formulasi model formulasi model dakwah pengembangan ah

advertisement
Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 111
JURNAL AN-NIDA
Jurnal Komunikasi Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Vol. 6 (2) (2014): 111 - 119
AH PENGEMBANGAN
FORMULASI MODEL DAKW
DAKWAH
T ISLAM
ARAKA
MASY
ARAKAT
MASYARAKA
Agus Riyadi
UIN Walisongo Semarang, Jl. Prof Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Semarang,
[email protected]
Abstract
Keywords
Models, Propaganda,
Development
Applying the concept of the new paradigm model of community development of
Islam became a necessity that needs to be engaged. This is because the “development” was considerably an important issue when the empirical reality of preach
showed a deep concern, with more “overwhelming” errors and simplifications are
too deep to see and understand propaganda. Preach who has a strong impetus in
empowering people (object of preach) become increasingly “limp” and do not
have a clear focus in the making. The fact that “feels” getting worse, when the
assumptions built into the meaning of propaganda has been less precise, such as:
propaganda only be interpreted as a delivery from outside, rigor in defining the
term propaganda, people only be treated as an static object. Seeing this, the call
of the Islamic community development as one of the components of the “spearhead” a touch of alternative models make propaganda with more propaganda society actors and being active, participatory and progressive framed by the principle-the principle of community development Islamic da’wah (PMI), they are
the principle of integrity, principles of participation, principles of integrity, sustainable principles, principles of harmony and the principle of its own capabilities.
Abstrak
Menerapkan konsep paradigma baru model dakwah pengembangan masyarakat
Islam menjadi sebuah keharusan yang perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan
“pengembangan” itu semakin menjadi penting manakala dalam realitas empirik
masalah kedakwahan menunjukkan sebuah keprihatinan mendalam, dengan semakin “menjalarnya” kesalahan dan penyederhanaan yang terlalu dalam melihat
dan memahami dakwah. Dakwah yang memiliki daya dorong yang kuat dalam
memberdayakan masyarakat (objek dakwah), menjadi semakin “lemas” dan tidak
punya fokus yang jelas dalam penggarapannya. Kenyataan itu “terasa” semakin
parah, ketika asumsi-asumsi yang dibangun dalam memaknai dakwah selama ini
kurang tepat, semisal: dakwah hanya diartikan sebagai suatu penyampaian dari
luar, kekakuan dalam memaknai istilah dakwah, masyarakat sebagai objek dakwah
hanya diperlakukan menjadi sesuatu yang statis. Melihat hal itu, dakwah pengembangan masyarakat Islam sebagai salah satu komponen “ujung tombak”
memberikan sentuhan alternatif model dakwah dengan lebih menjadikan pelaku
dan masyarakat dakwah bersikap aktif, partisipatif dan progresif yang dibingkai
oleh prisip-prinsip dakwah pengembangan masyarakat Islam (PMI), yaitu prinsip
keutuhan, prinsip partisipasi, prinsip keterpaduan, prinsip berkelanjutan, prinsip
keserasian dan prinsip kemampuan sendiri.
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
112 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam
A. PENDAHULUAN
Pengembangan dan pembangunan masyarakat
adalah proses dari serangakaian kegiatan dakwah
yang mengarah pada peningkatan tarap hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut, dakwah adalah sebuah praksis,
dakwah dituntut untuk mampu memberikan
perubahan kepada masyarakat. Perubahan tersebut
bisa berupa kualitas maupun kuantitas dalam
kehidupan bermasyarakat. Perubahan yang
menyangkut kualitas, berkaitan dengan tuntutan
perubahan masyarakat dari masyarakat yang
belum maju menjadi masyarakat yang lebih maju,
dari masyarakat yang maju bagaimana menjadi
masayarakat yang lebih maju. Jadi konsep yang
dibangun adalah konsep dinamisasi, masyarakat
adalah sebuah tatanan yang senantiasa dinamis,
bergerak kearah kemajuan dengan indikasi
meningkatkan kualitas kebergamaan masyarakat,
sehingga agama benar-benar menjadi pendorong
terhadap kemajuan. Oleh karena itu dakwah pada
dasarnya tidak mendukung adanya (status quo)
dalam masyarakat, karena salah satu tujuan dari
dakwah adalah bagaimana memfungsikan agama
dalam masyarakat secara maksimal. Perubahan
dari segi kuantitas, berkaitan dengan bertambahnya jumlah pemeluk agama, tempat-tampatibadah
dan sarana-sarana sosial keagamaan dalam masyarakat.
