menunjukkan diantara remaja laki-laki ada 35,5% yang mengetahui bahwa diantara teman sesama remaja laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah dan 33,7% diantara remaja perempuan juga memiliki teman perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Remaja yang memiliki sikap permisif tentang hubungan seksual sebelum kawin, 12,5% remaja setuju seseorang melakukan hubungan seksual sebelum perkawinan jika keduanya merencanakan untuk menikah dan 8,6% merasa bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan apabila keduanya saling mencintai. Hal ini menunjukkan terjadi pergeseran sikap yang perlu diperhatikan. Survai Baseline Reproduksi Remaja Sehat Sejahtera di Indonesia tahun 1998/1999, menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam persepsi mengenai perkawinan dan keluarga, namun perubahan ini tidak disertai oleh pengetahuan dan perilaku yang membawa remaja ke perilaku reproduksi yang sehat dan kehamilan yang aman. Iskandar (1997) saat ini saranasarana konseling kesehatan reproduksi masih terbatas dan peran orang tua dalam keluarga dan masyarakat dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak dirasa masih kurang. Hal ini dikarenakan alasan budaya, tabu dan 140 kekhawatiran kesehatan reproduksi yang diajarkan justru mendorong terjadinya hubungan seks pra-nikah. Keengganan orangtua dalam keluarga untuk membicarakan masalah reproduksi menyebabkan remaja mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Remaja mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari sumbersumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena ketiadaanlayanan dan informasi bagi remaja serta kurangnya komunikasi antara anak remaja dan orang tua dalam keluarga. Keluarga merupakan fokus interaksi antara remaja dengan orang tua serta anggota keluarga lainnya, sehingga keluarga berfungsi untuk memfasilitasi remaja berhubungan dengan lingkungan dengan masyarakat (Friedman, 2004). Keluarga perlu dilibatkan dalam penanganan permasalahan kesehatan reproduksi remaja melalui interaksi yang intensif diantara keduanya. Freidman (2004) keluarga dapat melaukan komunikasi antar anggota keluarga, tujuan, pemecahan konflik, pemeliharaan, dan pengunaan sumber internal dan eksternal. Komunikasi antara keluarga dan remaja bertujuan untuk memfasilitasi reproduksi, seksual, ekonomi dan pendidikan dalam keluarga, sehingga memerlukan dukungan secara psikologi antar anggota keluarga. Iskandar (1997) anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia diakibatkan kurang adanya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja pada tatanan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih menjadi kendala dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan reproduksi berbasis keluarga terutama sekolah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan permasalahan pada pemenuhan kesehatan reproduksi pada remaja, sehingga perlu perhatian dan penanganan khusus dari unit pelayanan kesehatan terutama perawat komunitas. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Perawat komunitas sebagai bagian dari tenaga kesehatan berperan penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Neis & McEwen, 2001). Perawat komunitas dapat berperan dalam mencegah penyakit, proteksi, dan promosi kesehatan. Program pencegahan pada remaja dengan kesehatan reproduksi dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan yang mudah dijangkau oleh mereka. Program proteksi pada remaja ditujukan untuk mendeteksi masalah kesehatan pada remaja sedini mungkin. Program promosi kesehatan bertujuan untuk mencegah perilaku menyimpang pada remaja (Allender & Spradly, 2001). Kelompok remaja dengan kesehatan reproduksi merupakan suatu kelompok at risk, sehingga perawat komunitas bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi kebutuhan, sumber, dan nilai yang dibutuhkan pada kelompok remaja dengan kesehatan reproduksi terkait dengan aspek promosi, proteksi, dan prevensi. Perawat komunitas dapat menyusun pelayanan kesehatan bagi kelompok remaja dengan kesehatan reproduksi dan mengimplementasikan dan mengevaluasi terhadap program yang disusun bersama masyarakat. Nies & McEwen (2001), perawat komunitas dapat berperan dalam pencegahan terhadap kelompok at risk dengan melakukan pelayanan kesehatan yang mengutamakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Kelompok remaja memerlukan perhatian yang khusus oleh perawat komunitas. Remaja umumnya mendapatkan kenyamanan dan terbuka pada kelompok sebayanya, sehingga perawat komunitas dapat mengkaji kebutuhan dan sumber-sumber serta mengidentifikasi nilai-nilai dalam populasi remaja dalam menyusun suatu program dalam pemenuhan kesehatan reproduksi remaja di masyarakat dan kelompok remaja. Salah satu bentuk intervensi yang dapat perawat komunitas lakukan adalah melalui aplikasi coaching dan guidance pada kelompok remaja dengan kesehatan reproduksi. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk mengaplikasikan coaching and guidance sebagai salah satu bentuk intervensi dalam penyelesaian masalah kesehatan reproduksi pada aggregate remaja di komunitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatan ketrampilan remaja untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi pada aggregate remaja di Kabupaten Jember. Bahan dan Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan the non randomized pretest posttest design. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 28 remaja. Karakteristik usia remaja yang terlibat dalam penelitian ini adalah usia 10-15 tahun, tinggal di Kelurahan Antirogo dan Baratan, dan berisiko mengalami masalah kesehatan reproduksi. Remaja tersebut mengikuti kegiatan dalam dua peer group remaja. Setiap peer group remaja mengikuti pendidikan kesehatan reproduksi yang dilakukan melalui strategi coaching dan guidance. Peer group dilakukan selama empat kali sesi pertemuan. Setiap sesi dilakukan selama dua jam. Penelitian ini dilakukan selama bulan November sampai dengan Desember 2012. Data penelitian dilakukan melaui pengumpulan angket untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja tentang kesehatan reproduksi sebelum dan sesudah kegiatan peer group dilakukan. Setiap sesi pertemuan remaja mendiskusikan masalah kesehatan reproduksi yang dipandu oleh salah seorang remaja yang berperan sebagai peer educator. Diskusi yang dilakukan setiap sesi membicarakan permasalahan tumbuh kembang remaja, perilaku seksualitas remaja, komunikasi remaja, dan perilaku asertif dalam penolakan seks bebas diantara remaja. Setiap topik diskusi dilakukan melalui coaching dan guidance kesehatan reproduksi remaja. Data awal dilakukan melalui pengkajian keperawatan komunitas dengan menggunakan pendekatan model community as partner. Data yang terkumpul kemudian dianalisis untuk menentukan kebutuhan pemecahan masalah komunitas khususnya pada aggregate remaja dengan kesehatan reproduksi. Kebutuhan pada aggregate kemudian dirancang dalam program pelayanan Kesehatan peduli Remaja (PKPR) melalui prevensi primer, sekunder, dan tersier. Data yang terkumpul dari kegiatan peer group remaja kemudian dianalisis untuk membedakan pengetahuan, sikap, dan perilaku sebelum dan seduadah game terapi 141 Intervensi Coaching Dan Gudance Dalam Peningkatan Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja (Tantut Susanto) dengan dilakukan uji t-test dengan taraf signifikansi 0.05. Hasil Penelitian Perilaku remaja dalam pacaran menunjukan hasil 30,2% remaja melakukan pegangan tangan,15,6% remaja melakukan pelukan dengan tangan diluar baju. 5,2% remaja melakukan pelukan dengan tangan didalam baju, 9,4% remaja sudah bercumbu bibir, 6,3% remaja sudah meraba-raba dalam pacaran, 1% remaja sudah melakukan petting, dan 2,1% remaja melakukan hubungan badan 1 kali sebulan. Perilaku seksual remaja menunjukkan hasil 10,4% remaja melakukan onani 1 kali sebulan, 8,3% remaja melakukan masturbasi 1 kali sebulan, 20,8% remaja mengkhayal fantasi seksual 1 kali sebulan, 13,5% remaja menggunakan media fantasi seksual 1 kali sebulan, 15,6% pengetahuan perilaku seksual remaja kurang, 6,3% sikap perilaku seksual remaja kurang, dan 94,8% perilaku seksual remaja kurang. Hasil survei melalui kuesioner tentang penyuluhan remaja didapatkan hasil 37,5% belum mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi, 28,1% belum mendapatkan penyuluhan tentang perkembangan remaja, 43,8% belum mendapatkan penyuluhan PMS, 62,5% belum mendapatkan penyuluhan bahaya kehamilan. Kegiatan remaja di Kelurahan Tugu teridentifikasi 57,3% remaja tidak mengikuti perkumpulan PMR, 92,7% remaja tidak mengikuti kegiatan kader kesehatan remaja, 94,8% remaja tidak aktif dalam badan kesehatan remaja, 74% remaja tidak mengikuti kegiatan karang taruna, 41,7% remaja tidak aktif olah raga teratur, 91,7% waktu remaja bermain dengan teman, 95,8% remaja suka nonton TV, 40,6% remaja nonton film di Bioskop, 28,1% remaja suka nongkrong di Mall, 39,6% remaja suka membaca buku di Perpustakaan, dan 31,3% remaja tidak suka membaca buku pelajaran. Survei kesehatan reproduksi remaja melalui kuesioner menunjukkan hasil 10,4% remaja kurang mengetahui alat reproduksi, 5,2% remaja kurang tahu tentang fungsi alat reproduksi, 2% perilaku kesehatan reproduksi kurang baik, 19,8% remaja kurang tahu faktor penyebab hubungan seksual remaja, 12,5% sikap remaja dalam berpacaran cukup 142 baik, dan 16,7% remaja kurang tahu masalah kesehatan reproduksi. Pacaran remaja putri teridentifikasi 66,7% remaja sudah pacaran, 17,7% karena gengsi atau gaul, 47,9% meningkatkan motivasi, dan 8,3% kebutuhan biologis. Penyebab hubungan seksual remaja teridentifikasi 76% pengaruh media informasi, 78,1% pacaran yang terlalu intim, 67,7% pengaruh teman sebaya, 81,3% dasar agama yang kurang, 80,2% kontrol orang tua yang kurang, dan 68,8% pengaruh norma lingkungan. Pola komunikasi remaja berkaitan dengan diskusi menstruasi menunjuukkan 76% dengan orang tua, 31,3% dengan guru, dan 70,8% dengan teman sebaya. Diskusi tentang pubertas teridentifikasi 56,3% dengan orang tua, 28,1% dengan guru, dan 66,7% dengan teman sebaya. Diskusi mengenai masalah hubungan seksual teridentifikasi 18,8% suka dengan orang tua, 24% suka dengan guru, dan 30,2% suka dengan teman sebaya. Kegiatan peer group remaja diikuti oleh 14-15 orang remaja setiap pertemuannya. Anggota kelompok antusias terhadap kegiatan dan aktif bertanya terkait dengan materi kesehatan reproduksi yang disampaikan. Remaja sebelum mengikuti kegiatan peer group melalui MBAR dilakukan pre dan post test untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi, sikap remaja untuk bersikap asertif dalam setiap pergaulannya, dan komunikasi efektif pada remaja, serta perilaku seksual remaja saat ini. Kesehatan reproduksi pada remaja difasilitasi melalui implementasi asuhan keperawatan komunitas. Pemberian asuhan keperawatan comunitas dilakukan untuk mengatasi tiga diagnosis keperawatan comunitas yaitu: (1) Risiko terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan reproduksi pada remaja berhubungan dengan perilaku kesehatan remaja yang tidak sehat; (2) Koping remaja tidak efektif berhubungan dengan problem solving remaja yang tidak adekuat; dan (3) Komunikasi remaja tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya sumber infomasi kesehatan reproduksi dan nilai budaya, norma, serta taboo seputar kesehatan reproduksi di komunitas. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Tabel 1. Tingkat Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja Sebelum dan Sesudah Coaching dan Guidance di Peer Group Remaja Variabel Perilaku Kategori Sebelum (%) Sesudah (%) Kurang 25 13,8 Cukup 75 65,5 Baik 0 17,2 Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat ketrampilan hidup remaja mengenai kesehatan reproduksi peserta peer group sebelum game tarapi adalah cukup sebesar 75%. Ketrampilan hidup remaja mengenai kesehatan reproduksi setelah dilakukan implementasi kegiatan dalam peer group melalui game terapi terjadi perubahan tingkat perilaku. Perubahan tingkat ketrampilan hidup mengenai kesehatan reproduksi sebelum dan sesudah coaching dan guidancei dalam peer group remaja secara jelas dapat dilihat pada gambar 1. berikut ini. Gambar 1. Tingkat Ketrampilan Peer Group Remaja sebelum dan Sesudah Coaching dan Guidance Nilai (%) Perilaku Remaja Peer Group Sebelum dan Sesudah Game Terapi 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Sebelum Sesudah Kurang Cukup Baik Kategori Perilaku Gambar 1. terjadi perubahan tingkat perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi. Perilaku remaja peserta peer group tentang kesehatan reproduksi sebelum coaching dan guidancei yang kurang sebesar 25% dan cukup 75% sedangkan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi peserta peer group sesudah game terapi yang kurang menjadi 13,8%, cukup 65,5%, dan baik sebesar 17,2%. Efektivitas penggunaan startegi coaching dan guidance dalam implementasi keperawatan komunitas ini dilakukan penilaian pada tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja tentang kesehatan reproduksi. Hal ini digunakan untuk menilai sejauhmana perbedaan ketiga variabel tersebut berubah setelah intervensi pada peserta peer group remaja yang secara aktif belajar tetang kesehatan reproduksi remaja melalui manual belajar aktif remaja. Perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sebelum dan sesudah intrvensi untuk menilai efektivitas intervensi dilakukan uji t-test. sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi Rata-Rata Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Peserta Peer Group Remaja Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel Variabel Mean SD SE Pengetahuan: Sebelum 71,43 15,02 2,84 0,06 Sesudah 82,86 13,01 2,46 Sikap: Sebelum 41.96 10,20 1,93 0,00 Sesudah 80,26 11,52 2,18 Perilaku: Sebelum 41,96 10,20 1,93 0,00 Sesudah 79,46 9,6 1,81 Tabel 2. diatas menunjukkan ratarata tingkat pengetahuan sebelum intervensi adalah 71,43 dengan standar deviasi 15,02. Rata-rata tingkat pengetahuan remaja setelah intervensi adalah 82,86 dengan standar deviasi 13,01. Terlihat nilai mean perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi adalah 11,43 dengan standar deviasi 20,08. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,06 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan. Tabel 4. diatas menunjukkan ratarata tingkat sikap sebelum intervensi adalah 41.96 dengan standar deviasi 10,20. Rata-rata tingkat sikap remaja setelah intervensi adalah 80,26 dengan standar deviasi 11,52. Terlihat nilai mean perbedaan sikap sebelum dan sesudah intervensi adalah 38,29 dengan standar deviasi 13,92. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,00 maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara sikap sebelum dan sesudah intervensi dilakukan. Tabel 4. diatas menunjukkan ratarata tingkat perilaku sebelum game terapi adalah 41,96 dengan standar deviasi 10,20. Rata-rata tingkat perilaku remaja setelah intervensi adalah 79,46 dengan standar deviasi 9,6. Terlihat nilai mean perbedaan perilaku sebelum dan sesudah intervensi 143 N 28 28 28 Intervensi Coaching Dan Gudance Dalam Peningkatan Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja (Tantut Susanto) adalah 37,5 dengan standar deviasi 16,85. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,00 maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara perilaku sebelum dan sesudah intervensi dilakukan. Pembahasan Alat pengumpul data dikembangkan dari model community as partner. Model community as partner terdiri dari pengajian inti komunitas dan delapan subsistem komunitas (Anderson McFarlan, 2004). Pengkajian inti komunitas meliputi individu yang membentuk komunitas (kelompok remaja dengan masalah kesehatan reproduksi) yang meliputi data demografik, nilai, keyakinan dan sejarah perkembangan permasalahan aggregate remaja. Inti komunitas akan dipengaruhi oleh delapan subsistem komunitas yang terdiri dari lingkungan, pendidikan, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintahan, pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi dan rekreeasi. Model ini sangat sesuai digunakan dalam pengkajian komunitas karena pengkajian yang dilakukan sangat komprehensif sehingga data yang didapat menggambarkan kondisi remaja dengan masalah kesehatan reproduksi beserta segala aspek di masyarakat yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Kegiatan apapun yang apabila dilakukan menimbulkan suasana yang menyenangkan dan disukai oleh anak remaja disebut bermain (Setyo Mulyadi, 2007). Kegiatan bermain merupakan suatu hal yang berarti kesenangan. Bekerja atau kegiatan lain apabila dianggap sebagai suatu hal yang wajar dapat merupakan bermain. Pada anak yang sedang bermain akan menggunakan seluruh emosi yang ada pada diri anak. Miiller dalam Wong (1996) setiap anak memiliki insting untuk bermain terhadap kenyataan indah yang dijumpai pada kehidupan anak di dunia. Garvey dalam Wong (1996) menyebutkan lima karakteristik bermain pada anak, yaitu: (a) sesuatu yang menyenangkan dan bernilai positif, (b) bermain didasari motivasi yang muncul dari dalam, (c) spontanitas dan sukarela/bukan kewajiban, (d) peran aktif anak, dan (e) memiliki hubungan yang sistematis yang khusus dengan aspek perkembangan. Bermain sangat 144 berperan pada perkembangan anak. Pada saat bermain anak akan elajar sesuatu yang tidak bisa diajarkan orang lain, belajar tentang dirinya tentang apa yang bisa dilakukan, pekerjaan yang rumit dan stressfull, dan berkomunikasi menjalin hubungan dengan orang lain. Game adalah suatu cara untuk menarik perhatian terhadap suatu objek. Game merupakan sesuatu yang bersifat universal dan disukai serta telah dimainkan sejak dahulu hingga sekarang. Game memungkinkan orang-orang untuk relak dengan menghasilkan suatu suasana hati bebas masalah da tenang; menimbulkan tantangan pemain untuk memecahkan pokok materi permainan yang sedang dimainkan; mendorong keikutsertaan pemain dan setiap orang untuk masuk dari permainan tersebut; mengajarkan sesuatu pelajaran yang berbeda; dan umumnya murah atau cuma-cuma. Game hanya dibatasi waktu dan imajinasi (PATH, 2002). Hasil analisis diatas game terapi yang dilakukan pada peer group lebih bermakna untuk perubahan sikap dan perilaku remaja terkait kesehatan reproduksi daripada pengetahuan remaja. Hal ini dikarenakan game terapi pada remaja lebih mengutamakan latihan kegiatan secara motorik remaja dalam kehidupan seharinya. Hatt (1992) kegiatan terapi permaianan pada remaja memiliki karakteristik sosial berupa kerja sama kelompok yang isi permainannya bersifat kompetitif dan kontes. Tipe permainan yang paling umum dilakukan remaja adalah interaksi sosial dengan karakteristik aktivitas permainan spontan untuk pemecahan masalah abstrak dalam kehidupannya. Hatt (1992) mengatakan tujuan permainan yang bersifat dramatik pada remaja akan menunjukkan ide-ide remaja dan perkembangan rasa etik terkait dengan penyebab dan kegiatan yang akan dilakukan. Notoatmodjo (1993) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, lingkungan seseorang. Bloom et al (1956) seorang (remaja) baru mencapai tingkatan pengetahuan pada tahap tahu (know) yaitu kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, faktafakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 prinsip dasar. Husni (2006) pendidikan dan pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar perlu diberikan sejak dini agar remaja memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sehingga mereka mampu menjaga, memelihara, dan berperilaku positif serta bertanggung jawab berkenaan dengan masalah-masalah kesehatan reproduksinya. Sikap remaja mengenai kesehatan reproduksi berkaitan dengan perilaku seksual remaja dan sikap pergaulan remaja. Pada intervensi keperawatan komunitas ini remaja diajarkan berperilaku asertif dalam setiap hubungan antar teman dan manusia dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku asertif tersebut ditekankan pada penolakan ajakan sex bebas pada remaja secara asertif. Sikap remaja juga berkaitan dengan identitas sexual, norma, dan gender terkait dengan kesehatan reproduksi. Persepsi remaja mengenai sex, gender, dan norma kesehatan reproduksi akan membantu remaja dalam menerima identitas dirinya secara baik. Penerimaan diri remaja yang baik akan membentuk sikap da perilaku remaja terkait dengan kesehatan reproduksi yang disesuaikan dengan norma aturan yang berlaku di masyarakat. Sikap asertif remaja akan menunjang pemahaman yang baik berkaitan dengan sexualitas, gender, dan norma reproduksi dalam remaja bergaul dalam kesehariannya. Pemahaman remaja mengenai sex, gender, dan norma akan dapat menentukan identitas seksual remaja dan mejalankan peranan remaja sesuai dengan identitas seksualnya serta menyelaraskan peran tersebut sesuai dengan tata aturan atau norma yang berlaku di masyarakat. Pemahaman remaja yang baik akan dapat meningkatkan ketrampilanhidup remaja seperti tanggung jawab remaja dalam berperilaku yang sehat. Perilaku merupakan suatu aktivitas manusia itu sendiri. Perilaku memiliki bentangan yang luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, dan sebagainya. Kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Kwick (1974; dalam Nototmodjo, 1993) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari, selain itu perilaku juga merupakan suatu hubungan antara stimulus dan respon. Perilaku seksual remaja merupakan suatu bentuk aktivitas remaja dalam memenuhi kebutuhan seksual dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Faktor sikap mencakup perasaan seseorang mengenai situasi, orang lain dan diri mereka sendiri. Faktor perilaku merupakan segala sesuatu yang timbul dari faktor pengetahuan dan sikap, yaitu bagaimana orang dapat bertindak sesuai dengan pengetahuan dan perasaannya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Perilaku seksual ini sangat luas sifatnya, antara lain mulai dari berdandan, merayu, menggoda, bersiul dan perilaku yang terkait dengan aktivitas dan hubungan seksual seperti fantasi, masturbasi, menonton atau membaca pornografi, petting, bahkan berhubungan intim (intercourse). Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting sampai berhubungan seks. Setiap perilaku seksual memiliki konsekuensi berbeda. Ekspresi dorongan seksual atau perilaku seksual ada yang aman dan ada yang tidak aman, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Perilaku seksual remaja di Indonesia melalui beberapa tahapan yaitu dari mulai menunjukkan perhatian pada lawan jenis, pacaran, berkencan, lips kissing, deep kissing, genital stimulation, petting, dan seksual intercourse (Anonim, 2005). Program Kespro Remaja dilakukan sebagai program yang dapat menjangkau remaja, melalui remaja, dengan informasi kesehatan reproduksi untuk memperkuat komunikasi remaja, negosiasi dan ketrampilan pengambilan keputusan remaja sehingga remaja bisa membuat berbagai pilihan yang aman berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja dan berhubungan dengan perilaku remaja yang berisiko. UNICEF (2002) menerapkan suatu program My Future is My Choices (MFMC) dalam uapaya mengatasi masalah HIV/AIDS di Republik Nimibia. MFMC merupakan suatu pilot project berskala nasional yang dilakukan dibawah Program Kesehatan dan Perkembangan Remaja melalui kerja sama dengan Republik Nimibia dan UNICEF pada tahun 1997 sampai dengan 2001. Program ini dilakukan karena tingginya prevalensi 145 Intervensi Coaching Dan Gudance Dalam Peningkatan Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja (Tantut Susanto) HIV/AIDS di Republic Nimibia pada kelompok usia 14-45 tahun sebesar 20%. Padahal penduduk Republik Nimibia hanya 1,7 juta jiwa. Program Kespro Remaja yang dilakukan dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja sebagian besar mengikuti program MFMC yang dilakukan oleh UNICEF di Republik Nimibia. Persamaan terhadap program tersebut adalah dalam hal nama program, tujuan dan jenis kegiatan yang dilakukan pada aggregate remaja dengan masalah kesehatan reproduksi. Perbedaan antara program MDAP dengan MFMC adalah pada pendekatan model tindakan yang akan dilakukan dalam mengatasi masalah aggregate remaja. Program Kespro Remaja menggunakan pendekatan manajemen pelayanan kesehatan kkeperawatan komunitas, model community as partner, dan family center nursing model sebagai kerangka kerja asuhan keperawatan komunitas dan model manual belajar aktif remaja serta game terapi remaja sebagai pendekatan tindakan pelaksanaan program. Program Kespro Remaja dalam perencanaan tindakan menggunakan pendekatan model Manual Belajar Aktif Remaja atau yang disingkat dengan MBAR (Moeilono, 2003). Model MBAR adalah proses belajar aktif kesehatan reproduksi remaja ini merupakan suatu buku panduan berupa manual modul yang diperuntukkan bagi fasilitator untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada remaja usia 10-14 tahun. Modul ini disusun atas kerja sama antara United Nations Population Fund (UNFPA), Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional (BKKBN), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Atma Jaya. Strategi pelaksanaan perencanaan program dilakukan dengan pendekatan model community as partner. Strategi yang digunakan dalam perencanaan tindakan ini adalah pendidikan kesehatan, pross kelompok, partnership, dan empowerment (Anderson Mc Farlan, 2005). Bentuk pelaksanaan strategi pelaksanaan tersebut akan disusun dalam suatu kegiatan yaitu kelompok kesehatan remaja (peer group remaja). Harahap (2004) menerapkan peer education terhadap pengetahuan dan sikap mahasiswa dalam menanggulangi HIV/AIDS 146 di Sumatera Utara. Dalam penelitian ini didapatkan hasil peer education atau pendidikan sebaya lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan mahasiswa dalam menanggulangi HIV/AIDS di Sumatera Utara. Peer education atau pendidikan sehaya efektif dan memberikan nilai yang positif dalam meningkatkan sikap mahasiswa dalam menanggulangi HIV/ AIDS di Sumatera Utara. Sumber informasi; mahasiswa yang mendapatkan informasi tentang penyakit HIV/AIDS dari koran/majalah yaitu sebanyak 89% dan 70% masing-masing pada kelompok peer education dan kontrol. Selain itu dari hasil penelitian ini terbukti bahwa sumber informasi yang didapat dari pendidik sebaya nampak nyata lebih efektif baik pada peningkatan pengemhuan maupun sikap terhadap masalah HIV/AIDS ini. Strategi dalam peer group remaja juga digunakan pendekatan game terapi. Kegiatan apapun yang apabila dilakukan menimbulkan suasana yang menyenangkan dan disukai oleh anak disebut bermain (Setyo Mulyadi, 2007). Kegiatan bermain merupakan suatu hal yang berarti kesenangan. Bekerja atau kegiatan lain apabila dianggap sebagai suatu hal yang wajar dapat merupakan bermain. Pada anak yang sedang bermain akan menggunakan seluruh emosi yang ada pada diri anak. Miiller dalam Wong (1996) setiap anak memiliki insting untuk bermain terhadap kenyataan indah yang dijumpai pada kehidupan anak di dunia. Simpulan dan saran Perlunya pembuatan suatu kegiatan yang dapat meningkatkan ketrampilan remaja dalam menghasilkan sesuatu sesuai dengan identifikasi keadaan wilayah masing-masing RW. Kegiatan ketrampilan tersebut seperti pembentukan kelompok tani remaja yang mengajarkan dan melatih ketrampilan bertani, berkebun, ataupun berternah dan memelihara ikan sehingga remaja memiliki ketrampilan yang dapat diandalkan dan mengisi waktu luang di luar jam sekolah. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Remaja dan Perilaku Seksual, Diakses dari Pada http://www.waspada.co.id. tanggal 12 Januari 2007. Anderson, E., & Mc Farlane, J. 2004. Community As Partner:Theory and Practice in Nursing, 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Great News. 2008. Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja, 2002, http://epsikologi.com, diperoleh tanggal 6 Januari 2008). Harahap., J., Lita., S.A. 2004. Pengaruh Peer Education Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Menanggulangi Hiv/Aids Di Universitas Sumatera Utara. Diakses dari http://www.usu.ac.id/digitallibraryrtl.ht m diakses pada tanggal 25 Oktober 2007. Hart, R. dkk. 1992. Therapeutic Play Activities for Hospitalized Children. St. Louis : Mosby Year Book. Harry. 2007. Mekanisme endorphin dalam tubuh. Available at http:/klikharry.files.wordpress.com/200 7/02/1.doc+endorphin+dalam+tubuh. Diposkan tanggal 10 Januari 2009 Hitchcock, J.E., Schubert, P.E., Thomas, S.A. 1999. Community health nursing: caring in action. Albani : Delmas Publisher. Husni, F. 2005. Isu Kespro dalam Pilkada, www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2007. Iskandar, Sudardjat A, 2002, Hak Remaja Atas Kesehatan Reproduksi. Online. http://www.situs.kesrepro.info.com. diakses 12 Januari 2007 Kamaruzzaman, U. 2007. Pendidikan Kespro Yang Diinginkan Remaja, www.yahoo.com Kozier, B., Erb, Glenora., Berman,A., & Synder, S.J. (2004). Fundamentals of nursing : Concept, process and practice. Ner Jersey : Pearson education,Inc. Lembaga Demografi-FEUI, 2002, http://www.bkkbn.go.id diperoleh tanggal 25 Oktober 2007. Mc.Murray, A. 2003. Community Health and Wellness : a Sociological approach. Toronto : Mosby Muhamad, K.(2007). KesehatanReproduksi Sebagai Hak, Jurnal Perempuan, 1(53), 7-20. Maramis. 2005. Free Talk About Sex Dikalangan Remaja, 2005, http://www.AntonBahagia.com, diperoleh tanggal 14 Desember 2007. Ma’shum, Y, 2006, Remaja dan Aspek Psikososial, www.harian-kompas.com. Moeliono, L. 2003. Proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi Remaja: Bahan Pegangan Untuk Memfasilitasi Kegiatan Belajar Aktif Untuk Anak & Remaja Usia 10-14 Tahun. Jakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan United Nations Population Fund (UNFPA). Nies, M.A., and McEwan, M. 2001. Community health nursing: promoting the health of population. (3rd Ed.), Philadelphia: Davis Company. Nina, C. A. 2007. Peran Sekolah Dalam Memberikan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Pada Siswa (Studi Kasus di SMAN 17 Surabaya Dan SMA Kemala Bhayangkari 1 Surabaya). Diakses dari http://www.adln.lib.unair.ac.id/ tanggal 12 September 2008. Notoadmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset. Pangkahila, W, 1997, Perilaku Seksual Remaja di Desa dan di Kota, Seminar Sehari, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Pathfinder International. 1998, Insight From Adolescent Project Experiences- 19921997. Galen, MA: Pathfinder. Pathfinder International. 2006, Games For Adolesecnt Reproductive Health. An International Handbook. Diakses dari www.path.org Pathfinder International. 2007. Tuko Pamoja: Adolescent Reproductive Health and Life Skills Curriculum. Diakses dari www.path.org Pender, N.J., Carolyn, L.M., Mary, A.P. 2002. Health Promotion in Nursing 147 Intervensi Coaching Dan Gudance Dalam Peningkatan Ketrampilan Hidup Kesehatan Reproduksi Remaja (Tantut Susanto) Practice. 4rd edition. Appleton & Lange. Stamford: Triswan, Y., 2007. Kesehatan Reproduksi Remaja: Membangun Perubahan Yang Bermakna, Out Look, 16(1), 1-8. UNICEF. 2002. Working For and With Adolescent: Some UNICEF Examples. ADPU UNICEF WHO.200). Adolescent Friendly Services.Geneva: WHO Health Whaley, L.F. & wong, D.L. 1995. Nursing care of Infants and children. St. Louis Mosby Year Book. 148 COMMUNITY-SCHOOL BASED EMPOWERMENT DALAM UPAYA PENCEGAHAN RISIKO PENULARAN HIV PADA REMAJA DI DEPOK Ns. Setyoadi, S.Kep., M.Kep., Sp.Kom. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya e-mail: [email protected] atau [email protected] Abstract : Teen as risk group for HIV transmission is strongly influenced by growth factors and the influence of peer relationships. Peers in addition to providing a negative influence, it can also providing positive influence through empowered to form groups of peer educators. Schools into places that it is largely ideal teens at the time spent in school and the exchange of values, knowledge, attitudes, and behaviors. The purpose of writing scientific papers provide an overview of recent efforts to increase the participation of teenage students, teachers, and families in the prevention of HIV transmission risk. Scientific work has recently been applied using a principles management approach to community nursing, community nursing care, family nursing care and integrating comprehensive school health model and family nursing centers model with methods of school-community health empowerment. Participants are vocational students "RF" on Tugu Village Cimanggis District Depok City. The results of this application able to improve knowledge, life skill, health behavior and improve role of school and family self-sufficiency. The results of recent scientific work is expected to be the basis of adolescent health promotion program at school in increasing the ability to prevent HIV transmission risk behavior of adolescents in Indonesia. Key world: Adolescents, the risk of hiv, empowerment, peer educators Latar Belakang Remaja merupakan populasi terbesar baik di dunia maupun di Indonesia, World Health Organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan jumlah populasi remaja di dunia mencapai sekitar setengah dari total penduduk dunia, dan sekitar 990 juta ada di negara berkembang (Utomo, 2003). Berdasarkan data Survey Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, tercatat jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 % dari total penduduk 231 juta atau sekitar 69 juta jiwa. Besarnya jumlah remaja dapat menjadi modal suatu negara untuk berkembang dan lebih maju karena remaja sebagai sumber daya manusia yang memiliki semangat dan motivasi yang tinggi. Tetapi, remaja dapat juga menjadi ancaman bagi sebuah bangsa jika kurang mendapat perhatian dan bimbingan. Remaja memiliki sifat dan karakteristik ingin tahu dan mencoba halhal yang baru. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan digolongkan kelompok berisiko. remaja Faktor-faktor resiko penularan HIV pada Remaja usia sekolah SMK dapat diidentifikasi dengan memahami karakteristik dari populasi. Beberapa faktor resiko timbulnya masalah kesehatan menurut Stanhope dan Lancaster (2002) antara lain; 1) risiko sosial, berkaitan dengan kejadian sosial masyarakat seperti daerah konflik, wilayah bencana, daerah kriminal, dan lingkungan dengan kekerasan psikologi, 2) risiko ekonomi, berkaitan dengan kemiskinan, 3) risiko gaya hidup, berkaitan dengan pola kebiasaan perilaku, dan 4) risiko kejadian dalam hidup, berkaitan dengan kejadian-kejadian besar yang dialami dalam hidup termasuk tumbuh kembang. Califano (1997, dalam Stanhope & Lancaster, 2002) membagi faktor resiko antara lain; 1) resiko berkaitan dengan biologi, dikaitkan Community-School Based Empowerment Dalam Upaya Pencegahan Risiko Penularan HIV Pada Remaja di Depok (Ns. Setyoadi) dengan faktor genetik individu, 2) resiko lingkungan, berkaitan dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, 3) resiko perilaku, berkaitan dengan pola kebiasaan dalam hidup, dan 4) resiko yang berkaitan dengan usia, yaitu masalah kesehatan yang muncul pada spesifik kelompok usia tertentu. Menurut data tahun 2010, baik dari BPS, Bappenas dan UNFPA, sebagian dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Indonesia rentan berprilaku tidak sehat. Masalah yang paling menonjol dikalangan remaja saat ini, misalnya masalah seksualitas, sehingga hamil di luar nikah dan melakukan aborsi. Kemudian rentan terinfeksi penyakit menular seksual (IMS), HIV atau AIDS serta penyalahgunaan narkoba. Survei yang dilakukan Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI), remaja usia 14 -19 tahun pernah berhubungan seksual yakni 34,7% untuk permpuan dan 30,9% untuk pria. Berdasarkan laporan tahunan KPAD (2011) penderita HIV/AIDS di Kota Depok berkisar 1,7% dari total penduduk Kota Depok, dan 75% kasus penyalahgunaan narkoba suntik berasal dari kelompok umur 10-18 tahun serta 79% berpendidikan SLTA. Hasil penelitian Saprudin (2007) terhadap siswa SMA dan SMK Pancoran Mas Depok tentang upaya pencegahan risiko penyalahgunaan narkoba didapatkan bahwa perilaku selalu merokok (4.9%), sering (5.88%) dan kadang-kadang (47.06%), alasan siswa merokok 28.43% disebabkan oleh teman sebaya. Hal senada juga sesuai dengan hasil penelitian Marsito (2008) terhadap siswa SMK di Kelurahan Pancoran Mas Depok bahwa perilaku selalu merokok (8.1%), sering (17.2%) dan kadang-kadang (35.4%), alasan merokok 90.9% karena pengaruh teman sebaya. Perilaku 150 merokok tersebut dapat mengantarkan remaja untuk melakukan penyalahgunaan narkoba, dan narkoba suntik merupakan pintu masuk penularan HIV (Syarief, 2008). Pendidikan kelompok sebaya diyakini efektif digunakan sebagai pendekatan pada remaja karena sesui dengan karakteristik kuatnya ikatan sebaya diantara mereka. Remaja sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dalam berprilaku positif dan negatif, seperti : cara berpakaian. gaya rambut, parfum, bentuk tubuh, gaya berbicara, merokok, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, dan menonton film porno, internet, dan majalah (Stone & Church, 1984; Okanegara, 2008). Teman sebaya saling mempengaruhi dan mengatur satu sama lainnya (Smith & Diclement, 2000). Brown dan Theobald (1999, dalam Rice & Dolgan, 2005) mengatakan bahwa pengaruh teman sebaya membuat remaja merasa tidak nyaman, karena selalu menerima tekanan ketika tidak sesuai dengan perilaku teman sebayanya. Berdasarkan penelitian Allen, Hape, dan Miga (2008) pada remaja usia 13-20 tahun terhadap 184 sample terdapat hasil bahwa anak remaja sangat dipengaruhi oleh teman sebaya. Penerapan beberapa pendidik sebaya yang ada saat ini masih menekankan upaya kesehatan berbasis masyarakat, sedangkan program kesehatan remaja yang berbasis sekolah belum terintegrasi dengan keluarga. Remaja menghabiskan sebagaian besar waktunya disekolah, tempat belajar nilai dan perilaku dengan interaksi sesama teman, dan mudah untuk dijangkau. Kelemahan kegiatan ditingkat masyarakat adalah sulit untuk megumpulkan remaja, keakraban kurang, pengaruh sosial budaya yang kuat, dan membutuhkan biaya sumber daya yang besar dalam pelaksanaannya. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Peran serta masyarakat khsusnya pelibatan keluarga menjadi sangat penting untuk membantu menjaga kesinambungan upaya di sekolah dan dilanjutkan di masyarakat melalui pengawasan dan pengarahan di tingkat keluarga. Berdasarkan kelemahan upaya selama ini, residen menawarkan inovasi dengan cara menggabungkan upaya kesehatan remaja dengan pendekatan pemberdayaan berbasis sekolahmasyarakat (School-community based empowermen). Model ini berusaha mengintegrasikan peran sekolah dan masyarakat terutama peran keluarga dalam upaya peningkatan kesehatan reproduksi dan pencegahan penularan infeksi HIV pada remaja. Berdasarkan uraian di atas Resisden ingin mengetahui bagaimana pengaruh penerapan model Schoolcommunity based empowermen terhadap perubahan pengetahuan, ketrampilan hidup (life skill), dan perilaku remaja terhadap Upaya pencegahan risiko penularan HIV? Metode Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penerapan model School-community based empowermen terhadap perubahan pengetahuan, ketrampilan hidup (life skill), dan perilaku remaja terhadap Upaya pencegahan risiko penularan HIV. Pronyek implementasi program ini dilakukan pada pada semua siswa SMK “RF” kelas X dan XI di Kota Depok Jawa barat. Sampel diambil secara purposif yaitu Siswa yang telah terlibat aktif selama implementasi program yang berjumlah 61 siswa. Kriteria sampel adalah terlibat minimal 80% kehadiran selama implementasi, bergabung dalam kelompok pendidik sebaya, kelas X dan XI, dan bersedia terlibat aktif sebagai kader pendidik kesehatan sekolah (peer educator). Kegiatan implementasi pronyek ini dilaksanakan selama 8 bulan. Hasil Penelitian 1). Pembentukan Kelompok Pendidik Sebaya dan Konselor Sebaya. Pembentukan kelompok pendidik sebaya dan konselor sebaya dilakukan untuk memperkuat kembali peran UKS dalam meningkatkan status kesehatan siswa. Terbentuk 22 kader pendidik sebaya dan konselor sebayata yang terlibat selama implementasi program. Penentuan siswa ini melibatkan kepala sekolah, wakil kepala sekalah bidang akademik dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk mendapatkan siswa yang mamiliki rasa percaya diri dan mampu diterima oleh semua siswa di sekolah untuk dapat menjalankan tugas dan tanggunjawabnya sebagai pendidik sebaya dan konselor sebaya. 2). Pelatihan Guru Pembina UKS dan Guru Konselor Pelatihan guru Pembina UKS dan guru konselor menjadi bagian penting dari program untuk membantu proses supervisi ditingkat sekolah dan kamandirian dalam menjalankan program. Pelatihan disampaikan oleh dinas kesehatan, supervisor fakultas, dinas pendidikan, dan mahasiswa residen. Sebagai bukti mereka telah mengikuti pelatihan, diberikan sertifikat sebagai tanda bahwa peserta memiliki kemampauan dan ketrampilan sebagai guru pemebimbing UKS dan guru konselor yang akan membantu di dalam proses pendidikan sebaya. Hasil pelatihan menunjukkan rerata kenaikan nilai pengetahuan guru sebelum dan sesudah pelatihan sebesar 17,46 dan hasil uji statistik didapatkan kesimpulan adanya perbedaan yang bermakna tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan (p=0,00; α=0,05). 151 Community-School Based Empowerment Dalam Upaya Pencegahan Risiko Penularan HIV Pada Remaja di Depok (Ns. Setyoadi) 3). Workshop Penyusunan Program Kerja UKS/PKPR Workshop penyusunan program kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya difokuskan pada memberikan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam mencegah faktor risiko penularan infeksi HIV seperti; masalah seputar remaja yang rentan untuk terjadinya penularan infeksi HIV seperti Narkoba, perilaku seksual, dan kesehatan reproduksi. Penyusunan program kerja melibatkan banyak banyak pihak seperti dinas kesehatan, dinas pendidikan, TP UKS kecamatan, Puskesmas, dan sekolah sehingga menghasilkan perencanaan yang lengkap dan dapat diterima oleh semua pihak. 4). Penjaringan Calon dan Pelatihan pendidik Sebaya Penjaringan calan pendidik sebaya melibatkan guru kesiswaan dengan beberapa kriteria dan dilanjutkan dengan pelatihan yang melibatkan residen, guru, dan petugas puskesmas. Pelatihan dilakukan selama dua hari bertujuan untuk membekali pengetahuan dan ketrampilan seputar permasalahan kesehatan remaja. Pengetahuan yang diberikan disesuaikan dengan buku standar PKPR yang disusun depkes dan diberikan kepada seluruh peserta pelatihan, sedangkan ketrampilan diberikan melalui pelatihan interaktif dalam mengatasi permasalahan kesehatan remaja. Hasil pelatihan didapatkan rerata kenaikan nilai pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan adalah sebesar 15,32 dan hasil uji statistik didapatkan perbedaan yang bermakna tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan (p= 0,00; α =0,05). 152 5). Pelatihan Penyusunan Buku Modul, catatan, dan Media Pembelajaran Buku modul pembelaran dalam pendidik sebaya disusun dengan cara diskusi dan konsultasi yang melibatkan Supervisor, Residen, guru, dan kader pendidik sebaya dengan tujuan untuk menghasilkan buku modul yang terstruktur, mudah dipahami dan diterapkan oleh siswa. Selama pelatiahan ini dijelaskan pentingnya kurikulum, buku modul, dan media dalam proses pembelajaran sebaya serta tahapan dalam penysusunan buku modul seperti; membuat tujuan pembelajaran, memilih media pembelajaran, dan membuat evaluasi pembelajaran. 6). Sosialisasi Penggunaan Buku Modul dan Catatan Pendidik Sebaya Buku suplemen materi pendidik dan konselor sebaya yang sudah dibuat kemudian dilakukan sosialisasi cara penggunaan dan cara pencatatan hasil kegiatan setiap pertemuan. Sosialisasi dilakukan bersam dengan guru pembina kesiswaan dengan harapan adanya peran pengawasan terhadap program pendidik dan konselor sebaya. 7). Penyusuanan dan Sosialisasi Buku Catatan Supervisi Kegiatan Supervisi menjadi bagian penting dalam kegaitan manajemen pelayanan kesehatan karena akan mampu menjaga dan meningkatkan kinerja seluruh komponen organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku catataan supervisi dibuat bersama dengan guru, petugas puskesmas, dan konsultasi dengan supervisor. Buku ini berisi catatan kegaitan pendidik dan konselor sebaya oleh supervisor dari mahasiswa dan guru untuk membantu Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 siswa dalam meyapamikan materi dan kegiatan konseling. 8). Desiminasi Struktur Pembina UKS Tingkat Kecamatan Peretemuan dengan tim pembina UKS di tingkat kecamatan dilakukan dengan tujuan untuk mensosialisaikan program upaya kesehatan remaja PKPR khsusunya pencegahan risiko penularan HIV yang selama ini belum berfungsi dengan baik. Upaya dilakukan dengan cara mengundang Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, TP UKS Kecamatan, Pusksmas, dan phak sekolah. 9). Supervisi Kegiatan Pendidik dan Konselor Sebaya Supervisi kegiatan pendidik dan konselor sebaya dilakukan dengan tujuan untuk memberikan bantuan dan bimbingan selama siswa kader kesehatan melaksanakan kegiatan pendidikan kesehatan selama 10 kali pertemuan yang didampingi oleh mahasiswa risiden, sedangkan pendampingan oleh guru dilakukan sebayak 2 kali. Kegiatan supervisi dilakukan setiap satu minggu seklai mulai bulan Maret sampai awal Mei 2012 bertempat di sekolah setiap hari Selasa jam 15.30 – 16.30 dan Jum’at jam 14.30 - 15.30 WIB. Hasil dari supervisi menunjukkan bahwa penampilan kader pendidik sebaya semakin baik dari supervisi pertama dibandingkan dengan supervisi terakhir. Perbandingan penampilan kinerja pendidik sebaya pre test dan post test menunjukkan rerata penampilan kinerja pada supervisi pertama adalah 64,40 (SD=1,50; 95% CI). Rerata penampilan kinerja pada supervisi terakhir adalah 88 (SD=1,70; 95% CI). Terlihat nilai rerata perbedaan antara sebelum dan sesudah kegiatan pendidik sebaya adalah 23,6. Hasil uji statistik dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara penampilan kinerja pendidik sebaya pada supervisi pertama dan terakhir (p=0,000; α=0,05). 10). Kunjungan Rumah (Home Visit) Kunjungan rumah dilakukan terhadap siswa yang memilii risiko tinggi (hight risk) terhadap perilaku yang mengarah pada penularan HIV seperti; merokok, pacaran yang berlebihan, memiliki masalah berkaitan dengan akademik, keluarga dan teman, penggunaan zat aditif, dan masalah kesehatan. Kunjungan rumah dilakukan atas sepengathuan dari pihak sekolah dan hasilnya dilaporkan kembali kepada kepala sekolah. Upaya yang dilakukan di rumah adalah memberikan intervensi pada keluarga dan meminta dukungan dan komitmen dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh siswa. Selama 8 bulan telah dilakukan kunjungan terhadap 10 keluarga. Hasilnya menunjukkan meningkatnya kemandirian keluarga pada rentang tingkat kemandirian III hingga IV. Sebanyak 60% keluarga berada pada tingkat kemandirian III (keluarga mampu mengidentifikasi masalah yang dialami dan melakukan perawatan sederhana yaitu menyelesaikan masalah yang dialami), dan 40% keluarga berada pada tingkat kemandirian IV (mampu melakukan pencegahan dengan melakukan komunikasi secara terbuka dalam keluarga dan mampu melakukan promosi kesehatan dengan cara memberikan pertimbangan pada remaja dalam mengambil keputusan). 11). Lokakarya Mini Akhir Program Lokakarya mini akhir program bertujuan untuk evaluasi akhir kegiatan dan menyampaikan hasil kegiatan selama 8 bulan kegiatan serta pelimpahan tindak lanjur 153 Community-School Based Empowerment Dalam Upaya Pencegahan Risiko Penularan HIV Pada Remaja di Depok (Ns. Setyoadi) kegiatan pada pihak terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Puskesmas, dan Guru. Hasil evaluasi program didapatkan 1). 9 dari 10 siswa yang dikonseling menunjukkan perubahan perilaku berhenti merokok, berhenti minum alkohol, dan perilaku pacaran yang lebih sehat, 2). Peningkatan ketrampilan hidup (lifeskill) siswa yang ditunjukkan dengan nilai pretest dan posttest menunjukkan rerata ketrampilan hidup peserta sebelum kegiatan pendidik sebaya adalah 63,72 (SD=8,43; 95% CI). Rerata ketrampilan hidup peserta sesudah kegiatan pendidik sebaya adalah 87,44 (SD=8,49; 95% CI). Terlihat nilai rerata perbedaan antara sebelum dan sesudah pelatihan ketrampilan hidup adalah 23,72. Hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara ketrampilan hidup siswa sebelum dan sesudah kegiatan pendidik dan konselor sebaya remaja (p=0,000; α=0,05), 3). Penurunan perilaku berisiko penularan infeksi HIV yang ditunjukkan dengan perbandingan nilai sebelum dan sesudah kegiatan menunjukkan rerata perilaku berisiko peserta sebelum kegiatan pendidik sebaya adalah 88,97 (SD=64,07; 95% CI). Rerata perilaku berisiko peserta sesudah kegiatan pendidik sebaya adalah 49,43 (SD=12,21; 95% CI). Terlihat nilai selisih rerata antara sebelum dan sesudah kegiatan pendidik adalah 39,54. Hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan yang signifikan perilaku berisiko peserta sebelum dan sesudah kegiatan pendidik sebaya pada remaja (p=0,000; α=0,05). Pembahasan Pendidik sebaya dan guru konselor yang sudah direkrut untuk dapat menjalankan fungsinya perlu dibekali pengetahuan tentang peran, tugas, dan tanggung jawab dalam upaya kesehatan 154 reproduksi remaja dan pencegahan IMS/HIV. Kegiatan tersebut diwujudkan dalam bentuk pelatihan selama 2 hari yang diikuti oleh 22 siswa dan 2 guru konselor oleh pihak Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Supervisor, dan Mahasiswa residen. Pelatihan merupakan bentuk orientasi bagi staff baru sebelum mereka benar-benar menjalankan tugas dan tanggung jawab yang sebenarnya (Gillis, 2000). Hal ini sesuai dengan pendapat McNamara (1999 dalam Huber, 2006) yang menyatakan bahwa pengorganisasian sumber daya manusia dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan dan pengembangan. Tujuan dari pelatihan adalah untuk membekali kader pendidik sebaya dan guru konselor agar dapat memahami masalah seputar tumbuh kembang remaja, permasalahan remaja, dan upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesehatan remaja khususnya kesehatan reproduksi dan pencegahan penularan HIV. Harrison et al (2010), hasil penelitiannya mengatakan bahwa orangorang yang dilibatkan dalam organisasi harus memahami budaya dan nilai organisasi khususnya tanggung jawab yang diterima, karena akan sangat membantu dalam proses pengambilan keputusan yang sebaiknya dilakukan untuk membantu kelancaran organisasi. Marquis dan Houston (2006) menjelaskan bahwa untuk menjaga kualitas pelayanan perlu adanya standarisasi atau pedoman dalam menjalankan tugas mulai dari masukan, proses, dan keluaran. Standarisasi pelayanan dapat dicapai dengan adanya pedoman atau standar operasional prosedur (SOP) yang mengambarkan indikator keberhasilan program, pengembangan supervisi dalam monitoring, dan evaluasi. Kirby (2011), menjelaskan bahwa upaya supervisi, pembinaan, pelatihan, pembuatan pedoman kerja, dan pengaturan kerja Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Koordinasi dilakukan dengan cara membangun komunikasi organisasi guna kelancaran setiap kegiatan. Komunikasi yang efektif akan mengurangi kesalahpahaman dan akan memberikan pekerja pandangan umum, pemahaman umum dan kesatuan arah dan upaya dalam suatu organisasi (Gillies, 2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006). Bekker dan Huselid (2011), hasil penelitiannya tentang budaya organisasi menjelaskan bahwa untuk meningkatkan penampilan kinerja organisasi perlu adanya budaya komunikasi organisasi yang jelas dalam memberikan arahan atau supervisi. remaja. Keluarga merupakan lembaga pertama dan penting dalam upaya untuk menanamkan nilai-nilai, sistem keyakinan, sikap, atau perilaku dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya (Durkin, 1995). Tujuan sosialisasi sistem nilai dalam keluarga adalah agar generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan tuntutan norma yang diinginkan oleh kelompok, sehingga individu dapat diterima dalam suatu kelompok. Berry dkk (1992), menjekaskan pada dasarnya perilaku dapat dipindahkan melalui vertikal dan horizontal. Pemindahan vertikal dilakukan oleh orang tua melalui sikap permisif terhadap perilaku merokok anak dan pemindahan horisontal dilakukan oleh teman sebaya melalui lingkungan pergaulan. Hasil evaluasi tingkat kemandirian keluarga diperoleh kenaikan dari tingkat kemandirian I sebelum intervensi menjadi tingkat kemandirian III dan IV setelah intervensi asuhan keperawatan keluarga. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga sehat yang meliputi komitmen keluarga dan anggota keluarga, sikap saling menghargai, kemampuan untuk menggunakan waktu bersama, efektifitas pola komunikasi, derajat orientasi agama atau spiritual, kemampuan untuk beradaptasi dengan krisis dalam kondisi yang positif, motivasi keluarga, dan kejelasan peran keluarga. Karakteristik tersebut sangat berkontribusi dalam berjalannya fungsi dan struktur keluarga untuk mencapai tugas perkembangan (Krysan, Morre, & Zill, 1990; Stinnett & DeFrain, 1985 dalam Gladding, 2002). Dukungan keluarga menjadi penting dalam upaya menanamkan perilaku sehat terutama mencegah dan menghentikan perilaku merokok pada Setelah dilakukan implementasi program pada aggregate siswa SMK dilakukan evaluasi terhadap siswa terdapat perubahan perilaku dan yang baik dalam organiasi meningkatkan sumber daya manusia organisasi. Supervisi kegiatan pendidik sebaya oleh mahasiswa reisden dilakukan terhadap penampilan kader pendidik sebaya dalam menyampaikan materi kepada kelompoknya dan memberikan masukan dan motivasi disetiap akhir supervisi. Kegiatan supervisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja pendidik sebaya dalam melakukan pembinaan kelompoknya. Menurut Marquis dan Huston (2006) menjelaskan bahwa pengarahan terdiri dari peningkatan motivasi kerja atau supervisi, dan komunikasi interpersonal. Peningkatan motivasi kerja kepada anggota dapat berbentuk moril maupun materil atau verbal dan nonverbal. Pemberian motivasi akan berdampak positif pada anggota untuk berusaha mencapai yang terbaik. Motivasi kerja juga harus disertai peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal. Kemampuan interpersonal yang bagus akan dapat meningkatkan kerjasama antar anggota. 155 Community-School Based Empowerment Dalam Upaya Pencegahan Risiko Penularan HIV Pada Remaja di Depok (Ns. Setyoadi) ketrampilan hidup remaja setelah menggunakan metode pemberdayaan pendidik sebaya dan konselor sebaya. Hal ini merupakan perubahan positif pada aggregate remaja dalam meningkatkan kemampuan mencegah resiko penularan HIV. Hasil wawancara dengan siswa mengatakan merasa senang ada teman-teman yang mengingatkan untuk berperilaku positif di sekolah. Siswa lain merasa senang karena perilaku negatif, seperti merokok, pacaran, dan tidak masuk sekolah mulai berkurang setelah ada kegiatan oleh kader pendidik sebaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ristianti (2009) pada siswa SMA terdapat bahwa dukungan positif teman sebaya sangat mempengaruhi remaja. Menurut penelitian Bosma (1983),dalam Monks, Knors, dan Haditono, 2004) terhadap perilaku remaja menemukan kegiatan positif pada remaja dengan sebaya, seperti: komitmen untuk sekolah, organisasi, bekerja, dan mengisi waktu luang dengan olah raga. Kegiatan positif siswa didukung dengan pemberian pelatihan ketrampilan hidup dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri, potensi, mengambil keputusan, dan mencari nilai diri remaja untuk mengembangkan sikap dan perilaku positif (WHO, 2002). Pengetahuan dan ketrampilan remaja tentang kesehatan reproduksi, pencegahan kehamilan, dan pencegahan penggunaan NAPZA dapat ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh teman sebaya (Komang, 2006; Mulyadi, 2010, Santoso, 2010; Susanto, 2011). Hambatan yang dijumpai selama proses implementasi program adalah masih sulitnya melakukan koordinasi 156 dengan lembaga terkait baik lintas program dan sekotor yang disebabkan beban kerja yang tinggi. Disamping itu belum menjadi prioritasnya upaya kesehatan berbasis sekolah pada remaja menjadi kesulitan sendiri dalam mencari waktu di sela-sela jampelajaran, sehingga banyak kegiatan yang dilaksanakan diluar jam pelajaran. Simpulan Peningkatan peran siswa dan guru melalaui pendekatan model Communityschool based empowerment mampu meningkatkan peran serta siswa dan guru dalam upaya mencegah risiko penularan HIV di sekolah. Peningkatan pengetahuan, ketrampilan hidup, dan perilaku lebih sehat ditunjukkan pada siswa dengan semakin meningkatnya kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk menghindari faktor-faktor risiko penularan HIV. Disarankan perlu adanya keterlibatan KPA dan menjadikan upaya kesehatan reproduksi dan pencegahan risiko penularan HIV menjadi bagian intrakurikuler dengan memasukkan dalam mata ajar bimbingan konseling atau terintegrasi dalam setiap mata ajar. DAFTAR PUSTAKA Bekker & Huselid (2011) Strategic Human Resources Management: Where Do We Go From Here? Journal of management, 1School of Management, State University of New York at Buffalo, Buffalo, NY 14260, http://journals.lww.com/jonajournal /Abstract Berry, J.W., Pootinga, YPEH., Segall, M.H., Dasen, P.R., (1992). Crosscultural Psychology: Research & Applications. Cambridge: Cambridge Press University. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Durkin, K. 1995. Developmental Social Psychology From Infancy to Old Age. Cambrige: Blackwell Publisher. Gillies, D.A. (2000). Nursing Management: A System rd Approach.5 ed.,Philadelphia : W.B.Saunders Company. Gladding, Samuel T,. (2002). Family Therapy: History, Theory, and Practise. 