Pergulatan Identitas dan Ghibah Infotainment

advertisement
KONTEKSTUALITA
Jurnal Penelitian Sosial dan Keagamaan
p-ISSN: 1979-598X
e-ISSN: 2548-1770
Vol. 32 No. 2, Desember 2016
Pergulatan Identitas dan Ghibah Infotainment: Analisis
Resepsi atas Aktivitas Bermedia Salafi di Yogyakarta
Identity and Infontainment Grave: Analysis of the
Reception of Salafi Activities in Yogyakarta
Robby Habiba Abror
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakartka
Jl. Marsda Adisucipto No. 1 Depok Sleman Yogyakarta
Email: [email protected]
Submitted: Nov 27, 2016; Reviewed: Des 8, 2016; Accepted, Des 10, 2016
Abstrak: Komunitas Salafi sebagai ritus praksis Islamisme sering
diidentikkan
dengan
stigma
terorisme,
fundamentalisme,
radikalisme, konservatisme, dan skripturalisme. Dengan latar
belakang yang berbeda-beda, mereka menjalani hidup ini dengan
mengikuti praktik kehidupan Salafus Salih yaitu tetap merujuk dan
berpegang teguh pada manhaj Salaf. Dalam praktiknya, komunitas
Salafi ini menyikapi berbagai tantangan modernitas dalam
keserbagaraman perspektif. Hal ini disebabkan komitmen mereka
terhadap dogmatisme agama yang ketat dan mengikat. Realitas
tersebut menjadikan komunitas Salafi menjadi gerakan subkultur
Islam yang menarik untuk diteliti. Pada praktiknya, dalam konteks
resepsi mereka terhadap ghibah infotainment, terjadi kontestasi
makna dan negosiasi terhadap dogma-dogma agama serta para
mufti. Untuk itu, penelitian ini mengoperasikan konsep subkultur
Hebdige, resepsi Stuart Hall, aktivisme Islamis Wiktorowicz,
negosiasi Ting-Toomey, dan kontestasi Vancil. Fokus pada enam
pondok pesantren Salafi di Yogyakarta (Pesantren Ihyaus Sunnah,
Pesantren al-Anshar, Pesantren bin Baz, Pesantren Taruna al-Quran,
Pesantren Hamalatul Quran, dan Pesantren Khoiro Ummah) serta
jama’ah Masjid MPR. Praktik subkultur Salafi menunjukkan adanya
tegangan di antara dogma agama dan modernitas. Komunitas Salafi
melakukan afirmasi gaya hidup dalam keteguhan kredo serta
negosiasi makna dan identitas mereka dalam kontestasi vis-a-vis
dogmatisme agama dan mufti serta komunitas Islam mainstream.
Dengan bercadar, wanita Salafi telah melakukan bunuh diri sosial.
Komunitas Salafi mengonsumsi teknologi dan meresepsi fenomena
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
141
ghibah infotainment, tidak anti-modernitas, menampilkan sikap
estetis-religius sebagai penanda perlawanan simbolik-eksistensial.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa komunitas Salafi tidak
selamanya ajeg dalam gerakan Islamisme yang monoton, tetapi
mereka mempresentasikan bentuk eksistensi sebagai Salafi
postmodern dengan pilihan dan kebebasan hidup serta genre
dakwah barunya, selanjutnya mereka memposisikan diri dalam trend
baru gaya Salafi dalam modernitas.
Kata-kata kunci: Salafi, ghibah infotainment, negosiasi, kontestasi,
dan Islamisme.
Abstract: The Salafis, an Islamic praxis sect, are commonly presumed
to be associated with terrorism, fundamentalism, radicalism,
conservatism, and literalism. Although its followers originate from
diverse backgrounds however they all share the common feature of
adhering to the Salafus Salih, implying the commitment to refer to the
Salaf manhaj in guiding their way of life. Nevertheless the challenges of
modernity inevitably push Salafists to embrace a diversity of
understanding with relation to their beliefs. This is because on the one
hand, they are strongly loyal to their religious dogma and on the other,
modernity purportedly constrains the application of religious dogma in
the everyday lives of the Salafists. Such realities make the Salafists an
Islamic subculture movement which becomes an interesting object of
research. Interestingly in the context of the Salafists’ reception towards
infotainment ghibah (gossip television programs), contested meanings
and negotiations towards religious dogma as well as mufti rulings are
evident. Therefore, the current study utilized Hebdige’s concept of
subculture, Hall’s concept of reception, Wiktorowicz’s concept of
Islamic activism, Ting-Toomey’s concept of negotiation and Vancil’s
concept of contestation. A qualitative approach was selected, using the
phenomenological-cultural studies paradigm. Six Salafist Islamic
boarding schools in Yogyakarta (Ihyaus Sunnah, al-Anshar, bin Baz,
Taruna al-Quran, Hamalatul Quran, and Khoiro Ummah) and also
Salafist community in Masjid MPR were analyzed. The study collected
data by interviewing 16 informants, in addition to conducting direct
observation and documentation as a way to clarify and confirm the
primary data. The data was then analyzed using an interpretativecritical method using Miles, Hubermas, and Creswell’s 3 phase
technique of data reduction, presentation, and conclusion or
verification. Based on a review of the theoretical literature as well as
data from the field, the research found that the Salafists’ experienced
tension between the requirements of strict adherence of dogma and
the embracement of modernity. With veiled (purdah), Salafist woman
has committed social suicide. The Salafist community affirms their life
style by strictly following their creeds as well as negotiating the
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
142
meaning of their identity in contestation vis-à-vis religious dogmatism
and mufti rulings as well as the mainstream Islamic community. The
study found that the Salafist community are consumers of technology
and gossip television programs, are not anti modernity, and they
display a religious aesthetic attitude as a symbol of symbolicexistential resistance. This study also found that Salafists are not
always rigid with regard to the Islamic movement. Nevertheless, they
represent the postmodern Salafists of which choice and liberty color
the new preaching (dakwah) genre, and thus subsequently position
themselves as the new Salafist trend in modernity.
Key words: Salafi, infotainment gossip, negotiation, contestation, and
Islamism.
A. Pendahuluan
Berkaitan dengan dogma dan modernitas, komunitas Salafi sebagai salah satu
gerakan Islamis yang seringkali dicap radikal, fundamentalis, dan
konservatif, justru mempunyai gaya subkulturnya sendiri dalam melakukan
interpretasi terhadap dogma agama yang mengikat maupun tantangantantangan
modernitas.