Hal ini didasarkan dengan hakikat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
yang mencakup tiga hal: pertama, kemajuan
lahiriah seperti pangan, sandang dan tempat
tinggal dan yang sejenisnya. Kedua, kemajuan
batiniah, seperti tersedianya mutu pendidikan, rasa
sehat, rasa aman. Ketiga, terciptanya kemauan
seluruh masyarakat yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan hidup yang berkeadilan
(Salim, 1993: 31). Namun demikian, pada tataran
riel yang terjadi adalah kemiskinan dan kesenjangan yang cukup tajam, sebagaimana sebuah
studi yang menyatakan bahwa penduduk miskin
dan termiskin di pedesaan masih cukup banyak,
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
yang menjadi bagian dari komunitas dengan
struktur dan kultur pedesaan. Karena itu, tidak
mengherankan apabila perkembangan fisik dan
mental masyarakat pedesaan agak tertinggal
dengan masyarakat perkotaan, contoh konkritnya
adalah ketika kehidupan mereka (desa) diintroduksi ideologi dan teknologi baru yang berbeda
tidak sedikit responnya negatif, bahkan menaruh
curiga, begitu pula karena memang tidak memiliki
jaminan sosial yang cukup untuk menghadapi
resiko kegagalan (Sunyoto, 1998: 30-31).
Sebagaimana dapat disaksikan bahwa masyarakat
pedesaan yang memiliki tanah luas hanya beberapa
gelintir orang saja, sebagian besar mereka buruh
tani (penggarap) yang tidak mungkin untuk
mengembangkan pola produksi pertanian yang
ada.
Untuk mencapai elemen pembangunan di atas
pelaksanaan dakwah harus memanfaatkan potensi
dan sarana (lembaga-lembaga) masyarakat yang
ada, yang didesain dengan perencanaan yang
matang dan terukur. Secara teoritis, dakwah merupakan proses transformasi ajaran dan nilai-nilai
Islam ke dalam masyarakat sebagai sasarannya
sehingga diharapkan terjadi perubahan positif.
Dakwah dalam pengertian tersebut, sebagai upaya
pendorong terjadinya perubahan pikiran, perasaan,
dan kehendak. Dalam term al qur’an adalah amar
ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minu billah (Ali
Imran: 110), yaitu segala kegiatan yang bertujuan
untuk mengelola kegiatan hidup dan kehidupan
manusia agar mengerjakan yang positif, dan meninggalkan berbagai perbuatan yang membawa
dampak negatif, serta mewujudkan keteguhan
iman. Rumusan tersebut meminjam istilah Kuntowijoyo (1994: 229), sebagai satu kesatuan “emansipasi, liberasi dan transendensi”. Dalam konteks
sosial, dakwah juga berarti pembebasan dari
kebodohan, kemiskinan (Supriyadi, 2003: 33, 166
& Dermawan, 2000: 21) dan penindasan, sedangkan amar ma’ruf diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada pencerahan diri (nur
ilahi) sehingga akan tumbuh kesadaran beriman
kepada Allah.
Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 113
Dengan demikian, strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat adalah keseluruhan
upaya pembangunan masyarakat dalam rangka
mewujudkan tatanan sosial ekonomi dan kebudayaan menurut ajaran Islam.
B. PEMBAHASAN
Dakwah dan Pengembangan Masyarakat
Secara harfiah kata dakwah, berasal dari
bahasa arab da’a-yad’u-du’aan wa da’watan,
diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan (Munawwir, 1984: 438). Sehingga term
dakwah seringkali diartikan ajakan, panggilan,
atau seruan, yang dilakukan seseorang kepada
orang lain. Untuk arti permohonan atau do’a,
istilah dakwah biasanya digunakan dalam konteks
hubungan vertikal, yaitu memohon kepada sesuatu
yang ada di atas atau kepada Tuhan (Baqi, 1987:
257-259). Dalam kamus Hans Wehr (1971: 282283) disebutkan bahwa kata dakwah, bentuk
masdar dari da’a-yad’u-da’watan memiliki arti
beragam, yakni berarti panggilan (call), seruan
(appeal), permohonan (request), aktivitas misionari (missionary actifity), dan propaganda.
Berdasarkan arti harfiah dapat ditarik pemahaman bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas
yang dilakukan oleh siapa pun dalam konteks
mengajak, menyeru, memanggil, atau memohon,
tanpa memandang asal-usul agama atau ras.
