1 PENGANTAR Hidup di dunia hanya sekali. Tidak ada peluang

advertisement
1
PENGANTAR
Hidup di dunia hanya sekali. Tidak ada peluang untuk terlahir kembali,
apalagi untuk menebus dosa atau memperbaiki tingkah laku di masa lalu.
Berbeda dengan kehidupan virtual dalam video game, di dunia nyata sebuah
nyawa betul-betul berarti sebuah nyawa, tidak ada tombol undo atau reset.
Semua yang hidup pasti akan mati. Kematian dapat terjadi disegala usia,
kematian tidak memandang apakah seseorang masih muda atau sudah tua,
kematian dapat menghampiri siapa saja. Sebagaimana yang tercantum dalam
Al Quran :
“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah
kepada Kami kamu dikembalikan” (QS. Al Ankabut : 57).
Kepastian akan datangnya kematian kemudian menimbulkan pertanyaan
besar tentang makna hidup dan proyeksi setelahnya. Bastaman (1996)
menyebutkan bahwa yang menjadi motivasi dasar manusia adalah keinginan
akan makna. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar
dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang.
Setiap individu tentunya menghendaki kehidupan yang bermakna, tidak
laki-laki, tidak perempuan dan tak terkecuali seorang waria. Waria sebagai
sebuah fenomena transeksual hadir jauh bersama dalam perjalanan peradaban
manusia. Keberadaan waria merupakan bukti nyata, namun demikian tampaknya
kehidupan dunia kaum ketiga ini masih jarang menjadi pusat perhatian.
Menurut pakar pendidikan Kartono (2000), waria merupakan seseorang
yang secara fisik mempunyai jenis kelamin pria, tetapi berperasaan dan
bertingkah laku seperti seorang wanita, yang dalam bahasa psikologis disebut
dengan istilah transeksual, yaitu gejala pada seseorang yang merasa dirinya
memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.
2
Keberadaan waria masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Konsep ketimuran budaya Indonesia yang sarat dengan nilai moral, agama, etika
dan norma susila memandang kaum waria atau sering disebut fenomena sosial
transeksual sebagai perilaku yang menyimpang. Hal ini menjadi alasan mengapa
keberadaan komunitas ini mengundang kontroversi dan masih dipermasalahkan.
Berbeda dengan pihak media dan rumah produksi serta perfilman nasional justru
banyak mengekspos kaum waria sebagai komoditi yang menghadirkan aneka
hiburan dan kelucuan (Koeswinarno,1998). Beberapa nama yang kemudian
muncul di media sebagai waria yang meraih kesuksesan diantaranya ada Dorce
sebagai penghibur multitalent dan Chenny Han seorang waria yang berhasil
merebut gelar juara I lomba "Professional Corrective Make-Up Competition" di
Long Beach (https://www.kompas.com,02/10/06).
Hasil wawancara pada tanggal 28 Mei 2007 yang dilakukan pada dua
tokoh masyarakat (BS) dan (M) di Badran sebagai salah satu kampung di
Yogyakarta yang juga dihuni waria, menyebutkan bahwa keberadaan waria
masih menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, di satu sisi masyarakat
menyadari keberadaan waria bisa saja memberi dampak sosial, salah satunya
sebagai kelompok yang rentan HIV/AIDS, namun di sisi lain mereka
menganggap bagaimanapun juga waria tetap manusia, sepanjang mereka tidak
melakukan hal-hal yang merugikan dan meresahkan masyarakat maka
keberadaanya tidak menjadi masalah. Lain halnya jika ada waria yang positif HIV
kemudian merahasiakan statusnya sebagai ODHA, tentunya menjadi sulit bagi
masyarakat untuk melacaknya. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat
tersebut terkesan “memperbolehkan atau menerima”keberadaan waria.
3
Koeswinarno (1998) menyebutkan hanya sebagian kecil waria yang
mampu hidup mapan dan memiliki eksistensi sosial. Sempitnya lapangan
pekerjaan dan tidak cukupnya penghasilan untuk kehidupan sehari-hari membuat
banyak di antara mereka yang terjun ke dunia prostitusi. Kenyataanya
mengembangkan hidup yang lebih baik bukanlah suatu tugas yang ringan,
karena pada hakikatnya sama dengan memenangkan perjuangan hidup, yakni
mengubah nasib buruk menjadi baik dan mengubah penghayatan diri tidak
bermakna menjadi bermakna. Cara hidup yang ditempuh waria sebagai alasan
untuk mempertahankan hidupnya, pada kenyataanya justru membuat waria
semakin kontroversi dengan lingkunganya.