Mengacu
pada
pendapat
Habermas1
yang
membenarkan fundamentalisme agama yang selalu resisten terhadap
modernitas dalam batas tertentu dapat dipahami, dan pendapat Barton 2 yang
memisahkan radikalisme Islam dengan konservatisme agama dapat
memperkaya dan membantu analisis terhadap gerakan Salafisme yang
kenyataannya memang mempunyai kecenderungan lari dari modernitas dan
membangun
kehidupan
serba
dogmatis
dengan
selalu
berusaha
menghadirkan masa Salafus Salih dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Komunitas Salafi menjadi salah satu gerakan Islamis yang paling
konsisten dalam berpegang teguh pada manhaj Salaf dan menjalani seluruh
kehidupan mereka berdasarkan syari’at Islam. Tetapi apakah komunitas
Salafi menampik atau menerima politik? Untuk konteks Indonesia sampai
penelitian ini selesai dilakukan, mereka tetap bersikap apolitis dengan sikap
pesimisme terhadap politik di tanah air. Tetapi dalam sejarah, sebenarnya
Salafi juga pernah berpolitik praktis. Menurut Kahar, bahwa asumsi lama,
Salafi itu kaum ultra-konservatif Islam, apolitis, dan hanya memusatkan
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
143
perhatian kepada urusan-urusan ritualistik Islam, sedangkan analisisnya
mengatakan bahwa doktrin politik Salafisme menunjukkan, tak hanya
idealisasi politik yang dominan dalam ide mereka, tetapi juga kemungkinan
pragmatisme politik.3 Jika diamati sepintas sikap fatalis Salafi dalam urusan
politik ini dapat dianggap sebagai sikap apolitis. Tetapi tidak bagi Salafi,
karena tidak terlibat aktif dalam kancah politik bukanlah sikap apolitis, tetapi
bagi Salafi, politik yang relevan di masa kini adalah meninggalkan politik.
Mereka juga mengklaim hal itu sebagai sikap yang akurat dalam menimbang
keadaan. Dengan posisi Salafi yang demikian, Amerika Serikat dan sekutunya
tidak akan terlalu terganggu oleh Salafi politik karena mereka sebenarnya
tidak serta merta anti-Amerika, tetapi musuh Amerika dan Barat yang
sesungguhnya adalah Salafi-jihadi.
Kahar juga mendefinisikan Salafi sebagai paham yang berusaha
mempurifikasi pandangan dan gaya hidup masyarakat Muslim dengan
ajaran-ajaran yang lebih dogmatis dan puritan berdasarkan sabda Nabi
Muhammad saw yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya kurun adalah era
Islam awal (generasi masa lampau/Salaf).4 Dengan dogma seperti itu dan
dengan pemahaman yang kurang mendalam tentang spirit Muslim awal,
sebagian kalangan Muslim modern mencoba berpikir dan bertindak
berdasarkan pemahaman mereka tentang Muslim era awal. Sebagian
mencoba mempraktikkan cara makan, berpenampilan, berpikir, dan
bertindak seperti Muslim generasi awal sehingga tidak jarang perilaku
mereka tampak aneh di mata dunia modern. Menurutnya, merujuk pada
ulasan seorang pemikir Saudi, Salman al-Audah dalam karyanya al-Ighraq fi
al-Juz’iyyat (Terperosok ke Persoalan-persoalan Sepele), keanehan itu karena
mereka telalu tenggelam dalam aspek-aspek yang parsial dan artifisial dari
etos kaum Muslim awal. Gejala negatif ini kini tak jarang dijumpai pada
sebagian Muslim dari Eropa sampai Amerika, dari Nigeria sampai Indonesia.
Bagaimanapun, komunitas Salafi harus menghadapi kenyataan dan
berbagai tantangan modernitas. Kepatuhan terhadap dogma agama yang
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
144
ketat akan berhadapan dengan hasil-hasil dari modernitas dan menantang
komunitas Salafi untuk menafsirkan ulang dogma agama dan pemahaman
mereka tentang realitas teknologi. Televisi jarang ditemui di rumah-rumah
Salafi, karena keberadaannya yang dianggap membawa maksiat daripada
manfaat. Tetapi tentang isi berita televisi bahkan tayangan-tayangan gosip
infotainment, sebagian dari mereka ternyata tidak ketinggalan berita.
Dari berbagai program hiburan yang marak di berbagai stasiun
televisi, program infotainment terlihat paling sukses meraih animo khalayak
dan memiliki daya tahan yang sangat kuat, terbukti program ini marak di
berbagai stasiun televisi, dari tahun ke tahun. Selama Januari 2013 sampai
dengan Januari 2014, penelitian ini mencatat bahwa dengan menyuguhkan
27 jenis acara dari 9 televisi swasta nasional dengan jam tayang mencapai
6570 menit (109,5 jam)5 selama seminggu, tayangan infotainment
sebenarnya menjadi “penghibur dominan” yang mampu memanfaatkan
setiap waktu luang dan sibuk dari khalayaknya. Belum lagi jika harus
berbicara tentang tema-tema yang beragam yang diangkat pada setiap
tayangan infotainment. Infotainment, dengan demikian, bebas memasuki
kehidupan khalayaknya secara masif dengan keberhasilan kapitalisme media
dalam mengkomodifikasi gosip-gosip para selebriti.
Program infotainment marak disodorkan berbagai stasiun televisi
nasional dengan jumlah jam tayang yang sangat signifikan. Sembilan stasiun
televisi swasta setidaknya menayangkan infotainment dalam durasi sekitar
30 menit (yaitu MNCTV sebagai stasiun televisi yang paling rendah durasi
tayangnya) sampai dengan 150 menit/2,5 jam (yaitu Global TV dengan
durasi tayang paling tinggi) per hari dengan variasi waktu tayang pagi, siang,
sore dan malam hari. Dalam infotainment disuguhkan beberapa jenis
tayangan gosip, seperti: Seleb @ Seleb dan Seputar Obrolan Selebritis di ANTV,
Hot Spot, Obsesi, Seleb on Cam dan Fokus Selebriti di GlobalTV, Kiss Pagi dan
Hot Kiss Sore di Indosiar, New Star dan Sensi di KompasTV, Go Spot, Intens,
Silet dan Kabar-kabari di RCTI, dan lain sebagainya.6
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
145
Afirmasi identitas diri Salafi terejawantah dalam praktik kehidupan
keagamaan mereka yang selaras dengan al-Quran dan sunnah Nabi saw,
sehingga tembok tebal hukum agama atau syariat Islam menjadi sebentuk
sabuk pengaman iman. Memiliki televisi saja dilarang apalagi menontonnya.
Hampir seluruh pengikut Salafi di Yogyakarta tidak mempunyai ‘kotak ajaib’
itu di rumah-rumah mereka. Bagaimana mereka tahu tentang tayangan dan
konten infotainment dan berghibah tentangnya sementara hukum ghibah itu
sendiri jelas haram. Di sinilah sisi menariknya, bahwa praktik-praktik
keagamaan yang normatif itu tidak sepenuhnya selaras dan dapat
dilaksanakan secara konsisten oleh para pengikutnya, sehingga menonton
televisi, bahkan menggunakan hasil-hasil dari modernitas seperti hand phone
dan media elektronik lainnya sulit dihindari, sesuatu yang tak tabu lagi,
sehingga tindakan ghibah infotainment yang semula dilarang atau wajib
untuk dijauhi, pada kenyataannya, menjadi bagian yang tidak terpisah dalam
aktivitas komunikasi mereka.