Terlepas dari beragamnya makna istilah dari
pemaknaan kata dakwah dalam masyarakat Islam
(Dermawan, 2002: 146). Arti kata dakwah yang
dimaksudkan adalah seruan dan ajakan. Kalau kata
dakwah diberi arti seruan (Munir: 2006: 18), maka
yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam
atau seruan Islam. Demikian juga kalau diberi arti
ajakan, maka yang dimaksud adalah ajakan kepada
Islam atau ajakan Islam. Kecuali itu, Islam sebagai
agama yang disebut agama dakwah, maksudnya
adalah agama yang disebar luaskan dengan cara
damai, tidak lewat kekerasan (Haekal, t.t: 198).
Setelah mendata keseluruhan kata dakwah,
maka dapat didefinisikan bahwa dakwah adalah
sebuah kegiatan mengajak, mendorong, dan
memotivasi orang lain agar menjalankan perintah
Allah. Sementara itu, para ulama memberikan
definisi yang bervariasi mengenai arti dari dakwah
itu, antara lain:
“Mengajak (mendorong) manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk,
menyuruh mereka berbuat baik dan melarang
mereka dari perbuatan yang jelek agar mereka
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat”
(Mahfudz, 1972: 4).
Dakwah adalah perintah mengadakan seruan
kepada semua manusia untuk kembali dan hidup
sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan
dengan penuh kebijaksaan dan nasehat yang baik
(Atjeh, 1971: 5).
Beberapa pengertian dakwah tersebut, meskipun dituangkan dalam bahasa dan kalimat yang
berbeda, tetapi kandungan isinya tetap sama
bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan
dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam
yang hakiki.
Oleh karena itu, dari beberapa definisi tersebut
dapat ditarik kesimpulan, pertama dakwah merupakan suatu proses usaha yang dilakukan secara
sadar dan sengaja, sehingga diperlukan organisasi,
manajemen, sistem, metode dan media yang tepat.
Kedua, usaha yang diselenggarakan itu berupa
ajakan kepada manusia untuk beriman dan
mematuhi ketentuan-ketentuan Allah, amar
ma’ruf dalam arti perbaikan dan pembangunan
masyarakat, dan nahi munkar. Ketiga, proses usaha
yang diselenggarakan tersebut berdasarkan suatu
tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridhai Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengembangan masyarakat sering diidentikkan dengan
beberapa istilah antara lain pertumbuhan, kemajuan, pembangunan dan modernisasi. Secara
terminologis, pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat Islam berarti memformulasikan dan
melembagakan semua segi ajaran Islam berarti
mentranformasikan dan melembagakan semua
segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga
(usrah), kelompok dan masyarakat mentransformasikan dan melembagakan semua segi ajaran
Islam dalam kehidupan keluarga (usrah),
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
114 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam
kelompok dan masyarakat (Machedrawaty, 2001:
42).
Pada dasarnya pengertian pengembangan
masyarakat sama dengan pembangunan. Dalam
pengertian sehari-hari secara sederhana pembangunan biasa diartikan sebagai suatu usaha yang
dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ada beberapa istilah yang identik dengan
pembangunan, atau setidaknya dapat mengantarkan kita untuk memahami apa yang disebut
dengan pembangunan. Istilah-istilah tersebut
antara lain: modernisasi, perubahan sosial, industrialisasi, westernisasi, pertumbuhan dan evolusi
sosio kultural. Menurut Rogers, perkembangan
adalah: sebuah perubahan sosial yang memperkenalkan ide-ide baru ke dalam sistem sosial supaya menghasilakan income atau perkapita yang
lebih tinggi dan tingkat kehidupan yang lebih
tinggi juga melalui metode-metode produksi yang
lebih banyak dan organisasi-organisasi sosial yang
sudah maju. Perkembangan merupakan modernisasi di dalam tingkat system sosial (Rogers,
1969: 8).
Tujuan Dakwah Pengembangan
Masyarakat
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan
secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu.
Pembangunan di Indonesia misalnya, merupakan
suatu proses perubahan yang dilakukan berdasarkan rencana tertentu, dengan sengaja, dan
memang dikehendaki, baik oleh pemerintah yang
menjadi pelopor pembangunan maupun masyarakat. Menurut Soeryono Soekanto, proses pembangunan bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat, yang menyangkut perangkat
cita-cita yang meliputi hal-hal sebagai berikut: (1)
Pembangunan harus bersifat rasionalistis, artinya
harus didasarkan pada pertimbangan rasional,
dengan demikian akan menghasilkan suatu
kerangka yang singkron, (2) Adanya rencana
pembangunan dan proses pembangunan. Artinya,
adanya keinginan untuk selalu membangun pada
ukuran dan haluan yang terkoordinasi, (3)
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
Peningkatan produktifitas, (4) Peningkatan
standar hidup, (5) Kedudukan, peranan, dan
kesempatan yang sederajat dalam bidang politik,
sosial, ekonomi dan hukum, (6) Pengembangan
lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam
masyarakat, (7) Konsolidasi nasional, (8) Kemerdekaan nasional (Soekanto, 1999: 48).
