progam studi ilmu hukum fakultas hukum universitas wijaya putra

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN
SKRIPSI
OLEH :
HETY WIDIAWATI
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN
SKRIPSI
OLEH :
HETY WIDIAWATI
NPM : 28120013
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH :
HETY WIDIAWATI
NPM : 28120013
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2012
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN
NAMA
: HETY WIDIAWATI
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 28120013
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH :
PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, S.H, M.H.
ii
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan
LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi
syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya,
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, M.H.
(.....................................)
(Dekan)
2. Sekretaris : Andy Usmina wijaya, S.H, M.H.
(.....................................)
(Pembimbing)
3. Anggota
: 1. H. Musa, S.H, M.H.
(.....................................)
(Dosen Penguji I)
2. Arief Syahrul Alam, S.H, M.Hum.
(Dosen Penguji II)
iii
(.....................................)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN”.
Skripsi ini disusun sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra guna memenuhi persyaratan untuk kelulusan tingkat
Sarjana, untuk membandingkan dan menerapkan teori hukum yang diterima
dengan keadaan sebenarnya di masyarakat, serta untuk menambah wawasan
bagi penulis dan pembaca.
Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan
oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1.
Bapak H. Budi Endarto, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya
Putra Surabaya.
2.
Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
3.
Bapak Andy Usmina Wijaya, S.H, MH, selaku Dosen Pembimbing atas
ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan
mengarahkan penulis.
4.
Kedua orang tuaku, yang selalu memberikan do’a dan dukungan di
setiap langkah yang penulis kerjakan.
5.
Kakakku sayang, yang selalu memberikan bantuan dan do’a.
iv
6.
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Surabaya, yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya.
7.
Semua teman-temanku yang selalu ada di hati, yang selalu memberikan
semangat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penelitian
lanjutan di masa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Surabaya,
Penulis
v
Agustus 2012
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL . ...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN . ............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ....... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ...... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................
4
1.3. Penjelasan Judul ...........................................................................
4
1.4. Alasan Pemilihan Judul ................................................................. 10
1.5. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10
1.6. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10
1.7. Metode Penelitian .......................................................................... 11
1.8. Sistematika Pertanggungjawaban ................................................. 13
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN
2.1. Perlindungan Korban .................................................................... 16
2.2. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Korban Perkosaan ........................................................................ 21
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PERKOSAAN
3.1. Penegakan Hukum . ...................................................................... 38
3.2. Proses Penangkapan dan Penahanan Pelaku Tindak Pidana
Menurut KUHAP . .......................................................................... 39
vi
3.3. Proses Penggeledahan Dan Penyitaan Pelaku Tindak Pidana
Menurut KUHAP . .......................................................................... 39
3.4. Sanksi bagi pelaku perkosaan . ..................................................... 51
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan . ................................................................................. 58
4.2. Saran . .......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA . ......................................................................................... 61
vii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mempunyai sifat
melanggar hukum, sifat melanggar merupakan salah satu unsur dari suatu
tindak pidana tertentu yang ada didalam KUHP. “tindak pidana adalah suatu
pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi
dengan suatu hukuman pidana. Sifat-sifat yang ada di dalam setiap tindak
pidana adalah sifat melanggar hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa
sifat melanggar hukum”.1
Tanggapan masyarakat terhadap kriminalisasi perbuatan keasusilaan
adalah
sebagian
besar
masyarakat
menyetujui
bahwa
perbuatan
pelanggaran keasusilaan adalah perbuatan kriminal. Sebagian perbuatan
asusila itu dipandang meresahkan masyarakat dan menjaga keharmonisan
hubungan
diantara
norma-norma
yang
hidup
dan
berkembang
di
masyarakat.
Ada peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia guna
melindungi kaum perempuan tindak pidana perkosaan, maksud dan tujuan
untuk menciptakan rasa aman dikalangan masyarakat. Sudah banyak upaya
yang dilakukan oleh Negara demi memberikan rasa aman terhadap
warganya, tetapi kejahatan itu selalu terjadi. Hal ini terjadi karena
terbatasnya aparat kepolisian akan menjaga keamanan dalam masyarakat
dan kesadaran masyarakat.
1
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan Kedua, Refika Aditama,
Bandung, 2003, hal. 1.
2
Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan
terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan,
utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan
yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi
jauh
pada
kehidupan
perempuan,
sehingga
terpaksa
harus
selalu
menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana
perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana
kepedulian
sosial
tertentu
merupakan
bagian
mutlak
yang
perlu
dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik
oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembagalembaga sosial yang ada.
Kasus kekerasan terhadap perempuan semakin marak, hampir setiap
hari dapat kita baca berita di koran-koran maupun melalui media televisi,
setiap hari hampir selalu ada perempuan yang menjadi korban kekerasan,
membahas kedudukan korban kejahatan perlu dikemukakan pengertian
tentang korban.
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita, berbicara masalah korban sebenarnya bukan hal
baru, dikaitkan dalam suatu kejahatan maka korban mempunyai peranan
fungsional dalam terjadinya kejahatan.2
Ditinjau dari sisi hukumnya perlindungan hukum terhadap korban
kekerasan masih sangat kurang, untuk itu perlu kita ketahui bahwa berbicara
2
41.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT.Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004, hal.
3
mengenai hukum akan terkait dengan system hukum mencakup tiga hal,
yaitu substansi atau perumusan pasalnya, strukturnya atau aparat penegak
hukumnya serta kultur atau budaya hukum, ketiganya sangat erat kaitannya
satu sama lain, sehingga kalau kita ingin mengubahnya maka kita harus
memperhatikan ketiga hal tersebut. Tindak pidana yang terjadi selalu
mengalami kenaikan bisa kita lihat perilaku kehidupan masyarakat telah
terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang antara lain sering kita dengar banyak
terjadi perkosaan baik atau tindakan asusila lainnya di kota besar maupun di
kota-kota kecil.
Memperhatikan ancaman pidana terhadap jenis kejahatan perkosaan
cukup berat, namun ternyata tidak menurunkan niat pelakunya. Bahwa
motivasi pelaku perkosaan lebih banyak didorong oleh keinginan untuk
melampiaskan nafsu seks, dengan modus usaha untuk mengajak korban
ketempat yang lebih aman, mengenai tingkat kedekatan antara korban dan
pelaku dalam terjadinya kejahatan perkosaan mereka sudah saling
mengenal sebelum terjadinya peristiwa tersebut. Di zaman modern seperti
yang sekarang ini semakin hari semakin meningkat sehingga masyarakat
banyak yang resah terutama bagi perempuan.
Rendahnya sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku
perkosaan juga mengakibatkan korban merasa harga dirinya telah dirampas.
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa
pasal yang dirasakan belum menyentuh manfaatnya terutama bagi korban
khususnya perempuan yang menjadi korban perkosaan, dimana hak-hak
perempuan
sebagai
sebagaimana mestinya.
bentuk
perlindungan
hukum
tidak
terlaksana
4
Perempuan sering dianggap kaum yang lemah, kaum yang selalu
berada dibelakang kaum pria. Akibatnya muncul berbagai kekacauan yang
mengakibatkan tindak pidana perkosaan terhadap perempuan tersebut dapat
terjadi. Sifat meniru dan cenderung mudah terpengaruh yang dimiliki
masyarakat Indonesia juga merupakan penyebab timbulnya tindak pidana
perkosaan yang terjadi di Indonesia.
Para penegak hukum menggunakan KUHP sebagai acuan dalam
penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. Akan tetapi,
KUHP hanya memuat ketentuan yang berlaku bagi pelaku saja, tidak memuat
ketentuan yang berlaku bagi korban perkosaaan, sehingga perlu adanya
aturan khusus yang mencakup keduanya, baik pelaku maupun korban.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan
masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan
Korban perkosaan?
b. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan?
1.3. Penjelasan Judul
1.3.1. Pengertian Perkosaan
Pengertian
perkosaan
dengan
kekerasan
dan
ancaman
yang
dimaksud di dalam pasal KUHP, yaitu:
Pasal 285 : “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.
