Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 111 JURNAL AN-NIDA Jurnal Komunikasi Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara Vol. 6 (2) (2014): 111 - 119 AH PENGEMBANGAN FORMULASI MODEL DAKW DAKWAH T ISLAM ARAKA MASY ARAKAT MASYARAKA Agus Riyadi UIN Walisongo Semarang, Jl. Prof Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Semarang, [email protected] Abstract Keywords Models, Propaganda, Development Applying the concept of the new paradigm model of community development of Islam became a necessity that needs to be engaged. This is because the “development” was considerably an important issue when the empirical reality of preach showed a deep concern, with more “overwhelming” errors and simplifications are too deep to see and understand propaganda. Preach who has a strong impetus in empowering people (object of preach) become increasingly “limp” and do not have a clear focus in the making. The fact that “feels” getting worse, when the assumptions built into the meaning of propaganda has been less precise, such as: propaganda only be interpreted as a delivery from outside, rigor in defining the term propaganda, people only be treated as an static object. Seeing this, the call of the Islamic community development as one of the components of the “spearhead” a touch of alternative models make propaganda with more propaganda society actors and being active, participatory and progressive framed by the principle-the principle of community development Islamic da’wah (PMI), they are the principle of integrity, principles of participation, principles of integrity, sustainable principles, principles of harmony and the principle of its own capabilities. Abstrak Menerapkan konsep paradigma baru model dakwah pengembangan masyarakat Islam menjadi sebuah keharusan yang perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan “pengembangan” itu semakin menjadi penting manakala dalam realitas empirik masalah kedakwahan menunjukkan sebuah keprihatinan mendalam, dengan semakin “menjalarnya” kesalahan dan penyederhanaan yang terlalu dalam melihat dan memahami dakwah. Dakwah yang memiliki daya dorong yang kuat dalam memberdayakan masyarakat (objek dakwah), menjadi semakin “lemas” dan tidak punya fokus yang jelas dalam penggarapannya. Kenyataan itu “terasa” semakin parah, ketika asumsi-asumsi yang dibangun dalam memaknai dakwah selama ini kurang tepat, semisal: dakwah hanya diartikan sebagai suatu penyampaian dari luar, kekakuan dalam memaknai istilah dakwah, masyarakat sebagai objek dakwah hanya diperlakukan menjadi sesuatu yang statis. Melihat hal itu, dakwah pengembangan masyarakat Islam sebagai salah satu komponen “ujung tombak” memberikan sentuhan alternatif model dakwah dengan lebih menjadikan pelaku dan masyarakat dakwah bersikap aktif, partisipatif dan progresif yang dibingkai oleh prisip-prinsip dakwah pengembangan masyarakat Islam (PMI), yaitu prinsip keutuhan, prinsip partisipasi, prinsip keterpaduan, prinsip berkelanjutan, prinsip keserasian dan prinsip kemampuan sendiri. Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 112 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam A. PENDAHULUAN Pengembangan dan pembangunan masyarakat adalah proses dari serangakaian kegiatan dakwah yang mengarah pada peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut, dakwah adalah sebuah praksis, dakwah dituntut untuk mampu memberikan perubahan kepada masyarakat. Perubahan tersebut bisa berupa kualitas maupun kuantitas dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan yang menyangkut kualitas, berkaitan dengan tuntutan perubahan masyarakat dari masyarakat yang belum maju menjadi masyarakat yang lebih maju, dari masyarakat yang maju bagaimana menjadi masayarakat yang lebih maju. Jadi konsep yang dibangun adalah konsep dinamisasi, masyarakat adalah sebuah tatanan yang senantiasa dinamis, bergerak kearah kemajuan dengan indikasi meningkatkan kualitas kebergamaan masyarakat, sehingga agama benar-benar menjadi pendorong terhadap kemajuan. Oleh karena itu dakwah pada dasarnya tidak mendukung adanya (status quo) dalam masyarakat, karena salah satu tujuan dari dakwah adalah bagaimana memfungsikan agama dalam