Sedangkan menurut Sudjana, tujuan dari pembangunan masyarakat adalah terjadinya: (1)
Peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat, (2) Pelestarian dan peningkatan kualitas
lingkungan, (3) Terjabarnya kebijaksanaan dan
program pembangunan nasional di masing-masing
pedesaan, dengan menitikberatkan pada prakarsa
masyarakat itu sendiri (Sudjana, 2000: 261).
Prinsip Dakwah Pengembangan
Masyarakat
Terkait dengan kajian konsep dasar strategi
dakwah dalam pengembangan masyarakat yang
dilanjutkan dengan merekonstrusi konsep dakwah
sebagai bagian dari upaya membangun paradigma
baru model dakwah pengembangan masyarakat
Islam, maka dakwah pengembangan masyarakat
harus mengikuti beberapa prinsip dasar, yaitu:
Pertama, orientasi kepada kesejahteraan lahir
dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak dilaksanakan hanya sekadar memuaskan keinginan
sebagian masyarakat saja. Melainkan direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial
bersama masyarakat agar penindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di
tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi
sasaran dakwah bukan berati meninggalkan skala
mikro kepentingan individu anggota masyarakat.
Demikian pula bisa jadi tercapainya kesejahteraan
masyarakat luas dapat dilakukan melalui sekelompok orang yang tergolong elit dalam masyarakat. Apalagi jika elit-elit tersebut merupakan
sekelompok membuat kebijakan yang sangat
mempengaruhi terhadap tatanan sosial. Maka
adalah mutlak sebenarnya dakwah yang ditujukan
kepada mereka dalam upaya menyadarkan dan
mengingatkan terhadap persoalan-persoalan
kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat.
Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 115
Kedua, dakwah pengembangan masyarakat
pada dasarnya upaya melakukan social engineering
(rekayasa sosial) untuk mendapatkan suatu perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Dakwah pengembangan masyarakat merupakan
suatu proses perencanaan perubahan sosial yang
berlandasakan nilai-nilai Islam. Sasaran untuk
pengembangan masyarakat, oleh karenanya kepada setting sosial kehidupan masyarakat, daripada
individu per individu. Landasan berfikir para da’i
dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat
adalah sebuah permasalahan sosial, yang oleh
karena itu pemecahannya juga meski dilaksanakan
dalam skala kehidupan sosial (Halim, 2009: 1516).
3. Prinsip keterpaduan, mencerminkan adanya upaya untuk memadukan seluruh potensi dan
sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam konteks inilah dakwah pengembangan masyarakat itu tidak monopoli sekelompok orang dan ahli, atau organisasi, tetapi lebih
luas dari itu, yakni siapapun yang mempunyai
komitmen community development yang perpijak
kepada universalitas nilai-nilai Islam adalah
bagian dari da’i pengembangan masyarakat. Oleh
karenanya dakwah pengembangan masyarakat itu
bersifat lintas budaya dan lintas sektoral. Untuk
itulah integrated or holistic strategy merupakan
pilihan yang tepat dalam proses dakwah model
ini.
Di samping kedua prinsip dasar tersebut, ada
beberapa prinsip lain yang harus terpenuhi dalam
dakwah pengembanga masyarakat, sebagaimana
menurut Mubyarto (2000: 9), yaitu:
4. Prinsip berkelanjutan. Prinsip ini menekankan, bahwa dakwah itu harus sustainanble.
Artinya, dakwah itu harus berkelanjutan yang
tidak dibatasi oleh waktu. Dimungkinkan, pada
saatnya, para da’i itu adalah anggota masyarakat
itu sendiri. Prinsip yang berkelanjutan inilah yang
oleh al-qur’an disebut dengan istiqomah yang
mampu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian lahir batin. (QS. Fushilat, 41: 30).
1. Prinsip kebutuhan. Artinya, program dakwah harus didasarkan atas dan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kebtuhan di sini tidak
hanya dipahami sebagai kebutuhan fisik material,
tetapi juga non material. Karena itulah program
dakwah perlu disusun bersama, baru kemudian
dirumuskan pula metode, materi dan media
dakwah. Dengan demikian, seorang da’i tidak lagi
terasing dengan masyarakat sasaran dakwahnya.
