1 PENGANTAR Hidup di dunia hanya sekali. Tidak ada peluang untuk terlahir kembali, apalagi untuk menebus dosa atau memperbaiki tingkah laku di masa lalu. Berbeda dengan kehidupan virtual dalam video game, di dunia nyata sebuah nyawa betul-betul berarti sebuah nyawa, tidak ada tombol undo atau reset. Semua yang hidup pasti akan mati. Kematian dapat terjadi disegala usia, kematian tidak memandang apakah seseorang masih muda atau sudah tua, kematian dapat menghampiri siapa saja. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran : “ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (QS. Al Ankabut : 57). Kepastian akan datangnya kematian kemudian menimbulkan pertanyaan besar tentang makna hidup dan proyeksi setelahnya. Bastaman (1996) menyebutkan bahwa yang menjadi motivasi dasar manusia adalah keinginan akan makna. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Setiap individu tentunya menghendaki kehidupan yang bermakna, tidak laki-laki, tidak perempuan dan tak terkecuali seorang waria. Waria sebagai sebuah fenomena transeksual hadir jauh bersama dalam perjalanan peradaban manusia. Keberadaan waria merupakan bukti nyata, namun demikian tampaknya kehidupan dunia kaum ketiga ini masih jarang menjadi pusat perhatian. Menurut pakar pendidikan Kartono (2000), waria merupakan seseorang yang secara fisik mempunyai jenis kelamin pria, tetapi berperasaan dan bertingkah laku seperti seorang wanita, yang dalam bahasa psikologis disebut dengan istilah transeksual, yaitu gejala pada seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. 2 Keberadaan waria masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Konsep ketimuran budaya Indonesia yang sarat dengan nilai moral, agama, etika dan norma susila memandang kaum waria atau sering disebut fenomena sosial transeksual sebagai perilaku yang menyimpang. Hal ini menjadi alasan mengapa keberadaan komunitas ini mengundang kontroversi dan masih dipermasalahkan. Berbeda dengan pihak media dan rumah produksi serta perfilman nasional justru banyak mengekspos kaum waria sebagai komoditi yang menghadirkan aneka hiburan dan kelucuan (Koeswinarno,1998). Beberapa nama yang kemudian muncul di media sebagai waria yang meraih kesuksesan diantaranya ada Dorce sebagai penghibur multitalent dan Chenny Han seorang waria yang berhasil merebut gelar juara I lomba "Professional Corrective Make-Up Competition" di Long Beach (https://www.kompas.com,02/10/06). Hasil wawancara pada tanggal 28 Mei 2007 yang dilakukan pada dua tokoh masyarakat (BS) dan (M) di Badran sebagai salah satu kampung di Yogyakarta yang juga dihuni waria, menyebutkan bahwa keberadaan waria masih menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, di satu sisi masyarakat menyadari keberadaan waria bisa saja memberi dampak sosial, salah satunya sebagai kelompok yang rentan HIV/AIDS, namun di sisi lain mereka menganggap bagaimanapun juga waria tetap manusia, sepanjang mereka tidak melakukan hal-hal yang merugikan dan meresahkan masyarakat maka keberadaanya tidak menjadi masalah. Lain halnya jika ada waria yang positif HIV kemudian merahasiakan statusnya sebagai ODHA, tentunya menjadi sulit bagi masyarakat untuk melacaknya. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat tersebut terkesan “memperbolehkan atau menerima”keberadaan waria. 3 Koeswinarno (1998) menyebutkan hanya sebagian kecil waria yang mampu hidup mapan dan memiliki eksistensi sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak cukupnya penghasilan untuk kehidupan sehari-hari membuat banyak di antara mereka yang terjun ke dunia prostitusi. Kenyataanya mengembangkan hidup yang lebih baik bukanlah suatu tugas yang ringan, karena pada hakikatnya sama dengan memenangkan perjuangan hidup, yakni mengubah nasib buruk menjadi baik dan mengubah penghayatan diri tidak bermakna menjadi bermakna. Cara hidup yang ditempuh waria sebagai alasan untuk mempertahankan hidupnya, pada kenyataanya justru membuat waria semakin kontroversi dengan lingkunganya. Kehidupan waria yang tak jauh dari seks dan relasi seks yang tidak sehat umumnya mengandung resiko cukup tinggi dan sangat rentan terhadap penularan penyakit kelamin salah satunya AIDS. AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah salah satu penyakit yang membahayakan dan dapat menyebabkan kematian dan hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Sampai akhir tahun 2002 sekitar 42 juta penduduk dunia terinfeksi HIV dan 21,8 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang mengalami epidemi HIV/AIDS dengan prevalensi yang meningkat tajam dan belum menunjukkan penurunan. Sedangkan untuk waria sendiri menurut hasil survei random yang dilakukan pertengahan tahun 2002 di Jakarta menyingkapkan bahwa prevalensi HIV untuk waria sebesar 21,7 persen (http://spiritia.or.id, 02/10/06). 