masyarakat secara maksimal. Perubahan dari segi kuantitas, berkaitan dengan bertambahnya jumlah pemeluk agama, tempat-tampatibadah dan sarana-sarana sosial keagamaan dalam masyarakat. Hal ini didasarkan dengan hakikat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat yang mencakup tiga hal: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang dan tempat tinggal dan yang sejenisnya. Kedua, kemajuan batiniah, seperti tersedianya mutu pendidikan, rasa sehat, rasa aman. Ketiga, terciptanya kemauan seluruh masyarakat yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan hidup yang berkeadilan (Salim, 1993: 31). Namun demikian, pada tataran riel yang terjadi adalah kemiskinan dan kesenjangan yang cukup tajam, sebagaimana sebuah studi yang menyatakan bahwa penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup banyak, Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 yang menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan kultur pedesaan. Karena itu, tidak mengherankan apabila perkembangan fisik dan mental masyarakat pedesaan agak tertinggal dengan masyarakat perkotaan, contoh konkritnya adalah ketika kehidupan mereka (desa) diintroduksi ideologi dan teknologi baru yang berbeda tidak sedikit responnya negatif, bahkan menaruh curiga, begitu pula karena memang tidak memiliki jaminan sosial yang cukup untuk menghadapi resiko kegagalan (Sunyoto, 1998: 30-31). Sebagaimana dapat disaksikan bahwa masyarakat pedesaan yang memiliki tanah luas hanya beberapa gelintir orang saja, sebagian besar mereka buruh tani (penggarap) yang tidak mungkin untuk mengembangkan pola produksi pertanian yang ada. Untuk mencapai elemen pembangunan di atas pelaksanaan dakwah harus memanfaatkan potensi dan sarana (lembaga-lembaga) masyarakat yang ada, yang didesain dengan perencanaan yang matang dan terukur. Secara teoritis, dakwah merupakan proses transformasi ajaran dan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat sebagai sasarannya sehingga diharapkan terjadi perubahan positif. Dakwah dalam pengertian tersebut, sebagai upaya pendorong terjadinya perubahan pikiran, perasaan, dan kehendak. Dalam term al qur’an adalah amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minu billah (Ali Imran: 110), yaitu segala kegiatan yang bertujuan untuk mengelola kegiatan hidup dan kehidupan manusia agar mengerjakan yang positif, dan meninggalkan berbagai perbuatan yang membawa dampak negatif, serta mewujudkan keteguhan iman. Rumusan tersebut meminjam istilah Kuntowijoyo (1994: 229), sebagai satu kesatuan “emansipasi, liberasi dan transendensi”. Dalam konteks sosial, dakwah juga berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan (Supriyadi, 2003: 33, 166 & Dermawan, 2000: 21) dan penindasan, sedangkan amar ma’ruf diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada pencerahan diri (nur ilahi) sehingga akan tumbuh kesadaran beriman kepada Allah. Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 113 Dengan demikian, strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat adalah keseluruhan upaya pembangunan masyarakat dalam rangka mewujudkan tatanan sosial ekonomi dan kebudayaan menurut ajaran Islam. B. PEMBAHASAN Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Secara harfiah kata dakwah, berasal dari bahasa arab da’a-yad’u-du’aan wa da’watan, diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan (Munawwir, 1984: 438). Sehingga term dakwah seringkali diartikan ajakan, panggilan, atau seruan, yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Untuk arti permohonan atau do’a, istilah dakwah biasanya digunakan dalam konteks hubungan vertikal, yaitu memohon kepada sesuatu yang ada di atas atau kepada Tuhan (Baqi, 1987: 257-259). Dalam kamus Hans Wehr (1971: 282283) disebutkan bahwa kata dakwah, bentuk masdar dari da’a-yad’u-da’watan memiliki arti beragam, yakni berarti panggilan (call), seruan (appeal), permohonan (request), aktivitas misionari (missionary actifity), dan propaganda. Berdasarkan arti harfiah dapat ditarik pemahaman bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh siapa pun dalam konteks mengajak, menyeru, memanggil, atau memohon, tanpa memandang asal-usul agama atau ras. Terlepas