3rd ed. New Jersey: Precinte-Hall. Harrison, at all, 2010, Organizational Culture: Assessment and Transformation, journal of The Academy of Management Annals. http://aas.sagepub.com/content/43/1 /87.abstract Kirkby , Improving Staffing with a Resource Management Plan, Journal of Nursing Administration: November 1998 - Volume 28 Issue 11 pp 30-3 http://journals.lww.com/jonajournal /Abstract KPN. (2012). Laporan Tahunan HIV/AIDS Nasional. http://www.kpn.org.id .Diperoleh tanggal 19 Januari 2012. Marquis & Houston (2006).Leadership Roles and Management Functions in Nursing, Theory and Application. New Jersey; Mosby Co. Smith & DiClemente. (2000). High Risk For Contracting HIV Virus in Rural Teens. Diakses dari http://sagepub.com/content Monks, Knoers, & Haditono (2004).Psikologi Perkembangan. Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta; UGM Press Mulyadi, B. (2009). Peer Educator dengan Metode Adolescent Friendly untuk Mencegah Kehamilan Remaja Pada Siswi SMP Ratu Jaya di Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Cipayung Kota Depok. Karya Ilmiah Akhir. Tidak dipublikasikan. Okanegara, K. (2008). Sexuality Reproductive Health Youth. Diakses dari http://okanegara.com/daily Rice , Dolgan (2005).The Adolescent Development, Relationships, and Culturre.eleventh edition. Bostob: Pearson Education. Stanhope, M. dan Lancaster, J. (1996). Community Health Nursing : Promoting Health Of Agregates, Families And Individuals, 4 th ed. St.Louis : Mosby, Inc. Stone & Church (1984).Childhood and Adolescence A Psychology of The Growing Person.New York:Random House Susanto, Tantut. (2011). model Remaja Untuk Remaja (RUR) sebagai salah satu bentuk model intervensi keperawatan komunitas dalam masalah tumbuh kembang kesehatan reproduksi remaja di Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota Depok. KIA. Tidak dipublikasikan. Syarief, Fatimah. (2008). Bahaya Narkoba di Kalangan Pemuda. Jakarta UNPFA. (2009). Adolescent Sexual and Reproductive Health Toolkit For Humanitarian Settings: A Companion to The Interagency 157 Community-School Based Empowerment Dalam Upaya Pencegahan Risiko Penularan HIV Pada Remaja di Depok (Ns. Setyoadi) Field Manual on Reproductive Health in Humanatarian Setting. WHO. (2005). Promoting and Safeguarding the Sexual and Reproductive Health of Adolescents. Diakses dari http://www.who.int/reproductivehealth/strategy --------------. (2002). Adolescent Friendly Health Services.Geneva: WHO. 158 STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN MENJADI PEMBIMBING KLINIK MAHASISWA KEPERAWATAN DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA 1 2 Merina Widyastuti , Indah Winarni , Fransiska Imavike F 3 1 Program Magister Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya email : [email protected] 2 Staf Akademik Keilmuan Ilmu bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya 3 Staf Akademik Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Abstract :The clinical practice for nursing education today still has complex problems. Clinical instructors have important role for continuation of development of nursing profession. Emergency department has unique nature where overload workforce and it requires challenges for nurses to become clinical instuctors. The purpose of this study was to reveal the phenomenon of clinical instructor’s experience in emergency department. Qualitative approach with an interpretive phenomenology based on Heidegger philosophy through unstructured interview techniques was used in this study. Methods of data analysis applied in this study was based on Van Manen. The samples selected in this study consisted of five participants. The result of this study indicated one core theme in term of moral burden on the part of clinical instructors. This core theme was generated from two major themes , namely incompetence in providing maximal guiding efforts and taking responsibility for passing on the credibility for the future nurses. The results of this research is important to be taken by educational institutions, in order to preparing their students before entering clinical practice into ED and communincating effectively to clinical instructor at practical setting. Subsequently recommended for practical setting to promote their role as educational hospital as increase human quality source clinical instructors. Key words: Clinical Instructors, student, ED Latar Belakang Instalasi gawat darurat memiliki karakteristik ruangan unik yang dimana beban kerja cukup tinggi dan memerlukan tindakan penanganan yang cepat, tepat dan trampil. Dengan demikian untuk menjadi pembimbing klinik di tatanan gawat darurat merupakan tantangan tersendiri bagi seorang perawat (Schriver et al, 2003). Menurut Ryan-Nicholls (2004) di ruang praktek klinik kegawatdaruratan, pembimbing klinik cenderung tidak mampu menangani mahasiswa dalam jumlah besar, hal ini disebabkan karena tempat praktek klinik yang terpencar disertai beberapa tindakan kegawatan yang memerlukan ketrampilan cukup tinggi. Kondisi unik di instalasi gawat darurat terkadang membuat peserta didik tidak merasa dibimbing dengan baik begitu pula yang dirasakan oleh pembimbing klinik yang juga merasa kurang puas dan kurang maksimal dalam membimbing peserta didik (Schriver et al, 2003; Cheung & Au, 2011). Pembelajaran praktek klinik adalah suatu pengalaman pribadi dan interpersonal yang diikat dalam suatu prinsip dan peraturan dimana Studi Fenomenologi: Pengalaman Menjadi Pembimbing Klinik Mahasiswa Keperawatan Di Instalasi Gawat Darurat (Merina Widyastuti, Indah Winarni, Fransiska Imavike F) keberhasilannya ditentukan oleh peran serta pembimbing dan peserta didik yang dibimbing. Praktek klinik diharapkan bukan hanya sekedar kesempatan untuk menerapkan teori yang dipelajari di kelas akan tetapi melalui praktek klinik, mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga dapat menjadi perawat yang terampil dalam mengaplikasikan teori keperawatan dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat (Brunero & Parbury, 2010; Reid, 2010) Pembelajaran praktek klinik di lahan praktek rumah sakit sampai saat ini memiliki permasalahan yang kompleks.Menurut Schriver et al (2003) Permasalahan kompleks tersebut mencakup faktor kondisi pasien di ruangan (segi jumlah pasien yang banyak dan tidak berbanding dengan jumlah perawat beserta kondisi tingkat kegawatan pasien yang membutuhkan perawatan intensif), faktor kebijakkan rumah sakit (aturan mengenai praktek mahasiswa dan kriteria penunjukkan sebagai pembimbing klinik), faktor institusi pendidikan (daftar kompetensi yang diharapkan sebagai output mahasiswa), faktor mahasiswa (minat, karakter watak, pengetahuan sebelumnya dan pengalaman praktek sebelumnya) dan faktor pembimbing klinik (tingkat pendidikan, pengalaman bekerja, kemampuan membimbing, karakteristik pribadi, dukungan rekan sejawat). Sampai saat ini penelitian dan literatur yang memuat mengenai pengalaman menjadi pembimbing klinik di setting gawat darurat atau pun penelitian yang dibuat dari sudut pandang pembimbing klinik di Indonesia masih terbatas padahal penelitian mengenai pembimbing klinik merupakan hal yang menarik terkait perannya yang juga berkontribusi penting dalam pendidikan keperawatan. Fenomena tersebut yang mendorong peneliti untuk mengungkap fenomena 160 pengalaman menjadi pembimbing klinik di instalasi gawat darurat Bahan dan Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah fenomenologi interpretive yang didasarkan pada filosofi Heidegger. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang menjadi pembimbing klinik, sehingga diharapkan bisa mengungkapkan pengalaman selama menjadi pembimbing klinik di IGD. Partisipan dipilih dengan tehnik purposive sampling. Kriteria inklusi yaitu (1) Sehat jasmani dan rohani, (2) Pendidikan S1 keperawatan dengan pengalaman kerja 3 tahun atau DIII Keperawatan dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun, (3) Mempunyai pengalaman kerja di ruang gawat darurat minimal 5 tahun. Sejumlah 5 partisipan menjadi sampel penelitian, dengan pertimbangan telah terjadi saturasi data. Pada saat wawancara, strategi yang digunakan adalah open ended interview dan unstructured interview. Analisis data yang digunakan berdasarkan tahapan dari Van Manen. Sedangkan untuk proses keabsahan penelitian yang merupakan validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan tehnik Credibility, Dependability, Confirmability dan Transferability/ Fittingness. Hasil Penelitian Hasil analisis data didapatkan dua klaster tema yang menjelaskan permasalahan penelitian. Klaster tema yang diperoleh tentang pengalaman menjadi pembimbing klinik di IGD adalah ketidakberdayaan memberikan bimbingan yang maksimal dan eksistensi diri. 1. Ketidakberdayaan dalam memberikan bimbingan yang maksimal Perasaan ketidak berdayaan dalam Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 memberikan bimbingan yang maksimal adalah ketidakmampuan bertindak untuk memberian arahan, tuntunan yang sebanyak banyaknya. Pembimbingan tidak maksimal digambarkan oleh partisipan sebagai pengalaman yang timbul karena beberapa hal seperti pengalaman rasa tidak percaya diri dan beban kerja yang dirasa berlebihan a. Pengalaman rasa tidak percaya diri Pengalaman “rasa tidak percaya diri” dibentuk dari 2 hal yaitu pengembangan diri tidak maksimal dan aturan yang tidak jelas. Pengembangan diri yang tidak maksimal diantaranya terdiri dari seminar, pelatihan, jarang baca buku dan keberlanjutan tingkat pendidikan. Sedangkan aturan yang tidak jelas mencakup komunikasi mekanisme bimbingan dan kriteria penunjukkan pembimbing klinik yang tidak jelas. Mayoritas partisipan menyatakan bahwa selama ini merasa tidak percaya diri dalam membimbing karena pengembangan diri yang tidak maksimal. Seperti yang disampaikan oleh beberapa responden berikut. “...Dari lubuk hati saya memang menjadi pembimbing klinik saya kurang percaya diri karena( dengan ekspresi bingung) ...ya itu tadi dari ilmunya saya masih minimal sekali Iyaaa...tidak percaya diri karena tingkat pendidikan...” (P1) Sedangkan tema aturan yang tidak jelas juga membuat proses bimbingan tidak maksimal. Hal ini seperti disampaikan oleh . “...Belum paham aku mbak... belum ada sosialisasi... setauku aku sekarang yaa aku pembimbing di klinik aja, secara teori mungkin ada yang berwenang , setauku seperti itu... bukan murni kayak dulu......klo sekarang khan S1 dan D3... itu yang membuat kadang kita gimana ya? Yaitu itu tadi mbak, mau menilainya khan tidak bisa secara holistik akhirnya ya dicampur rata...” (P4) b. Beban kerja yang dirasa berlebihan Pengalaman beban kerja yang dirasa berlebihan ini dibentuk dari 2 hal yaitu karakterisitik unik dari IGD itu sendiri dan tanggung jawab membimbing. Pengalaman beban kerja yang dirasa berlebihan bagi partisipan sebenarnya juga tidak lepas dari karakteristik IGD itu sendiri dimana hal ini juga dinyatakan dengan statement : “...kita membimbingnya tidak maksimal seperti di ruangan yang bisa langsung duduk bersama terus apa itu (tertawa) bisa saling bicara. tapi kita khan mobile” (P2) Sedangkan beban kerja berlebihan terkait tanggung jawab membimbing berusaha diungkapkan oleh partisipan dengan “...yaa tetap memang ini tugas saya untuk membimbing... toh mahasiswa sering tanya tanya, menyita waktu dalam pekerjaan di saat pasien banyak....” (P1) Karakterstik IGD yang sibuk dan rasa tanggung jawab dalam membimbing membuat beberapa partisipan merasa bersalah karena tidak dapat memberikan bimbingan yang baik. Hal ini dinyatakan dengan “Yaaa enggak siihhh kita membimbing .. kewajiban kita sebagai antap disitu kita harus membimbing memang.... Ya kadang kadang ya kurang full ke mahasiswa juga merasa bersalah... (P3) 2. Tanggung jawab terhadap pengkaderan generasi penerus perawat Tema besar yang kedua adalah tanggung jawab terhadap pengkaderan generasi penerus perawat. Tanggung jawab terhadap pengkaderan generasi 161 Studi Fenomenologi: Pengalaman Menjadi Pembimbing Klinik Mahasiswa Keperawatan Di Instalasi Gawat Darurat (Merina Widyastuti, Indah Winarni, Fransiska Imavike F) penerus perawat ini mencakup harapan terhadap perbaikan proses pembimbingan dan eksistensi diri sebagai perawat senior. a. Harapan terhadap perbaikan proses pembimbingan Sebagian besar partisipan menggambarkan banyak harapan harapan terhadap perbaikan proses pembimbingan. Harapan yang pertama adalah mengenai gambaran seorang pembimbing yang ideal. Hal tersebut diungkapkan partisipan. “... Idealnya satu dia sudah lama bekerjanya, pendidikannya lebih tinggi...“ (P3) Harapan yang kedua adalah mengenai pencapaian mahasiswa setelah dari IGD. Interaksi antara partisipan dengan mahasiswa dalam proses pembimbingan menumbuhkan suatu harapan mengenai pencapaian target kompetensi mahasiswa. Hal ini dinyatakan oleh salah seorang partisipan “...saya itu berkeinginan mahasiswa setelah dari UGD itu bisa nginfus, bisa pasang kateter, bisa ECG apa itu smua yang dilakukan di UGD memahami semuanya...” (p2, 28) b. Eksistensi diri sebagai perawat senior. Eksistensi diri sebagai perawat senior ini mencakup dua hal antara lain perasaan aktualisasi diri sebagai perawat IGD dan motivasi pembimbing. Partisipan menggambarkan perasaan aktualisasi diri sebagai perawat IGD dengan perasaan percaya diri karena pengalaman kerja yang lama. Pengalaman tersebut dicerminkan dengan pernyataan salah satu partisipan “..saya punya jam terbang di lahan praktek di lahan pelayanan yang tidak bisa dibilang barusan (19 162 tahun), iya khan? kita di layanan dengan masa kerja berapa? sudah ada kelayakkan dikatakan senior ...” (P5, 29) Pembahasan Dua tema besar yaitu proses bimbingan tidak maksimal ditambah dengan Tanggung jawab terhadap pengkaderan generasi penerus perawat dari seorang pembimbing membuat ada perasaan beban moral dalam membimbing terutama terhadap keberlanjutan generasi perawat selanjutnya, Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pembimbing klinik sangat penting dalam perannya untuk mempertahankan eksistensi profesi perawat yang profesional karena praktek klinik merupakan faktor utama dalam pendidikan keperawatan. Hal ini didukung oleh Brunero dan Parbury (2010) bahwa ilmu keperawatan dikembangkan berdasarkan pengalaman dan belajar melalui pengalaman menjadi hal yang mendasar dalam praktek keperawatan profesional. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, mereka pembimbing klinik masih terus berusaha dan merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendidik genarasi penerusnya agar keberadaan perawat masih dirasakan oleh masyarakat dan komunitas kesehatan. Perasaan beban moral timbul disebabkan karena perbedaan antara harapan dan kenyataan dimana harapan dari pembimbing klinik mengenai eksistensi dirinya sedangkan kenyataan di lapangan yang tidak sesuai yaitu ketidakberdayaan dalam memberikan pembimbingan maksimal. Kenyataan di lapangan pada saat proses pembimbingan dimana beban kerja yang tinggi disertai ketidak percayadirian sebagai seorang pembimbing membuat proses pembimbingan menjadi tidak maksimal padahal menurutt Severinson (2010) bahwa bimbingan klinik memiliki peranan yang besar dalam Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 mengembangkan identitas profesional kepada mahasiswa terutama dalam kemampuan berpikir kritis dan pengambilan keputusan Salah satu faktor yang menyebabkan perasaan tidak percaya diri ini timbul adalah karena tingkat pendidikan yang berbeda dengan mahasiswa yang menjadi tanggung jawab mereka. Dimana mahasiswa yang dibimbing adalah mahasiswa yang menempuh strata pendidikan D3 dan S1 keperawatan. Rasa ketidakpercayaan diri ini sebenarnya memiliki kaitan yang besar dengan pengembangan diri dan aturan yang tidak jelas terkait penunjukkan menjadi CI. Hal ini sesuai dengan Cangelosi et al (2009) bahwa perawat dengan peran barunya sebagai pembimbing klinik mengalami tekanan kecemasan dan rasa takut yang disebabkan ketidakmampuan dan kurangnya pengetahuan mereka untuk menjadi seorang pendidik dan pembimbing klinik yang baik. Dengan demikian pengembangan diri memegang peranan penting dalam proses bimbingan yang berkualitas Benner (1984) yang menguraikan bahwa untuk menjadi perawat ahli perlu mengembangkan ketrampilan dan memahami tentang perawatan pasien disepanjang waktu yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman banyak. Sehingga pengalaman yang mumpuni disertai pendidikan formal yang sesuai akan semakin meningkatkan profesionalitas perawat sebagai pembimbing klinik dan kompeten sebagai perawat di instalasi gawat darurat (Reid, 2010). Menurut Hossein et al (2010) Pembelajaran praktek klinik adalah suatu pengalaman pribadi dan interpersonal yang diikat dalam suatu prinsip dan peraturan dimana keberhasilannya ditentukan oleh peran serta pembimbing dan peserta didik yang dibimbing. Dengan demikian perasaan tidak percaya diri yang dialami sebagian besar partisipan tentu saja akan berdampak pada proses pemberian bimbingan yang berkualitas terhadap mahasiswa. Menurut Cangelosi et al (2009) Mengajar bukanlah sesuatu yang didasarkan pada pengalaman klinik akan tetapi memerlukan ketrampilan tersendiri. Hal tersebut sesuai pula dengan realita di lapangan bahwa ketidakpastian mengenai aturan penunjukkan menjadi pembimbing klinik mengakibatkan permasalahan lain dimana tidak semua pembimbing klinik yang ditunjuk memiliki jiwa membimbing dan begitu pula ada rasa ketidaknyamanan terkait gambaran tugas yang dirasa kurang jelas bagi partsipan untuk berperan sebagai seorang pembimbing klinik kepada mahasiswanya. Hal tersebut diperparah lagi dengan beban kerja yang tinggi termasuk didalamnya tanggung jawab membimbing. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman menjadi pembimbing klinik di instalasi gawat darurat adalah sebuah pengalaman dimana terdapat perasaan beban moral dari para pembimbing klinik. Perasaan beban moral ini timbul karena terdapat kesenjangan antara perasaan ketidakberdayaan untuk memberikan bimbingan yang maksimal dengan tanggung jawab terhadap pengkaderan generasi penerus untuk melakukan perbaikan Pengalaman perasaan ketidakberdayaan memberikan bimbingan yang maksimal disebabkan karena beban kerja yang dirasa berlebihan dan rasa tidak percaya diri, Sedangkan eksistensi diri menjadi pembimbing klinik dicerminkan dengan harapan pembimbing yang ideal, harapan output mahasiswa, kesiapan karena pengalaman kerja dan perasaan dianggap menjadi pembimbing klinik. Berdasarkan temuan hasil penelitian dan analisis serta pembahasannya, maka peneliti merasa perlu memberikan 163 Studi Fenomenologi: Pengalaman Menjadi Pembimbing Klinik Mahasiswa Keperawatan Di Instalasi Gawat Darurat (Merina Widyastuti, Indah Winarni, Fransiska Imavike F) rekomendasi demi peningkatan ilmu keperawatan, pelayanan dan penelitian selanjutnya. Diantaranya bagi institusi pendidikan keperawatan lebih memberikan batasan kompetensi yang jelas mengenai mahasiswa D3 dan S1 keperawatan yang praktek di lahan yang sama dalam hal ini adalah IGD dan memberikan aturan yang jelas mengenai proses pembimbingan seperti aturan kunjungan pembimbing klinik dari pendidikan, kompetensi dasar yang harus dimiliki mahasiswa sebelum memasuki IGD dan komunikasi dua arah antara institusi pendidikan dengan pembimbing klinik di lapangan. Rekomendasi bagi Institusi Rumah Sakit untuk mempersiapkan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan perannya sebagai rumah sakit pendidikan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pembimbing klinik Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan penelitian selanjutnya baik penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa penelitian lanjutan bisa direkomendasikan peneliti, seperti metode pembimbingan yang tepat untuk diterapkan di instalasi gawat darurat dan bagaimana kepuasan pembimbing klinik di instalasi gawat darurat. DAFTAR PUSTAKA Beecroft P, Dorey F, Wenten M (2008). Turnover Intention In New Graduate Nurses: A Multivariate Analysis. Journal of Advanced Nursing, 62, 1, 41-52. Benner, P. (1984). From Novice To Expert: Excellence And Power In Clinical Nursing Practice. Menlo Park: Addison-Wesley, pp. 13-34 Blair, W., & Smith, B. (2012). Nursing Documentation : Frameworks and barriers. Nursing Documentation, 41(2). 