4 Berdasarkan data resmi dari pemerintah angka penularan HIV/.AIDS sebesar 48,9% melalui penggunaan jarum suntik oleh penyalahguna napza (IDU). Penularan melalui heteroseksual sebesar 39,4% dan homoseksual 4,8%. Tetapi data sesungguhnya tidak ada yang tahu berapa persisnya, karena HIV/AIDS seperti fenomena gunung es, yang muncul dan terlihat dipermukaan sedikit, tetapi yang tidak terdata sesungguhnya sangat besar jumlahnya (http://www.bkkbn.go.id, 02/10/06). Seorang yang tertular HIV/AIDS cenderung mengalami berbagai persoalan psikologis dan emosional. Tipisnya peluang untuk sembuh, ketidakpastian mengenai sisa usia membuat seseorang berpikir tentang hidup yang terbatas. Sebagian ODHA belum dapat menerima sepenuhnya kondisi mereka dan masih mengalami kecemasan, rasa malu, ketakutan, kekecewaan dan kemarahan karena status HIV-nya. (http://www.spiritia.or.id, 02/10/06). Selain itu resiko bunuh diri pada penderita HIV/AIDS cukup tinggi akibat depresi mental yang dialaminya (Hawari, 2004). Seperti kasus yang dialami Sulasi (31 Tahun) seorang anggota dari jaringan nasional ODHA asal Jawa Timur mengatakan pada saat diberitahu bahwa dirinya hanya mempunyai kesempatan beberapa bulan untuk hidup, hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya adalah keinginan untuk bunuh diri (http://situs.kesrepro.info,16/05/2007). Respon masyarakat yang munculpun beragam ada yang kasihan namun tidak sedikit pula masyarakat yang memunculkan stigma bahkan diskriminasi pada ODHA. Informasi dan pengetahuan masyarakat yang sering kali keliru tentang siapa yang mendapat HIV dan bagaimana HIV tersebar telah menyebabkan konsekuensi yang serius. Beberapa stigma yang muncul diantaranya menganggap penyakit AIDS sebagai kutukan dari Tuhan dan terjadi 5 pada orang-orang yang telah berbuat maksiat dan melanggar kodrat (http://www.sinarharapan.co.id,06/09/06). Beberapa contoh diskriminasi pada ODHA diantaranya seperti hal yang dialami oleh Intan Maria (25 Tahun) seorang penderita AIDS mengaku pernah ditolak rumah sakit karena mengidap AIDS (http://www. suarakarya- online.com,16/05/2007). Demikian pula halnya dengan Yona (35 tahun) seorang karyawati di sebuah perusahaan suplier barang-barang kimia, tahun 2003 Yona dikeluarkan dari tempatnya bekerja setelah teman-teman sekerjanya mengajukan usul kepada atasannya karena takut tertular. Deni (22 tahun) yang juga relawan AIDS positif HIV, mengaku pernah diancam rumahnya akan dibakar jika tidak mau pindah oleh salah satu warga disekitar tempat Deni kost (http://www.aids-rspiss.com,16/05/2007). Pada waria penderita HIV/AIDS status ODHA atau orang dengan HIV/AIDS membawa dampak tersendiri, mereka mau tidak mau dihadapkan pada masalah yang kompleks berupa stigma ganda, pertama mereka sebagai kaum yang masih menjadi kontroversi harus menghadapi gejolak kewariaan terhadap kenyataan baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat luas dan lingkungan sekitarnya. Kedua, mereka juga harus menghadapi berbagai perubahan setelah diagnosis HIV seperti stigma sosial dan diskriminasi mengenai HIV/AIDS yang juga menjadi salah satu imbas yang harus ditanggung (http://www.freelists.org, 06/09/06). 6 Adanya masalah-masalah yang dihadapi waria penderita Hiv/AIDS jika tidak dapat ditangani dengan baik dan dihubungkan dengan penyakit dapat menjadi stressor dan menimbulkan efek psikologi yang berat bagi ODHA terutama menyangkut kesehatannya. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan yang pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan jiwa (http://situs.kesrepro.info/ 16/05/2007). Ditemukan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada orang yang hidup dengan HIV (ODHA) adalah antara 30-60%. Gangguan depresi dan penyesuaian diri dianggap sebagai hal umum yang dialami ODHA. Walaupun sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti pada ODHA, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum (http://www.spiritia.or.id/ 02/10/06). Hasil penelitian Kotchen (Koeswara, 1992) menunjukkan adanya hubungan antara kesehatan jiwa dengan kebermaknaan hidup, di mana jiwa yang sehat berkorelasi positif dengan kebermaknaan hidup. Stressor yang dialami waria penderita HIV/AIDS dapat membuat mereka kehilangan gairah untuk menjalani kehidupan, tidak mau tahu dengan masa depan mereka. Keadaan seperti ini membuat mereka rentan kehilangan kebermaknaan hidup. Tasmara (2001) merumuskan bahwa individu yang menjalani kehidupan bermakna dan memiliki kebermaknaan hidup menunjukkan corak kehidupan yang penuh gairah dan optimisme dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan memiliki tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka panjang, kegiatan sehari-hari akan semakin terarah dan dikerjakan dengan penuh tanggung jawab. 