dari beragamnya makna istilah dari pemaknaan kata dakwah dalam masyarakat Islam (Dermawan, 2002: 146). Arti kata dakwah yang dimaksudkan adalah seruan dan ajakan. Kalau kata dakwah diberi arti seruan (Munir: 2006: 18), maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian juga kalau diberi arti ajakan, maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Kecuali itu, Islam sebagai agama yang disebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang disebar luaskan dengan cara damai, tidak lewat kekerasan (Haekal, t.t: 198). Setelah mendata keseluruhan kata dakwah, maka dapat didefinisikan bahwa dakwah adalah sebuah kegiatan mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain agar menjalankan perintah Allah. Sementara itu, para ulama memberikan definisi yang bervariasi mengenai arti dari dakwah itu, antara lain: “Mengajak (mendorong) manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan yang jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat” (Mahfudz, 1972: 4). Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksaan dan nasehat yang baik (Atjeh, 1971: 5). Beberapa pengertian dakwah tersebut, meskipun dituangkan dalam bahasa dan kalimat yang berbeda, tetapi kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. Oleh karena itu, dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, pertama dakwah merupakan suatu proses usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja, sehingga diperlukan organisasi, manajemen, sistem, metode dan media yang tepat. Kedua, usaha yang diselenggarakan itu berupa ajakan kepada manusia untuk beriman dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah, amar ma’ruf dalam arti perbaikan dan pembangunan masyarakat, dan nahi munkar. Ketiga, proses usaha yang diselenggarakan tersebut berdasarkan suatu tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridhai Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengembangan masyarakat sering diidentikkan dengan beberapa istilah antara lain pertumbuhan, kemajuan, pembangunan dan modernisasi. Secara terminologis, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam berarti memformulasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam berarti mentranformasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah), kelompok dan masyarakat mentransformasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah), Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 114 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam kelompok dan masyarakat (Machedrawaty, 2001: 42). Pada dasarnya pengertian pengembangan masyarakat sama dengan pembangunan. Dalam pengertian sehari-hari secara sederhana pembangunan biasa diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ada beberapa istilah yang identik dengan pembangunan, atau setidaknya dapat mengantarkan kita untuk memahami apa yang disebut dengan pembangunan. Istilah-istilah tersebut antara lain: modernisasi, perubahan sosial, industrialisasi, westernisasi, pertumbuhan dan evolusi sosio kultural. Menurut Rogers, perkembangan adalah: sebuah perubahan sosial yang memperkenalkan ide-ide baru ke dalam sistem sosial supaya menghasilakan income atau perkapita yang lebih tinggi dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi juga melalui metode-metode produksi yang lebih banyak dan organisasi-organisasi sosial yang sudah maju. Perkembangan merupakan modernisasi di dalam tingkat system sosial (Rogers, 1969: 8). Tujuan Dakwah Pengembangan Masyarakat Pembangunan merupakan suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Pembangunan di Indonesia misalnya, merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan berdasarkan rencana tertentu, dengan sengaja, dan memang dikehendaki, baik oleh pemerintah yang menjadi pelopor pembangunan maupun masyarakat. Menurut Soeryono Soekanto, proses pembangunan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, yang menyangkut perangkat cita-cita yang meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Pembangunan harus bersifat rasionalistis, artinya harus didasarkan pada pertimbangan rasional, dengan demikian akan menghasilkan suatu kerangka yang singkron, (2) Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan. Artinya, adanya