Konsep dakwah yang demikian inilah yang
ditawarkan sebagai jawaban dan tuntutan kontekstualisasi dakwah.
2. Prinsip partisipasi. Prinsip dakwah ini menekankan pada keterlibatan masyarakat secara
aktif dalam proses dakwah, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan penilaian
dan pengembangannya. Prinsip ini antara lain
bertujuan untuk: (1) Mendorong tumbuhnya
perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang
kondusif untuk kemajua, (2) Meningkatkan
kualitas partisipasi masyarakat, dari sekadar
mendukung, mengahdiri menjadi kontributor
program dakwah, (3) Menyegarkan dan meningkatkan efektivitas fungsi dan peran pemimpin
lokal.
5. Prinsip kaderisasi. Bahwa pengelolaan dan
program pembangunan masyarakat hanya akan
terlaksana dengan baik apabila di masyarakat
tersebut terdapat atau telah disiapkan kader-kader
yang berasal dari masyarakat yang memiliki sikap,
pengetahuan, keterampilan dan aspirasi membangun untuk memenuhi kepentingan bersama dan
untuk mempersiapkan hari depan masyarakat yang
lebih baik.
6. Prinsip kemampuan sendiri menegaskan
bahwa kegiatan dakwah pengembangan masyarakat itu disusun dan dilaksanakan berdasarkan
kemampuan dan sumber-sumber (potensi) yang
dimiliki masyarakat. Keterlibatan pihak-pihak
lain, baik perorangan (da’i) maupun organisasi
(lembaga-lembaga dakwah) hanyalah bersifat
sementara yang berfungsi sebagai fasilitator dan
trasformasi nilai keagamaan. Untuk itulah TOT
(Training Of The Trainer ) juru dakwah yang
diambil/ direkrut dari elemen masyarakat,
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
116 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam
merupakan bagian tidak terpisahkan dari dakwah
model ini. Dari sinilah lahir kader-kader yang
bertindak sebagai agent of change dan agent of
development masyarakat yang mencerminkan
sikap dan perilaku antisipatif dan partisipatif bagi
kemajuan masyarakat dimasa mendatang.
Tahap dalam Pengembangan Masyarakat
Ditinjau dari tahapan pengembangan masyarakat berdasar dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membangun masyarakat Islam
melalui dakwah, ada 3 tahap proses pengembangan
masyarakat, antara lain (Mubyarto, 2000: 9):
1. Tahap pembentukan masyarakat Islam.
Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan bil-lisan,
dengan menitik beratkan pada penanaman dan
pemantapan aqidah Islam.
2. Tahap kedua adalah pembinaan dan penataan. Pada tahap ini internalisasi dan eksternalisasi
Islam muncul dalam bentuk institusionalisasi
Islam secara komprehensif dalam realitas sosial.
3. Tahap kemandirian. Pada tahap ini
munculnya masyarakat yang memiliki kualitas
tinggi yang siap bersaing dengan masyarakat lain.
Sebagian ahli pengembang masyarakat lebih
memfokuskan kegiatan pembangunan pada model
perubahan individual, model reformasi, model
perubahan kebiasaan, model perubahan tingkah
laku. Menurut Adi sasono dan Dawam Raharjo
(dalam Mubyarto, 2000: 33), ada tiga model
pengorganiasain masyarakat untuk pekerjaan
sosial, yaitu model pengembangan lokal, model
pendekatan perencanaan sosial, model aksi soial.
Model Dakwah Pengembangan
Masyarakat Islam
Agar dakwah pengembangan masyarakat
dapat berjalan efektif sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, ada beberapa strategi yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan pengembangan.
Adapun strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Integrasi dakwah Islam dengan pembangunan masyarakat
Mengapa pembangunan masyarakat itu dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
dakwah Islam, menurut A. Suryadi ada beberapa
hal (Surjadi, 1989: 61-63): Islam dengan ajaranya,
bertujuan untuk menjamin kesejahteraan hidup,
menjunjung tiggi nilai-nilai kemanusiaan, nilai
keadilan. Manusia yang paling mulia disisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa (al-Hujarat:13). Islam mengajarkan bahwa orang mukmin
adalah bersaudara (al-Hudjurat:10).
Islam mengajarkan gotong royong. Gotong
royong atau kerjasama yang dijarkan Islam adalah
kerjasama dalam kebajikan bukan dalam hal dosa
dan permusuhan (al-Maidah: 2). Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berusaha. Konsep islam dalam hal ini sangat jelas,
bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu yang mau merubahnya, (arRa’du: 11), Islam juga mewajibkan umatnya untuk
menuntut Ilmu. Berdasarkan ajaran ini maka Islam
mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu tanpa
mengenal batas waktu, dan tempat. Allah akan
mengakat derajat orang-orang yang berilmu. (alMujadalah: 11).