7 Di lain pihak seseorang yang tidak berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya, maka akibatnya dia mengalami semacam frustasi yang disebut Frankl (Bastaman, 1996) sebagai frustasi eksistensial. Gejala-gejala utamanya adalah hidup terasa hampa, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, timbul perasaan bosan dan apatis. Seorang waria penderita HIV/AIDS menjadi rentan mengalami perasaan tidak berharga dan tidak berarti karena persoalan psikologis dan emosional yang dialaminya terkait dengan penyakitnya, keberadaanya yang masih menjadi kontroversi, terbatasnya ruang untuk bekerja ditambah lagi dengan stigma dan diskriminasi yang mungkin terjadi. Hal ini tentunya menjadi beban berat bagi waria penderita HIV/AIDS dimana layaknya manusia pada umumnya, selain mereka memiliki sejumlah citacita dan pengharapan akan hidupnya, mereka juga mengalami kebutuhan yang sama dengan manusia pada umumnya. Situasi unik yang dihadapi waria penderita HIV/AIDS jika kemudian dihadapkan pada pertanyaan bagaimanakah kebermaknaan hidup mereka menjadi hal yang khas dan unik sehingga menarik untuk diteliti. TINJAUAN PUSTAKA Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidup. Gambaran mengenai hidup yang bermakna menunjukkan bahwa bila makna hidup ditemukan dan tujuan hidup berhasil direalisasikan, maka kehidupan akan dirasakan sangat berarti (meaningful) yang pada giliranya akan menimbulkan kebahagiaan (happiness). Sehingga dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah akibat dari keberhasilan seseorang memenuhi arti hidupnya (Bastaman, 1996). 8 Sementara itu Frankl (2003) mengartikan makna hidup sebagai sesuatu hal yang unik dan spesifik yang harus dicari dan ditemukan sendiri oleh individu tersebut. Kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Agama islam memandang manusia yang memiliki kebermaknaan hidup adalah seseorang yang hidup dengan sebenar-benar takwa kepada Allah SWT, dalam arti patuh, taat menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Selain itu mampu membangun hubungan yang serasi, selaras dan seimbang secara vertikal dengan Tuhannya dan secara horizontal dengan sesama manusia serta alam sekitarnya (Hawari, 2004). Menurut Frankl, makna hidup memiliki beberapa karakteristik. Pertama makna hidup bersifat temporer, personal dan unik (Bastaman, 1996). Karakteristik ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap penting bagi seseorang dapat berubah dari waktu, saat-saat yang bermakna yang dialami seseorang belum tentu memiliki makna yang sama dengan orang lain. Kedua, makna hidup bersifat konkrit dan spesifik, yaitu makna hidup dapat dijumpai dalam kehidupan nyata dan kehidupan sehari-hari, tidak harus berhubungan dengan hal-hal yang bersifat abstrak, filosofis dan idealistis, atau karya seni dan prestasi akademik yang mengagumkan. Ketiga makna hidup memiliki sifat memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakanakan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Keempat, makna hidup itu mutlak (absolut), semesta (universal) dan paripurna (ultimate). Bagi kaum non agamis makna hidup ditemukan pada alam semesta, ekosistem, kemanusiaan, ideologi atau pandangan filsafat tertentu. Sedangkan bagi kaum 9 beragama makna hidup ditemukan pada Dzat yang menciptakan manusia dan segala sesuatu yang menjadi sumber kekaguman, inspirasi bagi manusia. Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan kebermaknaan hidup adalah suatu kondisi dimana individu memiliki makna dalam hidupnya, mengenai hal-hal yang dianggapnya berarti, benar dan sangat berharga yang diperoleh dan dirasakan oleh masing-masing individu secara personal serta tidak dapat diberikan oleh orang lain dan harus dipenuhi oleh individu itu sendiri. Selain itu kebermaknaan hidup diartikan sebagai suatu hal yang dirasakan oleh seseorang dan dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang mendapatkanya, kebahagiaan tersebut dapat diperoleh dan dicari oleh individu tersebut baik dari diri individu maupun dari lingkunganya. Berdasarkan hasil temuan studi kasus yang dilakukan Bastaman (1996), komponen atau dimensi kebermaknaan hidup dapat dikategorikan dalam empat dimensi, yaitu dimensi personal, sosial, spiritual dan dimensi nilai-nilai. Dimensi kebermaknaan hidup menurut Bastaman (1996) adalah : a Dimensi Personal Mengacu pada cara individu untuk menafsirkan dunianya secara khusus dan historis dalam hal ini mencakup sejauh mana pemahaman terhadap kondisi diri meliputi kekuatan dan kelemahan pribadi dan hal-hal yang dilakukan terhadap kondisi diri. b. Dimensi Sosial Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan menyikapi lingkungan disekitarnya dan hubunganya dengan orang lain. 10 c. Dimensi Nilai-nilai Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan menyikapi nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting meliputi pemahaman dan penghayatan terhadap seluruh aktivitas, perbuatan, usaha-usaha yang dilakukan dan harapan-harapan yang muncul. d. Dimensi Spiritual Mengacu pada cara individu dalam memandang, merasakan dan menyikapi sisi diluar kekuatan manusia mencakup keyakinan, pandangan terhadap Tuhan, ibadah dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis menyimpulkan bahwa waria penderita HIV/AIDS adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berlaku sebagai wanita yang terinfeksi virus HIV baik yang baru terinfeksi maupun yang sudah berstatus AIDS. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti mendapatkan jawaban mendalam mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh responden penelitian, dikarenakan responden lebih diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya tanpa harus membuatnya terperangkap pada pilihan kondisi dan jawaban standar yang mungkin tidak sesuai dengan konteks kehidupannya (Poerwandari, 1998). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study), Menurut peneliti desain inilah yang pantas dipergunakan untuk menjelaskan hasil penelitian ini tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan. 11 Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pemilihan subjek sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005). Dalam penentuan subjek, peneliti mendapat bantuan mami Vinolia sebagai koordinator waria se-Jogja. Subjek dalam penelitian ini adalah waria penderita HIV/AIDS di Yogjakarta VN, DV dan WN yang kegiatan sehari-harinya nyebong dengan pertimbangan subjek memiliki banyak waktu dan bersedia untuk dimintai keterangan dan dua orang key person VA dan YS. Pemilihan subjek yang berasal dari daerah DIY ini untuk memudahkan penelitian (dalam satu kota dengan peneliti). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian. Metode pengumpulan data semacam ini diharapkan dapat memperoleh data-data berupa respon terbuka (open-ended response) yang memungkinkan peneliti memahami dan menangkap subjek penelitiannya, kedalaman emosi mereka, cara mereka mengorganisasi dunianya, pemikiran atau anggapan mereka mengenai apa yang tengah terjadi, pengalaman-pengalaman serta persepsi dasar mereka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitataif berupa analisis content atau analisis isi dengan urutan metode analisis data mengumpulkan data, membuat koding, membuat tema, membuat kategori, melakukan penarikan kesimpulan. 12 HASIL PENELITIAN 1. Identitas Subjek Subjek VN adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 36 tahun dan berasal dari Palembang. Anak ke lima dari enam bersaudara ini beragama Islam. Subjek berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi sedang dan rata-rata pendidikan orang tua (SMP/SMA) sedangkan pendidikan terakhir subjek SD kelas lima. Subjek merantau ke Yogyakarta kemudian tinggal di Badran tahun 1993 dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada tahun 2005. Subjek DV adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 43 tahun. Subjek berasal dari kampung yang sama dengan subjek VN di Palembang. Anak ke lima dari tujuh bersaudara ini berasal beragama Islam. Subjek berasal dari keluarga kurang mampu dan rata-rata pendidikan orang tua (SMP/SD) sementara subjek tidak sekolah. Subjek merantau Jakarta lalu tinggal di Badran, Yogyakarta tahun 1993 dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada tahun 2004. Subjek WN adalah seorang waria penderita HIV/AIDS berusia 47 tahun dan berasal dari Lubuk Linggau, Palembang. Anak bungsu enam bersaudara ini beragama Islam bahkan ayah subjek adalah seorang