164 Brunero, S., & Parbury, J. S. (2010). The Effectiveness of Clinical Supervision in Nursing : An Evidenced Based Literature Review. Australian Journal of Advanced Nursing, 25(3), 86-94. Cangelosi, P. R., Crocker, S., & Sorrell, J. M. (2009). Expert to Novice : Clinicians Learning New Roles As Clinical Nurse Educators. Nursing Education Perspectives, 30(6), 367-371. Cheung, R. Y.-M., & Au, T. K.-f. (2011). Nursing Students’ Anxiety and Clinical Performance. Journal of Nursing Education, 50(5). Henderson S, Happel B, Martin T. (2007). Impact Of Theory And Clinical Placement On Undergraduate Students’ Theory And Nursing Knowledge, Skills And Attitudes. Int. J. Mental Health Nurs.16:116–125. Hossein, K. M., Fatemeh, D., Fatemeh, O. S., Katri, V. J., & Tahereh, B. (2010). Teaching Style In Clinical Education : A Qualitative Study's Iranan Nursing Teacher's Experiences. Nurse Education in Practice, 10, 8-12. Levett-Jones T, Fahy K, Parsons K, Mitchell A. (2006). Enhancing Nursing Students’ Clinical Placement Experiences: A Quality Improvement Project. Contemp. Nurse; 23: 58–71. Lockwood-Rayermann S. (2003). Preceptors, Leadership Style, And The Student Practicum Experience. Journal of Nurse Education.; 28: 247–249. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Reid, D. H. (2010). The Experienced Critical Care RN's Perception of New Graduate RNs Competence in Critical Care Using Benner's Novice to Expert. Gardner-Webb University School Of Nursing, Boiling Springs North Carolina. Ryan-Nicholls, & Kimberley. (2004). Preceptor Recruitment And Retention: The Preceptor Partnership Is The Most Effective Means Of Ensuring That Students Integrate Professionaltheory With Clinical Practice, But A Growing Lack Of Nurse Preceptors May Threaten The Process. The Canadian Nurse(6), 18-22. Schriver, J. A., Talmadge, R., Chuong, R., & Hedges, J. R. (2003). Emergency Nursing : Historical , Current, and Future Roles. Academic Emergency Medicine 10(7), 798 - 804. Severinsson, E. (2010). Evaluation of the Clinical Supervision and Professional Development of Student Nurses. Journal of Nursing Management 18 : 669 – 677. 165 MODEL PENCEGAHAN PENULARAN PADA ISTERI DARI ANGGOTA TNI AL HIV POSITIF DI SURABAYA Kusdariah Jurusan Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya Email : [email protected] Abstract : Prevention HIV transmission Model of the Navy with HIV-positive to wives in Surabaya Navy who have a relative mobile assignment and separated with his wife in a relatively long time, this was likely to change their behavior was having sex with female sex workers exposed to HIV. The impact will contracting HIV and transmited to his wife. The aim of this research was to created a model of prevention of HIV transmission to wives and Navy in Surabaya. The population was 143 of the HIV-positive wives from Navy and the sample divided in to group case study consist 25 people and group of control consist 50 people. This research was observational analytic, used case-control study. Independent variables were factors that influence HIV transmission occurs and dependent variable was the incidence of HIV. Multivariate logistic regression analysis was used to see the most fit variables affect the behavior of the transmission of HIV and assess the Odds Ratio. Indepth interview was used to complete qualitative data. The results of this study, the most fit factors influence the behavior of transmission to Navy's wife was HIV positive encouragement from key person (Toga) and support religious (Toga). Model of prevention of HIV transmission to wives of Navy and Navy in Surabaya done through learning about HIV, the dangers of alcohol and HIV prevention in terms of religion with lectures, discussions, and question and answer. Keywords: Wife of Navy, HIV positive, support Toga and Toma, transmission from husband Latar Belakang Anggota TNI AL yang memiliki penugasan yang relatif mobile dan berpisah dengan istri dalam waktu yang relatif lama, kemungkinan akan terjadi perubahan perilaku yaitu berhubungan seks dengan WPS yang terpapar HIV. Hal ini mengakibatkan bisa tertular HIV dan dampaknya akan menularkan kepada istrinya. Sebagai istri yang ditinggal bertugas suami yang relatif lama tidak menutup kemungkinan juga terjadi perubahan perilaku berhubungan seks dengan laki-laki yang bukan pasangannya sehingga kemungkinan juga tertular HIV dan bisa menularkan kepada suaminya. Angka kejadian HIV di Indonesia dari tahun 2003 jumlah penderita sebanyak 1.171 orang meningkat terus dan sampai dengan tahun 2011 mencapai 26.483 orang. DKI Jakarta merupakan propinsi di Indonesia yang penderita HIV nya tertinggi mencapai 5.117 orang, menyusul Jatim sebanyak 4.598 orang dan urutan ketiga adalah propinsi Papua dengan angka kejadian 4.449 orang. Berdasarkan hasil survey KPA Jatim, Surabaya meruspakan kota peringkat pertama di Jawa Timur dengan kasus HIV sebanyak 2.622 orang, menyusul Sidoarjo sebanyak 549 kasus dan Malang sebanyak 405 kasus. Angka kejadian HIV-AIDS pada ibu rumah tangga menduduki posisi paling tinggi dibandingkan dengan angka kejadian pada WPS. Secara berurutan mulai teratas yaitu ibu rumah tangga, tenaga non profesional (karyawan), wiraswasta (usaha sendiri), buruh kasar, petani /peternak /nelayan, Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 penjaja seks, nara pidana, pegawai negeri sipil, supir, anak sekolah/mahasiswa, tenaga professional non medis, anggota ABRI/POLRI,Pelaut,seniman/aktris/aktor/pe ngrajin, tenaga professional medis, turis, pramugara/pilot, menejer/eksekutif. Berdasarkan data di klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan (RSAL Dr Ramelan) Surabaya sampai dengan November 2012 Kejadian kasus HIV pada tahun 2005 sebanyak 4 orang. Jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2009 (58 orang), kemudian tahun berikutnya menurun sampai dengan tahun 2012 sebanyak 23 orang. Jumlah seluruh kejadian dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 sebanyak 175 orang yang terdiri dari 143 anggota TNI AL dan 32 orang istri dari anggota TNI AL HIV positif Sementara itu sisanya yaitu 111 orang istri dari Anggota TNI AL penderita HIV masih dinyatakan negatif dan bahkan ada beberapa istri kemungkinan belum mengetahui status HIV suaminya. Model pencegahan penularan pada istri dari anggota TNI AL disusun berdasarkan temuan analisis faktor yang paling mempengaruhi terjadinya HIV yaitu faktor predisposisi, pendorong dan pemungkin. Kelengkapan data diambil dari hasil wawancara mendalam pada 3 kelompok yaitu kelompok isteri HIV positif, istri HIV negatif, dan para suami (anggota TNI AL HIV positif). Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di klinik VCT RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Pelaksanaan penelitian mulai bulan November 2012 sampai dengan bulan Juni 2013. Desain penelitian ini adalah studi kasus kontrol (case control study).Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kelompok kasus yaitu isteri dari anggota TNI AL( HIV positif ) yang sudah positif dan kelompok kontrol adalah isteri anggota TNI AL (HIV positif) yang masih negatif HIV. Besar sampel untuk kasus diambil total sampel yaitu 32 orang. Pada saat penelitian jumlah kasus tinggal 25 (4 orang meninggal dan 3 orang berdomisili di luar propinsi) dan kontrol ditentukan dengan lotre berjumlah 50 orang. Data yang dianalisis dalam penelitian ini berupa data primer berasal dari hasil kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Bivariat (Uji ChiSquare), dilakukan perhitungan terhadap Odds Ratio (OR), dengan Confident Interval 95%. Analisis terhadap Odds Ratio dilakukan dengan mebandingkan Odds Ratio pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Selanjutnya dilakukan analisis multivariat (Uji regresi Logistik) untuk menentukan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya HIV pada isteri dari anggota TNI-AL HIV posotof dengan bantuan perangkat komputer dengan metode Stepwise. Hasil Penelitian 1.Umur Proporsi kasus HIV responden yang memiliki umur lebih dari 30 tahun hanya (21,7%) dibandingkan dengan responden yang memiliki umur kurang dari 30 tahun (38,5%). Pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang berumur kurang dari 30 tahun (78,3%). Secara biologi responden pada kelompok kasus termasuk umur produktif, karena itu perlu mempertimbangkan keinginan hamil karena bisa menularkan HIV kepada anaknya. Umur memiliki hubungan yang bermakna dengan status HIV responden yaitu p=0,250 (p=0,25), nilai OR = 0,444 (95% CI 0,143<OR<1,386). Hal ini berarti umur lebih dari 30 tahun memiliki risiko 0,444 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dibandingkan dengan responden yang berumur kurang dari 30 tahun. 2 Agama Proporsi kasus HIV responden yang memiliki agama non Muslim dan Muslim sama yaitu (33,3%). Kelompok Kontrol memiliki proporsi yang sama antara besar responden yang beragama Non Islam maupun Islam. Agama responden tidak memiliki hubungan bermakna dengan status HIV p=1,000 (p>0,25). Hal ini kemungkinan pada saat dilakukan penelitian, responden sudah menjalankan kehidupan 167 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) agama secara baik sejak suaminya dinyatakan HIV positif. 3.Suku Proporsi kasus HIV yang bersuku non Jawa adalah (50%) dibandingkan dengan kelompok responden yang bersuku Jawa (32,9%). Pada kelompok kontrol didapatkan banyak yang bersuku Jawa yaitu (67,1%). Responden pada kedua kelompok kasus dan kontrol banyak dari suku Jawa. Suku tidak memiliki hubungan bermakna dengan status HIV responden p=1,000 (P>0,25). Hal ini kemungkinan karena responden telah berdomisili dan mengikuti budaya di Surabaya, apakah budaya di Suarabaya memiliki hubungan dengan penularan HIV, hal ini perlu diteliti lebih lanjut. 4.Pekerjaan responden Proporsi kasus HIV responden yang tidak bekerja (36,6%), sedangkan pada kelompok yang bekerja (29,4%). Pekerjaan responden tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan terjadinya penularan HIV yaitu p = 0,682 (P>0,25). Responden yang tidak bekerja dan sering menjadi pengganti suami ketika berlayar memiliki lebih banyak kegiatan di rumah, sehingga kemungkinan mendapatkan informasi mengenai HIV lebih sedikit dibandingkan yang bekerja. Hal ini juga perlu diadakan penelitian lebih lanjut 5. Pendidikan Proporsi Kasus HIV responden berpendidikan SMP dan SMA (25%), sedangkan pada kelompok responden berpendidikan perguruan Tinggi (48%) .Pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan status HIV responden p=0,074 (p<0,25). Nilai OR= 0,359 (95% CI 0,132<OR< 0,974) berarti Pendidikan responden berpendidikan PT memiliki resiko 0,359 lebih besar terhadap terjadinya penularan HIV dibandingkan dengan responden berpendidikan SMP dan SMA. Secara umum pendidikan tinggi responden merupakan pendidikan umum dan tidak mendapatkan materi mengenai HIV. 6. Riwayat perkawinan Proporsi kasus HIV responden yang memiliki riwayat perkawinan ke II dan ke III sebanyak (100%). Tidak diketahui penularan 168 HIV dari suami terdahulu atau suami sekarang. Sedangkan proporsi HIV pada responden yang memiliki riwayat perkawinan I adalah (31,5%). Riwayat perkawinan tidak memiliki hubungan dengan status HIV responden yaitu p=0,998 (p>0,25). Nilai OR tidak bisa dinilai karena ada nilai 0 dalam data riwayat perkawinan 7. Pangkat suami Proporsi kasus HIV responden dengan suami berpangkat Tamtama (39%), sedangkan kelompok responden dengan suami berpangkat Bintara dan Perwira (26,5%). Pangkat tamtama merupakan pangkat terendah di lingkungan TNI, dimana gaji mereka juga relatif rendah bila dibandingkan dengan golongan pangkat bintara dan perwira. Tamtama yang memiliki riwayat penjaja WPS akan mempengaruhi beaya pengeluaran . Hal ini akan memperburuk keadaan ekonomi mereka. Pangkat tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian HIV p=0,367, p>0,25. OR=1,778 (95% CI 0,663-4,770). Analisis Bivariat A. Faktor Predisposisi 1.Pengetahuan Proporsi kasus HIV responden dengan pengetahuan bernilai baik yaitu (22,5%.), sedangkan responden dengan pengetahuan kurang (40,9%) Kelompok kontrol memiliki pengetahuan lebih banyak bernilai baik (77,4%). Ada hubungan bermakna antara variabel pengetahuan dan status HIV responden, p = 0,159 (p<0,25), nilai OR = 0,342 (95% CI 0,150<OR<1,185). Nilai OR<1 berarti pengetahuan responden memberikan perlindungan terhadap terjadinya HIV. Responden sudah menerima konseling dari klinik VCT sehingga pengetahuan mengenai HIV telah mereka dapatkan. 2.Keyakinan Proporsi kasus HIV responden dengan keyakinan bernilai kurang (54%). sedangkan responden dengan keyakinan berniali baik (60,5%). Pada kelompok kontrol lebih banyak dengan keyakinan bernilai kurang Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 (94,6%). Variabel keyakinan memiliki hubungan yang bermakna dengan status HIV responden p = 0.000 (p<0,25) , nilai OR=0,037(95% CI 0,008<OR<0,178). OR<1 berarti nilai keyakinan pada responden memberikan perlindungan terhadap terjadinya HIV. Kelompok kasus HIV positif sudah mendapatkan konseling, dan memiliki pengalaman menanggulangi HIV nya, mereka sudah bisa memiliki keyakinan menanggulangi masalah HIV yang dialami suaminya maupun yang dialaminya sendiri. 3.Keadilan Proporsi kasus HIV responden dengan keadilan gender bernilai kurang lebih besar (40,8%) dibandingkan responden dengan keyakinan bernilai baik (19,2%). Pada kelompok kontrol responden bernilai baik lebih besar (80,8%) dibandingkan dengan responden dengan keadilan gender bernilai kurang (59,2%). Variabel nilai tentang keadilan gender memiliki hubungan yang bermakna dengan status HIV responden p = 0,06 (p<0,25) dengan nilai OR = 2,897 (95% CI 0,936<OR<8,96) berarti nilai tentang keadilan gender yang bernilai kurang memiliki peluang lebih besar 2,897 kali terhadap terjadinya HIV dibandingkan dengan responden yang memiliki nilai tentang keadilan gender yang bernilai baik. Kelompok kasus lebih banyak dengan nilai tentang keadilan gender kurang, hal ini dimungkinkan kelompok kasus masih menghadapi masalah tentang keadilan gender dan untuk itu perlu diteliti lebih lanjut. B. Faktor Pendorong 1. Dorongan Toga dan Toma Proporsi kasus HIV pada responden dengan variabel dorongan Toga dan Toma bernilai kurang lebih kecil (6,5%) dibandingkan dengan responden dengan variabel dorongan Toga dan Toma bernilai baik (75,9%). Pada kelompok kontrol dengan nilai kurang lebih banyak (93,5%). Ada hubungan bermakna antara dorongan Toga dan Toma dengan terjadinya penularan HIV p=0,000 (p<0,25) Nilai OR nya adalah 0,022 (95% CI 0,005<OR<0,094). OR<1 berarti dorongan Toga dan Toma melindungi terjadinya penularan HIV. Kelompok kasus dengan penyakit HIV yang tidak bisa disembuhkan, maka pada umumnya usaha pengobatan diiringi dengan mengharap kesembuhan dari Tuhan melalui bimbingan dari Toga dan Toma. 2.Dorongan Keluarga Proporsi kasus HIV responden dengan dorongan keluarga bernilai kurang lebih sedkit (15,8%%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (51,4%). Pada kelompok kontrol memiliki dorongan dari keluarga lebih banyak bernilai kurang (84,2%). Variabel dorongan keluarga memiliki hubungan yang bermakna dengan status HIV p=0,002, p<0,25. OR=0,178 (95% CI 0,06<OR<0,525). OR<1 Berarti dorongan keluarga memberikan perlindungan terhadap terjadinya penularan HIV pada responden. Salah satu usaha klinik VCT adalah membantu pasien memperoleh dukungan dari jejaring sosial, keluarga dan temanteman mereka. Pengalaman selama mengikuti konseling di klinik VCT, responden terutama kelompok kasus akan lebih bisa memberikan dukungan kepada keluarga yang menderita HIV. 3.Dorongan Pimpinan TNI AL Proporsi kasus HIV dengan dorongan pimpinan TNI AL bernilai kurang (20,5%), sedangkan yang bernilai baik (47,2%0. Pada kelompok kontrol lebih banyak dengan nilai kurang (79,5%) Dorongan pimpinan TNI AL memiliki hubungan bermakna dengan status HIV dengan p=0.16; p<0,25 OR=1,288 (95% CI 0,104<OR<0,797). Berarti dorongan pimpinan TNI AL bernilai kurang memiliki peluang 1,288 terhadap terjadinya HIV dibandingkan dengan responden yang memiliki dorongan pimpinan TNI AL bernilai baik. pada responden. Pimpinan TNI AL memberi dukungan secara tidak langsung kepada responden yang dikomunikasikan melalui suaminya untuk disampaikan kepada isterinya. 169 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) 4. Dorongan Yalasenastri Proporsi kasus HIV pada responden dengan dorongan Yalasenastri bernilai kurang (20%), sedangkan yang bernilai baik (40%). Pada kelompok kontrol lebih banyak memiliki dorongan Yalasenastri bernilai kurang(20%) dan yang bernilai baik (30% ).pada kelompok kasus lebih banyak dengan nilai baik yaitu (80%). Kelompok kontrol memiliki dorongan Yalasenastri lebih banyak bernilai baik yaitu (60%). Variabel dorongan yalasenastri memiliki hubungan bermakna dengan status HIV responden p = 0,089 (p<0,25). Nilai OR didapatkan 0,375 (95% CI 0,121<OR<1,163) berarti dorongan Yalasenastri memiliki peluang 0,375 lebih besar terhadap terjadinya HIV pada responden. Kegiatan Yalasenastri yang telah terstruktur memungkinkan kegiatan sampai menjangkau seluruh isteri anggota TNI AL terutama yang memiliki masalah seperti pada responden. 5. Ajaran Agama Proporsi kasus HIV responden dengan variabel melaksanakan ajaran agama bernilai kurang hanya (8,7%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (72,4%). Kelompok kontrol dengan variabel melaksanakan ajaran agamanya bernilai kurang (91,3%). Hal ini kemungkinan justru pada kelompok kasus dengan kondisi sakitnya memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan ajaran agamanya, selain itu jalan akhir untuk minta kesembuhan penyakitnya umumnya dari Tuhannya. Melaksanakan ajaran agama memiliki hubungan yang bermakna dengan status HIV responden P=0,000 (p<0,25) dan nilai OR=0,36 (95% CI 0,010<OR<0,134) berarti melaksanakan ajaran agama berpeluang lebih besar 0,36 terhadap terjadinya penularan HIV pada responden 6.Diskriminasi Proporsi kasus HIV responden dengan variabel diskriminasi pada status HIV suami bernilai kurang hanya (7%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (68,8%).Diskriminasi pada status HIV suami pada kelompok kontrol lebih banyak bernilai kurang (93%) Variabel 170 diskriminasi pada status HIV suami memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya HIV p=0,000 (p<0,25) dan nilai OR = 0,055 .