Fenomena Salafi tersebut sebenarnya memiliki kemiripan dengan apa
yang terdapat pada Kristen Protestan di mana aliran Mennonite
merepresentasikan diri mereka sebagai aliran yang membatasi diri dan
menegosiasikan
diri
mereka
dengan
modernitas.
Kaum
Mennonite
konservatif dan apolitis, tetap patuh menjalankan ajaran Yesus. Mereka tidak
mau hormat pada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.7
Komunitas Salafi di satu sisi dapat dideskripsikan sebagai umat Islam
yang meyakini dan menerapkan dalam kehidupan mereka praktik-praktik
keagamaan yang harus selaras dengan ajaran-ajaran al-Quran dan mengikuti
Sunnah Nabi saw. Kebanyakan dari komunitas Salafi menjaga jarak dengan
modernitas dan hasil-hasilnya, seperti menolak menonton televisi apalagi
mengonsumsi
berbagai
tayangan
infotainment
serta
dengan
tegas
mengharamkan ghibah. Tetapi di sisi lain, praktik-praktik keagamaan yang
normatif tersebut tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan konsisten oleh
para pengikutnya, sehingga menonton televisi, bahkan menggunakan hasilKontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
146
hasil dari modernitas seperti hand phone, smartphone, dan media elektronik
lainnya tidak lagi ditabukan, sehingga tindakan ghibah atau bergosip tentang
konten infotainment—terutama tentang ustadz/ustadzah selebriti atau para
selebriti yang mayoritas beragama Islam yang sering diberitakan tentang
proses kawin-cerai, perselingkuhan, dan KDRT (kekerasan dalam rumah
tangga) mereka, misalnya—yang semula dilarang atau wajib untuk dijauhi
pada kenyataannya menjadi bagian yang tidak terpisah dalam aktivitas
komunikasi mereka sehari-hari. Berdasarkan latar belakang dan fenomena di
atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Melalui instrumen apa, kapan, di mana dan bersama siapa komunitas Salafi
meresepsi tayangan infotainment? Bagaimana komunitas Salafi memahami
ghibah infotainment dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana bentuk
resistensi dan negosiasi Salafi dalam meresepsi fenomena ghibah
infotainment baik terhadap komunitas mereka sendiri atau di luar komunitas
mereka serta terhadap dogma manhaj Salaf yang ketat dan fatwa para mufti
ataupun sikap mereka terhadap modernitas?
B. Kerangka Teoretis dan Metodologis
Pada bagian ini akan dibahas dua permasalahan, yaitu landasan teori dan
metode penelitian. Yang pertama berupa konsep teoretis yang digunakan
untuk memahami dan menginterpretasi objek penelitian dengan berbagai
permasalahannya yang muncul dalam proses pembahasan, sedangkan yang
kedua berupa cara dan pendekatan yang digunakan dalam memahami dan
menafsirkan data penelitian melalui konsep di atas.
B.1. Landasan Teori
Dalam upaya memahami obyek kajian, peneliti menggunakan
sejumlah konsep teoretis yang dianggap relevan dalam proses pembahasan.
Komunitas Salafi merupakan subkultur Islam yang menyimpan banyak
misteri dan kerapkali bertentangan dengan pandangan umum. Dalam
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
147
pandangan Dick Hebdige, kata “subkultur” itu sarat misteri, karena
mengesankan kerahasiaan dan dunia bawah. Makna subkultur sebenarnya
ditentukan oleh berbagai definisi yang saling bertentangan tentang gaya,
karena di balik gaya sebenarnya tersirat sinyal penolakan, melawan yang
alami,
memotong
proses
pewajaran,
menyerang
mayoritas
diam,
menyanggah prinsip kesatuan dan keterpaduan, serta menentang mitos
konsensus.8 Makna subkultur dengan demikian sebenarnya lebih jelas
daripada makna kultur yang selama berabad-abad pemakaiannya selalu
tampak tidak ajeg. Pada gilirannya, keberadaan subkultur ini dapat menarik
anggota baru dan menciptakan kepanikan moral.9 Hebdige juga menafsirkan
subkultur sebagai bentuk resistensi di mana kontradiksi yang dialami
maupun penolakan terhadap ideologi yang berkuasa secara tak langsung
dipresentasikan lewat gaya.10
Merujuk pada konsep Hebdige, maka komunitas Salafi dapat
dikatakan sebagai kelompok subkultur dengan beberapa penekanan gaya
dan identitas yang mereka tampilkan. Mengenakan pakaian serba gelap atau
cenderung menghindari warna yang mencolok, kemudian memelihara
jenggot dan celana congklang di atas mata kaki bagi kaum pria, serta cadar
dan jilbab besar bagi kaum wanita, sebenarnya cukup menunjukkan
bagaimana gaya subkultur itu dipelihara sedemikian ketat dan konsisten.
Pemeliharaan gaya yang demikian itu sebenarnya menyiratkan sinyal
perlawanan dan pewajaran terhadap komunitas Muslim kebanyakan.
Komunitas Salafi tetap terjaga dalam keadaan yang sarat misteri disebabkan
konsistensi mereka yang berhasil membungkus makna gaya dan identitas
mereka di tengah konsensus tentang kehidupan yang serba alami dan
pergaulan sosial yang semestinya. Dengan demikian, representasi gaya dan
identitas subkultur Salafi sebagaimana yang selama ini mereka tampilkan
telah menjadi derau dan sekaligus bentuk resistensi bagi mayoritas Muslim
di luar kelompok mereka. Lagipula, subkultur Salafi tidak diragukan lagi
menunjukkan keberhasilan mereka dalam merekrut dan memperbanyak
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
148
anggota mereka, sehingga realitas tersebut melahirkan kepanikan moral bagi
mayoritas Muslim di luar kelompok mereka. Sebagai Islam subkultur,
komunitas Salafi jelas mempunyai kepentingan dalam gerakannya, yaitu
memperluas dakwah manhaj Salafi di tengah-tengah mayoritas Muslim
lainnya serta tentu saja memperjelas ideologi mereka dengan menunjukkan
dan mengikuti praktik-praktik keagamaan yang diajarkan oleh para Salafus
Salih. Yang menarik adalah bahwa komunitas Salafi yang sebenarnya berasal
dan berlatar belakang dari mayoritas Islam kebanyakan, kemudian
menunjukkan sikap oposisi terhadap budaya dominan yang terdapat di
sekitar mereka dan pada kenyataannya tidak sedikit dari para pengikutnya
yang benar-benar berbeda dan telah membedakan diri mereka dengan para
pendahulu mereka dari basis organisasi yang lama ataupun dengan orang tua
mereka sendiri. Gaya subkultur Salafi tidak berhenti di situ, mereka juga
dapat memanfaatkan komoditas berupa barang atau pun kain untuk
kepentingan mereka—kain yang memiliki makna yang umum dan dijual
bebas di pasaran telah didekap dalam “perakitan”, dipola menjadi jilbab
besar, cadar, atau celana congklang sedemikian rupa demi mewujudkan
tujuan dan maknanya, seperti tampak di etalase Toko Ihya’ dan beberapa
toko Salafi lainnya.