Kehidupan waria yang tak jauh dari seks dan relasi seks yang tidak sehat
umumnya mengandung resiko cukup tinggi dan sangat rentan terhadap
penularan penyakit kelamin salah satunya AIDS. AIDS atau Acquired
Immunodeficiency Syndrome adalah salah satu penyakit yang membahayakan
dan dapat menyebabkan kematian dan hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
Sampai akhir tahun 2002 sekitar 42 juta penduduk dunia terinfeksi HIV dan 21,8
juta diantaranya meninggal karena AIDS. Indonesia termasuk salah satu negara
di Asia yang mengalami epidemi HIV/AIDS dengan prevalensi yang meningkat
tajam dan belum menunjukkan penurunan. Sedangkan untuk waria sendiri
menurut hasil survei random yang dilakukan pertengahan tahun 2002 di Jakarta
menyingkapkan bahwa prevalensi HIV untuk waria sebesar 21,7 persen
(http://spiritia.or.id, 02/10/06).
4
Berdasarkan data resmi dari pemerintah angka penularan HIV/.AIDS
sebesar 48,9% melalui penggunaan jarum suntik oleh penyalahguna napza
(IDU). Penularan melalui heteroseksual sebesar 39,4% dan homoseksual 4,8%.
Tetapi data sesungguhnya tidak ada yang tahu berapa persisnya, karena
HIV/AIDS seperti fenomena gunung es, yang muncul dan terlihat dipermukaan
sedikit, tetapi yang tidak terdata sesungguhnya sangat besar jumlahnya
(http://www.bkkbn.go.id, 02/10/06).
Seorang yang tertular HIV/AIDS cenderung mengalami berbagai persoalan
psikologis dan emosional. Tipisnya peluang untuk sembuh, ketidakpastian
mengenai sisa usia membuat seseorang berpikir tentang hidup yang terbatas.
Sebagian ODHA belum dapat menerima sepenuhnya kondisi mereka dan masih
mengalami kecemasan, rasa malu, ketakutan, kekecewaan dan kemarahan
karena status HIV-nya. (http://www.spiritia.or.id, 02/10/06). Selain itu resiko
bunuh diri pada penderita HIV/AIDS cukup tinggi akibat depresi mental yang
dialaminya (Hawari, 2004). Seperti kasus yang dialami Sulasi (31 Tahun)
seorang anggota dari jaringan nasional ODHA asal Jawa Timur mengatakan
pada saat diberitahu bahwa dirinya hanya mempunyai kesempatan beberapa
bulan untuk hidup, hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya adalah
keinginan untuk bunuh diri (http://situs.kesrepro.info,16/05/2007).
Respon masyarakat yang munculpun beragam ada yang kasihan namun
tidak sedikit pula masyarakat yang memunculkan stigma bahkan diskriminasi
pada ODHA. Informasi dan pengetahuan masyarakat yang sering kali keliru
tentang siapa yang mendapat HIV dan bagaimana HIV tersebar telah
menyebabkan konsekuensi yang serius. Beberapa stigma yang muncul
diantaranya menganggap penyakit AIDS sebagai kutukan dari Tuhan dan terjadi
5
pada orang-orang yang telah berbuat maksiat dan melanggar kodrat
(http://www.sinarharapan.co.id,06/09/06).
Beberapa contoh diskriminasi pada ODHA diantaranya seperti hal yang
dialami oleh Intan Maria (25 Tahun) seorang penderita AIDS mengaku pernah
ditolak
rumah
sakit
karena
mengidap
AIDS
(http://www.
suarakarya-
online.com,16/05/2007). Demikian pula halnya dengan Yona (35 tahun) seorang
karyawati di sebuah perusahaan suplier barang-barang kimia, tahun 2003 Yona
dikeluarkan
dari
tempatnya
bekerja
setelah
teman-teman
sekerjanya
mengajukan usul kepada atasannya karena takut tertular. Deni (22 tahun) yang
juga relawan AIDS positif HIV, mengaku pernah diancam rumahnya akan dibakar
jika tidak mau pindah oleh salah satu warga disekitar tempat Deni kost
(http://www.aids-rspiss.com,16/05/2007).
Pada waria penderita HIV/AIDS status ODHA atau orang dengan
HIV/AIDS membawa dampak tersendiri, mereka mau tidak mau dihadapkan
pada masalah yang kompleks berupa stigma ganda, pertama mereka sebagai
kaum yang masih menjadi kontroversi harus menghadapi gejolak kewariaan
terhadap kenyataan baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat luas dan
lingkungan sekitarnya. Kedua, mereka juga harus menghadapi berbagai
perubahan setelah diagnosis HIV seperti stigma sosial dan diskriminasi
mengenai HIV/AIDS yang juga menjadi salah satu imbas yang harus ditanggung
(http://www.freelists.org, 06/09/06).
6
Adanya masalah-masalah yang dihadapi waria penderita Hiv/AIDS jika
tidak dapat ditangani dengan baik dan dihubungkan dengan penyakit dapat
menjadi stressor dan menimbulkan efek psikologi yang berat bagi ODHA
terutama menyangkut kesehatannya. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa
kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan yang
pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan jiwa (http://situs.kesrepro.info/
16/05/2007). Ditemukan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada orang
yang hidup dengan HIV (ODHA) adalah antara 30-60%. Gangguan depresi dan
penyesuaian diri dianggap sebagai hal umum yang dialami ODHA. Walaupun
sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi
dan kejadian depresi yang pasti pada ODHA, ada kesepakatan bahwa angkanya
lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum (http://www.spiritia.or.id/
02/10/06). Hasil penelitian Kotchen (Koeswara, 1992) menunjukkan adanya
hubungan antara kesehatan jiwa dengan kebermaknaan hidup, di mana jiwa
yang sehat berkorelasi positif dengan kebermaknaan hidup. Stressor yang
dialami waria penderita HIV/AIDS dapat membuat mereka kehilangan gairah
untuk menjalani kehidupan, tidak mau tahu dengan masa depan mereka.