haji. Subjek berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah keatas dan rata-rata pendidikan orang tua (SMP/SMA) sementara pendidikan terakhir subjek tamat SD. Subjek merantau ke Jakarta lalu sempat tinggal di Ngaglik, Kricak baru kemudian Badran, Yogyakarta dan mendapatkan status HIV kemudian AIDS pada tahun 2005. Keluarga dan tetangga ketiga subjek tidak mengetahui status subjek sebagai ODHA. 13 2. Hasil Wawancara dan Observasi a. Hasil wawancara Berdasarkan hasil analisis wawancara didapatkan beberapa tema diantaranya persepsi diri berupa kesadaran memiliki kecenderungan menjadi waria sejak kecil dan memunculkan pandangan negatif terhadap waria. Penerimaan diri sebagai waria yang berbeda meliputi penerimaan diri yang baik dan buruk. Reaksi ketika divonis HIV berupa perasaan tidak percaya, terpukul dan sedih. Sikap terhadap kondisi sebagai ODHA berupa kepasrahan dan penerimaan kondisi sebagai ODHA. Hal yang dilakukan setelah menjadi ODHA berupa usaha mempertahankan hidup dengan menghadapi dan mengobati penyakit. Didapatkan bahwa kondisi lingkungan dimana adanya model waria. Dalam berinteraksi dengan masyarakat responden menunjukkan adanya interaksi yang baik, ada pula yang terkesan kurang berinteraksi. Dalam berinteraksi dengan pasangan seluruh responden menunjukkan adanya interaksi yang mendalam dengan pasangan. Sementara dalam berinteraksi dengan kelompok/peer dimana responden justru mendapat dukungan sosial dari kelompok atau peer. Masyarakat yang tidak mengetahui status subjek sebagai ODHA menjadi salah satu kemungkinan timbulnya penerimaan terutama masyarakat sekitar Badran, Yogyakarta. Dalam memandang hidupnya responden memunculkan pandangan positif dan negatif. Harapan terhadap hidup berupa harapan untuk tetap hidup yang dimunculkan dari adanya keinginan menghadapi dan mengobati penyakit, dan penghidupan yang lebih baik berupa keinginan keluar dari dunia malam, keinginan memiliki hidup yang damai dan sentosa serta hubungan dengan 14 orang lain baik. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan adalah keluar malam untuk mencukupi kebutuhan hidup sekaligus seks salah satu penyebabnya berupa kurangnya pendidikan dan tidak adanya keterampilan yang dimiliki. Sehingga muncul pandangan dan sikap negatif terhadap pekerjaan. Mengenai pandangan terhadap Tuhan umumnya responden percaya akan adanya Tuhan, menganggap Tuhan sebagai pencipta, penentu dan pengatur segala sesuatu, Tuhan sebagai tempat memasrahkan diri dan memanjatkan doa. Sementara untuk ibadah responden terkesan kurang. b. Hasil Analisis Observasi Observasi dilakukan melalui empat sesi antara lain observasi pada saat wawancara berlangsung, observasi pada saat subjek melakukan interaksi sosial yang dibagi menjadi dua sesi yaitu observasi Interaksi sosial 1 dan observasi interaksi social 2 dan observasi perilaku di tempat cebongan atau tempat subjek keluar malam. Hasil observasi dalam wawancara adalah sebagai berikut : 1) Observasi selama wawancara berangsung Pertama kali peneliti datang ke tempat subjek VN, subjek menyambut dengan ramah. Selama proses wawancara subjek menjawab seluruh pertanyaan dengan lancar bahkan terkesan ceriwis dan bersemangat. Subjek sangat ekspresif dalam mengungkapkan pendapat dan perasaanya. Sikap dan respon subjek ketika diwawancara semakin menguatkan kepribadian subjek yang ekstrovert. Selama proses wawancara subjek DV terkesan jarang berbicara. Subjek yang cenderung pendiam sedikit dalam berbicara sehingga peneliti harus lebih aktif dalam menggali informasi. Selama proses wawancara subjek WN terkesan jarang berbicara, subjek hanya menjawab 15 pertanyaan dengan singkat sehingga sering kali peneliti harus memancing subjek. Saat itu subjek baru saja bangun tidur sehingga membuat subjek terlihat masih agak malas. Walaupun ketika proses wawancara dengan subjek DV maupun WN, ada beberapa pertanyaan yang memang harus dijelaskan berulang-ulang namun sebagian besar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dapat dijawab dengan baik dan cukup jelas. 