(95% CI 0,008<OR<0,137) berarti diskriminasi pada status HIV suami memiliki peluang lebih besar 0,055 terhadap terjadinya penularan HIV pada responden. Diskriminasi dalam kuesioner penelitian ini berorientasi kepada perlakuan isteri pada suaminya yang HIV positif. Adanya nilai kurang pada kelompok kontrol memungkinkan pada kelompok kontrol masih belum menerima kondisi suami yang HIV positif. Sedang pada kelompok kasus mereka sudah di konseling sehingga sudah menerima kondisi suaminya. C. Faktor Pemungkin 1.Akses ke Pelayanan Kesehatan Proporsi kasus HIV dengan variabel Akses ke layanan kesehatan bernilai kurang (32,3%), sedangkan yang bernilai baik (34,1%). Kelompok kontrol dengan variabel akses ke layanan kesehatan bernilai kurang lebih banyak (67,7%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (65,9%).Variabel akses ke layanan kesehatan memiliki hubungan tidak bermakna p=0,617 (p>0,25) dan nilai OR= 0,777 (95% CI 0,346<OR<2,447). Pada responden telah ditentukan dalam kriteria inklusi berdomisili di Surabaya atau dilingkungan garnisun Surabaya, sehingga responden tidak terlalu sulit untuk menjangkau klinik VCT RSAL DR Ramelan dimana penelitian ini dilakukan. 2.Pergaulan dengan teman Proporsi kasus HIV responden dengan variabel pergaulan dengan teman bernilai kurang lebih kecil (22,5%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (45,7%). Pada kelomok kontrol dengan variabel pergaulan teman beang lebih banyak (77,5%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (54,3%). Kelompok kontrol dibandingkan kelompok kasus kemungkinan lebih jarang mendapatkan konseling karena kemungkinan lebih jarang mendatangi klinik VCT. Hal ini memungkinkan bisa bersosialisasi dengan sesama penderita HIV positif. Pergaulan dengan teman memiliki Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 hubungan bermakna secara statistik dengan status HIV p=0,063 (p<0,25) dan nilai OR = 0,375 (95% CI 0,127<OR<0,934) berarti responden dengan variabel pergaulan dengan teman berpeluang lebih besar 0,375 terhadap terjadi penularan HIV pada responden. 2. Pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Proporsi kasus HIV responden dengan variabel pemenuhan kebutuhan secara ekonomi bernilai kurang lebih kecil (32%) dibandingkan yang bernilai baik (36%). Kelompok kontrol dengan variabel pemenuhan kebutuhan secara ekonomi bernilai kurang lebih besar (68%) dibandingkan dengan yang bernilai baik (64%). Kebutuhan secara ekonomi tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian HIV pada responden p=0,931; p>0,25. OR=0,837 (95% CI 0,305<OR<2,297) Analisis Multivariat Analisis Multivariat dalam penelitian ini menggunakan regresi logistik ganda dengan model prediksi. Pemodelan dengan tujuan untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Pada analisis Multivariat ini akan diseleksi variabel yang memiliki nilai P>0.25 berdasarkan uji Bivariat. Dalam uji regresi logistik berganda ini variabel yang masuk adalah variabel pengetahuan, keyakinan menanggulangi HIV, Nilai tentang keadilan gender, dorongan dari Toga dan Toma, dorongan keluarga, dorongan pimpinan TNI AL, dorongan Yalasenastri, diskriminasi, melaksanakan ajaran agama, dan pergaulan dengan teman. Variabel yang dikeluarkan dari model uji Multivariat adalah variabel akses ke pelayanan kesehatan dan variabel pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Hasil akhir dari uji Multivariat didapatkan bahwa variabel yang paling mempengaruhi adalah variabel dorongan Toga dan Toma p=0,000(p<0,05) Tabel 1 , Analisis Bivariat (chi square) faktor yang mempengaruhi terjadinya HIV pada isteri dari anggota TNI-AL HIV positif di klinik VCT RSAL Dr Ramelan Surabaya NO VARIABEL n 1 KASUS % n KONTROL % SIG OR (95%CI) Faktor predisposisi Pengetahuan BAIK KURANG 19 6 42,5 20 26 24 57,8 80 0,080 Keyakinan menanggulangi HIV BAIK KURANG 23 2 60,5 5,4 15 35 39,5 94,6 0,000 Nilai tentang gender BAIK KURANG 5 20 19,2 40,8 21 29 80,8 59,2 0,103 0,345 (0,1121,068) Faktor pendorong Toga, Toma BAIK KURANG 22 3 75,9 6,5 7 43 24,1 93,3 0,000 BAIK KURANG 19 6 51,4 15,8 18 32 48,6 84,2 0,002 Pimpinan TNI AL BAIK KURANG 12 8 47,2 20,5 19 31 52,8 79,5 0,016 Yalasenastri 20 5 49 20 30 20 60 80 0,141 0,022 (0,0050,094) 0,178 (0,060,525) 0,288 (0,1040,797) 2,667 (0,0608,268) Keluarga 2 BAIK KURANG 2,923 (1,0008,543) 0,037 (0,0080,178) 171 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) 3 Melaksanakan ajaran agama BAIK KURANG 22 3 73,3 6,7 8 42 26,7 93,3 Diskriminasi terhadap suami dengan HIV positif BAIK KURANG 20 5 69 10,9 9 41 31 89,1 16 9 35,6 30 29 21 64,4 70 0,617 16 9 44,4 23,1 20 30 55,6 76,9 0,053 9 16 36 32 16 34 64 68 0,931 Faktor pemungkin Akses ke pelayan kesehatan BAIK KURANG Pergaulan dengan teman BAIK KURANG Pemenuhan kebutuhan secara ekonomi BAIK KURANG 0,000 0,000 0,026 (0,00060,104) 0,055 (0,0160,185) 0,375 (0,1391,013) 0,375 (0,1391,013 1,195 (0,4153,282) Tabel 2. Analisis Multivariat faktor yang mempengaruhi terjadinya HIV pada isteri dari anggota TNI-AL HIV positif di klinik VCT RSAL Dr Ramelan Surabaya Variabel No Variabel Independen Sig OR dependen 1 Dorongan Toga dan Toma 0,000 0.056 (1) Status HIV 2 Diskriminasi terhadap status 0,004 0,109 HIV suaminya (1) Pembahasan A. Karakteristik Sosiodemografi Responden 1. Umur Umur responden secara biologi terbanyak pada umur produktif. Pada umur ini responden masih bisa hamil dan punya anak. Salah satu cara penularan HIV adalah melalui air susu dan dari jalan lahir dari ibu yang terinfeksi HIV (Mahdiana, 2010), oleh karena itu responden kelompok kasus harus mempertimbangkan apabila ingin hamil. Salah satu pencegahan penularan bagi penderita HIV adalah mencegah kehamilan. Secara umum, pada umur tertentu seseorang memiliki perilaku tertentu yang bisa mempengaruhi kesehatannya, misalnya kebiasaan keluar malam, minum minuman keras dan ke klub malam yang berujung ke WPS. Sebagai seorang suami atau laki-laki perilaku tersebut bisa berdampak pada pasangannya. Hal ini diperkuat oleh responden pada wawancara mendalam bahwa 172 terinfeksi HIV positif berawal dari minum minuman keras, ke WPS dan seks bebas, seperti dituturkan oleh empat orang responden, dan salah satunya menuturkan berikut ini : “Saya diajak senior minum miras dan habis itu ke perempuan. Tadinya saya hanya minum saja tapi lama-lama mau juga” (DVT) 2. Agama Agama responden kebanyakan adalah beragama islam. Dalam ajaran agama Islam antara lain tidak boleh menolak ketika suami minta berhubungan seks, suami dipandang sebagai Iman dalam rumah tangga yang harus diikuti kemauannya. Suami sebagai Iman dalam hal ini sudah melanggar ajaran agama, yaitu tidak jujur kepada isterinya bahwa dirinya telah berisiko kena HIV. hasil wawancara mendalam, beberapa suami menyatakan perlunya untuk penyegaran rohani agar tidak terpengaruh perilaku yang negatif. Hal ini diperkuat oleh isteri mereka, Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 juga mengharapkan adanya pembekalan rohani agar suaminya tidak berbuat macammacam. Seperti yang diutarakan salah satu responden berikut ini : “Suami diharapkan bisa disadarkan dan bisa berubah Tingkah lakunya. Dari dinas diharapkan memberikan bimbingan rohani, karena ada peraturan ya tetep dilanggar” (Ny. WLN) Kurangnya penyegaran rohani juga dinyatakan oleh salah satu suami responden bahwa selama penugasan di kapal tidak ada penyegaran rohani. Penyegaran rohani dilaksanakan di pendirat (satuan kerja TNI AL yang ada di darat) dan diikuti oleh perwakilan dari kapal saja, seperti penuturan berikut ini : “Iman harus kuat buk, harus ada campur tangan perwira rohani (paroh), paroh itu buk adanya hanya ada di pendirat, Pendalaman iman dengan mengundang ustad yang terkenal; Kalau ada ceramah agama itu adanya hanya di pendirat dan dihadiri oleh perwakilan saja, lima sampai tujuh orang, di kapal tidak ada siraman rohani” (Bpk IWT) Hal ini menunjukkan kebutuhan mereka untuk mendapat penyegaran rohani ketika berlayar. Pada hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan dengan terjadinya penularan HIV pada responden, namun demikian berdasarkan hasil wawancara mendalam didapatkan perlunya penyegaran rohani untuk menguatkan keimanan mereka. 3. Suku Sebagian besar responden berasal dari suku jawa. Suku dari responden tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV Pada waktu penelitian responden sudah menjadi penduduk di Surabaya, walaupun pengakuan responden berasal dari suku jawa tetapi kemungkinan responden sudah terpengaruh dengan budaya suku di Surabaya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. 4. Pekerjaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden sebagian besar tidak bekerja. Pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV. Responden yang tidak bekerja, lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengurus rumah tangga mereka. Sebagai istri anggota TNI AL sering ditinggal suami berlayar dengan waktu yang lama, mereka disamping sebagai ibu rumah tangga juga menggantikan peran suaminya untuk mengurus rumah tangga. Hal ini menyebabkan waktu mereka tersita untuk urusan rumah tangga dan hampir tidak punya waktu luang untuk bertemu teman untuk berdiskusi. Responden bertemu temannya sama-sama sebagai ibu rumah tangga sehingga untuk menambah wawasan sangatlah kurang. Informasi mengenai HIV sebenarnya bisa didapatkan dari membaca maupun berdiskusi dengan temannya. 5. Pendidikan Pendidikan responden lebih banyak berpendidikan SMP dan SMA, Pada kelompok kontrol didapatkan responden berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Pendidikan responden merupakan pendidikan umum yang tidak ada materi pembelajaran mengenai HIV. Green dan rekan-rekannya menganalisis kebutuhan kesehatan komunitas dengan cara menetapkan lima diagnosis berbeda, salah satunya adalah diagnosis pendidikan.Sesuai perspektif perilaku, pendidikan memberi penekanan pada faktor predisposisi, faktor pendorong dan faktor pemungkin. Faktor pendidikan dan organisasi menguji hubungan antara kondisi perilaku dan lingkungan dengan status kesehatan atau kualitas hidup untuk menentukan apa penyebabnya. Pada penelitian ini yang menjadi awal penyebab terjadinya penularan adalah suami responden. Kondisi perilaku suami yang tidak sehat yaitu sering minum minuman keras dan melakukan seks bebas mempengaruhi kualitas hidup mereka.Pendidikan mengenai HIV diperlukan bagi responden maupun suami agar mereka bisa mendiagnosis perilaku kesehatan mereka sendiri. 6. Penggunaan obat terlarang Responden tidak ditemukan pernah menggunakan obat terlarang dengan 173 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) suntikan. TNI AL melarang anggota dan keluarganya menggunakan obat terlarang atau Narkoba. Sangsi pelanggaran peraturan penggunaan obat terlarang bagi anggota sangat berat yaitu bisa dikeluarkan dari dinas. Bagi keluarga yang menggunakan maka sangsi juga akan berdampak pada anggota. Beratnya sangsi yang ada maka penggunaan Narkoba di lingkungan TNI jarang ditemukan. 7. Riwayat perkawinan Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus terdapat 2 orang memiliki riwayat perkawinan kedua dan ketiga. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak merupakan perkawinan pertama. Penualaran HIV pada responden tidak diketahui apakah penularan berasal dari suami sekarang atau suami terdahulu. Riwayat perkawinan pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penularan pada responden. Perkawinan memiliki kehidupan rumah tangga antara sumai, isteri dan keluarga yang lain. Dalam rumah tangga tersebut terjadi komunikasi antara anggota keluarga. Aplikasi komunikasi dalam keluarga berkaitan dengan fokus pemahaman diri dari para anggota keluarga. (Ruben, 1988; Hinde & Hinde 1988 dalam Puspitawati 2009). Salah satu pola komunikasi yang sangat dikuasai perempuan adalah menggunakan bahasa tubuh. Perempuan umumnya pandai menggunakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi yang ampuh dan memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mendapatkan keinginannya. Mereka juga pandai menyembunyikan perasaan dan membungkusnya dalam kemasan keluhan sehingga melibatkan pasangannya untuk menyelesaikannya (Surbakti, 2008). Sifat komunikasi yang dimiliki perempuan demikian justru merugikan perempuan sendiri. Pada responden dengan suami HIV positif tidak perlu menggunakan komunikasi tersembunyi atau menggunakan bahasa tubuh. Perempuan diharapkan berterus terang mengkomunikasikan kepada suaminya maupun sumai kepada isterinya. Pada wawancara mendalam didapatkan beberapa responden menginginkan suami 174 segera memberitahu kepada isterinya kalau positif HIV, sehingga bisa dicegah penularannya sedini mungkin, seperti penuturan salah satu responden berikut ini : “Apabila suami positif, istri wajib mengetahui, supaya bisa mengantisipasi atau mencegah penularan kepada anak-anak” (NY WLN) Pola komunikasi laki-laki lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan rasional daripada emosional, laki-laki lebih dianggap tegas, terus terang, berani, dan rasional. Rasionalisasi komunikasi dalam rumahtangga juga menyebabkan peristiwa komunikasi kehilangan sukma. Bagaimanapun, pola komunikasi dalam rumahtangga pasti selalu dibumbui oleh unsur-unsur yang melibatkan emosional, hal ini dikarenakan ikatan suami istri tidak didasarkan pada ikatan formal berdasarkan kontrak hukum, melainkan didasarkan pada komitmen yang melibatkan jiwa dan raga. Rasionalisasi pola pikir menyebabkan lakilaki lebih sering menyembunyikan dan memikul sendiri beban pikiran dan perasaannya daripada kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan budaya dan tradisi yang selalu menempatkan kaum lakilaki pada posisi yang kuat, tangguh, jantan, tidak mudah mengeluh, dan berani menghadapi tantangan. Pandangan ini menyebabkan suami tidak berani berterus terang untuk mengungkapkan ketakutan, kegelisahan, ketidakberdayaan maupun kekhawatirannya (Surbakti, 2008). 8. Pangkat suami Pangkat suami didapatkan terbanyak adalah berpangkat Tamtama. Pangkat tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Golongan kepangkatan menentukan pendapatan anggota TNI AL. Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa pada umumnya penghasilan atau gaji suami diserahkan hampir semua pada isterinya, seperti diutarakan oleh salah salah satu ibu, sebagai berikut : “Cukup buk, anak-anak masih kecil mungkin belum butuh biaya banyak kali ya” (Ny.DMNT) Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 Secara umum kebutuhan rumah tangga sekarang menjadi kebutuhan yang konsumtif. Pendapatan atau gaji yang terbatas dimungkinkan kebutuhannya menjadi tidak terpenuhi atau kurang. Hal ini diperparah dengan suami yang berhubungan dengan WPS yang mengeluarkan beaya. B. Hubungan terjadinya penularan HIV Dengan Berbagai Variabel a. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan faktor predisposisi. Faktor predisposisi yang mempengaruhi kejadian HIV dalam penelitian ini terdiri dari variabel pengetahuan, keyakinan dan nilai terhadap keadilan gender. 1. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan pengetahuan Pada penelitian ini didapatkan pada kelompok kasus lebih banyak memiliki pengetahuan baik. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan terjadinya penularan HIV responden. Responden dalam penelitian ini merupakan pasien di klinik VCT RSAL Dr Ramelan Surabaya. Mereka sudah menjalani konseling sehingga mereka sudah mendapatkan pengetahuan mengenai HIV. Pengetahuan responden tidak diketahui apakah menjadi penyebab terjadinya HIV, karena penelitian ini dilakukan pada saat responden sudah menjalani konseling. Salah satu tujuan konseling adalah pencegahan penularan HIV yaitu dengan menyediakan informasi tentang perilaku berisiko (seperti seks aman atau penggunaan jarum bersama) dan membantu orang dalam mengembangkan ketrampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek lebih aman. Adapun pencapian tujuan konseling dapat dilaksanakan dengan menyediakan informasi terkini tentang prevensi , terapi dan perawatan HIV-AIDS (Gunung, 2003). Memperoleh pengetahuan merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri. Menurut Rogers (1959), manusia memiliki satu motif dasar, yaitu kecenderungan untuk mengaktualisasi diri. Kecenderungan ini adalah keinginan untuk memenuhi potensi yang dimiliki dan mencapai tahap „human- beingness’ yang setinggi-tingginya. Seperti bunga yang tumbuh sepenuh potensinya, jika kondisinya tepat, tetapi masih dikendalikan oleh lingkungan, manusia juga akan tumbuh dan mencapai potensinya jika lingkungannya cukup bagus. Namun tidak seperti bunga, potensi yang dimiliki manusia sebagai individu bersifat unik. Manusia ditakdirkan untuk berkembang dengan cara yang berbeda-beda sesuai kepribadian kita. Proses penilaian (valuing process) bawah sadar memandu kita menuju perilaku yang akan membantu kita mencapai potensi yang kita miliki. Proses penilaian bisa terganggu oleh aturan-aturan sosial yang terlalu keras dan konsep diri yang buruk. Rogers percaya, manusia pada dasarnya baik hati dan kreatif. Mereka menjadi destruktif hanya jika konsep diri yang buruk atau hambatan-hambatan eksternal mengalahkan proses penilaian. Pada responden dengan datang dan menerima konseling di klinik VCT merupakan salah satu sarana untuk aktualisasi diri sehingga responden memiliki potensi diri setinggitingginya. Hal ini membantu responden untuk menghadapi pengaruh lingkungan sekuat-kuatnya. 2. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel keyakinan mengatasi masalah HIV Pada penelitian ini didapatkan justru pada kelompok kasus memiliki keyakinan menanggulangi masalah HIV lebih banyak bernilai baik dibandingkan dengan kelompok kontrol.Keyakinan mengatasi masalah HIV memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Keyakinan menanggulangi masalah HIV merupakan faktor predisposisi atau sering disebut sebagai faktor yang berkaitan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk melakukan segala tindakan. Menurut teori HBM (Health Belief model) ( Green, L.) bahwa seseorang akan melakukan tindakan tertentu karena adanya keyakinan bahwa kemungkinan sakit yang terjadi pada dirinya. Seseorang akan mempridiksi tingkat keparahan apabila menderita penyakit tertentu, sehingga dia akan mencari pencegahan dengan pendektesian dini. Ada 175 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) tiga faktor esensial dalam teori HBM antara lain bahwa kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan. Adanya dorongan dalam lingkugan individu yang membuatnya merubah perilaku. Pada kelompok kasus yang telah mengikuti konseling sudah terjadi perubahan perilaku. Responden kelompok kasus telah memiliki kesiapan secara individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan. 3. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel nilai tentang keadilan gender. Nilai tentang keadilan gender pada penelitian ini didapatkan bahwa kelompok kontrol memiliki nilai baik lebih banyak sedangkan kelompok kasus memiliki nilai kurang lebih banyak. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai tentang keadilan gender dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial yang berkembang di dalam masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun-temurun. Dalam perkembangannya konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan yang dipayungi konstruksi sosial, nilai-nilai, dan adat istiadat secara faktual menghasilkan ketidakadilan yang terlihat pada beberapa fakta antara lain sejak lahir adanya penghargaan yang berbeda terhadap anak yang lahir laki-laki atau perempuan; Di dalam pembagian wilayah kerja antara suami dan istri, suami mencari nafkah di luar rumah (sektor publik), sedangkan istri melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga (sektor domestik). Pembagian kerja ini tidak melahirkan penghargaan sosial yang sama, karena suami sebagai pihak yang memperoleh uang dan mempunyai kekuatan ekonomi, maka kerap kali istri hanya dianggap sebagai pendamping, bukan mitra sejajar yang telah mewakili suami di sektor publik. Hal ini tercermin dalam ungkapan, “Pekerjaan rumah tangga yang lebih ringan dibandingkan pekerjaan di kantor” dan sebagainya; Ketidakadilan gender 176 menimbulkan permasalahan antara lain pelecehan seksual, diskriminasi, marginalisasi, serta stereotipe (pelabelan negatif terhadap perempuan) Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sector publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya (Ratna Megawangi, 1999) . Pada kasus HIV pada responden diperlukan hak bertindak yang otonom sehingga responden bisa menentukan kehidupan seks nya tanpa ada pemaksaan dari suami. C. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan faktor pendorong. Pada penelitian ini faktor pendorong yang diteliti terdiri dari beberapa variabel yaitu dorongan dari Toga dan Toma, dorongan keluarga, dorongan Pimpinan TNI AL, dorongan Yalasenastri, melaksanakan ajaran agama, dan diskriminasi 1. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel dorongan Toga dan Toma Pada penelitian ini dorongan dari Toga dan Toma didapatkan, pada kelompok kontrol lebih banyak bernilai kurang dan pada kelompok kasus banyak bernilai baik. Dorongan dari Toga dan Toma memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Responden pada saat dilakukan penelitian telah mendapatkan konseling dari klinik VCT RSAL Dr ramelan Surabaya. Dorongan dari Toga dan toma diberikan melalui sarana komunikasi yang berisi nasehat, ajakan, dan bahkan penyampaian masalah agama. Keberhasilan dorongan dari Toga dan Toma sangat ditentukan oleh komunikasi Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 keduabelah pihak yaitu antara responden dengan Toga dan Toma. Gode (dalam Wiryanto, 2004: 6) memberikan pengertian mengenai komunikasi sebagai suatu proses yang membuat kebersamaan bagi dua atau lebih yang semula dimonopoli oleh satu atau beberapa orang. Raymond S. Ross (dalam Wiryanto, 2004) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih dan mengirim simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksud oleh sang komunikator.Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini, atau pandangan/prilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan maksud dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif. Shannon & Weaver (dalam Wiryanto, 2004: 7), bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. Menurut Effendy (1992) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh si penyampai. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklarifikasikan pada efek Kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, diperpsepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/ratio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikasi. Efek Afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya. Efek Konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola–pola tindakan, kegiatan kebiasaan atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berprilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah). Komunikasi memang menyentuh semua aspek kehidupan bermasyarakat, atau sebaliknya semua aspek kehidupan bermasyarakat menyentuh komunikasi. Justru itu orang melukiskan komunikasi sebagai ubiquitos atau serba hadir. Artinya komunikasi berada di manapun dan kapan pun juga bisa menimbulkan suatu akibat (Hamid farid) Akibat tersebut terlihat pada responden kelompok kasus, walaupun mereka positif HIV namun demikian mereka mendapatkan dampak dari komunikasi Toga dan Toma. Mereka lebih menyiapkan dirinya untuk menghadapi penyakitnya dengan dorongan dari Toga dan Toma. Hal ini juga diperkuat oleh suami responden yang menyatakan bahwa sejak dinyatakan sakit justru lebih meningkatkan keimananya, seperti diutarakan oleh salah satu responden : “Hikmah dari sakit suami semakin kuat beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Allah, sholat, dan mengaj” (Ny.DMNT) 2. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel dorongan keluarga Hasil penelitian didapatkan dorongan keluarga pada kelompok kontrol memiliki nilai kurang lebih banyak, sedangkan pada kelompok kasus didapatkan lebih banyak bernilai baik. Terdapat hubungan antara dorongan keluarga dengan status HIV responden. Dorongan keluarga yang diberikan salah satunya dapat berupa pemberian rasa nyaman yang diciptakan keluarga bisa menjadi pendorong untuk mencegah terjadinya HIV. Banyak hal yang bisa menimbulkan rasa nyaman didalam keluarga sesuai kebutuhan manusia. Menurut Rogers setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain, dalam hal ini adalah dari anggota keluarga. Kebutuhan ini disebut need regard, yang terbagi lagi menjadi dua yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak 177 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) bersyarat). Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya (unconditional positive regard) dimana anak akan dapat mengembangkan potensinya untuk dapat berfungsi sepenuhnya. Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan positif bersyarat conditional positive regard), dimana dia akan mencela diri, menghindari tingkah laku yang dicela, merasa bersalah dan tidak berharga. Rogers mengembangkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Hal ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga dia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan. Dalam penanganan kasus HIV perlu adanya rasa mencintai tanpa syarat sehingga diharapkan penderita HIV akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya. Pemberian penghargaan kepada penderita HIV oleh keluarganya, diharapkan penderita tersebut memiliki kepercayaan diri penuh sehingga kemungkinan akan memberikan semangat untuk mengatasi penyakitnya. 3. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel dorongan dari pimpinan TNI AL Dorongan dari pimpinan TNI AL dalam penelitian ini didapatkan, pada kelompok kontrol memiliki nilai kurang, sedangkan pada kelompok kasus didapatkan lebih banyak nilai baik. Dorongan dari pimpinan TNI AL memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Dalam penelitian ini responden merupakan istri dari anggota TNI AL HIV positif. Secara kedinasan para istri tidak berhubungan langsung dengan pimpinan TNI AL. Adanya dorongan dari pimpinan sering tidak dikomunikasikan langsung dengan para istri. Biasanya dorongan disampaikan atau dikomunikasikan melalui suami atau organisasi para istri. Komunikasi merupakan aktifitas yang paling esensial dalam kehidupan manusia. Keberhasilan seseorang 178 dapat dilihat dari ketrampilannya dalam bekomunikasi. Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Komunikasi amat erat hubungannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia, atau dengan kata lain ilmu komunikasi juga berkaitan dengan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (Hamid Farid). Adanya komunikasi yang tidak disampaikan secara langsung maka akan mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam hal ini dorongan pimpinan TNI AL kepada para istri anggota TNI AL positif HIV. Pesan yang tidak disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan akan menghasilkan perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan pimpinan TNI AL. Dalam hal perilaku yang berhubungan dengan penanggulangan masalah HIV yang diderita. Kemungkinan menyebabkan istri anggota TNI AL (HIV positif) yang masih negatif masih kurang menerima kondisi suaminya yang positif HIV. Pada responden kelompok kasus, mereka telah memiliki pengalaman mengenai penyakitnya sehingga adanya dorongan dari pimpinan TNI AL dapat mengatasi penyakitnya dan bisa merubah perilaku untuk mengatasi penyakitnya. 4. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel dorongan dari Yalasenastri Dorongan dari yalasenastri dalam penelitian ini, pada kelompok kontrol banyak memiliki nilai kurang. Sedang pada kelompok kasus banyak bernilai baik. Dorongan dari Yalasenastri memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Hal ini sama yang terjadi pada dorongan dari pimpinan TNI AL. Yalasenastri merupakan organisasi isteri dari anggota TNI AL yang terstruktur pengurusannya, memiliki program kerja yang tersusun dalam program kerja tahuan. Salah satu seksi adalah seksi budaya dan sosial yang memiliki kegiatan salah satunya adalah memberikan support dan santunan kepada anggota dan keluarga yang menderita sakit. Pada penderita HIV positif tidak semua kelihatan sakit, dukungan diberikan melalui Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 ceramah kesehatan untuk menambah pengetahuan anggotanya. 5. Hubungan terjadinya penularan HIV dengan variabel diskriminasi Pada penelitian ini didapatkan faktor diskriminasi pada kelompok kontrol banyak bernilai kurang, sedang pada kelompok kasus didapatkan nilai diskriminasi banyak bernilai baik. Diskriminasi pada penelitian ini memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. UNAIDS mendefinisikan stigma dan diskriminasi terkait dengan ciri negatif yang diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tidakan yang tidak wajar dan tidak adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV nya. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk menghadapi stigma dan diskriminasi adalah menjadi contoh yang baik, menerapkan apa yang sudah diketahui, memikirkan kata-kata yang kita gunakan dan bagaimana memperlakukan ODHA, lalu mencoba untuk merubah pikiran dan tindakan, berbagi dengan orang lain mengenai hal-hal yang sudah kita ketahui dan ajakan mereka untuk membicarakan tentang stigma dan bagaimana mengubahnya, mengatasi masalah stigma ketika berada dirumah, tempat kerja maupun masyarakat, bicara dan mengatakan masalahnya dan membuat orang paham bahwa stigma itu melukai, melawan stigma melalui kelompok, setiap kelompok dapat menemukan stigma dalam situasi mereka sendiri dan setuju untuk melakukan satu atau dua tindakan praktis agar terjadi perubahan, mengatakan stigma sebagai sesuatu yang salah atau buruk tidaklah cukup, buatlah orang untuk bertindak melakukan perubahan, setuju pada tindakan yang harus dilakukan, mengembangkan rencana dan melakukannya, berpikir besar, mulai dari yang kecil dan bertindak sekarang Diskriminasi merupakan faktor pendorong terjadinya perilaku tertularnya HIV. Lingkungan sosial atau masyarakat dapat mendorong tindakan individu untuk bekerja sama atau bergabung dengan kelompok yang membuat perubahan. Dukungan tersebut antara lain bisa dari anggota masyarakat. Apabila terjadi diskriminasi dari anggota masyarakat terhadap orang HIV positif maka orang tersebut tidak bisa bergabung dan dengan sendirinya tidak bisa membuat perubahan. Pada kelompok kasus sudah memiliki pengalaman dengan sakitnya sehingga resonden kelompok kasus lebih bisa memberlakukan suaminya dengan cirri yang positif. 6. Hubungan kejadian HIV dengan variabel melaksanakan ajaran agama. Melaksanakan ajaran agama pada kelompok kontrol banyak bernilai kurang, sedang pada kelompok kasus banyak bernilai baik. Variabel melaksanakan ajaran agama memiliki hubungan secara bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Kelompok kasus bernilai baik untuk melaksanakan ajaran agamanya, hal ini disebabkan kemungkinan dengan status HIV nya responden memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan ajaran agamanya. Penyakit HIV tidak bisa disembuhkan oleh karena itu jalan akhir pada umumnya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. D. Hubungan kejadian HIV dengan faktor pemungkin Faktor pemungkin terdiri dari variabel akses ke pelayanan kesehatan, pergaulan dengan teman, dan pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. 1.Hubungan kejadian HIV dengan variabel akses ke pelayanan kesehatan Hasil untuk variabel akses ke pelayanan kesehatan pada kelompok kontrol lebih banyak bernilai kurang, dan pada kelompok kasus banyak bernilai baik. Akses ke pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Responden pada kelompok kasus berdomisili di Surabaya, dan mereka sudah rutin datang ke klinik VCT RSAL Dr Ramelan Surabaya. Pada kelompok kontrol mereka lebih jarang ke klinik VCT RSAL Dr Ramelan, hal ini diperkuat pada wawancara mendalam bahwa menurut petugas di klinik VCT RSAL Dr Ramelan, kelompok kontrol ini memang malas untuk mendatangi klinik VCT tersebut. 179 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) 3. Hubungan kejadian HIV dengan variabel pergaulan dengan teman Pergaulan dengan teman pada penelitian ini, pada kelompok kontrol memiliki nilai kurang, sedang pada kelompok kasus memiliki nilai baik. Pergaulan dengan teman memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Pergaulan dengan teman menjadi faktor pemungkin terjadinya perubahan perilaku. Dalam pergaulan akan terjadi saling komunikasi antar teman. Komunikasi memiliki tujuan untuk menghasilkan suatu tindakan komunikasi efektif yaitu menyampaikan apa yang dipikirkan oleh pihak komunikator agar sama dengan apa yang dipikirkan oleh pihak komunikan. Komunikasi efektif menimbulkan lima hal yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, serta tindakan. Salah satu pengaruh komunikasi dengan teman adalah menimbulkan pengaruh sikap perilaku. Responden kelompok kasus tertular HIV karena dari suami. Suami bergaul dengan temannya, timbul komunikasi dan mengakibatkan rasa senang untuk mengikuti kebiasaan temannya yaitu minum minuman keras dan ke WPS. Berhubungan seks dilakukan karena suami tidak tahu status HIV nya. Oleh karena itu suami tidak sempat mengkomunikasikan status HIV nya lebih awal. Hal ini diperkuat pernyataan salah satu suami responden berikut ini : “Saya ketularan dari suami pada saat suami masuk rumah sakit dengan TBC paru-paru. Setelah itu dilakukan pemeriksaan suami positif HIV” (Ny.IDSs) 4. Hubungan kejadian HIV dengan variabel pemenuhan kebutuhan secara ekonomi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan secara ekonomi pada kelompok kontrol banyak yang bernilai kurang, sedang pada kelompok kasus banyak memiliki nilai baik . Pemenuhan kebutuhan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya HIV pada responden 180 Kebutuhan secara ekonomi diidentikkan dengan pendapatan suami yang diberikan kepada istrinya. Suami responden lebih banyak berpangkat golongan Tamtama dimana golongan pangkat ini merupakan golongan terendah di kepangkatan militer. Pangkat menentukan pendapatan atau gaji yang diperoleh sehingga dengan pangkat tamtama maka pendapatan suami responden juga rendah. Pendapatan yang rendah ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan secara ekonomi responden, apalagi bila perilaku suami mereka masih mempunyai kebiasaan menjajakan seks pada WPS. Hal ini didukung dengan hasil wawancara mendalam pada responden dan beberapa suami mereka. Mereka menyatakan bahwa hampir seluruh gaji diberikan kepada isteri. Seperti penuturan salah satu suami responden berikut ini “Buk walaupun saya tidak dilayani, gaji saya serahkan pada isteri semua buk, anak saya masih kecil”(Bpk SPR) Apabila suami mereka tetap menjajakan seks pada WPS maka pemenuhan kebutuhan secara ekonomi mereka bertambah parah. Analisis Multivariat Hasil analisis multivariat pada penelitian ini diketahui variabel dorongan dari Toga dan Toma merupakan variabel yang paling fit mempengaruhi terjadinya penularanan HIV pada responden. Nilai OR nya adalah 0,056 OR<1 berarti bahwa dorongan dari Toga dan Toma memberikan perlindungan terjadinya penularan HIV pada responden. Dalam teori konsep diri dari Fisher (1987) menyebutkan bahwa pada umumnya orang cenderung menggolongkan dirinya dalam tiga kategori, yaitu karakteristik/sifat pribadi, karakteristik/sifat sosial dan peran sosial. Kita cenderung untuk memandang diri kita sebagai memiliki sifat internal tertentu yang kita gunakan untuk mmenjelaskan bagaimana kita berperan dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu konsep diri adalah Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 peran sosial yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam suatu masyarakat tertentu. Ketika peran sosial berperan sebagai konsep diri, maka kita mendefinisikan hubungan sosial kita dengan orang lain seperti ayah, istri, guru, polisi, eksekutif, dan sebagainya. Peran sosial ini bisa berbentuk afiliasi terhadap budaya, etnik, agama dan sebagainya. Karena konsep diri bisa berubah seiring dengan waktu, oleh karenanya stabilitas dari konsep diri ini sulit untuk diperkirakan. Dari teori tersebut menggambarkan bahwa peran hubungan kita dengan orang lain bisa memberi atau mendapatkan peran seperti ayah, istri, guru, polisi, eksekutif dan sebagainya. Salah satu bentuk peran sosial bisa memberikan afiliasi terhadap agama. Peran guru bisa meberikan pelajaran dan pengalaman sehingga bisa memberi perubahan bagi muridnya. Peran polisi bisa memberikan peran pengawasan dalam hal berperilaku. Bentuk afiliasi terhadap agama yaitu dalam hal tokoh agama bisa meberikan atau mengkomunikasikan ajaran agama yang dianutnya. Dalam penelitian ini responden hampir seluruhnya beragma Islam. Ustad sebagai tokoh agama yang dipandang memiliki kemampuan lebih dalam hal agama bisa mengkomunikasikan ajaran agama dari nabi Muchamad dengan segala simbolisasinya. Dorongan dari Toga dan Toma yang memiliki hubungan dengan perilaku kejadian penularan HIV pada responden ini tidak diketahui secara pasti apakah dilakukan sebelum menderita HIV atau sesudah dinyatakan HIV positif. Hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Analisis yang dilakukan pada kelompok kasus didapatkan hampir semua variabel memiliki nilai baik, yaitu pengetahuan, keyakinan menanggulangi masalah HIV, dorongan dari Toga dan Toma, dorongan keluarga, dorongan pimpinan TNI AL, dorongan Yalasenastri, melaksanakan ajaran agama, diskriminasi pada status HIV suami, dan pergaulan teman. The Health Belief Model (HBM) adalah kerangka konseptual untuk menjelaskan perubahan maupun mempertahankan perilaku kesehatan serta digunakan sebagai kerangka penunjuk untuk intervensi perilaku kesehatan. Health Belief Model (HBM) terdiri dari beberapa konsep penting yang dapat mempridiksi mengapa seseorang cenderung mencegah, menyaring, atau mengontrol segala kondisi penyakit termasuk kerentanan, keseriusan, manfat dan hambatan dari sebuah perilaku, segala petunjuk untuk bertindak, dan kemampuan diri. Jika seseorang sudah menganggap dirinya rentan terhadap suatu kondisi penyakit, maka kemungkinan kondisi itu menimbulkan akibat yang serius. Ada beberapa tindakan yang bermanfaat untuk mengurangi kerentanan dan keparahan suatu kondisi. Seseorang cenderung mengambil tindakan yang diyakini dapat mengurangi risiko. Pada kelompok kasus, responden mmenyadari adanya kerentanan terhadap kondisi HIV nya. Kondisi kelompok kasus kemungkinan menimbulkan akibat yang serius. Responden meyakini bahwa ada tindakan yang bermanfaat untuk mengurangi kerentanan atau keparahan penyakitnya. Tindakan responden pada kelompok kasus ditunjukkan dengan adanya nilai dari seluruh variabel dengan lebih banyak nilai baik. MODEL PENCEGAHAN PENULARAN PADA ISTERI DARI ANGGOTA TNI AL HIV POSITIF DI SURABAYA NEED ASSESSMENT Tahapan pemetaan intervensi pertama adalah need assessment atau mendiagnosa sosial dari isteri anggota TNI AL HIV positif. Karakteristik isteri dari anggota TNI AL HIV positif di RSAL Dr Ramelan Surabaya. Berdasarkan diagnosis tersebut dapat disimpulkan bahwa isteri anggota TNI AL lebih banyak berumur kurang dari 30 tahun, tergolong umur produktif. Hampir semua beragama Islam dan suku jawa. Suku Jawa dan agama Islam masing-masing mengajarkan untuk patuh dengan suami, sehingga kemungkinan para isteri dari anggota TNI AL HIV positif menuruti ajakan suami untuk memenuhi kebutuhan 181 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) seks nya.. Hal ini perlu adanya penguatan untuk para isteri agar kokoh dalam sikapnya untuk tetap mamakai kondom. a.Berdasarkan hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa : 1) Suami tidak berterus terang dengan HIV positif yang dialami sehingga hal ini memperlambat pencegahan penularan pada istrinya. 