5
Sedangkan unsur-unsur pasal tersebut :
a. Barangsiapa, dalam hal ini pasti laki-laki atau perempuan.
b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, berarti setiap
perbuatan yang mempergunakan tenaga fisik yang tidak ringan,
atau menimbulkan ketakutan atau kecemasan karena ancaman.
c. Memaksa untuk bersetubuh dengan dia di luar perkawinan.
d. Diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Salah satu jenis tindak pidana perkosaan yang paling sering terjadi
di dalam lingkungan warga masyarakat, dikarenakan maraknya
pergaulan bebas. Serta tindak pidana pelecehan seksual yang
berakibatkan perkosaan bisa dikategorikan kedalam beberapa bentuk,
yakni: menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti dan
membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi
seseorang
tentang
kehidupan
atau
kegiatan
seksualnya
atau
kehidupan pribadinya meminta imbalan seksualnya dengan janji untuk
mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Serta maraknya video porno
dan kurangnya perhatian dari keluarga.
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti
mencuri, memaksa, merampas atau membawa pergi 3. Pengertian
perkosaan menurut Suryono Ekotama adalah suatu hubungan yang
dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya 4. Pada jaman
dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri.
Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan.
3
4
Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita, 1997.
Suryono Ekotama, Abortus Provokatus bagi korban perkosaan, 2000, hal. 99.
6
Dampak perkosaan tidak hanya menghilangkan keperawanan
seorang perempuan atau si korban, namun memberi dampak besar
bagi segi fisik maupun kejiwaannya lainnya yaitu:
a. Kehamilan yang tidak dikehendaki.
b. Korban sangat mungkin terkena penyakit menular.
c. Dapat pengucilan dalam lingkungan keluarga.
d. Dapat pengucilan dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
e. Hilangnya rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai
salah satu identitas diri perempuan telah hilang.
f.
Hilangnya hak dalam mengenyam pendidikan.
g. Dampak psikologis bagi korban sangat besar, korban depresi dan
juga bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Tindak pidana perkosaan yang bisa sampai mengakibatkan kematian
diatur dalam pasal di KUHP:
Pasal 291 ayat 2:
“jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285,286,287,289,290
mengakibatkan kematian djatuhi pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
1.3.2. Pengertian Perlindungan
Perlindungan
menurut
undang-undang
tentang
penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga pasal 1 ayat 4 adalah segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan 5 .
5
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Saksi Dan
Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009, hal. 2.
7
Pasal 1 ayat 5 tentang perlindungan sementara adalah perlindungan
yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga social atau
pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan 6 .
1.3.3. Pengertian Korban
Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita 7 .
Pengertian korban menurut Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi atau korban pasal 1
ayat 3, adalah seseorang menderita fisik, mental, dan atau kerugian
ekonomi yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana 8 .
Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang
dengan
kekerasan
atau
dengan
ancaman
kekerasan
dipaksa
bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan 9.
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut :
1) Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur
(obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita.
2) Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan
tindakan perlakuan pelaku.
3) Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai
dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
wanita tertentu.
6
Ibid
Arif Gosita, masalah korban kejahatan, PT. bhuana ilmu popular kelompok gramedia, 2004, hal. 64.
undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan saksi dan korban,
Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009, hal. 2.
9
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, IND.HILL-CO,
Jakarta, 1987, hal. 12-13.
7
8
8
1.3.4. Tugas Dan Fungsi Kepolisian
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu
instansi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat. Penegak hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dimana peraturan pelaksanaannya
berdasarkan tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002,
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan standart oprasional
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam penegakan hukum
kepada masyarakat tetap berdasarkan atas Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 13, merumuskan sebagai berikut:
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, merumuskan sebagai
berikut:
1. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakkan hukum.
3. Memberikan
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
masyarakat.
Menegakkan dan menjunjung tinggi hukum adalah merupakan
salah satu tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menangani segala
jenis tindak pidana,
yaitu:
melalui
proses
penyelidikan dan proses penyidikan.
Standart operasional prosedur penyidik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya menurut pasal 7
KUHAP mempunyai wewenang :
9
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal dari tersangka.
4. Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
dan
penyitaan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
9. Mengadakan penghentian penyidikan.
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari atau
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
1.4. Alasan Pemilihan Judul
Memperhatikan
ancaman
pidana
terhadap
jenis
kejahatan
perkosaan cukup berat, namun ternyata tidak menurunkan niat pelakunya
sehingga sering terjadi tindak pidana perkosaan dan Perlindungan hukum
di KUHP korban kurang mendapatkan haknya. Karena seringkali di dalam
10
penyeleseaian kasus perkosaan tersangka lebih di untungkan dalam hal
pemutusan perkara hal ini dapat di lihat dari hukuman yang di jatuhkan
tidak sesuai. Maka penulis mengambil judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Perempuan Korban Perkosaan”.
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui
pengaturan
perlindungan
hukum
terhadap
perempuan korban perkosaan.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan.
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dicapai penelitian ini adalah:
A. Manfaat Teoritis ilmu hukum:
1. Dapat mengetahui pengaturan perlindungan terhadap perempuan
korban perkosaan.
2. Dapat mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan.
B. Manfaat Praktis:
1. Bagi korban agar memberikan pemahaman tentang bentuk
perkosaan yang semakin meningkat saat ini. Dan selalu berhatihati dalam pergaulan di jaman modern saat ini.
2. Bagi pelaku agar pelaku jera dan tidak mengulangi tindak
kejahatan itu.
3. Bagi polisi adalah diharapkan selalu memberikan pengarahan
kepada masyarakat khususnya para perempuan agar kasus tindak
pidana perkosaan yang sering terjadi, dapat ditangani oleh
11
kepolisian khususnya pihak reserse criminal dan ditangkap
pelakunya agar kasus seperti ini tidak merajalela di masyarakat.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Tipe Penelitian
Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum
Normatif, yaitu: mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma
atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan
perilaku setiap orang 10 .
Suatu penelitian yang bertumpu pada yuridis normatif peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok
masalah yang di bahas. Dalam penelitian hukum normatif tidak di
kenal adanya variable bebas dan variable terikat, hipotesis,
populasi dan sampling. Data dan teknik pengumpulan data,
analisis data dengan menggunakan penelitian kuantitatif maupun
kualitatif
11
. Jadi dalam peneltian ini menggunakan tipe penelitian
normatif.
1.7.2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang di gunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundangundangan yaitu dengan melakukan kajian terhadap peraturan
perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan
pokok masalah yang di bahas.
hal.52.
10
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
11
Ibid, hal. 50.
12
1.7.3. Pengumpulan Bahan Hukum
Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif, terdiri atas
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan – bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat, dan terdiri dari :
1. Norma atau kaidah dasar, yaitu : pembukaan Undangundang Dasar 1945.
2. Peraturan perUndang-undangan, yaitu :
-
Undang-undang
-
Peraturan pemerintah
3. Peraturan-peraturan lain yang berlaku (hukum positif) yang
pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang di
bahas.
Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang
penulis gunakan adalah :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP).
3. Undang-undang nomor 2 tahun 2002, tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Undang-undang
penghapusan
kekerasan
rumah
tangga dan perlindungan saksi dan korban.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, (buku ilmu hukum, jurnal
hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).
13
Dalam menggunakan bahan hukum tidak di batasi pada aturan
hukum tertentu, melainkan semua aturan hukum yang berkaitan.
1.7.4. Langkah – Langkah Kajian
Pertama-pertama melakukan pengumpulan bahan-bahan
hukum dan menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan
menggunakan study kepustakaan. Kemudian bahan hukum di
klasifikasikan dengan cara memilah-milah bahan hukum dan
disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami.
Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan
metode deduksi yaitu metode penelitian yang di awali dengan
menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat
umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang bersifat
khusus.
Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan
penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan pada
hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu
dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
1.8.