keinginan untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi, (3) Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 Peningkatan produktifitas, (4) Peningkatan standar hidup, (5) Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum, (6) Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam masyarakat, (7) Konsolidasi nasional, (8) Kemerdekaan nasional (Soekanto, 1999: 48). Sedangkan menurut Sudjana, tujuan dari pembangunan masyarakat adalah terjadinya: (1) Peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat, (2) Pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan, (3) Terjabarnya kebijaksanaan dan program pembangunan nasional di masing-masing pedesaan, dengan menitikberatkan pada prakarsa masyarakat itu sendiri (Sudjana, 2000: 261). Prinsip Dakwah Pengembangan Masyarakat Terkait dengan kajian konsep dasar strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat yang dilanjutkan dengan merekonstrusi konsep dakwah sebagai bagian dari upaya membangun paradigma baru model dakwah pengembangan masyarakat Islam, maka dakwah pengembangan masyarakat harus mengikuti beberapa prinsip dasar, yaitu: Pertama, orientasi kepada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak dilaksanakan hanya sekadar memuaskan keinginan sebagian masyarakat saja. Melainkan direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat agar penindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berati meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Demikian pula bisa jadi tercapainya kesejahteraan masyarakat luas dapat dilakukan melalui sekelompok orang yang tergolong elit dalam masyarakat. Apalagi jika elit-elit tersebut merupakan sekelompok membuat kebijakan yang sangat mempengaruhi terhadap tatanan sosial. Maka adalah mutlak sebenarnya dakwah yang ditujukan kepada mereka dalam upaya menyadarkan dan mengingatkan terhadap persoalan-persoalan kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat. Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 115 Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya upaya melakukan social engineering (rekayasa sosial) untuk mendapatkan suatu perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Dakwah pengembangan masyarakat merupakan suatu proses perencanaan perubahan sosial yang berlandasakan nilai-nilai Islam. Sasaran untuk pengembangan masyarakat, oleh karenanya kepada setting sosial kehidupan masyarakat, daripada individu per individu. Landasan berfikir para da’i dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang oleh karena itu pemecahannya juga meski dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Halim, 2009: 1516). 3. Prinsip keterpaduan, mencerminkan adanya upaya untuk memadukan seluruh potensi dan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam konteks inilah dakwah pengembangan masyarakat itu tidak monopoli sekelompok orang dan ahli, atau organisasi, tetapi lebih luas dari itu, yakni siapapun yang mempunyai komitmen community development yang perpijak kepada universalitas nilai-nilai Islam adalah bagian dari da’i pengembangan masyarakat. Oleh karenanya dakwah pengembangan masyarakat itu bersifat lintas budaya dan lintas sektoral. Untuk itulah integrated or holistic strategy merupakan pilihan yang tepat dalam proses dakwah model ini. Di samping kedua prinsip dasar tersebut, ada beberapa prinsip lain yang harus terpenuhi dalam dakwah pengembanga masyarakat, sebagaimana menurut Mubyarto (2000: 9), yaitu: 4. Prinsip berkelanjutan. Prinsip ini menekankan, bahwa dakwah itu harus sustainanble. Artinya, dakwah itu harus berkelanjutan yang tidak dibatasi oleh waktu. Dimungkinkan, pada saatnya, para da’i itu adalah anggota masyarakat itu sendiri. Prinsip yang berkelanjutan inilah yang oleh al-qur’an disebut dengan istiqomah yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian lahir batin. (QS. Fushilat, 41: 30). 1. Prinsip kebutuhan. Artinya, program dakwah harus didasarkan atas dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebtuhan di sini tidak hanya dipahami sebagai kebutuhan fisik material, tetapi juga non material. Karena itulah program dakwah perlu disusun bersama, baru kemudian dirumuskan pula metode, materi dan media dakwah. Dengan demikian, seorang da’i tidak lagi terasing dengan masyarakat sasaran dakwahnya. Konsep dakwah yang demikian inilah yang ditawarkan sebagai jawaban dan tuntutan kontekstualisasi dakwah. 