2) Observasi Interaksi Sosial 1 dan 2 Beberapa hal yang ditemukan peneliti di tempat observasi antara lain situasi di kampung Badran tempat dimana subjek tinggal, di tempat tersebut peneliti banyak menjumpai waria yang berperilaku dan berdandan layaknya perempuan. Subjek VN dalam keseharian selalu menggunakan pakaian perempuan berperilaku lemah gemulai dan berbicara dengan nada yang kemayu. Subjek terkesan luwes dan membaur dengan tetangga sekitar terutama ibu-ibu. Selain itu subjek juga terkesan ramah dan ceriwis hal ini bisa dilihat ketika subjek sedang berbicara dengan orang lain maupun dengan peneliti. Subjek DV dalam kesehariannya juga sering menggunakan pakaian layaknya perempuan. Selama proses penelitian subjek terkesan jarang berbicara hal ini dapat dilihat ketika subjek sedang berbicara dengan peneliti. Subjek termasuk orang yang rapih hal ini terlihat dari kondisi kamar subjek yang tertata dengan baik. Saat ini subjek terlihat sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki muda. Subjek WN dalam kesehariannya menggunakan pakaian layaknya laki-laki. Subjek ketiga tidak banyak berbicara dan terkesan pendiam. Subjek lebih banyak menghabiskan waktu luang untuk berdiam diri didalam kamar. Subjek juga tidak tertarik untuk bergabung dengan teman yang lain yang mengikuti kegiatan kampung. 16 3) Observasi Perilaku di tempat cebongan Beberapa hal yang ditemukan peneliti di tempat observasi antara lain situasi tempat cebongan disepanjang rel kereta api stasiun tugu Yogyakarta, dimana peneliti menjumpai banyak waria yang berpakaian minim dan dandanan yang mencolok. Berbeda dengan keseharianya kali ini peneliti juga menjumpai ketiga subjek yang berpakaian lebih minim dan bermake up tebal sebagaimana waria lainya. Dalam mendapatkan pelanggan subjek VN terlihat lebih agresif dalam membujuk tamunya sedangkan subjek DV dan WN hanya diam menunggu. PEMBAHASAN Makna hidup waria penderita HIV/AIDS tentunya tidak lepas dari pengalaman hidup atau hal-hal yang dialami oleh mereka sepanjang hidupnya yang kemudian hal itu dimaknai berdasarkan persepsi dan nilai-nilai yang mereka miliki. Diawali dengan adanya kesadaran responden bahwa dirinya memiliki kecenderungan menjadi waria sejak kecil, dari sini kemudian muncul pandangan-pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Keberadaan komunitas yang memiliki karakteristik yang sama menguatkan responden untuk mengukuhkan identitasnya sebagai waria. Dalam kondisi memiliki penerimaan yang baik atau buruk sebagai waria, responden tetap mengidentifikasikan dirinya sebagai waria, berlaku dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar sebagai waria. Hidup lepas dari orang tua menuntut responden untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Tuntutan kebutuhan hidup sekaligus seks, terbatasnya ruang bagi waria untuk mendapatkan pekerjaan ditambah lagi dengan kurangnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, serta adanya model waria mendorong mereka untuk memilih keluar malam. Aktivitas keluar 17 malam dan perilaku seksual yang tidak sehat mengakibatkan responden terinfeksi HIV. Reaksi emosi dan kepasrahan yang muncul dipengaruhi oleh dukungan sosial dari kelompok/peer lambat laun mendorong responden untuk lebih menerima kondisinya sebagai ODHA dan menumbuhkan keyakinan positif untuk menghadapi penyakitnya. Schultz (1991) merumuskan bahwa individu yang menjalani kehidupan bermakna dan memiliki kebermaknaan hidup mempunyai ciri-ciri antara lain bertanggung jawab secara pribadi dalam mengarahkan hidupnya dan dalam menyikapi nasib atau takdir, mengenali diri sendiri, menyadari dirinya sebagai mahluk Tuhan, memiliki kendali atau kontrol sadar terhadap hidupnya, memiliki kebebasan untuk memilih cara bertindak dan bersikap berdasarkan apa yang dia yakini kebenarannya, memiliki kemampuan memberi dan menerima cinta, mampu melakukan transedensi diri dan memiliki alasan untuk terus menjalani hidup. Responden pertama banyak menunjukkan ciri-ciri tersebut diatas sehingga hal ini mempengaruhi kebermaknaan hidup responden. Adapun menurut Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan ciri-ciri orang yang mengalami ketidakbermaknaan hidup antara lain berupa penghayatan hidup tidak bermakna, perasaan hampa, gersang, merasa tidak memilki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti, serba bosan dan apatis. Responden kedua dan ketiga menunjukkan ciri-ciri tersebut diatas sehingga hal ini mempengaruhi kebermaknaan hidup responden. Berdasarkan seluruh perjalanan dan pengalaman hidup yang responden miliki akhirnya melahirkan kebermaknaan hidup yang berbeda. Adapun secara ringkas hal tersebut dapat dilihat pada bagan 1 berikut ini : 18 19 Waria penderita HIV/AIDS memiliki makna hidup yang personal dan unik. Kebermaknaan hidup yang mereka rasakan berbeda antara satu individu dengan individu lainya tergantung pada pengalaman hidup dan apa-apa yang dimiliki. Dalam meraih kebermaknaan hidupnya responden memunculkan