PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN SKRIPSI OLEH : HETY WIDIAWATI PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN SKRIPSI OLEH : HETY WIDIAWATI NPM : 28120013 PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya OLEH : HETY WIDIAWATI NPM : 28120013 PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012 i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN NAMA : HETY WIDIAWATI FAKULTAS : HUKUM JURUSAN : ILMU HUKUM NPM : 28120013 DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : PEMBIMBING ANDY USMINA WIJAYA, S.H, M.H. ii Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, M.H. (.....................................) (Dekan) 2. Sekretaris : Andy Usmina wijaya, S.H, M.H. (.....................................) (Pembimbing) 3. Anggota : 1. H. Musa, S.H, M.H. (.....................................) (Dosen Penguji I) 2. Arief Syahrul Alam, S.H, M.Hum. (Dosen Penguji II) iii (.....................................) KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN”. Skripsi ini disusun sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra guna memenuhi persyaratan untuk kelulusan tingkat Sarjana, untuk membandingkan dan menerapkan teori hukum yang diterima dengan keadaan sebenarnya di masyarakat, serta untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembaca. Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Bapak Andy Usmina Wijaya, S.H, MH, selaku Dosen Pembimbing atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan mengarahkan penulis. 4. Kedua orang tuaku, yang selalu memberikan do’a dan dukungan di setiap langkah yang penulis kerjakan. 5. Kakakku sayang, yang selalu memberikan bantuan dan do’a. iv 6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya, yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya. 7. Semua teman-temanku yang selalu ada di hati, yang selalu memberikan semangat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penelitian lanjutan di masa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Surabaya, Penulis v Agustus 2012 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL . ........................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN . ............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ....... iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ...... iv DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 4 1.3. Penjelasan Judul ........................................................................... 4 1.4. Alasan Pemilihan Judul ................................................................. 10 1.5. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10 1.6. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10 1.7. Metode Penelitian .......................................................................... 11 1.8. Sistematika Pertanggungjawaban ................................................. 13 BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN 2.1. Perlindungan Korban .................................................................... 16 2.2. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perkosaan ........................................................................ 21 BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PERKOSAAN 3.1. Penegakan Hukum . ...................................................................... 38 3.2. Proses Penangkapan dan Penahanan Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHAP . .......................................................................... 39 vi 3.3. Proses Penggeledahan Dan Penyitaan Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHAP . .......................................................................... 39 3.4. Sanksi bagi pelaku perkosaan . ..................................................... 51 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan . ................................................................................. 58 4.2. Saran . .......................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA . ......................................................................................... 61 vii 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mempunyai sifat melanggar hukum, sifat melanggar merupakan salah satu unsur dari suatu tindak pidana tertentu yang ada didalam KUHP. “tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Sifat-sifat yang ada di dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum”.1 Tanggapan masyarakat terhadap kriminalisasi perbuatan keasusilaan adalah sebagian besar masyarakat menyetujui bahwa perbuatan pelanggaran keasusilaan adalah perbuatan kriminal. Sebagian perbuatan asusila itu dipandang meresahkan masyarakat dan menjaga keharmonisan hubungan diantara norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Ada peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia guna melindungi kaum perempuan tindak pidana perkosaan, maksud dan tujuan untuk menciptakan rasa aman dikalangan masyarakat. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh Negara demi memberikan rasa aman terhadap warganya, tetapi kejahatan itu selalu terjadi. Hal ini terjadi karena terbatasnya aparat kepolisian akan menjaga keamanan dalam masyarakat dan kesadaran masyarakat. 1 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 1. 2 Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembagalembaga sosial yang ada. Kasus kekerasan terhadap perempuan semakin marak, hampir setiap hari dapat kita baca berita di koran-koran maupun melalui media televisi, setiap hari hampir selalu ada perempuan yang menjadi korban kekerasan, membahas kedudukan korban kejahatan perlu dikemukakan pengertian tentang korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, berbicara masalah korban sebenarnya bukan hal baru, dikaitkan dalam suatu kejahatan maka korban mempunyai peranan fungsional dalam terjadinya kejahatan.2 Ditinjau dari sisi hukumnya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan masih sangat kurang, untuk itu perlu kita ketahui bahwa berbicara 2 41. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT.Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004, hal. 3 mengenai hukum akan terkait dengan system hukum mencakup tiga hal, yaitu substansi atau perumusan pasalnya, strukturnya atau aparat penegak hukumnya serta kultur atau budaya hukum, ketiganya sangat erat kaitannya satu sama lain, sehingga kalau kita ingin mengubahnya maka kita harus memperhatikan ketiga hal tersebut. Tindak pidana yang terjadi selalu mengalami kenaikan bisa kita lihat perilaku kehidupan masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang antara lain sering kita dengar banyak terjadi perkosaan baik atau tindakan asusila lainnya di kota besar maupun di kota-kota kecil. Memperhatikan ancaman pidana terhadap jenis kejahatan perkosaan cukup berat, namun ternyata tidak menurunkan niat pelakunya. Bahwa motivasi pelaku perkosaan lebih banyak didorong oleh keinginan untuk melampiaskan nafsu seks, dengan modus usaha untuk mengajak korban ketempat yang lebih aman, mengenai tingkat kedekatan antara korban dan pelaku dalam terjadinya kejahatan perkosaan mereka sudah saling mengenal sebelum terjadinya peristiwa tersebut. Di zaman modern seperti yang sekarang ini semakin hari semakin meningkat sehingga masyarakat banyak yang resah terutama bagi perempuan. Rendahnya sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku perkosaan juga mengakibatkan korban merasa harga dirinya telah dirampas. Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang dirasakan belum menyentuh manfaatnya terutama bagi korban khususnya perempuan yang menjadi korban perkosaan, dimana hak-hak perempuan sebagai sebagaimana mestinya. bentuk perlindungan hukum tidak terlaksana 4 Perempuan sering dianggap kaum yang lemah, kaum yang selalu berada dibelakang kaum pria. Akibatnya muncul berbagai kekacauan yang mengakibatkan tindak pidana perkosaan terhadap perempuan tersebut dapat terjadi. Sifat meniru dan cenderung mudah terpengaruh yang dimiliki masyarakat Indonesia juga merupakan penyebab timbulnya tindak pidana perkosaan yang terjadi di Indonesia. Para penegak hukum menggunakan KUHP sebagai acuan dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. Akan tetapi, KUHP hanya memuat ketentuan yang berlaku bagi pelaku saja, tidak memuat ketentuan yang berlaku bagi korban perkosaaan, sehingga perlu adanya aturan khusus yang mencakup keduanya, baik pelaku maupun korban. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut: a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan Korban perkosaan? b. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan? 1.3. Penjelasan Judul 1.3.1. Pengertian Perkosaan Pengertian perkosaan dengan kekerasan dan ancaman yang dimaksud di dalam pasal KUHP, yaitu: Pasal 285 : “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 5 Sedangkan unsur-unsur pasal tersebut : a. Barangsiapa, dalam hal ini pasti laki-laki atau perempuan. b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, berarti setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga fisik yang tidak ringan, atau menimbulkan ketakutan atau kecemasan karena ancaman. c. Memaksa untuk bersetubuh dengan dia di luar perkawinan. d. Diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Salah satu jenis tindak pidana perkosaan yang paling sering terjadi di dalam lingkungan warga masyarakat, dikarenakan maraknya pergaulan bebas. Serta tindak pidana pelecehan seksual yang berakibatkan perkosaan bisa dikategorikan kedalam beberapa bentuk, yakni: menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti dan membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya meminta imbalan seksualnya dengan janji untuk mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Serta maraknya video porno dan kurangnya perhatian dari keluarga. Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas atau membawa pergi 3. Pengertian perkosaan menurut Suryono Ekotama adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya 4. Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan. 3 4 Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita, 1997. Suryono Ekotama, Abortus Provokatus bagi korban perkosaan, 2000, hal. 99. 6 Dampak perkosaan tidak hanya menghilangkan keperawanan seorang perempuan atau si korban, namun memberi dampak besar bagi segi fisik maupun kejiwaannya lainnya yaitu: a. Kehamilan yang tidak dikehendaki. b. Korban sangat mungkin terkena penyakit menular. c. Dapat pengucilan dalam lingkungan keluarga. d. Dapat pengucilan dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. e. Hilangnya rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu identitas diri perempuan telah hilang. f. Hilangnya hak dalam mengenyam pendidikan. g. Dampak psikologis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami. Tindak pidana perkosaan yang bisa sampai mengakibatkan kematian diatur dalam pasal di KUHP: Pasal 291 ayat 2: “jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285,286,287,289,290 mengakibatkan kematian djatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 1.3.2. Pengertian Perlindungan Perlindungan menurut undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 1 ayat 4 adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan 5 . 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Saksi Dan Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009, hal. 2. 7 Pasal 1 ayat 5 tentang perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga social atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan 6 . 1.3.3. Pengertian Korban Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita 7 . Pengertian korban menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi atau korban pasal 1 ayat 3, adalah seseorang menderita fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana 8 . Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan 9. Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut : 1) Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita. 2) Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. 3) Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. 6 Ibid Arif Gosita, masalah korban kejahatan, PT. bhuana ilmu popular kelompok gramedia, 2004, hal. 64. undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan saksi dan korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009, hal. 2. 9 Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, IND.HILL-CO, Jakarta, 1987, hal. 12-13. 7 8 8 1.3.4. Tugas Dan Fungsi Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu instansi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dimana peraturan pelaksanaannya berdasarkan tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan standart oprasional Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam penegakan hukum kepada masyarakat tetap berdasarkan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 13, merumuskan sebagai berikut: Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, merumuskan sebagai berikut: 1. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 2. Menegakkan hukum. 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Menegakkan dan menjunjung tinggi hukum adalah merupakan salah satu tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menangani segala jenis tindak pidana, yaitu: melalui proses penyelidikan dan proses penyidikan. Standart operasional prosedur penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya menurut pasal 7 KUHAP mempunyai wewenang : 9 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. 2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka. 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 9. Mengadakan penghentian penyidikan. 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari atau mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1.4. Alasan Pemilihan Judul Memperhatikan ancaman pidana terhadap jenis kejahatan perkosaan cukup berat, namun ternyata tidak menurunkan niat pelakunya sehingga sering terjadi tindak pidana perkosaan dan Perlindungan hukum di KUHP korban kurang mendapatkan haknya. Karena seringkali di dalam 10 penyeleseaian kasus perkosaan tersangka lebih di untungkan dalam hal pemutusan perkara hal ini dapat di lihat dari hukuman yang di jatuhkan tidak sesuai. Maka penulis mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perkosaan”. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan. 2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan. 1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang dicapai penelitian ini adalah: A. Manfaat Teoritis ilmu hukum: 1. Dapat mengetahui pengaturan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan. 2. Dapat mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan. B. Manfaat Praktis: 1. Bagi korban agar memberikan pemahaman tentang bentuk perkosaan yang semakin meningkat saat ini. Dan selalu berhatihati dalam pergaulan di jaman modern saat ini. 2. Bagi pelaku agar pelaku jera dan tidak mengulangi tindak kejahatan itu. 3. Bagi polisi adalah diharapkan selalu memberikan pengarahan kepada masyarakat khususnya para perempuan agar kasus tindak pidana perkosaan yang sering terjadi, dapat ditangani oleh 11 kepolisian khususnya pihak reserse criminal dan ditangkap pelakunya agar kasus seperti ini tidak merajalela di masyarakat. 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Tipe Penelitian Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum Normatif, yaitu: mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang 10 . Suatu penelitian yang bertumpu pada yuridis normatif peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok masalah yang di bahas. Dalam penelitian hukum normatif tidak di kenal adanya variable bebas dan variable terikat, hipotesis, populasi dan sampling. Data dan teknik pengumpulan data, analisis data dengan menggunakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif 11 . Jadi dalam peneltian ini menggunakan tipe penelitian normatif. 1.7.2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang di gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundangundangan yaitu dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang di bahas. hal.52. 10 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, 11 Ibid, hal. 50. 12 1.7.3. Pengumpulan Bahan Hukum Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif, terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan – bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, dan terdiri dari : 1. Norma atau kaidah dasar, yaitu : pembukaan Undangundang Dasar 1945. 