Islam mengajarkan bahwa setiap musliam
adalah pengemban ibadah (adz-Dzariat: 56),
bahwa setipa hamba Allah harus tunduk, patuh,
taat dan berbakti kepada Allah sebagai pengemban
amanah khilafah (perwakilan), yaitu bahwa
manusia adalah kholifah (pelaksana aturan-aturan)
Tujan di muka bumi yang harus membina
kemakmuran, peradaban dan kebudayaan berdasarkan aturanaturan Tuhan di muka Bumi (alBaqarah: 30).
2. Penguatan ekonomi rumah tangga sebagai
dasar pengembangan masyarakat Islam
a. Jiwa Kewirausahaan sebagai modal dalam
pengembangan ekonomi masyarakat. Salah satu
permasalahan yang dialami umat Islam saat ini
adalah permasalahan ekonomi. Rendahnya tingkat
ekonomi masyarakat merupakan salah satu situasi
ketidakberdayaan masyarakat. Rendahnya tingkat
perekonomian ini identik dengan kemiskinan yang
ada dalam masyarakat, baik itu yang disebabkan
oleh kultur maupun struktur masyarakat.
Kemiskinan adalah suatu keadaan yang harus
Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 117
diperangi, karena tidak sesuai dengan jiwa dan
nilai-nilai semangat Islam yang identik dengan
agama pembebasan, baik pembebasan dari aqidah
yang membelenggu maupun kemiskinan yang
mengarah pada kekufuran. Berdasar hal tersebut,
maka perlu adanya terobosan baru untuk membangkitkan masyarakat, sehingga memiliki semangat juang yang tinggi dalam pengembangan
diri menuju ke arah masyarakat yang memiliki
tingkat keberdayaan yang tinggi. Salah satu cara
untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat
dalam berimplikasi pada memperkuat basis
kewirausahaan dalam kehidupan masyarakat
Islam.
Secara jujur, etos kerja masyarakat kita masih
sangat rendah, terutatama disebabkan oleh faktorfaktor budaya, antara lain (Suwandi, 1999: 38):
(a) tidak adanya orientasi ke depan, (b) tidak
adanya growth philosophy , kesadaran bahwa
segala sesuatu itu harus membesar dan mengakumulasi. Pemikiran untuk pengembangan usaha,
masih banyak yang merasa puas terhadap
keberhasilan usaha yang dilakukan, (c) kurang ulet
atau cuek, (d) berpaling ke akhirat, seperti “kita
miskin di dunia tapi nanti kaya di akhirat.” Dengan
tumbuhnya jiwa kewirausahaan dalam diri
masyarakat, maka akan menumbuhkan kesadaran
dalam diri masyarakat terhadap keterbatasanketerbatasan dalam dirinya untuk bangkit dan
berkembang sehingga mampu bersaing dengan
dunia luar. Jiwa kewirausahaan akan berimplikasi
pada semangat juang yang tinggi, bekerja keras,
tidak kenal putus asa dalam menjalankan setiap
usaha yang tentunya dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
Hal ini sesuai dengan ajaran Islam untuk senantiasa bekerja keras, tidak mudah putus asa.
b. Ke arah masyarakat Islam berbasis keahlian hidup. Eksistensi pendidikan dalam masyarakat
ditentukan oleh sejauh mana pendidikan itu memberikan perubahan, manfaat bagi kehidupan
masyarakat. Dewasa ini dunia pendidikan sudah
mulai mengarah pada pendidikan yang berbasis
pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Oleh
karena itu konsep pendidikan tidak hanya dibatasi
oleh ruang dan waktu, artinya pendidikan dapat
dilaksanakan dimana saja kapan saja dengan
materi yang sesuai dengan kebutuhan masyrakat
secara umum. Oleh karena itu pendidikan yang
diperlukan saat ini adalah pendidikan yang lebih
otonom dan bebas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, oleh karena itu kehadiran pendidikan
nonforma relatif lebih diperlukan bagi masyarakat.