2. Prinsip partisipasi. Prinsip dakwah ini menekankan pada keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses dakwah, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan penilaian dan pengembangannya. Prinsip ini antara lain bertujuan untuk: (1) Mendorong tumbuhnya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kemajua, (2) Meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat, dari sekadar mendukung, mengahdiri menjadi kontributor program dakwah, (3) Menyegarkan dan meningkatkan efektivitas fungsi dan peran pemimpin lokal. 5. Prinsip kaderisasi. Bahwa pengelolaan dan program pembangunan masyarakat hanya akan terlaksana dengan baik apabila di masyarakat tersebut terdapat atau telah disiapkan kader-kader yang berasal dari masyarakat yang memiliki sikap, pengetahuan, keterampilan dan aspirasi membangun untuk memenuhi kepentingan bersama dan untuk mempersiapkan hari depan masyarakat yang lebih baik. 6. Prinsip kemampuan sendiri menegaskan bahwa kegiatan dakwah pengembangan masyarakat itu disusun dan dilaksanakan berdasarkan kemampuan dan sumber-sumber (potensi) yang dimiliki masyarakat. Keterlibatan pihak-pihak lain, baik perorangan (da’i) maupun organisasi (lembaga-lembaga dakwah) hanyalah bersifat sementara yang berfungsi sebagai fasilitator dan trasformasi nilai keagamaan. Untuk itulah TOT (Training Of The Trainer ) juru dakwah yang diambil/ direkrut dari elemen masyarakat, Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 116 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari dakwah model ini. Dari sinilah lahir kader-kader yang bertindak sebagai agent of change dan agent of development masyarakat yang mencerminkan sikap dan perilaku antisipatif dan partisipatif bagi kemajuan masyarakat dimasa mendatang. Tahap dalam Pengembangan Masyarakat Ditinjau dari tahapan pengembangan masyarakat berdasar dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membangun masyarakat Islam melalui dakwah, ada 3 tahap proses pengembangan masyarakat, antara lain (Mubyarto, 2000: 9): 1. Tahap pembentukan masyarakat Islam. Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan bil-lisan, dengan menitik beratkan pada penanaman dan pemantapan aqidah Islam. 2. Tahap kedua adalah pembinaan dan penataan. Pada tahap ini internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensif dalam realitas sosial. 3. Tahap kemandirian. Pada tahap ini munculnya masyarakat yang memiliki kualitas tinggi yang siap bersaing dengan masyarakat lain. Sebagian ahli pengembang masyarakat lebih memfokuskan kegiatan pembangunan pada model perubahan individual, model reformasi, model perubahan kebiasaan, model perubahan tingkah laku. Menurut Adi sasono dan Dawam Raharjo (dalam Mubyarto, 2000: 33), ada tiga model pengorganiasain masyarakat untuk pekerjaan sosial, yaitu model pengembangan lokal, model pendekatan perencanaan sosial, model aksi soial. Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam Agar dakwah pengembangan masyarakat dapat berjalan efektif sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, ada beberapa strategi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pengembangan. Adapun strategi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Integrasi dakwah Islam dengan pembangunan masyarakat Mengapa pembangunan masyarakat itu dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 dakwah Islam, menurut A. Suryadi ada beberapa hal (Surjadi, 1989: 61-63): Islam dengan ajaranya, bertujuan untuk menjamin kesejahteraan hidup, menjunjung tiggi nilai-nilai kemanusiaan, nilai keadilan. Manusia yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa (al-Hujarat:13). Islam mengajarkan bahwa orang mukmin adalah bersaudara (al-Hudjurat:10). Islam mengajarkan gotong royong. Gotong royong atau kerjasama yang dijarkan Islam adalah kerjasama dalam kebajikan bukan dalam hal dosa dan permusuhan (al-Maidah: 2). Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berusaha. Konsep islam dalam hal ini sangat jelas, bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mau merubahnya, (arRa’du: 11), Islam juga mewajibkan umatnya untuk menuntut Ilmu. Berdasarkan ajaran ini maka Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu tanpa mengenal batas waktu, dan tempat. Allah akan mengakat derajat orang-orang yang berilmu. (alMujadalah: 11). Islam mengajarkan bahwa setiap musliam adalah pengemban ibadah (adz-Dzariat: 56), bahwa setipa hamba Allah harus tunduk, patuh, taat dan berbakti kepada Allah sebagai pengemban amanah khilafah (perwakilan), yaitu bahwa manusia adalah kholifah (pelaksana aturan-aturan) Tujan di muka bumi yang harus membina kemakmuran, peradaban dan kebudayaan berdasarkan aturanaturan Tuhan di muka Bumi (alBaqarah: 30). 2. Penguatan ekonomi rumah tangga sebagai dasar pengembangan masyarakat Islam a. Jiwa Kewirausahaan sebagai modal dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Salah satu permasalahan yang dialami umat Islam saat ini adalah permasalahan ekonomi. Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat merupakan salah satu situasi ketidakberdayaan masyarakat. Rendahnya tingkat perekonomian ini identik dengan kemiskinan yang ada dalam masyarakat, baik itu yang disebabkan oleh kultur maupun struktur masyarakat. Kemiskinan adalah suatu keadaan yang harus Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 117 diperangi, karena tidak sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai semangat Islam yang identik dengan agama pembebasan, baik pembebasan dari aqidah yang membelenggu maupun kemiskinan yang mengarah pada kekufuran. Berdasar hal tersebut, maka perlu adanya terobosan baru untuk membangkitkan masyarakat, sehingga memiliki semangat juang yang tinggi dalam pengembangan diri menuju ke arah masyarakat yang memiliki tingkat keberdayaan yang tinggi. Salah satu cara untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat dalam berimplikasi pada memperkuat basis kewirausahaan dalam kehidupan masyarakat Islam. Secara jujur, etos kerja masyarakat kita masih sangat rendah, terutatama disebabkan oleh faktorfaktor budaya, antara lain (Suwandi, 1999: 38): (a) tidak adanya orientasi ke depan, (b) tidak adanya growth philosophy , kesadaran bahwa segala sesuatu itu harus membesar dan mengakumulasi. Pemikiran untuk pengembangan usaha, masih banyak yang merasa puas terhadap keberhasilan usaha yang dilakukan, (c) kurang ulet atau cuek, (d) berpaling ke akhirat, seperti “kita miskin di dunia tapi nanti kaya di akhirat.” Dengan tumbuhnya jiwa kewirausahaan dalam diri masyarakat, maka akan menumbuhkan kesadaran dalam diri masyarakat terhadap keterbatasanketerbatasan dalam dirinya untuk bangkit dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan dunia luar. Jiwa kewirausahaan akan berimplikasi pada semangat juang yang tinggi, bekerja keras, tidak kenal putus asa dalam menjalankan setiap usaha yang tentunya dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam untuk senantiasa bekerja keras, tidak mudah putus asa. b. Ke arah masyarakat Islam berbasis keahlian hidup. Eksistensi pendidikan dalam masyarakat ditentukan oleh sejauh mana pendidikan itu memberikan perubahan, manfaat bagi kehidupan masyarakat. Dewasa ini dunia pendidikan sudah mulai mengarah pada pendidikan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Oleh karena itu konsep pendidikan tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya pendidikan dapat dilaksanakan dimana saja kapan saja dengan materi yang sesuai dengan kebutuhan masyrakat secara umum. Oleh karena itu pendidikan yang diperlukan saat ini adalah pendidikan yang lebih otonom dan bebas sesuai dengan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu kehadiran pendidikan nonforma relatif lebih diperlukan bagi masyarakat. Salah satu hal yang penting bagi masyarakat adalah pendidikan yang mengarah pada keahlian hidup ( life skills ), hal ini disebabkan karena seseorang tidak akan mampu menangkap peluang kompetisi hidup yang lebih layak tanpa di bekali dengan keahlian. Kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat kita, umat Islam khususnya berkaitan erat dengan lemahnya keahlian hidup, kecerdasan, kesejahteraan dan kebergamaan. c. Peran