2. Peraturan perUndang-undangan, yaitu : - Undang-undang - Peraturan pemerintah 3. Peraturan-peraturan lain yang berlaku (hukum positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang di bahas. Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3. Undang-undang nomor 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Undang-undang penghapusan kekerasan rumah tangga dan perlindungan saksi dan korban. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik). 13 Dalam menggunakan bahan hukum tidak di batasi pada aturan hukum tertentu, melainkan semua aturan hukum yang berkaitan. 1.7.4. Langkah – Langkah Kajian Pertama-pertama melakukan pengumpulan bahan-bahan hukum dan menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan study kepustakaan. Kemudian bahan hukum di klasifikasikan dengan cara memilah-milah bahan hukum dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami. Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode deduksi yaitu metode penelitian yang di awali dengan menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang bersifat khusus. Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. 1.8. Sistematika Pertanggung Jawaban Untuk mengetahui keseluruhan isi dari skripsi ini, maka dibuat suatu sistematika secara garis besar dalam penyusunan skripsi yang terdiri dari 4 (empat) bab, penjelasan yang selengkapnya adalah sebagai berikut : 14 BAB I : merupakan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar belakang masalah, latar belakang ini adalah dasar dari pemilihan judul skripsi, setelah didapatkan permasalahan maka dimasukkan ke dalam rumusan masalah yang akan menjadi topik pembahasan. Di dalam bab I ini juga terdapat penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Agar kelima bagian tersebut dapat digunakan dalam menentukan arah dari skripsi ini. Dengan maksud apa yang dikonsepkan dapat terarah dengan jelas. Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan yang berguna untuk meringkas poin yang ada di dalam skripsi. BAB II : pada bab II merupakan bab pembahasan, dalam bab II ini akan membahas tentang rumusan masalah yang pertama pada bab I, yaitu : Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan, yang meliputi : perlindungan korban, pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan. BAB III : pada bab III merupakan bab pembahasan, dalam bab III ini akan membahas tentang rumusan masalah yang ke dua pada bab I, yaitu : Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan, yang meliputi : penegakan hukum, proses penangkapan dan penahanan pelaku tindak pidana menurut KUHAP, proses penggeledahan dan penyitaan pelaku tindak pidana menurut KUHAP, sanksi bagi pelaku perkosaan. BAB IV : pada bab IV adalah bab penutup atau akhir, dimana pada bab tersebut terdiri atas 2 (dua) bagian. Bagian yang pertama yaitu Kesimpulan dari semua pokok bahasan dari Bab I, Bab II, dan Bab III. 15 Bagian yang kedua yaitu Saran diharapkan dapat berguna bagi pihak yang berkepentingan. 16 BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN 2.3. Perlindungan Korban Perlindungan korban kejahatan dalam proses penyelesaian perkara pidana tidak saja penting bagi korban dan keluarganya semata tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas yaitu untuk kepentingan penanggulangan kejahatan di satu sisi dan di sisi yang lain untuk kepentingan pelaku kejahatan itu sendiri. Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi Dan Korban, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pengertian Perlindungan Korban dapat dilihat dari 2 (dua) makna: 1) Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang). 2) Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik/rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan pemaafan, pemberian ganti rugi seperti restitusi, 17 kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial dan sebagainya12. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentu membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak dan kewajibannya secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat dan hidup terikat oleh masyarakat serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan umum atau masyarakat. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dan bukan Negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian ada berbagai konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi rechtstaat maupun konsepsi the rule of law menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas negara rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan. 12 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 56. 18 Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukum) seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, bantuan hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Disinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan. Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, karena korban kejahatan perlu dilindungi, pertama masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan yang melembaga. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan seperti polisi, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, 19 perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : 1.Asas manfaat Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas khususnya alam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas keadilan Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula, asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 20 4. asas kepastian hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. Untuk memperoleh dasar pijakan yuridis yang memadai, konsep pemberian perlindungan hukum pada korban kejahatan sebaiknya ditambahkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum (Acara) Pidana. Dalam masalah perlindungan hukum bagi korban, maka terkait dua pihak yaitu korban sebagai pihak yang harus dilindungi dan pemerintah atau negara sebagai pihak yang memberi perlindungan. Hal ini karena pemerintah atau negaralah yang mempunyai kekuasaan. Adanya korban kejahatan tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya kejahatan itu sendiri, namun selama ini perhatian terhadap korban kejahatan tidak sebanding dengan perhatian terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana. Dalam sejarah hukum Indonesia dapat dijumpai berbagai kitab undang-undang hukum. Salah satu diantaranya adalah yang berasal dari zaman Majapahit, yaitu yang disebut “perundangundangan Agama”. Dalam perundang-undangan ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa. Meskipun ketentuan tersebut sekarang tidak berlaku, namun ada baiknya menyebutnya di sini, karena tampaknya ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan nilai-nilai yang pernah ada dalam hukum asli. Gagasan pengenaan ganti rugi merupakan gagasan yang maju, dalam arti bahwa orang yang dirugikan dalam perkara pidana atau orang 21 yang menjadi korban tindak pidana mendapat perhatian. Kedudukan korban atau orang yang dirugikan dalam perkara pidana selama ini sangat memprihatinkan, dimana korban tindak pidana seolah-olah dilupakan. Ilmu pengetahuan hukum pidana dan praktek penyelenggaraan hukum pidana hanya menaruh perhatian kepada pelaku tindak pidana. 2.2. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perkosaan Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain13. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285). Indonesia saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal kepada para korban kejahatan perkosaan bahwa tindak pidana perkosaan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia antara lain disebutkan dalam pasal 285,pasal 286 KUHP. Hukum positif yang berlaku maksimal, khususnya dalam hal kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana perkosaan. 13 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta,1996, hal. 81. 