Keadaan seperti ini membuat mereka rentan kehilangan kebermaknaan hidup.
Tasmara (2001) merumuskan bahwa individu yang menjalani kehidupan
bermakna dan memiliki kebermaknaan hidup menunjukkan corak kehidupan
yang penuh gairah dan optimisme dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan
mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka menjalani
kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan memiliki tujuan hidup yang
jelas, baik tujuan jangka panjang, kegiatan sehari-hari akan semakin terarah dan
dikerjakan dengan penuh tanggung jawab.
7
Di lain pihak seseorang yang tidak berhasil menemukan dan memenuhi
makna hidupnya, maka akibatnya dia mengalami semacam frustasi yang disebut
Frankl (Bastaman, 1996) sebagai frustasi eksistensial. Gejala-gejala utamanya
adalah hidup terasa hampa, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak
berarti, timbul perasaan bosan dan apatis. Seorang waria penderita HIV/AIDS
menjadi rentan mengalami perasaan tidak berharga dan tidak berarti karena
persoalan psikologis dan emosional yang dialaminya terkait dengan penyakitnya,
keberadaanya yang masih menjadi kontroversi, terbatasnya ruang untuk bekerja
ditambah lagi dengan stigma dan diskriminasi yang mungkin terjadi.
Hal ini tentunya menjadi beban berat bagi waria penderita HIV/AIDS
dimana layaknya manusia pada umumnya, selain mereka memiliki sejumlah citacita dan pengharapan akan hidupnya, mereka juga mengalami kebutuhan yang
sama dengan manusia pada umumnya. Situasi unik yang dihadapi waria
penderita HIV/AIDS jika kemudian dihadapkan pada pertanyaan bagaimanakah
kebermaknaan hidup mereka menjadi hal yang khas dan unik sehingga menarik
untuk diteliti.
TINJAUAN PUSTAKA
Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga
dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidup.
Gambaran mengenai hidup yang bermakna menunjukkan bahwa bila makna
hidup ditemukan dan tujuan hidup berhasil direalisasikan, maka kehidupan akan
dirasakan sangat berarti (meaningful) yang pada giliranya akan menimbulkan
kebahagiaan (happiness). Sehingga dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah
akibat dari keberhasilan seseorang memenuhi arti hidupnya (Bastaman, 1996).
8
Sementara itu Frankl (2003) mengartikan makna hidup sebagai sesuatu
hal yang unik dan spesifik yang harus dicari dan ditemukan sendiri oleh individu
tersebut. Kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana
seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya
menurut sudut pandang dirinya sendiri.
Agama islam memandang manusia yang memiliki kebermaknaan hidup
adalah seseorang yang hidup dengan sebenar-benar takwa kepada Allah SWT,
dalam arti patuh, taat menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Selain
itu mampu membangun hubungan yang serasi, selaras dan seimbang secara
vertikal dengan Tuhannya dan secara horizontal dengan sesama manusia serta
alam sekitarnya (Hawari, 2004).
Menurut Frankl, makna hidup memiliki beberapa karakteristik. Pertama
makna hidup bersifat temporer, personal dan unik (Bastaman, 1996).
Karakteristik ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap penting bagi seseorang
dapat berubah dari waktu, saat-saat yang bermakna yang dialami seseorang
belum tentu memiliki makna yang sama dengan orang lain. Kedua, makna hidup
bersifat konkrit dan spesifik, yaitu makna hidup dapat dijumpai dalam kehidupan
nyata dan kehidupan sehari-hari, tidak harus berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat abstrak, filosofis dan idealistis, atau karya seni dan prestasi akademik
yang mengagumkan. Ketiga makna hidup memiliki sifat memberi pedoman dan
arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakanakan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Keempat,
makna hidup itu mutlak (absolut), semesta (universal) dan paripurna (ultimate).
Bagi kaum non agamis makna hidup ditemukan pada alam semesta, ekosistem,
kemanusiaan, ideologi atau pandangan filsafat tertentu. Sedangkan bagi kaum
9
beragama makna hidup ditemukan pada Dzat yang menciptakan manusia dan
segala sesuatu yang menjadi sumber kekaguman, inspirasi bagi manusia.
Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan kebermaknaan hidup
adalah suatu kondisi dimana individu memiliki makna dalam hidupnya, mengenai
hal-hal yang dianggapnya berarti, benar dan sangat berharga yang diperoleh dan
dirasakan oleh masing-masing individu secara personal serta tidak dapat
diberikan oleh orang lain dan harus dipenuhi oleh individu itu sendiri. Selain itu
kebermaknaan hidup diartikan sebagai suatu hal yang dirasakan oleh seseorang
dan dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang mendapatkanya,
kebahagiaan tersebut dapat diperoleh dan dicari oleh individu tersebut baik dari
diri individu maupun dari lingkunganya.