Sistematika Pertanggung Jawaban
Untuk mengetahui keseluruhan isi dari skripsi ini, maka dibuat
suatu sistematika secara garis besar dalam penyusunan skripsi yang
terdiri dari 4 (empat) bab, penjelasan yang selengkapnya adalah sebagai
berikut :
14
BAB I : merupakan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar
belakang masalah, latar belakang ini adalah dasar dari pemilihan judul
skripsi, setelah didapatkan permasalahan maka dimasukkan ke dalam
rumusan masalah yang akan menjadi topik pembahasan. Di dalam bab I
ini juga terdapat penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Agar kelima bagian
tersebut dapat digunakan dalam menentukan arah dari skripsi ini. Dengan
maksud apa yang dikonsepkan dapat terarah dengan jelas. Dan yang
terakhir adalah sistematika penulisan yang berguna untuk meringkas poin
yang ada di dalam skripsi.
BAB II : pada bab II merupakan bab pembahasan, dalam bab II ini
akan membahas tentang rumusan masalah yang pertama pada bab I,
yaitu : Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan
korban perkosaan, yang meliputi : perlindungan korban, pengaturan
perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan.
BAB III : pada bab III merupakan bab pembahasan, dalam bab III
ini akan membahas tentang rumusan masalah yang ke dua pada bab I,
yaitu : Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku perkosaan, yang
meliputi : penegakan hukum, proses penangkapan dan penahanan
pelaku tindak pidana menurut KUHAP, proses penggeledahan dan
penyitaan pelaku tindak pidana menurut KUHAP, sanksi bagi pelaku
perkosaan.
BAB IV : pada bab IV adalah bab penutup atau akhir, dimana pada
bab tersebut terdiri atas 2 (dua) bagian. Bagian yang pertama yaitu
Kesimpulan dari semua pokok bahasan dari Bab I, Bab II, dan Bab III.
15
Bagian yang kedua yaitu Saran diharapkan dapat berguna bagi pihak
yang berkepentingan.
16
BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN
2.3.
Perlindungan Korban
Perlindungan korban kejahatan dalam proses penyelesaian
perkara pidana tidak saja penting bagi korban dan keluarganya semata
tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas yaitu untuk kepentingan
penanggulangan kejahatan di satu sisi dan di sisi yang lain untuk
kepentingan pelaku kejahatan itu sendiri.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Sanksi Dan Korban, perlindungan adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada Saksi dan/Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pengertian Perlindungan Korban dapat dilihat dari 2 (dua) makna:
1) Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban
kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau
kepentingan hukum seseorang).
2) Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik
dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa
pemulihan nama baik/rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin
antara lain dengan pemaafan, pemberian ganti rugi seperti restitusi,
17
kompensasi,
jaminan/santunan
kesejahteraan
sosial
dan
sebagainya12.
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentu membawa
konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan
melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara
mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Karena itu, keberadaan
manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat
dipandang
sebagai
individu
yang
berdaulat
sehingga
dapat
mempertahankan hak dan kewajibannya secara mutlak, melainkan
haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu pribadi sosial
yang dibina oleh masyarakat dan hidup terikat oleh masyarakat serta
mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul karena
hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan
dengan kepentingan umum atau masyarakat.
Penjelasan
Undang-Undang
Dasar
1945
dengan
tegas
menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dan
bukan Negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian ada berbagai
konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi rechtstaat maupun
konsepsi the rule of law menempatkan hak asasi manusia sebagai salah
satu ciri khas negara rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law,
bagi suatu negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya
suatu pemerintahan.
12
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 56.
18
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya
upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat
maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukum) seperti pemberian
perlindungan/pengawasan
dari
berbagai
ancaman
yang
dapat
membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, bantuan
hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair
terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu
perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument
penyeimbang. Disinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban
kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.
Pentingnya
korban
memperoleh
pemulihan
sebagai
upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, karena
korban kejahatan perlu dilindungi, pertama masyarakat dianggap sebagai
suatu wujud system kepercayaan yang melembaga. Kepercayaan ini
terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur
kelembagaan seperti polisi, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.
Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran
sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan
hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana
pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argumen
kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan
memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat
korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban
dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga,
19
perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik
yang
ditimbulkan
oleh
adanya
tindak
pidana
akan
memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal
ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum
harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.Asas manfaat
Artinya
perlindungan
korban
tidak
hanya
ditujukan
bagi
tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban
kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas
khususnya alam upaya
mengurangi jumlah tindak pidana
serta
menciptakan ketertiban masyarakat.
2. Asas keadilan
Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban
kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa
keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.
3. Asas keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan
perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan
keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada
keadaan yang semula, asas keseimbangan memperoleh tempat yang
penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
20
4. asas kepastian hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi
aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya
memberikan
perlindungan hukum pada
korban
kejahatan.
Untuk
memperoleh dasar pijakan yuridis yang memadai, konsep pemberian
perlindungan hukum pada korban kejahatan sebaiknya ditambahkan
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum (Acara) Pidana.
Dalam masalah perlindungan hukum bagi korban, maka terkait
dua pihak yaitu korban sebagai pihak yang harus dilindungi dan
pemerintah atau negara sebagai pihak yang memberi perlindungan. Hal
ini karena pemerintah atau negaralah yang mempunyai kekuasaan.
Adanya korban kejahatan tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya
kejahatan itu sendiri, namun selama ini perhatian terhadap korban
kejahatan tidak sebanding dengan perhatian terhadap pelaku kejahatan
atau tindak pidana. Dalam sejarah hukum Indonesia dapat dijumpai
berbagai kitab undang-undang hukum. Salah satu diantaranya adalah
yang berasal dari zaman Majapahit, yaitu yang disebut “perundangundangan Agama”. Dalam perundang-undangan ini terdapat pidana
pokok berupa ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa. Meskipun
ketentuan tersebut sekarang tidak berlaku, namun ada baiknya
menyebutnya di sini, karena tampaknya ada kecenderungan dari
pembentuk undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan
nilai-nilai yang pernah ada dalam hukum asli.
Gagasan pengenaan ganti rugi merupakan gagasan yang maju,
dalam arti bahwa orang yang dirugikan dalam perkara pidana atau orang
21
yang menjadi korban tindak pidana mendapat perhatian. Kedudukan
korban atau orang yang dirugikan dalam perkara pidana selama ini
sangat memprihatinkan, dimana korban tindak pidana seolah-olah
dilupakan.
Ilmu
pengetahuan
hukum
pidana
dan
praktek
penyelenggaraan hukum pidana hanya menaruh perhatian kepada pelaku
tindak pidana.
2.2.
Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban
Perkosaan
Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan
kesulitan
dalam
penyelesaiannya
baik
pada
tahap
penyidikan,
penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan
dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan
atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang
lain13. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses
sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi
hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296),
khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285).
Indonesia saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang
maksimal kepada para korban kejahatan perkosaan bahwa tindak pidana
perkosaan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia antara lain
disebutkan dalam pasal 285,pasal 286 KUHP. Hukum positif yang berlaku
maksimal, khususnya dalam hal kerugian immaterial yang diderita korban
tindak pidana perkosaan.
13
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika,
Jakarta,1996, hal. 81.
22
Adapun kendala pertama, yang muncul dalam pelaksanaan
pemberian perlindungan terhadap tindak pidana pemerkosaan antara lain
adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai ganti kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana
perkosaan. Kendala yang kedua, adalah system penegakan hukum yang
kurang baik, dimana mulai dari Kepolisian sampai ke persidangan di
pengadilan, korban hanya dianggap sebagai saksi korban.
Pemerkosaan tidak hanya dilihat dalam bentuk langsung,namun
pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk isyarat tubuh si pelaku
dianggap telah melanggar kesopanan dan yang penting sebagai seorang
perempuan tidak menghendaki perlakuan si pelaku tersebut. Apabila
pelecehan terjadi, perbuatan tersebut dapat diancam hukuman seperti
yang terdapat dalam KUHP. Atas dasar beberapa masalah diatas
membuatnya korban kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku.