22 Adapun kendala pertama, yang muncul dalam pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap tindak pidana pemerkosaan antara lain adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ganti kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana perkosaan. Kendala yang kedua, adalah system penegakan hukum yang kurang baik, dimana mulai dari Kepolisian sampai ke persidangan di pengadilan, korban hanya dianggap sebagai saksi korban. Pemerkosaan tidak hanya dilihat dalam bentuk langsung,namun pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk isyarat tubuh si pelaku dianggap telah melanggar kesopanan dan yang penting sebagai seorang perempuan tidak menghendaki perlakuan si pelaku tersebut. Apabila pelecehan terjadi, perbuatan tersebut dapat diancam hukuman seperti yang terdapat dalam KUHP. Atas dasar beberapa masalah diatas membuatnya korban kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku. Pasal 285 KUHP merumuskan bahwa : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara palin lama dua belas (12) tahun”. Pasal 286 : “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan (9) tahun”. Pasal 291 ayat 1 : 23 “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun”. Pasal 291 ayat 2 : “Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas (15) tahun”. Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief14 dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran “norma atau tertib hukum in abstracto”. Akibatnya perlindungan korban tidak secara langsung dengan in concreto, tetapi hanya in abstracto. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau individual. 14 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998), hal.16-17. 24 Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan. Berdasarkan hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam15: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah member perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi : “ Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan 15 Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101,dimana Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2004, hal. 135-144. 25 korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya. Pengaturan pemberian ganti rugi yang sangat sederhana baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP yang berlaku sekarang menunjukkan tidak ada atau kurangnya perhatian sistem peradilan pidana terhadap korban yang telah menderita sebagai akibat dari adanya suatu tindak pidana. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan hukum pidana dan pembentukan KUHP Nasional khususnya, masalah perlindungan korban terutama yang menyangkut pemberian ganti rugi kepada korban perlu mendapat perhatian yang sewajarnya. Dengan memberikan perhatian kepada korban kejahatan maka akan meminimalkan kemungkinan terjadinya korban kedua kali bagi korban. Disamping itu dengan memberikan perlindungan yang memadai kepada korban kejahatan maka sesungguhnya hukum pidana telah ikut membantu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan jalan meminimalkan penderitaan para korban kejahatan atau tindak pidana. Dalam dimensi sistem peradilan pidana, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu : a. Aspek Positif KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. 26 KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu : Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1angka 26 KUHAP). Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa. Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, memberi keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, memberi keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian. b. Aspek Negatif Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat perhatian secara proporsional16, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung17. 3. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP 16 J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1987, hal. 39. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cipta Aditya Bakti, Bandung,1998, hal. 58. 17 27 Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada UndangUndang di luar KUHP dan KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. c. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan korban tindak pidana perkosaan menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dapat dilihat dalam bentuk pemidanaan yaitu pasal 285 KUHP terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana perkosaan. Penghukuman yang di jatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh korban perkosaan. Tetapi apabila dilihat aspek sanksi hukum yang dirumuskan dalam KUHP terdapat banyak kelemahan yang antara lain tidak adanya batasan minimum penjatuhan hukuman pada pelaku. Ketentuan rumus dalam KUHP sekaligus mempengaruhi aspek perlindungan terhadap akibatakibat yang di alami korban tindak pidana perkosaan. 28 Hal ini memungkinkan pihak yang lain menjadi korban suatu tindak pidana, diberikan kemungkinan untuk dalam waktu yang bersamaan dengan proses pemeriksaan perkara pidananya dapat sekaligus mengajukan tuntutan ganti kerugian, tanpa perlu menunggu putusan perkara pidananya terlebih dahulu18. Selain itu yang menjadi penyebab jarangnya korban tindak pidana perkosaan untuk meminta ganti kerugian, yaitu korban tidak sepenuhnya mengetahui apa yang menjadi haknya. Keadaan ini tentu tidak dinilai secara materiil. Hal ini perlu disikapi oleh para aparat penegak hukum agar permintaan tuntutan ganti kerugian dapat disertakan dalam pembuatan tuntutan. Selayaknya para korban di upayakan untuk tidak terlampau menderita dengan pembebanan biaya yang akan ditanggungnya, misalnya korban harus menjalani perawatan di rumah sakit. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban dengan usahausaha pencegahan pembuatan korban harus ditingkatkan dengan mengadakan penciptaan suasana iklim yang dapat mencegah dan mengurangi orang membuat korban dan menjadi korban dan penyebarluasan informasi tentang cara mencegah terjadinya korban, penunjukan daerah korban atau daerah kejahatan, mengembangkan rasa kewaspadaan dan tanggung jawab, pengadaan peraturan undangundang yang mengatur dan menjamin hak dan kewajiban korban. Apabila korban mendapat trauma dari pelaku, kerap kali bila lawannya kelihatan lebih lemah maka pelaku akan lebih agresif. Dengan demikian bahwa demi kerukunan, perdamaian, dan ketertiban dalam masyarakat, Negara, 18 Arif Gosita, Ganti Rugi Dalam KUHP, akademia pressindo, Jakarta, hal.110. 29 dan dunia international, pembinaan terhadap para peserta dalam terjadinya korban adalah sangat penting. Upaya mencegah terjadinya korban dengan mengetahui sebabsebab tejadinya perkosaan dan mencari pemecahannya bukanlah hal yang mudah, perlu keterlibatan semua pihak, dimulai dari para individunya, masyarakat, aparat penegak hukum, serta pemerintah. Timbulnya kasus itu sendiri sebenarnya beragam alasannya, namun yang terpenting adalah pola penanganan kasus itu sendiri. Dalam kajian hukum pidana faktor kepastian dan keadilan memang menjadi penting manakala seseorang telah dirugikan sebagai akibat suatu tindak pidana. Tugas dan wewenang Kepolisian sesuai dengan TAP MPR no.VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No.VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri di dalam Undang-Undang no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia maka : 1. Polri adalah alat Negara yang melaksanakan kekusaan Negara dibidang kepolisian peventif dan represif dalam rangka criminal justice system. 2. Polri adalah alat Negara yang melaksanakan pemeliharaan keamanan dalam negeri. 3. Polri berkedudukan langsung dibawah presiden dimana kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. 30 Secara khusus dalam pasal 13 undang-undang no.2 tahun 2002 menjelaskan tugas dan wewenang kepolisian Negara republik Indonesia adalah : 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 2. Menegakkan hukum 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul Kejahatan terhadap kesusilaan yaitu dalam Pasal 285. Pasal 285 KUHP tersebut menyatakan bahwa “ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun “. Berdasarkan Pasal 285 KUHP tersebut, dapat diambil kesimpulan antara lain : 1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. Persetubuhan diluar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tersebut. Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pihak pelaku tindak pidana (offenders) dan pihak korban kejahatan (victims). Oleh karena itu maka kedua pihak tersebut harus mendapat perhatian yang seimbang. Dengan demikian dalam proses penyelesaian 31 perkara pidana tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dipandang dari sudut penegakan hukum pidana maupun dalam usaha penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Bila berbicara mengenai kedudukan pihak korban dalam ketentuan pidana maka kita akan menyinggung peran serta kepentingan pihak korban. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagian bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani. Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orang tua, saudara, pekerja social, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami stres. Stres ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami stres yang mengakibatkan jangka panjang. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. 32 Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Pandangan Negara tersebut didasarkan pada pasal 28G UndangUndang Dasar Tahun 1945, beserta perubahannya yaitu : a. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. b. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa : “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan pelakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”19. Dalam undang-undang no.13 tahun 2006, ada beberapa pasal yang menyangkut masalah pemberian perlindungan terhadap korban tertentu. Dalam hal ini, tindak pidana perkosaan termasuk merupakan tindak pidana yang dapat mengakibatkan korban dan saksinya dihadapkan pada posisi yang membahayakan jiwa dari perempuan korban perkosaan tersebut. 19 Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28G 33 Mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban perkosaan dari ancaman pelaku diterapkan dalam pasal 5 ayat (1). Seorang saksi dan korban berhak : a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. b. Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan keamanan, c. Memberikan keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah. e. Bebas dari pertanyaan yan menjerat. f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. i. Mendapat identitas baru. j. Mendapat tempat kediaman baru. k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum. m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Kesimpulan dari pasal tersebut bahwa korban juga berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari ancaman pelaku sesuai dengan undang-undang dasar dan undang-undang nomor 13 tahun 2006tentang perlindungan saksi dan korban, maka berdasarkan uraian diatas upaya 34 yang dapat dilakukan polisi untuk melindungi korban tindak pidana perkosaan dari ancaman pelaku dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang cukup kemudian melakukan penangkapan dan penahanan setelah adanya pelaporan dari pihak korban yang mengalami tindak pidana perkosaan dan adanya demi kelancaran penyidik untuk melindungi korban. Hak asasi manusia harus mejadi bagian terpenting dalam Negara hukum karena merupakan prinsip yang mendasar. Demi keadilan dan kepastian hukum, perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan harus mudah, dapat dimengerti banyak orang, tetapi dapat dipertanggungjawabkan scara yuridis ilmiah. Pihak korban berhak untuk : a. Mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan pemberi kompensasi (perbuatan korban) dan taraf keterlibatan korban dalam terjadinya tindak pidana perkosaan, delikkuensidan penyimpangan tersebut. b. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban. c. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut. d. Berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi. e. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi. f. Berhak mendapat bantuan penasehat hukum. g. Berhak mempergunakan upaya hukum. Selain itu pihak korban juga mempunyai kewajiban untuk : 35 a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri). b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi. c. Mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri maupun orang lain. d. Ikut serta membina pembuatan korban. e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. f. Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku. g. Member kesempatan kepada pelaku untuk memberi restitusi kepada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap imbalan atau memberi jasa). h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanannya20. Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya dan diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban hukum dan kesejahteraan rakyat. Macam-macam korban perkosaan perlu diketahui untuk lebih memberikan pelayanan dalam memperlakukan para korban misalnya: 1. Korban Murni a. Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. 20 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, hal.52. 36 b. Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. 2. Korban Ganda Korban perkosaan selain mengalami penderitaan kekerasan selama diperkosa juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik dan sosial. Misalnya mengalami ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan, pengadilan, tidak mendapat ganti rugi, sendiri mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus dan lainnya. 3. Korban Semu Korban yang sebenarnya juga pelaku, ia berlagak diperkosa dengan tujuan untuk mendapat sesuatu pihak pelaku : a. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri. b. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan menyeluruh. 4. Korban Yang Tak Tampak Dalam rangka mengembangkan pelayanan keadilan dan kesejahteraan maka para korban yang tampak maupun yang tidak tampak perlu mendapatkan pelayanan yang wajar. Yang termasuk golongan korban yang tersembunyi adalah mereka yang sebetulnya menderita akibat tindakan kekerasan, tetapi karena situasi dan kondisi tertentu tidak memberitahukan atau melaporkan penderitaannya kepada yang berwajib untuk diselesaikan secepatnya21. Ribuan kasus yang dialami oleh korban kekerasan terhadap perempuan khususnya masalah perkosaan menimbulkan penderitaan 21 Ibid, hal. 49. 37 dan melemahkan korban serta keluarga. Penderitaan terjadi akibat kekerasan atau peristiwa itu yaitu : a. Penderitaan fisik seperti cacat tubuh, gangguan psikis menjadi akibat fisik yang langsung dialami korban akibat peristiwa kekerasan yang terjadi dan bisa menimbulkan bunuh diri, serta secara langsung telah melemahkan kondisi fisik korban. b. Penderitaan sosial, hal ini juga menimbulkan trauma yang lamanya bisa bertahun-tahun bahkan bisa sampai seumur hidup, serta sikap rendah diri didalam masyarakat. Bahkan membesarkan anak yang bukan hasil dari kehendak korban, sehingga korban malu dan peristiwa ini tidak ingin diketahui didalam keluarganya. c. Penderitaan materi seperti kehilangan harta bendanya diwaktu peristiwa kekerasa itu terjadi, serta tidak ada ganti rugi secara materi untuk merawat kandungan hingga sampai biaya kelahiran bayi tersebut dari sang pelaku tersebut. Status ekonomi yang dialami korban adalah salah satu faktor yang menjadi kendala bagi korban untuk melanjutkan tuntutan atas keadilan, sehingga kepasrahan pun muncul berbagai bentuk ketidak berdayaan. Salah satu pilihannya adalah tekanan ekonomi hal ini menyebabkan kepasrahan korban untuk membiarkan kekerasan yang terjadi sebagai takdir semata. 38 BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PERKOSAAN 3.1. Penegakan Hukum Berbicara tentang penegakan hukum mempunyai kaitan yang erat antara kehidupan hukum suatu bangsa dengan susunan atau tingkat perkembangan dari bangsa itu. Dengan makin modernnya tingkat sosial masyarakat,maka kerumitan susunan badan-badan penegakan hukum semakin meningkat, interaksinya dengan masyarakat pun juga menjadi rumit. Dengan demikian penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan melaksanakan hukum hukum dapat dirumuskan sebagaimana sebagai mestinya, pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan usaha mengawasi jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali22. Penegakan hukum juga diartikan sebagai penegakan tatanan norma dan nilai di seluruh bidang kehidupan, baik norma dan nilai-nilai sosial, politik, ekonomi dan bidang yang lain23. Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan peraturan itu yang dilakukan oleh para penegak hukum. Melalui penegakan hukum yang baik, diharapkan hubungan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dapat berjalan selaras dan seimbang agar manusia hidup berdampingan secara damai,tentram dan 22 Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.115. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum di Indonesia dan Hubungan Sosial Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 23. 23 39 sejahtera karena masyarakat adalah merupakan kepentingan- kepentingan yang saling berhubungan. Penegakan hukum yang baik adalah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta merperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan wujud dari reaksi masyarakat terhadap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan. Penegakan hukum merupakan tugas seluruh elemen masyarakat bukan hanya aparat penegak hukum saja. Penegakan hukum mustahil akan dapat tercapai atau ditegakkan tanpa adanya peran aktif para pihak yang terlibat didalam permasalahan hukum itu sendiri serta obyek dari penegakan hukum itu sendiri. 3.2. Proses Penangkapan dan Penahanan Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHAP Perlindungan menurut undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 1 ayat (4) adalah segala upaya yang di tujukan untuk membrrikan rasa aman terhadap korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan24. Pasal 1 ayat (5) tentang perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian atau lembaga sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan25. 24 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Saksi Dan Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009,hal. 2. 25 Ibid 40 Demi kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan, sedangkan yang dimaksud “atas perintah penyidik” sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 11. Perintah yang dimaksud yaitu berupa suatu surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (pasal 16). Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan26. Proses penangkapan merupakan salah satu bagian penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian, jangka waktu penangkapan tidak lama, dalam hal tertangkap tangan penangkapan dapat dilakukan oleh setiap orang hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi atau orang yang menangkap si pelaku segera memanggil pihak kepolisian untuk dating ke lokasi, kemudian Kepolisian atau penyidik akan mengambil ahli si pelaku, dan akan di tahan apabila si pelaku yang diketahui telah tertangkap tangan terbukti benar telah melakukan perbuatan pidana. Pengertian penangkapan sebagaimana yang dimaksud di dalam KUHAP, yaitu: Pasal 1 ayat (20) KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 26 Prof.Dr.Andi Hamzah, S.H, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 126. 41 Proses penangkapan merupakan salah satu bagian penyelidikan atau penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik, sebagaimana tercantum didalam pasal 16, pasal 17, pasal 18 KUHAP yaitu : Pasal 16 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : 1. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Pasal 17 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 18 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta urain singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. 2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu. 42 3. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya setelah penangkapan dilakukan. Penangkapan dalam hal tertangkap tangan dapat dilakukan oleh setiap orang hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi atau orang yang menangkap pelaku segera memanggil pihak Kepolisian untuk datang ke lokasi, kemudian kepolisian atau penyidik pihak Reserse Kriminal akan mengambil alih tersangka tanpa adanya surat perintah penangkapan, dan akan ditahan tanpa adanya surat perintah penahanan apabila tersangka yang diketahui telah tertangkap tangan dan terbukti benar telah melakukan perbuatan pidana, surat perintah penangkapan dan surat perintah penahan nantinya akan diberikan kepada keluarga korban, apabila ada informasi tentang keluarga korban. Pengertian tertangkap tangan menurut pasal 1 ayat 19 KUHAP, yaitu : Pasal 1 ayat 19 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 43 Pengertian penahanan sebagaimana yang dimaksud di dalam KUHAP, yaitu pasal 1 ayat 21 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut KUHAP ada berbagai macam jenis bentuk-bentuk penahanan yang dilakukan di dalam proses penyidikan, yaitu : Di dalam pasal 22 ayat 1 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Jenis penahanan dapat berupa : 1. Penahanan rumah tahanan Negara. 2. Penahanan rumah. 3. Penahaan kota. Cara pelaksanaan penahanan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 2,3,4, dan 5 KUHAP, yaitu : Pasal 22 ayat 2 : Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan di dalam proses penuntutan, atau pemeriksaan di siding pengadilan. penyidikan, 44 Pasal 22 ayat 3 : Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan berkewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. Pasal 22 ayat 4 : Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Pasal 22 ayat 5 : Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. Namun perlu diperhatikan adanya ketentuan pengecualian tentang penahanan yang di atur di dalam pasal 29 ayat 1 KUHAP yaitu merumuskan sebagai berikut : Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27, dan pasal 28 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersanga atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena : a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau 45 b. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik pihak Reserse Kriminal dengan menggunakan surat perintah penahanan yang ditujukan kepada penyidik dan penyidik pembantu atas perintah dari pemimpin Kepolisian, kemudian proses penahanan hanya dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) hari dan bila di dalam 20 hari proses penyidikannya belum selesai, maka penyidik akan meminta perpanjangan penahanan dengan menggunakan surat permintaan perpanjangan penahanan kepada kejaksaan sebelum waktu 20 hari itu selesai, yaitu 10 harinya sebelum proses penahanannya berakhir, penyidik harus segera meminta perpanjangan kepada kejaksaan selama 40 hari. Akan tetapi apabila di dalam proses penyidikan berkas-berkas telah lengkap, antara lain bukti-buktinya telah lengkap, begitu juga dengan saksi-saksi sebelum 20 (dua puluh)hari, misalnya 10 (sepuluh) hari berkas tlah lengkap, maka segeralah dilakukannya P.21 (semua berkas, bukti, saksi, dan tersangkanya akan diserahkan ke Kejaksaan). Jadi proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik semuanya tetap berdasarkan atas KUHAP, dan juga bergantung pada proses penyidikan pihak penyidik, proses penahanan dilakukan untuk melengkapi berkas perkara, dan tidak menutup kemugkinan pada waktu proses penyidikan munculnya tersangka baru, barang bukti baru, saksi-saksi baru, yang digunakan untuk mendukung dan membuat terang suatu tindak pidana. 