Berdasarkan hasil temuan studi kasus yang dilakukan Bastaman (1996),
komponen atau dimensi kebermaknaan hidup dapat dikategorikan dalam empat
dimensi, yaitu dimensi personal, sosial, spiritual dan dimensi nilai-nilai. Dimensi
kebermaknaan hidup menurut Bastaman (1996) adalah :
a Dimensi Personal
Mengacu pada cara individu untuk menafsirkan dunianya secara khusus
dan historis dalam hal ini mencakup sejauh mana pemahaman terhadap kondisi
diri meliputi kekuatan dan kelemahan pribadi dan hal-hal yang dilakukan
terhadap kondisi diri.
b. Dimensi Sosial
Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan
menyikapi lingkungan disekitarnya dan hubunganya dengan orang lain.
10
c. Dimensi Nilai-nilai
Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan
menyikapi nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting meliputi pemahaman dan
penghayatan terhadap seluruh aktivitas, perbuatan, usaha-usaha yang dilakukan
dan harapan-harapan yang muncul.
d. Dimensi Spiritual
Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan
menyikapi sisi diluar kekuatan manusia mencakup keyakinan, pandangan
terhadap Tuhan, ibadah dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyimpulkan bahwa waria penderita HIV/AIDS adalah seorang
laki-laki yang berdandan dan berlaku sebagai wanita yang terinfeksi virus HIV
baik yang baru terinfeksi maupun yang sudah berstatus AIDS.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif
memungkinkan peneliti mendapatkan jawaban mendalam mengenai apa yang
dipikirkan dan dirasakan oleh responden penelitian, dikarenakan responden lebih
diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya tanpa harus membuatnya
terperangkap pada pilihan kondisi dan jawaban standar yang mungkin tidak
sesuai dengan konteks kehidupannya (Poerwandari, 1998). Desain penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study), Menurut
peneliti desain inilah yang pantas dipergunakan untuk menjelaskan hasil
penelitian ini tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau
teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
11
Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling.
Purposive sampling adalah teknik pemilihan subjek sumber data
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005).
Dalam penentuan subjek, peneliti mendapat bantuan mami Vinolia
sebagai koordinator waria se-Jogja. Subjek dalam penelitian ini adalah waria
penderita HIV/AIDS di Yogjakarta VN, DV dan WN yang kegiatan sehari-harinya
nyebong dengan pertimbangan subjek memiliki banyak waktu dan
bersedia
untuk dimintai keterangan dan dua orang key person VA dan YS. Pemilihan
subjek yang berasal dari daerah DIY ini untuk memudahkan penelitian (dalam
satu kota dengan peneliti).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam
(in depth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian. Metode
pengumpulan data semacam ini diharapkan dapat memperoleh data-data berupa
respon terbuka (open-ended response) yang memungkinkan peneliti memahami
dan menangkap subjek penelitiannya, kedalaman emosi mereka, cara mereka
mengorganisasi dunianya, pemikiran atau anggapan mereka mengenai apa yang
tengah terjadi, pengalaman-pengalaman serta persepsi dasar mereka.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data
kualitataif berupa analisis content atau analisis isi dengan urutan metode
analisis data mengumpulkan data, membuat koding, membuat tema, membuat
kategori, melakukan penarikan kesimpulan.
12
HASIL PENELITIAN
1. Identitas Subjek
Subjek VN adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 36
tahun dan berasal dari Palembang. Anak ke lima dari enam bersaudara ini
beragama Islam. Subjek berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi sedang
dan rata-rata pendidikan orang tua (SMP/SMA) sedangkan pendidikan terakhir
subjek SD kelas lima. Subjek merantau ke Yogyakarta kemudian tinggal di
Badran tahun 1993 dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada tahun
2005.
Subjek DV adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 43 tahun.
Subjek berasal dari kampung yang sama dengan subjek VN di Palembang. Anak
ke lima dari tujuh bersaudara ini berasal beragama Islam. Subjek berasal dari
keluarga kurang mampu dan rata-rata pendidikan orang tua (SMP/SD)
sementara subjek tidak sekolah. Subjek merantau Jakarta lalu tinggal di Badran,
Yogyakarta
tahun 1993 dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada
tahun 2004.
Subjek WN adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 47 tahun
dan berasal dari Lubuk Linggau, Palembang. Anak bungsu enam bersaudara ini
beragama Islam bahkan ayah subjek adalah seorang haji. Subjek berasal dari
keluarga dengan kondisi ekonomi menengah keatas dan rata-rata pendidikan
orang tua (SMP/SMA) sementara pendidikan terakhir subjek tamat SD. Subjek
merantau ke Jakarta lalu sempat tinggal di Ngaglik, Kricak baru kemudian
Badran, Yogyakarta dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada tahun
2005. Keluarga dan tetangga ketiga subjek tidak mengetahui status subjek
sebagai ODHA.