Pasal 285 KUHP merumuskan bahwa :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara palin lama dua
belas (12) tahun”.
Pasal 286 :
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan (9)
tahun”.
Pasal 291 ayat 1 :
23
“Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas (12) tahun”.
Pasal 291 ayat 2 :
“Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas (15) tahun”.
Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas.
Menurut Barda Nawawi Arief14 dalam hukum pidana positif yang berlaku
pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan
abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada
hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap
kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian, karena
tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan
menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban)
secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran
“norma atau tertib hukum in abstracto”.
Akibatnya perlindungan korban tidak secara langsung dengan in
concreto, tetapi hanya in abstracto. Dengan kata lain, sistem sanksi dan
pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban
secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara
tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pelaku bukanlah
pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara
langsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban
pribadi atau individual.
14
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jurnal
Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998), hal.16-17.
24
Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum
positif
tersebut
belum
mampu
memberikan
perlindungan
secara
maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang
berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa
keadilan.
Berdasarkan hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut
kerugian
atau
ganti
rugi
terhadap
pihak terpidana.
Pengaturan
perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur
dalam15:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah member
perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi :
“ Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal
dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,
bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim
boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan
mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau
sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang
kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan
b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat
khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang
ditimbulkan kepada korban.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang
Penggabungan
15
Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101,dimana
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2004,
hal. 135-144.
25
korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah
dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya.
Pengaturan pemberian ganti rugi yang sangat sederhana baik
dalam
KUHP
maupun
dalam
KUHAP
yang
berlaku
sekarang
menunjukkan tidak ada atau kurangnya perhatian sistem peradilan pidana
terhadap korban yang telah menderita sebagai akibat dari adanya suatu
tindak pidana. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan hukum pidana
dan pembentukan KUHP Nasional khususnya, masalah perlindungan
korban terutama yang menyangkut pemberian ganti rugi kepada korban
perlu mendapat perhatian yang sewajarnya. Dengan memberikan
perhatian
kepada
korban
kejahatan
maka
akan
meminimalkan
kemungkinan terjadinya korban kedua kali bagi korban. Disamping itu
dengan memberikan perlindungan yang memadai kepada korban
kejahatan maka sesungguhnya hukum pidana telah ikut membantu
terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan jalan meminimalkan
penderitaan para korban kejahatan atau tindak pidana.
Dalam dimensi sistem peradilan pidana, kepentingan korban
dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu :
a. Aspek Positif
KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada
korban dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan
perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk
perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat
diselesaikan melalui mekanisme hukum.
26
KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara
melalui dua kualitas dimensi, yaitu :
Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara
pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang
dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1angka 26 KUHAP).
Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara
pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan
gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan
penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa.
Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, memberi keterangan
bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi
kewajiban undang-undang, memberi keterangan mengenai peristiwa yang
dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi dalam kapasitasnya
sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif
dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b.
Aspek Negatif
Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses
penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek
positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan
tetap mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi,
relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum
mandapat perhatian secara proporsional16, atau perlindungan
korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung17.
3. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP
16
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1987, hal. 39.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Cipta Aditya Bakti, Bandung,1998, hal. 58.
17
27
Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada UndangUndang di luar KUHP dan
KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan
tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu
bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang dimaksud adalah
sebagai berikut :
a.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
b.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
c.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
d.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
Perlindungan korban tindak pidana perkosaan menurut kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) dapat dilihat dalam bentuk
pemidanaan yaitu pasal 285 KUHP terhadap pihak yang dinyatakan
bersalah sebagai pelaku tindak pidana perkosaan. Penghukuman yang di
jatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh
korban perkosaan.
Tetapi apabila dilihat aspek sanksi hukum yang dirumuskan dalam
KUHP terdapat banyak kelemahan yang antara lain tidak adanya batasan
minimum penjatuhan hukuman pada pelaku. Ketentuan rumus dalam
KUHP sekaligus mempengaruhi aspek perlindungan terhadap akibatakibat yang di alami korban tindak pidana perkosaan.
28
Hal ini memungkinkan pihak yang lain menjadi korban suatu tindak
pidana, diberikan kemungkinan untuk dalam waktu yang bersamaan
dengan
proses pemeriksaan
perkara
pidananya
dapat
sekaligus
mengajukan tuntutan ganti kerugian, tanpa perlu menunggu putusan
perkara pidananya terlebih dahulu18.
Selain itu yang menjadi penyebab jarangnya korban tindak pidana
perkosaan untuk meminta ganti kerugian, yaitu korban tidak sepenuhnya
mengetahui apa yang menjadi haknya. Keadaan ini tentu tidak dinilai
secara materiil. Hal ini perlu disikapi oleh para aparat penegak hukum
agar permintaan tuntutan ganti kerugian dapat disertakan dalam
pembuatan tuntutan. Selayaknya para korban di upayakan untuk tidak
terlampau
menderita
dengan
pembebanan
biaya
yang
akan
ditanggungnya, misalnya korban harus menjalani perawatan di rumah
sakit.
Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban dengan usahausaha pencegahan pembuatan korban harus ditingkatkan dengan
mengadakan penciptaan suasana iklim yang dapat mencegah dan
mengurangi
orang
membuat
korban
dan
menjadi
korban
dan
penyebarluasan informasi tentang cara mencegah terjadinya korban,
penunjukan daerah korban atau daerah kejahatan, mengembangkan rasa
kewaspadaan dan tanggung jawab, pengadaan peraturan undangundang yang mengatur dan menjamin hak dan kewajiban korban. Apabila
korban mendapat trauma dari pelaku, kerap kali bila lawannya kelihatan
lebih lemah maka pelaku akan lebih agresif. Dengan demikian bahwa
demi kerukunan, perdamaian, dan ketertiban dalam masyarakat, Negara,
18
Arif Gosita, Ganti Rugi Dalam KUHP, akademia pressindo, Jakarta, hal.110.
29
dan dunia international, pembinaan terhadap para peserta dalam
terjadinya korban adalah sangat penting.
Upaya mencegah terjadinya korban dengan mengetahui sebabsebab tejadinya perkosaan dan mencari pemecahannya bukanlah hal
yang mudah, perlu keterlibatan semua pihak, dimulai dari para
individunya, masyarakat, aparat penegak hukum, serta pemerintah.
Timbulnya kasus itu sendiri sebenarnya beragam alasannya,
namun yang terpenting adalah pola penanganan kasus itu sendiri. Dalam
kajian hukum pidana faktor kepastian dan keadilan memang menjadi
penting manakala seseorang telah dirugikan sebagai akibat suatu tindak
pidana.
Tugas dan wewenang Kepolisian sesuai dengan TAP MPR
no.VI/MPR/2000
tentang
pemisahan
TNI
dan
Polri,
TAP
MPR
No.VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri di dalam Undang-Undang
no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia maka :
1. Polri adalah alat Negara yang melaksanakan kekusaan Negara
dibidang kepolisian peventif dan represif dalam rangka criminal
justice system.
2. Polri
adalah
alat
Negara
yang
melaksanakan
pemeliharaan
keamanan dalam negeri.
3. Polri berkedudukan langsung dibawah presiden dimana kapolri
diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
30
Secara khusus dalam pasal 13 undang-undang no.2 tahun 2002
menjelaskan tugas dan wewenang kepolisian Negara republik Indonesia
adalah :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakkan hukum
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dalam
masyarakat.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana
perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul Kejahatan terhadap
kesusilaan yaitu dalam Pasal 285. Pasal 285 KUHP tersebut menyatakan
bahwa “ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun “. Berdasarkan Pasal 285 KUHP tersebut, dapat
diambil kesimpulan antara lain :
1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur.
2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan.
Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai
niat dan tindakan perlakuan pelaku. Persetubuhan diluar perkawinan
adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan terhadap wanita tersebut. Dalam proses penegakan
hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang terkait di dalamnya, yaitu
pihak pelaku tindak pidana (offenders) dan pihak korban kejahatan
(victims). Oleh karena itu maka kedua pihak tersebut harus mendapat
perhatian yang seimbang. Dengan demikian dalam proses penyelesaian
31
perkara pidana tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dipandang
dari
sudut
penegakan
hukum
pidana
maupun
dalam
usaha
penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.