46 3.3. Proses Penggeledahan Dan Penyitaan Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHAP Pengertian penggeledahan sebagaimana yang dimaksud di dalampasal 32 KUHAP, yaitu : Pasal 32 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah aatau penggeledehan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Penggeledahan ada 2 macam sebagaimana yang tertulis di dalam KUHAP, yaitu: penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Pasal 1 ayat 17 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 ayat 18 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Tindakan penyidikan untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda-benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya untuk disita. Perlindungan terhadap ketrentraman perempuan merupakan dasar hak asasi manusia, menggeledah atau memasuki rumah atau tempat kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik atau tindak pidana menurut hukum pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha untuk mencari kebenaran, untuk mengetahui salah maupun tidak salahnya 47 seseorang. Kepolisian berhak untuk menggeledah badan dan menggeledah rumah seseorang yang diduga sebagai tersangka yang melakukan perbuatan pidana27. Berarti seseorang, menggeledah tetapi tidak kadang-kadang selalu juga harus mencari bertujuan untuk kesalahan mencari ketidaksalahannya, penyidik harus betul-betul cermat dan mengikuti ketentuan-ketentuan tentang cara melakukan penggeledahan itu agar terhindar dari pelanggaran ketentuan KUHP, yaitu pasal 167 ayat 1 dan pasal 429 ayat1 KUHP. Pasal 167 ayat 1 KUHP, merumuskan sebagai berikut : Barang siapa dengan melawan hukum masuk dengan memaksa ke dalam, atau dengan melawan hukum ada tinggal di dalam rumah atau tempat tertutup yang dipakai oleh orang lain, dan tidak dengan segera pergi dari tempat itu, atas permintaan orang yang berhak dipidana penjara selamalamanya Sembilan bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah28. Pasal 429 ayat 1 KUHP, merumuskan sebagai berikut : Pegawai negeri yang dengan melampaui batas kekuasaannya atau dengan tidak memperlihatkan peraturan yang ditentukan dalam undang-undang umum, masuk ke dalam rumah atau ke dalam ruangan atau pekarangan yang tertutup, yang dipakai oleh orang lain, tidak dengan kemauan orang itu atau jika pegawai negeri itu dengan melawan hukum ada di tempat itu dan tidak dengan segera ia pergi dari tempat setelah diperintahkan oleh atau atas nama yang berhak, dipidana penjara selama-lamanya satu tahun 27 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 138. R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, hal. 143. 28 48 empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah29. KUHAP ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah yang boleh melakukan penggeledahan badan atau memasuki rumah orang, itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan badan dan pengeledahan rumah hanya dapat dilakukan dengan adanya surat izin penggeledahan atas izin dari ketua pengadilan negeri, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 33 dan pasal 37 KUHAP, yaitu : Pasal 33 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : 1. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat melakukan penggeledahan rumah yang diperlukan. 2. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. 3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. 4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. 5. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus disampaikan bersangkutan. 29 Ibid, hal. 290. dibuatkan kepada suatu pemilik berita atau acara penghuni turunannya rumah yang 49 Pasal 37 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : 1. Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang disita. 2. Pada waktu menangkap tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. Pengertian penyitaan sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 1 ayat 16 KUHAP, yaitu : Pasal 1 ayat 16, merumuskan sebagai berikut: Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Proses penyitaan yang dilakukan oleh Kepolisian, sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 38, pasal 39 ayat 1, pasal 40 KUHAP, yaitu : Pasal 38 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : 1. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan setempat. 2. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,tanpa mengurangi ketentuan ayat 1 penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas 50 benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Pasal 39 ayat 1 KUHAP, merumuskan sebagai berikut: 1. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tinak pidana. b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana. e. Benda yang lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Pasal 40 KUHAP, merumuskan sebagai berikut : Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Pihak Kepolisian didalam melakukan proses penyitaan harus dengan adanya surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam KUHAP. 51 3.4 Sanksi bagi pelaku perkosaan Hukuman (sanksi hukum) yang harus diterima pelaku perkosaan sebagai ganjaran atas perbuatan yang dilakukan sebenarnya telah di atur dalam dua ketentuan, yaitu pasal 285 dan pasal 291 KUHP yang sekaligus keduanya menjadi aturan baku untuk menuntut dan memutus setiap kasus perkosaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam kedua pasal yang mengatur tentang perkosaan tersebut dinyatakan bahwa : Pasal 285 : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 291 : Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287,289, dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Meskipun pasal 285 dan pasal 291 KUHP telah mengatur sanksi hukum bagi setiap pelaku perkosaan, kedua aturan hukum tersebut masih bersifat umum karena hanya menyangkut tindak perkosaan pada umumnya serta perkosaan yang menyebabkan matinya korban, padahal perkosaan yang terjadi dalam kehidupan nyata sangat bervariasi dan bersifat kasuistis. Dengan demikian, berbagai unsur pembeda, baik yang memberatkan maupun yang meringankan belum secara penuh terakomodasi dalam kedua aturan 52 hukum tersebut, yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya keputusan pengadilan yang sangat berbeda, bahkan sering pula kontradiktif. Salah satu batasan yang selama ini kurang jelas adalah penjara minimum. Bila batasan ini ada, secara psikologis hukuman juga cenderung meningkat. Dalam hal hukuman, RUU juga memberikan batasan yang makin jelas. Berbagai tindakan yang tergolong perkosaan seperti disebutkan diatas diancam pidana penjara minimum 3 tahun, maksimum 12 tahun. Pemerkosaan yang terjadi selain sifatnya kasuistis, peristiwanya juga berhubungan dengan banyak segi dan aspek kehidupan, baik pelaku maupun korban serta berbagai hal lain secara internal maupun eksternal melekat pada keduanya, misalnya: umur, jenjang pendidikan, status sosial-ekonomi, kultur, substansi, dan posisi masing-masing pihak. Oleh karena itu, seharusnya ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan tidak cukup hanya diatur dalam dua pasal karena terbukti setiap kasus perkosaan memiliki karakternya sendiri, belum lagi jika kasus tersebut dihubungkan dengan tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Untuk mengetahui tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana perkosaan menurut Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut yakni sebagai berikut: 1. Barangsiapa 2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Memaksa 4. Perempuan yang bukan istrinya 53 5. Bersetubuh 6. Dengan dia Berikut ini penulis akan menguraikan unsur-unsur tersebut diatas sebagai berikut: ad.1. Barangsiapa Unsur yang pertama dari tindak pidana perkosaan ialah barangsiapa. Istilah barangsiapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan ketentuan ini, yang jika dihubungkan dengan kalimat lanjutan dari Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka yang dimaksud dengan barangsiapa dalam pasal ini adalah lelaki atau pria, yang apabila terbukti melakukan delik yang memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian, bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana perkosaan hanyalah lelaki atau pria, padahal bukan tidak mungkin seorang perempuan memaksa seorang laki-laki, baik laki-laki itu suaminya atau tidak untuk bersetubuh dengan dia. Pembentuk undang-undang tidak menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa orang laki-laki untuk bersetubuh, karena paksaan seorang perempuan terhadap orang laki-laki untuk bersetubuh tidak menimbulkan sesuatu yang buruk atau merugikan hanya karena laki-laki tidak ada bahaya untuk hamil dan melahirkan anak karena paksaan tersebut. Dan jika benar-benar paksaan dari perempuan tersebut untuk bersetubuh telah merusak moral dari laki-laki yang korban itu, maka dapat 54 saja perbuatan yang pernah dia alami dia lakukan terhadap seorang perempuan sehingga terjadilah delik perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang akan datang menurut hemat penulis, maka laki-laki juga harus dilindungi dari tindak pidana perkosaan, sehingga yang dapat dipidana karena melakukan delik perkosaan bukan hanya laki-laki tetapi juga seorang perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh dengan dia. ad.2. Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Unsur kedua dari tindak pidana perkosaan yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur bahwa, yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu: “membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi”. Dengan demikian maka seorang perempuan dapat dikatakan diperkosa kalau terhadap tubuh perempuan itu ada bekas-bekas kekerasan misalnya memar, ataupun pakaian dari perempuan tersebut robek atau kancingnya terlepas dan lain sebagainya. Namun, yang sangat disesalkan adalah apabila perbuatan tersebut tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban takut akan ancaman dari pelaku sehingga tanda-tanda atau bekas-bekas kekerasan ini sudah hilang pada pemeriksaan sedangkan korban juga tidak pernah meminta bantuan pengobatan dari seorang dokter, padahal kalau saja perbuatan perkosaan itu segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib maka tanda-tanda kekerasan ini dapat dimintakan Visum et Repertum atau kalau saja perempuan yang menjadi korban tersebut 55 menyadari bahwa bekas-bekas kekerasan itu penting dalam pembuktian, maka korban dan keluarganya mungkin tidak akan melalaikan hal ini. Tidak jarang delik perkosaan tidak dilaporkan kepada yang berwajib atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah bukti-bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan sudah hilang sama sekali atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah korban menjadi hamil, padahal delik perkosaan tersebut telah dilakukan oleh pelaku berulang-ulang kali tetapi karena ancaman dari pelaku sehingga korban tidak melaporkan apa yang telah dialami terhadap keluarganya apalagi terhadap pihak yang berwajib. ad.3. Memaksa Unsur ketiga dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah memaksa. Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan dengan ucapan. Dalam delik perkosaan ini seorang perempuan dipaksa sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukan kedalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita itu adalah wanita itu sendiri. ad.4. Perempuan yang bukan istrinya Unsur keempat dari tindak pidana perkosaan ialah perempuan yang bukan istrinya. Dengan demikian jika terhadap istrinya sendiri tidak dikenakan pasal ini. Perlu diketahui bahwa tindak pidana susila dalam 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menyebutkan adanya berbagai perempuan, masing-masing perempuan yang belum mencapai 12 tahun dalam Pasal 287 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang16 Undang Hukum Pidana, perempuan yang belum dapat dinikahi dalam Pasal 288 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan perempuan pada umumnya. Sedangkan perempuan yang dimaksudkan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perempuan pada umumnya yang bukan istrinya. ad.5. Bersetubuh Unsur kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah persetubuhan. Menurut hukum: “Baru dapat dikatakan persetubuhan, apabila anggota kelamin pria telah masuk kedalam lubang anggota kelamin wanita demikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan air mani”30. Dengan demikian dalam delik perkosaan anggota kelamin pria harus telah masuk kedalam lubang anggota kemaluan wanita sedemikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan mani. Tetapi bagaimana kalau laki-laki itu belum sampai mengeluarkan air mani? Karena sebelum laki-laki tersebut mengeluarkan mani, akhirnya perempuan (korban) dapat melakukan perlawanan? Dalam hal ini apakah laki-laki tersebut belum dapat dikatakan telah melakukan perkosaan? Kiranya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, untuk membuktikan unsur bersetubuh, hakim tidak menitikberatkan pada keluarnya mani, tetapi pada apakah benar, alat kelamin pria itu benar- 30 Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal. 300-301. 57 benar telah masuk pada anggota kelamin perempuan (korban), yang dibuktikan visum et repertum. ad.6. Dengan dia Unsur keenam dari tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah dengan dia. Yang dimaksudkan dengan dia kata dengan dirinya itu ialah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia. Dalam penerapan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka semua unsur Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut haruslah dapat dibuktikan di sidang pengadilan. Walaupun memang harus diakui bahwa pembuktian ini bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan sering menjadi kendala untuk menghukum pelaku. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dan untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap kasus perkosaan, dengan adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka semakin sulit saja seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap basah atau pelaku mengakui perbuatannya. 58 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan I. Tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan standart oprasional Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam penegakan hukum kepada masyarakat tetap berdasarkan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 13, merumuskan sebagai berikut: Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, merumuskan sebagai berikut : 4. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 5. Menegakkan hukum. 6. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. II. Perlindungan korban tindak pidana perkosaan menurut kitab undangundang hukum pidana (KUHP) dapat dilihat dalam bentuk pemidanaan yaitu pasal 285 KUHP terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana perkosaan. Penghukuman yang di jatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh korban perkosaan. Tetapi apabila dilihat aspek sanksi hukum yang dirumuskan dalam KUHP terdapat banyak kelemahan yang antara lain tidak adanya batasan minimum penjatuhan hukuman pada pelaku. 59 III. Hukuman (sanksi hukum) yang harus diterima pelaku perkosaan sebagai ganjaran atas perbuatan yang dilakukan sebenarnya telah di atur dalam dua ketentuan, yaitu pasal 285 dan pasal 291 KUHP yang sekaligus keduanya menjadi aturan baku untuk menuntut dan memutus setiap kasus perkosaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Meskipun pasal 285 dan pasal 291 KUHP telah mengatur sanksi hukum bagi setiap pelaku perkosaan, kedua aturan hukum tersebut masih bersifat umum karena hanya menyangkut tindak perkosaan pada umumnya serta perkosaan yang menyebabkan matinya korban, padahal perkosaan yang terjadi dalam kehidupan nyata sangat bervariasi dan bersifat kasuistis. 4.2. Saran I. Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP. II. Hendaknya dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHAP) mengatur ancaman hukuman minimal. III. seharusnya ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan tidak cukup hanya diatur dalam dua pasal karena terbukti setiap kasus perkosaan memiliki karakternya sendiri, belum lagi jika kasus tersebut dihubungkan dengan tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Aparat penegak hukum seharusnya bisa memberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatan 60 tersangka. perlu adanya kepekaan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana perkosaan, dengan mempertimbangkan dampak atau akibat tindak pidana tersebut bagi korban. Dalam hal ini hakim diharapkan tidak menjatuhkan sanksi pidana yang ringan sehingga tidak mempunyai efek jera bagi pelaku tindak pidana perkosaan. 61 DAFTAR BACAAN Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2003. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT.Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004 Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita, 1997. Suryono Ekotama, Abortus Provokatus bagi korban perkosaan, 2000. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Saksi Dan Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta,1996 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998) Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2004. J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1987. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cipta Aditya Bakti, Bandung,1998. Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum di Indonesia dan Hubungan Sosial Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)