Stuart Hall11 mengidentifikasi posisi-posisi hipotesis yang darinya
dekoding atas diskursus televisi oleh khalayak dapat dikonstruksi: (1) kode
hegemonik-dominan
dimana
khalayak
mengambil
makna
yang
terkonotasikan dari siaran program televisi dan mendekode pesannya dari
sudut pandang kode rujukan yang telah dienkodekan; (2) kode yang
dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur yang bersifat adaptif dan
oposisional; serta (3) kode oposisional merupakan posisi dimana khalayak
memahami secara sempurna perubahan harfiah maupun perubahan
konotatif yang diberikan oleh diskursus tetapi kecuali mendekode dengan
cara yang bertentangan secara keseluruhan.12 Proses berikutnya yaitu
menemukan jawaban hasil interpretasi khalayak, dengan menggunakan teori
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
149
resepsinya Hall sebagai sebuah usaha untuk menentukan posisi resepsi
khalayak. Khalayak dari komunitas Salafi dikategorikan sebagai khalayak
aktif yang menginterpretasi ghibah infotainment. Mereka memaknai pesan
tersebut dari pengalaman mereka menggunakan internet atau televisi dari
teman-teman di lingkungannya. Berbagai sudut pandang dapat terbentuk
dari hasil interpretasi khalayak, di antaranya dari tilikan yang dipengaruhi
oleh pengalaman pribadi, rerasan budaya dan hegemoni masyarakat.
Sedangkan konsepsi tentang kontestasi mengacu pada pandangan
David L. Vancil yang mengartikan kontestasi sebagai bentuk pertentangan
antara berbagai pihak sehingga menimbulkan clash of argument, di mana di
dalamnya terdapat pertukaran yang saling bersaing tentang nilai, fakta dan
kebijakan atas masalah tertentu yang memotivasi berbagai tindakan tertentu
pula.13 Dalam pemahaman yang bersifat tunggal dapat melahirkan penafsiran
serupa atau semakna, sebaliknya dalam keserbaragaman makna yang
meliputi pemahaman yang berbeda-beda atas suatu dogma agama misalnya,
niscaya dapat melahirkan perspektif yang berbeda-beda pula. Komitmen
komunitas Salafi untuk berpegang teguh pada dogma agama berdasarkan
manhaj Salaf dipahami sebagai pemahaman yang seragam, tetapi maknanya
dapat menjadi serba ragam bilamana terjadi kontestasi antara persepsi
individu dan penafsirannya di satu sisi dengan dogmatisme agama dan para
mufti sebagai pemegang otoritas di lain sisi. Realitas keserbaragaman
tersebut melahirkan kontestasi makna dan multitafsir dalam komunitas
Salafi itu sendiri.
Selain itu, Stella Ting-Toomey mengemukakan negosiasi identitas
sebagai a mutual communication activity. Individu-individu berusaha untuk
membangkitkan identitas yang mereka inginkan dalam interaksi, mereka
juga berusaha untuk menantang atau mendukung identitas yang lain.14
Konsep yang dikemukakan oleh Ting-Toomey tersebut dapat digunakan
untuk mengeksplorasi dinamika sosial yang terjadi di kalangan Salafi yang
meliputi komunikasi simbolik, kestabilan identitas Salafi dalam situasi
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
150
budaya Jawa dan keindonesiaan yang kerap bertabrakan dengan eksistensi
dan dogma Salafi, serta gaya subkultur Salafi dalam mengomunikasikan
pandangan dogmatis mereka yang ketat dalam komunikasi antarbudaya
Islam yang majemuk.
Sebagai bagian dari representasi pergerakan kelompok Islamis, Salafi
sering dituduh radikal dan memobilisasi massa untuk kepentingan mereka,
termasuk juga dalam kaitannya dengan perebutan budaya. Wiktorowicz
mengemukakan bahwa aktivisme Islamis merupakan respon terhadap
imperalisme budaya Barat dan kapitalisme yang mekar di dunia Islam dan
menjadi counter culture terhadap dominasi Barat.15
B.2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi yang berparadigma kajian budaya (cultural studies) serta
berfokus pada studi kasus. Kajian kualitatif kerapkali disebut sebagai
penelitian multimetode yang bersifat interpretif dan kritis. Dengan
pendekatan fenomenologi akan membantu proses penelitian khususnya
dalam mengungkapkan realitas yang murni, karena fenomenologi bergerak
dari individu dan kelompok kecil untuk memahami realitas sosial yang
sesungguhnya. Hasil penelitian fenomenologi pada umumnya lebih dikenal
natural atau alamiah. Suatu realitas tampak alami, sebab realitas tersebut
tidak mendapat intervensi keinginan peneliti. Pada sisi lain, realitas muncul
secara reflektif, makna mencerminkan keadaan yang sesungguhnya; dan
realitas menjadi otentik, sebab data diperoleh peneliti dari sumber pertama
dan pelaku yang mengalaminya.16
Fenomenologi mencoba mencari pemahaman tentang bagaimana
manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam
kerangka intersubjektivitas. Disebut intersubjektivitas karena pemahaman
kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Makna
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
151
yang dikonstruksi tersebut dapat ditelusuri dalam tindakan, karya, dan
aktivitas seseorang, dan juga memperhatikan peran orang lain di dalamnya.17
Kajian ini dilakukan pada enam pondok pesantren Salafi yang ada di
Yogyakarta, yaitu Pesantren Ihyaus Sunnah, Pesantren al-Anshar, Pesantren
bin Baz, Pesantren Taruna al-Quran, Pesantren Hamalatul Quran, dan
Pesantren Khoiro Ummah, serta jama’ah Salafi di Masjid MPR (Masjid Pogung
Raya). Untuk mengumpulkan data utama dari keenam lokasi tersebut
digunakan tiga cara, yaitu wawancara mendalam, pengamatan langsung, dan
dokumentasi.
Berkenaan
dengan
teknik
yang
pertama,
peneliti
mewawancarai 16 informan. Kedua, peneliti langsung mengamati secara
seksama situasi dan kondisi yang terjadi dan berlangsung di keenam lokasi
tersebut. Dan terakhir, peneliti juga menggunakan informasi dari
dokumentasi dalam berbagai bentuk, yaitu majalah, buku dan internet yang
berkaitan dengan komunitas Salafi yang diteliti. Data yang kemudian
dianalisis, secara interpretif-kritis, melalui teknik analisis Miles dan
Hubermas18 dan juga Creswell19 yang meliputi tiga tahap, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan kesimpulan atau verifikasi.