Bila berbicara mengenai kedudukan pihak korban dalam ketentuan
pidana maka kita akan menyinggung peran serta kepentingan pihak
korban. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan
untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu
menerima kejadian yang telah menimpanya sebagian bagian dari
pengalaman hidup yang harus ia jalani. Korban perkosaan memerlukan
kawan bicara, baik teman, orang tua, saudara, pekerja social, atau siapa
saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka.
Beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi
keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa
malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga
nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga
menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang
tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi,
merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami stres. Stres ini jarang
terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari
keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya
hanya mengalami stres perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami
stres yang mengakibatkan jangka panjang. Korban terlihat lebih cepat
pulih dengan adanya dukungan dari keluarga.
32
Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana perkosaan berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala
bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan.
Pandangan Negara tersebut didasarkan pada pasal 28G UndangUndang Dasar Tahun 1945, beserta perubahannya yaitu :
a. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
b. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan
bahwa :
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan pelakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”19.
Dalam undang-undang no.13 tahun 2006, ada beberapa pasal
yang menyangkut masalah pemberian perlindungan terhadap korban
tertentu. Dalam hal ini, tindak pidana perkosaan termasuk merupakan
tindak pidana yang dapat mengakibatkan korban dan saksinya
dihadapkan pada posisi yang membahayakan jiwa dari perempuan
korban perkosaan tersebut.
19
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28G
33
Mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap
korban perkosaan dari ancaman pelaku diterapkan dalam pasal 5 ayat
(1). Seorang saksi dan korban berhak :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan
dan keamanan,
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
d. Mendapat penerjemah.
e. Bebas dari pertanyaan yan menjerat.
f.
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
i.
Mendapat identitas baru.
j.
Mendapat tempat kediaman baru.
k. Memperoleh
penggantian
biaya
transportasi
sesuai
dengan
kebutuhan.
l.
Mendapat nasihat hukum.
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Kesimpulan dari pasal tersebut bahwa korban juga berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum dari ancaman pelaku sesuai dengan
undang-undang dasar dan undang-undang nomor 13 tahun 2006tentang
perlindungan saksi dan korban, maka berdasarkan uraian diatas upaya
34
yang dapat dilakukan polisi untuk melindungi korban tindak pidana
perkosaan dari ancaman pelaku dengan cara mengumpulkan bukti-bukti
yang cukup kemudian melakukan penangkapan dan penahanan setelah
adanya pelaporan dari pihak korban yang mengalami tindak pidana
perkosaan dan adanya demi kelancaran penyidik untuk melindungi
korban.
Hak asasi manusia harus mejadi bagian terpenting dalam Negara
hukum karena merupakan prinsip yang mendasar. Demi keadilan dan
kepastian hukum, perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu
peraturan harus mudah, dapat dimengerti banyak orang, tetapi dapat
dipertanggungjawabkan scara yuridis ilmiah. Pihak korban berhak untuk :
a. Mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan
kemampuan pemberi kompensasi (perbuatan korban) dan taraf
keterlibatan korban dalam terjadinya tindak pidana perkosaan,
delikkuensidan penyimpangan tersebut.
b. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban.
c. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut.
d. Berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
e. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat
korban bila melapor dan menjadi saksi.
f.
Berhak mendapat bantuan penasehat hukum.
g. Berhak mempergunakan upaya hukum.
Selain itu pihak korban juga mempunyai kewajiban untuk :
35
a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan
(main hakim sendiri).
b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban
lebih banyak lagi.
c. Mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri maupun orang
lain.
d. Ikut serta membina pembuatan korban.
e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban
lagi.
f.
Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan
pelaku.
g. Member kesempatan kepada pelaku untuk memberi restitusi kepada
pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap
imbalan atau memberi jasa).
h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan
keamanannya20.
Demikianlah beberapa macam hak dan kewajiban pihak korban
yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan demi keadilan, ketertiban
hukum dan kesejahteraan rakyat.
Macam-macam korban perkosaan perlu diketahui untuk lebih
memberikan pelayanan dalam memperlakukan para korban misalnya:
1. Korban Murni
a. Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan
pihak pelaku sebelum perkosaan.
20
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, hal.52.
36
b. Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak
pelaku sebelum perkosaan.
2. Korban Ganda
Korban perkosaan selain mengalami penderitaan kekerasan
selama diperkosa juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik dan
sosial. Misalnya mengalami ancaman yang mengganggu jiwanya,
mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan, pengadilan,
tidak mendapat ganti rugi, sendiri mengeluarkan uang pengobatan,
dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus dan lainnya.
3. Korban Semu
Korban yang sebenarnya juga pelaku, ia berlagak diperkosa
dengan tujuan untuk mendapat sesuatu pihak pelaku :
a. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri.
b. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk
berbuat demikian demi kepentingan menyeluruh.
4. Korban Yang Tak Tampak
Dalam
rangka
mengembangkan
pelayanan
keadilan
dan
kesejahteraan maka para korban yang tampak maupun yang tidak
tampak perlu mendapatkan pelayanan yang wajar. Yang termasuk
golongan korban yang tersembunyi adalah mereka yang sebetulnya
menderita akibat tindakan kekerasan, tetapi karena situasi dan kondisi
tertentu tidak memberitahukan atau melaporkan penderitaannya kepada
yang berwajib untuk diselesaikan secepatnya21.
Ribuan kasus yang dialami oleh korban kekerasan terhadap
perempuan khususnya masalah perkosaan menimbulkan penderitaan
21
Ibid, hal. 49.
37
dan melemahkan korban serta keluarga. Penderitaan terjadi akibat
kekerasan atau peristiwa itu yaitu :
a. Penderitaan fisik seperti cacat tubuh, gangguan psikis menjadi akibat
fisik yang langsung dialami korban akibat peristiwa kekerasan yang
terjadi dan bisa menimbulkan bunuh diri, serta secara langsung telah
melemahkan kondisi fisik korban.
b. Penderitaan sosial, hal ini juga menimbulkan trauma yang lamanya
bisa bertahun-tahun bahkan bisa sampai seumur hidup, serta sikap
rendah diri didalam masyarakat. Bahkan membesarkan anak yang
bukan hasil dari kehendak korban, sehingga korban malu dan
peristiwa ini tidak ingin diketahui didalam keluarganya.
c. Penderitaan materi seperti kehilangan harta bendanya diwaktu
peristiwa kekerasa itu terjadi, serta tidak ada ganti rugi secara materi
untuk merawat kandungan hingga sampai biaya kelahiran bayi
tersebut dari sang pelaku tersebut.
Status ekonomi yang dialami korban adalah salah satu faktor yang menjadi
kendala bagi korban untuk melanjutkan tuntutan atas keadilan, sehingga
kepasrahan pun muncul berbagai bentuk ketidak berdayaan. Salah satu
pilihannya adalah tekanan ekonomi hal ini menyebabkan kepasrahan korban
untuk membiarkan kekerasan yang terjadi sebagai takdir semata.
38
BAB III
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PERKOSAAN
3.1.
Penegakan Hukum
Berbicara tentang penegakan hukum mempunyai kaitan yang erat
antara kehidupan hukum suatu bangsa dengan susunan atau tingkat
perkembangan dari bangsa itu. Dengan makin modernnya tingkat sosial
masyarakat,maka kerumitan susunan badan-badan penegakan hukum
semakin meningkat, interaksinya dengan masyarakat pun juga menjadi
rumit. Dengan demikian penegakan hukum sudah dimulai pada saat
peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan.
Penegakan
melaksanakan
hukum
hukum
dapat
dirumuskan
sebagaimana
sebagai
mestinya,
pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan
usaha
mengawasi
jika
terjadi
pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan
kembali22. Penegakan hukum juga diartikan sebagai penegakan tatanan
norma dan nilai di seluruh bidang kehidupan, baik norma dan nilai-nilai
sosial, politik, ekonomi dan bidang yang lain23.
Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya
dengan pelaksanaan peraturan itu yang dilakukan oleh para penegak
hukum. Melalui penegakan hukum yang baik, diharapkan hubungan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dapat berjalan selaras dan
seimbang agar manusia hidup berdampingan secara damai,tentram dan
22
Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.115.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum di Indonesia dan Hubungan Sosial Masyarakat, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 23.
23
39
sejahtera
karena
masyarakat
adalah
merupakan
kepentingan-
kepentingan yang saling berhubungan.
Penegakan hukum yang baik adalah apabila sistem peradilan
pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta
merperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan
wujud dari reaksi masyarakat terhadap kebijakan kriminal yang telah
dilaksanakan. Penegakan hukum merupakan tugas seluruh elemen
masyarakat bukan hanya aparat penegak hukum saja. Penegakan hukum
mustahil akan dapat tercapai atau ditegakkan tanpa adanya peran aktif
para pihak yang terlibat didalam permasalahan hukum itu sendiri serta
obyek dari penegakan hukum itu sendiri.
3.2.
Proses Penangkapan dan Penahanan Pelaku Tindak Pidana Menurut
KUHAP
Perlindungan menurut undang-undang tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga pasal 1 ayat (4) adalah segala upaya
yang di tujukan untuk
membrrikan rasa aman terhadap korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan24.
Pasal 1 ayat (5) tentang perlindungan sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian atau lembaga
sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan25.
24
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Saksi Dan
Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009,hal. 2.
25
Ibid
40
Demi kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penangkapan, sedangkan yang dimaksud “atas
perintah penyidik” sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 11.
Perintah yang dimaksud yaitu berupa suatu surat perintah yang dibuat
secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan dan untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang
melakukan penangkapan (pasal 16). Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik, atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan26.
Proses penangkapan merupakan salah satu bagian penyelidikan
dan penyidikan yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian, jangka waktu
penangkapan tidak lama, dalam hal tertangkap tangan penangkapan
dapat
dilakukan
oleh
setiap
orang
hanya
berlangsung
antara
ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi atau orang yang
menangkap si pelaku segera memanggil pihak kepolisian untuk dating ke
lokasi, kemudian Kepolisian atau penyidik akan mengambil ahli si pelaku,
dan akan di tahan apabila
si pelaku yang diketahui telah tertangkap
tangan terbukti benar telah melakukan perbuatan pidana.
Pengertian penangkapan sebagaimana yang dimaksud di dalam
KUHAP, yaitu:
Pasal 1 ayat (20) KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
26
Prof.Dr.Andi Hamzah, S.H, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 126.
41
Proses penangkapan merupakan salah satu bagian penyelidikan
atau
penyidikan
yang
dilaksanakan
oleh
penyidik,
sebagaimana
tercantum didalam pasal 16, pasal 17, pasal 18 KUHAP yaitu :
Pasal 16 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penahanan.
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu
berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan
tugas
penangkapan
dilakukan
oleh
petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan
surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penangkapan serta urain singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik pembantu.
42
3. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya setelah
penangkapan dilakukan.
Penangkapan dalam hal tertangkap tangan dapat dilakukan oleh
setiap orang hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai
ke pos polisi atau orang yang menangkap pelaku segera memanggil
pihak Kepolisian untuk datang ke lokasi, kemudian kepolisian atau
penyidik pihak Reserse Kriminal akan mengambil alih tersangka tanpa
adanya surat perintah penangkapan, dan akan ditahan tanpa adanya
surat perintah penahanan apabila tersangka yang diketahui telah
tertangkap tangan dan terbukti benar telah melakukan perbuatan pidana,
surat perintah penangkapan dan surat perintah penahan nantinya akan
diberikan kepada keluarga korban, apabila ada informasi tentang
keluarga korban.
Pengertian tertangkap tangan menurut pasal 1 ayat 19 KUHAP, yaitu :
Pasal 1 ayat 19 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda
yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana itu.
43
Pengertian penahanan sebagaimana yang dimaksud di dalam
KUHAP, yaitu pasal 1 ayat 21 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik,
atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut yang diatur dalam undang-undang ini.
Menurut KUHAP ada berbagai macam jenis bentuk-bentuk
penahanan yang dilakukan di dalam proses penyidikan, yaitu :
Di dalam pasal 22 ayat 1 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Jenis penahanan dapat berupa :
1. Penahanan rumah tahanan Negara.
2. Penahanan rumah.
3. Penahaan kota.
Cara pelaksanaan penahanan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 22 ayat 2,3,4, dan 5 KUHAP, yaitu :
Pasal 22 ayat 2 :
Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah
kediaman
tersangka
atau
terdakwa
dengan
mengadakan
pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang
dapat
menimbulkan
kesulitan
di
dalam
proses
penuntutan, atau pemeriksaan di siding pengadilan.
penyidikan,
44
Pasal 22 ayat 3 :
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat
kediaman tersangka atau terdakwa, dengan berkewajiban bagi
tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
Pasal 22 ayat 4 :
Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 22 ayat 5 :
Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima jumlah
lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah
sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Namun perlu diperhatikan adanya ketentuan pengecualian tentang
penahanan yang di atur di dalam pasal 29 ayat 1 KUHAP yaitu
merumuskan sebagai berikut :
Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada
pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27, dan pasal 28 guna kepentingan
pemeriksaan, penahanan terhadap tersanga atau terdakwa dapat
diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan
karena :
a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental
yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
45
b. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara sembilan
tahun atau lebih.
Proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik pihak Reserse
Kriminal dengan menggunakan surat perintah penahanan yang ditujukan
kepada penyidik dan penyidik pembantu atas perintah dari pemimpin
Kepolisian, kemudian proses penahanan hanya dilakukan dalam waktu 20
(dua puluh) hari dan bila di dalam 20 hari proses penyidikannya belum
selesai, maka penyidik akan meminta perpanjangan penahanan dengan
menggunakan surat permintaan perpanjangan penahanan kepada
kejaksaan sebelum waktu 20 hari itu selesai, yaitu 10 harinya sebelum
proses
penahanannya
berakhir,
penyidik
harus
segera
meminta
perpanjangan kepada kejaksaan selama 40 hari.
Akan tetapi apabila di dalam proses penyidikan berkas-berkas
telah lengkap, antara lain bukti-buktinya telah lengkap, begitu juga dengan
saksi-saksi sebelum 20 (dua puluh)hari, misalnya 10 (sepuluh) hari berkas
tlah lengkap, maka segeralah dilakukannya P.21 (semua berkas, bukti,
saksi, dan tersangkanya akan diserahkan ke Kejaksaan).
Jadi proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik semuanya tetap
berdasarkan atas KUHAP, dan juga bergantung pada proses penyidikan
pihak penyidik, proses penahanan dilakukan untuk melengkapi berkas
perkara, dan tidak menutup kemugkinan pada waktu proses penyidikan
munculnya tersangka baru, barang bukti baru, saksi-saksi baru, yang
digunakan untuk mendukung dan membuat terang suatu tindak pidana.
46
3.3.
Proses Penggeledahan Dan Penyitaan Pelaku Tindak Pidana
Menurut KUHAP
Pengertian
penggeledahan sebagaimana yang dimaksud di
dalampasal 32 KUHAP, yaitu :
Pasal 32 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan
rumah aatau penggeledehan pakaian atau penggeledahan badan menurut
tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Penggeledahan ada 2 macam sebagaimana yang tertulis di dalam
KUHAP, yaitu: penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.
Pasal 1 ayat 17 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 1 ayat 18 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Tindakan penyidikan untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian
tersangka untuk mencari benda-benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya untuk disita.
Perlindungan terhadap ketrentraman perempuan merupakan dasar
hak asasi manusia, menggeledah atau memasuki rumah atau tempat
kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik atau tindak pidana
menurut hukum pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat.
Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha untuk
mencari kebenaran, untuk mengetahui salah maupun tidak salahnya
47
seseorang.
Kepolisian
berhak
untuk
menggeledah
badan
dan
menggeledah rumah seseorang yang diduga sebagai tersangka yang
melakukan perbuatan pidana27.
Berarti
seseorang,
menggeledah
tetapi
tidak
kadang-kadang
selalu
juga
harus
mencari
bertujuan
untuk
kesalahan
mencari
ketidaksalahannya, penyidik harus betul-betul cermat dan mengikuti
ketentuan-ketentuan tentang cara melakukan penggeledahan itu agar
terhindar dari pelanggaran ketentuan KUHP, yaitu pasal 167 ayat 1 dan
pasal 429 ayat1 KUHP.
Pasal 167 ayat 1 KUHP, merumuskan sebagai berikut :
Barang siapa dengan melawan hukum masuk dengan memaksa ke dalam,
atau dengan melawan hukum ada tinggal di dalam rumah atau tempat
tertutup yang dipakai oleh orang lain, dan tidak dengan segera pergi dari
tempat itu, atas permintaan orang yang berhak dipidana penjara selamalamanya Sembilan bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya tiga
ratus rupiah28.
Pasal 429 ayat 1 KUHP, merumuskan sebagai berikut :
Pegawai negeri yang dengan melampaui batas kekuasaannya atau dengan
tidak memperlihatkan peraturan yang ditentukan dalam undang-undang
umum, masuk ke dalam rumah atau ke dalam ruangan atau pekarangan
yang tertutup, yang dipakai oleh orang lain, tidak dengan kemauan orang
itu atau jika pegawai negeri itu dengan melawan hukum ada di tempat itu
dan tidak dengan segera ia pergi dari tempat setelah diperintahkan oleh
atau atas nama yang berhak, dipidana penjara selama-lamanya satu tahun
27
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 138.
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, hal. 143.
28
48
empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah29.
KUHAP ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian
yang diperintah yang boleh melakukan penggeledahan badan atau
memasuki rumah orang, itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa
penggeledahan badan dan pengeledahan rumah hanya dapat dilakukan
dengan adanya surat izin penggeledahan atas izin dari ketua pengadilan
negeri, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 33 dan pasal 37 KUHAP,
yaitu :
Pasal 33 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
1. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik
dalam melakukan penyidikan dapat melakukan penggeledahan
rumah yang diperlukan.
2. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik,
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki
rumah.
3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang
saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa
atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal
tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah
rumah,
harus
disampaikan
bersangkutan.
29
Ibid, hal. 290.
dibuatkan
kepada
suatu
pemilik
berita
atau
acara
penghuni
turunannya
rumah
yang
49
Pasal 37 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
1. Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang
menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta
apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa
pada tersangka tersebut terdapat benda yang disita.
2. Pada waktu menangkap tersangka sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah
pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
Pengertian penyitaan sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 1
ayat 16 KUHAP, yaitu :
Pasal 1 ayat 16, merumuskan sebagai berikut:
Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak,
berwujud
atau
tidak
berwujud
untuk
kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Proses penyitaan yang dilakukan oleh Kepolisian, sebagaimana
yang dimaksud di dalam pasal 38, pasal 39 ayat 1, pasal 40 KUHAP,
yaitu :
Pasal 38 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
1. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan setempat.
2. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan
surat
izin
terlebih
dahulu,tanpa
mengurangi
ketentuan ayat 1 penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
50
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada
ketua
pengadilan
negeri
setempat
guna
memperoleh
persetujuannya.
Pasal 39 ayat 1 KUHAP, merumuskan sebagai berikut:
1. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh
atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau
sebagai hasil dari tinak pidana.
b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan
tindak pidana.
e. Benda yang lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 40 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat
yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai
barang bukti.
Pihak Kepolisian didalam melakukan proses penyitaan harus
dengan adanya surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri
setempat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam KUHAP.
51
3.4
Sanksi bagi pelaku perkosaan
Hukuman (sanksi hukum) yang harus diterima pelaku perkosaan
sebagai ganjaran atas perbuatan yang dilakukan sebenarnya telah di atur
dalam dua ketentuan, yaitu pasal 285 dan pasal 291 KUHP yang sekaligus
keduanya menjadi aturan baku untuk menuntut dan memutus setiap kasus
perkosaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kedua pasal yang mengatur tentang perkosaan tersebut
dinyatakan bahwa :
Pasal 285 : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,
diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Pasal 291 : Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286,
287,289, dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Meskipun pasal 285 dan pasal 291 KUHP telah mengatur sanksi
hukum bagi setiap pelaku perkosaan, kedua aturan hukum tersebut masih
bersifat umum karena hanya menyangkut tindak perkosaan pada umumnya
serta perkosaan yang menyebabkan matinya korban, padahal perkosaan
yang terjadi dalam kehidupan nyata sangat bervariasi dan bersifat kasuistis.
Dengan demikian, berbagai unsur pembeda, baik yang memberatkan maupun
yang meringankan belum secara penuh terakomodasi dalam kedua aturan
52
hukum tersebut, yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya keputusan
pengadilan yang sangat berbeda, bahkan sering pula kontradiktif.
Salah satu batasan yang selama ini kurang jelas adalah penjara
minimum. Bila batasan ini ada, secara psikologis hukuman juga cenderung
meningkat. Dalam hal hukuman, RUU juga memberikan batasan yang makin
jelas. Berbagai tindakan yang tergolong perkosaan seperti disebutkan diatas
diancam pidana penjara minimum 3 tahun, maksimum 12 tahun.
Pemerkosaan yang terjadi selain sifatnya kasuistis, peristiwanya juga
berhubungan dengan banyak segi dan aspek kehidupan, baik pelaku maupun
korban serta berbagai hal lain secara internal maupun eksternal melekat pada
keduanya, misalnya: umur, jenjang pendidikan, status sosial-ekonomi, kultur,
substansi, dan posisi masing-masing pihak. Oleh karena itu, seharusnya
ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan tidak cukup hanya diatur dalam
dua pasal karena terbukti setiap kasus perkosaan memiliki karakternya
sendiri, belum lagi jika kasus tersebut dihubungkan dengan tempat dan waktu
terjadinya peristiwa.
Untuk mengetahui tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana
perkosaan menurut Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka
terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam
pasal tersebut yakni sebagai berikut:
1. Barangsiapa
2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Memaksa
4. Perempuan yang bukan istrinya
53
5. Bersetubuh
6. Dengan dia
Berikut ini penulis akan menguraikan unsur-unsur tersebut diatas
sebagai berikut:
ad.1. Barangsiapa
Unsur yang pertama dari tindak pidana perkosaan ialah barangsiapa.
Istilah barangsiapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan
ketentuan ini, yang jika dihubungkan dengan kalimat lanjutan dari Pasal
285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka yang dimaksud dengan
barangsiapa dalam pasal ini adalah lelaki atau pria, yang apabila terbukti
melakukan delik yang memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini, maka ia
dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhi
pidana.
Dengan demikian, bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana
perkosaan hanyalah lelaki atau pria, padahal bukan tidak mungkin seorang
perempuan memaksa seorang laki-laki, baik laki-laki itu suaminya atau
tidak untuk bersetubuh dengan dia. Pembentuk undang-undang tidak
menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa orang laki-laki
untuk bersetubuh, karena paksaan seorang perempuan terhadap orang
laki-laki untuk bersetubuh tidak menimbulkan sesuatu yang buruk atau
merugikan hanya karena laki-laki tidak ada bahaya untuk hamil dan
melahirkan anak karena paksaan tersebut.