13
2. Hasil Wawancara dan Observasi
a. Hasil wawancara
Berdasarkan hasil analisis wawancara didapatkan beberapa tema
diantaranya persepsi diri berupa kesadaran memiliki kecenderungan menjadi
waria sejak kecil dan memunculkan pandangan negatif terhadap waria.
Penerimaan diri sebagai waria yang berbeda meliputi penerimaan diri yang
baik dan buruk. Reaksi ketika divonis HIV berupa perasaan tidak percaya,
terpukul dan sedih. Sikap terhadap kondisi sebagai ODHA berupa
kepasrahan dan penerimaan kondisi sebagai ODHA. Hal yang dilakukan
setelah menjadi ODHA berupa usaha mempertahankan hidup dengan
menghadapi dan mengobati penyakit.
Didapatkan bahwa kondisi lingkungan dimana adanya model waria.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat responden menunjukkan adanya
interaksi yang baik, ada pula yang terkesan kurang berinteraksi. Dalam
berinteraksi dengan pasangan seluruh responden menunjukkan adanya
interaksi yang mendalam dengan pasangan. Sementara dalam berinteraksi
dengan kelompok/peer dimana responden justru mendapat dukungan sosial
dari kelompok atau peer. Masyarakat yang tidak mengetahui status subjek
sebagai ODHA menjadi salah satu kemungkinan
timbulnya penerimaan
terutama masyarakat sekitar Badran, Yogyakarta.
Dalam memandang hidupnya responden memunculkan pandangan positif
dan negatif. Harapan terhadap hidup berupa harapan untuk tetap hidup yang
dimunculkan dari adanya keinginan menghadapi dan mengobati penyakit,
dan penghidupan yang lebih baik berupa keinginan keluar dari dunia malam,
keinginan memiliki hidup yang damai dan sentosa serta hubungan dengan
14
orang lain baik. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan adalah keluar malam
untuk mencukupi kebutuhan hidup sekaligus seks salah satu penyebabnya
berupa kurangnya pendidikan dan tidak adanya keterampilan yang dimiliki.
Sehingga muncul pandangan dan sikap negatif terhadap pekerjaan.
Mengenai pandangan terhadap Tuhan umumnya responden percaya
akan adanya Tuhan, menganggap Tuhan sebagai pencipta, penentu dan
pengatur segala sesuatu, Tuhan sebagai tempat memasrahkan diri dan
memanjatkan doa. Sementara untuk ibadah responden terkesan kurang.
b. Hasil Analisis Observasi
Observasi dilakukan melalui empat sesi antara lain observasi pada saat
wawancara berlangsung, observasi pada saat subjek melakukan interaksi
sosial yang dibagi menjadi dua sesi yaitu observasi Interaksi sosial 1 dan
observasi interaksi social 2 dan observasi perilaku di tempat cebongan atau
tempat subjek keluar malam. Hasil observasi dalam wawancara adalah
sebagai berikut :
1) Observasi selama wawancara berangsung
Pertama kali peneliti datang ke tempat subjek VN, subjek menyambut
dengan ramah. Selama proses wawancara subjek menjawab seluruh
pertanyaan dengan lancar bahkan terkesan ceriwis dan bersemangat. Subjek
sangat ekspresif dalam mengungkapkan pendapat dan perasaanya. Sikap
dan respon subjek ketika diwawancara semakin menguatkan kepribadian
subjek yang ekstrovert. Selama proses wawancara subjek DV terkesan
jarang berbicara. Subjek yang cenderung pendiam sedikit dalam berbicara
sehingga peneliti harus lebih aktif dalam menggali informasi. Selama proses
wawancara subjek WN terkesan jarang berbicara, subjek hanya menjawab
15
pertanyaan dengan singkat sehingga sering kali peneliti harus memancing
subjek. Saat itu subjek baru saja bangun tidur sehingga membuat subjek
terlihat masih agak malas. Walaupun ketika proses wawancara dengan
subjek DV maupun WN, ada beberapa pertanyaan yang memang harus
dijelaskan berulang-ulang namun sebagian besar pertanyaan yang diajukan
oleh peneliti dapat dijawab dengan baik dan cukup jelas.
2) Observasi Interaksi Sosial 1 dan 2
Beberapa hal yang ditemukan peneliti di tempat observasi antara lain
situasi di kampung Badran tempat dimana subjek tinggal, di tempat tersebut
peneliti banyak menjumpai waria yang berperilaku dan berdandan layaknya
perempuan. Subjek VN dalam keseharian selalu menggunakan pakaian
perempuan berperilaku lemah gemulai dan berbicara dengan nada yang
kemayu. Subjek terkesan luwes dan membaur dengan tetangga sekitar
terutama ibu-ibu. Selain itu subjek juga terkesan ramah dan ceriwis hal ini
bisa dilihat ketika subjek sedang berbicara dengan orang lain maupun
dengan peneliti. Subjek DV dalam kesehariannya juga sering menggunakan
pakaian layaknya perempuan. Selama proses penelitian subjek terkesan
jarang berbicara hal ini dapat dilihat ketika subjek sedang berbicara dengan
peneliti. Subjek termasuk orang yang rapih hal ini terlihat dari kondisi kamar
subjek yang tertata dengan baik. Saat ini subjek terlihat sedang menjalin
hubungan dengan seorang lelaki muda. Subjek WN dalam kesehariannya
menggunakan pakaian layaknya laki-laki. Subjek ketiga tidak banyak
berbicara dan terkesan pendiam. Subjek lebih banyak menghabiskan waktu
luang untuk berdiam diri didalam kamar. Subjek juga tidak tertarik untuk
bergabung dengan teman yang lain yang mengikuti kegiatan kampung.