C. Hasil Penelitian
Sejalan dengan penelitian ini, pemaknaan khalayak (decoding) atas ghibah
infotainment dibagi atas dominant hegemonic reading, negotiated reading,
dan opposition reading. Penempatan posisi khalayak ke dalam tiga tipe itu
dilakukan dari hasil interpretasi dengan latar belakang ghibah infotainment
dan
pengalaman
mempunyai
mengonsumsi
interpretasi
yang
program
beda-beda
tersebut.
dalam
Masing-masing
memaknai
ghibah
infotainment. Tipe resepsi masing-masing informan di atas terbagi
berdasarkan interpretasi mereka pada ghibah infotainment. Informan dari 16
orang Salafi, 5 orang Salafi tidak menjadi konsumer/tidak mengonsumsi
tayangan gosip infotainment secara langsung, dan 11 orang Salafi
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
152
mengonsumsi program tersebut baik melalui televisi, internet maupun
smartphone dengan aplikasi android.
Penampang 1. Peta Identitas Islamis Komunitas Salafi di Yogyakarta
Dari masing-masing informan tersebut masing-masing mempunyai
interpretasi yang kemudian menunjukkan hasil penelitian ini, mereka terbagi
atas beberepa resepsi: Pertama, dominant hegemonic reading: informan
sejalan dengan ghibah infotainment dan menyetujui konten dari tayangan
tersebut. Informan yang berada dalam tipe ini diketahui terdapat 5 orang
salafi, kelima orang salafi tersebut semuanya setuju dengan ghibah
infotainment. Kelima informan menyetujuinya karena dinilai dapat dijadikan
sebagai sarana tabligh, bahan materi dakwah, representasi dakwah Islam,
dan rekreasi untuk keseimbangan hidup. Kedua, negotiated reading:
informan dalam tipe ini menginterpretasikan ghibah infotainment sebagai
acara
yang
dibolehkan
untuk
ditonton
asalkan
program
tersebut
memberikan pesan moral dan mengandung nilai-nilai pendidikan bagi
khalayak, dan diharamkan untuk dikonsumsi jika berisi pesan yang merusak
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
153
akhlak melanggar syariat Islam. Terdapat 8 orang informan yang berada
dalam tipe ini, 6 orang Salafi merupakan konsumen infotainment melalui
televisi,
internet,
dan
smartphone,
sedangkan
2
informan
lainnya
mendapatkan berita-berita selebriti dari koran, tabloid Salafi dan temantemannya. Dan ketiga, opposition reading: informan dalam tipe ini
mengetahui para selebriti dalam ghibah infotainment, tetapi tidak menyetujui
konten yang disampaikan program infotainment. Terdapat 3 informan yang
berada dalam posisi ini, ketiganya tidak mengonsumsi tayangan infotainment
secara langsung, tetapi mendapatkan berita gosip selebriti melalui internet,
tabloid Salafi, smartphone dan teman. Menurut mereka, bahwa ghibah
infotainment itu mutlak haram karena mubadzir, membuang-buang waktu
untuk beribadah, merusak akhlak dan menghancurkan keluarga atau rumah
tangga orang.
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh langsung di lapangan, dan
wawancara dengan Ustadz Mustafa dan beberapa informan Salafi lainnya,
peneliti mengkategorikan komunitas Salafi yang ada di Yogyakarta ke dalam
tiga varian atau kelompok, yaitu: (1) kelompok mutasyaddid, kelompok salafi
yang ekstrem; (2) mutawassith, kelompok salafi yang tengah-tengah; dan (3)
mutasahhil, kelompok salafi yang mudah.
Kategorisasi ini tidak bersifat mengikat atau kaku, sebab setiap
pengikut Salafi dapat bergerak dan condong kepada imam yang sesuai
dengan pemikirannya. Sehingga setiap Salafi yang masuk dalam kategori atau
varian tertentu dapat bergeser kepada kategori atau varian yang lain dengan
bebas. Kendatipun dalam praktiknya, setiap tindakan melangkah atau hijrah
kepada kelompok lain akan membuat setiap Salafi menjadi “orang baru” atau
mengalami “awamisasi”, kecuali jika seorang Salafi itu telah memiliki nama
atau dikenal di kalangan jamaah Salafi yang lain. Sedangkan mengenai
parameter atas masing-masing varian tersebut dapat dilihat penampang
berikut ini.
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
154
Pendapat komunitas Salafi tentang ghibah infotainment berdasarkan
tiga kelompok sangat beragam. Pertama, kelompok mutasyaddid mutlak
mengharamkan ghibah infotainment. Mereka beranggapan bahwa menonton
televisi bahkan program infotainment hanyalah membuang-buang waktu
saja, mubadzir, sehingga hukumnya haram. Di samping itu, televisi beserta
program dan kontennya sangat merusak akhlak dan ujung-ujungnya dapat
menghancurkan
kebahagiaan
rumah
tangga
karena
dampak
yang
ditimbulkannya. Kedua, kelompok mutawassith berpendapat bahwa ghibah
infotainment itu di satu sisi dihukumi seabgai haram jika benar-benar
melanggar syariat Islam, dan di sisi lain, boleh asalkan mengandung nilainilai pendidikan yang dapat membimbing umat Islam ke jalan yang benar.
Ketiga, kelompok mutasahhil berpendirian agak bebas dan longgar. Mereka
berpendapat bahwa ghibah infotainment itu boleh dengan alasan bahwa hal
itu dapat dinilai sebagai rekreasi untuk keseimbangan hidup, sebagai sarana
tabligh yang merupakan sifat Nabi saw yang keempat, dan juga merupakan
representasi dakwah dalam Islam.
Komunitas Salafi yang masuk dalam kelompok mutasyaddid selaras
dalam apa yang disebut sebagai Islamisme, sebagai gerakan yang khas
dengan militansi dan keteguhan subkultural Salafi terhadap kitab suci dan
para pemegang otoritas yakni ulama Salafi, terbatasi dan ‘teralienasi’ oleh
garis demarkasi doktriner yang sangat membatasi kebebasan mereka,
sehingga praktik tahdzir menjadi tak terbantahkan. Di samping itu, terjadi
kontestasi
makna
dalam
kehidupan
mereka
dimana
ketegangan
subjektivitas/kedirian dengan kuasa doktriner ulama Salafi mendesak ke
pola kehidupan ambivalen, mengejawantahkan doktrin dalam praktik
keseharian, atau menafsir ulang doktrin keagamaan di tengah tantangan
modernitas (kemajuan jaman). Mereka juga terlihat melakukan perlawanan
simbolik subkultural terhadap budaya dominan baik dari komunitas Islam
mainstream ataupun dari penduduk lokal dengan budaya yang lebih
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
155
heterogen. Komunitas Salafi dengan demikian menerapkan teknologi diri di
tengah karnaval ekstasi komunikasi (ghibah infotainment).