2) Suami mengakui bahwa sebelum HIV positif memiliki kebiasaan minum miras di tempat penugasan, dan setelah itu melakukan seks bebas dengan WPS 182 3) Tidak ada pengawasan ketat baik di mess maupun di kapal untuk penggunaan miras dan pelaksanaan chek up (uji pemeriksaan kesehatan) 4) Tidak pernah dilakukan penyegaran rohani di kapal, penyegaran rohani adanya di pendirat dan dihadiri oleh perwakilan anggota saja. b. Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang paling mempengaruhi terjadinya penularan HIV adalah dorongan dari Toga dan Toma. Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 MODEL PENCEGAHAN PENULARAN PADA ISTERI DARI ANGGOTA TNI-AL HIV POSITIF INTERVENTION LOGIC MODEL : STEPS 1-5 Resources (From Bartholemew et al., 2011, Figure 9.1) Implementation of program activities & material :penyluhan , ceramah, diskusi tentang HIV dan pencegaha nnya Penugasan menulis pengalama n pribadi Individual level (At-risk group) Teori perubahan perilaku (Theory of reasoned action) Teori perubahan perilaku (Theory of reasoned action) Change objectives (self efficacy,peng etahuan HIV, miras,penggu naan kondom, siraman rohani) Change objectives Personal determinants (faktor predisposisi dan pendorong) Personal determinants Performance objectives for atrisk group (isteri anggota TNI AL HIV Positif Performance objectives for agents for environmental change (sosial,masyaraka t,organisasi,interp ersonal) Environmental levels (Environmental agent) Program inputs Steps 4 & 5 Program development & implementation (Chaps. 7&8) Program outputs Logic of change Behavioral outcomes (peningkatan pengetahuan tentang HIV, Kesanggupan seks aman, membaca buku tentang HIV,menulis pengalaman dengan HIV) Health (istri positif HIV terhambat menjadi AIDS, yang negatif tidak tertular HIV) Quality of life improvement (Tidak terjadi kasus baru HIV, angka kematian terhambat/berkuran g) Environmental outcomes(peraturan miras,dukungan TogaToma,tersedian ya buku bacaan tentangHIV,dukunga norganisasi,kebijaka n chek up) Outcomes Steps 3 Steps 2 Steps 1 Theory informed methods & applications (Chap. 6) Develop matrices of objectives (Chap. 5) Needs assessment (Chap. 4) 183 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) Tabel 3. Penentuan metode praktis pencegahan penularan pada isteri dari anggota HIV positif NO KEGIATAN PELAKSANA Mereview rencana program Penanggung jawab program, 1 fasilitator, perwakilan peserta program Penyusunan matrik tujuan Dibuat oleh pelaksana masing-masing program program bersama dengan perencana program Menetukan metode dan Perencana program, fasilitator, strategi praktis perwakilan peserta program Menentukan tujuan Perencana program, fasilitator, perubahan yang akan perwakilan peserta program dicapai Menentukan media Perencanaprogram,fasilitator, perwakilan peserta 2 3 4 5 Identifikasi perilaku pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif Identifikasi permasalahan perilaku kesehatan dan usulan intervensi pada isteri anggota TNI AL adalah sebagai berikut : Tabel 4 Identifikasi masalah penularan HIV pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif IDENTIFIKASI Suami tidak mengkomunikasikan masalah HIV pada istrinya Melakukan seks tidak aman NO 1 2 INTERVENSI Self efficacy (kemampuan diri) Pemberian pengetahuan tentang penularan HIV 3 Suami melakukan minum miras Pemberian pengetahuan sebagai penyebab awal melakukan tentang bahaya miras seks tidak aman dengan WPS. 4 Tidak ada penyegaran rohani 5 Tidak ada pengawasan mengenai Upaya chek up dilakukan di chek up (uji pemeriksaan Kapal kesehatan) bagi anggota di kapal Pengawasan ketat chek up anggota Pemberian siraman rohani di kapal Tabel 5. Tujuan obyektif dari intervensi NO 1 2 184 IMPLEMENTASI TUJUAN OBYEKTIF Pembelajaran tentang kemampuan diri dengan cara bermain peran yang dipmpin oleh fasilitator (untuk suami di kapal) Pengetahuan penularan Untuk suami di Kapal dan istri di klinik HIV VCT Self efficacy Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 3 Pemberian pengetahuan tentang bahaya miras 4 Pemberian siraman rohani dan penguatan mental oleh pimpinan maupun dari psikolog 5 Upaya chek up dilakukan di Kapal Pengawasan ketat chek up anggota PEMBUATAN MATRIK SESUAI DENGAN TUJUAN PERUBAHAN. Matrik disusun berdasarkan tujuan perubahan yang telah ditetapkan. Penyusunan matrik disusun berupa tabel dengan menghubungkan antara masingmasing tujuan kerja dengan determinan perilaku kesehatan yang dapat meningkatkan kesehatan. Matrik tidak dibuat dalam model ini. Pembuatan matrik dilakukan oleh perencana program. Memilih metode intervensi terdiri dari metode teoritis dan metode praktis 1.Metode teori Teori yang digunakan dalam model pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL ini adalah menggunakan teori perubahan perilaku dari Theory of reasoned Action (Fishbein, 1967). Teori ini menjelaskan hubungan antara keyakinan (behavioral dan normative), sikap, intense, dan perilaku; Determinan paling penting dari perilaku adalah intense seseorang . Determinan langsung dari intense seseorang adalah sikap terhadap perilaku dan norma subyektif yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Sikap ditentukan oleh keyakinan individu tentang hasil atau Ceramah oleh fasilitator Diskusi kelompok Penugasan tulisan pengalaman pribadi pencegahan yang dilakukan Demonstrasi penggunaan kondom dan cara pemeliharaan kondom yang benar Ceramah oleh fasilitator Display video bahaya minuman keras Diskusi tanya jawab Pemberian siraman rohani di kapal dilakukan setiap hari Rabu dengan peserta anggota secara bergantian (menyesuaikan kapsitas long room anggota dan menyesuaikan tugas jaga) Pemberian penguatan mental dilakukan oleh Komandan dan bila memungkinkan oleh psikolog Pelaksanaan chek up di kapal Chek up dilakukan test HIV Ada sangsi ketat bagi anggota yang tidak chek up Pengawasan ketat oleh Perwira Kapal dibantu oleh Bintara kesehatan penghargaan atas perilaku yang dilakukan (behavioral befiefs) yang dipertimbangkan berdasar evaluasi atas hasil atau penghargaan tersebut. Dengan demikian seseorang yang mempunyai keyakinan kuat bahwa hasil bernilai positif akan diperoleh dari melakukan perilaku tertentu, akan mempunyai sikap positif terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai keyakinan kuat bahwa hasil bernilai negatif akan didapatkan dari melakukan perilaku tertentu, akan mempunyai sikap negatif terhadap perilaku tersebut. Norma subyektif seseorang ditentukan oleh keyakinan normatif (normative beliefs), apakah orang lain yang dianggap penting oleh individu tersebut setuju atau tidak setuju atas perilaku tersebut, akan mempengaruhi motivasi untuk patuh dengan orang lain tersebut. Dengan demikian seseorang yang percaya bahwa orang lain berharap individu tersebut seharusnya melakukan suatu perilaku, dan termotivasi untuk memenuhi harapan orang lain itu, akan mempunyai norma subyektif yang positif. Sebaliknya, seseorang yang mempercayai bahwa orang lain 185 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) menghendaki individu tersebut seharusnya tidak melakukan perilaku tersebut akan mempunyai norma subyektif yang negatif, dan seseorang yang kurang termotivasi untuk mematuhi orang lain akan mempunyai norma subyektif yang kurang relatif normal. Asumsi perilaku dari teori ini adalah bahwa individu merupakan rasional actors , berarti seluruh individu memproses informasi dan termotivasi untuk bertindak atas dasar proses tersebut. Teori ini juga berasumsi bahwa ada alasan-alasan tertentu yang menentukan motivasi seseorang untuk menjalankan suatu perilaku. Alasan-alasan tersebut dibuat atas keyakinan normatif dan perilaku seseorang, menentukan sikap dan norma subyektif tidak memandang apakah segala keyakinan tersebut rasional, logis, atau dibenarkan oleh beberapa standar obyektif. 2. Metode praktis yang digunakan Membuat Komponen dan Materi Program pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif Tabel 6 Pembuatan komponen dan materi program pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif NO 1. 2 3 4 KEGIATAN PELAKSANA Memilih desain materi program disesuaikan dengan budaya, dengan memperhatikan karakteristik peserta atau sasaran (bahas,pakaian, cirri khas warna) Menentukan kebutuhan sarana program dan menentukan beaya program Pembuatan Jadwal pemberian materi Perencana masing-masing program, fasilitator, perwakilan peserta Penanggung jawab , perencana, fasilitator, perwakilan program Perencana program, fasilitator, perwakilan peserta Review materi, uji coba materi, Perencana program produksi materi Perencanaan pemakaian, pelaksanaan, dan keberlangsungan program Perencanaan pemakaian, pelaksanaan dan keberlangsungan program pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif adalah sebagai berikut Tabel 7 NO 1 2 186 Perencanaan pemakaian, pelaksanaan dan keberlangsungan program pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif KEGIATAN PELAKSANA Advokasi dengan Karumkit dan Perencana program Kasatkes untuk pelaksanaan program pencegahan penularan HIV Penerbitan surat perintah kepada personil Karumkit RSAL Dr yang terlibat program Ramelan Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 3 Monitoring keberlangsungan program 4 Menyusun rencana evaluasi menentukan program selanjutnya. Karumkit, penanggung jawab, dan perencana program untuk Perencana program Perencanaan Evaluasi Perencanaan evaluasi disusun berdasarkan tujuan umum yang telah ditentukan Tabel 8 Rencana evaluasi program pencegahan penularan pada isteri dari anggota TNI AL HIV positif di Surabaya NO MATERI Waktu Sumber data INDIKATOR Jumlah penderita yang terdaftar di RSAL Dr Ramelan Surabaya Jumlah peningkatan anggota yang melakukan chek up 1 Kualitas Hidup: Infeksi HIV Kasus AIDS Kasus HIV baru 6 bulan 1 tahun Secara terus menerus Laporan medical record RSAL Dr Ramelan 2 Indikator kesehatan Anggota yang melaksanakan chek up 1bulan 3bulan 6bulan 1 tahun Hasil laporan Uji pemeriksaan kesehatanan (chek up) 3 Perilaku Penurunan prevalensi anggota yang minum miras Penurunan prevalensi penggunaan kondom Kondisi lingkungan Kunjungan ke WPS Penyimpanan miras di kapal 1bulan 3bulan 6 bulan 1 tahun Hasil laporan pelanggaran dari provost Jumlah pelanggaran minum miras di kapal Sidak provost minimal setiap kapal sandar Laporan sidak porovost Tidak ditemukan kunjungan ke WPS dan penyimpanan miras di kapal Kenaikan nilai yang didapat dari test sebelum dan sesudah program masing-masing peserta Pencapaian program berhasil dengan 4 5 Determinan Pengetahuan HIV Ketrampilan pemeliharaan dan penggunaan kondom 6 bulan (sebelum dan sesudah program berjalan) Hasil test formatif yang diberikan sebelum dan sesudah program berjalan 6 Tujuan Kerja Materi program Metode program Setelah selesai pelaksanaan masing- Kuesioner yang dibagikan kepada seluruh peserta 187 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) 7 Desain program Jadwal program Pelaksanaan program masing program program penilaian 75% Tujuan perubahan Penggunaan kondom setiap berhubungan seks dengan pasangannya Suaami tidak minum miras Setia kepada pasangan/tidak melakukan seks dengan WPS Penggunaan kondom dilaporkan setiap : 1 bulan 3bulan 6bulan 1tahun Suami tidak minum miras dan melakukan seks dengan WPS tidak diukur Hasil anamnesa petugas VCT Ada peningkatan permintaan kondom oleh isteri anggota TNI AL HIV positif yang terdaftar dan berkunjung di klinik VCT RSAL Dr Ramelan Surabaya. Simpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1.Karakteristik isteri anggota TNI AL HIV positif di RSAL Dr. Ramelan berumur produktif secara biologi. Memiliki pendidikan terbanyak SMP dan SMA, banyak yang tidak bekerja, berasal dari suku Jawa, dan suami mereka banyak berpangkat Tamtama. 2.Variabel dari faktor pendorong (pengetahuan, keyakinan menanggulangi masalah HIV, nilai tentang keadilan gender), Faktor pendorong (dorongan Toga Toma, keluarga, pimpinan TNI AL, Yalasenastri, melaksanakan ajaran agama, diskriminasi), faktor pemungkin (pergaulan dengan teman) memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada isteri anggota TNI AL HIV positif di RSAL Dr Ramelan Surabaya. 3.Faktor yang paling mempengaruhi perilaku terjadinya penularan HIV pada isteri anggota TNI AL HIV positif dalam penelitian ini adalah faktor pendorong dari Toga dan Toma. 4.Model pencegahan penularan HIV pada isteri dari anggota TNI AL di Surabaya disusun dengan materi pembelajaran pencegahan penularan HIV, minuman keras, 188 dan pencegahan HIV dari segi agama, metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Untuk Organisasi TNI AL a. Peraturan dan pengawasan membawa minum minuman keras di kapal perlu diperketat karena melakukan seks bebas selalu didahului dengan minum minuman keras. b. Perwira rohani ada di setiap kapal untuk memberikan penyegaran rohani anggota TNI AL yang bertugas layar c. Urikes (check up) bagi anggota secara rutin bisa dilaksanakan di kapal. d. Peningkatan pengetahuan mengenai HIV perlu diberikan secara terus menerus kepada seluruh anggota TNI AL di kapal karena sebagai pelaut merupakan kelompok berisiko terjadi penularan HIV 2. Untuk Institusi RSAL Dr Ramelan Surabaya a. Mengupayakan pelaksanaan urikes (check up) untuk anggota kapal dilaksanakan di kapal, hal ini berdasarkan temuan dari FGD yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 melaksanakan urikes karena banyak waktunya untuk berlayar. b. Memfasilitasi adanya peer group isteri dari anggota TNI AL HIV positif. 3. Untuk peneliti selanjutnya a. Penelitian lebih mendalam berkaitan dengan perilaku pencegahan HIV pada anggota TNI AL di daerah penugasan perlu dilaksanakan. b. Penelitian pencegahan dan penanggulangan HIV secara religi perlu dilakukan mengingat hasil penelitian ini ada hubungan yang kuat faktor doronagan dari Toga dan Toma dengan perilaku terjadinya penularan HIV pada isteri anggota TNI AL. --------------Masalah Gender Yang Berhubungan Dengan Penyakit HIV-AIDS http://www.google.co.id//masalah gender. Diakses tanggal 1 maret 2013 jam 22.10 DAFTAR PUSTAKA Harahap, J., dan Andayani, S.R. (2004). Pengaruh peer education terhadap pengetahuan dan Sikap mahasiswa dalam menanggulangi hiv/aids di universitas sumatera utara. USU digital library. (hal. 1) Irawan Andre, “Gender, HIV, dan Aids”. Pusat studi Gender Universitas Islam Indonesia. Jogyakarta, 2010. Kemenkes RI. (2011). Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia. www.aidsindonesia.or.id/download /LT2Menkes2011.pdf. Diakses tanggal. 11 Desember 2012. Jam 16.00 WIB. Arikunto, Suharsini, (2006). Prosedur Penelitian. Rineke Cipta. Jakarta Azis, Alimul, (2007). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika. Jakarta. Ba’ali, A.M.. (2006). HIV/AIDS : Kita bisa kena, kita pun bisa cegah. Yogyakarta : P-idea & Muslim Care. Dalimoenthe, Iklasiah (2011). Perempuan Dalam Cengkeraman HIV/AIDS ; Kajian Sosiologi Feminis Perempuan Ibu Rumah tangga Jurnal Komunitas vol 5 no 1 Juli 2011 hal 41-48. Dinas Kesehatan Kota Surabaya (2012). Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan kelompok umur. Echols,M. John dan Shadely Hasan, Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia com. --------------,Gender; Puspa Keluarga;Pdf htt;//www.Scribd.com/doc/11135 1050/Konsep dan teori gender Diakses tanggal 28 Februari 2013 jam 21.40 Green, Lawrence W . Health Promotion Planning An Eduacational and Environmental Approach. Myheld Publishing Company Mountain View-Toronto-London.1991. Gunung ( 2003 ), Buku Pegangan Konselor HIV-AIDS . Macfariane Burnet Institute for Medical Research and Public Health Limited Kemenkes RI. (2002). Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. http://data.unaids.org/topics/Partn ership-Menus/indonesiaresponse_id.pdf. Diakses tanggal 11 Desember 2012. Jam 10.00 WIB. KPA Nasional, (2010), Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 20072010 http,//www,aidsindonesia.or.id/ Diakses tanggal 19 Februari 2013 jam 19.17 189 Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dasardasar Demografi (1981) Mahdiana, R. (2010), Mengenal dan Mengobati Penularan Penyakit Dari Infeksi HIV. Yogyakarta : Citra Pusaka Marzuki, Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender, PKN dan Hukum UNY (tidak dipublikasikan) Megawangi Ratna, (1999); Membiarkan Berbeda ?; Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender; Penerbit Mijan, Bandung Murjitiastutik, Dwi ( 2008 ); Infeksi menular seksual, Cat 1 Surabaya Airlangga University Press. Markas Besar Angkatan laut, Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor : Perkasal/33/VI/2011 tentang 190 Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS Di Lingkungan TNI Angkatan Laut Oktober, 2011; Tdak dipublikasikan. Notoadmodjo, (2003), Pendidikan dan perilaku kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Nasroudin, HIV dan Aids – Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial, Airlangga University Press. Surabaya, 2007 Pollit, P.F., Beck, C.T & Hugler, B.P. (2001). Essentials of nursing research: Methods appraisal and utilization. 3rd ed. Philadelphia: J.B. Lippincott. Rochimhdhi, Trijatmo dkk ( 1992 ), Syndrom AIDS . Cat 1 Jakarta EGC