16
3) Observasi Perilaku di tempat cebongan
Beberapa hal yang ditemukan peneliti di tempat observasi antara lain
situasi tempat cebongan disepanjang rel kereta api stasiun tugu Yogyakarta,
dimana peneliti menjumpai banyak waria yang berpakaian minim dan
dandanan yang mencolok. Berbeda dengan keseharianya kali ini peneliti juga
menjumpai ketiga subjek yang berpakaian lebih minim dan bermake up tebal
sebagaimana waria lainya. Dalam mendapatkan pelanggan subjek VN terlihat
lebih agresif dalam membujuk tamunya sedangkan subjek DV dan WN hanya
diam menunggu.
PEMBAHASAN
Makna hidup waria penderita HIV/AIDS tentunya tidak lepas dari
pengalaman hidup atau hal-hal yang dialami oleh mereka sepanjang hidupnya
yang kemudian hal itu dimaknai berdasarkan persepsi dan nilai-nilai yang
mereka miliki. Diawali dengan adanya kesadaran responden bahwa dirinya
memiliki kecenderungan menjadi waria sejak kecil, dari sini kemudian muncul
pandangan-pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Keberadaan komunitas
yang
memiliki
karakteristik
yang
sama
menguatkan
responden
untuk
mengukuhkan identitasnya sebagai waria. Dalam kondisi memiliki penerimaan
yang baik atau buruk sebagai waria, responden tetap mengidentifikasikan dirinya
sebagai waria, berlaku dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar sebagai
waria. Hidup lepas dari orang tua menuntut responden untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya sendiri. Tuntutan kebutuhan hidup sekaligus seks,
terbatasnya ruang bagi waria untuk mendapatkan pekerjaan ditambah lagi
dengan kurangnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, serta adanya
model waria mendorong mereka untuk memilih keluar malam. Aktivitas keluar
17
malam dan perilaku seksual yang tidak sehat mengakibatkan responden
terinfeksi HIV. Reaksi emosi dan kepasrahan yang muncul dipengaruhi oleh
dukungan sosial dari kelompok/peer lambat laun mendorong responden untuk
lebih menerima kondisinya sebagai ODHA dan menumbuhkan keyakinan positif
untuk menghadapi penyakitnya.
Schultz (1991) merumuskan bahwa individu yang menjalani kehidupan
bermakna dan memiliki kebermaknaan hidup mempunyai ciri-ciri antara lain
bertanggung jawab secara pribadi dalam mengarahkan hidupnya dan dalam
menyikapi nasib atau takdir, mengenali diri sendiri, menyadari dirinya sebagai
mahluk Tuhan, memiliki kendali atau kontrol sadar terhadap hidupnya, memiliki
kebebasan untuk memilih cara bertindak dan bersikap berdasarkan apa yang dia
yakini kebenarannya, memiliki kemampuan memberi dan menerima cinta,
mampu melakukan transedensi diri dan memiliki alasan untuk terus menjalani
hidup. Responden pertama banyak menunjukkan ciri-ciri tersebut diatas
sehingga hal ini mempengaruhi kebermaknaan hidup responden.
Adapun menurut Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan ciri-ciri orang
yang mengalami ketidakbermaknaan hidup antara lain berupa penghayatan
hidup tidak bermakna, perasaan hampa, gersang, merasa tidak memilki tujuan
hidup, merasa hidup tidak berarti, serba bosan dan apatis. Responden kedua
dan ketiga menunjukkan ciri-ciri tersebut diatas sehingga hal ini mempengaruhi
kebermaknaan
hidup
responden.
Berdasarkan
seluruh
perjalanan
dan
pengalaman hidup yang responden miliki akhirnya melahirkan kebermaknaan
hidup yang berbeda. Adapun secara ringkas hal tersebut dapat dilihat pada
bagan 1 berikut ini :
18
19
Waria penderita HIV/AIDS memiliki makna hidup yang personal dan unik.
Kebermaknaan hidup yang mereka rasakan berbeda antara satu individu dengan
individu lainya tergantung pada pengalaman hidup dan apa-apa yang dimiliki.
Dalam meraih kebermaknaan hidupnya responden memunculkan berbagai
komponen baik secara personal, sosial, nilai-nilai maupun spiritual yang dimiliki.