dakwah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satu tujuan dakwah adalah untuk meningktkan kesejahteraan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan manusia, tidak terkecuali bidang ekonomi. Bidang ekonomi berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, yang berimplikasi pada status sejahtera dan tidak sejahtera dan kaya-miskin. Saat ini kemiskinan menjadi isu yang sangat aktual untuk dibahas, berbagai masalah yang berkaitan dengan kemiskinan muncul dalam masyarakat, seperti gizi buruk pada balita, ibu hamil yang kekurangan isapan gizi, banyaknya pengemis jalanan, anak jalanan. Fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat masih kurang. Berkaitan dengan masalah tersebut di atas, salah satu tugas dakwah membebaskan masyarakat dari keterbelengguan ekonomi, kemiskinan. Konteks pemahaman tentang peran dakwah dalam pemberdayaan ekonomi umat ini lebih berorientasi pada dakwah bil-hal, dengan harapan bahwa dakwah dituntut mampu memberikan perubahan pada masyarakat. Namun bukan semata-mata perubahan yang nampak secara fisik, akan tetapi yang paling pokok adalah perubahan dalam pola pikir masyarakat yaitu tumbuhnya kesadaran terhadap dirinya sendiri Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 118 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam tentang kekurangan dan potensi yang dimilikinya. Pendekatan Pendidikan Berbasis Agama dalam Pengembangan Masyarakat Pada dasarnya antara dakwah dan pendidikan adalah dua unsur yang menyatu, dimana dalam dakwah ada unsur pendidikan atau sebaliknya dalam pendidikan ada unsur dakwah. Pandangan ini akan dapat diterima sejauh kita memahami bahwa pada dasarnya dalam kehidupan ini nilainilai agama itu dapat diuraikan dalam seluruh bidang kehidupan manusia, atau dengan kata lain seluruh aspek kehidupan ini tidak bisa terlepas dari nilai-nilai ajaran agama, termasuk dalam pendidikan. Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan dan dakwah kedua-duanya dapat dilaksanakan pada tempat yang sama, antara lain melalui lembaga pendidikan formal, pendidikan non formal dan informal. 1. Lembaga-lembaga pendidikan formal. Pendidikan formal artinya lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin dan sebagainya. Seperti sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan lain sebagainya. Yang mana di pendidikan formal ini pada kurikulum yang dianutnya terdapat bidang pengajaran agama, apalagi di lembaga-lembaga pendidikan dibawah lingkungan Kementerian Agama, Pendidikan Agama menjadi pokok pengajarannya. Di dalam pendidikan formal (sekolah), hendaknya dibedakan antara pendidikan agama dengan pengajaran agama. Pendidikan agama berarti “usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam”. Sedangkan pengajaran agama berarti “Pemberian pengetahuan agama kepada anak, agar supaya mempunyai pengetahuan agama. 2. Pendidikan non formal dan informal. Khusus dalam pendidikan non formal, nilai-nilai keagamaan dapat diterapkan didalamnya. Sistem pendidikan non formal ini antara lain berbentuk pondok pesantren, PAUD, lembaga-lembaga kursus. Perlu kita ketahuai bahwa konsep pendiJurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014 dikan luar sekolah pada dasarnya memiliki peran strategis dalam upaya pembangunan masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya pendidikan luar sekolah lahir dan berkembang dari masyarakat, sehingga memiliki cakupan yang lebih luas, menyeluruh pada setiap aspek-aspek kehidupan. Peran strategis pendidikan luar sekolah (PLS) dalam pengembangan masyarakat ini juga dikarenakan asas-asas yang ada dalam pendidikan luar sekolah sangat mendukung bagi pembangunan masyarakat. Asas-asas tersebut antara lain: 1) asas kebutuhan, 2) asas pendidikan sepanjang hayat, 3) asas relevansi dengan pembangunan masyarakat dan 4) asas wawasan ke masa depan. Asas kebutuhan berarti bahwa pendidikan luar sekolah harus berdasar pada kebutuhan hidup manusia, kebutuhan pendidikan dan kebutuhan belajar. Asas Pendidikan sepanjang hayat, mengandung makna bahwa hakikat pendidikan adalah merupakan kewajiban sepanjang hayat. Asas relevansi dengan pembangunan masyarakat mengandung makna bahwa pendidikan luar sekolah harus sesuai dengan