Komunitas Salafi juga melakukan negosiasi identitas bahwa mereka
tetap teguh bersalafi (jenggot, celana congklang di atas mata kaki, perempuan
bercadar atau mengenakan jilbab besar), tidak anti-modernitas, tetapi juga
bukan machinized human. Pada praktiknya, mereka mengonsumsi teknologi
juga (Rodja’ TV, blackberry messenger (BBM), line, kakaotalk, wechat,
whatsapp, internet, facebook, twitter, majalah, percetakan, penerbitan, bisnis
pengobatan alternatif, bekam, dll). Mereka melakukan afirmasi gaya hidup
Salafi yang khas sebagai subkultur di hadapan Islam mainstream. Fashion dan
kredo subkultural Salafi menegosiasi identitas diri dalam realitas pergaulan
sosial. Tampak pula politik afinitas subkultural Salafi, di samping juga
transfigurasi diri spiritual komunitas Salafi yang dilakukan terus-menerus
sebagai bagian dari dakwah atau pantulan eksistensi subyektivitas/kedirian
mereka.
Selain itu, peneliti menemukan bahwa praktik subkultur Salafi
menunjukkan adanya tegangan di antara dogma agama dan modernitas.
Komunitas Salafi melakukan afirmasi gaya hidup dalam keteguhan kredo
serta negosiasi makna dan identitas mereka dalam kontestasi vis-a-vis
dogmatisme agama dan mufti serta komunitas Islam mainstream atau budaya
dominan masyarakat Islam. Komunitas Salafi mengonsumsi teknologi dan
meresepsi
fenomena
ghibah
infotainment,
tidak
anti-modernitas,
menampilkan sikap estetis-religius sebagai penanda perlawanan simbolikeksistensial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa komunitas Salafi tidak
selamanya ajeg dalam gerakan Islamisme, tetapi mereka mempresentasikan
bentuk eksistensi sebagai Salafi postmodern—ada sebentuk pergeseran
makna dari sekadar bermanhaj Salaf ke representasi urban Salafi/wahabi—
dengan pilihan dan kebebasan hidup dalam pendisiplinan model panoptikon
Foucauldian serta genre dakwah barunya, selanjutnya mereka memposisikan
diri dalam trend baru gaya Salafi dalam modernitas.
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
156
Selanjutnya, peneliti mengkritisi ideologi purdah yang terejawantah
dalam komunitas Salafi. Bahwa dengan mengenakan cadar yang menutupi
hampir seluruh wajah perempuan Salafi itu sebenarnya merepresentasikan
inferioritas wanita Salafi dan pengucilan mereka dari kehidupan sosial.
Meskkipun lelaki Salafi mengatakan bahwa itu demi keselamatan dan
kehormatan wanita Salafi. Justru peneliti melihat bahwa wanita Salafi seperti
dalam posisi disisihkan dan selalu berada di rumah empat dinding itu,
sedangkan di luar rumah itu semua urusan lelaki Salafi sampai sejauh mata
memandang. Kebebasan wanita Salafi betul-betul terpangkas habis, seolaholah hanya menyisakan kewajiban diri sebagai pelayan suami saja dan
pelayan bagi anak-anak mereka. Memang bagi kaum wanita Salafi modern
khususnya bagi mereka yang kaya dan bermodal, tindakan keluar dari
zenana ke wilayah mardana bisa saja mereka lakukan dengan mengendarai
dan menyetir mobil. Ironisnya, mereka seringkali dengan gigih mengobarkan
seruan mematuhi manhaj Salaf, meskipun tidak dapat menutupi rasa ingin
bersosialisasi secara lebih bebas sebagaimana ibu-ibu muslimah pada
umumnya. Fenomena ini dapat dijumpai di sekolah-sekolah Salafi yang telah
memodernisasi diri. Sebaliknya, bagi wanita-wanita Salafi dari kelas
menengah ke bawah tentusaja kebebasan itu semakin sulit terwujud, hal ini
sama dengan ibu-ibu salafi yang berada di pesantren-pesantren, eksistensi
mereka benar-benar terbatasi. Fenomena purdah dapat melegitimasi
penyisihan dan penyingkiran wanita salafi dari gelanggang sosial, ekonomi
dan politik secara sistematis. Emansipasi wanita dalam sistem purdah yang
terstruktur dalam komunitas Salafi sangat sulit diwujudkan. Fenomena ini
dapat disebut sebagai bunuh diri sosial yakni interpretasi atas pengelabuan
sistemik atas kodrat wanita yang mestinya mensyukuri dirinya sebagai
makhluk Tuhan yang berdaya guna dengan tindakan praksis dan dapat
berperan penting dan lebih dalam aktivitas sosial, politik dan ekonomi secara
lebih terbuka.
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
157
D. Penutup
Komunitas Salafi merepresentasikan diri mereka sebagai subkultur Islam
yang menyelenggarakan proses modernisasi diri dalam upaya peneguhan
moral di bawah manhaj Salaf serta merta melakukan proses purifikasi
ideologis terhadap berbagai macam bid’ah dan tantangan modernitas.
Sebagai gerakan subkultur, komunitas Salafi terlibat dalam wacana
kontestasi makna dengan para pemegang otoritas fatwa (mufti) yang selama
ini menjadi sumber otoritatif untuk menafsirkan al-Quran dan Hadits dalam
menyikapi berbagai permasalahan umat. Sehingga benturan perspektif tak
dapat dihindarkan, tindakan tahdzir antar sesama kelompok Salafi
memperenggang dan memutus jembatan komunikasi di antara mereka.
Kesatuan dan kebersamaan atas nama dakwah Salafiyah yang awalnya solid
akhirnya terpecah belah dan masing-masing telah mendirikan sebuah
komunitas tersendiri serta tetap mengembangkan dakwah mereka dengan
orientasi dan kepentingan yang berbeda-beda. Militansi dakwah Salafi dan
kecenderungan mereka untuk mudah bersitegang dengan sesamanya atau
apalagi dengan mayoritas Islam mainstream telah menyebabkan stigmatisasi
terhadap mereka menjadi tak terelakkan, cap teroris, ultrakonservatif,
fundamentalis, revivalis, skripturalis, dan Islamis, pada kenyataannya terus
terpelihara.
Problematika historis inilah yang menyulut munculnya ghirah
(gairah) kebebasan individu Salafi untuk memaknai ulang eksistensi mereka
baik di hadapan dogma agama yang ketat ataupun dalam menyikapi
tantangan-tantangan modernitas. Penelitian ini mengklasifikasi model-model
resistensi dan negosiasi komunitas Salafi khususnya dalam meresepsi
fenomena
ghibah
infotainment.
Tiga
kelompok
Salafi—mutasyaddid,
mutawassith, dan mutasahhil—merepresentasikan eksistensi mereka dalam
estetika-religius yang
beragam.
Ada
yang cenderung
memutlakkan
pengharaman dan pelarangan terhadap praktik ghibah infotainment, ada
yang menarik penafsiran dua arah baik mematuhi fatwa ataupun
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
158
mereformulasikan tafsir baru yang lebih dapat menjawab kebutuhan, dan
ada pula yang mengembalikan semua tanggung jawab moral itu kepada
pribadi masing-masing.