Komponen-komponen
tersebut
tidak
mutlak
ada
pada
masing-masing
responden. Hal tersebut mendasar pada keunikan pribadi dan pengalaman hidup
masing-masing responden.
Adapun secara ringkas komponen kebermaknaan hidup waria penderita
HIV/AIDS ditunjukkan dalam bagan 2 berikut ini :
20
21
Kebermaknaan hidup merupakan pengalaman subjektif yaitu pengalaman
yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Akibatnya tiap-tiap
orang memiliki pengalaman yang berbeda dalam upaya memaknai hidup. Namun
berdasarkan hasil penelitian sesungguhnya waria penderita HIV/AIDS dalam
meraih kebermaknaan hidup belum sepenuhnya sempurna atau dapat dikatakan
belum mencapai taraf kebahagiaan yang hakiki. Hal ini disebabkan munculnya
makna hidup waria penderita HIV/AIDS sebagai wujud reaksi pertahanan diri
(defense) terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan. Bagi
mereka kepuasan hidup tidak didapatkan melalui perbuatan berharga tapi lebih
kepada
penerimaan
atas
apa
yang
ada
(penerimaan
diri),
berusaha
menyesuaikan diri sebisa mungkin dengan lingkungan dengan cara tidak
membuat masalah dan meraih cinta dan dukungan sebanyak-banyaknya dari
orang lain. Sementara kenyataanya perbaikan hidup tidak dapat diraih dengan
sikap pasif atau reaktif melainkan melalui upaya dan usaha aktif seseorang.
Sesuai dengan Firman Allah dalam surat Ara’d ayat 11 :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali- kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia”.
Kekurangan dalam penelitian yang berjudul kebermaknaan hidup waria
penderita HIV/AIDS ini adalah dalam tercapainya titik saturasi akan lebih baik jika
penelitian menambah jumlah subjek dalam mencapai titik saturasi. Selain itu,
peneliti tidak menggunakan skala untuk mengetahui tingkatan kebermaknaan
hidup
waria
penderita
HIV/AIDS,
sehingga
tidak
diketahui
tingkatan
kebermaknaan hidup hidup antar subjek. Dalam hal ini, hasil penelitian ini tidak
dapat memberikan gambaran berkaitan dengan tinggi rendahnya kebermaknaan
22
hidup yang dirasakan subjek. Artinya penelitian ini tidak dapat menunjukkan
tingkatan kebermaknaan hidup ekstrim tinggi atau rendah pada masing-masing
subjek.
Teori kebermaknaan hidup ini berpijak dan muncul dari jaman, aliran dan
situasi yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Meskipun demikian,
membincangkan soal kebermaknaan hidup sesungguhnya sangatlah penting.
Tentunya dengan konsep yang bisa diselaraskan dengan situasi sekarang.
Hidup di zaman yang sarat materialisme dan hedonisme ini menuntut manusia
untuk kembali pada tujuan penciptaan dan keberadaan manusia itu sendiri.
Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Adz-dzariyat ayat 56 yang
berbunyi:
“Dan tidaklah diciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat
kepadaKu”
23
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Keberadaan kaum waria penderita HIV/AIDS sebagai kaum dunia ketiga
menjadi bahan masukan untuk memahami karakteristik dan keunikannya tidaklah
untuk
memojokkan
ataupun
mendiskriminasikan.
Berdasarkan
penelitian
dilapangan didapat bahwa makna hidup yang dimiliki waria penderita HIV/AIDS
merupakan hal yang khas, berkembang secara unik, muncul melalui berbagai
pengalaman yang hadir. Kebermaknaan hidupnya waria penderita HIV/AIDS
ditandai dengan adanya penerimaan diri secara utuh baik sebagai waria maupun
ODHA, adanya interaksi yang baik dengan masyarakat, interaksi mendalam
dengan pasangan, dukungan sosial dari kelompok/peer, adanya harapan hidup
dan penghidupan yang lebih baik serta sikap percaya terhadap keberadaan
Tuhan, memandang Tuhan sebagai penentu dan pengatur segala sesuatu
sebagai tempat memasrahkan diri dan memanjatkan doa.
Sebaliknya waria penderita HIV/AIDS yang tidak dapat merasakan
kebermaknaan hidupnya cenderung tidak dapat menerima kondisi diri, kurang
berinteraksi dengan lingkungan, memiliki pandangan dan sikap negatif terhadap
aktivitas dan pandangan negatif terhadap hidup.
24
2. Saran
1. Bagi waria penderita HIV/AIDS
Diharapkan untuk dapat lebih mengoptimalkan usaha-usaha dalam rangka
perbaikan hidup, meningkatkan kedekatan dengan Tuhan, memahami
keunikan dalam diri, menerima dan mengakui keberadaan diri secara
menyeluruh, lebih terbuka terhadap masyarakat bahkan lebih jauh dapat
berperan aktif dalam kegiatan dilingkungan tempat tinggal yang akan
memberikan penerimaan masyarakat dan terus berusaha meningkatkan
potensi diri.