berbagai komponen baik secara personal, sosial, nilai-nilai maupun spiritual yang dimiliki. Komponen-komponen tersebut tidak mutlak ada pada masing-masing responden. Hal tersebut mendasar pada keunikan pribadi dan pengalaman hidup masing-masing responden. Adapun secara ringkas komponen kebermaknaan hidup waria penderita HIV/AIDS ditunjukkan dalam bagan 2 berikut ini : 20 21 Kebermaknaan hidup merupakan pengalaman subjektif yaitu pengalaman yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Akibatnya tiap-tiap orang memiliki pengalaman yang berbeda dalam upaya memaknai hidup. Namun berdasarkan hasil penelitian sesungguhnya waria penderita HIV/AIDS dalam meraih kebermaknaan hidup belum sepenuhnya sempurna atau dapat dikatakan belum mencapai taraf kebahagiaan yang hakiki. Hal ini disebabkan munculnya makna hidup waria penderita HIV/AIDS sebagai wujud reaksi pertahanan diri (defense) terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan. Bagi mereka kepuasan hidup tidak didapatkan melalui perbuatan berharga tapi lebih kepada penerimaan atas apa yang ada (penerimaan diri), berusaha menyesuaikan diri sebisa mungkin dengan lingkungan dengan cara tidak membuat masalah dan meraih cinta dan dukungan sebanyak-banyaknya dari orang lain. Sementara kenyataanya perbaikan hidup tidak dapat diraih dengan sikap pasif atau reaktif melainkan melalui upaya dan usaha aktif seseorang. Sesuai dengan Firman Allah dalam surat Ara’d ayat 11 : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali- kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. Kekurangan dalam penelitian yang berjudul kebermaknaan hidup waria penderita HIV/AIDS ini adalah dalam tercapainya titik saturasi akan lebih baik jika penelitian menambah jumlah subjek dalam mencapai titik saturasi. Selain itu, peneliti tidak menggunakan skala untuk mengetahui tingkatan kebermaknaan hidup waria penderita HIV/AIDS, sehingga tidak diketahui tingkatan kebermaknaan hidup hidup antar subjek. Dalam hal ini, hasil penelitian ini tidak dapat memberikan gambaran berkaitan dengan tinggi rendahnya kebermaknaan 22 hidup yang dirasakan subjek. Artinya penelitian ini tidak dapat menunjukkan tingkatan kebermaknaan hidup ekstrim tinggi atau rendah pada masing-masing subjek. Teori kebermaknaan hidup ini berpijak dan muncul dari jaman, aliran dan situasi yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Meskipun demikian, membincangkan soal kebermaknaan hidup sesungguhnya sangatlah penting. Tentunya dengan konsep yang bisa diselaraskan dengan situasi sekarang. Hidup di zaman yang sarat materialisme dan hedonisme ini menuntut manusia untuk kembali pada tujuan penciptaan dan keberadaan manusia itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Adz-dzariyat ayat 56 yang berbunyi: “Dan tidaklah diciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepadaKu” 23 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Keberadaan kaum waria penderita HIV/AIDS sebagai kaum dunia ketiga menjadi bahan masukan untuk memahami karakteristik dan keunikannya tidaklah untuk memojokkan ataupun mendiskriminasikan. Berdasarkan penelitian dilapangan didapat bahwa makna hidup yang dimiliki waria penderita HIV/AIDS merupakan hal yang khas, berkembang secara unik, muncul melalui berbagai pengalaman yang hadir. Kebermaknaan hidupnya waria penderita HIV/AIDS ditandai dengan adanya penerimaan diri secara utuh baik sebagai waria maupun ODHA, adanya interaksi yang baik dengan masyarakat, interaksi mendalam dengan pasangan, dukungan sosial dari kelompok/peer, adanya harapan hidup dan penghidupan yang lebih baik serta sikap percaya terhadap keberadaan Tuhan, memandang Tuhan sebagai penentu dan pengatur segala sesuatu sebagai tempat memasrahkan diri dan memanjatkan doa. Sebaliknya waria penderita HIV/AIDS yang tidak dapat merasakan kebermaknaan hidupnya cenderung tidak dapat menerima kondisi diri, kurang berinteraksi dengan lingkungan, memiliki pandangan dan sikap negatif terhadap aktivitas dan pandangan negatif terhadap hidup. 24 2. Saran 1. Bagi waria penderita HIV/AIDS Diharapkan untuk dapat lebih mengoptimalkan usaha-usaha dalam rangka perbaikan hidup, meningkatkan kedekatan dengan Tuhan, memahami keunikan dalam diri, menerima dan mengakui keberadaan diri secara menyeluruh, lebih terbuka terhadap masyarakat bahkan lebih jauh dapat berperan aktif dalam kegiatan dilingkungan tempat tinggal yang akan memberikan penerimaan masyarakat dan terus berusaha meningkatkan potensi diri. 2. Bagi masyarakat umum Peneliti berharap masyarakat dapat menempatkan posisi waria penderita HIV/AIDS secara tepat, tidak apatis atau permisif dengan keberadaan mereka tidak pula mendiskriminasikan atau bahkan memojokkan mereka. Memandang waria sebagai individu yang perlu diberdayakan, memberi kesempatan bagi mereka untuk berkarya, bekerja dan bergaul sehingga mereka dapat hidup secara wajar, layak dan bertanggungjawab. 