Fenomena ustadz/ustadzah selebriti yang banyak menghiasi layar
kaca, kajian-kajian kerohanian Islam, dan bahkan iklan-iklan di televisi,
membuat gusar komunitas Salafi ini. Akhlak ustadz-ustadzah seleb tersebut
tentusaja yang menjadi bidikan tajam, dimulai dari penceramah agama yang
alay, arogan, yang melakukan kawin-cerai dan poligami, sampai dengan
seorang pesulap dan mentalis yang tiba-tiba menjadi ustadz. Fenomena
ghibah infotainment berlangsung dalam komunikasi verbal di kalangan Salafi
dengan dalih menjadikannya pelajaran yang tak patut dicontoh yang dipakai
dalam materi-materi dakwah mereka, atau melalui komunikasi non-verbal
yang membahas problematika tersebut dalam website Salafi dan di beberapa
situs yang mereka miliki.
Komunitas Salafi tidak tunggal. Mereka merepresentasikan diri
mereka dalam berbagai model afirmasi gaya hidup agar dapat tetap menjadi
pribadi yang religius dalam keserbaragaman. Gaya subkultur Salafi
sebenarnya merupakan bentuk perlawanan simbolik terhadap dogmatisme
Islam dan peneguhan eksistensial mereka terhadap represi doktriner para
mufti, sehingga dengan demikian mereka tetap dapat berada dalam koridor
dakwah salafiyah secara patuh sembari mengkonsumsi teknologi sebagai
hasil dari modernitas.
Komunitas Salafi menggunakan teknologi diri mereka dalam
mengoperasikan kebebasan dan pilihan-pilihan individu untuk mencapai
kepentingan dan kebahagian mereka masing-masing. Meskipun hidup dalam
komunitas Salafi, mereka tidak kehilangan kehendak otonom untuk
merayakan kebebasan individu dengan alat-alat teknologi yang membawa
mereka dapat menjelajah dunia maya dan melewati pagar-pagar pembatas
doktriner yang ketat. Mereka tidak melakukan pelanggaran etika, melainkan
berani memposisikan identitas diri mereka secara proporsional dan
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
159
mengkontekstualisasikan konsepsi ideal manhaj Salaf dan spirit Salafus Salih
dalam kehidupan modern.
Tampilan gaya subkultur Salafi yang eksis dalam estetika-religius
mengkonstruk komitmen yang kukuh terhadap dogmatisme agama,
sedangkan gaya hidup mereka yang mencitrakan inklusivitas dalam
memaknai modernitas menyulut api kebebasan dan pilihan setiap individu
Salafi. Konsumsi terhadap teknologi informasi dan gosip infotainment
memperlihatkan posisi kekebasan Salafi dan membangun kategorisasi baru
yang dalam wacana keislaman mutakhir dapat disebut sebagai postIslamisme. Salafi posmodern bergerak dari militansi aktivisme Islamis
menjadi representasi dari kelompok post-Islamisme yang menandai identitas
dan status sosial mereka dengan tanda-tanda konsumerisme.
Beberapa kritik dapat diutarakan terhadap komunitas Salafi. Pertama,
kritik atas komunitas Salafi dapat diterapkan pada realitas problematik
dalam subyektivitas diri Salafi yang kerapkali enggan melakukan interelasi
dan interkoneksitas ilmu agama—dalam apa yang sering mereka istilahkan
sebagai ’ilmiyyah—dengan kelompok Salafi yang lain serta bersikap monoton
dan kembali eksklusif bahkan dalam batas tertentu dapat bersikap agresif
dan reaktif melihat kelompok Salafi yang berbeda. Kecenderungan merasa
diri paling benar dan menghapus ingatan pada setiap lawan membuat setiap
kelompok Salafi seolah-olah dapat menikmati kehidupan dalam komunitas
mereka yang terbatas tanpa kelompok Salafi yang lain, sementara kelompok
Salafi yang lain terus melakukan ekspansi ideologis di pasar budaya untuk
memperbanyak pengikut dan mendorong munculnya kepanikan moral dari
komunitas Islam mayoritas.
Kedua, kritik terhadap gaya resepsi komunitas Salafi yang masih
terkesan malu-malu untuk mengakui keberadaan dan fungsi media dalam
kehidupan mereka. Jawaban yang berputar-putar dan sikap cenderung
mengelak untuk mengakui tidak perlu dipertahankan. Buat apa menolak
memiliki televisi dengan dalih merusak akhlak sedangkan dengan ‘Syeikh
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
160
Google’ mereka dapat menjelajah lebih luas dan mengakses lebih bebas
apasaja data, siaran infotainment dan berita yang disajikan oleh televisi.
Keberadaan internet dan alat-alat komunikasi seperti smartphone dapat
memudahkan setiap individu untuk berselancar dalam media maya atau
cyberspace. Jika benar demikian, bahwa kebutuhan atas informasi dan tujuan
dakwah salafiyah memang mengharuskan untuk menggunakan media
televisi atau pun internet, mestinya komunitas Salafi meminta fatwa yang
lebih kontekstual kepada para mufti atau ulama Salaf untuk memodernisasi
fatwa-fatwa mereka demi mengakomodasi realitas dan kebutuhan komunitas
Salafi terhadap modernitas. jika benar ini dapat dilakukan, maka komunitas
Salafi akan lebih terbuka dan maju, meskipun tetap dengan gaya penampilan
mereka yang konsisten.
Dan ketiga, kritik atas ekslusivitas budaya dan religiusitas Salafi yang
mudah menaruh curiga dan dalam batas tertentu tidak jarang melakukan
tahdzir bahkan takfir (pengkafiran) terhadap sesama muslim yang tidak
sehaluan dengan kelompok Salafi tertentu. Kesan menakutkan terhadap
komunitas Salafi tetap akan ada, selama mereka tidak membuka diri dan
menumbukan rasa toleransi dan inklusivitas dalam bermasyarakat dan
berbudaya. Komunitas Muslim mayoritas tentu saja akan terus menjaga jarak
dan selamanya akan mempropagandakan penolakan atas kehadiran
komunitas Salafi di manapun mereka berada.
Terakhir, mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti,
maka kajian ini mustahil untuk dapat memotret seluruh komunitas Salafi
yang
lebih
kompleks.