2. Bagi masyarakat umum
Peneliti berharap masyarakat dapat menempatkan posisi waria penderita
HIV/AIDS secara tepat, tidak apatis atau permisif dengan keberadaan
mereka tidak pula mendiskriminasikan atau bahkan memojokkan mereka.
Memandang waria sebagai individu yang perlu diberdayakan, memberi
kesempatan bagi mereka untuk berkarya, bekerja dan bergaul sehingga
mereka dapat hidup secara wajar, layak dan bertanggungjawab.
3. Bagi peneliti berikutnya
Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti mengharapkan peneliti-peneliti
selanjutnya agar dapat melangkapi penelitian yang dilakukan yaitu dengan
turut serta mengadakan pendampingan ataupun upaya untuk meningkatkan
potensi waria penderita HIV/AIDS. Hal ini akan menyempurnakan penelitian
sehingga tidak hanya menganggap waria waria penderita HIV/AIDS
sebagai sumber data tetapi sebagai individu yang juga mempunyai
keinginan berkembang.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Y. 2006. Prostitusi Waria di Bandung. http://www.freelists.org/archives/
ppi//05-2006/msg00419.html. 06/09/06
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2004. HIV/AIDS: Sekilas data
dan permasalahannya. http://www.bkkbn.go.id/ditfor/program_detail.php?
prgid=26. 02/10/06
Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogjakarta : Pustaka
Pelajar.
---------------------. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina.
Frankl, V.E., 2003. Man’s Search For Meaning : an introduction to Logotherapy.
Edisi Terjemahan. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Green, Chris W. 2002. Diskriminasi pada ODHA. http://situs.kesrepro.info/
pmshivaids/des/2002/utama01.htm/16/05/2007
Hawari, D. 2004. ALQur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa.
Kartono, K & Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV. Pionir Jaya
Koeswara, E. 1992. Logoterapi : Psikoterapi Viktor Frankl. Bandung : PT.
Eresco
Koeswinarno. 1998. Waria dan Penyakit Menular Seksual. Pusat penelitian
Kependudukan UGM. Yogyakarta.
Mangku. 2005. Stigma Keliru Masih Menghantui Penderita AIDS. http://www.
suarakarya-online.com/news.html?id=163045, 16/05/2007.
Messwati, E. D. 2004. Mereka Terdiskriminasi, Mereka Kehilangan Hak-hak Sipil.
https://www.kompas.com/kompascetak/0409/16/humaniora/1271895.htm/
02/10/06
Mubarak. ODHA & Akses Pelayanan Kesehatan Dasar. http://www.spiritia.or.id/
Dok/ odhaakses.pdf. 02/10/06
Nadia, Z. 2005. Janin Itu Bernama Waria. http://www.indomedia.com/bpost/
052005/29/ragam/ragam1.htm, 22/11/06
Niken S. P. HIV/AIDS. http://www.ashoka.or.id/index.php?option=com_content&
task=view &id=109 &Itemid=87.02/10/06
26
Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Puspitosari, H dan Pujileksono, S. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang :
UMM Press
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan (terjemahan). Jogjakarta : Penerbit
Kanisius.
Subronto. 2004. ODHA Masih Saja Diperlakukan Tidak Adil. http://www.
aidsrspiss.com/articles.php?lng=en&pg=8&id=3/16,05/2007
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta
Susanti, R, F, SH. 2002. Pemahaman terhadap HIV/AIDS Baru Sebatas
”Momok” Sosial.
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/
2002/081/kes1.html. 06/09/06
Tasmara, T.
2001.
Kecerdasan Ruhaniah (transedental Intelligence) :
membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan
berakhlak. Jakarta : Bina Insani Press.
Tim Ad Hoc Penyusun Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003 –
2007. 2003. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003 – 2007.
http://spiritia.or.id/Stranas.php. 02/10/06
Triwikromo, T. 2004. “Waria-waria beroperasi di kampus,alamak!”. www.suara
merdeka.com/harian/0107/31/kot.7htm, 03/11/06.
Turner, J. s., & Helms, D. B. 1983. Lifespand development (2th ed.) Florida :
Holt, Rinehart & Winston, Inc.
27
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Indah Kusumawati
No. Mahasiswa
: 02320204
Alamat Kost
: Jl. Kaliurang km 14, Kavling UII, Wisma Zaitun C-16.
Sleman-Yogyakarta, 55584. Telp. (0274) 7414373
Alamat Asal
: Jl. Mayor Oking Djayaatmadja No. 51
Kamurang RT 04/11, Citeureup-Bogor 16810.
Telp. (021) 87941746
No. HP
: 081328366452
28
NASKAH PUBLIKASI
KEBERMAKNAAN HIDUP WARIA PENDERITA HIV/AIDS
Oleh
NDAH KUSUMAWATI
02320204
Oleh:
INDAH KUSUMAWATI
SUKARTI
THOBAGUS MOH. NU’MAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
29
NASKAH PUBLIKASI
KEBERMAKNAAN HIDUP WARIA PENDERITA HIV/AIDS
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
Asisten Pembimbing
(Dr. Hj. Sukarti )
(Thobagus Nu’man, S. Psi. Psikolog)
30
31
Download