3. Bagi peneliti berikutnya Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti mengharapkan peneliti-peneliti selanjutnya agar dapat melangkapi penelitian yang dilakukan yaitu dengan turut serta mengadakan pendampingan ataupun upaya untuk meningkatkan potensi waria penderita HIV/AIDS. Hal ini akan menyempurnakan penelitian sehingga tidak hanya menganggap waria waria penderita HIV/AIDS sebagai sumber data tetapi sebagai individu yang juga mempunyai keinginan berkembang. 25 DAFTAR PUSTAKA Anwar, Y. 2006. Prostitusi Waria di Bandung. http://www.freelists.org/archives/ ppi//05-2006/msg00419.html. 06/09/06 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2004. HIV/AIDS: Sekilas data dan permasalahannya. http://www.bkkbn.go.id/ditfor/program_detail.php? prgid=26. 02/10/06 Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogjakarta : Pustaka Pelajar. ---------------------. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina. Frankl, V.E., 2003. Man’s Search For Meaning : an introduction to Logotherapy. Edisi Terjemahan. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Green, Chris W. 2002. Diskriminasi pada ODHA. http://situs.kesrepro.info/ pmshivaids/des/2002/utama01.htm/16/05/2007 Hawari, D. 2004. ALQur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa. Kartono, K & Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV. Pionir Jaya Koeswara, E. 1992. Logoterapi : Psikoterapi Viktor Frankl. Bandung : PT. Eresco Koeswinarno. 1998. Waria dan Penyakit Menular Seksual. Pusat penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta. Mangku. 2005. Stigma Keliru Masih Menghantui Penderita AIDS. http://www. suarakarya-online.com/news.html?id=163045, 16/05/2007. Messwati, E. D. 2004. Mereka Terdiskriminasi, Mereka Kehilangan Hak-hak Sipil. https://www.kompas.com/kompascetak/0409/16/humaniora/1271895.htm/ 02/10/06 Mubarak. ODHA & Akses Pelayanan Kesehatan Dasar. http://www.spiritia.or.id/ Dok/ odhaakses.pdf. 02/10/06 Nadia, Z. 2005. Janin Itu Bernama Waria. http://www.indomedia.com/bpost/ 052005/29/ragam/ragam1.htm, 22/11/06 Niken S. P. HIV/AIDS. http://www.ashoka.or.id/index.php?option=com_content& task=view &id=109 &Itemid=87.02/10/06 26 Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Puspitosari, H dan Pujileksono, S. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : UMM Press Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan (terjemahan). Jogjakarta : Penerbit Kanisius. Subronto. 2004. ODHA Masih Saja Diperlakukan Tidak Adil. http://www. aidsrspiss.com/articles.php?lng=en&pg=8&id=3/16,05/2007 Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta Susanti, R, F, SH. 2002. Pemahaman terhadap HIV/AIDS Baru Sebatas ”Momok” Sosial. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/ 2002/081/kes1.html. 06/09/06 Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (transedental Intelligence) : membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan berakhlak. Jakarta : Bina Insani Press. Tim Ad Hoc Penyusun Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003 – 2007. 2003. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003 – 2007. http://spiritia.or.id/Stranas.php. 02/10/06 Triwikromo, T. 2004. “Waria-waria beroperasi di kampus,alamak!”. www.suara merdeka.com/harian/0107/31/kot.7htm, 03/11/06. Turner, J. s., & Helms, D. B. 1983. Lifespand development (2th ed.) Florida : Holt, Rinehart & Winston, Inc. 27 IDENTITAS PENULIS Nama : Indah Kusumawati No. Mahasiswa : 02320204 Alamat Kost : Jl. Kaliurang km 14, Kavling UII, Wisma Zaitun C-16. Sleman-Yogyakarta, 55584. Telp. (0274) 7414373 Alamat Asal : Jl. Mayor Oking Djayaatmadja No. 51 Kamurang RT 04/11, Citeureup-Bogor 16810. Telp. (021) 87941746 No. HP : 081328366452 28 NASKAH PUBLIKASI KEBERMAKNAAN HIDUP WARIA PENDERITA HIV/AIDS Oleh NDAH KUSUMAWATI 02320204 Oleh: INDAH KUSUMAWATI SUKARTI THOBAGUS MOH. NU’MAN PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 29 NASKAH PUBLIKASI KEBERMAKNAAN HIDUP WARIA PENDERITA HIV/AIDS Telah Disetujui Pada Tanggal Dosen Pembimbing Utama Asisten Pembimbing (Dr. Hj. Sukarti ) (Thobagus Nu’man, S. Psi. Psikolog) 30 31