program-program pembangunan, mampu menjawab terhadap persoalan-persoalan pembangunan sehingga mampu memecahkan persoalanpersoalan pembangunan demi terlaksananya pembangunan. Sedangkan asas wawasan ke depan, berarti bahwa pendidikan luar sekolah harus senantiasa berorientasi pada arah perubahan masyarakat ke depan, pendidikan harus pro-aktif terhadap perkembangan masyarakat, pendidikan harus mampu menjawab perkembangan masyarakat. Pembahasan mengenai peran pendidikan luar sekolah dalam pengembangan masyarakat juga tidak terlepas dari eksistensi agama dalam masyarakat, yang pada dasarnya merupakan faktor yang menyebabkan tumbuhnya dan berkembangnya pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah. C. SIMPULAN Strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari konsep dakwah sebagai sebuah pembebasan, dakwah harus mampu membebaskan manusia dari situasi- Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 119 situasi batas yang menghambat terhadap perkembangan umat, seperti kemiskinan, kebodohan dan rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Implikasi dari strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat adalah dapat dilihat dari peran dakwah/lembaga-lembaga dakwah dalam kehidupan masyarakat, bahwa dakwah adalah sebuah pembebasan, pemberadaban dan penyelamatan. Peran dakwah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan dan kesehatan diperankan oleh lembaga/organisai Islam. Bidang ekonomi dapat dilakukan dengan upaya untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan, meningkatkan ketrampilan masyarakat untuk mengembangkan usaha. Bidang pendidikan berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik melalui pendidikan formal, informal dan nonformal. Bidang kesejahteraan dan kesehatan berorientasi pada meningkatnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat sehingga menumbuhkan generasi muda yang kuat dan siap berkompetisi dan mampu menjawab perkembangan zaman. DAFT AR PUST AKA DAFTAR PUSTAKA Atjeh, Abu Bakr. (1971). Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam. Semarang: Romadloni. Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd al. (1987). alMu’jâm al-Mufahras li-alfâ al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr. Dermawan, Andy dkk. (2002). Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: LESFI. Haekal, Muhammad Husain. (1984). Sejarah Hidup Muhammad. terj. Ali Audah. Jakarta: Tintamas. Halim. (2009). Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Kuntowijoyo. (1994). Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Machedrawaty, Nanih & Agus Ahmad Syafe’i. (2001). Pengembangan Masyarakat Islam dari Strategi sampai Tradisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mahfudz, Syeh Ali. (1972). Hidayatul Mursyidin terj. Khadijah Nasution. Yogyakarta: TigaA. Mubyarto. (2000). Pengembangan Wilayah Pembangunan Pedesaan dan Otonomi Daerah Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. Jakarta: BPPT. Munawir, Ahmad Warson. (1984). Kamus alMunawwir. Yogyakarta: PP. Krapayak. Munir, M. dan Wahyu Ilaihi. (2006). Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana. Munir, Muhammad dan Wahyu Ilahi. (2006). Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media. Rogers, E.M. (1969). Modernization Among Peaseans; theImpact of Communication. USA: Holt, Renehart and Wiston, Inc. Salim, Emil. (1993). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Soekanto, Soeyono. (1999). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo. Sudjana. (2000). Pendidikan Luar Sekolah; Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah & Teori Pendukung, Serta Asas. Bandung: Falah Production. Supriyadi, Eko. (2003). Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surjadi, A. (1989). Dakwah Dengan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju. Suwandi, Herman. (1999). Islamisasi sains: apa signifikansinya dalam mimbar studi. Nomor 1 tahun XXIII, September-Desember. Usman, Sunyoto. (1998). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wehr, Hans. (1971). A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. 3. London: George Allen and Unwl LTD. Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014