Salah satu hal yang penting bagi masyarakat
adalah pendidikan yang mengarah pada keahlian
hidup ( life skills ), hal ini disebabkan karena
seseorang tidak akan mampu menangkap peluang
kompetisi hidup yang lebih layak tanpa di bekali
dengan keahlian. Kemiskinan yang dirasakan oleh
masyarakat kita, umat Islam khususnya berkaitan
erat dengan lemahnya keahlian hidup, kecerdasan,
kesejahteraan dan kebergamaan.
c. Peran dakwah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satu tujuan dakwah adalah
untuk meningktkan kesejahteraan masyarakat
dalam seluruh bidang kehidupan manusia, tidak
terkecuali bidang ekonomi. Bidang ekonomi
berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, yang berimplikasi pada status sejahtera dan
tidak sejahtera dan kaya-miskin. Saat ini kemiskinan menjadi isu yang sangat aktual untuk
dibahas, berbagai masalah yang berkaitan dengan
kemiskinan muncul dalam masyarakat, seperti gizi
buruk pada balita, ibu hamil yang kekurangan
isapan gizi, banyaknya pengemis jalanan, anak
jalanan. Fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat
masih kurang. Berkaitan dengan masalah tersebut
di atas, salah satu tugas dakwah membebaskan
masyarakat dari keterbelengguan ekonomi,
kemiskinan. Konteks pemahaman tentang peran
dakwah dalam pemberdayaan ekonomi umat ini
lebih berorientasi pada dakwah bil-hal, dengan
harapan bahwa dakwah dituntut mampu memberikan perubahan pada masyarakat. Namun
bukan semata-mata perubahan yang nampak
secara fisik, akan tetapi yang paling pokok adalah
perubahan dalam pola pikir masyarakat yaitu
tumbuhnya kesadaran terhadap dirinya sendiri
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
118 Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam
tentang kekurangan dan potensi yang dimilikinya.
Pendekatan Pendidikan Berbasis Agama
dalam Pengembangan Masyarakat
Pada dasarnya antara dakwah dan pendidikan
adalah dua unsur yang menyatu, dimana dalam
dakwah ada unsur pendidikan atau sebaliknya
dalam pendidikan ada unsur dakwah. Pandangan
ini akan dapat diterima sejauh kita memahami
bahwa pada dasarnya dalam kehidupan ini nilainilai agama itu dapat diuraikan dalam seluruh
bidang kehidupan manusia, atau dengan kata lain
seluruh aspek kehidupan ini tidak bisa terlepas dari
nilai-nilai ajaran agama, termasuk dalam pendidikan.
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan dan
dakwah kedua-duanya dapat dilaksanakan pada
tempat yang sama, antara lain melalui lembaga
pendidikan formal, pendidikan non formal dan
informal.
1. Lembaga-lembaga pendidikan formal.
Pendidikan formal artinya lembaga pendidikan
yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin dan sebagainya. Seperti
sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan lain
sebagainya. Yang mana di pendidikan formal ini
pada kurikulum yang dianutnya terdapat bidang
pengajaran agama, apalagi di lembaga-lembaga
pendidikan dibawah lingkungan Kementerian
Agama, Pendidikan Agama menjadi pokok
pengajarannya. Di dalam pendidikan formal
(sekolah), hendaknya dibedakan antara pendidikan
agama dengan pengajaran agama. Pendidikan
agama berarti “usaha-usaha secara sistematis dan
pragmatis dalam membantu anak didik agar
supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam”.
Sedangkan pengajaran agama berarti “Pemberian
pengetahuan agama kepada anak, agar supaya
mempunyai pengetahuan agama.
2. Pendidikan non formal dan informal.
Khusus dalam pendidikan non formal, nilai-nilai
keagamaan dapat diterapkan didalamnya. Sistem
pendidikan non formal ini antara lain berbentuk
pondok pesantren, PAUD, lembaga-lembaga
kursus. Perlu kita ketahuai bahwa konsep pendiJurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
dikan luar sekolah pada dasarnya memiliki peran
strategis dalam upaya pembangunan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena pada dasarnya pendidikan luar sekolah lahir dan berkembang dari
masyarakat, sehingga memiliki cakupan yang
lebih luas, menyeluruh pada setiap aspek-aspek
kehidupan. Peran strategis pendidikan luar sekolah
(PLS) dalam pengembangan masyarakat ini juga
dikarenakan asas-asas yang ada dalam pendidikan
luar sekolah sangat mendukung bagi pembangunan
masyarakat. Asas-asas tersebut antara lain: 1) asas
kebutuhan, 2) asas pendidikan sepanjang hayat,
3) asas relevansi dengan pembangunan masyarakat
dan 4) asas wawasan ke masa depan. Asas kebutuhan berarti bahwa pendidikan luar sekolah harus
berdasar pada kebutuhan hidup manusia, kebutuhan pendidikan dan kebutuhan belajar. Asas
Pendidikan sepanjang hayat, mengandung makna
bahwa hakikat pendidikan adalah merupakan
kewajiban sepanjang hayat. Asas relevansi dengan
pembangunan masyarakat mengandung makna
bahwa pendidikan luar sekolah harus sesuai
dengan program-program pembangunan, mampu
menjawab terhadap persoalan-persoalan pembangunan sehingga mampu memecahkan persoalanpersoalan pembangunan demi terlaksananya
pembangunan. Sedangkan asas wawasan ke depan,
berarti bahwa pendidikan luar sekolah harus
senantiasa berorientasi pada arah perubahan
masyarakat ke depan, pendidikan harus pro-aktif
terhadap perkembangan masyarakat, pendidikan
harus mampu menjawab perkembangan masyarakat. Pembahasan mengenai peran pendidikan
luar sekolah dalam pengembangan masyarakat
juga tidak terlepas dari eksistensi agama dalam
masyarakat, yang pada dasarnya merupakan faktor
yang menyebabkan tumbuhnya dan berkembangnya pendidikan masyarakat atau pendidikan
luar sekolah.