Atas
dasar
keterbatasan
ini,
peneliti
merekomendasikan tiga saran. Pertama, kajian tentang komunitas Salafi
sebagaimana dipaparkan dalam penelitian ini peneliti akui masih jauh dari
sempurna. Kajian-kajian serupa yang mengangkat tentang tema komunitas
Salafi dapat dinilai kurang komprehensif jika hanya meneliti satu aspek saja
dari subkultur Salafi ini. Tetap dibutuhkan kajian dan penelitian yang lebih
luas mengenai komunitas Salafi yang setiap pemikiran dan tindakan mereka
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
161
mengundang misteri dan rasa penasaran orang-orang awam. Belum lagi
stigma yang dilekatkan pada komunitas dengan tampilan khasnya ini yang
sering juga diidentikkan dengan terorisme yang belakangan marak menebar
teror di Indonesia. Jauh dari apa yang dituduhkan A.M. Hendropriyono dalam
riset disertasinya, justru memahami komunitas Salafi dengan perspektif
cultural studies dapat dipaparkan tentang Salafi yang mengembangkan ajaran
cinta damai, anti kekerasan, dan membuka komunikasi terbuka terhadap
siapapun yang mau berdialog di majlis ilmu untuk menciptakan kehidupan
yang lebih harmonis di negeri ini.
Kedua, dengan mengembangkan riset yang lebih dalam dan luas
tentang subkultur Salafi yang ada di Indonesia, dapat diharapkan terciptanya
dialog yang lebih membebaskan dan jauh dari sikap saling mencurigai antar
kelompok Islam sehingga bangsa ini dapat terhindar sedini mungkin dari
akar-akar konflik yang kerapkali mudah tersulut. Pemerintah dapat
memfasilitasi untuk mengajak segenap komponen bangsa ini untuk melihat
eksistensi komunitas Salafi sebagai bagian integral dan kaya dari
kemajemukan anak bangsa ini. Meskipun berbeda ideologi dari Islam
mainstream, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), subkultur
Salafi dapat menempatkan diri mereka lebih baik dan santun, tanpa
mengusik apalagi mengganggu kelompok Islam mayoritas yang merasa hadir
lebih awal dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Indonesia. Demi
bangsa yang menganut filosofi Bhinneka Tunggal Ika, maka narasi-narasi
kecil sebagaimana ditampilkan dengan keberadaan kelompok-kelompok
Salafi tersebut perlu dirayakan, disapa, dan dirangkul atas nama toleransi
dan kebebasan menjalankan ajaran keagamaan.
Ketiga, kajian tentang bisnis dan keterlibatan komunitas Salafi dalam
dakwah di dunia maya serta barangkali juga keterlibatan aktor-aktor Salafi
dalam politik representasi dapat menjadi kajian lebih lanjut yang kaya dan
menantang. Tetapi paling tidak penelitian ini dapat menjadi sumbangsih bagi
cultural studies untuk melihat Salafi dari perspektif lain yang lebih
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
162
membebaskan dan menggugah minat kajian-kajian budaya dan media
tentang Salafi berikutnya.
Catatan:
1Giovanna
Boradori, Filsafat dalam Masa Teror: Dialog dengan Jürgen Habermas dan
Jacques Derrida, terj. Alfons Taryadi. Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 105-106.
2Greg Barton, Jemaah Islamiyah: Radical Islamism in Indonesia. Singapore: NUS
Publishing, 2004, hlm. 29
3Novriantoni Kahar, Salafi Politik dan Politik Salafisme. Makalah Seminar
Internasional di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 24 November 2012.
4Novriantoni Kahar. Salafisasi Dunia Muslim dalam http://satuharapan.com/readdetail/read/salafisasi-dunia-muslim/ diakses pada 17 Agustus 2013.
5Data diolah peneliti dari 9 televisi swasta nasional.
6Ibid.
7http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum-news/328/Gerakan-Kristen-Mennonitedi-Indonesia.html diakses pada 15 Januari 2014.
8Dick Hebdige, Subculture: The Meaning of Style. London dan New York: Routledge,
1999, hlm. 15-38.
9Istilah “kepanikan moral” didefinisikan oleh Hartley (2010: 145) sebagai suatu
deskripsi atas kecemasan publik tentang penyimpangan kesadaran atau perlakuan dalam
budaya itu sendiri yang diajarkan untuk menantang norma, nilai dan kepentingan umum
masyarakat yang berlaku
10 Dick Hebdige, hlm. 263
11Stuart Hall, “Encoding/Decoding” dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew
Lowe dan Paul willis (eds.), Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural Studies
1972-1979. London dan New York: Routledge in association with the Center for
Contemporary Cultural Studies University of Birmingham, 2005, hlm. 125-127.
12Pertti Alasuutari, Rethinking the Media Audience: The New Agenda. London,
Thousand Oaks dan New Delhi: Sage Publications, 1999, hlm. 4.
13David
L. Vancil, Rhetoric and Argumentation, Boston: Allyn and Bacon, 1993, hlm.
70-82.
14Stella
Ting-Toomey, Communicating Across Cultures. New York dan London: The
Guilford Press, 1999, hlm. 39-40.
15Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach.
Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 2004, hlm. 5-7.
16Clark
Moustakas, Phenomenological Research Methods. USA: Sage Publications Inc.,
1994.
17Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi “Fenomenologi”: Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hlm. 2.
18Matthew B. Miles dan A. Michael Hubermas, Analisa Data Kualitatif. Terj. Rohidi,
Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 16-19
19John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research: Choosing Among Five
Traditions. USA: Sage Publications Inc., 1998, hlm. 110
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
163
DAFTAR PUSTAKA
Alasuutari, Pertti. 1999. Rethinking the Media Audience: The New Agenda.
London, Thousand Oaks dan New Delhi: Sage Publications.
Barton, Greg. 2004. Jemaah Islamiyah: Radical Islamism in Indonesia.
Singapore: NUS Publishing.
Boradori, Giovanna. 2005. Filsafat dalam Masa Teror: Dialog dengan Jürgen
Habermas dan Jacques Derrida, terj. Alfons Taryadi. Jakarta: Kompas.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research: Choosing Among
Five Traditions. USA: Sage Publications Inc.
Hall, Stuart. 2005. “Encoding/Decoding” dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson,
Andrew Lowe dan Paul willis (eds.), Culture, Media, Language:
Working Papers in Cultural Studies 1972-1979. London dan New York:
Routledge in association with the Center for Contemporary Cultural
Studies University of Birmingham.
Hebdige, Dick. 1999. Subculture: The Meaning of Style. London dan New York:
Routledge, 1999, hlm. 15-38.
Kahar, Novriantoni. “Salafi Politik dan Politik Salafisme.” Makalah Seminar
Internasional di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 24 November 2012.
______ . “Salafisasi Dunia Muslim” dalam http://satuharapan.com/readdetail/read/salafisasi-dunia-muslim/ diakses pada 17 Agustus 2013.
Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi “Fenomenologi”:
Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya
Padjadjaran.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Hubermas. 1992. Analisa Data Kualitatif.
Terj. Rohidi, Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI Press.
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. USA: Sage
Publications Inc.
Ting-Toomey, Stella. 1999. Communicating Across Cultures. New York dan
London: The Guilford Press, 1999.
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
164
Vancil, David L. 1993. Rhetoric and Argumentation, Boston: Allyn and Bacon.
Wiktorowicz, Quintan (ed.). 2004. Islamic Activism: A Social Movement Theory
Approach. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press.
Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016
165
Download