Dan jika benar-benar paksaan dari perempuan tersebut untuk
bersetubuh telah merusak moral dari laki-laki yang korban itu, maka dapat
54
saja perbuatan yang pernah dia alami dia lakukan terhadap seorang
perempuan sehingga terjadilah delik perkosaan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu
dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang
akan datang menurut hemat penulis, maka laki-laki juga harus dilindungi
dari tindak pidana perkosaan, sehingga yang dapat dipidana karena
melakukan delik perkosaan bukan hanya laki-laki tetapi juga seorang
perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh dengan dia.
ad.2. Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan
Unsur kedua dari tindak pidana perkosaan yaitu dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan. Dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana diatur bahwa, yang dimaksud dengan melakukan kekerasan,
yaitu: “membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi”.
Dengan
demikian
maka
seorang
perempuan
dapat
dikatakan
diperkosa kalau terhadap tubuh perempuan itu ada bekas-bekas
kekerasan misalnya memar, ataupun pakaian dari perempuan tersebut
robek atau kancingnya terlepas dan lain sebagainya.
Namun, yang sangat disesalkan adalah apabila perbuatan tersebut
tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban
takut akan ancaman dari pelaku sehingga tanda-tanda atau bekas-bekas
kekerasan ini sudah hilang pada pemeriksaan sedangkan korban juga
tidak pernah meminta bantuan pengobatan dari seorang dokter, padahal
kalau saja perbuatan perkosaan itu segera dilaporkan kepada pihak yang
berwajib maka tanda-tanda kekerasan ini dapat dimintakan Visum et
Repertum atau kalau saja perempuan yang menjadi korban tersebut
55
menyadari bahwa bekas-bekas kekerasan itu penting dalam pembuktian,
maka korban dan keluarganya mungkin tidak akan melalaikan hal ini.
Tidak jarang delik perkosaan tidak dilaporkan kepada yang berwajib atau
nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah bukti-bukti bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana perkosaan sudah hilang sama sekali atau nanti
dilaporkan kepada yang berwajib setelah korban menjadi hamil, padahal
delik perkosaan tersebut telah dilakukan oleh pelaku berulang-ulang kali
tetapi karena ancaman dari pelaku sehingga korban tidak melaporkan
apa yang telah dialami terhadap keluarganya apalagi terhadap pihak yang
berwajib.
ad.3. Memaksa
Unsur ketiga dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal
285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah memaksa. Perbuatan
memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan
dengan ucapan. Dalam delik perkosaan ini seorang perempuan dipaksa
sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan
terpaksa mau melakukan persetubuhan itu. Perbuatan membuat seorang
wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus
dimasukan kedalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan
hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang
dikenakan oleh wanita itu adalah wanita itu sendiri.
ad.4. Perempuan yang bukan istrinya
Unsur keempat dari tindak pidana perkosaan ialah perempuan yang
bukan istrinya. Dengan demikian jika terhadap istrinya sendiri tidak
dikenakan pasal ini. Perlu diketahui bahwa tindak pidana susila dalam
56
Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menyebutkan adanya
berbagai perempuan, masing-masing perempuan yang belum mencapai
12 tahun dalam Pasal 287 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang16 Undang Hukum
Pidana, perempuan yang belum dapat dinikahi dalam Pasal 288 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan perempuan pada umumnya.
Sedangkan perempuan yang dimaksudkan dalam Pasal 285 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana adalah perempuan pada umumnya yang
bukan istrinya.
ad.5. Bersetubuh
Unsur kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal
285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah persetubuhan. Menurut
hukum: “Baru dapat dikatakan persetubuhan, apabila anggota kelamin
pria telah masuk kedalam lubang anggota kelamin wanita demikian rupa,
sehingga akhirnya mengeluarkan air mani”30. Dengan demikian dalam
delik perkosaan anggota kelamin pria harus telah masuk kedalam lubang
anggota
kemaluan
wanita
sedemikian
rupa,
sehingga
akhirnya
mengeluarkan mani. Tetapi bagaimana kalau laki-laki itu belum sampai
mengeluarkan air mani? Karena sebelum laki-laki tersebut mengeluarkan
mani, akhirnya perempuan (korban) dapat melakukan perlawanan?
Dalam hal ini apakah laki-laki tersebut belum dapat dikatakan telah
melakukan perkosaan? Kiranya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,
untuk membuktikan unsur bersetubuh, hakim tidak menitikberatkan pada
keluarnya mani, tetapi pada apakah benar, alat kelamin pria itu benar-
30
Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal. 300-301.
57
benar telah masuk pada anggota kelamin perempuan (korban), yang
dibuktikan visum et repertum.
ad.6. Dengan dia
Unsur keenam dari tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana adalah dengan dia. Yang dimaksudkan
dengan dia kata dengan dirinya itu ialah diri orang yang dengan
kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa perempuan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia.
Dalam penerapan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
maka semua unsur Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut haruslah dapat dibuktikan di sidang pengadilan. Walaupun
memang harus diakui bahwa pembuktian ini bukanlah suatu hal yang
mudah, bahkan sering menjadi kendala untuk menghukum pelaku.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang
sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Dan untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi
hukuman pidana sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah
(Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap kasus perkosaan, dengan adanya
ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka semakin sulit saja seorang korban
untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang
mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap
basah atau pelaku mengakui perbuatannya.
58
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
I. Tugas pokok dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
dan
standart
oprasional
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam penegakan hukum
kepada masyarakat tetap berdasarkan atas Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal
13, merumuskan sebagai berikut:
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, merumuskan sebagai
berikut :
4. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
5. Menegakkan hukum.
6. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat.
II. Perlindungan korban tindak pidana perkosaan menurut kitab undangundang hukum pidana (KUHP) dapat dilihat dalam bentuk pemidanaan
yaitu pasal 285 KUHP terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai
pelaku tindak pidana perkosaan. Penghukuman yang di jatuhkan pada
pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh korban
perkosaan. Tetapi apabila dilihat aspek sanksi hukum yang dirumuskan
dalam KUHP terdapat banyak kelemahan yang antara lain tidak adanya
batasan minimum penjatuhan hukuman pada pelaku.
59
III. Hukuman (sanksi hukum) yang harus diterima pelaku perkosaan
sebagai ganjaran atas perbuatan yang dilakukan sebenarnya telah di
atur dalam dua ketentuan, yaitu pasal 285 dan pasal 291 KUHP yang
sekaligus keduanya menjadi aturan baku untuk menuntut dan memutus
setiap kasus perkosaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun pasal 285 dan pasal 291 KUHP telah mengatur sanksi hukum
bagi setiap pelaku perkosaan, kedua aturan hukum tersebut masih
bersifat umum karena hanya menyangkut tindak perkosaan pada
umumnya serta perkosaan yang menyebabkan matinya korban, padahal
perkosaan yang terjadi dalam kehidupan nyata sangat bervariasi dan
bersifat kasuistis.
4.2. Saran
I. Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan perlindungan
kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa
kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya
menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan
Undang-Undang di luar KUHP.
II. Hendaknya dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHAP)
mengatur ancaman hukuman minimal.
III. seharusnya ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan tidak cukup
hanya diatur dalam dua pasal karena terbukti setiap kasus perkosaan
memiliki karakternya sendiri, belum lagi jika kasus tersebut dihubungkan
dengan tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Aparat penegak hukum
seharusnya bisa memberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatan
60
tersangka. perlu adanya kepekaan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana
pada
pelaku
tindak
pidana
perkosaan,
dengan
mempertimbangkan dampak atau akibat tindak pidana tersebut bagi
korban. Dalam hal ini hakim diharapkan tidak menjatuhkan sanksi
pidana yang ringan sehingga tidak mempunyai efek jera bagi pelaku
tindak pidana perkosaan.
61
DAFTAR BACAAN
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan
Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2003.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT.Bhuana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia, 2004
Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita,
1997.
Suryono Ekotama, Abortus Provokatus bagi korban perkosaan, 2000.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan
Perlindungan Saksi Dan Korban, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta, 2009.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004.
Barda
Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,
Sinar Grafika, Jakarta,1996
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana, (Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998)
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi,
Djambatan, Jakarta, 2004.
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta,1987.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Cipta Aditya Bakti, Bandung,1998.
Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum di Indonesia dan Hubungan Sosial
Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Download