C. SIMPULAN
Strategi dakwah dalam pengembangan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari konsep
dakwah sebagai sebuah pembebasan, dakwah
harus mampu membebaskan manusia dari situasi-
Agus Riyadi, Formulasi Model Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam 119
situasi batas yang menghambat terhadap perkembangan umat, seperti kemiskinan, kebodohan dan
rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Implikasi dari strategi dakwah dalam
pengembangan masyarakat adalah dapat dilihat
dari peran dakwah/lembaga-lembaga dakwah
dalam kehidupan masyarakat, bahwa dakwah
adalah sebuah pembebasan, pemberadaban dan
penyelamatan. Peran dakwah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan dan kesehatan
diperankan oleh lembaga/organisai Islam. Bidang
ekonomi dapat dilakukan dengan upaya untuk
menumbuhkan jiwa kewirausahaan, meningkatkan
ketrampilan masyarakat untuk mengembangkan
usaha. Bidang pendidikan berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik
melalui pendidikan formal, informal dan nonformal. Bidang kesejahteraan dan kesehatan
berorientasi pada meningkatnya kesejahteraan dan
kesehatan masyarakat sehingga menumbuhkan
generasi muda yang kuat dan siap berkompetisi
dan mampu menjawab perkembangan zaman.
DAFT
AR PUST
AKA
DAFTAR
PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakr. (1971). Beberapa Catatan
Mengenai Dakwah Islam. Semarang: Romadloni.
Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd al. (1987). alMu’jâm al-Mufahras li-alfâ
al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr.
Dermawan, Andy dkk. (2002). Metodologi Ilmu
Dakwah. Yogyakarta: LESFI.
Haekal, Muhammad Husain. (1984). Sejarah
Hidup Muhammad. terj. Ali Audah. Jakarta:
Tintamas.
Halim. (2009). Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Kuntowijoyo. (1994). Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Machedrawaty, Nanih & Agus Ahmad Syafe’i.
(2001). Pengembangan Masyarakat Islam dari
Strategi sampai Tradisi. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Mahfudz, Syeh Ali. (1972). Hidayatul Mursyidin
terj. Khadijah Nasution. Yogyakarta: TigaA.
Mubyarto. (2000). Pengembangan Wilayah
Pembangunan Pedesaan dan Otonomi Daerah
Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif.
Jakarta: BPPT.
Munawir, Ahmad Warson. (1984). Kamus alMunawwir. Yogyakarta: PP. Krapayak.
Munir, M. dan Wahyu Ilaihi. (2006). Manajemen
Dakwah. Jakarta: Kencana.
Munir, Muhammad dan Wahyu Ilahi. (2006).
Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media.
Rogers, E.M. (1969). Modernization Among
Peaseans; theImpact of Communication. USA:
Holt, Renehart and Wiston, Inc.
Salim, Emil. (1993). Pembangunan Berwawasan
Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, Soeyono. (1999). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo.
Sudjana. (2000). Pendidikan Luar Sekolah;
Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah &
Teori Pendukung, Serta Asas. Bandung: Falah
Production.
Supriyadi, Eko. (2003). Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surjadi, A. (1989). Dakwah Dengan Pembangunan
Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju.
Suwandi, Herman. (1999). Islamisasi sains: apa
signifikansinya dalam mimbar studi. Nomor
1 tahun XXIII, September-Desember.
Usman, Sunyoto. (1998). Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wehr, Hans. (1971). A Dictionary of Modern
Written Arabic, ed. 3. London: George Allen
and Unwl LTD.
Jurnal ANNIDA, Vol. 6 No. 2, 2014
Download